Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2.
Hubungan antara Kepemimpinan Visioner dan Kesiapan Individu terhadap Perubahan Organisasi* (Studi Pada Perusahaan BUMN)
Ayu Amanda, Fakultas Psikologi UI Wustari L. Mangundjaya, Fakultas Psikologi UI
ABSTRAK Setiap organisasi harus dan perlu berubah untuk menghadapi tantangan dunia saat ini. Meskipun demikian, melaksanakan program perubahan organisasi tidak mudah, bahkan banyak program perubahan organisasi yang tidak sesuai dengan apa yang direncanakan, bahkan tidak sedikit yang dapat dikatakan gagal (Beer & Nohria, 2000; Burnes, 2002; Kalyal & Sverke, 2010), dan salah satu sumber kegagalan tersebut adalah karena adanya resistensi terhadap perubahan. Dalam hal ini, salah satu yang memegang peran penting dalam setiap perubahan organisasi adalah manusia, karena tanpa adanya dukungan penuh dari individu maka perubahan tidak akan dapat dilakukan secara efektif (Elving, 2005), sehingga kesiapan individu untuk berubah diperlukan. Berdasarkan berbagai literatur yang ada, dinyatakan bahwa pemimpin memegang peran yang penting dalam keberhasilan organisasi, maupun keberhasilan perubahan organisasi. Pemimpin disini adalah seorang yang Visioner, yaitu antara lain berperan sebagai Change Agent, maupun penentu arah bagi organisasi (Nannus,1992). Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara Kepemimpinan Visioner dengan Kesiapan Individu untuk berubah. Penelitian ini dilakukan pada perusahaan BUMN yang sedang mengalami perubahan dengan jumlah responden 120. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kepemimpinan visioner dengan kesiapan individu untuk berubah. Meskipun demikian, hanya dimensi penentu arah yang memiliki hubungan positif dengan kesiapan individu terhadap perubahan. Berdasarkan hal tersebut pemimpin yang dapat menentukan arah diperlukan dalam perubahan organisasi. Key words: Kepemimpinan Visioner, Kesiapan Individu untuk Berubah, Perubahan Organisasi. ABSTRACT Every organization has to change in order to face the world challengees today. However, organizational change program is not easy, even there were many organizational change program that were not succeeded (Beer & Nohria, 2000; Burnes, 2002; Kalyal & Sverke, 2010), and one of the source of failures is the resistance to change. In this regard, individual (human being) plays an important role in organizational change, as without the full supports from the employees (individual) , organizational change cannot be done effectively (Elving, 2005), as a result readiness for organizational change is needed. According to literatures, it was mentioned that leader plays an important role in organizational success as well as in orgazational change. What it means by leader in here, is Visionary Leader that plays role as Change Agent aswell as Direction Setter (Nannus, 1992). The objective of this study is to identify the correlation between Visonary Leadership with Individual Readiness for Change. This study was done at State-Owned Enterprises (N=120) that at present undertake organizational change. The results show that Visionary Leadership is positively correlated with Individual rRadiness for Change. Furthermore, it shows that only dimensions Direction setting the ones that has positively correlated with the Individual readiness for change. In
1
Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2. other words, the skills of direction setting in leaders are needed in organizational change. Keywords: organizational change, readiness to change, visionary leadership Pendahuluan Perubahan organisasi tidak dapat dihindarkan oleh setiap perusahaan termasuk pada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa organisasi yang berhasil adalah sebuah institusi yang dapat merubah cara dalam menghadapi persaingan (Robbins, 2002). Perubahan tersebut perlu dilakukan untuk dapat menyesuaikan posisi organisasi dengan kondisi yang terus menerus berubah. Hal tersebut disebabkan karena perubahan lingkungan secara dinamis yang membuat organisasi terus menerus dihadapkan dengan kebutuhan untuk mengimplementasi perubahan, misalnya perubahan strategi, struktur, proses dan budaya (Armenakis, 1993). Perubahan dalam organisasi dapat membawa dampak baik pada perusahaan itu sendiri maupun pada karyawan. Karyawan dalam hal ini adalah orang yang memegang peranan penting dalam organisasi dan reaksi yang dapat ditimbulkan oleh karyawan pada saat perubahan organisasi dapat berupa hal yang bersifat positif maupun hal yang bersifat negatif. Hal ini seperti apa