HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PRODUSEN DENGAN PENGGUNAAN FORMALIN PADA BAKSO SAPI KILOAN YANG DIJUAL DI PASAR TRADISIONAL DAN MODERN KOTA PONTIANAK Rama Aristiyo,, Nurul Amaliyah dan Salbiah Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Hubungan Tingkat Pengetahuan Produsen dengan Penggunaan Formalin pada Bakso Sapi Kiloan yang Dijual di Pasar Tradisional dan Modern Kota Pontianak. Jumlah populasi 28, sehingga peneliti menggunakan teknik total sampling. Peneliti juga memeriksa kandungan formalin pada bakso menggunakan test kit formalin yang dilakukan di laboratorium. Peneliti mengukur tingkat pengetahuan produsen melalui wawancara menggunakan kuesioner dengan 11 item pertanyaan seputar bahan tambahan makanan, khususnya formalin. Pengujian hubungan tingkat pengetahuan produsen dengan penggunaan formalin pada bakso dilakukan menggunakan uji Chi Square (α=0,05). Hasil pemeriksaan 28 sampel bakso menyatakan 11 sampel (39,3%) positif mengandung formalin. Hasil pengujian statistik menunjukkan P value 0,576 (<0,05) maka Ho diterima atau dinyatakan tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan produsen dengan kandungan formalin pada bakso. Namun produsen dengan tingkat pengetahuan rendah beresiko 1,556 kali lebih besar untuk menggunakan formalin. Kata Kunci: Tingkat Pengetahuan, Formalin, Bakso Sapi Abstract: The Correlation Between Knowledge Producers with Use of Formaldehyde in The Meatballs in The Traditional Markets and Modern Pontianak City. Number of population is 28, so the researchers used a total sampling technique. Researchers also examined the formaldehyde content in meatballs using formalin test kit performed in the laboratory. Researchers measured the level of knowledge producers through interviews using a questionnaire with 11 items about the question of food additives, especially formaldehyde. Testing the correlation between knowledge producers with use of formaldehyde in meatballs made using Chi Square test (α 0.05). The results of examination of 28 samples of meatballs claim 11 samples (39.3%) tested positive for formaldehyde. Statistical tests showed P value of 0.576 (<0.05) then Ho is accepted or otherwise there is no relationship between the level of knowledge on the formaldehyde content producers with meatballs. However, producers with low knowledge levels 1,556 times greater risk for using formalin. Keywords: Level of Knowledge, Formaldehyde, Meatballs
Penambahan zat pengawet dalam proses pengolahan pangan di Indonesia sering kali tidak sesuai dengan peraturan yang ada, baik dari segi dosis penggunaan zat pengawet hingga bahan yang digunakan untuk pengawetan makanan tersebut. Kasus penyalahgunaan bahan pengawet yang paling sering terjadi adalah penggunaan formalin yang banyak digunakan sebagai bahan pengawet mayat ini
juga banyak digunakan sebagai bahan pengawet pangan, seperti bakso, mie basah, tahu, dan olahan pangan lainnya. Formalin sebagai pengawet dalam makanan dilarang penggunaannya, hal ini sesuai dengan Permenkes nomor 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan. Penggunaan formalin dalam waktu yang lama dan jumlah yang banyak dapat menyebabkan kanker. Namun 364
Rama, dkk, Hubungan Tingkat Pengetahuan Produsen... 365
pelanggaran peraturan tersebut masih sering dilakukan oleh produsen makanan. Hal ini terjadi selain karena kurangnya pengetahuan para produsen juga karena harga pengawet yang digunakan untuk industri relatif lebih murah dibandingkan dengan harga pengawet yang khusus digunakan untuk makanan maupun minuman (Medikasari, 2002). Menurut Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Kota Pontianak, tercatat 58 Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) di Pontianak yang positif mengandung formalin pada tahun 2011. Kemudian pada tahun 2012 tercatat 38 PIRT yang positif mengandung formalin. Serta 11 PIRT yang positif mengandung formalin pada tahun 2013. Permanasari menyatakan bahwa salah satu faktor yang menjadi penyebab ditambahkannya formalin dalam proses pengolahan pangan adalah faktor pengetahuan tentang formalin. