HUBUNGAN PENERAPAN KEWASPADAAN STANDAR DENGAN KEJADIAN INFEKSI KARENA JARUM INFUS (PHLEBITIS) DI IRNA NON BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2012
Elmiyasna K*, Fitriana Juvita
ABSTRAK Data statistik yang didapat dari Yayasan Kesehatan mengenai infeksi nosokomial,phlebitis menepati peringkat pertama infeksi nosokomial di Indonesia dibandingkan infeksi lainnya.Data yang didapatkan dari PPIRS RSUP Dr. M. Djamil Padang pada Triwulan III (Juli, Agustus, September) yaitu di ICU dengan Ventilator Associated Pneumonia (VAP) diketahui 15,2%, dan terjadi peningkatan pada Oktober 2011 di ICU dengan VAP diketahui 24,4%, di Bedah dengan phlebitis diketahui 4,1%, dan kejadian infeksi di Irna Non Bedah sebanyak 29,7%. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan penerapan kewaspadaan standar dengan kejadian infeksi phlebitis di Irna Non Bedah RSUP.Dr. M. Djamil Padang tahun 2012.Jenis Penelitian ini bersifat analitik dengan pendekatan desain cross sectional. Penelitian dilakukan di Irna Non Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang. Penelitian akan dilakukan mulai 16 April sampai 16 Mei 2012 dengan jumlah populasi 68 orang dan sampel 41perawat dan 41 pasien. Teknik Pengumpulan data dengan data primer diperoleh secara langsung melalui pengamatan langsung pada responden. Pengumpulan data peneliti lakukan dengan lembar ceklist yang terkait dengan observasi, kemudian data dianalisa dengan Chi-Square.Hasil penelitian didapatkan 34.1% perawat cuci tangan tidak sesuai standar, 26.8% perawat memakai sarung tangan tidak sesuai standar, 41.5% perawat mendesinfeksi area penusukan tidak sesuai standar, 39.0% perawat menggunakan alat-alat untuk pemasangan infus yang steril tidak sesuai standar, 39.0% terdapat kejadian Phlebitis, sehingga didapatkan hubungan yang bermakna dengan kejadian phlebitis di Irna Non Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2012. Disimpulkan penelitian ini ada hubungan antara perawat cuci tangan sebelum dan sesudah pemasangan infus dengan kejadian phlebitis, ada hubungan antara perawat memakai sarung tangan sebelum pemasangan infus dengan kejadian phlebitis, ada hubungan antara perawat mendesinfeksi pada saat pemasangan infus dengan kejadian phlebitis, ada hubungan antara perawat menggunakan alat-alat untuk pemasangan infus yang steril dengan kejadian phlebitis.Diharapkan kepada petugas kesehatan untuk dapat lebih meningkatkan kesadaran perawat dalam penerapan kewaspadaan standar untuk dapat mengurangi kejadian phlebitis di Irna Non Bedah RSUP Dr. M. Djamil.
Kata Kunci : Kewaspadaan Standar, Phlebitis
Alamat Korespondensi Elmiyasna K, SKp, M.M STIKes MERCUBAKTIJAYA Padang Jl. Jamal Jamil Pondok Kopi Siteba Padang Telp. 0751 – 442295
PENDAHULUAN Tenaga perawat sebagai tenaga profesional yang melaksanakan asuhan keperawatan pada klien merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan di rumah sakit, karena hubungan perawat dengan pasien adalah selama 24 jam dalam mengalokasikan berbagai kemampuan dan pengetahuannya untuk memberikan pelayanan keperawatan, sehingga dapat di katakan bahwa tenaga perawat merupakan tolok ukur yang dapat menggambarkan kualitas pelayanan kesehatan di suatu rumah sakit (Nursalam, 2002). Kewaspadaan standar merupakan kombinasi segi-segi utama dari kewaspadaan universal (dirancang untuk mengurangi resiko penularan patogen melalui darah dari darah dan cairan tubuh) dan isolasi zat tubuh (dirancang untuk mengurangi resiko penularan penyakit dari zat tubuh yang lembab) (Depkes, 2007). Penerapan kewaspadaan standar terdapat beberapa komponen utama: mencuci tangan, sarung tangan, desinfeksi, sterilisasi, masker, kaca mata, baju pelindung, alas kaki, pengelolaan jarum suntik dan alat tajam, kebersihan lingkungan, penempatan pasien, linen, resusitasi pasien (Depkes, 2007). Teknik dasar yang paling penting dalam pencegahan dan pengontrolan penularan infeksi adalah mencuci tangan. Mencuci tangan adalah menggosok dengan sabun secara bersama seluruh kulit permukaan tangan dengan kuat dan ringkas yang kemudian di bilas di bawah aliran air. Tujuannnya untuk membuang kotoran dan organisme yang menempel di tangan. Tangan yang terkontaminasi merupakan penyebab utama perpindahan infeksi. Cuci tangan merupakan sebagai salah satu kewaspadaan standar yang harus dilakukan, sehingga penularan penyakit dari pasien melalui perawat, ataupun penularan keperawat sendiri dapat dihindari jika setiap perawat ataupun petugas kesehatan melakukan tindakan mencuci tangan sebelum maupun sesudah kontak untuk meminimalkan terjadinyan infeksi nosokomial (Nugraha, 2004). Pemilihan Alat Pelindung Diri (APD) yang akan dipakai harus didahului dengan penilaian risiko pajanan dan sejauh mana