yang dinyatakan oleh Smith (2005) bahwa orang-orang dalam organisasi dapat menjadi kunci keberhasilan dari sebuah perusahaan maupun menjadi hambatan untuk mencapai kesuksesan. Untuk itu, berbagai cara perlu dilakukan agar karyawan yang berada dalam situasi perubahan dapat menerima dan mendukung secara aktif perubahan tersebut. Dalam hal ini, pemahaman akan proses perubahan perlu dipahami untuk dapat melihat kesiapan dalam menghadapi perubahan serta reaksi dalam menghadapi perubahan (Mangundjaya, 2011). Smith (2005) lebih lanjut menambahkan bahwa kegagalan dari perubahan yang tinggi dapat mencakup kehilangan kredibilitas perusahaan maupun dari pemimpinnya. Untuk itu, perlu dilakukan perhatian lebih lanjut terhadap kebutuhan invididu dalam kesiapan untuk berubah. Dalam hal ini, Armenakis (1993) menyatakan bahwa salah satu faktor yang memiliki peranan dalam efektivitas perubahan organisasi adalah kesiapan untuk berubah. (Armenakis, 1993; Armenakis, Harris &Field, 1999; Holt, Armenakis, Field & Harris 2007). Kesiapan ini tidak hanya diperlukan pada organisasi tersebut, tetapi juga pada sumber daya manusia sehinggadapat dikatakan bahwa sikap dan reaksi manusia terhadap perubahan akan mempengaruhi efektivitas perubahan itu sendiri baik bagi individu maupun organisasi (Eales-White dalam Mangundjaya, 2003). Kesiapan karyawan adalah proses kognitif yang mendorong tingkah laku untuk mendukung perubahan, dan hal ini dapat terlihat dari anggota organisasi tersebut yang memiliki keinginan untuk menerima perubahan (Armenakis, 1993, Anderson, 2002). Lebih lanjut, Armenakis (1993) menyatakan bahwa kesiapan karyawan dipengaruhi oleh pesan yang disampaikan melalui strategi, atribut dari agen perubahan, hubungan interpersonal dan
2
Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2. dinamika sosial dari anggota sebuah organisasi. Dalam hal ini, karyawan yang siap dalam menghadapi perubahan dapat memunculkan tingkah laku yang mendukung dalam perubahan tersebut. Hal tersebut akan mempermudah perusahaan dalam beradaptasi dengan perubahan yang ada. Menciptakan kesiapan individu bukan merupakan hal yang mudah, kegagalan dalam menciptakan kesiapan dapat mengakibatkan seorang pemimpin menghabiskan waktu dan energi dalam menghadapi penolakan terhadap perubahan (Smith, 2005). Menciptakan kesiapan adalah usaha yang proaktif dari seorang agen perubahan untuk mempengaruhi kepercayaan, sikap, dan tingkah laku dari target perubahan dengan tujuan untuk mendorong mereka untuk berubah (Applebaum & Wohl,2000; Armenakis,1993;Anderson,2002). Holt, Armenakis, Field, & Harris (2007) dalam hal ini mendefinisikan kesiapan untuk berubah sebagai sikap yang komprehensif yang dipengaruhi secara terus menerus oleh konten, proses, konteks, dan individu. Lebih lanjut, Holt, Armenakis, Field, & Harris, (2007) mengungkapkan adanya 5 dimensi yang mempengaruhi kesiapan individu yaitu perbedaan, keyakinan terhadap perubahan, keuntungan organisasi, dukungan atasan, dan kepentingan individu. Di sisi lain, efektivitas dari strategi yang mempengaruhi seseorang antara lain tergantung dari agen perubahan (Armenakis, 1993). Agen perubahan dalam hal ini perlu mempersiapkan karyawan untuk terbuka dan dapat mengemukakan pendapatnya terhadap perubahan (Walker, Armenakis, & Bernerth, 2007). Armenakis (1993;Walker, Armenakis, & Bernerth, 2007) menyatakan bahwa menciptakan kesiapan memerlukan pendekatan proaktif dari agen perubahan untuk mempengaruhi sikap dan niat sehingga dapat mencapai target tingkah laku terhadap perubahan. Untuk itu, pemimpin sebagai agen perubahan dari sebuah organisasi perlu berada dibalik perubahan untuk memastikan kesiapan karyawan (Walker, Armenakis, & Bernerth, 2007). Armenakis (1993) mengungkapkan bahwa atribut agen perubahan antara lain adalah kredibilitas, kepercayaan, ketulusan, dan keahlian. Untuk itu, kesiapan individu terhadap perubahan akan memiliki pengaruh lebih mendalam ketika agen perubahan
tersebut
memiliki
reputasi
yang
baik
dalam
bidang
tersebut
(Gist,1987;Armenakis,1993). Agen perubahan sendiri dapat berasal dari luar maupun dari dalam organisasi (Ivancevich, Konopaske& Matteson, 2006). Dalam hal ini, seorang pemimpin dapat juga menjadi agen perubahan yang berasal dari dalam organisasi itu sendiri. Nannus (dalam Munandar, 2001) mengungkapkan bahwa memimpin adalah mempengaruhi, membimbing, melatih, bertindak, dan memberikan opini. Lebih lanjut, Sashkin (1993) dalam bukunya menyebutkan bahwa hal yang paling penting dilakukan oleh seorang pemimpin adalah memahami sebuah visi.
