ISSN: 1829-7498
HORIZON PENDIDIKAN Vol. 10, No. 2, Juli-Desember 2015
Lembaga Pendidikan sebagai Ruang Publik Relasi Etnik dan Agama bagi Pembentukan Karakter Masyarakat
Adam Latuconsina Studi Efektivitas Program Pembelajaran Berbasis Masalah Terbimbing dalam Topik Laju Reaksi
Subhan Penerapan Model Kooperatif Learning Tipe Team Acclarated Intruction (TAI) dalam Peningkatan Hasil Belajar Biologi Pada Konsep Sistem Pernapasan Manusia di Kelas VIII 10 SMP Negeri 14 Ambon
Nur Alim Natsir Kemampuan Berpikir Logis Bertipe Kecerdasan Logis Matematis Kaitannya dengan Konservasi Bagi Anak Berusia 7-8 Tahun
Ajeng Gelora Astuti Embedded mahtematics dalam Budaya Ukiran Khas Tana Toraja untuk Konteks Pembelajaran
Abdillah Bentuk Alih Kode Tuturan Siswa dalam Proses Belajar-Mengajar Bahasa Indonesia (Studi Kasus terhadap Siswa SMP Neg 1 Leihitu)
Nur Afriani Nukuhali Pandangan Imam Al-Ghazali tentang Pendidikan Akhlak di Lingkungan Keluarga
La Adu Kreativitas dalam Pedagogik: Thinking and Creativity of Teacher
Siti Djumaeda Hubungan Penerapan Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw terhadap Kemampuan Penalaran
Sarfa Wassahua
ISSN: 1829-7498
HORIZON PENDIDIKAN Vol. 10, No. 2, Juli-Desember 2015 Pengarah Hasbollah Toisuta Penanggung Jawab Idrus Sere Ketua Penyunting Nur Alim Natsir Wakil Ketua Penyunting Djamila Lasaiba Penyunting Ahli T. Fuad Wahab (FTK UIN Sunan Gunung Djati Bandung) Karman (FTK UIN Sunan Gunung Djati Bandung) Muhbib Abdul Wahab (FTK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Ibrahim (FIK Universitas Negeri Malang) La Moma (FIK Universitas Pattimura Ambon) Ismail DP (FITK IAIN Ambon) Penyunting Pelaksana Ummu Saidah Cornelia Pary Jaffar Lessy Ridwan Latuapo Rosmawati T Mariana Sekretariat Muhammad Rijal Jamal Warandi Said Wattimury Fitra Samsudin Jurnal Horizon Pendidikan terbit dua kali dalam setahun, bulan Desember dan bulan Juni. Redaksi menerima tulisan dalam bidang pendidikan dan pelatihan berupa: gagasan konseptual, hasil penelitian, elaborasi tesis atau disertasi, analisis dan aplikasi teori serta resensi buku. Tulisan yang dikirimkan merupakan gagasan orisinil dan belum pernah dipublikasikan pada media manapun. Panjang tulisan antara 15–20 halaman kertas A4, spasi 1,5 huruf Times New Roman ukuran 12 dan Tradisional Arabic ukuran 16 untuk yang berbahasa Arab, abstrak dalam bahasa Inggris (untuk artikel berbahasa Indonesia dan Arab); dan abstrak dalam bahasa Indonesia untuk artikel berbahasa Inggris. Naskah diserahkan dalam bentuk file terformat MS Word (RTF) dan atau dikemas dalam CD. Khusus untuk laporan penelitian, sistematika tulisan harus menggambarkan tahapan-tahapan penelitian dengan jelas. Redaksi berhak menyunting naskah tanpa mengurangi maksud tulisan. Tulisan yang dimuat akan mendapatkan penghargaan. Alamat Redaksi Kantor Fakultas Ilmu Tarbyah dan Keguruan IAIN Ambon Jln. Dr. H. Tatmizi Taher, Kebun Cengkeh Batu Merah Atas, Ambon Telp. (0911)344-315, Email:ft_iainambonyahoo.com
ISSN: 1829-7498
HORIZON PENDIDIKAN Vol. 10, No. 2, Juli-Desember 2015
DAFTAR ISI Lembaga Pendidikan sebagai Ruang Publik Relasi Etnik dan Agama Bagi Pembentukan Karakter Masyarakat 131-138
Adam Latuconsina Studi Efektivitas Program Pembelajaran Berbasis Masalah Terbimbing pada Topik Laju Reaksi
139-144
Subhan Penerapan Model Kooperatif Learning Tipe Team Acclarated Intruction (TAI) dalam Peningkatan Hasil Belajar Biologi pada Konsep Sistem Pernapasan Manusia di Kelas VIII10 SMP Negeri 14 Ambon
145-156
Nur Alim Natsir Implementasi Hasil Penelitian Biologi (Studi Keanekaragaman Jamur Basidiomycota) sebagai Sumber Belajar Materi Fungi SMA Kelas X SMA Muhamaddiyah Ambon
157-162
Nirmala F. Al-Firdausi Kreativitas dalam Pedagogik: Thinking and Creativity of Teacher
163-174
Siti Jumaeda Pengaruh Perceraian Orang Tua terhadap Pembentukan Kepribadian Anak di Dusun Tapinalu Kecamatan Huamual Kabupaten Seram Bagian Barat
175-184
Abdullah Latuapo Bentuk Alih Kode Tuturan Siswa dalam Proses Belajar-Mengajar Bahasa Indonesia (Studi Kasus Terhadap Siswa SMP Negeri 1 Leihitu)
185-192
Nur Afriani Nukuhali Studi Al-Qur’an Al-Karim: Kajian Al-Qur’an dari Segala Aspeknya
193-202
Husni Suruali Pandangan Imam Al-Ghazali tentang Pendidikan Akhlak di Lingkungan Keluarga
203-212
La Adu Pembelajaran Insya (Kitabah) dengan Media Strip Story
213-220
Hayati Nufus
ISSN: 1829-7498
Kemampuan Berpikir Logis Bertipe Kecerdasan Logis Matematis Berkaitan dengan Konservasi Bagi Anak Berusia 7-8 Tahun 221-230
Ajeng Gelora Astuti Hubungan Penerapan Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw terhadap Kemampuan Penalaran
231-234
Sarfa Wassahua dan Ahmad Mahu Embedded Mahtematics pada Budaya Ukiran Khas Tana Toraja untuk Konteks Pembelajaran
235-242
Abdillah Etika Interaksi Guru dan Peserta Didik di Kelas dalam Pendidikan Islam
243-246
Ridhwan Latuapo Model Belajar: Tinjauan Teoretik
247-252
Idrus Sere Definisi-Definisi Nahwu dengan Corak Definisi Riel
253-260
Jenal Bustomi
Lembaga Pendidikan sebagai Ruang Publik, Adam Latuconsina
LEMBAGA PENDIDIKAN SEBAGAI RUANG PUBLIK RELASI ETNIK DAN AGAMA BAGI PEMBENTUKAN KARAKTER MASYARAKAT Adam Latuconsina Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon Email :
[email protected]
Abstrak: Realitas masyarakat Indonesia yang multikultur secara sosiologis membentuk kelompok-kelompok yang kemudian mengidentifikasi diri dalam masing-masing identitas kultural. Proses pembentukan identitas terjadi dalam perjumpaan dengan etnis lain dalam lingkup pergaulan yang intens serta melakukan hubungan lintas budaya dan mengintegrasikan identitas kultural masing-masing. Dibutuhkan keharmonisan hubungan antar agama dan etnik, dengan tetap menghargai keberadaan kelompok etnik dan agama masing-masing. Di Maluku, terjadi konflik di berbagai tempat termasuk di Maluku, yang berdampak pada pola hubungan antaragama dan etnik. Fenomena tersebut berdampak pula terhadap relasi di ruang publik khususnya di perguruan tinggi, sehingga diperlukan pola pendidikan yang baik bagi pembentukan karakter masyarakat. Keyword: Lembaga Pendidikan, Relasi Etnik. Pendahuluan Indonesia memiliki banyak etnik atau suku bangsa, bahasa dan keyakinan agama. Keragaman yang dimiliki tersebut merupakan kekayaan bangsa, sekaligus berpotensi terjadi konflik yang mengakibatkan disintegrasi atau perpecahan dalam masyarakat. Realitas masyarakat Indonesia yang multikultur secara sosiologis membentuk kelompok-kelompok yang kemudian mengidentifikasi diri dalam masingmasing identitas kultural. Proses pembentukan identitas terjadi dalam perjumpaan dengan etnis lain dalam lingkup pergaulan yang intens serta melakukan hubungan lintas budaya dan mengintegrasikan identitas kultural masingmasing. Dibutuhkan keharmonisan hubungan antaragama dan etnik, dengan tetap menghargai keberadaan kelompok etnik dan agama masing-masing. Namun, dalam dua dekade terakhir terjadi konflik di Maluku yang berdampak pada pola hubungan antar agama dan etnik. Fenomena tersebut berdampak terhadap
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
relasi di ruang publik khususnya di perguruan tinggi, sehingga diperlukan pola pendidikan yang baik bagi pembentukan karakter masyarakat. Konteks Maluku, relasi antaretnik dan agama yang baik penting bagi masyarakat Maluku pascakonflik. Konsep Etnik Etnik berhubungan dengan suku bangsa yakni, kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan suku bangsa lain berdasarkan kesadaran akan identitas perbedaaan kebudayaan, khususnya bahasa.1 Bila ditelusuri asal usulnya, kata etnik (Indonesia) atau ethnic (Inggris) berasal dari bahasa Yunani ethnos yang mengandung pengertian bangsa atau orang. Ethnos kemudian dimaknai secara luas dalam pengertian setiap kelompok sosial yang 1
Koentjaraninggrat,dkk., Kamus Istilah Antropologi, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1984.
131
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 131-138
ditentukan oleh ras,2 adat-istiadat, bahasa, nilai dan norma budaya. Pengertian ini menandakan suatu kelompok sebagai yang minoritas atau mayoritas dalam suatu masya-rakat. Etnik, secara umum dipahami sebagai himpunan manusia karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa ataupun kombinasi yang terikat pada sistem nilai budayanya.3 Martin Blumer memahami etnik atau yang biasa disebut dengan kelompok etnik itu satu kelompok kolektif manusia dalam penduduk yang luas, yang memiliki kenyataan atau cerita asal-usul yang sama, memiliki kenangan terhadap masa lalu, yang terfokus pada satu unsur simbolik atau lebih yang mendefinisikan identitas kelompok, seperti kekerabatan, agama, bahasa, pembagian wilayah, tampilan nasionalitas dan fisik (suku bangsa dan fisik), yang anggotanya sadar bahwa mereka merupakan anggota dari kelompok tersebut. Diana (2003) dalam Liliweri, melihat etnik sebagai kumpulan orang yang dapat dibedakan terutama olah karakteristik kebudayaan atau bangsa, yang meliputi: keunikan dalam perangai (trait) budaya; perasaan sebagai satu komunitas; memiliki pera-saan etnosentrisme; memiliki status keanggotaan yang bersifat keturunan dan berdiam atau memiliki teritori tertentu.4 2
Kata ras berasal dari bahasa Arab yang artinya keturunan. Dalam studi Antropologi, ada tiga pandangan yang saling melengkapi mengenai apa yang dimaksud dengan ras. Pertama, ras adalah segolongan manusia yang merupakan suatu kesatuan karena memiliki kesamaan sifat jasmani dan rohani yang diturunkan, sehingga berdasarkan itu dapat dibedakan dari kesatuan yang lain. Kedua, ras adalah segolongan manusia yang memiliki kesamaan ciri-ciri jasmani karena diturunkan, jadi ciri-ciri kerohanian tidak diperlukan di sini, dan yang ketiga, ras didefinisikan sebagai A group which
shares in common a certain set of innate physical characters and a geohraphical origin within a certain area (N. Daldjoeni, 1991: 1). 3 Lihat Fredrik Barth, Kelompok Etnis dan Batasannya, Jakarta: UI-Press, 1988. 4 Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik : Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur, Yogyakarta: LkiS, 2005. h. 9.
132
Narroll sebagai dikutip oleh Fredrik Barth5 menyebutkan bahwa umumnya kelompok etnik dikenal sebagai suatu populasi yang: (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, (2) memiliki nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam satu bentuk budaya, (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, (4) menentukan ciri kelompoknya yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. Fredrik Barth melihat kelompok-kelompok etnik dalam dua perspektif; sebagai unitunit kebudayaan dan sebagai suatu tatanan sosial. Mengenai kehadiran kelompok-kelompok etnik sebagai unit-unit kebudayaan, Barth berpendapat bahwa dengan adanya aspek budaya ini, klasifikasi seseorang atau kelompok setempat dalam keanggotaan suatu kelompok etnik tergantung pada kemampuan seseorang atau kelompok ini untuk memerlihatkan sifat budaya kelompok tersebut. Bentuk-bentuk budaya yang tampak menunjukkan ada pengaruh ekologi atau bentuk budaya ini merupakan hasil penyesuaian para anggota kelompok etnik dalam menghadapai berbagai faktor luar. Kelompok etnis sebagai suatu tatanan sosial menegaskan bahwa ia menentukan ciri khasnya yang dapat dilihat oleh kelompok lain. Kelompok-kelompok etnik sebagai suatu tatan sosial terbentuk bila seseorang menggunakan identitas etnik dalam mengkategorikan dirinya dan orang lain untuk tujuan interaksi.6 Pengertian terbatas tentang kelompok etnik dimengerti sebagai suatu kelompok baik kelompok ras maupun bukan kelompok ras yang secara sosial berbeda dan telah membentuk subkultur tersendiri. Ikatan positif yang menjalin hubungan antara beberapa kelompok etnik dalam suatu sistem sosial yang luas tergantung pada sifat budayanya yang 5
Fredrik Barth, Kelompok Etnis dan Batasannya, Jakarta: UI-Press, 1988. h.11. 6 Fredrik Barth, Kelompok Etnis dan Batasannya, Jakarta: UI-Press, 1988. h.13-14.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Lembaga Pendidikan sebagai Ruang Publik, Adam Latuconsina
saling melengkapi. Kondisi saling melengkapi inilah yang menimbulkan suatu ketergantungan atau kondisi simbiosis. Mekanisme dalam memertahankan batas etnik sangat efisien karena kompleksitas timbul berdasarkan adan perbedaan budaya yang penting dan saling melengkapi, perbedaan ini harus dibakukan secara umum dalam kelompok etnik yang bersangkutan, yaitu kelompok status, atau status sosial setiap anggota kelompok umumnya sama, sehingga interaksi antaretnik berlangsung atas dasar identitas masing-masing etnik, dan ciri budaya setiap kelompok harus benarbenar stabil, sehingga perbedaan yang saling melengkapi yang menjadi dasar sistem itu dapat bertahan selama berlangsungnya kontak antaretnik.7 Konsep Agama Emile Durkheim mengembangkan definisi fungsional agama (the functional definition of religion). Agama didefinisikan dalam pengertian peranannya dalam masyarakat. Agama menyumbangkan kepada masyarakat, apa yang disebut Durkheim sebagai the matrix of meaning. Agama merupakan suatu sistem interpretasi terhadap dunia yang mengartikulasikan diri, tempat dan tugas suatu kelompok masyarakat dalam alam semesta. Agama menentukan perspektif di mana individu maupun suatu komunitas atau para penganut agama tertentu memandang dan mengerti diri mereka serta relasi-relasi mereka dengan komunitas yang lebih luas serta alam atau lingkungannya. Menurut Durkheim, agama merupakan sesuatu yang sesungguhnya berwatak sosial. Gambaran keagamaan itu gambaran kolektif yang mengekspresikan kenyataan kolektif yang merupakan hasil kerja sama yang tersebar pada suatu waktu dan tempat tertentu. Bagi Durkheim, sikap keagamaan lahir dari tengah situasi mental yang luar biasa dari lingkungan sosial masyarakat. Selain itu, religi
merupakan kesatuan sistim kepercayaan dan tindakan yang berhubungan dengan barangbarang suci. Barang-barang suci yang dimaksudkan, barang atau benda yang diasingkan dan diberikan larangan atasnya. Barang-barang suci kelompok-kelompok agama cenderung dijadikan simbol penanda identitas dalam suatu komunitas. Durkheim, sebagai dikutip oleh Harsojo mengatakan bahwa fungsi sosial yang esensial dari religi ialah hal menciptakan, memaksakan dan mempertahankan solidaritas kelompok.8 Dimensi fungsional dari agama dengan sendirinya menempatkan agama dalam konteks kehidupan sosial masyarakat yang terus berubah. Pemikiran Durkheim tentang agama tersebut lebih dinamis untuk digunakan dalam rangka memahami hubungan antar kelompokkelompok beda etnik dan agama di Maluku pasca konflik. Potret relasi etnik dan agama di ruang publik pendidikan Maluku Lembaga pendidikan memiliki pola interaksi dan berbagai pertemuan antara berbagai kelompok, perbedaan agama beserta berbagai ketegangan dan konflik yang terjadi di dalamnya. Lingkungan pendidikan cenderung menjadi tempat yang rentan terhadap pengaruh ketegangan dan konflik yang terjadi di masyarakat luar. Misal, terjadi pemisahan instituisi di Ambon, diakibatkan oleh telah terjadi konflik keagamaan yang panjang selama lebih kurang empat tahun (1999-2003). Polarisasi model baru pasca konflik yang terjadi di kota Ambon antara pemukiman Islam dan pemukiman Kristen mengakibatkan muncul polarisasi antara institusi pendidikan Kristen dan institusi pendidikan Islam. Institusi pendidikan Kristen otomatis bertempat di wilayah mayoritas Kristen institusi pendidik-an Islam bertempat di wilayah dengan mayo-ritas 8
7
Fredrik Barth, Kelompok Etnis dan Batasannya, Jakarta: UI-Press, 1988. h.20.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Emile Durkheim dalam Harsojo, Pengantar Antropologi Bandung: Puta A. Bardin, Cetakan Kedelapan, April 1999 h. 224.
133
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 131-138
penduduknya Islam. Kategori ini untuk melihat lembaga pendidikan umum atau publik yang mayoritas peserta didiknya beragama Kristen atau Islam dan bertempat pada suatu wilayah mayoritas agama tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan, masyarakat Indonesia pasca runtuh rezim Orde Baru, menempatkan identitas agama dan kesukuan sebagai identitas utama baru yang kemudian melebihi identitas kebangsaan dan kemanusiaannya.9 Muncul rasa kebangkitan etnisitas dan agama ini juga menular hingga ke wilayah-wilayah pendidikan sebagai sebuah “komunitas” yang tidak terlepas dengan wacana yang tengah berkembang di masyarakat. Penelitian yang dilakukan penulis di lembaga pendidikan di Kota Ambon, menemukan beberapa hal. Pertama, di lembaga pendidikan di lingkungan mayoritas Kristen, terdapat relasi yang lebih intens pada etnis atau komunitas sendiri dibanding dengan etnik lain. Hubungan dengan etnis pendatang lain dan agama lain tetap dilakukan. Kecenderungan ini terjadi karena faktor lingkungan pendidikan dan wilayah domisili yang mayoritas seagama. Ikatan emosional seagama cukup mendominasi pemikiran dan sikap peserta didik dalam membangun relasi antar sesama. Kedua, di lembaga pendidikan yang mayoritas muslim, peserta didik lebih senang berinteraksi dengan sesama etnik sendiri dibanding dengan interaksi dengan sesama etnik lain. Hal ini karena para peserta didik memiliki hubungan emosional etnik atau kedaerahan yang lebih besar dibandingkan dengan hubungan seagama. Hal ini menunjukan bahwa sikap panatisme daerah atau negeri asal lebih kuat pada diri peserta didik, dan berimplikasi pada 9
Periksa pula misalnya pada laporan seperti diperlihatkan penelitian Center for Democracy and Human Rights Studies (Demos) tahun 2005 yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia semakin menempatkan identitas agama dan kesukuan sebagai identitas utama, baru kemudian identitas kebangsaan dan kemanusiaannya.
134
pergaulan mereka dengan sesama rekan yang berasal dari daerah lain. Fenomena ini dapat dihubungkan dengan kenyataan bahwa dalam beberapa tahun terakhir masih terjadi konflik antarkampung atau negeri di kalangan komunitas muslim. Konflik tersebut turut memengaruhi sikap interaksi siswa yang berasal dari negeri tertentu yang berkonflik. Ketiga, di lembaga pendidikan yang peserta didiknya berimbang antara Kristen dan muslim, peserta didik cukup toleran dalam hal membangun relasi antar etnik dan agama, sementara relasi antara sesama rekan seagama tampak biasabiasa saja, tidak ada yang istimewa. Peserta didik yang berimbang antara komunitas Kristen dan muslim menunjukkan sikap saling menghargai dan memberikan sapaan satu terhadap yang lain, tanpa membedakan etnik dan agama. Faktor-faktor yang Memengaruhi Relasi Etnik dan Agama Penelitian di Ambon menunjukkan, faktor-faktor yang memengaruhi relasi etnik dan agama di ruang publik pendidikan: (1) wilayah domisili, (2) lingkungan pendidikan, (3) kegiatan kependidikan dan proses pembelajaran (4) aktivitas sosial keagamaan. Wilayah domisili menjadi salah satu faktor yang memengaruhi relasi peserta didik karena sebelumnya telah terjadi interaksi sebelum mereka mengalami perjumpaan dengan sesama peserta didik lain di lingkungan pendidikan, sehingga terbangun sikap penerimaan satu terhadap lainnya. Lingkungan pendidikan merupakan faktor yang turut memengaruhi relasi peserta didik karena antara pihak pengelola pendidikan dan masyarakat sekitar terdapat rasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan proses pembelajaran pada lembaga pendidikan tersebut. Hal ini dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk pengawasan terhadap lingkungan pendidikan dan mendukung program lembaga pendidikan. Sementara itu, kalangan internal pengelolah pendidikan tetap menjalin relasi baik dengan masyarakat sekitar
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Lembaga Pendidikan sebagai Ruang Publik, Adam Latuconsina
dalam implemantasi program-program pendidikan. Kegiatan kependidikan dan proses pembelajaran menjadi faktor penting yang memengaruhi relasi peserta didik (1) karena dari aspek kurikulum memungkinkan peserta didik saling berinteraksi. (2) karena dari pengelolaan kelas tempat duduk peserta didik telah diatur sedemikian rupa agar mereka dapat berkomunikasi lintas agama dan etnik. Hal ini membantu mencairkan kebekuan relasi yang sebelumnya belum terbangun secara baik di kalangan peserta didik. (3) aktivitas sosial keagamaan, disadari atau tidak menjadi faktor penting dalam membangun relasi antar peserta didik yang seagama dan seetnik maupun yang beda agama dan beda etnik. Aktivitas sosial keagamaan peserta didik di sini meliputi aktivitas keagamaan di lingkungan pendidikan maupun masyarakat serta kegiatan-kegiatan monumental seperti keterlibatan dalam panitia bersama lintas agama, bakti sosial dan kegiatan kependidikan lainnya. Dampak Relasi Etnik dan Agama Dampak dari relasi etnik dan agama di ruang publik pendidikan peserta didik dengan berbagai latar belakang agama dan etnik dapat bekerja bersama membangun perdamain dan menyuarakan keadilan bagi tercipta masyarakat yang aman, damai dan harmonis, dengan tetap menghargai perbedaan. Realitas ruang publik pendidikan seperti ini yang diharapkan oleh Paolu Freire dalam rangka membangun kondisi pendidikan yang kritis dan membebaskan. Freire melihat, persoalan pendidikan merupakan persoalan krusial karena menyangkut manusia, karena pendidikan dan kemanusiaan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Freire, pendidikan mesti dikembalikan pada fungsi sebagai alat untuk membebaskan manusia dari berbagai penindasan dan tekanan, yang memarjinalkan manusia. Tugas utama lembaga pendidikan mengatur peserta didik menjadi subjek. Untuk men-
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
capai tujuan ini proses yang ditempuh harus mengandaikan dua gerakan ganda: meningkatkan kesadaran kritis peserta didik sekaligus berupaya mentransformasikan struktur sosial yang menjadi penindasan itu berlangsung. Hal penting dalam rangka mewujudkan visi dan tujuan pendidikan nasional untuk menciptakan peserta didik yang beriman, berpengetahuan, berahklak mulia, berbudi pekerti, berbudaya dan memiliki kepekaan sosial. Lembaga Pendidikan sebagai Media Pembentuk Karakter Awilson dalam Tadkiroatun Musfiroh (2008:27), mendefinisikan karakter sebagai gambaran tingkah laku yang menonjolkan nilai-nilai benar-salah, baik-buruk, baik secara eksplisit maupun implisit. Pendidikan karakter merupakan gerakan nasional untuk menyiptakan lingkungan pendidikan membina generasi muda yang beretika, bertanggung jawab dan peduli melalui pemodelan dan mengajarkan karakter baik, dengan penekanan pada nilai universal yang disepakati bersama. Pendidikan karakter bukan suatu “perbaikan cepat” atau obat kilat untuk anak-anak tumbuh dengan kapasitas dan komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar, dan cenderung memiliki tujuan hidup. Lembaga pendidikan bukanlah lembaga demi reproduksi nilai-nilai sosial, atau demi kepentingan korektif bagi masyarakt diluar dirinya, melainkan memiliki dasar internal yang menjadi ciri bagi lembaga pendidikan itu. Manusia secara natural memiliki potensi di dalam dirinya untuk bertumbuh dan berkembang mengatasi keterbatasan dirinya dan keterbatasan budayanya. Manusia juga tidak dapat lalai terhadap lingkungan sekitar dirinya. Tujuan pendidikan karakter mestinya diletakkan dalam kerangka gerak dinamis dialektis, berupa tanggapan individu atas implus natural (fisik dan psikis), sosial, kultural yang melingkupinya, untuk dapat menempa diri
135
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 131-138
menjadi sempurna sehingga potensi-potensi yang ada dalam dirinya berkembang secara penuh yang membuatnya semakin menjadi manusiawi. Menempatkan pendidikan karakter dalam kerangka dinamika dan dialektika proses pembentukan individu, para pendidik diharapkan dapat menyadari arti penting pendidikan karakter sebagai sarana pembentuk pedoman perilaku, pengayaan nilai individu dengan cara menyediakan ruang bagi figur keteladanan bagi anak didik dan menyiptakan sebuah lingkungan yang kondusif bagi proses pertumbuhan berupa, kenyamanan, keamanan yang membantu suasana pengembangan diri satu sama lain dalam keseluruhan dimensinya (teknis, intelektual, psikologis, moral, sosial, estetis, dan religius).
tinggi yang bermutu. (2) mengelolah sumbersumber yang ada di dalam suatu lembaga perguruan tinggi. Sumber-sumber tersebut mahasiswa, dana, dan fasilitas, (3) administrasi. Unsur administrasi menentukan keberhasilan perguruan tinggi. Tenaga administrasi harus dilaksanakan oleh tenaga-tenaga professional yang menguasai ilmu dan keterampilan di dalam bidang administrasi dan manajemen pendidikan tinggi, dan (4) kelembagaan. Pendidikan tinggi merupakan lembaga umumnya tetapi juga lembaga keilmiahan yang mengawinkan antara kemampuan manajerial dan kemampuan akademik. Simpulan 1.
Peran Perguruan Tinggi Lembaga pendidikan dalam perspektif pendidikan kritis memiliki andil signifikan dalam membentuk kehidupan politik dan kultural. Prinsif-prinsif pendidikan kritis antara lain: (1) pendidik bukan satu-satunya pusat, sehingga ia bukan satu-satunya pemilik otoritas kebenaran dan pengetahuan. (2) peserta didik subjek yang merdeka, (3) isi materi pembelajaran perlu dibuat dengan melibatkan peserta didik, dan (4) kurikulum memerhatikan konteks peserta didik.10 Memerhatikan konteks Maluku pascakonflik, diperlukan peran aktif lembaga-lembaga pendidikan yang mendidik masyarakat agar terbebaskan dari keterpurukan akibat konflik maupun kebijakankebijakan yang memarjinalkan. Beberapa hal yang patut di perhatikan oleh perguruan tinggi: (1) aderisasi tenaga dan pimpinan perguruan tinggi. Di dalam mewujudkan misi ini diperlukan rencana kerja yang baik bagaimana tenaga-tenaga dan pimpinan perguruan tinggi direkrut dan dipersiapkan untuk melanjutkan kelangsungan perguruan 10
M. Agus, Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis:Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, Yogyakarta: Resist Book, 2011.h. 6-8.
136
2.
Lembaga pendidikan merupakan ruang publik yang efektif bagi tercipta relasi etnik dan agama. Ada tiga unsur utama yang selalu terlibat dalam interaksi di ruang publik pendidikan, yakni pendidik, peserta didik dan orang tua yang masingmasing memiliki latar belakang sosial berbeda-beda dan berkontribusi bagi relasi tersebut. Melalui interaksi dan pembauran berbagai unsur di ruang publik pendidikan, setiap orang saling mengenal dan belajar dari keragaman yang dimiliki. Lembaga pendidikan strategis dijadikan media pembentuk karakter masyarakat (peserta didik) karena hakekat pendidikan itu memanusiakan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Amal,M. Adnan.Maluku Utara; Perjalanan Sejarah 1250-1800, Jilid I, Cet. I., Ternate, Universitas Khairun, 2002. Barth, Fredrik. Kelompok Etnis dan Batasannya, Jakarta: UI-Press, 1988.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Lembaga Pendidikan sebagai Ruang Publik, Adam Latuconsina
Coolye, F.L.dalam Bunga Rampai Sejarah Maluku, 1973. Durkheim, E. The Elementary Form of The Religion Life, New York: The Free Press 1965. Harsojo. Pengantar Antropologi Bandung: Puta A. Bardin, Cetakan Kedelapan, April 1999. Indrajit, Richardus Eko. Manajemen Perguruan Tinggi Modern, Yogyakarta: Andi OFFSET, 2006. Kana,Niko L. (editor), Konflik dan Kekerasan pada Aras Lokal, Salatiga: Pustaka Percik, 2004. Koentjaraninggrat, dkk. Kamus Istilah Antropologi, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1984. Leirisa, R.Z.Bungan Rampai Sejarah Maluku (1) (Jakarta; Pusat Dokumentasi Ilmiah Nasional-LIPI, 1973. Liliweri, Alo. Prasangka dan Konflik: Komu-
Musriroh, Tadkiroatun. Pembangunan Karak-
ter Anak melelui Pendidikan Karakterdalam Tinjauan Berbagai Aspek, Character Building: Yogyakarta: Lembaga Penelitian UNY, 2008. Zuchdi, Darmiyati. Pendidikan Karakter
dalam Prespektif Teori dan Praktik, Yogyakarta: Cet. 1, UNY Press, 2011.
nikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur, Yogyakarta: LkiS, 2005. --------------, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, cet. II, (Yogyakarta: LKiS, 2007. Lickona, Thomas. Educating for Character:
How Our school can Teach Respect and Responsibility, New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam Books, 1991. Marasabessy, Suaidi (ed). Maluku Baru; Satu
Wujud Ideal Masyarakat Maluku Pasca Konflik, Jakarta, PT Abadi, 2002. Nuryatno, M.Agus. Mazhab Pendidikan Kritis: Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, Yogyakarta: Resist Book, 2011. O’Donnel. Sociology in Focus Race and Eth-
nicity, New York Longman, Inc, 1991 Rijoly, Frans. Sejarah Ambon dan Maluku Selatan, (Groningan, tp. 1977). Ryan, Stephen. Ethnic Conflic and International Relations. USA: Darmouth Publishing Company Limited, 1990.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
137
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 131-138
138
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Studi Efektivitas Program Pembelajaran, Subhan
STUDI EFEKTIVITAS PROGRAM PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERBIMBING PADA TOPIK LAJU REAKSI Subhan Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon Email : email :
[email protected]
Abstrak: The study aimed on improving students, critrcal thinking skills and investigating excellences and problems faced in implementing guided problem-based learning program.Preliminary field testing in the study used one group pretets-posttest design Samples of the study were 11th grade students at one of senior high school in Seram bagian barat residence_consisting of 36 students. The findings of the study were as follows. Firstty, the program could improve critical thinking skills and conceptual understanding of students. Secondly, the excellences of the program were it could help teacher to explore students' ideas and develop students critical thinking skills. Thirdly, problems encountered in implementing it were (a) there was lack of qualitative problems practiced, (b) some students with low academic achievement were difficult to follow the program, (c) some conceptual questions were difficult to be answered by them, (d) they forgot some chemical concepts learnt in previous grade, and (e) implementation of the program was time consuming. Next, teacher and students were enthusiast to participate in the teaching and learning Finally, students responded it positively and they hope it could be further implemented to teach other chemistry topics and even to teach other subject matters. Keywords: Guided problem-based learning, critical thinking skills, and conceptual understanding. Pendahuluan Barak, M. et al, melaporkan, kebanyakan sekolah cenderung menekankan keterampilan berpikir tingkat rendah dalam pemberajarannya.1 Siswa diharapkan menyerap informasi secara pasif dan kemudian mengulanginya atau mengingatnya di saat mengikuti tes. Temuan tersebut sejalan dengan temuan dari beberapa peneriti Redhana, misalnya, melaporkan kebanyakan guru masih mendominasi 1 Barak, M, Ben-Chaim, D., & Zoller, U. (2007).Purposely Teaching for the Promotion of HigherOrder Thinking Skills. A Case of Critical Thinking. [Online]. Tersedia: http.l4ruwrff.sprinqerlink. com/content. (1 4 Januari 2008)
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
pembelajaran.2 Umumnya, guru mengajarkan materi kimia dengan metode informasi dan tanya jawab dalam menjeraskan materi kimia guru-guru biasanya mengacu pada satu buku kimia tertentu, di mana urutan materi yang disajikan oleh guru sekuar dengan urutan materi yang terdapat dalam buku yang menjadi pegangan guru dan siswa, guru, memberikan latihan soal-soal hitungan. Pemecahan soal-soal hitungan ini memerlukan tahapan 2 Redhana, I W. (2007). "Chemistry Teachers' Views towards Teaching and Learning and Assessment of Critical Thinking Skitls." Proceeding of The First International on Science Education. October 27 st, 2007. ISBN: 979-25-0599-7. 498-504.
139
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 139-144
yang bersifat algoritmik Menurut Tsapartis & Zoller, pemecahan masalah yang bersifat algoritmik memerlukan penerapan keterampilan berpikir tingkat rendah.3 Kondisi pembelajaran tersebut menyebabkan rendahnya prestasi belajar siswa dan tingginya miskonsepsi. Redhana & Kirna melaporkan rerata miskonsepsi siswa SMA di Seram Bagian Barat dalam topik struktur atom dan ikatan kimia sangat tinggi, masingmasing sebesar 57,0% dan 63,4%.4 Beberapa dari miskonsepsi siswa tersebut (1) atom dipandang sebagai bola padat yang jika dipanaskan akan mengembang; (2) dalam senyawa NaCl terdapat ikatan antara satu ion Na+ dan satu ion Cl-, (3) ikatan dalam molekul HCl ikatan ion; dan (4) pada orbital p, elektron bergerak seperti angka delapan dalam permukaan orbital.5 Untuk memerbaiki kondisi tersebut, reformasi pendidikan perlu dilakukan. Reformasi yang dimaksud perubahan pedagogi, yaitu pergeseran dari pengajaran tradisional (keterampilan berpikir tingkat rendah) ke pembelajaran yang menekankan pada keterampilan berpikir tingkat tinggi (keterampilan berpikir kritis).6 Ini merupakan esensi dari reformasr pendidikan saat ini. Salah satu pembelajaran yang memberikan siswa kesempatan berlatih menggunakan keterampilan berpiktr kritis pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning). Pembelajaran berbasis masalah yang murni merupakan pembelalaran inkuiri terbuka (open 3
Tsapartis, G. & Zoller, U. (2003). "Evaluation of Higher vs. Lower-order Cognitive Skills-Type Examination in Chemistry: Implications for University in-class Assessment and Examination " U.Chem.Ed. 7, 50-57 4 Redhana, I W. & Kirna, I M. (2004). Identifikasi Miskonsepsi Siswa SMA Negeri di Kota Singaraja terhadap Konsep-konsep Kimia. Laporan Penelitian DIKTI. Tidak Diterbitkan. h. 58-60 5 Redhana, I W., Suardana, I N. & Maryam, S. (2008). Model Perubahan Konseptual pada Pembelajaran Kimia di SMA Negeri 4 Singaraja (Studi Kasus pada Pembelajaran Kimia di SMA Negeri 4 Singaraja). Laporan Penelitian DIKTI. Tidak Diterbitkan. h. 80-87 6 Tsapartis, G. & Zoller, U. (2003). Ibit. h. 61-63
140
inquiry), yang kepada siswa hanya disajikan konteks dan siswa sendiri harus merumuskan proses pemecahan masalah dan menemukan solusinya.7Dengan aktivitas ini, siswa SMA mengalami kesulitan karena kebiasaan siswa belajarselama ini berbeda. Siswa hadir di kelas dengan mendengarkan dan mencatat penjelasan guru serta melakukan kegiatan sesuai dengan perintah guru. Kebanyakan guru beranggapan mereka merasa belum mengajar jika mereka belum menjelaskan materi. Guru-guru cenderung menyelesaikan target kurikulum daripada memberikan cara-cara berpikir kepada siswa. Modifikasi perlu dilakukan terhadap pembelajaran berbasis masalah, yaitu dengan memasukkan unsur-unsur bimbingan. Unsur bimbingan yang dapat digunakan pertanyaan konseptual dan pertanyaan Socratik. Penggunaan open-ended yang merupakan ciri dari pembelajaran berbasis masalah tetap dipertahankan sebagai stimulus pembelajaran. Metode Penelitian Rancangan pra-eksperimen menggunakan one group pretest-posttest design yang digunakan dalam uji coba terbatas penelitian ini. Lokasi penelitian SMA di Kabupaten Seram Bagian Barat dengan jumlah siswa 36 orang. Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui observasi, wawancara, tes, dan angket. Tes keterampilan berpikir kritis berbasis konten kimia berupa tes obyektif, terdiri dari 32 butir soal. Tes ini dibuat berdasarkan indikator keterampilan berpikir kritis terpilih yang dikembangkan oleh Ennis tahun 1985. Tes ini diberikan kepada siswa sebelum dan sesudah implementasi P2BMT pada topik laju reaksi. Peneliti mengobservasi proses pembelajaran yang berlangsung dengan mengidentifikasi kendala-kendala dan keunggulan-keunggulan dalam mengimplementasi7
National Science Teachers Association (1998). Standard for Science Teacher Preparation. Association for the Education of Teachers in Science. h. 27
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Studi Efektivitas Program Pembelajaran, Subhan
kan P2BMT. Semua hasil-hasil observasi yang diperoleh dicatat dalam buku catatan lapangan (anecdotal record). Pelaksanaan pemberajaran direkam dengan audiotape dan didokumentasikan dengan kamera digital. Pendapat guru dan siswa dikumpulkan di akhir pembelajaran, masing-masing melalui wawancara dan angket. Data penelitian ini terdiri dari data kuantitatif berupa skor tes keterampilan berpikir kritis sebelum dan setelah pembelajaran, serta data kualitatif berupa kendala-kendala dan keunggulan-keunggulan yang dihadapi dalam mengimplementasikan P2BMT serta pendapat guru dan siswa terhadap P2BMT. Data kuantitatif, dianalisis dengan uji t(paired-sample t test) (jika data berdistribusi normal) atau uji wilcoxonsigned-rank (jika data tidak berdistribusi normal) menggunakan programSPSS 16.0 pada taraf signifikansi 5%.
an yang ekuivalen. Dari tabel tampak P2BMT dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa untuk semua indikator keterampilan berpikir kritis (p < 0,005). Hasil tersebut digambarkan dalam grafik yang dapat dilihat dalam Gambar 1. Tabel 1. Rekapitulasi hasil uji normalitas dan uji beda antara skor pretes dan postes pada masing-masing indikator keterampiian berpikir kritis (skor maksimum 1,00) No
1
2
Hasil dan Pembahasan 1.
Peningkatan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Pada Topik Laju Reaksi
Hasil-hasiluji yang diperoleh selengkapnya disajikan sebagai berikut. Rerata skor pretes dan postes masing-masing 7,47 (tidak normal) dan 15,94 (normal). Hasil uji wilcoxon menghasilkan nilai p kurang dari 0,005. inimenunjukkan terjadi peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa yang disebabkan oleh P2BMT. 2.
3
4
5
Indikator Menerapkan prinsip utama Mengidentifikasi kriteria untuk memertimbangkan jawaban yang mungkin Mengide ntifikasi alasan yang tidak dinyatakan Menarik kesimpul an atau hipotesis Menentu kan ungkapan yang ekuivalen
Rerata Pretes Distribusi
Skor
Rerata Postes Distrib usi
Skor
P
0,25
Normal
0,47
Normal
0,000 (Sig)
0,18
Tidak Normal
0,36
Tidak Normal
0,000 (Sig)
0,22
Tidak Normal
0,72
Tidak Normal
0,000 (Sig)
0,17
Tidak Normal
0,41
Tidak Normal
0,000 (Sig)
0,26
Tidak Normal
0,54
Tidak Normal
0,000 (Sig)
Peningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Setiap Indikator dalam Topik Laju Reaksi
Hasil pengujian terhadap peningkatan keterampilan berpikir kritissiswa pada masingmasing indikator ditampilkan pada Tabel 1. Indikator 1sampai dengan 5 berturut-turut: (1) menerapkan prinsip utama, (2) mengidentifikasi kriteria untuk memertimbangkan jawaban yang mungkin, (3) mengidentifikasi alasan yang tidak dinyatakan, (4) menarik kesimpulan atau hipotesis, dan (5) menentukan ungkap-
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Gambar 1. Perbandingan rerata skor pretes dan postes untuk masing-masing indikator pada topik laju reaksi.