antisipasi kontak dengan patogen dalam darah dan cairan tubuh. Penggunaan sarung tangan dan kebersihan tangan, merupakan komponen kunci dalam meminimalkan penyebaran penyakit dan mempertahankan suatu lingkungan bebas infeksi (Tietjen, 2004). Selain itu, komponen yang sangat penting dalam kewaspadaan standar adalah desinfeksi dan sterilisasi. Desinfeksi adalah suatu tindakan untuk membunuh kuman patogen dan apatogen tetapi tidak dengan sporanya pada alat perawatan atau permukaan jaringan (Tietjen, 2004). Sedangkan, sterilisasi adalah suatu tindakan untuk membunuh kuman patogen dan apatogen beserta sporanya pada alat perawatan (Thietjen, 2004). Pada saat pemasangan infus harus menggunakan teknik sterilisasi. Apabila ada saat melakukan pemasangan infus alat-alat yang akan digunakan tidak menggunakan teknik sterilisasi akan mengakibatkan phlebitis seperti pembengkakan, kemerahan, nyeri disepanjang vena. Hal ini sangat merugikan bagi pasien karena infus yang seharusnya dilepas setelah 72 jam kini harus dilepas sebelum waktunya karena disebabkan oleh alat-alat bantu yang digunakan untuk memasang infus tidak menggunakan teknik sterilisasi (Harry, 2006). Sesuai dengan penjelasan sebelumnya bahwa kewaspadaan standar dapat menurunkan resiko infeksi nosokomial diantaranya adalah resiko infeksi akibat pemasangan jarum infus (phlebitis). Selain itu, Phlebitis juga termasuk salah satu infeksi nosokomial. Phlebitis merupakan keadaan yang terjadi disekitar tusukan atau bekas tusukan jarum infus di Rumah Sakit, dan timbul setelah 3 x 24 jam dirawat di rumah sakit kecuali infeksi kulit karena sebab-sebab lain yang tidak didahului oleh pemberian infus atau suntikan lain. Infeksi ini ditandai dengan rasa panas, pengerasan dan kemerahan (kalor, tumor, dan rubor) dengan atau tanpa nanah (pus) pada daerah bekas tusukan jarum infus dalam waktu 3 x 24 jam atau kurang dari waktu tersebut bila infus terpasang (Surveilans RS, 2011). Dengan demikian masalah infeksi nosokomial menjadi semakin jelas, perlu dicari kebijakan baru untuk menguranginya, salah satunya adalah dengan penerapan
kewaspadaan standar. Studi yang dilakukan WHO di 55 rumah sakit di 14 negara di seluruh dunia yang menunjukkan bahwa 8,7 % pasien rumah sakit menderita infeksi selama menjalani perawatan di rumah sakit. Sementara di negara berkembang, di perkirakan lebih dari 40 % pasien di rumah sakit terserang infeksi nosokomial (Menkes, 2009). Data statistik yang didapat dari Yayasan Kesehatan mengenai infeksi nosokomial, phlebitis menepati peringkat pertama infeksi nosokomial di Indonesia dibandingkan infeksi lainnya yaitu sebanyak 16.435 kejadian phlebitis dari 588.328 pasien beresiko di Rumah Sakit Umum di Indonesia atau lebih kurang 2,8% dan sebanyak 293 kejadian phlebitis dari 18.800 pasien yang beresiko di Rumah Sakit khusus atau swasta di Indonesia pada tahun 2006 atau lebih kurang 1,5% (Depkes, 2007). Didukung oleh data yang didapatkan pada tanggal 14 Desember 2011 dari PPIRS RSUP Dr. M. Djamil Padang pada Triwulan III (Juli, Agustus, September) 2011 ruangan yang melaporkan terjadinya infeksi di ruangan hanya 4 (empat) ruangan yaitu ICU, NICU, Bedah, RRI Nifas. Di ICU dengan Ventilator Associated Pneumonia (VAP) diketahui 15,2‰, dan terjadi peningkatan pada Oktober 2011 di ICU dengan VAP diketahui 24,4‰, di Bedah dengan plebitis diketahui 4,1‰, dan kejadian infeksi nosokomial berupa phlebitis yang terjadi pasien yang dirawat Penyakit Dalam sebanyak 29,7‰ (PPRIS, 2011). Dari hasil wawancara dengan petugas yang di lakukan tanggal 28 November 2011 di bagian Komite Pengendalian dan Pencegahan Infeksi Rumah Sakit (PPIRS) di RSUP. Dr. M. Djamil Padang bahwa surveilans infeksi nosokomial tidak untuk seluruh ruangan di rumah sakit akan tetapi hanya pada lima ruangan saja yaitu Intensive Care Unit (ICU), Neonatal Intensive Care Unit (NICU), Bedah, Ruang Rawat Inap (RRI) Nifas / Rawat Gabung Kebidanan, dan Penyakit Dalam. Telah ada standar operasional tentang pelaksanaan metode kewaspadaan standar dalam pelaksanaan tindakan keperawatan terdapatnya westafel beserta cairan desinfektan untuk mencuci tangan tetapi hanya sebagian perawat yang melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan metode kewaspadaan standar ( PPRIS, 2011).
Survey awal yang dilakukan tanggal 06 Januari 2012 dengan cara di observasi pada Irna Non Bedah Ruang Interne Pria di RSUP Dr. M. Djamil Padang ternyata 6 orang perawat yang dinas pagi di Ruang Penyakit dalam hanya 2 orang melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien sesuai standar, 2 orang mencuci tangan hanya sesudah kontak dengan pasien tidak sesuai standar, dan 2 orang lagi tidak ada mencuci tangan sama sekali. 6 perawat dinas pagi pada saat pemasangan infus tidak memakai sarung tangan. Diantara 6 perawat yang dinas pagi hanya 3 orang yang melakukan desinfeksi dan sterilisasi sesuai SPO Rumah Sakit. Dari latar belakang diatas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian tentang hubungan penerapan kewaspadaan standar dengan kejadian infeksi karena jarum infus (phlebitis) di Irna Non Bedah RSUP. Dr. M. Djamil Padang Tahun 2012. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat analitik dengan pendekatan desain cross sectional yaitu variabel independen dan variabel dependen diambil secara bersamaan dengan melihat hubungan penerapan kewaspadaan standar dengan infeksi phlebitis di Irna Non Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2012. Pengumpulan data telah dilakukan di Irna Non Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang dan waktu penelitian pada tanggal 16 April 2012 sampai 16 Mei 2012. Populasi adalah keseluruhan objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2010).Populasi dalam penelitian ini adalah perawat pelaksana di Irna Non Bedah yaitu High Care Unit, Instalansi Pria, Instalansi Wanita sebanyak 68 orang dan pasien yang dalam pemasangan infus setelah 3x24 jam selama waktu penelitian di Irna Non Bedah RSUP Dr. M . Djamil Padang. Teknik pengambilan sampel yaitu secara accidental sampling.Sampel dalam penelitian ini adalah perawat yang memenuhi kriteria yang berjumlah 41 perawat dan pasien yang memenuhi kriteria yang berjumlah 41 pasien. Dilakukan setiap satu pasien diobservasi selama 3x24 jam terhitung sejak pemasangan infus hari pertama.
