I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kawasan kepulauan Indonesia merupakan daerah pertemuan lempeng bumi dan berada di jalur cincin api (ring of fire). Indonesia berada di kawasan dengan curah hujan yang relatif tinggi sepanjang tahun. Adanya keadaan daya dukung lingkungan yang melemah akibat eksploitasi alam yang merusak semakin menambah panjang persoalan bencana. Kondisi ini menyebabkan gempa bumi, letusan gunung berapi, serta banjir dan tanah longsor akan menjadi potensi bencana yang mengancam setiap waktu. Indonesia adalah negara yang mempunyai jumlah gunung api aktif terbanyak di dunia sebagai akibat dari letak geografisnya yang merupakan pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia (Sartohadi dan Pratiwi, 2014). Hal tersebut menunjukkan pentingnya penataan kembali kawasan rawan bencana dan lanskap hunian dengan mitigasi bencana pastinya menjadi fokus saat ini salah satu lokasi yaitu kawasan merapi. Erupsi Merapi 2010 telah menghancurkan sebagian besar kawasan di sekitar Merapi. Setelah Merapi mereda, pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan adalah mengembalikan pengungsi ke kehidupan normal. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan dihadapkan pada dua pilihan. Pilihan pertama yaitu membantu para pengungsi kembali ke tempat tinggal asalnya dengan dukungan pembangunan
kembali
kawasan
yang
hancur
akibat
bencana.
Kedua,
memfasilitasi relokasi keluar daerah terdampak bencana atas pilihan kemauan pribadi pengungsi. Adanya ikatan masyarakat dengan tanah leluhurnya yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keseharian, membuat sulit untuk melakukan
1
2
relokasi penduduk yang berasal dari daerah yang terkena dampak langsung erupsi Merapi (Tim S2 Arsitektur FP-IPB, 2010). Hal tersebut menyebabkan peran pemerintah dalam membantu korban erupsi Merapi lebih dititik beratkan pada memberikan dukungan dan upaya pembangunan kembali wilayah itu, dengan menata ulang ruang yang sesuai dengan kondisi alam serta pengurangan terhadap dampak erupsi yang akan terjadi. Penataan ruang di kawasan Gunung Merapi harus melihat segala aspek secara holistik, tidak hanya melihat dari aspek teknis, namun perlu memperhatikan aspek lain yang terkait seperti ekonomi, sosial dan budaya masyarakatnya (Surono, 2010). Pada Undang-Undang nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, “ruang” didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Kegiatan manusia dan makhluk hidup lainnya membutuhkan ruang sebagaimana lokasi berbagai pemanfaatan ruang atau sebaliknya suatu ruang dapat mewadahi berbagai kegiatan, sesuai dengan kondisi alam setempat dan teknologi yang diterapkan. Disadari bahwa ketersediaan ruang itu sendiri tidak tak terbatas. Hal tersebut menyebabkan jika pemanfaatan ruang tidak diatur dengan baik, kemungkinan besar terdapat pemborosan manfaat ruang dan penurunan kualitas ruang. Setiap bencana pasti memiliki siklus yang secara ilmiah selalu terjadi berulang sesuai dengan waktunya. Penataan ruang kawasan Merapi harus mengacu kepada cerita sejarah Merapi (baseline of Merapi), serta beberapa lokasi
3
yang pernah terkena awan panas dan lahar dingin, karena lokasi tersebut dapat dipastikan suatu saat akan mengalami hal yang sama. Hal ini menyebabkan penting dilakukan penelitian mengenai tata ruang Merapi pasca erupsi tahun 2010.
