I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dokter, perawat dan juga pasien memiliki resiko tinggi berkontak dengan mikroorganisme patogen seperti bakteri, virus dan jamur selama perawatan. Perkembangan bakteri semakin hari semakin tidak dapat terkontrol. Peralatan kesehatan pada penggunaannya berkontak langsung dengan jaringan atau cairan tubuh. Tindakan secara asepsis harus selalu dilakukan, peralatan medis yang digunakan harus dilakukan tindakan sterilisasi dan disinfeksi untuk meminimalisir adanya kontaminasi silang. Sterilisasi merupakan metode yang paling baik untuk membasmi mikroorganisme. Tujuan sterilisasi dalam bidang kesehatan untuk mencegah penyebaran penyakit infeksius. Dalam bidang kedokteran gigi, sterilisasi diutamakan untuk penggunaan instrumen yang digunakan berulang untuk mencegah infeksi silang (Venkatasubramanian dkk., 2010).
Kontrol infeksi
merupakan hal penting dalam praktek kedokteran gigi. Tidak adanya kontrol infeksi yang adekuat meningkatkan potensi transmisi atau penyebaran bakteri patogen melalui instrumen yang digunakan selama perawatan. Penyakit dapat menular melalui kontak langsung melalui instrumen yang telah terkontaminasi oleh satu pasien, kemudian digunakan kembali untuk pasien lainnya tanpa adanya disinfeksi atau sterilisasi adekuat diantara penggunaannya (Kumar dkk., 2015). Disinfeksi merupakan tindakan untuk memusnahkan atau menghilangkan seluruh mikroorganisme patogen yang dapat menyebabkan infeksi, namun disinfeksi tidak mampu untuk menembus ke dalam endospora bakteri, sehingga
1
untuk bakteri yang memiliki endospora, sangat sulit untuk dimusnahkan melalui proses disinfeksi. Sterilisasi merupakan proses yang bertujuan agar seluruh permukaan instrumen maupun media bebas dari seluruh mikoorganisme baik vegetatif maupun spora (Kumar dkk., 2015). Dalam praktik sehari-hari kedokteran gigi, penggunaan instrumen yang sama untuk beberapa pasien sering dijumpai. Sebelum digunakan, semua instrumen harus dalam keadaan bersih, terdisinfeksi, dan steril untuk mencegah terjadinya kontaminasi. Membersihkan dan sterilisasi beberapa alat dapat menjadi sulit karena ukurannya yang kecil, dan bentuknya yang kompleks, termasuk diantaranya adalah file endodontik (Kumar dkk., 2015). File endodontik memiliki bentuk yang kecil, tapered, dengan panjang sekitar 25 mm, dengan bentuk yang rumit dan tepi pemotong berbentuk spiral, dan digunakan dalam prosedur cleaning and shaping selama perawatan endodontik, sehingga, karena ukuran dan bentuknya tersebut, file menjadi sulit untuk dibersihkan dari material biologik selama prosedur sterilisasi (Kumar dkk., 2015). File endodontik dianggap sebagai instrumen yang reusable atau dapat digunakan berulang-ulang (Eldik, dkk., 2004). Akhir-akhir ini, file endodontik yang digunakan berulang, diketahui tidak mampu mencapai hasil pembersihan maksimal dari debris melalui prosedur pembersihan biasa. Debris yang dimaksud adalah jaringan organik maupun anorganik yang melekat pada permukaan file setelah digunakan untuk instrumentasi saluran akar (Eldik, dkk., 2004). File endodontik yang masih dalam kemasan dan baru keluar dari pabrik, kondisi nya tidak benar-benar steril, namun ada beberapa bakteri yang menempel
2
pada file. Roth dkk. (2006) membuktikan dengan melakukan penelitian menggunakan file yang baru keluar dari pabrik dan masih dalam kemasan yang diinkubasi dalam kaldu BHI dan dilakukan identifikasi mikroorganisme, ditemukan bakteri Paenibacillus amylolyticus, Paenibacillus polymyxa, Bacillus megaterium, isolat Bacillus, dan Staphylococcus epidermidis. Bacillus dan Paenibacillus merupakan bakteri gram positif pembentuk spora. Sedangkan sebagai pembanding, Roth, dkk. (2006) melakukan sterilisasi file endodontik yang baru tersebut menggunakan autoklaf dan ketika diinkubasi di dalam kaldu BHI, hasilnya tidak ada turbiditas yang terbentuk. Sterilisasi mencegah terjadinya infeksi silang terutama pada instrumen dental dengan penggunaan berulang. Dalam endodontik, beberapa macam instrumen seperti file, reamers, Gates glidden drill, dan Peeso reamers biasa