190
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang 10 April 2010 hal . 190-194
KARAKTERISTIK BADAI MATAHARI KE-22 DAN 23
GEOMAGNET
BESAR
DALAM
SIKLUS
Sarmoko Saroso Bidang Aplikasi Geomagnet dan Magnet Antariksa Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) E-mail:
[email protected] INTISARI Badai geomagnet besar dengan indeks Dst lebih kecil dari 100 nT dalam siklus matahari ke 22 dan ke 23 berjumlah 158 kejadian. Telah dilakukan pengolahan data dan analisisnya sepanjang siklus ke 22 dan saat aktivitas maksimum pada siklus ke 23. Selain itu, juga dibahas kejadian badai geomagnet besar dalam periode tersebut dengan berbagai karakteristiknya, seperti keterkaitannya dengan siklus matahari dan variasi musim. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kemunculan badai geomagnet tahunan berkorelasi sangat kuat dengan siklus bilangan sunspot, tetapi tidak menunjukkan korelasi yang signifikan dengan fase maksimum dan minimum dari siklus matahari. Durasi fase awal paling dominan adalah antara 0-2 jam, sedangkan durasi fase utama dan fase pulih masing-masing antara 7-12 jam dan 2-3 hari. Dari variasi musiman terlihat bahwa puncak terjadinya badai geomagnet besar adalah pada bulan April dan Oktober. Kata Kunci: Badai Geomagnet, Indeks Dst, Siklus Matahari
I. PENDAHULUAN Kejadian badai geomagnet berhubungan dengan fenomena yang timbul di matahari terutama pada saat matahari aktif, yaitu berupa lontaran massa korona (Coronal Mass Ejection-CME) yang menyebabkan gangguan terhadap angin matahari dan berakibat pada peningkatan aktivitas medan magnet bumi melalui kopling angin matahari – magnetosfer – ionosfer yang akan memicu terjadinya badai geomagnet. Lontaran massa korona merupakan peristiwa terlontarnya plasma dalam jumlah besar dan membawa medan magnet dari matahari yang seringkali berasosiasi dengan flare. Materi ini menuju medium antar planet dan bila mengarah ke bumi akan mencapai bumi dalam waktu 1 – 5 hari. CME ini dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya gangguan di ruang antar planet yang akan memicu terjadinya badai geomagnet (Thompson, 1989; Webb et al., 2000). Akan tetapi tidak semua CME dapat menyebabkan terjadinya badai geomagnet (Cane et al., 2000). Medan magnet antar planet yang kuat terkait dengan aliran plasma berkecepatan tinggi yang berasal dari lontaran massa korona (CME) dan gelombang kejut serta medan terkompresi akibat tumbukan antara plasma berkecepatan tinggi dengan angin surya yang berkecepatan rendah yang mendahuluinya. Dalam hal ini, kompresi yang terjadi bergantung pada intensitas gelombang kejut yang terkait dengan aliran plasma berkecepatan tinggi. Makin tinggi kecepatan aliran plasma makin kuat gelombang kejut serta medan terkompresi. Pada saat matahari maksimum, aktivitas matahari didominasi oleh flare dan CME. CME berkecepatan tinggi (> 500 km/s) yang berasal dari matahari bergerak menuju ruang antar planet dengan membawa medan magnet yang berintensitas tinggi. Dampak dari CME ini akan menimbulkan gelomban kejut yang menjalar ke bumi melalui medium antar planet yang mengakibatkan terjadinya SSC (Sudden Storm Commencement) dan SI (Sudden Impulse). Pada saat matahari minimum, pengaruh lubang korona (coronal holes) sangat dominan pada medium antar planet. Lubang korona tersebut akan bermigrasi dari daerah polar ke lintang yang lebih rendah bahkan kadang-kadang sampai ke ekuator matahari (Jackson, 1997). Data hasil observasi Ulysses menunjukkan bahwa aliran plasma yang berasal dari lubang tersebut mempunyai kecepatan 750-800 km/s dan didominasi oleh gelombang Alfven yang beramplitudo besar. Pada saat siklus matahari menurun, ketika lubang korona bermigrasi ke lintang yang lebih rendah, aliran plasma yang berasal dari lubang korona akan corotate dalam interval 27 hari yang dikenal sebagai corotating streams. Aliran plasma ini akan menerpa magnetosfer bumi dengan interval yang periodik dan akan menyebabkan badai geomagnet yang berulang (recurrent geomagnetic storms). Tetapi pada umumnya badai geomagnet tersebut hanya berkekuatan sedang (Tsurutani et al., 1995). Corotating streams dapat menimbulkan medan magnet yang intens bila aliran plasma tersebut berinteraksi dengan aliran plasma yang berkecepatan lebih rendah. Fenomena ini pertama kali diketemukan dari data hasil observasi Pioneer 10 dan 11, dan daerahnya oleh Smith and Wolf (1976) dinamakan sebagai Corotating Interaction Regions (CIRs).
