ISSN: 1829-7498
HORIZON PENDIDIKAN Vol. 10, No. 1, Januari-Juni 2015
Kepemimpinan Pembelajaran dalam Implementasi Pendidikan Berkarakter (Studi Kasus Pada Daerah Pascakonflik di MAN 2 Ambon)
Nur Hasanah Praktik Profesi Keguruan (PPK) untuk Peningkatkan Kompetensi Pedagogik Mahasiswa
Kapraja Sangadji Analisis Diskriminan dalam Pembentukan Model Klasifikasi dalam Pengelompokkan Data Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Mariana Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri terhadap Penguasaan Konsep Kimia dan Sikap Ilmiah Siswa SMA Negeri 11 Ambon
Surati Srtategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir (SPPKB) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas VIII SMP Muhamadiyah Ambon
Cornelia Pary Pengaruh Perceraian Orang Tua terhadap Pembentukan Kepribadian Anak di Dusun Tapinalu Kecamatan Huamual Kabupaten Seram Bagian Barat
Abdullah Latuapo Tayangan Kekerasan di Televisi dan Tingkah Laku Agresivitas Anak (Psikologi Perkembangan Emosi Anak) Implementasi Pendidikan Berkarakter
Ainun Diana Lating Pendampingan Anak Melalui Bimbingan Belajar Bahasa Inggris Terpadu
Djamila Lasaiba Pengembangan Assessment Otentik Sebagai Upaya Peningkatan Capaian Hasil Belajar Mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi FITK IAIN Ambon
Irvan Lasaiba
ISSN: 1829-7498
HORIZON PENDIDIKAN Vol. 10, No. 1, Januari-Juni 2015 Pengarah Hasbollah Toisuta Penanggung Jawab Idrus Sere Ketua Penyunting Nur Alim Natsir Wakil Ketua Penyunting Djamila Lasaiba Penyunting Ahli T. Fuad Wahab (FTK UIN Sunan Gunung Djati Bandung) Karman (FTK UIN Sunan Gunung Djati Bandung) Muhbib Abdul Wahab (FTK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Ibrahim (FIK Universitas Negeri Malang) La Moma (FIK Universitas Pattimura Ambon) Ismail DP (FITK IAIN Ambon) Penyunting Pelaksana Ummu Saidah Cornelia Pary Jaffar Lessy Ridwan Latuapo Rosmawati T Mariana Sekretariat Muhammad Rijal Jamal Warandi Said Wattimury Fitra Samsudin Jurnal Horizon Pendidikan terbit dua kali dalam setahun, bulan Desember dan bulan Juni. Redaksi menerima tulisan dalam bidang pendidikan dan pelatihan berupa: gagasan konseptual, hasil penelitian, elaborasi tesis atau disertasi, analisis dan aplikasi teori serta resensi buku. Tulisan yang dikirimkan merupakan gagasan orisinil dan belum pernah dipublikasikan pada media manapun. Panjang tulisan antara 15–20 halaman kertas A4, spasi 1,5 huruf Times New Roman ukuran 12 dan Tradisional Arabic ukuran 16 untuk yang berbahasa Arab, abstrak dalam bahasa Inggris (untuk artikel berbahasa Indonesia dan Arab); dan abstrak dalam bahasa Indonesia untuk artikel berbahasa Inggris. Naskah diserahkan dalam bentuk file terformat MS Word (RTF) dan atau dikemas dalam CD. Khusus untuk laporan penelitian, sistematika tulisan harus menggambarkan tahapan-tahapan penelitian dengan jelas. Redaksi berhak menyunting naskah tanpa mengurangi maksud tulisan. Tulisan yang dimuat akan mendapatkan penghargaan. Alamat Redaksi Kantor Fakultas Ilmu Tarbyah dan Keguruan IAIN Ambon Jln. Dr. H. Tatmizi Taher, Kebun Cengkeh Batu Merah Atas, Ambon Telp. (0911)344-315, Email:ft_iainambonyahoo.com
ISSN: 1829-7498
HORIZON PENDIDIKAN Vol. 10, No. 1, Januari-Juni 2015
DAFTAR ISI 1-14
Kepemimpinan Pembelajaran dalam Implementasi Pendidikan Berkarakter: (Studi Kasus Pada Daerah Pascakonflik di MAN 2 Ambon)
Nur Hasanah Sarana Berpikir Ilmiah 15-22
Muhammad Rijal Konsep dan Metode Memperoleh Ilmu
23-30
Rosmawati T
31-38
Praktik Profesi Keguruan (PPK) untuk Peningkatkan Kompetensi Pedagogik Mahasiswa
Kapraja Sangadji 39-46
Analisis Diskriminan dalam Pembentukan Model Klasifikasi Dalam Pengelompokkan Data Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Mariana Eksistensi Penciptaan Manusia Perspektif Manajemen Islam 47-54
La Rajab Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri terhadap Penguasaan Konsep Kimia dan Sikap Ilmiah Siswa SMA Negeri 11 Ambon
55-60
Surati Srtategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir (SPPKB) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas VIII SMP Muhamadiyah Ambon
61-68
Cornelia Pary Tayangan Kekerasan di Televisi dan Tingkah Laku Agresivitas Anak (Psikologi Perkembangan Emosi Anak) Implementasi Pendidikan Berkarakter
69-78
Ainun Diana Lating Pendampingan Anak Melalui Bimbingan Belajar Bahasa Inggris Terpadu
79-90
Djamila Lasaiba
ISSN: 1829-7498
Pengembangan Assessment Otentik Sebagai Upaya Peningkatan Capaian Hasil Belajar Mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi FITK IAIN Ambon 91-98
Irvan Lasaiba Pengembangan Materi Bahasa Inggris untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Teks-Teks Bahasa Inggris di Kalangan Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon
99-104
M. Faqih Seknun Principles of Instructed Language Learning
105-114
Nurlaila Wattiheluw Pendidikan Pemeliharaan Harmoni Alam dalam Al-Qur’an
115-126
M. Sulhan Resensi Buku: Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam Karya Muhaimin
127-130
M. Karman
Kepemimpinan Pembelajaran, Nur Hasanah
KEPEMIMPINAN PEMBELAJARAN DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BERKARAKTER (Studi Kasus Pada Daerah Pascakonflik di MAN 2 Ambon) Nur Hasanah Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon
[email protected]
Abstrak: Penciptaan generasi muda yang berkemampuan ilmu pengetahuan yang dapat melakukan pembangunan di segala bidang merupakan alasan umum pendidikan menjadi penting. Untuk membangun pendidikan berkarakter di daerah pascakonflik kepala sekolah harus berinisiatif untuk merubah model pembelajaran yang dapat mewujudkan pendidikan berkarakter. MAN 2 Ambon salah satu lembaga pendidikan yang lebih dominan dalam pembelajaran bersifat agamis. Madrasah ini merupakan daerah pascakonflik dan rawan konflik sehingga membutuhkan bimbingan yang lebih terhadap anak-anak didik agar tidak terhasut oleh hal-hal yang berbau konflik. Kepala sekolah dituntut dapat menyiptakan kepemimpinan yang mampu mewujudkan pembelajaran yang berkarakter dan bertanggung jawab kepada guru-guru untuk menyamakan persepsi dalam pembelajaran. Pendekatan penelitian ini kualitatif berlokasi di MAN 2 Ambon. Informan penelitian ini kepala sekolah dan guru-guru, dengan analisis data teknik Milles Huberman. Hasil penelitian menunjukkan aktualisasi kepemimpinan pembelajaran kepala sekolah dalam implementasinya secara integratif berinterelasi dengan pendekatan yang digunakan kepala sekolah dalam melakukan supervisi. Pendekatan yang dimaksud meliputi pendekatan direktif, non direktif dan kolaboratif. Keyword: Kepemimpinan Pembelajaran, Pendidikan Berkarakter Pendahuluan Konflik benuansa SARA di daerah tertentu di Indonesia, salah satunya Ambon, di provinsi Maluku, akibat dari lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kearifan budaya. Konflik muncul jika tidak ada distribusi nilai yang adil kepada masyarakat. Perbedaan ras dalam masyarakat menjadi penanda awal yang secara budaya sudah dilabelkan hambatan-hambatannya. Dinamika dan perkembangan masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh hubungan-hubungan antaretnis. Membangun suatu lembaga pendidikan di daerah pascakonflik cukup sulit, karena untuk mengembalikan keharmonisan seperti
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
semula atau prakonflik butuh proses lama. Kondisi psikologis anak-anak di daerah pascakonflik berbeda dengan kondisi anak-anak di daerah yang lebih kondusif umumnya. Anakanak mengalami tekanan berat dan rasa trauma yang dapat mengganggu proses perkembangan mereka. Praktisi pendidikan, Arief Rahman menilai, anak-anak tersebut lebih membutuhkan pendidikan informal untuk mengembalikan kondisi psikologisnya.1 1
Abdurrahman, Pengembangan Mobil Pintar untuk Daerah Tertinggal, PascaKonflik, dan Rawan Bencana.http://edukasi.kompas.com/read/2009/08/06/14 542844/Arief.AnakdiDaerahKonflikButuhPendidikanIn formal. Diakses 15 desember 2013, h. 6.
1
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 1-14
Pendidikan hal yang paling disoroti, karena melalui pendidikanlah perubahan dimulai. Penciptaan generasi muda yang berkemampuan ilmu pengetahuan dapat melakukan pembangunan di segala bidang merupakan alasan umum pendidikan menjadi penting. Untuk membangun pendidikan berkarakter di daerah pascakonflik kepala sekolah harus berinisiatif merubah model pembelajaran yang dapat mewujudkan pendidikan berkarakter. MAN 2 Ambon salah satu lembaga pendidikan dalam naungan Kementerian Agama yang dominan dalam pembelajaran yang bersifat agamis. MAN 2 Ambon terletak di Tulehu Kabupaten Maluku Tengah daerah tersebut merupakan daerah pascakonflik dan rawan konflik sehingga membutuhkan bimbingan yang lebih terhadap anak-anak didik agar tidak terhasut oleh hal-hal yang berbau konflik. Kepala sekolah sebagai pemimpin dalam lembaga pendidikan dituntut dapat menyiptakan kepemimpinan yang mampu mewujudkan pembelajaran yang berkarakter dan bertang-gung jawab kepada guru-guru untuk menyamakan persepsi dalam hal pembelajaran. Penelitian ini menjelaskan kepemimpinan pembelajaran di MAN 2 Ambon dalam menyiptakan pendidikan berkarakter sebagai sekolah di daerah pascakonflik Kepemimpinan Pembelajaran Kepala Sekolah Kepala sekolah salah satu kunci diterminan keberhasilan sekolah dalam mencapai tujuan. Hal ini dinyatakan oleh Usman, keberhasilan kepala sekolah dalam menyapai tujuannya secara dominan ditentukan oleh keandalan manajemen sekolah yang bersangkutan, dan keandalan manajemen sekolah dipengaruhi oleh kapasistas kepemimpinan kepala sekolahnya”.2 Berkaitan dengan kedudukan kepala sekolah tersebut dikemukakan oleh Sutrisno, baik atau buruk sebuah sekolah lebih
banyak ditentukan oleh kemampuan profesional kepala sekolah sebagai pengelolanya”. Kepemimpinan kepala sekolah secara sistematis berkaitan dengan kepribadian, motivasi, dan keterampilan. Kepemimpinan kepala sekolah dapat diartikan pula sebagai kemampuan kepala sekolah dalam memimpin dan menggerakkan seluruh personil (tenaga pendidik dan tenaga kependidikan) di sekolah sehingga dapat mendayagunakan sumber daya yang ada di sekolah untuk menyapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Para pakar mengeksplisitkan kepemimpinan dan perhatian kepala sekolah terhadap kualitas ciri penting sekolah efektif. Hal ini semakin menguatkan asumsi bahwa kepemimpinan merupakan faktor penggerak organisasi melalui penanganan perubahan dan manajemen yang dilakukannya sehingga keberadaan pemimpin tidak hanya sebagai simbol tetapi keberadaannya memberi dampak positif bagi perkembangan organisasi sekolah. Seperangkat aturan dan kurikulum yang selanjutnya direalisasikan oleh para pendidik sudah pasti atas koordinasi dan otokrasi dari kepala sekolah. Kepala sekolah merupakan tokoh sentral pendidikan.3 Sifat kepemimpinan yakni, Kepemimpinan yang kuat berarti pula sebagai lead, baik dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti singkatan. LEAD dalam arti yang sebenarnya adalah mampu mengarahkan. LEAD dalam arti akronim adalah Listen to your team and client (jadilah pendengar yang baik bagi tim dan pelanggan), LEAD dalam arti singkatan ialah Leader, Encourage motivate (membakitkan motivasi), Diliver (menyampaikan untuk berbuat yang terbaik). Berkaitan dengan hal tersebut, kepala sekolah sebagai seorang pemimpin, harus memiliki sejumlah kompetensi agar dapat men3
2
Usman, Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 352.
2
A Komariah, & C. Triatna, Visionary Leadership: Menuju Sekolah Efektif (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. h. 40.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Kepemimpinan Pembelajaran, Nur Hasanah
jalankan tugas kepemimpinannya secara profesional. Kompetensi yang harus dimiliki oleh kepala sekolah menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 13 Tahun 2007 mengenai Standar Kompetensi Kepala Sekolah/Madrasah menguraikan kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh kepala sekolah diuraikan secara rinci dalam tabel berikut: Tabel 2.1. No
1.
2.
Rumpun Kompetensi Kompetensi Kepribadian
Kompetensi Manajerial
Kompetensi 1. Berakhlak mulia, mengembangkan budaya dan tradisi akhlak mulia, dan menjadi teladan akhlak mulia bagi komunitas di sekolah/madrasah. 2. Memiliki integritas kepribadian yang kuat sebagai pemimpin. 3. Memiliki keinginan yang kuat dalam pengembangan diri sebagai kepala sekolah. 4. Bersikap terbuka dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi. 5. Mampu mengendalikan diri dalam menghadapi masalah dalam pekerjaan sebagai kepala sekolah. 6. Memiliki bakat dan minat jabatan sebagai pemimpin pendidikan. 1. Menyusun perencanaan sekolah untuk berbagai tingkatan perencanaan. 2. Mengembangkan organisasi sekolah sesuai dengan kebutuhan. 3. Memimpin sekolah/madrasah dalam rangka pendayagunaan sumber daya manusia secara optimal. 4. Mengelola perubahan dan pengembangan sekolah/madrasah menuju organisasi pembelajar yang efektif. 5. Menyiptakan budaya dan
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
iklim sekolah/madarasah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta didik. 6. Mengelola guru dan staf dalam rangka pendayagunaan sumber daya manusia secara optimal. 7. Mengelola sarana dan prasarana sekolah/madrasah dalam rangka pendayagunaan secara optimal. 8. Mengelola hubungan sekolah/madrasah dan masyarakat dalam rangka pencarian dukungan ide, sumber belajar, dan pem-biayaan sekolah/madrasah. 9. Mengelola peserta didik dalam rangka penerimaan peserta didik baru, dan penempatan dan pengembangan kapasitas peserta didik. 10. Mengelola pengembangan kurikulum dan kegiatan pembelajaran sesuai dengan arah dan tujuan pendidikan nasional. 11. Mengelola keuangan sekolah/madrasah sesuai dengan prinsip pengelolaan yang akuntabel, transparan, dan efisien. 12. Mengelola katatausahaan sekolah/madarasah dalam mendukung pencapaia tujuan sekolah/madarasah. 13. Mengelola unit layanan khusus sekolah/madrasah dalam mendukung kegiatan pembelajaran dan kegiatan peserta didik sekolah/madrasah. 14. Mampu mengelola sistem informasi sekolah dalam mendukung penyusunan program dan pengambilan keputusan. 15. Memanfaatkan kemajuan teknologi informasi bagi peningkatan pembelajaran dan manajemen sekolah. 16. Melakukan monitoring, evauasi, dan pelaporan
3
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 1-14
3.
Kompetensi Kewirausaha an
1. 2.
3.
4.
5.
4.
Kompetensi Supervisi
1.
2.
3.
5.
Kompetensi Sosial
1. 2. 3.
pelaksanaan program kegiatan sekolah/madrasah dengan prosedur yang tepat, serta merencanakan tindak lanjutnya. Menciptakan inovasi yang berguna bagi pengembangan sekolah/madrasah. Bekerja keras untuk mencapai keberhasilan sekolah/madrasah sebagai organisasi pembelajar yang efektif. Memiliki motivasi yang kuat untuk sukses dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pemimpin sekolah/madrasah. Pantang menyerah dan selalu mencari solusi terbaik dalam menghadapi kendala yang dihadapi sekolah/madrasah. Memiliki naluri kewirausahaan dalam mengelola kegiatan produksi/jasa sekolah/madrasah sebagai sumber belajar peserta didik. Merencanakan program supervisi akademik dalam rangka peningkatan profesionalisme guru. Melaksanakan supervisi akademik terhadap guru dengan menggunakan pendekatan dan teknik supervisi yang tepat Menindaklanjuti hasil supervisi akade mik dalam rangka peningkatan profesionalisme guru. Bekerja sama dengan pihak lain untuk kepentingan sekolah/madrasah. Berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Memiliki kepekaan sosial terhadap orang atau kelompok lain.
Sumber: Lampiran Peraturan Menteri Nasional Nomor 13 Tahun 2007.
Pendidikan
Banyak model kepemimpinan yang dapat dianut dan diterapkan dalam bebagai organisasi atau institusi, baik profit maupun non profit. Namun, model kepemimpinan yang paling cocok untuk diterapkan di sekolah kepemimpinan pembelajaran (instructional leadership or leadership for improved learning). Kepemimpinan pembelajaran diartikan sebagai kepemimpinan yang memokuskan pada pembelajaran yang komponen-komponennya menyakup kurikulum, proses pembelajaran, assessment (penilaian hasil belajar), penilaian serta pengembangan guru, layanan prima dalam pembelajaran, dan pembangunan komunitas belajar di sekolah. Kepemimpinan pembelajaran penting diterapkan di sekolah karena kemampuannya dalam membangun komunitas belajar warganya dan mampu menjadikan sekolahnya sebagai sekolah belajar (learning school).4 Penelitian tentang penerapan kepemimpinan pembelajaran di sekolah menyimpulkan, kepala sekolah yang memokuskan kepemimpinan pembelajaran menghasilkan prestasi belajar siswa yang lebih baik daripada kepala sekolah yang kurang memfokuskan pada kepemimpinan pembelajaran. Sejumlah ahli pendidikan telah melakukan penelitian tentang pengaruh kepemimpinan pembelajaran terhadap peningkatan hasil belajar. Salah satu di antara mereka adalah Findley dalam Ditjen PMPTK yang menyimpulkan bahwa “If a school is to
be an effective one, it will be because of the instructional leadership of the principal….” Kutipan tersebut dapat disarikan, peningkatan hasil belajar siswa dipengaruhi oleh kepemimpinan pembelajaran. Jika hasil belajar siswa ingin dinaikkan, kepemimpinan yang menekankan pada pembelajaran harus diterapkan. Sejalan dengan pemikiran tersebut, kepemimpinan pembelajaran di Australia disebut educational leadership. Kepemimpinan pembela4 Ditjen PMPTK, Kepemimpinan Pembelajaran: Materi Pelatihan Penguatan Kemampuan Kepala Sekolah, (online), (httt://www.kemdiknas.go.id, diakses
pada 16 September 2013), h. 9.
4
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Kepemimpinan Pembelajaran, Nur Hasanah
jaran (instructionnal leadership) disebut juga
1.
education leadership, school leadership, visionary leadership, and teaching, learningleadership, and supervision leadership. Hasil penelitian Kusmintardjo mengenai kepemimpinan pembelajaran menyebutkan, Sebagai pemimpin pembelajaran yang tangguh, kepala sekolah diharapkan mampu mengekspresikan perilaku-perilaku kepemimpinan pembelajaran yang dicirikan dengan peranan dan fungsinya sebagai: (a) management engineer, mampu menerapkan teknik-teknik perencanaan, pengorganisasian, pengoordinasian, dan pengawasan di bidang pembelajaran (b) communicator, mampu menerapkan teknik motivasi dan komunikasi antarpribadi, serta pendekatan kekeluargaan dan keagamaan dalam membangun moral kerja guru yang tinggi, (c) clinical practicioner, mampu mendiagnosis masalah-masalah pembelajaran dan melakukan tindakan-tindakan inovatif bidang pembelajaran, (d) role model, mampu menampilkan dirinya sebagai sosok pimpinan (chief) yang selalu mendiskusikan problema pembelajaran dengan guru dan siswa, dan (e) high priest, mampu mengartikulasikan visi dan misi sekolah, serta memainkan simbolsimbol dalam rangka meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran.5 Melengkapi tugasnya dalam kepemimpinan pembelajaran, kepala sekolah memiliki sejumlah peran sebagai pemimpin pendidikan. Peranan sebagai pemimpin pendidikan antara lain sebagai personal, educator, manager, ad-
ministrator, supervisor, social, leader, intrepreneur, dan climator (PEMASSLEC).
2.
3. 4.
5.
6.
7.
8.
9.
Sebagai personal, ia harus berintegritas kepribadian dan akhlak mulia, pengembangan budaya, keteladanan, keinginan yang kuat dalam pengembangan diri, keterbukaan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi, kendali diri dalam menghadapi masalah dalam pekerjaan, bakat dan minat jabatan sebagai pemimpin pendidikan. Sebagai educator, ia berperan merencanakan, melaksanakan, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih, meneliti dan mengabdi kepada masyarakat. Sebagai manager, ia melakukan peren-canaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan. Sebagai administrator, ia harus mampu mengelola ketatausahaan sekolah/madrasah dalam mendukung pencapaian tujuan sekolah/madrasah. Sebagai supervisor, ia merencanakan supervisi, melaksanakan supervisi, dan menindaklanjuti hasil supervisi untuk meningkatkan profesionalisme guru. Sebagai seorang yang sosial, ia bekerja sama dengan pihak lain untuk kepentingan sekolah/madrasah, berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, dan memiliki kepekaan (empati) sosial terhadap orang atau kelompok orang. Sebagai leader, ia harus mampu memimpin sekolah/madrasah dalam rangka pendayagunaan sumber daya sekolah/madrasah secara optimal. Sebagai entrepreneur, ia harus kreatif (termasuk inovatif), bekerja keras, etos kerja, ulet (pantang menyerah) dan naluri kewirausahaan. Sebagai climator, ia harus mampu menyiptakan iklim sekolah yang kondusif.
Pendidikan 5
Kusmintardjo, Kepemimpinan Pembelajaran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kinerja Guru Studi Multi Kasus Pada Dua SMU Di Kota Pamalang. Desertasi tidak diterbitkan (Malang: Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang, 2003), h. i.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pendidikan merupakan proses sistematis untuk meningkatkan martabat manusia secara holistik. Pendidikan menjadi wahana strategis bagi upaya mengembangkan segenap potensi
5
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 1-14
individu sehingga cita-cita membangun manusia Indonesia seutuhnya dapat tercapai.6 Terdapat beberapa pandangan mengenai pengertian pendidikan, seperti yang lazim digunakan dalam praktik pendidikan. Ahmad D. Marimba mengatakan, pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Berdasarkan rumusan ini, Marimba menyebutkan ada lima unsur utama pendidikan, yaitu: (1) usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan, pimpinan atau pertolongan yang dilakukan secara sadar, (2) ada pendidik, pembimbing atau penolong, (3) ada yang dididik, atau si terdidik, (4) ada dasar dan tujuan dalam bimbingan tersebut, dan (5) dalam usaha itu tentu ada alat-alat yang dipergunakan.7 Menurut Ahmad Tafsir definisi tersebut dinilai sebagai definisi yang belum mencakup semua yang dikenal sebagai pendidikan. Definisi tersebut cukup memadai bila pendidikan dibatasi pada pengaruh seseorang kepada orang lain, dengan sengaja (sadar). Pendidikan oleh diri sendiri dan oleh lingkungan tampak belum mencakup ke dalam batasan pendidikan dalam pandangan A.D. Marimba tersebut. Namun, Ahmad Tafsir lebih lanjut mengatakan bahwa pengertian mana yang akan anda ambil, boleh saja, terserah kepada anda.8 Formulasi pendidikan selanjutnya diajukan oleh tokoh pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara. Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia. Pendidikan tidak hanya bersifat pelaku pembangunan tetapi merupakan per6
Depdiknas, Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005–2009 (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2009). 7 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma'arif, 1962), h. 19. 8 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya,1994), h. 25.
6
juangan. Pendidikan berarti memelihara hidup tumbuh kearah kemajuan. Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berazaz peradaban, yakni memajukan hidup agar memertinggi derajat manusia.9 Rumusan pendidikan ini tampak memberikan kesan dinamis, modern dan progresif. Pendidikan tidak hanya memberikan bekal untuk membangun, tetapi seberapa jauh didikan yang diberikan itu dapat berguna untuk menunjang kemajuan suatu bangsa. Pengertian pendidikan lebih terperinci cakupannya dikemukakan oleh Poerbacaraka. Menurutnya, dalam arti umum pendidikan menyakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya, dan keterampilannya kepada generasi muda untuk melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama sebaik-baiknya. Corak pendidikan itu erat hubungannya dengan corak penghidupan sehingga jika corak penghidupan itu berubah, corak pendidikannya akan berubah pula, agar si anak siap untuk memasuki lapangan pendidikan itu.10 Definisi yang terakhir ini sejalan dengan definisi K.H. Dewantara sebelumnya. Ketiga rumusan pendidikan tersebut, jika dipadukan tampak bahwa pendidikan merupakan kegiatan yang dilakukan dengan sengaja, seksama,' terencana, dan bertujuan yang dilaksanakan oleh orang dewasa dalam arti memiliki bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan menyampaikannya kepada anak didik secara bertahap. Apa yang diberikan kepada anak didik itu sedapat mungkin dapat menolong tugas dan perannya di masyarakat. Pendidikan merupakan suatu proses kontinyu. Ia merupakan pengulangan yang perlahan tetapi pasti dan terus-menerus sehingga sampai pada bentuk yang diinginkan. Dari 9
Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962), h.166. 10 Soegarda Poerbakawatja, Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka (Jakarta: Gunung Agung, 1970), h. 11.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Kepemimpinan Pembelajaran, Nur Hasanah
pernyataan tersebut, pendidikan usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, emosional, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Konflik Konflik adalah segala macam interaksi pertentangan atau antagonistic antara dua atau lebih pihak. Konflik organisasi adalah ketidaksesuaian antara dua atau lebih antara anggotaanggota atau kelompok-kelompok organisasi yang timbul karena ada kenyataan bahwa mereka harus membagi sumber daya yang terbatas atau kegiatan-kegitan kerja atau karena kenyataan bahwa mereka memiliki perbedaan status, tujuan, nilai atau persepsi.11 Selain definisi konflik tersebut, ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para tokoh, sebagai berikut: 1. Menurut Nardjana, konflik adalah akibat situasi yang keinginan atau kehendak berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu. 2. Menurut Killman dan Thomas, konflik merupakan kondisi terjadi ketidakcocokan antarnilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. 3. Wood, Walace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, dan Osborn mendefiniskan konflik (dalam ruang lingkup organisasi) adalah
Conflict is a situation which two or more people disagree over issues of organisational substance and/or experience some emotional antagonism with one another, 11
T. Hani Handoko, Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia (Yogyakarta: Universitas Gajah
yang kurang lebih memiliki arti bahwa konflik adalah suatu situasi di mana dua atau banyak orang saling tidak setuju terhadap suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan organisasi dan atau dengan timbul perasaan permusuhan satu dengan yang lain. 4. Stoner mendefinisikan konflik organisasi adalah mencakup ketidaksepakatan soal alokasi sumberdaya yang langka atau perselisihan soal tujuan, status, nilai, persepsi, atau kepribadian. 5. Daniel Webster mendefinisikan konflik sebagai persaingan (pertentangan) antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain dan keadaan atau perilaku yang bertentangan. Berdasarkan beberapa pengertian konflik, dapat dikemukakan, konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi antara idealisme seseorang terhadap dirinya, orang lain, organisasi dengan kenyataan apa yang diharapkan. Menurut Stevenin terdapat lima langkah meraih kedamaian dalam konflik. Apapun sumber masalahnya, lima langkah berikut ini bersifat mendasar dalam mengatasi kesulitan sebagai berikut: 1. Pengenalan, kesenjangan antara keadaan yang ada diidentifikasi dan bagaimana keadaan yang seharusnya. Satu-satunya yang menjadi perangkap kesalahan dalam mendeteksi (tidak memedulikan masalah atau menganggap ada masalah). 2. Diagnosis. Metode yang benar dan telah diuji mengenai siapa, apa, mengapa, di mana, dan bagaimana berhasil dengan sempurna. Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada hal yang sepele. 3. Menyepakati suatu solusi. Kumpulkanlah masukan mengenai jalan keluar yang memungkinkan dari orang-orang yang terlibat. Saringlah penyelesaian yang tidak dapat diterapkan atau tidak praktis. Jangan menyelesaikan dengan cara yang terbaik.
Mada, 1997), h. 201.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
7
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 1-14
4. Pelaksanaan. Ingatlah selalu ada keuntungan dan kerugian. Hati-hati, jangan biarkan pertimbangan ini terlalu memengaruhi pilihan dan arah kelompok. 5. Evaluasi penyelesaian itu dapat melahirkan serangkaian masalah baru. Jika penyelesaiannya tampak tidak berhasil, kembalilah ke langkah-langkah sebelumnya dan cobalah lagi. Stevenin juga memaparkan bahwa ketika mengalami konflik, ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan di tengah-tengah konflik: (1) jangan hanyut dalam perebutan kekuasaan dengan orang lain, (2) jangan terlalu terpisah dari konflik. Dina-mika dan hasil konflik dapat ditangani secara paling baik dari dalam, tanpa melibatkan pihak ketiga, dan (3) jangan biarkan visi dibangun oleh konflik yang ada. Jagalah cara pandang dengan berkonsentrasi pada masalah-masalah penting. Masalah yang paling mendesak belum tentu merupakan kesempatan yang terbesar.12 Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam rangka menemukan jawaban atas permasalahan yang telah dirumuskan dalam fokus penelitian yang terkait dengan rekonstruksi kurikulum perguruan tinggi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini pendekatan kualitatif, pendekatan penelitian yang berusaha mengonstruksi realitas dan memahami maknanya, sehingga memerhatikan proses, peristiwa dan otentisitas.13
Rancangan penelitian yang digunakan oleh peneliti studi analisis, suatu penelitian strategis yang terpusat untuk memberikan pengertian secara dinamis dengan latar tunggal menyakup kasus tunggal.14 Mengemukakan, studi analisis adalah: a detailed examina-
tion of one setting, or one particular event. 2. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian di Madrasah Aliyah Negeri 2 (dua) Ambon di Tulehu kabupaten Maluku Tengah. 3. Sumber data Sumber data dalam penelitian subjek dengan menggunakan teknik snowball sampling dalam menelusuri informasi pada informan utama dan informan tambahan yang terkait dengan fokus penelitian ini. Sumber data penelitian ini Kepala sekolah, guru dan peserta didik. Pencatatan sumber data utama melalui kegiatan wawancara dan pengamatan berperan serta merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar, dan bertanya. Wawancara yang dilakukan peneliti wawancara terbuka yaitu para informan mengetahui maksud dan tujuan wawancara yang dilakukan tersebut. 2. Prosedur Pengumpulan Data Ulfatin menyebutkan ada beberapa teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian kualitatif. Teknik yang digunakan dalam penelitian kualitatif: (1) wawancara mendalam; (2) pengamatan partisipasi; dan (3) analisis dokumen”.15 Ketiga teknik tersebut akan digunakan dalam penelitian, pelaksanaan ketiga teknik pengumpulan data mengacu pada instrumen yang disusun oleh peneliti.
12
Stevenin, Manejemen Konflik: Definisi, ciri, Sumber, dampak dan strategi mengatasi konflik. (http://jurnal-sdmblogspot.com/search/label/Manajemenkonflik). Di akses 15 Desember 2013, h. 2. 13 G.R. Somantri, Memahami Metode Kualitatif. Jurnal Makara, Sosial Humaniora, (Online di http://journal.ui.ac.id. Vol. 9, No. 2, 2005). diakses 26 April 2012, h. 57.
8
14 R.C. Bogdan, dan S.K. Biklen, Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. (London: Allyn and Bacon, Inc. 1982), h. 58. 15 N. Ulfatin, Hambatan Kesempatan Guru Wanita Menjadi Kepala Sekolah Ditinjau dari Segi Sosial Kultural. (Disertasi tidak diterbitkan. Malang:
Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang. 2001), h. 20.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Kepemimpinan Pembelajaran, Nur Hasanah
a. Teknik Observasi Teknik observasi yang di-gunakan oleh peneliti observasi peran serta. Peranan peneliti dalam observasi sebagai pemeran dan pengamat. Wiyono menjelaskan, observasi ini dilakukan dengan mengambil peran seimbang antara peneliti sebagai pengamat dan peneliti sebagai anggota kelompok sasaran penelitian.16 b. Teknik Wawancara Wawancara sebagaimana oleh Wiyono bahwa,
ditegaskan
Percakapan yang dilakukan antara peneliti dengan subjek penelitian. Tujuan wawancara memeroleh informasi yang lebih dalam, mengonstruksi, dan memroyeksikan mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, dan lain-lain. Melalui wawancara mendalam akan diketahui tentang apa yang terkandung dalam pikiran/hati orang, pandangan orang terhadap sesuatu, makna dibalik perkataan atau hal-hal lain yang tidak diketahui melalui observasi.17
merkaya data penelitian untuk proses analisis data. Dokumen yang digunakan berupa datadata di kampus 3. Analisis Data Analisis data merupakan tahapan penting dalam kegiatan penelitian. Analisis dalam penelitian kualitatif merupakan kegiatan yang dilakukan pada saat pengumpulan data dan setelah semua data terkumpul, dengan melacak, mengorganisasi, memilah, mensintesis, dan menelaah untuk mencari pola-pola, diinterprestasi dan disajikan makna fenomenanya. Analisis data oleh Bogdan dan Biklen diartikan sebagai proses secara sistematis untuk mengkaji dan mengumpulkan transkrip wawancara, catatan lapangan, dokumentasi, dan hal-hal lain untuk memerdalam pemahaman tentang fokus penelitian.18 Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini teknik analisis model interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman yang diilustrasikan sebagai berikut:19
Pengumpulan Data
Jenis wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan dua jenis, yaitu wawancara tidak terstruktur dan terstruktur sesuai dengan taraf pertanyaan yang disampaikan kepada subjek peneliti. Jenis wawancara terstruktur digunakan peneliti bertujuan mencari jawaban sesuai dengan fokus penelitian.
Penyajian Data
Reduksi Data
c. Teknik Dokumentasi Teknik analisis dokumen digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan informasi yang tidak diperoleh dengan teknik wawancara dan observasi. Analisis dokumen juga dapat me-
Penarikan kesimpulan
Gb. 3. 1 Analisis Data Model Proses Interaktif 18
16
B.B. Wiyono, Metodologi Penelitian (Pende-
katan Kuantitatif, Kualitatif dan Action Research) (Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang), h. 78. 17 B.B. Wiyono, Metodologi Penelitian, h. 79.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
R.C. Bogdan dan S.K. Biklen, Qualitative Research for Education. h.13. 19 M.B Miles, dan A.M. Huberman, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, Diterjemahkan oleh Tjetjep R.R (Jakarta: UI Press. 1992), h. 20.
9
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 1-14
Pembahasan Hasil Penelitian 1. Kepemimpinan Pembelajaran di Sekolah di Daerah Pascakonflik di MAN 2 Ambon MAN 2 Ambon lembaga pendidikan di daerah pascakonflik yang telah mengakibatkan terjadi pergeseran arah paradigma pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru. Mengatasi perubahan tersebut pemerintah harus suportif atas gagasan dari para pemerhati pendidikan, yang peduli dengan anak bangsa. Mereka harus memercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Perlu diadakan pelatihan seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen stress, dan komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan. Keberhasilan pengelolaan sekolah dapat ditandai dengan pengambilan keputusan bersama. Misal, ada pembagian tanggung jawab antara para pemegang kebijakan, kepala sekolah dapat memberi perhatian pada hal yang berkaitan dengan peningkatan sekolah. Faktor lain yang harus terlibat dari pembagian tanggung jawab dalam pengambilan keputusan memrofesionalkan staf. Untuk pengelolaan sekolah yang baik ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain: 1. Komunikasi terbuka. Adanya komunikasi terbuka, para pemegang kebijakan dalam mengambil keputusan akan merasa lebih positif mengenai sekolah. Jika hal itu terbentuk akan menyiptakan pondasi yang kuat untuk pengembangan sekolah melalui peran serta masyarakat sekolah. 2. Keputusan diambil bersama. Keputusan ditetapkan beberapa orang pada hal kebijakan yang diputuskan menyangkut semua elemen. Jika hal itu terjadi dapat berdam-
10
3.
4.
5.
6.
pak negatif karena ada pihak merasa tidak terpakai sehingga terjadi pertentangan individu. Pengambilan keputusan harus dilakukan secara bersama. Kebutuhan guru diperhatikan. Guru memilki kebebasan bertukar pikiran, termasuk pandangan yang bertentangan dengan kepala sekolah. Kepala sekolah harus melibatkan para guru sehingga mereka merasa dianggap mitra dalam pengembangan sekolah dan timbul rasa turut memiliki dan meningkatkan peran. Selain kesejahteraannya guru juga perlu meningkatkan kualifikasi pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pemerintah harus bisa menjadi motivator dan fasilitator untuk mendorong para guru melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi. Kebutuhan siswa diperhatikan. Kemauan kepala sekolah untuk mendengarkan para siswa dapat memberikan dorongan kepada mereka. Langkah yang dapat dilakukan melalui rapat OSIS sehingga siswa dapat mengutarakan pendapatnya dan mengusulkan saran. Sekolah yang memerhatikan kebutuhan siswa lebih diterima baik siswa, orang tua, juga masyarakat. Selain itu penambahan kegiatan ektrakurikuler yang po-sitif. Pihak sekolah juga perlu memasilitasi program latihan keterampilan yang cocok untuk memersiapkan siswa ke dunia kerja mandiri. Hal lain yang perlu dilakukan membuat sekolah menjadi tempat yang menyenangkan bagi para siswa sehingga para siswa merasa betah berada di sekolah. Ada keterpaduan antara sekolah dan masyarakat. Sekolah harus melibatkan tokoh masyarakat. Hal itu dilakukan dengan cara mengundang tokoh masyarakat pada rapat sekolah saat membicarakan masalah yang berkaitan dengan masyarakat. Guru sebagai model. Di jaman modern masih ada guru mengajar dengan paradigma lama, siswa dianggap botol kosong yang harus diisi. Jaman modern ini seorang
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Kepemimpinan Pembelajaran, Nur Hasanah
guru harus berpikir modern tidak lagi menganggap siswanya botol. Proses belajar mengajar guru harus bisa menyiptakan suatu suasana belajar yang menarik. Aktualisasi Kepemimpinan Pembelajaran di MAN 2 Ambon Aktualisasi diri merupakan kebutuhan tingkat tinggi yang dipenuhi secara internal. Robbins (2006) mendefinisikan aktualisasi diri sebagai dorongan untuk menjadi seseorang atau sesuatu sesuai ambisinya; yang mencakup pertumbuhan, pencapaian potensi, dan pemenuhan kebutuhan diri.20 Berkenaan dengan aktualisasi diri, Sukmadinata (2003) berpendapat, Seseorang yang telah mencapai tahap aktualisasi diri, memiliki pribadi yang utuh, sehat, seimbang dan matang. Seseorang yang dirinya yang telah teraktualisasi memiliki pandangan yang objektif, baik terhadap dirinya maupun orang lain, orientasi yang sehat, yaitu bertolak dari kemampuan dan kecakapan yang secara nyata dimiliki, biasa bertanggung jawab terhadap gagas-an, rencana dan perbuatan yang dilaku-kannya.21 Aktualisasi kepemimpinan kepala sekolah diwujudkan melalui kemampuan dan kecakapan yang dimilikinya untuk menjalankan peran dan fungsi kepemimpinan kepala sekolah dengan komitmen dan tanggung jawab yang tinggi. Hal tersebut menempatkan kepala sekolah sebagai pemimpin itu penting karena kepala sekolah berfungsi sebagai tokoh, yang memberikan arahan dalam waktu perubahan, dan yang bertanggung jawab untuk efektivitas organisasi (sekolah). Kepala sekolah sebagai
pemimpin menjalankan fungsi kepemimpinannya dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di sekolah dengan menetapkan tujuan secara utuh, yaitu mendayagunakan bawahan melalui pendekatan partisipatif, dan didasari oleh kemampuan kepemimpinan secara profesional. Tugas utama kepala sekolah mewujudkan keunggulan sekolah yang dipimpinnya. Keunggulan utama sekolah mewujudkan mutu lulusan yang memenuhi bahkan melebihi standar. Keunggulan itu perlu didukung dengan keunggulan kompetensi guru yang membangkitkan keunggulan siswa belajar. Di MAN 2 Ambon, aktualisasi kepemimpinan kepala sekolah untuk menampilkan kinerjanya dengan berbagai kompleksitas tuntutan tugasnya, berpengaruh pada terwujudnya sebuah sekolah sebagai lembaga pendidikan yang berkualitas. Permasalahan ini menjadi tantangan tersendiri bagi kepala sekolah yang kemungkinan memiliki guru dengan proto type dengan kompetensi yang rendah. Sebagaimana diketahui, kategori guru dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat abstraksi dan komitmen sebagai berikut. Collaborative + Negotiation
TINGGI KUADRAN III
PENGAMAT ANALITIK A (+)
RENDAH
S.P. Robbins, Organizational Behavior. Tenth Edition (New Jersey: Pearson Education, Inc. 2006), h. 214. 21 N. S. Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), h. 69.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
K (-)
-
A B S T R A K S I
+
KUADRAN IV PROFESIONAL
A (+)
K (+)
+
KOMITMEN
KUADRAN I
KUADRAN II
DROP OUT
KERJANYA TIDAK BERFOKUS
A (-)
K (-)
-
A (-)
TINGGI
K (+)
RENDAH
Directive 20
Non directive Paradigma Kategori Guru
Collaborative + direction
Gambar 2.6 Paradigma Kategori Guru (Sumber: Glikcman dalam Tim Pakar Manajemen Pendidikan, 2004:56)
11
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 1-14
Gambar tersebut mendeskripsikan dua hal pokok yang menjadi dasar pengkategorian guru, yaitu tingkat abstraksi yang menggambarkan kemampuan guru dan tingkat komitmen guru. Guru dikategorikan drop out pada Kuadran I, apabila tingkat abstraksi dan komitmen guru rendah. Guru dikategorikan kerjanya tidak berfokus apabila guru memiliki tingkat abstraksi yang rendah, tetapi tingkat komitmen yang dimiliki guru tinggi. Guru dikategorikan sebagai pengamat analitik kritis apabila, ting-kat abstraksi yang dimiliki guru tinggi, tetapi komitmen guru rendah. Kategori guru pada Kuadran IV yaitu profesional, karena tingkat abstraksi guru maupun komitmennya tinggi. Aktualisasi kepemimpinan pembelajaran kepala sekolah dalam implementasinya secara integratif berinterelasi dengan pendekatan yang digunakan kepala sekolah dalam melakukan supervisi. Pendekatan yang dimaksud pendekatan direktif, non direktif dan kolaboratif. Pendekatan direktif merupakan pendekatan yang menekankan kepala sekolah lebih banyak memberikan pengarahan, penjelasan dan perbaikan. Guru cenderung menerima dan mengikuti terhadap apa yang disampaikan kepala sekolah. Landasan psikologi yang digunakan psikologi behaviour. Premis yang digunakan bahwa belajar itu peniruan dan latihan-latihan. Pendekatan direktif digunakan kepala sekolah untuk para guru dalam kategori I, yaitu drop out. Pendekatan non-direktif lebih menekankan pada guru yang, kepala sekolahnya cenderung mendengarkan dan memberikan dorongan ter-hadap yang diambil oleh guru. Pendekatan ini untuk guru dalam kategori IV. Pendekatan ini didasarkan pada premis, belajar pada dasarnya pengalaman pribadi hasil keingintahuan individu terhadap lingkungannya. Landasan psikologi yang digunakan psikologi humanistik. Pendekatan kolaboratif merupakan perpaduan antara pendekatan direktif dan nondirektif. Ada keseimbangan antara guru dan kepala sekolah yaitu sama-sama katif dan berbagi tanggung jawab. Landasan psikologi yang
12
digunakan psikologi kognitif. Premis dasar yang digunakan, hasil belajar merupakan hasil kerja sama antara pembelajar dan pengajar. Mewujudkan pendidikan yang berkarakter memerlukan perubahan manajemen dan kepemimpinan, kultur dan iklim sekolah terhadap kurikulum, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana untuk menghasilkan lulusan yang berkarakter. Perubahan tersebut dipelopori oleh kepala sekolah karena kepala sekolah agen perubahan. Hubungan fungsional antara kempimpinan pembelajaran, manajemen perubahan, pengembangan kultur sekolah yang bersinergi dengan manajemen kelas dan pembelajaran untuk mengembangkan sikap, keterampilan, dan pengetahuan terlihat pada gambar berikut.
Kepemimpinan Pembelajaran
Faktor eksternal
Manajemen Perubahan
Budaya Sekolah
Sikap
Manajemen Kelas
Siswa
Ketram -pilan
Pengeta huan
Gambar 2.7 Hubungan Kepemimpinan Pembelajaran, Manajemen Perubahan, dan Budaya Sekolah. (Sumber: Kemdikbud:2013:2)
Pembaharu budaya sekolah merupakan sisi penting yang menentukan keberhasilan mewujudkan keunggulan. Pemahaman tentang nilai, pola pikir, keyakinan, motivasi, semangat berinovasi warga sekolah penting untuk terus menerus dicermati. Kondisi itu memerjelas visi-misi, tujuan sekolah, mutu proses, dan out-put yang diharapkan menjadi salah satu pendukung efektivitas peran kepala sekolah dalam pengembangan budaya berkarya. Budaya organisasi yang terpelihara dengan
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Kepemimpinan Pembelajaran, Nur Hasanah
baik, mampu menampilkan perilaku yang dapat menjamin hasil kerja dengan kualitas yang lebih baik, membuka seluruh jaringan komunikasi, keterbukaan, kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan, menemukan kesalahan dan cepat memerbaiki, cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi di luar. Simpulan Sekolah bertanggungjawab menyiapkan tenaga terampil dan terdidik yang berdaya saing. Manajemen organisasi sekolah yang baik akan menyiptakan proses pendidikan yang bermutu. Proses yang bermutu menghasilkan out put berkualitas. Keunggulan sebuah bangsa tidak lagi dipandang dari kekayaan sumber daya alam (SDA), tetapi dilihat dari keunggulan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki; tenaga terampil yang mampu mengantisipasi dan menyesuaikan diri terhadap dinamika kehidupan global atau internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Bogdan, R. C dan Biklen, S. K. Qualitative
Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. (London: Allyn and Bacon, Inc. 1982). Depdiknas. 2005. Rencana Strategis Depar-
temen Pendidikan Nasional Tahun 2005–2009. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Dewantara, Ki Hajar. 1962. Bagian Pertama Pendidikan, Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Ditjen PMPTK. 2010. Kepemimpinan Pembelajaran: Materi Pelatihan Penguatan Kemampuan Kepala Sekolah, (online), (httt://www.kemdiknas.go.id, diakses pada 16 September 2013.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Komariah, A & Triatna, C. 2006. Visionary Leadership: Menuju Sekolah Efektif. Jakarta: Bumi Aksara. Kusmintardjo. 2003. Kepemimpinan Pembela-
jaran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kinerja Guru Studi Multi Kasus Pada Dua SMU Di Kota Pamalang. Desertasi tidak diterbitkan. Malang: Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Marimba, Ahmad D. 1962. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma'arif. Miles, M. B dan Huberman, A. M. Analisis DataKualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Diterjemahkan oleh Tjetjep R. R. Jakarta: UI Press. 1992.
Poerbakawatja, Soegarda. 1970. Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka, Jakarta: Gunung Agung. Rahman, A. 2009. Pengembangan Mobil
Pintar untuk Daerah Tertinggal, Pasca Konflik, dan Rawan Bencana. http:// edukasi. kompas. com/read/2009/08/06/14542844/ Arief. Anak di Daerah Konflik Butuh Pendidikan Informal. Diakses 15 desember 2013. Robbins. S. P. 2006. Organizational Behavior. Tenth Edition. New Jersey: Pearson Education,Inc. Somantri, G. R. Memahami Metode Kuali-
tatif. Jurnal Makara, Sosial Humaniora,
(Online di http://journal.ui.ac.id. Vol. 9, No. 2, 2005). diakses 26 April 2012. Stevenin, 2009. Manejemen Konflik: Definisi,
ciri, Sumber, dampak dan strategi mengatasi konflik. (http://jurnal-sdm-
blogspot.com/search/label/Manajemenko nflik). Di akses 15 Desember 2013. Sukmadinata, N. S. 2003. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. T. Hani Handoko, 1997. Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
13
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 1-14
Tafsir, Ahmad. 1994. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya. cet. IV. Ulfatin, N. Hambatan Kesempatan Guru
Usman, H. 2009. Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Wiyono, B. B. Metodologi Penelitian (Pende-
Wanita Menjadi Kepala Sekolah Ditinjau dari Segi Sosial Kultural.
katan Kuantitatif, Kualitatif dan Action Research). Malang: Fakultas Ilmu Pen-
(Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Pasca Sarjana Uni-versitas Negeri Malang. 2001. Usman, H. 2009. Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Wiyono, B. B. Metodologi Penelitian (Pende-
didikan Universitas Negeri Malang.
katan Kuantitatif, Kualitatif dan Action Research). Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang. Robbins. S. P. 2006. Organizational Behavior. Tenth Edition. New Jersey: Pearson Education,Inc. Somantri, G. R. Memahami Metode
Kualitatif. Jurnal Makara, Humaniora, (Online
Sosial
di http://journal.ui.ac.id. Vol. 9, No. 2, 2005). diakses 26 April 2012. Stevenin, 2009. Manejemen Konflik: Definisi,
ciri, Sumber, dampak dan strategi mengatasi konflik. (http://jurnal-sdmblogspot.com/search/label/Manajemenko nflik). Di akses 15 Desember 2013. Sukmadinata, N. S. 2003. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. T. Hani Handoko, 1997. Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Tafsir, Ahmad. 1994. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya. cet. IV. Ulfatin, N. Hambatan Kesempatan Guru
Wanita Menjadi Kepala Sekolah Ditinjau dari Segi Sosial Kultural. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang. 2001.
14
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Sarana Berpikir Ilmiah, Muhammad Rizal
SARANA BERPIKIR ILMIAH Muhammad Rijal Dosen Fakultas Ilmu tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon E-mail:
[email protected]
Abstrak: Berpikir adalah suatu aktifitas untuk menemukan pengetahuan yang benar atau kebenaran. Berpikir juga diartikan sebagai proses yang dilakukan untuk menentukan langkah yang akan ditempuh. Berpikir ilmiah adalah proses atau aktifitas manusia untuk menemu-kan atau mendapatkan ilmu yang bercirikan ada kausalitas, analisis dan sintesis. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik diperlukan sarana yang berupa bahasa, matematika dan statistika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah yang menjadikan bahasa sebagai alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Ditinjau dari pola berpikir, ilmu merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan berpikir induktif. Penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Matematika berperan penting dalam berpikir deduktif ini sedangkan statistika berperan penting dalam berpikir induktif Keyword: Berpikir, Ilmiah, Bahasa. Pendahuluan Perkembangan ilmu dan filsafat diawali dari rasa ingin tahu, kemudian meningkatnya rasa ingin tahu, lalu kebiasaan penalaran yang radikal dan divergen yang kemudian terbagi dua, berkembang logika deduktif dan induktif. Gabungan logika deduktif dan induktif itu proses logika, hipothetico dan verifikasi, terakhir berkembangnya kreativitas. Berdasarkan perkembangan ilmu abad ke-20 menjadikan manusia sebagai makhluk istimewa dilihat dari kemajuan berimajinasi. Konsep terbaru filsafat abad ke-20 didasarkan atas dasar fungsi berpikir, merasa, cipta talen dan kreativitas. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik perlu sarana berpikir, yang memungkinkan dilakukan penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat. Sarana ilmiah alat bantu kegiatan ilmiah
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Tujuan memelajari sarana ilmiah untuk memungkinkan manusia melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan tujuan memelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang dapat memecahkan masalah sehari-hari. Ditinjau dari pola berpikir, ilmu gabungan antara pola berpikir deduktif dan berpikir induktif, untuk sehingga penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Penalaran ilmiah mengharuskan manusia menguasai metode penelitian ilmiah yang pada hakekatnya merupakan pengumpulan fakta untuk mendukung atau menolak hipotesis yang diajukan. Kemampuan berpikir ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan sarana berpikir ini dengan baik pula. Salah satu langkah ke arah penguasaan itu mengetahui dengan benar peranan masing-
15
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 15-22
masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan berpikir ilmiah tersebut. Perbedaan utama antara manusia dan binatang terletak pada kemampuan manusia untuk mengambil jalan melingkar dalam menyapai tujuannya. Seluruh pikiran binatang dipenuhi oleh kebutuhan yang menyebabkan mereka secara langsung mencari objek yang diinginkannya atau membuang benda yang menghalanginya. Manusia sering melihat seekor monyet yang menjangkau secara sia-sia benda yang dia inginkan, sedangkan manusia yang paling primitif pun telah tahu memergunakan bandringan, laso atau melempar dengan batu1. Manusia sering disebut sebagai homo faber: makhluk yang membuat alat; dan kemampuan membuat alat itu dimungkinkan oleh pengetahuan. perkkembangan pengetahuan tersebut memerlukan alat-alat. Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik diperlukan sarana berpikir. Tersedianya sarana tersebut memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat. Penguaaan sarana berpikir ilmiah merupakan suatu hal yang bersifat imperatif bagi seorang ilmuwan. Tanpa menguasai hal ini maka kegiatan ilmiah yang baik tidak dapat dilakukan. Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik diperlukan sarana yang berupa bahasa, matematika dan statistika, agar dalam kegiatan ilmiah tersebut dapat berjalan dengan baik, teratur dan cermat. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik diperlukan bahasa, matematika dan statistika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Bahasa alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang
lain. Ilmu merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan berpikir induktif. Penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Matematika berperan penting dalam berpikir deduktif ini sedangkan statistika berperan penting dalam berpikir induktif2 Berdasarkan pemikiran ini, tidak sukar untuk dimengerti mengapa mutu kegiatan keilmuan tidak mencapai taraf yang memuaskan jika sarana berpikir ilmiah kurang dikuasai. Melakukan kegiatan ilmiah dengan baik diperlukan sarana berupa bahasa, matematika dan statistik. Hal ini dapat dipahami dengan beberapa pernyataan mengapa bahasa, matematika dan statistika diperlukan dalam kegiatan ilmiah, seperti; bagaimana seorang bisa melakukan penalaran yang cermat tanpa menguasai struktur bahasa yang tepat? Bagaimana seseorang bisa melakukan generalisasi tanpa menguasai statistik? Sarana Berpikir Ilmiah Berpikir menurut Salam adalah suatu aktifitas untuk menemukan pengetahuan yang benar atau kebenaran. Berpikir juga diartikan sebagai proses yang dilakukan untuk menentukan langkah yang akan ditempuh. Berpikir ilmiah adalah proses atau aktifitas manusia untuk menemukan atau mendapatkan ilmu yang bercirikan ada kausalitas, analisis dan sintesis. Perkembangan untuk mendapatkan ilmu diperlukan sarana berpikir ilmiah. Sarana berpikir ilmiah ini alat bagi metode ilmiah dalam melakukan fungsinya secara baik. Fungsi sarana berpikir ilmiah membantu proses metode ilmiah dalam mendapatkan ilmu atau teori yang lain. Hal-hal yang perlu diperhatikan dari sarana berpikir ilmiah: (1) sarana berpikir ilmiah bukanlah ilmu, melainkan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah dan (2) tujuan memelajari metode
1
Jujun S, Suriasumantri, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990), h. 17.