141
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 139-144 Keterangan: 1) menerapkan prinsip utama, 2) mengidentifikasi kriteria untuk mempertimbangkan jawaban yang mungkin, 3) mengidentifikasi alasan yang tidak dinyatakan, 4) menarik kesimpulan atau hipotesis,dan 5) menentukan ungkapan yang ekuivalen.
Pemingkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Per Konsep Pada Topik Laju Reaksi Hasil pengujian peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa untuk masing-masing konsep dalam topik laju reaksi ditunjukkan dalam Tabel 2. Konsep 1-9 berturutturut: (1) laju reaksi, (2) konsentrasi, (3) luas permukaan, (4) suhu, (5) katalis, (6) persamaan laju reaksi (7) orde reaksi, (B) mekanisme reaksi, (9) tumbukan, dan (10) tumbukan efektif. Dari tabel di bawah dapat diketahui P2BMT dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa untuk semua konsep dalam topik laju reaksi (p < 0,005). Hasil tersebut digambarkan dalam grafik yang dapat dilihat pada Gambar 2. Tabel 2. Rekapitulasi hasil uji normalitas dan uji beda antara skor pretes dan postes pada masing-masing konsep Rerata Pretes DistriSkor busi
N o
Indikator
1
Laju reaksi
0,36
Tidak Normal
2
Konse n-trasi
0,14
Tidak Normal
3
Luas permu -kaan
0,18
Tidak Normal
4
Suhu
0,33
Tidak Normal
5
Katalis
0,14
Tidak Normal
6
7 8
142
Persamaan laju reaksi Orde reaksi (B) Meka-
0,10
Tidak Normal
Rerata Postes DistriSkor busi Tidak 0,47 Norm al Tidak 0,52 Normal Tidak 0,79 Normal Tidak 0,54 Norm al Tidak 0,51 Normal Tidak Nor0,31 mal
0,30
Tidak Normal
0,48
0,11
Tidak
0,22
Tidak Normal Tidak
P 0,000 (Sig) 0,000 (Sig)
nisme reaksi
Normal
9
Tumbukan
0,17
Tidak Normal
0,39
10
Tumbukan efektif
0,19
Tidak Normal
0,67
Normal Tidak Normal Tidak Normal
(Sig) 0,000 (Sig) 0,000 (Sig)
Kendala-kendala yang dihadapi dalam mengimplementasikan P2BMT: 1) Kendala-kendala yang berkaitan dengan perangkat pembelajaran: (a) pada LKS masih dijumpai sedikit kesalahan ketik berkaitan dengan konsentrasi larutan dalam latihan soalsoal, seperti konsentrasi larutan HCl 0,2 M dan 0,3 M. Konsentrasi semestinya masingmasing 0,02 M dan 0,03 M dan (b) katihan soal-soal yang bersifat kualitatif dalam LKS masih sangat sedikit. 2) Masalah yang berkaiian dengan proses pembelajaran: (a) beberapa siswa yang memiliki kemampuan akademik kurang mengalami kesulitan mengikuti P2BMT ini, (b) beberapa pertanyaan konseptual yang terdapat dalam LKS sulit dijawab oleh siswa, seperti: "Bagaimana merancang percobaan untuk menentukan kalor reaksi pada pembakaran gas elpiji?, (c) siswa lupa beberapa konsep yang telah dipelajari sebelumnya di kelas X, seperti reaksi substitusi dan reaksi eliminasi, dan (d) implementasi program pembelajaran ini memerlukan cukup banyak waktu.
0,000 (Sig) 0,000 (Sig) 0,000 (Sig) 0,000 (Sig) 0,000 (Sig) 0,000
Gambar 2. Perbandingan rerata skor pretes dan postes untuk masing-masing konsep pada topik laju reaksi Keterangan: 1) laju reaksi, 2) konsentrasi, 3) luas permukaan, 4) suhu, 5) katalis, 6) persamaan laju reaksi 7) orde reaksi, (B) mekanisme reaksi, 9) tumbukan, dan 10) tumbukan efektif.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Studi Efektivitas Program Pembelajaran, Subhan
Keunggulan dari P2BMT 1) Keunggulan secara teoretik Keunggulan dari P2BMT: (1) masalah open-ended dalam P2BMT dapat memotivasi siswa untuk mempelajari materi kimia, (2) untuk memulai proses pemecahan masalah siswa dibimbing dengan sejumlah pertanyaan konseptual. pertanyaan konseptual ini dapat membantu guru menggali ide-ide siswa dan juga untuk mengarahkan siswa mempelajari konsep-konsep ensensial yang berhubungan dengan masalah yang dipecahkan, dan (3) pertanyaan socratik akan membantu guru mengembangkan ide-ide, pemahaman konsep, dan keterampilan berpikir kritis siswa. 2) Keunggulan secara praktis Keunggulan praktis dari P2BMT dapat dilihat pada proses pelaksanaan pembelajaran di kelas. Pembelajaran yang dilakukan oleh guru menjadi lebih terstruktur dan terarah pada tujuan. Masalah open-ended dalam LKS dapat membantu guru memulai pembelajaran. Sementara itu, pertanyaan konseptual dan pertanyaan socratik juga dapat membantu guru membimbing siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa. Guru antusias dan termotivasi menerapkan P2BMT. Siswa termotivasi berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Pendapat Guru dan Siswa Terhadap P2BMT Menurut guru, P2BMT efektif untuk mengajarkan topik-topikkimia, khususnya laju reaksi. Program pembelajaran ini dirasakan membantu guru dalam melaksanakan pembelajaran. Program pembetajaran ini sejalan dengan hasil bimbingan teknis yang dilaksanakan di sekolah tempat guru-guru menerapkan pembelajaran berbasis masalah. Namun, guru-guru tidak memahami hakekat dari pembelajaran berbasis masalah, apalagi membuat perangkatpembeiajarannya, walaupun mereka telah mendapatkan pembekalan.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Menurut siswa, mereka senang dengan pembelajaran yang diikuti. Mereka merasa pembelajaran, antara lain, dapat: a) menantang mereka memecahkan masalah; b) memotivasi mereka membaca sumber-sumber belajar yang berkaitan dengan masalah; c) membimbing mereka menghasilkan ide-ide; d) mendorong mereka bekerja sama; e) meningkatkan keterampilan berkomunikasi; dan f) meningkatkan partisipasi mereka dalam pembelajaran. Pembahasan P2BMT cukup efektif meningkatkan keterampilan beprikir kritis dan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep kimia. P2BMT memulai pembelajaran dengan masalah openended. Masalah ini dapat membangkitkan rasa ingin tahu siswa dan mendorongnya untuk mengumpulkan informasi agar dapat memecahkan masalah yang dihadapi. Pertanyaan konseptual, di lain pihak, menyediakan siswa dengan isu-isu belajar yang pertanyaan ini memandu siswa untuk memelajari konsepkonsep esensial yang berkaitan dengan masalah yang dipecahkan. Pertanyaan ini juga berfungsi untuk menggali ide-ide siswa terkait dengan materi yang telah dipelajari. lde-ide siswa yang muncul dari pertanyaan konseptual, dikembangkan dengan pertanyaan Socratik, pertanyaan-pertanyaan kritis yang menyelidiki pemahaman siswa terhadap konsep-konsep yang telahdipelajari dan kemudian mengembangkannya sehingga pemahaman siswa dapat ditingkatkan. Pertanyaan ini dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa. Siswa diminta memberikan klarifikasi, asumsi, alasan, bukti, dan implikasi terhadap pendapat yang disampaikan.8
8
Paul, R. (1990). Critical Thinking: What Every Person Needs to Suruive in a Rapidly Changing World. Rohnert Park, CA. Center for Critical Thinking and Moral Critique. h. 189-203
143
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 139-144
Simpulan P2BMT cukup efektif untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. Keunggulan dari P2BMT, antara lain, program pembelajaran ini dapat membantu guru menggali ide-ide dan dan mengembangkan keterampilan berpkritis siswa. Masalah-masalah yang dihadapi dalam implementasi P2BMT, antara lain: (1) pada LKS masih perlu ditambahkan latihan soal-soalkualitatif; (2) beberapa siswa yang kemampuan akademiknya rendah agak sulit mengikuti P2BMT, dan (c) waktu yang diperlukan untuk implementasi P2BMT cukup banyak, (d) guru antusias menerapkan P2BMT, dan (e) siswa menyambut pembelajaran yang diikuti dengan baik.
Akinoglu, O. & Tandogan, R. O. (2007). “The
Effects of Problem-Based Active Learning in Science Education on Students’Academic Achievement, Attitude and Concept Learning” Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education. 3(1), 71-81 . Barak, M, Ben-Chaim, D., & Zoller, U. (2007). Purposely Teaching for the
Promotion of Higher-Order Thinking Skills. A Case of Critical Thinking. [Online]. Tersedia: http.l4ruwrff.sprinqerlink. com/content. (1 4 Januari 2008) Ennis, R., (1985). Curriculum for Critical
Thinking. ln A. L. Costa (Eds). Developing Minds. A Resource Book for Teaching Thinking. Alexandria:
144
Every Person Needs to Suruive in a Rapidly Changing World. Rohnert Park, CA. Center for Critical Thinking and Moral Critique. Redhana, I W. & Kirna, I M. (2004).
Identifikasi Miskonsepsi Siswa SMA Negeri di Kota Singaraja terhadap Konsep-konsep Kimia. Laporan Penelitian DIKTI. Tidak Diterbitkan. Redhana, I W. (2007). "Chemistry Teachers'
Views towards Teaching and Learning and Assessment of Critical Thinking Skitls." Proceeding of The First International on Science Education. October 27st, 2007. ISBN: 979-25-05997. 498-504. Redhana, I W., Suardana, I N. & Maryam, S. (2008). Model Perubahan Konseptual
DAFTAR PUSTAKA
Association for Supervision Curriculum Development.
National Science Teachers Association (1998). Standard for Science Teacher Preparation. Association for the Education of Teachers in Science. Paul, R. (1990). Critical Thinking: What
and
pada Pembelajaran Kimia di SMA Negeri 4 Singaraja (Studi Kasus pada Pembelajaran Kimia di SMA Negeri 4 Singaraja). Laporan Penelitian DIKTI. Tidak Diterbitkan. Simamora, S. & Redhana, I W. (2006).
Identifikasi Miskonsepsi Guru Kimia pada Pembelajaran Konsep Struktur Atom. Laporan Penelitian Undiksha. Tidak Diterbitkan. Tsapartis, G. & Zoller, U. (2003). "Evaluation
of Higher vs. Lower-order Cognitive Skills-Type Examination in Chemistry:
Implications for University in-class Assessment and Examination " U.Chem.Ed. 7, 50-57 Yalcin, B. M., Karahan, T. F., Karadenisil, D., & Sahin, E. M. (2006) "Short- Term
Effects of Problem-Based Learning Curriculum on Students' SeitDirected Skills Development." Croatia Medical Journal. 47,491-498.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI, Nur Alim Natsir
PENERAPAN MODEL KOOPERATIF LEARNING TIPE TEAM ACCLARATED INTRUCTION (TAI) DALAM PENINGKATAN HASIL BELAJAR BIOLOGI PADA KONSEP SISTEM PERNAPASAN MANUSIA DI KELAS VIII10 SMP NEGERI 14 AMBON Nur Alim Natsir Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon Email :
[email protected]
Abstrak: Penelitian tindakan kelas ini bertujuan meningkatkan hasil belajar siswa dengan penerapan model cooperatif learning tipe Team Acclarated Intruction (TAI). Subjek penelitian ini siswa kelas VIII10 SMP Negeri 14 Ambon tahun ajaran 2013-2014 berjumlah 34 siswa. Masalah yang dialami oleh siswa pada materi sistem pernapasan manusia disebabkan siswa keliru dalam menyebutkan dan menjelaskan alatalat pernapasan pada manusia karena sebagian siswa tidak memerhatikan materi yang disampaikan oleh peneliti. Usaha yang dilakukan peneliti untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh siswa kelas VIII10 SMP Negeri 14 Ambon dalam menyelesaikan konsep sistem pernapasan manusia itu memberikan penguatan dan memerbanyak contoh saat memberikan materi agar siswa tidak keliru dalam menyelesaikan soal. Penelitian terdiri dari dua siklus. Siklus I nilai rata-rata pada tes awal mencapai 61,17% Hasil tes akhir siklus I mengalami peningkatan menjadi 75,58 %. Di siklus II mengalami peningkatan yang sangat besar berdasarkan nilai rata-rata mencapai 90,88 %. Keywords: Penerapan model kooperatif learning tipe Team Acclarated Intruction (TAI) sistem pernapasan manusia. Pendahuluan Pendidikan merupakan upaya yang dapat mempercepat pengembangan potensi manusia untuk mampu mengembangkan tugas yang dibebankan padanya, karena hanya manusia yang dapat di didik dan mendidik. Pendidikan dapat memengaruhi perkembangan fisik, mental, emosional, moral, serta keimanan dan ketakwaan manusia.1 Pendidikan dalam Dictionary of Education, merupakan (a) proses yang seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya dalam 1
Udin Syaifudin Said dan Abin Syamsudin Nagkmum, Perencanaan Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 63. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
masyarakat di mana ia hidup, (b) proses sosial, orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari seolah) sehingga mereka dapat memeroleh dan mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individual yang optimum. Dari ketiga pokok pikiran itu, pendidikan menyangkut: (1) proses aktivitas atau kegiatan yang dalam pokok pikiran no satu ditentukan adanya kekuatan pertama dari pihak individu yang memiliki potensi untuk berkembang sebagai reaksi adanya rangsangan intervensi dari dunia di luar individu yang disebut dengan pendidikan, (2) proses tersebut datang dari dua belah pihak yaitu individu yang memiliki potensi untuk berkembang dan 145
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 145-156
dari pihak luar individu yang memiliki potensi untuk memengaruhi perkembangan individu secara interaktif, sebab setiap individu tidak akan berkembang lebih jauh dari lingkungan atau luar individu tempat individu tersebut hidup, dan (3) proses tersebut memiliki intensitas yang sama kuatnya, baik yang datang dari individu (potensi) maupun yang datang dari luar individu lingkungan (environment). Pendidikan yang diwakili oleh proses belajar meningkatkan dari kedua belah pihak dengan harapan tujuan pendidikan dapat dicapai secara wajar, intensif dan memuaskan. Pendidikan merupakan interaksi antara pendidik dan peserta didik. Tujuan pendidikan menyangkut kepentingan peserta didik yang terarah pada peningkatan penguasaan, kemampuan keterampilan, pengembangan sikap dan nilai-nilai dalam pembentukan dan pengembangan diri peserta didik.2 Kata “mendidik” kata kunci dari pendidikan penting untuk dipahami yang bermakna luhur dalam proses pendidikan. Mendidik menurut tokoh Ki Hajar Dewantara menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka, sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat, dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Mendidik memerlukan tanggung jawab lebih besar daripada mengajar. Mendidik ialah membimbing pertumbuhan anak, jasmani dan rohani.3 Menurut Thordinke, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus apa saja yang dapat merangsang terjadi kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar yang juga dapat berupa pikiran perasaan, atau gerakan/tindakan.4 2
Sukarjo dan Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan (Jakarta: Remaja Grafindo Persada, 2009). h. 5. 3 Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta : PT Rineka Cipta, 2004), h. 10. 4 Tantan Suhartono, Proses Pendidikan, Tulisan diakses Tanggal 2 Januari 2010 dari http//www.doctoc.com/Proses Pendidikan 2008.
146
Proses belajar mengajar suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan timbal balik antara guru dan siswa itu merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar mengajar, interaksi dalam peristiwa belajar mengajar mempunyai arti yang sangat luas, tetapi berupa interaksi edukatif, dalam hal ini bukan hanya penyampaian pesan berupa materi pelajaran, melainkan penanaman sikap dan nilai pada diri siswa yang sedang belajar. Hal ini menuntut perubahan-perubahan dalam pengorganisasian kelas, penggunaan metode mengajar, strategi belajar mengajar, maupun sikap dan karakteristik guru dalam mengelola proses belajar mengajar, proses belajar mengajar dianggap berhasil jika siswa telah memahami lingkungan dan dirinya.5 Strategi pembelajaran merupakan hal penting dalam proses pembelajaran. Ada tiga jenis strategi yang berkaitan dengan pembelajaran, yaitu (1) strategi pengorganisasian pembelajaran, (2) strategi penyampaian pembelajaran, (3) strategi pengelolaan pengajaran. Uraian mengenai strategi penyampaian pengajaran menekankan pada media yang dipakai untuk menyampaikan pengajaran.6 Pengorganisasian pengajaran secara khusus, merupakan fase yang amat penting dalam rancangan pengajaran, yang mengacu pada pembuatan urutan penyajian isi bidang studi, proses pembelajaran akan efektif jika diketahui inti kegiatan belajar yang sesungguhnya, kegiatan pembelajaran yang selama ini berlangsung, yang berpijak pada teori behavioristik, banyak didominasi oleh guru. Guru menyampaikan materi melalui ceramah, dengan harapan siswa dapat memahaminya dan memberikan respon sesuai dengan materi yang di-
5
Moh. Uzer Usmani, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995), hal. 4 6 Hamzah B. Uno, “Perencanaan pembelajara”n, (Gorontalo: PT. Bumi Aksara, 2006). Hal 45. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI, Nur Alim Natsir
ajarkan dalam pembelajaran, guru banyak menggantungkan pada buku teks. Berbeda dengan bentuk pembelajaran di atas, pembelajaran kontruktivisme membantu siswa menginternalisasi dan menstransformasi info baru, transformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan baru yang akan membentuk struktur kognitif baru.7 Salah satu model pembelajaran yang efektif digunakan model pembelajaran kooperatif (learning), suatu model pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok, siswa dalam kelas dijadikan kelompok-kelompok kecil terdiri dari 4 sampai 5 orang untuk memahami konsep yang difasilitasi oleh guru. Model pembelajaran kooperatif berbeda dengan model pengajaran langsung. Di samping model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai hasil belajar akademik, tetapi model pembelajaran kooperatif juga efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa. Pembelajaran kooperatif (learning) tidak hanya memelajari materi saja tetapi siswa harus memelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut keterampilan kooperatif. Keterampilan kooperatif (learning) berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas yang diberikan dalam proses pembelajaran. Di tahap ini diikuti bimbingan guru saat siswa bekerja ber-samasama untuk menyelesaikan tugas. Fase terakhir pembelajaran kooperatif meliputi pre-sentase hasil akhir kerja kelompok. Evaluasi tentang apa yang telah mereka pelajari dan memberi penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu. Tujuan penting lain dari pembelajaran kooperatif adalah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerja sama dan kolaborasi.8 Menjadi manusia pembelajar senantiasa punya kesadaran bahwa dirinya “tidak tahu apa-apa” sehingga seorang mendeklarasikan 7
Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta : PT. Rineka Cipta, 2004). Hal. 62. 8 Muhammad Faiq Dzaki, Pembelajaran Kooperatif, Tulisan di akses tanggal 09 Januari 2010 dari http/hipotesis.com. 2009/108/10 Model Pembelajaran Kooperatif. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
dirinya bahwa “ia seorang manusia pembelajar” harus sudah memersiapkan segenap jiwa raganya untuk mencari, mencari dan mencari ilmu serta harus siap pula untuk menerima ilmu itu dari siapapun, tanpa kecuali.9 Hasil belajar yang dicapai oleh siswa erat kaitannya dengan rumusan tujuan intruk-sional yang direncanakan guru sebelumnya. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan guru sebagai perancang (designer) belajar mengajar. Hanya saja, masalahnya bagaimana implikasi-nya dalam perencanaan belajar mengajar yang harus dibuat oleh guru sebelum mengajar dalam bentuk satuan pelajaran.10 Pelajaran Biologi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan alam (sains) yang khusus memelajari makhluk hidup sebagai obyeknya. Setiap makhluk hidup menunjukkan gejala kehidupan baik gejala obyek (gejala struktural), gejala yang terdapat atau melekat dengan makhluk hidup maupun gejala fungsional yaitu kejadian yang terjadi pada obyek atau akibat adanya kehidupan itu. Untuk menemukan dan mengkaji biologi, dan ilmu-ilmu lain yang termasuk sains, dikenal dengan suatu cara yang disebut metode ilmiah. Metode ilmiah mulai dikenal sejak para ahli ilmu pengetahuan melakukan atau menemukan suatu cara yang disebut eksperimen. Metode ilmiah sering disamakan pula metode eksperimen, suatu cara atau tata kerja yang bertujuan untuk memeroleh kebenaran ilmiah yang merupakan kebenaran yang bersifat obyektif.11 Sesuai kedudukan biologi sebagai ilmu pengetahuan adalah sangat luas karena biologi mempelajari semua gejala atau pemahaman 9
Thursam Hakim, Menjadi Manusia Pembelajaran, Tulisan ini diakses tanggal 6 januari 2010 dari http:/www.blogspot.com/Menjadi Manusia Pembelajar. 2008. 10 Moh. Uzer Usman, menjadi guru professional, (Bandung, ed, 2 Cet. 19 PT. Remaja Rosdakarya, 1995). Hal. 29 11 Sudjoko dan Yoyok Mardoyo, Pembelajaran Biologi, (Yogyakarta, Yayasan Anak Bangsa Mandiri, 2004). Hal. 1-3.
147
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 145-156
yang terjadi pada semua makhluk hidup dari organisasi molekul sampai aras bioma. Dari hal yang amat luas itu, biologi sebagai bahan agar di sebuah lembaga pendidikan harus diseleksi untuk memperoleh suatu program yang sesuai dengan tujuan lembaga pendidikan. Pengajaran materi biologi dengan menggunakan prinsip seleksi bahan agar yang mendekati operasional. Bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran siswa berupa topik-topik esensial biologi. Topik esensial adalah seperangkat pengetahuan yang minimal harus dipahami oleh siswa, karena pengetahuan ini akan mendasari pengetahuan yang lain maupun terapanterapannya yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Materi biologi pada topik esensial haus dipahami siswa. Penyampaiannya harus mampu menghasilkan pemahaman tersebut. SMP Negeri 14 Ambon merupakan salah satu lembaga pendidikan formal yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional yang berstatus Negeri yang sudah diakui di Kota Ambon bertempat di BTN Kebun Cengkeh Kecamatan Sirimau, terdiri dari beberapa kelas unggulan RSBI (Ruang Sekolah bertaraf internasional), kelas bilingual dan kelas reguler. Pelaksanaan proses pembelajaran di sekolah ini selain menggunakan metode ceramah dan mencatat juga menggunakan metode lain, problem solving, siswa menemukan dan memecahkan masalah itu dan siswa dapat berperan aktif dalam proses pembelajaran. Namun, masih kurang metode yang belum diterapkan di sekolah ini, terutama kelas reguler, sehingga siswa lebih banyak mengalihkan pusat perhatian dalam setiap permasalahan yang dihadapi selalu melibatkan peran guru di sekolah tersebut. Seorang guru harus mampu menerapkan metode pembelajaran lain dalam proses belajar mengajar sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa, karena metode mengajar guru yang kurang baik akan memengaruhi belajar siswa yang tidak baik pula. Metode mengajar yang kurang baik terjadi misalnya karena guru kurang persiapan dan kurang menguasai bahan pelajaran. Guru tersebut melaksanakan kegiatan tidak jelas atau 148
sikap guru trehdap siswa itu tidak baik sehingga siswa kurang senang terhadap pelajaran/gurunya akibatnya siswa malas sehingga siswa kurang berperan aktif dalam proses pembelajaran, padahal di lihat dari materi sistem pernapasan manusia sangat mudah untuk di pahami siswa. Berdasarkan observasi yang dilakukan di SMP Negeri 14 Ambon khususnya di kelas VIII12, terdapat beberapa permasalahan yang terdapat di kelas tersebut, antara lain: (1) perhatian siswa terhadap materi yang diajarkan oleh guru kurang sehingga pengetahuan siswa berkurang, (2) kondisi kelas yang kurang mendukung diakibatkan siswa terlalu banyak, (3) kurangnya keberanian siswa untuk bertanya kepada guru apabila ada materi kurang dimengerti, (4) minat siswa terhadap materi kurang karena metode yang digunakan oleh guru cenderung membosankan. Konsep sistem pernapasan manusia memiliki karakteristik yang berbeda dengan materi pembelajaran biologi lain. Kegiatan pembelajaran siswa diharapkan dapat menjelaskan alat-alat pernapasan pada manusia, selain itu siswa juga dituntut untuk tahu dan mengerti serta mampu menjelaskan proses sistem pernapasan manusia. Berdasarkan karakteristik tersebut, pokok pembahasan sistem pernapasan manusia dirasa sesuai apabila diterapkan model pembelajaran TAI (Team Accelerated Instruction) sehimgga proses pembelajaran di kelas dapat berjalan dengan baik. Siswa dituntut bekerjasama dalam suatu kelompok belajar kecil yang dalam setiap kelompok dipimpin oleh seorang siswa yang berperan sebagai asisten atau ketua kelompok. Atas dasar permasalahan tersebut, penulis tertarik mengangkat judul “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Learning Tipe Team Accelerated Instruction (TAI) dalam peningkatan hasil belajar biologi pada konsep sistem pernapasan pada manusia siswa kelas VIII SMP Negeri 14 Ambon. Metodoe Penelitian
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI, Nur Alim Natsir
Tipe penelitian ini penelitian tindakan kelas (PTK), penelitian tindakan kelas (PTK) merupakan penelitian yang digunakan untuk untuk menguji cobakan suatu ide ke dalam praktik atau situasi nyata dalam skala mikro, yang diharapkan kagiatan tersebut mampu memerbaiki dan meingkatkan hasil belajar mengajar dalam bidang pendidikan. Lokasi penelitian ini SMP Negeri 14 Ambon dan waktu penelitian dilakukan bulan September 2014. Subjek penelitian ini peserta didik kelas VIII10 SMP Negeri 14 Ambon yang berjumlah 34. Bersumber pada hasil yang diperoleh dari pre test dan post test yang mencerminkan pemahaman siswa pada konsep yang dibelajarkan, diharapkan ada peningkatan pemahaman sesuai nilai yang diperoleh masing-masing siswa. Minimal 75% dari jumlah siswa mencapai hasil belajar tuntas (KKM)=67. Minimal 75% dari jumlah siswa yang mencapai hasil belajar dengan menggunakan model kooperatif learning tipe Team Acclarated Intruction (TAI). Instrument penelitian terdiri dari: (1) test, berupa soal-soal secara tertulis yang di-buat oleh guru sesuai dengan materi yang diberikan, dan (2) observasi, mengumpulkan data kemudian dapat diambil sebagai data yang akurat. Sumber data terdiri dari data primer, yang diperoleh secara langsung dari hasil penelitan dan data sekunder, yang diper-oleh dari berbagai literatur, dan hasil pene-litian dan instansi yang terkait sesuai dengan peneliti yang diteliti. Prosedur yang digunakan dalam penelitian tindakan kelas (PTK) ter-dapat dua siklus yang digunakan secara ber-ulang-ulang. Tahap yang digunakan dalam setiap siklus meliputi: a. Siklus I 1) Tahap Perencanaan Di tahap ini mencakup semua langkah tindakan secara rinci, segala keperluan pelaksanaan PTK, mulai dari materi/bahan ajar berupa RPP dan Silabus dan merencanakan pembelajaran dengan metode Acclarated InFakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
truction (TAI). Di tahap ini perlu juga diperhitungkan segala kendala yang mungkin timbul pada saat tahap implementasi berlangsung. 2) Tahap Pelaksanaan Tahap ini merupakan implementasi (pelaksanaan) dari semua rencana yang telah dibuat. Tahap ini, berlangsung didalam kelas adalah menjelaskan materi sistem peredaran darah dengan menggunakan metode TAI yang disiapkan sebelumnya dan mengakhiri dengan memberikan evaluasi (Tes). 3) Tahap Observasi (Pengamatan) Di tahap ini, kegiatan observasi dilakukan bersamaan pelaksanaan tindakan kelas, terhadap kemampuan siswa dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh guru dalam bentuk soal essay dan pilihan ganda, kemudian data dari siswa diambil peneliti sebagai data yang akurat untuk diolah. 4) Tahap Refleksi Tahap ini merupakan proses refleksi berperan penting untuk menentukan hasil belajar siswa dan mengkaji kembali terhadap hasil dan proses pembelajaran dan menganalisis hasil yang didapatkan pada tahap siklus, untuk memudahkan dalam refleksi bisa dimunculkan kelebihan dan kekurangan setiap tahapan (tindakan) untuk dijadikan dasar perencanaan siklus selanjutnya. b.
Siklus II
Di siklus II dirancang sama dengan siklus I, dengan perubahan materi pada konsep sistem peredaran darah, dengan langkah-langkah yang digunakan sesuai dengan siklus pertama yang dilihat dari kekurangan siklus. Data yang diperoleh dianalisis dengan menghitung persentase skor maksimum ideal yang harus dicapai, rumus yang digunakan:
Dimana:
149
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 145-156
NP
= nilai persen yang dicari atau diharapkan R = skor mentah yang diperoleh siswa SM = skor maksimum ideal dari tes yang bersangkutan 100 = bilangan tetap12 Untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai oleh siswa dengan menggunakan metode pembelajaran Acclarated Intruction (TAI) digunakan Penilaian Acuan Patokan pada tabel berikut. Tabel 3.1. Pedoman Acuan Patokan (PAP)13 Interval Nilai Angka 100 huruf 80-100 A 66-79 B 56-65 C 40-55 D 30-39 E
Keterangan Baik Sekali Baik Cukup Kurang Gagal
Hasil Penelitian Berdasarkan dua siklus yang telah dilaksanakan dalam penelitian tindakan kelas ini, satu siklus terdiri dari dua kali pertemuan dan satu kali tes. Awal dan akhir tes, konsep sistem pernapasan pada manusia dengan menggunakan model Cooperatif learning Type TAI (Team Acclaraten Intuctian) telah berhasil pada akhir tes siklus II pertemuan kedua. Hasil penelitian tindakan kelas dalam konsep sistem pernapasan manusia dapat dilihat pada hasil Perolehan skor yang diperoleh siswa kelas VIII10 SMP Negeri 14 Ambon berjumlah 34 siswa. Nilai X rata-rata pada test awal mencapai 61,17 % nilai X rata-rata hasil siswa dalam siklus I mencapai 75,58%, nilai X rata-rata hasil siswa pada siklus II mencapai 90,88 %.
12 Ngalim Purwanto, “prinsip-prinsip dan tekhnik evaluasi pengajaran” (Bandung: Cet. 13. PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 102. 13 Suharsimi, Dasar-dasar Evaluasi pendidikan (Jakarta: Cet. III; PT Bumi Aksara, 2002) h. 245.
150
Pembahasan Berdasarkan perolehan skor terhadap pelaksanaan hasil belajar siswa melalui penelitian tindakan kelas dengan upaya yang dilakukan guru untuk mengatasi permasalahan siswa dengan menerapkan model kooperatif Lerning Tipe Team Acclarated Intruction (TAI) di kelas VIII10 SMP Negeri 14 Ambon telah berjalan dengan baik. Langkah-langkah dalam menerapkan metode ini pada siklus I yaitu peneliti memberikan tugas kepada siswa untuk mempelajari materi sistem pernapasan manusia secara individual yang sudah diberi-kan oleh peneliti, kemudian peneliti memberi-kan evaluasi berupa soal untuk mendapatkan skor awal, selanjutnya peneliti membentuk kelompok yang terdiri dari 4-5 siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda, setelah itu hasil siswa di diskusikan dalam kelompok. Dalam setiap kelompok salah satu siswa yang dipercayakan sebagai ketua kelompok untuk mempersentasikan tugas yang telah diberikan oleh peneliti dan peneliti melibatkan temanteman kelompok untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran. Setelah itu diberikan penghargaan berupa pujian atau aplos kepada kelompok yang berhasil presentasi baik. 1.
Tes Awal
Berdasarkan data yang dikumpulkan melalui tes awal dengan menggunakan materi sistem pernapasan manusia, hasil tes awal menunjukkan angka yang tidak sesuai dengan harapan peneliti. Nilai X rata-rata dalam test awal mencapai 61,76%. Berdasarkan hasil perolehan skor, dapat diperoleh nilai skor rata-rata pada tes awal dengan menerapkan model kooperatif learning tipe Team Acclarated Intuction (TAI) adalah 60,58% dapat diketahui bahwa tingkat penguasaan siswa dalam menyelesaikan soalsoal tes pada materi pernapasan, alat-alat pernapasan serta proses pernapasan manusia dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.3. Persentase kategori tingkat penguasaan siswa pada tes awal Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI, Nur Alim Natsir
Interval 80-100 66-79 56-65 40-55 0-39 Jumlah
Jumlah siswa
Persentase (%)
9 8 5 7 5 34
26,47 % 23,52 % 14,70 % 20,58 % 14,76 % 100 %
Kategori tingkat penguasaan siswa Baik sekali Baik Cukup Kurang Gagal
Sumber Data: Hasil tes awal kelasVIII10 SMP Negeri 14 Ambon tahun ajaran 2010-2011 (diolah).
Peneliti menganalisis hasil tes siswa dan terdapat kesalahan terletak pada kekeliruan dalam menyebutkan urutan alat-alat pernapasan manusia. Siswa juga keliru dalam menjelaskan proses pernapasan manusia sehingga peneliti melakukan refleksi dengan memunculkan kesalahan-kesalahan dalam proses pembelajaran dan memantapkan materi serta menerapkan langkah-langkah metode Team Acclarated Intruction (TAI) yang diajarkan oleh peneliti terhadap siswa. Berdasarkan hasil refleksi itu, peneliti merancang perbaikan untuk siklus I pertemuan I di kelas VIII10 SMP Negeri 14 Ambon melalui langkah-langkah metode Team Acclarated Intruction (TAI). 2. Siklus I
BY MZ ST DAK SY ON SN YM AGS JHN MSY RR IST LAD AJ ML TDG AR MM NR MB MF DN AF DS AS JUMLAH
90 70 90 70 50 70 80 80 80 80 70 80 60 70 70 80 50 90 80 90 80 80 60 70 60 90 2570
Baik sekali Baik Baik sekali Baik Kurang Baik Baik sekali Baik sekali Baik sekali Baik sekali Baik Baik sekali Cukup Baik Baik Baik sekali Kurang Baik sekali Baik sekali Baik sekali Baik sekali Baik sekali Cukup Baik Cukup Baik sekali
a. Siklus I pertemuan II
Sumber Data: Hasil tes awal kelasVIII10 SMP Negeri 14 Ambon tahun ajaran 2010-2011 (diolah).
Tabel 4.4. Hasil skor siswa pada siklus I pertemuan ke-II
Nilai X rata-rata hasil siswa dalam siklus I mencapai 75,58%. Berdasarkan hasil perolehan skor dapat diperoleh nilai rata-rata dalam siklus I pertemuan II 75,58%. Dapat diketahui bahwa tingkat penguasaan siswa dalam menyelesaikan soal tes pada materi alatalat pernapasan dan proses pernapasan manusia dapat dilihat pada tabel berikut.
No 1 2 3 4 5 6 7 8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Nama siswa AL MAR PKR SS WR YR DS AU
Skor tes 90 80 80 60 90 80 70 80
Kategori tingkat penguasaan Baik sekali Baik sekali Baik sekali Cukup Baik sekali Baik sekali Baik Baik sekali
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Tabel 4.5. Persentase kategori tingkat penguasaan siswa pada siklus I Interval
Jumlah siswa
Persentase (%)
Kategori tingkat penguasaan
151
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 145-156
80-100 66-79 56-65 40-55 0-39 Jumlah
20 8 4 2 0 34
58,82 % 23,52 % 11,76 % 5,8 % 0 % 100 %
siswa Baik sekali Baik Cukup Kurang Gagal
Sumber Data: Hasil tes awal kelasVIII10 SMP Negeri 14 Ambon tahun ajaran 2010-2011 (diolah).
Berdasarkan data tersebut, perubahan jumlah siswa yang termasuk kategori gagal di tes akhir siklus I tidak ada (0%) dan di tes akhir siklus I kategori kurang menurun 2 siswa (5,8% ), kategori cukup sebanyak 4 siswa (11,76%), kategori baik bertambah 8 siswa (23,52%) dan kategori baik sekali bertambah 20 siswa (58,82%). Kemudian peneliti menganalisis hasil tes siswa dan terdapat kesalahan siswa terletak pada kekeliruan dalam menentukan kelainan dan penyakit dalam sistem pernapasan, siswa juga melakukan kesalahan dalam menjelaskan alat-alat pernapasan pada manusia, kemudian peneliti melakukan refleksi dengan cara merenungkan kembali apa yang dilakukan peneliti pada saat mengajar. Berdasarkan hasil refleksi, peneliti menemukan bahwa sumber kekeliruan dalam menentukan kelainan dan penyakit pada sistem pernapasan serta alat-alat pernapasan manusia. Pada kekeliruan ini peneliti (guru) bersama siswa akan mendiskusikan masalah siswa untuk keliru dalam menentukan kelainan dan penyakit pada system pernapasan mengingat karena sebagian siswa tidak memperhatikan materi yang diberikan oleh peneliti dengan menggunakan model kooperatif learning tipe Team Acclarated Intruction (TAI) dalam kelompok. Peneliti juga melibatkan siswa secara individu untuk membahas soal-soal yang berhubungan dengan alat-alat pernapasan disampaikan kepada teman-teman kelompok lain, sehingga siswa tidak hanya duduk dan mendengarkan materi yang disampaikan, tetapi mereka juga turut untuk memberikan perta-
152
nyaan dan pendapat dalam proses pembelajaran. 3. Siklus II a. Tes akhir siklus II Dari hasil skor dalam siklus I, peneliti merencanakan untuk memberikan penguatan pada siswa agar siswa tidak lagi melakukan kesalahan dalam menentukan alat-alat pernapasan pada manusia serta kelainan dan penyakit dalam sistem pernapasan selama proses belajar mengajar peneliti berusaha untuk memberikan penguatan berupa contoh kepada siswa. Dari skor yang diperoleh siswa setelah mengevaluasikan, menunjukkan peningkatan siswa sudah tidak lagi melakukan kesalahan dalam menjawab sistem pernapasan.
Tabel 4.6. Hasil skor siswa pada siklus II No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama siswa /Inisial AL MAR PKR SS WR YR DS AU BY MZ
Skor tes 90 100 100 80 100 90 100 90 100 100
Kategori tingkat penguasaan Baik sekali Baik sekali Baik sekali Baik sekali Baik sekali Baik sekali Baik sekali Baik sekali Baik sekali Baik sekali
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI, Nur Alim Natsir
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
100 100 70 90 100 90 100 90 80 80 70 90 100 90 70 100 100 100 100 80 80 80 80 100 3090
ST DAK SY ON SN YM AGS JHN MSY RR IST LAD AJ ML TDG AR MM NR MB MF DN AF DS AS JUMLAH
Baik sekali Baik sekali Baik Baik sekali Baik sekali Baik sekali Baik sekali Baik sekali Baik sekali Baik sekali Baik Baik sekali Baik sekali Baik sekali Baik Baik sekali Baik sekali Baik sekali Baik sekali Baik sekali Baik sekali Baik sekali Baik sekali Baik sekali
Sumber Data: Hasil tes awal kelasVIII10 SMP Negeri 14 Ambon tahun ajaran 20102011 (diolah).
Nilai X rata-rata hasil siswa pada siklus II 90,88%. Berdasarkan hasil skor perolehan nilai pada tes siklus II, dapat diperoleh nilai ratarata 90,88 %. Dapat diketahui bahwa tingkat penguasaan dalam penyelesaian soal-soal tes pada materi alat-alat pernapasan dan proses pernapasan pada manusia. Tabel 4.7. Persentase kategori tingkat penguasaan siswa pada siklus II Interval
Jumlah siswa
Persentase (%)
80-100 66-79
31 3
91,17 % 8,82 %
Kategori tingkat penguasaan siswa Baik sekali Baik
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
56-65 40-55 0-39 Jumlah
0 0 0 34
0% 0 % 0% 100 %
Cukup Kurang Gagal
Sumber Data: Hasil tes awal kelasVIII10 SMP Negeri 14 Ambon TA 2010-2011 (diolah).
