I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Spesies asing invasif selain mengancam keanekaragaman hayati juga
membebankan biaya yang sangat besar pada bidang pertanian, kehutanan, perikanan, dan bisnis lainnya, serta pada kesehatan manusia (Wittenberg and Cock, 2001). Dalam beberapa kasus, tumbuhan dan hewan yang sengaja dipindahkan untuk pengembangan pertanian, kehutanan, peternakan, perikanan, diversifikasi kebun, perdagangan hewan peliharaan, dan untuk keperluan lainnya tidak menjadi masalah. Namun, beberapa kasus lainnya, berkembang cepat, menyebar, dan menjadi invasif hingga menyebabkan kerusakan serius terhadap lingkungan, ekonomi, atau kesehatan manusia (Mac Donald and van Wilgen, 2002). Sebagai bukti, invasi Syzygium jambos telah mengubah komposisi vegetasi dan pola keragaman habitat di Pegunungan Luquillo, Puerto Rico setelah hampir 185 tahun sejak didatangkan ke tempat tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan Syzygium jambos dan keragaman spesies berkorelasi sangat negatif, artinya semakin rapat Syzygium jambos maka keragaman spesies semakin kecil (Brown, 2006). Caragana arborescens Lam. (familia : Fabaceae) adalah asli dari Eurasia, kemudian didatangkan ke Amerika Utara pada pertengahan 1700-an. Dalam 250 tahun terakhir, spesies ini telah menyebar di hampir seluruh Kanada dan setengah dari negara bagian di Amerika Serikat (Shortt and Vamosi, 2012). Akhirnya, harus diakui bahwa penyebaran spesies asing invasif telah menjadi salah satu ancaman signifikan terhadap keanekaragaman hayati asli.
1
Berdasarkan pendekatan ekonomi, biaya langsung pengelolaan spesies asing invasif sangat mahal. Aksi yang cepat dapat lebih hemat biaya dan lebih berhasil daripada aksi setelah spesies menyebar (Mc Neely et al., 2001). Meskipun hanya sebagian kecil dari spesies asing menjadi invasif, efeknya dapat menghancurkan, studi di Amerika Serikat dan India menunjukkan bahwa jumlah biaya langsung pengelolaan spesies asing invasif di kedua negara tersebut sekitar US$ 130 miliar per tahun (Mc Neely et al., 2001). Tabel 1. Indikasi Biaya dari Beberapa Spesies Asing Invasif (dalam US$) Spesies
Variabel Ekonomi
Dampak Ekonomi
Introduksi organisme penyakit
Biaya kesehatan untuk manusia, tumbuhan dan binatang di USA
$41 Milyar/tahun
Dassak et al., 2000
Contoh spesies tumbuhan dan hewan asing
Biaya ekonomi dari kerusakan di USA
$137 Milyar/tahun
Pimentel et al., 2000
Salt Cedar
Nilai dari pelayanan ekosistem yang hilang di USA bagian barat
$7-16 Milyar selama 55 tahun
Savaleta, 2000
Knapweed dan Leafy spurge
Dampak ekonomi di 3 negara bagian USA
Sebra mussel
Kerusakan pada tanaman industri di USA dan Eropa
Spesies tanaman asing invasif yang paling serius
Biaya kontrol herbisida di Britania 1983-1993
6 spesies gulma
Biaya agroekosistem di Australia
$105 Juta/tahun
Pinus, Hakeas, dan Akasia
Biaya restorasi di Afrika Selatan
$2 Milyar
Water hyacinth
Biaya di 7 negara Afrika
$20-50 Juta/tahun
Kelinci
Biaya di Australia
$373 Juta/tahun (kehilangan dari potensi agrikultur)
Varroa mite
Biaya ekonomi untuk menjaga lebah di New Zealand
$267-602 Juta
Biaya langsung $40,5 Juta/tahun, biaya tidak langsung $89 Juta/tahun Komulatif biaya 19882000 + $750 Juta sampai $1 Milyar $344 Juta/tahun untuk 12 spesies
Referensi
Bangsund, 1999; Hirsch and Leitch, 1996
National Aquatic Nuisances Species Clearinghouse, 2000 Williamson, 1998 CSIRO, 1997 dalam Watkinson, Freckleton, dan Dowling, 2000 Turpie dan Heydenrych, 2000 Joffe_Cooke dalam Kasulo, 2000 Wilson, 1995 dalam White dan NewtonCross, 2000 Wittenberg et al., 2001
(Sumber : Mc Neely et al., 2001)