16
2
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Suatu
Pengantar Populer, h. 27.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Sarana Berpikir Ilmiah, Muhammad Rizal
ilmiah untuk memungkinkan manusia melakukan penelaahan ilmiah secara baik. Manusia disebut sebagai homo faber, makhluk yang membuat alat; dan kemampuan membuat alat dimungkinkan oleh pengetahuan. Berkembang pengetahuan juga memerlukan alat. Sarana merupakan alat yang membantu manusia dalam mencapai suatu tujuan tertentu, sedangkan sarana berpikir ilmiah alat bagi metode ilmiah dalam melakukan fungsinya secara baik. Fungsi sarana ilmiah membantu proses metode ilmiah, bukan merupakan ilmu itu .3 Roses penelitian harus memerhatikan dua hal. Pertama, sarana berpikir ilmiah bukan merupakan kumpulan ilmu, tetapi merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah. Kedua tujuan memelajari sarana berpikir ilmiah untuk memungkinkan menelaah ilmu secara baik. Sarana berpikir ilmiah alat berpikir dalam membantu metode ilmiah sehingga memungkinkan penelitian dapat dilakukan secara baik dan benar. Suhartono Suparlan menjelaskan dalam bukunya, Sejarah Pemikiran Filsafat Modern, manusia berkemampuan menalar; berpikir secara logis dan analitis. Kelebihan manusia dalam kemampuannya menalar dan karena memiliki bahasa untuk mengomunikasikan hasil pemikirannya yang abstrak. Manusia bukan saja memiliki pengetahuan, melainkan juga mampu mengembangkannya. Karena kelebihannya itu, Aristoteles memberikan identitas kepada manusia sebagai “animal rationale”. Sarana bepikir juga menyandarkan diri pada proses logika deduktif dan proses logika induktif, sebagimana ilmu yang merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan induktif. Implikasi proses deduktif dan induktif menggunakan logika ilmiah. Logika ilmiah merupakan sarana berpikir ilmiah yang paling penting4. Logika sarana untuk berpikir siste3 Amsal Bachtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2011), h. 208. 4 Burhanudin Salam, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 29.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
matis, valid dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga berpikir logis merupakan proses berpikir sesuai dengan atura-aturan berpikir, seperti setengah tidak boleh lebih besar dari pada sat5. Ada dua cara dalam penelitian ilmiah penarikan kesimpulan melalui cara kerja logika induktif dan deduktif. Logika induktif adalah cara penarikan kesimpulan dari kasuskasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum dan rasional. Logika deduktif cara penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum rasional menjadi kasuskasus yang bersifat khusus sesuai fakta di lapangan6 Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik diperlukan sarana berupa bahasa, logika, matematika dan statistika. Salah satu langkah ke arah penguasaan itu mengetahui dengan benar peranan masingmasing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan proses ilmiah. Sarana berpikir ilmiah dikelompokkan menjadi tiga, yaitu bahasa, matematika dan statistika, sedangkan pembahasan logika dimasukan dalam ketiga sarana tersebut sebagaimana telah dijelaskan. Sarana berpikir ilmiah itu bahasa, matematika, statistika dan logika. Keempat sarana berpikir ilmiah ini berperan dalam pembentukan ilmu yang baru. 1.
Bahasa
Bahasa berperan penting dan suatu yang lazim dalam kehidupan manusia. Kelaziman tersebut membuat manusia jarang memerhatikan bahasa dan menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa, seperti bernafas dan berjalan. Menurut Ernest Cassirer, sebagaimana yang dikutip oleh Jujun, bahwa keunikan manusia bukan terletak pada kemampuan berpikir melainkan terletak pada kemampuan berbahasa. Bahasa diperlukan manusia atau sebagai fungsi: alat komunikasi atau fungsi komunika5
Burhanudin Salam, Logika Materiil Filsafat
Ilmu Pengetahuan, h. 31 6
http://www.geocities.ws/m_win_afgani/arsip/03 _SARANA_BERPIKIR_ILMIAH.pdf
17
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 15-22
tif sekaligus alat budaya yang memersatukan manusia yang menggunakan bahasa tersebut atau fungsi kohesif. Ada tiga unsur dalam bahasa dalam fungsi komunikatif: perasaan (unsur emotif), sikap (unsur afektif) dan buah pikiran (unsur penalaran). Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh ketiga unsur bahasa ini. Komunikasi ilmiah bertujuan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan. Kekurangan bahasa terletak pada: (1) peranan bahasa yang multifungsi, artinya komunikasi ilmiah hanya menginginkan penyampaian buah pikiran/ penalaran saja, sedangkan bahasa verbal harus mengandung unsur emotif, afektif, dan simbolik, (2) arti yang tidak jelas dan eksak yang dikandung oleh kata-kata yang membangun bahasa, dan (3) konotasi yang besifat emosional. Aliran-aliran dalam bahasa filsafat: (1) filsafat modern yang menyatakan, kebanyakan dari pernyataan dan pertanyaan ahli filsafat timbul dari kegagalan mereka untuk mnguasai logika bahasa dan (2) filsafat analitik; bahasa bukan saja sabagai alat bagi berpikir dan berfilsafat tetapi juga sabagai bahan dasar dan dalam hal tertentu merupakan hasil akhir dari filsafat. Menurut Ernest Cassirer, sebagaimana yang dikutip oleh Jujun, keunikan manusia bukanlah terletak pada kemampuan berpikir melainkan terletak pada kemampuan berbahasa. Berpikir sebagai proses berkerjanya akal dalam menelaah sesuatu merupakan ciri hakiki manusia. Hasil kerjanya dinyatakan dalam bentuk bahasa. Bahasa merupakan suatu simbol-simbol bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial sebagai alat berkomunikasi7. Hal senada disampaikan oleh Joseph Broam, bahasa adalah sistem yang berstruktur dari simbol-simbol bunyi arbitrer yang digunakan oleh para anggota suatu kelompok sosial 7
Http://blog.unsri.ac.id/aprizal/sarana-berpikirilmiah-bahasa-matematika-dan-statistika/sr/3560/
18
sebagai alat bergaul satu sama lain. Menurut John W.Santrock, bahasa adalah bentuk komunikasi, lisan, tertulis atau tanda, yang didasarkan pada sistem simbol8. Menurut Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, bahasa merupakan pernyataan pikiran atau perasaan sebagai alat komunikasi manusia. Bahasa suatu alat komunikasi yang berupa simbol-simbol yang digunakan oleh manusia untuk berpikir atau melakukan penalaran induktif dan deduktif dalam kegiatan ilmiah9. Bahasa alat komunikasi verbal yang digunakan dalam proses berpikir ilmiah. Bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain, pemikiran yang berlandasan induktif maupun deduktif. Kegiatan berpikir ilmiah erat kaitannya dengan bahasa. Para ahli filsafat bahasa dan psikolinguitik melihat fungsi bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosi. Aliran sosiolinguistik berpendapat bahwa fungsi bahasa sarana untuk perubahan masyarakat walaupun terdapat perbedaan tetapi pendapat ini saling melengkapi satu sama lainnya. Secara umum dapat dinyatakan fungsi bahasa sebagai koordinator kegiatan-kegiatan dalam masyarakat; penetapan pemikiran dan pengungkapan; penyampaian pikiran dan perasaan; penyenangan jiwa; dan pengurangan kegonjangan jiwa. Kneller mengemukakan 3 fungsi bahasa yaitu: simbolik; emotif; dan afektif.10 Fungsi simbolik dari bahasa menonjol dalam komunikasi ilmiah sedangkan fungsi emotif menonjol dalam komunikasi estetik. Komunikasi dengan memergunakan bahasa mengandung unsur simbolik dan emotif. Jika manusia berbicara hakikatnya informasi yang disampaikan mengandung unsur-unsur emotif. Demikian juga jika manusia menyampaikan perasaan maka 8
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke Tiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 75.. 9 S. Jujun, Suriasumantri, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer, h. 135. 10 S. Jujun, Suriasumantri, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer, h. 137.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Sarana Berpikir Ilmiah, Muhammad Rizal
ekspresi itu mengandung unsur-unsur informatif. Kadang-kadang dapat dipisahkan dengan jelas seperti “musik dapat dianggap sebagai
bentuk bahasa, yang emosi terbebas dari informasi, sedangkan buku telepon memberikan manusia informasi sama sekali tanpa emosi“. Proses komunikasi itu dalam komunikasi ilmiah harus terbebas dari unsur emotif agar pesan itu reproduktif, artinya identik dengan pesan yang dikirimkan. Menurut Halliday sebagaimana yang dikutip oleh Thaimah bahwa fungsi bahasa sebagai berikut: 1.
2. 3. 4. 5. 6.
7.
Fungsi instrumental: penggunaan bahasa untuk menyapai suatu hal yang bersifat materi seperti makan, minum, dan sebagainya Fungsi regulatoris: penggunaan bahasa untuk memerintah dan perbaikan tingkah laku Fungsi interaksional: penggunaan bahasa untuk saling mencurahkan perasaan pemikiran antara seseorang dan orang lain Fungsi personal: seseorang menggunakan bahasa untuk mencurahkan perasaan dan pikiran Fungsi heuristik: penggunaan bahasa untuk mengungkap tabir fenomena dan keinginan untuk memelajarinya Fungsi imajinatif: penggunaan bahasa untuk mengungkapkan imajinasi seseorang dan gambaran-gambaran tentang discovery seseorang dan tidak sesuai dengan realita (dunia nyata) Fungsi representasional: penggunaan bahasa untuk menggambarkan pemikiran dan wawasan dan menyampaikannya pada orang.
Untuk menelaah bahasa ilmiah perlu dijelaskan tentang pengolongan bahasa. Ada dua pengolongan bahasa yang umumnya dibedakan yaitu: 1.
Bahasa alamiah bahasa sehari-hari yang digunakan untuk menyatakan sesuatu,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
2.
yang tumbuh atas pengaruh alam sekelilingnya. Bahasa alamiah dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: bahasa isyarat yang dapat berlaku umum dan dapat berlaku khusus dan bahasa biasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari Kedua bahasa buatan adalah bahasa yang disusun berdasarkan pertimbangan-pertimbangan akar pikiran untuk maksud tertentu. Bahasa buatan dibedakan menjadi dua bagian yaitu: bahasa istilah, bahasa ini rumusanya diambil dari bahasa biasa yang diberi arti tertentu, misal demokrasi (demos dan kratien) dan bahasa artifisial, murni bahasa buatan, atau sering juga disebut dengan bahasa simbolik, bahasa berupa simbol-simbol sebagaimana yang digunakan dalam logika dan matematika. Dalam bahasa ini tidak ada bentuk kiasan yang mengaburkan. Misalnya (a = b) ^ (b = d) atau (a=c). Bahasa artifisial memiliki dua macam ciri-ciri yaitu pertama tidak berfungsi sendiri, kosong dari arti, oleh karena itu dapat dimasuki arti apapun juga.
Kedua arti yang dimaksudkan dalam bahasa artifisial ditentukan oleh penghubung. Perbedaan bahasa alamiah dan bahasa buatan itu bahasa alamiah, antara kata dan makna merupakan satu kesatuan utuh, atas dasar kebiasaan sehari-hari, karena bahasanya secara spontan, bersifat kebiasaan, intuitif (bisikan hati) dan pernyataan langsung. Bahasa buatan, antara istilah dan konsep merupakan satu kesatuan bersifat relatif, atas dasar pemikiran akal karena bahasanya berdasarkan pemikiran, sekehendak hati, diskursif (logika, luas arti) dan pernyataan tidak langsung. Bahasa buatan inilah yang dimaksudkan bahasa ilmiah. Bahasa ilmiah dapat dirumuskan sebagai bahasa buatan yang diciptakan para ahli dalam bidangnya dengan mengunakan istilah-istilah atau lambang-lambang (simbol-simbol) untuk mewakili maksud-maksud dan pengertianpengertian terten-tu. Bahasa ilmiah itu pada
19
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 15-22
dasarnya merupakan kalimat-kalimat deklaratif atau suatu pernyataan yang dapat dinilai benar atau salah, baik mengunakan bahasa biasa sebagai bahasa pengantar untuk mengomunikasikan karya ilmiah 2.
Matematika
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin disampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat “artifisial” yang baru memiliki arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya. Tanpa itu matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati. Bahasa verbal memiliki beberapa kekurangan yang mengganggu. Untuk mengatasi kekurangan tersebut manusia berpaling kepada matematika. Matematika adalah bahasa yang berusaha menghilangkan sifat kabur, majemuk dan emosional dari bahasa verbal. Misalnya seseorang sedang memelajari kecepatan jalan kaki seorang anak maka objek “kecepatan jalan kaki seorang anak” dilambangkan. X dalam hal ini hanya memiliki arti yang jelas yakni “kecepatan jalan kaki seorang anak”. Demikian juga bila seseorang menghubungkan “kecepatan jalan kaki seorang anak” dengan obyek lain misalnya “jarak yang ditempuh seorang anak” yang dilambangkan dengan y. Dapat dilambangkan hubungan tersebut dengan z=y/x dimana z melambangkan “waktu berjalan kaki seorang anak”. Pernyataan z=y/x tidak memiliki konotasi emosional, selain itu bersifat jelas dan spesifik Matematika merupakan salah satu puncak kegemilangan intelektual. Disamping pengetahuan mengenai matematika itu sendiri, matematika juga memberikan bahasa, proses dan teori yang memberikan ilmu suatu bentuk kekuasaan. Fungsi matematika menjadi sangat penting dalam perkembangan macam-macam ilmu pengetahuan. Penghitungan matematis misalnya menjadi dasar desain ilmu teknik, metode matematis yang dapat memberikan inspirasi kepada pemikiran di bidang sosial dan ekonomi bahkan pemikiran matematis
20
dapat memberikan warna kepada arsitektur dan seni lukis. Matematika dalam perkembangannya memberikan masukan-masukan pada bidangbidang keilmuan yang lainnya. Konstribusi matematika dalam perkembangan ilmu alam lebih ditandai dengan pengunaan lambanglambang bilangan untuk menghitung dan mengukur, objek ilmu alam misal gejala-gejala alam yang dapat diamati dan dilakukan penelaahan secara berulang-ulang. Berbeda dengan ilmu sosial yang memiliki objek penelaahan yang kompleks dan sulit melakukan pengamatan. Disamping objeknya yang tidak terulang kontribusi matematika tidak mengutamakan pada lambang-lambang bilangan. 3.
Statistika
Kata “statistik” secara etimologis, berasal dari kata “status” (bahasa latin) yang memiliki persamaan arti dengan state (bahasa Inggris) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan negara. Kata “statistik” mulanya diartikan sebagai “kumpulan bahan keterangan (data), baik yang berwujud angka (data kuantitatif) maupun yang tidak berwujud angka (data kualitatif), yang memiliki arti penting dan kegunaan bagi suatu negara”. Namun, pada perkembangan selanjutnya, arti kata statistik hanya dibatasi dengan kumpulan bahan keterangan yang berwujud angka (data kuantitatif saja). Sudjana mengatakan ststistik adalah pengetahuan yang berhubungan dengan caracara pengumpulan data, pengolahan penganalisisannya, dan penarikan kesimpulan berdasarkan kumpulan data dan peanganalisisan yang dilakukan. Kemudian J. Supranto memberikan pengertian ststistik dalam dua arti. Pertama statistik dalam arti sempit adalah data ringkasan yang berbentuk angka (kuantitatif). Kedua statistik dalam arti luas adalah ilmu yang memelajari cara pengumpulan, penyajian dan analisis data, serta cara pengambilan kesimpulan secara umum berdasarkan hasil penelitian yang menyeluruh. Secara lebih
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Sarana Berpikir Ilmiah, Muhammad Rizal
jelas pengertian statistik adalah ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk data, yaitu tentang pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, penafsiran, dan penarikan kesimpulan dari data yang berbentuk angka-angka. Statistika digunakan untuk menggambarkan suatu persoalan dalam suatu bidang keilmuan. Masalah keilmuan dengan menggunakan prinsip statistika dapat diselesaikan, suatu ilmu dapat didefinisikan dengan sederhana melalui pengujian statistika dan semua pernyataan keilmuan dapat dinyatakan secara faktual. Dengan melakukan pengujian melalui prosedur pengumpulan fakta yang relevan dengan rumusan hipotesis yang terkandung fakta-fakta emperis, hipotesis itu diterima keabsahan sebagai kebenaran, tetapi dapat juga sebaliknya Statistika merupakan sekumpulan metode dalam memeroleh pengetahuan untuk mengelola dan menganalisis data dalam mengambil suatu kesimpulan kegiatan ilmiah. Untuk mengambil suatu keputusan dalam kegiatan ilmiah diperlukan data-data, metode penelitian serta penganalisaan harus akurat. Pemerintah telah lama mengumpulkan dan menafsirkan data yang berhubungan dengan kepentingan bernegara. Misalnya, data mengenai penduduk, pajak, kekayaan, dan perdagangan luar negeri.
jika orang memercayai premis-premis yang di pakai sebagai landasan penalarannya kesimpulan penalaran tersebut juga dapat dipercayai kebenarannya. Hal ini berlaku dalam kesimpulan ditarik secara induktif, meskipun premis yang dipakai benar penalaran induktifnya sah.
a.
Logika
Statistiks dan cara berpikir deduktif
Ilmu secara sederhana dapat di definisikan sebagai pngetahuan yang telah telah teruji kebenarannya. Semua pernyataan ilmiah bersifat faktual yang konsekuensinya dapat diuji baik dengan jalan memergunakan panca indra maupun dengan mempergunakan alat-alat yang membantu panca indra tersebut. Pengujian secara empiris merupakan sala satu mata rantai dalam metode ilmiah yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya. b.
Karakteristik berpikir induktif
Kesimpulan yang didapat dalam berpikir deduktif merupakan suatu hal yang pasti yang
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Hubungan antara Sarana Ilmiah Bahasa, Matematika dan Statistika Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik, diperlukan sarana bahasa, matematika dan statistika. Bahasa alat komunikasi verbal yang dipakai dalam kegiatan berpikir ilmiah. Bahasa menjadi alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Ditinjau dari pola berpikirnya, ilmu merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan berpikir induktif. Matematika berperan penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika berperanan penting dalam berpikir induktif. Penalaran induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang memiliki ruang lingkup yang khas dan terbatas untuk menyusun argumentasi yang diakhiri pernyataan yang bersifat umum. Misalnya, seseorang memiliki fakta bahwa kerbau itu bermata, lembu bermata, harimau bermata, dan gajah bermata. Berdasarkan pernyataan tersebut semua binatang mempunyai mata. Logika adalah jalan fikiran yang masuk akal. Logika disebut juga sebagai penalaran. Menurut Salman(1997) penalaran adalah suatu proses penemuan kebenaran dan setiap jenis penalaran memiliki kriteria kebenarannya. Logika adalah cara berpikir atau penalaran menuju kesimpulan yang benar. Aristoteles (384322 sM) pembangun logika pertama. Logika Aristoteles ini, menurut Immanuel Kant, 21 abad kemudian, tidak mengalami perubahan sedikit pun, baik penambahan maupun pengurangan. Aristoteles memerkenalkan dua bentuk logika yang dikenal dengan istilah deduksi dan
21
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 15-22
induksi. Logika deduksi, dikenal juga dengan nama silogisme, adalah menarik kesimpulan dari pernyataan umum atas hal yang khusus. Contoh, semua manusia akan mati (pernyataan umum, premis mayor); Isnur manusia (pernyataan antara, premis minor); dan Isnur akan mati (kesimpulan, konklusi). Logika induksi adalah kebalikan dari deduksi, yaitu menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan yang bersifat khusus menuju pernyataan umum. Contoh: Isnur adalah manusia, dan ia mati (pernyataan khusus); Muhammad, Asep, dan lain-lain adalah manusia, dan semuanya mati (pernyataan antara); dan semua manusia akan mati (kesimpulan)
Salam, Burhanudin. 1997. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta Suriasumantri, S. Jujun, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990. Sudjana, Metode Statistika, Bandung: Tarsito, 1996. http://www.geocities.ws/m_win_afgani/arsip/ 03_SARANA_BERPIKIR_ILMIAH.pdf Http://blog.unsri.ac.id/aprizal/sarana-berpikirilmiah-bahasa-matematika-danstatistika/sr/3560/.
Simpulan Berpikir adalah suatu aktifitas untuk menemukan pengetahuan yang benar atau kebenaran. Berpikir juga diartikan sebagai proses yang dilakukan untuk menentukan langkah yang akan ditempuh. Berpikir ilmiah adalah proses atau aktifitas manusia untuk menemukan atau mendapatkan ilmu yang bercirikan ada kausalitas, analisis dan sintesis. Sarana ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik diperlukan sarana berupa bahasa, matematika, statistika dan logika, agar dalam kegiatan ilmiah tersebut dapat berjalan dengan baik, teratur dan cermat.
DAFTAR PUSTAKA Bachtiar, Amsal. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ke Tiga. Jakarta: Balai Pustaka.
22
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Konsep dan Metode Memeroleh Ilmu, Rosmawati T
KONSEP DAN METODE MEMPEROLEH ILMU Rosmawati T Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon E-mail:
[email protected]
Abstrak: Konsepsi tentang tori ilmu pengetahuan dari masa filsuf klasik hingga modern memiliki bangunan kesinambungan yang saling memberi pengaruh antara satu dengan yang lain. Diantara metode-metode yang dapat digunakan dalam memeroleh pengetahuan: (1) metode empiris, (2) metode rasional, (3) metode kontemplatif, (4) metode ilmiah. Dari keempat metode ini, metode ilmiah dianggap sebagai metode yang paling komprehensif sebab dapat menyatukan keseluruhan metode dalam bingkai oprasional sistematik dengan menggunakan kata kunci; (1) logis, (2) empirik, (3) kejelasan teori, (4) oprasional dan spesifik, (5) hypotethik, (6) verivikative, (7) sistematis, (8) memperhatikan validitas dan realibilitas, (9) obyektif, (10) skeptik, (11) kritis, (12) analitik, (l3) kontemplatif. Keyword: Konsep, Metode, Ilmu Pengetahuan. Pendahuluan Manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Kesempurnaan manusia tampak dalam kecakapan menghadapi pelbagai bentuk permasalahan hidup yang merupakan manifestasi dari fitrah insaniah yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Keparipurnaan manusia juga tampak dalam kemampuannya menganalisa setiap permasalahan untuk mendapatkan jalan keluar yang akurat tanpa menimbulkan problematika yang lebih parah dari sebelumnya. Keparipurnaan ini merupakan bentuk manifestasi hikmah ‘aqliah yang menjadi bagian utama terbentuk makhluk Tuhan yang teristimewa diantara seluruh makhluk yang tercipta di bumi. Diantara masa terputusnya kerasulan Musa as. dan diutusnya Isa as sebagai Rasul Allah, manusia berada dalam kebimbangan ilmiah dan terombang-abing akibat kehilangan bimbingan ditambah dengan kesewenangwenangan sebagian ahli Kitab dalam melakukan perubahan dan perombakan total serta kesewenang-wenangan para penguasa dalam me-
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
lakukan pendoktirinan sesat kepada umat manusia yang hidup di masa transisi kerasulan tersebut. Sekolompok manusia yang mayoritas berkebangsaan Yunani melakukan penentangan terhadap indoktrinisasi para penguasa yang dianggap sesat dengan menggunakan daya nalar-kritis mereka terhadap doktrin-doktrin penguasa yang merupakan hasil penalaran akal terhadap kebenaran yang terdapat dibalik fisik alamiyah dan metafisik. Kelompok manusia ini kemudian dikenal dengan istilah filsuf yang diartikan sebagai para pencari atau pecinta hikmah. Penggunaan istilah ini merupakan bentuk perlawanan terhadap para retorik-retorik sesat yang dikenal dengan istilah shophis yang menggunakan cara berfikir sesat (shophistry) atau dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah safastah.1 Pernayataan tersebut memberikan ketegasan konseptual-faktual bahwasanya filsafat pertama kali dirumuskan dan diperkenalkan 1
Suhartono Suparlan, Filsafat Ilmu Pengetahuan; Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008).
23
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 23-30
dalam Bahasa Yunani kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Suryani lalu ke dalam Bahasa Arab. Al-Ahwani mengungkap penuturan al-Farabi tentang asal usul filsafat sejak bangsa-bangsa kuno sampai kepada orang Arab sebagai berikut: Konon ilmu tersebut pada zaman dahulu milik orang-orang Kaldan, penduduk Iraq. Lantas berpindah pada orang Mesir lalu berpindah lagi pada orang Yunani, beberapa kurun waktu kemudian, ilmu tersebut berpindah lagi pada orang-orang Arab. Semua yang tercakup dalam ilmu tersebut dirumuskan dalam bahasa Yunani, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Suryani lalu kedalam bahasa Arab. Ilmu yang mereka peroleh dari orang-orang Yunani itu pada umumnya mereka beri nama Hikmah dan Hikmah Terbesar.2 Jika diperhatikan dengan baik tentang perjalanan filsafat sebagaimana yang tampak dalam ungkapan Al-Farabi, dapat dikatakan filsafat (hikmah atau hikmah terbesar) adalah milik orang-orang Persia yang pada akhirnya masuk ke dunia Islam di jaman Abbasiah. Hal ini sejalan dengan sebuah hadis sebagaimana yang direkam dan didokumentasikan dengan baik oleh At-Tirmidzi dalam Sunan-nya.
ِْ ُالْ َكلِمة َح ُّق ِِبَا ُ ضالَّةُ الْ ُم ْؤِم ِن فَ َحْي َ ُْمة َ ث َو َج َد َها فَ ُه َو أ َ اْلك َ ‚Kalimat penuh hikmah adalah permata mu’min yang hilang, maka dimanapun hikmah itu ditemukan, maka hendaklah mengambilnya‛ Hadis tersebut menunjukkan bahwa Islam mengakomodasi proses pencarian ilmu yang mengantarkan seorang muslim dapat menjadi ahli ilmu yang jujur secara ilmiah baik dalam bentuk konseputal maupun kontekstual. Poses perkembangan pengetahuan manusia dari pengetahuan biasa ke arah pe2
A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rineka Cipta, 2010).
24
ngetahuan ilmiah melibatkan metode dan sistem-sistem tertentu, termasuk di dalamnya pengetahuan yang dihasilkan dengan jalan filsafat. Penegasan ini secara implisit menjelaskan bahwa metode dalam memeroleh pengetahuan yang bersifat ilmiah dibutuhkan pengkajian metodologis sebagai sebuah gambaran umum tentang proses atau metode untuk menghasilkan pengetahuan ilmiah yang akan dipaparkan lebih lanjut dalam tulisan ini. Berdasar pada uraian tersebut, per-masalahan dibatasi pada metode memeroleh ilmu pengetahuan. Konsepsi Teori Ilmu Pengetahuan Berbicara tentangan metode atau cara memeroleh ilmu pengetahuan, berarti berbicara tentang epistemologi dalam filsafat ilmu yang disebut dengan istilah teori pengetahuan. Epistemologi memiliki obyek telaah yang bersifat penjelas atas proses terbentuknya ilmu pengetahuan yang memunculkan pertanyaapertanyaan utama seperti; bagaimana sesuatu itu datang?, bagaimana manusia mengetahuinya?, bagaimana membedakannya dengan yang lain?, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini merupakan bentuk penegasan tentang hubungan sesuatu dengan situasi dan kondisi ruang dan waktu. Ketika berbicara tentang epistemologi ilmu, haruslah dikaitkan dengan ontologi ilmu dan aksiologinya. Misalnya, ketika hendak membicarakan tentang ilmu alam yang apa adanya yang terbatas pada lingkup pengalaman manusia tempat pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu untuk menjawab permasalahan kehidupan yang dihadapi sehari-hari oleh manusia, dan untuk digunakan dalam menawarkan pelbagai kemudahan kepadanya. Pemecahan tersebut pada dasarnya dengan mengasumsikan, meramalkan dan mengontrol gejala-gejala alam.3 3 Marhaendy, Eko, Pengetahuan Manusia Secara Umum, Makalah, dipersentasekan pada Mata Kuliah
Pendekatan dalam Pengkajian Islam (PDPI) Program Pasca Sarjana IAIN Sumut, Naskah tersebut diakses di
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Konsep dan Metode Memeroleh Ilmu, Rosmawati T
Berdasaran landasan ontologi dan aksiologi seperti itu, dibutuhkan bangunan landasan epistemologi yang sesuai, sebab persoalan utama yang sering dihadapi oleh epistemologi pengetahuan bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memerhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing. Menurut pandangan ini, kekokohan epistemik dalam bangunan ilmu pengetahuan terletak dalam kebenaran metode tanpa memishkannya dengan ontologi dan aksiologi dari suatu bangunan ilmu, sebagaimana yang dapat diilustrasikan secara hirarki Hirarki illustrasi bangunan ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa ontologi ilmu ditempatkan sebelum epistemologi dengan cara mengasumsikan ‚ada‛ realitas kemudian ditambahkan epistemologi untuk menjelaskan bagaimana orang mengetahui realitas tersebut. Hirarki dari bangunan ilmu pengetahuan tersebut dalam istilah Keith Lethrer disebut teori dogmatik epistemologi. Konsepsi dari teori ini dengan menempatkan ontologi sebelum epistemologi.4 Selain dari teori dogmatik epistemologi terdapat pula teori critical epistemologi yang merupakan bentuk revolusi dari teori dogmatik epistemologi yang dalam prosesnya menanyakan apa yang telah diketahui sebelum menjelaskannya. Teori ini berada dalam wilayah memertanyakan suatu pengetahuan awal secara kritis kemudian diyakini, meragukan sesuatu yang telah ‚ada‛ terlebih dulu sebelum kemudian menjelaskannya setelah terbukti keberadaannya, dan berpikir dahulu sebelum meyakini dan atau tidak meyakini kebenarannya. Konsepsi dari teori ini menempatkan wilayah epistemik sebelum ontal atau ontologi sebagaimana yang dapat dillustrasikan secara hirarki.5
www.ekomarhaendy.wordpress.com dikunjungi pada 1Oktober-2013. 4 Muhammad Adib, Filsafat Ilmu; Ontologi, Epis-
temologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). 5 A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, h. .
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Subyektifitas dan obyetifitas kebenaran ilmu merupakan hasil dari suatu bangunan ilmu yang memiliki ketergantungan pada kebenaran teori, metode dan cara memerolehnya. teori ilmu yang diterapkan oleh Para filsuf kuno tergolong masih prematur. Mereka meyari unsur-unsur atau entitas-entitas yang dikandung oleh semua benda dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan empiris atau hasil-hasil pengamatan mendalam terhadap entitas-entitas tersebut yang dapat mendukung penjelasan yang satu atau yang lainnya. Mereka mendasaran jawaban mereka sedapat mungkin pada landasan-landasan epistemik dengan memertimbangkan jenis-jenis apa yang dapat dimengerti secara sungguh-sungguh, sebagaimana halnya yang berdasar pada empiris dengan memertimbangkan jenis-jenis entitas abadi yang mungkin dapat diperoleh dari dan atau dalam pengalaman. Secara umum dapat dinyatakan bahwa prematurisme konsep teori ilmu pengetahuan yang diperoleh oleh para filusuf klasik kuno didasarkan pada lima kemampuan yaitu; (1) pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman, (2) pengetahuan dari hasil pengalaman tersebut diterima sebagai suatu fakta dengan sikap receptive mind, dan jika terdapat keterangan-keterang epistemik tentang fakta-fakta tersebut, maka keterangan-keterangan tersebut adalah mitologi (mistis, magis dan religious), (3) kemampuan menemukan abjad dan bilangan alam yang menunjukkan terjadinya tingkat abstraksi pemikiran, (4) kemampuan menulis, menghitung dan menyusun kalender merupakan bentuk sintesis dari hasil abstraksi, (5) kemampuan meramalkan peristiwa-peristiwa fisis atas dasar a priori seperti hujan, gerhana dan sebagainya.6 Perbedaan-perbedaan para filsuf klasik Yunani pra-Sokratik tentang konsepsi teori ilmu pengetahuan terletak pada pendalaman 6
Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan; Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008).
25
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 23-30
pengamatan empirisme mereka terhadap entitas-entitas dari benda-benda yang ada tidak dapat dielakkan, sebagaimana dalam pandangan Parmenidas, segala bentuk perubahan merupakan penampakan sementara yang berada di balik hubungan timbal-balik dari realitasrealitas yang lebih dalam dan tidak berubah‛. semantara Hiraklitus berada dalam kutub yang lebih ekstrim menyatakan, sejauh pengetahuan manusia semua bersifat mitologi sebab secara empiris pengetahuan itu berubah terus menerus, dan apa pun yang berada dalam waktu selalu fana dan keabadian bukanlah sesuatu yang tidak berubah disepanjang waktu yang terbatas, akan tetapi dia itu eksistensi yang berada diluar seluruh proses temporal‛7 Para filsusf pra-Sokratik memokuskan pada pencarian secara empirik tentang arche (unsur induk) yang dianggap sebagai asal kejadian segala sesuatu dengan melakukan pengamatan empiris secara mendalam terhadap fenomena-fenomena alam sehingga menghasilkan beberapa konsep tentang asal-usul alam dalam segala bentuk jenis, entitas dan geraknya. Konsep-konsep yang mereka hasilkan dari hasil pengamatan empiris tersebut pun berbeda antara satu dengan lainnya yang dalam pandangan Thales sebagaimana yang diungkapkan oleh Aristotales bahwa ‚air itu subs-
tansi dasar yang membetuk segala sesuatu dan ia mengatakan bahwa bumi terapung di atas air, dan bahwa magnet memiliki nyawa karena dapat menggerakan besi‛. Russell memandang bahwa pendapat tentang air sebagai asal dari segala sesuatu dapat dianggap sebagai bentuk hipotesis ilmiah yang tidak dapat dianggap sebagai pendapat tolol sebab dua puluh tahun yang lalu telah ditemukan bahwa segala sesuatu terbuat dari hydrogen yang dua perganya itu air.8 7
Surajiyo, Filsafat Ilmu; Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008). 8 Sigit Jatmiko dkk, Sejarah Filsafat Barat; dan
Kaitannya dengan Kondisi Sosial-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).
26
Anaximanders dalam bagian lain berpendapat bahwa arch itu substansi yang tidak terbatas, abadi, dan tidak mengenal usia, substansi asali itu dibentuk menjadi pelbagai substansi yang dikenal dan kemudian substansisubstansi tersebut ditransformasikan antara satu dengan lainnya menjadi substansi lain‛, sehingga dalam kesimpulannya bahwa ‚dunia ini salah satu diantara dunia-dunia yang ada dan dunia tidak diciptakan namun lahir dari evolusi yang merupakan bentuk transformasi dari pelbagai substansi dari substansi tidak terbatas tersebut‛. Sementara itu Phytagoras memandang bahwa substansi asal dari segala sesuatu itu bilangan‛. Pandangan Phytagoras ini disandarkan pada musik dan hubungan yang dibangun antara musik dan matematika. Konsep teori ilmu pengetahuan dalam periode ini dapat dibagi menjadi empat tahapan yaitu; (1) pengamatan atas pengalaman dan benda-benda yang mengitari ruang dan waktu tempat sang filsuf tersebut berada, (2) memanfaatkan kemampuan penalaran terhadap hubungan-hubungan antarsubstansi secara abstraktif, (3) melakukan hipotesis atas dasar hubungan-hubungan abstrak antarsubstansi, (4) memberikan kesimpulan spekulatif berdasarkan tiga tahapan sebelumnya secara deduktif9. Teori ilmu pengetahuan dan metode memerolehnya dalam perkembangannya tidak signifikan dari periode sebelumnya. Pertimbangan-pertimbangan ontologis, epistemologis dan empiris masih mendominasi, sekalipun konstruksi mengenai teori-tori fundamental ilmu di seputar konsep, dan pola yang dilakukan Plato dengan meminjam teori geometri tampak dalam periode ini dan bahkan memberikan pengaruh pada teori ilmu pengetahuan modern, logika dan metematik Jerman dan sesudahnya. Ini berarti teori ilmu pengetahuan dari masa filsuf klasik hingga modern memiliki bangunan kesinambungan saling mem9
Jerome R. Ravertz, The Philosophy of Science (Amerika: Oxford University Press, 1982).
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Konsep dan Metode Memeroleh Ilmu, Rosmawati T
beri pengaruh antara satu dengan yang lain, dan atau saling menghapus antara satu dengan yang lain, dan atau saling menyempurnakan antara satu dengan yang lain, sekalipun dalam kesempurnaannya masih terdapat pertentangan-pertentangan yang mencolok antara kelompok empirisme, rasionalisme, skeptisisme, kritisisme, analitisme, strukturalisme dan lainlain. Untuk menemukan pengetahuan, sebagai langka awal seseorang terlebih dahulu memelajari teori-teori pengetahuan dalam perkembangan pengetahuan. Usaha yang harus dilakukannya pertama menegaskan tujuan pengetahuan, sebab pengetahauan tidak akan mengalami perkembangan dan perubahan jika tujuan dari pengetahuan tersebut tidak diketahui dan dipahami. Prinsipnya ilmu itu usaha untuk menginterpretasikan gejala-gejala dengan mencoba mencari penjelasan tentang berbagai kejadian. Fenomena ini baik berupa pengamatan empirik maupun penalaran rasio memerlukan teori sebagai landasan keterpahaman sesuatu yang dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan. Metode Memeroleh Ilmu Pengetahuan Metode untuk memeroleh ilmu pengetahuan dan menentukan kebenaran ilmu pengetahuan secara filosofis terdiri dari: 1.
Metode Empirik
Metode empirik pengetahuan yang didapatkan melalui pengalaman inderawi dan akal mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman dengan cara induksi. Ada beberapa unsur dalam metode ini, subyek, obyek dan hubungan antara subyek dan obyek. Subyek adalah yang mengetahui atau manusia itu sebab ia sejatinya knower yang dalam diri setiap manusia terdapat kemampuan untuk dapat mengetahui (dalam arti luas). Kemampuan-kemampuan tersebut; a.
Kemampuan kognitif, kemampuan untuk mengetahui dalam arti luas dan mendalam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
b.
c.
seperti; mengerti, memahami dan menghayati dan mengingat apa yang diketahui.10 Landasan kognitifitas manusia rasio atau akal. Kemampuan kognitif manusia bersifat netral, Kemampuan afektif, kemampuan untuk merasakan tentang apa yang diketahuinya seperti rasa cinta, indah dan sebagainya. kemampuan afektif berlandas pada rasa tau qalbu dan disebut pula dengan hati nurani, kemampuan ini bersifat tidak netral, dan kemampuan konatif, kemampuan untuk menyapai apa yang dirasakan, kemampuan ini menjadi daya dorong untuk mencapai (atau menjauhi) segala apa yang ditekan oleh rasa. Obyek adalah yang diketahui baik bersifat
a priori maupun a posteriori dan terakhir proses terjadinya hubungan anatara subyek dan obyek. Metode ini memberi arti bahwa seluruh konsep dan idea yang dianggap benar bersumber dari pengalaman dengan obyek yang ditangkap oleh panca indera yang bersifat spontan dan langsung sehingga dengan metode ini panca indera berperanan penting dalam tiga hal; (a) bahwa seluruh preposisi yang diucapkan merupakan bentuk manifestasi laporan dari pengalaman atau yang disimpulkan pengalaman (b) konsep atau idea tentang sesuatu tidak dapat diperoleh kecuali didasarkan pada apa yang diperoleh dari pengalaman (c) akal budi atau rasio hanya dapat berfungsi jika memiliki acuan realitas. 2.
Metode Rasional
Metode rasional menjelaskan hubunganhubungan rasional yang memberi penjelasan ilmiah ciri-khas keterpahaman (intelegibility) yang khas. Penggunaan rasio dalam memeroleh pengetahuan menjadi sandaran metode ini, yaitu akal atau rasio yang memenuhi 10
Jujun S, Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 2001).
27
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 23-30
syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang digunakan dalam seluruh metode ilmiah. Metode ini menjadikan matematika dan ilmu ukur sebagai model bagi pengetahuan manusia. Metode ini menunjukkan sebuah penjelasan bahwa dalam diri manusia terdapat ide-ide bawaan tertentu yang telah ada sejak awal yang diperoleh bukan dari pengalaman. Ini berarti manusia berpikir dalam rangka prinsip-prinsip pertama yang terbukti dengan sendirinya, sebab panca indera dan pengalaman hanya dapat memberi informasi tentang obyek khusus yang terbatas dan tidak tetap sehingga tidak dapat memberi pengetahuan yang bersifat universal.11 Pengetahuan hanya dapat ditemukan dalam dan dengan bantuan akal budi (rasio). Dengan cara ini, proses pengetahuan manusia dengan mendeduksikan, menurunkan, pengetahuan-pengetahuan partikular dari prinsip-prinsip umum. Pengetahuan manusia harus mulai dari aksioma-aksioma yang telah terbukti, dan dari situ ditarik teorema-teorema sehingga kebenaran aksioma menjadi kebenaran teorma. Penjelasan ini memberikan gambaran bahwa kemampuan akal budi (rasio) manusialah yang dapat digunakan untuk dapat menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip umum tertentu dalam benaknya. Logika silogisme menjadi penting dalam menggunakan metode ini. Fungsi dari kemampuan rasio manusia dalam memeroleh ilmu pengetahuan dapat dibagi ke dalam dua bagian, higher reason (rasio tertinggi) dan lower reason (rasio terrendah), hasil ilmu pengetahuan yang dapat diperoleh dari keduanya berbeda. Pengetahuan higher reason menghasilkan ilmu pengetahuan akan suatu kebenaran yang berkaitan dengan kekalan yang disebut juga dengan sapientia atau wisdom sementara lower reason menghasilkan ilmu pengetahuan akan suatu 11 Murtada Mutahhari, Fundamentals of Islamic Thoght, Diterjemahkan oleh A. Rifa’i Hasan dan Yuliani, Tema-tema Penting Filsafat Islam (Bandung:
Yayasan Muthahhary, 1993).
28
kebenaran yang bersifat temporal yang disebut juga dengan scientia atau knowledge 3.
Metode Kontemplatif
Metode ini memandang bahwa metode empiris dan rasional memiliki keterbatasan, sehingga pengetahuan yang dihasilkan pun berbeda dan masing-masing bersifat temporal. Untuk menajamkan hasil dari kedua metode tersebut dibutuhkan penajaman kemampuan akal yang disebut intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi dapat diperoleh secara kontemplatif. Metode kontemplatif dalam memeroleh pengetahuan bersifat indivdualistik, sebab pengetahuan yang dihasilkannya pengetahuan yang tercerahkan dari percikan sinar pengetahuan Tuhan (al-hikmah al-Ilahiyyah). Hariri Shrazi menerangkan, intusi (fitrah) bukan semata-mata kolam atau waduk yang menerima penegtahuan, akan tetapi pengetahuan ini murni muncul dari dalam diri manusia itu dan bukan dari luar. Mata fitrahlah yang melihat pengetahuan itu dan kemudian lidahnya mengucapkan atau menjelaskan pengetahuan tersebut. Metode ini tidak hanya dipahami bahwa ilmu pengetahuan yang dihasilkannya bersifat mitologi-spekulatif, tetapi dalam arti yang lebih luas. Metode kontemplatif menuju kebenaran pengetahuan secara epistemik dapat melalui beberapa tahapan yang di dalamnya menjadikan kesadaran empiric-rality dan cognitive-reasion sebagai tahapan awal dengan cara kerjanya yang khas yaitu; (1) empiris inderawi sebagai jalan masuknya sensation dengan merasakan setiap bentuk realitas yang dirasakan dan diamatinya, selanjutnya (b) sensation yang masuk melalui pengamatan dan pengalaman tersebut dikumpulkan, digabungkan, dipilah, dinalar dengan menggunakan kemampuan rasio melalui proses penilaian terhadap obyek fisik yang diketahui melalui penginderaan dan atau pengalaman. Tahapan ini selanjutnya disebut dengan tahapan cognition, (c) tahapan yang diberlakukan atas realitas yang telah dikognisikan dalam rasio
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Konsep dan Metode Memeroleh Ilmu, Rosmawati T
tersebut kemudian dikontemplasikan dengan eternal truth pada tahapan ini kemudian apa yang dilihat, dirasa dan dipikirkan menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang disebut dengan intellection. Di tahapan terakhir ini the truth information (al-khabar al-sadiq) dan otoritative information (informasi otoritas) berperan penting untuk kemudian dilakukan dialektika baik itu persifat tekstual, intertekstual, kontektual maupun interkontekstual yang dapat membatu menghasilkan kesimpulan dalam ranah truth knowledge. Metode Ilmiah Metode ilmiah merupakan sebuah prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu, yang ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan ekspresi tentang cara bekerja pikiran yang diharapkan memiliki karakteristik tertentu berupa sifat rasional dan teruji sehingga ilmu yang dihasilkan bisa diandalkan. Metode ilmiah mencoba menggabungkan cara berpikir deduktif (rasional) dan induktif (empiris) dalam membangun pengetahuan. Teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesuaian dengan objek yang dijelaskannya, dengan didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. Metode rasional yang digabungkan dengan metode empiris dalam langkah menuju dan dapat menghasilkan pengetahuan inilah yang disebut metode ilmiah. Metode ilmiah dianggap sebagai metode terbaik untuk mendapatkan pengetahuan karena metode ini menggunakan pendekatan yang sistematis, obyetif, terkontrol, dan dapat diuji, yang dilakukan melalui metode empiris maupun rasional atau dengan kata lain dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip induktif dan dedutif.12 Penggabungan anatara metode rasional dan empiris dilakukan dengan menggunkan langkah-langkah oprasional yang disebut me12
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali Press, 2010).
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
tode ilmiah yang dalam metode ini rasionalitas menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sementara empiris memisahkan anatara fakta yang sesuai dengan yang tidak. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa seluruh bentuk teori yang dapat diterima secara ilmiah harus memenuhi dua syarat utama yaitu; (a) memiliki konsistensi a prioriative yang memungkinkan tidak terjadinya kontaradiksi dalam teori keilmuan secara umum, (b) harus sesuai dan sejalan dengan fakta-fakta empiris, artinya bahwa teori dalam scientific knowledge (ilmu pengetahuan ilmiah) merupakan sekumpulan preposisi yang saling berkaitan secara logis untuk memberikan penjelasan tentang sejumlah fakta dan fenomena yang hubungan-hubungan antarpreposisi tersebut. Hal itu dimaksudkan agar dapat diperiksa kebenarannya diantara fenomena agar dapat diberlakukan secara universal pada fenomena lain yang sejenis dengan proses yang demikian dapat menghasilkan sebuah prinsip ilmiah dimana sebuah preposisi yang mengandung kebenaran umum didasarkan pada fakta dan fenomena yang telah diamati. Menurut pandangan Ahmad Tafsir, metode ilmiah tidak datang dengan sesuatu yang baru, tetapi hanya mengulangi ajaran positivisme secara lebih oprasional, dimana dalam ajaran positivisme menyatakan bahwa kebenaran sesuatu harus bersifat logis, terbukti secara empiris, dan terukur secara oprasional, kuantitatif dan tidak mengundang perbedaan pendapat. Metode ilmiah harus melalui langkah yang disebut logico-hypothetico-verivicative dengan mula-mula membuktikan bahwa hal tersebut logis, kemudian mengajukan hipotesis terhadap logika tersebut, kemudian melakukan pembuktian hipotesis tersebut secara empiris. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dinyatakan bahwa metode dalam memeroleh ilmu pengetahuan secara ilmiah harus melalui prosedur-prosedur khusus. Kata kunci prosedur tersebut: (1) logis, (2) empirik, (3) kejelasan teori, (4) oprasional dan spesifik, (5)
29
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 23-30
hipotethik, (6) verivikatif, (7) sistematis, (8) memerhatikan validitas dan realibilitas, (9) obyektif, (10) skeptik, (11) kritis, (12) analitik, (l3) kontemplatif. Simpulan Konsepsi tentang tori ilmu pengetahuan dari masa filsuf klasik hingga modern memiliki bangunan kesinambungan yang saling memberi pengaruh antara satu dengan yang lain. diantara metode-metode yang dapat digunakan dalam memeroleh pengetahuan: (1) metode empiris, (2) metode rasional, (3) metode kontemplatif, (4) metode ilmiah. Dari keempat metode ini, metode ilmiah dianggap sebagai metode yang paling komprehensif sebab dapat menyatukan keseluruhan metode dalam bingkai oprasional sistematik. Saran Perlu kajian lebih dalam terkait dengan metode-metode dalam memeroleh pengetahuan sehingga wawasan keilmuan mahasiswa terkait dengan filsafat ilmu lebih dalam dan menjadi bahan dasar dalam mengambil kebijakan, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Ihsan, A. Fuad, Filsafat Ilmu, Jakarta: Rineka Cipta, 2010. Marhaendy, Eko. Pengetahuan Manusia Secara Umum. Makalah, dipersentasikan pada Mata Kuliah Pendekatan dalam Pengkajian Islam (PDPI) Program Pasca Sarjana IAIN Sumut, Naskah tersebut diakses di www.ekomarhaendy.wordpress.com dikunjungi pada 1-Oktober-2013. Mutahhari, Murtada, Fundamentals of Islamic Thoght. Diterjemahkan oleh A. Rifa’i Hasan dan Yuliani, Tema-Tema Penting Filsafat Islam, Bandung: Yayasan Muthahhar. 1993. Ravertz, Jerome R. 1982. The Philosophy of Science (Oxford University Press). Diterjemahkan oleh Saut Pasaribu,
Filsafat Ilmu Sejarah & Ruang Lingup Bahasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009. Sigit Jatmiko dkk, Sejarah Filsafat Barat; dan
Kaitannya dengan Kondisi Sosial-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Suhartono, Suparlan, Filsafat Ilmu Pengeta-
huan; Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2008. Surajiyo, Filsafat Ilmu; Suatu Pengantar, Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 2001.
Adib, Muhammad, Filsafat Ilmu; Ontologi,
Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: Rajawali Press, 2010. Gie dan Liang, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberti, 2010. Hanafi, Soetriono dan Rita, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Yogyakata: ANDI, 2007.