Dari data tersebut, perubahan jumlah siswa yang termasuk kategori gagal dalam siklus II tidak ada (0%). Dari data tersebut dan berdasarkan hasil observasi dalam dua siklus kegiatan pelaksanaan tindakan kelas diperoleh data bahwa hasil belajar siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran mengalami kenaikan. Pada siklus I hasil perolehan nilai X ratarata mencapai 75,58% sesuai dengan harapan peneliti yang terdapat pada indikator keberhasilan siswa (KKM) telah berhasil, tetapi peneliti memilih untuk melanjutkan ke siklus II agar memeroleh data yang akurat dan mengetahui peningkatan hasil belajar siswa pada siklus II dengan cara menganalisis hasil tes siswa dalam siklus I dan masih terdapat kesalahan dalam menentukan kelainan dan penyakit yang terjadi dalam sistem pernapasan. Peneliti memberikan penguatan kepada siswa agar dalam siklus II tidak lagi melakukan kesalahan dalam menentukan kelainan dan penyakit dalam sistem pernapasan. Setelah dilanjutkan pada siklus II terjadi peningkatan nilai rata-rata menjadi 90,58%. Hal ini disebabkan antara lain dalam siklus I siswa masih keliru dalam menjelaskan alat-alat pernapasan pada manusia. Di siklus II dengan memberikan contoh-contoh alat-alat pernapasan dan memberikan penguatan, sehingga pusat perhatian siswa lebih terarah dan berkondisikan dengan perhatian yang cukup penuh dari peneliti. Ketuntasan hasil belajar siswa yang ditunjukkan oleh nilai yang diperoleh mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Jika dalam siklus I ketuntasan siswa sudah mencapai angka 75,58 % menjadi 91,17 % dalam siklus II. Ketuntasan belajar siswa dalam siklus I dan II telah berhasil. Hal ini karena dilihat dari nilai rata-rata yang diperoleh siswa 153
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 145-156
sebelum pembelajaran dilaksanakan yaitu hasil tes awal sebesar 61,17% mengalami kenaikan menjadi 75,58% (siklus I), sedangkan pada siklus II juga mengalami kenaikan yang sangat besar menjadi 90,17%. Kegiatan penelitian tindakan kelas yang dilakukan dengan menggunakan Model Cooperative Learning Type Team Acclarated Intruction (TAI) dalam konsep sistem pernapasan manusia telah berhasil dalam siklus II. Dari hasil dan pembahasan siklus dapat dibuat grafik untuk nilai rata-rata siklus dengan grafik tingkat penguasaan siswa terlihat dalam gambar berikut ini. Grafik nilai rata-rata dalam setiap siklus di kelas VIII10 SMP Negeri 14 Ambon dalam materi sistem pernapasan. Jumlah nilai rata-rata berdasarkan skor siklus I dan II
Gambar 3. Grafik peningkatan hasil belajar siswa Grafik tingkat penguasaan siswa kelas VIII10 SMP Negeri 14 Ambon pada materi sistem pernapasan.
Jumlah nilai rata-rata berdasarkan kategori tingkat penguasaan siswa
Simpulan Model cooperative learning type Team Acclarated Intruction (TAI) dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII10 SMP Negeri 14 Ambon dalam materi sistem pernapasan. Hal ini dibuktikan dengan perolehan hasil belajar siswa dalam siklus I jumlah siswa yang termasuk kategori gagal (0 %). Nilai ratarata pada tes awal mencapai 61,1 %, yang termasuk kategori gagal 5 siswa (14,76%), kurang 7 siswa (20,58%), cukup 5 siswa (14,70%), baik 8 siswa (23,52%), baik sekali 9 siswa (26,47%) menjadi 75,58% (siklus I). Berdasarkan siklus II terjadi peningkatan hasil belajar. Hal ini disebabkan karena siswa telah memahami materi dengan baik dan dibuktikan dengan perolehan hasil belajar. Di siklus ini jumlah siswa kategori gagal tidak ada (0%) kategori kurang tidak ada (0%), kategori cukup tidak ada (0%), kategori baik berkurang menjadi 3 siswa (8,82 %) dan kate-gori baik sekali bertambah menjadi 31 siswa (91,17%). Penerapan model kooperatif learn-ing tipe Team Acclarated Intruction (TAI) dalam konsep sistem pernapasan manusia di kelas VIII10 SMP Negeri 14 Ambon dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Beberapa hal yang disarankan: (1) guru harus mengajarkan materi alat-alat pernapasan dan proses pernapasan serta kelainan dan penyakit pada sistem pernapasan dengan baik, (2) guru hendaknya memberikan berbagai contoh di saat menjelaskan materi sistem pernapasan manusia agar dapat meningkatkan pengetahuan siswa, (3) guru hendaknya memberikan apresiasi kepada siswa untuk memancing daya ingat siswa, sehingga siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA 23,52%
Siklus II
26,47penguasaan % Gambar 4. Grafik tingkat siswa
154
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI, Nur Alim Natsir
Asri Budiningsih. C., 2004, Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta: PT. Rineka Cipta. Authorized, 2005, “Hakekat belajar biologi”, Tulisan ini diakses tanggal 3 januari 2010 dari http://www.forumpenelitian.blogspot.co m/hakekat belajar biologi. Abidin Syamsudin Nagkmum dan Udin Syaifudin Sa'id., 2005. Perencanaan Pen-didikan, Bandung: PT. Remaja Rosda-karya. Boom. B.S , 2005, “Hasil Belajar Biologi”. Tulisan ini diakses tanggal 13 Januari dari http://www.blospot.com/rancang hasil belajar biologi Faiq Dzaki Muhammad, Pembelajaran Kooperatif, Tulisan di akses tanggal 09 Januari 2010 dari http/hipotesis.com. 2009/108/10 Model Pembelajaran Kooperatif. Hakim Thursam, Menjadi Manusia Pembelajaran, Tulisan ini diakses tanggal 6 Januari 2010 dari http:/www.blogspot.com/Menjadi Manusia Pembelajar. 2008. http://hipotesis.com 2008/08/10 Model Pembelaaran Kooperatif Komarudin Ukim, Sukoarjo., 2009. Landasan Pendidikan, Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. Lie Anita, 2005. Cooperative Learning, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Mulyasa H.E. 2009. Praktek Penelitian Tindakan Kelas, Bandung: Remaja Rosdakarya. Pidarta Made, 2007. Landasan Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta. Sukamadinata Syaodin Nana., 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sardiman. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Sudjana Nana, 1987, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru Algesindo. Sudjana Nana, 1989. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sugono Dendy, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama . Suhartono Tantan, Proses Pendidikan, Tulisan diakses Tanggal 2 Januari 2010 dari http//www.doctoc.com/Proses Pendidikan 2008 Setiawan, “Model Pembelajaran Kooperati”f, Tulisan ini di akses dari tanggal 5 Januari 2010 dari http:/www.doctoc.com/docs/Model Pembelajaran Kooperatif Salvin, 2005. “Metode TAI, Tulisan di akses tanggal 4 Januari 2010 dari http:/www.doctoc.com/docs/Metode Pembelajaran TAI Saktiyono, 2007. IPA Biologi untuk SMP dan MTs Kelas VIII, Jakarta: Jilid 2, PT. Gelora Aksara. Sulipan, 2009. “Penelitian Tindakan Kelas” Tulisan ini diakses tanggal 16 Januari 2010 dari http://www.clasroom.com/penelitian tindakan kelas, Uno B. Hamzah., 2006. Perencanaan Pembelajaran, Gorontalo: PT. Bumi Aksara. Ukim Komarudin Sukarjo, Landasan Pendidikan, Jakarta: Remaja Grafindo Persada. Uzer Usman, Moh., 1995. Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Yoyok Mardoyo dan Sudjoko, 2004. Pembelajaran Biologi, Yogyakarta, Yayasan Anak Bangsa Mandiri.
155
Implementasi Hasil Penelitian Biologi, Nirmala F. Al-Firdausi
HASIL PENELITIAN BIOLOGI (STUDI KEANEKARAGAMAN JAMUR BASIDIOMYCOTA) SEBAGAI SUMBER BELAJAR MATERI FUNGI SMA KELAS X SMA MUHAMADDIYAH AMBON Nirmala F. Al-Firdausi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon Email:
[email protected]
Abstrak: Jamur dari divisio Basidiomycota merupakan jamur yang tumbuh secara alami di lingkungan sekitar kita, baik itu di tanah lembab, batang-batang kayu lapuk/mati, maupun pada tumpukan sampah. Kebanyakan orang melihat jamur Basidiomycota dalam bentuk cendawan yang muncul di jalan setapak dan di kebun. Keragaman jenis jamur Basidiomycota yang ditemukan di lingkungan sekitar akan mudah dikenali dan dipelajari melalui sistem klasifikasi (taksonomi). Dalam sistem klasifikasi jenis jamur yang beragam akan dikelompokkan dalam takson-takson tertentu. Penempatan jamur ke dalam takson tertentu tersebut dengan melihat dan mengidentifikasi ciri-ciri dari masing-masing jenis jamur. Permasalahan tersebut di atas berkaitan erat dengan konsep biologi yang diajarkan pada siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) khususnya materi jamur/fungi dengan kompetensi dasar yang telah ditetapkan yaitu ”mendeskripsikan ciri-ciri dan jenis-jenis jamur berdasarkan hasil pengamatan, percobaan dan kajian literatur serta peranannya bagi kehidupan”. Berdasarkan hasil penelitian Terdapat 3 jenis jamur dari kelompok basidiomycotina yang tumbuh disekitar lingkungan sekolah SMA Muhamaddiyah. Jenis jamur tersebut diantaranya adalah Volvariella volvaceae, Auricularia auricular (jamur kuping), dan Ganoderma lucidum (jamur kayu). Dan terdapat peningkatan hasil belajar dan ketuntasan belajar siswa kelas X SMA Muhamaddiyah Ambon Kata Kunci: Jamur, implementasi hasil penelitian, basidiomycetes. Pendahuluan Fungi atau jamur didefinisikan sebagai kelompok organisme eukariotik, tidak berpindah tempat (nonmotile), bersifat uniselular atau multiselular, memiliki dinding sel dari glukan, mannan, dan kitin, tidak berklorofil, memperoleh nutrien dengan menyerap senyawa organik, serta berkembang biak secara seksual dan aseksual. Jamur atau fungi memiliki beberapa sifat umum, yaitu hidup di tempattempat yang lembab, sedikit asam, dan tidak begitu memerlukan cahaya matahari. Jamur tidak berfotosintesis sehingga hidupnya bersifat heterotrof.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pada jamur bersel banyak (multiseluler) banyak terdapat deretan sel yang membentuk benang, disebut hifa. Beberapa jaringan hifa akan membentuk miselium. Miselium merupakan tempat pembentukan spora dan sebagai alat reproduksi serta alat untuk mendapatkan makanan. Hifa juga bisa membentuk struktur yang disebut badan buah. Badan buah merupakan kumpulan hifa yang muncul dari dalam tanah atau kayu yang lapuk. Badan buah dijumpai pada kelompok jamur tertentu, yaitu misalnya kelompok Basidiomycotina. Divisi Basidiomycotina sering disebut juga sebagai the club fungi atau yang sering disebut jamur pada umumnya (cendawan atau
157
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-/desember 2015: 157-162
mushrooms). Jamur bereproduksi secara seksual dengan membentuk basidia yang kemudian menghasilkan basidiospora di dalam tubuh buah yang disebut basidioma atau basidiokarp. Jamur dari divisio Basidiomycota merupakan jamur yang tumbuh secara alami di lingkungan sekitar kita, baik itu di tanah lembab, batangbatang kayu lapuk/mati, maupun pada tumpukan sampah. Kebanyakan orang melihat jamur Basidiomycota dalam bentuk cendawan yang muncul di jalan setapak dan di kebun. Dari aneka jamur Basidiomycota yang dapat ditemukan ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan bagi manusia. Beberapa contoh jamur yang menguntungkan volvariella volvaceae, auricularia auricula, dan Schleroderma citrinum. Jamur tersebut bermanfaat sebagai bahan makanan. Jamur yang merugikan manusia salah satunya Amanita sp, karena menghasilkan racun sehingga dapat menyebabkan keracunan bagi yang memakannya. Keragaman jenis jamur Basidiomycota yang ditemukan di lingkungan sekitar akan mudah dikenali dan dipelajari melalui sistem klasifikasi (taksonomi). Jenis jamur yang beragam dalam sistem klasifikasi akan dikelompokkan dalam takson-takson tertentu. Penempatan jamur ke dalam takson tertentu tersebut dengan melihat dan mengidentifikasi ciri-ciri dari masing-masing jenis jamur. Ciri-ciri Basidiomycota yang perlu diperhatikan dalam identifikasi adalah ciri morfologi, ukuran basidiokarp, warna basidiokarp, bentuk basidiokarp yang meliputi tudung, volva, tangkai, annulus (cincin), himenium, lamella (insang), basidia, basidiospora, cetakan spora dan tipe hifa. Selain itu juga perlu diperhatikan tentang pola koloni (zonate, radiate, flowery, dan lainlain), tekstur permukaan koloni, dan pola hidup (berkelompok atau soliter), serta faktor lingkungan seperti tempetatur, kelembaban, dan lokasi tempat hidup. Memerhatikan berbagai ciri-ciri tersebut diharapkan manusia mampu mengidentifikasi berbagai jenis jamur Basidiomycota dengan mudah.
158
Permasalahan tersebut berkaitan erat dengan konsep biologi yang diajarkan pada siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) khususnya materi jamur/fungi dengan kompetensi dasar yang telah ditetapkan, ”mendeskripsikan ciri-ciri dan jenis-jenis jamur berdasarkan hasil pengamatan, percobaan dan kajian literatur serta peranannya bagi kehidupan”. Kompetensi dasar ini menuntut pengalaman belajar yang diperoleh siswa berupa kemampuan dalam melakukan pengamatan morfologi mikroskopis, kemampuan melakukan pengamatan morfologi tubuh buah jamur makroskopis, kemampuan melakukan kajian literatur tentang reproduksi jamur, kemampuan menggali informasi tentang peranan jamur bagi kehidupan, dan kemampuan dalam melakukan percobaan fermentasi makanan menggunakan jamur. Indikator keberhasilan berupa kemampuan siswa dalam menjelaskan ciri-ciri umum divisio dalam kingdom fungi, kemampuan siswa dalam menggolongkan jamur berdasarkan ciri-ciri morfologinya, kemampuan siswa dalam membandingkan reproduksi pada jamur, kemampuan siswa dalam membuat laporan tertulis hasil pengamatan jenis-jenis jamur di lingkungan sekitar, kemampuan siswa dalam menyajikan data contoh peran jamur dalam kehidupan, dan kemampuan siswa dalam membandingkan jamur dengan tumbuhan tinggi. Metode Penelitian Subjek penelitian ini siswa kelas X semester I SMA Muhamaddiyah yang menempuh mata pelajaran biologi pada Kompetensi Dasar,”Mendeskripsikan ciri-ciri dan jenisjenis jamur berdasarkan hasil pengamatan, percobaan, dan kajian literatur serta peranannya bagi kehidupan” dengan indikator sesuai dalam silabus. Sumber belajar dikemas dalam bentuk soft ware (slide presentasi melalui program microsoft powerpoint) dan LKS. Siswa diperintahkan untuk berkeliling disekitar lingkungan sekolah untuk mencari jenis-jenis jamur yang tumbuh di lingkungan
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Implementasi Hasil Penelitian Biologi, Nirmala F. Al-Firdausi
sekolah. Jamur dari kelompok Basidiomycotina yang ditemukan dikumpulkan dan bersama-sama dengan guru mengidentifikasi dan mendeskripsikan jenis jamur tersebut. Hasil yang telah didapat dibuat slide presentasi dan LKS.
2.
Auricular ia auricular
Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian siswa hanya ditemukan 3 jenis jamur dari kelompok basidiomycotina yang tumbuh di sekitar lingkungan sekolah SMA Muhamaddiyah. Jenis jamur tersebut diantaranya volvariella volvaceae, Auricularia auricular (jamur kuping), dan Ganoderma lucidum (jamur kayu). Jamurjamur tersebut banyak ditemukan pada daerahdaerah lembab di antara batang-batang pohonpohon yang lapuk, dan rerumputan. Hasil diskripsi oleh siswa dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Hasil deskripsi jamur yang ditemukan oleh siswa di lingkungan sekolah No
Spesies Jamur
1.
Volvariela volvaceae
Taksonomi Kerajaan: Fungi Divisi: Basidiomycota Kelas :Homobasidiom ycetes Ordo: Agaricales Famili: Pluteaceae Genus: Volvariella Spesies:V.
volvacea
Diskripsi Tubuh buah yang masih muda berbentuk bulat telur, berwarna cokelat gelap hingga abu-abu dan dilindungi selubung. Pada tubuh buah jamur merang dewasa, tudung berkembang seperti cawan ber-warna coklat tua keabu-abuan dengan bagian batang berwarna coklat muda. Jamur ini ditemukan di daerah rerumputan yang lembab
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Kerajaan: Fungi Divisi: Basidiomycota Kelas: Agaricomycetes Ordo: Auriculariales Fami: Auriculariaceae Genus: Auricu-
laria Spesies:
A.
Auri-cula
3.
Genoder ma sp
Kerajaan: Fungi Filum: Basidiomycota Kela: Agaricomycetes Ordo: Polyporales Famili: Ganodermataceae Genus:
Ganoderma Spesies:
lucidum
G.
Bagian tubuh buah dari jamur kuping berbentuk seperti mangkuk atau kadang dengan cuping seperti kuping, memiliki diameter 2-15 cm, tipis berdaging, dan kenyal. Warna tubuh buah jamur ini pada umumnya hitam atau coklat kehitaman Tumbuh saprofif pada batang kayu yang lapuk. Badan buah bertangkai panjang yang tumbuh lurus ke atas, topi dari badan buahnya menempel pada tangkai tersebut, bangun setengah lingkaran dan tumbuh mendatar. Badan buah menunjukkan lingkaranlingkaran, tepi berombak atau berlekuk, sisi atas dengan lipatan-lipatan radier, warnanya coklat merah keunguan
Proses belajar mengajar pada kelas X sebagai kelas eksperimen menunjukkan bahwa
159
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-/desember 2015: 157-162
siswa cukup antusias selama kegiatan penelitian pembelajaran berlangsung. Hal ini terlihat saat guru melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan slide power point mendorong siswa untuk menemukan konsep-konsep yang diberikan guru dengan memerhatikan dan bertanya kepada guru pada mata pelajaran taksonomi jamur. Selama kegiatan penelitian lapangan siswa terlihat semangat untuk mencari jamur dari kelompok basidiomycetes. Siswa melaksanakan penelitian sesuai dengan langkahlangkah yang dijelaskan oleh guru. Terlihat kekompakan dan kerja sama di dalam kelompok berupa pembagian kerja yang membuat semua siswa aktif. Selain itu siswa terlihat teliti saat menganalisis dan mendiskripsikan hasil penelitian dan siswa berani mengomunikasikan hasil penelitian di depan kelas.
Tabel 1 dapat dijelaskan bahwa ada peningkatan hasil belajar antara sebelum dan sesudah perlakuan pembelajaran dengan pendekatan implementasi hasil penelitian biologi. Dapat dilihat hasil belajar ulangan harian I kurang baik yang mencapai nilai tinggi sekali hanya 4 orang sama dengan sebelum dilakukan pembelajaran dengan pendekatan implementasi hasil penelitian biologi. Berdasarkan tabel 1 dapat dijelaskan ada peningkatan hasil belajar antara sebelum dan sesudah perlakuan pembelajaran dengan pendekatan implementasi hasil penelitian biologi. Dapat dilihat hasil belajar ulangan harian I kurang baik yang mencapai nilai tinggi sekali hanya 4 orang sama dengan sebelum dilakukan dengan pendekatan implementasi hasil penelitian biologi, untuk nilai tinggidan sedang peningkatannya kecil sekali. Untuk ulangan harian II terjadi peningkatan hasil belajar yang mendapat nilai tinggi sekali 15 orang, nilai tinggi 10 orang dan sedang sebanyak 7 orang. Tabel 2. Hasil Belajar Siswa Sebelum dan Sesudah Pembelajaran pendekatan implementasi hasil penelitian biologi.
(a)
(b)
(c) Gambar 1. Jenis-jenis jamur yang ditemukan di lingkungan sekolah Muhamaddiyah Ambon (Volvariela volvaceae, Auricularia auricular,
Genoderma sp)
Hasil Belajar Siswa Pada bagian ini akan disajikan hasil belajar siswa sebelum dan sesudah pembelajaran pendekatan implementasi hasil penelitian biologi sebanyak 2 kali ulangan harian pada pokok bahasan Taksonomi Jamur. Hasil belajar dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan
160
Kriteria Hasil Belajar Tinggi sekali Tinggi Sedang Kurang Kurang Sekali
Sebelum 4 (9,52%) 7 (16,67%) 4 9,52%) 9 (21,43%) 18 (42,86%)
Hasil Belajar Sesudah UH I UH II 4 15 (9,52%) (35,71%) 10 10 (23,81%) (23,81%) 9 7 (21,43%) (16,67%) 9 1 (21,43%) (2,38%) 10 9 (23,81%) (21,43%)
Kecilnya peningkatan hasil belajar pada UH I antara lain disebabkan karena siswa baru melaksanakan penelitian dan belum dijelaskan dengan menggunakan LKS dan slide power point. Pada UH II terlihat peningkatan hasil belajar, ini disebabkan siswa sudah melaksa-
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Implementasi Hasil Penelitian Biologi, Nirmala F. Al-Firdausi
nakan penelitian lapangan dan sudah mendapatkan penjelasan oleh guru melalui LKS dan slide power point.
Jenis jamur tersebut diantaranya adalah Volvariella volvaceae, auricularia auricular (jamur kuping), dan ganoderma lucidum (jamur kayu). Meningkatnya hasil belajar dan ketuntasan belajar siswa kelas X SMA Muhamaddiyah Ambon
Ketuntasan Belajar Siswa
2.
Ketuntasan belajar siswa secara individu dan klasikal selama dilaksanakannya pembelajaran pendekatan implementasi hasil penelitian biologi dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan ketuntasan belajar dibandingkan antara sebelum dan sesudah dilaksanakannya pembelajaran pendekatan implementasi hasil penelitian biologi. Pada UH I siswa yang tuntas belajar sebanyak 54,76% dan yang belum tuntas 45,24%.
Diharapkan guru-guru biologi di SMA Muhamaddiyah dapat menerapkan pembelajaran dengan pendekatan implementasi hasil penelitian biologi untuk meningkatkan hasil belajar siswa.
Tabel 3. Ketuntasan Belajar Siswa Sebelum dan Sesudah Pembelajaran Pendekatan Implementasi Hasil Penelitian Biologi Kriteria Hasil Belajar Tuntas Tidak Tuntas Jumlah
Sebelum 15 (35,71 %) 27 (64,19 %) 42 (100)
Hasil Belajar Sesudah UH I UH II 23 (54,76 32 (76,19 %) %) 19 (45,24 10 (23,81 %) %) 42 (100) 42 (100)
Ketidaktuntasan ini diduga siswa belum terbiasa dengan pembelajaran pendekatan implementasi hasil penelitian biologi. Berdasarkan hasil observasi aktifitas siswa selama proses pembelajaran siklus pertama ini pelaksanaannya belum sesuai dengan pendekatan pendekatan implementasi hasil penelitian biologi. Pada UH II siswa yang tuntas sebanyak 76,19% dan belum tuntas 23,81%. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan ketuntasan belajar individu antara UH I dan UH II. Simpulan 1.
Terdapat 3 jenis jamur dari kelompok basidiomycotina yang tumbuh disekitar lingkungan sekolah SMA Muhamaddiyah.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 1999. Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research). Depdikbud Dirjen Dikti Proyek PGSM. Jakarta. Arends, R. 1997. Classroom Instruction and Management. Mc Grow-Hill Companies Inc. New York. Dahar, R. 1998. Teori-teori Belajar. Depdikbud. Jakarta. Eggen. 1996. Strategy for Teach Content and Thinking Skill. Third Edition. Allyn Bacon. Boston. Muslimin, I. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Unesa. Surabaya. Nasution. 1982. Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar. Bina Aksara. Jakarta. Nurkancana, W. 1983. Evaluasi Pendidikan. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya. Purwanto. 1991. Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Mengakar. Rosda Karya. Bandung. Sudhana. 1987. Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar. Sinar Baru Algesindo. Jakarta.
161
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-/desember 2015: 157-162
Suhermi.
2000.
Model
Pembelajaran
Kooperatif.
Departemen Pendidikan Nasional UNRI. Pekanbaru. Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning; Theori Research and Practice. Allyn Bacon. Boston
162
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Kreativitas dalam Pedagogik, Siti Jumaeda
KREATIVITAS DALAM PEDAGOGIK:
THINKING AND CREATIVITY OF TEACHER Siti Jumaeda Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon Email :
[email protected]
Abstrak: Kreativitas merupakan aktivitas mental yang dibutuhkan dalam mengembangkan sumber daya manusia. Kreativitas Bangsa Indonesia tergolong cukup rendah sehingga berdampak pada daya saing bangsa pada pergaulan masyarakat internasional. Warga negara Indonesia sebagaian besar hanya mampu sampai tingkat pekerja, belum mampu menjadi perancang atau penemu. Tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dikirim ke luar negeri sebagaian besar sebagai pekerja kasar dan pembantu rumah tangga. Kreativitas anak bangsa dapat dibangun melalui proses pendidikan. Pendidikan harus dikelola dengan baik sehingga dapat membangun kreativitas peserta didik di sekolah. Pendidikan akan dapat menghasilkan anak bangsa yang kreatif, apabila guru-guru di sekolah memiliki kreativitas yang tinggi. Mengajar bukan dilakukan sebagai tugas rutin semata-mata, tetapi lebih diarahkan untuk membangun dan mengembangkan kreativitas anak bangsa. Penilaian tidak cukup hanya dengan tes saja, tetapi lebih dikembangkan pada teknik penilaian non tes sehingga hasil penilaian dapat mengggambarkan kompetensi peserta didik secara utuh dan lebih objektif. Keyword: Kreativitas, Pendidikan, Thinhking and Creativity. Pendahuluan Kreativitas merupakan pernyataan yang mengandung makna yang lebih luas di dalam kehidupan manusia. Hal ini karena kreativitas yang dilakukan manusia menghasilkan kebudayaan yang berwujud ilmu pengetahuan dan teknologi, yang membuat kehidupan manusia menjadi lebih maju dan lebih mudah. Berbagai temuan di bidang iptek dari zaman dahulu dan temuan-temuan yang terjadi di zaman modern adalah hasil kebudayaan yang digunakan oleh manusia untuk meningkatkan kualitas kehidupannya dan mempermudah proses kehidupan yang dilaluinya hasil dari kreativitas. Perubahan zaman yang dinamis dalam segala aspek kehidupan harus diimbangi dengan pengembangan kreativitas sumber daya manusia yang memadai. Untuk menyiapkan SDM tersebut, sistem pendidikan di Indo-
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
nesia harus disempurnakan sesuai dengan tuntutan perubahan. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan perundangan dan kebijakan, diantaranya tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru yang harus dikembangkan secara utuh dari empat kompetensi utama, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Keempat kompetensi tersebut terintegrasi dalam kinerja guru.1 Guru sebagai tenaga pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan aak usia dini jalur pendidikan formal, 1
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 16 Tahun 2007 Tanggal 4 Mei 2007, Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
163
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 163-174
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.2 Diperlukan manajemen sistem pendidikan yang dapat mengembangkan kompetensi pengetahuan, sikap, dan keterampilan peserta didik secara holistik. Melalui pendidikan yang bermutu dan akuntabel kualitas sumber daya manusia dapat ditingkatkan, sehingga harkat dan martabat bangsa dapat ditingkatkan. Penyempurnaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi Kurikulum 2013 merupakan salah satu langkah nyatayang dilakukan pemerintah untuk mengembangkan kreativitas dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar bangsa Indonesia memiliki daya saing yang tinggi di dalam pergaulan masyarakat internasional. Tujuan Kurikulum 2013 untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.3 Pengembangan Kurikulum 2013 dilakukan melalui proses yang panjang dan ditelaah oleh berbagai kalangan serta melalui uji publik, sehingga kini Kurikulum 2013 siap untuk dilaksanakan di tingkat satuan pendidikan. Pembelajaran dalam Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan saintifik melalui kegiatan 5M (mengamati, menanya, mengeksplorasi, mengasosiasi, dan mengomunikasikan) merupakan upaya untuk mengembangkan kreativitas peserta didik dalam pembelajaran. Pendekatan saintifik bertujuan untuk mengembangkan budaya baca, melatih keterampilan berpikir kritis dan kreatif, melatih kemampuan berkomunikasi, meningkatkan keterampilan menggunakan ICT dalam pembelajaran, menghargai perbedaan, dan meningkatkan rasa percaya diri. Tujuan tersebut sejalan dengan ke2
Peraturan Pemerintah RepublikIndonesiaNo. 74 Tahun 2008, Tentang Guru. 3 Permendikbud No. 69 Tahun 2013, tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah.
164
butuhan kompetensi abad ke-21 yang disebut sebagai “The Seven C’s 21st Century Lifelong Skills” antara lain: (1) critical thinking & doing, (2) creativity, (3) communication, (4) collaboration, (5) career & learning self reliance, (6) cross-cultural understanding, dan (7) computing/ICT literacy. Ketujuh kompetensi tersebut dibutuhkan untuk mengembangkan kreativitas peserta didik agardapat bertahan hidup dan memiliki daya saing yang tinggi di era globalisasi. Permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas secara umum, bahwa guru-guru belum mampu menggunakan pendekatan pembelajaran saintifik secara utuh dan masih cenderung menggunakan pola-pola mengajar konvensional. Hal itu disebabkan oleh: (1) kebiasaan lama (budaya mengajar dengan ceramah) yang sulit diubah; (2) melaksanakan kegiatan pembelajaran sebatas rutinitas, mengejar target kurikulum, serta tidak mendorong peserta didik untuk belajar kreatif dan inovatif; (3) kurangnya pemahaman guru tentang metode pembelajaran berbasis saintifik karena minimnya pelatihan metodologi pembelajaran; (4) keterampilan guru menggunakan IT dalam pembelajaran bervariasi; dan (5) pemahaman guru-guru tentang implementasi Kurikulum 2013 belum sesuai harapan karena kurangnya sosialisasi dan pelatihan. Kurikulum 2013 dalam bidang penilaian, menggunakan model penilaian autentik, yaitu mengedepankan model penilaian dengan teknik antara lain: penilaian dalam bentuk tes, penilaian portofolio, penilaian proyek, penilaian unjuk kerja, observasi, dan penilaian diri. Kondisi yang dijumpai di lapangan adalah sebagai berikut. 1.
Pemahaman guru tentang teknik penilaian autentik masih rendah, akibatnya guru lebih dominan menggunakan penilaian dengan teknik tes, amat jarang guru melakukan jenis penilaian lainnya. Kondisi ini tidak akan membawa perubahan sesuai dengan tujuan Kurikulum 2013 yaitu
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Kreativitas dalam Pedagogik, Siti Jumaeda
2.
penilaian yang mendorong upaya pencapaian kompetensi abad ke-21 7C’s. Penilaian ranah afektif yang dilakukan oleh guru cenderung dilakukan secara intuitif, kalaupun ada yang menggunakan instrumen tidak diketahui kualitasnya (validitas dan reliabilitas belum terukur) karena minimnya pemahaman guru tentang teknik pengembangan asesmen non tes, sehingga hasil pengukuran masih sangat subjektif dan kurang akuntabel.
Pemerintah, walaupun secara yuridis formal, telah mengeluarkan kebijakan dan berbagai peraturan perundang-undangan untuk menata pembangunan nasional khususnya di bidang pendidikan, tetapi bila tidak didukung oleh semua komponen stakeholders dari tingkat pusat sampai ke daerah maka upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pengembangan kreativitas dalam pendidikan tidak akan membawa hasil yang optimal. Komitmen bangsa Indonesia untuk terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia ke arah lebih baik merupakan hal penting, dan harus diwujudkan dalam bentuk nyata melalui proses pendidikan yang bermutu dan bermartabat. Kesungguhan para pelaku pendidikan untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu, menentukan keberhasilan pembangunan nasional di bidang pendidikan. Banyak kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa Indonesia, di sisi lain banyak juga permasalahan/kendala yang segera dan mendesak harus dicarikan solusinya terkait dengan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Kreativitas merupakan aktivitas mental yang dibutuhkan dalam mengembangkan sumber daya manusia, karena berkaitan dengan pemahaman manusia terhadap lingkungannya secara terus menerus dengan penuh ketekunan dan kesabaran untuk menghasilkan berbagai ide, temuan, cara-cara baru, dan berbagai tindakan yang merupakan terobosan bagi suatu perubahan yang sangat bernilai dan bermakna
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
bagi manusia yang mengembangkan, mengatur, dan mengendalikan lingkungan sehingga memberikan mafaat bagi kehidupannya. Pengertian Kreativitas (Creativity) Utami Munandar mengemukakan bahwa kreativitas adalah suatu kemampuan umum untuk menciptakan suatu yang baru, sebagai kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah, atau sebagai kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan baru antara unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya.4 Imam Musbikin mendefiniskan kreativitas sebagai kemampuan memulai ide, melihat hubungan yang baru, atau tidak diduga sebelumnya, kemampuan memormulasikan konsep yang tidak sekedar menghafal, menciptakan jawaban baru untuk soal-soal yang ada, dan mendapatkan pertanyaan baru yang perlu dijawab.5 Mangun Hardjana mendefiniskan kreativitas adalah kegiatan yang mendatangkan hasil yang sifatnya berguna (useful), lebih enak, lebih praktis, memermudah, memperlancar, mendorong, mengembangkan, mendidik, memecahkan masalah, mengurangi hambatan, mengatasi kesulitan, mendatangkan hasil lebih baik atau banyak.6 Sternberg (1988), menyatakan bahwa kreativitas merupakan titik pertemuan yang khas antara tiga atribut psikologis, yaitu intelegensi, gaya kognitif, dan kepribadian/motivasi.7 Supriyadi mengemukakan bahwa kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada. Selanjutnya 4
Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas (Jakarta: Gramedia, 1995), h. 29. 5 Iman Musbikin, Makalah “Kreativitas” 2006, h. 3.
6
Mangunhardjana, Mengembangkan Kreativitas, (Yogyakarta: Kanisius ,1986), h. 179. 7 EdwardDe Bono, Lateral Thinking, (London: Ward Lock Educational1988), hal 97.
165
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 163-174
ia menambahkan bahwa kreativitas merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang mengimplikasikan terjadinya eskalasi dalam kemampuan berpikir, ditandai oleh suksesi, diskontinuitas, diverensiasi, dan integrasi antara setiap tahap perkembangan.8 Clark Moustakis (1967), ahli psikologi humanistik menyatakan, kreativitas adalah pengalaman mengekspresikan dan mengaktualisasikan identitas individu dalam bentuk terpadu dalam hubungan dengan diri sendiri, dengan alam, dan dengan orang lain.9 Rhodes (1961), mendefinisikan kreativitas sebagai Person, Process, Press, Product. Keempat P ini saling berkaitan, yaitu Pribadi (Person) kreatif yang melibatkan diri dalam proses (Process) kreatif, dan dengan dorongan dan dukungan (Press) dari lingkungan, menghasilkan produk (Product) kreatif.10 Hulbeck (1945), menyatakan bahwa “Creative action is an imposing of
one’s own whole personality on the environment in an unique and characteristic way”. Tindakan kreatif muncul dari keunikan keseluruhan kepribadian dalam interaksi dengan lingkungannya.11 Menurut Torrance (1988), kreativitas adalah proses merasakan dan mengamati masalah, membuat dugaan tentang kekurangan (masalah) ini, menilai dan menguji dugaan atau hipotesis, kemudian mengubah dan mengujinya lagi, dan akhirnya menyampaikan hasil-hasilnya.12 Berdasarkan pendapat para ahli kreativitas (creativity) adalah kemampuan menciptakan sesuatu yang baru atau mengkombinasi dari sesuatu yang telah ada sebelumnya menjadi bentuk baru yang lebih praktis, memer8
Supriyadi, makalah “Pengembangan Kreatifi-
tas” 2005, h. 7. 9
J.R. Gregory, Psychological Testing History, Principles, And Applications. (Third Edition. Boston: Allyn and Bacon,2000), h. 123. 10 J,R. Gregory, Psychological Testing History, h. 123. 11 Djamarah, Psikologi Belajar (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), h. 90. 12 Djamarah, Psikologi Belajar, h/. 93.
166
mudah, memecahkan masalah, bermanfaat, serta menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Berbagai Pandangan tentang Kreativitas Kreativitas merupakan konsep yang perlu dijelaskan berbagai sudut pandang. Hal ini disebabkan setiap sudut pandang memiliki keunikan dalam menjelaskan makna kreativitas. Berbagai sudut pandang tersebut didasarkan pada berbagai teori yang menjelaskan tentang kreativitas. 1.
Pandangan Behaviorisme
Teori behaviorisme menyatakan bahwa kreativitas bukan merupakan hasil dari inisiatif individu tanpa pengaruh dari lingkungan. Kreativitas merupakan suatu kemampuan yang bersifat genetik yang berkembang karena pengaruh yang diterima oleh individu dari lingkungan di sekitarnya. Berkaitan dengan hal tersebut, Skinner menyatakan bahwa lingkungan berpengaruh pada perkembangan individu.13 Pengalaman individu berinteraksi dengan lingkungannya, dalam hal ini lingkungan memberikan contoh atau model untuk berprilaku dan bertindak dalam cara-cara yang khusus, termasuk bertindak secara kreatif menjadi dasar individu dalam kreativitas. Untuk mengembangkan kreativitas perlu dilakukan penataan lingkungan yang sesuai kebutuhan dalam mengembangkan kreativitas. 2.
Pandangan Psikoanalisis
Teori yang berbasis pada perkembangan kepribadian menjelaskan bahwa kreativitas merupakan bagian dari kepribadian. Berkaitan dengan hal tersebut Kitano dan Kirby memandang kreativitas sebagai mekanisme kontrol yang dilakukan oleh manusia terhadap berbagai tekanan yang dihadapinya.14
13
Martini Jamaris, Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2013), h. 74. 14 K.Kitano Margie & Kirby F. Darrell. Gifted Education: A Comprehensive View (Canada: Little Brown & Company Limited, 1986), h. 193.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Kreativitas dalam Pedagogik, Siti Jumaeda
Selanjutnya, Psikoanalisis memandang kepribadian sebagai satu rangkaian susunan yang terdiri atas id, ego, dan super ego. Id berkaitan dengan ketidaksadaran yang bersifat instingtif dan mencari kepuasan dan kesenangan. Ego berkaitan dengan kesadaran dan tanggung jawab yang berfungsi mengendalikan id, sehingga membantu manusia untuk berinteraksi secara sosial dan bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Super ego berkaitan dengan nilai ideal yang diyakini oleh individu, sehingga ia selalu memperhatikan nilai-nilai moral dalam mengambil keputusan dan bertindak. Psikoanalis memandang kreativitas sebagai proses pelepasan terhadap pelepasan kontrol ego sehingga ambang sadar manusia dapat terungkap secara bebas. Pengungkapan tersebut dapat berbentuk berbagai karya, seperti karya seni, lukisan atau musik dan karya lainnya. 3.
Pandangan Humanisme
Carl Roger dan Maslow mengemukakan bahwa kreativitas sebagai salah satu aspek kepribadian yang berkaitan dengan aktualisasi diri.15 Setiap individu sejak lahir memiliki potensi untuk menjadi kraetif. Perkembangan potensi kreatif dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lingkungan disekitar individu tersebut. Faktor-faktor yang memengaruhi kreativitas: (1) keterbukaan berbagai pengalaman yang disertai dengan tingkat kelenturan dan toleransi terhadap ketidakpastian, (2) kepuasan diri seseorang terhadap apa yang dilakukannya dan tidak tergantung pada kritik yang diberikan orang lain, dan (3) kemampuan dalam menggabungkan semua konsep secara berarti sehingga menjadi suatu ide atau karya. Ketiga aspek tersebut dapat diwujudkan apabila pensyaratan-pensyaratan ini dapat terpenuhi.
a. b. c. d.
4.
Kemampuan untuk menerima keunikan individu sebagai sesuatu yang berarti. Kebebasan dalam mengekspresikan perasaan dan pikiran. Kesediaan untuk menerima cara pandang orang lain. Kemampuan untuk tidak tergantung pada hasil evaluasi orang lain terhadap perasaan dan pikiran, misalnya keteguhan hati untuk mencapai cita-cita yang ingin dicapai. Pandangan Kognitivisme
Para kognitivist memandang kreativitas sebagai suatu proses mental yang terjadi pada waktu manusia memahami lingkungannya dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya. Sternberg menjelaskan bahwa kreativitas memerlukan kemampuan dalam menyeimbangkan proses berpikir secara sintesis, berfikir analisis, dan berpikir praktis dalam mengolah informasi yang digunakan untuk memecahkan masalah.16 Apabila seorang individu hanya mampu melakukan proses berpikir sintesis ia akan menghasilkan berbagai ide yang inovatif. Individu yang hanya mampu melakukan kegiatan berpikir analitik akan menghasilkan kemampuan dalam mengeritik ide-ide yang dikemukakan orang lain. Individu yang mampu berpikir praktis akan menghasilkan berbagai ide kreatif. Untuk menjadi kreatif, seorang individu perlu memiliki kemampuan dalam menyeimbangkan tiga proses berpikir tersebut. Dimensi Kreativitas Rhodes (1961) menyatakan bahwa kreativitas memiliki 4 (empat) dimensi yang disebut sebagai Four P’s Creativity, yaitu dimensi Person,Proses, Press dan Product. 16
15
K.Kitano Margie & Kirby F. Darrell. Gifted
Education: A Comprehensive View, h. 193.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
J. Robert Stenberg & Williams M. Wendy, How to Develop Student Creativity. (http://www. Ascd. org/publications/books/196073/chapters/Introductions@ Theory-ofCreativity. Aspx) 2012.
