ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA BELUT RAWA (Synbranchus bengalensis) YANG DIPASARKAN DI KOTA SURABAYA, JAWA TIMUR
Oleh: MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN SIDOARJO – JAWA TIMUR
FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2016
SKRIPSI
i IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya : Nama
: Muhammad Rizki Kurniawan
NIM
: 141111096
Tempat, Tanggal Lahir : Sidoarjo, 17 Januari 1994 Alamat
: Ds. Tugu Rt.01/Rw.01, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongn
Judul Skripsi
: Identifikasi dan Prevalensi Infeksi Cacing Saluran Pencernaan belut Rawa (Symbranchus bengalensis) Yang Dipasarkan Di Kota Surabaya, Jawa Timur
Pembimbing
: 1. Prof. Dr. Sri Subekti, Drh., DEA. 2. Prof. Sri Agus Sudjarwo, drh, Ph.D.
Menyatahkan dengan sebenarnya bahwa hasil tulisan laporan Skripsi yang saya buat adalah murni hasil karya sendiri (bukan Plagiat) yang berasal dari Dana Penelitian : Mandiri/Proyek Dosen/Hibah/PKM (coret yang tidak perlu). Didalam Skripsi / karya tulis ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin aatau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau symbol yang saya aku seolah olah sabagai tulisan saya sendiri tanpa memberikan pengakuan pada penulis aslinya, kami bersedia : 1. Dipublikasikan dlam Jurnal Ilmiah Perikanan Dan Kelautan Fakultas Peikanan Dan kelautan Universitas Airlangga. 2. Memberikan ijin mengganti susunan penulisan pada hasil tulisan Skripsi/ karya tulis saya ini sesuai dengan peranan dosen pembimbing skripsi; 3. Diberikan sanksi akademik yang berlaku di Universitas Airlangga, Temasuk pencabutan gelar pendidikan kesarjanaan yang telah saya peroleh (sebagaimana diatur dalam pedoman Pendidikan UNAIR tahun 2010/2011 Bab.IX Pasal 38-42), apabila kemudian hari terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru lusisan orang lain yang seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri. Demikian surat pernyataan yang saya buat ini tanpa ada unsur paksan dari siapapun dan dipergunaakan sebagaimana mestinya.
SKRIPSI
ii IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA BELUT RAWA (Synbranchus bengalensis) YANG DIPASARKAN DI KOTA SURABAYA, JAWA TIMUR
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga
Oleh : MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN NIM. 141111096
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Pembimbing Utama
SKRIPSI
Pembimbing Serta
iii IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA BELUT RAWA (Synbranchus bengalensis) YANG DIPASARKAN DI KOTA SURABAYA, JAWA TIMUR
Oleh : MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN NIM. 141111096
Telah diujikan pada Tanggal : 28 Juli 2016 KOMISI PENGUJI SKRIPSI Ketua : Dr. Kismiyati, Ir., M.Si. Anggota : Dr. Gunanti Mahasri, Ir., M.Si. Putri Desi Wulansari, S.Pi., M.Si. Prof. Dr. Sri Subekti, drh., DEA Prof. Sri Agus Sudjarwo, drh. Ph.D.
Surabaya, 28 Juli 2016
SKRIPSI
iv IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RINGKASAN MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN. IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA BELUT RAWA (Synbranchus bengalensis) YANG DIPASARKAN DI KOTA SURABAYA, JAWA TIMUR. Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Hj. Sri Subekti, drh. DEA dan Prof. Sri Agus Sudjarwo, drh. Ph.D Belut merupakan salah satu komoditas perikanan yang relatif mudah ditemui di lahan persawahan dan rawa. Belut termasuk komoditi yang bernilai ekonomis tinggi sehingga cukup potensial untuk dibudidayakan. Di Indonesia terdapat tiga jenis belut, yaitu belut sawah (Monopterus albus), belut rawa (Synbranchus bengalensis) dan belut laut atau sidat (Macrotama caligans dan Anguilla). Masalah yang sering menghambat pertumbuhan ikan ini adalah munculnya penyakit, antara lain disebabkan oleh parasit. Penyakit merupakan salah satu faktor kendala dalam kegiatan budidaya yang dikarenakan oleh ketidakseimbangan interaksi antara faktor lingkungan, inang, dan agen penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis spesies dan prevalensi cacing endoparasit yang menginfeksi saluran pencernaan belut rawa (Synbranchus bengalensis) yang di pasarkan di Kota Surabaya, Jawa Timur. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 75 ekor (10%) dari total populasi belut rawa mencapai 750 ekor. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Data hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk gambar dan tabel, data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap 75 ekor sampel belut rawa diperoleh hasil 22 ekor belut rawa positif terinfeksi cacing endoparasit Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus. Berdasarkan hasil tersebut maka diperoleh nilai prevalensi sebesar rata-rata 29,3%. Pada penelitian ini, ditemukan infeksi tunggal L3 Pingus sinensis dengan tingkat prevalensi sebesar 4% dan infeksi tunggal L4 Eustrongylides ignotus tingkat infeksi sebesar 8%. Sedangkan tingkat prevalensi campuran infeksi L3 Pingus sinensis dan L4 Eustrongylides ignotus sebesar 16%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa cacing Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus sering menginfeksi belut.
SKRIPSI
v IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SUMMARY
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN. IDENTIFICATION AND HELMINTH PREVALENCE DIGESTION TRACT INFECTIONS IN SWAMP EEL (Synbranchus bengalensis) ARE MARKETED IN SURABAYA, EAST JAVA. Academic Advisors : Prof. Dr. Hj. Sri Subekti, drh. DEA and Prof. Sri Agus Sudjarwo, drh. Ph.D Eel is the one commodity that is relatively easily found in paddy fields and swamps. Eels including commodities with high economic value which is sufficient potential to be cultivated. In Indonesia, there are three types of eel, the eel rice fields (Monopterus albus), swamp eel (Synbranchus bengalensis) and sea eel or eel (Macrotama caligans and Anguilla). The problem that often inhibit the growth of this fish is the emergence of diseases, among others, caused by a parasite. Disease is one of the obstacles in cultivation are caused by an imbalance of the interaction between environmental factors, host, and disease agents. This study aimed to determine the prevalence of helminth species and endoparasites which infect the gastrointestinal tract swamp eel (Synbranchus bengalensis) is marketed in the city of Surabaya, East Java. Samples was taken 75 swamp eel of (10%) from total population 750. The research method used is a survey method. Data from the study will be presented in figure and tables. The collected data were analyzed descriptively. Based on the results on 75 samples of eel swamp showed 22 positive swamp eels infected by Pingus sinensis and Eustrongylides Ignotus. Based on these results the prevalence values obtained for an average of 29.3%. In this study, found of single L3 Pingus sinensis infection with a prevalence rate of 4% and a single infection L4 Eustrongylides Ignotus infection rate of 8%. While the prevalence of mixed infection L3 Pingus sinensis and L4 Eustrongylides Ignotus 16%. These results indicate that the helminth Pingus sinensis and Eustrongylides Ignotus often infects the eel.
SKRIPSI
vi IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi tentang Identifikasi dan Prevalensi Infeksi Cacing Saluran Pencernaan Pada Belut Rawa (Synbranchus bengalensis) Yang Dipasarkan Di Kota Surabaya, Jawa Timur. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga Surabaya. Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan skripsi ini masih belum sempurna, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan kesempurnaan laporan ini. Penulis berharap semoga Karya Ilmiah ini bermanfaat dan dapat memberikan informasi kepada semua pihak, khususnya bagi mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga Surabaya guna kemajuan serta perkembangan ilmu dan teknologi dalam bidang perikanan, terutama budidaya perairan.
Surabaya, 28 Juli 2016
Penulis
SKRIPSI
vii IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
UCAPAN TERIMAKASIH
Pada kesempatan ini, dengan penuh rasa hormat penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.
Ibu Dr. Mirni Lamid, drh., MP. selaku Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga Surabaya.
2.
Ibu Prof. Dr. Hj. Sri Subekti, drh., DEA Dosen Pembimbing Pertama dan Bapak Prof. Sri Agus Sudjarwo, drh. Ph.D Dosen Pembimbing Kedua yang telah memberikan arahan, masukan serta bimbingan sejak penyusunan usulan hingga penyelesaian Skripsi ini.
3.
Terima kasih kepada ibu Dr. Kismiyati, Dr. Gunanti Mahasri, Ir., M.Si. dan Ibu Putri Desi Wulan Sari, S.Pi., M.Si selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan, kritik dan saran atas penyempurnaan Skripsi ini.
4.
Bapak Kustiawan Tri Pursetyo, S.Pi., M.Vet. selaku Dosen Wali yang telah memberikan masukan serta saran dalam proses akademik.
5.
Seluruh dosen dan staff Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga yang telah membantu dalam pelaksanaan dan penyelesaian Skripsi ini.
6.
Kedua orangtua tercinta, Ibu Yetty Hollyningsih dan Ahmad Munir S, P.d, yang selalu menjadi sumber semangat saya selama menempuh perkuliahan.
7.
Teman-teman TM (Trobelmaker) yang selalu memberi motivasi serta semangat dalam penyelesaian Skripsi.
8.
Teman-teman “Octopus, 2011” yang telah memberikan motivasi, bantuan, masukan dan semangat dalam penyelesaian Skripsi ini.
9.
Mauliddian Isnain S.Psi yang selalu memberikan semangat dan motivasi untuk penyelesaian Skripsi ini.
Semoga Allah Yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang melimpahkan berkat-Nya dan membalas segala bantuan serta kebaikan yang telah diberikan oleh semua pihak kepada penulis.
SKRIPSI
viii IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR ISI
Halaman RINGKASAN .................................................................................................
iv
SUMMARY ....................................................................................................
v
KATA PENGANTAR ....................................................................................
vi
UCAPAN TERIMAKASIH .............................................................................
vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ...........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xii
I
PENDAHULUAN ...................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................
3
1.3 Tujuan ................................................................................................
3
1.4 Manfaat .............................................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
4
2.1 Belut Rawa (Synbranchus bengalensis) ............................................ 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi ........................................................ 2.1.2 Habitat Belut Rawa .................................................................
4 4 5
2.2 Cacing pada Saluran Pencernaan Belut Rawa .................................... 2.2.1 Gnathostoma spinigerum ........................................................... 2.2.2 Camallanus cotti ....................................................................... 2.2.3 Eustrongylides ignotus .............................................................. 2.2.4 Pingus sinensis ........................................................................... 2.2.5 Clinostomum complanatum ......................................................
6 7 10 12 14 16
II
SKRIPSI
ix IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
III KONSEPTUAL PENELITIAN ...............................................................
19
3.1 Kerangka Konseptual ........................................................................
20
IV METODOLOGI PENELITIAN ...............................................................