2
Selain biaya langsung pengelolaan spesies asing invasif, biaya ekonomi juga termasuk biaya tidak langsung terhadap konsekuensi lingkungan (Tabel 1). Misalnya, spesies asing invasif dapat menyebabkan perubahan ekologi dengan mengganggu siklus hidrologi, konservasi dan regenerasi tanah, penyerbukan tanaman, dan penyebaran benih (Mc Neely et al., 2001). Umumnya, spesies asing invasif yang berupa tanaman atau lebih dikenal dengan spesies tanaman invasif menempati habitat terbuka dan terdegradasi yang baru pulih dari beberapa jenis gangguan. Grindelia squarrosa dilaporkan terdeteksi pertama kali pada tahun 1998 di Rumania. Spesies ini menginvasi habitat yang terganggu terutama dekat dengan rel kereta api di Timur Laut dan Selatan dari Moldova (Iaşi dan Galaţi). Spesies tanaman eksotis Azadirachta
indica telah menginvasi hutan yang terdegradasi selain 18 jenis lainnya yang teridentifikasi invasif diantara 414 jenis spesies di bagian selatan Togo. Penelitian ini mengungkap adanya fenomena spesies invasif di hutan-hutan yang terdegradasi (Radji et al., 2010). Sedangkan pada habitat terbuka (savana) di Taman Nasional Wasur, Stachytarpheta spp. atau dikenal dengan “ekor tikus” tumbuh dengan cepat membentuk belukar yang rapat, mencegah pembentukan semak dan pohon-pohon serta mempersempit feeding ground bagi spesies
herbivore (Setyawati, 2013). Ancaman terhadap kawasan konservasi yang disebabkan oleh spesies asing
invasif
telah
dipublikasikan
untuk
setidaknya
dua
dekade
dan
baru-baru ini, kesadaran akan ancaman utama dari spesies asing invasif ke kawasan konservasi telah diakui dalam "komunitas kawasan konservasi
3
internasional" (Poorter et al., 2007). Beberapa kawasan konservasi baik di Indonesia maupun luar negeri tidak luput dari serangan spesies asing invasif. Sebuah penelitian yang dilakukan pada beberapa taman nasional dan hutan alam di Vietnam menemukan 135 jenis gulma eksotis, 25 diantaranya adalah spesies invasif. Di dalam satu taman nasional dapat ditemukan 8 – 15 jenis spesies invasif. Sebagai contoh keberadaan Chromolaena odorata dan Mimosa diplotricha yang sangat invasif di Cat Ba National Park. Kemudian Mimosa pigra, Panicum
repens dan Eichhornia crassipes di Tram Chim National Park dan C. odorata, Micania micrantha dan M. diplotricha di Son Tra Nature Conservation Area (Tan et al., 2012). Di Indonesia spesies asing invasif Acacia nilotica menginvasi savana di Taman Nasional Baluran disamping Jarak merah (Jatropha gossypifolia) serta gulma invasif lainnya Thespesia lampas, Flemengia lineata, Abutilon sp., dan
Abelmoschus moschatus. Awalnya Acacia nilotica ditanam sebagai sekat bakar era tahun 60-an mengingat sering terjadinya kebakaran pada savana di Taman Nasional Baluran. Pada era tahun 80-an satwa herbivore terdeteksi mulai mengenal dan menjadikan biji Acacia nilotica sebagai pakan, bahkan ditemukan di savana lain yang bukan termasuk dalam program penanaman sekat bakar. Tahun 90-an Acacia nilotica menjadi perhatian penggiat konservasi karena telah menggantikan penutupan rumput menjadi tegakan Acacia nilotica hampir di seluruh savana Taman Nasional Baluran. Kasus lain terjadi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dengan Austroeuptorium inulaefolium yang sangat invasif, disamping Passiflora edulis, Eupatorium sordidum, Cestrum aurantiacum,
Eupatorium riparium, dan Brugmansia suaveolens. Sedangkan di Taman Nasional
4
Ujung Kulon terdapat Opuntia engelmanii, Arenga obstusifolia (jenis lokal) dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan terdapat Merremia peltata (Setyawati, 2013).