167
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 163-174
1.
Dimensi Person
Dimensi person (kepribadian) kreativitas adalah upaya mendefinisikan kreativitas yang berfokus pada individu atau person dari individu yang dapat disebut kreatif. “Creativity
refers to the abilities that are characteristics of creative people” (Guilford, 1950). Lebih lanjut Guilford (1950) menyatakan bahwa kreativitas merupakan kemampuan atau kecakapan yang ada dalam diri seseorang yang erat kaitannya dengan bakat (talenta). Guilford mengemukakan 5 (lima) ciri kemampuan personal berpikir kreatif: a) kelancaran (fluency) yaitu kemampuan untuk menghasilkan banyak gagasan, b) orisinalitas (originality), keemampuan mencetuskan gagasan-gagasan asli, c) elaborasi (elaboration) yaitu kemampuan untuk mengurai sesuatu secara rinci, d) keluwesan (flexibility) yaitu memahami perbedaan cara pandang orang lain terhadap penyelesaian suatu masalah, dan e) redefinisi (redefinition) yaitu kemampuan untuk meninjau suatu persoalan berdasarkan persepektif yang berbeda dengan apa yang sudah diketahui banyak orang.17 2.
Dimensi Process
Dimensi proses merupakan upaya mendefinisikan kreativitas yang berfokus pada proses berpikir sehingga memunculkan ide-ide unik atau kreatif. Kreativitas adalah sebuah proses atau kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan (fleksibititas), dan orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, memperinci), suatu gagasan. Pada dimensi ini lebih menekankan pada aspek proses perubahan (inovasi dan variasi). Kreativitas sebagai sebuah proses yang terjadi di dalam otak manusia untuk menemukan dan mengembangkan sebuah gagasan baru yang lebih inovatif dan variatif, sehingga diperlukan kemampuan berpikir divergen.Proses berkreasi 17
J.P. Guilford, Fundamental Statistic in Psycology and Education. (New York: Mc Graw-Hill Book Company,1956), h. 211.
168
merupakan bagian paling penting dalam pengembangan kreativitas dimana peserta didik akan merasa mampu dan senang menyibukkan diri secara kreatif dengan aktivitas yang dilakukannya, baik melukis, menyusun balok, merangkai bunga dan sebagainya. Dimensi proses, kreativitas merupakan proses kreatif meliputi 4 tahap: (a) tahap persiapan yaitu mempersiapkan diri untuk memecahkan masalah dengan mengumpulkan data/ informasi, mempelajari pola berpikir dari orang lain, bertanya kepada orang lain; (b) tahap inkubasi yaitu pengumpulan informasi dihentikan, individu melepaskan diri untuk sementara dari masalah tersebut, ia tidak memikirkan masalah tersebut secara sadar, tetapi “mengeramkannya’ dalam alam bawah sadar; (c) tahap iluminasi, tahap ini merupakan tahap timbulnya “insight” atau “Aha Erlebnis”, saat timbulnya inspirasi atau gagasan baru; (d) tahap verifikasi merupakan tahap pengujian ide atau kreasi baru tersebut terhadap realitas, saat ini diperlukan kemampuan berpikir divergen (menyelesaikan masalah dengan banyak cara).18 3.
Dimensi Press (dorongan)
Dimensi ini merupakan pendekatan kreativitas yang menekankan faktor press atau dorongan, baik dorongan internal diri sendiri berupa keinginan dan hasrat untuk mencipta atau bersibuk diri secara kreatif, maupun dorongan eksternal dari lingkungan sosial dan psikologis. Kreativitas merujuk pada aspek dorongan internal dengan rumusannya sebagai berikut: “The initiative that one manifests by
his power to break away from the usual sequence of thought”.19 Peran pendidik dan orang tua penting untuk mampu memberikan motivasi secara ekternal kepada peserta didik untuk mengembangkan motivasi intrinsik mereka sehingga akan berkreasi tanpa merasa 18
Wallace, The Art of Thought, h. 327. Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas, h. 45. 19
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Kreativitas dalam Pedagogik, Siti Jumaeda
dipaksa dan tidak ada intervensi-intervensi tertentu. 4.
Dimensi Product
Dimensi produk merupakan upaya mendefinisikan kreativitas yang berfokus pada produk atau apa yang dihasilkan oleh individu baik sesuatu yang baru/original atau sebuah elaborasi/penggabungan yang inovatif. Produk kreatif menekankan pada orisinalitas, bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk menghasilkan/menciptakan sesuatu yang baru. Produk kreatif digolongkan jadi 3 kategori: (a) kebaruan (novelty) yaitu sejauh mana produk itu baru dalam hal jumlah dan luas proses yang baru, teknik baru, konsep baru, produk kreatif dimasa depan serta produk itu orisinil sangat langka diantara produk yang dibuat orang dengan pengalaman dan pelatihan yang sama, juga menimbulkan kejutan dan juga dapat menimbulkan gagasan produk orisinil lainnya; (b) pemecahan masalah (solution) yaitu sejauh mana produk itu memenuhi kebutuhan untuk mengatasi masalah (produk harus bermakna, logis, berguna); dan (c) keterperincian. Aspek-Aspek yang Memengaruhi Kreativitas Aspek-aspek yang memengaruhi kreativitas sebagai berikut.20 1. Aspek Kognitif. Kemampuan kognitif (kemampuan berpikir) salah satu aspek yang berpengaruh terhadap kreativitas seseorang. Kemampuan berpikir yang dapat menghasilkan kreativitas kemampuan berpikir divergen, yaitu kemampuan untuk menghasilkan berbagai alternatif dalam pemecahan masalah atau dalam menghasilkan produk baru. Kemampuan berpikir ini merangkai kemampuan dalam mensintesis, menganalisis, mengevaluasi dan mengaplikasikan berbagai informasi yang menghasilkan berbagai alternatif dalam 20
Martini Jamaris, Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan, h. 80.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
pemecahan masalah atau memproduksi kreasi baru. 2. Aspek Intuitif dan Imajinatif. Kemampuan intuitif dan imajinatif di alam bawah sadar dalam mengelola informasi secara holistik merupakan aktivitas yang dilakukan oleh otak bagian kanan yang menghasilkan kreativitas. 3. Aspek kepekaan dalam penginderaan. Kreativitas dipengaruhi oleh kepekaan dalam penginderaan. Kemampuan dalam menggunakan pancaindera secara peka. Kepekaan ini menghasilkan seseorang dapat menemukan sesuatu yang tidak dapat dilihat atau tidak disadari oleh orang lain. 4. Aspek kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi berkaitan dengan keuletan, kesabaran, dan ketabahan dalam menghadapi ketidakpastian dalam menghadapi berbagai masalah yang berkaitan dengan aktivitas yang menghasilkan kreativitas. Peranan Pendidikan dalam Meningkatkan Kreativitas Kreativitas (creativity) merupakan salah satu kompetensi penting dimiliki oleh setiap orang. Kreativitas hendaknya dibentuk dan dilatih melalui proses pendidikan.Kreativitas penting dan diperlukan bagi setiap manusia karena berbagai alasan sebagai berikut.21 1.
Manusia tidak pernah lepas dari masalah
Orang yang kreatif melihat masalah dari berbagai sudut pandang sehingga mereka menemukan berbagai alternatif untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Kemampuan dalam pemecahan masalah ditentukan oleh kemampuan menggali ide-ide, metode lain atau menggunakan pendekatan alternatif lain agar permasalahan dalam diselesaikan. 2.
Manusia memerlukan lahan untuk mengaktualisasikan diri
21
Risye Amarta, Menjadi Pribadi (Yogyakarta: Sinar Kejora,2013), hal.27
Kreatif,
169
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 163-174
Aktualisasi atau perwujudan diri adalah salah satu kebutuhan hidup manusia. Melalui kreativitas setiap orang dapat mengaktualisasikan dirinya dalam bentuk terpadu dalam hubungan dengan diri sendiri, masyarakat, dan alam. 3.
Mengejar pribadi
kepuasan
dan
kesenangan
Tingkat kepuasan seseorang dalam beraktivitas sangat mempengaruhi perkembangan sosial emosional. Sebagian besar orang-orang yang menyibukkan diri dengan penemuanpenemuan inovatif menyatakan bahwa mereka rela mengorbankan waktunya untuk berkreativitas karena alasan kepuasan dan kesenangan saat menciptakan sesuatu yang baru. 4.
Meningkatkan kualitas dan taraf hidup
Orang-orang yang memiliki kreativitas tinggi, yang tangguh dan tidak mudah menyerah dengan keadaan.Orang yang kreatif dapat mengubah keadaan itu sesuai dengan keinginannya.Faktor ekonomi merupakan salah satu alasan yang memotivasi orang mengasah kreativitas. Orang-orang ingin hidup lebih sejahtera dan makmur. Melalui kreativitas yang tinggi, banyak orang sukses menjadi pengusaha, perekayasa teknologi, penemu ilmu-ilmu kedokteran yang canggih, atau menciptakan produk yang sebelumnya belum pernah ada. 5.
Hidup lebih indah dan mudah
Orang-orang kreatif cenderung bosan jika melihat atau menjumpai sesuatu yang monoton. Hidup akan lebih indah bila diisi dengan hal-hal yang bersifat dinamis dan bervariasi. Melalui kreativitas hidup menjadi lebih mudah. Orang-orang dapat berbicara jarak jauh tanpa batas, melalui internet orangorang bisa mendapatkan informasi dari berbagai penjuru dunia, orang dapat pergi ke suatu tempat dengan cepat menggunakan pesawat terbang, orang melakukan transaksi keuangan cukup dengan sms banking sehingga
170
menghemat waktu dan tenaga, serta kemudahan-kemudahan lainnya. Kompetensi-kompetensi abad ke-21 dapat diperoleh melalui proses pendidikan dan latihan, pengalaman, dan bakat. Pendidikan di abad ke-21 hendaknya dilaksanakan dengan berorientasi pada tujuan pencapaian 7 C’s tersebut. Joke Voogt & Natalie Pareja Roblin mengemukakan bahwa untuk mencapai keterampilan 7C’s tersebut, model asesmen salah satu komponen penting harus diperhatikan dalam penilaian pendidikan.22 Sesuai dengan pendapat tersebut, model penilaian dalam Kurikulum 2013 sebagaimana dituangkan dalam Permendikbud No. 66 Tahun 2013 tentang Standar penilaian, bahwa model penilaian menggunakan penilaian autentik (authentic assessment) yaitu penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input), proses,dan keluaran (output) pembelajaran.23 Sebagai model penilaian yang dilakukan secara komprehensif, penilaian autentik memiliki karakteristik: (1) merupakan bagian tidak terpisahkan dari proses pembelajaran di kelas, (2) kontekstual, dan (3) menggunakan banyak cara misalnya teknik penilaian portofolio, penilaian unjuk kerja, penilaian proyek, problem solving, dan penilaian diri. Penilaian autentik akan melatih peserta didik untuk mengasah keterampilannya sesuai dengan tuntutan 21st century skills. Melalui penilaian autentik, keterampilan berpikir kritis (creative thinking and doing), kreativitas (creativity) dan rasa percaya diri (learning self reliance), dibangun melalui kegiatan latihan menyelesaikan berbagai permasalahan nyata dalam kehidupan sehari-hari (problem-solving). Penggunaan berbagai teknik dalam penilaian autentik seperti portofolio, proyek, dan unjuk kerja akan membangun keteramJoke Voogt & Natalie Pareja Roblin, 21st. Century Skill. Discussion Paper, (University of Twente: 2010), h. 275. 23 Permendikbud No. 66 Tahun 2013 tentang Standar penilaian, Jakarta, 2013. 22
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Kreativitas dalam Pedagogik, Siti Jumaeda
pilan lainnya seperti, keterampilan berkomunikasi(communication), bekerjasama (collaboration), memahami makna keberagaman/lintas etnis (cross-cultural understanding), serta meningkatkan keterampilan pemanfaatan ICT
(computing/ICT literacy). Sebagai langkah penguatan pembelajaran di kelas, model pembelajaran dalam Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan ilmiah (sciencetific approach).24 Untuk memerkuat pendekatan ilmiah (sciencetific approach) dalam pembelajaran, perlu diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning).Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Bernie Trilling bahwa problemsolving, research, analysis, project, dan management merupakan komponen-komponen penting untuk membangun keterampilan critical thinking & doing.25 Untuk mendorong kemampuan peserta didik agar menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun kelompok disarankan menggunakan pendekatan pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah (project based learning). Implementasi pendekatan ilmiah (sciencetific approach) dalam pembelajaran merujuk pada teknik-teknik investigasi atas beberapa fenomena atau gejala, memeroleh pengetahuan baru, atau mengoreksi dan memadukan pengetahuan sebelumnya.26Untuk dapat disebut ilmiah, metode pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik. Keterampilan abad ke-21 dapat dibentuk melalui proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan ilmiah (sciencetific approach). Langkah-langkah pembelajaran yang meng-
gunakan pendekatan ilmiah (sciencetific approach) sebagai berikut. 1) Mengamati Metode mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning). Metode ini memiliki keunggulan tertentu, seperti menyajikan media objek secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Metode mengamati bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik,sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi. Dengan metode observasi peserta didik menemukan fakta bahwa ada hubungan antara objek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang digunakan oleh guru. 2) Menanya Fungsi bertanya dalam pembelajaran antara lain sebagai berikut. a. b.
c. d.
e.
24
Permendikbud No. 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses, Jakarta, 2013. 25 Bernie Trilling, Toward Learning Societies and
The global Chalennges For Learning – with – ICT, (California: Oracle Education Foundation, 2005), hal. 9 26 Kemendikbud 2013, Materi Pelatihan Guru Impementasi Kurikulum 2013, Jakarta.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
f.
Membangkitkan rasa ingin tahu, minat, dan perhatian peserta didik tentang suatu tema atau topik pembelajaran. Mendorong dan menginspirasi peserta didik untuk aktif belajar, serta mengembangkan pertanyaan dari dan untuk dirinya sendiri. Mendiagnosis kesulitan belajar peserta didik sekaligus menyampaikan ancangan untuk mencari solusinya. Menstrukturkan tugas-tugas dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan sikap, keterampilan, dan pemahamannya atas substansi pembelajaran yang diberikan. Membangkitkan keterampilan peserta didik dalam berbicara, mengajukan pertanyaan, dan memberi jawaban secara logis, sistematis, dan menggunakan bahasa yang baik dan benar. Mendorong partisipasipeserta didik dalam berdiskusi, berargumen, mengembangkan kemampuan berpikir, dan menarik simpulan.
171
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 163-174
g. h. i.
Membangun sikap keterbukaan untuk saling memberi dan menerima pendapat atau gagasan. Membiasakan peserta didik berpikir spontan dan cepat, serta sigap dalam merespon persoalan yang tiba-tiba muncul. Melatih kesantunan dalam berbicara dan membangkitkan kemampuan berempati satu sama lain.
menarik simpulan dari fenomena atau atributatribut khusus untuk hal-hal yang bersifat umum, dan kegiatan menalar secara induktif lebih banyak berpijak pada observasi inderawi atau pengalaman empirik; dan (2) penalaran deduktif merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari pernyataan-pernyataan atau fenomena yang bersifat umum menuju pada hal yang bersifat khusus.
3) Mengeksplorasi/Eksperimen
5) Mengomunikasikan
Aplikasi metode eksperimen atau mengeksplorasi dimaksudkan untuk mengembangkan berbagai ranah tujuan belajar, sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Aktivitas dalam pembelajaran yang dapat dilakukan nyata: (1) menentukan tema atau topik sesuai dengan kompetensi dasar menurut tuntutan kurikulum; (2) memelajari cara-cara penggunaan alat dan bahan yang tersedia dan harus disediakan; (3) memelajari dasar teoretis yang relevan dan hasil-hasil eksperimen sebelumnya; (4) melakukan dan mengamati percobaan; (5) mencatat fenomena yang terjadi, menganalisis, dan menyajikan data; (6) menarik simpulan atas hasil percobaan; dan (7) membuat laporan dan mengomunikasikan hasil percobaan.
Metode komunikasi diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasi peserta didik melalui kegiatan menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya. Disamping itu, metode komunikasi ini juga dapat mengembangkan sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan singkat dan jelas, dan mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar. Hasil penelitian tentang kreativitas negara-negara di dunia, sebagaimana diungkapkan oleh Global Creativity Index (GCI), dengan menggunakan tiga aspek pengukuran, technology, talent, dan tolerance sehingga disebut “3 Ts of Economic Development”, yang ketiganya dihitung indeksnya berdasarkan variabel pengukurannya. Untuk aspek technology, Indonesia menempati posisi ke-74 dari 75 negarayang bisa dihitung technology index-nya, sedangkan untuk aspek talent Indonesia menempati peringkat ke-80 dari 82 yang bisa dihitung nilai Talent Index-nya danaspek terakhir yaitu tolerance, Indonesia ada pada peringkat ke-78 dari 81 negara.27 Indeks kreativitas tersebut ternyata berkorelasi dengan daya saing negara. Posisi Indonesia dalam daya saing global pun tidak lebih baik, yaitu menempati peringkat ke 46 dari 142 negara berdasarkan Global Competitiveness Report 2011-2012 yang dipublika-
4) Menalar/mengasosiasi Istilah aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013 dengan pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori belajar asosiasi atau pembelajaran asosiatif. Istilah asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada kemampuan mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk memasukannya menjadi penggalan memori. Selama mentransfer peristiwa-peristiwa khusus ke otak, pengalaman tersimpan dalam referensi dengan peristiwa lain. Pengalamanpengalaman yang sudah tersimpan di memori otak berelasi dan berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia. Proses itu dikenal sebagai asosiasi atau menalar. Ada dua cara menalar, yaitu: (1) penalaran induktif merupakan cara menalar dengan
172
27
http://pena.gunadarma.ac.id/indonesia-tidakkreatif-setuju/
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Kreativitas dalam Pedagogik, Siti Jumaeda
sikan oleh World Economy Forum.28Indeks kreativitas yang rendah tersebut selaras dengan daya saing nasional, terutama pilar kesiapan teknologi dan pilar inovasi. Terkait dengan kualitas sumber daya manusia Indonesia, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar menyatakan saat ini Indonesia dalam keadaan darurat sumber daya manusia (SDM). Indonesia kekurangan tenaga kerja profesional yang memiliki keterampilan dan kompetensi kerja serta berdaya saing tinggi dalam pasar kerja.29 Kebijakan peningkatan SDM Indonesia masih berkutat pada wajib belajar 6 tahun hingga 9 tahun. Padahal hal ini tidak akan mampu meningkatkan kompetensi kerja SDM Indonesia dalam menyongsong Asean Economic Community (AEC) 2015. Sektor pendidikan merupakan tumpuan harapan dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia. Melalui pendidikan diharapkan kompetensi yang dibutuhkan di abad ke-21 (7C’s) bisa diwujudkan.
3.
4.
Upaya-upaya untuk Meningkatkan Kreativitas Guru 1.
2.
Mengadakan lomba-lomba kreativitas guru Melalui kegiatan lomba dapat meningkatkan prestise guru khususnya yang berhasil menjadi pemenang. Rasa bangga yang dapat dimunculkan melalui lomba kreativitas merupakan motivasi internal yang berkekuatan luar biasa untuk selalu mendorong guru beraktivitas. Memfasilitasi guru untuk melaksanakan berbagai kegiatan meningkatkan kreativitas guru dalam pembelajaran misalnya kegiatan lesson study, penelitian tindakan kelas, workshop, seminar atau kegiatan
Simpulan 1.
2.
28
http://www.jurnas.com/news/85371/IPM_Indo nesia_Naik_Peringkat/1/SosialBudaya/Humaniora#sthas h.HZ7PmRW3.dpuf 29 http://news.okezone.com/read/2013/11/11/542/ 895069/muhaimin-nyatakan-indonesia-dalam-keadaandarurat-sdm
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
ilmiah lainnya. Melalui kegiatan seperti ini, guru memeroleh pengalaman berharga dari guru lain atau narasumber. Memberikan wadah untuk menampung hasil kreativitas guru. Wadah atau sarana tempat menampung hasil kreativitas guru berguna bagi guru sebagai perpustakaan atau gudang produk-produk kreativitas guru. Salah satu cara untuk memberikan wadah untuk menampung hasil kreativitas guru memerbanyak media-media yang dapat digunakan untuk memublikasikan hasil kreativitas guru baik media cetak maupun elektronik, misalnya jurnal ilmiah, buletin, atau forum ilmiah melalui media internet. Memberikan penghargaan kepada guru berprestasi. Penghargaan (reward) penting untuk membangun kreativitas seseorang. Seseorang mau melakukan sesuatu karena memiliki motivasi yang tinggi untuk mendapatkan sesuatu. Bentuk-bentuk penghargaan yang dapat diberikan kepada guru-guru yang sudah menunjukkan prestasi luar biasa antara lain pemberian hadiah berupa benda atau uang, biaya pendidikan studi lanjut, atau memberikan kesempatan kepada guru untuk menduduki jabatan tertentu.
3.
Kreativitas bangsa Indonesia tergolong cukup rendah sehingga berdampak pada daya saing bangsa pada pergaulan masyarakat internasional. Warga negara Indonesia sebagian besar hanya mampu sampai tingkat pekerja, belum mampu menjadi perancang atau penemu. Kreativitas anak bangsa dapat dibangun melalui proses pendidikan. Pendidikan harus dikelola dengan baik sehingga dapat membangun kreativitas peserta didik di sekolah. Pendidikan dapat menghasilkan anak bangsa yang kreatif, apabila guru-guru di sekolah memiliki kreativitas yang tinggi.
173
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 163-174
Mengajar tidak dilakukan sebagai tugas rutin semata-mata, tetapi lebih diarahkan untuk membangun dan mengembangkan kreativitas anak bangsa.
Jamaris,Martini. 2013,Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan, Jakarta: Ghalia Indonesia. Kitano K. Margie & Kirby F. Darrell. 1986
Gifted Education: A Comprehensive View, Canada: Little Brown &
Saran 1.
2.
3.
Guru hendaknya mengajar menjalankan rutinitas sekaligus memokuskan pada kegiatan mengembangkan kreativitas dan inovasi peserta didik. Guru seharusnya meningkatkan kompetensi sesuai dengan perubahan zaman, serta menciptakan ide-ide kreatif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Guru hendaknya menguasai IT untuk menambah wawasan serta dapat mengikuti perkembanan zaman yang dinamis.
DAFTAR PUSTAKA
Amarta,Risye. 2013Menjadi Pribadi Kreatif, Yogyakarta: Sinar Kejora. Djamarah, SB. 2002. Psikologi Belajar, Jakarta: PT Rineka Cipta. De Bono, Edward. 1988. Lateral Thinking, London: Ward Lock Educational. Gregory, J,R. 2000. Psychological Testing History, Principles, And Applications, Third Edition. Boston: Allyn and Bacon. Guilford, J, P. 1956. Fundamental Statistic in Psycology and Education, New York: Mc Graw-Hill Book Company.
http://pena.gunadarma.ac.id/indonesia-tidakkreatif-setuju/ http://news.okezone.com/read/2013/11/11/542 /895069/muhaimin-nyatakan-indonesiadalam-keadaan-darurat-sdm http://www.jurnas.com/news/85371/IPM_Indo nesia_Naik_Peringkat/1/SosialBudaya/H umaniora#sthash.HZ7PmRW3.dpuf
Company Limited. Kemdikbud. 2013. Permendikbud No. 69
Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Mene-ngah Atas/Madrasah Aliyah. Jakarta Kemdikbud. 2013 Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013, Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan. Mangunhardjana. 1986. Mengembangkan Kreativitas. Yogyakarta: Kanisius. Munandar, S.C. Utami.1995, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas, Jakarta: Gramedia. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 16 Tahun 2007 Tanggal 4 Mei 2007, Tentang Standar Kualifikasi Akademik
dan Kompetensi Guru. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Parwati, Ni Nyoman. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 4 TH. XXXXI Oktober 2008 Robert, J. Stenberg & Williams M. Wendy, How to Develop Student Creativity. (http://www. Ascd. org/publications/books/196073/chapters/ Introductions@-Theory-ofCreativity. Aspx) 2012. Trilling, Bernie. 2005. TowardLearning
SocietiesAnd The Global Challenges For Learning – With-ICT.California: Oracle Education Foundation Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta. Voogt, Joke.& Natalie Pareja Roblin. 2010.
21st
Century
Skills.Discussion
Paper.University of Twente.
174
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pengaruh Perceraian Orang Tua terhadap Pembentukan Kepribadian Anak, Abdullah Latuapo
PENGARUH PERCERAIAN ORANG TUA TERHADAP PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN ANAK DI DUSUN TAPINALU KECAMATAN HUAMUAL KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT Abdullah Latuapo Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon Email :
[email protected]
Abstrak: Gejala perpecahan dan gejolak rumah tangga semakin terasa. Banyak keluarga yang dilingkupi berbagai macam problem, salah satu problem perceraian. Perceraian di Dusun Tapinalu Kecamatan Huamual Kabupaten Seram Bagian Barat semakin meningkat tiap tahunnya. Salah satu masalahnya kurang berfungsi sistem dalam keluarga dan saling meninggalkan pihak lain tanpa alasan jelas. Anak termasuk yang dirugikan dari orang tua yang bercerai. Berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan rata-rata anak yang orang tuanya bercerai sering melakukan hal-hal yang tidak diinginkan oleh masyarakat seperti mencuri, melakukan pergaulan bebas dan sebagianya. Keywords: Perceraian Orang Tua, Kepribadian Anak. Pendahuluan Peran orang tua dalam suatu keluarga penting untuk pembentukan kepribadian anakanaknya. Orang tua diberi tanggung jawab untuk membimbing, menjaga dan mengajari anak mereka. Allah swt. berfirman dalam Q.S At-Tahrim/66:6: “Hai orang-orang yang ber-
iman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” Setiap keluarga menginginkan agar kehidupan keluarganya berjalan dengan baik dan bahagia. Namun, tidak semua keluarga dapat terlepas dari masalah yang dihadapinya sehingga kebanyakan dari mereka harus meninggalkan pihak yang lainnya dalam hal ini meninggalkan istri atau suami walaupun masalah ini dilarang dalam agama. Keluarga sebagaimana disebutkan tumbuh anak-anak yang krisis kepribadian sehingga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya, mereka menjadi nakal dan susah diatur, bahkan mereka bisa mencoba hal-hal
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
yang buruk atau yang tidak pantas untuk mereka lakukan, seperti anak mengalami depresi, anak merasa bersalah, mulai terlibat alkohol, suka membuat konflik, sering membuat kekacauan di luar, dan stres yang berkepanjangan akibat perceraian kedua orang tuanya, dan lebih ekstrimnya lagi muncul pikiran untuk bunuh diri akibat perceraian kedua orang tuanya. Bagi anak, perceraian merupakan kehancuran keluarga yang akan mengacaukan kehidupan mereka. Fakta yang terlihat bahwa banyak perubahan perilaku pada anak-anak setelah adanya perceraian mereka sering berbuat konflik dan kekacauan di luar. Orang tua merupakan kunci pembentukan kepribadian anak, karena tidak ada pihak lain yang akan menggantikan peran orang tua dengan seutuhnya. Pada hakekatnya, orang tua memiliki harapan yang besar agar anak-anak mereka tumbuh dengan baik. Namun, gambaran tersebut hanya akan berlangsung pada saat keluarga itu masih utuh. Namun, karena adanya disorganisasi keluarga, maka keluarga tidak akan luput dari konflik-
175
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 175-184
konflik kecil. Hal ini akan mengganggu keseimbangan dan membahayakan kehidupan keluarga, tidak jarang konflik-konflik tersebut berakhir dengan perceraian. Rumah tangga yang tidak stabil akan menyebabkan anak-anak bingung dan tidak tahu harus memihak pada siapa. Beberapa tahun yang lalu mungkin fenomena perceraian lebih banyak terdapat di kota-kota besar. Namun, ketika zaman mulai berubah ke arah yang lebih modern, fenomena perceraian dapat ditemui di sekitar perkempungan, termasuk di Kampung Dusun Tapinalu Kecamatan Huamual Kabupaten Seram Bagian Barat. Dari pengamatan di lokasi penelitian tampak bahwa keadaan atau situasi keluarga di lokasi penelitian memprihatinkan, banyak keluarga yang dihadapi dengan berbagai masalah seperti perceraian. Fakta yang terlihat bahwa banyak perubahan perilaku pada anakanak dimana setelah adanya perceraian mereka sering berbuat konflik dan kekacauan. Contoh suka mabuk-mabukan, berjudi, mencuri, merokok pada usia yang belum dewasa, dan bergaul dengan bebas. Peneliti menemukan setiap anak yang tumbuh dalam keadaan orang tuanya telah bercerai paling sedikit yang melanjutkan pendidikannya sampai jenjang SMA (Sekolah Menengah Atas). Orang tua merupakan kunci pembentukan kepribadian anak, karena tidak ada pihak lain yang akan menggantikan peran orang tua dengan seutuhnya. Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan beberapa orang tua yang harus membesarkan anak-anaknya sendiri, disebabkan ada perceraian. Di lokasi Dusun Tapinalu terlihat bahwa yang menjadi pemicu adanya perceraian yaitu karena ada faktor internal dan faktor eksternal keluarga. Namun, yang lebih berpengaruh pada perceraian di lokasi penelitian yaitu faktor internal (kurang berfungsinya sistem dalam keluarga dan salah satu pihak meninggalkan pihak yang lainnya dalam jangka waktu yang lama). Kegagalan keluarga dalam menjalankan peran sosial dan fungsinya terutama dalam proses kebutuhan anak berdampak negatif pada pembentukan kepribadian
176
anak setelah perceraian kedua orang tuanya mereka mengalami perubahan fatal. Metode Penelitian Penelitian ini berlokasi di Dusun Tapinalu Desa Luhu Kecamatan Huamual Kabupaten Seram Bagian Barat yang dilaksanakan selama satu bulan, dimulai dari tanggal 7 Maret 2015 sampai tanggal 7 April 2015. Populasi penelitian ini seluruh kepala keluarga yang telah bercerai yang berjumlah 49 orang dan seluruh anak yang orang tuanya telah bercerai yang berjumlah 30 orang anak yang berusia 11-21 tahun yang terdiri dari laki-laki 17 orang dan perempuan 13 orang. Hasil Penelitian Untuk memeroleh data yang lebih mendalam dalam penelitian ini tentang sebab-sebab perceraian yang terjadi di Dusun Tapinalu penulis menggunakan pengamatan wawancara, selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan kesimpulan. Ada 4 pertanyaan yang akan ditanyakan kepada 5 responden dengan pertanyaan yang sama. Adapun 3 pertanyaan yang diajukan kepada responden: (1) bagaimana kondisi kehidupan rumah tangga anda sehingga harus terjadi perceraian? (2) selama hidup bersama, apakah masing-masing menjalankan perannya dalam keluarga? (3) apakah pernah terjadi kekerasan dalam rumah tangga? (4) ketika terjadi masalah dalam keluarga bapak, bagaimana penyelesaiannya? Apakah ada campur tangan pihak lain? Hasil wawancara dengan Bapak Jamiun: Perceraian terjadi akibat perginya salah satu pihak (istri) dan tidak pernah kembali. Sebenarnya masing-masing telah menjalankan peranya dalam keluarga dan ketika mendapat masalah mereka selesaikan dengan seksama, namun karena kekerasan yang sering dilakukan oleh bapak jamiun terhadap istrinya, membuat istrinya pergi meninggalkan bapak jamiun. Hasil wawancara dengan Bapak Ismail:
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pengaruh Perceraian Orang Tua terhadap Pembentukan Kepribadian Anak, Abdullah Latuapo
Kondisi suami yang memiliki keterbatasan dalam mencari nafkah untuk keluarga ini, menjadi pemicu perceraian. Selain itu kurang dewasa dalam menyikapi suatu masalah, kurang bisa menutupi aib keluarga, serta kurangnya musyawarah sehingga menjadi sebab terjadinya perceraian dalam keluarga bapak Ismail. Hasil wawancara dengan Ibu Ani Sebab bercerainya Ibu Lina dengan suaminya sepenuhnya kesalahan Ibu Lina sendiri, ia tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dengan baik. Ia juga lebih memilih hidup mewah tanpa melihat latar belakang pekerjaan suaminya yang tidak memiliki pekerjaan tetap dalam keluarga. Hasil Penyebaran Angket 1. Variabel X (kurang berfungsinya sistem keluarga yang mencakup perhatian, kasih sayang, komunikasi, pembinaan dan pengarahan). Berdasarkan hasil penyebaran angket persepsi responden terhadap perceraian orang tua di Dusun Tapinalu yang diberikan kepada responden, maka dapat di lihat berdasarkan tabel berikut: Tabel 6: Setelah orang tua anda bercerai anda kurang mendapatkan perhatian dari orang tua anda. No.
Kategori Jawaban
1 2 3 4 5
Sangat setuju Setuju Kurang setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju Jumlah
Frekuensi 13 12 5 30
Persentase 43,33 40 16,66 100
Berdasarkan tabel, terdapat 13 orang (43,33%) yang menjawab sangat setuju, 12 orang (40%) yang menjawab setuju, 5 orang (16,66%) yang menjawab kurang setuju, dan tidak ada yang menjawab tidak setuju dan sangat tidak setuju.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Tabel 7: Selama orang tua anda bercerai kebutuhan sehari-hari anda tidak terpenuhi. No
Kategori Jawaban
1 2 3 4 5
Sangat setuju Setuju Kurang setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju Jumlah
Frekue nsi 11 12 6 1 30
Persentase 36,66 40 20 3,33 100
Berdasarkan tabel, terdapat 1 orang (36.66%) menjawab sangat setuju, 12 orang (40%) menjawab setuju, 6 orang (20,33%) menjawab kurang setuju, 1 orang (3,33) menjawab tidak setuju dan tidak ada yang menjawab sangat tidak setuju. Tabel 8: Selama orang tua bercerai anda kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tua anda No.
Kategori Jawaban
1 2 3 4 5
Sangat setuju Setuju Kurang setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju Jumlah
Frekuensi 11 14 4 1 30
Persentase 36,33 46,66 13,33 3,33 100
Berdasarkan tabel, terdapat 11 orang (36,33%) yang menjawab sangat setuju, 14 orang (46,66%) menjawab setuju, 4 orang (13,33%) menjawab kurang setuju, 1 orang (3,33%) menjawab tidak setuju dan tidak ada yang menjawab sangat tidak setuju Tabel 9: Selama orang tua anda bercerai, orang tua anda kurang berkomunikasi dengan anda No.
Kategori Jawaban
1 2 3 4 5
Sangat setuju Setuju Kurang setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju Jumlah
Frekuensi 8 16 6 30
Persentase 26,33 53,33 20 100
177
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 175-184
Berdasarkan tabel, terdapat 8 orang (26,33%) menjawab sangat setuju, 16 orang (53,33%) menjawab setuju, 6 orang (20%) menjawab kurang setuju dan tidak ada yang menjawab tidak setuju dan sangat tidak setuju. Tabel 10: Selama orang tua anda bercerai anda kurang mendapatkan pembinaan fisik. No.
Kategori Jawaban
1 2 3 4 5
Sangat setuju Setuju Kurang setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju Jumlah
Frekuensi 10 10 7 3 30
Persentase 33,33 33,33 23,33 10 100
Berdasarkan tabel, terdapat 10 orang (33,33%) menjawab sangat setuju, 10 orang (33,33%) menjawab setuju, 7 orang (23,33%) menjawab kurang setuju, 3 orang (10%) menjawab tidak setuju dan tidak ada yang menjawab sangat tidak setuju Tabel 11: Selama orang tua anda bercerai, ketika anda mendapat masalah, orang tua anda sering membantu anda untuk menyelesikanya. No.
Kategori Jawaban
1 2 3 4 5
Sangat setuju Setuju Kurang setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju Jumlah
Frekuensi 10 5 9 4 2 30
Persentase 33,33 16,66 30 13,33 6,66 100
Berdasarkan tabel, terdapat 10 orang (33,33%) menjawab sangat setuju, 5 orang (16,66%) menjawab setuju, 9 orang (30%) menjawab kurang setuju 4 orang (13,33%) menjawab tidak setuju, 2 orang (6,66)% menjawab sangat tidak setuju.
178
Tabel 12: Selama orang tua anda bercerai anda masih tetap diarahkan untuk berbuat baik kepada orang lain. No.
Kategori Jawaban
1 2 3 4 5
Sangat setuju Setuju Kurang setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju Jumlah
Frekuensi 9 8 12 1 30
Persentase 30 26,66 40 1,33 100
Berdasarkan tabel, terdapat 9 orang (30%) menjawab sangat setuju, 8 orang (26,66%) menjawab setuju, 12 orang (40%) menjawab kurang setuju 1 orang (1,33%) menjawab tidak setuju dan tidak ada yang menjawab sangat tidak setuju. Tabel 13: Selama orang tua bercerai anda tidak pernah mendapatkan perhatian dan kasih sayang sama sekali. No.
Kategori Jawaban
1 2 3 4 5
Sangat setuju Setuju Kurang setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju Jumlah
Frekuensi 7 8 6 6 3 30
Persentase 23,33 26,66 20 20 10 100
Berdasarkan tabel, terdapat 7 orang (23,33%) menjawab sangat setuju, 8 orang (26,66%) menjawab setuju, 6 orang (20%) menjawab kurang setuju, 6 orang (20%) menjawab tidak setuju dan 3 orang (10) menjawab sangat tidak setuju. Tabel 14: Selama orang tua anda bercerai, kebutuhan sehari-hari anda tidak pernah terpenuhi sama sekali. No.
Kategori Jawaban
1 2 3 4 5
Sangat setuju Setuju Kurang setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju Jumah
Frekuensi 4 19 4 3 30
Persentase 13,33 63,33 13,33 10 100
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pengaruh Perceraian Orang Tua terhadap Pembentukan Kepribadian Anak, Abdullah Latuapo
Berdasarkan tabel, tidak ada yang menjawab sangat setuju, 4 orang (13,33%) menjawab setuju, 19 orang (63,33%) menjawab kurang setuju, 4 orang (13,33%) menjawab tidak setuju dan 3 orang (10%) menjawab sangat tidak setuju. Tabel 15: Selama orang tua anda bercerai, anda tidak mendapatkan pengarahan atau motivasi untuk tetap belajar dan lanjut sekolah. No.
Kategori Jawaban
1 2 3 4 5
Sangat setuju Setuju Kurang setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju Jumlah
Frekuensi 11 8 9 2 30
Persentase 36,66 26,66 30 6,66 100
Tabel 17: Anda pernah berperilaku tidak sopan kepada orang tua anda disebabkan perceraian orang tua anda.
Berdasarkan tabel, terdapat 11 orang (36,66%) menjawab sangat setuju, 8 orang (26,66%) menjawab setuju, 9 orang (30)% menjawab kurang setuju, 2 orang (6,66%) menjawab tidak setuju dan tidak ada yang menjawab sangat tidak setuju. Tabel 16. Sebaran frekwensi angket penelitian tentang perceraian orang tua. No
Jawaban responden
1 2 3 4 5 6
F 13 11 11 8 10 10
% 43,33 36,66 36,66 26,66 33,33 33,33
F 12 12 14 16 10 5
% 40 40 46,66 53,33 33,33 16,66
F 5 6 4 6 7 9
% 16,66 20 43,33 20 23,33 30
F 1 1 3 4
TS % 3,33 3,33 10 13,33
STS F 2
7 8 9 10
9 7 11
30 23,33 36,66
8 8 4 8
26,66 26,66 13,33 26,66
12 6 19 9
40 20 63,33 30
1 6 4 9
3,33 20 13,33 30
3 3 2
90
335,96
97
83
286,65
29
96,65
10
9
33,5
9,7
289,9 6 2,89
8,3
2,86
2,9
9,6
1
SS
X
S
KS
2. Variabel Y (kepribadian anak dalam kehidupan sehari-hari dengan indikator sikap tidak sopan,sikap tidak jujur,bergaul dengan bebas, sikap kurang disiplin dan suka membuat masalah. Berdasarkan hasil penyebaran angket persepsi responden terhadap pembentukan kepribadian anak di Dusun Tapinalu yang diberikan kepada responden dapat dilihat berdasarkan tabel berikut:
% 6,6 6 10 10 6,6 6\ 33, 32 3,3
Berdasarkan pada tabel, terlihat bahwa terdapat sebanyak 90 (335,96%) jawaban responden yang menjawab sangat setuju, 97 (289,96%) jawaban responden yang menjawab setuju, 83 (286,65%) jawaban responden yang menjawab kurang setuju, 29 (96,65%) jawaban responden yang menjawab tidak setuju dan 10 (33,32%) jawaban responden yang menjawab sangat tidak setuju.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
No.
Kategori Jawaban
1 2 3 4 5
Sangat setuju Setuju Kurang setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju Jumlah
Frekuensi 15 12 3 30
Persentase 50 40 10 100
Berdasarkan tabel di atas terdapat 15 orang (50%) menjawab sangat setuju, 12 orang (40%) menjawab setuju, 3 orang (10%) menjawab kurang setuju, dan tidak ada yang menjawab tidak setuju dan sangat tidak setuju. Tabel 18: Anda pernah bersikap dan berkata kurang sopan kepada keluarga dan masyarakat lainnya disebabkan perceraian orang tua anda. No.