3
Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2. Nannus (1992) lebih lanjut menyatakan bahwa visi merupakan sebuah kebutuhan perusahaan, karena tanpa visi, karyawan dalam perusahaan akan mengalami kebingungan atau berkelakuan menyimpang dari tujuan yang diharapkan. Seorang pemimpin visionerdalam hal ini memiliki tanggung jawab untuk merencanakan tujuan organisasi, memiliki komitmen terhadap tujuan tersebut, memberdayakan bawahan untuk bergerak sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, mendengarkan dan menerima umpan balik yang diberikan, dan menempatkan
organisasi
yang
dipimpinnya
untuk
mencapai
potensi
terbesarnya
(Nannus,1992). Pada saat organisasi mengalami perubahan, pemimpin visioner harus maju terlebih dahulu untuk menunjukkan arah baru atau perusahaan akan mengalami kemunduran atau bahkan hilang (Nannus, 1992). Nannus
(1992)
mengemukakan
bahwa
terdapat
4
hal
yang
membentuk
kepemimpinan visioner yaitu sebagai penentu arah (direction setter), agen perubahan (change agent), juru bicara (spokeperson), dan mentor (coach). Keempat dimensi ini secara bersama menjabarkan tugas dari pemimpin visioner. Lebih lanjut, Nannus (1992) menyatakan bahwa untuk menjadi pemimpin yang sukses dimulai dengan memiliki visi yang jelas mengenai masa depan perusahaan dengan memahami bentuk dan fungsi, serta proses dan tujuannya. Seorang pemimpin visionerharus dapat menyampaikan visi yang dimilikinya dan menyampaikan makna dari visi tersebut sehingga dapat diterima oleh karyawan. Selain itu, pemimpin visioner diharapkan dapat membawa pengaruh yang berdampak positif terhadap karyawan sehingga karyawan siap dalam menghadapi perubahan. Dalam hal ini, pengaruh dari opini yang dikemukakan oleh pemimpin terhadap orang lain dapat memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kesiapan individu untuk berubah (Armenakis, 2002). Pemimpin juga perlu mendapatkan kepercayaan dari bawahannya. Salah satu fondasi dari rasa kepercayaan adalah dengan mengkomunikasikan tujuan dan rencana perubahan terhadap karyawannya (Smith, 2005). Selain itu, kesiapan dan kapasitas individu serta organisasi untuk berubah juga didasarkan pada kepercayaan dan saling menghargai (Smith, 2005). Lebih lanjut, Smith (2005) menyatakan bahwa pemimpin dalam perubahan organisasi perlu bertingkah laku sebagai agen perubahan (change agent), menumbuhkan komitmen dan rasa akan tantangan terhadap perubahan, dan mengkombinasi hal tersebut, sehingga dapat mengajak karyawan untuk berpartisipasi dalam perubahan yang sedang terjadi. Untuk itu, seorang pemimpin tidak hanya berbicara mengenai perubahan tersebut, tetapi pemimpin juga perlu menghayati dan menjadi panutan dalam budaya organisasi yang baru. Penelitian ini bertujuan hendak melihar pengaruh Kepemiminan Visoner dan Kesiapan Individu untuk berubah pada perusahaan BUMN yang sedang melakukan perubahan organisasi. Metode
4
Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah bersifat ex post facto field study.
Teknik Sampling dan Karakteristik Sample Karakteristik responden yang digunakan adalah: a) karyawan tetap dari perusahaan karena dianggap telah mengenal lingkungan kerjanya lebih baik daripada pegawai kontrak atau magang, b) karyawan telah bekerja minimal 2 tahun pada perusahaan, c) karyawan yang telah berada pada divisi saat ini selama 1 tahun. Teknik pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu menggunakan teknik non-random/non-probability sampling. Sampel yang digunakan adalah 120 responden yang tersebar pada 2 BUMN.