30
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Kepemimpinan Pembelajaran, Nur Hasanah
PRAKTIK PROFESI KEGURUAN (PPK) UNTUK PENINGKATKAN KOMPETENSI PEDAGOGIK MAHASISWA Kapraja Sangadji Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon
[email protected]
Abstrak: Undang-undang Guru Dosen No 14 Tahun 2005 mengisyaratkan tenaga pendidik profesional diwajibkan memiliki kualifikasi dan kompetensi. Praktik mengajar merupakan suatu sistem pembelajaran yang dibangun atas berbagai komponen. Konsep kurikulum teknologis sebagai kilblatnya program PPK yang memandang kurikulum tidak sekedar berisi sejumlah disiplin ilmu yang harus diajarkan kepada mahasiswa sehingga mendapat ijazah tetapi berakar pada konsep kurikulum sebagai pengelaman belajar. Orientasi desain kurikulum bukan pembelajaran secara klasikal tetapi penguasaan kompetensi untuk setiap mahasiswa. Peningkatan kompetensi pedagogik mahasiswa merupakan target LPTK. Pelaksanaan PPK harus dilandasi dengan penyusunan rencana yang matang, rinci dan menggarnbarkan target yang memrioritaskan ketercapaian tujuan LPTK sebagai target praktik meng ajar. Faktor determinasi pembentukan kompetensi melalui program PPK, yaitu komitmen yang tinggi antara dosen dan guru pamong, mahasiswa, manajemen, sarana dan prasaran serta patnership mitra secara optimalsebagai. Keyword: Kepemimpinan Pembelajaran, Pendidikan Berkarakter Pendahuluan Upaya konkrit yang strategis dari pemerintah untuk peningkatan kemampuan guru dibuktikan dengan lahirnya Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mengisyarakatkan bahwa sebagai pendidik profesional harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosil, dan kompetensi profesional. Ruang lingkup praktik profesi keguruan berkaitan dengan kegiatan menyusun rencana pembelajaran (RPP), mengelola pembelajaran, mengembangkan dan melaksanakan evaluasi pembelajaran. Kegiatan ini sebagai miniatur dari profesionalitas mahasiswa karena secara implisit memuat sejumlah kemampuan yang kompleks seperti tersirat dan tersurat dalam Permen No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Mahasiswa, berkaitan dengan (1) penguasaan karakteristik
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
peserta didik, (2) menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, (3) mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran, bidang pengembangan, (4) menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, (5) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran, (6) memasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki, (7) berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik, (8) menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar, (9) memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran, dan (10) melakukan pembelajaran, (10) melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
31
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 31-38
Kebijakan tersebut menyiratkan tiga hal penting yang terkait dengan kompetensi pedagogik: (1) penguasan kompetensi pedagogik menjadi inti dari keseluruhan kompetensi yang dimiliki oleh mahasiswa, (2) kompetensi bermuara pada upaya penyiapan kondisi yang memudahkan siswa untuk mengaktualisasikan dirinya dalam penguasan pengetahuan, sikap, serta keterampilan, (3) kebermaknaan kompetensi ini tergantung pada kemampuan kompetensi profesional, sosial serta personal yang menjadi bingkai dari kompetensi pedagogik. Hakikat Pembelajaran Berbasis Kompetensi
Praktik
Mengajar
Praktik mengajar merupakan sebuah sistem pembelajaran yang dibangun atas berbagai komponen; tujuan, pengalaman belajar, organisasi pengalaman belajar dan evaluasi pembelajaran.1 Semua komponen tersebut saling berinteraksi untuk mewujudkan tujuan umum LPTK yaitu kemampuan menghasilkan calon mahasiswa yang profesional. 1.
Landasan Filosofi Praktek Mengajar
Praktik Profesi Keguruan (PPK) bukan pekerjaan rutinitas tetapi upaya pembentukan kompetensi yang berujung pada penguasan kompetensi pedagogik secara jelas dan terukur pada mahasiswa. Di akhir pembelajaran praktik mengajar diharapkan mahasiswa bukan hanya memiliki unusual melaksanakan pembelajaran atau memiliki kemampuan hanya pada tataran kognisi seperti memiliki penguasan tentang materi ajar yang akan diajarkan pada siswa atau penguasaan materi tantang cara proses pembelajaran yang optimal tetapi harus berujung pada performance calon mahasiswa. Praktik mengajar PPK dilandasi oleh filsafat pragmatisme yang progresif dan kons-
truktif. Hal dilatarbelakangi oleh suatu asumsi bahwa pengetahuan, keterampilan dan perubahan sikap mahasiswa atau calon mahasiswa dapat berkembang melalui belajar, berbuat, dan berefleksi. Belajar di bangku kuliah hanya merupakan salah satu cara yang lebih mengutamakan penguasan disiplin ilmu secara teoretis, di samping itu diperlukan cara lain untuk melatih keterampilan praktis dan membentuk sikap bertanggung jawab, bersosialisasi, serta menerapkan nilai-nilai moral dalam wujud kompetensi secara utuh. Praktik mengajar sebagai suatu proses pembentukan kompetensi mahasiswa calon guru juga dilandasi oleh keyakinan bahwa tidak semua orang mampu menjadi mahasiswa calon guru, sekalipun orang itu memiliki banyak pengetahuan, karena pekerjaan mahasiswa calon guru itu kompleks.2 PPK dalam praktinya menyediakan pengalaman untuk menemukan dan memecahkan hal-hal baru yang berkenaan permasalahan mengajar di sekolah. Mahasiswa dalam kondisi sesungguhnya akan tertantang untuk menggunakan semua kemampuannya yang sudah dimilikinya atau beradaptasi dengan lingkungan baru. Selama itu pula akan terbentuk kemampuan-kemampuan baru pada mahasiswa dan sekaligus membawa pembaharuan pada sekolah. 2.
Landasan Psikologis Praktik Mengajar
Indikasi keberhasilan belajar mahasiswa dapat tergambar dari perubahan perilaku berdasarkan tujuan yang dirumuskan. Ada persyaratan yang harus diperhatikan dalam merumuskan tujuan tersebut, seperti yang ditegaskan oleh Saettlr (1990) dalam Sanjaya bahwa; “Behavioral objektive states learning objecti-
ves in specified, quanti fiable, terminal behaviors”. Rumusan tujuan yang akan dijadikan indikasi keberhasil belajar harus memiliki karakteristik; (1) dirumuskan secara khusus, (2) 2
1
Tyler Ralph W. Basic Principles of Curriculum and Instruction. (Illinois: The University of Chicago Press, 1950), h. l65.
32
Hammond dan Snowden. Guru Yang Baik di Setiap Kelas: Menyiapan Guru Berkualitas Tinggi yang Layak Mengajar Anak-anak Kita((Author: National Academy of Education, 2005), h. 8.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Kepemimpinan Pembelajaran, Nur Hasanah
ber-isi rumusan perubahan perilaku yang dapat diamati, (3) perubahan perilaku tersebut dapat diukur, dan (4) menggambarkan tingkat keberhasilan secara pasti, sehingga di akhir pembelajaran diketahui secara jelas tingkat ketercapaian tujuan itu.3Berdasarkan teori beha-vioristik Thondike, terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan untuk memasilitasi keberhasilan pembelajaran, termasuk dalam praktik mengajar, di antaranya: (1) adanya kesiapan mahasiswa baik kesiapan akademik, mental, dan sosial untuk beradaptasi sesuai tuntutan tugas di sekolah tempat mereka praktek, (2) diperlukan latihan secara intensip, jika tidak difasilitasi dengan praktik-praktik secara intensif selalu terjadi masalah antara kemampuan teoritis dengan tujuan tuntutan tugas, (3) diperlukan kondisi yang dapat memengaruhi mahasiswa untuk membiaskan diri mengasah mengasuh dan mengasih kemampuannya di lingkungan praktenya. Praktik mengajar berorintasi pada terwujudnya peningkatan kemampuan mengajar lebih dilandasi oleh teori belajar kognitivisme dengan asumsi bahwa (a) sebelum mahasiswa mengikuti praktik mengajar mereka sudah memiliki struktur berpikir dalam bentuk pengetahuan dan persepsi yang diperoleh melalui pengalaman pembelajaran sebelumnya, (b) orientasi dari praktik mengjar bukan sekedar melatih kemampuan praktis secara kuantitatif tetapi selama mengikuti mengikuti program praktik mengajar mahasiswa memiliki kebebasan untuk meningkatkan dan menyempurnakan kemampuannya. Menurut Jean Piaget bahwa keberagaman persepsi dan pemahaman anak merupakan awal proses asimilasi dan akomodasi sebagai pembentukan kemampuan.4 Proses ini harus dilakukan oleh mahasiswa melalui aktivitas belajar langsung. Mahasiswa harus aktif berpikir dan bertindak dalam menyusun konsep, 3
Wina Sanjaya. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h. 88. 4 Wina Sanjaya. Strategi Pembelajaran, h. 128.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Dosen harus menjadi prakarsa untuk menata lingkungan yang kondusif yang memungkinkan terjadinya proses belajar yang optimal. 3.
Kurikulum Pembelajaran Praktek Mengajar
PPK dilandasi oleh konsep kurikulum teknologis yang memandang kurikulum tidak sekedar berisi sejumlah disiplin ilmu yang harus diajarkan kepada mahasiswa tetapi berakar pada konsep kurikulum sebagai pengalaman belajar.5 Model desai kurikulum teknologis menekankan pe-nyusunan program pembelajaran mengguna-kan pendekatan sistem yang diawali dengan penentuan indikator keberhasilan belajar dalam bentuk penguasaan keahlian secara jelas dan terukur.6 Pencapaian kompetensi berdasarkan desain kurikulum teknologis memerhatikan kemampuan individual mahasiswa. Perbedaan kecepatan belajar menjadi sesuatu yang wajar karena orientasi desain kurikulum ini bukan pembelajaran secara klasikal tetapi ketuntasan penguasaan kompetensi untuk setiap mahasiswa menjadi prioritas. Pengembangan kompetensi pedagogik berlandaskan pada desain kurikulum teknologis menunjukkan ciri-ciri khusus: (1) memiliki orientasi penguasaan kompetensi secara tuntas yang dirumuskan dalam bentuk perilaku sebagai hasil belajar yang dapat diamati dan diukur, (2) menghargai perbedaan individu mahasiswa. Setiap mahasiswa menghadapi tugas secara individual yang penyelesaiannya tidak tergantung pada kemampuan orang lain, (3) target penyapaian kompetensi tidak pada acuan norma atau rata-rata kelas, tetapi pada
5 Wina Sanjaya. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Satuan Pendidikan (KTSP) (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 74. 6 Wina Sanjaya. Kurikulum dan Pembelajaran: h. 76.
33
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 31-38
ketuntasan pencapaian kompetensi secara individual. a.
Menggunakan evaluasi diri (self evaluation) sebagai umpan balik atas kemajuan
nya berhubungan langsung dengan kompetensi lainnya. Gierts (2003) dalam Azis M menjelaskan bahwa;
Pedagogical competence can be described as the ability and the will to regularly aPPKy the atitude, knowledg, and skill that promete the learning of the teacher’s students. This shall take place in accordance with the goals that are being aimed at and the axisting framework and presupposes continuous development of the teacher’s own competence and course design9.
belajarnya, sehingga mahasiswa kan lebih menyadari solusi untuk menindaklanjuti hasil belajarnya.7 PPK juga dilandasi oleh teori dinamika (dynamic theory) yang dikemukakan Lumley dan Rayner (2004, 2005 dalam (Whittehead, 2006) bahwa: ...a simple shift in the way we
frame reality, from absolutely fixed to relationally dynamic. This shift arises from perceiving space and boundaries as connective and co-creative, rather than severing, in their vital role of producing heteregeneous from and local identity.8 Konsep ini memandang bahwa praktik mengajar bukan sekedar aktivitas yang perlu dipahami atau cukup didokumentasikan, tetapi betul-betul merupakan refresentasi dari sebuah kekuatan yang dinamis. Praktik mengajar tidak sebatas latihan keterampilan praktis saja karena di dalamnya terjadi hubungan antara berbagai sub komponen seperti kemampuan mahasiswa, kondisi siswa dengan ragam latar belakangnya, fasilitas, monitoring yang dilakukan oleh dosen maupun guru pamong, dan iklim pembelajaran.
Konsep ini menegaskan, kompetensi pedagogik digambarkan sebagai kemampuan dan kemauan untuk menerapkan sikap, pengetahuan, keterampilan dengan secara teratur yang mendukung pembelajaran sesuai dengan tujuan yang direncanakan. Kompetensi pedagogik dapat menggambarkan tingkat profesionalitas mahasiswa secara utuh kerena pada dasarnya kompetensi ini menyatuhkan ketiga jenis kompetensi lainnya, seperti kompetensi kepribadian, sosial dan profesional dalam satu keutuhan kemampuan pada pengembangan implementasi pembelajaran yang akan memberikan implikasi pada keberhasilan belajar siswa.
Hakikat Kompetensi Pedagogik
2.
1.
Kompetensi yang dimiliki oleh mahasiswa itu kompleks. Kebijakan pemerintah melalui Undang-undang No.14 tahun tentang Guru dan Dosen pasal 10 ayat (1) menyebut empat standar acuan profesionalisme mahasiswa: pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan profesional. Kompetensi pedagogik menjadi jantung dari semua kompetensi harus dikuasai oleh mahasiswa, karena melalui kompetensi akan
Konsep Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik merupakan sub kompetensi dari keseluruhan kompetensi akan tetapi eksistensinya menjadi coor dari keseluruhan kompetensi mahasiswa. Kompetensi pedagogik ujung tombak terdepan profesionalisme mahasiswa karena dalam implementasi7 Een Yayah H. Proposal Pengembangan Model Pembelajaran Micro Teaching Untuk Meningkatkan Kompetensi Pedagogik Mahasiswa S1 PGSD (Bandung, UPI, 2012), h. 46. 8 Een Yayah H. Proposal Pengembangan Model Pembelajaran Micro Teaching, h. 66.
34
Peran Kompetensi Pedagogik dalam Profesionalisme Mahasiswa
9
Azis Mahafudin. Profesionalisme Jabatan Mahasiswa di Era Globalisasi. (Bandung, Rizqi, 2009), h. 50.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Kepemimpinan Pembelajaran, Nur Hasanah
tergarnbar pengembangan kompetensi lainnya secara kontekstual. Kompetensi ini dapat dilihat dari kemampuan merencanakan program belajar mengajar, kemampuan melaksanakan mengelola proses belajar mengajar, dan kemampuan melakukan penilaian. 3.
Ruang Lingkup Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik menjadi ujung tombak dari ketiga kompetensi lain. Namun, terdapat tiga komponen utama yang membentuknya, yaitu kemampuan merencanakan pembelajaran, kemampuan melaksanakan pembelajaran dan menyusun serta melaksanakan evaluasi pembelajaran. a.
Kemampuan merencanakan pembelajaran
Perencanaan pembelajaran suatu siklus yang tidak pernah berhenti . Sebagai suatu sistem, desain pembelajaran tidak bias berdiri sendiri dan terisolasi dari pengembangan pengembangan pembelajaran dan evaluasi pembelajaran. Seperti dikemukakan oleh Kemp (1977) dalam Sanjaya, bahwa;
The design and development process is a continuous cycle that requires constant planning, design, development and assessment to insur effective instruction. The model is systemic and nonlinear and seems to ecourage designers to work in all areas as appropriate10. Model ini berguna untuk mengembangkan program-program instruksional yang dibangun atas kemampuan penguasaan pedagogik dan konten akademik sehingga akan menghasilkan pembelajaran yang efektif. Konsep ini juga menjadi landasan bagi pengembangan kompetensi pedagogik mahasiswa dan calon mahasiswa, sebab pada dasarnya semua komponen desain pembelajar10
Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 17.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
an bukan hanya menjadi target yang harus dicapai oleh siswa, tetapi juga sekaligus sebagai bahan refleksi atas mahasiswa. Rusman mengungkapkan kompetensi penusunan rencana pembelajaran antara lain: meliputi kemampuan dalam merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan butir-butir tes, mengembangkan materi pelajaran, mengembangkan media dan metode pembelajaran, menerapkan sumber-sumber pembelajaran, menentukan fasilitas, mengembangkan dan melakukan penilaian pembelajaran, serta mampu mengalokasikan waktu.11 Berdasarkan kedua konsep tersebut, merencanakan program belajar mengajar merupakan proyeksi mahasiswa mengenai kegiatan yang harus dilakukan siswa dan mahasiswa selama pembelajaran berlangsung, yang mencakup: merumuskan tujuan, menguraikan deskripsi satuan bahasan, merancang kegiatan pembelajaran, memilih berbagai media dan sumber belajar, dan merencanakan penilaian. b. Kemampuan Melaksanakan Pembelajaran Melaksanakan proses belajar mengajar merupakan tahap pelaksanaan program yang telah disusun. Kernampuan yang dituntut dalam keaktifan mahasiswa menyiptakan dan menumbuhkan kegiatan siswa belajar sesuai rencana yang telah disusun. Kemampuan melaksanakan proses belajar mengajar meliputi (1) membuka pelajaran, (2) menyajikan materi, (3) menggunakan media dan metode, menggunakan alat peraga, (5) menggunakan bahasa yang komunikatif, (6) memotivasi siswa, (7) mengorganisasi kegiatan, (8) berinteraksi dengan siswa secara komunikatif, (9) menyimpulkan pelajaran, (10) mem11
Rusman, 2011. Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. (Jakarta,2011: PT RajaGrafindo Persada) hal. 71
35
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 31-38
berikan umpan balik, (11) melaksanakan penilaian, dan (12)menggunakan waktu.12 c. Kemampuan Melaksanakan Penilaian Penilaian proses pembelajaran dilaksanakan untuk mengetahui keberhasilan perencanaan kegiatan pembelajaran yang telah disusun dan dilaksanakan. Tujuan utama melaksanakan evaluasi dalam proses pembelajaran untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai tingkat pencapaian tujuan, sehingga tindak lanjut hasil belajar dapat diupayakan dan dilaksanakan secara tepat. Melaksanakan penilaian proses pembelajaran -mer-upakan bagian tugas mahasiswa yang harus dilaksanakan setelah kegiatan pembelajaran berlangsung dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa menyapai tujuan pembelajaran sehingga dapat diupayakan tindak lanjut hasil belajar siswa. Kemampuan mengembangkan dan melaksanakan penilaian belajar peserta didik, meliputi (1) mampu memilih soal berdasarkan tingkat kesukaran,(2) mampu soal berdasarkan tingkat pembeda, (3) mampu memerbaiki soal yang tidak valid, (4) mampu memeriksa jawab, (5) mampu mengklasifikasi hasilhasil penilaian, (6) mampu mengolah dan menganalisis basil penilaian, (7) mampu mernbuat interpretasi kecenderungan hasil penilaian, (8) mampu menentukan korelasi soal berdasarkan hasil penilaian, (9) mampu mengidentifikasi tingkat variasi hasil penilaian, (10) mampu menyimpulkan dari hasil penilaian secara jelas dan logis, (11) mampu menyusun program tindak lanjut hasil penilaian, (12) mengklasifikasi kemampuan siswa, (13) mampu mengidentifikasi kebutuhan tindak lanjut hasil penilaian, (14) mampu melaksanakan tindak lanjut, (15) mampu mengevaluasi basil tindak lanjut, dan (16)
mampu menganalisis hasil evaluasi program tindak lanjut hasil penilaian.13 Upaya Peningkatan Kompetensi Pedagogik Mahasiswa Melalui PPK Pembelajaran dapat dipandang sebagai suatu sistem yang di dalamnya terdapat sejumlah komponen yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan. Komponen tersebut adalah input, transactions, dan output. Komponen input berkenaan dengan segala sesuatu yang tergambar dalam kondisi sebelum pembelajaran berlangsung, seperti dosen, mahasiswa, maupun kurikulum sebagai rencana pembelajaran. Komponen transactions berkaitan dengan proses dan evaluasi yang melibatkan semua komponen baik dosen, mahasiswa, fasilitas, implementasi kurikulum, dan lingkungan yang akan mendukun efektivitas jelannya pembelajaran. Komponen output berkenaan dengan performa sebagai gambaran keberhasilan mahasiswa setelah mengikuti proses pembelajaran praktik. 1.
Sanjaya mengemukakan ada sejumlah aspek yang perlu diperhatikan dan faktor mahasiswa atau dosen. Pertama, teacher formatif experience. Aspek ini meliputi semua pengalaman yang berkenaan dengan latar belakang sosial ekonomi, budaya, tempat asal kelahiran, dan keluarga. Artinya mahasiswa yang memiliki latar belakang ekonomi lebih mampu akan berbeda dengan mahasiswa yang berlatar belakang ekonomi tidak mampu. begitu juga dengan kondisi mahasiswa yang memiliki latar belakang keluarga harmonis akan berbeda dengan yang berlatar belakang keluarga tidak harmonis, bahkan dengan latar belakang budaya. Kedua, teacher training experience. Aspek ini meliputi semua pengalaman yang berhubungan dengan peningkatan profesi-
12
Depdiknas. Standar Kompetensi Guru SLTP. (Jakarta: Dirjen Dikdasmen, 2004), h. 7.
36
Faktor Dosen dan Guru Pamong
13
Depdiknas. Standar Kompetensi Guru SLTP, h.
8-9.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Kepemimpinan Pembelajaran, Nur Hasanah
onal mahasiswa baik pada saat mengikuti pendidikan di universitas (preservice training) sebelum seseorang menjadi mahasiswa maupun yang bersifat peningkatan kemampuan bagi yang sudah menjadi mahasiswa (inservice training). Seiring dengan pesat perkembangan ilmu dan teknologi, mahasiswa pun dituntut untuk selalu me ngemban kemampuannya. Ketiga, teacher properties, aspek ini meliputi segenap kemampuan mahasiswa seperti kepribadian, kecerdasan, motivasi, dan keterampilan mengajar dalam menyusun, melaksanakan dan mengevalnasi pembelajaran. Seorang mahasiswa bukan hanya dituntut untuk menguasai substansi akademik yang akan diajarkan, tetapi juga mahir dalam mengelola pembelajaran yang memudahkan siswa untuk belajar.14 2.
Mahasiswa PPK
Mahasiswa dengan segenap karakteristiknya menjadi faktor penting dalam pembelajaran, baik dilihat dari latar belakang pengalamannya, kecakapan, sikap, pengetahuannya maupun budayanya. Hal ini dapat memengaruhi iklim pembelajaran. Setiap mahasiswa memiliki kemampuan bervariasi yang tanpak dalam motivasi, perhatian dan kese-riusan dalam mengikuti aktivitas praktik mengajar. Sikap dan penampilan serta determinasi diri mahasiswa dalam pelaksanaan praktik mengajar juga merupakan aspek lain yang dapat memengaruhi aktivitas praktik mengajarnya. Semua itu dapat memengaruhi proses praktik mengajar di dalam kelas. Faktor dosen, mahasiswa pamong dan mahasiswa merupakan faktor menentukan kompetensi meraka sebagai mahasiswa profesional. 4.
Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana segala sesuatu yang mendukung secara langsung kelancaran 14
Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sitem Pembelajaran (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 74.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
proses praktik mengajar mahasiswa, seperti media pembelajaran, alat-alat pelajaran, dan perlengkapan LPTK, misalnya laboratorium mikro teaching yang memadai. LPTK yang memiliki sarana dan prasarana yang memadai seperti laboratorium mikro teaching akan menumbuhkan gairah dan motivasi mahasiswa untuk melatih kecakapan-kecakapan akademik dan pedagogik yang akan diaplikasikan dalam aktivitas praktik mengajar di sekolah yang ia di tugaskan. 5. Partnership dengan Sekolah Mitra Profesi mengajar menjadi kompleks seiring dengan tempat bekerja mereka yang semakin menantang. Pengakuan mengajar sebagai suatu profesi yang ditegaskan dalam UU No 14 tahun 2005 memiliki konsekwensi terhadap model pembelajaran yang harus dikembangkan dalam rangka memersiapkan calon mahasiswa sesuai dengan tuntutan kebijakan tersebut. Kerjasama antara LPTK dengan sekolah mitra sebagai tempat mahasiswa calon mahasiswa melaksanakan praktik mengajar merupakan suatu program yang menjembatani kesenjangan antara belajar di pendidikan tinggi dengan kehidupan sekolah secara nyata dalam rangka mewujudkan tujuan (1) meningkatkan kualitas praktek mengajar, (2) menciptakan berbagai bentuk pembelajaran yang nyata dan lingkungan yang bermakna, (3) memelihara kerjasama antara universitas dengan sekolah dalam pembelajaran. 6.
Sistem Penilaian
Sistem penilaian dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk memertimbangkan keputusan se tiap pembelajaran. Meningkatkan kemampuan praktik mengajar mahasiswa hendaknya dilandasi oleh data yang akurat berkenaan dengan se-jumlah informasi dari hari ke hari, data ini harus dikumpulkan dengan benar
37
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 31-38
untuk dijadikan solusi dalam memerbaiki kualitas mengajar. Terdapat empat komponen penting yang harus diperhatikan terkait dengan penilaian terhadap praktik mengajar yaitu: (1) penelurusan terhadap kompetensi mahasiswa mencakup proses dan hasil belajar. Penilaian proses dilakukan selama proses pembelajaran praktik mengajar berlangsung, (2) kompetensi mahasiswa sebagai tujuan pembelajaran hakikatnya kesatuan utuh pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai dan sikap yang dapat ditampilkan mahasiswa dalam berpikir dan bertindak. Sasaran penilaian praktik mengajar aktivitas praktis dalam bentuk performa, dan (3) penilian dilakukan selama rentang pembelajaran. 15 Simpulan PPK dilandasi oleh pragmatisme yang progresif dan konstruktif. PPK dilandasi oleh konsep kurikulum teknologis yang memandang kurikulum tidak sekedar berisi sejumlah disiplin ilmu yang harus diajarkan kepada mahasiswa sehingga mendapat ijazah tetapi berakar pada konsep kurikulum sebagai pengalaman belajar. Pencapaian kompetensi berdasarkan desain kurikulum teknologis memerhatikan kemampuan individual mahasiswa. Karena orientasi dari desain kurikulum ini bukan pembelajaran secara klasikal tetapi ketuntasan penguasaan kompetensi untuk setiap mahasiswa menjadi prioritas. Upaya peningkatan kompetensi peda-gogik merupakan target LPTK. Pelaksanaan PPK harus dilandasi oleh penyusunan rencana yang jelas, rinci dan menggarnbarkan target ketercapaian tujuan LPTK-Target praktik mengajar.
DAFTARA PUSTAKA
Azis
Mahafudin, 2009. Profesionalisme Jabatan Mahasiswa di Era Globalisasi.
Bandung, Rizqi Depdiknas, 2004. Standar Kompetensi Mahasiswa SLTP. Jakarta, Dirjen Dikdasmen Een Yayah H, 2012. Proposal Pengembangan
Model Pembelajaran Micro Teaching untuk Meningkatkan Kompetensi Pedagogik Mahasiswa S1 PGSD. Bandung,
UPI Hammond dan Snowden, 2005. Mahasiswa
Yang Baik di Setiap Kelas: Menyiapan Mahasiswa Berkualitas Tinggi yang Layak Mengajar Anak-anak Kita. Author, National Academy of Education Rusman, 2011. Model-model Pembelajaran
Mengembangkan Profesionalisme Mahasiswa. Jakarta,PT RajaGrafindo Persada. Tayibnapis F. Y, 2000. Evaluasi dan Penilaian Program Pendidikan. Jakarta Rineka Cipta Tyler Ralph W, 1950. Basic Principles of Curriculum and Instruction. Illinois, The University of Chicago Press. Wina Sanjaya, 2010. Kurikulum dan Pem-
belajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta, Kencana Prenada Media Group. --------, 2010. Perencanaan dan Desain Sitem Pembelajaran. Jakarta, Kencana Prenada Media Group. -------, 2007. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
15
F.Y. Tayibnapis Evaluasi dan Penilaian Program Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 27.
38
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Analisis Diskriminan dalam Pembentukan Model Klasifikasi, Mariana
ANALISIS DISKRIMINAN DALAM PEMBENTUKAN MODEL KLASIFIKASI DALAM PENGELOMPOKKAN DATA JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK) IAIN AMBON Mariana Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon
[email protected]
Abstrak: Tujuan tulisan mengkaji pemodelan yang melibatkan variabel respon kategoris memberikan berperan penting dalam masalah klasifikasi. Analisis statistik yang dapat diterapkan untuk memecahkan masalah ini analisis diskriminan. Analisis diskriminan adalah bagian dari analisis statistik peubah ganda (multivariate statistical analysis) yang bertujuan untuk memisahkan beberapa kelompok data yang sudah terkelompokkan dengan cara membentuk fungsi diskriminan. Analisis diskriminan salah satu teknik statistik yang digunakan dalam hubungan dependensi (hubungan antar variabel dimana sudah bisa dibedakan mana variabel respond an mana variabel penjelas). Analisis diskriminan digunakan pada kasus yang variabel responnya berupa data kualitatif dan variabel penjelas berupa data kuantitatif. Keyword:Kata Kunci: Analisis Diskriminan, Klasifikasi Pendahuluan Beberapa analisis statistik telah banyak dikembangkan untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah dalam bidang pendidikan, di antaranya analisis regresi logistik, analisis diskriminan, pohon klasifikasi dan Artificial Neural Network (ANN). Analisis yang digunakan dalam makalah ini analisis diskriminan. Menurut Johnson dan Wichern (1998), tujuan dari analisis diskriminan untuk menggambarkan ciri-ciri suatu pengamatan dari bermacam-macam populasi yang diketahui, baik secara grafis maupun aljabar dengan membentuk fungsi diskriminan. Dengan kata lain, analisis diskriminan digunakan untuk mengklasifikasikan individu ke dalam salah satu dari dua kelompok atau lebih. Jika dianalogikan dengan regresi linear, analisis diskriminan merupakan kebalikannya. Variabel respon dalam regresi linear harus mengikuti distribusi normal dan homoskedastis, sedangkan
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
variabel penjelas diasumsikan fixed, artinya variabel penjelas tidak disyaratkan mengikuti sebaran tertentu. Untuk analisis diskriminan, variabel penjelasnya harus mengikuti distribusi normal dan homoskedastis sedangkan variabel responnya fixed. Penelitian tentang analisis diskriminan dan regresi logistik multinomial banyak dilakukan antara lain oleh, Maulias (2009) klasifikasi penjurusan siswa SMK Negeri 1 Tual Maluku dengan pendekatan analisis diskriminan dan regresi logistik multinomial. Metode klasifikasi menggunakan fungsi diskriminan (Purnomo 2003). Tujuan utama penulisan ini: (1) menerapkan metode analisis diskriminan (2) mengevaluasi peubah yang konsisten muncul dari metode analisis diskriminan (3) mengetahui apakah ada perbedaan yang jelas antara kelompok dalam variabel dependen (untuk melihat perbedaan antara anggota grup 1 dengan
39
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 39-46
grup 2). (4) membuat fungsi atau model diskriminan yang mirip dengan persamaan regresi. Analisis Diskriminan Analisis diskriminan (Discriminant Analysis) adalah salah satu metode analisis multivariat yang bertujuan untuk memisahkan beberapa kelompok data yang sudah terkelompokkan dengan cara membentuk fungsi diskriminan (Johnson & Wichern 1998). Untuk melakukan analisis diskriminan ada dua asumsi yang harus diperhatikan (Dillon dan Goldstein 1984) yaitu: (1) Sejumlah peubah bebas menyebar mengikuti sebaran normal ganda dan (2) matriks peragam berdimensi dari peubah-peubah bebas dalam setiap kelompok harus homogen. Uji sebaran normal ganda dapat dilakukan dengan plot khi-kuadrat (Johnson & Winchern 1998). Setiap vektor pengamatan dihitung jarak Mahalanobisnya dengan persamaan:
dimana setiap akan menyebar khi-kuadrat dengan p derajat bebas, bila p menyatakan banyak peubah. Plot khi kuadrat akan memeriksa apakah statistik mengikuti sebaran khi kuadrat, yaitu dengan mengurutkan dari yang terkecil ke yang terbesar kemudian memplotkan dengan Tebaran titik-titik yang membentuk garis lurus menunjukkan kesesuaian pola sebaran terhadap sebaran khi-kuadrat yang berati data berasal dari sebaran normal. Jika asumsi normal ganda tidak terpenuhi maka dapat digunakan analisis diskriminan logistik sebagai solusinya (Cacoullos 1973). Rencher (2002) menyatakan bahwa uji kehomogenan matriks peragam dilakukan menggunakan uji Box’ M, statistik uji yang digunakan:
40
Statistik bernilai antara 0 dan 1, jika nilainya mendekati 0, telah cukup bukti untuk menolak Ho pada taraf atau berarti ada matriks peragam populasi normal ganda yang berbeda sedangkan jika nilainya mendekati 1 berarti belum cukup bukti untuk menolak Ho pada taraf . Sebaran statistik uji dapat di dekati dengan sebaran tahapan pengujiannya (Rencher 2002) adalah: menghitung, dan , serta
,
, Jika an
mendekati sebardan
Jika mendekati sebaran kasus tersebut, tolak
. Untuk kedua jika
.
Jika asumsi kehomogenan matriks peragam yang tidak terpenuhi maka analisis yang dapat digunakan adalah analisis diskriminan kuadratik (Gnanadesikan, R. 1977). Pembentukan Fungsi Diskriminan Fungsi diskriminan, menurut Johnson dan Winchern (1998) misalkan terdapat kelompok populasi dengan masing-masing ukuran contoh , , vektor peubah acak populasi ke- adalah ,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Analisis Diskriminan dalam Pembentukan Model Klasifikasi, Mariana
dan baris ke- adalah vektor rataan populasi ke- dapat dinyatakan sebagai berikut:
dan vektor rataan populasi
Misalkan matriks peragam antar kelompok, matriks peragam dalam kelompok, dengan matriks keragaman total . Fungsi diskriminan disusun dengan memaksimalkan rasio antara ragam antarkelompok dengan ragam antar kelompok. Jika fungsi diskriminan dinyatakan dengan yang ingin dicari
sehingga
maksimum. Nilai
yang maksimum merupakan akar ciri terbesar dari matriks dan merupakan vektor ciri yang sepadan (Sharma, 1996). Peranan relatif suatu fungsi diskriminan ke- dalam memisahkan anggota-anggota kelompok diukur dari persentase relatif akar ciri yang berhubungan dengan fungsi diskriminan berikut: dengan
.
Semua fungsi diskriminan yang terbentuk perlu diuji untuk mengetahui banyaknya fungsi yang dapat menjelaskan perbedaan peubah-peubah penjelas di antara g kelompok (Dillon & Goldstein 1984). Adapun pengujian fungsi diskriminan dapat dilakukan dengan menggunakan statistik V-Barlett melalui pendekatan khi-kuadrat, sebagai berikut:
Bila artinya fungsi diskriminan ke- masih diperlukan untuk menerangkan perbedaan -peubah diantara -kelompok. Kriteria masuknya individu ke dalam kelompok ke- (Gaspersz 1992) bila:
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Dari analisis diskriminan ini dapat pula digunakan untuk mencari peubah-peubah asal yang dianggap dominan untuk digunakan dalam membedakan antar kelompok. merupakan tes statistik untuk mengukur kekuatan dari pengklasifikasian fungsi diskriminan (Hair et al. 1995), statistik dihitung dengan :
dengan :
= Jumlah contoh total = Jumlah klasifikasi yang
benar = Jumlah grup/kelompok Statistik kemudian dibandingkan dengan nilai kritis (nilai khi-kuadrat untuk derajat bebas 1 pada taraf tertentu). Jika statistik lebih besar dari nilai kritis berarti persentase hasil klasifikasi yang dihasilkan memiliki kekuatan dalam mengklasifikasikan objek. Studi Kasus Analisis Diskriminan Suatu penelitian ingin mengetahui karakteristik sosial demografi yang dapat membedakan antarkelompok anak berdasarkan level kenakalannya di Panti Handayani dan Panti Harapan dan ingin mengetahui karakteristik social dan demografi anak nakal tersebut berdasarkan jenis kenakalan yang dilakukan oleh anak yang dibina di Panti Handayani dan Panti Harapan, analisis yang digunakan dalam penelitian tersebut analisis diskriminan. Variabel Independen yang digunakan: X1 = Kenakalan X2 = Nilai Tes IQ X3 = Kecerdasan Emosional X4 = Perilaku sebelum masuk panti X5 = Keharmonisan keluarga X6 = Pendidikan anak X7 = Rata-rata lama bermain X8 = Umur anak
41
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 39-46
X9 = Jumlah Anggota keluarga X10 = Jumlah Bersaudara kandung X11 = Pendidikan pengasuh
3.
Lalu dalam kotak kecil, bagian minimum diisi dengan kode terkecil danmaximum diisi dengan kode terbesar dari variabel respon, pada contoh kasus disini,masukkan angka “1” untuk minimum dan “2” untuk maximum. Kemudian klik Continue.
4.
Kembali ke kotak dialog Discriminant Analysis, lalu dalam Independents diisi dengan variabel penjelas. Metode yang sering dipaparkan dalam literatur-literatur metode bertatar (stepwise), kali ini hanya akan diberi contoh penggunaan metode ini. Contoh kasus di sini, variabel independents variabel yang tersisa tadi. Kemudian pindahkan variable yang tersisa ke dalam Independents.lalu, pilih dan klik Statistics.
5.
Di kotak kecil, centangkan kotak means, univariate ANOVA’s, Box’s M, serta Unstandardized. Lalu, Continue.
Variabel Dependen (Y) = Tingkat kenakalan (Nakal menengah Ke atas dan Nakal Ringan) Langkah-langkah dalam analisis diskriminan 1.
2.
42
Masukkan data yang akan diolah seperti dalam gambar berikut:
Di menu Analyze, pilih submenu Classsify, lalu pilih Discriminant. Dalam kotak dialog Discriminant Analysis, pindahkan Nakal_Rev2 ke dalam Grouping Variable, lalu klik Define Range.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Analisis Diskriminan dalam Pembentukan Model Klasifikasi, Mariana
6.
Kembali ke kotak dialog Discriminant Analysis, lalu pada Classification, lalu diberi tanda cek di All group equal, Casewise result, Summary table, dan Within-groups. Lalu, klik Continue.
Interpretasi Hasil Analisis Diskriminan 1.
Uji Asumsi Analisis Diskriminan a. Uji Kesamaan matriks ragam-peragam antar kelompok Pada kasus ini, kita menguji asumsi kesamaan matrik ragam-peragam antara kelompok nakal menengah ke atas dan nakal ringan digunakan statistic uji Box’s M.
Dengan tingkat kepercayaan 95%, kelompok-1 dan kelompok-2 memiliki matriks ragam-peragam yang sama dilihat nilai sig 0.46 yang lebih besar dari 0.05(alpha). Asumsi semua kelompok memiliki matrik ragam-peragam yang sama terpenuhi. Selain itu, kesimpulan dapat diambil dengan melihat nilai log determinan dari tiap-tiap kelompok pada tabel log determinants. Nilai log determinan kelompok menengah ke atas = 13.103 dan kelompok ringan = 12.132. Hasil keduanya relative sama, yang mengindikasikan ragam-peragam untuk tiap kelompok sama. Perbedaan rata-rata antar kelompok Untuk uji perbedaan rata-rata antar kelompok menggunakan uji wilks lambda.
Dengan melihat nilai signifikansi yang lebih kecil dari alpha (0.05), sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan rata-rata antara kelompok 1 dan kelompok 2 dengan asumsi perbedaan Rata-rata antar kelompok terpenuhi. Selain itu, juga dapat dilihat dari hasil
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
43
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 39-46
table Test of Equality of Group Means mengenai perbedaan signifikan antarkelompok dalam setiap peubah bebas.
Dari hasil Tabel Test Of Equality Of Group Means kita dapat mengetahui hal sebagai berikut. 1.
2.
3.
4.
Karakteristik IQ, Kecerdasan Emosional, Sikap, Keharmonisan Keluarga, Lama SekolahAnak, Lama waktu bermain, dan Umur memiliki P-value < 0,05 berarti kategori anak nakal ringan berbeda signifikan dengan anak nakal menengah ke atas. Terdapat 7 peubah yang signifikan berbeda antar kelompok. Dalam pengolahan SPSS nilai jumlah peubah p, dari hasil output ini terdapat 70% dari p yang berbeda signifikan. Karena ≥ 50% p, analisis diskriminan dapat dilakukan. Asumsi perbedaan rata-rata antar kelompok telah terpenuhi karena lebih dari 50 persen dari total peubah yang dianalisis telah signifikan berbeda antar kelompok. Tiga peubah yang tidak signifikan yaitu jumlah anggota rumah tangga, jumlah saudara kandung, dan lama sekolah pengasuh. Ketiga peubah yang tidak lolos akan dikeluarkan dari daftar peubah yang akan disertakan pada analisis diskriminan.
Stepwise statistics
Berdasarkan hasil dari proses stepwise method dengan iterasi sebanyak empat kali didapatkan empat peubah yang signifikan membedakan kelompok nakal menengah ke atas dan nakal ringan karena nilai signifikansinya yang lebih kecil dari 0,05. Dengan tingkat residual error yang semakin kecil yang dinyatakan oleh Wilk’s Lambda mulai dari level 0,414 dan terus berkurang hingga mencapai 0,270 setelah keempat peubah tersebut terpilih untuk dimasukkan ke dalam fungsi diskriminan. Hal ini berarti kemampuan diskriminasi dari fungsi yang dihasilkan semakin meningkat. Simpulan Canonical Discriminant Nilai akar ciri (eigen value) menunjukkan ada atau tidaknya multikolinearitas antar peubah bebas. Multikolinearitas akan terjadi bila nilai akar ciri (eigen value) mendekati 0 (nol). Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan nilai akar ciri yang menjauhi nol, yaitu sebesar 2,709. Keadaan ini dapat diartikan bahwa fungsi diskriminan yang diperoleh cukup baik karena tidak terjadi multikolinearitas di antara sesama peubah bebasnya.
Analisis Hasil Analisis Diskriminan
44
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Analisis Diskriminan dalam Pembentukan Model Klasifikasi, Mariana
Di tabel Eigen Value terdapat nilai canonical correlation. Canonical correlation digunakan untuk mengukur derajat hubunggan antara besarnya variabilitas yang mampu diterangkan oleh variabel independen terhadap variabel dependen. Dari tabel tersebut, diperoleh nilai canonical correlation sebesar 0,855, bila dikuadratkan menjadi (0,855x0,855)=0,7310; artinya 73,10% varians dari variabel dependen dapat dijelaskan dari model diskriminan yang terbentuk. Fungsi Koefisien Diskriminan
Group Centroid merupakan rata-rata nilai diskriminan dari tiap-tiap observasi di dalam masing-masing kelompok. Group Centroid untuk kelompok nakal menengah ke atas sebesar -1,161, sedangkan untuk kelompok nakal ringan adalah sebesar 2,285. Ini berarti bahwa secara rata-rata skor diskriminan kedua kelompok berbeda cukup besar sehingga fungsi diskriminan yang diperoleh dapat membedakan secara baik kelompok yang ada. Classification results
Tabel canonical discriminant function coefficients menerangkan model diskriminan yang terbentuk yaitu: Y = -10,467 + 0,072IQ + 0,168Emosi + 0,076Perilaku + 0,047Harmonis. Function at Group Centroid
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Tabel ini menggambar-kan crosstabulasi antara model awal dengan pengklasifikasian model diskriminan. Terlihat ada 4 responden yang salah klasifikasi, yaitu 3 responden yang awalnya ada pada kelompok kenakalan menengah keatas kemudian diprediksi masuk dalam kelompok kenakalan ringan dan 1 responden yang awalnya ada dalam kelompok kenakalan ringan kemudian diprediksi masuk dalam kelompok kenakalan menengah ke atas. Secara keseluruhan model diskriminan yang terbentuk memiliki tingkat validasi yang
45
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 39-46
cukup tinggi yaitu 95,8%. Hasil survei menunjukkan hasil Keakuratan model keakuratan model diskriminan yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Rencher AC. 2002. Methods of Multivariate Analysis. New York: Wiley. Sharma S. 1996. Applied Multivariate Techniques. New York. John Wiley & Sons. Snow RE. 1986. Individual Differences and
the Design Of Educational Programs in Journal Of Psychology. Subiyanto. 1988. Evaluasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Depdiknas.
Cacoullos T. 1973. Discriminant Analysis and Applications. New York and London: Academic Press. Dillon W, Goldstein M. 1984. Multivariate Analysis. New York: Wiley. Garson. 2010. Logistic Regression: Statnotes. North Carolina State University. http://faculty.chass.ncsu.edu/garson/PA765/ Logistic.htm/ [31 Januari 2012].
Gaspersz V. 1992. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Ed ke-1. Tarsito Bandung. Ghozali. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate dengan program SPSS. Universitas Diponegoro. Gnanadesikan R. 1977. Methods for Statis-
tical Data Analysis of Multivariate Observations. New York: John Wiley & Sons. JF, Anderson RE, Tatham RL, Black WC. 1995. Multivariate Data Analysis with Readings. New Jersey: PrenticeHall. Hosmer DW, Lemeshow S. 2000. Applied Logistic Regression. New York: John Wiley & Sons. Johnson RA, Wichern DW. 1998. Applied Multivariate Statistical Analysis Ed ke4. New Jersey: Hall. Morrison DF. 1990. Multivariate Statistical Methods Ed ke-3. McGraw-Hill Publishing Company. Purnomo H. 2003. Metode Klasifikasi Menggunakan Fungsi Diskriminan. [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Hair
46
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Eksistensi Penciptaan Manusia, La Rajab
EKSISTENSI PENCIPTAAN MANUSIA PERSPEKTIF MANAJEMEN ISLAM La Rajab Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon
[email protected]
Abstrak: Man is created by God Swt from black having colour dry soil, given form. From sentences about creation case process of man, found that from initial process of creation, man came from black soil, land, ground again drought, then proceeded so that is formed man. From creation process of man which so after length, inferential that the thing is planning and its the program God Swt as The Most Planner to its the creature, if do not that way, why God Swt as The Most Creator must do process in creating man, though if God Swt wanted only by telling "kun fayakun". This gives Iesson to man creature that in doing activity all day long his(its must have in heart matured, that what planned, programmed able to succeed for the shake of goodness people, area, especially to his self. Purpose of creates of man on this earth none other than just for curtseying t, The Creator Of Allah Swt. at the same time existence of man to look after and enrichs earth.. Keyword: Penciptaan Manusia, Manajemen Islam. Pendahuluan Manusia salah satu makhluk Tuhan yang sempurna dibanding dengan makhluk Tuhan lainnya.1 Namun, di mana kesempurnaan tersebut dimiliki manusia. Berbicara tentang kesempurnaan manusia sebagai makhluk, tergambar makna kata sempurna: (1) sempurna akalnya, (2) sempurna akhlak budi pekertinya, dan (3) sempurna iman dan ketaqwaannya/ ketaatannya kepada Sang Pencipta.2 Apabila salah satu dari kesatuan tiga unsur tersebut tidak terpenuhi, manusia belum bisa dikatakan sebagai makhluk yang sempurna. Misalnya, manusia memiliki akal sempurna, dengan ke1 Baca QS. At- Tiin (95): 4 yang terjemahnya: ‚Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (sempurna)‛. 2 Lily Agustina, Manusia dan Alam; Satu Kesatuan Sistem Kesetimbangan (Laboratorium Ekologi; Fakultas Pertanian; Malang: Universitas Brawijaya. 1999), h. 2.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
sempurnaan akalnya, ia mampu menyetuskan segudang ilmu-ilmu mutakhir. Namun ia tidak memiliki budi pekerti yang baik sehingga apa yang dihasilkannya dapat merugikan orang lain, bahkan dirinya sendiri. Di sisi lain manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, makhluk berbudaya, dan mahkluk yang hidup dengan nilai-nilai etika. Namun, benarkah demikian? Bila manusia benar makhluk sosial, makhluk yang berbudaya dan makhluk yang hidup dalam tataran nilai-nilai norma dan etika, berarti terjalin satu tali kasih antara sesama makhluk dan tali kasih antara makhluk dalam arti khusus, antara manusia dengan Khalik-nya (habl min Allah) atau tali kasih antara manusia dengan alam sekitarnya (habl min an-nâs)3, sebab alam pun merupakan jenis 3 Lihat QS. Al-Imran (3): 112 yang terjemahnya: ‚Mereka diliputi kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang pada tali Allah dan tali perjanjian dengan manusia.
47
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 47-54
makhluk yang diciptakan-Nya untuk diatur dan dikelola oleh manusia sebagai sarana untuk keberlangsungan hidupnya. Tuhan menyerahkan alam ini kepada manusia untuk dimanaj, ditata, dikelola dan dijaga dengan baik, karena manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna. Manusia dan alam merupakan satu kesatuan dalam sistem yang tidak bisa untuk dipisahkan, yang semuanya dapat dikembalikan kepada Subjek yang menghendakinya, yang mengatur dan yang merencanakannya. Berdasarkan latar belakang tersebut, beberapa hal yang dibahas dalam tulisan ini, yaitu: (1) proses penciptaan manusia sebagai makhluk yang sempurna, (2) tinjauan AlQur’an tentang rencana dan tahapan penciptaan manusia, dan (3) Hal-hal yang harus diperbuat manusia sebagai makhluk paling sempurna di bumi ini.
bertentangan. Ketiga, untuk mencapai efisiensi dan efektifitas.4 Banyak kalangan masyarakat beranggapan bahwa manajemen berasal dari Barat saja dan Islam sama sekali tidak memiliki konsep tentang manajemen. Anggapan semacam ini tidak tepat. Ilmu manajemen walaupun kemunculannya dipelopori oleh W. Taylor dari Amerika dan Henry Fayol dari Perancis di paruh abad ke-19, tetapi sejak empat belas abad yang lalu Al-Qur’an telah memerkenalkan prinsip-prinsip manajemen meski menggunakan istilah-istilah lain. Misalnya dalam surat al-Baqarah/2:30 tentang proses penciptaan manusia pertama Nabi Adam as. yakni:
Manajemen dalam Islam
Terjemahnya:
Ajaran Islam senantiasa menyesuailan diri pada platform dinamis dalam masyarakat dan perkembangan zaman sebagai sunnatullah. Kondisi yang dinamis dalam upaya mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam, memerlukan sarana yang memadai. Sarana tersebut ilmu pengetahuan yang disebut dengan ilmu modern. Organisasi atau badan usaha dalam mengelola masyarakat diperlukan disiplin ilmu manajemen sebagai ilmu yang muncul sekitar pertengahan abad ke-19. Kini ilmu tersebut semakin populer dan dianggap sebagai kunci keberhasilan pengelolaan masyarakat atau organisasi ataupun badan usaha. Sebagian masyarakat menganggap manajemen sebagai ciri dari bentuk masyarakat modern, karena manajemenlah masyarakat dapat berkembang. Mengapa manajemen sangat diperlukan? Hani Handoko menyatakan tiga alasan utama manajemen dibutuhkan. Pertama, untuk mencapai tujuan, baik tujuan individu maupun tujuan organisasi. Kedua, untuk menjaga keseimbangan diantara tujuan-tujuan yang saling
48
ِ ِ اعل ِِف ْاْلَر ِ ِ ِِ ِ ِ ِ َ ُّال رب ََت َع ُل َْ ض َخلي َفةً قَالُوا أ ْ َ َ ََوإ ْذ ق ٌ ك ل ْل َم ََلئ َكة إ ّّن َج ِ ِ ِ ِ ِ فِيها من ي ْف ِسد فِيها ويس ِف س ُ ْ ََ َ ُ ُ ْ َ َ ُ ك ال ّد َماءَ َوََْن ُن نُ َسبّ ُح ِبَ ْمد َك َونُ َق ّد ال إِِّّن أ َْعلَ ُم َما ََل تَ ْعلَ ُمو َن َ َك ق َ َل
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui‛.5 Firman Allah dalam QS. Surat al-Hasyr ayat 18 menyatakan:
ِ َّ ت لِغَ ٍد َواتَّ ُقوا َّ ين آَ َمنُوا اتَّ ُقوا ْ َّم َ س َما قَد َ ََي أَيُّ َها الذ ٌ اَّللَ َولْتَ ْنظُْر نَ ْف اَّللَ َخبِريٌ ِِبَا تَ ْع َملُو َن َّ اَّللَ إِ َّن َّ
Terjemahnya:
4 T. Hani Handoko, Manajemen Edisi Kedua (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2001), h. 6-7. 5 Yayasan Al-Sofwa, Al-Qur’an dan Terjemah (Cimanggis-Depok: Sabiq, 2009), h. 6.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Eksistensi Penciptaan Manusia, La Rajab
‚Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesung-guhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan‛.6 Kedua ayat tersebut mewakili ayat-ayat lain dalam Al-Qur’an yang membicarakan arti penting manajemen dalam kehidupan manusia, khususnya membicarakan salah satu fungsi manajemen, perencanaan (planning). Manajemen sebagai suatu disiplin ilmu dalam pelaksanaannya menempati posisi strategis dalam pembangunan ekonomi dan sosial. Manajemen haruslah menjadi dasar rekayasa sosial dan negara, karena untuk menyiptakan suatu pemerintahan yang bersih dan efisien diperlukan manajemen dan perencanaan yang baik. Di dalam manajemen, secara umum dikenal empat unsur utama yakni perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) dan pengawasan (controlling). Makalah ini membahas sekitar aspek perencanaan sebagai salah satu unsur manajemen ditinjau dari perspektif manajemen pendidikan Islam. Pengertian Perencanaan (Planning) Perencanaan merupakan fungsi pertama atau proses mendasar dalam manajemen yang merupakan proses sistematik dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan dilaksanakan. Dikatakan sistematik karena perencanaan itu dilakukan dengan melibatkan berbagai komponen di dalam pengambilan keputusan dengan menggunakan pengetahuan dan teknik-teknik ilmiah. Friedman sebagaimana dikutip Koswara dan Nuryantini mengemukakan, ‚Planning is a process by which a scientific and technical knowledge is joined to organized action‛ (pe6
Yayasan Al-Sofwa, Al-Qur’an dan Terjemah, h.
548.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
rencanaan adalah proses penggabungan pengetahuan dan teknik ilmiah ke dalam kegiatan yang terorganisir).7 Fungsi perencanaan menyusun rangkaian kegiatan agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan tersebut mencakup tujuan umum dan tujuan khusus. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dan mendasar untuk memertimbangkan berbagai sumber yang tersedia atau sumber yang dapat disediakan. Merencanakan berarti mengupayakan penggunaan sumber daya manusia (human resources) dan sumber daya lainnya (other resources) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan perencanaan yang matang penyimpangan akan dapat dihindari. Berdasarkan penjelasan tersebut, perencanaan minimal memiliki tiga karakteristik yakni: (1) perencanaan harus berkaitan dengan masa yang akan datang, (2) perencanaan harus berkaitan dengan tindakan, dan (3) terdapat suatu elemen identifikasi pribadi atau organisasi yaitu serangkaian tindakan di masa akan datang yang akan diambil oleh perencana atau seseorang yang dipercayakan padanya dalam sebuah organisasi.8 Menurut Ula, planning dalam pelaksanaannya memerlukan pemikiran tentang segala hal yang akan dikerjakan, seperti mengapa, bagaimana, kapan, dan di mana suatu kegiatan itu akan dilaksanakan serta siapa saja yang terlibat dan bertanggung jawab terhadap pekerjaan tersebut.9 Dengan istilah lain, perencanaan dirumuskan untuk menjawab lima ‘w’ dan satu ‘h’ yakni what, when, where, who, why dan how. Misalnya, dalam sejarah bahwa kesuksesan Nabi Muhammad Saw berhijrah ke Yastrib (Madinah) karena beliau melakukan 7
H.S. Koswara dan Ade Yeti Nuryantini, Manajemen Lembaga Pendidikan (Cet. I; Bandung: Patragading, 2002), h. 40. 8 Lihat Bedjo Siswanto, Manajemen Modern; Konsep dan Aplikasi (Cet. I; Bandung: Sinar Baru, 1990), h. 52. 9 S. Shoimatul Ula, Buku Pintar Teori-Teori Manajemen Pendidikan Islam Efektif (Cet. I; Yogyakarta: Berlian, 2013), h. 15.