HASIL PENELITIAN
Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2012, dapat dilihat pada tabel berikut : Berdasarkan hasil penelitian tentang Hubungan Penerapan Kewaspadaan Standar dengan Kejadian Phlebitis di Irna Non 1. Cuci Tangan Tabel 1 Distribusi Frekuensi Perawat Cuci Tangan Sebelum Dan Sesudah Pemasangan Infus di Irna NonBedah RSUP. Dr. M. DjamilPadang Tahun 2012 Cuci Tangan
f
%
Sesuai standar Tidak sesuai standar
27 14
65.9 34.1
Jumlah
41
100
Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa kurang dari separuh (34.1%) perawat cuci tangan tidak
sesuai standar sebelum pemasangan infus.
dan
sesudah
2. Sarung Tangan Tabel 2Distribusi Frekuensi Perawat Memakai Sarung Tangan Sebelum Pemasangan Infus di Irna Non Bedah RSUP. Dr. M. DjamilPadang Tahun 2012 Sarung Tangan
f
%
Sesuai standar Tidak sesuai standar
30 11
73.2 26.8
Jumlah
41
100
Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa kurang dari separuh (26.8%) perawat memakai sarung
tangan tidak sesuai pemasangan infus.
standar
sebelum
3. Desinfeksi Tabel 3Distribusi Frekuensi Perawat Mendesinfeksi Area Penusukan Pada Saat Pemasangan Infus di Irna Non Bedah RSUP. Dr. M. DjamilPadang Tahun 2012 Desinfeksi
f
%
Sesuai standar Tidak sesuai standar
24 17
58.5 41.5
Jumlah
41
100
Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa kurang dari separuh (41.5%) perawat mendesinfeksi area
penusukan tidak sesuai pamasangan infus.
standar
sebelum
4. Sterilisasi Tabel 4Distribusi Frekuensi Perawat Menggunakan Alat-Alat Untuk Pemasangan Infus Yang Steril di Irna Non Bedah RSUP. Dr. M. DjamilPadang Tahun 2012 Sterilisasi
F
%
Sesuai standar Tidak sesuai standar
25 16
61.0 39.0
Jumlah
41
100
Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa kurang dari separuh (39.0%) perawat menggunakan alat-alat untuk pamasangan infus yang steril tidak sesuai standar.
5. Kejadian Phlebitis Tabel 5Distribusi Frekuensi Kejadian Phlebitis yang Terpasang Infus dari Tanggal 16 April sampai 16 Mei 2012 di Irna Non BedaRSUP. Dr. M. Djamil Padang Tahun 2012 Kejadian Phlebitis
F
%
Tidak Phlebitis Phlebitis
25 16
61.0 39.0
Jumlah
41
100
Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa kurang dari separuh (39.0%) terdapat kejadian Phlebitis. 6. Hubungan Perawat Cuci Tangan Sebelum Dan Sesudah Pemasangan Infus Dengan Kejadian Phlebitis Tabel 6 Hubungan Perawat Cuci Tangan Sebelum Dan Sesudah Pemasangan Infus Dengan Kejadian Phlebitisdi Irna Non Bedah RSUP. Dr. M. Djamil Padang Tahun 2012 Cuci Tangan Kejadian Phlebitis Jumlah Tidak Phlebitis Phlebitis f % F % F % Sesuai standar 21 77.8 6 22.2 27 100 Tidak sesuai standar 4 28.6 10 71.4 14 100 Jumlah
25
Berdasarkan tabel 6 didapatkan hasil bahwa proporsi perawat cuci tangan tidak sesuai standar banyak terjadi kejadian phlebitis yaitu (71.4%) dibandingkan dengan yang cuci tangan sesuai standar (22.2%).
16
41
p value = 0.006 Setelah di Uji Statistic Chi-Square didapatkan hasil p value 0.006 (p value < 0.05) sehingga ada hubungan antara perawat cuci tangan sebelum dan sesudah pemasangan infus dengan kejadian phlebitis.
7. Hubungan Perawat Memakai Sarung Tangan Sebelum Pemasangan Infus Dengan Kejadian Phlebitis Tabel 7Hubungan Perawat Memakai Sarung Tangan Sebelum Pemasangan Infus Dengan Kejadian Phlebitisdi Irna Non Bedah RSUP. Dr. M. DjamilPadang Tahun 2012 Sarung Tangan
Kejadian Phlebitis
Sesuai standar Tidak sesuai standar
Tidak Phlebitis f % 23 76.7 2 18.2
Phlebitis F % 7 23.3 9 81.8
Jumlah
25
14
Berdasarkan tabel 7 didapatkan hasil bahwa proporsi perawat memakai sarung tangan tidak sesuai standar banyak terjadi kejadian phlebitis yaitu (81.8%) dibandingkan dengan yang memakai sarung tangan sesuai standar (23.3%).
Jumlah F 30 11
% 100 100
41 p value = 0.001
Setelah di Uji Statistic Chi-Square didapatkan hasil p value 0.001 (p value < 0.05) sehingga ada hubunganantara perawat meamakai sarung tangan sebelum pemasangan infus dengan kejadian phlebitis.
8. Hubungan Perawat Mendesinfeksi Pada SaatPemasangan Infus Dengan Kejadian Phlebitis Tabel 8Hubungan Perawat Mendesinfeksi Pada Saat Pemasangan Infus Dengan Kejadian Phlebitisdi Irna Non Bedah RSUP. Dr. M. DjamilPadang Tahun 2012 Desinfeksi
Kejadian Phlebitis
Sesuai standar Tidak sesuai standar
Tidak Phlebitis f % 19 79.2 6 35.3
Jumlah
25
Jumlah Phlebitis f % 5 20.8 11 64.7
F 24 17
% 100 100
14
41
100
p value = 0.012 Berdasarkan tabel 8 didapatkan hasil bahwa proporsi perawat mendesinfeksi pada saat pemasangan infus tidak sesuai standar banyak terjadi kejadian phlebitis yaitu (64.7%) dibandingkan dengan yang mendesinfeksi sesuai standar (20.8%).
Setelah di Uji Statistic Chi-Square didapatkan hasil p value 0.012 (p value < 0.05) sehingga ada hubungan antara perawat mendesinfeksi pada saat pemasangan infus dengan kejadian phlebitis.