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan penggunaan formalin dalam produk pangan yang ditelitinya pada tahun 2010 (Permanasari, 2010). Berdasarkan fakta-fakta tersebut peneliti tertarik untuk memeriksa kualitas dari pangan olahan khususnya bakso sapi kiloan yang dijual pada pasar-pasar tradisional dan modern di Kota Pontianak. Hal ini bertujuan untuk menganalisa bakso sapi kiloan yang diperjualbelikan di pasar-pasar tradisional dan modern di Kota Pontianak masih menggunakan formalin sebagai bahan pengawet atau telah bebas dari penambahan formalin. Sebagai uji pendahuluan, pada bulan Desember 2013 dilakukan pemeriksaan awal terhadap 7 sampel bakso sapi kiloan yang jual pada pasar tradisional dan modern yang diambil secara acak. Selanjutnya dilakukan uji kualitas pada 7 sampel bakso sapi kiloan dan didapat hasil 1 sampel positif mengandung formalin. Alasan inilah yang menjadi latar belakang peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan tingkat pengetahuan produsen dengan penggunaan formalin pada bakso sapi kiloan yang dijual di pasar tradisional dan modern Kota Pontianak. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat survei analitik yaitu penelitian yang diarahkan untuk menjelaskan suatu keadaan atau situasi. Kemudian melakukan analisis dinamika korelasi antara fenomena atau antara faktor
resiko dan faktor efek. Dalam penelitian (survey) analitik, dari analisa korelasi dapat diketahui seberapa jauh kontribusi faktor resiko tertentu terhadap adanya suatu kejadian tertentu (efek). Desain penelitian yang digunakan adalah survey cross sectional (survei potong silang) yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek. Dalam desain penelitian ini variabel sebab atau resiko dan akibat atau kasus yang terjadi pada objek penelitian diukur atau dikumpulkan secara simultan (dalam waktu yang bersamaan). Artinya tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan (Notoatmodjo, 2010). Pemeriksaan kandungan formalin secara kualitatif di laboratorium: Alat-alat: (a) Tabung reaksi, (b) Rak tabung reaksi, (c) Beaker glass 50 ml, (d) Pipet ukur 25 ml, (e) Kompor listrik, (f) Timbangan analitik (g) Lumpang dan alu (i) Ball filler. Bahan: (a) Sampel bakso daging sapi kiloan, (b) Aquades, (c) Reagen formalin (reagen A dan reagen B) Cara kerja (sesuai dengan brosur yang disertakan dalam tes kit formalin): (a) Timbang 10 gr sampel bakso daging dengan menggunakan timbangan analitik, kemudian lumatkan sampel menggunakan lumpang dan alu. (b) Panaskan aquades di dalam beaker glass dengan menggunakan kompor listrik. Tambahkan 20 ml aquades tersebut ke dalam sampel yang telah dilumatkan tadi, kemudian dibiarkan hingga dingin. (c) Setelah dingin, pindahkan 5 ml cairan sampel ke dalam tabung reaksi. (d) Kemudian tambahkan reagen formalin, 4 tetes reagen A dan 4 tetes reagen B. Kocok tabung reaksi, kemudian tunggu selama 5-10 menit. (e) Perhatikan cairan sampel tersebut, jika warna cairan berubah menjadi lembayu (keungu-unguan) maka sampel yang diperiksa positif mengandung formalin. Adapun pengukuran variabel tingkat pengetahuan produsen bakso sapi kiloan terhadap bahan tambahan pangan, khususnya formalin diukur melalui pertanyaan yang terdapat di dalam kuesioner. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh pedagang bakso tentang bahan tambahan pangan, khususnya formalin yang diukur melalui 11 pertanyaan yang diajukan kepada responden. Skor tertinggi tiap pertanyaan
366 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.364 - 368