B. Perumusan Masalah Desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan merupakan kawasan terdampak Merapi yang berdekatan dengan aktivitas vulkan. Desa ini berada pada radius 6 kilometer dari puncak dan masuk dalam kategori Kawasan Rawan Bencana (KRB) II. Di sisi Timur kawasan ini mengalir sungai Gendol yang sekarang menjadi outlet utama material volcan. Pada fase erupsi Merapi OktoberNovember 2010, kawasan ini menerima dampak paling luas dan menyeluruh. Semburan awan panas dan hujan pasir-abu menyebabkan kawasan ini luluh-lantak yang menimbulkan korban jiwa dan harta benda. Peristiwa tersebut telah berakibat kepada munculnya kerusakan potensi lahan dan lingkungan yang tidak kecil. Kerusakan hutan di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi pada radius 0-5 kilometer dikhawatirkan akan merusak tata air tanah dan fungsi hutan tersebut sebagai daerah resapan air. Di kawasan ini juga telah terkumpul sedimen material vulkanik yang sewaktu-waktu dapat meluncur ke bawah. Di sisi lain, letusan tersebut telah meninggalkan sedimen abu dan pasir yang memiliki ketebalan 10-30 cm serta menutup potensi kesuburan tanah sebelum erupsi merapi. Dengan demikian masyarakat setempat kehilangan kesempatan melaksanakan aktivitas pokok sebagai petani-peternak. Pasca erupsi, masyarakat setempat masih memiliki ancaman bencana lain, yaitu potensi terjadinya longsoran sedimen material vulkan akibat curah hujan tinggi dan menciptakan
4
kendala pemanfaatan lahannya. Kondisi ini secara menyeluruh telah mematikan sumber ekonomi bagi masyarakat setempat, sehingga diperlukan suatu upaya terpadu guna membangkitkan potensi ekonomi yang tersisa (Gunawan Budiyanto,2012). Adanya pemahaman terhadap permasalahan tersebut, maka dengan ini penelitian ini dilakukan dalam upaya berkontribusi untuk merencanakan kembali kawasan Kepuharjo yang terkena dampak erupsi Merapi, sehingga dapat menjadi kawasan yang layak huni dalam mencapai kesejahteraan dan kenyamanan penghuninya. Diharapkan rumusan gagasan tata ruang kawasan Kepuharjo yang dihasilkan, dapat menjadi masukan dan diintegrasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota yang ada di sekitar gunung Merapi.
C. Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi permasalahan terkait dengan penataan kawasan Kepuharjo pasca erupsi Merapi 2010. 2. Menyusun solusi spasial kawasan Kepuharjo sebagai upaya perencanaan tata ruang pasca erupsi Merapi 2010.
D. Manfaat Penelitian 1. Memberikan tambahan informasi tentang kawasan rawan bencana dan upaya di dalam rekonstruksi pasca bencana.
5
2. Memberikan masukan bagi pemerintah provinsi Yogyakarta dan dinas/instansi terkait serta masyarakat/organisasi masyarakat dalam upaya penataan tata ruang kawasan Merapi pasca erupsi 2010.
E. Batasan Studi Penelitian dilaksanakan di Dusun Kaliadem, Jambu dan Petung Desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman, area terdampak erupsi Merapi 2010. Penelitian fokus pada identifikasi permasalahan yang muncul akibat erupsi Merapi 2010 kemudian menganalisa potensi sumberdaya sebagai upaya rekontruksi dan penetapan pola penggunaan lahan yang sesuai.
F. Kerangka Pikir Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membuat perencanaan kawasan pasca bencana Merapi yang berorientasi kepada pencapaian peningkatan kesejahteraan masyarakat terdampak erupsi Merapi 2010 Perencanaan ini dilakukan dengan pendekatan metode deskriptif kualitatif dengan kerangka pemikiran berikut:
6
Merapi
Desa Kepuharjo yang terdampak erupsi Merapi Fisik
Biofisik
a. Peta bencana b. Peta dampak
a. Iklim b. tanah
c. Topografi d. Vegtasi
Peta Ekologi
Peta Bencana Block Plan
Kondisi Sosial Budaya
Konsep Tata Ruang
Gambar 1.1. Kerangka Pikir Perencanaan Pada tahun 2010 Merapi meletus dan menimbulkan dampak salah satunya di Desa Kepuharjo. Desa Kepuharjo merupakan salah satu desa paling parah yang terdampak erupsi Merapi tahun 2010. Kondisi kerusakan di kawasan ini dapat dilihat secara Fisik yaitu kerusakan hunian, kandang ternak dan sarana prasarana umum lain (sekolah, balai warga, jalan, akses). Berkaitan dengan biofisik, terjadi kerusakan agroekosistem yaitu yang berdampak pada hilangnya potensi penghasilan warga sebagai petani-peternak, menurunnya kualitas lingkungan (produktivitas lahan, sumber air). Kedua pola kerusakan, baik secara fisik maupun biofisik dapat dijadikan acuan dalam pembentukan block plan konsep tata ruang Merapi, untuk meminimalisir kemungkinan kerusakan yang terjadi apabila terjadi erupsi.