Acacia decurrens Willd. di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) merupakan spesies asing (non-native species). Tanaman ini berasal dari Australia yang sengaja ditanam sebagai tanaman sela oleh Perum Perhutani yang sebelumnya mengelola sebagian kawasan TNGM (Sulistyo, 2012). Pada perkembangannya setelah erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010, tanaman ini justru berkembang cepat pada areal – areal terbuka yang disebabkan oleh erupsi Gunung Merapi. Erupsi Gunung Merapi tahun 2010, telah menyebabkan pengurangan areal hutan dari 4.841,44 ha menjadi 2.906,89 ha atau kurang lebih 40% (Hoer, 2012). Areal yang tidak berhutan ini memunculkan jenis Acacia
decurrens Willd. yang agresif dalam perkembangannya. Acacia decurrens Willd. menjadi ancaman tingkat tinggi pada pemulihan flora pegunungan pada areal bekas erupsi (Yuniasih, 2013). Meningkatnya ketersediaan dan akurasi data penginderaan jauh dan seiring perkembangan pemetaan prediktif, saat ini memungkinkan untuk secara tepat menggambarkan distribusi spesies invasif (Pouteau et al., 2011). Memprediksi
distribusi
spesies
menggunakan
pendekatan
pemodelan
berdasarkan sistem informasi geografis (GIS) merupakan metodologi baru yang dapat digunakan untuk mendukung kebijakan konservasi, dengan syarat bahwa model sudah teruji (Ottaviani et al., 2004). Model distribusi spesies telah banya dikembangkan dan memiliki potensi besar untuk mendukung konservasi
5
keanekaragaman hayati di daerah tropis melalui strategi dan perencanaan konservasi, identifikasi gap pengetahuan, dan menjadi alat untuk mengetahui potensi imbas dari perubahan lingkungan (Guisan and Thuiller, 2005 dalam Pearson, 2007; Cayuela et al., 2009). Model tersebut pada umumnya menggunakan asosiasi antara variabel lingkungan dan data kehadiran spesies untuk mengidentifikasi kondisi lingkungan yang berperan dalam populasi tersebut (Pearson, 2007). Model
Habitat
Suitability
Index
(HSI)
sering
digunakan
untuk
memprediksi distribusi spesies melalui pemodelan variabel lingkungan yang tepat (Ottaviani et al., 2004). Pendekatan HSI untuk memprediksi kesesuaian habitat beberapa spesies amfibi telah dilakukan dan menemukan fakta bahwa mengembangkan
model
kesesuaian
habitat
spesies
tunggal
merupakan
pendekatan yang lebih tepat daripada mencoba untuk mengembangkan model multi spesies (Dayton, 2006). Menimbang sulitnya melakukan survei terestris terhadap Acacia decurrens Willd. untuk seluruh kawasan TNGM dan potensi Model Habitat Suitability Index (HSI) yang telah teruji digunakan dalam berbagai penelitian prediksi distribusi spesies, maka pendekatan HSI merupakan model yang paling tepat untuk memprediksi invasi Acacia decurrens Willd. di kawasan TNGM saat ini, menggunakan
variabel
–
variabel
prediktor
lingkungan
yang
diduga
mempengaruhinya. Prediksi didasarkan pada data presence dan absence Acacia
decurrens Willd pada titik-titik sampel berikut variabel prediktor yang mempengaruhinya, kemudian diektrapolasi untuk
seluruh kawasan TNGM.
6
Penelitian ini berperan dalam mendukung pengambilan kebijakan dan strategi dalam pengelolaan invasi Acacia decurrens Willd. di kawasan TNGM. Gambaran umum bagan alir pemikiran dan manfaat penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.
Karakter Spesies Invasif
Erupsi Merapi 2010
Cara penyebarannya umum (angin, air, hewan, dll), Pembentukan & pertumbuhan usia reproduksi cepat, Biji berlimpah, Mampu memanfaatkan sumberdaya yang ada, Tidak terpengaruh oleh hama / penyakit lokal (Clout and Williams, 2009).
-
Areal Terdampak Erupsi
-
Hilangnya 40% penutupan lahan Areal terbuka seluas 1.934,55 ha (Hoer, 2012)
Muncul Acacia
decurrens
Perlu prediksi distribusi
Penanganan
Gambar 1. Bagan Alir Pemikiran dan Manfaat Penelitian
1.2.
Pertanyaan Penelitian Pertanyaan dalam penelitian ini adalah : 1.2.1. Faktor-faktor yang memengaruhi invasi Acacia decurrens Willd. di kawasan TNGM? 1.2.2. Berapa luas potensial invasi Acacia decurrens Willd. di kawasan TNGM?
7
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah : 1.3.1. Mengetahui
faktor-faktor
yang
memengaruhi
invasi
Acacia decurrens Willd. di kawasan TNGM. 1.3.2. Mengetahui
luas
invasi
Acacia
decurrens
Willd.
di
kawasan TNGM.
1.4.
Manfaat Penelitian Metode pemetaan prediktif menjadi suatu langkah penting untuk
mengetahui informasi persebaran aktual spesies Acacia decurrens Willd. sebagai dasar pengelola untuk menentukan dan menyusun rencana pengelolaan dan pengendalian populasinya.
8