21
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................
21
4.2 Materi Penelitian ............................................................................... 4.2.1 Peralatan Penelitian .................................................................. 4.2.2 Bahan Penelitian .......................................................................
21 21 21
4.3 Metode Penelitian .............................................................................
22
4.4 Prosedur Penelitian .......................................................................... 4.4.1 Persiapan Alat dan Bahan ......................................................... 4.4.2 pengambilan Sampel ................................................................. 4.4.3 Pemeriksaan dan Identifikasi Cacing Saluran Pencernaan ....... 4.4.4 Metode Pewarnaan ....................................................................
22 22 22 23 24
4.5 Parameter Penelitian ...........................................................................
26
4.6 Analisis Data .......................................................................................
27
HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................
28
5.1 Hasil Penelitian ................................................................................. 5.1.1 Identifikasi Cacing Saluran Pencernaan ................................... 5.1.1.1 Larva Stadium Tiga Pingus sinensis ........................... 5.1.1.2 Larva Stadium Empat eustrongylides ignotus .............. 5.1.2 Prevalensi Cacing Saluran Pencernaa........................................ 5.2 Pembahasan ......................................................................................
28 28 29 30 32 35
VI KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
40
6.1 Kesimpulan ........................................................................................
40
6.2 Saran ..................................................................................................
40
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
41
LAMPIRAN ...................................................................................................
45
V
SKRIPSI
x IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
4.1
Kategori prevalensi cacing endoparasit parasit.......................................
26
5.1
Hasil Identikasi Cacing Endoparasit .......................................................
28
5.2
Prevalensi Cacing Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus ................................................................................................................ 33
SKRIPSI
xi IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
2.1
Belut Rawa (Synbranchus bengalensis) ................................................
5
2.2
Morfologi Larva Stadia III Gnathostoma spinigerum ...........................
8
2.3
Siklus hidup Gnathostoma spinigerum ..................................................
9
2.4
Morfologi Camallanus sp .......................................................................
11
2.5
Siklus hidup Camallanus sp...................................................................
12
2.6
Larva IV Eustrongylides ignotus ...........................................................
13
2.7
Siklus Hidup Eustrongylides ignotus .....................................................
14
2.8
Morfologi Pingus sinensis .....................................................................
15
2.9
Morfologi Clinostomum complanatum ..................................................
17
2.10 Siklus Hidup Clinostomum complanatum ............................................
18
3.1
Kerangka konseptual penelitian .............................................................
20
4.1
Diagram Alir Prosedur Penelitian ..........................................................
25
5.2
Hasil Gambar Kamera Lucida dan Pewarnaan Larva stadium tiga Pingus sinensis .................................................................................................. 30
5.3
Hasil Gambar Kamera Lucida dan Pewarnaan Larva stadia empat Eustrongylides ignotus ...........................................................................
SKRIPSI
xii IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
32
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Kunci Identifikasi Cacing ...........................................................................
45
2. Data Sampel Bwlut Rawa ...........................................................................
49
SKRIPSI
xiii IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
1
I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Belut merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai nilai
gizi tinggi. Belut sawah merupakan sumber protein hewani yang baik karena kandungan protein yang tinggi mencapai 81,25% serta mangandung 15 asam amino (Alit, 2009). Seperti jenis ikan lainnya, nilai cerna protein pada belut juga sangat tinggi, sehingga sangat cocok untuk sumber protein bagi semua kelompok usia. Belut juga kaya akan zat besi (20 mg/100 gram), lebih tinggi dibandingkan zat besi pada telur dan daging sapi (2,28 mg/100 gram). Selain kadar protein yang tinggi, belut juga memiliki kandungan lemak yang tinggi serta memiliki kandungan kalori yang lebih besar dibandingkan dengan daging sapi (Fadmi, 2013). Terdapat tiga jenis belut yang dikenal di Indonesia, yaitu belut sawah (Monopterus albus), belut rawa (Synbranchus bengalensis) dan belut laut atau sidat (Macrotama caligans dan Anguilla). Belut dan sidat dalam kode ekspor tidak dibedakan menurut spesiesnya, hanya saja dibedakan menjadi tiga yaitu, belut hidup, belut segar dan belut beku. Kebutuhan dunia akan belut dan sidat semakin meningkat setiap tahunnya. Permintaan belut hidup, segar dan beku pada tahun 2007 mencapai 2.189 ton, tahun 2008 meningkat menjadi 2.676 ton dan tahun 2009 dapat mencapai 4.744 ton (Warta Pasar Ikan, 2010). Menurut Pemerintah Kota Surabaya, wilayah Surabaya dibagi menjadi lima bagian yaitu, Surabaya Pusat, Timur, Barat, Utara dan Selatan. Belut yang dipasarkan di Kota Surabaya berasal dari Sidoarjo, Lamongan, Bojonegoro,
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2
Lumajang, dan Probolinggo. Belut yang dipasarkan di kota Surabaya umumnya didapatkan secara alami dari sawah dan dari rawa, oleh sebab itu belut tersebut memiliki potensi yang besar terinfeksi parasit. Rawa merupakan lingkungan perairan yang kualitas airnya bergantung dari alam sehingga akan mempengaruhi kehidupan organisme yang hidup di sekitarnya. Penyakit pada belut ada yang bersifat infeksius dan non infeksius. Penyakit infeksius adalah penyakit akibat parasit, jamur dan bakteri (Yulianti, 2010). Menurut Handayani dan Samsundari (2004) salah satu penyebab penyakit belut adalah parasit. Parasit adalah organisme yang hidup pada tubuh organisme lain dan umumnya menimbulkan efek negatif pada inangnya. Serangan parasit membuat ikan kehilangan nafsu makan, kemudian perlahan-lahan lemas dan berujung kematian. Beberapa penelitian terdahulu melaporkan jenis parasit yang sering ditemukan pada belut adalah cacing. Salah satu cacing yang berbahaya bagi manusia dan hewan vertebrata yang terdapat di dalam tubuh Monopterus albus umumnya adalah dari kelas Nematoda, genus Gnathostoma. Organisme ini sering menginfeksi manusia dan berbagai hewan yang mengkonsumsi belut mentah atau tidak cukup masak, di mana belut mengandung larva cacing. Selain cacing Gnathostoma ditemukan pula jenis cacing Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus (Moravec et al., 2003). Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian mengenai identifikasi dan prevalensi infeksi cacing pada saluran pencernaan belut rawa untuk mengetahui jenis-jenis cacing yang menginfeksi belut rawa dan untuk mengetahui tingkat prevalensinya. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi data acuan upaya mencegah terjadinya penyebaran infeksi cacing pada belut.
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
1.2
3
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini, yaitu :
1. Jenis cacing apa sajakah yang menginfeksi saluran pencernaan belut rawa (Synbranchus bengalensis) yang dipasarkan di kota Surabaya? 2. Berapakah tingkat prevalensi cacing yang menginfeksi saluran pencernaan belut rawa (Synbranchus bengalensis) yang dipasarkan di kota Surabaya? 1.3
Tujuan Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui jenis cacing yang menginfeksi saluran pencernaan belut rawa (Synbranchus bengalensis) yang dipasarkan di kota Surabaya. 2. Untuk mengetahui tingkat prevalensi cacing yang menginfeksi saluran pencernaan belut rawa (Synbranchus bengalensis) yang dipasarkan di kota Surabaya. 1.4 Manfaat Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini yaitu dapat memberikan informasi mengenai cacing yang menginfeksi pada saluran pencernaan belut rawa (Synbranchus bengalensis) dan dapat pula dijadikan acuan untuk kegiatan budidaya belut.
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
4 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Belut Rawa (Synbranchus bengalensis) 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Belut Rawa (Synbranchus bengalensis) Menurut Saanin (1968), klasifikasi Belut Rawa adalah sebagai berikut : Kingdom Phylum Class Order Family Genus Spesies
: Animalia : Chordata : Actinoterygii : Synbranchiformes : Synbranchidae : Synbranchus : Synbranchus bengalensis
Menurut Sarwono (1999), belut memiliki bentuk tubuh yang panjang dan bulat seperti ular, memiliki panjang tubuh 40 - 60 cm, tidak bersisik dan kulitnya licin berlendir, mata kecil hampir tertutup oleh kulit, bentuk gigi yang kecil berbentuk kerucut dengan bibir berupa lipatan kulit yang lebar di sekitar mulutnya. Secara umum punggung belut berwarna kehijau-hijauan dan bagian abdomen berwarna kuning kehitaman. Warna kulit terlihat berkilau dengan gurat sisi yang terlihat jelas untuk menjaga keseimbangan. Sirip anus telah mengalami perubahan bentuk menyerupai lipatan kulit tanpa adanya penyangga jari-jari keras atau lemah. Sirip dada dan sirip punggung hanya berbentuk semacam guratan kulit yang halus. Bentuk ekor pendek dan tirus, badan lebih panjang dari pada ekornya. Hewan ini termasuk ikan karnivora berlambung besar, tebal dan elastis (Roy, 2009). Morfologi belut sawah dapat dilihat pada Gambar 2.1.
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
5 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
A 3
B
1
2
Gambar 2.1. Belut Rawa (Synbranchus bengalensis) (Fadmi, 2013) Keterangan : A. Anterior, B. Posterior, 1. Mulut, 2. Mata, 3. Ekor 2.1.2 Habitat Belut Rawa (Synbranchus bengalensis) Belut hidup di perairan dangkal dan berlumpur, tepian sungai, kanal, serta danau atau rawa dengan kedalaman kurang dari tiga meter. Belut di habitat aslinya hidup pada media berupa 80% lumpur dan 20% air (Roy, 2009). Habitat ikan belut pada umumnya di daerah lumpur atau tanah seperti sawah dan parit sampai kedalaman kurang lebih 10 cm dengan arah lubang pada awalnya vertikal mengarah ke bawah kemudian mendatar (Handojo,1986). Hewan ini mampu bertahan hidup di daerah berlumpur karena selain memiliki insang yang dapat memfilter oksigen dari air, juga mempunyai alat pernafasan tambahan berupa kulit tipis berlendir yang terdapat di bawah rongga mulut (Sarwono,1999). Alat tersebut berfungsi untuk memfilter oksigen secara langsung dari udara. Spesies ini merupakan spesies yang berasal dari Asia, dari utara India dan Burma ke Cina dan kemungkinan ke Jepang, Indonesia, Malaysia dan timur utara Australia (Merrick dan Schmida, 1984).