49
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 47-54
perencanaan lebih awal dengan waktu dan tempat yang tepat.10 Sebelum memutuskan keputusan untuk berhijrah, beliau melakukan penyelidikan terlebih dahulu ke negeri Taif. Apakah Taif dapat dijadikan tempat berhijrah atau tidak. Ternyata negeri Taif tidak tepat atau belum siap untuk dijadikan tempat berhijrah sekaligus sebagai pusat operasi dakwah Islam. Beliau menyelidiki tempat alternatif kedua, Kota Yastrib (Madinah). Kota Yastrib siap dan respon masyarakat positif dalam menyambut saudara-saudara Muslim untuk tinggal dan berdakwah mengajarkan Islam. Dari Kota Yastrib pusat kekuasaan Islam pertama dan Islam menyebar ke seantero dunia. Berdasarkan paparan tersebut, tampak proses penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi merupakan rencana Allah Swt. sejak awal yang bertujuan untuk membangun peradaban dan kemakmuran di bumi, karena manusialah makhluk yang diciptakaan dengan kelebihan akal sehingga manusia paling sempurna dibanding dengan makhluk ciptaan-Nya yang lain. Proses Penciptaan Manusia dalam al-Quran Banyak ayat Al-Qur’an menjelaskan kejadian manusia, di antaranya: 1.
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.12 3.
Bani Adam (QS. Al-Isra; 17:70)
ِ ولَ َق ْد َكَّرمنَا ب ِِن آَدم و ََحلْنَاىم ِِف الْب ِر والْبح ِر ورزقْ نَاىم ِمن الطَّيِب ات َّ َ ْ ُ َ َ َ ْ َ َ ّ َ ْ ُ َ َ َ َ َ ْ َ ِ ضلْنَاىم علَى َكثِ ٍري ِِمَّن خلَ ْقنَا تَ ْف ض ًيَل َ ْ ُ َّ ََوف َ ْ
Terjemahnya:
‚Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan13. Beberapa ayat-ayat yang terdapat dalam al-Quran yang menerangkan tentang kejadian manusia, antara lain sebagai berikut: a.
QS. Ali Imran (3): 59
ِ ان ِح ِْ َىل أَتَى َعلَى َّى ِر ََلْ يَ ُك ْن َشْي ئًا َم ْذ ُك ًورا ٌ ِ اْلنْ َس ْ ني م َن الد ْ
ِ ِ ٍ اَّللِ َكمثَ ِل آَ َدم َخلَ َقوُ ِمن تُر ِ ال لَوُ ُك ْن َ َاب ُُثَّ ق َ َ َّ إ َّن َمثَ َل عي َسى عْن َد َ ْ فَيَ ُكو ُن
‚Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?‛11
Terjemahnya: Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, seperti (penciptaan) Adam. Allah menyiptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), jadilah Dia.14
Basyar ( QS. al-Hijr; 15: 28)
10
Baca Mochtar Effendy, Manajemen; Suatu Pendekatan Berdasarkan Ajaran Islam (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1986), h. 75. 11 Yayasan Al-Sofwa, al-Qur’an dan Terjemah, h. 578.
50
Terjemahnya:
Insan (QS. Al-Insan; 76: 1)
Terjemahnya:
2.
ٍ ُك لِْلم ََلئِ َك ِة إِِّن خالِق ب َشرا ِمن صلْص ٍال ِمن ََحٍإ مسن ون َ َق َْ َ ْ َ َ ْ ً َ ٌ َ ّ َ َ ُّال َرب
263. 289.
12
Yayasan Al-Sofwa, al-Qur’an dan Terjemah, h.
13
Yayasan Al-Sofwa, al-Qur’an dan Terjemah, h.
14
Yayasan Al-Sofwa, al-Qur’an dan Terjemah, h.
57.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Eksistensi Penciptaan Manusia, La Rajab
b.
QS. Al-Mu’minun (23):12-14
ٍ اْلنْسا َن ِم ْن ُس ََللٍَة ِم ْن ِط ِ ً) ُُثَّ َج َعلْنَاهُ نُطْ َفة21( ني َ ْ َولَ َق ْد َخلَ ْقنَا ٍ ِِف قَرا ٍر َم ِك ًضغَة ْ ) ُُثَّ َخلَ ْقنَا النُّطْ َفةَ َعلَ َقةً فَ َخلَ ْقنَا الْ َعلَ َقةَ ُم21( ني َ ضغَةَ عِظَ ًاما فَ َك َس ْو ََن الْعِظَ َام ََلْ ًما ُُثَّ أَنْ َشأْ ََنهُ َخ ْل ًقا م ل ا ا ن ْ ْ ُ َفَ َخلَ ْق ِِ ْ اَّلل أَحسن )21( ني َ اْلَالق ُ َ ْ َُّ آَ َخَر فَتَ بَ َارَك
yang memulai penciptaan manusia dari tanah. kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.17
Terjemahnya:
e.
Dan sesungguhnya Kami telah menyiptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik15. c.
QS. Al-Hijr (15): 29
ِِ ِ ِ ِ ِ س َّوي تو ونَ َفخ ين ُ ْ َ ُ ُْ َ َ ت فيو م ْن ُروحي فَ َق ُعوا لَوُ َساجد
Terjemahnya:
‚Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.16 d.
QS. As-Sajdah (32): 7-9
ٍ ِ ِ اْلنْس ٍ ان ِم ْن ِط ِ َّ) ُُث7( ني ْ الَّذي أ َ ْ َح َس َن ُك َّل َش ْيء َخلَ َقوُ َوبَ َدأَ َخ ْل َق ٍ َج َعل نَسلَوُ ِم ْن ُس ََللٍَة ِم ْن َم ٍاء َم ِه ) ُُثَّ َس َّواهُ َونَ َف َخ فِ ِيو ِم ْن8( ني ْ َ ِ ِ ِر )9( ص َار َو ْاْلَفْئ َدةَ قَل ًيَل َما تَ ْش ُكُرو َن َّ وح ِو َو َج َع َل لَ ُك ُم َ ْالس ْم َع َو ْاْلَب ُ Terjemahnya: ‚Dia yang telah membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan 15
Terjemahnya:
‚Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah". Apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Ku-tiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya".18 Berdasarkan keterangan tersebut, manusia terdiri dari dua unsur pokok, gumpalan tanah (jasad) dan hembusan roh. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dilepaspisahkan. Menurut umat Kristiani yang dikutip oleh Faridi, terutama dalam Kitab Kejadian dinyatakan, sewaktu Tuhan menjadikan bumi dan langit belum ada semak-semak, belum ada tumbuh-tumbuhan dan belum ada padang rumput, sebab Tuhan belum menurunkan hujan ke bumi dan belum ada orang untuk mengurus bumi, tetapi ada kabut ke atas dari bumi dan membasahi seluruh permukaan bumi, saat itulah Tuhan membentuk/menciptakan manusia dari debu dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya.19 Berdasarkan kajian ayat-ayat tersebut, susunan redaksi dalam ayat-ayat yang berkaitan manusia lebih banyak menggunakan kata 17
16
Yayasan Al-Sofwa, al-Qur’an dan Terjemah, h.
263.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Yayasan Al-Sofwa, al-Qur’an dan Terjemah,
h.. 415.
18
Yayasan Al-Sofwa, al-Qur’an dan Terjemah, h.
342.
QS. Shaad (38): 71-72.
ٍ ك لِْلم ََلئِ َك ِة إِِّّن َخالِ ٌق بَ َشرا ِم ْن ِط َ َإِ ْذ ق ُ) فَِإذَا َس َّويْتُو72( ني َ َ ُّال َرب ً ِِ ِ ِ ِ ِ ونَ َفخ 71( ين ُ ْ َ َ ت فيو م ْن ُروحي فَ َقعُوا لَوُ َساجد
457.
Yayasan Al-Sofwa, al-Qur’an dan Terjemah, h.
19
Faridi. Manusia dan Agama (Cet. I; Malang: Universitas Muhammadiayah Malang 2001), h. 3.
51
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 47-54
khalaqa dibanding kata ja’ala. Ini memiliki makna sendiri dalam konteks pembicaran penyiptaan manusia. Kata khalaqa digunakan dalam pengertian ‚ibda al-syai’ min gairi ashl wa al-ihtida‛, yang bermakna bahwa penciptaan sesuatu tanpa asal/pangkal dan tanpa contoh terlebih dahulu. Sama dengan ayat-ayat yang berbicara tentang penciptaan alam raya ini, dapat juga berarti ‚i-jaad al-syai’ min alsyai‛, yakni menciptakan sesuatu dari sesuatu, seperti penciptaan manusia dari turab (tanah) min sulalah min thin atau dari saripati yang berasal dari tanah, dari nutfah dan sebagainya. Sedangkan kata ja’ala yang biasanya diartikan dengan makna ‚menjadikan‛, merupakan lafad yang umum yang berkaitan dengan segala aktivitas dan perbuatan-perbuatan, dan ia lebih umum dari kata ‚fa’ala‛ (membuat/berbuat) atau ‚shana’a‛ (membuat/membikin).20 Penggunaan kata ‚khalaqa‛ dengan berbagai macam bentuknya memberi penekanan berbeda dengan kata ‚ja’ala‛. Kata ‚khalaqa‛ dititikberatkan pada kehebatan dan kebesaran dan keagungan Allah Swt. dalam ciptaan-Nya. Kata ‚ja’ala‛ ditekankan pada manfaat yang harus atau dapat diperoleh dari sesuatu yang dijadikan tersebut. Penjelasan tersebut mengisyaratkan manusia diciptakan Allah melalui satu proses yang diawali dengan perencanaan. Hal ini dapat diamati dan disimak pada QS. Al-Baqarah: 30. Sebelum Allah Menyiptakan manusia pertama Adam, Allah lebih dulu disampaikannya kepada para mala-ikat, bahwa Dia akan menyiptakan seorang makhluk yang disebut manusia. Namun, perlu ditegaskan, planning Allah itu tidak sama dengan yang direncanakan oleh manusia. Kedudukan Manusia dalam Alam Semesta Alam semesta diciptakan Tuhan bertujuan, di antaranya untuk dimanfaatkan oleh
makhluk manusia sebagai khalifah di bumi, sebagaimana ditegaskan Allah dalam QS. AlAnbiya’/21:16 dan al-Dukhan/44:38:
اُهَا إََِّل ِِب َْلَ ِّق َولَ ِك َّن أَ ْكثَ َرُى ْم ََل يَ ْعلَ ُمو َن ُ ََوَما َخلَ ْقن
Terjemahnya:
‚Dan tidaklah Kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main‛.21 Maksud ayat tersebut, Allah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya itu dengan tujuan sebagai hikmat untuk kemaslahatan manusia. Ayat lain menegaskan:
ِ َّ ي ْذ ُكرو َن ودا َو َعلَى ُجنُوِبِِ ْم َويَتَ َف َّكُرو َن ِِف َخ ْل ِق ً اَّللَ قيَ ًاما َوقُ ُع ُ َ ِ ِ ِ ك فَِقنَا ن ا ح ب س َل ط ِب ا ذ ى ت ق ل خ ا م ا ن ب ر ض َر اْل و ات او ْ َ َ َّ َ َ َ ْ ُ ً َ َ َ ْ َ َ َََّ ْ َ َ الس َم اب النَّا ِر َ َع َذ Terjemahnya: ‚(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, peliharalah Kami dari siksa neraka.22 Manusia yang merupakan bagian dari alam raya ini diciptakan dengan suatu tujuan tertentu sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Zariyat/51:56, yang terjemahnya: ‚Aku tidak menyiptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku‛. Ibadah yang merupakan kata serapan langsung dari kata al-‘ibâdah memiliki arti sama dengan kata al-‘ubudiyyah dan al-sujud, 21
20
Baca Muhaimin, et.al. Paradigma Pendidikan
Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Cet. I; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h. 4.
52
Departemen Agama RI, Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1996), h. 258. 22 Departemen Agama RI, Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya, h. 59.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Eksistensi Penciptaan Manusia, La Rajab
yaitu menundukkan atau merendahkan diri. Ibadah digunakan untuk menekankan makna sehingga memiliki arti yang lebih. Allah yang berhak untuk menerima ibadah hanyalah Allah swt.. Orang yang melakukan aktivitas ibadah disebut ‘abd, hamba23. Berdasarkan penjelasan surat al-Dzariyat ayat 56 dan pengertian ibadah, kedudukan manusia dalam sistem penciptaannya sebagai hamba Allah swt. Yang kedudukan tersebut berhubungan dengan peranan ideal. Pola perilaku yang di dalamnya terkandung hak dan kewajiban manusia yang terkait dengan kedudukannya di hadapan Allah Swt sebagai Maha Pencipta terhadap segala sesuatu, dalam hal ini peranan ideal manusia melakukan ibadah kepada-Nya. Menurut Sayyid Qut{b, pada dasarnya hakekat ibadah itu terbagi dua, yakni: (1) tertanamnya makna al-‘ubudiyyah li Allah (menundukkan dan merendahkan diri kepada Allah) di dalam jiwa. Manusia senantiasa menginsyafi prinsip bahwa di alam wujud ini hanya ada ‘abid dan ma’bud, yaitu satu Tuhan yang kepada-Nya hamba beribadah dan selain dari itu hamba yang harus beribadah kepada Allah swt. dan (2) berorientasi kepada Allah swt. dalam segala aktivitas kehidupan.24 Berdasarkan hakekat tersebut, ibadah benar-benar menyangkut masalah nilai rohani, yang merupakan hubungan tujuan atau orientasi yang terwujud dalam bentuk niat. Ada pendapat yang mengemuka bahwa ibadah dalam konsep Islam bukan isolasi diri secara total dari aktivitas duniawi. Pendapat ini dimotivasi oleh keinginan untuk membuat pengertian ibadah yang menyangkut banyak aktivitas, tidak terbatas pada aktivitas ritual, atau supaya orang Muslim bisa aktif dalam berbagai lapangan kehidupan. Ibadah bukan hanya salat, zakat, puasa dan menunaikan 23 Hery Noer Aly. Ilmu Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Logos Wanana Ilmu, 1999), h. 59. 24 Sayyid Quthb. Fi Zhilal al-Quran. Jilid VI, Juz 27 (Beirut: Dar al-Syuruq, 1975), h. 3378.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
ibadah haji, tetapi juga menuntut ilmu, berdagang, mencari nafkah dan sebagainya. Analisis Beribadah kepada Tuhan dan menjalankan tugas-tugas kekhalifahan di muka bumi bukan semata-mata tujuan hidup manusia, melainkan tujuan Tuhan menyiptakan manusia; tujuan tersebut datang dari-Nya. Pertanyaan, apa tujuan manusia menjalankan segala peranannya di dunia? Tujuan hidup manusia diciptakan di alam raya ini untuk menyembah Tuhan. Manusia makhluk Tuhan dan milik-Nya. Manusia hakekatnya tidak memiliki kehendak selain mengikuti apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Inilah yang dimaksudkan manusia itu sebelum diciptakan telah dimanaj, diprogramkan dan rencanakan oleh Tuhan. Manusia juga diprogramkan dan direncanakan untuk menjaga dan memakmurkan bumi selaku khalifah di bumi ciptaan-Nya. Tuhan telah menyiptakan pada diri manusia itu satu kebebasan dasar, yakni kebebasan untuk memilih, kebebasan yang didasarkan atas sifat asasi manusia. Kebebasan inilah yang membuat manusia untuk memilih, mau mengikuti kehendak Tuhan atau mendurhakaiNya, sebagaimana dijelaskan dalam QS. AlKahfi; (18): 29.
ِ ِ ِ ْ وقُ ِل َ َاَلَ ُّق م ْن َربّ ُك ْم فَ َم ْن َشاءَ فَ ْليُ ْؤم ْن َوَم ْن َشاء
Terjemahnya:
‚Katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, barang siapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin kafir biarlah kafir‛. Ayat tersebut di sisi lain menunjukkan pilihan untuk mendurhakai kehendak Tuhan merupakan pilihan untuk menganiaya diri sendiri. Jika manusia tidak memiliki alternatif, selain menuruti kehendak Tuhan, manusia mesti melaksanakan segala aktivitas sesuai kehendak Sang Perencana, Tuhan. Manusia yang
53
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 47-54
melaksanakan kehendak-Nya akan mendapat rahmat dan rida-Nya, sementara yang mendurhakainya akan memeroleh kemurkaan dariNya. Begitu pula, dengan manusia yang melakukan perencanaan terhadap sesuatu, harus melaksanakan apa yang dikehendaki itu sesuai dengan rencana. Namun, planning yang dibuat manusia bersifat sementara, tidak mesti terjadi seperti apa yang direncanakan, karena dibalik rencana yang dibuat itu, ada satu kekuatan yang paling menentukannya, Kekuatan dan Kekuasaan Tuhan. Simpulan 1.
2.
3.
Al-Qur’an telah menjelaskan, manusia diciptakan dari tanah yang kering yang berwarna hitam, kemudian diberi bentuk. Proses awal penciptaan, manusia berasal dari tanah yang hitam lagi kering (Adam), kemudian dari tanah itu manusia mengalami proses panjang dan dari proses yang panjang itulah terbentuk manusia sebagai yang disaksikan sekarang ini. Proses penyiptaan manusia yang panjang merupakan planning dan programnya Tuhan. Hal ini mengindikasikan, manusia dalam melakukan aktivitas kesehariannya harus memiliki rencana yang matang agar apa yang direncanakan dan diprogramkan berhasil untuk kemaslahatan manusia. Tujuan penyiptaan manusia untuk menyembah kepada Sang Pencipta sematamata, sekaligus untuk memelihara dan memakmurkan bumi.
um Ekologi; Fakultas Pertanian; Malang: Universitas Brawijaya. 1999. Departemen Agama RI. Al-Qur’an al Karim dan Terjemahnya. Semarang: PT Karya Toha Putra, 1996. Effendy, Mochtar Manajemen; Suatu Pende-
katan
Berdasarkan
Ajaran
Islam.
Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1986. Faridi. Manusia Dan Agama. Cet. I; Malang: Universitas Muhammadiayah Malang, 2001. Handoko, T. Hani. Manajemen Edisi Kedua. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2001. Koswara, H.S. dan Ade Yeti Nuryantini. Manajemen Lembaga Pendidikan. Cet. I; Bandung: Patragading, 2002. Muhaimin, et.al. Paradigma Pendidikan Islam;
Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Cet. I; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001. Sayyid Quthb. Fi Zhilal al-Quran. Jilid VI, Juz 27. Beirut: Dar al-Syuruq, 1975. Siswanto, Bedjo. Manajemen Modern; Konsep dan Aplikasi. Cet. I; Bandung: Sinar Baru, 1990. Ula, S. Shoimatul. Buku Pintar Teori-Teori
Manajemen Pendidikan Islam Efektif.
Cet. I; Yogyakarta: Berlian, 2013. Yayasan Al-Sofwa. al-Qur’an dan Terjemah. Cimanggis-Depok: Sabiq, 2009.
DAFTAR PUSTAKA Aly, Hery Noer. Ilmu Pendidikan Islam, Cet. II; Jakarta: Logos Wanana Ilmu, 1999. Agustina, Lily. Manusia dan Alam; Satu Kesatuan Sistem Kesetimbangan. Laboratori-
54
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pengaruh Model Pembelajaran Inquiri, Surati
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERHADAP PENGUASAAN KONSEP KIMIA DAN SIKAP ILMIAH SISWA SMA NEGERI 11 AMBON Surati Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon
[email protected]
Abstrak: Pembelajaran kimia bisa memberi pengalaman langsung pada siswa, hingga siswa mampu memecahkan masalah, mampu menggunakan konsep-konsep yang dipelajarinya, dan bersikap ilmiah hingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Salah satu model pembelajaran yang dapat mengakomodasi pembelajaran inkuiri. Inkuiri dapat membentuk dan mengembangkan konsep dan sikap ilmiah pada diri siswa, tingkat pengharapan bertambah, menghindari siswa dari cara-cara belajar dengan menghafal, dan memberikan.waktu pada siswa untuk mengasimilasi dan mengakomodasi informasi. Tulisan ini menjelaskan perbedaan konsep kimia dan sikap ilmiah antara siswa yang diajar menggunakan pembelajaran inkuiri dan siswa yang diajar menggunakan pembelajaran konvensional. Variabel terikatnya penguasaan konsep kimia dan sikap ilmiah, variable bebasnyadua model pembelajaran. Instrumen yang digunakan adalah tes pemahaman konsep kimia dan angket. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara model pembelajaran inkuiri dan model pembelajaran konvensiona terhadap pemahaman konsep kimia.. Terbukti hasil uji hipotesis rhitung > r tabel yaitu 5,357 > 2,00 dan nilai rata-rata pemahaman konsep kimia siswa yang belajar melalui model pembelajaran inkuiri 65,01 dan nilai rata-rata pemahaman konsep kimia siswa yang belajar melalui model pembelajaran konvensional 57,04. Ada perbedaan yang signifikan antara model pembelajaran inkuiri dan model pembelajaran konvensional dalam sikap ilmiah. Hal ini terbukti dari hasil uji hipotesis rhitung > r tabel yaitu 2,32 > 0,02. Keywords: Model Pembelajaran Inkuiri, Pemahaman Konsep Kimia, Sikap Ilmiah. Pendahuluan Meningkatkan mutu pembelajaran kimia secara khusus diperlukan perubahan dalam kegiatan proses belajar mengajar. Di masa lalu proses belajar mengajar untuk mata pelajaran kimia kurang fokus pada siswa. Selain fokus kepada siswa tujuan pembelajaran perlu diubah dari sekedar memahami konsep dan prinsip, siswa juga harus memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu dengan menggunakan konsep dan prinsip yang telah dipahami. Materi Pelajaran Kimia di SMA banyak berisi konsep-konsep yang cukup sulit untuk
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
dipahami siswa, karena menyangkut reaksireaksi kimia dan hitungan-hitungan serta menyangkut konsep-konsep yang bersifat abstrak dan dianggap oleh siswa merupakan materi yang relatif baru dan belum pernah diperolehnya ketika di SMP. Proses pembelajaran kimia di beberapa sekolah selama ini terlihat kurang menarik. Siswa pun merasa jenuh dan kurang memiliki minat pada pelajaran kimia, sehingga suasana kelas cenderung pasif. Sedikit siswa yang bertanya kepada guru meskipun materi yang diajarkan belum dapat dipahami. Pembelajaran seperti ini mereka akan merasa seolah-olah di-
55
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 55-60
paksa untuk belajar sehingga jiwanya tertekan. Keadaan demikian menimbulkan kejengkelan, kebosanan, sikap masa bodoh sehingga perhatian, minat, dan motivasi siswa dalam pembelajaran menjadi rendah. Hal ini berdampak terhadap ketidaktercapaian tujuan pembelajaran kimia. Pengemasan pembelajaran dewasa ini tidak sejalan dengan hakikat orang belajar dan hakikat orang mengajar menurut pandangan konstruktivis. Belajar menurut konstruktivis merupakan proses aktif siswa mengkonstruksi arti teks, dialog, pengalaman fisis, dan lainlain. Belajar juga merupakan proses mengasimilasi dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertian dikembangkan.1 Kenyataan saat ini, masih banyak siswa belajar hanya menghapal konsep-konsep, mencatat apa yang diceramahkan guru, pasif, dan pengetahuan awal jarang digunakan sebagai dasar perencanaan pembelajaran dan dalam pembelajaran. Teori belajar konstruktivis mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, melainkan kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan pebelajar dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Di lain pihak pembelajaran kimia hanya menekankan pada aspek produk seperti menghapal konsep-konsep, prinsip-prinsip atau rumus tidak memberikan kesempatan siswa terlibat aktif dalam proses-proses kimia serta tidak dapat menumbuhkan sikap ilmiah siswa. Pembelajaran kimia di sekolah hendaknya tidak diarahkan semata-mata menyiapkan anak didik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, namun yang lebih penting adalah menyiapkan anak didik untuk (1) mampu memecahkan masalah yang di1
Suparno, P. 1997. Filsafat konstruktivisme dalam pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
56
hadapi dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan konsep-konsep sains yang telah mereka pelajari, (2) mampu mengambil keputusan yang tepat dengan menggunakan konsep-konsep ilmiah, dan (3) mempunyai sikap ilmiah dalam memecahkan masalah yang dihadapi sehingga memungkinkan mereka untuk berpikir dan bertindak secara ilmiah2. Menumbuhkembangkan sikap ilmiah siswa ada tiga jenis pera utama guru: memerlihatkan contoh, memberikan penguatan dengan pujian dan persetujuan, memberikan kesempatan untuk mengembangkan sikap. Ketika siswa menunjukkan keinginan untuk berbuat, harus diberikan kesempatan untuk beraktivitas. Memberikan objek baru berarti memberikan kesempatan pada siswa untuk mengembangkan sikap ingin tahu. Mendiskusikan hasil eksperimen memberikan kesempatan pada siswa untuk berfikir kritis3 Salah satu pembelajaran berbasis konstruktivis yang memberikan peluang kepada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dan menumbuh kembangkan sikap ilmiah model pembelajaran inkuiri. Menurut Bruner, selama kegiatan belajar berlangsung hendaknya siswa dibiarkan mencari atau menemukan sendiri makna segala sesuatu yang dipelajari. Mereka diberikan kesempatan berperan sebagai pemecah masalah seperti yang dilakukan para ilmuwan, dengan cara tersebut diharapkan mereka mampu memahami konsep-konsep dalam bahasa mereka.4 Trowbridge dan Bybee menyatakan, dalam pendekatan inkuiri pembelajaran menjadi lebih berpusat pada anak, proses belajar melalui inkuiri dapat membentuk dan mengembangkan konsep diri pada diri siswa, tingkat pengharapan bertambah, pendekatan inkuiri dapat mengembangkan bakat pendekatan inkuiri dapat menghin2
Sudjana, S. 2001. Metoda dan teknik pembelajaran partisipatif. Bandung: Falah Production. 3 Harlen, W. 1992. The teaching Of science. London: David Fulton Publishers. 4 Dahar, R. W. 1989. Teori-teori belajar. Jakarta: Erlangga
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pengaruh Model Pembelajaran Inquiri, Surati
dari siswa dari cara-cara belajar dengan menghafal, dan pendekatan inkuiri memberikan waktu pada siswa untuk mengasimilasi dan mengakomodasi informasi5. Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan, tulisan ini menjelaskan (1) perbedaan penguasaan konsep kimia antara siswa yang belajar melalui model pembelajaran inkuiri dan siswa yang belajar melalui model pembelajaran konvensional dan (2) perbedaan sikap ilmiah antara siswa yang belajar melalui model pembelajaran inkuiri dan siswa yang belajar melalui model pembelajaran konvensional? Metode Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu, rancangan ini dipilih karena keadaan yang tidak memungkinkan untuk mengontrol dan atau memanipulasikan semua variabel yang relevan. Rancangan eksperimen yang digunakan adalah nonequivalent control group design digambarkan sebagai berikut:6 XO
2
-------------------O
2
Keterangan: O2 = pengamatan akhir X = model pembelajaran inkuiri Populasi penelitian ini seluruh siswa kelas X SMA Negeri 11 Ambon tahun pelajaran 2013/2014dengan jumlah populasi 230 orang siswa. Pemilihan kelas X didasarkan pada meteri yang digunakan saat intervensi. Berdasarkan karakteristik populasi maka pengambilan sampel dilakukan dengan teknik 5 Trowbridge, L.W. & Bybee, R.W. Becoming a secondary school science teacher. Ohio: Merrill Publishing Company, 1990. 6 Campbell, D.T. & Stanley, J.C. Experimental and quasi-experimental designs for research. Chicago: Rand Mc Nally College Publishing Company., 1963.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
random sampling. Untuk memeroleh data yang diperlukan, maka dilakukan pengumpulan data yang diperlukan dengan instrumen yang telah dipersiapkan sebelumnya. Jenis data, metode pengumpulan data, waktu pengumpulan data, dan instrumennya seperti berikut: Tabel 1. Jenis Data, Metode, Instrumen, dan Waktu Pengambilan Data Jenis Data Sikap ilmiah siswa Penguasaan konsep kimia
Metode
Instrumen
Waktu
Kuis
Angket
Setelah diberikan perlakuan
Tes
Tes penguasaan konsep kimia
Setelah diberikan perlakuan
Aspek yang diteliti dalam penelitian ini, pengaruh variabel bebas model pembelajaran terhadap dua variabel terikat penguasaan konsep kimia dan sikap ilmiah. Untuk uji hipotesa antara variable bebas dan terikat melalui pengujian t. Kriteria pengujian jika angka signifikansi yang dihasilkan lebih kecil dari 0,05 berarti Ho ditolak. Artinya, terdapat pengaruh antara model pembelajaran inkuiri terhadap penguasaan konsep kimia dan sikap ilmiah.7 Hasil Sebelum dilakukan uji hipotesis penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas data. Uji normalitas populasi menggunakan data nilai, baik di kelas pembelajaran inkuiri maupun di kelas pembelajaran konvensional. Populasi dinyatakan normal bila taraf kesalahan yang digunakan 5%, < . Tabel 2. Hasil Analisis Uji Normalitas
7
S. Suryabrata, Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1983.
57
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 55-60
Model
Pembelajaran Inkuiri Pembelajaran Konvensional
α 0,05
0,05
7,063
4,431
7,815
7,815
Keterangan Berdistribusi Normal Berdistribusi Normal
Uji homogenitas populasi menggunakan data nilai posttest baik di kelas pembelajaran inkuiri maupun di kelas pembelajaran konvensional. Populasi dinyatakan homogen bila taraf kesalahan yang digunakan 5%, < . Tabel 3 Hasil Analisis Uji Homogenitas Individual Statistik Rata-rata Varians Standart Deviasi S2 Log S2 B χ2hitung χ2tabel
Kelompok 32,15 37,35 217,00 229,52 14,73 15,15 48,00 1,681 131,137 0,272 3,841
Tabel 3 dapat diberikan simpulan bahwa persyaratan homogenitas bagi berlakunya uji t telah dipenuhi. Dapat dinyatakan bahwa uji t dapat diberlakukan karena telah terdapat bukti bahwa populasi berkarakter homogen dan berdistribusi normal. Uji t yang digunakan untuk menguji signifikansi beda rata-rata pemahaman konsep kimia antara kelas pembelajaran inkuiri dan kelas pembelajaran konvensional.
58
Tabel 4 Hasil Uji t Pemahaman Konsep Kimia Model InkuiriKontrol
F 8,822
Sig.
df
thitung
ttabel
α
0,004
78
5,357
2,000
0,05
Kriteria thitung > ttabel Sig. < α
Simpulan Terima H1, ada perbedaan
Uji beda rata-rata sikap ilmiah kelas pem-belajaran inkuiri dan kelas pembelajaran konvensional. Kriteria pembuatan simpulan jika nilai probabilitas yang diperoleh 0,05 H0 ditolak dan jika nilai probabilitas yang diperoleh > 0,05 maka H1 diterima. Tabel 5 Hasil Uji Sikap Ilmiah Model Pembelajaran inkuiripembelajaran kontrol
F 2,318
Sig. 0.020
Simpulan H1 diterima
Pembahasan Hasil analisis menunjukkan, terdapat perbedaan penguasaan konsep kimia antara siswa yang belajar kimia melalui model pembelajaran inkuiri dan siswa yang belajar kimia melalui model pembelajaran konvensional. Penguasaan konsep kimia siswa dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya model pembelajaran yang diterapkan guru. Guru harus secara selektif memilih model pembelajaran yang cocok untuk pokok bahasan tertentu agar tujuan pembelajaran yang ditetapkan tercapai. Model pembelajaran inkuiri merupakan model pembelajaran yang berbasis konstruktivis. Model pembelajaran ini memberikan peluang kepada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, peran guru sebagai fasilitator dan mediator. Melalui implementasi model pembelajaran inkuiri memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerja seperti ilmuwan di antaranya merumuskan hipotesis, menguji hipotesis melalui percobaan dan mengimpormasikan hasil penyelidikan. Melalui implementasi model pembelajaran inkuiri pe-
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pengaruh Model Pembelajaran Inquiri, Surati
nguasaan konsep kimia siswa dapat ditingkatkan. Model pembelajaran inkuiri memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan sendiri, menggunakan konsep-konsep yang sudah dimiliki untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan kata lain siswa memiliki kesempatan untuk mengaitkan informasi baru dengan struktur kognitif yang ada sehingga terjadi belajar bermakna. Model pembelajaran inkuiri juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja seperti ilmuwan yakni merumuskan hipotesis, menggali informasi, merancang dan melakukan percobaan, dan mengkomunikasikan hasil percobaan. Satu hal yang perlu diperhatikan oleh para guru dalam mengajar kimia dengan model pembelajaran inkuiri tugas guru hanya sebagai fasilitator dan mediator, yakni membantu siswa untuk belajar dan menggunakan keterampilan proses mereka untuk memeroleh lebih banyak ilmu pengetahuan. Hasil uji hipotesis menunjukkan, ada perbedaan sikap ilmiah antara siswa yang belajar melalui model pembelajaran inkuiri dan siswa yang belajar melalui model pembelajaran konvensional. Secara teoritis model pembelajaran inkuiri memberikan kesempatan kepada siswa bekerja seperti ilmuwan yakni merumuskan hipotesis, mengamati, mengukur, menganalis data, membuat kesimpulan, dan melaporkan hasil eksperimen. Hal ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk menumbuhkembangkan sikap ilmiah. Sementara pada pembelajaran konvensional siswa hanya menerima informasi pengetahuan dari guru dan tidak memperoleh pengalaman secara langsung. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, disimpulkan sebagai berikut: 1.
2.
belajaran konvensiona dalam meningkatkan pemahaman konsep kimia. Model pembelajaran inkuiri lebih baik daripada model pembelajaran konvensional. Hal ini terbukti dari hasil uji hipotesis rhitung > r tabel yaitu 5,357 > 2,00 dan nilai rata-rata pemahaman konsep kimia siswa yang belajar melalui model pembelajaran inkuiri 65,01 dan nilai rata-rata pemahaman konsep kimia siswa yang belajar melalui model pembelajaran konvensional adalah 57,04. Terdapat perbedaan signifikan antara model pembelajaran inkuiri dan model pembelajaran konvensional dalam mengembangkan sikap ilmiah. Hal ini terbukti dari hasil uji hipotesis rhitung > r tabel yaitu 2,32 > 0,02.
Saran 1.
2.
3.
Model pembelajaran inkuiri memiliki keunggulan komparatif bagi model pembelajaran konvensional dalam meningkatkan pemahaman konsep kimia, maka kepada para guru fisika di SMA disarankan agar menggunakan model pembelajaran inkuiri, dengan ter-lebih dahulu memahami hakekat pandangan konstruktivisme dalam belajar dan mengajar, mengingat model pembelajaran tersebut berpijak pada pandangan konstruktivisme. Guru kimia di SMA disarankan, menggunakan model pembelajaran inkuiri untuk mengembangkan sikap ilmiah siswa dengan memerhatikan jumlah siswa dalam satu kelompok saat percobaan dan waktu perlu dipertimbangkan. Kepada pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan khususnya dalam bidang pendidikan kimia disarankan agar memertimbangkan model pembelajaran fisika yang diterapkan dalam penelitian ini sebagai suatu inovasi dalam pendidikan kimia.
Terdapat perbedaan signifikan antara model pembelajaran inkuiri dan model pem-
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
59
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 55-60
DAFTAR PUSTAKA
Dahar, R. W. 1989. Teori-teori belajar. Jakarta: Erlangga. Harlen, W. 1992. The teaching Of science. London: David Fulton Publishers. Karhami, K. A. 2000. Sikap Ilmiah sebagai
Wahana Pengembangan Unsur Budi Pekerti (Kajian melalui Sudut Pandang Pengajaran IPA). Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 027, Tahun ke-6, November 2000 Santoso, S. 2002. Buku latihan SPSS Statistik Multivariat. Jakarta: Gramedia. Sund, R. B. dan Trowbridge,L.W. 1973.
Teaching Science by Inquiry in the Secondary School. Ohio: Charles E. Merrill Publishing Company. Suparno, P. 1997. Filsafat konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Suryabrata, S. 1983. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Trowbridge, L. W. & Bybee, R. W. 1990.
Becoming a Secondary School Science Teacher. Ohio: Merrill Publishing Company. Winatapura, U. S. 1993. Strategi Belajar Mengajar IPA. Jakarta: Universitas Terbuka Depdikbud. Wirtha I Made dan Rapi Ni Ketut. 2008. “Pengaruh model pembelajaran dan penalaran terhadap penguasaan konsep fisika dan sikap ilmiah siswa SMA Negeri 4 Singaraja. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan. Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA Undiksha.
60
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir, Cornelia Pary
SRTATEGI PEMBELAJARAN PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR (SPPKB) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BIOLOGI SISWA KELAS VIII SMP MUHAMADIYAH AMBON Cornelia Pary Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon corneliapary@gmail .co.id
Abstrak: Salah satu masalah dalam dunia pendidikan proses pembelajaran yang lemah. Siswa dalam proses pembelajaran kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berfikir, di antaranya dalam mata pelajaran Sains. siswa tidak dapat mengembangkan kemampuan berfikir kritis dan sistimatis, karena strategi pembelajaran berfikir tidak digunakan secara baik dalam setiap proses pembelajaran dalam kelas. Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir (SPPKB) salah satu strategi pembelajaran yang menekankan kemampuan berpikir siswa. Siswa dibimbing untuk menemukan sendiri konsep yang harus dikuasai melalui proses dialogis yang terusmenerus dengan memanfaatkan pengalaman siswa sebagai bahan untuk memecahkan masalah. Tipe penelitian ini penelitian tindakan kelas (PTK). PTK adalah penelitian yang digunakan di kelas melalui refleksi diri yang bertujuan meningkatkan dan memperbaiki kinerja sehingga meningkatkan hasil belajar biologi. Penelitian ini dilaksanakan tanggal 26 Oktober – 26 November 2012. Subjek Penelitian ini siswa kelas VIII MP Muhamadiyah Ambon berjumlah 36 orang. Hasil penelitian menunjukkan, strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir (SPPKB) dapat meningkatkan hasilbelajar biologi dalam siklus I dan siklus II Keyword: Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir (SPPKB), Hasil
Belajar. Pendahuluan Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan proses pembelajaran yang lemah. Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan anak untuk menghafal informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Ketika anak didik lulus dari sekolah, mereka pintar secara teoritis, tetapi miskin aplikasi. Kenyataan ini berlaku untuk semua mata pelajaran. Mata pelajaran sains tidak dapat mengembangkan kemampuan anak untuk berfikir kritis dan sistimatis, karena strategi pembelajaran
berfikir tidak digunakan secara baik dalam setiap proses pembelajaran dalam kelas.1 Strategi pelaksanaan pendidikan dilaksanakan dalam bentuk kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan. Bimbingan hakikatnya pemberian bantuan, arahan, motivasi, nasihat dan penyuluhan agar siswa mampu mengatasi, memecahkan masalah dan menanggulangi kesulitan sendiri. Pengajaran merupakan bentuk kegiatan yang di dalamnya terjalin hubungan integrasi dalam proses belajar dan mengajar antara tenaga kependidikan (khususnya guru/ 1
Sanjaya Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 1.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
61
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 61-68
pengajar) dan peserta didik untuk mengembangkan perilaku sesuai dengan tujuan pendidikan.2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelalajarn agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.3 Pembelajaran sebagai suatu proses yang kompleks, proses yang melibatkan banyak komponen. Salah satu komponen yang memiliki peran besar dalam menunjang keberhasilan peserta didik adalah guru. Tugas guru dalam proses pembelajaran di kelas ada tiga yaitu perancang (desainer), pelaksana (executor), dan penilaian (evaluator).4 Guru tidak hanya menyampaikan materi pengetahuan kepada siswa di kelas karena materi yang diperolehnya tidak selalu sesuai dengan perkembangan masyarakat. Yang dibutuhkan kemampuan untuk mendapatkan dan mengolah informasi yang sesuai dengan kebutuhan profesinya. Mengajar bukan usaha untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, melainkan usaha untuk menyampaikan sistem lingkungan yang membelajarkan subjek didik agar tujuan pengajaran dapat tercapai secara optimal. Mutu pengajaran tergantung pada pemilihan strategi yang tepat bagi tujuan yang ingin dicapai, terutama dalam upaya mengembangkan kreatifitas dan sikap inovatif subjek didik.5
2
Hamalik Oemar, Kurikulum dan Pembelajaran (Bandung:Bumi Aksara, 2005), h. 2. 3 Hamalik Oemar, Kurikulum dan Pembelajaran, h. 3 4 R. M. Geogne, “The Condition of Learning”, dalam Strategi Pembelajaran, ed. Samad Umarella (Ambon, 2006), h. 99. 5 W. Gulo, Startegi Belajara Mengajar (Jakarta: ), h. 7.
62
Untuk dapat memeroleh keberhasilan dalam kegiatan belajar mengajar, khususnya guru bidang studi Biologi haruslah memiliki kemampuan penggunaan metode yang sesuai dengan materi yang diajarkan, hal ini adalah langkah awal untuk memajukan ilmu Biologi. Keberhasilan belajar mengajar Biologi tidak terlepas dari persiapan peserta didik untuk belajar dan persiapan guru untuk mengajar. Model yang digunakan oleh guru Biologi sebagian besar masih bertumpu pada guru saja yang akhirnya menyulitkan siswa dalam berkreasi dan meningkatkan kemampuan berpikirnya strategi pembelajaran yang digunakan di SMP Muhamadiyah Ambon Strategi Pembelajaran Ekspositori (SPE). Strategi pembelajaran ini menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari guru kepada sekelompok siswa. SPPKB adalah strategi pembelajaran yang menekankan kepada kemampuan berpikir siswa. Siswa dibimbing untuk menemukan sendiri konsep yang harus dikuasai melalui proses dialogis yang terus-menerus dengan memanfaatkan pengalaman siswa sebagai bahan untuk memecahkan masalah. Tujuan dari SPPKB kemampuan berpikir yang menghubungkan pengalaman dengan kenyataan proses pembelajaran. Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini penelitian tindakan kelas (PTK). PTK adalah penelitian yang digunakan di kelas melalui refleksi diri yang bertujuan meningkatkan dan memerbaiki kinerja sehingga meningkatkan hasil belajar biologi.6Penelitian ini dilaksanakan tanggal 26 Oktober – 26 November 2012. Subjek Penelitian ini siswa kelas VIII SMP Muhamadiyah Ambon berjumlah 36 orang.
6
Aqib Zainal, dkk, Penelitian Tindakan Kelas untuk Guru SMP, SMA (Bandung: PT. Yrama Widya, 2008), h. 3.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir, Cornelia Pary
Kegiatan–kegiatan yang dilakukan di tahap perencanaan dalam tahap ini membuat pemetaan, pemetaan standar isi, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan merencanakan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran, SPPKB pada konsep pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan (b) pelaksanaan, menjelaskan materi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan dengan model pembelajaran SPPKB dan mengakhiri dengan melakukan evaluasi tes terhadap siswa (c) pengamatan melakukan pengamatan (observasi) terhadap kemampuan siswa dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh guru dalam bentuk soal esay, kemudian datanya diambil oleh peneliti sebagai data yang akan diolah, (d) refleksi dalam tahapan ini mengkaji kembali hasil dan proses pembelajaran serta analisis kritis terhadap hasil yang didapatkan pada setiap siklus. Karena masih ada yang belum tuntas dilanjutkan dalam siklus iklus II. Di siklus II dirancang sama dengan siklus I dengan konsep pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan, langkah-langkah yang akan dilakukan sama seperti siklus I, hanya dalam siklus II hal-hal yang dianggap masih kurang dalam suklus I diperbaiki.7 Indikator Keberhasilan Hasil yang diperoleh melalui hasil pree tes dan siklus I, siklus II yang menyeminkan pemahaman siswa dengan konsep pertumbuhan dan perkembangan pada tumbuhan yang diajarkan, dengan penerapan strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berfikir (SPPKB), diharapkan ada pemahaman siswa dengan nilai yang ditetapkan secara individual yaitu 65 yang sudah termasuk dalam kriteria ketuntasan menggajar (KKM).8
7
Suharsimi
Hasil Penelitian Data hasil penelitian yang diuraikan terdiri atas hasil belajar pree test, hasil belajar siklus1 dalam pertemuan pertama dan kedua, dan siklus II dalam pertemuan I dan II dengan penerapan SPPKB dengan konsep Pertumbuhan dan Perkembangan pada Tumbuhan. Hasil yang diperoleh dalam pre test diolah berdasarkan Pedoman Acuan Patokan (PAP). Hasil pre test dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 4.1 Hasil Belajar Pre-Test Interval Nilai Angka 80 – 100 66 - 79 56 – 65 40 – 55 30 - 39
Huruf A B C D E
Keterangan
Frekuensi
Presentase (%)
Baik Sekali Baik Cukup Kurang Gagal
0 0 2 20 14
0 0 5,55 55,55 38,88
36
100
Berdasarkan tabel 4.1 tampak, hasil belajar pree test 36 orang siswa, dalam kategori baik sekali dan baik tidak ada atau sebesar (0%), katagori cukup 2 orang cukup (5,55 %), kategori kurang 20 orang siswa (55,55 %), dan kategori gagal 14 orang siswa atau (38,88 %). Kategori kurang dan gagal yang diperoleh siswa disebabkan karena siswa belum memahami konsep pertumbuhan dan perkembangan pada tumbuhan dan SPPKB belum diterapkan dalam proses pembelajaran. Hasil belajar pertemuan pertama dalam siklus I, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Arikunto,
http://www.serib.com/doc/2473703.Penelitian Tindakan Kelas-PTK, artikel diakses tanggal 7April2010. 8 E. Muliyasa, Praktek Penelitian Tindakan Kelas (Bandung: Remaja Rosdakarya. 2009), h. 21.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
63
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 61-68
Tabel 4.2 Hasil Belajar Pertemuan Pertama pada Siklus I Interval Nilai Angka
Huruf
80 – 100 66 - 79 56 – 65 40 – 55 30 – 39
A B C D E
Keterangan
Frekuensi
Baik sekali Baik Cukup Kurang Gagal
0 3 15 15 3
Persentase (%) 0 8.33 41,66 41,66 8,33
36
100
Berdasarkan tabel 4.2 tampak, hasil belajar 36 orang siswa, termasuk dalam kategori baik sekali 0 (0%), kategori baik 3 orang siswa (8,33 %), kategori cukup 15 orang siswa (41,66%), kategori kurang 15 orang siswa (41,66 %), dan kategori gagal 3 orang siswa (8,33 %). Hasil belajar pertemuan pertama dalam siklus I terlihat ada peningkatan dengan penerapan SPPKB. Hasil belajar pertemuan kedua dalam siklus I dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 4.3 Hasil Belajar Pertemuan Kedua pada Siklus I Interval Nilai Angka
Huruf
80 – 100 66-79 56 – 65 40 – 55 30 – 39
A B C D E
FreKeterangan kuensi Baik sekali Baik Cukup Kurang Gagal
1 8 18 9 0 36
Persentase (%) 2,77 22,22 50 25 0 100
Berdasarkan tabel 4.3 tampak, hasil belajar 36 orang siswa, dalam kategori baik sekali 1 orang siswa (2,77%), kategori baik 8 orang siswa (22,22%), kategori cukup 18 orang siswa (50%), kategori kurang 9 orang siswa (25 %), dan kategori gagal 0 atau (0 %). Hasil belajar pertemuan kedua dalam siklus I terlihat ada peningkatan hasil belajar.
64
Siswa mulai memahami konsep pertumbuhan dan perkembangan pada tumbuhan yang didukung dengan penerapan SPPKB. Prosedur Penelitian Siklus I 1.
2.
3.
4.
Perencanaan Di tahap ini membuat pemetaan, pemetaan standar isi, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan merencanakan pembelajaran dengan menggunakan SPPKB dalam konsep pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Pelaksanaan Menjelaskan konsep pertumbuhan dan perkembangan pada tumbuhan dengan penerapan SPPKB dan mengakhiri dengan melakukan evaluasi tes terhadap siswa. Pengamatan Pengamatan yang dilakukan terhadap kemampuan siswa dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan dalam bentuk soal esay terdapat peningkatan hasil belajar jika dibandingkan pree test. Refleksi Siswa diberi kesempatan mengungkapkan gagasan atau ide dan menyimpul-kan materi yang sudah dijelaskan.