Alat Ukur Penelitian Alat ukur yang digunakan adalah Skala Sikap Kepemimpinan Visoner dan Kesiapan Individu pada perubahan. Hasil uji reabilitas dari alat ukur kepemimpinan visioner dengan perhitungan cronbach’s alpha adalah 0,988, dan validitas alat ukur kepemimpinan visioner dengan pearson correlation adalah 0,8. Alat ukur yng kedua adalah Skala Kesiapan Individu Terhadap Perubahan Organisasi. Hasil uji reliabilitas menunjukan bahwa skor reabilitas alat ukur kesiapan individu terhadap perubahan organisasi adalah 0.922. Uji validitas juga dilakukan dengan menggunakan internal konsistensi pada item. Terdapat satu item yang tidak valid karena memiliki nilai korelasi antar item yang rendah yaitu r=-0.058. Meskipun demikian, peneliti tetap menggunakan item tersebut karena tidak terdapat perbedaan yang signifikan jika tetap menggunakan item tersebut. Norma Kedua alat ukur baik kepemimpinan visioner, maupun kesiapan individu untuk berubah dibagi kedalam 3 kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Penentuan norma alat ukur kepemimpinan visioner dilakukan dengan menentukan batas skor minimal dan maksimal setiap kategori ditentukan dengan
SD, yaitu skor <4,17 adalah kategori rendah, 4,17-5,25
kategori sedang dan >5,25 kategorinya adalah tinggi. Metode Analisis Data Seluruh data yang didapat dalam penelitian ini diolah secara statistik menggunakan SPSS (Statistical Package for Social Service edisi 17). Selain itu, beberapa teknik digunakan dalam penelitian ini, yaitu analisis deskriptif, analisis korelasi, dan one-way ANOVA dan T-Test. Analisis deskriptif digunakan peneliti untuk mendapatkan data mengenai responden penelitian seperti jabatan, lama bekerja, usia, latar belakang pendidikan dan jenis kelamin.
5
Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2. Pearson correlation digunakan sebagai analisis korelasi dalam penelitian ini yang bertujuan untuk melihat hubungan antar variabel yaitu kepemimpinan visionerdan kesiapan individu untuk berubah. Untuk analisis tambahan, teknik partial correlation digunakan untuk melihat hubungan antara dua variabel dengan mengontrol dimensi lain yang memiliki kemungkinan mempengaruhi dimensi yang diukur. Analisis varians digunakan untuk melihat perbedaan mean
dari data demografis
responden yang digunakan dalam penelitian. Teknik one-way ANOVA digunakan untuk melihat perbedaan mean karakteristik latar belakang pendidikan.Teknik Independent Sample T-Test digunakan untuk melihat perbedaan mean karakteristik lama bekerja dengan varibel kesiapan individu dalam perubahan organisasi.
Hasil Penelitian
Gambaran Umum Kepemimpinan Visioner & Kesiapan Individu untuk Berubah Berdasarkan hasil didapatkan rata-rata (mean) responden memiliki skor 4,71 yang termasuk dalam kategori pemimpin visioner sedang, dan didapatkan skor mean 4,73 pada kesiapan individu terhadap perubahan yang dapat dikategorikan bahwa karyawan memiliki tingkat kesiapan individu terhadap organisasi yang sedang.
Lebih lanjut, berdasarkan hasil
penelitian, diperoleh hasil yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara aspek demografis latar belakang pendidikan dengan kesiapan individu untuk berubah dengan nilai signifikansi 0,009. Meskipun demikian, terlihat tidak ada hubungan yang signifikan antara aspek demografis lainnya dengan kesiapan individu terhadap peruabahan organisasi seperti lama bekerja, jabatan, jenis kelamin, dan usia.
Hubungan Antara Kepemimpinan Visioner dan Kesiapan Individu dalam Perubahan Organisasi Tabel 1 Gambaran Korelasi Parsial antara Kepemimpinan Visioner dengan Kesiapan Individu terhadap Perubahan Organisasi Variabel Kepemimpinan Visioner Kepemimpinan Visioner secara umum
r 0,704**
R2 0,495
Sig 0,000
Juru Bicara
0.114
0.013
0,222
Agen Perubahan
0.101
0.010
0,278
Mentor
-0.094
0.009
0,311
Penentu Arah
0.289
0.084
0,002*
*Signifikan pada p<0,05, **nSignifikan pada p<0.01
6
Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2.
Berdasarkan perhitungan statistik diketahui bahwa didapatkan indeks korelasi sebesar 0,704 (p = 0,000, p<0,01). Untuk itu, dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan antara Kepemimpinan Visioner dengan Kesiapan Individu dalam Perubahan Organisasi. Lebih lanjut, berdasarkan hasil penelitian, dimensi penentu arah memiliki hubungan yang signifikan dengan kesiapan individu terhadap perubahan organisasi. Korelasi dimensi penentu arah dengan kesiapan individu terhadap perubahan organisasi memiliki korelasi yang positif dengan skor korelasi sebesar 0,289. Korelasi parsial ini memiliki hubungan yang positif dengan skor r sebesar 0.289 dan skor p sebesar 0.002 dengan p<0.01. Dari hasil koefisien diketahui nilai R2 sebesar 0.084, yang artinya terdapat 8,4% total varians kesiapan individu terhadap perubahan organisasi dapat didistribusikan pada varians dimensi penentu arah.