9. Hubungan Perawat Menggunakan Alat-Alat Untuk Pemasangan Infus Yang Steril Dengan Kejadian Phlebitis Tabel 9 Hubungan Perawat Menggunakan Alat-Alat Untuk Pemasangan Infus Yang Steril Dengan Kejadian Phlebitisdi Irna Non Bedah RSUP. Dr. M. DjamilPadang Tahun 2012 Sterilisasi
Kejadian Phlebitis
Sesuai standar Tidak sesuai standar
Tidak Phlebitis f % 19 76.0 6 37.5
Jumlah
25
Jumlah Phlebitis f % 6 24.0 10 62.5
F 25 16
% 100 100
14
41
100
p value = 0.033 Berdasarkan tabel 9 didapatkan hasil bahwa proporsi perawat menggunakan alat-alat untuk pemasangan infus yang steril tidak sesuai standar banyak terjadi kejadian phlebitis yaitu (62.5%) dibandingkan dengan yang menggunakan alat-alat untuk pemasangan infus yang sesuai standar (24.0%).
PEMBAHASAN Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa kurang dari separuh (34.1%) perawat cuci tangan tidak sesuai standar sebelum dan sesudah pemasangan infus.Hal ini menunjukkan bahwa kurang dari separuh perawat cuci tangan tidak sesuai standar sebelum dan sesudah pemasangan infus yaitu 14 orang dari 41 orang perawat cuci tangan sebelum dan sesudah pemasangan infus.
Setelah di Uji Statistic Chi-Square didapatkan hasil p value 0.033 (p value < 0.05) sehingga ada hubungan antara perawat menggunakan alat-alat untuk pemasangan infus yang steril dengan kejadian phlebitis.
Mencuci tangan harus dilakukan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan walaupun memakai sarung tangan dan alat pelindung diri lain. Tindakan ini penting untuk mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan sehingga penyebaran infeksi dapat dikurangi dan lingkungan kerja terjaga dari infeksi (Nursalam dan Ninuk, 2007).Mencuci tangan adalah menggosok dengan sabun secara bersamaan seluruh kulit permukaan tangan dengan kuat dan ringkas yang kemudian dibilas di bawah aliran air dikutip dari Larson tahun 1995 (Poter & Perry,
2005).Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko penyebaran mikroorganisme yang ada ditangan. Masih banyaknya perawat yang mencuci tangan tidak sesuai standar dikarenakan perawat masihtidak memperhatikan kebersihan selama kerja sehingga terjadi penyebaran mikrooragnisme. Dari 41 orang yang diobservasi 14 orang diantaranya tidak membasahi tangannya dahulu dengan air mengalir dan tidak menggunakan sabun untuk mencuci tangan. Padahal Mencuci tangan merupakan kegiatan sederhana namun efektif dalam pencegahan infeksi asalkan dilakukan sesuai dengan prosedur yang ada. Perawat diindikasikan mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan. Hal itu disebabkan karena kemungkinan besar mikroorganisme melakukan penyebaran maka dalam mencuci tangan diperlukan sarana cuci tangan yang sesuai standar kesehatan yaitu adanya air mengalir, sabun atau deterjen cair, larutan antiseptik dan adanya sarana pengering tangan seperti handuk, tisu, kertas atau handuk katun untuk sekali pemakaian. Semua perawat yang diteliti mengaku selalu melakukan cuci tangan baik sebelummaupun sesudah menangani pasien, namun dalam kenyataannyatidak demikian. Hasil pengamatan menunjukkan bahwakurang dari separuh perawat tersebut tidak melaksanakan cuci tangan.Ini terlihat pada waktu petugas akan memasang infus, baik saatpertama kali atau pergantian dari pasien satu ke pasien lainnya.Mereka pada umumnya mencuci tangan setelah selesai melakukanpemasangan infus pasien keseluruhan. Hal ini menunjukkanbahwa pengakuan mereka hanya berdasarkan pengetahuanmereka saja. Tindakan mereka dalam memasang infus pasien tidaksesuai dengan apa yang mereka ketahui. Sedangkan bila melihatwaktu melakukan cuci tangan menunjukkan tujuan mencucitangan perawat lebih diperuntukkan bagi diri perawat daripada kepentinganpasien. Dari hasil penelitian menurut analisa peneliti terlihat dimana kurang dari separuh perawat cuci tangan tidak sesuai standar sebelum dan sesudah pemasangan infus
khususnya dalam melakukan cuci tangan tampakhanya jari-jari tangan yang dibasuh dengan air mengalir. Sepintas lalu tindakan demikian kelihatan asal-asalan. Malahan ada dari mereka tidak melakukan cuci tangan sama sekali karena beberapa alasan antara lain fasilitas cuci tangan tidak tersedia, airnya tidak mengalir, lupa, menganggap tidak praktis dan merasa tangannya tidak kotor. Hal ini menunjukkan masih rendahnya disiplin dan kesadaran petugas akan pentingnya cuci tangan dalam pencegahan infeksi atau penularan penyakit, di samping karena jumlah sarana cuci tangan yang terbatas.Untuk itu menurut analisa peneliti mencuci tangan sebelum dan sesudah tindakan sangat perlu dilakukan oleh petugas kesehatan. Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa kurang dari separuh (26.8%) perawat memakai sarung tangan tidak sesuai standar sebelum pemasangan infus.Hal ini menunjukan bahwa kurang dari separuh perawat memakai sarung tangan tidak sesuai standar sebelum pemasangan infus yaitu 11 orang dari 41 orang perawat yang memakai sarung tangan sebelum pemasangan infus. Menggunakan sarung tangan merupakan komponen kunci dalam meminimalkan penularan penyakit serta mempertahankan lingkungan bebas infeksi (Eny RA, 2009).Alat pelindung diri digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lendir petugas dari resiko pajanan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, ekskreta kulit yang tidah utuh dan selaput lendir pasien.Jenis tindakan yang beresiko mencakup tindakan rutin, tindakan bedah tulang, otopsi danperawatan gigi dimana menggunakan bor dengan kecepatan putar yang tinggi (Depkes, 2003). Berdasarkan hasil penelitian menurut analisa peneliti terlihat kurang dari separuh perawat menggunakan sarung tangan tidak sesuai standar sebelum pemasangan infus karena terbatasnya ketersediaan sarung tangan di ruangan sedangakan pasien yang akan memasang infus cukup banyak. Berbagai alasan ketika perawat tidak memakai sarung tangan, kadang lupa kadang juga sengaja. Memang terkadang perawat tidak merasa nyaman memasang infus dengan memakai sarung tangan, apalagi kalo lagi memasang plaster lengket sana sini. Tapi demi keamanan serta