Setelah pelaksanaan pertemuan pertama dan kedua pada siklus I, kemudian dilanjutkan dengan pertemuan pertama dan kedua pada siklus II. Hasil belajar pertemuan pertama di siklus I dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel 4.4 Hasil Belajar Pertemuan Pertama dalam Siklus II Interval Nilai Angka
Huruf
80-100 66-79 56-65 40-55 30-39
A B C D E
Keterangan Baik sekali Baik Cukup Kurang Gagal
Frekuensi 9 25 4 0 0 36
Persentase (%) 25 69,44 11,11 0 0 100
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir, Cornelia Pary
Berdasarkan tabel 4.4 tampak, hasil belajar 36 orang siswa, yang termasuk dalam kategori baik sekali 9 orang siswa (25%), kategori baik 25 orang siswa (69,44%), kategori cukup 4 orang siswa (11,11%), dan kategori kurang dan gagal (0%). Tabel 4.5 Hasil Belajar Pertemuan Kedua pada Siklus II Interval Nilai Angka 80 – 100 66-79 56 – 65 40 – 55 30 – 39
Huruf A B C D E
Keterangan Baik sekali Baik Cukup Kurang Gagal
Frekuensi 28 7 1 0 0 36
Persentase (%) 77,77 19,44 2,77 0 0 100
Berdasarkan tabel 4.5 tampak, hasil belajar 36 orang siswa, kategori baik sekali 28 orang siswa (77,77 %), kategori baik 7 orang siswa (19,44 %), katagori cukup 1 orang siswa (2,77%), kategori kurang dan gagal (0 %). Di siklus II ada peningkatan dari pertemuan I ke pertemuan II. Di pertemuan I yang termasuk kategori baik sekali 9 orang siswa dan meningkat dalam pertemuan II 28 orang siswa. Kategori baik dalam pertemuan I 25 siswa, sedangkan dalam pertemuan II hanya 7 siswa. Sementara dalam pertemuan II hanya 1 siswa yang kategori cukup. Tabel 4.6 Hasil Belajar Kumulatif Siklus I (Pertemuan Pertama dan Kedua) Interval Nilai Angka
Huruf
80 – 100 66-79 56 – 65 40 – 55 30 – 39
A B C D E
Keterangan Baik sekali Baik Cukup Kurang Gagal
Frekuensi 0 7 16 11 2 36
Persentase (%) 0 19,44 44,44 30,55 5,55 100
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Berdasarkan tabel 4.6 tampak, hasil belajar kumulatif sisklus I, dalam kategori baik sekali 0 (0%), kategori baik 7 orang siswa (19,44%), kategori cukup 16 orang siswa (44,44%), kategori kurang 11 orang siswa (30,55%) dan kategori gagal 2 orang siswa (5,55%). Tabel 4.7 Hasil Belajar Kumulatif Siklus II (Pertemuan Pertama dan Kedua) Interval Nilai Angka
Huruf
Keterangan
80 – 100 66-79 56 – 65 40 – 55 30 – 39
A B C D E
Baik sekali Baik Cukup Kurang Gagal
Frekuensi 19 16 1 0 0 36
Persentase (%)
52,77 44,44 2,77 0 0 100
Berdasarkan tabel 4.7 tampak, hasil belajar kumulatif sisklus II, dalam kategori baik sekali 19 orang siswa (52,77 %), kategori baik 16 orang siswa ( 19,44 %),kategori cukup 1 orang siswa (2,77%), dan untuk kategori kurang dan gagal yakni0 (0 %). Ini menunjukkan hasil belajar yang dicapai siswa telah maksimal. Hal ini disebabkan karena telah memenuhi kriteria Ketuntasan Mengajar (KKM). Pembahasan Proses siklus pertama yang membahas tentang pertumbuhan dan perkembangan dalam tumbuhan, pertumbuhan primer dan pertumbuhan sekunder berlangsung dalam dua kali pertemuan yang masing-masing pertemuan berlangsung selama 2x40 menit (1 jam 20 menit). Pertemuan pertama disi dengan penjelasan tentang proses pembelajaran dengan menggunakan SPPKB dengan metode tanya jawab. Kemudian guru mengondisikan siswa pada posisi siap untuk melakukan pembelajaran, proses pembelajaran yang berlangsung dalam siklus pertama ini dibangun dengan
65
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 61-68
nuansa dialogis dan proses tanya jawab secara terus menerus karena karakteristik SPPKB ini menghendaki aktifitas peserta didik dalam proses berpikir.9 Misalnya jelaskan pengertian pertumbuhan dan perkembangan pada tumbuhan, berikan contoh pertumbuhan dan perkembangan pada tumbuhan dalam kehidupan sehari-hari, kemudian siswa dituntut untuk memecahkan masalah autentik sesuai dengan tujuan pembelajaran. Siswa dalam membahas masalah ini banyak mengalami kesulitan. Guru mengarahkan apa yang harus siswa pikirkan, bimbingan yang dilakukan tidak langsung memberikan jawaban atas pertanyaan/masalah yang dibahas tetapi berupa alternatif-alternatif SPPKB dengan cara seperti itu siswa akhirnya selalu berpikir yang sesungguhnya mencari jawaban atas pertanyaan/masalah yang dihadapi.10 Pada pertemuan kedua yang membahas tentang contoh pertumbuhan dan perkembangan pada tumbuhan, masih dengan SPPKB dengan metode tanya jawab. Akhir dari kegiatan ini guru mengevaluasi materi dengan beberapa pertanyaan kepada siswa. Tujuan dari evaluasi ini untuk mengadakan refleksi agar perencanaan tahap berikutnya berlangsung lebih baik. Namun, setelah pelaksanaan siklus I ini melalui penerapan SPPKB dalam proses pembelajaran dengan konsep pertumbuhan dan perkembangan dalam tumbuhan di kelas VIII3 diperoleh presentase 19,44% (7 orang siswa) kategori baik, 44,44% (16 orang siswa) kategori cukup, 30,55% (11 orang siswa) kategori kurang 5,55% (2 orang siswa) kategori gagal. Ini belum mencapai kriteria ketuntasan mengajar (KKM) sehingga dikategorikan belum tuntas. Jika dikaitkan dengan hasil pengamatan observer dalam siklus pertama ini, diperoleh 13 siswa yang melakukan kegiatan-kegiatan lain di luar proses pembelajaran berlangsung dengan memeriksa siswa-siswa yang belum 9
Wina Sanjaya. Strategi Pembelajaran. h. 224 Wina Sanjaya. Strategi Pembelajaran. h. 232
10
66
tuntas belajar dalam siklus I ini. Umumnya siswa yang duduk di bagian belakang mereka bermain, ada juga siswa yang pelaku off stak kecuali ada salah satu siswa tersebut setelah melakukan pendekatan pribadi mengaku kurang konsetrasi karena kesehatannya terganggu. Disamping itu, dalam siklus I juga aktivitas guru dalam mengajar belum sesuai dengan yang diharapkan. Berdasrkan hasil pengamatan observer, ada beberapa aspek yang perlu diperbaiki pada siklus berikutnya yaitu aspek pengenalan konsep, mengarahkan siswa dalam menyimpulkan hasil pembelajaran dan menutup pelajaraan Setelah peneliti melakukan perbaikan terhadap pembelajaran dengan melakukan perbaikan aspek-aspek mengajar tadi dan meubah tempat duduk siswa yang masih belum tuntas belajar peneliti kembali melakukan pengajaran sebagai tindakan kedua atau siklus II masih melalui SPPKB yang dilaksanakan dalam pertemuan berikutnya. Direncanakan tiga kali pertemuan realisasinya hanya dua kali pertemuan. Di pertemuan kedua ini membahas tentang faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pada tumbuhan. Siswa terlihat agak lebih aktif, lebih banyak bertanya, menjawab, terlihat dalam proses pembelajaranberlangsung. Kemudian guru memberikan penjelasan selama 20 menit tentang faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pada tumbuhan. Setelah itu siswa diajak untuk menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru. Misalnya apa saja yang tergolong faktor internal dan faktor eksternal pada tumbuhan, apakah faktor-faktor tersebut memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan suatu tumbuhan. Guru memberikan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan gagasan dan mentransfer kemampuan berpikirnya setiap siswa, disini siswa terlihat aktif proses ini berlangsung selama 50 menit, 10 menit digunakan guru bersama siswa menyimpulkan materi. Di siklus kedua ini lebih banyak masalah yang disampaikan dan lebih banyak siswa ber-
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir, Cornelia Pary
partisipasi. Ini menandakan, SPPKB dalam proses pembelajaran berlangsung dengan baik karena dalam siklus kedua ini terjadi peningkatan prestasi, dan siswa sudah mengalami ketuntasan belajar. Hasil dicapai diantaranya. 19 orang siswa (52,77%) kategori baik sekali, 16 orang siswa (44,44%) kategori baik, 1 orang siswa (2,77%)kategori cukup dimana hasil yang dicapai sudah termasuk dalam Kriteria Ketuntasan Mengajar (KKM). Berdasarkan hasil penelitian, pembelajaran dengan menggunakan SPPKB yang digunakan sebagai solusi untuk meningkatkan kemampuan berpikir dalam penguasaan konsep telah menunjukan hasilnya. Pembelajaran didesain dalam metode ceramah dan tanya jawab telah menunjukkan hasil yang sangat baik. Hal ini disebabkan proses pengonstruksian pengetahuan secara bersama-sama melalui tanya jawab yang memungkinkan siswa dapat mengungkapkan gagasan serta dapat mengkaitkan materi yang didapat dengan kehidupan sehari-hari Ghazali dalam penelitiannya menyimpulkan, dorongan dari guru dan teman-teman mampu menumbuhkan rasa percaya diri seorang siswa bahwa dia mampu menyumbangkan pikirannya yang berguna bagi penyelesaian pertanyaan/masalah yang dihadapi dalam proses pembelajaran. Hasil penelitian Ghazali tidak jauh berbeda dengan penelitian penulis dengan penerapan SPPKB. Simpulan Hasil belajar siswa dalam siklus I, nilai yang diperoleh siswa berkategori baik sekali 0%, kategori baik 7 orang siswa (19,44%), kategori cukup 16 orang siswa (44,44%), kategori kurang 11 orang siswa (30,55%) dan kategori gagal 2 orang siswa (5,55%). Terjadi peningkatan hasil belajar pada siklus II dimana kategori baik sekali 19 orang siswa (52,77), kategori baik 16 orang siswa (44,44%), kategori cukup 1 orang siswa (2,77) dan kategori kurang dan gagal 0%. Hal ini menunjukan strategi pembelajaran peningkatan kemampu-
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
an berpikir (SPPKB) dapat meningkatkan hasil belajar biologi dalam siklus I dan siklus II. Berdasarkan simpulan tersebut disarankan kepada guru jika ingin meningkatkan hasil belajar biologi dalam merancang strategi pembelajaran untuk meningkatkan kreatifitas anak dan meningkatkan keterlibatan siswa dengan tingkat kemampuan kognitifnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adi Satrio. Kamus Ilmiah Populer. Jakarta: Visi 7, 2005. A.M, Arsyad Azhar. media pembelajaran. Jakarta: PT Grapindo Persada, 2003. Arikunto S. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002. Fatturohman, Pupuh M. Sutikno Sobri. Strategi Belajar Menjagar. Bandung: PT. Rafika Aditama, 2007. Gulo W.. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Grasindo, 2002. H, Sabri Ahmad. Strategi Belajar Mengajar dan Micro Teaching. Cet. II, Padang: Quantum teaching, 200 Ihsan, M. Peningkatan dan Pengembangan Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 1995. MA, Suparto, H.M. UU dan Peraturan Peme-
rintah Republik Indonesia Tentang Pendidikan. Jakarat: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Islam RI, 2007. Miarso, Yusufhadi. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007. Mujiono dan Dimyati. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta, 1999. Muliyasa, E 2009. Praktek penelitian tindakan kelas, Bandung, Remaja Rosdakarya. Nasution, Noehi. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud, 1992.
67
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 61-68
Oemar, H amalik. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Bumi Aksara, 2006. Pegangan Guru, Ipa Biologi SMP/MTS. Ambon: CV Teguh Karya, 2006. Sadirman A.M.. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran Ber-
orientasi pada Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2002. Sehertian, Muhammad N. Pembelajaran Komparatif. Bandung: Rineka Cipta, 2005. S. Nasution M.A.. Didaktik Asas-asas Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara, 2004. Sudibyo. Ketrampilan Proses Sains. Jakarta: Depdikbud, 2003. Sudjana, Nana. Dasar-dasar Prose Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru, 2005. --------------------. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006. Umarella S. Buku Ajar Strategi Pembelajaran. Ambon: Jurusan Tarbiyah Institut Agama Negeri, 2006. Versi Online http: //eduplus.or.id/artikel.php?mod=detail&i da=433&ide=9,artikel diakses tanggal 28 Januari 2010. Versi Online http: //eduplus.or.id/artikel.php?mod=detail&i da=433&ide=9, artikel diakses tanggal 24 Maret 2010 Yulia,
[email protected], diakses tanggal 30 Desember 2009. Zain Aswan, Djamarah Bahri Syaiful. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta, 2006. Zainal, Aqib. dkk. Penelitian Tindakan Kelas untuk Guru SMP, SMA. Bandung: PT. Yrama Widya, 2008.
68
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Tayangan Kekerasan di Televisi, Ainun Diana Lating
TAYANGAN KEKERASAN DI TELEVISI DAN TINGKAH LAKU AGRESIVITAS ANAK (PSIKOLOGI PERKEMBANGAN EMOSI ANAK) IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BERKARAKTER Ainun Diana Lating Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon
[email protected]
Abstrak: Anak-anak belajar berbagai macam tingkah laku lewat proses mengimitasi model yang dia amati. Anak-anak sebagian besar waktu mereka yaitu berada di rumah, dan banyak menghabiskan waktu untuk menyaksikan tayangan Televisi atau menonton film-film kartun seperti Iron Man, Doraemon, Naruto, Batman, Bima X, BoboyBoy, Sincan, Krisna Little, CotaBima dll. Film kartun yang memiliki tema kepahlawanan sering kali menyiratkan pesan bahwa mereka adalah pemberantas kejahatan dengan cara membalas kekerasan dengan kekerasan pula. Anak-anak yang sering nonton tayangan kekerasan di TV dan mempengaruhi perkembangan emosi anak yakni pada tahap perkembangan kognisi, sosio-emosional dan motorik anak.Biasanya orangtua yang bosan dengan pekerjaan juga sering menonton tayangan TV dan dengan tidak disadari bahwa anak-anak juga dapat meniru perilaku orangtua tersebut. Orangtua diharapkan dapat melakukan pendampingan disaat anak menyaksikan tayangan di TV sehingga dapat melibatkan anak untuk mendiskusikan film apa saja yang bisa dinonton oleh anak. Sehingga nonton tayangan di TV hanya diperlukan bukan nonton tayangan TV sebagai kebiasaan. Keyword: Kepemimpinan Pembelajaran, Pendidikan Berkarakter. Pendahuluan Perkembangan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan yang kuat mendominasi dunia, mengakibatkan banyak persoalan yang perlu disikapi dengan baik. Di antara persoalan itu kekerasan yang muncul di setiap tempat. Kekerasan yang menunjukkan tingkat agresivitas dari tiap individu semakin terekspresikan, tentu saja dengan perilaku yang negatif. Televisi sebagai salah satu media informasi dapat diakses oleh semua masyarakat yang berpengaruh terhadap agresivitas individu, terutama anak-anak. Anak belajar dari lingkungan dengan menyontoh dan mengimitasi apapun yang dilihat dan menarik perhatian. Televisi memberikan tayangan yang dapat menjadi model bagi
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
anak-anak, positif maupun negatif. Ta-yangan televisi sebagian besar menunjukkan kekerasan, yang menjadi bahan diskusi bagi masyarakat. Apakah tayangan kekerasan dapat memicu agresivitas pada anak? Sebagian besar waktu anak-anak dihabis kan di rumah dan sebagaian besar aktivitas mereka menikmati tayangan televisi dan berbagai program yang menarik bagi mereka. Beberapa penelitian dan literatur telah meneliti pengaruh tayangan kekerasan di TV terhadap perilaku agresif anak. Perkembangan anak khususnya anak usia dini harus konsen dan empati terhadap perkembangannya, baik dari segi fisik, kognitif, motorik, emosi, sosial dan bahasanya. Perkembangan fisik perubahan terhadap diri seseorang manusia. Perkembangan menunjukkan perubahan fisik seseorang
69
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 69-78
yang dapat memengaruhi perkembangan psikis, seperti bertambah fungsi otak memungkinkan anak dapat tertawa, berjalan, berbicara dan sebagainya. Perubahan yang dialami manusia merupakan integrasi dari berbagai perubahan struktur dan fungsi, sehingga perubahan ini tergantung pada hal-hal yang dialami sebelumnya, dan memengaruhi hal-hal yang terjadi sesudahnya. Perubahan-perubahan yang terjadi pada diri manusia, secara umum, meliputi empat tipe.1 Pertama, perubahan ukuran yang meliputi perubahan fisik seperti bertambah tinggi, berat, besarnya organ-organ dan sebagainya. Anak usia 4-5 tahun merupakan sosok individu yang sedang berada dalam proses perkembangan. Masa balita masa emas atau juga disebut goldenage dalam rentang perkembangan seorang individu. Di masa ini anak mengalami pertumbuhan dan kembangan luar biasa, baik dari segi fisik, motorik, emosi, kognitif maupun psikososial. Selain itu, dengan kesenangannya dalam bereksplorasi dan seperti tak mengenal rasa takut, segala gerakan yang diajarkan pada anak akan dianggap sebagai satu permainan yang menyenangkan. Perkembangan anak berlangsung dalam proses holistis atau menyeluruh. Pemberian stimulasinya perlu berlangsung dalam kegiatan yang holistik. Kedua, perubahan proporsi, dapat diamati dari perbandingan antara ukuran-ukuran tubuh manusia yang mengalami perubahan. Mengamati perkembangan fisik motorik seorang anak hal menarik, mulai dari saat bayi tampak tidak berbahaya, begitu kecil dan hanya bisa tertantang dan menangis, kemudian ia mulai tumbuh dan berkembang. Tumbuhnya semakin besar, ia mulai dapat miringkan badannya, tengkurap, duduk dan merangkak. Bayi itu kemudian berubah menjadi anak kecil yang lucu, yang dapat berdiri, berjalan, akhirnya ia dapat melompat dan berlari. Tampak, perkem-
bangan tubuh dan keterampilan geraknya meningkat dengan cepat sesuai dengan perkembangan usia. Ketiga, hilangnya sifat-sifat atau keadaan-keadaan tertentu. Misalnya hilangnya rambat dan gigi pada bayi, hilangnya sifat kekanak-kanakan. Perkembangan fisik motorik berperan sama penting dengan perkembangan kognisi, perilaku sosial, dan kepribadian. Sejalan dengan perkembangannya fisik motorik seseorang anak, mereka akan menjadi lebih mandiri. Mereka tidak lagi membutuhkan bantuan orangtuanya, untuk menuju suatu tempat atau mengambil barang yang diinginkan. Pengertian perkembangan menunjukkan pada perubahan ke arah yang lebih sempurna dan tidak begitu saja dapat diulang kembali. Menurut Werner dalam Hurlock, perkembangan menunjukkan perubahan yang bersifat tetap dan tidak dapat diputar kembali. Keempat, muncul sifat-sifat atau keadaan baru, seperti muncul karakteristik-karakteristik seksual, standar-standar moral, dan sebagainya. Di dalam situasi perkembangan, keadaan fisik motorik seorang anak menjadi perhatian, sebab proses tumbuh kembangnya anak akan memengaruhi kehidupan mereka di masa mendatang. Perlu pemahaman lebih jauh tentang pengaruh menonton tayangan kekerasan TV terhadap agresivitas anak sebagaimana akan dijelaskan. Perilaku Agresivitas pada Anak Olweus dalam Fiedler, mendefinisikan agresi sebagai sekumpulan perilaku yang biasanya mengganggu, menuntut dan menimbulkan dampak yang tidak menyenangkan bagi orang lain.2 Fisbein dalam Fiedler mendefinisikan agresi sebagai tindakan sederhana yang melukai orang lain. Perilaku agresi merupakan suatu aktivitas untuk menyakiti diri sendiri atau orang lain. Tindakan agresif meliputi perilaku agresif secara fisik dan verbal, misalnya mengancam orang lain, mengganggu
1
Elizabeth B. Hurlock., Child Development., SixthEdition. Alih Bahasa MedMeitasari dan Muslicsh Zarkasih (Jakarta: Erlangga. 2005).
70
2
K. Fiedler.Applied Social Psychology (London: Sage Publication 2006).
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Tayangan Kekerasan di Televisi, Ainun Diana Lating
orang lain dengan tujuan tertentu, perkataanperkataan yang menantang, perkataan-perkataan yang menghina, memukul, memdorong. Perilaku-perilaku ini biasanya dikelompokan sebagai perilaku antisosial, pemaksaan. Agresivitas menurut penelitian Jersielt dan Barlei pada tahun 2000, menunjukkan bahwa agresivitas dapat berbentuk aktivitas seperti menyerang orang lain, mengancam secara fisik dan verbal, menuntut orang lain, mencoba memaksa untuk memiliki benda-benda yang bukan miliknya. Push dan Perry menyatakan, agresi mengandung 4 faktor, yakni: agresi fisik, agresi verbal, kemarahan dan kebencian. Agresi fisik adalah agresi yang dilakukan untuk melukai orang lain secara fisik seperti, memukul, menendang, menusuk, membakar dan sebagainya. Agresi verbal adalah agresi yang dilakukan dalam komunikasi verbal, seperti mengumpat, membentak, berdebat, mengejek. Perwujudan tingkahlaku agresi berubah sesuai dengan bertambahnya usia. Dengan berjalan waktu, semakin lama perilaku agresif semakin berakar pada kepribadian anak.3 Di usia dini, agresivitas anak dapat dilihat dari perilaku yang betentangan atau menentang orang lain, dan makin bertambah kemampuan anak, ekspresi agresi akan makin terarah dan makin berkurang karena anak dapat melakukan innercontrol dan bentuk perilaku agresi yang banyak dilakukan anak penyerangan secara fisik seperti memukul, mencubit, menyerobot, menjambak rambut, melemparkan sesuatu, menghentakkan kaki, mendorong, menggigit dan merebut mainan. Bentuk verbal seperti menolak berbicara, berteriak, menjerit, mengejek. Anak kecil yang frustrasi dan tidak mudah tenang dapat tumbuh sebagai anak prasekolah yang suka mengejek saudara kandungnya dan menentang orang tuanya. Di kelas dua mereka sulit mematuhi peraturan kelas, dan 3
Carnagey & Nicholas L, Journal of Personality and Social Psychology, ExposuretoViolent Media; The Effects of Songs With Violentlyrics on Aggressive ThoughtsandFeelings.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
sering berkelahi dengan teman sebayanya. Memasuki kelas empat mereka terbelakang secara akademik serta suka berbohong. Ketika ada di kelas tujuh mereka suka membolos, merusak dan mencuri. Melihat agresivitas hanya dari perilaku-perilaku spesifik dapat menyebabkan kesederhanaan makna agresivitas, mengapa hal itu dilakukan dan bagaimana perkembangannya di setiap masa. Mendiaognosa Anak Agresif Kriteria anak agresif dapat dilihat mengenai gangguan perilaku (conductdisorder/ CD). Untuk memenuhi kriteria diagnosa anak agresif, harus adaa sedikitnya 3 pelanggaran selama 12 bulan terakhir atau sedikitnya 6 bulan terakhir. Pelanggaran dikelompokan dalam empat kategori perilaku: (a) agresi pada manusia dan binatang, (b) perusakan barang properti, (c) kebohongan atau pencurian, dan (d) pelanggaran yang serius terhadap peraturan (mis, pembolosan, melarikan diri). Anak kecil yang tidak memenuhi kriteria gangguan perilaku biasanya didiognosis dengan gangguan perilaku menentang (oposisional defiantdisorder/ODD). Kenyataannya sering kali ODD didiagnosa sebagai CD. Kasdin dalam Fiedler menyebutkan bahwa 45%-70% anak dengan CD juga mengalami ADHD (Attention-Deficit-HiperactivityDisorder) dan menemukan, sepertiga anak dengan CD memiliki ketidakmampuan membaca. Individu yang mendapat serangan CD di masa anak berbeda dengan yang mendapat serangan di masa dewasa. Sebagai suatu kelompok, mereka cenderung memiliki permasalahan dengan hiperaktivitas, impulsif, dan inatensi. Mereka juga memiliki keluarga dengan latar belakang penyalahgunaan zat dan kriminalitas. Penyebab Agresi pada Anak Fiedler mengemukakan sumber-sumber agresi: (1) personal variables, dibagi menjadi dua: menurut jenis kelamin, laki-laki memiliki agresi yang lebih tinggi dari perempuan,
71
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 69-78
genetik anak kembar yang berasal dari satu telur yang sama akan memerlihatkan tingkat agresi yang sama, jika bandingkan anak kembar dari telur yang berbeda; (2) situasional variables, seseorang akan melakukan perilaku agresif apabila situasi di lingkungan ia berada mendukungnya untuk melakukan perilaku agresi; (3) media, media memengaruhi muncul agresi khususnya pada anak kecil dan remaja. Media audio manual yang sering menayangkan adegan-adegan tindakan kekerasan berpengaruh pada perilaku agresi, salah hanya tayangan TV. Pemahaman yang lain menyebutkan bahwa faktor yang menyebabkan agresi pada anak meliputi: faktor ideologis, keluarga, sosial kognitif, teman sebaya, akademis, guru, tentangga dan komunitas.4 Faktor esensial kognitif dijelaskan oleh Bandura secara lengkap di dalam teori belajar sosial. Albert Bandura (teorinya Social Learning) dalam Sarlito. Teori belajar sosial atau disebut teori Observationallearning adalah perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus, melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori belajar sosial, yang dipelajari individu, terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian, contohnya perilaku (modeling). Albert juga memandang pentingnya conditioning melalui pemberian reward dan punishment, seseorang individu akan berpikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan5. Teori belajar sosial, perilaku agresi dalam kehidupan sehari-hari dipelajari dari model yang dilihat dalam keluarga, lingkungan budaya setempat atau media masa. Asumsi dasar teori belajar sosial Bandura, bahwa sebagian besar dari tingkah laku individu diperoleh dari hasil belajar melalui pengamatan atas tingkah laku
yang ditampilkan oleh individu lain yang menjadi model. Terdapat empat proses yang berkaitan dengan teori belajar observasional, yaitu: 1) proses kondisional tempat individu tertarik untuk memperhatikan dan mengamati tingkah laku model secara terus-menerus. 2) proses retensi, individu pengamat menyimpan tingkah laku model yang telah diamati dalam memori. 3) proses reproduksi, individu pengamat mencoba memahami model yang telah diamatinya. 4) proses motivasional dan penguatan, tingkah laku yang telah diamati tidak akan diungkap oleh pengamat individu apabila kurang termotivasi.6 Anak-anak belajar berbagai macam tingkah laku lewat prosesnya dalam mengimitasi model yang dia amati. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Crider tahun 2001 dalam Sarwono, menyimpulkan bahwa anak-anak melakukan peniruan terhadap semua tingkah laku model termasuk tingkah laku agresif yang dilihat, baik dalam kehidupan nyata maupun dalam TV. Sebagian besar waktu anak-anak berada di rumah dan orang tua jarang melihat bahwa yang banyak menarik perhatian anakanak salah satunya media TV sehingga anakanak juga banyak melihat tayangan kekerasan yang ada disekitar program TV. Tayangan Kekerasan di TV Selama ini TV dapat berdampak positif dan negatif terhadap perkembangan anak. Ada beberapa aspek positif pengaruh TV terhadap anak-anak. Salah satu TV memerlihatkan kepada anak-anak suatu dunia yang berbeda dari dunia di mana mereka tinggal. Ini memberi anak-anak suatu sudut pandang dan informasi yang lebih luas daripada yang mungkin mereka peroleh hanya dari orangtua, guruguru dan teman-teman sebayanya. Beberapa program TV memiliki keuntungan yang bersifat pendidikan dan perkembangan. Kehadir-
4 Indrayati., Televisi dan Perkembangan Sosial Anak, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998). 5 SarlitoWirawan Sarwono, Psikologi Sosial.
John W. Santrock, LipeSpan Development, Perkembangan Masa Hidup Jilid 1 (Jakarta: Erlangga,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2002).
2002).
72
6
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Tayangan Kekerasan di Televisi, Ainun Diana Lating
an media massa seperti TV bisa dijadikan salah satu alternatif hiburan. Berkaitan dengan hal ini, penelitan Greenberg dalam Santrock mengungkapkan ada delapan motif mengapa seseorang menonton TV, yaitu: 1) untuk mengisi waktu, 2) melupakan kesulitan, 3) memelajari sesuatu, 4) mempelajari diri, 5) memberikan ransangan, 6) bersantai, 7) mencari persahabatan, 8) sekedar kebiasaan. Meskipun tidak selamanya, tetapi lebih cenderung dalam rangka pencarian kepada sesuatu yang menyenangkan bagi dirinya. Banyak tayangan TV yang menunjukkan aspek-aspek kekerasan. Anak-anak diajarkan berbagai stereotip model-model agresi yang penuh kekerasan dan memberikan mereka pandangan yang tidak realistis tentang dunia. Bahkan TV yang telah menjadi bagian hidup dari masyarakat modern sering disebut sebagai “monster bermata satu”, atau “tabung perangkap”. TV telah dituduh sebagai salah satu alasan mengapa skor pada tes prestasi nasional dalam membaca dan matematika lebih rendah saat ini daripada masa lalu. TV dituding menjauhkan anak-anak dari buku-buku dan pekerjaan sekolah. sebuah studi menyebutkan, anakanak yang membaca bahan-bahan cetak seperti buku, menonton TV lebih sedikit dibandingkan dengan anak-anak yang tidak membaca bahan-bahan cetak. Lebih lanjut para pengeritik mengatakan bahwa TV melatih anakanak menjadi pelajar yang pasif, jarang jika pernah. TV meminta tanggapan yang positif dari para penonton. TV juga dituduh menipu, mengajarkan anak-anak bahwa masalah-masalah dapat dengan mudah dipecahkan dan segala sesuatu selalu berakhir baik pada akhirnya. Misalnya, detektif-detektif TV biasanya memerlukan hanya 30 hinga 60 menit untuk mengumpulkan dan menyortirbukti-bukti yang komplek untuk mengungkapkan pembunuh. Kekerasan adalah suatu gaya/cara hidup dalam banyak pertunjukan, yakni sah-sah saja bagi polisi untuk menggunakan kekerasan dan melanggar kode-kode moral dalam usaha mereka meme-
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
rangi penjahat. Hasil akhir kekerasan jarang dibawah ke rumah oleh para penonton. Seseorang yang terluka hanya menderita beberapa detik, tetapi dalam kehidupan nyata seseorang mungkin memerlukan berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk pulih, atau mungkin tidak pulih sama sekali. Tetapi satu dari setiap dua anak kelas satu SD mengatakan bahwa orang-orang dewasa di TV seperti orang-orang dewasa dalam kehidupan nyata. Kebutuhan TV sebagai salah satu sarana informasi, membuat stasiun TV menyiapkan berbagai program. Program yang disajikan oleh stasiun TV, diantaranya film, kuis, drama, musik, berita, telenovela dan acara lainnya. Jenis film yang ditayangkan di TV biasanya bertemakan percintaan, kehidupan keluarga, persaingan, perebutan kekuasaan, kekerasan dan sebagainya. Tayangan kekerasan dalam program TV sudah ada sejak dulu. Studi ini dipelajari oleh Gerbner dan kawan-kawan dalam Wisjnu dan Adiyanti.7 Mereka menganalisa sampel tayangan TV di Amerika, frekuensi adegan dan episode kekerasan merupakan program terbesar. Di Indonesia masyarakat selalu mendapat suguhan adegan-adegan kekerasan di TV. Stasiun-stasiun TV swasta selalu menanyangkan film-film bertema kekerasan, seperti film action, perang, silat maupun horor. Peringkat film jenis action atau laga di TV swasta selalu menduduki lima besar dalam rating acara. Untuk tayangan anak sendiri kita dapat temui pada tayangan kartun, seperti Tom and Jerry, BoBoyBoy, Donald Bebek, Sincan, Bima X, UpinIpin, CotaBim, Krisna, Naruto, Doraemon, Dragon Ball dan beberapa film kartun info lainnya. Film-film kartun ini secara langsung banyak menunjukkan contohcontoh perilaku kekerasan, meskipun dikemas dalam setting cerita yang lucu, konyol, atau kepahlawanan. Pemecahan masalah tokohnya. Jika perhatikan, film kartun yang memiliki 7
Wisjnu dan MG. Adiyanti. Pengaruh Film Televisi Terhadap Tingkah Laku Agresif Anak. Jurnal Psikologi (Yogyakarta: UGM, 2002).
73
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 69-78
tema kepahlawanan sering kali menyiratkan pesan bahwa mereka pemberantas kejahatan dengan cara membalas kekerasan dari tokoh antagonis dengan kekerasan pula. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Sri Handayani (1997). Beliau menemukan bahwa film kartun Jepang, seperti SailorMoon, Dragon Ball, Magic Knight Rai Earth, mengandung banyak peran anti sosial (58,4%) daripada adegan prososial (41,6%) kategori perilaku antisosial yang sering muncul berkata kasar (38,5%), mencelakakan (28,46%), dan pengejekan (11,44%). Sementara itu, kategori perilaku prososial yang muncul kesopanan (16,5%), empati (13,43%), dan nasihat (13,06%). Penemuan Sri Andayani tersebut sejalan dengan penemuan dari YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) yang menyatakan bahwa film kartun dengan tema kepahlawanan menampilkan adegan anti sosial berjumlah 63,51% dan prososial berjumlah 36,49%. Mereka menemukan bahwa anakanak menjadi lebih agresif setelah menyaksikan film kartun Batmen dan Superman. Tayangan dewasa yang digemari oleh ibu rumah tangga dan mendominasi tayangan TV swasta, seperti telenovela dan sinetron bersambung, banyak menunjukkan kekerasan. Ketika orang tua menonton tanpa disadari anak-anak meniru yang dilakukan orang dewasa sehingga anak-anak menggemari tayangan tersebut. Tayangan TV hanya salah satu dari berbagai faktor yang memengaruhi perilaku agresi. Sulit memisahkan pengaruh tayangan TV dari unsur-unsur kehidupan individu. Studi-studi eksperimental mengenai pengaruh penyajian TV berisi agresivitas pada anakanak, mendukung beberapa kesimpulan: (1) kekerasan yang ditayangkan dalam TV dapat langsung atau segera sesudah itu menyebabkan anak-anak meniru perilaku agresi, 2) dalam kondisi tertentu kekerasan dapat merangsang peningkatan tindakan agresi. Buktibukti menunjukkan, kekerasan yang ditayangkan melalui TV meningkatkan perilaku agresi anak-anak dengan karakteristik tertentu.
74
Tiga Aspek Perkembangan Emosi Anak 1.
Aspek Kognitif
Anak dalam aktivitas menonton TV dapat menerima segala macam informasi yang ditayangkan baik itu bersifat positif atau negatif. Informasi yang diperoleh indera disampaikan ke syaraf kemudian disimpan dalam memori. Satu saat informasi yang ada dimemori diorganisasikan (encoding) yang pada akhir menjadi persepsi. Anak-anak memersepsi dunia seperti apa yang dia amati di TV (interpretasi). Persepsi merupakan salah satu aspek kognitif manusia yang penting yang memungkinkan untuk mengetahui dan memahami dunia sekelilingnya. Tanpa persepsi yang benar, manusia mustahil dapat menangkap dan memaknai berbagai fenomena, informasi atau data yang senang tiasa mengitarinya.8 Slameto menjelaskan, persepsi adalah proses menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia melalui persepsi manusia terus-menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu indera penglihat, pendengar, peraba, perasa dan penyium. Menurut Rachman, persepsi sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan dan tentang suatu proses ingatan atau sosialisasi dari rangsangan yang ditunjuk dari dirinya tentang sesuatu yang didengar, dilihat atau dialami (recognition).11 Stimulus yang ada dalam lingkungan objek-objek di sekitar manusia, ditangkap melalui alat-alat indra dan diproyeksikan pada bagian tertentu di otak sehingga manusia dapat mengamati objek tersebut yang selanjutnya diinterpretasi. Persepsi berlangsung saat seseorang menerima stimulus dari dunia luar yang ditangkap oleh organ-organ bantunya yang kemudian masuk 8 Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, Edisi Revisi. 11 Rachman, N. Memahami Tingkalaku Sosial. (Cet. II. Jakarta: Hasmar, 1977).
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Tayangan Kekerasan di Televisi, Ainun Diana Lating
ke dalam otak.12 a. Faktor-faktor yang perbedaan persepsi
mempengaruhi
Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan persepsi antarindividu dan antar kelompok: (1) perhatian. Setiap saat ada ratusan, mungkin ribuan rangsangan yang tertangkap oleh semua indra manusia. Manusia tidak mampu menyerap seluruh rangsangan yang ada di sekitarnya sekaligus karena keterbatasan daya serap dari persepsinya sehingga memusatkan perhatian pada salah satu atau dua objek saja; (2) set. Mental set adalah kesiapan mental seseorang untuk menghadapi sesuatu rangsangan yang akan timbul dengan cara-cara tertentu. Misalnya, seorang atlet pelari yang siap di garis “start” memiliki set bahwa beberapa detik lagi akan terdengar bunyi pistol saat ia harus berlari. Terlambat atau batal bunyi pistol, bisa membuat atlet tersebut kebingungan karena tidak tahu apa yang harus dilakukan; (3) kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan sesaat maupun yang menetap pada diri seseorang memengaruhi persepsi orang tersebut; (4) sistem nilai. Sistem nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat berpengaruh pula terhadap persepsi; dan (5) Tipe kepribadin.13 b.
Lingkungan atau situasi
Lingkungan atau situasi khususnya yang melatarbelakangi stimulus berpengaruh dalam persepsi bila obyek persepsi itu manusia. Obyek dan lingkungan yang melatarbelakangi obyek merupakan kesatuan yang sulit dipisahkan. Obyek yang sama dengan situasi sosial berbeda dapat menghasilkan persepsi berbeda. Persepsi tersebut seperti anak-anak belajar tentang suara, kata, bahasa, bentuk, warna yang tergabung dalam setiap tayangan yang membentuk konsep. Dari konsep yang dimi12 Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum (Yogyaakarta: Andi, 2010). 13 Daniel Golman, Emotional Intelligence (Jakarta: GramediaPustakaUtama, 2009).
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
liki, anak mulai dapat mengabstraksikan konsep-konsep tersebut dalam pengalaman nyata, misalnya lewat bermain peran, modeling atau imitasi. 2.
Aspek Sosio-emosional
Anak belajar tentang interaksi hubungan antara individu yang satu dengan yang lain melalui tayangan TV. Tanpa disadari tayangan TV dapat membawa dan memotivasi emosi seseorang untuk terlibat dalam cerita yang dituangkan dalam setiap adegan. Apabila sebagian besar tayangan TV menampilkan kekerasan, terbuka kesempatan yang besar bagi anak-anak untuk merespon apa yang dia rasakan dan alami di dunia nyata sama seperti yang mereka saksikan di TV. Menurut Joseph LeDouxedari Universitas New York dalam Daniel Goleman, dalam temuannya bahwa, pesan-pesan dari indra-indra manusia – mata dan telinga, mula-mula tercatat oleh struktur otak yang paling terlibat dalam memori emosi yaituamigdala sebelum masuk ke dalam noekorteks. Ini berarti kecerdasan emosional membantu pikiran rasional (akal). Dengan kesempatan yang besar bagi anak untuk merespon apa yang ia saksikan di dalam dunia nyata muncul ekspresi-ekspresi tertentu pada anak terhadap orang yang ada di sekitarnya. Misal, anak secara terang-terangan menyatakan ketidaksukaannya pada temannya, anak berani melawan perkataan orang tua dan lain-lain. Anak-anak perlu diajarkan ketrampilan mengelola emosional untuk memandang sesuatu secara kritis untuk mengahdapi pengaruh kekerasan TV dari sudut yang berbeda. Salovey memberi gambaran dasar ciriciri kecerdasan emosional dalam lima wilayah utama: (1) mengenali emosi diri. Kesadaran diri–mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Kemampuan untuk memantau dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan sesungguhnya membuat seseorang berada dalam ke-
75
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 69-78
kuasaan perasaan. Orang yang berkeyakinan lebih tentang perasaannya pilot yang handal bagi kehidupan mereka, karena memiliki kepekaan lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi; (2) mengelola emosi. Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Orang-orang yang buruk kemampuannya dalam keterampilan ini akan terus menerus bertarung melawan peresaan murung, sementara mereka yang pintar dapat bangkit kembali jauh lebih cepat; (3) memotivasi diri sendiri. Menata emosi sebagai alat mencapai tujuan hal penting berkaitan untuk memberi perhatian, memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi. Kendali diri emosional menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati sebagai landasan keberhasilan dalam berbagai bidang, memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Orang-orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan; (4) mengenali emosi orang lain. Empati, kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional, orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apaapa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain; dan (5) membina hubungan. Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Ini merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antarpribadi.9 3.
Aspek Motorik
Individu di usia dini memiliki ciri perkembangan suka melakukan imitasi dan modeling dari model yang disekitarnya. Misalnya mereka menyaksikan tayangan kungfu di TV, 9
AgusEfendi, RevolusiKecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, & Successful Intelligence atas IQ (Bandung: Alfabeta, 2005).
76
dengan cepat mereka akan meniru gaya kungfu yang ada pada tayangan TV. Hal ini dapat berakibat anak menerapkan kungfu tersebut kepada temannya, bahkan bisa jadi melukai orang lain. Kajian Riset Sebelumnya Penelitian mengenai pengaruh tayangan kekerasan di TV terhadap perilaku agresif pada anak telah dilakukan sebagaimana dapat dilihat dalam Jurnal: Penelitian Longitudinal (15 tahun tahun 1992-2006 pada anak umur 610 tahun sebanyak 450 dengan data interview sebesar 329. Hasilnya ada korelasi antara menyaksikan tayangan kekerasan di TV semasa kanak-kanak dengan agresi di masa dewasa. Ada relasi yang spesifik dari perilaku agresi seperti memukul, menendang dan lain-lain. Melihat tayangan kekerasan di TV semasa kanak-kanak berpengaruh pada perilaku agresi di masa dewasa. Perilaku agresi tersebut cenderung meniru tokoh yang ada dalam tayangan TV, yang memiliki jenis kelamin yang sama dengan anak yang menyaksikannya, yang dianggap sesuai dengan apa yang ada di dunia nyata. Hal ini telah diteliti dan dianalisis dengan analisis regresi. Penelitian lain menyebutkan, menonton tayangan kekerangan di TV dalam waktu yang lama, berhubungan secara signifikan dengan kemungkinan agresi pada anak. Anak laki-laki yang banyak menonton agresi di TV cenderung melakukan kekerasan, menyumpah, agresi dalam olah raga, mengancam dengan kekerasan terhadap anak laki-laki lain, menulis slogan di dinding, atau memecahkan jendela. Investigasi ini bersifat korelasional dan dapat ditarik kesimpulan bahwa kekerasan TV menyebabkan anak-anak lebih agresif. Berdasarkan eksperimen lain, anak secara acak ditempatkan ke dalam satu dari dua kelompok, satu kelompok menonton pertunjukan TV yang diambil langsung dari kartun kekerasan yang diputar pada Sabtu pagi selama 11 hari: kelompok kedua menonton pertunjukan kartun TV yang telah dibuang semua muatan
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Tayangan Kekerasan di Televisi, Ainun Diana Lating
kekerasan. Anak-anak kemudian diobsevasi selama bermain di prasekolah mereka. Anakanak yang menonton tayangan TV dengan muatan kekerasan perilaku mereka suka menendang, mencekik, mendorong teman main mereka lebih banyak daripa anak-anak yang menonton film kartun yang tidak ada muatan kekerasan. Hal inilah yang menyimpulkan bahwa kekerasan TV menyebabkan meningkatnya agresi pada anak. Walaupun ada beberapa peneliti lain mengatakan bahwa pengaruh kekerasan TV tidak menyebabkan peningkatan agresi anak, tetapi banyak pakar lain mengatakan bahwa kekerasan TV dapat menyebabkan perilaku agresif atau antisosial pada anak. Peran Orantua Menonton TV
terhadap
Perilaku
Anak
Sikap orang tua terhadap TV memengaruhi perilaku anak karena anak akan mudah meniru. Perlu banyak aktivitas yang dapat dilakukan selain menonton TV. Jika aktivitas menonton saat mengalami kelelahan dan kebosanan tidak dilakukan dengan rutin, akan berkurang kemungkinan anak menirukan perbuatan orangtua merekal dengan mudah menyambar pengendali jarak jauh dan duduk menonton TV. Ada banyak cara beraktivitas selain menonton TV. Beberapa peran praktis yang dapat diambil orangtua berkaitan dengan aktivitas menyaksikan tayangan TV itu selektif memilih program. Orangtua lebih dulu membuat batasan bagi dirinya dan bagi anak-anaknya mengenai program yang hendak disaksikan. Anak-anak dapat diikutsertakan dalam membuat batasan. Perlu ditetapkan apa, kapan, dan seberapa banyak acara TV yang ditonton agar anak menjadikan kegiatan menonton TV sebagai pilihan bukan kebiasaan. Anak hanya menonton bila perlu. Perlu ada pendampingan orangtua di saat anak menyaksikan tayangan TV. Keberadaan orangtua ketika menyaksikan tayangan TV dapat memberikan penjelasan langsung kepada anak jika muncul adegan kekerasan. Misalnya jika ada adegan saling pukul, dapat dijelaskan
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
atau menanyakan kepada anak bagaimana rasanya jika terkena pukulan. Perlu dipastikan bahwa anak memahami pendapat orangtua mengenai adegan kekerasan yang disaksikannya. Selain itu perlu juga dibahas cara-cara lain untuk mengetasi sebuah pertikaian tanpa harus dengan kekerasan. Untuk itu dapat dipergunakan contoh-contoh kejadian yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Di taraf tertentu, jika anak dipandang telah siap, dapat dibahas pengalaman berkaitan dengan kekerasan yang mungkin pernah ada di dalam keluarga. Hal ini bertujuan untuk memberi penjelasan yang lebih jauh kepada anak bahwa tayangan kekerasan yang disaksikan di TV sengaja direkayasa untuk kepentingan disaksikan, bukan sungguhan. Bahkan TV hanya menjadi bagian kecil dari keseimbangan hidup anak. Yang penting, anak-anak perlu cukup waktu untuk bermain bersama teman-teman dan mainannya, untuk membaca cerita dan beristirahat, berjalan-jalan dan menikmati makan bersama keluarga. Umumnya anak-anak senang belajar dengan melakukan berbagai hal, baik sendiri maupun bersama orangtuanya. Mengubah pola menonton TV, anak harus meminta pendapat orangtua terlebih dahulu sebelum menyaksikan tayangan. Orangtua dapat juga memberikan alternatif pilihan kegiatan yang lain atau menentukan jadwal waktu menonton TV ataupun memberi batas waktu maksimal menonton TV. Simpulan Beberapa penelitian menunjukan bahwa menyaksikan tayangan kekerasan di TV dapat memberikan pengaruh perilaku agresif pada anak. Pengaruh tayangan kekerasan terhadap perilaku agresif anak berjalan seiring dengan perkembangan kognitif, sosio-emosional, dan motorik anak. Anak mudah melakukan imitasi atau modeling terhadap tayangan-tayangan kekerasan yang ada di TV. Orang tua berperan penting dalam mengendalikan perilaku menonton dan memberi pendampingan dalam menyaksikan tayangan-tayangan di TV
77
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 69-78
Saran Lulusan psikologi perkembangan diupayakan dapat menyosialisasikan informasi tentang efek tayangan kekerasan di TV pada perilaku agresif anak, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Hal ini dilakukan dengan menjalin relasi dengan lembaga-lembaga pemerintahan dan swasta yang memberi perhatian khusus terhadap anak-anak.
Wisjnu dan Adiyanti, M. G. Pengaruh Televisi terhadap Tingkah Laku Agresif anak. Jurnal Psikologi, Yogyakarta: UGM, 1992. Walgito, Bimo., Pengantar Psikologi Umum, Edisi Revisi. Yogyakarta : Andi, 2004.
DAFTAR PUSTAKA Carnagey&Nicholas I. Journal of Personality and Social Psychology, London: Sage Publication, 2000. Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21,
Kritik MI, Ei, Sq dan Successful Intelligence atas IQ, Bandung: Alfabeta, 2005. Fielder, K. Appleid Social Psychology. London: Sage Publication, 2000. Goleman, daniel. Emotional Intelligence, Jakarta: Garamedia Pustaka Utama, 2009. Hurlock, Elizabet B. Child Development, SixthEdition. Alih Bahasa MedMeitasari dan Muchlis Zarkasih, Jakarta: Erlangga, 2005. Indrayati. Telivisi dan Perkembangan Sosial anak, Yagyakarta: Pustaka pelajar, 1998. Rakhmat, Jalaluddin., Psikologi Komunikasi, Edisi Revisi. Bandung: Rosdakarya, 2001. Rachman, N. Memahami Tingkah Laku Sosial, Jakarta: Hasmar, 2007. Sarwono, WirawanSarlito., Psikologi Sosial, Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Santrock, John W. Life Span Development Perkembangan Masa Hidup jilid 1, Jakarta: Erlangga, 2002. Fiedler, K. Applied Social Psychology. London: Sage Publication, 1996.
78
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pendampingan Anak melalui Bimbingan Belajar, Djamila Lasaiba
PENDAMPINGAN ANAK MELALUI BIMBINGAN BELAJAR BAHASA INGGRIS TERPADU Djamila Lasaiba Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon
[email protected]
Abstract: Community Service Program with the title "Child Assistance through Tutoring integrated English in location of IAIN Ambon", focusing on empowering children. This is done with a devotion based on the assumption that the Children are the future of a nation and they are the human potential resource of a nation that is laid from the previous generation. So that children are able to assume responsibility of the nation, then the child needs special attention and gain greater opportunities to grow and develop reasonable and good optimal physical, spiritual and social. Tutoring as one of the non-formal education is necessary to be done in an effort to help children overcome problems faced in school, and also to minimize the environmental influences that often occurs in children while he was at home. This empowerment generally aims to provide insight to children in location of IAIN Ambon, especially for children of economically weak, to take advantage of times playing at home with a study conducted by tutoring, so that children are able to minimize the influence that comes from the environment residence. In addition, the special purpose of this empowerment gives knowledge of English subjects for children because these subjects are difficult for the student in elementary school. This research uses Action research to determine the approach used for integrated learning how to apply the guidance to empower children, using the model of Taggart Kemmis with some steps such as the planning, implementation, observation, and reflection. The subjects in this program are 20 children in elementary school with the criteria the poor students, namely: (1) In general, children have been able to reduce the activity of play in the neighborhood, such as Play Station, or the game KING booming at his residence. Keywords: Mentoring, Tutoring , Integrated English. Pendahuluan Pendidikan hak setiap anak dalam mengembangkan dirinya sesuai dengan kondisinya. Hal tersebut ditegaskan dalam UndangUndang No. 20 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Semua anak berhak untuk mendapatkan kesempatan melalui pemberian stimulasi pendidikan yang tepat bagi pertumbuhan dan perkembangannya sehingga anak dapat berkembang secara optimal sesuai potensinya. Hasil penelitian di bidang Neurologi
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
oleh Osborn, White dan Bloom menyebutkan bahwa anak usia 4 tahun pertama seluruh kapasitas kecerdasan manusia sudah terbentuk. Kapasitas kecerdasan anak tersebut akan mencapai 100% setelah berusia 18 tahun.1 Masa ini merupakan masa yang tepat untuk meleakkan dasar-dasar pengembangan kemampuan 1
Ernawati, Pengelolaan PAUD Terintegrasi Posyandu di Pos PAUD Tunas Bangsa dari http://www. Bppenfireg4.net/ibdex.pph/pengelolaan-paud-terintegrasi posyandu.html. Diakses tanggal 10 September 2012.
79
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 79-90
fisik, bahasa, sosial, emosional, konsep diri, seni, moral dan nilai-nilai agama sehingga upaya pengembangan seluruh potensi anak harus dimulai agar pertumbuhan dan perkembangan anak tercapai secara optimal, yang dapat dilakukan melalui pendidikan. Konsep belajar tuntas yang dianut kurikulum di Indonesia menuntut agar anak sebagai peserta didik dalam setiap pertemuan pembelajaran dapat menguasai unit bahan tertentu secara tuntas sebelum mereka melanjutkan usahanya untuk mempelajari atau menguasai bahan selanjutnya. Penguasaan terhadap bahan yang kini sedang dipelajarinya akan berpengaruh besar terhadap bahan yang kini sedang dipelajarinya dan berpengaruh besar terhadap usaha dan keberhasilan siswa dalam menguasai bahan berikutnya. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua peserta didik, pada setiap saat berhasil dalam pembelajaran.ketidakberhasilan mereka dapat bersumber pada keadaan diri siswa atau dapat pula berumber pada keadaan peserta didik sendiri atau dapat pula bersumber pada faktor yang dating dari luar diri peserta didik tersebut. Peserta didik ini membutuhkan bimbingan belajar lainnya untuk mengatasi kesulitan yang dihadapinya agar tujuan belajar yang mereka lakukan tercapai secara lebih baik. Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada peserta didik sebagai upaya menemukan pribadi, mengatasi masalah yang disebabkan oleh kelainan yang disandang, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan. Pernyataan ini jelas bahwa layanan bimbingan memegang peranan penting dalam memersiapkan peserta didik menghadapi masa depannya. Peran guru sebagai pembimbing sangat diperlukan sebagai fasilitator dalam mencapai perkembangan peserta didik secara optimal, dan menguasai materi secara tuntas. Namun, karena keterbatasan waktu belajar di sekolah sebagian peserta didik tidak dapat menguasai materi pelajaran dengan tuntas, begitupun dengan guru tidak dapat melayani
80
dan membimbing peserta didik secara individual. Hal ini mendorong sebagian besar peserta didik memilih untuk mengikuti programprogram bimbingan belajar yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga pendidikan nonformal seperi pusat bimbingan belajar ternama yang relatif mahal atau tempat-tempat kursus lainnya yang hanya menawarkan satu bidang disiplin ilmu tertentu saja. Hal ini baik bagi peserta didik yang orang tuanya mempunyai latar belakang ekonomi yang mapan, namun sebaliknya bagi peserta didik yang orang tuanya tidak mampu maka hal ini menjadi kendala. Anak-anak ini hanya mengandalkan belajar sendiri di rumah, padahal materi tersebut tidak dipahami, atau bertanya kepada orang tua mereka yang juga tidak memahami masalah yang dihadapi anaknya di sekolah. Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu diadakan tempat belajar yang dapat membimbing anak-anak kurang mampu ini sehingga mereka dapat menyapai ketuntasan belajar dan memeroleh hasil belajar yang memuaskan melalui pembelajaran terpadu, proses perubahan tingkah laku melalui belajar dengan cara penggabungan atau penyatuan antara dua atau lebih materi pelajaran. Pemberdayaan Anak 1. Pengertian Pemberdayaan Pemberdayaan berasal dari kata “daya” yang mendapat awalan ber- yang menjadi kata “berdaya” artinya memiliki atau mempunyai daya. Daya artinya kekuatan, berdaya berarti memiliki kekuatan. Pemberdayaan berarti berdaya atau berkekuatan.2 Pemberdayaan dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari empowerment dalam bahasa inggris. Pemberdayaan sebagai terjemahan dari empowerment menurut Merrian Webster dalam Oxford Eng2
Risyanti Riza., Pemberdayaan Masyarakat. (Sumedang: Alqaprint Jatinagor: 2006) dari http://suniscome.50webs.com/32%20Konsep%20Pembe rdayaan%20Partisipasi%20Kelembagaan.pdf download tanggal 2 Desember 2012.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pendampingan Anak melalui Bimbingan Belajar, Djamila Lasaiba
lish Dictionary mengandung dua penger-tian. Pertama, to give ability or enable to, yang diterjemahkan sebagai member kecakapan/kemampuan atau memungkinkan. Kedua, To give power of authority to, yang berarti memberi kekuasaan.3 Istilah pemberdayaan dan pemberdayaan masyarakat seringkali terdengar dalam wacana tentang peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Dalam kepustakaan terlihat bahwa konsep pemberdayaan (empowerment) pada mulanya ditekankan kepada proses memberi-kan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan (power) kepada individu, organisasi atau masyarakat agar menjadi lebih bergairah. Istilah pemberdayaan masyarakat atau empowerment merupakan istilah yang diangkat dari hasil penelitian seorang sarjana pendidikan nonformal Suzanne Kindervatter yang terdapat dalam bukunya Nonformal as An Empowering process dalam Arif mendefinisikan pemberdayaan atau empowering sebagai "People gaining an understanding of and
control over social, economic, and/or political forces in order to improve their standing in society".4 Selanjutnya Kindervatter juga memberikan definisi perberdayaan dalam Anwar, memiliki makna agar orang-orang yang diberdayakan itu ber“daya” atau berkemampuan untuk hidup layak sama dengan temannya sesama manusia. Ia memandang bahwa pemberdayaan sebagai proses pemebrian kekuatan atau daya dalam bentukpendidikan yang bertujuan membangkitkan kesadaran, pengertian, dan kepekaan warga belajar terhadap perkembangan social, ekonomi politik, sehingga pada akhirnya ia memiliki kemampuan untuk me-
merbaiki dan meningkatkan kedudukannya dalam masyarakat.5 Pemberdayaan masyarakat hakekatnya merupakan upaya untuk memberikan keberdayaan kepada masyarakat. Keberdayaan dalam konteks masyarakat merupakan unsur dasar yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri untuk mencapai kemajuan. Memberdayakan masyarakat berarti upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat terbawah yang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.6 Pemberdayaan dalam spectrum yang lebih luas mengartikan bahwa memberdayakan masyarakat mengandung makna mengembangkan, memandirikan, mendewasakan dan memerkuat posisi tawar-menawar masyarakat lapis bawah terhadap kekuatan penekan di segala bidang. Disamping itu mengandung arti melindungi dan membela dengan berpihak pada yang lemah untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi atas yang lemah.7 Dari pengertian-pengertian pemberdayaan tersebut, memberdayakan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkat kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain pemberdayaan masyarakat bermaksud untuk mengembangkan kemampuan masyarakat agar secara berdiri sendiri memiliki ketrampilan untuk mengatasi masalah-masalah mereka sendiri. 5
Anwar, Manajemen Pemberdayaan Perempuan; (Perubahan Sosial melalui Pembelajaran Vocational Skill pada Keluarga Nelayan (Jakarta:Alfabeta; 2007), h. 77.
6
Oxford Dictionary, (New Edition: Oxford: Ox-
Kartasasmita Ginanajar, Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
ford University Press: 2000), h. 141 4 Arif AChmad., Pemberdayaan Anak Jalanan, dari http://researchengines.com/0805arief5.html download tanggal 10 Desember 2012
((Jakarta: Pustaka Sidesindo; 1996), h. 144. 7 Prijono, Ony, S. dan Pranaka A.W.M., Pemberdayaan: Konsep, Kebiajakan dan Implementasi (Jakarta: CSIS: 1996), h. 97.