Gambaran Korelasi Kesiapan Individu Terhadap Perubahan Organisasi dengan Kepemimpinan Visioner Tabel 2 Gambaran Korelasi Parsial antara Dimensi Kesiapan Individu Terhadap Perubahan Organisasi dengan Kepemimpinan Visioner Dimensi Kesiapan Individu terhadap Perubahan Perbedaan Keuntungan organisasi Dukungan atasan Keyakinan terhadap perubahan Keuntungan personal
r 0,116 -0,188 0,308 0,824 0,265
R2
Sig
0,013 0,035 0,095 0,679 0,070
0,213 0,043* 0,001* 0,000* 0,004*
*signifikan pada p<0,05 Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepemimpinan visioner dengan beberapa dimensi kesiapan individu terhadap perubahan yaitu dukungan atasan, keuntungan organisasi, keyakinan terhadap perubahan, dan keuntungan personal. Sedangkan tidak ada hubungan yang signifikan antara dimensi perbedaaan dengan kepemimpinan visioner. Pada dimensi keuntungan organisasi terdapat hubungan yang signifikan dengan nilai korelasi negatif yaitu -0,188 dengan signifikansi 0,043 (p<0,05) yang berarti 3,5% total varians kepemimpinan visioner dapat diatribusikan pada varians keuntungan organisasi pada kesiapan individu terhadap perubahan organisasi.
7
Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2. Selanjutnya, korelasi antara kepemimpinan visioner dengan dimensi dukungan atasan memiliki hubungan positif dengan skor r sebesar 0,308 (p=0.001, p<0.05). Dari koefisien yang dihasilkan dapat diketahui bahwa nilai R2 sebesar 0.095 sehingga dapat diartikan bahwa 9.5% total varians kepemimpinan visioner dapat diatribusikan pada varians dukungan atasan pada kesiapan individu terhadap perubahan organisasi. Dimensi keyakinan terhadap perubahan juga memiliki korelasi positif sebesar 0,824 (p=0,000, p<0,05). Dari koefisien yang dihasilkan diartikan bahwa 67,9% total varians kepemimpinan visioner dapat diatribusikan pada varians keyakinan terhadap perubahan. Lebih lanjut, dimensi terakhir yang memiliki hubungan signifikan adalah dimensi keuntungan personal dengan nilai korelasi positif 0,265 (p=0,004, p<0,05) yang dapat diartikan bahwa terdapat 7% total varians kepemimpinan visioner yang dapat diatribusikan pada varians keuntungan personal pada kesiapan individu terhadap perubahan.
Diskusi dan Kesimpulan Hasil korelasi hubungan antara kepemimpinan visioner dengan kesiapan individu terhadap perubahan organisasi memiliki hubungan yang signifikan (r=0,704, p<0,01). Korelasi antara kedua variabel dapat dikatakan memiliki korelasi yang tinggi. Peneliti berasumsi bahwa pemimpin memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi kesiapan bawahannya dan langkah awalnya adalah dengan mensosialisasikan visi baru yang dimilikinya untuk dapat dipahami karyawan. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Appelbaum, Steven H., St-Pierre, Normand, & Glavas, William. (1998) yang menyatakan bahwa interaksi dalam perubahan dengan pemimpin akan memunculkan dampak pada performa individu maupun perusahaan. Disisi lain, hal ini juga didukung oleh pernyataan Nannus (1992) yang menyatakan bahwa visi merupakan sebuah kebutuhan perusahaan, karena tanpa visi, karyawan dalam perusahaan akan mengalami kebingungan atau berkelakuan menyimpang dari tujuan yang diharapkan. Dengan begitu karyawan dapat memahami perubahan yang sedang terjadi sehingga ia lebih memiliki kesiapan dalam menghadapi perubahan. Lebih lanjut, hubungan ini memiliki hubungan yang positif sehingga dapat diartikan bahwa semakin tinggi pemimpin yang memiliki kepemimpinan visioner maka semakin tinggi pula kesiapan individu terhadap perubahan organisasi. Hal ini juga didukung dengan teori yang dikemukakan oleh Kirkpatrick (2011) yang menyatakan bahwa pemimpin yang memiliki kepemimpinan visioner diharapkan memiliki hasil yang positif terhadap karyawan, menghasilkan kepercayaan yang tinggi, memiliki komitmen yang tinggi , mendapatkan level performa yang tinggi dari bawahannya, dan hasil yang tinggi bagi perusahaan itu sendiri. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Smith (2005) bahwa pemimpin dalam perubahan organisasi perlu bertingkah laku sebagai agen perubahan yang dapat