kenyamanan perawat dan pasien ini juga harus dilakuin.Perawat sangat perlu untuk menggunakan sarung tangan pada saat melakukan tindakan terhadap pasien, agar dapat terhindar dari resiko pajanan cairan tubuh pasien, darah dll. Dengan menggunakan sarung tangan akan dapat meminimalkan penularan infeksi silang terhadap pasien. Untuk itu sangat penting bagi petugas kesehatan untuk dapat menggunakan sarung tangan pada saat melakukan tindakan. Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa kurang dari separuh (41.5%) perawat mendesinfeksi area penusukan tidak sesuai standar sebelum pamasangan infus.Hal ini menunjukkan bahwa kurang dari separuh perawat mendesinfeksi area penusukan tidak sesuai standar sebelum pemasangan infus yaitu 17 orang dari 41 orang perawat mendesinfeksi area penusukan sebelum pemasangan infus. Desinfeksi adalah suatu tindakan untuk membunuh kuman patogen dan apatogen tetapi tidak dengan sporanya pada alat perawatan atau permukaan jaringan dengan cara mencuci, merendam, dan menjemur. Biasanya di lakukan dengan menggunakan desinfektan kimia atau pasteurisasi basah.Desinfeksi adalah suatu tindakan untuk membunuh kuman patogen dan apatogen tetapi tidak dengan sporanya pada alat perawatan atau permukaan jaringan (Tietjen, 2004). Dari 41 orang yang diobservasi 17 orang diantaranya dalam mendesinfeksi area penusukan mengusapkan kapas alkohol dengan berulang, padahal pengusapan yang dilakukan berulang itulah yang menyebabkan penyebaran kuman. Berdasarkan hasil penelitian kurang dari separuh perawat melakukan desinfeksi tidak sesuai standar pada saat melakukan tindakan keperawatan terutama pemasangan infus.Terkadang hal yang sepele begini bisa terlupakan dengan yakinnya perawat menusukkan abocath, baru teringat belum di desinfeksi, hal ini bisa karena perawat terlalu grogi, terlaluburu-buru atau lupa bawa alatnya.Apapun alasannya, pokoknya melakukan desinfeksi sebelum menusukkan abocath itu wajib hukumnya.Desinfeksi akan dapat membantu membunuh kuman yang ada pada alat dan area yang akan dilakukan
tindakan seperti penusukan untuk pemasangan infus. Untuk itu sangat perlu dilakukan desinfeksi terhadapalat-alat yang akan digunakan untuk melakukan perawatan atau tindakan terhadap pasien. Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa kurang dari separuh (39.0%) perawat menggunakan alat-alat untuk pamasangan infus yang steril tidak sesuai standar.Hal ini menunjukkan kurang dari separuh perawat menggunakan alat-alat pemasangan infus yang steril tidak sesuai standar yaitu 16 orang dari 41 orang perawat menggunakan alat-alat pemasangan infus yang steril. Sterilisasi adalah suatu tindakan untuk membunuh kuman patogen dan apatogen beserta sporanya pada alat perawatan (Tietjen, 2004). Untuk mencegah penyebaran penyakit melalui jarum suntik maka diperlukan:Pengurangan penyuntikan yang kurang diperlukan, pergunakan jarum steril, penggunaan alat suntik yang disposibel (Harry, 2006). Dari 41 orang yang diobservasi 16 orang diantaranya dalam penusukan area pemasangan infus masih ada lebih dari satu kali tusuk dan masih menggunakan IV cath yang sama, padahal IV cath dapat tumpul bila dilakukan berulang yang mengakibatkan phlebitis. Berdasarkan hasil penelitian terdapat kurang dari separuh perawat menggunakan alat steril tidak sesuai standar untuk pemasangan infus karena karena perawat bekerja terlalu terburu-buru sehingga tidak bisa mempertahankan kesterilan alat pemasangan infus Seperti hasil observasi langsung peneliti ada perawat yang seharusnya melepaskan pembungkus lubang slang IV pada kantung larutan IV plastik tanpamenyentuh ujung tempat masuknya alat set infus, masih menganggap tangannya bersih, dan bisa karena kelalaian yang dilakukan perawat sendiri yang yang tanpa sengaja menjatuhkan IV cath dan menggambilnya lalu memasangkan kepada pasien tanpa mengganti IV cath yang baru padahal IV yang telah terjatuh tadi sudah tidak steril lagi. Menurut analisa peneliti penggunaan alat yang steril akan sangat mengurangi resiko terjadinya penyebaran kuman pathogen dan apatogen pada pasien, dengan demikian akan
dapat memprkecil resiko terjadinya infeksi pada pasien. Untuk itu penggunaan alat yang steril sangat perlu diperhatikan agar dapt mengurangi resiko terjadinya infeksi pada pasien. Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa kurang dari separuh (39.0%) terdapat kejadian Phlebitis. Hal ini menunjukkan kurang dari separuh pasien terdapat kejadian phlebitis yaitu 16 orang dari 41 orang pasien dalam pemasangan infus. Phlebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik.Hal ini dikarakteristikkan dengan adanya daerah yang memerah dan hangat disekitar daerah penusukan atau disepanjang vena, dan pembengkakan (Brunner&Suddarth, 2002).Phlebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi kimia maupun mekanik yang sering disebabkan oleh komplikasi dari terapi intravena, Phlebitis dikarateristikkan dengan adanya dua atau lebih tanda nyeri, kemerahan, kemerahan, bengkak, indurasi dan terba mengeras di bagian vena yang terpasang kateter intravena (Darmawan, 2008). Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya phlebitis (Pujasari dalam Sugiarto, 2006)yaitu:Hindari pemilihan pada area fleksi atau lipatan atau pada ekstrimitas dengan pergerakan maksimal, faktor-faktor pada pasien seperti adanya vena yang berkelok-kelok dan spasme vena dapat mempengaruhi kecepatan aliran (infus lambat atau berhenti), ukuran kanula yang terlalu besar dibandingkan dengan ukuran vena sehingga memungkinkan terjadinya cedera pada tunika intima vena, fiksasi yang kurang adekuat menyebabkan pergerakan kanula di dalam vena sehingga terjadi infeksi,jenis cairan yang diberikan jika pH dan osmolaritas cairan atau obat yang lebih rendah atau lebih tinggi menjadi faktor predisposisi iritasi vena, pengenceran obat infeksi yang tidak maksimal terutama jenis antibiotika, kesterilan alat-alat intravena, faktor keberhasilan perawat (cuci tangan sebelum dan sesudah pemasangan infus). Dari 41 perawat yang diobservasi diantaranya 14 perawat cuci tangan tidak sesuai standar, 11 perawat memakai sarung tangan tidak sesuai standar, 17 perawat desinfeksi tidak