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
6 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2.2 Cacing pada Saluran Pencernaan Belut Rawa (Synbranchus bengalensis) Parasit adalah organisme yang hidup pada atau di dalam organisme lain dan atas beban organisme yang ditumpanginya yang dikenal sebagai inang dan terdapat dua jenis parasit berdasarkan predileksinya yaitu endoparasit dan ektoparasit (Subekti dan Mahasri, 2012). Endoparasit adalah parasit yang hidup di dalam organ tubuh inangnya. Sedangkan ektoparasit adalah parasit yang hidup dan berkembang di permukaan tubuh inangnya, yaitu pada bagian sisik, insang, kepala dan ekor (Anshary, 2008). Cacing merupakan salah satu golongan atau jenis parasit pada ikan, adapun cacing endoparasit yang ditemukan pada saluran pencernaan belut diantaranya adalah cacing nematoda. Salah satu parasit yang sering ditemukan pada belut adalah dari kelas Nematoda, yaitu genus Gnathostoma. Organisme ini sering menginfeksi manusia dan berbagai hewan yang mengkonsumsi belut mentah atau tidak cukup dimasak, di mana belut mengandung parasit pada tahap larva. Selain cacing Gnathostoma ditemukan pula jenis cacing Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus di danau Liangzi - China (Moravec et al., 2003). Penelitian tentang parasit pada belut rawa (Synbranchus bengalensis) informasinya sangatlah terbatas, sehingga informasi mengenai jenis dan prevalensi parasit pada belut rawa masih sedikit.
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
7 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2.2.1 Gnathostoma spinigerum Klasifikasi Gnathostoma spinigerum menurut Soulsby (1986) adalah : Phylum Class Ordo Subfamili Family Genus Spesies
: Nemathelminthes : Nematoda : Strongylida : Trichosmatidae : Gnathosmatidae : Gnathostoma : Gnathostoma spinigerum
Gnathostoma
spinigerum
merupakan
cacing
yang
dapat
menyebabkan
Gnathostomiasis (Acha and Szyfres, 1987). Dari beberapa genus Gnathostoma, Gnathostoma spinigerum dipelajari lebih detail karena spesies tersebut dapat menginfeksi manusia (Roberts and Janovy, 1996). Cacing tersebut memiliki Cephalic bulb yang berbentuk bulat, Cephalic bulb memiliki empat baris hooklet, pada baris pertama dan ke empat kait lebih kecil dibandingkan tengah memiliki dua bibir atau pscudolabia (BUSKIPM, 2012). Morfologi Gnathostoma spinigerum terdapat pada gambar 2.2
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
8 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
A
B
Gambar 2.2 Morfologi Larva Stadia III Gnathostoma spinigerum (sumber : Sohn and Lee, 1996 ) Keterangan : A) Bagian Anterior, B) Bagian Posterior
Inang definitif dari spesies Gnathostoma spinigerum adalah kucing dan anjing. Ikan air tawar adalah sebagai inang antara kedua, kemudian di tubuh ikan terjadi perkembangan larva. Menurut hasil survei ikan yang dipasarkan di pasar bagian timur Thailand L3 ditemukan 80% pada belut (Miyazaki, 1954 dalam Soulsby, 1986). Sistem pencernaan terdiri dari mulut, esophagus, usus halus dan anus. Gnathostomiasis terjadi akibat memakan ikan atau belut yang terinfeksi Gnathostoma spinigerum tanpa dimasak dengan sempurna. Siklus hidup dari Gnathostoma spinigerum dimulai dari telur dikeluarkan oleh cacing dewasa bersama feses masuk ke dalam air. Telur menetas menjadi larva stadium 1 (L1). Larva stadium 1 bergerak bebas di dalam air dan jika tertelan inang antara 1 (cyclops) maka di dalam tubuh cyclops berkembang menjadi larva stadium II. Perkembangan tersebut terjadi dalam waktu 10-15 hari (Acha and Szyfres, 1987).
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
9 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Jika cyclops tersebut dimakan oleh inang antara II (ikan air tawar atau katak) maka L2 akan berkembang menjadi L3 dalam tubuh ikan atau katak. Jika inang antara II dimakan oleh inang definitif (anjing dan kucing) maka L3 akan berkembang menjadi cacing dewasa. Burung, katak dan ular dapat berperan sebagai inang paratenik karena L3 tidak dapat berkembang pada tubuh hewan tersebut. Manusia dapat terinfeksi jika memakan inang antara II yang kurang sempurna memasaknya. Tetapi dalam tubuh manusia Gnathostoma spinigerum tidak dapat berkembang menjadi cacing dewasa dan tetap menjadi L3, kemudian melakukan migrasi. L3 dapat berkembang menjadi cacing dewasa di dalam tubuh kucing atau anjing (Acha and Szyfres, 1987). Siklus hidup Gnathostoma spinigerum terdapat pada gambar 2.3
Gambar 2.3 Siklus hidup Gnathostoma spinigerum (sumber : Comacho, 2015 ) Keterangan : 1) telur cacing keluar bersama feses inang definitif, 2) telur berkembang menjadi L1, 3) L1 dimakan cyclops (inang antara 1) berkembang menjadi L2, 4) cyclops dimakan ikan (inang antara II) berubah menjadi L3, 5) ikan dimakan inang definitif (kucing dan anjing) kemudian L3 berkembang menjadi cacing dewasa, 6)burung pemakan ikan sebagai inang paratemik, 7) manusia terinfeksi sebagai inang menyimpang (Abberant host) akibat mengkomsumsi ikan mentah.
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
10 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2.2.2 Camallanus cotti Klasifikasi Camallanus cotti menurut Bykhovyskaya et al. (1962) : Phylum Class Ordo Family Genus Spesies
: Nemathelminthes : Nematoda : Camallanoidea : Camallanidae : Camallanus : Camallanus cotti
Cacing Camallanus betina memiliki ukuran panjang 10 mm dan jantan berukuran 3 mm ujung anterior cacing terdiri dari rasping organ yang menembus ke dalam dinding usus dan untuk menempelkan jangkar. Cacing ini memiliki buccal capsule yang dilapisi kutikula yang tebal dan sepasang lekukan pada buccal capsule. Mulut cacing Camallanus berbingkai yang seperti tanduk (Mahasri dkk, 2012). Cacing ini berbentuk panjang dan ramping, silindris, tidak bersegmen dengan kedua ujung meruncing. Mempunyai mulut serta anus, memiliki rongga tubuh semu yang disebut pseudocoelom (Buchmann and Bresciani, 2001). Morfologi cacing Camallanus sp. dapat dilihat pada gambar 2.4.
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
11 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Gambar 2.4 Morfologi Camallanus sp. (sumber : Moravec and justine, 2006) Keterangan : A) cacing dewasa, B) ujung anterior terlihat lateral, C) posterior terlihat lateral Cacing Camallanus membutuhkan copepoda sebagai inang antara dalam siklus hidupnya, kemudian berkembang menjadi dewasa di dalam usus vertebrata tanpa terjadi migrasi jaringan (Roberts and Janovy, 1996). Cyclops dan Gammarus merupakan inang antara cacing Camallanus, namun Daphnia hingga kini belum pernah dilaporkan sebagai inang antara cacing ini. Kebanyakan Camallanus tidak dapat melengkapi siklus hidupnya tanpa inang antara, namun jika tidak menemukan krustasea sebagai inang antara, Camallanus secara tidak biasa dapat melewati stadia ini dan cacing betina dewasa menghasilkan larva stadium I (L1) yang dapat menginfeksi ikan lain secara langsung dengan cara menelan telur yang mengandung L1 yang berasal dari ikan yang terinfeksi (Monks, 2007). Siklus hidup Camallanus dapat dilihat pada gambar 2.5.
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
12 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Gambar 2.5 Siklus hidup Camallanus sp. (sumber : Monks, 2007) 2.2.3 Eustrongylides ignotus Klasifikasi Eustrongylides ignotus menurut Hoffman (1999) adalah : Phylum Class Ordo Family Genus Spesies
: Nemathelminthes : Nematoda : Aenophorea : Dioctophymatoidea : Eustrongylides : Eustrongylides ignotus
Cacing dewasa Eustrongylides ignotus betina memiliki ukuran 53-70 mm sedangkan cacing Eustrongylides ignotus jantan memiliki ukuran 40-42 mm, Cephalic dari cacing ini berbentuk kerucut yang terlihat memiliki 12 labial papillae, disusun pada dua lingkaran dengan masing-masing enam papillae, dilengkapi dua pada bagian lateral, dua pada bagian subventral dan dua pada bagian subdorsal (Xiong et al., 2009). Morfologi cacing Eustrongylides ignotus dapat dilihat pada gambar 2.7.
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
13 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
1 2
A
B
Gambar 2.6 Larva IV Eustrongylides ignotus (Sumber : Xiong et al., 2009) Keterangan : A. Anterior., 1. Labial papillae, B. Posterior, 2. Tiga lapis kutikula Ciri khas dari dari L4 Eustrongylides ignotus adalah memiliki tiga lapisan kutikula pada bagian posterior (Xiong et al., 2009). Dalam siklus hidupnya cacing tersebut membutuhkan copepoda sebagai inang antara 1 dan membutuhkan ikan sebagai inang antara II, kemudian berkembang menjadi dewasa dalam tubuh kelinci, kucing, ayam, bebek, dan menyebabkan radang selaput perut pada burung bangau (Hoffman, 1999). Larva keluar dari uterus Eustrongylides ignotus betina setelah masa inkubasi 1728 hari, durasi proses tersebut tergantung pada lingkungan, L1 merupakan stadia infektif untuk Oligochaeta dan ikan. Saat L1 tertelan Oligochaeta, L1 berkembang menjadi L2, kemudian menjadi L3 dalam waktu 35-77 hari. Dalam tubuh ikan yang terinfeksi, L3 berkembang menjadi L4, cacing tersebut membutuhkan sedikitnya 162 hari untuk bekembang dari L1 menjadi L4. Larva IV Eustrongylides ignotus
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
14 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
merupakan stadia infektif bagi inang definitif (Xiong et al., 2009). Siklus hidup Eustrongylides ignotus terdapat pada gambar 2.8.