Kategori Jawaban
1 2 3 4 5
Sangat setuju Setuju Kurang setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju Jumlah
Frekuensi 11 13 6 30
Persentase 36,66 43,33 20 100
Berdasarkan tabelm terdapat 11 orang (36,66%) menjawab sangat setuju,14 orang (46,66%) menjawab setuju, 5 orang (16,66%) menjawab kurang setuju dan tidak ada yang menjawab tidak setuju dan sangat tidak setuju.
179
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 175-184
Tabel 19: Anda pernah berkata tidak jujur (berbohong) kepada orang tua anda disebabkan perceraian orang tua anda. No.
Kategori Jawaban
1 2 3 4 5
Sangat setuju Setuju Kurang setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju Jumlah
Frekuensi 9 17 3 1 30
Persentase 30 56,66 10 3,33 100
Berdasarkan tabel, terdapat 9 orang (30%) menjawab sangat setuju, 17 orang (56,66%) menjawab setuju, 3 orang (10%) menjawab kurang setuju, 1 orang (3,33%) menjawab tidak setuju dan tidak ada yang menjawab sangat tidak setuju. Tabel 20: Anda pernah berkata tidak jujur kepada orang lain dan bersikap tidak jujur terhadap barang orang lain disebabkan perceraian orang tua anda. No.
Kategori Jawaban
1 2 3 4 5
Sangat setuju Setuju Kurang setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju Jumlah
Frekuensi 13 7 8 2 30
Persentase 43,33 23,33 26,66 6,66 100
Berdasarkan tabel, terdapat 13 orang (43,33%) menjawab sangat setuju, 7 orang (23,33%) menjawab setuju, 8 orang (26,66%) menjawab kurang setuju, 2 orang (6,66%) menjawab tidak setuju dan tidak ada yang menjawab sangat tidak setuju. Tabel 21: Anda selalu bergaul dengan bebas disebabkan perceraian orang tua anda. No.
Kategori Jawaban
1 2 3 4 5
Sangat setuju Setuju Kurang setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju Jumlah
180
Frekuensi 10 9 7 4 30
Persentase 33,33 30 23,33 13,33 100
Berdasarkan tabel, terdapat 10 orang (33,33%) menjawab sangat setuju, 9 orang (30%) menjawab setuju, 7 orang (23,33%) menjawab kurang setuju 4 orang(13,33%) manjawab tidak setuju dan tidak ada yang menjawab sangat tidak setuju. Tabel 22: Anda pernah keluar rumah dilarut malam disebabkan perceraian orang tua anda. No.
Kategori Jawaban
1 2 3 4 5
Sangat setuju Setuju Kurang setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju Jumlah
Frekuensi 14 7 6 3 30
Persen -tase 46,66 23,33 20 10 100
Berdasarkan tabel, terdapat 14 orang (6,66%) menjawab sangat setuju, 7 orang (23,33%) menjawab setuju, 6 orang (20%) menjawab kurang setuju, 3 orang (10%) menjawab tidak setuju dan tidak ada yang menjawab sangat tidak setuju. Tabel 28: Anda kurang disiplin dalam berpakaian disebabkan orang tua anda bercerai. No.
Kategori Jawaban
1 2 3 4 5
Sangat setuju Setuju Kurang setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju Jumlah
Frekuensi 10 7 10 3 30
Persentase 33,33 23,33 33,33 10 100
Berdasarkan tabel, terdapat 10 orang (33,33%) menjawab sangat setuju, 7 orang (23,33%) menjawab setuju, 10 orang (33,33%) menjawab kurang setuju, 3 orang (10%) menjawab tidak setuju dan tidak ada yang menjawab sangat tidak setuju. Tabel 29: Anda kurang disiplin waktu disebabkan orang tua anda bercerai. No. 1 2
Kategori Jawaban Sangat setuju Setuju
Frekuensi 13 6
Persentase 43,33 20
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pengaruh Perceraian Orang Tua terhadap Pembentukan Kepribadian Anak, Abdullah Latuapo
3 4 5
Kurang setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju Jumlah
8 3 30
26,66 10 100
Berdasarkan tabel, terdapat 13 orang (43,33%) menjawab sangat setuju, 6 orang (20%) menjawab setuju, 8 orang (26,66%) menjawab kurang setuju 3 orang (10%) menjawab tidak setuju dan tidak ada yang menjawab sangat tidak setuju Tabel 30: Anda sering membuat masalah disebabkan perceraian orang tua anda. No.
Kategori Jawaban
1 2 3 4 5
Sangat setuju Setuju Kurang setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju Jumlah
Frekuensi 6 6 13 5 30
Persentase 20 20 43,33 16,66 100
Berdasarkan tabel, terdapat 6 orang (20%) menjawab sangat setuju, 6 orang (20%) menjawab setuju, 13 orang (43,33%) menjawab kurang setuju 5 orang (16,66%) menjawab tidak setuju dan tidak ada yang menjawab sangat tidak setuju. Tabel 31: Anda suka membuat masalah agar orang tua anda perhatian sama anda. No. 1 2 3 4 5
Kategori Jawaban Sangat setuju Setuju Kurang setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju Jumlah
Frekuensi 17 3 8 2 30
Persent ase 56,66 10 26,66 6,66 100
Berdasarkan tabel, terdapat 13 orang (56,66%) menjawab sangat setuju, 3 orang (10%) menjawab setuju, 8 orang (26,66%) menjawab kurang setuju 2 orang (10%) menjawab tidak setuju dan tidak ada yang menjawab sangat tidak setuju. Dari distribusi penyebaran angket persepsi responden terhadap penyebab perceraian
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
di Dusun Tapinalu yang diberikan kepada responden maka dapat dilihat berdasarkan tabel berikut: Tabel 32: Sebaran frekuensi angket penelitian tentang pembentukan kepribadian anak No. SS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jml x
F
%
15 11 9 13 10 14 10 13 6 17 118 11,8
50 36,66 30 43,33 33,33 46,66 33,33 43,33 20 56,66 393,3 39,3
Jawaban Responden S KS F % F % 12 13 17 7 9 7 7 6 6 3 87 1,7
40 43,33 56,66 23,33 30 23,33 23,33 20 20 10 289,98 28,9
3 6 3 8 7 6 10 8 13 8 72 ,2
10 20 10 26,66 23,33 20 33,33 26,66 43,33 26,66 239,97 23,9
TS F 1 2 4 3 3 3 5 2 17 1,7
% 3,33 6,66 13,33 10 10 10 16,66 6,66 133,3 13,3
Berdasarkan pada tabel terlihat bahwa terdapat sebanyak 118 (393,3%) jawaban responden yang menjawab sangat setuju, 87 (289,98%) jawaban responden yang menjawab setuju, 72 (239,97%) jawaban responden yang menjawab kurang setuju, 17 (133,3%) jawaban responden yang menjawab tidak setuju dan tidak ada responden yang menjawab sangat tidak setuju. 3. Uji Hipotesis Setelah data-data terkumpul langkah selanjutnya menganalisis ada atau tidak pengaruh antara dua variabel (variabel X dan variabel Y) dengan menggunakan rumus product moment pearson.
N ∑X ∑Y ∑X2 ∑Y2 ∑X.Y
= 30 = 1150 (lihat lampiran 3) = 1183 (lihat lampiran 4) = 40321 (lihat lampiran 5) = 47000 (lihat lampiran 5) = 45864 (lihat lampiran 5)
=
181
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 175-184
= = = 0,44913720728 = 0,449 Dari sektor persepsi responden terhadap perceraian orang tua dalam memengaruhi pembentukan kepribadian anak yang kemudian dilakukan analisis pengaruh antara skor persepsi responden terhadap perceraian orang tua (variabel x) dan pembentukan kepribadian anak (variabel y) dengan rumus korelasi product moment Pearson, pengaruh kedua variabel tersebut dapat disajikan berdasarkan tabel. Variabel X dan y
r Hitung
0,449
Db N-2 30-2=28
r Tabel 5% 0,374
1% 0,478
Hasil analisis (lihat lampiran 5) Berdasarkan tabel di atas menunjukan adanya pengaruh perceraian orang tua terhadap pembentukan kepribadian anak di Dusun Tapinalu, hal ini dibuktikan dengan hasil analisis korelasi Product moment antara variabel X dan variabel Y yang kemudian dikonsultasikan dengan rtabel pada taraf nyata 5% dan 1%, sehingga dengan jelas terlihat bahwa nilai rhitung = 0,449, untuk membuktikan hipotesis ditolak atau di terima maka digunakan derajat kebebasan (db) = N-2, dengan kriteria pengujian hipotesis adalah; jika rHitung> r Tabel maka H0 ditolak, dan jika rHitung< rTabel, maka H1 diterima. Dengan demikian rTabel 5% dengan db = 28 adalah 0,374 dan rtabel 1% dengan db = 28 adalah 0,478, sehingga 0,449 > 0,374 pada taraf 5% dan 0,449 > 0,478 pada taraf 1%. Dengan demikian peneliti memberi kesimpulan bahwa hipoteisi alternatif (Hi) diterimah sehingga nilai r masuk pada kategori sedang atau cukup. Selanjutnya untuk mengetahui berapa besar pengaruh perceraian orang tua terhadap
182
pembentukan kepribadian anak di Dusun Tapinalu maka digunakan rumus Koefisien Determinasi dengan rumus sebagai berikut: Koefisien determinasi (KD)= r2 x 100%, = 0,4492 x 100%, =20.160% Pengaruh perceraian orang tua terhadap pembentukan kepribadian anak di Dusun Tapinalu sebesar 20,160% Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan produk moment, pengaruh perceraian orang tua terhadap pembentukan kepribadian anak berkategori sedang atau cukup yaitu 0,449. Dari hasil tersebut dapat diinterpretasikan terhadap angka indeks prestasi (nilai r), yakni antara 0,40-0,60 dimana antara pengaruh perceraian orang tua dan pembenetukan kepribadian anak terdapat pengaruh yang sedang atau cukup. Pengaruh percerian orang tua memberikan dampak negatif terhadap pembentukan kepribadiajn anak sebesar 20,160%. Sedangkan 79,84% dipengaruhi oleh faktor lain. Perceraian berhubungan dengan perubahan dalam diri individu atau pembentukan kepribadian anak. Pembentukan kepribadian dalam diri individu tidak terjadi secara spontan tetapi dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu diantaranya: 1.
Faktor lingkungan Seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak baik kepribadinnya juga tidak baik. Hal ini berdasarkan kenyataan yang terjadi di Dusun Tapinalu. Rata-rata anak suka melakukan hal-hal yang buruk yang tidak diinginkan oleh orang tuanya atau masyarakat setempat.
2.
Faktor Pergaulan Seorang anak yang tumbuh dengan didikan yang baik maka kepribadiannya juga akan baik. Namun, ketikan ia mulai mengenal pergaulan maka lama-kelamahan kepribadiannya akan berubah sedikit-demi sedikit. Jika teman sepergaulannya memiliki kepribadian yang baik kepribadiannya
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pengaruh Perceraian Orang Tua terhadap Pembentukan Kepribadian Anak, Abdullah Latuapo
akan bertambah baik pula. Namun, jika teman sepergaulannya memiliki kepribadian yang buruk maka kepribadiannya juga akan berubah menjadi buruk. Hal ini juga terjadi di Dusun Tapinalu. Anak yang masih kecil tingkah lakunya baik. Namun ketika ia mulai mengenal pergaulan dengan teman-temannya kepribadiannya mulai berubah kehal-hal yang lebih buruk. 3.
2.
Kepribadian seorang anak akan terbentuk atau akan mengalami perubahan dari yang baik ke yang buruk atau sebaliknya tergantung oleh beberapa faktor seperti yang telah dijelaskan di atas. Ada anak yang orang tuanya telah bercerai namun kepribadiannya tidak berubah. Hal ini disebabkan oleh prinsip hidunya, bahwa walau-pun orang tua telah bercerai namun perilaku atau sikap tetap harus terarah ke halhal yang lebih baik. Ada juga anak yang orang tuanya telah bercerai kepribaadiannya berubah dengan sangat cepat. Anak yang kepribadiannya berubah setelah orang tuanya bercerai disebabkan kurang perhatian dari orang tuanya dan dari keluarga orang tua anak. Anak yang kepribadiannya tidak berubah setelah orang tuanya bercerai dikarenakan ia masi mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya. Ditinjau berasarkan teori-teori faktorfaktor yang dapat memengaruhi pem-bentukan kerpibadian anak antara lain: Faktor Sosial Faktor sosial adalah masyarakat di sekitar individu yang mempengaruhi individu tersebut. Yang termasuk dalam faktor ini
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Faktor Kebudayaan Faktor kebudayaan yang dimaksud kebudayaan yang tumbuh dan berkembang lebih luas lagi yang meliputi: (a) nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh individu yang hidup dalam kebudayaan itu dan (b) pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh individu yang hidup dalam kebudayaan itu.
Faktor Kepedulian Sosial Setiap anak yang orang tuanya bercerai memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Ada anak yang orang tunya bercerai tetapi kepribadiannya sangatlah baik. Ada anak yang orang tuanya bercerai kepribadiannya sangatburuk. Hal ini dikarenakan ada kepedulian dari keluarga orang tua sianak dan masyarakat lain.
1.
tradisi-tradisi, adat istiadat dan peraturanperaturan yang berlaku dalam masyarakat.
3.
Faktor Biologis
Faktor ini berhubungan erat dengan keadaan jasmani, dan sering pula disebut sebagai faktor fisiologis. Setiap individu sejak dilahirkan telah menunjukan adanya perbedaan dalam konstitusi tubuhnya, baik dari keturunan maupun pembawaan individu itu. 4.
Emosi
Emosi tanpa sebab yang tinggi dinilai sebagai orang yang berkepribadian tidak matang. Penekanan ekspresi emosional membuat seseorang murung dan cenderung kasar, tidak mau berkerja sama dan sibuk sendiri. 5.
Keberhasilan dan kegagalan
Keberhasilan dan kegagalan akan memengaruhi konsep diri, keberhasilan akan menunjang konsep diri itu, sedangkan kegagalan akan merusak konsep diri itu. Simpulan 1.
Sebab-sebab perceraian yang terjadi di Dusun Tapinalu kebanyakan disebabkan oleh kurang berfungsinya sistem dalam keluarga dalam hal ini seperti suami yang tidak atau kurang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan kelurganya. 2. Terdapat pengaruh perceraian orang tua terhadap pembentukan kepribadian anak di Dusun Tapinalu. Hal ini dilihat dari hasil banalisis Korelasi Product Momen antara variabel x dan variabel y dan kemudian dikonsultasikan dengan rtabel pada taraf
183
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 175-184
nyata 5% dan 1%, sehingga dengan jelas terlihat bahwa nilai rhitung = 0,449 lebih besar dari rtabel5% = 0,374 tetapi pada rtabel 1% = 0,478 ,sehingga nampak bahwa ada pengaruh perceraian orang tua terhadap pembentukan kepribadian anak di Dusun Tapinalu. 3. Besarnya pengaruh perceraian terhadap pembentukan kepribadian anak di Dusun Tapinalu sebesar 20,160% hasil perhitungan tersebut melalui uji koefisien korelasi adalah rxy= 0,449 yang diperoleh dari koefisien determinasi (KD) = r2 x 100%. Pengaruh perceraian orang tua di Dusun Tapinalu sebesar 20,160%, sedangkan 79,84% dipengaruhi oleh faktor lain. DAFTAR PUSTAKA
Ali. Hukum Waris Hukum Adat Hukum Pembuktian, Jakarta: Bina Aksara,1986. Ali, Mohammad. Psikologi Remaja (Perkembangan Peserta Didik), Bandung: Bumi Aksara, 2012. Arikunto, Suharsimi. Metode Penelitian Kualitatif dan Kuntitatif. Edisi Revisi, Jakarta: Rineka Cipta, 2001. Aziz, Abdul Bin Baz, Et.Al Pernikahan Hubungan Pasutri dan Perceraian. Yogyakarta: At-Tuqa, 2010. Hakim, Rahmat. Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000. Hartati, Netty dan Zahrotun Nihayah, Islam dan Psikologi, Jakarta: Rajawali Pres, 2004. Koestoer, Dinamika Psikologi Sosial, Jakarta: Erlangga, 1983. Koswara, E. Teori-Teori Kepribadian, Bandung: Pt Eresco, 1991. Mappiare, Andi. Psikologi Orang Dewasa, Surabaya: Usaha Nasional. Rahman, Abdul Ghozalib, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2010. Rato, Dominikus. Hukum Perkawinan dan Waris Adat (Sistem Kekerabatan, Bentuk
184
Perkawinan dan Pola Pewaris Adat di Indinesia), Surabaya: Laksbang Justitia, 2011. Ruslan, Rosandi. Metode Penelitian (Publik Relations dan Kamunikasi), Jakarta: Raja Grafindo Perasada, 2010. S. Howard Friedman dan Miriam W. Schustack, Kepribadian, (Teori Klasik dan Riset Modern), Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006. S. Sofyan Willis, Konseling Keluarga (Family Counseling), Bandung: Alfabeta, 2011. Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak, (Peran Moral, Intelektual, Emosional Dan Sosial sebagai Wujud Integrasi Membangun Jati Diri), Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang Undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, 2007. Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2005. Sugiono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: Rajawal Press, 1989), h. 40. Suhendi, Hendi dan Ramdani Wahyu, Pengantar Studi Sosiologi Keluarga, Bandung: Pustaka Setia, 2001. Waidah, Siti Q dan J Sukardi, Sosiologi I, Jakarta: Bumi Aksara, 2002. Yusuf, Ali As-Subki, Fiqh Keluarga (Pedoman Berkeluarga dalam Islam), Jakarta: Amzah, 2012. Zainu, Muhammad Bin Jamil, Kiat Sukses Mendidik Anak, Jokyakarta: Pustaka AlHaura, 2012.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Bentuk Alih Kode Tuturan Siswa dalam Proses Belajar Mengajar, Nur Afriani Nukuhali
BENTUK ALIH KODE TUTURAN SISWA DALAM PROSES BELAJAR-MENGAJAR BAHASA INDONESIA (Studi Kasus Terhadap Siswa SMP Negeri 1 Leihitu) Nur Afriani Nukuhali Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon Email:
[email protected]
Abstrak: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan mendeskripsikan (1) frekuensi kemunculan alih kode yang dilakukan siswa SMP Negeri 1 Leihitu dalam mengikuti proses belajar-mengajar bahasa Indonesia, (2) pola-polanya, (3) fungsifungsi komunikatifnya. Berdasarkan deskripsi data, disimpulkan tiga hal: (1) frekuensi penggunaan alih kode oleh siswa Kelas II SMP Neg 1 Leihitu dalam mengikuti PBM bahasa Indonesia adalah 19,59% atau berada pada tingkat relatif “rendah”, (2) alih kode yang digunakan oleh siswa cenderung berpola antarkalimat dan antarujaran, dan (c) alih kode yang digunakan siswa cenderung difungsikan untuk mengkhususkan orang yang dituju dan personalisasi. Rendahnya kuantitas alih kodedalam tuturan siswa Kelas II SMP Negeri 1 Leihitu ketika mengikuti PBM bahasa Indonesia bukan disebabkan oleh percakapan berbahasa siswa dan kemampuannya memahi konteks komunikasi, namun lebih dipengaruhi oleh: (1) tingginya dominasi tuturan dan tindakan guru dalam mengajar sehingga siswa kurang produktif dalam bertutur, dan (2) motif siswa memproduksi tuturan, yaitu memberikan respons singkat terhadap stimulus yang digunakan guru, sehingga siswa kurang produktif dalam bertutur. Kedua, kecenderungan pemakaian pola alih kodeoleh siswa yaitu pola antarkalimat dan antarujaran kerkaitan dengan (1) tingkat kedwibahasaan siswa (dalam menguasai dialeg Ambon sebagai B1 dan bahasa Indonesia sebagai B2) yang bercorak majemuk dan (2) kedekatan ikatan bahasa antara dialeg Ambon (B1) dengan bahasa Indonesia (B2). Ketiga, kecen-derungan pendayagunaan alih kode oleh siswa, yaitu untuk mengkhususkan orang yang dituju serta persolalisasi berkaitan erat dengan: (1) siswa kurang memahami konteks tuturan dan (2) guru cenderung apriori (belum mengetahui) terhadap ragam tuturan yang diproduksi siswa. Keywords: Alih Kode, Proses Belajar-Mengajar Bahasa Indonesia. Pendahuluan Aktivitas bertutur siswa dalam proses belajar-mengajar bahasa Indonesia merupakan bukti keterlibatan aktif siswa. Sesuai dengan konsep penerapan pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa Indonesia, proses belajar-mengajar yang ideal adalah proses belajar-mengajar yang mengembangkan iklim
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
dan memberikan kesempatan seluas luasnya untuk mengungkapkan unjuk kerja (performansi) berbahasanya, termasuk bertutur atau berbahasa lisan. Proses belajar-mengajar bahasa Indonesia yang ideal adalah proses belajar-mengajar yang tidak didominasi oleh aktivitas berbahasa guru. Di samping merupakan indikasi aktivitas siswa, tuturan bahasa Indonesia siswa juga
185
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 185-192
merupakan refleksi keberhasilan proses belajar-mengajar. Tuturan bahasa Indonesia siswa yang cermat, terkontrol, sesuai dengan konteks dan konsep bahasa Indonesia yang baik dan benar merupakan bukti keberhasilan proses belajar-mengajar bahasa Indonesia. Jadi, kualitas tuturan bahasa Indonesia siswa diukur berdasarkan dua indikasi yaitu (a) frekuensi kemunculan, dan (b) kualitas tuturan. Penelitian tentang kualitas tuturan bahasa Indonesia siswa dapat dikaitkan dengan tingkat pengaruh penguasaan B1 ke dalam tuturan B2 (bahasa Indonesia) siswa. Pengaruh B1 terhadap B2 siswa dapat diukur dari kuantitas dan konteks alih kode dalam tuturan siswa ketika mengikuti proses belajar-mengajar. Permasalahan yang diungkap dalam penelitian ini ada tiga, yaitu (a) berapakah frekuensi kemunculan alih kode yang dilakukan siswa SMP Negeri 1 Leihitu dalam mengikuti proses belajar-mengajar bahasa Indonesia, (b) apa pola-polanya, dan (c) apa fungsi-fungsi komunikatifnya. Penelitian tentang tuturan bahasa Indonesia siswa kelas II SMP Negeri 1 Leihitu dalam proses belajar-mengajar bahasa Indonesia merupakan penelitian deskriptif yang ditujukkan untuk mendeskripsikan (a) frekuensi kemunculan alih kode yang dilakukan siswa dalam mengikuti proses belajar-mengajar bahasa Indonesia, (b) pola-polanya, (c) fungsi-fungsi komunikatifnya. Ragam bahasa secara umum dapat dibedakan dari jenis penggunaan bahasa dalam penggunaan bahasa dalam kegiatan komunikasi verbal, yaitu ragam lisan dan ragam tulis. Pembedaan antara ragam lisan dengan ragam tulis perlu dibicarakan mengingat masih berkembang pendapat bahwa antara keduanya memiliki ciri-ciri yang sama. Ragam lisan relatif berusia lebih tua dibandingkan dengan ragam tulis. Apalagi dalam masyarakat yang berbudaya bahasa lisan, ragam bahasa tulis merupakan ragam yang jauh lebih muda usianya dibandingkan dengan ragam bahasa lisan. Hal itu disebabkan oleh hakihat bahasa yang
186
utama lisan sedangkan bahasa tulis merupakan hasil kodifikasi bunyi menjadi lambang bunyi beserta tata aturan grafis lainnya. Ragam bahasa lisan dibangun oleh unsur-unsur bahasa lisan yang meliputi lafal (pengucapan), tata bahasa (yang meliputi kosa kata/istilah, bentuk/pilihan kata, kalimat, paragraf, dan wacana), serta alat-alat bantu komunikasi bantu lainnya yang meliputi isyarat, gerak tubuh, dan intonasi. Dengan kata lain, alat-alat bantu komunikasi tersebut berbentuk unsur non-bahasa. Sementara itu, bahasa tulis dibangun oleh unsur-unsur bahasa tulis yang meliputi ejaan dan tata bahasa. Ragam Bahasa Lisan
Ragam Bahasa
Ragam Bahasa Tulis
Tata Bahasa Kosa kata/ istilah Bentuk/ pilihan Kata Kalimat, Paragraf, Wacana Ejaan
Gambar 1 Unsur-unsur Kebahasaan dalam Rangka Lisan dan Tulis Selain pembagian tersebut, pembagian ragam bahasa juga dapat dilihat dari segi formalitasnya, baik dalam ragam bahasa lisan maupun tulis. Menurut Martin Joos (Nababan, 1984, 1984:22) dilihat dari segi formalitas berbahasa, terdapat lima ragam bahasa. Ragamragam bahasa tersebut antara lain: (a) ragam baku (frozen language), (b) ragam resmi (formal langunge), (c) ragam usaha (consul-tative language), (d) ragam akrab (intimate language), (e) ragam santai(casual language). Untuk menggunakan salah satu jenis ragam bahasa, seseorang hendaknya memerhitungkan faktorfaktor komunikasi yang bersifat non-kebahasaan selain memerhatikan faktor-faktor kebahasaan (linguistik).
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Bentuk Alih Kode Tuturan Siswa dalam Proses Belajar Mengajar, Nur Afriani Nukuhali
Faktor-faktor non-kebahasaan yang hendaknya diperhatikan dalam memilih ragam bahasa yang hendak digunakan ada delapan (Hymes dalam Bell, 1976:81), yaitu (a) latar (setting and scene) yang mengacu kepada tempat dan terjadinya peristiwa komunikasi, (b) peserta tutur (participan) meliputi penutur dan lawan tutur, (c) tujuan (ends, purpose and goals) yang mengacu pada tujuan komunikasi dan hasil yang diharapkan, (d) bentuk dan isi komunikasi (act sequence), (e) kunci-kunci komunikasi (key) yaitu faktor kontekstual seperti isyarat, mimik, dan gerak, (f) alat atau media komunikasi (instrument) yang mengacu kepada sarana atau perantara yang digunakan dalam komunikasi dan dan bentuk tuturan yang digunakan, bahasa atau dialek, (g) norma (norms) yang mengacu kepada perilaku dalam berinteraksi, interpretasi komunikasi,dan (h) ragam bahasa (genre) yang mengacu kepada bentuk dan jenis bahasa yang digunakan dalam komunikasi, misalnya cerita narasi, puisi, prosa, dan sebagainya. Gejala alih kode yang dilakukan dwibahasawan lebih dipengaruhi oleh faktor konteks komunikasi dibandingkan dengan faktor ketidakkeseimbangan penguasaan bahasa. Trudgill (1979:82) mengungkapkan “Code-switching is
switching from one language variety to another when the situation demands”. Jadi, Trudgill memandang bahwa alih kode lebih dipengaruhi oleh faktor tuntutan situasi. Hal ini juga diungkapkan Milroy (1995:5) yang menyatakan bahwa alih kode merupakan penggunaan beberapa bahasa secara bergantian oleh dwibahasawan (bilingual) atau anekabahasawan (multilingual). Milroy dan Muksin (1995:7) juga menambahkan bahwa gejala alih kode ini merupakan suatu cara yang lumrah dikembangkan dwibahasawan/anekabahasawan dalam berkomunikasi. Jenis dan Fungsi Alih Kode Milroy (1995:7-8) membedakan dua jenis alih kode, yaitu (1) intra-sentential switching dan (2) intersential switching. Intrasen-
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
tential switching adalah peralihan kode-kode bahasa dalam satu tataran kalimat, sedangkan intra-sentential switching adalah peralihan kode-kode bahasa yang dilakukan penutur antara satu kalimat ke kalimat lainnya. Gumpres dan Blom (dalam Milroy, 1995:9) membedakan dua jenis alih kode yaitu (1) situational codeswiching dan (2) methaporical code-switching. Situational codeswiching perubahan kode-kode bahasa yang dituturkan dwibahasawan/aneka-bahasawan karena tuntutan situasi pelibat komunikasi, misalnya A dan B menggunakan alih kode karena situasi komunikasi berubah dari situasi nonformal menjadi formal akan tetapi topik pembicaraan tidak berubah. Jika terjadi perubahan topik, pembicaraan antara peserta komunikasi dan mengakibatkan ada-nya alih kode, maka hal itu disebut methapo-rical code-switching. Dabene (dalam Refnita, 1999:12-13) mengungkapkan pembagian alih kode secara lebih rinci. Jenis-jenis alih kode yang diungkapkan Debane ada lima yaitu; (1) alih kode antar ujaran yang terjadi antara dua ujaran yang diucapkan oleh seseorang penutur, (2) alih kode antara kalimat-kalimat yang terjadi di antara kalimat-kalimat, (3) alih kode dalam kaliamat, (4) alih kode segmental yang terjadi dengan memodifikasi suatu segmen ujaran yang melibatkan klausa dan frase, dan (5) alih kode unitari yaitu alih kode yang hanya memengaruhi satu elemen (butir) leksikal. Gumperz (dalam Heller, 1988:34) mengemukakan enam kategori alih kode dalam percakapan. Kategori fungsi alih kode tersebut adalah mengutip, mengkhususkan orang yang dituju, menyampaikan seruan, mengulangi pernyataan, membatasi pesan, dan personalisasi. Populasi penelitian ini dikhususkan pada populasi subtansial, yaitu seluruh tuturan siswa kelas II SMP Negeri 1 Leihitu yang mengikuti preses belajar-mengajar bahasa Indonesia selama delapan kali tatap muka. Instrumen utama penelitian ini peneliti dan anggota tim. Untuk mengumpulkan data, peneliti menggu-
187
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 185-192
nakan alat perekam dan tabel-tabel analisis. Perekam digunakan untuk merekam tuturan siswa selama proses belajar mengajar bahasa Indonesia berlangsung. Tabel-tebel analisis digunakan untuk mengidentifikasikan, mengklasifikasikan, dan menganalisis data. Penganalisisan data ditempuh dengan enam langkah. Keenam langkah tersebut mencakup (a) pentranskripsian rekaman, (b) penabulasian data, (c) pengidentifikasian data, (d) penganalisisan konteks kemunculan alih kode, (e) penganalisisan fungsi alih kode, dan (f) penyimpulan. Pengabsahan data penelitian dilakukan sejalan dengan pendapat Moleong (1988:172), yaitu mencakup pengembangan derajat kepercayaan, keteralihan, keberuntungan, dan kepastian. Hasil Deskripsi Data Frekuensi Kemunculan Alih Kode yang Dilakukan Siswa SMP Negeri 1 Leihitu dalam Mengikuti PBM Bahasa Indonesia Berdasarkan penganalisisan data, ditemukan 106 tuturan siswa yang mengandung alih kode. Jika dipersentasikan ditemukan 106/541 x 100%, yaitu 19,59% tuturan siswa yang mengandung alih kode. Dapat disimpulkan bahwa frekuensi penggunaan alih kode relatif sedikit, yaitu 1/5 dari keseluruhan tuturan. Pola Alih Kode yang Dilakukan Siswa SMP Negeri 1 Leihitu dalam Mengikuti PBM Bahasa Indonesia Keberagaman pola alih kode dalam tuturan siswa tersebut ditabulasikan sebagai berikut.
Tabel 1 Pola Alih Kode dalam Tuturan Siswa No 1
188
Pola Alih
kode
Frekuensi 17
Persentase 16.04
2 3 4 5
antarujaran Alih kode antarkalimat Alih kode dalam kalimat Alih kode segmental Alih kode unitari Jumlah
67
63.21
3
2.83
7 12 106
6.60 11.32 100%
Data tabel 1 menunjukkan bahwa alih kode yang digunakan siswa kelas II SMP Neg 1 Leihitu dalam bertutur ketika mengikuti proses belajar-mengajar bahasa Indonesia cenderung berpola antarkalimat dan antarujaran. Fungsi-fungsi Komunikasi Alih Kode yang Dilakukan Siswa Kelas II SMP Negeri 1 Leihitu dalam Mengikuti PBM Bahasa Indonesia Dari 106 tuturan siswa yang mengandung alih kode ternyata memiliki fungsi komunikatif yang beragam seperti yang terlihat dalam tabel. Tabel 2 Fungsi Komunikasi Alih Kode dalam Tuturan Siswa No 1 2 3 4 5 6
Pola Mengutip Mengkhususkan orang yang dituju Menyampaikan seruan Mengulangi pernyataan Membatasi pesan Personalisasi Jumlah
Frekuensi 0 48
Persentase 0 45.28
11
10.83
0
0
22 25 106
20.75 23.58 100%
Data tabel 2 menunjukkan bahwa alih kode yang digunakan siswa kelas II SMP Neg 1 Leihitu dalam bertutur dalam mengikuti proses belajar-mengajar bahasa Indonesia cenderung difungsikan untuk mengkhususkan orang yang dituju. Pengkhususan itu, jika dianalisis lebih lanjut, ternyata juga bercabang, yaitu khusus ditujukkan kepada siswa tertentu dan kadang-kadang dikhususkan untuk ber-
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Bentuk Alih Kode Tuturan Siswa dalam Proses Belajar Mengajar, Nur Afriani Nukuhali
komunikasi dengan guru. Hal ini relevan dengan fungsi lain, yaitu fungsi fersonalisasi dan membatasi pesan. Pembahasan 1.
Frekuensi Kemunculan Alih Kode yang Dilakukan Siswa Kelas II SMP Negeri 1 Leihitu dalam Mengikuti PBM Bahasa Indonesia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecendurungan siswa kelas II SMP Negeri 1 Leihitu menggunakan alih kode dalam bertutur ketika mengikuti proses belajar-mengajar bahasa Indonesia relatif sedikit atau kecil, yaitu hanya 1/5 dari keseluruhan tuturan. Jika tidak memperhitungkan aspek lain dalam tuturan siswa seperti aspek kuantitas, dapat disimpulkan bahwa siswa kelas II SMP Neg 1 Leihitu memiliki kemampuan bertutur bahasa Indonesia atau dalam situasi resmi sebab menurut Gleason dalam Alwasilah (1985:54) ragam tuturan dalam proses belajar-mengajar termasuk ragam resmi. Namun, menurut pencermatan peneliti, simpulan tersebut terlampau tergesa-gesa. Diperlukan pencermatan lebih lanjut untuk menilai kualitas tuturan bahasa Indonesia siswa berdasarkan aspek kuantitas, tuturan, motif bertutur, dan aspek kebahasaan lain yang terangkum dalam nonalihkode. Data penilitian menunjukkan bahwa kuantitas tuturan siswa relatif sedikit dibandingkan dengan tuturan guru. Dengan kata lain, pembelajaran masih didominasi oleh guru dalam bertutur. Hal itu, selain didukung oleh temuan penelitian yang menunjukkan kuantitas tuturan guru lebih banyak dibandingkan dengan tuturan siswa, juga ditopang dengan kenyataan bahwa tuturan guru lebih panjang dibandingkan dengan tuturan siswa (dilihat dari jumlah penggunaan kata dalam bertututr). Kecenderungan respons siswa, yang juga merupakan salah satu penyebab rendahnya kemunculan atau kuantitas tuturan siswa dengan menggunakan alih kode, dipengaruhi oleh kua-
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
litas pertanyaan guru sebagai stimulus. Guru jarang sekali menggunakan pertanyaan yang bersifat menggali dan pertanyaan peringkat tinggi. Pertanyaan yang digunakan guru cenderung berada pada rana kognitif sub ranah pengetahuan dan pemahaman, jarang mencapai sub ranah aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Efek lain kecenderungan guru menggunakan pancingan-pancingan yang menimbulkan respons dan tuturan siswa yang singkat adalah kekaburan jenis “wacana” percakapan guru-siswa dalam proses belajar-mengajar. Maksudnya, jenis wacana yang berkembang justru mengarah kewacana ragam usaha atau ragam percakapan pada umumnya, bukan wacana ragam resmi antara guru-siswa atau sebaliknya. Menurut Alwasilah (1985:55), ragam ini merupakan ragam yang paling operasional dan pembicara tidak memerlukan perencanaan pembicaraan yang bersifat intensif serta ekstensif. Hasil pencermatan terhadap tuturan siswa menunjukkan bahwa keseluruhan siswa menunjukkan bahwa keseluruhan tuturan siswa mengalami kesalahan yang memungkinkan besar disebabkan oleh interferensi dialeg Ambon. Simpulan itu didasarkan pada kenyataan siswa selalu menggunakan sapaan “seng” atau lengkapnya “tidak”, “pigi” atau lengkapnya “pergi”, “balong” lebih lengkapnya “belum” dan masih banyak yang lainnya. 2.
Pola Alih Kode yang Dilakukan Siswa Kelas II SMP Negeri 1 Leihitu dalam Mengikuti PBM Bahasa Indonesia
Pola alih kode yang digunakan siswa Kelas II SMP Neg 1 Leihitu dalam mengikuti proses belajar-mengajar bahasa Indonesia juga beragam, namun cenderung mengarah kepola alih kode antarkalimat. Jika merujuk pendapat Tarigan (1988:21) bahwa tipe alih sandi yang paling umum adalah yang terjadi pada saat seseorang pembicara tidak dapat menemukan kata yang tepat atau ekspresi yang cocok dalam bahasa yang sedang dipakainya, berarti
189
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 185-192
kecenderungan pemakaian pola alih kode berkaitan erat dengan tingkat kedwibahasaan orang tersebut. Downes (1984:66-67) juga menyatakan bahwa pola alih kode berkaitan dengan tiga hal yaitu: (a) kecakapan berbahasa, (b) keterkaitan berbahasa dan peminjaman serta, ( c) sudah diuraikan, sedangkan masalah keterkaitan bahasa antara bahasa Indonesia dengan dialeg Ambon tidak perlu direntang lebih lanjut karena sudah jelas. Sejalan denga pola alih kode, yaitu: (a) antarujaran, (b) antarkalimat, (c) dalam kalimat, (d) segmental, dan (e) unitari, semakin kecil bentuk alih kode yang digunakan (misalnya tingkat unitari), semakin sejajar atau berimbang tingkat kedwibahasaan penutur. Berarti, jika pola alih kode yang muncul cenderung ketingkat yang kompleks (misalnya antarujaran dan antarkalimat), berarti semakin tidak berimbang tingkat kedwibahasaan penutur. Dalam hal ini, tentunya tingkat penguasaan dialeg Ambon sebagai BI dan bahasa Indonesia sebagai B2. Berdasarkan pola nalar tersebut, dapat disimpulkan bahwa siswa Kelas II SMP Negeri 1 Leihitu relatif memiliki tingkat penguasaan dialog Ambon sebagai B1 yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat penguasaan bahasa Indonesianya sebagai B2 (dwibahasawan majemuk, bukan dwibahasawan koordinat). Karena dekatnya keterikatan bahasa antara dialek Ambon dengan bahasa Indonesia, dapat diasumsikan bahwa sebenarnya siswa tidak menemukan banyak hambatan untuk menguasai dua bahasa tersebut. Untuk menumbuhkembangkan penguasaan bahasa Indonesia siswa Kelas II SMP Negeri 1 Leihitu guru perlu menumbuhkembangkan kebiasaan berbahasa Indonesia dalam mengikuti proses belajar-mengajar. Salah satu cara efektif untuk menumbuhkembangkan kebiasaan itu pemeliharaan tuturan guru. Menurut Gales (dalam Nurhuda, 1988:34) tuturan/ujaran yang digunakan guru lebih sederhana bentuk sintaksisnya ketika mereka menyampaikan masukkan (input) kepada pembelajaran daripada
190
ketika mereka berbicara antar-sesamanya (guru). Selain itu, juga disampaikan bahwa corak tuturan guru memengaruhi proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa siswa, apalagi tuturan guru bahasa Indonesia dalam waktu yang relatif sedikit (4 jam pelajaran seminggu) dibandingkan dengan tuturan lain (guru dan non-guru) yang disimak atau diterima siswa. 3.