3
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
81
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 79-90
Pemberdayaan dalam konteks pembangunan istilah pada dasarnya bukanlah istilah baru melainkan sudah sering dilontarkan sejak ada kesadaran bahwa faktor manusia berperan penting dalam pembangunan. Carlzon dan Macauley sebagaimana dikutip dalam Risanti mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pemberdayaan itu sebagi berikut: “membebaskan seseorang dari kendali yang kaku, dan member orang kebebasan untuk bertanggung jawab terhadap ide-idenya, keputusan-keputusannya dan tindakan-tindakanya.8”Sementara dalam sumber yang sama, Carver dan Clatter Back mendefinisikan pemberdayaan sebagai berikut: “ upaya member keberanian dan kesempatan pada individu untuk mengambil tanggung jawab perorangan guna meningkatkan dan memberikan kontribusi pada tujuan organisasi.” Shardlow mengatakan, pemberdayaan membahas bagaimana individu, kelompok atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka”.9 Definisi pemberdayaan yang dikemukakan para pakar sangat beragam dan kontekstual. Namun, dari berbagai definisi tersebut, dapat ditarik suatu benang merah bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan: 1.
2. 3. 4.
Upaya untuk memampukan dan memandirikan masyarakat; atau dengan kata lain bagaimana menolong masyarakat untuk mampu menolong dirinya sendiri. Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung. Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial. Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya. 8
Risyanti Riza, Pemberdayaan Masyarakat, h. 2. Risyanti Riza, Pemberdayaan Masyarakat, h. 2.
9
82
5.
6.
7.
Pemberdayaan sebuah proses yang dengan ini orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan memengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memeroleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk memengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya. Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah, untuk (a) memiliki akses terhadap sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memeroleh barangbarang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (b) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang memengaruhi mereka.
Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan, masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya sendiri. Berdasarkan konsep demikian, Sumodiningrat dalam Edi Suharto mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat harus mengikuti pendekatan sebagai berikut: 1. Upaya yang dilakukan harus terarah yang lebih sering disebut pemihakan.Upaya ini ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya. 2. Program harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai beberapa tujuan, yakni agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendak dan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka, sekaligus meningkatkan kemampuan masyarakat dengan pengalaman
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pendampingan Anak melalui Bimbingan Belajar, Djamila Lasaiba
dalam merancang, melaksanakan, mengelola, dan memertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya. 3. Menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri masyarakat miskin sulit dapat memecahkan masalahmasalah yang dihadapinya. Lingkup bantuan menjadi terlalu luas jika penanganannya dilakukan secara individu. Pendekatan kelompok ini paling efektif dan dilihat dari penggunaan sumber daya juga lebih efisien.10 Pengetian pemberdayaan jika dikaitkan dengan pemberdayaan anak sebagai bagian dari anggota masyarakat merupakan proses untuk meningkatkan kemampuan anak. Anak perlu diberdayakan melalui demokratisasi, pembangkitan ekonomi kerakyatan, keadilan dan penegakan hukum, partisipasi politik, serta pendidikan luar sekolah. Anak membutuhkan pendidikan. Pemenuhan pendidikan itu haruslah memperhatikan aspek perkembangan fisik dan mental mereka. Anak bukanlah orang dewasa yang berukuran kecil. Berdasarkan pengertian-pengertian yang diberikan diatas, maka yang dimaksud dengan pemerdayaan anak dalam pengabdian ini upaya untuk meningkatkan kemampuan anak dengan daya yang dimiliki. Anak bagian dari masyarakat yang tidak mampu untuk merepresentasikan dirinya sendiri sehingga anak memerlukan representatif. Anak, dalam merepresentasikan dirinya ada dua kelompok yang bertanggungjawab yaitu natural dan unnatural. Secara natural orangtua biologis merupakan representasi anak, jika orangtua tersebut tidak mampu untuk menjadi representasi dari anakanaknya, peran tersebut diambil alih oleh unnatural representatif. Unatural representatif tersebut terdiri dari dua jenis yaitu yang formal dan informal. Secara informal represen10 Edi suharto, Pengertian Pemberdayaan dari :http://suniscome.50webs.com/32%20Konsep%20Pemb erdayaan%20Partisipasi%20Kelembagaan.pdf download tanggal 5 Desember 2012
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
tatif anak itu individu-individu yang memiliki hubungan dengan anak tersebut atau keluarga dari orangtua biologis. Sedangkan formal unrepresentatif itu lembaga yang mengambil peran representatif secara legal seperti lembaga-lembaga yang menangani permasalahanpermasalahan anak.11 Anak memiliki dunianya sendiri dan berbeda dengan orang dewasa. Orang tua tidak cukup memberinya makan dan minum saja, atau hanya melindunginya di sebuah rumah, karena anak membutuhkan kasih sayang. Kasih sayang merupakan fundamen pendidikan. Tanpa kasih, pendidikan ideal tidak dapat dijalankan. Pendidikan tanpa cinta menjadi kering tidak menarik. Kedua orang tua dalam mendidik anak harus sepaham. Mereka harus bertindak sebagai sahabat-teman anak, kompak dengan guru, sabar sebagai benteng perlindungan bagi anak, menjadi teladan, rajin bercerita, memilihkan mainan, melatih disiplin, mengajari bekerja, dan meluruskan sifat buruk anaknya (misalnya: berkata kotor, berkelahi, suka melawan, pelanggaran sengaja, mengamuk, keras kepala, selalu menolak, penakut, manja, nakal, membuat gaduh, mengganggu). Pendidikan, pada prinsipnya, hendaknya memertahankan anak yang masih sekolah dan mendorong mereka melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu, pendidikan memasilitasi anak yang tidak lagi bersekolah ke program pendidikan luar sekolah yang setara dengan sekolah. Program itu antara lain Kelompok belajar Paket A dan Kelompok belajar Paket B yang merupakan program pendidikan setara SD/SLTP, pelatihan-pelatihan, maupun kelompok-kelompok belajar, dan lain-lain. 2. Pendekatan dalam Pemberdayaan Masyarakat Menurut Korten dalam Tjokrowinoto ada dua pendekatan yang digunakan dalam hubungannya dengan pembangunan manusia 11
Milton Friedman., Capitalism and Freedom. (Chicago: the University of Chicago Press: 1982). h. 22
83
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 79-90
yaitu production centered development dan people centered development atau human centered development.12 Pertama, Production Centered development yaitu merupakan pendekatan pranata yang lebih berorientasi pada peningkatan produktivitas. Pendekatan ini berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dijadikan focus perhatian pembangunan. Nilai produksi dan produktivitas diletakkan pada tempat yang utama. Manusia diletakkan sebagai pelengkap factor produksi sematamata. Pendekatan ini tidak memuaskan dalam pemberdayaan manusi sehingga muncul yang kedua yaitu people centered development yang menjadikan manusia sebagai focus utama pembangunan. Pendekatan ini menjangkau dimensi yang lebih luas. Manusia ditempatkan sebagai subjek pembangunan harus berasal dari manusia, dilakukan oleh manusia, dan untuk kepentingan manusia. Pendekatan ini memberikan peranan kepada individu bukan sebagai obyek tetapi sebagai subyek (pelaku/ aktor) yang menentukan tujuan yang hendak dicapai, menguasai sumber-sumber mengarahkan proses yang menentukan hidup mereka. Pendekatan ini dapat diterjemahkan sebagai upaya pembangunan yang ditujukan kepada manusia melalui penciptaan kondisi atau lingkungan yang dapaat mendorong lahirnya manusia kreatif yang mampu menyelenggarakan pembangunan dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Pembangunan yang berwawasan people centered merupakan proses peningkatan kemampuan maanusia untuk menentukan masa depannya dan ini berarti masyarakat perlu dilibatkan dalam proses pembangunan. Untuk itulah menurut Bryant dan White dalam Putra,13 dalam membangun martabat manusia, dibutuhkan aspek-aspek antara lain: 12
Tjokrowinoto, Muljarto, Pembangunan, Dilema dan Tantangannya (Cet. III: Yogyakarta: Pustaka Pelajar:2001), h.208. 13 Putra Fadhilah., Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik (Yogyakarta:Liberty:2002), h.82.
84
1.
2.
3.
4. 5.
Capacity; yakni membangkitkan kemampuan optimal manusia baik individu maupun kelompok untuk melakukan pembangunan. Equity; yaitu mendorong tumbuhnya kebersamaan, pemerataan nilai dan kesejahteraan serta pemerataan hasil-hasil pembangunan. Empowerment; yaitu memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun dirinya sesuai dengan kemampuannya. Sustainability; yaitu membangkitkan kemampuan untuk membangun secara mandiri dan hidup terus. Interpedence; yaitu mengurangi ketergantungan measyarakat dan menciptakan hubungan saling menguntungkan dan saling menghormati.
Pemberdayaan Anak melaui Pendidikan Luar Sekolah Pemberdayaan sangat identik dengan pendidikan, karena pendidikan sebagai upaya mencerdaskan bangsa berarti memberdayakan setiap warga negara agar mampu berbuat seimbang baik dalam pikiran, perkataan dan perbuatan, antara hak dan kewajiban, menjadi warga negara yang bersikap dan berbuat demokratis terhadap sesama manusia menuju masyarakat yang memahami hak, kewenangan dan tanggungjawab mereka dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan termasuk pendidikan luar sekolah atau pendidikan nonformal merupakan usaha memberdayakan manusia, memampukan manusia, mengembangkan talenta-talenta yang ada pada diri manusia agar dengan kemampuan/potensi yang dimilikinya dapat dikembangkan melalui pendidikan/pembelajaran.14 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa Pendi14
Putra Fadhilah., Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik (Yogyakarta:Liberty:2002), h.82.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pendampingan Anak melalui Bimbingan Belajar, Djamila Lasaiba
dikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan non-formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada peenguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian sosial.15 Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan pelatihan daan kerampilan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, Pusat kegiatan belajar masyarakat dan majelis Ta’lim serta pendidikan yang sejenis. Konsep pemberdayaan dalam pendidikan luar sekolah di Indonesia pertama kali dikembangkan oleh Kindervatter dalam Anwar yang memandang bahwa pemberdayaan sebagai proses pemberian kekuatan atau daya dalam bentuk pendidikan bertujuan membangkitkan kesadaran, pengertian, dan kepekaan warga belajar terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik, sehingga pada akhirnya ia memiliki kemampuan untuk memerbaiki dan meningkatkan kedudukannya dalam masyarakat.16 Selanjutnya menurut Kindervatter proses pemberdayaan melalui program pendidikan luar sekolah dilakukan dalam delapan langkah, yaitu: (1) menyusun kelompok kecil sebagai penerima awal atas rencana program pemberdayaan, (2) mengidentifikasi/membangun kelompok warga belajar tingkat wilayah, (3) me15
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI., Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan Nasional. (2006) h. 19. 16 Anwar, Manajemen Pemberdayaan Perempuan, h. 77.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
milih dan melatih fasilitator kelompok, (4) mengaktifkan kelompok belajar, (5) menyelenggarakan pertemuan-pertemuan fasilitator, (6) mendukung aktivitas kelompok yang sedang belajar, (7) mengembangkan hubungan diantara kelompok, dan (8) menyelenggarakan sebuah lokakarya untuk evaluasi. Lebih lanjut Kindervatter mengemukakan ndelapan karakteristik pendidikan luar sekolah sebagai proses pemberdayaan, yaitu: (1) belajar dilakukan dalam kelompok kecil, (2) pemberian tanggung jawab lebih besar kepada warga belajar selama kegiatan pembelajaran berlangsung, (3) kepemimpinan kelompok diperankan oleh warga belajar, (4) sumber belajar bertindak selaku fasilitator, (5) proses kegiatan belajar berlangsung secara demokratis, (6) adanya kesatuan pandangan dan langkah dalam mencapai tujuan, (7) menggunakan metode dan teknik pembelajaran yang dapat menimbulkan rasa percaya diri pada warga belajar, (8) bertujuan akhir untuk meningkatkan status sosial, ekonomi atau politik warga belajar dalam masyarkat.17 Pendidikan luar sekolah berdasarkan empowering process menekankan kepada pendekatan pendidikan yang memerluas pengalaman bagi warga belajar untuk memeroleh pemahaman dan mengontrol terhadap kekuatankekuatan sosial, ekonomi, dan politik melalui pengontrolan semua aspek proses belajar-mengajar, belajar tentang materi dan proses keterampilan yang berkaitan dengan masalah-masalah dan kebutuhan-kebutuhan warga belajar. Proses pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan nonformal merupakan sebuah upaya yang memungkinkan masyarakat dengan segala keberadaanya dapat memberdayakan dirinya. Dengan pusat aktivitas harusnya berada di tangan masyarakat itu dengan bertitik tolak dari masyarakat, dilaksanakan oleh masyarakat dan manfaatnya untuk masyarakat atau dengan istilah lain pendidik17
Anwar, Manajemen Pemberdayaan Perempuan,
h. 77.
85
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 79-90
an berbasis pada masyarakat. Berkaita dengan dengan hal ini, menurut Yunus, ada lima prinsip dasar yang patut diperhatikan: (1) kepedulian terhadap masalah, kebutuhan dan potensi/ sumberdaya masyarakat; (2) kepercayaan timbal balik dari pelayan program dan dari masyarakat pemilik program; (3) fasilitasi (pemerintah) dalam membantu kemudahan masyarakat dalam berbagai proses kegiatan; (4) adanya partisipatif, yaitu upaya melibatkan semua komponen lembaga atau individu terutama warga masyarakat dalam proses kegiatan dan (5) mengayomi peranan masyarakat dan hasil yang dicapai.18 Agar Masyarakat memiliki kemampuan mengembangkan potensinya dalam rangka pemberdayaan masyarakat peran pendidikan non-formal berfungsi strategis. Pendidikan luar sekolah(PLS), atau pendidikan nonformal adalah setiap kegiatan yang terorganisasi dan sistematis di luar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya (Coombs, dalam Sudjana, 2000: 23). Program pendidikan Nonformal sebagaimana tercantum dalam pasal 26 ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terdiri dari pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia diri, pendidikan kepemudaaan, pendidikan pemberdayaan perempuan pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Berdasarkan undang-undang tersebut pendidikan nonformal atau pendidikan kecakapan hidup telah secara eksplisit diakui oleh undang-undang.
18
Anwar, Manajemen Pemberdayaan Perempuan,
h. 77.
86
Bimbingan Belajar sebagai upaya Pemberdayaan Anak 1. Pengertian Bimbingan Belajar Tidak setiap siswa memiliki kemampuan untuk mengatasi persoalan (masalah) yang terkait dengan belajar. Seringkali kemampuan itu mesti difasilitasi oleh guru dan guru pembimbing untuk dapat direalisasikan. Walaupun mungkin seorang siswa memiliki potensi yang baik, namun yang bersangkutan kurang punya kemampuan untuk mengembangkannya, sudah barang tentu hasil belajarnya kurang baik. Di sisi lain kehadiran orang lain dalam hal ini para guru dan guru pembimbing menjadi amat penting untuk membantu mengembangkan potensi siswa dan dalam menghadapi masalahmasalah yang berkait dengan belajar. Guru dan guru pembimbing memiliki kesempatan yang luas untuk secara bersama dengan siswanya mengembangkan berbagai kemampuan potensial yang diharapkan menunjang kegiatan belajarnya. Bimbingan belajar merupakan suatu proses pemberian bantuan dari guru/guru pembimbing kepada siswa dengan cara mengembangkan suasana belajar yang kondusif dan menumbuhkan kemampuan agar siswa terhindar dari dan atau dapat mengatasi kesulitan belajar yang mungkin dihadapinya sehingga mencapai hasil belajar yang optimal. Hal ini mengandung arti bahwa para guru/guru pembimbing berupaya untuk memfasilitasi agar siswa dapat mengatasi kesulitan belajarnya dan sampai ada tujuan yang diharapkan. Bimbingan belajar dilakukan dengan cara mengembangkan suasana belajar-mengajar yang kondusif agar siswa terhindar dari kesultian belajar. Para pembimbing membantu siswa mengatasi kesulitan belajar, mengembangkan cara belajar efektif, mengembangkan kebiasaan belajar yang positif, membantu siswa agar sukses dalam belajar dan agar mampu menyesuaikan diri terhadap semua tuntutan pendidikan. Pembimbing dalam bimbingan belajar berupaya memasilitasi siswa
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pendampingan Anak melalui Bimbingan Belajar, Djamila Lasaiba
dalam mencapai tujuan belajar yang diharapkan. 3. Manfaat Bimbingan Belajar Bimbingan belajar dapat bermanfaat baik bagi peserta didik, maupun bagi guru atau pembimbing, diantaranya: a. Manfaat Bagi Siswa 1) Tersedianya kondisi belajar yang nyaman dan kondusif yang memungkinkan siswa dapat mengembangkan kemampuan potensinya secara optimal. 2) Terperhatikannya karakteristik pribadi siswa secara utuh yang akan menjadi dasar bagi yang bersangkutan untuk menempatkan dirinya ada posisi yang tepat. 3) Dapat mereduksi dan mengatasi kemungkinan terjadinya kesulitan belajar yang dapat meningkatkan keberhasilan belajar. b. Manfaat Bagi Guru/Guru Pembimbing 1) Membantu untuk lebih mampu menyesuaikan materi pembelajaran, bahkan program pembelajaran dengan keadaan siswa secara perorangan maupun kelompok. 2) Memudahkan guru pembimbing dalam memahami karakteristik siswanya sebagai dasar untuk membantu pengembangan potensi mereka bahkan sampai pada posisi penentuan bantuan kepada mereka. 4.
Tujuan Bimbingan Belajar
Abin Syamsudin dalam Suherman mengungkapkan tujuan dari layanan bimbingan adalah agar individu dapat mencapai taraf perkembangan dan kebahagiaan yang optimal. Sedangkan layanan bimbingan belajar sendiri bertujuan untuk membantu dan membekali individu (peserta didik) agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi belajarnya, membentuk kebiasaan-kebiasaan belajar yang positif agar mencapai prestasi yang optimal. Secara umum, tujuan bimbingan belajar itu tercapainya penyesuaian akademis secara optimal sesuai dengan potensi yang dimiliki
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
siswa. Secara khusus, tujuan bimbingan belajar sebagai berikut: a. Siswa dapat memahami dirinya, misalnya siswa dapat memahami keunggulan dan kelemahan diri. Hal ini dapat tercipta jika siswa merasa aman dan bebas untuk mengungkapkan dan mewujudkan dirinya. Menurut Munandar rasa aman dapat tercipta jika guru dapat menerima siswa sebagaimana adanya dengan segala kekuatan dan kelemahannya dan tetap menghargainya. Guru seyogianya memahami siswa dan memberikan pengertian dengan mencoba menempatkan diri dalam situasi siswa dengan melihat dari sudut pandang siswa. b. Siswa memiliki keterampilan belajar, misalnya keterampilan untuk membuat pertimbangan dan mengambil keputusan. Siswa-siswa berharap harus diperkenalkan dan dilatih pada situasi permasalahan atau persoalan yang rumit yang harus siswa alami agar dapat memberi pertimbangan dan menemukan penyelesaian yang paling tepat. c. Siswa mampu memecahkan masalah belajar, misalnya bagaimana cara menyelesaikan persoalan secara kreatif, tidak cukup untuk hanya mengemukakan macammacam gagasan atau menghasilkan sejumlah kemungkinan penyelesaian masalah. Untuk dapat membuat pilihan, siswa harus memiliki alasan dan patokan yang relevan untuk menilai pilihan yang terbaik. d. Terciptanya suasana belajar yang kondusif bagi siswa. Kondisi lingkungan yang dapat memupuk kemampuan siswa yaitu terlebih dahulu guru memahami siswa dan memberikan pengertian dengan mencoba menempatkan diri dalam situasi dan sudut pandang siswa. e. Siswa memahami lingkungan pendidikan. Adanya bimbingan belajar, diperoleh manfaat bagi siswa maupun pengajar atau konselor sekolah. Bagi siswa bimbingan
87
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 79-90
belajar tersedianya kondisi belajar yang nyaman dan efektif, dapat mereduksi dan mengatasi terjadinya kesulitan belajar dan dapat meningkatkan keberhasilan belajar. Bagi pengajar maupun konselor sekolah adalah dapat membantu untuk lebih menyesuaikan materi pembelajaran atau materi bimbingan dengan keadaan siswa, dapat memahami dan memperhatikan siswa sebagai pribadi yang utuh serta memudahkan pengajaran dalam memahami karakteristik siswa.19 5.
Pembelajaran Terpadu
Pembelajaran terpadu merupakan pendekatan belajar mengajar yang secara sengaja mengaitkan beberapa aspek baik dalam intra pelajaran maupun antarmata pelajaran. Dengan pemaduan itu siswa akan memeroleh pengetahauan dan ketrampilan secara utuh sehingga pembelajarn menjadi bermakna bagi siswa. Bermakna memberikan arti bahwa pada pembelajaran terpadu siswa akan dapat memahami konsep-konsep yang mereka pelajari melalui pengalaman langsung dan nyata yang menghubungkan aantar konsep dalam intra mata pelajaran maupun antar pelajaran.20 Pendekatan pembelajaran seperti ini akan dapat memberikan pengalaman yang bermakna kepada peserta didik. Pengertian bermakna disini karena dalam pembelajaran terpadu diharapkan peserta didik memeroleh pemahaman terhadap konsep-konsep yang mereka pelajari dengan melalui pengalaman-pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah mereka pahami.21 Pembelajaran terpadu pada dasarnya, merupakan suatu system pembelajaran yang
memungkinkan peserta didik baik secara individual maupun kelompok, aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip keilmuan secara holistik, bermakna, dan otentik. Pembelajaran terpadu akan berlangsung apabila peristiwa-peristiwa otentik atau eksplorasi topik atau tema menjadi pengendali di dalam kegiatan pembelajaran. Dengan berpartisipasi di dalam eksplorasi tema atau topik atau peristiwa tersebut, peserta didik belajar sekaligus proses dan isi berbagai mata pelajaran secara serempak. Beberapa pengertian dari pembelajaran terpadu yang dikemukakan oleh beberapa pakar seperti yang dikutip dalam Sutrisno22, sebagai berikut: a. Cohen dan Manion mengemukakan bahwa terdapat tiga kemungkinan variasi pembelajaran terpadu yang berkenaan dengan pendidikan yang dilaksanakan dalam suasana pendidikan progresif yaitu kurikulum terpadu (integrated curriculum), hari terpadu (integrated day), dan pembelajaran terpadu (integrated learning). Kurikulum terpadu adalah kegiatan menata keterpaduan berbagai materi mata pelajaran melalui suatu tema lintas bidang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna sehingga batas antara berbagai bidang studi tidaklah ketat atau boleh dikatakan tidak ada. Hari terpadu berupa perancangan kegiatan siswa dari sesuatu kelas pada hari tertentu untuk mempelajari atau mengerjakan berbagai kegiatan sesuai dengan minat mereka. Sementara itu, pembelajaran terpadu menunjuk pada kegiatan belajar yang terorganisasikan secara lebih terstruktur yang bertolak pada tema-tema ter-
19
Anwar, Manajemen Pemberdayaan Perempuan,
h. 77.
20
Pembelajaran Tematik di SD merupakan Terapan dari Pembelajaran Terpadu dari Sukayaty.,
http://file.upi.edu/Direktori/FPOK/JUR._PEND._KEPE LATIHAN/196412151989012-sukayati.pdf download tanggal 10 desember 2012. 21 Sukayaty., Pembelajaran Tematik di SD.
88
22
Sutrisno Widodo., Evaluasi dalam Proses pembelajaran terpadu di Sekolah Dasar. ,Jurnal teknologi pendidikan Vol.10.No.1 April 2010. Dari http://jurnal-teknologi-pendidikan.tp.ac.id/evaluasidalam-pembelajaran-terpadu-di-sekolah-dasar.pdf download tanggal 5 Desember 2012.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pendampingan Anak melalui Bimbingan Belajar, Djamila Lasaiba
tentu atau pelajaran tertentu sebagai titik pusatnya (center core/center of interest). b. Menurut Prabowo pembelajaran terpadu adalah suatu proses pembelajaran dengan melibatkan/mengkaitkan berbagai bidang studi. Pembelajaran terpadu merupakan pendekatan belajar mengajar yang melibatkan beberapa bidang studi. Pendekatan belajar mengajar seperti ini diharapkan dapat memberikan pengalaman yang bermakna kepada anak didik. Arti bermakna disini dikarenakan dalam pembelajaran terpadu diharapkan anak akan memeroleh pemahaman terhadap konsep-konsep yang mereka pelajari dengan melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah mereka pahami. Simpulan Pembelajaran terpadu dapat dilakukan dengan menggabungkan beberapa mata pelajaran, pembelajaran terpadu dapat memberikan pengalaman yang bermakna bagi peserta didik karena mereka dapat memeroleh pemahaman materi lain dalam satu kali pertemuan pembelajaran. Pembelajaran terpadu merupakan pendekatan belajar mengajar yang memperhatikan dan menyesuaikan dengan tingkat perkembangan anak didik Pendekatan yang berangkat dari teori pembelajaran yang menolak drillsystem sebagai dasar pembentukan pengetahuan anak. Langkah awal dalam melaksanakan pembelajaran terpadu pemilihan/ pengembangan topik atau tema. Guru dalam langkah awal ini mengajak anak didiknya untuk bersamasama memilih dan mengembangkan topik atau tema tersebut. Anak didik terlibat aktif dalam proses pembelajaran dan pembuatan keputusan. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan terpadu ini diharapkan dapat memerbaiki kualitas pendidikan dasar, terutama untuk mencegah gejala penjejalan kurikulum dalam proses pembelajaran di sekolah.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Arif . Pemberdayaan Anak Jalanan. dari http://researchengines.com/0805arief5.ht ml download tanggal 10 Maret 2015 Anwar., Manajemen Pemberdayaan Perempu-
an; (Perubahan Sosial melalui Pembelajaran Vocational Skill pada Keluarga Nelayan. (Jakarta:Alfabeta; 2007) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI., Undang-Undang dan
Peraturan pemerintah RI tentang Pendidikan Nasional. 2006. Ernawati, Pengelolaan PAUD terintegrasi Posyandu di pos PAUD Tunas Bangsa dari http://www.Bppenfireg4.net/ibdex.pph/p engelolaan-paud-terintegrasiposyandu.html. Diakses tanggal 10 Mei 2015. Fadhilah Putra,. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik, Yogyakarta: Liberty, 2002. Friedman, Milton. Capitalism and Freedom. Chicago: the University of Chicago Press: 1982. Ginanjar, Kartasasmita ., Pembangunan untuk
Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. ((Jakarta: Pustaka
Sidesindo; 1996). Muljarto, Tjokrowinoto, Pembangunan, Dilema dan Tantangannya Cet. III: Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2001. Ony, Prijono, S. dan Pranaka A.W.M., Pem-
berdayaan: Konsep, Kebiajakan dan Implementasi, Jakarta: CSIS: 1996. Riza, Risyanti, Pemberdayaan Masyarakat. Sumedang: Alqaprint Jatinagor:2006 dari http://suniscome.50webs.com/32%20Ko nsep%20Pemberdayaan%20Partisipasi% 20Kel
89
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 79-90
Suharto, Edi., Pengertian Pemberdayaan dari :http://suniscome.50webs.com/32%20Ko nsep%20Pemberdayaan%20Partisipasi% 20Kelembagaan.pdf download tanggal 5 Juni 2015 Sukayaty, Pembelajaran Tematik di SD
merupakan Terapan dari Pembelajaran Terpadu dari
http://file.upi.edu/Direktori/FPOK/JUR. _PEND._KEPELATIHAN/19641215198 9012-sukayati.pdf download tanggal 10 Juni 2015. Widodo, Sutrisno, “Evaluasi dalam Proses Pembelajaran terpadu di Sekolah Dasar”, Jurnal Teknologi Pendidikan Vol. 10. No.1 April 2010. Dari http://jurnalteknologi-pendidikan.tp.ac.id/evaluasidalam-pembelajaran-terpadu-di-sekolahdasar.pdf download tanggal 5 Juni 2015
90
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pengembangan Assesment Otentik sebagai Upaya Peningkatan Hasil Belajar, Irvan Lasaiba
PENGEMBANGAN ASSESSMENT OTENTIK SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN CAPAIAN HASIL BELAJAR MAHASISWA JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI FITK IAIN AMBON Irvan Lasaiba Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon e-mail :
[email protected]
Abstract: Department of Biology Education FITK IAIN Ambon actively participate in developing the curriculum and authentic assessment to assessment of teacher and students. Authentic Assessment is expected to provide benefits, both students and teacher and provide accurate information about the development of students' progress, which directly can improve student learning motivation, by comparing current results with past work, provide opportunities for students to learn and work in accordance with the conditions of each individual. Authentic assessment is a process of gathering information by the faculty on the development and achievement of student learning is done through a variety of techniques are able to reveal, prove or demonstrate precisely that the learning objectives have been completely overcome and achieved. Asesment authentic is basically the assessment of performance, which is a performance that was shown as a result of a comprehensive learning process. Development of authentic assessment can be done through a standard assessment of competence, basic competence, the development of assessment that includes indicators syllabus, billing types, shapes, sphere assessment and appraisal activity schedules in one semester. These activities would be better if done in conjunction with the syllabus development of learning materials, as well as the implementation process using valuation techniques that are transparent, real, rational, and is objective. Keywords: Assesment, Hasil Belajar. Pendahuluan Peningkatan mutu di antaranya dengan cara perbaikan proses belajar mengajar atau pembelajaran. Berbagai konsep dan wawasan baru tentang pembelajaran di dunia telah muncul dan berkembang seiring pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tindak lanjut dari landasan pendidikan tersebut adalah munculnya orientasi pada pembentukan kompetensi yang relevan dengan tuntutan dunia nyata. Kompetensi meliputi pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap. Pendidikan tra-
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
disional yang sangat berorientasi kuantitatif dan menyandarkan pada pemahaman pengetahuan semata, dianggap tidak dapat membekali peserta didik dengan kompetensi yang diperlukan dalam kehidupan. Pemerinatah, dalam rangka melakukan pembaharuan sistem pendidikan tersebut, melakukan penyempurnaan kurikulum nasional untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Perubahan kurikulum dimulai dari pergeseran paradigma dari pendekatan pendidikan yang berorientasi masukan (input-oriented educa-
91
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 91-98
tion) ke pendekatan pendidikan berorientasi hasil atau standard (outcome-based eduation). Dosen memiliki orientasi yang jelas tentang apa yang harus dikuasi mahasiswa mampu mendesain dan merancang serta melakukan proses pembelajaran dengan menggunakan sistem penilaian hasil belajar yang ia pandang paling efektif dan efisien untuk mencapai standard pendidikan Nasional.1 Dosen didorong untuk menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran tuntas (mastery learning) dan sistem assesmen yang otentik. Selama ini proses pembelajaran lebih sering diartikan sebagai pengajar menjelaskan materi kuliah dan mahasiswa mendengarkan secara pasif. Namun, telah banyak ditemukan bahwa kualitas pembelajaran akan meningkat jika para mahasiswa peserta proses pembelajaran memperoleh kesempatan yang luas untuk bertanya, berdiskusi, dan menggunakan secara aktif pengetahuan baru yang diperoleh serta penilaian yang transparan dan bersifat otentik bagi mahasiswa. Dosen sebagai pengajar berupaya memberikan suatu penilaian yang seobjektif mungkin dan tepat sasaran sehingga mampu mendorongnya untuk lebih berprestasi dalam proses pembelajaran. Menurut Clifford dan Wilson, dalam A.A. Istri N. Marhaeni menjelaskan bahwa assessment otentik sebagai salah satu evaluasi hasil belajar yang dapat diartikan sebagai proses penilaian perilaku kinerja (kinerja) mahasiswa secara multidimensional dalam situasi nyata. Asesmen otentik diartikan sebagai penilaian terhadap proses perolehan, penerapan pengetahuan dan ketrampilan melalui proses pembelajaran yang secara akurat mengukur kompetensi setiap mahasiswa dalam proses pembelajaran.2 1 Agung Haryono, Authentic Assessment dan Pembelajaran Inovatif dalam Pengembangan Kemampuan Siswa, (JPE-Volume 2, Nomor 1, 2009), h. 2 2 A.A. Istri N. Marhaeni, Pembelajaran Inovatif
dan Asesmen Otentik dalam Rangka Menciptakan Pembelajaran Yang Efektif dan Produktif (Makalah Disampaikan dalam Lokakarya Pengusunan Kurikulum
92
Pendidikan Biologi sebagai salah satu jurusan di Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon ikut berpartisipasi aktif dalam mengembangkan kurikulum dan strategi pembelajaran dengan mengikuti workshop desain kurikulum dan pembelajaran, pengembangan KKNI yang menitikberatkan pada penilaian alternatif atau assessment otentik yang membutuhkan transparansi penilaian dosen terhadap mahasiswa. Transparansi penilaian menggunakan asesmen otentik melalui model pembelajaran tertentu diharapkan dapat menciptakan pembelajaran dapat berpusat pada mahasiswa karena direncanakan, dilakukan, dan dinilai oleh mahasiswa sendiri; mengungkapkan seoptimal mungkin kelebihan setiap individu, dan juga kekurangannya (untuk bisa dilakukan perbaikan). Kegiatan ini dilakukan dengan proses pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang perkembangan kemajuan hasil belajar mahasiswa yang diperoleh melalui pengukuran terhadap kinerja atau tugas-tugas yang telah ditentukan, dalam hal ini penilaian mencakup pengumpulan bukti-bukti yang dapat menunjukkan tingkat pencapaian hasil belajar. Pemberlakuan penilaian (assessment) otentik ini diharapkan memberikan manfaat, baik mahasiswa maupun dosen. Di samping memberikan informasi yang akurat tentang perkembangan kemajuan belajar siswa, juga dapat meningkatkan motivasi belajar mahasiswa, dapat membandingkan hasil pekerjaan sekarang dengan yang lalu, memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk belajar dan bekerja sesuai dengan kondisi masing-masing individu. Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini yaitu untuk mengetahui pengembangan assessment otentik dalam pencapaian hasil belajar mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi FITK IAIN Ambon, dan komponen-kompodan Pembelajaran Inovatif di Fakultas Teknologi Pertanian Univesitas Udayana Denpasar Tanggal 8-9 Desember 2007), h. 10.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pengembangan Assesment Otentik sebagai Upaya Peningkatan Hasil Belajar, Irvan Lasaiba
nen yang dapat dimasukkan dalam assessment otentik pada mahasiswa Jurusan pendidikan Biologi FITK IAIN Ambon. Penelitian ini secara akademis memberikan sumbangan yang baik dalam perbaikan pembelajaran dan penilaian hasil belajar mahasiswa, mendapatkan pengalaman langsung dari penggunaan assesment otentik, serta bermanfaat bagi mahasiswa untuk dapat mengetahui seberapa jauh perkembangan hasil belajarnya dalam mata kuliah yang diprogramkan. Tinjauan tentang (Penilaian Otentik)
Authentic
Assessment
Penilaian hasil belajar idealnya dapat mengungkap semua aspek domain pembelajaran, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Mahasiswa yang memiliki kemampuan kognitif baik saat diuji dengan paper-andpencil test belum tentu ia dapat menerapkan dengan baik pengetahuannya dalam mengatasi permasalahan kehidupan sehari-hari. Penilaian hasil belajar sangat terkait dengan tujuan yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran. Umumnya tujuan pembelajaran mengikuti penglasifikasian hasil belajar yang dilakukan oleh Bloom, yaitu cognitive, affective dan psychomotor. Cognitive ranah yang menekankan pada pengembangan kemampuan dan keterampilan intelektual. Affective ranah yang berkaitan dengan pengembangan perasaan, sikap nilai dan emosi. Sedangkan psychomotor adalah ranah yang berkaitan dengan kegiatankegiatan atau keterampilan motorik.3 Ketiga domain pembelajaran tersebut tidak dapat dipaksakan dalam semua mata pelajaran dengan porsi yang sama. Penilaian otentik mementingkan penilaian proses dan hasil sekaligus yang memungkinkan seluruh tampilan mahasiswa dalam rangkaian kegiatan pembelajaran dapat dinilai secara objektif, transparan, dapat dinilai secara langsung, dan tidak hanya berdasarkan 3
I N.S. Degeng, Kumpulan Bahan Pembelajaran; Menuju Pribadi Unggul Melalui Perbaikan Proses Pembelajaran (Malang: LP3, UM. 2001), h. 23.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
tes hasil ujian. Aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran di dalam kelas seyogyanya dilakukan selama dan sejalan dengan berlangsung kegiatan proses pembelajaran tersebut. Cara penilaian juga bermacam-macam, dapat menggunakan model non tes dan tes sekaligus, serta dapat dilakukan kapan saja bersamaan dengan kegiatan pembelajaran. Kegiatan tersebut dilakukan secara terencana secara baik seperti kegiatan memberikan tes (ulangan) harian, latihan-latihan di kelas, penugasan, wawancara, pengamatan, angket, catatan lapangan/harian, portofolio, dan lain-lain. Penilaian yang dilakukan lewat berbagai cara atau model, menyangkut berbagai ranah, serta meliputi proses dan produk inilah yang disebut sebagai penilaian otentik. Otentik dapat berarti dan sekaligus menjamin: objektif, nyata, konkret, benar-benar hasil tampilan siswa, serta akurat dan bermakna. Penilaian otentik menekankan kemampuan pembelajar untuk mendemonstrasikan pengetahuan yang dimiliki secara nyata dan bermakna. Kegiatan penilaian tidak sekedar menanyakan atau menyadap pengetahuan yang telah diketahui pembelajar, melainkan kinerja secara nyata dari pengetahuan yang telah dikuasai. Hal yang serupa dikemukakan Hiebert, Valencia, & Afferbach yang menyatakan bahwa penilaian otentik merupakan penilaian terhadap tugas-tugas yang menyerupai kegiatan membaca dan menulis sebagaimana halnya di dunia nyata dan di sekolah. Tujuan penilaian itu adalah untuk mengukur berbagai keterampilan dalam berbagai konteks yang mencerminkan situasi di dunia nyata tempat keterampilan-keterampilan tersebut digunakan. Misalnya, penugasan kepada pembelajar untuk membaca berbagai teks aktual-realistik, menulis topik-topik tertentu sebagaimana dalam di kehidupan nyata, dan berpartisipasi konkret dalam diskusi atau bedah buku, menulis untuk jurnal, surat, atau mengedit tulisan sampai siap cetak. Dalam kegiatan itu, baik materi pembelajaran maupun penilaiannya teampak atau bahkan memang alamiah.
93
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 91-98
Penilaian model ini menekankan pada pengukuran kinerja, doing something, melakukan sesuatu yang merupakan penerapan dari ilmu pengetahuan yang telah dikuasai secara teoretis.4 Penilaian otentik memberikan pembelajar untuk mendemonstrasikan pengetahuan, keterampilan, dan strategi melalui kreasi jawaban atau produk yang dihasilkan. Mahasiswa tidak sekedar diminta merespon jawaban seperti dalam tes tradisional, melainkan dituntut untuk mampu mengkreasikan dan menghasilkan jawaban yang dilatarbelakangi oleh pengetahuan teoretis. Penilaian kemampuan mahasiswa dalam menyikapi pencemaran lingkungan dalam mata Kuliah Bioteknologi Lingkungan misalnya, pembelajar mampu menganalisis kandungan pencemaran air, udara, dan tanah serta faktor penyebabnya dalam sebuah proyek yang selanjutnya dipertanggungjawabkan kinerjanya secara argumentatif, membuat resensi, dan lain-lain. Tiap mata kuliah di Jurusan Pendidikan Biologi, tentu memiliki kriteria kinerja yang belum tentu sama dengan mata kuliah yang lain. Kinerja hasil hasil mata kuliah Morfologi Tumbuhan tentu tidak sama dengan hasil mata kuliah Bioteknologi Lingkungan, Genetika, Teknik Laboratorium, dan lain-lain. Namun, pada prinsipnya semua mata kuliah itu harus melaksanakan penilaian dan salah satunya dengan model penilaian otentik. Walau tiap mata kuliah berbeda karakteristik, baik yang termasuk kategori ilmu-ilmu kejurusanan maupun keinstitutan, kesemuanya tampaknya dapat menerapkan model penilaian otentik khususnya yang berupa portofolio. Penilaian dalam pelaksanaannya tujuan penilaian diarahkan pada empat (4) hal berikut. a. Keeping track, yaitu untuk menelusuri agar proses pembelajaran anak didik tetap sesuai dengan rencana, 4
Hiebert, Valencia, & Afferbach http://www.eduplace.com/, diunduh 5-9-2010.
94
(1994,
b. Checking-up, yaitu untuk mengecek adakah kelemahan-kelemahan yang dialami anak didik dalam proses pembelajaran. c. Finding-out, yaitu untuk mencari dan menemukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya kelemahan dan kesalahan dalam proses pembelajaran. d. Summing-up, yaitu untuk menyimpulkan apakah anak didik telah mencapai kompetensi yang ditetapkan atau belum.5 Perbedaan Penilain Konvensional dan Otentik Berkaitan dengan penilaian tradisional, masih dilihat sebagai penilaian yang lebih banyak menyadap pengetahuan yang telah dikuasai mahasiswa sebagai hasil belajar yang diperoleh melalui tes bentuk objektif maupun tes Essay. Di pihak lain, penilaian otentik lebih menekankan pada pemberian tugas yang menuntut pembelajar menampilkan, mempraktikkan, atau mendemonstrasikan hasil pembelajarannya di dunia nyata secara bermakna yang mencerminkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan dalam suatu mata pelajaran. Singkatnya, penilaian tradisional lebih menekankan tagihan penguasaan pengetahuan, sedangkan penilaian otentik kinerja atau tampilan yang mencerminkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan. Mueller dalam Sentayasa, menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan antara penilaian konvensional dan penilaian otentik. Penilaian konvensional antara lain memiliki karakteristik sebagai berikut. a. Misi sekolah mengembangkan warga negara yang produktif. b. Untuk menjadi warga negara produktif, seseorang harus menguasai disiplin keilmuan dan keterampilan tertentu. c. Sekolah mesti mengajarkan mahasiswa disiplin keilmuan dan keterampilan tersebut. 5 Bahrul Hayat, Penilaian Kelas (Classroom Assessment) dalam Penerapan Standard Kompetensi
(Jurnal Pendidikan Penabur - No.03 / Th.III / Desember 2004), h.110.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pengembangan Assesment Otentik sebagai Upaya Peningkatan Hasil Belajar, Irvan Lasaiba
d. Untuk mengukur keberhasilan pembelajaran, dosen harus mengetes mahasiswa untuk mengetahui tingkat penguasaan keilmuan dan keterampilan itu. e. The curriculum drives assessment; the body of knowledge is determined first. Di pihak lain, penilaian otentik memiliki karakteristik sebagai berikut. f. Misi sekolah mengembangkan warga negara yang produktif. g. Untuk menjadi warga negara produktif, seseorang harus mampu memberikan penilaian6 Penilaian otentik adalah proses pengumpulan informasi oleh dosen tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan anak didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran telah benar-benar dikuasai dan dicapai. Berikut prinsip-prinsip umum penilaian otentik. a.
Proses penilaian harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pembelajaran, bukan bagian terpisah dari proses pembelajaran (a part of, not apart from,
instruction) b.
c.
d.
Penilaian harus menyerminkan masalah dunia nyata (real world problems), bukan masalah dunia sekolah (school work-kind of problems). Penilaian harus menggunakan berbagai ukuran, metoda dan kriteria yang sesuai dengan karakteristik dan esensi pengalaman belajar. Penilaian harus bersifat holistik yang mencakup semua aspek dari tujuan pem6
I W. Santyasa. Model-Model Pembelajaran Inovatif, Makalah, Disajikan Dalam Pelatihan Tentang Penelitian Tindakan Kelas Bagi Guru-Guru Smp Dan Sma Di Nusa Penida, Tanggal 29 Juni S.D 1 Juli 2007.Tim PEKERTI-AA PPSP LPP, Panduan Evaluasi Pembelajaran, Surakarta: Pusat Pengembangan Sistem Pembelajaran LPP Sebelas Maret, Cetakan pertama, 2007.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
belajaran (kognitif, afektif, dan sensorimotorik).7 Lebih lanjut menurut A. A. Istri N. Marhaeni bahwa secara garis besar, asesmen otentik memiliki sifat-sifat (1) berbasis kompetensi yaitu asesmen yang mampu memantau kompetensi seseorang. Asesmen otentik pada dasarnya adalah asesmen kinerja, yaitu suatu unjuk kerja yang ditunjukkan sebagai akibat dari suatu proses belajar yang komprehensif. Kompetensi adalah atribut individu peserta didik, oleh karena itu asesmen berbasis kompetensi bersifat (2) individual. Kompetensi tidak dapat disamaratakan pada semua orang, tetapi bersifat personal. Karena itu, asesmen harus dapat mengungkapkan seoptimal mungkin kelebihan setiap individu, dan juga kekurangannya (untuk bisa dilakukan perbaikan); (3) berpusat pada peserta didik karena direncanakan, dilakukan, dan dinilai oleh dosen dengan melibatkan secara optimal peserta didik sendiri; Asesmen otentik bersifat tak terstruktur dan open-ended, dalam arti, percepatan penyelesaian tugas-tugas otentik tidak bersifat uniformed dan klasikal, juga kinerja yang dihasilkan tidak harus sama antar individu di suatu kelompok. Untuk memastikan bahwa yang diases tersebut benar-benar adalah kompetensi riil individu (peserta didik) tersebut, asesmen harus dilakukan secara (4) otentik (nyata, riil seperti kehidupan seharihari) dan sesuai dengan proses pembelajaran yang dilakukan, sehingga asesmen otentik berlangsung secara (5) terintegrasi dengan proses pembelajaran. Asesmen otentik bersifat (6) on-going atau berkelanjutan, oleh karena itu asesmen harus dilakukan secara langsung pada saat proses belajar mengajar berlangsung, sehingga dapat terpantau roses dan produk belajar.8 7
I W. Santyasa. Model-Model Pembelajaran Ino-
vatif, h. 3. 8
A.A. Istri N Marhaeni, Pembelajaran Inovatif dan Asesmen Otentik dalam Rangka Menciptakan Pembelajaran Yang Efektif dan Produktif (Makalah Disam-
95
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 91-98
Sifat assessment otentik yang komprehensif juga dapat membentuk unsur-unsur metakognisi dalam diri peserta didik seperti risktaking, kreatif, mengembangkan kemampuan berfikir tingkat tinggi dan divergen, tanggungjawab terhadap tugas dan karya, dan rasa kepemilikan (ownership).9 Penilaian otentik diartikan sebagai pemanfaatan pendekatan non-tradisional untuk memberi penilaian kinerja atau hasil belajar mahasiswa. Ada kalanya penilaian alternative diidentikan dengan penilaian otentik atau penilaian kinerja. Penilaian otentik yang dapat diartikan sebagai proses penilaian perilaku kinerja mahasiswa secara multidimensional pada situasi nyata sedangkan penilaian kinerja diartikan sebagai penilaian terhadap proses perolehan, penerapan pengetahuan dan keterampilan melalui proses pembelajaran yang menunjukkan kemampuan mahasiswa dalam proses maupun produk.10 Penilaian otentik dapat diberikan dalam bentuk: Penilaian Kinerja (Performance Assesment) yang dapat dilakukan dengan memberikan Task (contoh tugas) dan Rubrik. Rubrik merupakan wujud penilaian kinerja yang dapat diartikan sebagai kriteria penilaian yang bermanfaat membantu dosen untuk menentukan tingkat ketercapaian kinerja yang diharapkan. Sebagai kriteria dan alat penskoran rubrik terdiri dari senarai yaitu daftar kriteria yang diwujudkan dengan dimensi-dimensi kinerja, aspek-aspek atau konsep-konsep yang akan dinilai, dan gradasi mutu, mulai dari tingkat
yang paling sempurna sampai dengan tingkat yang paling buruk.11 Pengembangan Penilaian Otentik Berkaitan dengan Model Pembelajaran Pengembangan sistem penilaian otentik dapat dilakukan melalui beberapa langkah, antara lain: a.
b.
c.
d.
e. paikan Dalam Lokakarya Pengusunan Kurikulum Dan Pembelajaran Inovatif Di Fakultas Teknologi Pertanian Univesitas Udayana Denpasar Tanggal 8-9 Desember 2007) h. 2–3. 9 A.A. Istri N Marhaeni, Pembelajaran Inovatif dan Asesmen Otentik, h. 2-3. 10 Tim PEKERTI-AA PPSP LPP, Panduan Evaluasi Pembelajaran (Surakarta: Pusat Pengembangan Sistem Pembelajaran LPP Sebelas Maret, Cet. I; 2007), h. 237.
96
Mengkaji standar kompetensi. Standar ini telah tercantum pada kurikulum yang menggambarkan kemampuan minimal yang harus dimiliki oleh lulusan dalam setiap mata pelajaran. Standar ini memiliki implikasi signifikan dalam perencanaan, implementasi dan pengelolaan penilaian. Mengkaji kompetensi dasar. Kompetensi dasar adalah kemampuan minimal yang harus dimiliki mahasiswa pada bahasan tertentu. Untuk itu pada langkah ini dosen sudah mulai memikirkan materi yang harus diberikan pada mahasiswa agar mahasiswa dapat memiliki kompetensi yang telah dirumuskan. Pengembangan silabus penilaian yang mencakup indikator, jenis tagihan, bentuk, ranah penilaian dan jadwal kegiatan penilaian dalam satu semester. Kegiatan ini akan lebih baik jika dilakukan bersamaan dengan pengembangan silabus materi pembelajaran. Proses Implementasi menggunakan berbagai teknik penilaian seperti yang telah direncakan dan pelaksanaan sesuai jadwal yang telah diinformasikan pada siswa. Pencatatan, pengolahan, tindak lanjut dan pelaporan. Semua hasil penilaian diupayakan untuk terdokumentasikan secara baik.
11 Tanwey Gerson Ratumanan dan Theresia Laurens, Evaluasi Hasil Belajar Yang Relevan Dengan Kurikulumberbasis Kompetensi (Surabaya: Unesa University Press, 2003), h.108.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pengembangan Assesment Otentik sebagai Upaya Peningkatan Hasil Belajar, Irvan Lasaiba
Tindak lanjut dari hasil penilaian laporan dapat berupa pengayaan atau remidi.12 Moon (2005) dalam Haryono, menyatakan bahwa penilaian otentik selalu memberi kesempatan pada mahasiswa untuk menunjukkan pengetahuan dan skillnya dengan baik. Penilaian otentik menurut Moon memiliki karakteristik sebagai berikut: a. b. c. d. e. f.
g.
h.
Fokus pada materi yang penting, ide-ide besar atau kecapan-kecakapan khusus; Merupakan penilaian yang mendalam; Mudah dilakukan di kelas atau di lingkungan sekolah; Menekankan pada kualitas produk atau kinerja dari pada jawaban tunggal; Dapat mengembangkan kekuatan dan penguasaan materi pembelajaran pada siswa; Memiliki kriteria yang sudah diketahui, dimengerti dan dinegosiasi oleh mahasiswa dan dosen sebelum penilaian dimulai; Menyediakan banyak cara yang memungkinkan mahasiswa dapat menunjukkan bahwa ia telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan; Pemberian skor penilaian didasarkan pada esensi tugas.13
Berkaitan dengan model pembelajaran di kelas, menurut Arends dalam Abbas bahwa penilaian otentik sebagai salah satu ciri khusus dalam pencapaian tujuan pembelajaran berbasis masalah yaitu untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, belajar berperan sebagai orang dewasa, autentik, dan menjadi pebelajar yang mandiri.14 12
Haryono, Authentic Assessment dan Pembelajaran Inovatif dalam Pengembangan Kemampuan Siswa, h. 4. 13 Haryono, Authentic Assessment dan Pembelajaran Inovatif dalam Pengembangan Kemampuan Siswa, h. 5. 14 N. Abbas, Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Berorientasi Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Insruction). (Prog-
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Lebih lanjut menurut Harsono bahwa di dalam model-model pembelajaran efektif dikenal adanya conceptual fog yang bersifat umum, mencakup kombinasi antara metoda pendidikan dan filosofi kurikulum. Hal ini mempunyai implikasi penting yang meliputi evaluasi, penelitian, dan perbandingan program.15 Berdasarkan uraian tersebut, penilain otentik merupakan salah satu factor penting yang tidak dapat dilepaskan dari model-model pembelajaran efektif. Penilaian otentek memiliki sifat berpusat pada peserta didik, terintegrasi dengan pembelajaran, otentik, berkelanjutan, dan individual. Selain itu Sifat asesmen otentik yang komprehensif juga dapat membentuk unsur-unsur metakognisi dalam diri peserta didik seperti risk-taking, kreatif, mengembangkan kemampuan berfikir tingkat tinggi dan divergen, tanggungjawab terhadap tugas dan karya, dan rasa kepemilikan (ownership). Simpulan dan Saran Penilaian otentik adalah proses pengumpulan informasi oleh dosen tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan mahasiswa melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran telah benar-benar dikuasai dan dicapai. Asesmen otentik pada dasarnya asesmen kinerja, yaitu suatu unjuk kerja yang ditunjukkan sebagai akibat dari suatu proses belajar yang komprehensif. Pengembangan penilaian otentik dapat dilakukan melalui pengkajian standar kompetensi, kompetensi dasar, pengembangan silabus penilaian yang mencakup indikator, jenis tagihan, bentuk, ranah penilaian dan jadwal kegiatan penilaian dalam ram Studi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana. UNESA 2000), h 10. 15 Harsono, Problem Based Learning (Yogyakarta; Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, 2009), h. 1
97
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 91-98
satu semester. Kegiatan ini akan lebih baik jika dilakukan bersamaan dengan pengembangan silabus materi pembelajaran, serta proses implementasinya menggunakan teknik penilaian yang transparan, nyata, rasional, dan bersifat objektif. Implikasi tulisan ini, disarankan hal-hal sebagai berikut: 1.