ISSN 0853 - 0823
Sarmoko Saroso / Karakteristik Badai Geomagnet Besar Dalam Siklus Matahari Ke-22 dan 23
191
Untuk mengetahui aktivitas matahari yang berpengaruh pada bumi perlu dilakukan pengamatan terhadap CME dan flare secara kontinu. Meskipun CME dan flare merupakan fenomena yang berbeda namun seringkali terjadi secara simultan. Pengamatan terhadap kedua fenomena ini menunjukkan bahwa CME dan flare berkaitan dengan kejadian badai geomagnet, sedangkan fenomena kompresi yang disebabkan oleh peningkatan tekanan dinamis dari angin matahari mengakibatkan terjadinya peningkatan awal dari medan magnet bumi sebelum terjadinya badai geomagnet yang dikenal sebagai peristiwa SC (Sudden Commencement) di mana pada saat itu komponen medan magnet antar planet mengarah ke selatan. Jika badai geomagnet terjadi tanpa diawali oleh peningkatan awal dari medan magnet bumi, maka peritiwa tersebut dikenal sebagai GC (Gradual Commencement) yang terjadinya disebabkan oleh angin matahari yang berkecepatan tinggi yang berasal dari lubang korona (Zirker, 1977). Pengamatan yang terkait dengan kejadian badai geomagnet telah sejak lama dilakukan, yaitu yang pertama kali oleh Broun (1861) kemudian oleh Adams (1892) dan dilanjutkan oleh peneliti lainnya. Akan tetapi yang pertama kali dapat mengidentifikasi pola badai magnet adalah Moos (1910) yang mengamati terjadinya peningkatan mendadak dari komponen H geomagnet di Colaba, India, kemudian diikuti oleh penurunan yang cepat selama beberapa jam dan diakhiri dengan fase pulih yang lambat selama 2-3 hari. Chapman (1918) mendefinisikan kejadian tersebut sebagai ’magnetic storm’ dan menamakan urutan kejadian badai magnet tersebut, yang pertama terjadi sebagai SC kemudian fase awal (initial phase), fase utama (main phase), dan diakhiri dengan fase pulih (recovery phase). Selain itu, Chapman juga yang pertama kali mengamati dampak badai magnet di berbagai stasiun geomagnet di dunia. Sugiura and Chapman (1960) telah melaporkan hasil studi mereka yang monumental dari 346 kejadian badai magnet di 24 stasiun selama rentang waktu 1902-1945. Mereka juga mendefinisikan terminologi baru, yaitu ’Disturbance storm time’ yang direpresentasikan sebagai indeks Dst, yang menggambarkan gangguan pada komponen H geomagnet saat terjadi badai. Tingkat badai geomagnet dapat diklasifikasikan sebagai badai besar (Dst ≤ -100), badai sedang (-100 < Dst < -50) dan badai lemah (Dst ≥ -50). Tanda negatif menunjukkan gangguan pada komponen H geomagnet arahnya ke selatan. Dalam makalah ini dianalisis secara statistik karakteristik badai geomagnet besar yang sangat diperlukan dalam menjelaskan berbagai aspek terkait dengan kejadian badai geomagnet II. METODE PENELITIAN Langkah awal dalam penelitian ini adalah melakukan identifikasi terhadap munculnya badai geomagnet yang masuk dalam kategori badai besar dengan kriteria indeks Dst lebih kecil dari 100 nT dalam siklus matahari ke-22 dan 23. Kemudian ditentukan frekuensi kejadian badai SC dan GC. Setelah itu, ditentukan pula frekuensi kejadian untuk fase awal dalam selang waktu 0-2, 3-4, 5-6, 7-8, dan > 8 jam, fase utama dalam selang waktu 0-6, 7-12, 13-18, 19-24, dan > 24 jam, dan fase pulih dalam selang