adalah 2 dan skor terendah adalah 0, maka didapat total skor tertinggi adalah 22 dan terendah adalah 0. Jawaban mendapatkan skor 2 jika jawaban yang diberikan tepat, jika jawaban yang diberikan tidak tepat maka mendapatkan skor 1, dan bila jawaban yang diberikan adalah tidak tahu atau tidak pernah maka skor yang diperoleh adalah 0. Penilaian atas jawaban yang diberikan responden adalah sebagai berikut: (1) Nilai baik apabila responden mendapat persentase ≥ 𝑥 persentase total. (2) Nilai kurang apabila responden mendapat persentase < 𝑥 persentase total. HASIL Jenis Kelamin Distribusi Frekusnsi menunjukkan bahwa responden paling banyak berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 22 orang (78,6%). Tingkat Pendidikan Distribusi Frekusnsi menunjukkan bahwa responden paling banyak memiliki pendidikan tingkat dasar, yaitu sebanyak 13 responden (46,4%). Kandungan Formalin Distribusi Frekusnsi menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan kandungan formalin pada sampel bakso yang diambil paling banyak menunjukkan hasil negatif mengandung formalin, yaitu sebanyak 17 sampel (60,7%). Tingkat Pengetahuan Produsen Distribusi Frekusnsi menunjukkan bahwa seluruh produsen mengetahui tentang BTP, macam-macam BTP, macam-macam BTP yang aman, macam-macam BTP yang tidak aman, fungsi formalin, ciri-ciri bakso yang mengandung formalin, pengawet yang seharusnya digunakan pada bakso, efek formalin bagi manusia dan dampak formalin bagi kesehatan bila dikonsumsi secara terus menerus dalam waktu yang lama. Setelah melakukan penilaian terhadap masing-masing item pertanyaan selanjutnya adalah melakukan perhitungan nilai total skor masing-masing responden dan mencari persentase dari total skor yang diperoleh.
Setelah persentase masing-masing responden diketahui kemudian dicari 𝑥 persentase tingkat pengetahuan. Setelah dilakukan perhitungan diketahui 𝑥 persentase tingkat pengetahuan sebesar 95,94%. Kemudian dilakukan pengkategorian tingkat pengetahuan dengan ketentuan jika hasil persentase responden ≥ 𝑥 maka responden termasuk berpengetahuan baik, namun jika persentase responden < 𝑥 maka responden termasuk berpengetahuan kurang. Tingkat Pengetahuan Produsen Distribusi Frekusnsi menunjukan Responden yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik sebanyak 12 produsen (42,9%) dan responden yang memiliki tingkat pengetahuan yang kurang sebanyak 16 responden (57,1%). Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Kandungan Formalin pada Bakso Berdasarkan tabel silang hasil uji Chi Square diketahui bahwa dari produsen yang memiliki tingkat pengetahuan yang kurang, 7 produsen baksonya positif mengandung formalin dan 9 produsen baksonya negatif mengandung formalin dengan total 16 produsen. Hasil pengujian statistik menyatakan nilai Chi Square sebesar 0,312 dengan P value sebesar 0,576 (> 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan penggunaan formalin pada bakso (Ho diterima). Walaupun tidak memiliki hubungan, nilai Odds Ratio yang besarnya 1,556 (> 1), merupakan faktor yang dapat meningkatkan resiko, ini berarti produsen dengan tingkat pengetahuan yang rendah memiliki resiko 1,556 lebih tinggi untuk menggunakan formalin. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil wawancara kuesioner diketahui bahwa jenis kelamin responden paling banyak adalah perempuan, yaitu sebanyak 22 orang responden dengan persentase 78,6%. Sedangkan responden yang berjenis kelamin laki-laki adalah sebanyak 6 orang responden dengan persentase 21,4% dengan jumlah total responden sebanyak 28 orang responden. Berdasarkan hasil wawancara kuesioner diketahui bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki 28 orang responden sangat beragam. Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh
Rama, dkk, Hubungan Tingkat Pengetahuan Produsen... 367