8
Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2. memunculkan komitmen dan rasa akan tantangan terhadap perubahan, sehingga dapat mengajak karyawan untuk berpartisipasi dalam perubahan yang sedang terjadi. Dalam hal ini, pengembangan yang dilakukan adalah dengan mengembangkan kemampuan pemimpin sesuai dengan dimensi yang dimiliki dalam kepemimpinan visioner. Disamping itu, gambaran umum kesiapan individu terhadap perubahan organisasi dalam perusahaan BUMN dapat dikategorikan sedang. Dengan demikian, karyawan BUMN sudah dapat dikatakan memiliki kesiapan dan memiliki sebuah kemauan untuk menyerahkan energi secara fisik dan psikologis terhadap perubahan. Peneliti berasumsi bahwa karyawan masih tergolong memiliki kesiapan terhadap perubahan yang sedang karena masih terdapat karyawan yang memilih untuk menolak terhadap perubahan yang dilakukan perusahaan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain informasi yang kurang mengenai perubahan atau manfaat yang tidak dirasakan oleh karyawan terhadap perubahan yang terjadi. Lebih lanjut, Galpin (dalam Mangundjaya, 2011) menyatakan bahwa penolakan terhadap perubahan dapat disebabkan oleh karyawan yang tidak mengetahui adanya perubahan, karyawan yang tidak dapat melakukan perubahan, dan karyawan yang tidak mau melakukan perubahan. Selain itu, sosialisasi terhadap perubahan masih kurang dilakukan sehingga tidak semua karyawan memahami informasi yang dibutuhkan dalam menghadapi perubahan. Untuk itu, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pemahaman yang cukup terhadap karyawan mengenai perubahan yang terjadi yang dapat dilakukan oleh pemimpinnya. Berdasarkan dari hasil penelitian, dapat dilihat hubungan antara dimensi - dimensi kepemimpinan visioner dengan kesiapan individu terhadap perubahan organisasi dengan signifikansi 0,002 (p<0,01) dan nilai korelasi 0,289. Dimensi penentu arah (direction setter) memiliki hubungan yang signifikan dan korelasi yang positif. Peneliti berasumsi bahwa hal ini dapat dikarenakan bahwa penentu arah adalah peran awal dari seorang pemimpin dalam menentukan visi baru bagi perusahaan. Pemimpin yang telah memiliki tujuan yang jelas untuk menjalankan peranannya dalam sebuah perusahaan akan memiliki landasan yang kuat. Lebih lanjut, pemimpin yang memiliki arahan yang jelas, menarik, dan dipahami oleh karyawan, akan lebih membuat karyawan memiliki kesiapan terhadap perubahan organisasi. Hal ini didukung dengan pernyataan Nannus (1992) bahwa seorang pemimpin yang baik harus dapat menetapkan strategi dalam mencapai tujuannya, yang dapat dikenali oleh orang lain sebagai perwujudan dari perkembangan secara nyata yang dialami oleh sebuah organisasi. Untuk itu, seorang pemimpin juga harus dapat membangun visi tersebut secara menarik sehingga orang yang terlibat dalam organisasi tersebut akan membantu untuk mewujudkan visinya. Pemahaman akan visi merupakan hal yang penting dilakukan oleh seorang pemimpin karena dengan visi yang jelas maka dapat menjadi dasar yang kuat dalam
9
Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2. menjalankan kepemimpinannya. Nannus (1992) juga menambahkan bahwa ketika seorang pemimpin sukses sebagai penentu arah, maka seorang pemimpin telah berhasil menghasilkan sebuah visi yang akan membuat seluruh karyawan dalam perusahaan mau membantu untuk mewujudkannya. Dukungan yang sudah diberikan oleh karyawan akan lebih mempermudah sebuah perusahaan untuk dapat berubah. Pada korelasi parsial antara dimensi kesiapan individu terhadap perubahan organisasi dengan kepemimpinan visioner, ditemukan bahwa terdapat 4 dimensi yang memiliki hubungan signifikan, yaitu dimensi keuntungan organisasi, dukungan atasan, keyakinan terhadap perubahan, dan keuntungan personal.