Fungsi-fungsi Komunikasi Alih Kode yang Dilakukan Siswa Kelas II SMP Negeri 1 Leihitu dalam Mengikuti PBM Bahasa Indonesia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan alih kode oleh siswa Kelas II SMP Neg 1 Leihitu dalam mengikuti proses belajarmengajar bahasa Indonesia cenderung digunakan untuk memenuhi fungsi komunikasi tertentu yaitu mengkhususkan orang yang dituju dan membatasi pesan. Pengkhususan orang yang dituju mengarah kepada dua pihak, yaitu dari pihak siswa ke guru dan dari pihak siswa ke siswa lainnya. Berdasarkan penganalisisan hasil penelitian, diperoleh gambaran bahwa untuk personalisasi dan membatasi pesan, siswa cendeung merasa lebih leluasa jika menggunakan alih kode ketika mengikuti proses belajar-mengajar bahasa Indonesia. Kecenderungan ini, menurut hemat peneliti, berkaitan erat dengan sikap bahasa siswa. Dengan kata lain, sikap siswa terhadap bahasa Indonesia cenderung belum memuaskan atau belum tinggi. Kurang tingginya sikap siswa terhadap bahasa Indonesia bukan hanya disebabkan oleh faktor siswa, melainkan juga faktor guru. Guru tidak memberikan reaksi atau respons tertentu yang mendorong siswa memproduksi tuturan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam mengikuti proses belajar-mengajar. Idealnya, guru mendayagunakan “pendekatan” tertentu untuk menyikapi penggunaan tuturan siswa yang tidak sesuai dengan konteks formal atau resmi. Trudgill (1979:80-83) mengungkapkan adanya tiga pendekatan pengajaran bahasa
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Bentuk Alih Kode Tuturan Siswa dalam Proses Belajar Mengajar, Nur Afriani Nukuhali
yang dapat didayagunakan guru dalam menyikapi penggunaan tuturan-tuturan siswa dalam proses belajar-mengajar. Ketiga pendekatan tersebut: (a) penghilangan tuturan nonstandar, (b) bidialektalisme, dan (c) apresiasi terhadap perbedaan dialek. Berdasarkan tiga jenis pendekatan yang dapat didayagunakan guru untuk menyikapi produksi tuturan siswa dalam mengikuti proses belajar-mengajar, menurut hemat peneliti pendekatan (b) merupakan pendekatan yang sesuai diterapkan di kelas II SMP Neg 1 Leihitu. Sebab, jika guru mendayagunakan pendekatan (a) maka siswa akan menarik diri, sikap pasif dan enggang berperan serta dalam mengikuti proses belajar-mengajar. Sebaliknya, jika guru menerapkan pendekatan (c) maka siswa seusia kelas II SMP justru akan menjadi bingung dalam memahami ragam tuturan mana yang sesuai dengan konteks formal proses belajar-mengajar. Hal utama yang perlu dipikirkan adalah bagaimana menggiring pemahaman siswa akan relevansi ragam tutur (standar dan nonstandar) dengan konteks komunikasi. Mungkin, penggunaan ragam-ragam nonresmi dalam tuturan siswa ketika mengikuti proses belajar-mengajar dianggap sebagai salah satu refleksi keakraban guru-siswa. Keabraban hubungan guru-siswa memang diperlukan dalam penciptaan dan pemeliharaan iklim belajar-mengajar. Namun, dalam situasi yang menggambarkan keabraban hubungan tersebut justru hendaknya guru lebih memiliki keleluasan untuk menggiring pemahaman siswa terhadap relevansi antara ragam tuturan dengan konteks komunikasi. Guru juga perlu mengembangkan pemahaman siswa bahwa konteks belajarmengajar konteks resmi atau formal yang menuntut penggunaan tuturan ragam formal. Simpulan Berdasarkan deskripsi data, disimpulkan tiga hal. Ketiga hal itu: (a) frekuensi penggunaan alih kode oleh siswa Kelas II SMP Neg 1 Leihitu dalam mengikuti PBM bahasa Indo-
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
nesia adalah 19,59% atau berada pada tingkat relatif “rendah”, (b) alih kode yang digunakan oleh siswa cenderung berpola antarkalimat dan antarujaran, dan (c) alih kode yang digunakan siswa cenderung difungsikan untuk mengkhususkan orang yang dituju dan personalisasi. Berdasarkan pembahasan hasil penelitian, juga disimpulkan tiga hal. Pertama, rendahnya kuantitas alih kodedalam tuturan siswa Kelas II SMP Negeri 1 Leihitu ketika mengikuti PBM bahasa Indonesia bukan disebabkan oleh percakapan berbahasa siswa dan kemampuannya memahi konteks komunikasi, namun lebih dipengaruhi oleh: (1) tingginya dominasi tuturan dan tindakan guru dalam mengajar sehingga siswa kurang produktif dalam bertutur, dan (2) motif siswa memroduksi tuturan, yaitu memberikan respons singkat terhadap stimulus yang digunakan guru, sehingga siswa kurang produktif dalam bertutur. Kedua, kecenderungan pemakaian pola alih kodeoleh siswa yaitu pola antarkalimat dan antarujaran kerkaitan dengan (1) tingkat kedwibahasaan siswa (dalam menguasai dialeg Ambon sebagai B1 dan bahasa Indonesia sebagai B2) yang bercorak majemuk dan (2) kedekatan ikatan bahasa antara dialeg Ambon (B1) dengan bahasa Indonesia (B2). Ketiga, kecenderungan pendayagunaan alih kode oleh siswa, yaitu untuk mengkhususkan orang yang dituju serta persolalisasi berkaitan erat dengan: (1) siswa kurang memahami konteks tuturan dan (2) guru cenderung apriori (belum mengetahui) terhadap ragam tuturan yang diproduksi siswa. Saran Berdasarkan pengumpulan data, deskripsi data, pembahasan dan penarikan simpulan, disarankan hal-hal sebagai berikut. Pertama, guru-guru bidang studi bahasa Indonesia di kelas II SMP Negeri 1 Leihitu hendaknya mengembangkan iklim pengajaran yang memungkinkan siswa lebih berperan aktif, tidak ber-
191
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 185-192
kecenderungan mendominasi kegiatan pengajaran. Kedua, guru-guru hendaknya mendayagunakan pendekatan pengajaran yang bercorak bidialektikalisme sehingga siswa memahami relevansi antara tuntutan konteks komunikasi dengan ragam tuturan yang hendak diproduksinya. Ketiga, meskipun guru mendayagunakan pendekatan bidialektikalisme, revisi terhadap tuturan yang diproduksi siswa juga masih diperlukan. Revisi dapat diberikan oleh guru maupun siswa lain, namun yang mematahkan semangat siswa memproduksi tuturan atau pada sisi lain mengembangkan sikap apriori.
Refnita, Lely. 1999. “Alih Kode dalam Proses
Belajar Mengajar Sebuah Kajian Sosiolinguistik. (Laporan Penelitian). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Rusyana, Y. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: Diponogoro. Tarigan, H.G. 1988. Pengajaran Kedwibahasaan. Bandung: Angkasa. Wardaugh, R. 1986. An Introduction to Sociolinguitics. New York: Basil Blackwell. Weinreich, U. 1968. Language and Contact: Findings and Problems. Paris: Moutonthe Hague.
DAFTAR RUJUKAN
A.R.
Syamsuddin.1992. “Bilingualisme, Diglosia, Pijn dan Kreol (Situasi Kebahasaan di Indonesia)”. (dalam
Muhadjir,dkk.) Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Alwasilah, A. Ch. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa. Hamied, F.A. 1987. Proses Belajar Mengajar Bahasa. Jakarta: Dirjen Dikti, P2LPTK. Huda, Nuril. 1988. “The Merits of Group
Work in Foreign Language Teaching”. Malang: Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Malang. IKIP Padang.1999. Buku Panduan Penulisan Tesis IKIP Padang: Program Pascasarjana. Lumaintaintang, Y.B. 1996. “Penggunaan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar”. (Makalah) Jakarta: Depdikbud. Moleong, L.J. 1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar”. Jakarta: Gramedia.
192
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Studi Al-Qur’an al-Karim, Husni Suruali
STUDI AL-QUR’AN AL-KARIM KAJIAN AL-QUR’AN DARI SEGALA ASPEKNYA Husni Suruali Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon Email :
[email protected]
Abstract: Al-Qur'an is word of God. Was revealed to the Prophet Muhammad through the Gabriel angel over a period of ± 23 years in Makkah, Madinah and both surrounding areas gradually. Al-Qur'an is a book of guidance for Muslims particularly and all human generally. Reading the Qur’an is a valuable worship although its both meaning and intent not be understood. To understand as whole of the Qur'an is a religious obligation. By only action, so the values of the Qur’an’s contents can be applied in everyday life correctly. Leading to this point is not easy, requiring hard working and seriousness of the various parties. Many manners can be done to be well understanding of the Qur'an, such as understanding how a process of writting the Qur'an do, how a process of codification and unification of the Qur'an do, how the written style of the Qur'an do, and how an argument of originality of the Qur'an do. In this article we will discuss some of these issues. Keywords: Writting, codification and unification, written style, and originality of alQur’an. Pendahuluan Al-Qur’an satu-satunya kitab Allah swt yang masih tetap orisinal. Ajaran-ajarannya tetap up to date sepanjang masa; tidak pernah lapuk dan lekang oleh perubahan zaman. Kitab ini diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril as untuk disampaikan kepada umat manusia. Beriman kepada alQur’an mutlak bagi orang Islam sebagai bagian dari rukun Iman. Sebagai kitab pedoman, al-Qur’an menuntun umat Islam agar dapat mencapai tingkatan takwa dalam beribadah kepada Allah swt. Takwa merupakan predikat puncak atas prestasi ibadah yang dicapai oleh orang beriman. Takwa adalah suatu predikat yang hanya diberikan kepada orang yang sangat dekat kepada-Nya. Takwa merupakan ekspektasi yang sangat diharapkan oleh yang beriman dalam beragama. Semakin tinggi keyakinan; kesadaran; dan aktivitas
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
ibadah seseorang, maka semakin dekat pula derajat takwa itu dapat diraih. Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi manusia, tetapi tidak serta merta alQur’an itu dapat memberikan petunjuk hidup kepada manusia. Agar dapat berfungsi sebagai pedoman dan petunjuk hidup, al-Qur’an harus dibaca. Membaca al-Qur’an tentu bukan sekedar membaca ayat-ayatnya, tetapi ayat-ayat itu harus dikaji; ditelaah; dan dipahami baik maksud dan tujuannya. Bila hal ini dapat dilakukan, esensi membaca dapat terwujud, yaitu tercerahnya kehidupan dan tercapainya tingkatan takwa dalam beribadah. Bila hal ini dapat dicapai oleh diri seseorang, dipastikan pula bahwa kehidupan bahagia di dunia dan akhirat dapat terwujud. Sebagai kitab pedoman dan petunjuk, alQur’an tidak diturunkan sekaligus kepada nabi Muhammad saw. Ia diturunkan secara gradual dalam kurun waktu ± 23 tahun sesuai dengan
193
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 193-202
kebutuhan; situasi; dan kondisi umat. Banyak alasan yang melatar belakangi mengapa ayatayat al-Qur’an itu diturunkan secara gradual. Paling tidak, ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan: (1) untuk memudahkan menghafalnya; (2) untuk menguatkan dan menenangkan hati Nabi saw; dan (3) untuk menjawab permasalahan dan problematika yang dihadapi umat. Selain sebagai pedoman dan petunjuk, al-Qur’an juga merupakan satu-satunya kitab Allah swt yang masih tetap utuh; tetap terjaga; dan tetap terpelihara atas eksistensi dan orisinalitasnya, baik di masa sekarang maupun pada masa yang akan datang. Perubahan dan penyelewengan terhadap eksistensi dan orisinalitas al-Qur’an tidak pernah terjadi kapan dan dimanapun. Hal ini ditegaskan oleh Allah swt dalam firman-Nya: ‚Sesungguhnya Kami
yang menurunkan al-Qur’an dan sesunggunya Kami pula yang akan memeliharanya (QS. alHijr [15]: 9).‛ Menjaga dan memelihara keutuhan; eksistensi; dan orsinalitas al-Qur’an, Allah swt juga melibatkan keikutsertaan malaikat Jibril as dan manusia. Keikut sertaan malaikat Jibril as adalah menyimak bacaan Rasulullah saw setiap tahun sebelum wafat. Keikutsertaan manusia meliputi dua hal, yaitu: (1) melalui aktivitas hafalan; dan (2) melalui aktivitas tulisan. Aktivitas menghafal dan menulis alQur’an merupakan perintah Nabi saw kepada sahabat sejak zamannya. Di zaman sekarang, aktivitas menulis khususnya tidak lagi menjadi suatu persoalan rumit sebagaimana yang dihadapi pada zaman Nabi dan sesudahnya. Sarana dan prasarana menulis banyak tersedia di berbagai tempat dan dapat pula diakses dengan mudah. Kemudahan menulis yang dicapai dewasa ini berbanding terbalik, bila merujuk kepada masa-masa awal munculnya Islam, seperti kurangnya tenaga ahli tulis; tidak tersedianya kertas (selain pelepah; daun; batu; tulang; kulit); dan apalagi percetakan. Di zaman Nabi saw hidup, meskipun persoalan yang dihadapi umat Islam banyak,
194
namun persoalan-persoalan itu dapat diselesaikan baik. Ketika Nabi saw wafat, persoalan yang dihadap umat Islam itu bukan semakin surut, tetapi justru sebaliknya; semakin bertambah; bukan saja dihadapkan pada persoalan eksternal, tetapi persoalan internal. Persoalan eksternal, seperti munculnya kembali ancaman suku-suku dan bangsa sekitar atas eksistensi dan kebangkitan umat; adanya berbagai isu sebagai upaya untuk memecah belah umat; adanya berbagai macam profokasi sebagai upaya untuk meragukan umat atas eksistensi dan orsinalitas al-Qur’an. Persoalan internal, seperti terkotak-kotaknya umat karena adanya intrik politik kekuasaan; adanya perbedaan lagam bacaan al-Qur’an; dsb. Berkaitan dengan kasus perbedaan lagam bacaan al-Qur’an misalnya, meskipun berdampak negatif dalam persatuan dan kesatuan umat, tetapi perbedaan lagam bacaan al-Qur’an itu ternyata juga berdampak positif di sisi yang lain. Sisi positif itu ada upaya penyeragamaan bacaan al-Qur’an; upaya penambahan kuantitas penulisan mushaf al-Qur’an; dan adanya upaya kodifikasi dan unifikasi al-Qur’an. Dengan upaya-upaya tersebut, kehidupan beragama umat dapat kembali bergairah dan tenteram; persatuan dan kesatuan umat dapat kembali terjadi; ketahanan dan pertahanan umat dapat kembali terpelihara; dan kehidupan umat tidak dapat lagi dengan mudah diganggu dan diprovokasi oleh adanya isu-isu negatif dari berbagai pihak, baik melalui jalur internal maupun jalur eksternal. Tulisan ini divokuskan pada bahasan tentang penulisan; kodifikasi dan unifikasi; rasam; dan argumentasi akan orsinalitas alQur’an. Penulisan Al-Qur’an di Zaman Nabi saw. dan Sahabat Setiap kali ada ayat al-Qur’an turun, selalu pula disertai dengan dua aktivitas yang dilakukan oleh para sahabat atas petunjuk Nabi saw. Pertama, menghafal ayat; kedua,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Studi Al-Qur’an al-Karim, Husni Suruali
mencatatnya. Menghafal ayat atau wahyu dapat dilakukan oleh semua sahabat Nabi. Namun, menulis ayat tidak dapat dilakukan oleh semua sahabat Nabi, karena tidak semua sahabat dapat membaca dan menulis. Karena itu, penulisan wahyu hanya dapat dilakukan oleh para sahabat yang dapat membaca dan menulis saja, diantaranya: Abu Bakar alShiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah, Zaid bin Tsabit, Khalid bin Walid, Ubay bin Ka’ab, dan Tsabit bin Qais. Mereka ini dikenal sebagai juru tulis resmi Nabi saw.1 Selain para sahabat tersebut, ada juga sahabat lain yang menulis ayat-ayat al-Qur’an atas inisiatifnya sendiri2 dan mereka ini tidak termasuk bagian dari dari juru tulis resmi Nabi saw. Kedua aktivitas, menghafal dan menulis merupakan upaya menghimpun; menjaga; dan memelihara eksistensi dan orisinalitas alQur’an. Nabi saw. dalam aktivitas penulisan wahyu khususnya, secara ketat memerintahkan para sahabat di atas untuk mencatat setiap ayat yang diturunkan kepadanya setelah mereka menghafalnya. Meskipun alat tulis menulis wahyu itu masih sangat sederhana, namu Nabi saw sangat serius dan hati-hati memerintahkan para sahabat menulisnya agar tidak terjadi kekeliruan dan kesalahan. Di natara alat tulis menulis yang dipergunakan para sahabat dalam menulis wahyu adalah kulit; batu; pelepah kurma; tulang belulang onta dan domba yang telah dikeringkan.3 Penulisan wahyu yang dilakukan pada masa Nabi saw pada dasarnya didorong oleh 1
Rif’at Nawawi dan M. Ali Hasan menyatakan bahwa juru tulis Nabi selain mereka: Amir bin Fuhairah, Yazid, Mughirah bin Syu’bah, Zubair bin ‘Awwam, ‘Alâ bin al-Hadhramy, Amr bin al-‘Ash, Abdullah bin al-Hadhramy, Muhammad bin Maslamah, dan Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul. 2 Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu AlQur’an, Terj. Mudzakir AS (Jakarta: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 2007), cet.10, h. 186. 3 Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu alQur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), cet. 9, h. 86-87.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
beberpa faktor utama berikut:4 (1) untuk membukukan hapalan Nabi saw dan para sahabatnya agar senantiasa terjaga dan terpelihara; (2) untuk mempresentasikan wahyu kepada umat agar lebih sempurna; dan (3) untuk menghindari hilangnya ayat al-Qur’an dari memori hafalan para sahabat. Berdasarkan hal itu, setiap kali Rasulullah saw menerima wahyu, seketika itu pula memerintahkan para juru tulisnya untuk menulisnya langsung dihadapannya. Dengan cara seperti ini, ada dua hal yang dapat dicapai. Pertama, tulisan ayat-ayat al-Qur’an itu dapat dijamin orisinalitasnya; kedua, tidak akan pernah terjadi percampuran antara ayat pada surat tertentu dan ayat pada surat yang lain. Selain itu, untuk menjaga orisinalitas alQur’an Nabi saw juga melarang para sahabat menulis apapun dari ucapan-ucapannya dan bahkan dengan tegas menyuruh mereka menghapus semua tulisan yang telah mereka tulis itu (hadits) selain dari ayat-ayat al-Qur’an.5 Dapat disimpulkan bahwa kemungkinan terjadi percampuran antara ayat dalam surat tertentu dan ayat dalam surat lain; dan/atau antara ayat al-Qur’an dan hadits Nabi saw mustahil dapat terjadi. Meskipun di zaman Nabi saw al-Qur’an belum dikodifikasi dan diunifikasi dalam satu mushaf secara resmi, tetapi banyak dari para sahabat Nabi saw yang telah dapat menghafal baik semua ayat-ayat pada surat-surat alQur’an. Diantara para sahabat Nabi saw yang telah dapat menghafal baik ayat-ayat dan ataupun surat al-Qur’an itu adalah Ali bin Abi Thalib; Mu’az bin Jabal; Ubai bin Ka’ab; Zaid bin Tsabit; Abdullah bin Mas’ud; dan Zaid bin Tsabit.6
4
Rosihon Anwar, Ulumul Pustaka Setia, 2008), h. 40. 5 Rifa’at Syauqi Nawawi Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: 1992), cet. 2, h. 119. 6 Rifa’at Syauqi Nawawi Pengantar Ilmu Tafsir, h. 119.
Qur’an, (Bandung: & M Ali Hasan, PT Bulan Bintang, & M Ali Hasan,
195
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 193-202
Kodifikasi Al-Qur’an di Zaman Khalifah Abubakar dan Utsman Pada masa Nabi saw kodifikasi dan unifikasi al-Qur’an belum dapat dilakukan. Ada dua alasan mendasar mengapa kodifikasi dan unifikasi al-Qur’an tidak dilakukan, pertama, wahyu al-Qur’an masih turun; dan kedua, belum ada kebutuhan yang mendesak. Selain dua alasan di atas, ada pula tiga alasan lain yang dapat melatarbelakangi mengapa kodifikasi dan unifikasi al-Qur’an pada masa Nabi saw tidak dilakukan. Pertama, para penghafal al-Qur’an cukup banyak, sehingga kemungkinan adanya upaya untuk mengganggu dan/atau mempertanyakan akan orisinilitas al-Qur’an tidak akan terjadi. Kedua, selama proses turunnya wahyu, adanya nasikh dan mansukh masih terjadi. Ketiga, selama proses turunnya wahyu, tata tertib dan urutan ayat diturunkan tidak teratur atau runut.7 Meskipun kodifikasi dan unifikasi alQur’an belum dapat dilakukan pada zaman Nabi saw, namun pada masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq kodifikasi dan unifikasi itu dapat dilakukan. Langkah ini merupakan salah satu prestasi penting yang ditorehkan oleh Khalifah Abubakar pada masa pemerintahannya. Meskipun pada mulanya langkah ini tidak direspon dan tidak disetujui, namun dengan berbagai alasan dan pertimbangan yang diajukan oleh Umar bin Khattab, maka kodifikasi dan unifikasi al-Qur’an pun dapat dilakukan.8 Usulan yang diajukan Umar bin Khattab kepada Abu Bakar agar al-Qur’an segera dikodifikasi dan diunifikasi berdasarkan pada fakta bahwa telah terjadi ± 70 orang sahabat Nabi saw yang hafal al-Qur’an telah gugur di Medan Perang Yamamah pada tahun 12 H. Bahkan ada yang menyatakan bahwa sahabat Nabi saw yang hafal al-Qur’an dan
7
M. Quraish Shihab, et.al, Sejarah dan Ulum alQur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 28. 8 M. Quraish Shihab, et.al, Sejarah dan Ulum alQur’an, h. 28.
196
gugur pada medan tempur yang terjadi di Yamamah itu adalah sebanyak 500 orang.9 Berdasarkan peristiwa tersebut, Umar bin Khattab berinisiatif agar kodifikasi dan unifikasi al-Qur’an segera dilakukan. Umar bin Khattab khawatir keberadaan dan keberlangsungan al-Qur’an. Al-Qur’an dikhawatirkan hilang secara berangsur-angsur seiring dengan wafatnya para penghafal al-Qur’an itu. Kekhawatiran Umar bin Khattab ini dapat dibenarkan, meskipun usulan itu bagus, tetapi tidak serta merta Abu Bakar al-Shiddiq menerima dan menyetujui-nya. Sikap yang diambil oleh Abu Bakar ini pun dapat dibenarkan, karena Abu Bakar berpendapat bahwa Nabi saw semasa hidupnya tidak pernah melakukan kodifikasi dan unifikasi al-Qur’an. Namun, setelah Abu Bakar memikirkan dengan saksama; menimbang dengan cermat manfaat dan kebaikan atas gagasan yang disampaikan oleh Umar bin Khattab tersebut, usul itu pun disetujui. Selanjutnya, Abu Bakar membentuk panitia kecil yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit. Tugas utama panitia kecil ini menghimpun; mengkodifikasi; dan meunifikasi alQur’an.10 Zaid bin Tsabit dan panitianya dalam menjalankan tugas ini berhati-hati. Proses pengambilan dan pengumpulan ayat-ayat ini berasal dari kumpulan tulisan pada bendabenda sederhana yang masih terkumpul, berserakan, dan tersimpan di Rumah Nabi saw; juga dari memori para sahabt yang hafal al-Qur’an. Meskipun Zaid bin Tsabit sendiri adalah seorang hafidz dan juga sebagai juru tulis utama wahyu Nabi saw, namun dalam menjalankan tugas beratnya sebagai panitia penghimpun al-Qur’an, ia dan anggota timnya tetap berpegang teguh pada prinsip pada kedua pedoman berikut: Pertama, ayat-ayat alQur’an yang diambil adalah benar-benar ayatayat yang ditulis dihadapan Nabi saw dan atau 9
M. Quraish Shihab, et.al, Sejarah dan Ulum alQur’an, h. 28. 10 M. Quraish Shihab, et.al, Sejarah dan Ulum alQur’an, h. 29.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Studi Al-Qur’an al-Karim, Husni Suruali
yang tersimpan di rumahnya. Kedua, ayat-ayat al-Qur’an yang diambil adalah dari para sahabat yang masih hidup.11 Selain kedua pedoman di atas, Zaid bin Tsabit juga selalu berkonsultasi dan meminta petunjuk kepada Abu Bakar dan Umar selama melakukan tugas mengumpulkan al-Qur’an. Bahkan untuk mendapatkan legitimasi terhadap suatu ayat al-Qur’an yang masih diragukan, Zaid bin Tsabit wajib menghadirkan dua orang saksi yang adil sebagai saksinya. Pada dua ayat terakhir dari surat al-Taubah misalnya, Zaid bin Tsabit tidak menemukan bukti tulisan dari arsip-arsip yang tersimpan di rumah Nabi saw, meskipun Zaid sendiri dan para sahabat lainnya mengetahui dan menghafal kedua ayat terakhir surat tersebut. Namun, demi legitimasi kebenaran bahwa kedua ayat tersebut berasal dari Nabi saw, Zaid bin Tsabit tetap mewajibkan adanya bukti berupa tulisan. Dengan usaha keras, Zaid bin Tsabit pun dapat mengatasinya dengan menemukan kedua tulisan ayat itu di tangan sahabat Khuzaimah al-Anshary.12 Selanjutnya, mushaf yang telah ditulis/dihimpun oleh panitia kecil itu disimpan oleh Abu Bakar al-Shiddiq sampai akhir hayatnya, disimpan oleh Umar bin Khattab setelah menjadi khalifah dan oleh puterinya Hafshah binti Umar setelah Umar wafat. Di masa pemerintahan khalifah Usman Bin Affan penyebaran agama Islam semakin luas. Percampuran antara bangsa Arab dan non Arab (‘Ajam) pun tidak dapat dihindari. Dengan berbaurnya antara bangsa Arab dan bangsa ‘Ajam, maka cara baru membaca dan mempelajari al-Quran pun tidak bisa dielakkan. Begitu pula timbulnya aneka ragam bacaan al-Qur’an pada penduduk di wilayahwilayah Islam yang luas itu pun semakin beragam, mengikuti pola dan ragam bacaan 11
Rifa’at Syauqi Nawawi & M Ali Hasan,
Pengantar, h. 123. 12
Supiana & M Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), h. 123.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
sahabat (guru) yang mengajarkan mereka membaca al-Qur’an. Dengan banyak-nya ragam baca al-Qur’an tersebut, maka masyarakat dari wilayah Islam tertentu merasa bahwa bacaan al-Qur’an yang mereka terapkan itu adalah yang benar, sementara bacaan masyarakat yang lainnya adalah salah. Atas dasar klaim diri yang benar dalam membaca al-Qur’an, maka pertengkaran antara umat Islam pun tidak dapat dihindari dan bahkan nyaris saling mengkafirkan. Diantara ragam bacaan yang diterapkan oleh masya-rakat Islam pada masa itu adalah: pertama, Penduduk Syam menerapkan lagam bacaan Ubay bin Ka’ab; kedua, Penduduk Makkah menerapkan lagam bacaan Abdullah bin Mas’ud; dan ketiga, Penduduk Bashrah menerapkan lagam bacaan Abu Musa alAsy’ari.13 Perbedaan ragam bacaan al-Qur’an yang terjadi antara umat tersebut sangat mengganggu ketenteraman publik. Jika dibiarkan saja berlarut-larut, tidak menutup kemungkinan persatuan dan kesatuan umat Islam akan terganggu. Melihat permasalahan demikian, Hudzaifah menyampaikan usulan dan saran kepada Khalifah Usman bin Affan agar bacaan al-Qur’an (qiraat) diseragamkan.14 Berdasarkan usulan dan saran tersebut, maka Khalifah Usman bin Affan membentuk Panitia Empat yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit. Anggota dari panitia empat itu adalah Sa’id bin al‘Ash; Abdullah bin Zubair; dan Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam. Tugas pokok dari Panitia Empat ini terdiri dari dua hal. Pertama, menyalin ulang dan menggan-dakan mushaf al-Qur’an dengan berpedoman pada mushaf 13
Supiana & M Karman, Ulumul Qur’an, h. 124. Sebelum Hudzaifah mengusulkan hal tersebut, Khalifah Usman bin Affan juga telah merasa khawatir atas terjadinya perselisihan cara baca al-Qur’an ini. Lihat Subhi al-Shalih, h. 102-103. Sementara itu, Manna’ Khalil al-Qattan mengatakan bahwa selain kedua sahabat tersebut, para sahabat yang lain juga sangat khawatir atas terjadinya perselisihan tersebut. Lihat Manna’ Khalil al-Qattan, Studi, h.194. 14
197
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 193-202
yang disimpan di rumah Hafshah binti Umar bin Khattab; kedua, apabila terjadi perbedaan qiraat antara Zaid bin Tsabit dengan tiga anggota panitia yang lain, maka bacaan atau qiraat yang dipakai dan ditulis adalah qiraat menurut lahjah Quraisy, karena al-Qur’an diturunkan dengan meng-gunakan bahasa Arab Quraisy.15 Menurut al-Zarqani dalam Rahmat Syafe’i bahwa tugas pokok dari lembaga yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit (Panitia Empat) terdiri dari empat hal. Pertama, panitia tidak boleh menulis sesuatu apapun di dalam mushaf kecuali telah diyakini benar bahwa apa yang akan ditulis itu adalah ayat al-Qur’an yang dibaca Nabi saw pada pemeriksaan terakhir Jibril as dan tilawah-nya tidak mansukh; kedua, tulisan mushaf tidak boleh memakai tanda titik dan syakal demi menjamin keberadaan ketujuh huruf turunnya al-Qur’an; ketiga, lafadz yang hanya dapat dibaca dengan satu ragam bacaan ditulis dengan bentuk huruf yang unik. Lafadz yang dapat dibaca lebih dari satu ragam qiraat, juga ditulis dalam bentuk yang sama. Penulisan dalam bentuk yang sama ini untuk menghindari dugaan bahwa ayat itu diturunkan berulang kali dan/atau merupakan koreksi terhadap tulisan ayat (rasam) lain bila ditulis dalam beberapa versi; keempat, bila terjadi suatu perbedaan lagam qiraat, maka lagam bahasa Quraisylah yang dapat dipakai, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa tersebut.16 Selain tugas tersebut, Panitia Empat juga diperintahkan untuk mengirim mushafmushaf yang telah ditulis itu ke beberapa wilayah Islam17 agar umat Islam dapat ber-pedo15
Rifa’at Syauqi Nawawi & M. Ali Hasan, Pengantar, h. 125-126. 16 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 16. 17 Menurut Subhi al-Shalih bahwa ulama perbeda pendapat tentang jumlah mushaf yang dikirim oleh khalifah Usman ke berbagai wilayah Islam, tetapi Subhi al-Shalih lebih cenderung ke pada pendapat yang mengatakan bahwa komisi reproduksi al-Qur’an hanya membuat tujuh buah mushaf. Enam buah mushhaf itu
198
man kepada mushaf tersebut dalam membaca al-Qur’an, sehingga pertikaian tidak dapat terjadi. Selanjutnya, Khalifah Utsman bin Affan atas persetujuan para sahabat dan dukungan umat masa itu menginstruksikan agar semua shuhuf atau mushaf al-Qur’an yang berbeda dengan Mushaf Usmani yang telah ditulis oleh Panitia Empat dan dikirim ke wilayah-wilayah besar Islam agar dimusnahkan atau dibakar.18 Selanjutnya, di masa Dinasti Umayyah, tepatnya pada masa pemerintahan Marwan bin al-Hakam (w. 65 H), shuhuf/ mushaf yang ditulis pada masa Khalifah Abu Bakar alShiddiq dan yang disimpan oleh Hafshah binti Umar diminta untuk dimusnahkan/dibakar. Namun, permintaan Khalifah Marwan tersebut ditolak oleh Hafshah. Setelah Hafshah wafat, shuhuf yang disimpan di Rumahnya itu pun diambil dan dibakar oleh khalifah Marwan. Tindakan yang dilakukan khalifah ini hanyalah bermaksud untuk mengamankan kesamaan dan keseragaman bacaan dan tulisan mushaf alQur’an yang ada dikalangan kaum Muslimin. Selain itu, juga untuk menghindari adanya keragu-raguan umat Islam generasi selanjutnya terhadap eksistensi dan orisinalitas Mushaf Usmani yang telah diupayakan dengan susah payah oleh Utsman bin Affan.19 Rasam Al-Qur’an di Zaman Utsman bin Affan dan Sesudahnya
Rasam berarti bentuk tulisan, atau juga sering diartikan dengan atsar, atau ‘alamah. Jadi, yang dimaksud dengan rasam al-Qur’an adalah bentuk tulisan al-Qur’an. Selain penyebutan dengan rasam al-Qur’an, juga dikenal dengan istilah rasm al-Mushaf dan rasam alUtsmani. Ulama tafsir lebih cenderung menamainya dengan istilah rasam al-Mushaf. dikirim ke berbagai wilayah Islam, dan satu yang lainnya disimpan oleh khalifah Usman. Lebih jelas, lihat Subhi al-Shalih, Membahas, hlm. 106-107. 18 Manna’ Khalil al-Qattan, Studi, h. 195-196. 19 Manna’ Khalil al-Qattan, Studi, h. 195-196.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Studi Al-Qur’an al-Karim, Husni Suruali
Di masa pra-Islam, bangsa Arab telah terbiasa menggunakan Khat Hijri dalam dunia komunikasi tulis menulis dan ketika Islam datang, Khat Hijri ini tetap dipakai yang lebih dikenal dengan nama khat khufi. Sejak zaman Nabi saw hingga abad II Hijriyah penulisan alQur’an tetap menggunakan huruf Khufi. Meskipun tulisan al-Qur’an menggunakan khat Khufi, tetapi belum pernah terjadi kesalahan dan kekeliruan dalam membacanya. Setelah Islam berkembang pesat dan menyebar luas sampai keluar jazirah Arab; terjadinya hubungan langsung antara Bangsa Arab dan Bangsa Ajam, kontak budaya dan bahasa pun tidak tidak dapat dielakkan. Percampuran bahasa dan rusaknya bahasa Arab pun tidak bisa dihindari.20 Selain itu, di kalangan ulama juga terjadi perbedaan pendapat terhadap rasam al-Qur’an. Apakah rasam al-Qur’an itu merupakan tauqif (ketetapan) Nabi saw ataukah bukan? Ada sebagian ulama menyatakan bahwa rasam alQur’an itu merupakan tauqif dari Nabi saw. Ada pula ulama yang menyatakan bahwa rasam al-Qur’an itu bukanlah tauqif dari Nabi saw. Berkenaan dengan rasam al-Qur’an ini, Ibnu Mubarak dan gurunya Abdul Aziz alDabbagh dalam Ahmad Izzan menyatakan bahwa rasam al-Qur’an adalah bersifat tauqifi atau ketetapan dari Nabi saw. Mereka beralasan bahwa Nabi saw pernah berkata kepada Muawiyah bin Abu Sofyan berikut: Ambillah; tulislah huruf-huruf dengan pena; rentangkan huruf ba ( ;)بbedakan huruf
sin ( ;)سjangan rapatkan lubang huruf mim (;)م tulislah lafadz Allah ( )ﷲdengan baik; panjangkan lafadz al-Rahman (ٰحن ٰالر ْم َّ ); dan tulislah 21 ِ lafadzal-Rahim (ٰٰالرحْيم َّ ) dengan indah. Sementara itu, al-Zarqani berpendapat bahwa rasam al-Qur’an bukanlah tauqif dari 20
Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas al-Qur’an, (Bandung: Tafakur, 2007), cet. ke-2, h. 208-209. 21 Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an, h. 208-209.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Nabi saw. Pendapat al-Zarqani tersebut didukung oleh Qadhi Abu Bakar al-Baqilani. Mereka beralasan Allah swt tidak pernah melarang untuk menulis al-Qur’an dengan menggunakan rasam lain selain rasam Usmani. Menulis al-Qur’an boleh saja menggunakan huruf khufi, dan boleh juga menggunakan huruf selain huruf khufi. Setiap orang dapat saja menulis menurut kebiasaannya yang dianggap mudah dan paling baik. Sementara itu, Subhi al-Shalih dan al-‘Izzu bin Abd. al-Salam berpendapat penulisan rasam mushaf di masa sekarang tidak dapat hanya berpatokan pada bentuk rasam khufi (kuno), tetapi juga dapat mengikuti bentuk-bentuk huruf yang lazim berkembang pada setiap zaman. Namun, dalam menulis rasam al-Qur’an tetap berpedoman pada cara dan kaedah penulisan menurut Mushaf Usmani.22 Adapun cara dan kaedah-kaedah penulisan ayat dalam Mushaf Usmani (panitia empat: Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-‘Ash, dan Abd. al-Rahman bin al-Haris) di zaman Khlaifah Utsman bin Affan:23 a. Al-Hadzf (membuang, menghilangkan, atau meniadakan), yaitu: 1) Menghilangkan huruf alif setelah huruf ya, seperti: ٰٰ َٰيٰأيُّ َهاٰالنَّاسٰٰ←ٰ مٰيَيُّ َهاٰالنَّاسٰ)ٰ َٰيٰنِ َداءٰ←ٰيمٰنِداء،). 2) Menghilangkan huruf alif setelah ha tanbih, seperti: ( ٰ) َهاٰأَنْت ْٰمٰ←ٰ مٰهأنْت ْٰم. 3) Menghilangkan huruf alif setelah huruf na, seperti: ( ٰ) ْأْنَيْ نَاك ْٰمٰ←ٰ ْأْنَيْمٰنك ْٰم. b. Al-Ziyadah (penambahan), yaitu: 1) Menambahkan huruf alif setelah huruf waw, atau yang mempunyai hukum ِ ٰ)ب ن ٰو. jama’, seperti: (ٰإسَرائِْي ِٰل ْ ٰإسَرائْي ِٰلٰ←ٰبَن ْوا ْ َْ 2) Menambahkan huruf alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas huruf waw), seperti: ( ) َجاؤٰٰ←ٰ َجاؤا. 22 23
Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an, h. 208-209. Rosihan Anwar, Ulumul, h. 49.
199
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 193-202
c. Badal (penggantian), yaitu huruf alif ditulis dengan huruf waw. Seperti: (ٰٰ ،ٰ ٰاحلَيَاةٰ ٰ← ٰاحلَمٰيوة َّ ٰ←ٰٰالزكاَة َّ ). ٰٰالصمٰلوة ٰالز م َّ ٰ←ٰٰالصالَة َّ ٰٰ،ٰٰكوة d. Washal dan fashl (penyambungan dan pemisahan), seperti kata kul yang diiringi kata lama ditulis dengan disambung, seperti: ( ٰ)ك ْٰلٰلَ َماٰ←ٰكلَّ َما. e. Kata yang boleh dibaca dengan dua macam bunyi (panjang atau pendek), penulisannya disesuaikan dengan salah satu bunyinya atau penulisannya dengan menghilangkan ِ ٰ ك ٰي وِٰم ِ ِ ِٰ ِ) ٰما ٰل. ِِ alif. Sepert:ٰ (ٰ الديْ ِٰن ْ َ ٰ ك ٰيَ ْوٰم ٰالديْ ِٰن ٰ←مل Kata malik boleh dibaca panjang (alif dibaca dua harakah) dan boleh juga dibaca pendek (alif dibaca satu harakah), dan sebagainya. Selain itu, Mushaf Usmani ini tidak memakai tanda baca, seperti penggunaan titik dan syakal. Namun, tidaklah menyulitkan bagi Bangsa Arab membaca al-Qur’an itu dengan baik dan benar/fasih. Hal tersebut terjadi karena masyarakat Arab di masa itu masih murni dan belum bercampur baur dengan masyarakt Ajam. Adapun masalah bacaan alQur’an muncul setelah Islam menyebar luas ke berbagai daerah non Arab. Selanjutnya, untuk mengantisipasi kesalahan dan kerusakan cara baca al-Qur’an, serta juga untuk membantu mempermudah kaum awwam membaca alQur’an dengan baik dan benar, maka Abu alAswad al-Du’ali atas petunjuk Ali bin Abi Thalib menyusun dasar-dasar ilmu bahasa Arab yang benar.24 Di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan ada beberapa huruf ditambahkan dengan pemberian titik. Pemberian titik pada haruf ayat al-Qur’an itu bertujuan untuk membedakan antara huruf-huruf yang sama bentuk 24
Kalangan Ulama terdahulu berbeda pendapat tentang orang yang sebenarnya pertama kali menggunakan titik-titik dalam penulisan al-Qur’an. Apakah Abu al-Aswad al-Duali, atau Yahya bin Ya’mar, atau pula Nashr bin ‘Ashim al-Laitsi? Lihat Subhi al-Shalih, Membahas, h. 116-119.
200
tulisannya.25 Selain itu, penempatan tanda titik juga dimaksudkan sebagai penunjuk harakat. Misalnya: 1. Harakat fathah dengan memberikan tanda titik pada awal huruf; 2. Harakat kasrah dengan memberikan tanda titik di bawah huruf; dan 3. Harakat dhammah dengan memberikan tanda titik di atas huruf pada bagian akhir. Selanjutnya, tanda-tanda baca al-Qur’an tersebut disempurnakan kembali oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidi dengan membuat tanda-tanda lain dalam penulisannya, seperti: tanda sukun; tanda tanwin; tanda mad; dan tanda tasydid; selain tentu tanda fathah; tanda kasrah; dan tanda dhammah yang sudah ada.26 Di abad ketiga Hijriyah, rasam Usmani mengalami perubahan atau pembaharuan. Pada masa ini, masyarakat Islam berlomba-lomba mencari; menemukan; dan memilih bentukbentuk tanda dan huruf yang baik dan khas. Seperti: tanda syiddah ditulis dengan lambang seperti busur; alif washal ditulis dengan diberi lekukan di atasnya atau di bawahnya atau juga di tengahnya sesuai dengan harakat sebelumnya (fathah/kasrah/dhammah). Selanjutnya, secara bertahap para penulis pun mulai meletakkan nama-nama surah dan bilangan ayat; rumus-rumus yang menunjukkan kepada ayat; dan tanda-tanda waqaf. Seperti tanda waqaf lazim dilambangkan dengan huruf mim (;)م tanda waqaf mamnu’ dilambangkan dengan huruf lam dan alif ( ;)الtanda waqaf ja’iz dilambangkan dengan huruf jiem ( ;)جtanda waqaf ja’iz tetapi washal lebih utama dilambangkan dengan huruf shad dan ya ( ۖ); tanda waqaf ja’iz tetapi waqafnya lebih utama dilambangkan dengan huruf qaf dan ya ( ۖ); tanda waqaf mu’anaqah, dilambangkan dengan dua titik tiga (΅ ΅), yaitu waqaf yang boleh berhenti pada salah satu titik dari dua tempat 25
Menurut Manna’ Khalil al-Khattan bahwa yang menyuruh Abu al-Aswad al-Du’ali untuk membuat tanda-tanda baca pada mushaf Usmani adalah Ziyad, gubernur Basrah. Lihat Manna’ Khalil al-Qattan, Studi, h. 218-219. 26 Ahmad Izzan, Ulumul, h. 208-209.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Studi Al-Qur’an al-Karim, Husni Suruali
titik tersebut. Demikian pula dengan pembuatan tanda juz, tanda hizb, dan penyempurnaanpenyempurnaan lainnnya.27 Dengan pembaharuan tersebut, mulanya para ulama tidak menyukai adanya perbaikanperbaikan atau pembaha-ruan rasam Usmani itu. Mereka khawatir, bila kemudian akan terjadi penambahan-penambahan huruf pada ayat mushaf al-Qur’an. Kekhawatiran ulama tersebut diperkuat lagi dengan ucapan Ibnu Mas’ud bahwa al-Qur’an itu semestinya tidak dicampur adukkan dengan hal-hal yang baru. Namun, seiring perjalan waktu, kalangan ulama tersebut kemudian memerbolehkan dan bahkan menganjurkan untuk melakukan halhal tersebut. Al-Nawawi misalnya menyatakan bahwa pemberian titik dan pensyakalan mushaf itu dianjurkan (mustahab) demi menjaga mushaf dari kesalahan dan penyimpangan ketika membacaya. Argumentasi atas Orisinalitas Al-Qur’an Al-Qur’an adalah kitab Allah swt yang selalu terjaga dan terpelihara akan eksistensi dan orisinilitasnya. Pernyataan ini merupakan jaminan dari Allah swt terhadap eksistensi dan orisinilitas kitab-Nya tersebut.28 Janji dan jaminan itu, juga melibatkan umat manusia secara langsung dalam memeliharanya, baik melalui hafalan atau tulisan. Disamping kedua faktor itu pula, hal-hal lain yang membuat alQur’an selalu terpelihara dan terjamin akan eksistensi dan orisinilitasnya.29 Pertama, alQur’an turun secara langsung sehingga memudahkan Nabi saw dan para sahabat membaca dan menghafalnya dengan baik dan benar. Kedua, pembagian al-Qur’an ke dalam 30 juz dan 114 surah, sehingga memudahkan orang untuk membaca, memelajari, memahami, dan menghafalnya. Ketiga, ketetapan Allah swt bahwa al-Qur’an menggunakan bahasa Arab,
karena bahasa Arab satu-satunya bahasa yang sangat sarat makna, indah, dan mempesona. Kempat, secara berkala, Allah swt mengutus malaikat Jibril as untuk mencek akurasi bacaan al-Qur’an Nabi saw minimal satu kali dalam setiap tahun. Selain hal-hal tersebut, pemeliharaan dan penjagaan al-Qur’an dilakukan melalui tulisan, apalagi setelah ditemukannya mesin cetak al-Qur’an. Di tahun 1530 M mushaf alQur’an pertama kali dicetak di Venisia, tetapi pihak Gereja memerintahkan untuk menghancurkannya. Di tahun 1694 M mushaf al-Qur’an dicetak kembali oleh Hinhelmann di Hamburg Jerman. Kemudian disusul oleh Maracci di Padone di tahun 1698 M. Namun, cetakancetakan al-Qur’an itu semua tidak ada satupun yang berada di Dunia Islam.30 Di tahun 1787 M, tepatnya pada masa kekuasaan Daulah Usmani, al-Qur’an dengan menggunakan logo Islam untuk pertama kali dicetak di St. Patenbourg Rusia. Dengan bentuk yang sama al-Qur’an dicetak kembali di Kazan. Selanjutnya di Teheran Iran pada tahun 1828 M; di Tibriz di tahun 1833 M. Di tahun 1834 M al-Qur’an dicetak secara besarbesaran oleh Flingel di Leibzig. Prestasi mencetak al-Qur’an terbesar itu mendapat sambutan hangat di Eropa, tetapi tidak demikian di dunia Islam. Di tahun 1933 M (1342 H) Mesir mencetak al-Qur’an dengan tulisan yang dikenal sekarang. Prestasi pencetakan al-Qur’an di Mesir ini disambut hangat oleh hampir seluruh dunia Islam. Percetakan al-Qur’an di Mesir ini berada di bawah pengawasan alAzhar dan disahkan oleh panitia khusus. Sejak percetakan al-Qur’an di Mesir itu ditemukan, mushaf al-Qur’an dapat dicetak berjuta-juta cophi, baik untuk kepentingan di dalam negeri Mesir maupun untuk dikirim ke negara-negara Islam yang lain.31Namun, yang paling utama dalam upaya menjaga dan memelihara eksistensi dan orsinalitas al-Qur’an itu kesungguh-
27
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi, h. 53. Q.S al-Hijr [15]: 9. 29 Rifa’at Syauqi Nawawi & M Ali Hasan, Pengantar, h. 128-131. 28
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
30 31
Supiana & M Karman, Ulumul, h. 240. Supiana & M Karman, Ulumul, h. 240-241.
201
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 193-202
an dalam membaca; menelaah, memahami, dan menghayati isi kandungannya; melaksanakan dengan sepenuh hati semua apa yang diperintahkannya; dan meninggalkan semua apa yang dilarangnya.
Al-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu alQur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004 Izzan, Ahmad, Ulumul Qur’an: Telaah Tekst-
Simpulan
Rifa’at Syauqi Nawawi & M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992 Shihab, Quraish, et. al, Sejarah dan Ulum alQur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001 Supiana & M Karman, Ulumul Qur’an dan
Nabi saw. memiliki beberapa orang sahabat khusus yang bertugas sebagai pencatat wahyu. Pencatatan wahyu tersebut dilakukan menggunakan alat-alat tulis sederhana, seperti di atas kulit, batu, pelepah kurma, tulangtulang unta dan domba yang telah keringkan. Faktor utama yang mendorong al-Qur’an ditulis di zaman Nabi saw untuk membukukan hapalan Nabi saw. dan para sahabatnya agar senantiasa terpelihara; dan untuk mempresentasikan wahyu agar lebih sempurna. Penulisan wahyu pada zaman Nabi saw dilakukan di hadapan Nabi saw. langsung, setelah sahabat mendapat perintah dan petunjuk darinya. Di masa Khalifah Abu Bakar al-Qur’an kodifikasi dan unifikasi al-Qur’an dilakukan atas usulan dan saran Umar bin Khattab. Di masa Dinasti Umayyah (Marwan bin alHakam 65 H), mushaf yang ditulis di masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq dimusnahkan atau dibakar. Hal itu dilakukan oleh khalifah Marwan untuk menghindari keragu-raguan umat Islam terhadap mushaf al-Qur’an Utsmani. Di abad ketiga Hijriyah Rasam Usmani mengalami perubahan atau pembaharuan.
ualitas dan Kontekstualitas Qur’an, Bandung: Tafakur, 2007
Pengenalan
Metodologi
al-
Tafsir,
Bandung: Pustaka Islamika, 2002 Syafe’i, Rachmat, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia, 2006
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Terj. Mudzakir AS, Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa, 2007 Anwar, Rosihan, Ulum al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2008
202
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pandangan Imam al-Ghazali tentang Pendidikan Akhlak, La Adu
PANDANGAN IMAM AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK DI LINGKUNGAN KELUARGA La Adu Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon Email :
[email protected]
Abstrak: Penilaian baik dan buruknya seseorang sangat ditentukan melalui akhlaknya. Akhirakhir ini kerusakan akhlak generasi muda tanpa kecuali para mahasiswa dan pelajar dengan segala jenis dan bentuknya adalah sebuah ancaman yang berbahaya tidak saja terhadap para pelakunya, tapi merupakan ancaman yang serius terhadap stabilitas sosial, ekonomi dan keamanan serta kesatuan bangsa. Untuk membentuk akhlak yang mulia, hendaknya penanaman akhlak terhadap anak digalakkan sejak dini, karena pembentukkannya akan lebih mudah dibanding setelah anak tersebut menginjak dewasa. Al-Ghazali merupakan seorang tokoh dan ulama besar yang memiliki corak pemikiran yang unik sebagaimana terlihat dari perkembangan pemikirannya. AlGhazali juga banyak mengulas tentang pendidikan akhlak. Lingkungan keluargalah menurut Al-Ghazali yang dominan dalam membina pendidikan akhlak, karena anak yang berusia muda dan kecil itu lebih banyak di lingkungan keluarga dari pada di luar. Keywords: Pendidikan Akhlak, Lingkungan Keluarga, Imam Al-Ghazali. Pendahuluan Dua tahun terakhir ini kerusakan akhlak tidak lagi sekedar tawuran, tetapi telah lebih parah lagi. Mahasiswa dan pelajar telah diracuni oleh narkoba. Banyak di antara mereka sudah sampai kepada kecanduan yang sulit diobati. Ini baru beberapa kerusakan akhlak yang telah terlanjur diekspos ke publik, belum kerusakan akhlak yang tersembunyi, terutama di kalangan pelajar. Kerusakan akhlak para pelajar dengan segala jenis dan bentuknya merupakan sebuah ancaman yang berbahaya tidak saja terhadap para pelakunya, tetapi merupakan ancaman yang serius terhadap stabilitas sosial, ekonomi dan keamanan serta kesatuan bangsa. Beberapa fenomena di atas kiranya cukup menjadi alasan yang kuat untuk melakukan reformasi pendidikan dalam berbagai bidang. Jika pendidikan di negara-negara maju yang telah memberikan banyak kontribusi positif untuk kehidupan manusia di seluruh dunia tidak lepas
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
dari pembaruan dari waktu ke waktu, pendidikan di Indonesia yang pada masa belakangan ini masih belum menemukan format yang produktif tentunya mendesak untuk diperbaharui. Pendidikan akhlak tidak terlepas dari pendidikan agama yang harus dilaksanakan dalam praktek hidup, pengalaman sehari-hari perlakuan dan percontohan.1 Urgensi pendidikan akhlak atau moral tetap menjadi persoalan yang perlu diperhatikan sehingga masyarakat Islam tidak terjebak pada pola-pola pendidikan modern yang hanya mengandalkan kemajuan-kemajuan yang bersifat rasional dan material belaka dengan mengesampingkan nilai-nilai yang bersifat moral.2 Pendidikan budi pekerti (akhlak/moral) harus menjadi jiwa dari pendidikan Islam. Mencapai budi pekerti yang sempurna tujuan 1
Zakiah Darajat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 2006. h. 24. 2 Virginia Held, Etika Moral Pembenaran Tindakan Sosial, Jakarta: Erlangga, 2001, h. 25
203
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 1203-212
sebenarnya dari pendidikan. Budi pekerti aspek fundamental dalam kehidupan seseorang, masyarakat maupun negara. Hal ini dipertegas oleh Harun Nasution bahwa tujuan utama dari ajaran-ajaran Islam membina manusia yang berbudi pekerti luhur, di samping berilmu.3 Di antara cendekiawan muslim yang mengedepankan pendidikan akhlak itu Imam AlGhazali. Ia seorang tokoh dan ulama besar yang memiliki corak pemikiran yang unik sebagaimana terlihat dari perkembangan pemikirannya. Mulanya Al-Ghazali mendalami ilmu kalam, tetapi karena ilmu ini dianggap tidak mampu mencapai kebenaran hakiki dia beralih mendalami filsafat. Al-Ghazali juga banyak mengulas tentang pendidikan akhlak. Tulisan ini mengungkapkan pandangan Imam Al-Ghazali tentang urgensi pendidikan akhlak di lingkungan keluarga. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali 1. Kelahiran dan Pendidikan Imam Al-Ghazali nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Tusi al Syafi’i.4 Ia mendapat gelar Imam Besar Abu Hamid Imam Al-Ghazali Hujjatul Islam. Imam Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H (1058 M) di sebuah kampung bernama Gazaleh (Ghazalah), Thus (Thusia), suatu kota di Khurasan, Persia, atau Iran sekarang.5 Kota Thus adalah salah satu kota di wilayah Khurasan yang senantiasa diwarnai oleh perbedaan paham keagamaan. Agama yang di anut oleh mayoritas penduduk adalah Islam aliran Sunni, namun di samping
itu banyak pula pemeluk Islam Syi’ah dan umat Kristiani. Dirunut dari garis keturunannya, Imam Al-Ghazali merupakan keturunan Persia dan mempunyai hubungan keluarga dengan rajaraja Saljuk yang memerintah daerah Khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia dan Ahwaz. Ayahnya bernama Muhammad seorang penenun dan memiliki toko tenun di kampungnya. Penghasilan ayahnya tergolong sangat kecil sehingga keluarganya hidup dalam keadaan kekurangan. Meskipun hidupnya miskin, ayahnya seorang pecinta ilmu bercita-cita tinggi. Ia seorang muslim saleh, yang taat menjalankan agama. Pola kehidupan dan semangat keagamaan dari sang ayah inilah yang turut mewarnai keluarga dan berpengaruh besar terhadap pola hidup dan pola pikir Al-Ghazali.6 Sepeninggal ayahnya, Al-Ghazali diasuh dan dibimbing oleh ibunya. Tentang pendidikan, sebelum meninggal dunia, sang Ayah sempat menitipkan kedua anaknya (seorang di antaranya adalah Muhammad, yang kemudian dijuluki Al-Ghazali), kepada sahabat karibnya seorang sufi bernama Ahmad bin Muhammad al-Razikani.7 Setelah itu, Al-Ghazali pergi ke Jurjan dan belajar pada Imam Abu Nasr al-Isma’ili. Dari Jurjan Imam Al-Ghazali kembali ke Thus dan terus pindah ke sebuah kota bernama Naisabur. Di kota ini Al-Ghazali memasuki Sekolah Tinggi Nizhamiyah, dan di sinilah ia bertemu yang selanjutnya berguru dan bergaul dengan Imam Haramain. Imam al-Haramain bernama lengkap Abi al-Ma’ali al-Juwaini (w. 1016 M) merupakan ahli fikih Syafi’iah pada waktu itu.8 Guru Al-Ghazali tersebut dipercaya oleh Perdana Menteri Nizamul Mulk
3
Harun Nasution, Perlunya Menghidupkan Kembali Pendidikan moral”, dalam Pendidikan Agama dalam Perspektif Agama-agama, Yogyakarta: tp, 2009, h. 7. 4 Zaenal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, 2005. h, 28. 5 Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam: Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, Cet. I, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 2003, h 49.
204
6
Zainuddin dkk., Seluk-Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, 2001 h. 7. 7 Abdul Kholiq, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, h. 84. 8 Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, Cet. I, Yogyakarta: Al Amin Press, 2007, h. 79.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pandangan Imam al-Ghazali tentang Pendidikan Akhlak, La Adu
untuk menjadi Rektor/ Presiden dari Madrasah Nizhamiyah di Naisabur. Kepada Imam alHaramain inilah Al-Ghazali diakui dapat mengimbangi keahlian gurunya. Kepada Imam alHaramain ini, Al-Ghazali belajar ilmu kalam, ilmu ushul, madzab fikih, retorika, logika, tasawuf dan filsafat.9 Sejak kecil, Al-Ghazali dikenal sebagai seorang anak pencinta ilmu pengetahuan dan gandrung mencari kebenaran hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa nestapa serta dilamun sengsara.10 Berbekal ilmu yang telah dimilikinya, Al-Ghazali memulai karirnya dari dunia pendidikan. Al-Ghazali mulai terjun ke dunia pendidikan sebagai pendidik dan memuncak kepada profesi pemikir. Di tahun 475 H., dalam usia 25 tahun Al-Ghazali mulai menjadi dosen di Universitas Nizhamiyah di Naisabur, di bawah pimpinan gurunya Imam Haramain yang juga pendidik di universitas tersebut. Al-Ghazali dipercayai oleh gurunya untuk mengganti kedudukannya sebagai Maha Guru maupun sebagai rektor. Hal itu telah mengangkat namanya begitu tinggi.11 Setelah gurunya wafat beliau meninggalkan kota Naisabur menuju ke sebuah kota bernama “al-Askar” yang letaknya tidak jauh dari kota Naisabur. Di tempat ini Al-Ghazali bertemu dengan Wazir Nizamul Mulk, Wazir dari Sultan Malik Syah al-Saljuqi. Di waktu itu, beberapa ulama terkemuka bersama-sama dengan Wazir. Dalam kesempatan ini mereka bersepakat mengadakan tukar pikiran, diskusidiskusi ilmiah dengan Al-Ghazali. Dalam pertemuan-pertemuan ilmiah tersebut tampak keunggulan dan kelebihan Imam Al-Ghazali. Perdana menteri Nizam Al-Mulk tertarik pada kealiman Al-Ghazali kemudian mengangkatnya menjadi Guru Besar di Madrasah 9
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, h. 11. 10 Zainuddin dkk., Seluk-Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, 2001, h. 9. 11 Zainuddin dkk., Seluk-Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, h. 11.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Nizhamiyyah, yang didirikan Nizam Al-Mulk di Baghdad di tahun 484 H/1095 M,12 suatu universitas yang mahasiswanya kebanyakan para ulama. Di masa itu, Baghdad menjadi terkenal sebagai kota ilmu pengetahuan yang didatangi mahasiswa dari segenap penjuru negeri.13 Imam Al-Ghazali yang di mata raja merupakan gunung ilmu yang tinggi itu, oleh Raja Saljuk Malik Syah diberi tempat tinggal di apartemen istana kerajaan yang mewah, dan diberi gaji yang banyak sebagai Mufti kerajaan Saljuk. Raja memberinya jubah kenegaraan sehingga pengaruh Imam Al-Ghazali melebihi para amir dan menteri. Pekerjaan itu kemudian ditinggalkannya di tahun 488 H, untuk menuju Damsyik dan di kota ini ia merenung, membaca dan menulis selama kurang lebih dua tahun, dengan tasawuf sebagai jalan hidupnya.14 Dari kota Damsyik ia pindah ke Palestina di tahun 490 H/1098 M. Di sini pun ia tetap merenung, membaca dan menulis dengan mengambil tempat di Masjid Baitu Maqdis. Setelah itu bergerak hatinya untuk menunaikan ibadah haji dan pulang ke negeri kelahirannya hingga wafat. Namun, sebelum kewafatannya, Fakhr Al-Mulk, Putra Nizam AlMulk, dan wazir Sanjar, penguasa Saljukiah di Khurasan, menekan Al-Ghazali untuk kembali ke kerja akademik. Dia menyerah atas peneka-nan itu dan Al-Ghazali pun mengajar lagi di Nizamiyah di Naisabur. Selang berapa lama Al-Ghazali kembali berhenti mengajar dan kembali ke Thus.15 Dari sini Al-Ghazali con-
12
M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, alih bahasa Hamzah, Bandung: Mizan, 2002, h. 28. 13 Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, Cet. I, Yogyakarta: Al Amin Press, 2007, h. 80. 14 A. Hanafi, Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2006, h. 197. 15 M. Amin, Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, alih bahasa Hamzah, Bandung: Mizan, 2002, h. 29.
205
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 1203-212
cern dengan profesi kependidikannya, sebagai pendidik dan sebagai pemikir. Setelah mengabdikan diri untuk ilmu pengetahuan dalam kurun waktu berpuluh-puluh tahun dan setelah memperoleh kebenaran yang hakiki akhir hidupnya, Al-Ghazali meninggal dunia di Thus pada 14 Jumadil Akhir 505 H/ 19 Desember 1111 M, di hadapan adiknya, Abu Ahmadi Mujidduddin. Di masa-masa akhir kehidupannya beliau menempuh jalan sufi. 2. Karya-Karya Ilmiah Imam Al-Ghazali Al-Ghazali merupakan seorang pemikir besar, yang banyak melahirkan karya tulis. Penguasaan atas ilmu-ilmu yang dimilikinya, dibuktikan secara kuat lewat buku yang telah ditulisnya. Sebagai seorang intelektual produktif, Al-Ghazali banyak menuliskan karyakarya ilmiah. Karya-karya sang imam berjumlah kurang lebih 134 judul. Karya-karya ilmiah Imam Al-Ghazali tersebut terdapat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan antara lain: tasawuf, akhlak, filsafat, fikih, tafsir, ushul fikih, bidang ilmu kalam, otobiografinya dan lain-lain. Kitab Ihya' 'Ulum al Din merupakan karya emas Al-Ghazali yang memadukan pemikiran fiqhiyah dengan pemikiran tasawuf dalam satu gagasan yang utuh. Karena spesifiknya karya ini para sarjana kontemporer menyebutnya sebagai kitab Fiqih Sufistik. 16 Pendapat lain tentang hasil karya ilmiah Imam Al-Ghazali sebagaimana dikemukakan oleh Asmaran As, dengan mengutip pendapat Al Zabidi sang kritikus kitab Ihya' menuturkan bahwa jumlah karya tulis Al-Ghazali tidak kurang dari 89 kitab. Sampai sekarang tetap terjadi simpang siur mengenai berapa banyak jumlah karya ilmiah beliau. Di sisi lain, kesimpangsiuran itu justru semakin mempertegas bahwa beliau memang tokoh intelektual produktif membuat karya ilmiah. 16
M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan
Kant, 2002, h. 1.
206
Pemikiran Imam Al-Ghazali tentang Pendidikan Akhlak di Lingkungan Keluarga 1. Konsep Pendidikan Akhlak Keluarga adalah ikatan laki-laki dan perempuan berdasarkan hukum atau undang-undang perkawinan yang sah. Di dalam keluarga ini lahirlah anak-anak dan terjadi interaksi pendidikan. Para ahli pendidikan umumnya menyatakan pendidikan di lembaga ini pendidikan pertama dan utama karena di lembaga ini anak mendapatkan pendidikan pertama kalinya. Di samping itu, pendidikan dalam (keluarga) berpengaruh terhadap kehidupan peserta didik di kemudian hari.17 Keluarga satu-satunya situasi yang pertama dikenal anak, baik prenatal maupun postnatal. Ibulah yang pertama kali dikenalnya. Kedekatan ibu dengan anaknya terutama di masa-masa bayi merupakan sesuatu yang alamiah, yang dimulai dari proses reproduksi sampai dengan penyusuan dan pemeliharaan bayi.18 Tidak berlebihan kenyataan kalau dikatakan ibulah yang mewarnai anak-anaknya. Namun, bukan berarti peran ayah dalam pendidikan anak terabaikan sama sekali. Ayah dalam banyak hal dapat mengambil peran langsung dalam mendidik anak dalam lingkungan keluarga. Bimbingan akan akhlak anak dalam bersikap, bertindak, dan berkomunikasi bisa dilakukan langsung oleh sang ayah, antara lain dengan memberikan contoh secara terus menerus dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan ibu-ayah dan anak-anaknya berlandaskan kasih sayang direalisasikan dalam bentuk memenuhi segala kebutuhannya baik secara rohani, misalnya; perlindungan, belaian, pelukan, juga kebutuhan jasmaninya, 17
Zakaria Teuku Ramli, Pendidikan Budi Pekerti, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 021, Tahun ke-5, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional, Januari 2000, h. 99. 18 Fuaduddin TM, Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islam,. Cet. I Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 2009, h. 22.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pandangan Imam al-Ghazali tentang Pendidikan Akhlak, La Adu
misalnya: pakaian, makanan, alat permainan, alat-alat sekolah, dan alat-alat yang diperlukan dalam masa puber. Kasih sayang yang diterimanya dari orang tuanya menimbulkan rasa aman pada anak. Rasa aman ini sangat penting bagi perkembangan anak. Anak dapat mengembangkan bakat-bakatnya, anak dapat memupuk hobinya, sebaik-baiknya dan seluasluasnya tanpa gangguan rasa takut. Karena semua kebutuhannya telah dipenuhi orang tuanya.19 Berkaitan dengan pendidikan akhlak, keluarga berperan penting dalam pendidikan akhlak bagi anak-anak. Mereka mendapatkan pengaruh atas segala tingkah lakunya. Keluarga harus dapat mengajarkan nilai dan faedah berpegang kepada akhlak sejak kecil, sebab manusia itu sesuai dengan sifat asasinya menerima nasehat jika datangnya melalui rasa cinta dan kasih sayang, sedangkan ia menolaknya jika disertai dengan kekasaran.20 Hal ini bersesuaian dengan firman Allah swt: “Jika
Engkau (hai Muhammad) bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali-Imran (3): 159). Upaya penerapan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses pendidikan akhlak baik dalam keluarga, maupun dalam masyarakat. Metode aktivitas orang tua akan menjadi panutan bagi putra-putrinya. Akhlak yang mulia sebagaimana dikemukakan para ahli bukanlah terjadi dengan sendirinya, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama lingkungan keluarga, pendidikan, dan masyarakat umumnya. Pembinaan akhlak putera-puteri terletak pada kedua orang tua. Hal ini ini antara lain yang dilakukan oleh Luqmanul Hakim terhadap putera-puterinya, sebagaimana dinyatakan dalam surat Luqman
ayat 12 sampai dengan 19. Inti ajaran akhlak dalam ayat-ayat tersebut: 1) larangan menyekutukan allah; 2) memuliakan kedua orang tua; 3) merasa diawasi oleh Allah; 4) mengerjakan salat; 5) menyuruh manusia berbuat baik dan mencegah berbuat munkar. 2. Pandangan Al-Ghazali tentang Urgensi Pendidikan akhlak di Lingkungan Keluarga Mengenai pendidikan akhlak, keluarga memegang peranan penting sekali, karena dengan keluarga anak-anak mula-mula sekali berinteraksi dengannya. Anak mendapat pengaruh dari padanya atas segala tingkah lakunya, keluarga harus mampu mengajari mereka akhlak yang mulia, yang diajarkan Islam, seperti kebenaran, kejujuran, keikhlasan, kesabaran, kasih sayang, cinta, kebaikan pemurah dan lain-lain. Pentingnya akhlak ini, tidak hanya bagi diri sendiri bahkan akhlak anak itu menentukan eksistensi suatu bangsa.21 Manusia dalam menerima pendidikan, memiliki bermacam-macam tingkatan berbeda; ada yang kasar, ada yang pemalu, pemarah, lemah lembut, ada yang cepat tanggap, ada yang tidak cepat tanggap, dan lain-lain. Perbedaan ini dapat dilihat pula pada orangorang dewasa dalam menerima didikan budi pekerti utama. Perbedaan tabiat tersebut jika diabaikan akan berkembang secara alamiah sesuai dengan tabiat yang dimilikinya. Dari sini kemudian Al-Ghazali memandang perlunya pendidikan (agama/ akhlak). Agamalah yang dapat meluruskan anak-anak dan dapat mendidik mereka dengan perilaku terpuji dan memersiapkan jiwa mereka untuk dapat menerima kebajikan. Di pundak orangtua pendidikan agama (akhlak) ini. Dengan berbagai upaya, kalau perlu bahkan memergunakan sanksi hukuman. Al-Ghazali memerkenalkan sanksi
19
Koestoer Partowisastro, Dinamika Psikologi Sosial, Cet. I., Jakarta: Erlangga, 2003, h. 51. 20 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Cet. III., Jakarta: Al Husna Zikra, 2005, h. 374.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
21
Zakiah Darajat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 2006, h. 9.
207
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 1203-212
dan balas jasa dalam pembinaan mental anak.22 Jika dipahami bahwa agama akhirnya menuju kepada penyempurnaan berbagai keluhuran budi, pendidikan akhlak itu menjadi suatu hal penting dalam pendidikan Islam. Anak-anak muslim harus mendapatkan pendidikan ini dari orang tuanya, sebab kalau tidak, anak akan menjadi nakal dan tidak akan memiliki akhlak (budi pekerti) yang luhur.23 Peran orang tua dalam mendidik anak melalui pendidikan keagamaan yang benar penting. Di sini yang ditekankan pendidikan dari orang tua bukan “pengajaran.” Sebagian usaha pendidikan itu memang dapat dilimpahkan kepada lembaga pendidikan atau orang lain, seperti kepada sekolah dan guru agama misalnya. Namun, dapat dilimpahkan kepada lembaga atau orang lain terutama hanyalah pengajaran agama yang berwujud latihan dan pembelajaran membaca bacaan-bacaan keagamaan termasuk membaca Al-Qur’an. Islam agama yang memerhatikan masalah pendidikan akhlak. Petunjuk kitab suci maupun sunnah Nabi dengan jelas menganjurkan kepada para pemeluknya untuk meningkatkan kecakapan dan akhlak generasi muda. Pendidikan akhlak merupakan sebuah investasi manusia untuk masa depan dengan membekali generasi muda budi pekerti luhur. AlQur’an mengingatkan agar semua orang memelihara diri sendiri dan keluarga dari azab api neraka, dengan menanamkan taqwa kepada Allah SWT dan budi pekerti yang luhur: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. AtTahrim (66): 6.) Keterangan tersebut menunjukkan Islam menyerukan kepada orang tua untuk memikul
tanggung jawab terhadap anak-anak mereka. Islam telah membebani para bapak dan ibu suatu tanggung jawab yang sangat besar di dalam mendidik anak-anak dan mempersiapkan mereka dengan persiapan yang sempurna untuk menanggung beban hidup mereka. Penghianatan dan penyepelean terhadap tanggung jawab tersebut, diancam dengan azab yang berat seperti keterangan ayat tadi.24 Berkaitan dengan itu, Al-Ghazali menegaskan bagaimanapun bapak itu menjaga anak dari api neraka lebih utama dari pada menjaganya dari api dunia. Untuk itu menurut Al-Ghazali sang orang tua (keluarga) harus memberikan pendidikan akhlak kepada anak-anaknya agar terhindar dari apa yang diterangkan Al-Qur’an tersebut.25 Pendapat Al-Ghazali tentang keharusan keluarga memberikan pendidikan akhlak sejalan dengan keterangan yang bersumber dari Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Ajarkanah
kebaikan (etika dan moral) kepada anak-anak kamu (laki-laki dan perempuan) dan keluargamu (isteri atau suami) dan didiklah mereka (pendidikan, olah pikir).” (Hadis Riwayat Abdur Razzaq dan Sa'id Ibn Mansur. Lihat juga Fuaduddin TM, Pengasuhan Anak, hlm. 20-21). Target dari pendidikan akhlak anak didik terbiasa dengan tatanan nilai dalam perilakunya, sehingga selalu dapat mengendalikan diri berpikir sebelum bertindak sehingga anak didik dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Pendidikan akhlak dapat dilakukan dengan menetapkan pelaksanaan pendidikan agama baik di rumah, di sekolah maupun masyarakat. Zakiah Daradjat mengatakan, jika kita ambil ajaran agama, akhlak penting, bahkan yang terpenting, kejujuran, kebenaran, keadilan dan pengabdian di antara sifat-sifat
22
Fathiyyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran dalam Pendidikan: Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali, alih bahasa Agil Husain Al-
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, alih bahasa Jamaluddin Miri, Cet. ke-III,
Munawar dan Hadri Hasan, Semarang: Dina Utama, 2003, h. 61. 23 Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 2009, h. 4.
Jakarta: Pustaka Amani, 2002, h. 149. 25 Abu Hamid Al-Ghazali, Ihyā' Ulūmuddīn, Jilid III dan IV, alih bahasa Ismail Ya'kub, Surabaya: Faisan, 1964, h. 193.
208
24
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pandangan Imam al-Ghazali tentang Pendidikan Akhlak, La Adu
yang terpenting dalam agama. Hal ini sejalan pula dengan pendapat Fazlur Rahman dalam karyanya, Islam. Di situ ia mengatakan bahwa agama adalah akhlak yang bertumpu pada kepercayaan kepada Allah (hablum minallah), dan keadilan sosial (hablum minannas).26 Imam Al-Ghazali memahami hakekat pendidikan sebagai proses saling memengaruhi antara fitrah manusia dengan lingkungan yang mengelilinginnya.27Pandangan tersebut didasarkan pada pandangannya tentang alam. AlGhazali membagi alam menjadi dua bagian, alam yang diciptakan secara sempurna dan tidak bisa diubah dan dialihkan, seperti bintang-bintang di langit dan organ-organ tubuh dan kedua alam yang diciptakan tidak sempurna dan dapat dialihkan. Contoh untuk kedua ini perangai manusia. Al-Ghazali juga menjelaskan bahwa penyempurnaan dan pengalihan ini bukan berarti mengubah perangai manusia secara total dengan cara memaksakan. Al-Ghazali menyadari pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan dan perkembangan pribadi anak termasuk akhlak anak. Imam Al-Ghazali juga merupakan tokoh yang berpandangan bahwa akhlak atau tingkah laku manusia itu dapat dibentuk dengan metode tertentu. Pandangannya ini berangkat dari pemikirannya yang menyatakan penolakan terhadap teori heriditas, teori yang menyatakan bahwa tingkah laku seseorang banyak dipengaruhi keturunan. Menurut Imam AlGhazali pengaruh keturunan terhadap akhlak seseorang itu ada, tetapi hanya sedikit, yang lebih banyak memengaruhi faktor pendidikan, faktor lingkungan dan masyarakat.28 26
Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa Senoaji Saleh, Cet. I., Jakarta: Bina Aksara, 2007, h. 86. 27 Fathiyyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran
dalam Pendidikan: Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali, alih bahasa Agil Husain AlMunawar dan Hadri Hasan, Semarang: Dina Utama, 2003, h. 18. 28 Ali Al Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, alih bahasa M. Arifin, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, h. 147.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Berkaitan dengan lingkungan pendidikan, Al-Ghazali tidak menyebutkan secara eksplisit tentang tempat atau lembaga apa yang bertanggung jawab terhadap pembentukan akhlak. Namun, lingkungan bagi Al-Ghazali merupakan faktor penting dalam pencapaian tujuan pendidikan akhlak. Lingkungan pendidikan berfungsi sebagai tempat transfer nilai, transfer ilmu pengetahuan dan tempat berinteraksi yang dapat saling memengaruhi dalam pembentukan akhlak. Berkaitan dengan pendidikan akhlak dalam keluarga, Al-Ghazali menilai anak amanah Allah yang harus dijaga dan dididik untuk mencapai keutamaan dalam hidup dan mendekatkan diri kepada Allah. Semua bayi yang dilahirkan di dunia ini bagaikan sebuah mutiara yang belum diukur dan belum berbentuk amanat bernilai tinggi. Kedua orang tuanya yang akan mengukir dan membentuknya menjadi mutiara yang berkualitas tinggi dan berakhlak mulia. Ketergantungan anak kepada pendidiknya termasuk kepada orang tuanya akan tampak sekali. Kedekatan ayah ibu (orang tua) dengan anak, jelas memberikan pengaruh yang paling besar dalam proses pendidikan (pembentukan) akhlak, dibanding pengaruh yang diberikan oleh komponen pendidikan lainnya.29 Al-Ghazali menegaskan bahwa tiap-tiap anak itu dilahirkan, dalam keadaan kelurusan, sehat kejadiannya (fitrah)nya. Ibu-bapaknya yang membuatnya menjadi Yahudi atau Nasrani atau Majusi. Lebih spesifik, di dalam Ihyā’ Ulūmuddīn pada bahasan tentang cara melatih budi pekerti yang baik pada anak AlGhazali mengatakan: “Ketahuilah, bahwa cara melatih anak itu penting dan amat perlu. Anak mutiara yang berharga bagi kedua orang tuanya. Hati yang suci mutiara yang berharga, halus, dan bersih dari ukiran dan gambaran. Ia menerima semua yang diukir padanya. 29
Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihyā' Ulūmuddīn, Jilid III dan IV, alih bahasa Ismail Ya'kub, Surabaya: Faisan, 1964, h. 128.
209
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 1203-212
Betapa besar pengaruh lingkungan yang bukan hanya terbatas pada unsur manusia, tetapi unsur makanan. Menanggapi hal ini, AlGhazali mengatakan bahwa hendaklah anak diawasi dari awal kelahirannya, tidak diserahkan kepada wanita sembarangan (tidak saleh) untuk menyusuinya. Anak harus diserahkan kepada wanita yang saleh, beragama dan makan makanan yang halal untuk diasuh dan disusui. Karena susu yang bersumber dari yang haram, tidak berberkah. Apabila pertumbuhan anak itu terjadi dari susu yang demikian, niscaya melekatlah kejadiannya dari yang keji. Perilakunya condong kepada yang bersesuaian dengan yang keji-keji itu.30 Pendidikan akhlak dalam keluarga menurut Al-Ghazali besar pengaruhnya terhadap budi pekerti anak ke depannya sehingga menurutnya bukan saja orang yang tidak punya cacat budi pekerti yang bisa dikembangkan dan dibentuk. Anak yang berakhlak buruk bisa diubah melalui pendidikan akhlak terlebih dalam lingkup keluarga. Al-Ghazali menunjukkan suatu cara memerbaiki akhlak anak yang buruk melalui pendidikan. Di dalam Ihyā’ Ulūmuddīn ia menegaskan: “Anak itu jika disia-siakan pada permulaan pertumbuhannya, niscaya menurut kebanyakan, anak itu keluar dengan buruk akhlak, pendusta, pendengki, suka meminta-minta, banyak perkataan sia-sia, suka tertawa, menipu dan banyak senda gurau. Yang demikian itu, dapat dijaga dengan baiknya pendidikan, disibukkan (dimasukkan) ia ke madrasah. Di sana ia memelajari Al-Qur’an dan hadis-hadis yang mengandung cerita-cerita, riwayat dan hal-ihwal orang baik-baik agar tertanam dalam jiwanya kecintaan kepada orang-orang shalih. Sebelum anak dapat berpikir logis dan memahami hal yang abstrak atau belum memahami mana yang baik dan mana yang buruk dengan jelas (tamyiz). Latihan dan kebiasaan 30
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihyā' Ulūmuddīn, Jilid III dan IV, alih bahasa Ismail Ya'kub, Surabaya: Faisan, 1964, h. 198.
210
(habit forming) berperan dominan dalam pembinaan akhlak anak, karena masa itu saat yang tepat untuk menanamkan dasar akhlak yang mulia. Lagi-lagi keluargalah yang memegang peranan untuk ini. Al-Ghazali menganjurkan agar dalam pembinaan akhlak anak dilakukan dengan cara latihan-latihan dan pembiasaan-pembiasaan yang sesuai dengan perkembangan jiwa dan akalnya. Hal ini seakan-akan dipaksakan agar anak itu terhindar dari kebiasaan yang menyesatkan.31 Pembiasaan dan latihan akan membentuk sikap tertentu pada anak, yang lambat laun sikap itu akan bertambah jelas dan kuat.32 Al-Ghazali, lebih jauh berpandangan pendidikan akhlak harus diajarkan dalam keluarga agar anggota keluarga terutama anak terhindar dari apai neraka, kemudian anak tersebut harus dijaga dari pergaulan yang jahat serta jangan dibiasakan mewah. Pandangan Al-Ghazali ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat At-Tahrim (66) ayat 6 tentang perintah Allah agar memelihara keluarga dari neraka, yang dicantumkannya dalam Ihyā’ Ulūmuddīn. Berkaitan dengan hal itu, Al-Ghazali beranggapan bahwa melatih anak-anak untuk berakhlak yang baik, pada dasarnya tanggung jawab orang tua mereka. Al-Ghazali menekankan dalam pendidikan akhlak anak dengan melindungi mereka dari pergaulan buruk, karena hal tersebut merupakan dasar (ashl) latihan bagi anak-anak untuk berakhlak yang baik. Pengetahuan tentang manfaat dan mudarat dari sifat-sifat baik dan buruk bagi akhirat tidak relevan dalam latihan moral di masa kanak-kanak, karena akal mereka belum bisa memikirkan hal itu. 33 31
Zainuddin dkk., Seluk-Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, 2001, h. 107. 32 Abu Hamid Al-Ghazali, Ihyā' Ulūmuddīn, Jilid III dan IV, alih bahasa Ismail Ya'kub, Surabaya: Faisan, 1964, h. 193. 33 M. Abul Quasem dan Kamil, Etika Al-Ghazali: Etika Majemuk Di dalam Islam, Bandung: Pustaka, 2008, hlm. 103.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pandangan Imam al-Ghazali tentang Pendidikan Akhlak, La Adu
Al-Ghazali berpandangan, lingkungan keluarga dominan dalam pembentukan akhlak al-karimah. Keluarga berperan penting dalam pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak urgen dalam lingkungan keluarga. Simpulan Al-Ghazali menekankan akhlak dalam sistem pendidikan karena tujuan pendidikan agama itu pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak menurut Al-Ghazali suatu proses pembentukan manusia yang memiliki jiwa yang suci, kepribadian yang luhur yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sumber pendidikan akhlak menurut Al-Ghazali wahyu (Al-Qur'an dan Hadis) dengan perantara bimbingan yang ketat dari guru pembimbing rohani (syaikh). Materi pendidikan akhlak AlGhazali mementingkan ilmu-ilmu yang bertalian dengan agama walaupun tidak mengesampingkan ilmu pengetahuan umum lainnya. Pendidikan akhlak tonggak pertama perubahan masyarakat. Bagi Al-Ghazali pendidikan akhlak atau pendidikan budi pekerti luhur yang berdasarkan agama inilah yang harus dimulai di lingkungan rumah tangga. Di lingkungan keluarga dimulai pembinaan kebiasaan-kebiasaan baik dalam diri anak-anak. Lingkungan rumah tanggalah dominan dalam membina pendidikan akhlak, karena anak yang berusia muda dan kecil itu lebih banyak di lingkungan rumah tangga dari pada di luar.