responden paling banyak adalah pendidikan dasar, yaitu 13 orang responden dengan persentase 46,4%. Responden yang memiliki tingkat pendidikan menengah lanjutan sebanyak 11 orang responden dengan persentase 39,3%%. Responden yang memiliki tingkat pendidikan tinggi sebanyak 2 orang responden dengan persentase 7,15%. Sedangkan responden yang tidak sekolah sebanyak 2 orang responden dengan persentase 7,15%. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki pendidikan yang cukup baik, yaitu pendidikan dasar (SD dan SMP) dan pendidikan menengah lanjutan (SMA). Bahkan ada beberapa responden yang memiliki pendidikan dengan tingkat Perguruan Tinggi. Namun ada juga responden yang memiliki pendidikan yang bisa dibilang belum cukup yaitu tidak sekolah. Namun untuk melakukan komunikasi dapat dilakukan dengan baik oleh seluruh responden, hal ini terlihat saat dilakukan wawancara berupa tanya jawab dalam pengisian kuesioner. Proses tanya jawab dilakukan mengingat kondisi responden yang merupakan penjual bakso harus melayani konsumen yang membeli bakso yang mereka jual. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilaksanakan di laboratorium tentang kandungan formalin pada sampel bakso yang diteliti diketahui bahwa hasil pemeriksaan yang paling banyak adalah sampel bakso negatif mengandung formalin, yaitu sebanyak 17 sampel dengan persentase 60,7%. Sedangkan sampel bakso yang positif mengandung formalin sebanyak 11 sampel dengan persentase 39,3%. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya reaksi yang timbul yaitu berupa perubahan warna menjadi lembayu pada sampel yang positif setelah diteteskan reagen formalin (reagen A dan reagen B). Sedangkan 17 sampel lainnya tidak mengalami reaksi berupa perubahan warna setelah diteteskan reagen formalin, hal itu menunjukkan bahwa 17 sampel tersebut negatif mengandung formalin. Hasil wawancara kuesioner tentang tingkat pengetahuan produsen tentang bahan tambahan pangan khususnya formalin menunjukkan persentase tingkat pengetahuan responden yang beragam. Hasil persentase tiap responden kemudian dijumlahkan dan dicari rata-rata persentase tingkat pengetahuan responden (𝑥). Setelah 𝑥 diketahui, selanjutnya dilakukan pengelompokkan kategori tingkat pengetahuan responden dengan ketentuan
kategori tingkat pengetahuan baik jika persentase tingkat pengetahuan responden ≥ 𝑥 persentase tingkat pengetahuan. Kategori tingkat pengetahuan kurang jika persentase tingkat pengetahuan responden < 𝑥 persentase tingkat pengetahuan. 12 responden (42,9%) memiliki tingkat pengetahuan baik, dan 16 responden (57,1%) memiliki tingkat pengetahuan yang kurang. Berdasarkan hasil pengujian statistik, diketahui nilai Chi Square sebesar 0,312 dan P value 0,576 (> 0,05) serta nilai OR 1,556. Melihat besar P value, Ho dinyatakan diterima maka tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan penggunaan formalin pada bakso sapi kiloan yang dijual di pasar tradisional dan modern Kota Pontianak. Meskipun tidak memiliki hubungan, produsen dengan tingkat pengetahuan rendah memiliki resiko 1,714 kali lebih tinggi menggunakan formalin daripada produsen yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik. Faktor tingkat pengetahuan produsen tidak memiliki hubungan dengan penggunaan formalin pada bakso. Hal ini karena walaupun memiliki tingkat pengetahuan yang baik, namun beberapa produsen tersebut masih menggunakan formalin pada bakso yang diproduksinya. Hal tersebut dikarenakan pengetahuan yang dimiliki oleh produsen hanya sebatas teori dan belum diterapkan secara maksimal oleh produsen. Penyuluhan yang kurang merata serta tidak adanya pembinaan dan sanksi kepada produsen yang melanggar diduga menjadi penyebab masih dipergunakannya formalin sebagai bahan pengawet bakso tersebut. Faktor lain yang mungkin mempengaruhi penggunaan formalin pada bakso adalah faktor ekonomi serta kandungan formalin pada daging yang digunakan sebagai bahan utama untuk membuat bakso. Peneliti beranggapan bahwa faktor ekonomi memiliki hubungan dengan penggunaan formalin pada bakso karena pekerjaan utama produsen adalah sebagai penjual bakso sapi kiloan. Jadi untuk meminimalisasi jumlah bakso yang rusak atau busuk karena terlalu lama disimpan akibat tidak laku, maka produsen dengan sengaja menambahkan formalin pada saat proses pengolahan bakso tersebut. Hal ini bertujuan agar bakso yang telah dibuat dapat disimpan lebih lama, dengan demikian jumlah bakso yang rusak atau busuk tidak sebanyak jika produsen tidak menggunakan formalin sebagai