digunakan untuk membersihkan dan membentuk saluran akar, dan juga mengeliminasi populasi bakteri pada rongga pulpa. Berikut ada beberapa metode yang dapat dilakukan untuk sterilisasi instrumen-instrumen tersebut, seperti sterilisasi panas kering, autoklaf, glass bead sterilizer atau sterilisasi garam panas, dan lain sebagainya (Raju dkk., 2013). Namun, penelitian yang dilakukan oleh Rapisarda, dkk. (1999) membuktikan bahwa strilisasi panas yang dilakukan dengan autoklaf terhadap file endodontik dengan bahan dasar nikel titanium dapat menurunkan efisiensi pemotongan pada instrumen tersebut. Beberapa penelitian membuktikan bahwa pengusapan file dengan menggunakan gauze yang dibasahi alkohol, menyikat file dibawah air mengalir atau menggunakan ultrasonic bath tidak efektif dalam menghilangkan debris yang
3
melekat pada file setelah digunakan. Merendam file terlebih dahulu dalam larutan NaOCl terbukti dapat menghilangkan debris organik dan juga sebagai bahan disinfektan. Meskipun begitu, larutan NaOCl bersifat sangat korosif terhadap metal dan secara bertahap dapat menghilangkan unsur nikel pada logam NiTi (Sood dkk., 2006 ; Punathil dkk., 2014). American Dental Association (2009) menyebutkan bahwa peralatan dental yang memungkinkan berkontak dengan jaringan dalam rongga mulut, diklasifikasikan ke dalam critical devices, yang direkomendasikan untuk dilakukan sterilisasi untuk peralatan yang tahan terhadap panas, namun untuk peralatan yang sensitif terhadap panas, dapat dilakukan disinfeksi dengan menggunakan disinfektan level tinggi. (Rutala and Weber, 2008). Menurut Food and Drug Administration (2015) terdapat disinfektan level tinggi yang diakui, diantaranya adalah glutaraldehid. Glutaraldehid merupakan salah satu golongan aldehid penting yang biasa digunakan sebagai bahan disinfektan dan sterilisasi. Glutaraldehid merupakan disinfektan spektrum luas yang dapat melawan bakteri beserta sporanya, jamur, maupun virus. Pada konsentrasi rendah, glutaraldehid dapat menghambat germinasi dari bakteri, dan pada konsentrasi yang tinggi, glutaraldehid dapat bersifat sporisidal karena adanya interaksi kuat terhadap lapisan luar sel bakteri. Glutaraldehid lebih aktif pada pH yang basa dibandingkan pada pH yang asam (McDonnel dan Russel, 1999). Glutaraldehid juga diketahui memiliki sifat antikorosif, bahkan dapat mencegah terjadinya korosi terhadap instrumen berbahan logam (Raju dkk., 2013).
4
Aktifitas
glutaraldehid
dapat
ditingkatkan
dengan
meningkatkan
konsentrasi dan temperaturnya. Glutaraldehid dengan konsentrasi 2,5% dengan temperatur 350 C dapat membunuh mycobacterium dalam 5 menit, sedangkan apabila pada temperatur ruangan, dapat membunuh mycobacterium dalam 20 menit (Rutala dan Weber, 2008). Terdapat penelitian lain yang mengatakan bahwa terdapat aktivitas mycobactericidal oleh glutaraldehid 2% dengan adanya inaktivasi 106 M, tuberculosis per membran dalam waktu 20 menit pada suhu 200C. Data menunjukkan bahwa glutaraldehid dengan konsentrasi 1% - 1,5% merupakan konsentrasi minimum yang efektif untuk larutan glutaraldehid sebagai disinfektan level tinggi (Rutala dan Weber, 2008). Beberapa kondisi yang mempengaruhi efisiensi disinfektan antara lain (1) temperatur, peningkatan temperatur, dapat meningkatkan efisiensi disinfektan, (2) konsnetrasi, konsentrasi yang tinggi memiliki daya antibakteri yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi rendah, (3) jenis mikroorganisme : sel vegetatif lebih rentan dibandingkan dengan spora. Spora lebih resisten terhadap aksi disinfektan, (4) keadaan fisiologis sel bakteri : sel muda dengan metabolisme yang aktif lebih sensitif dibandingkan dengan sel dorman yang tua, (5) lingkungan, sifat fisik atau kimia suatu bahan disinfektan dapat mempengaruhi efisiensi disinfektan itu sendiri. Misalnya pH disinfektan, dan adanya bahan asing. Laju reaksi glutaraldehid dengan protein dan enzim semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pH. Mekanisme cross-linking protein dari glutaraldehid juga dipengaruhi oleh waktu, konsentrasi, dan temperatur (Fraise dkk., 2013). Laju reaksi polimerisasi dari glutaraldehid dipengaruhi oleh temperatur