Cacing dewasa tumbuh dan berkembang biak di dalam tubuh inang definitif yaitu bangau Ikan karnivora pemakan Mosquitofish Cacing tertelang oleh Mosquitofish (inang anataara II)
Telur tertelan oleh cacing Oligochaeta (inang anatara 1)
Telur menetas di perairan dari feses inang definitif Telur berkembang menjadi telur berembryo di perairan
Gambar 2.7 Siklus Hidup Eustrongylides ignotus (Sumber : Coyner et al., 2002 dalam Xiong et al., 2009)
2.2.4 Pingus sinensis Klasifikasi Pingus sinensis menurut Bykhovyskaya et al. (1962) : Phylum Class Ordo Family Genus Spesies
: Nemathelminthes : Nematoda : Spirurida : Quimperiidae : Pingus : Pingus sinensis
Pingus sinensis pertama kali ditemukan di Korea pada tahun 1924 (Aoyagi, 1979). Pingus sinensis memiliki bentuk tubuh silindris memanjang, terdapat esophagus, dan nerve ring. Mulut terletak pada bagian ujung anterior tubuh. Hal ini sesuai dengan Moravec et al. (2003) yang menyatakan bahwa Pingus sinensis
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
15 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
memiliki saluran pencernaan terdiri dari esophagus dan nerve ring. Pingus sinensis yang memiliki bentuk tubuh yang silindris memanjang, pada cacing jantan memiliki panjang tubuh 4,9-5,8 mm dan memiliki lebar tubuh 0,12 mm sedangkan panjang esophagus pada cacing jantan 0,54-0,59 mm, Pingus sinensis jantan memiliki panjang nerve ring 195-256 µm dari ujung anterior tubuh, dan memiliki panjang spikula 0,06 mm. Cacing betina memiliki panjang tubuh 5,8-6,2 mm dan memiliki lebar tubuh 0,165-0,250 mm, sedangkan ukuran esophagus cacing betina 0,64-0,74 mm dan Pingus sinensis betina memiliki panjang nerve ring 195-218 dari ujung anterior tubuh, (Bykhovyskaya et al 1962). Morfologi Pingus sinensis dapat dilihat pada gambar 2.8. a b c
Gambar 2.8 Morfologi Pingus sinensis (skala bar: 100 µm) (sumber : Takeshi et al., 2000) Keterangan : a. mulut, b. Esophagus, c. nerve ring
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
16 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Siklus hidup Pingus sinensis dimulai dari telur dikeluarkan oleh cacing dewasa bersama feses masuk ke dalam air. Telur menetas menjadi larva stadium 1 (L1). L1 bergerak bebas di dalam air, jika tertelan inang antara 1 maka di dalam tubuh inang antara I berkembang menjadi stadium larva II. Jika inang antara I tersebut dimakan oleh inang antara II (ikan air tawar) maka L2 akan berkembang menjadi L3 dalam tubuh ikan. Apabila inang antara II dimakan oleh inang definitif (burung) maka larva akan berkembang menjadi cacing dewasa (Takeshi et al., 2000). Infeksi Pingus sinensis pada umumnya tidak menunjukkan adanya gejala klinis yang jelas pada ikan. Hal ini menyebabkan sulit mendeteksi adanya parasit pada tubuh ikan, akan tetapi jika dilakukan pembedahan dan dilakukan pengamatan pada bagian organ dalamnya, keberadaan larva endoparasit ini dapat diketahui (Moravec et al., 2003). 2.2.5 Clinostomum complanatum Klasifikasi cacing Clinostomum complanatum menurut Kabata (1985) Phylum Class Ordo Family Genus Spesies
: Platyhelminthes : Trematoda : Digenea : Clinostomidae : Clinostomum : Clinostomum complanatum
Clinostomum merupakan parasit pada burung pemakan ikan dan mamalia (Beaver et al., 1984). Menurut Dias et al. (2003) beberapa moluska merupakan inang antara 1 Clinostomum complanatum. Ikan merupakan inang antara II dari Clinostomum complanatum dalam tubuh ikan air tawar cacing tersebut berkembang
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
17 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
dari cercaria menjadi metacercaria. Metacercaria genus Clinostomum complanatum memiliki panjang tubuh 2,9-4,3 mm dan lebar 0,8-1,2 mm (McAllister, 1990). Morfologi Clinostomum complanatum dapat dilihat pada gambar 2.9.
1 2 3 4
Gambar 2.9 Morfologi Clinostomum complanatum (skala : 1,04 mm) (sumber : Shareef and abidi, 2012) Keterangan : 1. Oral sucker, 2. Acetabulum, 3. Saluran pencernaan, 4. Testis Siklus hidup Clinostomum complanatum menurut Aohagi et al. (1992) parasit dewasa ditemukan pada burung seperti burung bangau biru (heron), cacing melekat dengan menggunakan otot-otot sucker. Telur dikeluarkan dari cacing dewasa dan masuk ke perairan ketika burung sedang makan. Mirasidium yang dilengkapi dengan silia akan keluar dari telur, berenang di dalam air dan memiliki stylet atau tonjolan duri untuk penetrasi pada inang perantara pertama yaitu siput. Di dalam tubuh siput, mirasidium berkembang menjadi sporokista. Sporokista berisi stadium redia, redia berisi serkaria yang keluar dengan berenang bebas di dalam air dan kontak dengan ikan yang cocok sebagai inang perantara kedua. Serkaria melakukan penetrasi melalui
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
18 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
kulit ikan di dalam otot inangnya, melepaskan ekornya dan membentuk kista yang kemudian disebut dengan yellow grub. Pada saat burung memakan ikan yang terinfeksi metaserkaria, dan berkembang menjadi cacing dewasa. Siklus hidup Clinostomum complanatum dapat dilihat pada gambar 2.10.
Cercaria berkembang menjadi metacercaria ditubuh ikan
Cacing berkembang menjadi dewasa di dalam tubuh inang definitif
Bangau terinfeksi karna makan ikan
Telur menetas diperairan inang definitif menjadi mirasidium
Cercaria menginfeksi tubuh ikan
Mirasidium berkembang enjadi sporokista, redia kemudian cercaria didalam tubuh helisoma snail
Mirasidium memasuki tubuh helisoma snail
Cercaria keluar dari tubuh siput dan mencari inag antara II yaitu ikan
Gambar 2.10 Siklus Hidup Clinostomum complanatum (Sumber : Shareef and abidi, 2012)
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
19 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
III KERANGKA KONSEPTUAL
3.1 Kerangka Konseptual Belut merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai nilai gizi tinggi. Belut sawah merupakan sumber protein hewani yang baik karena kandungan protein yang tinggi mencapai 81,25% serta mangandung 15 asam amino (Alit, 2009). Belut yang dipasarkan di kota Surabaya merupakan hasil tangkapan alam dan budidaya, dengan demikian belut tersebut memiliki kemungkinan yang besar untuk terserang penyakit parasiter. Menurut Handayani dan Samsundari (2004) salah satu penyebab penyakit belut adalah parasit. Parasit adalah organisme yang hidup pada atau di dalam organisme lain dan atas beban organisme yang ditumpanginya yang dikenal sebagai inang (Subekti dan Mahasri, 2012). Penularan parasit dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, antara lain melalui kontak langsung antara ikan sakit dan ikan sehat, bangkai ikan sakit maupun melalui air. Mekanisme penularan lainnya adalah melalui peralatan dan melalui pemindahan ikan dari daerah wabah dan ke daerah yang bukan wabah (Sunarto, 2005). Adapun cacing endoparasit yang ditemukan pada saluran pencernaan belut dari kelas nematoda. Salah satu parasit yang ditemukan adalah Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus. Menurut Moravec et al. (2003) Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus menginfeksi Monopterus albus di perairaan danau Liangzi China. Bagan kerangka konsep dapat dilihat pada Gambar 3.1.
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
20 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Belut Rawa (Synbranchus bengalensis) Dipasarkan di Kota Surabaya
Budidaya
Ditangkap dari Alam
Kondisi Belut
Penyakit Penyakit Non Infeksius
Bakteri
Penyakit Infeksius
Parasit
Virus
Jamur
Endoparasit
Ektoparasit
Cacing Saluran Pencernaan
Identifikasi
Prevalensi
Gambar 3.1. Kerangka konseptual penelitian Ket :
Aspek yang diteliti Aspek yang tidak diteliti
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
21 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
IV METODOLOGI
4.1 Tempat dan Waktu Tempat pengambilan sampel dilakukan ditempat agen-agen belut yang terdapat di Kota Surabaya Pusat, Surabaya Timur, Surabaya Barat, Surabaya Utara dan Surabaya Selatan. Penelitian ini dilakukan di laboratorium pendidikan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga pada September-November 2015. 4.2 Materi Penelitian 4.2.1 Peralatan Penelitian Peralatan yang digunakan untuk mengambil sampel yaitu ember plastik, dan nampan plastik. Peralatan yang digunakan untuk identifikasi cacing yaitu mikroskop binokuler dengan kamera lucida, penggaris, cawan petri, pisau bedah (scalpel), gunting bedah, pinset, object glass, pot sampel, pipet, baker glass, mikrotube, cover glass, tabung sentrifus, dan mesin sentrifus. 4.2.2 Bahan Penelitian Bahan yang diperlukan dalam proses identifikasi parasit pada belut rawa (Synbranchus bengalensis) adalah 75 ekor belut rawa sampel (10% populasi) yang didapat dari lima agen atau pengepul belut rawa di wilayah Surabaya dengan kisaran panjang tubuh 40-60 cm. Bahan lain yang diperlukan untuk proses identifikasi pewarnaan yaitu alkohol gliserin 5%, alkohol asam, alkohol basa, alkohol 70%, larutan Carmine, alkohol 85%, alkohol 95% dan Entelan (Kuhlman, 2006)
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
22 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
4.3 Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan metode survey melalui pengambilan sampel pada lokasi secara langsung untuk mengidentifikasi jenis parasit pada belut rawa (Synbranchus bengalensis) dan menghitung prevalensinya. Lokasi pengambilan sampel belut ditentukan dengan metode purposive sampling (Sangadji dan Sopiah, 2010). 4.4 Prosedur Kerja 4.4.1 Persiapan Alat dan Bahan Persiapan yang dilakukan adalah mempersiapkan alat yaitu gunting, pinset, pisau bedah dan nampan. Selanjutnya mempersiapkan belut sampel yang akan diamati. 4.4.2 Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan di agen atau pengepul belut di kota Surabaya, masing-masing di ambil sampel sebanyak 10% dari total jumlah belut yang di jual setiap harinya, kira kira jumlah total penjualan seluruh agen per hari sebanyak 750 ekor belut. Pengambilan sampel dilakukan di lima agen belut di Surabaya yang mewakili setiap wilayah bagiannya yaitu agen belut Karah mewakili Surabaya Selatan, agen belut Simo, Banyu Urip mewakili Surabaya Barat, agen belut Keputran mewakili Surabaya Pusat, agen belut Mulyosari mewakili Surabaya Timur dan agen belut Krembangan mewakili Surabaya Utara. Menurut survey, belut rawa (Synbranchus bengalensis) memiliki kisaran panjang tubuh antara 40-60 cm. Di agen
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
23 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
belut Karah (Lokasi A) menjual belut rawa dengan rata-rata 150 ekor setiap harinya maka sampel pada tempat ini diambil sebanyak 15 ekor, agen belut Simo (Lokasi B) menjual belut rawa rata-rata 200 ekor per hari maka sampel diambil sebanyak 20 ekor, agen belut Keputran (Lokasi C) menjual belut rawa rata-rata 150 ekor per hari maka sampel diambil sebanyak 15 ekor, agen belut Mulyosari (Lokasi D) menjual belut rawa rata-rata 100 ekor per hari maka sampel diambil sebanyak 10 ekor dan agen belut Krembangan (Lokasi E) menjual belut rawa rata-rata 150 ekor per hari maka sampel diambil sebanyak 15 ekor. Belut yang dipasarkan berasal dari Kota Lamongan, Bojonegoro, Lumajang, dan Probolinggo. Pengambilan sampel dengan keadaan hidup, sehingga total sampel yang diambil sebenyak 75 ekor. Sampel dimasukkan ke dalam plastik dengan keadaan hidup lalu dibawa ke Laboratorium Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga untuk dilakukan Identifikasi.