waktu 0-1, 1-2, 2-3, 3-4, 4-5 dan> 5 hari. Selanjutnya diamati variasi musiman dari kejadian badai geomagnet besar yang terjadi selama tahun 1986-2002. Pengumpulan data indeks Dst jam-an diperoleh dari World Data Center C2 at Kyoto University database (http:// swdcdb.kugi.kyoto-u.jp/dstdir) and from National Space Science Data Center (NSSDC) database (http://nssdc.gsfc.nasa.gov/omniweb), dan dan waktu kejadian SC (Sudden Commencement) diperoleh dari National Geophysical Data Center (NGDC) database (ftp;//ftp.ngdc.noaa.gov/STP/SOLAR DATA/ SUDDENCOMMENCEMENT/STORM2.SS/). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Badai geomagnet besar dengan indeks Dst lebih kecil dari 100 nT dalam siklus matahari ke 22 dan ke 23 berjumlah 158 kejadian, dimana 82 kejadian badai tipe SC dan 76 kejadian badai tipe GC. Pada umumnya, badai geomagnet besar terjadi saat aktivitas matahari maksimum dan hanya sebagian kecil saja yang terjadi saat matahari minimum akibat pengaruh lubang korona. Data yang ditinjau dalam siklus matahari ke-22 dan 23 adalah dari periode tahun 1986-2002, dimana periode tahun 1986-1988, 1992-1999 dan 2001-2002 adalah saat aktivitas matahari minimum dan periode tahun 1989-1991 and 2000 adalah saat aktivitas matahari maksimum. Umumnya siklus matahari hanya mempunyai satu puncak dimana bilangan sunspotnya maksimum. Akan tetapi siklus matahari yang ke-22 merupakan kekecualian karena mempunyai dua puncak, yaitu pada tahun 1989 dan 1991. Fase maksimum dari siklus matahari ke-22 hanya ditentukan dari periode tahun 1989-1991. Jumlah frekuensi kejadian badai geomagnet dalam periode 1986-2002, yang terdiri dari badai SC dan badai GC pada saat aktivitas matahari maksimum dan minimum dapat dilihat pada Tabel 1.
ISSN 0853 - 0823
192
Sarmoko Saroso / Karakteristik Badai Geomagnet Besar Dalam Siklus Matahari Ke-22 dan 23
Tabel 1 - Jumlah frekuensi kejadian badai geomagnet saat aktivitas matahari maksimum dan minimum dalam siklus matahari ke-22 dan 23 T i p e
B a d a i
Badai besar Badai SC Badai GC
Frekuensi kejadian Fase maksimum Fase minimum 15,50 7,38 8,25 3,76 7,25 3,62
Dari Gambar 1 terlihat bahwa kejadian badai geomagnet besar mempunyai korelasi yang signifikan dengan bilangan sunspot, dan tidak demikian halnya dengan kejadian badai SC dan GC tiap tahunnya yang tidak mempunyai korelasi yang signifikan dengan fase maksimum dan minimum dari siklus matahari. Saat awal terjadinya badai umumnya bersamaan dengan kejadian SC (Gonzales et al., 1992). Zhu dan Wada (1983) menyatakan bahwa indeks Dst mencapai minimum dalam waktu sekitar 10-20 jam setelah kejadian SC dan jumlah kejadian SC tidak bergantung pada setiap perubahan dari besarnya indeks Dst. Dalam penelitian ini, 52% dari kejadian badai geomagnet besar berkaitan dengan kejadian SC, dan juga teramati bahwa untuk sebagian besar kasus, saat awal dari fase utama selalu diikuti kejadian SC. Untuk kasus dimana kejadian SC bersamaan dengan kejadian badai geomagnet besar, perbedaan waktu antara kejadian SC dan saat awal dari fase utama bervariasi antara 0-2 jam, serta waktu pulihnya lebih cepat bila dibandingkan dengan kejadian badai geomagnet besar yang tidak bersamaan dengan kejadian SC.
Gambar 1. Frekuensi kejadian badai geomagnet besar dari tahun 1986-2002, yang terdiri dari badai SC, total kejadian badai, dan badai GC. Kejadian badai geomagnet dapat dibagi menjadi tiga fase, yang pertama adalah fase awal, kemudian fase utama, dan diakhiri dengan fase pulih. Gambar 2 menunjukkan histogram dari durasi ketiga fase.
Gambar 2. Histogram dari frekuensi kejadian badai geomagnet besar dari tahun 1986-2002 dan durasi fase awal, fase utama, dan fase pulih.
ISSN 0853 - 0823
Sarmoko Saroso / Karakteristik Badai Geomagnet Besar Dalam Siklus Matahari Ke-22 dan 23
193
tersebut. Selanjutnya ditentukan frekuensi kejadian untuk fase awal dalam selang waktu 0-2, 3-4, 5-6, 7-8, dan > 8 jam, fase utama dalam selang waktu 0-6, 7-12, 13-18, 19-24, dan > 24 jam, dan fase pulih dalam selang waktu 0-1, 1-2, 2-3, 3-4, 4-5 dan> 5 hari, karena umumnya fase pulih lebih lama. Dari histogram tersebut terlihat bahwa durasi fase awal paling dominan antara 0-2 jam, sedangkan durasi fase utama dan fase pulih masing-masing antara 7-12 jam dan 2-3 hari. Selain itu, durasi fase awal selalu lebih lambat dari fase pulih, dan waktu pulih saat kejadian SC yang bersamaan dengan kejadian badai geomagnet besar akan selalu lebih cepat bila dibandingkan dengan kejadian badai yang tidak bersamaan dengan kejadian SC. Hasil pengolahan data ini bersesuaian dengan hasil yang diperoleh Kane (1977). Dari Gambar 3 terlihat bahwa frekuensi kejadian badai geomagnet besar pada bulan Januari s.d. Desember dari tahun 1986-2002 menunjukkan variasi setengah-tahunan (semi-annual variation). Menurut Russel and McPherron (1973) hal ini disebabkan oleh lontaran plasma dari matahari yang mengarah ke bumi dalam jumlah besar bergantung pada variasi musim. Variasi setengah-tahunan (semi-annual variation) dari aktivitas geomagnet ini telah dianalisis dengan menggunakan berbagai metode (Crooker and Siscoe, 1986; Crooker, et al., 1992, Saroso, 2006; Gonzales et al., 2007). Hasil analisis tersebut diantaranya menunjukkan bahwa pengaruh angin surya pada magnetosfer menjadi semakin kuat pada saat musim semi (spring) dan musim gugur (fall). Crooker et al. (1992) menyatakan bahwa 30-40% kejadian badai geomagnet terjadi selama matahari berada di ekuinoks, yaitu pada bulan Maret dan September dan ≤ 5% terjadi pada bulan Juni dan Desember. Pengaruh dari variasi musim terhadap kejadian badai ini sangat jelas terlihat pada Gambar 3 di mana variasinya merupakan siklus setengah-tahunan yang puncaknya disekitar bulan April dan Oktober.
Gambar 3. Histogram dari frekuensi kejadian badai geomagnet besar pada bulan Januari s.d. Desember dari tahun 1986-2002, dan bil. sunspot (SSN) rata-rata bulanan. IV. KESIMPULAN Telah dilakukan pengolahan data dan analisis dari kejadian badai geomagnet besar sepanjang siklus ke 22 dan saat aktivitas maksimum pada siklus ke 23. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kemunculan badai geomagnet tahunan berkorelasi sangat kuat dengan siklus bilangan sunspot, tetapi tidak menunjukkan korelasi yang signifikan dengan fase maksimum dan minimum dari siklus matahari. Durasi fase awal paling dominan adalah antara 0-2 jam, sedangkan durasi fase utama dan fase pulih masing-masing antara 7-12 jam dan 2-3 hari. Selain itu, durasi fase awal selalu lebih lambat dari fase pulih, dan waktu pulih saat kejadian SC yang bersamaan dengan kejadian badai geomagnet besar akan selalu lebih cepat bila dibandingkan dengan kejadian badai yang tidak bersamaan dengan kejadian SC. Variasi setengah-tahunan dari kejadian badai geomagnet besar menunjukkan bahwa variasinya merupakan siklus setengah-tahunan yang puncaknya disekitar bulan April dan Oktober. V. DAFTAR PUSTAKA Adams, W.G. 1892. Comparison of simultaneous disturbance at several observatories. Philosophical Transactions of the Royal Society of London, Series A 183, 131–140. Broun, J.A. 1861. Horizontal force of the earth’s magnetism. Transactions of the Royal Society of Edinburg 22, 511. ISSN 0853 - 0823
194
Sarmoko Saroso / Karakteristik Badai Geomagnet Besar Dalam Siklus Matahari Ke-22 dan 23
Cane, H. V., Richardson, I. G., St. Cyr, O. C. 2000. Geophys. Res. Letter, 27, 3591. Chapman, S. 1918. An outline of theory of magnetic storms. Proceedings of the Royal Society of London A 95, 61–83. Crooker, N. U. and Siscoe, G. L. 1986. Physics of the Sun, edited by P. A. Sturrock, Reidel, Massachusetts, 193. Crooker, N. U., Cliver, E. W. and Tsurutani, B. T. 1992. J. Geophys. Res. Lett. 19, 429. Gonzalez, W. D., Gonzalez, A. L. C., Mendes O. (Jr) and Tsurutani, B. T. 1992. EOS Trans AGU, 180. Gonzalez, W. D., Echer, E., Clua-Gonzalez, A. L., and Tsurutani, B. T. 2007. Geophys. Res. Lett., 34, L06101, doi:10.1029/2006GL028879. Jackson, B.V., Heliospheric observations of solar disturbances and their potential role in the origin of storms. In: Tsurutani, B.T., Gonzalez, W.D., Kamide, Y. (Eds.). 1997. Magnetic Storms, Mon. Ser., Vol. 98. Amer. Geophys. Union Press, Washington D.C., p. 59. Kane, R. P. 1977. J. Geophys. Res., 82, 561. Moos, N.A.F. 1910. Magnetic observations made at the government observatory Bombay 1846–1905 and their discussion. Part II. The phenomenon and its description. Russell, C. T. and McPherron, R. L. 1973. Space Science Review, 205. Saroso, S., 2006. Proc. of International Conference on Mathematics and Natural Sciences, Bandung, Indonesia, 1277-1280. Sugiura, M., Chapman, S. 1960. The average morphology of geomagnetic storm with sudden commencement. Abhandlungen der Akademie der Wissenschaften in Gottingen Mathematisch Physikalische Klasse Sonderheft 4, 1–53. Thompson, R. J. 1989. Geomagnetic precursors of the solar cycle, Solar-Terrestrial Physics Workshop, Leura. Tsurutani, B.T., Ho, C.M., Arballo, J.K., Goldstein, B.E., Balogh, A. 1995. Large Amplitude IMF Luctuations in corotating interaction regions: Ulysses at midlatitudes, Geophysical Research Letters 22, 3397. Webb, D. F., Cliver, E. W., Crooker, N. U., St. Cyr, O. C., and Thompson, R. J. 2000. J. Geophys. Res. 105, 7491. Zhu, B. Y. and Wada, M. 1983. Proceedings of 18 International Cosmic Ray Conference, Bangalore, India, MG-6-16, 213. Zirker, J. B. 1977. Coronal holes and high speed wind stream, Colorado Ass. Univ. Press, Boulder.
ISSN 0853 - 0823