sesuai standar, 16 perawat sterilisasi tidak sesuai standar dengan kejadian phlebitis 16 pasien dari 41 pasien yang diobservasi. Masih ada terjadi saat penelitian berlangsung, perawat yang melakukan tindakan sesuai standar malah terjadi phlebitis dan sebaliknya perawat yang melakukan tindakan tidak sesuai standar malah tidak terjadi phlebitis. Hal tersebut menunjukkan bahwa selain cuci tangan sesuai standar, memakai sarung tangan sesuai standar, desinfeksi sesuai standar, sterilisasi sesuai standar ada faktor lain yaitu bisa dari pasien yang gelisah, sering bolak balik kekamar mandi dan lupa mematikan pengatur infus, dari alat kanul yang terlalu besar untuk vena, iritasi vena selama pemasangan, atau adanya pergerakan kanul di dalam vena. Berdasarkan analisa peneliti kurang dari separuh pasien mengalami phlebitis karena perawat dalam melakukan pemasangan infus tidak sesuai stanar khususnya cuci tangan sesuai standar, tidak memakai sarung tangan sesuai standar, tidak melakukan desinfeksi pada area penusukan sesuai standar, tidak menjaga kesterilan alatsesuai standar. Menurut analisa peneliti phlebitis dapat disebabkan oleh tekhnik pencucian tangan yang kurang baik,kegagalan pemeriksaan peralatan yang rusak dan penggunaan kanula yang terlalu lama. Untuk itu penerapan kewaspadaan yang sesuai standar selama melakukan tindakan sangat perlu diperhatikan oleh petugas kesehatan agar dapat mengurangi resiko terjadinya infeksi terutama phlebitis. Dalam melakukan penelitian ini peneliti memiliki beberapa keterbatasan penelitian yaitu penelitian ini yang berkontribusi dengan penelitian terkait adalah phlebitis bakterial. Phlebitis bakterial terjadi akibat ketidak sterilan alat-alat intravena dan faktor ketidak berhasilan perawat dalam penerapan kewaspadaan standar (cuci tangan sebelum dan sesudah pemasangan infus, memakai sarung tangan, mendesinfeksi, menjaga ksesterilan alat). Akan tetapi phlebitis penyebab phlebitis karena phlebitis kimia dan mekanis harus diminimalisir. Phlebitis kimia dikaitkan dengan cairan infus, agar phlebitis kimia dapat diminimalisir harus diperhatikan Jenis cairan yang diberikan jika pH dan osmolaritas cairan atau obat yang lebih rendah atau lebih tinggi menjadi faktor predisposisi iritasi vena,
pengenceran obat infeksi yang tidak maksimal terutama jenis antibiotika, sedangkan dalam penelitian cairan dan kepekatan cairan yang terpasang pada pasien yang dijadikan responden tidak dikontrol hanya terfokus pada tindakan perawat dalam penerapan kewaspadaan standar yaitu mencuci tangan, memakai sarung tangan, mendesinfeksi, sterilisasi. Setelah itu dalam 3x24 jam peneliti mengobservasi responden terjadi phlebitis atau tidak. Phlebitis mempengaruhi kecepatan aliran (infus lambat atau berhenti), ukuran kanula yang terlalu besar dibandingkan dengan ukuran vena sehingga memungkinkan terjadinya cedera pada tunika intima vena, fiksasi yang kurang adekuat menyebabkan pergerakan kanula di dalam vena sehingga terjadi infeksi. Diketahui secara teori penyebab phlebitis dibedakan menjadi tiga yaitu phlebitis kimia, phlebitis mekanis, phlebitis bakterial, sedangkan peneliti mengambil semua responden yang terdapat phlebitis tanpa membedakan penyebab terjadinya phlebitis. Berdasarkan tabel 6 didapatkan hasil bahwa proporsi perawat cuci tangan tidak sesuai standar banyak terjadi kejadian phlebitis yaitu (71.4%) dibandingkan dengan yang cuci tangan sesuai standar (22.2%).Setelah di Uji Statistic Chi-Square didapatkan hasil p value 0.006 (p value < 0.05) sehingga ada hubungan antara perawat cuci tangan sebelum dan sesudah pemasangan infus dengan kejadian phlebitis. Mencuci tangan adalah proses secra mekanik melepaskan kotoran dan debris dari kulit tangan dengan menggunakan sabun biasa dan air (Depkes, 2008).Mencuci tangan harus dilakukan sebelum dan sesudah melakukan tidakan keperawatan walaupun memakai sarung tangan dan alat pelindung diri lain. Tindakan ini penting untuk mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan sehngga penyebaran infeksi dapat dikurangi da lingkungan kerja terjaga dari infeksi (Nursalam dan Ninuk, 2007). Berdasarkan hasil penelitian terdapat hubungan antara perawat cuci tangan sebelum dan sesudah pemasangan infus dengan kejadian phlebitis.Kejadian phlebitis lebih banyak terjadi pada pasien yang mendapatkan tindakan pemasangan infus dari perawat yang
tidak mencuci tangan sesuai standar.Masih adanya kejadian phlebitis disebabkan oleh perawat yang tidak mencuci tangan sesuai standar, hal ini disebabkan oleh masih kurangnya kepedulian perawat terhadapa keselamatan kerja dan keselamatan pasien. Menurut analisa peneliti kejadian phlebitis sangat berhubungan dengan pencucian tangan yang sesuai atau tidak sesuai dengan standar.Untuk itu sangat penting bagi perawat untuk dapat lebih meningkatkan kewaspadaan sesuai standar terutama mencuci tangan. Berdasarkan tabel 7 didapatkan hasil bahwa proporsi perawat memakai sarung tangan tidak sesuai standar banyak terjadi kejadian phlebitis yaitu (81.8%) dibandingkan dengan yang memakai sarung tangan sesuai standar (23.3%).Setelah di Uji Statistic ChiSquare didapatkan hasil p value 0.001 (p value < 0.05) sehingga ada hubungan antara perawat meamakai sarung tangan sebelum pemasangan infus dengan kejadian phlebitis. Pemakaian sarung tangan bertujuan untuk melindungi tangan dari kontak dengan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, kulit yang tidak utuh, selaput lendir pasien, dan benda yang terkontaminasi.Sarung tangan harus selalu dipakai oleh setiap petugas sebelum kontak dengan darah atau semua jenis cairan tubuh. Segera lepas sarung tangan apabila akan menangani pasien yang lain. Hindari jamahan pada benda-benda lain yang berhubungan dengan tindakan yang sedang dilakukan. Digunakan bila kontak dengan darah, cairan tubuh, dan barang-barang yang terkontaminasi, digunakan bila terjadi kontak dengan selaput lendir dan kulit terluka. Gunakan prosedur ini mengingat resiko terbesar adalah paparan terhadap cairan darah, tidak memperdulikan apa yang diketahui tentang pasien. Jangan didaur ulang, sarung tangan steril harus selalu digunakan untuk prosedur antiseptik dan jangan mengurangi kebutuhan cuci tangan meskipun telah memakai sarung tangan (Depkes RI, 2007). Berdasarkan hasil penelitain terdapat hubungan antara perawat meamakai sarung tangan sebelum pemasangan infus dengan kejadian phlebitis. Masih adanya pasien yang mengalami phlebitis disebabkan oleh adanya