4.4.3
Pemeriksaan dan Identifikasi Cacing pada Saluran Pencernaan Belut Rawa Sampel diambil kemudian diletakkan di atas nampan, kemudian belut
ditimbang dan diukur panjangnya. Dilakukan pembedahan dengan menggunting perut bagian bawah perut dari anterior tubuh sampai pada bagian sirip ventral, kemudian digunting ke arah dorsal belut sampai pada bagian gurat sisi lalu digunting mengarah pada bagian anal ikan. Lambung belut dan usus dipotong kemudian disimpan di dalam alkohol gliserin 5% untuk dilakukan pemeriksaan parasit. Pemeriksaan parasit saluran pencernaan belut dilakukan dengan mengeluarkan feses dengan cara diurut mengarah ke ujung posterior usus. Feses yang telah keluar kemudian diletakkan di
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
24 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
atas object glass dan ditetesi air kemudian diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 100x. Identifikasi parasit dilakukan berdasarkan Kabata (1985), Hoffman (1998), Moravec et al. (2003) dan Bykhovskaya et al. (1962). Selain pemeriksaan cacing dilakukan juga pemeriksaan telur cacing, pemeriksaan telur cacing dilakukan dengan metode konsentrasi, yaitu metode centrifuge sederhana dengan cara kerja mencampurkan feses dengan air sebanyak sembilan kali volume feses lalu diaduk sampai tercampur kemudian larutan feses dimasukkan dalam tabung pemusing (centrifuge tube) selama tiga menit dengan kecepatan 2000 rpm. Setelah itu, supernatan dibuang dan diganti dengan air. Larutan yang telah diganti air itu diaduk sampai tercampur lalu disentrifugasi (centrifuge) dengan kecepatan 2000 rpm selama tiga menit, kemudian larutan permukaan (supernatan) dibuang lagi dan endapan diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x dan 400x. Apabila ditemukan telur cacing pada saluran pencernaan ikan kembung, dilanjutkan dengan proses pewarnaan (Kuhlmann, 2006). 4.4.4 Metode Pewarnaan Pewarnaan cacing menggunakan metode Semichen-Acetic Carmine yang mengacu pada Kuhlman (2006) yang di modifikasi dengan cara cacing disimpan dalam alkohol gliserin 5% lalu di fiksir di antara dua object glass dan ikat kedua ujungnya dengan benang. Kemudian dimasukkan dalam alkohol 70% selama lima menit. Setelah itu, memindahkan cacing dalam larutan carmine yang sudah diencerkan dengan alkohol 70% dengan perbandingan 1 : 2, dibiarkan selama 24 jam,
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
25 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
kemudian cacing dilepas dari object glass, lalu dipindahkan dalam larutan alkohol asam selama dua menit (alkohol 70% + HCl). Setelah selesai, dipindahkan dalam larutan alkohol basa selama 20 menit (alkohol 70% + NaHCO3). Selanjutnya dilakukan dehidrasi bertingkat dengan alkohol 70% selama lima menit, alkohol 85% selama lima menit dan alkohol 95% selama lima menit. Kemudian dilakukan mounting dengan menggunakan larutan entelan, cacing diambil lalu di letakkan di object glass, dan ditetesi entelan, kemudian menutup dengan cover glass. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Persiapan alat dan bahan
Pengambilan sampel
Pemeriksaan sampel
Perhitungan Prevalensi
Pewarnaan Semichen-Acetic Carmine
Identifikasi Gambar 4.1 Diagram Alir Prosedur Penelitian
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
26 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
4.5 Parameter Penelitian Parameter yang utama yang diamati dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi dan menghitung tingkat prevalensi endoparasit cacing yang menginfeksi belut rawa (Synbranchus bengalensis) yang dipasarkan di kota Surabaya. Prevalensi jenis endoparasit cacing pada belut rawa dihitung dengan cara berikut ini (Hoffman, 1967): Prevalensi =
Jumlah Belut Rawa yang Terinfeksi Endoparasit x 100% Jumlah Belut Rawa yang Diperiksa
Kategori prevalensi infestasi cacing ektoparasit adalah sebagai berikut : Tabel 4.1.Kategori prevalensi cacing endoparasit parasit. Kategori Infestasi Almost never Very rarely Rarely Occasional Often Commonly Frequenly Usualy Almost always Always Sumber: Williams and Williams (1996) Kategori always
Rentang Nilai (%) <0,01 <0,1-0,01 <1-0,1 1-9 10-29 30-49 50-69 70-89 90-98 99-100
atau selalu menggambarkan bahwa parasit selalu
menginfestasi ikan (99-100%). Kategori almost always atau hampir selalu menggambarkan bahwa parasit hampir selalu menginfestasi ikan dan tingkat infestasi yang ditimbulkan parah (98-99%). Kategori usually atau biasanya menggambarkan parasit biasanya menginfestasi ikan (70-89%). Kategori frequently atau sering kali
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
27 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
menggambarkan bahwa parasit tersebut sering kali menginfestasi ikan (50-69%). Kategori commonly atau biasa menggambarkan bahwa parasit tersebut biasa menginfestasi ikan (30-49%). Kategori often atau sering menggambarkan bahwa parasit tersebut sering menginfestasi ikan (10-29%). Kategori occasionally atau kadang-kadang menggambarkan bahwa parasit kadang-kadang menginfestasi ikan. Kategori rarely atau jarang menggambarkan bahwa parasit tersebut jarang menginfestasi
ikan
(0,1-<1%).
Kategori
very
rarely
atau
sangat
jarang
menggambarkan bahwa parasit tersebut sangat jarang menginfestasi ikan (0,01<0,1%). Kategori almost never atau tidak pernah menggambarkan bahwa parasit tersebut tidak pernah menginfestai ikan. 4.6 Analisis Data Data hasil identifikasi parasit yang menginfeksi belut rawa (Synbranchus bengalensis) dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk gambar dan tabel. Nilai prevalensi parasit dihitung dan disajikan dalam bentuk tabel (Azwar, 2010).
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
28 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Hasil Penelitian
5.1.1
Identifikasi Cacing pada Saluran Pencernaan Belut Rawa (Synbranchus bengalensis) Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 75 ekor sampel belut rawa
(Synbranchus bengalensis) yang dipasarkan di Kota Surabaya, Jawa Timur ditemukan adanya cacing endoparasit. Hasil identifikasi cacing endoparasit sesuai kunci identifikasi parasit oleh Kabata (1985), Hoffman (1998), Moravec et al. (2003) dan Bykhovskaya et al. (1962) dapat dilihat pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Hasil identifikasi cacing endoparasit yang menginfeksi belut rawa yang dipasarkan di Kota Surabaya, Jawa Timur No
Jenis endoparasit
Organ terinfeksi
1
Pingus sinensis
Permukaan luar dinding usus (Penetrasi)
2
Eustrongylides ignotus
Permukaan luar dinding usus (Penetrasi)
Hasil identifikasi terhadap cacing endoparasit pada saluran pencernaan belut rawa (Synbranchus bengalensis) yang dipasarkan di Kota Surabaya ditemukan dua jenis cacing endoparasit yang berasal dari kelas Nematoda yaitu L3 Pingus sinensis dan L4 Eustrongylides ignotus. L3 Pingus sinensis dan L4 Eustrongylides ignotus ditemukan menginfeksi bagian permukaan luar dinding usus (penetrasi) belut rawa.
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
29 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
5.1.1.1. Larva Stadium Tiga (L3) Pingus sinensis Identifikasi cacing dilakukan berdasarkan ciri morfologi. Cacing yang ditemukan pada saluran pencernaan belut rawa merupakan cacing yang termasuk classis Nematoda karena memiliki bentuk tubuh tubuh silindris memanjang, memiliki esophagus, ventrikulus, dan nerve ring. L3 Pingus sinensis yang ditemukan pada penelitian ini berwarna putih susu kemerahan, pada bagian mulut terdapat papillae, bentuk tubuh silindris memanjang, panjang tubuh 5,0-5,6 mm dan memiliki lebar tubuh 0,12 mm sedangkan panjang esophagus 0,54-0,59 mm, L3 Pingus sinensis memiliki panjang nerve ring 197-250 µm dari ujung anterior tubuh, dan memiliki panjang spikula 0,06 mm. Hasil identifikasi secara morfologi, cacing dideskripsikan sebagai berikut: Spesies Pingus sinensis, Genus Pingus, Family Quimperiidae, Ordo Spirurida, Class Nematoda, dan Phylum Nemathelminthes. Dari deskripsi di atas, cacing endoparasit ini termasuk ke dalam spesies Pingus sinensis yang sesuai dengan deskripsi Moravec et al. (2003) yang menemukan Channa argus yang terinfeksi L3 Pingus sinensis di danau Boa’an, Hubey-China. Morfologi L3 Pingus sinensis yang digambar dengan menggunakan mikroskop binokuler dilengkapi dengan kamera Lucida ditunjukkan pada Gambar 5.1.
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
30 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
a
a
b
d
b
d
c
c e
e
f f
A
B
C
D
Gambar 5.1 Larva stadium tiga Pingus sinensis. Keterangan: A. bagian anterior L3 Pingus sinensis dengan kamera lucida, B. bagian posterior L3 Pingus sinensis dengan kamera lucida, 100x (skala bar : 10µm), C. bagian anterior L3 Pingus sinensis dengan perwarnaan Semichen Acetic Carmine, D. bagian posterior L3 Pingus sinensis dengan Semichen Acetic Carmine 100x (skala bar : 10µm); a. mulut, b. esophagus, c. nerve ring, d. ventrikulus, e. anal, f. Ekor.
5.1.1.2. Larva Stadium Empat (L4) Eustrongylides ignotus Larva stadium empat Eustrongylides ignotus yang ditemukan pada usus belut rawa termasuk cacing kelas nematoda karena memiliki tubuh gilik memanjang dan tidak bersegmen. Bagian posterior cacing tersebut terlihat memiliki tiga lapisan kutikula, sedangkan bagian anterior cacing memiliki labial papillae dengan masingmasing enam papillae, dilengkapi dua pada bagian lateral, dua pada bagian subventral dan dua pada bagian subdorsal sehingga cacing yang ditemukan termasuk larva stadia IV.