368 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.364 - 368
bahan pengawet bakso. Sedangkan faktor lainnya yang mungkin saja memiliki pengaruh pada kandungan formalin pada bakso adalah kandungan formalin yang terdapat pada daging yang digunakan sebagai bahan utama membuat bakso. Bisa saja produsen secara tidak sengaja menggunakan daging yang telah diawetkan menggunakan formalin oleh penjual daging. Faktor lain yang juga dianggap sebagai pendukung penggunaannya formalin pada bakso adalah belum diterapkannya kebijakan yang mengatur tentang penjualan dan pembelian formalin sehingga para produsen dapat memperoleh formalin untuk mengawetkan bakso. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui faktor apa saja yang memiliki pengaruh terhadap penggunaan formalin pada bakso yang dijual di pasar tradisional dan modern Kota Pontianak. Masyarakat sebaiknya berhati-hati dalam memilih bakso yang akan mereka beli untuk dikonsumsi, jika bakso yang dijual memiliki aroma menyengat yang berbeda dari biasanya sebaiknya konsumen membeli bakso di penjual lain atau membuat sendiri bakso yang akan mereka konsumsi. Para produsen juga harus meningkatkan pengetahuan tentang formalin serta menerapkan pengetahuan yang dimiliki dalam pengolahan baksonya agar tidak menimbulkan masalah kesehatan bagi para konsumen dan penggunaan formalin sebagai bahan pengawet dapat diganti menggunakan bahan yang aman seperti kitosan. Peran serta dinas terkait juga dibutuhkan dalam meningkatkan pengetahuan produsen serta pengawasan dalam peredaran dan penggunaan formalin sebagai bahan pengawet pangan. SIMPULAN
Sampel bakso yang positif mengandung formalin sebanyak 11 sampel (39,3%) dan sampel bakso yang negatif mengandung formalin sebanyak 17 sampel (60,7%). Produsen yang memiliki tingkat pengetahuan kurang sebanyak 16 produsen (42,9%) dan produsen yang memiliki tingkat baik sebanyak 12 responden (57,1%). Tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan produsen dengan penggunaan formalin pada bakso sapi kiloan yang dijual di pasar tradisional dan modern Kota Pontianak (Ho diterima) dengan hasil P value 0,576 dan nilai OR 1,556 yang berarti produsen dengan tingkat pengetahuan rendah memiliki resiko 1,556 lebih tinggi untuk menggunakan formalin. Adapun saran yang dapat diberikan adalah bagi peneliti lain agar dapat meneliti tentang faktor-faktor lain yang mungkin berpengaruh pada penggunaan formalin pada bakso sapi kiloan yang dijual di pasar tradisional dan modern Kota Pontianak, misalnya faktor ekonomi, faktor kandungan formalin pada daging yang digunakan sebagai bahan pembuatan bakso, serta faktor kebijakan yang mengatur tentang penjualan dan pembelian formalin Bagi produsen agar lebih meningkatkan pengetahuan serta menerapkan pengetahuan yang dimiliki tentang formalin dalam pengolahan baksonya dan tidak menggunakan formalin sebagai pengawet bakso, sebaiknya produsen menggunakan pengawet yang aman untuk pengawetan bakso seperti kitosan. Bagi masyarakat khususnya konsumen, supaya lebih berhati-hati dalam memilih bakso yang akan dibeli, jika pada bakso tercium bau yang tidak wajar sebaiknya cari penjual bakso lain yang memiliki bau alami bakso.
DAFTAR PUSTAKA Medikasari, 2002. Makalah Falsafah Sains, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Notoatmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta
Permanasari, M., 2010. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Pedagang dengan Praktik Penggunaan Formalin Pada Produk Ikan Basah di Beberapa Pasar Tradisional di Yogyakarta, Thesis Universitas Diponegoro.