perawat yang masih tidak menggunakan sarung tangan sesuai standar pada saat pemasangan infuse. Penggunaan sarung tangan akan dapat mengurangi resiko pajanan darh terhadap perawat dan resiko terjadinya infeksi silang. Menurut analisa peneliti penggunaan sarung tangan akan dapat mnegurangi terjadinya infeksi silang antara perawat dengan pasien, untuk itu sangat penting bagi perawat untuk dapat menggunakan sarung tangan pada saat melakukan tidakan pada klien.Berdasarkan tabel 8 didapatkan hasil bahwa proporsi perawat mendesinfeksi pada saat pemasangan infus tidak sesuai standar banyak terjadi kejadian phlebitis yaitu (64.7%) dibandingkan dengan yang mendesinfeksi sesuai standar (20.8%).Setelah di Uji Statistic Chi-Square didapatkan hasil p value 0.012 (p value < 0.05) sehingga ada hubungan antara perawat mendesinfeksi pada saat pemasangan infus dengan kejadian phlebitis. Disinfeksi adalah suatu tindakan untuk membunuh kuman patogen dan apatogen tetapi tidak dengan sporanya pada alat perawatan atau permukaan jaringan dengan cara mencuci, merendam, dan menjemur. Biasanya di lakukan dengan menggunakan desinfektan kimia atau pasteurisasi basah (Tietjen, 2004).Desinfeksi vena dengan tekhnik yang benar pada saat pemasangan infus dengan alkohol 70% dengan tekhnik sirkuler (dalam gerakan memutar bergerak keluar dari tempat penusukan) atau dari atas ke bawah sekali hapus. Berdasarkan hasil penelitian terdapat hubungan antara perawat mendesinfeksi pada saat pemasangan infus dengan kejadian phlebitis. Tidak adanya kejadian phlebitis pada pasien disebabkan oleh perawat telah melakukan tindakan sesuai standar yaitu tindakan mendesinfeksi pada saat akan melakukan pemasangan infus. Sebaliknya adanya kejadian phlebitis disebabkan oleh adanya perawat yang tidak melakukan desinfeksi sesuai standar seperti masih ada perawat yang melakukan desinfeksi pada area penusukan dengan berulang kali dan menggunakan alat desinfeksi yang sama. Menurut analisa peneliti melakukan tindakan desinfeksi sesuai standar akan dapat mengurangi kuman patogen dan apatogen di
area penusukan, untuk itu sangat penting bagi perawat untuk melakukan desinfeksi sesuai standar pada saat melakukan pemasangan infus. Berdasarkan tabel 9 didapatkan hasil bahwa proporsi perawat menggunakan alatalat untuk pemasangan infus yang steril tidak sesuai standar banyak terjadi kejadian phlebitis yaitu (62.5%) dibandingkan dengan yang menggunakan alat-alat untuk pemasangan infus yang sesuai standar (24.0%).Setelah di Uji Statistic Chi-Square didapatkan hasil p value 0.033 (p value < 0.05) sehingga ada hubungan antara perawat menggunakan alat-alat untuk pemasangan infus yang steril dengan kejadian phlebitis. Sterilisasi adalah suatu tindakan untuk membunuh kuman patogen dan apatogen beserta sporanya pada alat perawatan dengan cara merebus, stoom, panas tinggi, penguapan dengan tekanan, gas etilen oksida (ETO), dan bahan kimia. Contoh : alat redresing yang siap digunakan, harus disterilkan kembali sebelum menggunakannnya kembali (Tietjen, 2004). Berdasarkan hasil penelitian terdapat hubungan antara perawat menggunakan alatalat untuk pemasangan infus yang steril dengan kejadian phlebitis.Dari hasil penelitian kejadian phlebitis lebih banyak terjadi pada pasien yang tidak mendapatkan tindakan pemasangan infus yang menggunakan alat yang steril dibandingkan dengan penggunaan alat yang steril.Masih adanya kejadian phlebitis dan penggunaan alat yang tidak steril dapat disebabkan oleh banyaknya pasien dan beban kerja yang berat sehingga perawat kurang memperhatikan kesterilan alat yang digunakan. Menurut analisa peneliti sangat perlu bagi perawat untuk dapat menggunakan alat yang steril pada saat melakukan pemasangan infus, agar dapat mengurangi resiko terjadinya infeksi pada pasien. Penggunaan alat yang steril akan dapat mengurangi penyebaran kuman pathogen dan apatogen pada klien. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian tentang Hubungan Penerapan Kewaspadaan Standar dengan Kejadian Phlebitis di Irna Non Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2012.maka dapat disumpulkan bahwa :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Kurang dari separuh (34.1%) perawat cuci tangan tidak sesuai standar sebelum dan sesudah pemasangan infus di Irna Non Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2012. Kurang dari separuh (26.8%) perawat memakai sarung tangan tidak sesuai standar sebelum pemasangan infus di Irna Non Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2012. Kurang dari separuh (41.5%) perawat mendesinfeksi area penusukan tidak sesuai standar sebelum pemasangan infus di Irna Non Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2012. Kurang dari separuh (39.0%) perawat menggunakan alat-alat untuk pamasangan infus yang steril tidak sesuai standar di Irna Non Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2012. Kurang dari separuh (39.0%) terdapat kejadian Phlebitis di Irna Non Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2012. Ada hubungan antara perawat cuci tangan sebelum dan sesudah pemasangan infus dengan kejadian phlebitisdi Irna Non Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2012. Ada hubungan antara perawat meamakai sarung tangan sebelum pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di Irna Non Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2012. Ada hubungan antara perawat mendesinfeksi pada saat pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di Irna Non Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2012. Ada hubungan antara perawat menggunakan alat-alat untuk pemasangan infus yang steril dengan kejadian phlebitisdi Irna Non Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2012.