5
dan pH. Adanya gugus aldehid bebas merupakan prasyarat agar terjadi aktivitas biosidal yang baik. Gugus aldehid bebas dihasilkan lebih banyak pada temperatur yang lebih tinggi pada larutan glutaraldehid dengan pH asam, walaupun begitu, pada pH yang alkali juga terjadi hilangnya gugus aldehid reaktif atau monomer aldehid karena adanya proses polimerisasi. Gugus aldehid bebas tersebut akan berikatan dengan lapisan terluar dari sel spora bakteri. Lembaga lingkungan hidup Amerika Serikat mengatakan dalam menguji disinfektan tingkat tinggi terhadap suatu instrumen, dapat menggunakan bakteri uji Bacillus subtilis (Environemntal Protection Agency –EPA, 2004). Steinhauer (2010) juga berpendapat bahwa karena sifatnya yang dapat bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang ekstrim melalui pembentukan endospora, Bacillus subtilis dapat menjadi mikroorganisme uji disinfektan tingkat tinggi.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan
latar
belakang
tersebut
diatas,
dapat
dirumuskan
permasalahan, yaitu apakah terdapat pengaruh konsentrasi dan temperatur glutaraldehid sebagai bahan disinfeksi instrumen preparasi saluran akar terhadap Bacillus subtilis.
C. Keaslian Penelitian Pada penelitian sebelumnya Punathil dkk. (2014) melakukan penelitian untuk menguji sterilisasi file endodontik manual yang dikontaminasi B. subtilis dengan NaOCl 5,25% dan sterilisator glass-bead, hasilnya pada file endodontik yang dikontaminasi B. subtilis pada bagian metalnya saja, tidak pada pegangan file, 6
menunjukkan berkurangnya pertumbuhan bakteri B. subtilis.
Raju dkk. (2013)
juga melakukan penelitian mengenai sterilisasi terhadap file endodontik manual yang terkontaminasi B. stearothermophillus dengan empat metode sterilisasi yang berbeda yaitu dengan otoklaf, laser karbon dioksida, sterilisator glass-bead, dan glutaraldehid 2%, dan hasilnya menunjukkan sterilisasi dengan glutaraldehid 80% steril, sterilisasi dengan autoklaf dan laser 100% steril, untuk sterilisasi glass bead 90% steril. Utami (2015) meneliti mengenai perbedaan daya antibakteri disinfektan instrumen preparasi saluran akar dengan menggunakan natrium hipoklorit 5,25%, glutaraldehid murni 2%, dan disinfektan berbahan dasar glutaraldehid dengan menggunakan teknik difusi agar, dan hasilnya pada glutaraldehid murni 2% yang paling efektif sebagai bahan disinfeksi. Penelitian kali ini dilakukan dengan menguji disinfektan glutaraldehid murni dengan konsentrasi 1%, 1,5%, dan 2% kemudian diberi kenaikan temperatur pada masing-masing konsentrasi yaitu 300C, 400C, dan 450C untuk mengetahui konsentrasi dan temperatur efektif yang dapat digunakan sebagai disinfektan instrumen preparasi saluran akar terhadap Bacillus subtilis. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah membandingkan efektifitas disinfektan glutaraldehid murni dengan konsentrasi 1%, 1,5%, dan 2% disertai dengan kenaikan temperatur sebagai bahan disinfektan instrumen preparasi saluran akar terhadap Bacillus subtilis.
D. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, penelitian ini memiliki tujuan umum yaitu untuk mengetahui pengaruh konsentrasi dan temperatur
7
glutaraldehid sebagai bahan disinfeksi instrumen preparasi saluran akar terhadap Bacillus subtilis. Tujuan khusus dari penelitian ini untuk mengetahui manfaat secara klinis penggunaan larutan glutaraldehid sebagai bahan disinfeksi instrumen preparasi saluran akar dengan konsentrasi dan temperatur yang efektif dan efisien.
E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Memberikan informasi ilmiah kepada rekan sejawat mengenai konsentrasi dan temperatur glutaraldehid yang paling efektif berperan sebagai disinfektan instrumen saluran akar yang terkontaminasi. 2. Manfaat secara klinis bagi rekan sejawat yaitu dapat melakukan sterilisasi instrumen khususnya file endodontik yang efektif dengan menggunakan bahan yang tidak korosif, tingkat toksik yang rendah, namun dengan waktu yang singkat. 3. Menjadi acuan penelitian dalam bidang ilmu kedokteran gigi.
8