Penulis berasumsi bahwa kepemimpinan
visioner adalah bentuk usaha dari pemimpin untuk memberikan dukungan kepada bawahan. Dalam hal ini, karyawan akan memiliki keyakinan terhadap perubahan yang terjadi dan mau mendukung secara aktif. Disisi lain, pemimpin visioner berhasil untuk meyakinkan bawahan untuk dapat memiliki keyakinan akan keterampilan dan yakin akan mampu melaksanakan tugas yang berhubungan dengan pencapaian perubahan (Armenakis, 1993). Dilihat dari aspek demografis, terdapat hubungan yang signifikan antara latar belakang pendidikan responden dengan kesiapan individu terhadap perubahan. Penulis berasumsi latar belakang pendidikan responden dapat mempengaruhi sejauh mana responden memahami, menilai, dan terbuka terhadap perubahan yang terjadi sehingga dapat memberikan penilaian apakah individu tersebut siap dalam menerima perubahan dan mau mendukung ataupun tidak mendukung perubahan yang terjadi. Dalam hal ini, selain dari aspek demografis yaitu latar belakang pendidikan, aspek lain seperti jenis kelamin, jabatan, dan usia tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kesiapan individu terhadap perubahan. Lebih lanjut, dalam penelitian ini, tidak dapat diolah pengaruh dari data demografis seperti usia, jenis kelamin, lama bekerja, latar belakang pendidikan, dan jabatan, dengan variabel kepemimpinan visioner. Hal ini disebabkan karena data kontrol pada kuesioner merupakan data responden, sedangkan alat ukur kepemimpinan visioner merupakan penilaian terhadap atasan dari responden. Dalam hal ini, data kontrol yang didapatkan tidak mewakili data dari pemimpin yang diharapkan pada alat ukur kepemimpinan visioner. Untuk itu, data demografis yang dapat diolah adalah yang dihubungkan dengan kesiapan individu untuk berubah. Hasil menunjukkan bahwa dari aspek jenis kelamin, usia, jabatan, lama bekerja, dan pendikan, aspek yang memiliki hubungan yang signifikan adalah latar belakang pendidikan. Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang ditemukan oleh Hanpachern (1997) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara kesiapan individu terhadap perubahan organisasi dengan jabatan dan lama bekerja. Disisi lain hasil penelitian ini sejalan dengan Hanpachern (1997) yang menyatakan bahwa tidak ditemukan perbedaan
10
Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2. yang signfikan antara kesiapan individu terhadap perubahan organisasi dengan usia dan jenis kelamin. Sedangkan usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh karena penulis menduga terdapat aspek lain yang lebih mempengaruhi, salah satunya pemahaman yang cukup akan perubahan yang terjadi. Hal ini dapat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan yang terlah terbukti memiliki hubungan yang signifikan, karena penulis menduga bahwa latar belakang pendidikan akan mempengaruhi pola pikir dan pengetahuan dari karyawan dalam bereaksi terhadap perubahan. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini tidak lepas dari berbagai keterbatasan yaitu: Pertama, kuesioner yang tidak dapat diolah cukup banyak karena beberapa responden tidak mengisi data kontrol yang dibutuhkan berkaitan dengan lama bekerja di perusahaan dan lama bekerja di divisi saat ini. Untuk itu, pada penelitian selanjutnya, sebaiknya penyebaran data diawasi secara langsung oleh peneliti agar kuesioner yang dikembalikan dapat lebih banyak. Selanjutnya, data kontrol yang didapatkan oleh peneliti merupakan data kontrol dari responden. Hal ini membuat aspek demografis tidak dapat dihubungkan dengan kepemimpinan visioner, sehingga tidak didapatkan gambaran tersebut karena jika ingin dihubungkan dengan kepemimpinan visioner, maka data yang perlu peneliti dapatkan adalah data dari pemimpin tersebut. Untuk penelitian selanjutnya, bila ingin untuk melihat hubungan antara data demografis dengan variabel kepemimpinan visioner, maka sebaiknya ditambahkan data kontrol yang menanyakan mengenai atasan dari responden, seperti jabatan dan jenis kelamin. Hal yang kedua adalah, perhitungan norma pada kedua alat ukur didasarkan pada persebaran respon pada responden penelitian. Dengan demikian, norma alat ukur tersebut hanya dapat digunakan pada populasi penelitian. Untuk penggunaan alat ukur pada populasi lain, maka perlu disesuaikan norma terlebih dahulu. Dilain sisi, untuk penelitian berikutnya peneliti memberikan saran untuk mengurangi jumlah item. Hal ini agar responden tidak jenuh dalam menjawab setiap pertanyaan penelitian sehingga hasil yang didapatkan dapat lebih mewakili respon dari responden terhadap setiap pernyataan yang diberikan. Hal yang ketiga, yang juga berhubungan dengan alat ukur, pada penelitian ini pada alat ukur kesipan individu terhadap perubahan organisasi, terdapat satu item yang dinyatakan tidak validtetapi tetap disertakan karena tidak berpengaruh secara signifikan. Meskipun demikian, untuk memperoleh hasil yang lebih optimal, disarankan dalam penelitian lebih lanjut, alat ukur tersebut disempurnakan kembali. Saran dan Rekomendasi Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa saran praktis yang dapat digunakan berkaitan dengan kepemimpinan visioner dengan kesiapan karyawan terhadap perubahan organisasi, antara lain yaitu pemimpin perlu mengasah kemampuan kepemimpinan visioner sebagai salah