Saran yang dapat diberikan oleh penulis: 1. Bagi Peneliti Sebagai tempat mengaplikasikan ilmu yang didapat selama di bangku perkuliahan dan menambah wawasan dan pemahaman peneliti tentang hubungan penerapan kewaspadaan standar dengan kejadian phlebitis.
2.
3.
4.
Bagi Petugas Kesehatan Rumah Sakit Diharapkan kepada petugas kesehatan untuk dapat lebih meningkatkan penerapan kewaspadaan standar untuk dapat mengurangi kejadian phlebitis di Irna Non Bedah RSUP Dr. M. Djamil. Hal tersebut disebabkan oleh kurang memadainya fasilitas cuci tangan, kurang adanya kesadaran petugas akan pentingnya cuci tangan dalam pencegahan infeksi nosokomial dan kurang adanya pengawasan. Untuk itu disarankan : Peningkatan jumlah dan kualitas fasilitas cuci tangan, khususnya wastafel yang putaran krannya dioperasikan dengan siku. Diadakan peraturan dan tanda-tanda peringatan yang jelas di setiap ruangan tentang keharusan mencuci tangan. Peningkatan kesadaran petugas tentang pentingnya cuci tangan melalui penyelenggaraan penyegaran tentang pencegahan infeksi nosokomial. Perlu dilakukan pengawasan yang ketat terhadap kebiasaan cuci tangan petugas khususnya yang berhubungan langsung dengan pasien. Bagi Institusi Pendidikan Diharapkan kepada institusi pendidikan, agar melakukan kerja sama dengan petugas kesehatan, khususnya petugas kesehatan di RSUP.Dr.M.Djamil Padang untuk melakukan kerja sama yang saling berkesinambungan seperti penyuluhan oleh mahasiswa beserta petugas kesehatan khususnya penerapan kewaspadaan sesuai standar, sehingga ilmu yang didapat oleh mahasiswa dapat diaplikasikan secara langsung. Peneliti Selanjutnya Keterbatasan peneliti dapat dijadikan acuan untuk membedakan penyebab terjadinya phlebitis. Dan sebagai data dasar untuk melakukan penelitian selanjutnya dengan variabel yang berbeda tentang kejadian phlebitis.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Ahmad N.H. 2007. Kewaspadaan Umum(Universal precautions). http://www.nurse.id.web.id/.../kewaspada
2.
3.
4. 5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
a-umum-universal-precautions. Diakses pada tanggal 18 November 2011 Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Bayu, Rahmanto. 2010. Nasional Of Nursing: Phlebitis. http://bayurahmanto.blogspot.com. Diakses pada tanggal 05 Januari 2012 Brooker. 2008. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: Pratinjau Bruner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 vol 1. Jakarta: EGC Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial: Problematika dan Pengendaliannya. Jakarta: Salemba Medika Darmawan. 2008. Phlebitis: Apa Penyebab dan Bagaimana Cara Mengatasinya. http://www.otsuka.co.id. Diakses pada tanggal 05 januari 2012 Jimmy Wales. 2011. Infeksi Nosokomial.ht tp://id.wikipedia.org/wiki/infeksi nosoko mial. Diakses pada tanggal 18 November 2011 Potter&Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik Vol 1 Edisi 4. Jakarta: EGC PPIRS. 2011. Laporan Surveilans Infeksi Rumah Sakit Triwulan III (Juli-AgustusSeptember) Tahun 2011. Padang: RSUP Dr. M. Jamil Menkes. 2009. Infeksi Nosokomial Harus dikendalikan (online). http://blogbidan.com/kesehatan.Diakses pada tanggal 14 Desember 2012
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19. 20.
21.
22.
Notoatmodjo S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Nursalam, Ninuk. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi. Jakarta: Salemba Medika STIKes MERCUBAKTIJAYA 2011/2012. Pedoman Penyusunan Skripsi. Padang: STIKes MERCUBAKTIJAYA Suwarni, A. 2008. Sistim Kesehatan Pencegahan Penyakit Menular. Jakarta: Raja Grafindo Persada Tietjen, Linda, dkk. 2004. Panduan Pencegahan Infeksi untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan Sumber Daya Terbatas. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo Utama, Harry Wahyudhy. 2006. Infeksi Nosokomial. http://klikharry.word.com. Diakses pada tanggal 20 November 2012 Weinstein, Sharon. 2001. Terapi Intravena Edisi 2. Jakarta: EGC Yayasan Spritia. 2006. Infeksi Nosokomial dan Kewaspadaan Universal (online). (http://Yayasanspiritia.or.id.2006). Diakses pada tanggal 20 November 2012 Depkes RI. 2003. Pedoman Pelaksanaan Kewaspadaan Universal di Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Depkes RI. 2007. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehan Lainnya. Jakarta: Departemen Kesehatan RI