2.
Diupayakan bagi para dosen bahwa dalam pembelajaran, faktor penilaian ber peran penting dalam menentukan keberhasilan belajar mahasiswa. Dengan penilaian riil dan rasional dapat meningkatkan motivasi dan minat mahasiswa dalam belajar. Diupayakan bagi para dosen dan tenaga pengajar yang lain, biasakan menggunakan penilaian otentik dengan mengolaborasikan berbagai strategi maupun metode yang yang relevan, karena dengan penilaian otentik ini selain dosen, mahasiswa juga dapat mengetahui perkembangan hasil belajar yang diperolehnya selama mengukuti perkuliahan.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, N. Pengembangan Perangkat Pembe-
lajaran Matematika Berorientasi Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Insruction). Program Studi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana. UNESA 2000. Degeng, I N. S..(Malang: Kumpulan Bahan Pembelajaran; Menuju Pribadi Unggul Melalui Perbaikan Proses Pembelajaran, LP3, UM. 2001. Harsono, Problem Based Learning, Yogyakarta; Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, 2009.
98
Haryono Agung, Authentic Assessment dan Pembelajaran Inovatif dalam Pengembangan Kemampuan Siswa, JPE-Volume
2, Nomor 1, 2009 Penilaian Kelas (Classroom Assessment) dalam Penerapan Standard Kompetensi, Jurnal Pendidikan Penabur
Hayat, Bahrul,
- No.03 / Th.III / Desember 2004 Hiebert, Valencia, & Afferbach (1994, http://www.eduplace.com/, diunduh 5-92010 Marhaeni, A.A. Istri N. Pembelajaran Inova-
tif Dan Asesmen Otentik Dalam Rangka Menciptakan Pembelajaran Yang Efektif dan Produktif, Makalah Disampaikan dalam Lokakarya Pengusunan Kurikulum Dan Pembelajaran Inovatif Di Fakultas Teknologi Pertanian Univesitas Udayana Denpasar Tanggal 8-9 Desember 2007. Ratumanan, T G., dan Laurens, Theresia.
Evaluasi Hasil Belajar Yang Relevan Dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi, Surabaya: Unesa University Press, 2003. Santyasa, I W. Model-Model Pembelajaran Inovatif, Makalah Disajikan dalam Pelatihan Tentang Penelitian Tindakan Kelas Bagi Guru-Guru Smp Dan Sma Di Nusa Penida, Tanggal 29 Juni S.D 1 Juli 2007.Tim PEKERTI-AA PPSP LPP, Panduan Evaluasi Pembelajaran, Surakarta: Pusat Pengembangan Sistem Pembelajaran LPP Sebelas Maret, Cetakan pertama, 2007 Tim PEKERTI-AA PPSP LPP, Panduan Evaluasi Pembelajaran, Surakarta: Pusat Pengembangan Sistem Pembelajaran LPP Sebelas Maret, Cetakan pertama, 2007.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pengembangan Materi Bahasa Inggris, M. Faqih Seknun
PENGEMBANGAN MATERI BAHASA INGGRIS UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA TEKS-TEKS BAHASA INGGRIS DI KALANGAN MAHASISWA FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN IAIN AMBON M. Faqih Seknun Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon
[email protected] HP: 081220815440.
Abstrak: English is one of International Language and as Communication with other in the world. In Indonesia the level of education from SD until University learning English as a Foreign language but is not second language. The Faculty of Tarbiyah and Education IAIN Ambon. The writer research about the ability the students for three department were Biology, Mathematics and PAI for the ability reading English text, the result from questioner and test showed that “ the ability from student all specially Biology, mathematics and PAI department still lower. The result from comprehension reading text and ability to answering the question still problem. The find result from research can be found differences between the first test the students get result 64,13% where the student still understanding about the question and reading text, but from second test for all students result 50,06% this is indicate that the ability from student follow the lower when developing classroom materials we should also consider principles of language teaching. Some of the teaching principles is the teaching should meet the needs and want of the learners. The lectures always to looking for othger method and styrategy to develop students ability in reading text in English. Keyword: Reading More Is Important For Students. Pendahuluan Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional penutur paling banyak di dunia dibandingkan dengan bahasa asing lain di dunia. Di Indonesia bahasa Inggris dapat diterapkan mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi. Bahasa Inggris dalam konteks Indonesia sebagai bahasa asing atau EFL, bukan sebagai bahasa kedua (second language) atau EFL. Mata kuliah yang diajarkan di Fakultas Tarbiyah IAIN Ambon, khususnya mata kuliah bahasa Inggris dianggap sebagai MKDU diajarkan di kalangan mahasiswa Fakultas
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Tarbiyah IAIN Ambon. Beberapa masalah yang ditemukan: (1) mahasiswa menganggap mata kuliah bahasa Inggris sebagai MKDU saja, (2) mahasiswa kurang berminat/interest terhadap bahasa Inggris, (3) mahasiswa ratarata mahasiswa mengalami kesuliatan yang kompleks terhadap empat kompoetensi dalam bahasa Inggris: kompetensi writing, speaking, listening dan reading, dan (4) belum ada minat mahasiswa dalam membaca teks-reks bahasa Inggris. Permasalahan yang dialami di lokasi penelitian mayoritas mahasiswa tidak dapat membaca teks-teks bahasa Inggris dengan baik dan benar. Kesulitan ini bukan saja terletak
99
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 99-104
pada cara ucapan/membaca, melainkan sering banyak dialami karena mahasiswa sulit memahami isi teks yang dibaca. Di samping itu, Y. Goodman (1975 dalam Robert J. Tierney at al. 1995:460) memberikan penekanan terhadap membaca seperti berikut: These raders use effective reading strategies when the material is higly interesting to them or when it is easy because it has a low concept load. Howerver, when these readers find themselves reading material which is complex, they use less efficient reading strategies. They stop searchig for meaning and end up sounding out or word calling. When asked how handle any particular raeding problem, such readers often say the sound words out; they may be unaware that they use context to read or they may believe the teacher disapproves of it. Strategy lessons help these readers become aware of the various effecitive reading strategies they already use when reading easy material permatting them to transfer effective reading strategies to more difficult reading materials. Pendapat tersebut menggambarkan, bilamana seseorang yang melaksanakan membaca secara efektif dan baik tergantung bahan teks yang dibaca memilki kualitas yang tinggi sehingga dapat memerngaruhi semangat membaca seseorang. Sebaliknya jika dalam konteks bacaan terdapat level bacaanya rendah maka dapat diucapkan dengan mudah, meskipun seseorang membaca akan sulit menemukan konsep sesuai dengan bacaan secara lengkap. Penggunaan strategi membaca merupakan hal yang efisien dalam menyesuaikan sebuah teks bacaan. Dengan menggunakan ragam bunyi atau intonasi yang diucapkan melalui katakata selaian itu ada beberapa persolan penting yang digunakan sebagai solusi pemecahan masalah terkait dengan berbagai persoalan yang muncul dalam konteks pembelajaran mem-
100
baca. Untuk memecahkan berbagai problem membaca mahasiswa khususnya di Fakultas Tarbiyah IAIN Ambon, perlu ada pendekatan dosen secara khusus dalam kegiatan membaca. Strategi yang digunakan dapat membantu bentuk efektif membaca pada materi dengan efektif dengan strategi lebih banyak kesulitan melalui membaca. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kombinasi atau mixed metode pendekatan penelitian yang mengkombinasikan atau mengasosiasikan bentuk kualitatif dan bentuk kuantitatif, pendekatan ini melibatkan asumsiasumsi filosofis, aplikasi. Pendekatan-pendekatan kualitatif penampilan mixing (Cresswell dan Plano Clark, 2007). Sejalan dengan kerangka teoritis dan hasil-hasil yang relevan, variable yang diteliti mencakup (jenis bahan ajar berdasarkan bacaan level mudah, sedang, dan sulit, selain itu faktor kemampuan mahasiswa dalam membaca teks-teks bahasa Inggris dan faktor lain yang memengaruhi mahasiswa. 1.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di tiga jurusan yakni Jurusan Pendidikan Biologi, Jurusan Pendidikan Matematika dan Jurusan PAI di FAkultas Tarbiyah IAIN Ambon. 2.
Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini mahasiswa dari ketiga jurusan yang berjumlah 460 orang mahasiswa; Biologi 200 mahasiswa, Matematika 150 mahasiswa, dan Matematika 110 mahasiswa. Dari total mahasiswa tersebut, subjek penelitian berjumlah 10-20%. 3. Instrument Penelitian Instrument penelitian yang dikembangkan mencakup (1) angket guna sebagai awal gambaran kompetensi mahasiswa terhadap mata kuliah bahasa Inggris, (2) tes, untuk mengetahui seberapa kemaampuan mahasiswa
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pengembangan Materi Bahasa Inggris, M. Faqih Seknun
dalam membaca teks-teks bahasa Inggris, dan (3) dokumen. 4. Analisais Data Analisis deskriptif digunakan untuk mendapatkan gambaran awal perkuliahan bahasa Inggris (Materi tentang membaca teks-teks bahasa Inggris) analisis kualitatif terhadap data yang diperoleh melalui angket untuk mengidentifikasi belajar mahasiswa di kelas dan analisis kuantitatif diterapkan agar mengidentifikasi perkembangan kemampuan membaca terks-terks bahasa Inggris oleh mahasiswa di lokasi penelitan. Hasil Penelitian 1.
sesuai kompetensi reading. Pertanyaan nomor 10 terkait dengan kemampuan membaca mahasiswa ternayata meraka menjawab dengan sebanyak 39% menjawab ada pengaruh dosen, usaha sendiri dan pengaruh buku dan teksteks bahasa Inggris. 2.
Hasil Pembelajaran
Sebelum diadakan test tertulis pada mahasiswa penelitian ini terlebih dahulu diberikan angket/questioner untuk melihat obyektifitas mahasiswa terhadap apa yang dialami selama ini di kampus. Peneliti mengadakan test kepada mahasiswa sebanyak 2 kali dengan teks dan soal yang berbeda untuk melihat kemampuan kognitif mahasiswa di 3 jurusan.
Hasil Angket
Hasil angket yang dilakukan tanggal 5-6 Juli 2015 untuk 8 kelas yang diambil ketiga jurusan yakni: Biologi, Matemetika dan PAI. Dari sepuluh pertanyaan yang diajukan kepada mahasiswa pertanyaan itu mengandung minat, kompotensi, serta lain-lain yang diidentifikasi motivasi mahasiswa dan pengaruh lingkungan belajar. Mahasiswa beranggapan bervariasi, antara lain: pertanyaan nomor 1, mata kuliah bahasa Inggris dianggap menyenangkan 45%. Pertanyaan nomor 2 tentang kompetensi reading mereka merespon dengan 34%. Pertanyaan nomor 3 terkait dengan memahami kandungan teks bacaaan sebanyak 40%. Pertanyaan nomor 4, kompetensi membaca dirasakan sukar untuk dipahami 32%. Pertanyaan nomor 5 pengaruh dosen dalam meningkatkan membaca hanya mencapai 38%. Pertanyaan nomor 6, metode membaca yang baik untuk dipahami dengan cara reading comprehension 60%. Pertanyaan nomor 7, tentang keterampilan yang paling disukai mahasiswa mereka merespon sebanyak 60% lebih suka speaking dan pertanyaan nomor 8, metode mengajar dosen yang sudah sesuai teks-teks bahasa Inggris 42% dan pertanyaan nomor 9, berhubungan dengan teks-teks bacaan yang diberikan dosen selama ini mahasiswa sebanyak 63% menjawab sudah
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Tabel 1.2. Hasil Tes 1 Tiga Jurusan No Item 1 2 3 4 5
Jum-lah Mahasiswa 87 87 87 87 87
Tes 1/ Skors
Penguasaan %
56 44 23 30 47
64,36% 50,57% 26,43% 34,42% 52,02%
Jumlah
64,13%
Perolehan Sign Sign Unsign Unsign Sign
Dari hasil tes bagian ke-1yang diberikan kepada 87 mahasiswa untuk ketiga jurusan seperti dalam table, masing-masing dapat diinterpretasi sebagai berikut. Hasil analisis soal no 1, terdapat 56 atau (64%) mahasiswa dapat memahami isi teks dan menjawab benar secara mayoritas. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa paham terhadap apa yang mereka baca dalam teks dimaksud. Soal nomor 2 sebanyak 44 mahasiswa (50.57%) menjawab soal tersebut dengan benar. Hal ini menunjukkan mahasiswa masih mengerti apa yang mereka baca dari teks tersebut. Sementara pada soal no 3, terdapat 23 orang mahasiswa (26.43%) mahasiswa mengalami kesulitan dalam memahami isi teks maupun menjawab soal yang ada, hal ini menunjukkan bahwa teks yang dibaca lebih sulit dan tidak dikuasai sebagaiman yang di-
101
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 99-104
harapkan. Sementara soal nomor 4, terdapat 30 (34.42%) mahasiswa mengalami kesulitan untuk menjawab dengan baik dan sempurna ini menunjukan tingkat kemampuan mahasiswa dalam memahami isi teks tersebut belum baik. Sementara soal 5 terdapat 47 (54.02%) mahasiswa bisa menjawab dengan baik dan benar. Dari hasil yag diberikan pada soal no 5, menunjukkan bahwa secara signifikan mahasiswa masih memahami isi teks yang dibaca. Dari permasalahan yang tergambar dari hasil tes bagian ke-1 menunjukkan bahwa mahasiswa secara signifikan memahami isi dalam teks tersebut dengan baik. Hal ini terbukti terdapat 60% menunjukkan kemampuan mahasiswa dalam memahami isi teks tersebut dengan baik dan benar selain itu untuk melihat hasil membaca di kangan mahasiswa dalam teks kedua dapat diuraikan sebagai berikut. Tabel 1.2. Hasil Tes 2 Tiga Jurusan No Item
Tes II /Skor s 48
Penguasaan %
Perolehan
1
Jumlah mahasiswa 87
55.17%
2
87
27
31%
3
87
35
40.22%
4
87
40
45.95%
5
87
27
31,03%
6
87
46
52.87%
7
87
36
41.37%
8
87
29
33,33%
9
87
16
18.39%
10
87
46
52,87%
Signifikan Unsignifikan Unsignifikan Signifikan Unsignifikan Signifikan Unsignifikan Unsignifikan Unsignifikan Signifikan
440.33/87 50.06 (Result)
102
Berdasarkan hasil tes ke-2 dari 87 mahasiswa yang terdiri dari 3 jurusan, dilihat sebagai berikut: pada soal no 1, mahasiswa dapat menjawab benar mencapai 48 (55.15%) menunjukkan mayoritas mahasiswa masih memahami isi teks yang dibacanya. Sementara pada item soal nomor 2, mahasiswa dapat menjawab benar sebanyak 27 (31%). Hal ini menunjukkan mahasiswa belum sepenuhnya menguasai terhadap teks yang dibacanya. Untuk pertanyaan nomor 3, mahasiswa sebanyak 35 (40,22%). Ini menunjukkan bahwa teks/soal masih sulit. Sementara pada soal nomor 4, terdapat 40 (45,95%) orang mahasiswa menjawab dengan baik dan benar. Untuk soal nomor 5 kemampuan menjawab benar 27 (31,03%) mahasiswa menjawab benar. Soal no-mor 6, terdapat 46 (52,87%) mahasiswa menjawab benar. Soal nomor 7, sebanyak 36 (41,3%) mahasiswa menjawab benar. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa secara mayoritas tidak memahami isi teks bacaaan dimaksud. Sementara nomor 8, terdapat 29 (33,33%) yaqng dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan baik dan benar. Sementara soal nomor 9, terdapat 16 (18,39%) mahasiswa menjawab soal dengan tepat. Untuk nomor 10, terdapat 46 (52,87%) mahasiswa menjawab dengan benar. Perolehan hasil baik dari hasil angket maupun melalui hasil belajar yang dibuktikan dengan pemberian tes 1 dan 2 untuk kemampuan riil mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Ambon menunjukkkan belum berhasi proses perkuliahan di IAIN Ambon khsusnya mata kuliah bahasa Inggris yang berorientasi pada kompetensi membaca dan atau pemahaman bacaaan teks-teks bahasa Iggrias di kalangan mahasiswa. Menurut Abdurrahman (2003) prestasi belajar dipengaruhi dua faktor yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal disebabkan fungsi neurologi, sedangkan faktor eksternal, antara lain strategi perkuliahan yang keliru, pengelolaan kegiatan belajar yang tidak membangkitkan motivasi belajar mahasiswa/
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pengembangan Materi Bahasa Inggris, M. Faqih Seknun
siswa. Faktor-faktor neorologi antara lain: faktor genetik, luka pada otak, pencemaran lingkungan/kekuatan oksigen, faktor biokimia, gizi yang tidak memadai dan faktor pengaruh psikiologi dan sosial yang merugikan mahasiswa. Sementara hal yang sama disimpulkan oleh Djamarah (2002:2001) mengelompokkan kedalam dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor ekternal tentang sebab kurang lancar membaca. Faktor internal penyebab yang berasal dari dalam diri anak. Penyebab yang muncul dalam diri antara lain biasa bersifat: (a) kognitif (ranah cipta), seperti rendahnya kapasitas intelektual anak, (b) afektif (ranah rasa), seperti labilnya emosi dan sikap, dan (c) psikomotor (ranah karsa), seperti terganggunya alat-alat indera penglihatan, dan pendengaran (mata dan telinga). Kurang lancar membaca secara khusus dikatakan Abdurrahman (1999:2006) menjadi factor penghambat dalam kegiatan membaca. Hal ini disebabkan sebagai berikut: (a) mahasiswa kurang mengenal huruf, bunyi bahasa (fonetik), dan bentuk kalimat, (b) mahasiswa tidak memahami makna kata yang dibaca, (c) ada perbedaan dialeg atau pengucapan antara mereka secara fundamental (d) mahasiswa terlalu cepat membaca karena kemungkinan perasaanya tertekan, (e) mereka bingung meletakan posisi kata yang diucapkannya (f) bingung dengan membaca huruf yang bunyinya sama seperti: bunyi huruf /b/dan /p/ (g) anak kurang mengerti tentang arti tanda baca, tanda baca tidak perlu diperhatikannya (h) terjadi keraguraguan dalam membaca. Faktor eksternal meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktifitas belajar anak, meliputi: (1) lingkungan keluarga, contohnya orang tua tidak pernah mendampingi dan membimbing anak waktu belajar, (2) lingkungan perkampungan atau masyarakat, contohnya wilayah perkampungan kumuh (slum area) dan teman sepermainan (peer group) yang nakal, dan (3) lingkungan sekolah, contohnya kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk, dekat pasar,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
kondisi guru, serta kurangnya peralatan untuk kepentingan pembelajaran. Membaca adalah aktivitas pencarian informasi melalui lambang-lambang tertulis. Membaca suatu proses bernalar, Reading is reasoning. Dengan membaca didapatkan dan diproses informasi hingga mengendap menjadi sebuah pengetahuan. Pengetahuan itu menjadi suatu dasar untuk dinamisasi kehidupan, memerlihatkan eksistensi, berjuang memertahankan hidup, dan mengembangkan dalam bentuk sains dan teknologi sebagai kebutuhan hidup manusia. Temuan Perkuliahan bahasa Inggris di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Pendidikan IAIN Ambon dari segi konteksinalnya sudah berlangsung dengan baik. Namun, beberapa permasalahan yang mendasar dari lemahnya penguasaan mahasiswa terhadap membaca teks-teks bahasa Inggris disebabkan: (1) kelemahan dan ketidakmampuan mahasiswa terhadap membaca teks-teks bahasa Inggris bermula dari tamatan SMA/MA, (2) minat dan kemampuan mahasiswa yang masih rendah dan belum baik terhadap mata kuliah bahasa Inggris, (3) waktu perkuliahan bahasa Inggris yang masih kurang sehingga tidak memberikan ruang dan waktu pada pembelajaran mahasiswa di kampus lebih banyak, dan (4) rata-rata dosen yang mengajarkan Mata Kuliah Bahasa Inggris tidak berfokus pada suatu kompetensi saja, misalnya kompetensi reading atau membaca yang masih dirasakan mahasiswa kurang dan jarang di kelas. Solusi/ tawaran yang dikembangkan peneliti Graves (2001) menyarankan untuk beberapa hal penting yang diikuti dalam aktivitas membaca teks-teks Bahasa Inggris.
103
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 99-104
Teaching/ lecture reading comprehension to students with learning difficulties.
Link students backround knowledge and experiences with the reading
dikembangkan selanjutnya oleh dosen Bahasa Inggris. Mahsiswa secara mayoritas lebih menyukai belajar kompetensi speaking daripada kompetensi reading atau membaca. Kesulitan mahasiswa secara total berada pada membaca teks-teks Bahasa Inggris. Dari hasil penelitian menggambarkan mayoritas mahasiswa di Fakultas Tarbiyah IAIN Ambon perlu: (1) lebih banyak memberikan waktu yang banyak serta motivasi yang tinggi kepada mahasiswa banyak membaca teks-teks bahasa Inggris, (2) pengenalan membaca dikalangan mahasiswa terhadap teks-teks Bhasa Inggris perlu diprioritaskan, dan (3) semua pihak harus bekerja sama untuk meningkatkan kualiatas Perkuliahan Bahasa Inggris di Fakultas Tarbiyah IAIN Ambon.
Relate the reading to students lives (making connection)
DAFTAR PUSTAKA
Teaching /lecture reading comprehension to students with learning difficulties
Set a purpose for reading Motivate student to red Preteach key vocabulary and concepts
Set a purpose for reading
Build students knowledge of the text
Gambar 1.4. Bagan Model Pembelajaran Membaca Tabel menjelaskan pembelajaran membaca terhadap teks-teks Bahasa Inggris dianjurkan untuk mengikuti beberapa saran. Pertama, dosen memberikan arahan atau permasalahan utama dari tujuan membaca. Kedua, memotivasi mahasiswa dalam kompetensi membaca. Ketiga, diberikan pembendarahan kata dan konsep teks pembelajaran yang tepat. Keempat, melihat dan perlu mengetahui latar belakang mahasiswa terhadap pengetahuan dasar yang dimiliki. Kelima, korelasi bahan bacaan mahasiswa dengan apa yang dipelajari. Keenam, bangun kemampuan dan pengetahuan mahasiswa terhadap teks-teks bacaan yang ada. Simpulan
Abdurrahman (1999), Strategi Membaca Teori Dan Praktek CV Andira bandung Alwasilah A. Chaedar (2004), Perspektif Pen-
didikan Bahasa Inggrios Di Indone-sia dalam Konteks Persaingan Global
Bandung, Angkasa. Creswell (2007), qualitative Inquiri And
Research Design: Choosing Among Five Approach (2nd ed). T%housand Oaksa,
CA: Sage Creswell W. John (2010) Research Design
Pendekatan Kualitatif Kuantitatif. dan Mixed thouseh Oaks California 2009. Sukmadinata, Nana Syaodih. (1995). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung Remaja Rosdakarya. Tierney J. Robert et al (1995), Reading Stra-
tegies And Practices A Compendium fourt Edition The Ohio state Univeristy. http://en.wikipedia.org/wiki/Reading Comprehension.
Mayoritas mahasiswa memiliki keinginan dalam belajar Bahasa Inggris yang perlu
104
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Principles of Instructed Language Learning, NurLaila Wattiheluw
PRINCIPLES OF INSTRUCTED LANGUAGE LEARNING Nurlaila Wattiheluw Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon
[email protected]
Abstract This article provides 10 of instruction principles in language learning they are: (1) Instruction needs to ensure that learners develop both a rich repertoire of Formulaic expressions and a rule-based competence, (2) Instruction needs to ensure that learners focus predominantly on meaning, (3) Instruction needs to ensure that learners also focus on form, (4) Instruction needs to be predominantly directed at developing implicit knowledge of the L2 while not neglecting explicit know-ledge, (5) Instruction needs to take into account the learner’s ‘built-in syllabus’.(6): Successful instructed language learning requires extensive L2 input, (7) Successful instructed language learning also requires opportunities for output, (8) The opportunity to interact in the L2 is central to developing L2 proficiency.(9) Instruction needs to take account of individual differences in learners.(10) In assessing learners’ L2 proficiency, it is important to examine free as well as controlled production. All of these principles needed in language learning and have been derived from of SLA. Keywords: Principles of Instructed Language Learning, rule-based competence. Introduction Second Language Acquisition (SLA), as a sub-discipline of applied linguistics, is still a very young field of study. While it may not be possible to identify its precise starting point, many researchers would agree that the late sixties marked the onset of an intense period of empirical and theoretical interest in how second languages are acquired. Much of this research has been directed at understanding and contributing to more effective instructed language learning. In addition to the numerous studies that have investigated the effects of instruction on learning (Norris and Ortega’s meta-analysis published in 2000 identified 79 studies), much of the theorizing about L2 instruction has been specifically undertaken with language pedagogy in mind, for example Krashen’s Monitor Model (Krashen, 1981), Long’s Interaction Hypothesis (Long, 1996),
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
DeKeyser’s skilllearning theory (DeKeyser, 1998), Van Patten’s input processing theory (Van Patten, 1996; 2002) and my own theory of instructed language learning (Ellis, 1994) all address the role of instruction in L2 acquisition. However, the research and theory do not afford a uniform account of how instruction can best facilitate language learning. There is considerable controversy (see Ellis, forthcoming). In particular, there is no agreement as to whether instruction should be based on a traditional focus-on-forms approach, involving the systematic teaching of grammatical features in accordance with a structural syllabus, or a focus-on-form approach, involving attention to linguistic features in the context of communicative Principle 1e: Instruction needs to ensure that learners develop both a rich repertoire of
105
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 95-114
Formulaic expressions competence
and
a
rule-based
Proficiency in an L2 requires that learners acquire both a rich repertoire of formulaic expressions, which cater to fluency, and a rule-based competence consisting of knowledge of specific grammatical rules, which cater to complexity and accuracy (Skehan, 1998). There is now widespread acceptance of the importance played by formulaic expressions in language use. Native speakers have been shown to use a much larger number of formulaic expressions than even advanced L2 learners (Foster, 2001). Formulaic expressions may also serve as a basis for the later development of a rule-based competence. N. Ellis (1996), for example, has suggested that learners bootstrap their way to grammar by first internalizing and then analyzing fixed sequences. Classroom studies by Ellis (1984), Myles, Mitchell & Hooper (1998; 1999) and Myles (2004) demonstrate that learners often internalize rote-learned material as chunks, breaking them down for analysis later on. Traditionally, language ins-truction has been directed at developing rule-based competence (i.e. knowledge of specific grammatical rules) through the systematic teaching of preselected structures – what Long (1991) has referred to as a focus-on forms approach. While such an approach certainly receives support from the research that has investigated direct intervention in inter-language development, curriculum desig-ners and teachers need to recognize that this type of instruction is as likely to result in students learning rote-memorized patterns as in internalizing abstract rules (Myles, 2004). This need not be seen as an instructional failure however as such patterns are clearly of value to the learner. It points instead to an acknowledgement of what can be realistically achieved by a focus-on-forms approach, espe-cially with young, beginner learners. If formu-laic chunks play a large role in early language acquisition, it may pay to focus
106
on these initially, delaying the teaching of grammar until later, as I have proposed in Ellis (2002). A notional-functional approach lends itself perfectly to the teaching of prefabricated patterns and routines and may provide an ideal foundation for direct intervention in the early stages. Clearly, though, a complete language curriculum needs to ensure that it caters to the development of both formulaic expressions and rule-based knowledge. Principle 2: Instruction needs to ensure that learners focus predominantly on meaning The term ‘focus on meaning’ is somewhat ambiguous. It is necessary to distinguish two different senses of this term. The first refers to the idea of semantic meaning (i.e. the meanings of lexical items or of specific grammatical structures). The second sense of focus on meaning relates to pragmatic meaning (i.e. the highly contextualized meanings that arise in acts of communication). To provide opportunities for students to attend to and perform pragmatic meaning, a task-based or, at least, a task-supported) approach to language teaching is required. It is clearly important that instruction ensures opportunities for learners to focus on both types of meaning but, arguably, it is pragmatic meaning that is crucial to language learning. There is an important difference in the instructional approaches needed for semantic and pragmatic meaning. In the case of semantic meaning, the teacher and the students can treat language as an object and function as pedagogues and learners. But in the case of pragmatic meaning, they need to view the L2 as a tool for communicating and to function as communicators [1]. In effect, this involves two entirely different orientations to teaching and learning. The opportunity to focus on pragmatic meaning is important for a number of reasons: 1.
In the eyes of many theorists (e.g. Prabhu 1987; Long 1996) , only when learners are
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Principles of Instructed Language Learning, NurLaila Wattiheluw
2. 3.
engaged in decoding and encoding messages in the context of actual acts of communication are the conditions created for acquisition to take place. To develop true fluency in an L2, learners must have opportunities to create pragmatic learning (DeKeyser, 1998). Engaging learners in activities where they are focused on creating pragmatic meaning is intrinsically motivating. In arguing the need for a focus on pragmatic meaning, theorists do so not just because they see this as a means of activating the linguistic resources that have been
Developed by other means, but because they see it as the principal means by which the linguistic resources themselves are created. This is the theoretical position that has informed many highly successful immersion education programmers around the world (see Johnson and Swain, 1997). However, in advocating this principle, I do not wish to suggest that instruction needs to be directed exclusively at providing learners with opportunities to create pragmatic meaning, only that, to be effective, instruction must include such opportunities and that, ideally, over an entire curriculum, they should be predominant. Principle 3: Instruction needs to ensure that learners also focus on form There is now a widespread acceptance that acquisition also requires that learners attend to form. Indeed, according to some theories of L2 acquisition, such attention is necessary for acquisition to take place. Schmidt (1994), for example, has argued that there is no learning without conscious attention to form [2]. Again, though, the term ‘focus on form’ is capable of more than one interpretation. First, it might refer to a general orientation to language as form. Schmidt (2001) dismisses this global attention hypothesis, arguing that learners need to attend to specific forms. Second, it might be taken to
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
suggest that learners need to attend only to the graphic or phonetic instantiations of linguistic forms. However, theorists such as Schmidt and Long are insistent that focus on form refers to form-function mapping (i.e. the correlation between a particular form and the meaning(s) it realizes in communication). Third, ‘focus on form’ might be assumed to refer to awareness of some underlying, abstract rule. Schmidt, however, is careful to argue that attention to form refers to the noticing of specific linguistic items, as they occur in the input to which learners are exposed, not to an awareness of grammatical rules. 12 The Asian EFL Journal. September 2005. Volume 7 Issue 3 Instruction can cater to a focus on form in a number of ways: 1.
2.
3.
Through grammar lessons designed to teach specific grammatical features by means of input- or output processing. An inductive approach to grammar teaching is designed to encourage ‘noticing’ of preselected forms; a deductive approach seeks to establish an awareness of the grammatical rule. Through focused tasks (i.e. tasks that require learners to comprehend and process specific grammatical structures in the input, and/or to produce the structures in the performance of the task). By means of methodological options that induce attention to form in the context of performing a task
Two methodological options that have received considerable attention from researchers are (a) the provision of time for strategic and on-line planning (Yuan and Ellis, 2003; Foster and Skehan, 1996) and (b) corrective feedback (Lyster, 2004). Instruction can seek to provide an intensive focus on pre-selected linguistic forms (as in a focus-on-forms approach or in a lesson built around a focused task) or it can offer incidental and extensive attention to form through corrective feedback in task-based lessons. There are pros and cons
107
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 95-114
for both intensive and extensive grammar instruction. Some structures may not be mastered without the opportunity for repeated practice. Harley (1989), for example found that Anglophone learners of L2 French failed to acquire the distinction between the preterit and imperfect past tenses after hours of Exposure (and presumably some corrective feedback) in an immersion programme, but were able to improve their accuracy in the use of these two tenses after intensive instruction. However, intensive instruction is time consuming (in Harley’s study the targeted structures were taught over an 8 week period!) and thus there will be constraints on how many structures can be addressed. Extensive grammar instruction, on the other hand, affords the opportunity for large numbers of grammatical structures to be addressed. Also, more likely than not, many of the structures will be attended to repeatedly over a period of time. Further, because this kind of instruction involves a response to the errors each learner makes, it is individualized and affords the skilled teacher on-line opportunities for the kind of contextual analysis that Celce-Murcia (2002) recommends as a basis for grammar teaching. Ellis et al (2001) reported that extensive instruction occurred relatively frequently in communicative adult ESL lessons through both pre-emptive (i.e. teacher or student-initiated) and reactive (i.e. corrective feedback) attention to form. Loewen (2002) showed that learners who experienced such momentary form-focused episodes demonstrated subsequent learning of the forms addressed in both immediate and delayed tests. However, it is not possible to attend to those structures that learners do not attempt to use (i.e. extensive instruction cannot deal with avoidance). Also, of course, it does not provide the in-depth practice that some structures may require before they can be fully acquired. Arguably, then, instruction needs to be conceived of in terms of both approaches.
108
Principle 4: Instruction needs to be predominantly directed at developing implicit knowledge of the L2 while not neglecting explicit knowledge. Implicit knowledge is procedural, is held unconsciously and can only be verbalized if it is made explicit. It is accessed rapidly and easily and thus is available for use in rapid, fluent communication. In the view of most researchers, competence in an L2 is primarily a matter of implicit knowledge. Explicit knowledge ‘is the declarative and often anomalous knowledge of the phonological, lexical, grammatical, pragmatic and sociocritical features of an L2 together with the metalanguage for labeling this knowledge’ (Ellis, 2004). It is held consciously, is learnable and verbalizable and is typically accessed through controlled processing when learners experience some kind of linguistic difficulty in the use of the L2. A distinction needs to be drawn between explicit knowledge as analyzed knowledge and as metalingual explanation. The former entails a conscious awareness of how a structural feature works while the latter consists of knowledge of grammatical metalanguage and the ability to understand explanations of rules. Given that it is implicit knowledge that underlies the ability to communicate fluently and confidently in an L2, it is this type of knowledge that should be the ultimate goal of any instructional programme. How then can it be developed? There are conflicting theories regarding this. According to skill-building theory (DeKeyser, 1998), implicit knowledge arises out of explicit knowledge, when the latter is proceduralized through practice. In contrast, emergentist theories (Krashen, 1981; N. Ellis, 1998) see implicit knowledge as developing naturally out of meaning-focused communication, aided, perhaps, by some focus on form. Irrespective of these different theoretical positions, there is consensus that learners need the opportunity to participate in commu-
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Principles of Instructed Language Learning, NurLaila Wattiheluw
nicative activity to develop implicit knowledge. Thus, communicative tasks need to play a central role in instruction directed at implicit knowledge. The value in teaching explicit knowledge of grammar has been and remains today one of the most controversial issues in language pedagogy. In order to make sense of the different positions relating to the teaching of explicit knowledge, it is necessary to consider two separate questions: (1) is explicit knowledge of any value in and of itself? and (2) is explicit knowledge of value in facilitating the development of implicit knowledge? Explicit knowledge is arguably only of value if it can be shown that learners are able to utilize this type of knowledge in actual performance. Again, there is controversy. One position is that this is very limited. Krashen (1982) argues that learners can only use explicit knowledge when they ‘monitor’ and that this requires that they are focused on form (as opposed to meaning) and have sufficient time to access the knowledge. Other positions are possible. It can be argued that explicit knowledge is used in both the process of formulating messages as well as in monitoring and that many learners are adroit in accessing their explicit memories for these purposes, especially if the rules are, to a degree, automatized. However, this does require time. Yuan and Ellis (2003) showed that learners’ grammatical accuracy improved significantly if they had time for ‘on-line planning’ while performing a narrative task, a result most readily explained in terms of their accessing explicit knowledge. Principle 5: Instruction needs to take into account the learner’s ‘built-in syllabus’. Early research into naturalistic L2 acquisition showed that learners follow a ‘natural’ order and sequence of acquisition (i.e. they master different grammatical structures in a relatively fixed and universal order and they pass through a sequence of stages of acqui-
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
sition on route to mastering each grammatical structure). This led researchers like Corder (1967) to suggest that learners had their own ‘built-in syllabus’ for learning grammar as implicit knowledge. Krashen (1981) famously argued that grammar instruction played no role in the development of implicit knowledge (what he called ‘acquisition’), a view based on the conviction that learners (including classroom learners) would automatically proceed along their built-in syllabus as long as they had access to comprehensible input and were sufficiently motivated. Grammar instruction could contribute only to explicit knowledge (‘learning’). There followed a number of empirical studies designed to (1) compare the order of acquisition of instructed and naturalistic learners (e.g. Pica, 1983), (2) compare the success of instructed and naturalistic learners (Long, 1983) and (3) examine whether attempts to teach specific grammatical structures resulted in their acquisition (Ellis, 1984). These studies showed that, by and large, the order and sequence of acquisition was the same for instructed and naturalistic learners, a finding supported by later research (e.g. Ellis, 1989; Pienemann, 1989); that instructed learners generally achieved higher levels of grammatical competence than naturalistic learners and that instruction was non-guarantee that learners would acquire what they had been taught. This led to the conclusion that it was beneficial to teach grammar, but that it was necessary to ensure it was taught in a way that was compatible with the natural processes of acquisition. How, then, can instruction take account of the learner’s built-in syllabus? There are a number of possibilities: 1. 2.
Adopt a zero grammar approach, as proposed by Krashen. That is, employ a task based approach that makes no attempt to predetermine the linguistic content of a lesson.
109
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 95-114
3.
4.
Ensure that learners are developmentally ready to acquire a specific target feature. However, this is probably impractical as teachers have no easy way of determining where individual students have reached and it would necessitate a highly individualized approach to cater for differences in developmental level among the students. Also, as we noted earlier, such finetuning may not be necessary. While instruction in a target feature may not enable learners to ‘beat’ the built-in syllabus, it may serve to push them along it as long as the target structure is not too far ahead of their developmental stage. Focus the instruction on explicit rather than implicit knowledge as explicit knowledge is not subject to the same developmental constraints as implicit knowledge. While it is probably true that some declarative facts about language are easier to master than others, this is likely to reflect their cognitive rather than their developmental complexity, which can more easily be taken into account in deciding the order of instruction. Traditional structural syllabuses, in fact, are graded on the basis of cognitive complexity [3].
Principle 6: Successful instructed language learning requires extensive L2 input. Language learning, whether it occurs in a naturalistic or an instructed context, is a slow and laborious process. Children acquiring their L1 take between two and five years to achieve full grammatical competence, during which time they are exposed to massive amounts of input. Ellis and Wells (1980) demonstrated that a substantial portion of the variance in speed of acquisition of children can be accounted for by the amount and the quality of input they receive. The same is undoubtedly true of L2 acquisition. If learners do not receive exposure to the target language they cannot acquire it. In general, the more exposure they receive, the more and the faster
110
they will learn. Krashen (1981; 1994) has adopted a very strong position on the importance of input. He points to studies that have shown that length of residence in the country where the language is spoken is related to language proficiency and other studies that that have found positive correlations between the amount of reading reported and proficiency/literacy. For Krashen, however, the input must be made ‘comprehensible’ either by modifying it or by means of contextual props. Researchers may disagree with Krashen’s claim that comprehensible input (together with motivation) is all that is required for successful acquisition, arguing that learner output is also important (see Principle 7 below) but they agree about the 16 The Asian EFL importance of input for developing the highly connected implicit knowledge that is needed to become an effective communicator in the L2. How can teachers ensure their students have access to extensive input? In a ‘second’ language teaching context, learners can be expected to gain access to plentiful input outside the classroom, although, as Tanaka (2004) has shown in a study of adult Japanese students learning English in Auckland, not all such learners are successful in achieving this. In a ‘foreign’ language teaching context (as when French or Japanese is taught in schools in the United Kingdom or United States), there are far fewer opportunities for extensive input. To ensure adequate access, teachers need to: 1.
Maximize use of the L2 inside the classroom. Ideally, this means that the L2 needs to become the medium as well as the object of instruction. A study by Kim (forthcoming) revealed that foreign language teachers of French, German, Japanese and Korean in Auckland secondary schools varied enormously in the extent to which they employed the L2 in the classroom (i.e. between 88 and 22 percent of the total input).
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Principles of Instructed Language Learning, NurLaila Wattiheluw
2.
Create opportunities for students to receive input outside the classroom. This can be achieved most easily be providing extensive reading programmes based on carefully selected graded readers, suited to the level of the students, as recommended by Krashen (1989). Elley (1991) reviewed studies that showed that L2 learners can benefit from both reading and from being read to. Also, ideally, if more resources are available, schools need to establish self-access centres which students can use outside class time. Successful FL learners seek out opportunities to experience the language outside class time. Many students are unlikely to make the effort unless teachers (a) make resources available and (b) provide learner-training in how to make effective use of the resources. It can be claimed with confidence that, if the only input students receive is in the context of a limited number of weekly lessons based on some course book, they are unlikely to achieve high levels of L2 proficiency.
Principle 7: Successful instructed language learning also requires opportunities for output Contrary to Krashen’s insistence that acquisition is dependent entirely on comprehensible input, most researchers now acknowledge that learner output also plays a part. Skehan (1998) drawing on Swain (1995) summarizes the contributions that output can make: (1) production serves to generate better input through the feedback that learners’ efforts at production elicit; (2) it forces syntactic processing (i.e. obliges learners to pay attention to grammar); (3) it allows learners to test out hypotheses about the target language grammar; (4) it helps to automatize existing know-ledge; (5) t provides opportunities for learners to develop discourse skills, for example by producing ‘long turns’; (6) it is important for helping learners to develop a ‘personal voice’ by steering conversation on to
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
topics they are inte-rested in contributing to. Ellis (2003) adds one other contribution of output: and (7) it provides the learner with ‘auto-input’ (i.e. learners can attend to the ‘input’ provided by their own productions). Principle 8: The opportunity to interact in the L2 is central to developing L2 proficiency. While it is useful to consider the relative contributions of input and output to acquisition, it is also important to acknowledge that both co-occur in oral interaction and that both computational and sociocultural theories of L2 acquisition have viewed social interaction as the matrix in which acquisition takes place. As Hatch (1978b) famously put it ‘one learns how to do conversation, one learns how to interact verbally, and out of the interaction syntactic structures are developed’ (p. 404). Thus, interaction is not just a means of automatizing existing linguistic resources but also of creating new resources. According to the Interaction Hypothesis (Long, 1996), interaction fosters acquisition when a communication problem arises and learners are engaged in negotiating for meaning. The interactional modifications arising help to make input comprehensible, provide corrective feedback, and push learners to modify their own output in uptake. According to the sociocultural theory of mind, interaction serves as a form of mediation, enabling learners to construct new forms and perform new functions collaboratively (Lantolf, 2000). According to this view, learning is first evident on the social plane and only later on the psychological plane. In both theories, while social interaction may not be viewed as necessary for acquisition, it is viewed as a primary source of learning. What then are the characteristics of interaction that are deemed important for acquisition? In general terms, opportunities for negotiating meaning and plenty of scaffolding are needed. Johnson (1995) identifies four key requirements for interaction to create an acquisition-
111
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 95-114
rich classroom: (1) creating contexts of language use where students have a reason to attend to language, (2) providing opportunities for learners to use the language to express their own personal meanings, (3) helping students to participate in language-related activities that are beyond their current level of proficiency, and (4) offering a full range of contexts that cater for a ‘full performance’ in the language.
While there are identifiable universal aspects of L2 acquisition, there is also considerable variability in the rate of learning and in the ultimate level of achievement. In particular, learning will be more successful when: (1) The instruction is matched to students’ particular aptitude for learning, (2) The students are motivated.
open to criticism, in particular that it is not socially sensitive because it fails to acknowledge the importance of social context and social relations in the language learning process (see Block (2003) for an extended critique along these lines). It would be clearly useful to attempt to formulate a set of principles based on the broader conceptualization of SLA of the kind advocated by Block and others, but this was not my aim here. There will always be a need for a psycholinguistic account of how learners internalize new linguistic forms and how they restructure their linguistic knowledge in the process of acquisition. Language use is not language acquisition, only a means to it. To my mind, the computational model provides a solid foundation for developing a set of principles that articulate the relationship between language use and acquisition. It also constitutes a metaphor that teachers can easily relate to.
Principle 10: In assessing learners’ L2 proficiency, it is important to examine free as well as controlled production
BIBLIOGRAPHY
Principle 9: Instruction needs to take account of individual differences in learners
Norris and Ortega’s (2000) meta-analysis of studies investigating form-focussed instruction demonstrated that the extent of the effectiveness of instruction is contingent on the way in which it is measured. They distinguished four types of measurement: (1) Metalinguistic judgement (e.g. a grammaticality judgment test), (2) Selected response (e.g. multiple choice), (3) Sonstrained constructed response (e.g. gap filling activities), and (4) free constructed response (e.g. a communicative task). Conclusion These general principles have been derived from of SLA. I have drawn on a variety of theoretical perspectives, although predominantly from what Lantolf (1996) refers to as the computational model of L2 learning. I am aware that this model has its limitations and is
112
Allen, P., Swain, M., Harley, B., & Cummins, J. (1990). Aspects of Classroom Treatment: Toward a more comprehensive view of second language education. In B. Harley, P. Allen, J. Cummins & M. Swain (Eds.), The Development of Second Language Proficiency (pp. 5781). Cambridge: Cambridge University Press. Block, D. (2003). The social turn in second language acquisition. Edinburgh: Edinburgh University Press. Celce-Murcia, M. (2002). What it Makes Sense to Teach Grammar Through Context and through discourse. In E. Hinkel & S. Fotos (Eds.), New Pers-
pectives on grammar teaching in second language classrooms (pp. 119-134). Mahwah, N.J.: Lawrence Erlbaum.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Principles of Instructed Language Learning, NurLaila Wattiheluw
Corder, S. P. (1967). The significance of learners' errors. International Review of Applied Linguistics, 5, 161-169. DeKeyser, R. (1998). Beyond focus on form: Cognitive perspectives on learning and practicing second language grammar. In C. Doughty & J. Williams (Eds.). Dornyei, Z. (2001). Motivational strategies in the language classroom. Cambridge: Cambridge University Press. Doughty, C., & Williams, J. (Eds.). (1998).
Focus on form in classroom second language acquisition. Cambridge: Cambridge University Press. Elley, W. (1991). Acquiring literacy in a Second language: The effect of bookbased programs. Language Learning, 41, 375-411. Ellis, G., & Sinclair, B. (1989). Learning to learn English. Cambridge: Cambridge University Press. Ellis, R. (1991). Second language acquisition and language pedagogy. Clevedon: Multilingual Matters. Ellis, R. (1993). Second language acquisition and the structural syllabus. TESOL Quarterly, 27, 91-113. Ellis, R. (2003). Task-based language learning and teaching. Oxford: Oxford University Press. Ellis, R. (2004). The definition and measurement of explicit knowledge. Language Learning, 54, 227-275. Ellis, R. (forthcoming). Controversies in grammar teaching. TESOL Quarterly. Ellis, R., & Wells, G. (1980). Enabling factors in adult-child discourse. First Language, 1, 46-82. Foster, P. (1998). A classroom perspective on the negotiation of meaning. Applied Linguistics, 19, 1-23. Foster, P. (2001). Rules and routines: A consideration of their role in task-based language production of native and nonnative speakers. In M. Bygate, P. Skehan & M. Swain (Eds.), (pp. 75-97).
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Foster P. & Skehan P. (1996). The influence of planning on performance in task-based learning. Studies in Second Language Acquisition, 18(3), 299-324. Harley, B. (1989). Functional grammar in French immersion: A classroom experiment. Applied Linguistics, 10, 331-59. Hatch, E. (1978a). Apply with caution.
Studies in Second Acquisition, 2, 123-143.
Language
Hatch, E. (1978b). Discourse analysis and second language acquisition. In E. Hatch (Ed.), Second language acquisi-tion. Rowley, Mass.: Newbury House. Johnson, K. (1995). Understanding communication in second language classrooms. Cambridge: Cambridge University Press. Johnson, K., & Swain, M. (1998). Immersion education: International perspectives. Cambridge: Cambridge University Press. Kasper, G, and K. R. Rose. 2002. Pragmatic Development in a Second Language. Oxford: Blackwell. Kim, S. (forthcoming). The relationship between teachers’ language choice and pedagogic functions in foreign language classrooms. Language Teaching Research, 9. Krashen, S. (1981). Second language
acquisition and second language learning. Oxford: Pergamon. Krashen, S. (1982). Principles and practice in second language acquisition. Oxford: Pergamon. Krashen, S. (1989). We acquire vocabulary and spelling by reading: Additional evidence for the input hypothesis. Modern Language Journal, 73, 440-464. Krashen, S. (1994). The input hypothesis and its rivals. In N. Ellis (Ed.), Implicit and explicit learning of languages. London: Academic Press. Lantolf, J. (1996). Second language theory building: Letting all the flowers bloom! Language Learning, 46, 713-749.