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
31 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Pada pemeriksaan cacing pada saluran pencernaan belut rawa, L4 Eustrongylides ignotus ditemukan berbentuk silindris memanjang dengan ukuran 5060 mm, berwarna merah kehitaman, memiliki panjang esophagus 8,704 mm, dan memiliki spikula. Cacing jantan memiliki spikula pada bagian posterior, hal ini yang membedakan cacing jantan dan betina. Saluran pencernaan cacing ini terlihat seperti rantai DNA. Ikan merupakan inang antara kedua, didalam tubuh ikan terjadi perkembangan (L3) menjadi (L4). Hasil identifikasi secara morfologi tersebut, cacing dapat
dideskripsikan
Dioctophymatoidea,
sebagai Ordo
berikut:
Aenophorea,
Genus Class
Eustrongylides, Nematoda,
dan
Family Phylum
Nemathelminthes. Dari deskripsi di atas, cacing endoparasit ini termasuk ke dalam spesies Eustrongylides ignotus yang sesuai dengan deskripsi dari Hoffman (1999). Hasil gambar cacing dengan menggunakan mikroskop binokuler yang dilengkapi dengan kamera lucida terdapat pada gambar 5.2.
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
32 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
a a c c b b d d e
e
100 µm A
B
C
D
Gambar 5.2 Larva stadia empat Eustrongylides ignotus Keterangan: A. bagian anterior L4 Eustrongylides ignotus dengan kamera lucida, B. bagian posterior L4 Eustrongylides ingnotus dengan kamera lucida, 100x (skala bar : 100µm), C. bagian anterior L4 Eustrongylides ignotus dengan perwarnaan Semichen Acetic Carmine, D. bagian posterior L4 Eustrongylides ingnotus dengan Semichen Acetic Carmine 100x (skala bar : 100µm); a. Labial pappilae, b. osephagus, c. ventrikulus, d. spikula, e. tiga lapisan kutikula. 5.1.2
Prevalensi Cacing pada Saluran Pencernaan Belut Rawa (Synbranchus bengalensis) Hasil pengamatan menunjukkan prevalensi cacing Pingus sinensis dan
Eustrongylides
ignotus
yang
menginfeksi
saluran
pencernaan
belut
rawa
(Synbranchus bengalensis) dapat dilihat pada Tabel 5.2.
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
33 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Tabel 5.2.
Lokasi Pengambilan Sampel
Prevalensi Cacing Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus Pada Saluran Pencernaan Belut Rawa (Synbranchus bengalensis) Yang Dipasarkan di Kota Surabaya, Jawa Timur Jumlah Belut Jumlah Belut Jumlah Belut yang Prevalensi yang Diperiksa yang Terinfeksi Cacing (%) Terinfeksi (Ekor) (Ekor) (Ekor) a
b
Ab
Agen Karah Lokasi (A)
15
5
-
-
5
33,3
Agen Simo Lokasi (B)
20
6
-
6
-
30
Agen Keputran Lokasi (C)
15
4
-
-
4
26,7
Agen Mulyosari Lokasi (D)
10
3
-
-
3
30
Agen Kerembangan Lokasi (E)
15
4
4
-
-
26,7
Jumlah
75
22
4
6
12
Rata-Rata 29,3
5,3
8
16
Prevalensi (%)
Keterangan : a : infeksi tunggal Pingus sinensis b: infeksi tunggal Eustrongylides ignotus ab : infeksi campuran Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus
Hasil pemeriksaan sampel menunjukkan bahwa tingkat prevalensi infeksi cacing L3 Pingus sinensis dan L4 Eustrongylides ignotus pada lokasi lokasi A sebesar 33,3%, lokasi B sebesar 30%, lokasi C belut rawa sebesar 26,7%, lokasi D sebesar 30% dan lokasi E sebesar 26,7%. Prevalensi L3 Pingus sinensis dan L4
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
34 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Eustrongylides ignotus tertinggi yang ditemukan sebesar 33,3%. Cacing Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus tersebut ditemukan pada bagian luar dinding usus (Penetrasi) belut rawa. Prevalensi rata-rata belut rawa dipasarkan di Kota Surabaya yang terinfeksi L3 Pingus sinensis dan L4 Eustrongylides ignotus sebesar 29,3% (22 sampel terinfeksi dari total 75 sampel). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat prevalensi setiap pengambilan sampel bervariasi. Hasil pemeriksaan sampel menunjukkan bahwa dalam satu ekor sampel dapat terinfeksi satu cacing hingga lebih dari satu cacing endoparasit. Dari 75 ekor sampel yang diperiksa, terdapat 6 ekor sampel yang terinfeksi tunggal cacing Eustrongylides ignotus dan 4 sampel yang terinfeksi tunggal cacing Pingus sinensis. Selain itu, juga terdapat belut rawa yang terinfeksi campuran cacing Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus sebesar 12 dari 75 ekor yang diperiksa. Selain itu dilakukan perhitungan prevalensi infeksi tunggal dan campuran. Prevalensi belut rawa yang terinfeksi tunggal cacing Pingus sinensis sebesar 5,3 % dan belut rawa yang terinfeksi tunggal Eustrongylides ignotus sebesar 8%, sedangkan belut rawa yang terinfeksi campuran Eustrongylides ignotus dan Pingus sinensis sebesar 16%.
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
35 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
5.2
Pembahasan
Berdasarkan hasil pemeriksaan kedua cacing yang diidentifikasi berdasarkan morfologi didapatkan dua spesies cacing endoparasit yang menginfeksi saluran pencernaan belut rawa yang dipasarkan di Kota Surabaya, Jawa Timur yaitu L3 Pingus sinensis dan L4 Eustrongylides ignotus. Cacing tersebut ditemukan menginfeksi belut rawa sesuai dengan Moravec et al. (2003) yang menemukan Channa argus yang terinfeksi Pingus sinensis di danau Boa’an, Hubey - China dan Monopterus albus yang terinfeksi Eustrongylides ignotus di danau Liangzi, Hubey China. Cacing endoparasit yang ditemukan pada penelitian ini termasuk dalam Phylum Nemathelmintes, Kelas Nematoda, Ordo Spirurida, Family Quimperiidae, Genus Pingus, Spesies Pingus sinensis. Cacing Pingus sinensis yang ditemukan pada penelitian ini berwarna putih susu kemerahan, pada bagian mulut terdapat papillae, bentuk tubuh silindris memanjang, panjang tubuh 5,0-5,6 mm dan memiliki lebar tubuh 0,12 mm sedangkan panjang esophagus 0,54-0,59 mm, L3 Pingus sinensis memiliki panjang nerve ring 197-250 µm dari ujung anterior tubuh, dan memiliki panjang spikula 0,06 mm. Hal ini sesuai dengan Bykhovyskaya et al. (1962) yang menyatakan bahwa L3 Pingus sinensis yang ditemukan memiliki bentuk tubuh yang silindris memanjang, pada bagian mulut terdapat papillae, pada cacing jantan memiliki panjang tubuh 4,9-5,8 mm dan memiliki lebar tubuh 0,12 mm sedangkan panjang esophagus pada cacing jantan 0,54-0,59 mm, Pingus sinensis jantan memiliki
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
36 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
panjang nerve ring 195-256 µm dari ujung anterior tubuh, dan memiliki panjang spikula 0,06 mm. Cacing betina memiliki panjang tubuh 5,8-6,2 mm dan memiliki lebar tubuh 0,165-0,250 mm, sedangkan ukuran esophagus cacing betina 0,64-0,74 mm dan Pingus sinensis betina memiliki panjang nerve ring 195-218 µm dari ujung anterior tubuh. Cacing ini memiliki siklus hidup dimulai dari telur dikeluarkan oleh cacing dewasa bersama feses masuk ke dalam air. Telur menetas menjadi larva stadium 1 (L1). L1 bergerak bebas di dalam air, jika tertelan inang antara 1 maka di dalam tubuh inang antara I berkembang menjadi stadium larva II. Jika inang antara I tersebut dimakan oleh inang antara II (ikan air tawar) maka L2 akan berkembang menjadi L3 dalam tubuh ikan. Apabila inang antara II dimakan oleh inang definitif (burung) maka larva akan berkembang menjadi cacing dewasa (Takeshi et al., 2000). Infeksi cacing Pingus sinensis pada umumnya tidak menunjukkan adanya gejala klinis yang jelas pada ikan. Hal ini menyebabkan sulit mendeteksi adanya parasit pada tubuh ikan, akan tetapi jika dilakukan pembedahan dan dilakukan pengamatan pada bagian organ dalamnya, keberadaan larva endoparasit ini dapat diketahui. Pada belut rawa yang diperiksa tidak hanya ditemukan larva stadia III Pingus sinensis tetapi juga ditemukan larva stadia IV Eustrongylides ignotus yang menempel pada bagian luar permukaan dinding usus. Cacing Eustrongylides ignotus ini temasuk Phylum Nemathelminthes, Class Nematoda,
Ordo
Aenophorea,
Family
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
Dioctophymatoidea,
dan
Genus
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
37 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Eustrongylides. Dari deskripsi di atas, cacing endoparasit ini termasuk ke dalam spesies Eustrongylides ignotus yang sesuai dengan deskripsi dari Hoffman (1999). Cacing ini berbentuk silindris memanjang, berwarna merah kehitaman, bagian posterior cacing tersebut terlihat memiliki tiga lapisan kutikula, sedangkan bagian anterior cacing memiliki labial papillae dengan masing-masing enam papillae, dilengkapi dua pada bagian lateral, dua pada bagian subventral dan dua pada bagian subdorsal sehingga cacing yang ditemukan termasuk larva stadia IV. Hal ini sesuai dengan Xiong et al. (2009) yang menyatahkan larva stadia IV Eustrongylides ignotus memiliki ciri-ciri Cephalic dari cacing ini berbentuk kerucut yang terlihat memiliki 12 labial papillae, disusun pada dua lingkaran dengan masing-masing enam papillae, dilengkapai dua pada bagian lateral, dua pada bagian subventral dan dua pada bagian subdorsal. Pada pemeriksaan cacing pada saluran pencernaan belut rawa, L4 Eustrongylides ignotus ditemukan berbentuk silindris memanjang dengan ukuran 50-60 mm, berwarna merah kehitaman, memiliki panjang esophagus 8,704 mm, dan memiliki spikula. Hal ini sesuai dengan Xiong et al. (2009) yang menyatakan Cacing dewasa Eustrongylides ignotus betina memiliki ukuran 53-70 mm sedangkan cacing Eustrongylides ignotus jantan memiliki ukuran 40-42 mm. Menurut Hoffman (1999) cacing jantan memiliki spikula pada bagian posterior, hal ini yang membedakan cacing jantan dan betina dan saluran pencernaan cacing ini terlihat seperti rantai DNA. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Moravec et al. (2003)
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
38 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Eustrongylides ignotus menginfeksi Monopterus albus di danau Liangzi, Hubey China. Ciri khas dari dari L4 Eustrongylides ignotus adalah memiliki tiga lapisan kutikula pada bagian posterior (Xiong et al., 2009). Dalam siklus hidupnya cacing tersebut membutuhkan copepoda sebagai inang antara 1 dan membutuhkan ikan sebagai inang antara II, kemudian berkembang menjadi dewasa dalam tubuh kelinci, kucing, ayam, bebek, dan menyebabkan radang selaput perut pada burung bangau (Hoffman, 1999). Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap 75 ekor sampel belut rawa diperoleh hasil 22 ekor belut rawa positif terinfeksi cacing endoparasit. Berdasarkan hasil tersebut maka diperoleh nilai prevalensi sebesar rata-rata 29,3%. Pada penelitian ini, ditemukan infeksi tunggal L3 Pingus sinensis dengan tingkat prevalensi sebesar 4% dan infeksi tunggal L4 Eustrongylides ignotus tingkat infeksi sebesar 8%. Sedangkan tingkat prevalensi campuran infeksi L3 Pingus sinensis dan L4 Eustrongylides ignotus sebesar 16%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa cacing Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus sering menginfeksi belut hal tersebut sesuai dengan pernyataan Williams and Williams (1996), yang menyatakan bahwa kategori often atau sering menggambarkan bahwa parasit tersebut sering menginfestasi ikan apabila nilai rata-rata prevalensi yang didapatkan sebesar 10-29%. Bervariasinya prevalensi pada setiap pengambilan sampel dapat dipengaruhi oleh perbedaan ukuran belut. Seringnya belut rawa terinfeksi cacing endoparasit dipengaruhi oleh banyak hal diantaranya adalah kondisi lingkungan perairan tersebut.
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
39 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Selain itu, keberadaan organisme kecil seperti crustacea sebagai makanan bagi belut sekaligus inang perantara pertama juga mempengaruhi keberadaan cacing endoparasit pada tubuh ikan. Parasit masuk ke dalam lingkungan sekitar terbawa oleh arus maupun organisme air. Beberapa organisme air dapat berperan sebagai inang antara parasit sehingga ketika termakan oleh belut rawa parasit yang ada di dalamnya juga menginfeksi belut. Hal ini sesuai dengan Yamaguti (2009) yang menyebutkan bahwa keberadaan endoparasit dalam tubuh ikan juga dipengaruhi oleh adanya organisme invertebrata seperti crustacea dan molusca di sekitar lokasi budidaya yang bertindak sebagai inang antara pembawa parasit. Dengan demikian untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit cacing kedaerah lain perlu dilakukan pemeriksaan sampel yang akan dikirim keluar daerah maupun keluar negeri sehingga tidak terjadi penyebara infeksi cacing.
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
40 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan
1.
Berdasarkan hasil identifikasi cacing pada saluran pencernaan belut rawa (Synbranchus bengalensis) yang dipasarkan di Kota Surabaya, Jawa Timur di temukan larva cacing Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus.
2.
Prevalensi belut rawa (Synbranchus bengalensis) yang dipasarkan di Kota Surabaya, Jawa Timur belut rawa positif terinfeksi cacing endoparasit. Berdasarkan hasil tersebut maka diperoleh nilai prevalensi sebesar rata-rata 29,3% menunjukkan bahwa cacing Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus masuk kedalam kategori Often atau sering menginfeksi belut.
6.2
Saran Dengan ditemukannya cacing Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus pada
saluran pencernaan belut rawa (Synbranchus bengalensis), perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk pengendalian endoparasit sebagai upaya pengembangan usaha budidaya belut di Indonesia.
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
41 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR PUSTAKA
Acha, P. N and B. Szyfres. 1987. Zoonoses and Communicable Diseases Common to Man and Animals. American Health Organization. Washington, D. C. 435 p. Alit, I. G. K. 2009. Pengaruh Padat Penebaran terhadap Pertambahan Berat dan Panjang badan Belut Sawah (Monopterus albus). Jurnal Biologi XII (1) : 2528. Anshary. 2008. Tingkat Infeksi Parasit Pada Ikan Mas Koi (Cyprinus carpio) Pada Beberapa Lokasi Budidaya Ikan Hias di Makassar dan Gowa. Jaringan Sains dan Teknologi. 8 (2) : 139-147. Aohagi Y, Shibahara T, Machid N, Yamaga Y and Kagota K. 1992. Clinostomum complanatum (Trematoda: Clinostomatidae) in Five New Fish Hosts in Japan. Journal Wild Disease. 28 (3): 467-469. Aoyogi, H. 1979. General Notes on the Freshwater fisher of the japanese Archipelago. 1-20pp. Tansuigyo Hokogyokai, osaka. Japan. Azwar, S. 2010. Metode Penelitian. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hal 83. Balai Uji Standar Karantina Ikan (BUSKIMP), Pengendalihan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan, 2012. Laporan Hasil Uji. Jakarta. 119 hal. Beaver PC, Jung RC and Cupp EW. 1984. Clinical parasitology, Lea and Fibger, Philadelphia. Brands, S. J. (1998). The Taxonomicon. Universal Taxonomic Services Swaag. Accessed at http://zipcodezoo.com/Animals/A/Alloeradium_isoporum/April 28 2013. Buchmann, K. and J. Bresciani. 2001. An Introduction to Parasitic Diseases of Freshwater Trount. Denmark. DSR Publisher.
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
42 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Bykhovskaya , P. L. E, Pavlovskaya, A. V. Gusev, M. N. Dubinina, N. A. Izyomuva, T. S. Smirnova, I. L. Sokolovskaya, G. A. Shtein, S. S. Shul’man, V. M. Epshtein. 1962. Class Trematoda In O. N. Bauer (ed), Key to Parasites of Freshwater Fish of the USSR. Vo1. 3. Parasitic Metazoa (part 2). 77−198 pp. In Russian. Camacho, S. P. D. 2009. Gnathosomiasis. www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/gnathostomiasis.html. 12/12.2015.
diakses
pada
Coyner, D. F, Marilyn, G. S. And Donald, J. F. 2002. Epizootiology of Eustrongylides ignotus In Florida Distribution, Density and Natural Infections in Intermediate Host. USA. Journal of Wildlife Diseases 90 : 190-198. Dias M.L.G.C, Eiras J.C, Machado M.H, Souza G.T.R and Pavanelli G.C. 2003. The life cycle of Clinostomum complanatum Rudolphi, 1819. (Digenea, Clinostomidae) on the floodplain of the High Parana River, Brazil. Journal of Parasitology. 89: 506-508. Fadmi, A. 2013. Studi Pemanfaatan Padi Sagu (Metroxylon sp.) dan Daging Belut (Monopterus albus) dalam Pembuatan Sosis. Skripsi. Teknologi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Riau. Pekanbaru. 115 hal. Grabda, J. 1991. Marine Fish Parasitology. Polish Scientific Publishers, Warsawa.142-155 Handayani dan Samsundari, S. 2004. Penyakit Ikan. UMM Press. Malang. Handojo, D.D. 1986. Usaha Budidaya M. albus. Simplex. Hal 11-17. Hoffman, G.L. 1999. Parasites Of North American Freshwater Fishes Second Edition. New York. Cornell University Press 539 pp. Kabata Z. 1985. Parasites and Diseases Of Fish Cultured In The Tropics. London: Taylor and Prancis. Kuhlmann, W.F. 2006. Preservation, Staining, and Mounting Parasite Speciment. 8 hal. Lakshmi. 2010. Description of a new species of Procamallanus Baylis, 1923 (Nematoda : Camallanidae) from the freshwater fish, Pangasius pangasius Hamilton. Ibero-Latinoam Parasitology. 69(2):199-203. Mahasri, G., S. Subekti., S. Koesdartodan Kismiyati. 2012. Buku Ajar Parasit dan
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
43 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Penyakit Ikan II (Ilmu Penyakit Nematoda da Acanthocephala). Budidaya Perairan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya. McAllister, C. T. 1990. Metacercaria of Clinostomum complanatum (Rudholphi, 1814) (Trematoda: Digenea) in Texas Salamander, Eurycea neotenes. Merrick, J. R., and G. E. Schmida. 1984. Australian freshwater fishes: biology and management. Griffin Press, Netley, South Australia.
Monks, N. 2007. Camallanus Worms are Among the Most Commonly Encountered Internal Parasites for Aquarium Fish. Doctoral Thesis Aberdeen University of Zoology Scotland. 50pp. Moravec, F. Nie, P. And Wang, G. 2003. Some Nematodes of Fishes From Central China, with the Redescription of Procamallanus (Spirocamallanus) Fulfvidaconis (Camallidae). Journal Folia Parasitologica. 50: 220-230. Moravec, F. and J. L. Justine. 2006. Camallanus contti (Nematoda: Camallanidae), an indruduce parasite of fishes in New Caledonia. Journal Folia Parasitologica 53: 287-296. Park, C.W, Kim., H.S, Joo and J. Kim. 2009. A Human Case of Clinostomum complanatum Infection in Korea. Korean Jurnal Parasitology. Korea. Roberts, L S and J. Janovy, Jr. 1996. Foundation of Parasitology. The McGrawHill Companies. America. Roy, R. 2009. Budidaya Bisnis Belut. Agromedia Pustaka. Jakarta. Saanin, H. B 1968. Taksonomi dan kuntji identifikasi ikan. Bina tjipta. Bandung. 506 hal. Sangadji, E. M dan Sopiah. 2010. Metodologi Penelitian-Pendekatan Praktis dalam Penelitian. CV Andi Offset. Yogyakarta. Sarwono, B. 1999. Budidaya Belut dan Sidat. Penebar Swadaya. Jakarta. Shareef, P. A. A and S. M. A, Abidi. 2012. Incidence and Histopathology of Encysted Progenetic Metacercaria of Clinostomum complanatum (Digenea Clinostomiadae) in Channa punctatus and its Development in Experimental Host. Asian Pasific Journal of Tropical Biomedicine. 24 (3): 130-133.