11
Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2. satu cara untuk mempersuasi bawahan dalam memiliki kesiapan karyawan terhadap perubahan. Pelatihan diberikan tidak hanya kepada para pemimpin, namun juga kepada karyawan perusahaan. Upaya lain yang dapat meningkatkan kesiapan individu terhadap perubahan adalah sosialisasi mengenai perubahan perlu dilakukan agar seluruh karyawan dapat memahami dan mendukung secara aktif perubahan yang sedang terjadi. Selain itu, memaksimalkan aspek penentu arah dari seorang pemimpin diharapkan lebih dapat meningkatkan kesiapan karyawan terhadap perubahan organisasi. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian pelatihan mengenai kepemimpinan yang antara lain mengenai menyadarkan bahwa memiliki visi merupakan dasar dalam menjalankan tugas dan juga cara untuk merancang visi tersebut. Daftar Pustaka
Anderson, B. (2002). Readiness for change : An Individual Prespective. Northern Carribbean University, Business Administration. Jamaica: Lethbridge. Appelbaum, Steven H., St-Pierre, Normand, & Glavas, William. (1998). Strategic Organizational Change : The Role of Leadership, Learning, Motivation, and Production. Management Decision, 289 – 301. Armenakis, A. A., Harris, S. G., Mossholder, K. W. (1993). Creating Readiness for Organizational Change. Human relations; 4: 681. Armenakis, A. A., & Harris, S. G. (2002). Crafting a Change Message to Create Tranformartional Readiness. Journal Organizational Change Management, Vol. 15 No. 2, -. 169-183. Gravetter, F. J., & Wallnau, L. B. (2007). Statistics for the behavioral sciences (7th ed.). Belmont, CA: Thomson Wadsworth. Guilford, J.P., & Fruchter, B. (1978). Fundamental Statistics in Psychology and Education (6th edition). New York : McGraw-Hill. Hanpachern, C. (1997). The Extension of the Theory of Margin : a Framework Assessing Readiness for Change. Proquest Dissertations and Thesis. Holt, D.T., Armenakis. A. A., Field, H.S., Harris, S. G. (2007). Readiness for Organizational Change : the systematic development of a scale. Journal of Applied Behavioral Science; 43; 232. Ivancevich, J., Konopaske, R., & Matteson, M. (2005). Organizational Behaviour and Management, Seventh Edition. New York: McGraw-Hill Companies. Kirkpatrick,Shelley A. 2011. Visionary Leadership Theory. London : SAGE Publication. Kumar, R. (2005). Research Methodology (Vol. Second Edition). London: SAGE Publication. Mangundjaya, W. (2011). Organisasi : Struktur, Proses, dan Desain, Edisi Kedua. Jakarta: PT. Swasthi Adi Cita.
12
Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2.
Munandar, A.S. (2001). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI-Press. Nanus, B. (1992). Visionary Leadership . San Fransisco, California: Jossey-Bass Inc. Papalia, Diane, & Olds, Sally Wends, Feldman, Ruth Duskin. (2009). Human Development (11th edition). New York : Mcgraw-hill. Robbins, S. (2002). Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi (Vol. Edisi Kelima). (N. Mahanani, Ed., Halida, & D. Sartika, Trans.) Jakarta: Erlangga. Sashkin, M., & Sashkin, M. (2003). Leadership That Matters. San Fransisco: Berret-Koehler Publisher Inc. Singh, Akhilendra K., & Singh, A. P. (2010). Career Stage and Organizational Citizenship Behavior among Indian Managers. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology ; Vol.36, No.2, 268-275 Smith, Ian. (2005) Achieving Readiness for Organizational change. Library Management ; Vol. 26. No. 6/7, 408-412 Susanto, Alfonsus B. (2008). Organizational Readiness for Change : A case study on Change Readiness in Manufacturing Company in Indonesia. International Business and Tourism Society. Walker, H.J., Armenakis, A. A., Bernerth, J. B. (2007). Factors Influencing Organizational Change Efforts : an integrative investigation of change content, context, process, and individual differences. Journal of change management ; Vol. 20, No.6, 761-733. www.bumn.go.id diunduh pada tanggal 5 Juni pada pukul 20.35
13