113
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 95-114
Lantolf, J. (2000). Second language learning as a mediated process. Language Teaching, 33, 79-96. Lightbown, P. (1985). Great expectations in second language acquisition research and classroom teaching. Applied Linguistics, 6, 263-273. Loewen, S. (2002). The occurrence and
effectiveness of incidental focus on form in meaning-focused ESL lessons. Unpublished PhD Thesis, University of Auckland, New Zealand. Long, M. (1996). The role of the linguistic environment in second language acquisition. In W. Ritchie & T. Bhatia (Eds.), Handbook of second language acquisition (pp. 413-468). San Diego: Academic Press. Lyster, R. (2004). Differential effects of prompts and recasts in form-focused instruction. Studies in Second Language Acquisition 26, 399-432. Myles, F., Mitchell, R. and Hooper, J. (1998). Rote or rule? Exploring the role of formulaic language in classroom foreign language learning. Language Learning 48, 323-363. Myles, F., Mitchell, R. and Hooper, J. (1999). Interrogative chunks in French L2: A basis for creative construction? Studies in Second Language Acquisition, 21, 4980. Naiman, N., Fröhlich, M., Stern, H., & Todesco, A. (1978). The good language learner. Research in education Series No 7. Toronto: The Ontario Institute for Studies in Education. Norris, J., & Ortega, L. (2000). Effectiveness of L2 instruction: A research synthesis and quantitative meta-analysis. Language Learning, 50, 417-528. Paradis, M. (1994). Nuerolinguistic aspects of implicit and explicit memory: Implications for bilingualism and SLA. In N. Ellis (Ed.), Implicit and explicit learning
114
of languages (pp. 393-420). London: Academic Press. Pica, T. (1983). Adult acquisition of English as a second language under different conditions of exposure. Language Learning, 33, 465-97. Pienemann, M. (1989). Is language teachable? Psycholinguistic experiments and hypotheses. Applied Linguistics, 10, 52-79. Prabhu, N.S. (1987). Second Language Pedagogy. Oxford: Oxford University Press. Schmidt, R. (1994). Deconstructing Consciousness in search of useful definitions for applied linguistics. AILA Review, 11, 11-26. Schmidt, R. (2001). Attention. In P. Robinson (Ed.). Cognition and second language instruction. Cambridge: Cambridge University Press. Skehan, P. (1998). A cognitive approach to language learning. Oxford: Oxford University Press. Stenhouse, L. (1975). An introduction to curriculum research and development. London: Heinemann. Sternberg, R. (2002). The theory of successful intelligence and its implications for language aptitude testing. In P. Robinson (Ed.). Individual differences and instructed language learning (pp. 1343). Amster-dam: John Benjamins. VanPatten, B. (1996). Input processing and
grammar instruction in second language acquisition. Norwood, NJ: Ablex. VanPatten, B. (2002). Processing instruction: An update. Language Learning, 52, 755803. Wlodkowski, R. (1986). Enhancing adult motivation to learn. San Francisco, CA.: Jossey- Bass. Yuan, F., & Ellis, R. (2003). The effects of pre-task planning and on-line planning on fluency, complexity and accuracy in L2 oral production. Applied linguistics, 24, 1- 27.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pendidikan Pemeliharaan Harmoni Alam dalam Al-Qur’an, M. Sulhan
PENDIDIKAN PEMELIHARAAN HARMONI ALAM DALAM AL-QUR’AN M. Sulhan Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SGD Bandung
[email protected]
Abstrak: Al-Qur’an menjelaskan bahwa kerusakan daratan dan lautan disebabkan eksploitasi alam yang berlebihan oleh manusia. Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa manusia di alam ini bertugas melestarikannya, bukan mengekspoitasi membabi buta. Sejauh ini manusia menganggap bahwa alam ini diperuntukkan bagi mereka sehingga alam dapat dieksploitas semaunya sebagaimana dikemukakan oleh kaum Antroposentrisme. Al-Qur’an menjelaskan cara dan kiat manusia memberdayakan alam ini baik melalui pemeliharaan lingkungan maupun dampak dari eksploitasi alam secara berlebihan. Keyword: Harmoni Alam, Al-Qur’an. Pendahuluan Salah satu ajaran yang disebut dalam AlQur’an perhatian atas persoalan lingkungan. Islam menjelaskan bahwa menjaga harmoni lingkungan sebagai tugas dan perintah agama [QS. 30: 41, QS. 7: 56] . Namun, pesan agama belum mampu menjawab realitas lingkungan. Lingkungan belum dipandang sebagai satu kesatuan sistem dari kehidupan manusia yang seharusnya dipelihara dan dilindungi untuk menjaga keseimbangan hidup manusia [QS 11:61]. Kerusakan hutan menyebabkan hutan mengalami degradasi. Pengerukan topsoil tanah mengakibatkan kerusakan struktur dan kesuburan tanah. Pencemaran air laut menjadi kritis dan mengancam ekosistem dan biota laut. Limbah pabrik dan pembuangan asap pabrik tidak terkendali telah menyebabkan pencemaran udara dan darat yang diluar ambang batas toleransi. Pembangunan yang dilakukan manusia berlangsung masif tanpa memerhatikan rebiosasi, reklamasi, konservasi dan memerhatikan kesinambungan dan keseimbangan alam. Data yang dirilis Departemen Kehutanan 2011 menyebutkan kerusakan lingkungan di
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Indonesia di 2008 telah mencapai lebih dari 77 juta ha. [BPS,2001]. Badan Planologi Kehutanan menyebutkan, hingga 2001 penjarahan hutan di Jawa telah mencapai 350.000 ha. Akibat penjarahan ini luas hutan tersisa 23% saja dari luas daratan Pulau Jawa. [Deptan, 2001]. Data yang dihimpun dari The George-
town–International Environmental Law Review [1999] menunjukkan bahwa antara tahun 1997–1998 tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan. Laporan dari National NGO for Indonesian Developmen [INFID] mencatat bahwa tiap hari Indonesia mengalami kerugian 80 Milyar dari pencurian dan penebangan hutan. Kerusakan lingkungan telah berdampak pada kerusakan kehidupan dan melahirkan korban jiwa akibat banjir, longsong dan bencana alam. Kec-elakaan akibat banjir Bahorok Lampung [2000] telah menelan lebih 1000 korban jiwa, dan 300 rumah habis digilas longsong dan banjir bandang. Akibat habisnya hutan di Hulu yang bermuara di Hutan. Korban di Pacet Jawa timur akibat longsoran mencapai 500 korban. Semua bermuara dari kerusakan hutan yang ditebang tanpa reboisasi. Dari 162 negara Indonesia peringkat pertama dengan
115
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 115-126
197.372 orang terkena dampaknya. Mengungguli India (180.254 korban), China (121.488 korban), Filipina (110.704 korban), dan Ethiopia (64.470 korban). Dari 162 negara Indonesia berada di urutan ke-6 dengan 1.101.507 orang yang terkena dampaknya. Kerusakan hutan juga membawa korban banjir seperti yang menimpa Pulau Kalimantan, Blitar, Jawa Timur, wilayah Aceh, dan Jakarta. Malapetaka ini disebabkan oleh rusaknya lingkungan dan hancurnya ekosistem alam, David C. Korten [1990] menulis, salah satu dari tiga masalah besar di abad ke-21 kerusakan lingkungan hidup. Hal itu tampak ketika polusi udara dan kekeringan, pemanasan (emisi) global, banjir besar-besaran, menumpuknya limbah radio-aktif, luapan lumpur, tsunami, tanah longsor, gempa bumi, dan sebagainya terjadi di mana-mana. Menurut Korten dilemma ini terjadi karena pertambahan populasi jumlah pen-duduk dunia yang tidak berbanding lurus dengan peningkatan praksis perawatan ling-kungan hidup semakin memperparah keadaan itu. Melihat dan merespon kritisnya ekologi lahir bentuk kepedulian lingkungan. Salah satunya Protokol Kyoto, sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Protokol ini merupakan sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi atau pengeluaran karbon dioksida dan bekerja sama dalam menjaga emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global. Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02 °C dan 0,28 °C pada tahun 2050 [Nature, Oktober 2003]. Negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2% tujuannya untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun
116
antara 2008-2012. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia. Penelitian ini memerlihatkan peran Islam, yang dalam kitab sucinya mengajarkan untuk merawat lingkungan secara keseluruhan. Nilai dan ajaran dalam Al-Qur’an belum dijadikan sandaran perilaku harmoni alam. Allah berfirman dalam QS. 30:41 ‚Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali [ke jalan yang benar]‛. Pesan ayat ini tegas, kerusakan kasat mata. Kerusakan akibat ulah manusia. Kerusakan mengundang bencana sebagai peringatan atas apa yang manusia lakukan pada lingkungan. Perilaku tidak ramah lingkungan menyebabkan bencana. Ayat-Ayat dari Al-Qur’an sebagai inspirasi dan spirit manusia agar jangan berbuat kerusakan lingkungan. ‚Dan apabila ia berpaling [dari kamu], ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan/kerusakan lingkungan [Qs. 2:205]. Pesan Al-Qur’an barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu [membunuh] orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Sebaliknya barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Telah diutus rasul-rasul dengan [membawa] keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara manusia sesudah itu melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan [QS. 5:64]. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memerbaikinya dan berdoalah kepada-
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pendidikan Pemeliharaan Harmoni Alam dalam Al-Qur’an, M. Sulhan
Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik [QS. 7:56]. Ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-pengganti sesudah kaum 'Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan [QS. 7:74].
rusakan terhadap alam merupakan bentuk dari pengingkaran terhadap ayat-ayat [keagungan] Allah, dan akan dijauhkan dari rahmat-Nya (QS..7: 56). Mustafa Abu Sway dalam Fiqh al-Bi'ah
Kerusakan lingkungan membutuhkan perhatian berbagai fihak terutama pemikiran yang bersumber dari ajaran agama. Menurut Hatim Ghazali dalam ‚Fiqh al-Bi’ah‛ [2005:1] me-lihat krisis lingkungan ini, perlu upaya stra-tegis menyangkut [1] rekonstruksi makna kha-lifah, [2] memasukkan lingkungan sebagai bagian inti ajaran agama, dan menjadi bagian untuk mengukur keimanan seseorang dan [3] dibutuhkan apa yang ia sebut sebagai politic hijau [green politic]. Perjuangan politik ini penting untuk gerakan mendampingi pembangunan agar berperspektif ekologis. Kebijakan-kebijakan politik yang anti-ekologi, mekanistik, dan materialistik diarahkan menuju kebijakan politik yang sadar lingkungan [ecological politic]. Hal ini penting karena kerusakan alam yang sedemikian parah tidak mungkin hanya diselesaikan melalui pendekatan sektoral. Namun, perlu pendekatan yang komprehensif. Mulai dari agama, ekonomi, politik, budaya, dan sosial bersatu padu menangani krisis ekologis ini.
sebagai khalifah di muka bumi ini bebas melakukan apa saja terhadap lingkungan sekitarnya. Justru, segala bentuk eksploitasi dan perusakan terhadap alam merupakan pelanggaran berat. Sebab, alam dicipatakan dengan cara yang benar [bil haqq, QS. al-Zumar/39: 5], tidak main-main [la’b, QS. al-Anbiya’/21: 16], dan tidak secara palsu [QS. Shad/38: 27]. Saat ini perlu sudut pandang positif memandang ekologi sebagai doktrin ajaran. Artinya, menempatkan wacana lingkungan bukan pada cabang (furu’), tetapi termasuk doktrin utama (ushul) ajaran Islam. Yusuf Qardhawi dalam Ri’ayah al-Bi’ah fiy Syari’ah al-Islam [2001], memelihara lingkungan sama dengan menjaga lima tujuan dasar Islam (maqashid alsyari’ah). Memelihara lingkungan sama hukumnya dengan maqashid al-syari’ah. Tidak sempurna iman seseorang jika tidak peduli lingkungan. Mustafa Abu Sway dalam Fiqh al-
Al-Qur’an metegaskan bahwa menjadi khalifah di muka bumi ini tidak untuk melakukan perusakan dan pertumpahan darah. Tetapi untuk membangun kehidupan yang damai, sejahtera, dan penuh keadilan. Dengan demikian, manusia yang melakukan kerusakan di muka bumi ini secara otomatis mencoreng atribut manusia sebagai khalifah (QS..2: 30). Karena, walaupun alam diciptakan untuk kepentingan manusia (QS.31: 20), tetapi tidak menggunakannya semena-mena sehingga pe-
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
fil-Islam [1998:5-6] secara katagoris juga menyebutkan bahwa yang menghubungkann manusia berkait tanggung jawab utama memelihara lingkungan karena argumen sebagai vicegerency atau khalifah [QS 2:30], subjection atau taskhir [45:13] dan Inhabitation atau i’mar [11:61]. Namun, bukan berarti manusia
Bi'ah fil-Islam [1998] tanggung jawab merawat lingkungan bagi manusia itu karena tanggung jawab iman atau acts of faith [QS 51:56]. Jika memelihara lingkungan tugas iman, dengan demikian perusak lingkungan layak disebut Ghazali dengan kafir ekologis [kufr al-bi’ah]. Di antara tanda-tanda kebesaran Allah adanya jagad raya [alam semesta] ini sehingga merusak lingkungan sama dengan ingkar [kafir] terhadap kebesaran Allah [QS. Shad/38: 27]. Tampak betapa kekuatan Al-Qur’an luar biasa untuk direkonstruksi sebagai bagian penting merespon problem realitas yang hari
117
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 115-126
ini terjadi. Berkait krisis ekologi, penelitian ini menjadi penting untuk melihat bagaimana nilai profetis Al-Qur’an dapat menjadi sarana pendidikan memelihara harmoni alam. Metode Penelitian Penelitian ini banyak mengumpulkan ayat ayat Al-Qur’an yang memiliki keterkaitan dengan lingkungan. Metode yang digunakan metode tafsir maudhui [tafsir tematik]. Menurut al-Sadr [1990:34], istilah tematik digunakan untuk menerangkan ciri pertama bentuk tafsir ini: mulai dari sebuah terma yang berasal dari kenyataan eksternal dan kembali ke Al-Qur’an. la juga disebut sintesis karena merupakan upaya menyatukan pengalaman manusia dengan Al-Qur’an. Ini bukan berarti metode ini berusaha memaksakan pengalaman ini kepada Al-Qur’an dan menundukkan AlQur’an kepadanya, tetapi menyatukan keduanya di dalam komteks suatu pencarian tunggal yang ditunjukkan untuk sebuah pandangan Ialam mengenai suatu pengalaman manusia tertentu atau suatu gagasan khusus yang dibawa oleh si mufassir ke dalam konteks pencariannya. Sumber data utama didasarkan pada AlQur’an. Untuk memermudah kerja penelitian ini sumber data didasarkan pada berbagai kitab, dokumen, software yang berkait dengan Al-Qur’an. Misalnya Al-Qur’an dan Terjemahnya, Kemenag RI, Jakarta 1990, Azharuddin Sahil, Indeks Al-Qur’an, Panduan Mencari
publikasi berrkait krisis ekologi, kerusakan lingkungan, dan lainnya. Tehnik pengumpulan data penelitian ini menggunakan kaidah tafsir maudhu’i. AlFarmawi [1977:61-62] menyebut tujuh langkah dalam sistimatika tafsir maudhu’i. Tujuh langkah tersebut dikembangkan oleh M. Quraiah Shihab yaitu: 1. 2. 3.
4.
5. 6.
7.
Ayat Al-Qur’an Berdasarkan Kata Dasarnya, Bandung, Mizan, 1994, Mohammad Fuad Abdul Baqy, Mu’jam Mufahrats Li Alfadzil Quran, Maktabah Dahlan, Indonesia, TT., Muhammad Ismail Ibrahim, Al-Qur’an wa I’jazuhu al Ilmy, Dar al Fikr al ‘Araby, TT. Hanafi Ahmad, At Tafsiral Ilmy Lil Ayat al Kauniyyah, Dar Ma’arriff, Mesir, TT. Thoshihiko Izutsu, Ethicio Religious Concepts in The Quran, Canada, Mc, Gill University Press, 1966. Maktabah Samilah, versi 2011. Sumber sekunder juga menggunakan berbagai jurnal,
118
8.
Menetapkan masalah yang akan dibahas Menghimpun seluruh ayat-ayat At-qur’an yang berkaitan dengan masalah tersebut Menyusun urut-urutan ayat terpilih sesuai dengan perincian masalah dan atau masa turunnya, sehingga terpisah antara ayat Makkiy dan Madaniy. Hal ini untuk memahami unsur pentahapan dalam pelaksanaan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an Mempelajari/memahami korelasi (munasabaat) masing-masing ayat dengan surahsurah yang ayat tersebut tercantum (setiap ayat berkaitan dengan terma sentral pada suatu surah) Melengkapi bahan-bahan dengan hadishadis yang berkaitan dengan masalah yang dibahas Menyusun autline pembahasan dalam kerangka yang sempurna sesuai dengan hasil studi masa lalu, sehingga tidak diikutkan hal-hal yang tidak berkaitan dengan pokok masalah Mempelajari semua ayat yang terpilih secara keseluruhan dan atau mengkompromikan antara yang umum dengan yang khusus, yang mutlak dan yang relatif, dan lain-lain sehingga kesemuanya bertemu dalam muara tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam penafsiran Menyusun kesimpulan penelitian yang dianggap sebagai jawaban Al-Qur’an terhadap masalah yang dibahas.
Hasil Penelitian 1.
Lingkungan hidup dalam Al-Qur’an
Lingkungan hidup dibangun dari banyak unsure. Memahami Al-Qur’an ketika menye-
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pendidikan Pemeliharaan Harmoni Alam dalam Al-Qur’an, M. Sulhan
but lingkungan dihubungkan dengan unsur pembentuknya [hayati non hayati]. Lingkungan, ekologi bukan sesuatu yang otonom, tetapi system yang berhubungan dengan banyak aspek, materi dan unsur pembentuknya. Lingkungan terkait dengan manusia, binatang, tumbuhan, udara, tanah, air, sungai, matahari, bulan dan sebagainya. Menjadi penting melihat dari sudut pandang Al-Qur’an bagaimana unsur-unsur tersebut berbicara dengan sendirinya. [1] manusia. Manusia merupakan actor utama dalam semesta. Manusia yang diberi amanah sebagai kholifah, sebagai pemakmur bumi dan semua apa yang ada di bumi ditundukkan bagi kepentingan manusia. Dalam Al-Qur’an [7:74] Allah berfirman, ‚Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum 'Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanahtanahnya yang datar dan kamu pahat gununggunungnya untuk dijadikan rumah; ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan‛ dalam QS [7:10], Banyak yang bisa dilihat menyangkut ayat penciptaan manusia di AlQur’an. Misalnya QS 6:2, QS 7:12, QS.15:26, QS. 15:28, QS. 15:29, QS. 15:33, QS. 17:61, QS. 18:37, QS. 20:55, QS. 2:5. [2]. Binatang dan sejenisnya cukup banyak disebut dalam berbagai ayat Al-Qur’an. Ayat-ayat tentang bintang QS. 6:97, QS. 7:54, QS. 16:12, QS. 16:16, QS. 81:15, QS. 81:16, QS. 86:1, QS. 86:2, 86:3 dan penciptaan hewan juga disebut di QS. 2:164, QS.2:259, QS.3:14, QS.16:5, QS.22:18, QS.24:45, QS.35:28, QS.40:79, QS.42:11, QS.42:29, QS.43:12, QS. 47:12. [3]. Terdapat beragam ayat yang menggambarkan penciptaan tumbuhan misalnya dalam QS.2:261, QS.6:99, QS.6:141, QS. 13:4, QS. 16:11, QS.16:67, QS.17:91, QS.18:32, QS.34:16, QS. 50:10, QS. 55:11 dan lainnya. [4]. Aspek abiotik atau unsur non hayati lingkungan dapat ditemui misalnya banyak disebut dalam Al-Qur’an. Banyak ditemui ayat tentang angin. Beberapa keterangan tersebar
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
di ayat berikut QS.2:164, QS.34:12, QS.45:5, QS. 51:1, QS. 51:41, QS. 51:42, QS. 77:1, QS.77:2. [5]. Penciptaan matahari dan bulan. Penjelasan ayat penciptaan ini misalnya dalam QS.7:54,‛ Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy’. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. Dalam QS. 16:12,‛ Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tandatanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya)‛. Juga disebut dalam, QS.21:33, QS.36:39, QS.91:1, dan QS.91:2 . Sifat matahari dan bulan QS. 6:96, QS.10:5, QS.13:2, QS.14:33, QS.16:12, QS.78:13. [5] Al-Qur’an menjelaskan tentang awan dan hujan misalnya dalam ayat QS.2:19,‛atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir,sebab takut akan mati Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir‛.juga dalam QS.2:20, QS.2:164, QS.7:57, QS. 13:12, QS.24:43, QS. 43:11, QS.51:2,dan QS.78:14. Dan [6]. Penciptaan gunung, laut dan sungai juga terdapat jelas disebut dalam Al-Qur’an. Penciptaan gunung misalnya dalam QS.13:3, QS.16:15, QS. 77:27, QS. 78:7, QS. 79:32, QS.88:19. Penciptaan laut dan sungai: 13:3, 16:14, 16:15, 25:53, 27:61, 45:12, 55:22, dan lain sebagainya. Dari pembahasan tentang lingkungan dalam Al-Qur’an dapat difahami bahwa manusia diciptakan Allah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari semua ciptaan disemesta ini. Manusia, tumbuhan, hewan, air,
119
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 115-126
udara, gunung, sungai laut dan bagian ekosistem lainnya merupakan satu kesatuan utuh ciptaan Allah. Dialah yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya untuk keperluan manusia. Sudah seharusnyalah manusia memerhatikan dan merenungkan rahmat Allah yang maha suci itu. Karena dengan begitu, akan bertambah yakinlah ia pada kekuasaan dan keesaan Nya, akan bertmabha luas pulalah ilmu pengetahuannya mengenai alam ciptaan Nya dan dapat pula dimanfaatkannya ilmu pengetahuan itu sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah yang maha mengetahui. Dalam Al Hajj ayat 5, ‚Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah [Qs. 22:5]. Dan juga dalam [22:18], ‚Apakah kamu tiada menge-tahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bin-tang, gunung, pohon-pohonan, binatang-bina-tang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapa yang dihinakan Allah tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki [Qs 22:18].
120
Karena yang ada di semesta ini bagian dari manusia, bersama sama bersujud dan bertasbih kepada Allah. Kebesaran Allah Nampak dari apa yang ada dilingkungan. Bumi yang dihuni manusia dan apa yang tersimpan di dalamnya tidak akan pernah habis baik didarat maupun dilaut. Langit dengan planet dan bintang-bintangnya semua berjalan dan bergerak menurut tata tertib dan aturan Ilahi. Tidak ada yang menyimpang dari aturan-aturan itu. Pertukaran malam dan siang dan perbedaan panjanng dan pendeknya pada beberapa negeri karena perbedaan letaknya, kesemuanya itu membawa faedah dan manfaat yang amat besar bagi manusia. Bahtera berlayar dilautan untuk membawa manusia dari satu negeri ke negeri yang lain dan untuk membawa barangbarang perniagaan untuk memajukan perekonomian. Allah swt menurunkan hujan dari langit sehingga dengan air hujan itu bumi yang telah mati atau lekang dapat menjadi hidup dan subur, dan segala macam hewan dapat pula melangsungkan hidupnya. Pengendalian dan pengisaran angin dari suatu tempat ke tempat yang lain adalah tanda dan bukti bagi kekuasaan Allah dan kebesaran rahmatnya bagi manusia. Demikian pula, harus dipikirkan dan diperhatikan kebesaran nikmat Allah kepada manusia dengan bertumpuktumpuknya awan antara langit dan bumi. Semua rahmat yang diciptakan Allah termasuk apa yang tersebut dalam ayat 164 ini patut dipikirkan dan direnungkan bahkan dibahas dan diteliti untuk meresapkan keimanan yang mendalam dalam kalbu, dan untuk memajukan ilmu pengetahuanyang juga membawa kepada pengakuan akan keesaan dan kebesaran Allah. Lingkungan di ala mini dengan demikian merupakan satu kesatuan ekosistem yang utuh, dan saling berkait. Tak dibenarkan mencerai beraikan atau menyalah gunakan dan memanfaatkan tanpa memperhatikan keseimbangan. Kerusakan ini bagian dari maksiyat kepada Allah. Dalam alA’raf 56, ‚Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pendidikan Pemeliharaan Harmoni Alam dalam Al-Qur’an, M. Sulhan
sesudah (Allah) memerbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. Menafsirkan wala tufsidu, Al Jazairi [2009:469] menegaskan larangan Allah membuat kerusakan di bumi seperti menghindari bersukutu dengan ciptaan Allah, berbuat aniaya [ma’siat] dengan memantapkan keyakinan kepada Allah [tauhid] dan memenuhi perintah Allah [ta’at] kepada Allah. Manusia dalam menjaga keutuhan ekosistem ini syaratnya mau berbuat baik [muhsinun]. Al Jazairi [2009:469] menjelaskan makna muhsinun dengan orang orang yang berbuat baik melalui perbuatan [a’malihim], melalui niyat yang baik [niyatuhum], selalu berusaha dekat dengan Allah di segala si tuasi [ahwalihim]. Dengan cara ini kesatuan ekosistem akan mendapat jaminan. Sebaliknya ancaman jika orang tidak beriman dan memahami kekuasaan Allah.
‚Katakanlah : Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.‛ (QS Yunus:101). Padahal dalam ayat ini Allah menjelaskan perintah Nya kepada rasul Nya agar dia menyuruh kaumnya untuk memperhatikan dengan mata kepala mereka dan dengan akal budi mereka segala yang ada di langit dan di bumi. Mereka diperintahkan agar merenungkan keajaiban langit yang penuh dengan bintang-bintang, matahari dan bulan, keindahan pergantian malam dan siang, air hujan yang turun ke bumi, menghidupkan bumi yang mati, menumbuhkan tanam-tanaman, dan pohon-pohonan dengan buah-buahan yang beraneka warna dan rasa. Hewan-hewan dengan bentuk dan warna yang bermacammacam hidup diatas bumi, memberi manfaat yang tidak sedikit kepada manusia. Demikian pula keadaan bumi itu sendiri yang terdiri dari gurun pasir, lembah yang terjal, dataran yang luas, samudera yang penuh dengan berbagai ikan yang semuanya itu terdapat tanda-tanda
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
keesaan dan kekuasaan Allah SWT bagi orang-orang yang berfikir dan yakin kepada penciptanya. Hilangmnya iman pada manusia yang tidak percaya adanya pencipta alam ini, membuat semua tanda-tanda keesaan dan kekuasaan Allah di alam ini tidak akan bermanfaat baginya. ‚Sesungguhya dalam penciptaan
langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, bahtera yang berlayar dilaut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi sungguh (terdapat) tana-tanad (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.‛ (QS Al Baqarah : 164) 2. Manusia dan Lingkungan Hidup Manusia aktor dominan [determinant actor] yang menentukan hitam putihnya lingkungan. Lingkungan menjadi baik, terawat, terlindungi atau sebaliknya rusak, tercemar dan terdegradasi disemesta ini dipengaruhi cara pandang manusia atas lingkungannya. Manusia selain untuk beribadah kepada Allah, juga diciptakan sebagai khalifah di muka bumi [QS;2:30]. Sebagai khalifah, manusia memiliki tugas untuk memanfaatkan, mengelola dan memelihara alam semesta. Allah telah menciptakan alam semesta untuk kepentingan dan kesejahteraan semua makhluk-Nya. Posisi manusia khususnya dalam hubungannya dengan lingkungan hidup, sejalan dengan satu tujuan penciptaan lingkungan hidup yaitu agar menjadi tanda [layat li ulil albab] keagungan Allah. Manusia dapat berusaha dan beramal sehingga tampak diantara mereka siapa yang taat dan patuh kepada Allah.Adalah kewajiban bagi manusia untuk selalu tunduk kepada Allah sebagai maha pemelihara alam semesta ini. Perintah ini jelas tertulis dalam Surat Al An’aam 102 yaitu, ‚.Dialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta
121
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 115-126
segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia pemelihara segala sesuatu‛. Allah yang mewajibkan manusia untuk melestarikan lingkungan hidup. Adapun rujukan dari dalil ini adalah Surat Al A’raaf 56, ‚Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memerbaikinya dan berdoalah kepadaNya‛. Pentingnya posisi dan peran manusia, yaitu menjaga keseimbangan lingkungan hidup, dalam bagian ini berusaha melihat bagaimana posisi dan peran manusia hubungannya dengan lingkungan yang disebut dalam Al-Qur’an. [a] Tugas manusia di bumi. Untuk melihat secara positif hubungan manusia dan lingkungan alangkah baiknya kalau dilihat dari tugas manusia di muka bumi. Tugas manusia dimuka bumi banyak identik dengan fungsi ibadah dan khalifah. Dalam AlQur’an pesan ini tegas. Dalam Al Baqarah, Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa [QS. 2:21]. Dalam Al Baqarah ayat ke 30, Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu keta-hui" [QS.2:30]. Dan banyak lagi gambaran AlQur’an melihat posisi dan peran manusia di bumi. Beberapa ayat yang berisi pesan ini misalnya juga terdapat dalam ; QS.10:14, QS. 11:7, QS.11:61, QS.21:105, QS.22:41, QS.23:115, QS.24:55, QS.27:62, QS. 28:5, QS.35:39 [2]. Manusia makhluk yang dimuliakan Allah. Manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Allah dilebihkan dari ciptaan lainnya. Manusia diberi kelebihan dari sisi akal, nathiq, ilmu, bentuk, jenis makanan, dan juga rupa. Kelebihan manusia atas akal inilah yang juga menjadi bagian tak terpisahkan untuk
122
kemudian tidak berlebihan dalam bersikap. Dalam AlBaqarah Allah berfirman, ‚Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"[QS. 2:31]. Dalam ayat 33 juga disebut tegas, ‚Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (bendabenda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!"[QS. 2:33]. Ini juga Nampak dari semangat QS. 7:11,QS. 7:12, QS.7:19,QS. 7:26,QS. Dalam surat lain kelebihan dari fakulty of knowledge yang dimiliki manusia menjadi kata kunci yang berkait dengan tugas di bumi. Tujuannya biar bersyukur. Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur [QS. 16:78]. [c] Seluruh makhluk diciptakan untuk kepentingan manusia. Allah menegaskan bahwa segala apa yang ada di langit dan dibumi beserta isinya diperuntukkan untuk manusia. Manusia diistimewakan. Dalam surat al Baqarah Allah berfirman, ‚Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.[QS. 2:29]. Dalam surat al An’am, Allah memberi peringatan atas segala kemungkaran, sebagaimana dilakukan umat terdahulu yang tidak mau bersyukur. FirmanNya, ‚Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu [QS. 6:6]. Semangat serupa sejalan dengan QS. 13:3, QS.13:4, QS.14:32, QS. 15:19, QS.15:20,QS. 15:22, QS.16:13,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pendidikan Pemeliharaan Harmoni Alam dalam Al-Qur’an, M. Sulhan
QS.16:15, dan QS.16:65. [d]. Bumi disiapkan untuk tempat tinggal manusia. Bumi adalah planet paling indah, paling aman, dan memiliki stabilitas yang dijamin oleh Allah. Bumi menjadi tempat tinggal yang aman dan baik bagi manusia. Allah menundukkan bumi untuk manusia. Dalam Al Baqarah Allah berfirman; ‚Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buahbuahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. [QS. 2:22]. Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikanNya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu [QS.2:29]. Penjelasan lain juga terdapat di QS. 6:99, QS. 7:10, QS. 7:24, QS.7:74, QS. 10:5, QS. 13:3, QS. 13:4. Allah menundukkan apa yang ada di bumi, menurunkan hujan, dan menundukkan sungai sungai untuk manusia. FirmanNya, ‚Allahlah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. [QS. 14:32]. Penjelasan lainnya terdapat di QS. 15:19, QS.15:20, QS. 15:22, QS. 16:13, QS. 16:15, QS. 16:81, QS. 17:12, QS.20:53, QS.20:54, QS.22:65, QS. 23:18, QS. 23:19, dan juga QS.23:20. Dalam as Syu’ara, ‚Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik? [ QS. 26:7]. 3. Kewajiban menjaga lingkungan dalam Al-Qur’an Bumi sebagai tempat tinggal dan tempat hidup manusia dan makhluk Allah lainnya sudah dijadikan Allah dengan penuh rahmat
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Nya. Gunung-gunung, lembah-lembah, sungaisungai, lautan, daratan dan lain-lain semua itu diciptakan Allah untuk diolah dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh manusia, bukan sebaliknya dirusak dan dibinasakan. Allah telah memberikan tuntunan dalam AlQuran tentang lingkungan hidup. Pelestarian alam dan lingkungan hidup ini tak terlepas dari peran manusia.Allah member peringatan pada manusia. Keharusan memelihara alam merupakan bagian dari memahami alam sebagai kesatuan ekosistem. Perintah Allah sangat jelas `dalam Al-Qur’an sebagai rambu rambu dan pijakan dalam memanfaatkan lingkungan. Dalam Al A’raf Allah menegaskan pesan etis manusia hidup di bumi. ‚Dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memerbaikinya dan berdoalah kepadanya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahma Nya (hujan) hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu kami turunkan hujan di daerah itu. Maka kami keluarkan dengan sebab hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. Dan tanah yang baik, tanam-tanamannya tumbuh dengan seizin Allah, dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikian kami meng-ulangi tanda-tanda kebesaran (Kami)bagi orangorang yang bersyukur.‛ (QS Al A’raf : 56-58) Selain perintah jelas dari Al-Qur’an, menjaga alam sebagai tanggung jawab kemanusiaan. Semangat dalam surat ar Rum, mestinya menjadi pelajaran bagi manusia. Karena kerusakan di darat maupun dilaut itu melahirkan bencana sebagai adab atas apa yang dilakukan manusia di bumi. Kesadaran untuk merawat alam itu kesadaran kemanusiaan
123
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 115-126
sebagai konsekwensi logis menghindari bencana. Pesan dalam ar Rum, ‚Telah tampak
kerusakan di darat dan dilaut disebabkan perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah: Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perlihatkanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orangorang yang mempersekutukan (Allah).‛ (QS Ar Rum:41-42). Kewajiban bagi manusia selalu tunduk kepada Allah sebagai maha pemelihara alam semesta ini. Dari beragam peringatan dan perintah mengamati akibat orang orang yang berbuat kerusakan, saatnya menjadikan upaya perawatan lingkungan sebagai bagian tugas orang yang beriman. a. Berbuat baik pada alam sebagai ibadah Perintah Allah berbuat baik di semesta, lingkungan dan bumi merupakan bentuk ibadah kepada Allah. (Ad Dzariyat 58). Makna ibadah menurut Ali AshShobuni dalam ‚Shofwatu Tafasir‛, memuat empat hal yaitu tunduk kepada Allah [liyahdlo’u ly], menyembah kepada Allah [liya’budu ly], memahami dan mengetahui Allah [liya’rifuny]. Merawat lingkungan dan berbuat baik menjaga keseimbangan dalam konteks lingkungan ini sebagai tugas iman. Karena motif ibadah, motif tunduk dan memahami Kebesaran Allah.
sekitar lingkungan ciptaan-Nya. Ibnu Athoilah kitabnya ‚al Hikam‛ menyebutkan, barang siapa melihat al Haq [Allah] ia akan dapat melihat di segala sesuatu [man ‘arafa al haq ‘ara Allah fi kulli sai’in]. Jika sese-orang gagal memahami wujud, ia akan kehilangan pesan atau wujud Allah di segala hal. [man faniya al haq faniyahu fi kulli sai’in]. c. Keberkahan langit dan bumi Bagi manusia memahami krisis lingkungan hari ini sebagai sarana mendidik akhlak untuk ramah pada lingkungan. Manusia menghindati perilaku berlebihan, durhaka [atat] dan memahami peran penting lingkungan sebagai basis membangun kekuatan iman.kerusakan dan bencana di bumi disebut Al-Qur’an sebagai siksa [liyudiqa-hum ba’dhal ladzy ‘amilu] tujuannya agar manusia kembali kepada Allah. Pembahasan hubungan lingkungan dalam Al-Qur’an berkait posisi manusia dan hubungan bagi upaya membangun lingkungan yang ramah, yang berkah dan memiliki kaitan dengan pesan ketuhanan dapat dilihat dari skema konseptual berikut.
b. Kembali kepada Allah, ma’rifatullah dari Lingkungan Al-Qur’an memerintahkan manusia meneliti dari penciptaan langit dan bumi serta perputaran siang dan malam ini terdapat tanda tanda bagi orang yang berfikir. Ibnul Arabi dalam ‛Fusushul Hikam‛, menjelaskan bahwa semesta, manusia, adam, langit dan bumi dan apa yang adadi bumi merupakan representasi cara hadir Allah di semesta yang harus dipahami manusia. Mencari Allah tidak perlu jauh. Namun, cukup dipahami apa yang ada di
124
Gambar IV. 1. Skema konseptual Al-Qur’an dan Harmoni Alam
Nilai Profetis Al-Qur’an dalam Harmoni Alam Al-Qur’an memiliki banyak pesan profetis yang penting untuk membangun fondasi dasar bagi harmoni alam. Pertama, memelihara lingkungan tugas dan tanggung jawab iman. Krisis lingkungan yang ditandai dengan
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pendidikan Pemeliharaan Harmoni Alam dalam Al-Qur’an, M. Sulhan
kerusakan lingkungan, penggundulan hutan, eksploitasi tambang mulai diberi perhatian serius. Iman kepada Allah menjadi kunci mengontrol perilaku ini. [Qs. 7: 56. Qs. 7:74, Qs. 2:205]. Perilaku berlebihan dan merusak harus dihindari sebagai tugas dan tanggung jawab iman. Kedua, kewajiban setiap muslim memakmurkan bumi. Allah menyiptakan manusia dari tanah dan Allah meminta manusia untuk memakmurkannya. [QS. 2:30, QS. 7:85]. Ketiga, merusak lingkungan sebagai kejahatan lingkungan. Penggundulan hutan, pembuangan lim-bah CO2 200 ton perhari merupakan kejahatan lingkungan. Secepatnya kembali kepada rambu rambu yang dibuat Allah dalam AlQur’an. [Qs. 10: 23, Qs. 13:25]. Perusakan dan pembuangan limbah tanpa memerhatikan keselamatan lingkungan kejahatan [shirk] dan dosa [maksiyat]. Keempat, hidup ramah dengan alam. Saatnya hidup ramah dan memerhatikan keseimbangan lingkungan. Pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya bumi harus memerhatikan keseimbangan dan pembangunan berkelanjutan. Pro green, pro poor, prro child. Perintah seimbang ini tegas dalam Al-Qur’an. [Qs. 11: 85 dan QS. 11:116]. Kelima, menanam dan tidak merusak tumbuhan. [QS. 48:29 dan QS. 12: 47]. Menanam merupakan pendidikan kesabaran yang dekat dengan tawakkal kepada Allah. Menanam juga menjaga ketersediaan air. Keenam, save water: sumber kehidupan. Menjaga air berarti menjaga kehidupan. Air sumber kehidupan. [QS. 2:164 dan QS. 21:30]. Ketujuh, mengenali alam mengenali Tuhan. Allah bertajalli dalam semesta [Ibnul Arabi, 2005]. Allah hadir dalam kalam dan dunia cipta di semesta. Alam itu wujud mani-festasi dari Tuhan. (QS Sad: 27-28). Allah SWT menjelaskan Dia menjadikan langit, bumi dan makhluk apa saja yang berada di antaranya tidak sia-sia. Kedelapan, semesta sumber pengetahuan. Allah memerintahkan manusia untuk melakukan perjalanan di muka bumi, meneliti untuk menyingkap rahasia hukum-hukum Allah yang bermanfaat bagi hidup manusia. [6:101 dan 2:30].
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Simpulan Al-Qur’an menjadi sumber strategis bagi upaya pengembangan nilai nilai positif sebagai dasar profetis hidup harmoni alam. Al-Qur’an memberi rambu-rambu cara mengelola lingkungan dan dilarang merusak lingkungan. Perintah berbuat baik lingkungan lebih menonjol yang dipertegas dengan berbuat baik baik ciptaan. Nilai profetis harmoni alam dapat dilihat dari pesan berikut; [1] memelihara lingkungan tugas dan tanggung jawab iman [2] kewajiban setiap muslim memakmurkan bumi [3] merusak lingkungan sebagai kejahatan lingkungan, [4] hidup ramah dengan alam, [5] menanam dan Tidak merusak tumbuhan, [6] Save Water: Sumber Kehidupan, [7] mengenali alam mengenali Tuhan, [8] semesta sumber pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Kemenag RI, Jakarta 1990 Azharuddin Sahil, Indeks Al-Qur’an, Panduan
Mencari Ayat Al-Qur’an Berdasarkan Kata Dasarnya, Bandung, Mizan, 1994 Ahmad Zainul Hamdy, ‚Neo Sufisme Islam Jawa: Perjumpaan Islam dengan Lokalitas‛, Jurnal Istiqra’, Jakarta, Ditpertais Depag RI, Vol. 04, no. 01 2005. h. 312. Carol J. Adams and Josephine Donovan,
Animals and Women: Feminist Theoretical Explorations, edited by Carol J. Adams and Josephine Donovan Claudia Strauss dan Naomi Quinn, ‚A Cognitive Theory of Cultural Meaning‛, Canbridge, Canbridge University Press, 1997. Clifford Geertz, ‚The Religion of Java‛, Chicago and London, University of Chicago Press, 1960
125
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 115-126
George Tyler Miller dalam Living In The Environment, Cole book, 1991 Hanafi Ahmad, At Tafsiral Ilmy Lil Ayat al Kauniyyah, Dar Ma’arriff, Mesir, TT. M. Atho Mudhar, ‚Penelitian Agama dan
Keagamaan Peta dan Strategi Penelitian di IAIN‛, makalah pada penelitian dosen IAIN, Pekanbaru 16 September 1996. Mohammad Fuad Abdul Baqy, Mu’jam Mufahrats Li Alfadzil Quran, Maktabah Dahlan, Indonesia, TT. MC. Ricklefs, ‚Introduction: The Coming of Islam to Indonesia‛, dalam MC. Ricklefs [ed.] , ‚Islam in The Indonesian Social Context‛, Center of Southeast Asian Studies, Monash University 1991. h. 1-3. Roy D’Andrade dan Claudia Strauss [ed.], ‚Human Motives and Cultural Models‛, Canbridge,Canbridge University Press, 1995. Roy D’Andrade, ‚The Development of Cognitive Anthropology‛, Canbridge, Canbridge University Press, 1995. Thomas Schweizer, ‚The Javanese Slametan;
Knowledge, Practice and Embeddednes of Ritual in Society‛, makalah dalam Workshop ‚Reassesing Ritual, Power, and the Structuring of Relationship‛, Konferensi Biennial ke 5 European Association of Social Robert W. Hefner, ‚ The Political Economy of
Mountain History‛,
Java:
An
Berkeley, California Press, 1990.
Interpretative University
of
Women Healing Earth: Third World Women on Ecology, Feminism, and Religion, edited by Rosemary Radford Ruether Sayyed Hosein Nasr, Man and Nature: the spiritual crisis of modern man ,Unwin Paperbacks, 1991 Seyyed H. Nasr, ‚Islam and the Environmental Crisis,‛ The Islamic Quarterly 34 (4) (1991): 217–234; and Nasr, The Encounter of Man and Nature (London: Allen and Unwin, 1978).
126
Toshihiko Izutsu, Ethico Religious Concepts in The Quran, Montreal, Mc Gill University Press, 1966. Sadr at, Muhammad Baqir, ‚Pendekaian
Temalik Terhadap Tafsir AI-Qur’an ‚, dalam Ulumul Quan, Vol I, No. 4, 1990, hal. 34. Farmawi al, Abd al-Hayy, Al-Bidayah fi alTafsir al-Maudhu’i, Matba’ah alHadarah al-’Arabiyah, Kairo, 1977 Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’1n (Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1989 Sadr at, Muhammad Baqir, ‚Pendekaian
Temalik Terhadap Tafsir AI-Qur’an ‚, dalam Ulumul Quan, Vol I, No. 4, 1990, hal. 34.
Mustafa Abu-Sway, Fiqh al-Bi'ah fil-Islam, diunduh dari http://homepages.iol.ie/~afifi/Articles/env ironment.htm. Hatim Ghazali, Fiqh al-Bi’ah; Fiqh Ramah Lingkungan, Bulletin An-Nadhar P3M, 30/03/2005 Berry, Thomas. The earth: A new context for religious unity. Pp. 27-39 in Lonergan and Richards 1987 Berry, Thomas, and Brian Swimme. The universe story. San Francisco: Harper Collins. 1992 Bustamam Ismail, Dorongan Al Qur’an Dalam Menjaga Lingkungan, http://hbis.wordpress.com/2007/11/23/pe rintah-al-qur%E2%80%99an-tentangmenjaga/November 23, 2007 Melissa Kaplan, Ethology, Ecology and Critical Anthropomorphism, Herp Care Collection, Last updated February 27,
2012
Ibnul Arabi, Fushus al Hikam, Surabaya, al asya, tt. S. Nomanul Haq, Islam and Ecology: Toward Retrieval and Reconstruction, tersedia di http:/www.amacad.org/publication/fall2 001/haqaspx.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, M. Karman
RESENSI BUKU Judul Buku Penulis Penerbit Tahun Terbit Jumlah Halaman
: ARAH BARU PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum hingga Redefinisi Islamisai Pengetahuan : Muhaimin : Nuansa, Bandung : 2003 : 363
Pendidikan Islam sengaja didirikan, dibangun dan diselenggarakan dengan tekad mereaslisasikan dan mengejawantahkan nilainilai ajaran Islam (al-qiyam al-islâmiyyah) sebagaimana yang tertuang dalam visi, misi, tujuan, program kegiatan maupun praktek pelaksanaan kependidikan. Wawasan kependidikan Islam sebagai dikemukakan Muhaimin merupakan sebuah konsep atau cara pandang pengembang (mut{awwir), pengelola (mudabbir), dan pelaksana (qâim) pendidikan dalam mengembangkan dan menyelenggarakan program-program pendidikan Islam di lapangan dengan memerhatikan landasan filosofis, historis dan konteks sosial budaya, serta perkembangan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Para calon sarjana pendidikan Islam dituntut memiliki dan menguasai wawasan kependidikan tersebut. Penulis memulai kajian wawasan kependidikan Islam dari pemberian wawasan historis dan filosofis serta diskursus tentang pemikiran para cendekiawan dalam merespon problem pendidikan Islam yang sedang tumbuh dan berkembang di Indonesia dalam konteksnya masing-masing sebagai upaya antisipatif terhadap arah pengembangan pendidikan Islam di Indonesia di masa depan. Kajian ini secara jelas diberikan alternatif sikap dan langkah para pengembang, pengelola dan pelaksana pendidikan Islam secara kontekstual. Pola pendidikan Islam sebelum Indonesia merdeka terdiri dari tiga pola. Pertama,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
pola isolatif-tradisional, tidak menerima apa saja yang datang dari Barat (penjajah) dan terhambatnya pengaruh pemikiran modern dalam Islam untuk masuk ke dalamnya sebagaimana tampak dalam pola pendidikan pesantren. Hakekat pendidikan Islam sebagai upaya melestarikan dan memertahankan khazanah pemikiran ulama terdahulu sebagaimana tertuang dalam buku-buku karya mereka. Tujuan pendidikan di masa isolatif ini menyiapkan calon-calon kiyai atau ulama yang menguasai an sich masalah agama. Kedua, pola sintesis, memertemukan antara corak lama (pondok pesantren) dan corak baru (pendidikan model kolonial) yang berwujud sekolah atau madrasah. Realitasnya, pola pendidikan sintesis ini memiliki beberapa variasi pengembangan pendidikan Islam: (1) pola pengembangan pendidikan madrasah mengikuti format pendidikan Barat dalam sistem pengajarannya secara klasikal, tetapi isi materinya iolmu-ilmu keislaman, (2) pola pengebangan pendidikan madrasah yang mengutamakan mata pelajaran-mata pelajaran agama, tetapi diberikan juga mata pelajaran-mata pelajaran umum secara terbatas, (3) pola pengembangan pendidikan madrasah yang menggabungkan secara seimbang antara muatan agama dan muatan umum, dan (4) pola pengembangan pendidikan sekolah yang mengikuti pola gubernemen dengan ditambah beberapa mata pelajaran agama. Pola-pola pengembangan pendidikan Islam tersebut bertujuan mengembangkan ajaran Islam yang tertuang dalam Al-
127
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 127-130
Qur’an dan Hadis dengan perspektif yang berbeda-beda. Sejak awal kemerdekaan bangsa Indonesia telah memberikan perhatian dan pengakuan yang relatif tinggi terhadap sumbangan pendidikan Islam dalam upaya mendidik dan mencerdaskan bangsa. Bangsa Indonesia telah mewarnai sistem pendidikan dan pengajaran yang dualistis (sistem pendidikan Islam dan sistem pendidikan kolonial) yang tidak memberikan prioritas kepada salah satunya, tetapi mengintegrasikan keduanya menjadi satu sistem pendidikan nasional. Diskursus pengembangan pendidikan Islam yang menjadi perhatian dari para pengembang dan pemikirnya --- dikotomis atau islamisasi pengetahuan --- masalah kualitas pendidikan Islam di sekolah atau perguuan tinggi umum, upaya membangun pendidikan Islam secara terpadu dan upaya penggalian konsep filosofis pendidikan Islam dan pemikiran para tokoh pendidikan Islam sejak periode klasik hingga modern. Selanjutnya penulis menawarkan konsep pemberdayaan pendidikan agama Islam. Jika pendidikan agama Islam selama ini dianggap kurang berhasil dalam menggarap sikap dan perilaku keberagamaan peserta didik dan membangun moral dan etika bangsa, persoalan tersebut dapat dilihat dari berbagai perspektif. Penulis berasumsi kekurangberhasilan itu disebabkan kurang kuatnya hubungan sinergis antara dunia pendidikan dengan institusi-institusi lainnya, terutama dalam keterpaduan pembinaan. Pendidikan Islam dalam konteks operasionalnya --- baik dari aspek performa dan etos kerja pendidiknya, aspek metodologi dan aspek sarana penunjangnya --- perlu lebih diberdayakan lagi secara unlimited dalam rangka membangun masyarakat yang memiliki momitmen terhadap ajaran dan nilai-nilai relijius. Pendidikan Islam secara kelembagaan perlu mengembangkan kurikulum. Kurikulum dapat diterjemahkan seluruh pengalaman belajar di sekolah atau perguruan tinggi, baik berupa core curriculum maupun hidden curric-
128
ulum. Seiring dengan booming pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yang diberlakukan sejak tahun 2004/2005 di semua satuan pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, pengembangan kurikulum telah ditetapkan sebagai salah satu strategi pembangunan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Segala tenaga dan pikiran para pengembang, pengelola dan pelaksana pendidikan Islam di lapangan dan dana pendidikan banyak tercurahkan untuk mengantisipasi kebijakan tersebut. Sikap pro dan kontra terhadap model pengembangan kurikulum tersebut tidak dapat dibantah karena sebagai sebuah model tidak dapat diterapkan di mana-mana dan untuk semuanya. Untuk melengkapi model tersebut kemudian dipadukan dengan pengembangan kurikulum berbasis life skill. Setelah melakukan self evaluation dan kritik diri, madarsah dan perguruan tinggi Islam tidak mau ketinggalan dalam merespon kebijakan tersebut, termasuk di dalamnya pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam yang berbasis kompetensi. Life skill (kecakapan hidup) yang ditawarkan dalam pendidikan Islam mencakup dua model. Model pertama, general life skill, mencakup: (1) personal skill, (2) thingking skill, dan social skill. Model kedua, spesific life skill, mencakup: (1) academic skill dan (2) vocational skill. Belajar sepanjang hayat sebagai sebuah kecakapan hidup ciri-cirinya: (1) memulai belajar sendiri, (2) mencapai tingkat kemampuan baca tulis yang tinggi, (3) mengelola informasi, dan (4) mendemonstrasikan kesadaran estetis. Kecakapan berpikir kompleks ciri-cirinya: (1) mendemonstrasikan berbagai proses berpikir, (2) memadukan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang ada, dan (3) menerapkan kecakapan berpikir secara strategis. Kecakapan berkomunikasi yang efektif ciri-cirinya: (1) menggunakan metode yang tepat dalam berkomikasi dengan
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, M. Karman
yang lain, dan (2) merespons secara tepat ketika menerima komunikasi. Kecakapan kolaborasi ciri-cirinya: (1) memahami dan melayani dalam berbagai peran, (2) memasilitasi kelompok secara efektif, (3) menggunakan sumber-sumber secara efektif, (4) bekerja dengan berbagai penduduk. Kecakapan warga negara yang bertanggung jawab ciri-cirinya: (1) mendemonstarskan yanggung jawab individu, (2) mempraktekkan gaya hidup sehat, (3) memahami dan memromosikan prinsip-prinsip kebebasan, keadilan dan persamaan yang demokratis, dan (4) berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang mempromoisikan kepentingan umum. Kecakapan dapat dipekerjakan ciricirinya: (1) merencanakan suatu karir, dan (2) berfungsi secara efektif dalam satu sistem. Pengembangan kurikulum berbasis life skill ini mensyaratkan keseimbangan antara teori dan praktik atau antara ilmu dan amal dalam kehidupan sehari-hari. Penulis juga berupaya menawarkan konsep pengembangan perguruan tinggi Islam. Di tengah-tengah perbincangan dikotomi keilmuan yang berkembang di Indonesia dan upaya membangun integrasi keilmuan, penulis menawarkan konsep Ulul Albab, yang telah terwujud dalam visi dan misi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang. Konsep tersebut diinspirasi oleh firman Allah Q.s. al-Mujâdalah:11 yang dijadikan landasan upaya integrasi keilmuan di dunia Islam. Orang yang diangkat derajatnya oleh Allah menurut ayat ini orang yang beriman, yakni orang yang menyatakan dengan kesadaran dirinya bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah dan Nabi Muhammad sebagai utusanNya. Kesadaran ini mendorong seseorang mengembangkan sikap hidup yang dijiwai oleh semangat tauhid. Iqbal menyatakan bahwa esensi tauhid sebagai landasan/ide kerja adalah persamaan, kesetiakawanan, dan kebebasan, sehingga berimplikasi terhadap sikap seorang mukmin yang senantiasa mendudukkan orang lain sederajat dengannya, tidak ada sesuatu yang mengurangi atau membatasi kemer-
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
dekaan dirinya kecuali Allah. Perbedaan seseorang dengan orang lain terletak pada derajat keyakwaan. Ia mau mengakui dan menghargai pendapat dan gagasan orang lain, sekaligus mau mengakui kelemahan dirinya dan kelebihan orang lain. Ia akan memiliki sikap kemandirian, berpikir kritis, rasional, kreatif, memiliki kepedulian untuk melakukan penelitian empirik atau eksperimen secara objektif, amanah dan tanggung jawab atas perbuatannya dalam kehidup dan nyata tanpa harus terbelenggu oleh segala sesuatu kecuali Allah. Pernyataan “Muhammad itu utusan-Nya” berimplikasi bahwa tolok ukur kebenaran dan kebaikan sikap, perbuatan dan langkah kaum Muslim dapat diuji dengan mengacu kepada nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. Nabi saw. dalam realitas sejarah pertama kali mendakwahkan ajaran tauhid (keimanan) dan memerbaiki moralitas manusia, memberantas segala mitos dan berbagai keyakinan yang tidak memiliki landasan yang kokoh dan membangun sikap mental mereka agar tidak terbelenggu oleh segala sesuatu selain Allah. Kedua, orang yang akan diangkat derajatnya itu orang yang diberi ilmu pengetahuan, yakni orang-orang yang sungguh-sungguh menggali, menelaah dan mengembangkan ilmu pengeta-huan. Sumber ilmu pengetahuan pada hakekatnya Allah melalui ayat-ayat qauliyah (wahyu) dan ayat-ayat kauniyah-Nya (alam semesta). Kenyataan ini pernah diraih oleh kaum Muslim di masa kejayaannya (sekitar abad VII-XII M) dan peradaban dunia Islam menjadi cermin bagi para ilmuan non Muslim, terutama di Eropa (Barat) yang disebut masa Middle Age (abad pertengahan yang gelap). Namun, sekarang peradaban dunia Islam terbalik, mirip seperti Barat di masa Middle Age. Menurut Muhammad Abdussalam, ortodoksi dan semangat intoleransi merupakan dua faktor utama yang bertanggung jawab atas lemahnya lembaga ilmu pengetahuan di dunia Islam itu. Semangat scientific inquiry (penyelidikan ilmiah) dan lembaga ilmu pengetahuan
129
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 1, Januari-Juni 2015: 127-130
tersebut dapat dilacak dalam realitas sejarah perkembangan lembaga pendidikan tinggi Islam, termasuk di Indonesia. Penulis juga mengharapkan perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan tinggi perlu diberi arah yang jelas terhadap program studi-program studi yang dikembangkan di perguruan tinggi Islam. Di dalam tulisannya, penulis memberikan contoh pengembangan program studi-program studi baik untuk program sarjana, magister maupun doktor. Di akhir tulisan, penulis melakukan redefinisi islamisasi ilmu pengetahuan dan implikasinya terhadap pengembangan pendidikan Islam. Islamisasi pengetahuan ini berkonotasi integrasi keilmuan. Integrasi secara bahasa diartikan sebagai “berlawanan dengan pemisahan”, yaitu usaha memadukan ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama. Menurut Kuntowijoyo, inti dari integrasi itu upaya menyatukan --bukan sekedar menggabungkan--- wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu ientegralistik), tidak mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia (other wordly ascetianism). Model dari integrasi ini menjadikan Al-Qur’an dan sunnah sebagai grand theory ilmu pengetahuan sehingga ayatayat qauliyah dan ayat-ayat kauniyah dapat dipakai. Armahedi Mahzar secara lebih mendalam melihat inti dari integrasi (dibaca: integralisme) itu meletakkan hierarki keilmuan dalam suatu hierarki yang lebih besar dengan memasukkan alam akherat dan ciptaan Tuhan sebagai penghujung jenjang materi. Di sini tampak perbedaan yang mendasar antara islamisasi ilmu dan integrasi itu dalam hal pelumatan keilmuan umum dan agama. Keilmuan Islam, dalam islamisasi ilmu, akan memilih dan memilah ilmu-ilmu yang dianggap islami dan ilmu yang bukan islami dengan menghilangkan ilmu-ilmu yang bukan islami atau tidak cocok dengan Islam atau islamisasi model purifikasi dalam terminologi Muhaimin. Integrasi dalam hal ini berkaitan dengan usaha memadukan keilmuan umum dan Islam
130
tanpa harus menghilangkan keunikan-keunikan antara dua keilmuan tersebut. Universitas Islam Negeri atau Institut Agama Islam Negeri didorong untuk mengembangkan islamisasi pengetahuan dalam konteks integrasi-interkoneksi kelimuan. Keilmuan Islam yang universal dan integratif meniscayakan para inovator berpikir secara serius untuk mengembangkannya.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon