Hubungan antara Self Efficacy dengan Subjective WellBeing pada Mahasiswa Baru Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) yang Kos Dian Ayusta Putri Veronika Suprapti
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya
Abstract. The purpose of this research was to determine whether there is a correlation between self efficacy and subjective well-being of boarding freshman. This study used two scales as the primary data collection tool. Subjective well-being scale made by writer based on there dimensions that are life satisfaction, positif affection and negatif affection, then set of General Self Efficacy (GSE) scale developed by Schwarzer & Jerusalem (1979). Subjective well-being scale consist of 27 aitem comprising 17 aitem favorable and 10 aitem unfavorable. While self efficacy measurement consisted of 10 aitem favorable divided into three dimensions, namely magnitude, generality and strength. Reliability testing of subjective well-being scale conducted on 30 subjects and demonstrate the value of Cronbach’s α 0.932 whereas GSE scale Cronbach’s α value 0.722. The population of this study were 240 students and the sample obtained 109 students by using simple random sampling technic. Analysis of the data using statistical analysis techniques of non-parametric spearman’s rho with SPSS v.16 for Windows. The results of hypothesis testing showed that there is no correlation between self efficacy and subjective well-being of boarding freshman at PENS. The significance coefficient of 0,04 and the great significance level of 0.683 more than 0.05, so the correlation statistically doesn’t significant between the two variables. Keywords: Self-efficacy; Subjective well-being. Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji secara empiris ada atau tidaknya hubungan antara self efficacy terhadap subjective well-being pada mahasiswa baru yang kos. Penelitian ini menggunakan dua skala sebagai alat pengumpul data utama. Skala Subjective Well-Being yang disusun oleh penulis didasarkan pada tiga dimensi yaitu kepuasan hidup, afeksi postif dan afeksi negatif serta satu set alat ukur self-efficacy yang disusun oleh Schwarzer & Jerusalem (1979) yaitu General Self Efficacy (GSE). Alat ukur subjective well-being berisikan 27 aitem yang terdiri dari 17 aitem favorable dan 10 aitem unfavorable. Sedangkan alat ukur self-efficacy terdiri dari 10 aitem favorable yang terbagi dalam 3 dimensi, yaitu Magnitude, Generality dan Strength. Pengujian reliabilitas alat ukur subjective well-being dilakukan pada 30 orang subyek uji coba
Korespondensi: Dian Ayusta Putri, email:
[email protected] Veronika Suprapti, email:
[email protected] Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Jl. Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya 60286,Telp. (031) 5032770, (031) 5014460, Fax (031) 5025910.
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Vol. 3 No. 3, Desember 2014
144
Dian Ayusta Putri, Veronika Suprapti
dan menunjukkan nilai Cronbach α sebesar 0,932, sedangkan untuk alat ukur self-efficacy (GSE) bernilai Cronbach α sebesar 0,722. Jumlah populasi penelitian ini sebanyak 240 mahasiswa dan sampel penelitian yang didapat sebanyak 109 mahasiswa dengan menggunakan teknik simple random sampling. Analisis data yang digunakan adalah teknik analisis statistik non-parametrik Spearman’s rho dengan bantuan program SPSS v.16 for Windows. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara self efficacy dengan subjective well-being mahasiswa baru PENS yang kos. Koefisien signifikansi yang dihasilkan sebesar 0,040 serta besar taraf signifikansinya 0,683 yang mana lebih besar dari 0,05 sehingga tidak menimbulkan hubungan yang signifikan antar dua variabel. Kata Kunci : Self-efficacy; Subjective well-being.
PENDAHULUAN Bagi remaja yang baru lulus dari bangku SMA, kuliah merupakan masa baru yang berbeda sehingga terjadi masa transisi dan dibutuhkan penyesuaian pada beberapa aspek. Dimulai dari sistem pendidikan yang menuntut untuk lebih mandiri dan bertanggung jawab serta harus berpisah dengan teman-teman lama dan bertemu teman-teman baru, bahkan bagi sebagian remaja harus berpisah dari keluarganya dan tinggal di lingkungan yang baru. Remaja harus mampu menyesuaikan diri dari siswa menjadi mahasiswa dan beradaptasi dengan lingkungan baru baik di lingkungan pendidikan maupun tempat tinggal. Prof. Dr. Juke Roosjati Siregar, M.Pd. (2012) menyatakan bahwa pada semester pertama sampai semester kedua merupakan tahap pengenalan. Mahasiswa akan mengalami masa transisi dari kondisi kehidupan yang bergantung pada keluarganya dan memasuki kehidupan mandiri secara sosial dan emosi. Dalam situasi yang banyak menutut perubahan biasanya mahasiswa akan menemui beberapa masalah. Masalah-masalah yang muncul dapat menimbulkan perasaan negatif seperti stres, kesepian dan perasaan tidak senang yang berasal dari perasaan tidak yakin pada kemampuan diri. Perasaan negatif juga dijumpai pada mahasiswa yang tinggal jauh dari keluarga dan jarang pulang kerumahnya atau dengan kata lain mahasiswa yang tinggal di tempat kos khususnya untuk mahasiswa PENS (Politeknik Elektronika Nesgeri Surabaya). Hal tersebut diketahui melalui wawancara penulis tehadap beberapa mahasiswa baru disana yang menunjukkan bahwa pada saat transisi awal kuliah dan memasuki
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Vol. 3 No. 3, Desember 2014
lingkungan baru merupakan masa yang berat karena harus berpisah dengan keluarga dan teman-teman serta harus menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan serta beban-beban tugas kuliah. Salah satu visi dari PENS adalah melaksanakan penelitian berorientasi aplikasi yang akan memecahkan permasalahan industri dan layanan umum pada masyarakat sehingga dalam akademisnya pun dibutuhkan lebih banyak kegiatan praktikum yang menguras banyak waktu. Dalam akademis mahasiswa tidak hanya mampu dalam bentuk tulisan namun juga dituntut untuk terampil melakukan praktikum dalam laboratorium yang mana bisa memakan waktu sampai malam hari. Dari penjelasan diatas maka dibutuhkan keyakinan agar mahasiswa mampu dalam menghadapi segala tuntutan akademis. Bila mahasiswa memiliki keyakinan maka masalah dimasa transisi akan dihadapi sebagai tantangan bukan beban dan nantinya akan berdampak pada subjective well-being mahasiswa baru. Untuk dapat meningkatkan subjective well-being juga dapat dilakukan dengan mengatasi perasaan negatif dalam diri yaitu dengan meningkatkan self efficacy. Self efficacy memiliki hubungan terhadap banyak indikator dari penyesuaian psikososial termasuk fungsi negatif (psikopatologi) dan indikator kesehatan mental atau fungsi netral seperti subjective wellbeing (Suldo & Shaffer, 2007 dalam Basson 2008). Self efficacy adalah seberapa baik seseorang dapat bertindak dengan cara tertentu dalam rangka memenuhi tujuan atau mengatasi situasi stres secara efektif (Bandura, 1997 dalam Karademas 2006). Individu dengan self efficacy yang tinggi biasanya memiliki sikap yang memungkinkan mereka untuk melihat tantangan sebagai masalah
145
Hubungan antara Self Efficacy dengan Subjective Well-Being pada Mahasiswa Baru Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) yang Kos
yang harus diselesaikan bukan ancaman yang harus dihindari. Bagi individu dengan tingkat self efficacy yang rendah biasanya melihat tugas yang sulit melalui lensa ketakutan sehingga kurang kepercayaan terhadap kemampuan diri. Oleh karena itu disimpulkan bahwa mahasiswa yang mengalami stres ketika masa transisi masuk dunia kuliah karena mereka memiliki subjective well-being yang rendah, yang mana dipengaruhi oleh self efficacy yang rendah sehingga mahasiswa tidak yakin bahwa mereka mampu menghadapi tuntutan perubahan yang baru dengan baik yang menyebabkan mahasiswa merasa kurang puas terhadap kehidupannya. Keberhasilan mahasiswa dalam menjalani masa-masa transisi awal memasuki dunia kuliah tergantung pada subjective well-being yang dimiliki oleh masing-masing mahasiswa. Tingkat subjective well-being mahasiswa itu sendiri dipengaruhi oleh self efficacy yang mana menunjukkan seberapa baik keyakinan mahasiswa untuk dapat mengolah situasi yang menimbulkan perasaan negatif dalam masa transisi sebagai mahasiswa baru. Khususnya pada mahasiswa baru di PENS yang kos yang mana ditemukan bahwa beberapa diantaranya bermasalah dalam menghadapi masa transisi dan beban tugas yang lebih berat dibandingkan mahasiswa lain sehingga dibutuhkan self efficacy yang baik. Penjelasan diatas mendasari tujuan penelitian ini untuk mencari ada atau tidaknya hubungan antara self efficacy terhadap subjective well-being pada mahasiswa baru yang kos. Mahasiswa Definisi mahasiswa menurut kamus bahasa Indonesia (Poerwadaminta, 1993) yaitu maha berarti besar sedangkan siswa berarti pelajar. Definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa mahasiswa adalah pelajar yang memiliki tugas dan tanggung jawab lebih besar daripada seorang siswa. Mahasiswa dituntut untuk lebih inisiatif, aktif dan mandiri dalam dunia pendidikan. Dunia perkuliahan memberikan banyak pengalaman dan kesempatan bagi mereka sehingga dapat mengembangkan potensial diri, disisi lain memasuki dunia kuliah dapat menjadi sumber ketegangan dan stres akut (Gall., dkk., 2000 dalam Friedlander., dkk., 2007). Kesulitan mengembangkan hubungan sosial dan romantis 146
yang baru, bermasalah dengan akomodasi tempat tinggal, kesulitan dalam mengatasi kebebasan baru, kecemasan berpisah yang mungkin dialami karena berada jauh dari keluarga, kekhawatiran keuangan, masalah kesehatan dan mengatasi tuntutan tugas akademis adalah beberapa masalah khas yang akan banyak dihadapi mahasiswa ketika menghadapi masa transisi menjadi mahasiswa baru (Halamandaris & Power, 1997 dalam Leontopoulou & Triliva, 2012). Self Efficacy Menurut Bandura (1997 dalam Karademas 2006) self efficacy adalah penilaian terhadap seberapa baik seseorang dapat bertindak dengan cara tertentu agar dapat bertemu tujuan yang dinginkan atau mengatasi situasi stres dengan efektif. Bandura juga mengartikan self efficacy sebagai keyakinan seseorang pada kemampuannya dalam melakukan sesuatu dan muncul dari berbagai macam sumber termasuk prestasi dan kegagalan personal yang pernah dialami, melihat orang yang sukses atau gagal serta persuasi verbal (Hergenhahn 2008). Menurut Bandura (1997 dalam Hergenhahn 2008) orang yang memiliki self efficacy yang tinggi cenderung mempunyai kendali yang lebih terhadap kejadian dalam lingkungannya. Orang dengan self efficacy rendah akan cenderung takut untuk bertindak menghadapi tantangan atau masalah yang dimiliki, serta juga akan merasa tidak yakin dengan kemampuan yang ada dalam dirinya. Bandura mengemukakan tiga dimensi self efficacy (Bandura, 1997 dalam Adicondro & Purnamasari, 2011), yaitu 1) Magnitude, berkaitan dengan tingkat kesulitan suatu tugas yang dilakukan, sehingga individu memilih tugas berdasarkan tingkat kesulitan tugas; 2) Generality, berkaitan dengan bidang tugas, seberapa luas individu mempunyai keyakinan dalam melaksanakan tugas-tugas atau sejauh mana harapan keberhasilan tentang situasi tertentu dapat digeneralisasi untuk situasi lain; 3) Strength, berkaitan dengan kuat lemahnya keyakinan seorang individu atau mengacu pada penilaian tertentu bagaimana seseorang untuk bisa sukses pada tugas tertentu. Sumber-sumber self efficacy ada empat (Mukhid, 2009), yaitu Performance Accomplishment/ Mastery Experiences (pengalaman sebelumnya), vicarious experiences (pengalaman orang lain), Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Vol. 3 No. 3, Desember 2014
Dian Ayusta Putri, Veronika Suprapti
social persuasion (persuasi sosial), emotional (keadaan emosi). Subjective Well-Being Subjective well-being mengacu pada penilaian individu terhadap situasi dalam kehidupannya secara keseluruhan mencakup perasaan senang dan sakit, atau kualitas hidupnya (Bradburn, 1969; Campbell., dkk., 1976; Diener, 1984; Omodei & Wearing, 1990; Watson, 1988 dalam Ormel., dkk, 1999). Diener dan Lucas mendefinisikan konsep subjective well-being sebagai evaluasi individu terhadap kehidupannya yang meliputi penilaian kognitif akan kepuasan kehidupannya dan evaluasi terhadap afeksi dari mood dan emosi (Kahneman., dkk., 1999). Diener dkk juga mendefinisikan sebagai perasaan individu yang puas terhadap kehidupannya, hadirnya afeksi positif dan tiadanya afeksi negatif (Singh & Udainaya, 2009). Orang dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi jika mengalami lebih banyak afeksi positif atau perasaan menyenangkan dan puas akan kehidupannya yang dimiliki. Diener membagi komponen subjective well-being menjadi tiga bagian, yaitu 1) Kepuasan hidup (life satisfaction), suatu keseluruhan yang merupakan evaluasi kognitif terhadap kualitas hidup seseorang secara umum atau pada domain tertentu seperti kepuasan dengan pekerjaan, sekolah, pernikahan, dan bidang kehidupan lainnya (Diener, 1994; Myers & Diener, 1995; Zullig., dkk., 2005 dalam Busson 2008); 2) Afeksi positif (positive affection), merefleksikan reaksi seseorang terhadap peristiwa-peristiwa yang menunjukan bahwa hidup berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan dan, 3) Afeksi negatif (negative affection), merepresentasikan mood dan emosi yang tidak menyenangkan, serta merefleksikan respon negatif yang dialami seseorang sebagai reaksinya terhadap kehidupan, kesehatan, keadaan, dan peristiwa yang mereka alami (Diener, 2005 dalam Rinasti, 2012).
METODE PENELITIAN Metode penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian penjelasan (explanatory research) yang mana menyoroti tentang hubungan antara variabel-variabel penelitian dan menguji hipotesa yang telah dirumuskan sebelumnya. Populasi penelitian ini dibatasi hanya pada mahasiswa D4 saja tanpa mahasiswa D3 agar lebih Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Vol. 3 No. 3, Desember 2014
efisien dan terjangkau. Karakteristik populasi penelitian ini adalah mahasiswa D4 PENS yang memasuki tahun pertama perkuliahan baik perempuan maupun laki-laki yang kos dan jauh dari keluarga. Jumlah populasi penelitian ini sebesar 240 mahasiswa dan berdasarkan perhitungan rumus Slovin, sehingga jumlah sampel yang didapatkan sebesar 150 mahasiswa baru yang kos tingkat D4 di PENS. Adanya kendala dalam pengambilan data maka penulis hanya mampu memenuhi jumlah sampel sebesar 109 mahasiswa saja yang berarti sampel penelitian ini hanya 109 mahasiswa baru D4 PENS. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah simple random sampling. Untuk mengukur hubungan kedua variabel digunakan alat ukur berupa kuesioner. Ada dua alat ukur yang digunakan pada penelitian ini yaitu GSE (General Self Efficacy) yang diterjemahkan dari milik Mattias Jerusalem & Ralf Schwarzer yang terdiri atas 10 aitem dan skala subjective well-being yang dibuat sendiri oleh penulis yang terdiri atas 27 aitem. Masing-masing reliabel dari kedua alat ukur tersebut adalah 0,722 dan 0,932. Kedua alat ukur ini berbentuk skala likert yang memiliki empat pilihan jawaban yaitu SS (sangat setuju), S (setuju), TS (tidak setuju) dan STS (sangat tidak setuju). Terdapat tiga dimensi yang digunakan Schwarzer dalam penyusunan GSE yaitu magnitude, strenght dan generality. Sedangkan untuk skala subjective well-being, penulis menyusun berdasarkan tiga komponen yaitu kepuasan hidup, afeksi positif dan afeksi negatif. Distribusi data penelitian ini normal yaitu sebesar 0,459 dan hasil uji linieritas sebesar 0,299. Dikarenakan data yang tidak linier maka penulis menggunakan statistik non parametrik yaitu teknik Spearman’s rho dengan bantuan SPSS 16 for windows.
PEMBAHASAN Berdasarkan analisis yang telah dilakukan oleh penulis menghasilkan taraf signifikansi sebesar 0,683 yang mana lebih besar dari 0,05 yang mana menjadikan Ha ditolak dan Ho diterima, sehingga tidak ada hubungan yang signifikan terhadap dua variabel yang diteliti. Hasil penelitian ini tidak mendukung hasil penelitian lain yang menyatakan bahwa ada hubungan antara self efficacy dengan subjective wellbeing. Seperti yang dijelaskan oleh Karademas 147
Hubungan antara Self Efficacy dengan Subjective Well-Being pada Mahasiswa Baru Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) yang Kos
(2006) Self efficacy yang tinggi berkaitan dengan pengaturan proses stres, untuk adaptasi yang lebih baik, membentuk self esteem yang lebih tinggi, well-being yang lebih baik, kondisi fisik yang lebih baik, serta pemulihan dari penyakit akut dan kronis, sedangkan self efficacy yang rendah berhubungan dengan lebih banyak gejala kecemasan dan depresi, serta rendahnya tingkat subjective well-being. Singh dan Udainaya (2009) juga menyatakan bahwa perasaan self efficacy yang kuat meningkatkan well-being orangorang dalam banyak cara. Tingginya tingkat self efficacy berkontribusi terhadap tingginya tingkat enggagement dan kepuasan hidup, namun dalam penelitian ini menunjukkan hasil yang sebaliknya yang mana self efficacy tidak memberikan kontribusi terhadap tingkat subjective well-beng. Diener (2002) dalam papernya menjelaskan lebih lanjut bahwa hal yang dapat menciptakan subjective well-being yang tinggi adalah kemajuan seseorang dalam meraih tujuannya. Keberhasilan individu dalam meraih tujuan yang dia inginkan menimbulkan perasaan bahagia. Sumber daya yang paling berhubungan dengan subjective well-being adalah atribut pribadi seperti kepercayaan diri. Hal itu menunjukkan bahwa individu yang merasa percaya diri dan sehingga memiliki psychological empowerment, akan memungkinkan mereka untuk mengalami kemajuan dalam mencapai tujuan sehingga menjadi lebih bahagia. Agar menjadi empowerment, maka individu perlu memiliki sumber daya dan pola pikir psikologis. Dengan demikian sumber daya obyektif, self efficacy, dan emosi positif semua bekerja sama untuk menciptakan empowerment (Diener, 2002). Empowerment merupakan hasil dari subejctive well-being yang tinggi, terutama berasal dari emosi positif. Emosi positif cenderung timbul dari keberhasilan meraih tujuan. Individu cenderung merasa berdaya dan mencari tujuan yang baru ketika mereka telah berhasil di masa lalu dan merasa memiliki sumber daya untuk memenuhi tujuannya (Diener, 2002). Pernyataan tersebut mencerminkan sumber terbentuknya self efficacy yaitu mastery experiences yang mana keberhasilan yang pernah dialami dimasa lalu akan menimbulkan keyakinan diri yang kuat ketika meraih tujuan yang akan datang. Pada hasil penelitian ini tidak menunjukkan seharusnya hubungan antara self efficacy dan subjective
148
well-being sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Diener. Hasil tersebut bisa disebabkan oleh kesalahan-kesalahan penulis yang merupakan kelamahan dalam penelitian ini. Penyebab terjadinya tidak ada hubungan antara dua variabel yang diteliti, yang pertama alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini mempengaruhi hasil penelitian. Menurut penulis alat ukur yang mempengaruhi tersebut adalah skala subjective well-being. Setelah melakukan penelusuran, penulis menemukan bahwa dari segi komponen afeksi yaitu afeksi positif dan afeksi negatif lebih baik di hitung secara terpisah dan tidak menjadi satu kesatuan. Hal tersebut karena menurut Bradburn dan Caplovitz (1965 dalam Diener., dkk., 1999) menyarankan bahwa afeksi positif dan afkesi negatif dari dua faktor yang bebas dan harus di ukur secara terpisah. Diener dan Emmons (Diener., dkk., 1999) menemukan bahwa dua konstruk afeksi tersebut sangat berhubungan tapi secara jelas mereka terpisah. Dalam alat ukur yang penulis susun, nampak bahwa perhitungan untuk komponen afeksi menjadi satu, sehingga hal itu mungkin dapat menyebabkan hasil skoring menjadi bias sehingga mempengaruhi hasil penelitian. Bias yang dimaksud adalah skor yang didapat oleh subyek belum tentu menggambarkan subjective well-being yang sesungguhnya. Hal itu disebabkan karena penghitungan afeksi negatif dan positif yang menyatu tidak bisa menunjukkan afeksi mana yang lebih berpengaruh, sedangkan subjective well-being yang baik adalah bila memiliki kepuasan hidup yang tinggi dan didominasi oleh afeksi positif. Hal kedua yang mendukung hasil penelitian ini bisa dikarenakan jumlah sampel penelitian yang tidak sesuai dengan jumlah populasi. Berdasarkan rumus Slovin, populasi 240 mahasiswa seharusnya diwakili dengan jumlah sampel sebanyak 150 mahasiswa. Namun karena akses yang kurang mendukung dalam pengambilan data maka dari 150 mahasiswa yang sudah diacak, penulis hanya mendapatkan 109 mahasiswa saja sehingga jumlah tersebut kurang mewakili penelitian. Dengan jumlah subyek yang kurang mewakili tersebut menjadikan tidak terpenuhinya syarat untuk memiliki jumlah subyek dengan tingkat kesalahan 5%. Hal tersebut memungkinkan penelitian ini yang awalnya akan menggunakan teknik parametrik berubah menjadi non parametrik dan menghasilkan tidak
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Vol. 3 No. 3, Desember 2014
Dian Ayusta Putri, Veronika Suprapti
adanya hubungan antara self efficacy dengan subjective well-being. Berdasarkan data tentang jenis kelamin subyek yang terlibat dalam penelitian, laki-laki berjumlah 70 mahasiswa dan wanita berjumlah 39 mahasiswa sehingga nampak bahwa laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Data tersebut menggambarkan bahwa di PENS mahasiswanya didominasi oleh laki-laki. Hal tersebut membuktikan bahwa laki-laki merasa lebih mampu berkuliah di PENS karena tuntutan-tuntutan tugas yang bersifat teknik cenderung membutuhkan banyak praktek dan menyita waktu yang lebih banyak sehingga terkesan berat bagi perempuan. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa dalam menghadapi tantangan yang berat laki-laki akan lebih merasa mampu daripada wanita. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Caparara (2006) bahwa laki-laki dilaporkan memiliki self efficacy yang lebih tinggi karena mampu mengatur afeksi negatif, mereka juga memiliki harga diri yang lebih tinggi dan keseimbangan hedonis. Di sisi lain, perempuan merasa lebih mampu mengelola emosi positif, yaitu mengekspresikan sukacita dan kepuasan bagi pencapaian tujuan mereka atau keberhasilan orang lain.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan dari penelitian ini adalah tidak ada hubungan antara self efficacy dengan subjective well-being mahasiswa baru PENS yang kos. Simpulan ini hanya bisa digeneralisasikan pada populasi mahasiswa baru PENS yang kos saja karena penelitian ini menggunakan teknik analisis non parametrik. Hasil dari penelitian ini memunculkan beberapa saran untuk peneliti selanjutnya dan subyek penelitian yaitu mahasiswa baru PENS yang kos. Pertama untuk peneliti selanjutnya diharapkan mampu memenuhi standar taraf kesalahan 5% agar proporsional menggunakan rumus Slovin untuk menentukan jumlah sampel. Bila peneliti kesulitan untuk memenuhi jumlah sampel maka dapat melakukan sampling ulang pada populasi yang sama sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan. Kedua apabila ingin menggunakan alat ukur buatan sendiri khususnya untuk subjective well-being maka perlu memisahkan perhitungan untuk komponen afeksi positif dan afeksi negatif agar hasil
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Vol. 3 No. 3, Desember 2014
penelitian tidak bias atau menggunakan alat ukur adaptasi yang sudah tersedia. Saran untuk mahasiswa baru, diharapkan mampu beradaptasi dengan masa transisi yang terjadi dari masa SMA ke masa perkuliahan. Ketika masuk dunia kuliah akan banyak pengalaman baru yang dihadapi mahasiswa sehingga diharapkan mahasiswa akan mengalami berbagai keberhasilan. Keberhasilan yang yang dialami berulang dapat meningkatkan self efficacy. Self efficacy yang baik dihasilkan dari emosi positif, maka sangat penting pula bagi mahasiswa untuk mengembangkan emosi positif dalam menjalani kehidupan kuliah khususnya sebagai mahasiswa yang kos.
TINJAUAN PUSTAKA Basson, Natasha. (2008). The Influence of Psychosocial Factors on The Subjective Wellbeing of Adolescents. Bloemfontein, South Africa. University of the Free State. Caparara, G.V., Steca, P., Gerbino, G., Paciello, M., Vecchio, G.M. (2006). Looking for Adolescents’ Well-Being: Self-Efficacy Beliefs as Determinants of Positive Thinking and Happiness. Epidemiologia e Psichiatria Sociale, Vol. 15, No. 1. Diener, Ed., Suh, E.M., Lucas, R.E., Smith, I.H. (1999). Subejctive Well-Being: Three Decades of Progress. Psychological Buletin, Vol. 25, No. 2, 276-302. Diener, Ed. (2002). Findings On Subjective Well-Being and Their Implications for Empowerment. Washington DC: University of Illinois Friedlander, Laura J., dkk. (2007). Social Support, Self-Esteem, and Stress as Predictors of Adjustment to University Among First-Year Undergraduates. Journal of College Student Development, Vol. 48, No. 3, 259-274. Hergenhahn, B.R., Olson, M.H. (2008). Theories of Learning (Teori Belajar) Edisi Ketujuh. Jakarta: Prenada Media Group. Kahneman, D., Diener, Ed., Schwarz, N. (1999). Well-Being The Foundations Of Hedonic Psychology. New York: RUSSELL SAGE FAOUNDATION.
149
Hubungan antara Self Efficacy dengan Subjective Well-Being pada Mahasiswa Baru Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) yang Kos
Karademas, Evangelos C,. (2006). Self-Efficacy, Social Support and Well-Being The Mediating Role of Optimism. Science Direct Personality And Individual Differences, Vol. 40, 1281–1290. Leontopoulou, S· , Triliva, S. (2012). Explorations Of Subjective Wellbeing And Character Strengths Among A Greek University Student Sample. International Journal of Wellbeing, Vol. 2, No. 3, 251270. Mukhid, Abd. (2009). Self Efficacy (Perspektif Kognitif Sosial dan Implikasinya terhadap Pendidikan). Tadris, Vol. 4, No. 1. Ormel, J., Lindenberg, S., Steverink, N., Verbrugge, L.M. (1999). Subjective Well-Being And Social Production Functions. Social Indicators Research, Vol. 46, 61–90. Purwandanimto, W.J.S., (1966). Kamus Besar Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Rinasti, F. (2012). Hubungan antara Tingkat Religiusitas dengan Subjective Well-Being (SWB) pada Remaja Awal. Diunduh pada tanggal 1 Januari 2013 melalui http://repository.gunadarma.ac.id/ bitstream/123456789/1250/1/10506084.pdf. Scholz, U., Dona, B.G., Sud, S., Schwarzer, R. (2002). Is General Self-Efficacy a Universal Construct? Psychometric Findings from 25 Countries. European Journal of Psychological Assessment, Vol. 18, Issue 3, 242–251. Selayang Pandang PENS. (2013). Diakses pada tanggal 11 April 2013 melalui http://www.eepis-its.edu/. Singh, B., Udainiya, R. (2009). Self-Efficacy and Well-Being of Adolescents. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology, Vol. 35, No. 2, 227-232. Siregar, J.R. (2012). Pintar Saja Tidak Cukup, tapi Harus Miliki Nilai-nilai Perilaku yang Baik. Diunduh pada tanggal 23 Desember 2012 melalui http://www.unpad.ac.id/profil/prof-dr-juke-roosjatisiregar-m-pd-pintar-saja-tidak-cukup-tapi-harus-miliki-nilai-nilai-perilaku-yang-baik-2/.
150
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Vol. 3 No. 3, Desember 2014