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
44 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Sohn, W.M. and Lee S.H. 1996. Identification of Larva Gnatostoma Obtained from Imported Chinese Loaches. Journal of Parasitology 34 (3): 161-167. Soulsby, E. J. L. 1986. Helminth, Antropods, and Protozoa of Domesticated Animals. 7th ed. Baillere Tindall. London. Spalding, D.F. M.G. and Forrester, D.J. 2003. Epizootiology of Eustrongylides ignotus in Florida: transmission and development of larvae in intermediate hosts. Journal of Parasitology 89 (2): 290-298. Subekti, S. dan G. Mahasri. 2012. Buku Ajar Parasit dan Penyakit Ikan (Trematodiasis dan Cestodiasis). Global Persada Press. Surabaya. 91 hal. Sunarto A. 2005. Epidemiologi Penyakit Koi Herpes Virus (KHV) di Indonesia. Pusat Riset Perikanan budidaya. Jakarta. Takeshi, S., Toshiaki, K., Jun, A., and Masaaki, M. 2000. Digenean, Cestode ,and Nematode Parasite osf Freshwater Fishes of the Imperial Palace, Tokyo. Journal of Parasitology 35 : 255-229. Warta Pasar Ikan. 2010. http://www.wpi.kkp.go.id. 18/07/15. Williams, E. H., Jr. and L. Bunkley-Williams. 1996. Parasites of offshore big game fishes of Puerto Rico and the western Atlantic. Puerto Rico Department of Natural and Enviromental Resources, San Juan, PR, and the University of Puerto Rico, Mayaguez, PR, 382 p. Xiong, F., G.T. Wang., S.G. Wu and P. Nie. 2009. Development of Eustrongylides ignotus (Nematoda Dioctophmida) in domestic Ducks (Anas platyhynchos domestica (L)). Journal of Parasitology. 38 (3): 157-163. Yamaguti S. 1958. Systema Helminthum. Volume 1: Protozoan and Metazoan Infections. 2nd Ed. Canada. Yulianti S. 2010. Penyakit Infeksi dan Non Infeksi. Jaringan terhubung berkala. http://diskanlut-jateng.go.id/index.php/read/news/detail/75 [16 Desember 2015]. Yuliartati, E. 2011. Tingkat Serangan Ektoparasit pada Ikan Patin (Pangasius djambal) pada Beberapa Pembudidaya Ikan di Kota Makassar. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makassar. 65 hal
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
45 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kunci Identifikasi Cacing Pingus sinensis dan Eustrongilides ignotus Phylum Nemathelminthes Hoffman (1991) Merupakan cacing yang memiliki tubuh silindris memanjang. Memiliki saluran pencernaan yang terbagi menjadi 3 bagian yaitu anterior (osephagus), tengah (usus) dan posterior (rectum), diakhiri dengan anus. Terdiri dari organism yang hidup bebas maupun hidup sebagai parasit bagi organisme lain.
Bykhovskaya et al. (1962) Tubuhnya tidak bersegmen, tidak mempunyai system sirkulasi dan respirasi. Terdiri dari 6 kelas, 4 diantaranya termasuk parasit. Kunci identifikasi kelas dari pilum Nemathelminthes Mempunyai saluran pencernaan. Ujung anterior dari tubuh tidak mempunyai proboscis ..................................................................................... ................ Nematoda Tidak mempunyai saluran pencernaan. Bagian ujung anterior mempunyai lengan proboscis yang dilengkapi kait ................................................... .... Acanthocephala
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
46 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Kelas Nematoda Hoffman (1991) Tubuh panjang, silindris, tubuhnya dilapisi oleh dermomuskular yang terdiri dari tiga bagian yaitu kutikula, hypodermis dan otot. Nematoda memiliki saluran pencernaan yang dimulai dari mulut yang dikelilingi oleh berberapa bibir biasa disebut interlabia.
Bykhovskaya et al. (1962) Tubuh silindris, fusiform atau filiform, tubuhnya tertutup oleh kutikula, pada beberapa jenis memiliki organ tambahan yang bisa berupa duri atau kait. Pada beberapa jenis terlihat goresan transversal atau longitudinal. Kunci Identifikasi Ordo Dari Kelas Nematoda Secara umum terdapat tiga labia besar, tiga labia sedang biasanya ditemukan diantra labia besar, umumnya osephagus berbentuk bulat memanjang .. .
ordo Aenophorea
Mempunyai dua labia lateral atau enam labia yang belum sempurna, biasanya osephagus terdiri dari dua bagian, otot anterior dan kelenjar posterior, tidak pernah bulat (bulb)........................................................................................... ordo Spirudida
Ordo Aenophorea Bykhovskaya et al. (1962) Cacing dengan kutikula yang tebal. Bagian kepala biasanya dilengkapi dengan tiga labia dasar dan tiga labia yang belum sempurna. Osephagus sering berbentuk bulat memanjang(bulb).
Kunci Identifikasi Family Dari Ordo Aenophorea Kutikula tanpa struktur ................................................................. Aenophorea Oral capsule tanpa kitin. Osephagus hanya terdiri dari otot. Spikula sama atau hampir sama. Oviparous .......................................................................... Spirudida
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
47 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Family Dioctophymatoidae Terdapat spine (duri) atau memiliki 12 Labial Papillae. Esofagus dilengkapi dengan ventrikel. Memiliki esophagus atau intestinal caeca atau memiliki keduanya. Parasit air tawar dan ikan bermigrasi.
Famili Quimperiidae Osephagus posterior diperluas dalam bentuk clavate. Ujung anterior osephagus juga diperluas untuk membentuk pseudokapsul. Genus Eustrongylides Hoffman (1999) Cacing dewasa Eustrongylides ignotus betina memiliki ukuran 53-70 mm sedangkan cacing Eustrongylides ignotus jantan memiliki ukuran 40-42 mm, Cephalic dari cacing ini berbentuk kerucut yang terlihat memiliki 12 labial papillae, disusun pada dua lingkaran dengan masing-masing enam papillae, dilengkapi dua pada bagian lateral, dua pada bagian subventral dan dua pada bagian subdorsal.
Xiong et al., 2009 Ciri khas dari dari L4 Eustrongylides ignotus adalah memiliki tiga lapisan kutikula pada bagian posterior. Dalam siklus hidupnya cacing tersebut membutuhkan copepoda sebagai inang antara 1 dan membutuhkan ikan sebagai inang antara II, kemudian berkembang menjadi dewasa dalam tubuh kelinci, kucing, ayam, bebek, dan menyebabkan radang selaput perut pada burung bangau. Larva keluar dari uterus Eustrongylides ignotus betina setelah masa inkubasi 17-28 hari, durasi proses tersebut tergantung pada lingkungan, L1 merupakan stadia infektif untuk Oligochaeta dan ikan. Saat L1 tertelan Oligochaeta, L1 berkembang menjadi
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
48 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
L2, kemudian menjadi L3 dalam waktu 35-77 hari. Dalam tubuh ikan yang terinfeksi, L3 berkembang menjadi L4, cacing tersebut membutuhkan sedikitnya 162 hari untuk bekembang dari L1 menjadi L4. Larva IV Eustrongylides ignotus merupakan stadia infektif bagi inang definitif.
Genus Pingus Moravec et al., 2003 Pingus sinensis memiliki bentuk tubuh silindris memanjang, terdapat esophagus, dan nerve ring. Mulut terletak pada bagian ujung anterior tubuh. Hal ini sesuai dengan yang menyatakan bahwa Pingus sinensis memiliki saluran pencernaan terdiri dari esophagus dan nerve ring. Pingus sinensis yang memiliki bentuk tubuh yang silindris memanjang, pada cacing jantan memiliki panjang tubuh 4,9-5,8 mm dan memiliki lebar tubuh 0,12 mm sedangkan panjang esophagus pada cacing jantan 0,54-0,59 mm, Pingus sinensis jantan memiliki panjang nerve ring 195-256 µm dari ujung anterior tubuh, dan memiliki panjang spikula 0,06 mm. Cacing betina memiliki panjang tubuh 5,8-6,2 mm dan memiliki lebar tubuh 0,165-0,250 mm, sedangkan ukuran esophagus cacing betina 0,64-0,74 mm dan Pingus sinensis betina memiliki panjang nerve ring 195-218 dari ujung anterior tubuh.
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
49 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Lampiran 2. Data Pengamatan Belut Lokasi A Sampel
Panjang (cm)
Berat (gram)
Jumlah Cacing (ekor)
1
36
53,6
-
2
35
56,4
-
3
36
53,7
-
4
37
54,7
2
5
37
53,7
-
6
35
58,3
-
7
38
54,2
-
8
34
52,1
2
Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus
9
37
52,8
2
Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus
10
38
53,1
-
11
35
54,8
2
12
39
50,0
-
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
Jenis cacing yang menginfeksi
Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus
Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
50 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
13
33
51,5
-
14
37
53,1
-
15
36
54,1
2
Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus
Sampel
Panjang (cm)
Berat (gram)
Jumlah Cacing (ekor)
Jenis cacing yang menginfeksi
1
39
55,3
1
Eustrongylides ignotus
2
37
56,1
-
3
39
52,1
-
4
40
54,4
-
5
42
54,3
-
6
42
60,0
-
7
41
60,2
3
8
37
59,2
-
9
39
55,1
-
10
38
58,2
2
11
37
57,1
-
12
39
59,8
2
13
42
57,4
-
14
41
59,5
-
15
36
54,3
3
Lokasi B
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
Eustrongylides ignotus
Eustrongylides ignotus
Eustrongylides ignotus
Eustrongylides ignotus
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
51 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
16
36
40,9
-
17
39
58,4
-
18
41
54,9
-
19
39
58,3
1
20
38
53,1
-
Sampel
Panjang (cm)
Berat (gram)
Jumlah Cacing (ekor)
Jenis cacing yang menginfeksi
1
42
54,3
3
Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus
2
42
53,5
-
3
45
49,2
-
4
41
54,3
-
5
46
52,1
-
6
45
53,1
-
7
43
50,3
-
8
46
53,2
-
9
48
48,8
-
10
42
52,1
2
Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus
11
41
53,2
2
Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus
12
43
50,7
-
13
42
49,0
-
Eustrongylides ignotus
Lokasi C
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
52 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus
14
38
47,3
2
15
45
50,1
-
Sampel
Panjang (cm)
Berat (gram)
Jumlah Cacing (ekor)
Jenis cacing yang menginfeksi
1
45
54,3
3
Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus
2
47
52,5
-
3
48
48,2
-
4
43
56,3
-
5
44
58,1
2
6
43
52,1
-
7
42
54,3
-
8
45
55,2
-
9
46
47,8
-
10
42
51,1
2
Lokasi D
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus
Pingus sinensis dan Eustrongylides ignotus
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
53 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Lokasi E Sampel
Panjang (cm)
Berat (gram)
Jumlah Cacing (ekor)
Jenis cacing yang menginfeksi
1
44
54,3
1
Pingus sinensis
2
43
56,5
-
3
46
47,2
-
4
43
56,3
-
5
44
58,1
-
6
46
55,1
1
7
47
56,3
-
8
45
53,2
-
9
47
46,8
-
10
43
57,1
2
11
44
53,2
-
12
48
54,7
-
13
47
45,0
-
14
38
46,3
-
SKRIPSI
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
Pingus sinensis
Pingus sinensis
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN
54 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
15
SKRIPSI
44
43,1
-
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI..
MUHAMMAD RIZKI KURNIAWAN