DAFTAR PUSAKA
Abdullah, M. Amin, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, alih bahasa Hamzah, Bandung: Mizan, 2002. Abdullah, Mansur Thoha, Kritik Metodologi
Hadis Tinjauan Atas Kontroversi Pemi-
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
kiran Imam Al-Ghazali, Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2003. Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihyā' Ulūmuddīn, Juz III, Beirut: Dārul Kitabil Islamiy, t.t. _______, Ihyā' Ulūmuddīn, Jilid III dan IV, alih bahasa Ismail Ya'kub, Surabaya: Faisan, 1964. _______, Mizan al-'Amal, alih bahasa A. Musthofa, cet. I, Jakarta: Rineka Cipta, 1995. _______,Mukhtashar Ihyā' Ulūmuddīn, alih bahasa Irawan Kurniawan, Cet. II, Bandung: Mizan, 2007. Al Jumbulati, Ali, Perbandingan Pendidikan Islam, alih bahasa M. Arifin, Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Amien, Miska Muhammad, Epistemologi
Islam: Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, cet. I, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 2003. Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: Rajawali Press dan LSIK, 2002. _______, Pengantar Studi Tasawuf, cet. I Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004. Azra, Azyurmardi, Pendidikan Islam, Tradisi
dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos, 2009. Boediono dkk., Pengkajian dan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Budi Pekerti, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 021, Tahun ke-5., Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional, Januari 2000. Darajat, Zakiah, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 2006. Fadjar, Malik, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 2009. Fuaduddin TM, Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islam, cet. I Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 2009. Hanafi, A., Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2006. Held, Virginia, Etika Moral Pembenaran Tindakan Sosial, Jakarta: Erlangga, 2001.
211
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 1203-212
Kholiq, Abdul, dkk., Pemikiran Pendidikan
Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Madjidi, Busyairi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, Cet. I, Yogyakarta: Al Amin Press, 2007. Nasution, Harun, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution, Bandung: Mizan, 2008. _______, Perlunya Menghidupkan Kembali Pendidikan moral”, dalam Pendidikan Agama dalam Perspektif Agama-agama, Yogyakarta: tp, 2009. Nasution, Muhammad Yasir, Manusia Menurut Al-Ghazali, cet. I, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006. Partowisastro,Koestoer, Dinamika Psikologi Sosial, cet. I., Jakarta: Erlangga, 2003. Quasem, M. Abul dan Kamil, Etika Al-
Zakaria, Teuku Ramli, Pendidikan Budi Pekerti, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 021, Tahun ke-5, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional, Januari 2000. Zurayk, Ma'ruf, Aku dan Anak, Bimbingan Praktis Mendidik Anak Menuju Remaja, alih bahasa M. Syaifuddin dkk., Bandung: Al-Bayan, 2005.
Ghazali: Etika Majemuk Di dalam Islam, Bandung: Pustaka, 2008. Rahim, Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 2001. Rahman, Fazlur, Islam, alih bahasa Senoaji Saleh, Cet. I., Jakarta: Bina Aksara, 2007. Rusn, Abidin Ibnu, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Said, M., Imam Al-Ghazali tentang: Falsafah Akhlak, cet. ke-5, Bandung: AlGhazalil-Ma'arif, t.t. Sulaiman, Fathiyyah Hasan, Aliran-aliran
dalam Pendidikan: Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali, alih
bahasa Agil Husain Al-Munawar dan Hadri Hasan, Semarang: Dina Utama, 2003. Ulwan, Abdullah Nasih, Pendidikan Anak dalam Islam, alih bahasa Jamaluddin Miri, Cet. ke-3, Jakarta: Pustaka Amani, 2002. Zainuddin dkk., Seluk-Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, 2001.
212
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pembelajaran Insya dengan Media Strip Story, Hayati Nufus
PEMBELAJARAN INSYA (KITABAH) DENGAN MEDIA STRIP STORY Hayati Nufus Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon Email :
[email protected]
Abstrak: Pembelajaran bahasa Arab seringkali tidak membuat pembelajar tertarik dan ingin lebih banyak memahami, hal ini terjadi karena pembelajaran cenderung monoton dan kaku, sehingga pembelajaran merasa bosan dan tidak bergairah. Melihat kondisi seperti ini para pengajar seharusnya berinisiatif untuk melakukan pembelajaran dengan menarik, salah satunya adalah dengan penggunaan media.media yang dipilih pun sebaiknya yang Interaktif dan membuat pembelajar aktif da kreatif sehingga pembelajaran menjadi menyenangkan. Strip strory merupakan salah satu media yang ditawarkan oleh pakar bahasa dunia untuk mengajak pembelajar lebih fun dan tertarik dalam pembelajarn bahasa. Strip story dipilh karena media ini selain menarikdan membuat pembelajar kreatif karena pembuatannyapun sangat mudah dan murah. Media ini sangat membantu pengajar untuk melatih kemampuan berbahasa pembelajar khususnya pada keterampilan menulis (insya). Kata Kunci: Media Pembelajaran, Strip Story. Pendahuluan Bahasa Arab merupakan salah satu mata pelajaran/mata kuliah yang menempati posisi penting dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kedua Institusi penyelenggara pendidikan di Indonesia yaitu negeri dan swasta, pada jenjang dan program studi tertentu semuanya mengajarkan bahasa Arab sebagai bagia dari mata pelajaran/mata kuliah yang harus diajarkan sejajar dengan mata pelajaran/matakuliah lainnya, terlebih di lembaga pendidikan Islam, bahasa Arab merupakan keniscayaan untuk diajarkan kepada peserta didik.1 Tujuan pembelajaran bahasa Arab di Indonesia, selain untuk lebih memahami syariat Islam (al-Quran), diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi dengan bahasa Arab. Di beberapa lembaga pendidikan Islam Indonesia
sudah mulai digalakkan penggunaan bahasa Arab sejak dini, terbukti dengan diajarkannya bahasa Arab pada jenjang pendidikan dini mulai dari Taman Kanak-kanak dan Madrasah Ibtidaiyyah yang digunakan sebagai landasan untuk jenjang selanjutnya.2 Seiring dengan tujuan pembelajaran bahasa Arab tersebut maka pembelajar/peserta didik diharapkan mampu memahami dan mengembangkan pertama, unsur-unsur kebahasaan yang meliputi tata bahasa (Qawa’id), kosa kata (mufradat), pelafalan dan ejaan (ashwat ‘arabiyyah). Kedua, beberapa keterampilan berbahasa, seperti keterampilan menyimak (istima’), berbicara (kalam), membaca (qiraah), dan menulis (kitabah). Ketiga, aspek budaya yang terkandung dalam teks lisan dan tulisan.3 2
1 Abdul Hamid dkk., Pembelajaran bahasa Arab, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 158.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Hasil penelitian penulis pada beberapa TK dan MI yang ada di Kota Ambon, 2015. 3 Abdul Hamid dkk., Pembelajaran bahasa Arab, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 160.
213
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 213-220
Empat keterampilan berbahasa ditambah dengan unsur-unsur bahasa dan budaya hendaknya diajarkan kepada pembelajar dengan cara yang bervariasi, tidak monoton agar tidak ada kejenuhan dalam proses pembelajaran. Diharapkan pengajar menguasai materi, kaya dengan pengalaman, menguasai metode dan teknik pembelajaran dan mengetahui ketepatan antara metode dan media yang digunakan. Azhar Arsyad mengatakan dalam proses pembelajaran metode dan media merupakan dua unsur penting, karena pemilihan metode pembelajaran akan menentukan media yang digunakan, demikian sebaliknya.4 Hal ini dibutuhkan karena kendala yang dihadapi dalam proses pembelajaran tingkat pemahaman pembelajar yang berbeda. Misalnya pada pembelajar usia dini (TK, MI) mereka masih membutuhkan pengenalan tentang apa itu membaca dan kegunaannya, pengenalan terhadap kosa kata yang ada disekitarnya maupun yang baru serta bagaimana membiasakan diri untuk mengutarakan keinginan. Untuk itu pengajar harus mengupayakan kondisi yang kondusif untuk memperkenalkan dan menggunakan bahasa Arab di kelas dan sekolah.5 Pencapaian tujuan pembelajaran tersebut terkadang menghadapi persoalan yang serius dan kompleks. Diantaranya masih saja ada guru atau pengajar yang tidak profesional dan pemilihan materi yang kurang memadai. Dari faktor guru, masih ada guru bahasa Arab yang bukan berlatar belakang pendidikan guru bahasa Arab.6 Sedangkan dari faktor materi menurut Asrori terdapat empat macam buku teks yang digunakan dalam pembelajaran bahasa Arab memiliki kelemahan-kelemahan sebagai berikut, (1) tidak sesuai dengan kuri-
kulum, (2) kalimat tidak kontekstual, (3) over kaidah, (4) sekedar memenuhi pola struktur, (5) tidak bergambar, (6) mengenalkan istilah tata bahasa (qawa’id), (7) menggunakan penerjemahan sebagai model.7 Faktor-faktor ini yang menyebabkan peserta didik sulit untuk memahami pembelajaran bahasa Arab dengan mudah dan cepat, padahal seharusnya pembelajaran memerhatikan kebutuhan peserta didik bahasa Arab tersebut baik lisan maupun tulisan sehingga guru tidak terjebak pada teoriteori kebahasaan yang menyulitkan peserta didik Berdasarkan hal tersebut, pengajar sejatinya memahami apa yang harus dilakukan? Pengajar berperan penting dalam menentukan kualitas pembelajaran. Kualitas pembelajaran tersebut ditentukan oleh pemilihan strategi pembelajaran yang menyenangkan dan tepat sehingga pembelajaran benar-benar dinikmati oleh peserta didik.8 Strategi pembelajaran itu meliputi pemilihan materi, metode dan media benar-benar tepat sesuai kebutuhan peserta didik. Tulisan ini memaparkan tentang pembelajaran bahasa Arab yang disertai dengan penggunaan media strip story yang memudahkan peserta didik mengembangkan keterampilan menulis melalui pembelajaran insya. Urgensi Media Dalam Pembelajaran Bahasa Arab 1.
Pengertian Media Pembelajaran
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mendorong upaya-upaya pembaruan dalam pemanfaatan hasil-hasil teknologi dalam proses belajar. Para pengajar dituntut untuk mampu menggunakan alat-alat
4
Hayati Nufus, Communicative Grammar in Arabic Teaching Language, (Magelang: PKBM Ngudi ilmu, 2013), h. 47. Lihat juga Azhar Arsyad, Media Pembelajaran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 89. 5 Abdul Hamid dkk., Pembelajaran bahasa Arab, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 162. 6 Abdul Hamid dkk., Pembelajaran bahasa Arab, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 162.
214
7
Abdul Hamid dkk., Pembelajaran bahasa Arab, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 162-163. Lihat juga Imam Asrori, “Konsepsi Kurikulum Tentang Pengajaran BA di MI dan kelemahan pengembangannya dalam Buku Teks”, Makalah disajikan pada PINBA II di UGM Yogyakarta, 20-21 juli 2001. 8 Khanifatul, Pembelajaran Inovatif, (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2013), h. 7.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pembelajaran Insya dengan Media Strip Story, Hayati Nufus
yang disediakan oleh sekolah yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Paling tidak pengajar dapat menggunakan alat yang murah, efisien, sederhana dan bersahaja dan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Diharapkan pengajar dapat membuat media pembelajaran yang akan digunakan jika media tersebut belum tersedia. Pengajar hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pembelajaran. Kata media berasal dari bahasa latin medius yang berarti tengah, perantara, pengantar. Dalam bahasa Arab disebut perantara (wasail) atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima. Gerlach dan Ely mengatakan bahwa media adalah manusia, materi atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memeroleh pengetahuan, keterampilan atau sikap. Buku teks dan lingkungan sekolah merupakan media. Pengertian media dalam proses belajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau verbal.9 Media pembelajaran menurut Heinich adalah media yang membawa pesan-pesan atau informasi yang bertujuan pembelajaran atau mengandung maksud-maksud pembelajaran.10 H. Malik mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (bahan pembelajaran), sehingga dapat merangsang perhatian, minat, pikiran dan perasaan pembelajar dalam kegiatan belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu.11
Berdasarkan pengertian tersebut media pembelajaran adalah media atau alat yang terprogram dan digunakan untuk menyampaikan pesan instruksional yang dapat merangsang pikiran, perasaan, minat dan kemauan belajar sehingga mendorong terjadinya proses pembelajaran yang diharapkan dan mencapai target pembelajaran. 2.
Peran Media dalam Pembelajaran Bahasa Arab
Media pembelajaran merupakan wahana penyalur atau wadah pesan pembelajaran. Media pembelajaran berperan penting dalam proses pembelajaran. Pembelajaran menjadi lebih kreatif, inovatif dan variatif sehingga pembelajaran dapat berlangsung dengan mengoptimalkan proses dan berorientasi pada prestasi belajar.12 Pembelajaran bahasa Arab membutuhkan media sebagai perantara sumber pesan dengan penerima pesan yang berperan penting dalam proses pembelajaran. Azhar Arsyad mengatakan penggunaan media dalam pembelajaran bahasa Arab bertitik tolak pada teori yang mengatakan bahwa totalitas persentase banyaknya ilmu pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dimiliki oleh seseorang itu tertinggi diperoleh melalui indra lihat dan pengalaman langsung melakukan sendiri, selebihnya melalui indra dengar dan indra lainnya.13 Peoples mengatakan, manusia memeroleh pengetahuan yang didapat dari, 75% melihat, 13% mendengar dan 12% mengecap, mencium dan meraba. Persentasi tertinggi manusia mendapatkan informasi ke-ilmuan dengan cara melihat.14
9
Azhar Arsyad, Media Pembelajaran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 3. Lihat juga Abdul Hamid dkk., Pembelajaran bahasa Arab (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 168. Bandingkan dengan Zainal Aqib dalam Model-model, Media dan Strategi Pembelajaran Kontekstual (Inovatif), (Bandung: Yrama Widya, 2013), h. 50-51. 10 Abdul Hamid dkk., Pembelajaran bahasa Arab, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hl. 168. 11 Mohammad Ahsanuddin, “Pemanfaatan media dalam menunjang kemahiran Menulis Bahasa Arab
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Siswa Kelas Madrasah Ibtidaiyyah.”, Makalah, 25 Januari 2006. 12 Abdul Hamid dkk., Pembelajaran bahasa Arab, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 170. 13 Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya, (Cirebon: Pustaka pelajar, 2004), h. 75. 14 Zainal Aqib, Model-model, Media dan Strategi pembelajaran Kontekstual (Inovatif), (Bandung: Yrama Widya, 2013), h. 48.
215
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 213-220
Proses pembelajaran merupakan proses komunikasi antara pengajar dan pembelajar. Proses pembelajaran tersebut merupakan dunia komunikasi tersendiri yang terjadi antara pengajar dan pembelajar yang saling bertukar pikiran untuk mengembangkan ide dan pemahaman. Dalam komunikasi seringkali terjadi penyimpangan dan kesalahpahaman sehingga komunikasi tidak berjalan secara efektif dan efisien. Hal ini disebabkan oleh ada kecenderungan verbalisme, ketidak siapan pembelajar, kurangnya minat dan motivasi dan sebagainya. Salah satu usaha untuk mengatasi keadaan tersebut dengan memilih menggunakan media yang terintegrasi dengan pembelajaran, karena fungsi media dalam keadaan tersebut sebagai penyaji stimulus informasi, pemotivasi sikap belajar, pengatur langkah-langkah kegiatan pembelajaran, dan untuk memberikan umpan balik pembelajaran serta dapat meningkatkan keserasian dalam penerimaan informasi yang disampaikan. Media pembelajaran memiliki peran penting untuk meningkatkan efektifitas proses pembelajaran, diantaranya: 1.
2.
3.
4.
5.
216
Memperkaya pengalaman belajar pembelar; pembelajar menyaksikan dan merasakan secara langsung tema pembahasan yang dibicarakan di kelas dan pembelajar merasa mudah untuk memahaminya. Ekonomis; proses pembelajaran dengan menggunakan media akan terasa efektif dan relatif lebih cepat dibandingkan tanpa menggunakan media. Meningkatkan perhatian pembelajar terhadap pelajaran; melalui media pembelajaran materi yang disampaikan oleh pengajar akan lebih jelas. Membuat pembelajar lebih siap belajar; dengan media pembelajaran, pembelajar akan mendapatkan pengalaman secara langsung. Panca indra terlibat dalam proses pembelajaran; semakin banyak panca indera yang terlibat dalam proses pembelajaran
6.
7.
8.
hasil belajar dan kualitas belajar pembelajar akan menjadi lebih baik. Meminimalisir perbedaan persepsi antara pengajar dan pembelajar; dalam pembelajaran bahasa Arab sering terjadi perbedaan persepsi dalam memaknai sesuatu, misalnya pengajar menggunakan suatu lafadz yang tidak dikenal pembelajar. Menambah kontribusi positif pembelajar dalam memperoleh pengalaman belajar; hal ini karena media pembelajaran dapat mengembangkan kemampuan pembelajar dalam berpikir dan menganalisa sampai pada menemukan kesimpulan dan solusi dari suatu permasalahan. Membantu menyelesaikan perbedaan pribadi antarpembelajar; masing-masing pembelajar memiliki kemampuan yang tidak sama. Misalnya masih ada pembelajar yang belum bisa menerima pelajaran sementara yang lain sudah paham dan terkadang bosan, untuk mengatasi hal ini maka penggunaan media menjadi solusi alternatif yang harus dilakukan pengajar.15
Berdasarkan hal tersebut, keberadaan media dalam pembelajaran menjadi suatu hal yang mutlak adanya, karena media berfungsi sebagai alat bantu mengajar yang turut memengaruhi iklim, kondisi dan lingkungan belajar. c.
Jenis Media Pembelajaran
Al-Fauzan menglasifikasi media pembelajaran bahasa menjadi tiga, pertama, media perangkat/peralatan (al-ajhijah), kedua, media materi pembelajaran (al-mawad al-ta’limiyyah wa al-ta’lumiyyah), ketiga, kegiatan penun-
15
Abdul Hamid dkk., Pembelajaran bahasa Arab, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 172-174. Lihat juga pada Zainal Aqib, Model-model, Media dan Strategi pembelajaran Kontekstual (Inovatif) (Bandung: Yrama Widya, 2013), hlm. 51-52. Bandingkan dengan Azhar Arsyad, Media Pembelajaran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 21-27.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pembelajaran Insya dengan Media Strip Story, Hayati Nufus
jang pembelajaran (al-nasyathah al-ta’limiyyah).16 Media perangkat/peralatan (al-ajhijah) terbagi menjadi dua kategori. Pertama, perangkat teknis yang meliputi: (1) perangkat dengar (al-ajhijah al-sam’iyyah) seperti radio, tape recorder, CD dan laboratorium bahasa sederhana, (2) perangkat pandang (al-ajhijah al-bashariyyah) seperti alat untuk menampilkan gambar, alat peraga, proyektor untuk menampilkan transparan dan lain-lain, dan (3) perangkat dengar pandang (al-ajhijah al-sam’iyyah al-bashariyyah) seperti televisi, video, LCD dan lain-lain. Kedua, perangkat elektronik, seperti komputer. Media materi pembelajaran (al-mawad al-ta’limiyyah wa al-ta’lumiyyah) meliputi: (1) media materi cetak (almawad al mathbu’ah) seperti buku-buku, gambar, peta, leflet, transparan, kartu dan simbol, (2) media materi panang dengar tidak bergerak (mawadsam’iyyah basariyyah tsabitah) seperti film yang tidak bergerak (foto)dan sejenisnya, (3) media materi pandang dengar yang bergerak (mawad sam’iyyah bashariyyah mutaharrik) seperti film-film, kaset-kaset video dan VCD. Dari segi penggunaannya media pembelajaran yang dikaitkan dengan indera yang digunakan manusia dibagi menjadi tiga, yaitu: 1.
2. 3.
Media pandang/visual (al-wasail al-bashariyyah), yang meliputi benda-benda alamiyah, benda tiruan, orang atau kejadi-an, dan gambar-gambar (foto, film) dan lainlain. Media dengar/audio (al-wasail al-sam’iyyah) yang meliputi tape recorder dan laboratorium bahasa. Media dengar pandang/audio visual (alwasail al-sam’iyyah bashariyyah), meliputi televisi, komputer dan labora-torium bahasa.17
d.
Prinsip Penggunaan Media Pembelajaran
Media pembelajaran yang baik adalah media pembelajaran yang benar-benar menunjang proses pembelajaran secara maksimal, apapun bentuk medianya selama itu berkaitan dengan metode dan materi yang diberikan kepada pembelajar akan menentukan tingkat keberhasilan pembelajaran memahami bahasa Arab. Tujuan penggunaan media pembelajaran memberikan motivasi kepada pembelajar, mengingat apa yang sudah dipelajari selain memberikan rangsangan belajar hal baru. Media yang baik akan mengaktifkan pembelajar dalam memberikan respon/tanggapan, umpan balik dan mendorong pembelajar untuk melakukan praktik-praktik berbahasa secara benar. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika memilih media, yaitu: (1) harus mudah dilihat, mudah dibuat, menarik, sederhana, bermanfaat bagi pembelajar dalam mengikuti proses pembelajaran, (2) harus benar, tepat sasaran/sesuai dengan tujuan, materi dan metode pembelajaran, (3) harus memerhatikan karakteristik pembelajar, kompetensi pembelajaran dan waktu yang tersedia, dan (4) harus memerhatikan biaya operasional, ketersediaan peralatan, konteks penggunaan dan mutu teknis media.18 Berdasarkan hal tersebut pada perinsipnya dalam penggunaan media sebaiknya harus mampu memotivasi pembelajar untuk aktif, kreatif dan penuh semangat dalam mengikuti pembelajaran. Strip Story; Alternatif Media Pembelajaran Bahasa Arab 1.
Pengertian dan Sejarah Strip Story
Seorang pengajar ketika hendak menggunakan media dalam pembelajaran harus me-
16
Abdul Hamid dkk., Pembelajaran bahasa Arab, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 172. 17 Abdul Hamid dkk., Pembelajaran bahasa Arab, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 174-178.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
18
Zainal Aqib, Model-model, Media dan Strategi pembelajaran Kontekstual (Inovatif), (Bandung: Yrama Widya, 2013), h. 52-53.
217
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 213-220
merhatikan prinsip penggunaan media dengan cermat, diantaranya pengajar harus memilih media yang mudah dibuat, sederhana dan tepat dengan pembelajaran yang akan dilakukan bersama-sama dengan pembelajar. Diantara media yang sederhana dan mudah dibuat oleh pengajar, media strip story. Strip story berarti potongan/ kepingan kertas atau potongan-potongan cerita baik dalam teks maupun film. Media ini diperkenalkan oleh prof. R.E. gibson dalam majalah TESL Quarterly Vol. 9 No. 2 tahun 1978, kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Mary Ann dan John Boyd dalam TOSEL Newsletter dan dijelaskan dengan pengalaman oleh Carol Lamelin di Majalah yang sama tahun 1979.19 Pembelajaran bahasa dengan media ini menggunakan pendekatan komunikatif yang mengutamakan kreativitas komunikasi yang sesungguhnya, diharapkan dengan menggunakan media ini pembelajar dengan mudah dan tidak sungkan untuk berkomunikasi dengan bahsa asing dalam hal ini bahasa Arab.20 Media strip story dapat digunakan untuk pembelajaran imlak, muhadatsah, mutahala’ah dan insya atau menulis. Strip story media yang murah, mudah dan menyenangkan pembelajar dalam menggunakannya sebagai alat bantu untuk memahami dan menyusun tulisan (insya). 2.
1.
19
Samsul Afandi, “Penggunaan Teknologi Pengajaran Bahasa untuk Meningkatkan Keterampilan Siswa dalam berbahasa Arab”, Makalah. Lihat juga Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya, (Cirebon: Pustaka pelajar, 2004), . 75. 20 Samsul Afandi, “Penggunaan Teknologi Pengajaran Bahasa, h. 75.
Satu topik cerita berupa muthala’ah yang kira-kira dapat dibagi rata kalimat-kalimatnya kepada pembelajar. Contoh materi cerita yang disiapkan sebagai berikut:
الدعاء قبل الدراسة جاء صديقي أمحد حامال.أخذ ابراىيم كتابو وفتح كتابو وندرس. وحنن جلسنا يف مقعدان. مث جلس يف مقعده.حقيبتو دخل املدرس الفصل واستعد الطالب.اللغة العربية يف فصلنا قبل أن. وجلسوا يف مقعدىم وفتحوا كتبهم اللغة العربية,للدراسة ندعواهللا تعاىل أن ينفعنا ما تعلمناه و أن يرزقنا,نبدأ الدراسة " رب زدين: وقالوا, فالطالب دعوا هللا ورفعوا أيديهم.علما انفعا 21 علما وارزقين فهما" مث مسحوا وجوىهم 2. 3. 4.
Pembuatan Strip Story
Strip story dirancang sebagai media yang mudah untuk dibuat oleh pengajar, bahan yang dibutuhkan karton atau kertas putih biasa untuk dituliskan satu cerita atau karangan seputar kegiatan sehari-hari yang dialami oleh pembelajar. Pengajar hanya menyiapkan
218
materi berupa cerita yang akan siap diberikan untuk melatih keterampilan pembelajar dalam berkomunikasi tulis atau lisan. Pembuatan strip story dilakukan sebelum masuk kelas, pengajar hendaknya menyiapkan:
3.
Kalimat-kalimat dalam cerita tersebut ditulis secara terpisah agar mudah untuk dipotong atau digunting. Potongan atau guntingan kertas tersebut harus memuat satu kalimat. Jika cerita tersebut hanya dapat dibagi pada sepuluh keping/potongan kertas, pengajar sebaiknya menulis kembali cerita tersebut pada kertas lain disesuaikan dengan jumlah pembelajar di kelas. Penggunaan Strip Story dalam Pembelajaran Insya
Pembelajaran insya merupakan pembelajaran yang dilakukan untuk menggali keterampilan menulis pembelajar. Keterampilan menulis keterampilan tertinggi dari empat keterampilan berbahasa. Menulis salah satu sarana berkomunikasi dengan bahasa antara
21
Muhammad Syairozy Dimyati, dkk., Al-Nathiq Al-„Araby jilid 2, (Tangerang : Lafadz Book Indonesia, 2012), h. 38-39.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Pembelajaran Insya dengan Media Strip Story, Hayati Nufus
orang dengan orang lainnya yang tidak terbatas oleh tempat dan waktu. Menulis dalam pembelajaran bahasa Arab itu berpusat pada (1) ketepatan menulis huruf Arab dengan benar, (2) ketepatan menyusun kata demi kata menjadi kalimat yang benar (sesuai gramatika), (3) menemukan ide dan gagasan pada teks yang dipelajari, (4) kemampuan pembelajar mengungkapkan pikiran secara jelas dan detail.22 Untuk mencapai keberhasilan target pencapaian pembelajaran tersebut penulis menganggap media strip story tepat digunakan dalam pembelajaran insya karena media yang paling efektif dan tepat guna media yang tidak menyulitkan pengajar dalam membuat dan menggunakannya. Langkah-langkah kegiatan pembelajaran insya dengan strip story, sebagai berikut: 1. 2.
3.
4. 5.
6. 7.
Pengajar membagi kelas pada beberapa kelompok, misalnya 3 kelompok yang jumlahnya sama. Potongan cerita tersebut dibagikan kepada pembelajar berdasarkan kelompok, dengan potongan cerita yang sama secara acak. Pengajar meminta pebelajar untuk menghapal kalimat yang diperolehnya selama satu menit. Pembelajar dilarang untuk menuliskannya atau memerlihatkan pada teman sekelompoknya. Pengajar meminta pembelajar untuk menutup kepingan kertas tadi atau mengumpulkannya. Pengajar meminta pembelajar berdiri mengungkapkan kalimat yang mereka hapal tadi bergantian dalam kelompok masing-masing. Pengajar diam mengamati. Setelah masing-masing pembelajar mengungkapkan potongan kalimatnya, mereka tampak sibuk untuk menyusun cerita tersebut menjadi satu cerita yang utuh dan tersusun sistematis.
22 Abdul Hamid dkk., Pembelajaran bahasa Arab, (Malang : UIN Malang Press, 2008), hlm. 49.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
a) Kadang-kadang pemimpin kelompok muncul dengan sendirinya, bertanya atau menyarankan sesuatu b) Terkadang pula pembelajar masingmasingmulai bicara sana-sini dengan teman sekelompoknya sehingga terlihat tidak teratur dan ribut. c) Sampai kemudian semua pembelajar dalam kelompok mendengar semua kalimat-kalimat yang ada. d) Setelah kalimat itu diulang-ulang beberapa kali, tibalah mereka menyusun kalimat yang belum tersambung tadi menjadi kalimat yang rapi. 8. Setelah cerita tersebut tersusun rapi, pengajar meminta pembelajar untuk duduk diam di masing-masing kelom-poknya. 9. Pengajar meminta pembelajar untuk menyebutkan kalimat-kalimat yang sudah tersusun itu secara bergantian sehingga potongan kalimat itu terdengar menjadi satu cerita yang teratur. 10. Kalau masih ada waktu pengajar meminta pembelajar untuk menuliskan cerita tersebut dalam buku masing-masing berdasarkan tuturan potongan kalimat antar teman sekelompok. 11. Setelah semua dilakukan oleh pembelajar, tibalah saatnya pengajar memberi-kan cerita yang utuh kepada pembelajar. Bila teks yang diberikan pengajar berbeda dengan yang sudah mereka susun, spontanitas mereka akan membicara-kannya ramai-ramai akan isi cerita tersebut dan menjadi bahan perbicangan mereka secara alami.23 Disinilah interaksi berbahasa akan terlihat dengan jelas, selain mereka memiliki keterampilan berkomunikasi secara lisan, tulisan pun mereka pintar. 23 Samsul Afandi, “Penggunaan Teknologi Pengajaran Bahasa untuk Meningkatkan Keterampilan Siswa dalam berbahasa Arab”, Makalah. Lihat juga Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya, (Cirebon: Pustaka pelajar, 2004), h. 75.
219
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 213-220
4.
Kelebihan dan Kekurangan Media Strip Story
Setiap media memiliki kelebihan dan kekurangan. Strip story memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan strip story: (1) mudah untuk dibuat, (2) tidak memerlukan biaya yang mahal, (3) memudahkan pengajar dalam pembelajaran, (4) membuat pembelajar aktif, kreatif dan bersemangat, (5) menuntun pembelajar menemukan ide atau gagasan dari materi pembelajaran, dan (6) menyenangkan. Kekurangan strip story: (1) tidak tepat digunakan bagi pembelajar bahasa Arab pemula, (2) tidak tepat digunakan bagi pembelajar yang belum menguasai mufradat, dan (3) tidak tepat digunakan bagi pembelajar yang belum memahami susunan gramatika Arab dengan baik. Kekurangan dan kelebihan itulah yang kemudian menuntut pengajar dapat menentukan dengan benar, media apa yang seharusnya digunakan pada setiap pembelajaran bahasa Arab, karena memang tidak semua media yang ada dapat digunakan dengan tepat pada setiap pembelajaran. Simpulan Media merupakan alat bantu dan pendukung dalam pembelajaran. Dengan media pengajar dapat melaksanakan pembelajaran dengan baik, menarik dan memotivasi pembelajar untuk memahami materi ajar yang dipelajari. Media pembelajaran beragam jumlahnya, sehingga pengajar dituntut mampu memilh dan memilah media apa yang tepat dan sesuai dengan tujuan, materi dan metode pembelajaran dalam setiap mata pelajaran/ mata kuliah. Strip story merupakan pilihan media yang dianggap tepat dalam pembelajran bahasa Arab terutama insya, untuk melatih pembelajar mampu menyusun cerita secara sistematis dan sesuai dengan kaidah penulisan dan gramatika Arab.
220
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid dkk., Pembelajaran bahasa Arab. Malang: UIN Malang Press, 2008. Hayati Nufus, Communicative Grammar in Arabic Teaching Language. Magelang: PKBM Ngudi ilmu, 2013 Azhar Arsyad, Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. Imam Asrori, ‚Konsepsi Kurikulum Tentang pengajaran BA di MI dan kelemahan pengembangannya dalam Buku Teks‛ , Makalah disajikan pada PINBA II di UGM Yogyakarta, 20-21 juli 2001. Khanifatul, Pembelajaran Inovatif. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013. Zainal Aqib. Model-model, Media dan
Strategi pembelajaran Kontekstual (Inovatif). Bandung: Yrama Widya, 2013. Mohammad Ahsanuddin, ‚Pemanfaatan media dalam menunjang kemahiran Menulis Bahasa Arab Siswa Kelas Madrasah Ibtidaiyyah.‛, Makalah, 25 Januari 2006. Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya. Cirebon: Pustaka pelajar, 2004. Samsul Afandi, ‚Penggunaan Teknologi Pengajaran Bahasa untuk Meningkatkan Keterampilan Siswa dalam berbahasa Arab‛, Makalah, 2009. Muhammad Syairozy Dimyati, dkk., AlNathiq Al-‘Araby Jilid 2. Tangerang: Lafadz Book Indonesia, 2012.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Lembaga Pendidikan sebagai Ruang Publik, Ajeng Gelora Astuti
KEMAMPUAN BERPIKIR LOGIS BERTIPE KECERDASAN LOGIS MATEMATIS TERKAIT DENGAN KONSERVASI BAGI ANAK BERUSIA 7-8 TAHUN
Ajeng Gelora Astuti Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon Email :
[email protected]
Abstrak: Banyak guru anak usia dini tidak mampu menciptakan lingkungan matematis yang kaya dalam kelas mereka dan matematika yang berhubungan dengan interaksi guru-anak jarang terjadi di kelas. Seseorang dengan kecerdasan logis matematis memiliki ciri diantaranya mampu berpikir menurut aturan logika, berdasarkan struktur, menurut urutan yang sesuai, mengklasifikasi, mengkategorisasi dan mampu me-nganalisis angka-angka serta memiliki ketajaman dalam berspekulasi dengan menggunakan kemampuan logikanya. Di usia prasekolah 4-6 tahun dan 7-8 tahun, anak mulai mengembangkan kecerdasannya. Informasi yang diperolehnya dari berbagai eksperimen, pengamatan serta jawaban atas pertanyaan-pertanyaan. Sebelum memasuki usia remaja, anak-anak ini menjelajahi berbagai pola, kategori dan hubungan, dengan secara aktif memanipulasi lingkungan, serta bereksperimen dengan berbagai hal menggunakan cara yang terkendali dan teratur. Saat remaja mereka mampu menggunakan bentuk pemikiran logis yang sangat abstrak. Aplikasi kemampuan berpikir logis bertipe kecerdasan logis matematis dengan konservasi anak usia kelas 1 dan 2 SD, diantaranya: kategorisasi/penggelompokan, men-cocokkan/ menghubungkan, membandingkan, pemahaman bentuk geometri, pema-haman bilangan (number bond). Aplikasi tersebut merupakan dasar bagi anak untuk belajar hukum konservasi, dalam hal ini meliputi konservasi bilangan, konservasi substansi, konservasi panjang, konservasi luas, dan konservasi berat. Keyword: Lembaga Pendidikan, Relasi Etnik. Pendahuluan Anak-anak mengembangkan pemahaman yang mengesankan tentang berbagai aspek matematika. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak mengembangkan kompetensi matematika yang luar biasa di awal kehidupan mereka. Menurut Gelman dan Gallistel1, usia 2,3, dan 4 tahun dapat mengenali bilangan di
1
Gelman, R., & Gallistel, C.R. The child’s Understanding of Number Cambridge, Harvard University Press. 1978.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
bawah empat. Canfield dan Smith2 menemukan bahwa bayi memiliki kemampuan untuk mengenali bilangan abstrak. Mereka melaporkan bahwa bayi usia lima-bulan menggunakan harapan visual untuk menunjukkan kemampuan untuk membedakan tiga gambar yang disajikan dalam satu lokasi dari dua gambar di lokasi lain. Ini menunjukkan bahwa bayi berusia lima bulan dapat menghitung sampai tiga.
2
Canfield, R. L., & Smith, E. G. Number-based expectations and sequential enumeration by 5-month-old infants. Developmental Psychology. 1996. 32, 269-279.
221
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 221-230
Starkey3 juga menemukan bahwa anak-anak usia dini memiliki kemampuan untuk berpikir secara numerik. Anak-anak secara aktif membangun pengetahuan matematika melalui pengalaman sehari-hari dan memiliki kemampuan untuk memahami pengetahuan ini secara intuitif. Seseorang dengan kecerdasan logis matematis memiliki ciri diantaranya mampu berpikir menurut aturan logika, berdasarkan struktur, menurut urutan yang sesuai, menglasifikasi, mengategorisasi dan mampu menganalisis angka-angka serta memiliki ketajaman dalam berspekulasi dengan menggunakan kemampuan logikanya. Siswa yang memiliki kecerdasan tipe ini cenderung melakukan proses berpikir logis. Berpikir logis berhubungan erat dengan penalaran dalam menarik kesimpulan, berpikir secara tepat, baik dalam kerangka maupun materi. Siswa yang memiliki kecerdasan logis matematis cenderung menyenangi kegiatan menganalisis dan memelajari sebab akibat terjadi sesuatu. Ia menyenangi berpikir secara konseptual, misalnya menyusun hipotesis dan mengadakan kategorisasi dan klasifikasi terhadap apa yang dihadapinya. Pemahaman guru terhadap proses berpikir siswa membantu dalam pembelajaran matematika, seperti memerhatikan kemampuan berpikir matematika siswa, memperhatikan pemilihan penggunaan strategi, media dan materi pembelajaran agar tercapai hasil yang maksimal dari proses pembelajaran. Setelah mengetahui kesesuaian antara karakteristik materi pelajaran matematika dengan proses berpikir logis pada siswa yang perkembangan kognitifnya berada pada tahap operasi konkret dan memiliki kecerdasan logis matematis dapat dijadikan dasar bagi guru untuk mendapatkan informasi tentang kesalahan pemahaman matematika atau terjadi miskonsepsi pada siswa terhadap pelajaran matematika 3 Starkey, P. The early development of numerical reasoning. Cognition. 1992. 43, 93-126.
222
saat mengkonstruk pengetahuan. Jika hal ini terjadi guru dapat mengarahkan siswa untuk memerbaiki kesalahan pemahaman agar miskonsepsi tidak terjadi kembali. Penelitian Gelman4 menunjukkan kompetensi numerik dan aritmatika pada anakanak dalam tahap operasional dalam penilaian Piaget. Dalam eksperimennya, dua piring yang ditampilkan: satu dengan dua tikus yang ditunjuk yang lemah dan lainnya dengan tiga tikus yang ditunjuk sebagai pemenang. Setelah serangkaian tugas identifikasi, ia diamdiam mengubah pemenang dengan mengubah pengaturan tata ruang dan mengubah identitas item. Hasil penelitian menunjukkan, anakanak berumur tiga tahun dan kadang-kadang dua setengah tahun tampaknya tahu bahwa transformasi melibatkan perpindahan tidak mengubah nilai numerik, bentuk awal dari konservasi jumlah.5 Menurut Gelman, kemampuan numerik anak diklasifikasikan menjadi dua kategori: bilangan abstraksi (kemampuan untuk mewakili jumlah tertentu dalam koleksientitas) dan bilangan-penalaran (kemampuan untuk berpikir dan memikirkan tentang jumlah).6 Hasil Dan Pembahasan 1.
Tahap-Tahap Perkembangan Kognitif
Secara garis besar, tahap-tahap perkembangan itu dapat dituliskan dengan ciri-cirinya yang khusus dalam sebuah skema tabel sehingga lebih jelas untuk dimengerti, seperti berikut:
4
Gelman, R. Conservation acquisition: A problem of learning to attend to relevant attributes. Journal of Experimental Child Psychology, 7, 167-187. 1969. 5 Gelman, R., & Gallistel, C.R.. The child’s understanding of number. Cambridge, Harvard University Press. 1978. 6 Gelman, R., & Baillargeon, R. A review of some Piagetian concepts. In J. H. Flavell E.M. Markman (Eds.), Handbook of child psychology, Vol. 3: Cognitive development (4th edition) (pp. 167-230). New York, NY: Wiley. 1983.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Lembaga Pendidikan sebagai Ruang Publik, Ajeng Gelora Astuti Tahap
Sensori motor
Pra operasional 2-7 tahun
Operasi Konkre t 7-12 tahun
Operasi Formal
U-mur
0-2 tahun
Dasar pemikiran
Tindak an dan Meniru
Simbolis/ bahasa dan intuitif, imaginal
Transfo rmasi reversi bel dan kekekal an, masih konkret
Deduktif hipotesis dan induktif, abstrak
Saat pemikiran
Sekarang
Mulai yang “tidaksekarang ”
Masih terbata s kekonk retan
Ciriciri lain
Refleks, kebiasaan, pembedaan saran dan hasil
egosentris
Decent ering, seriasi, klasifik asi, konsep bilangan, waktu, probabi litas, kausali tas
Meninggalkan yang sekarang dan memulai yang mendatang Kombina si, proporsi, referensi ganda, dua reversibel, fleksibel.
12 tahun ke atas
Dengan keempat tahapan perkembangan kognitif tersebut, kemampuan yang harus dimiliki anak tidak diperoleh secara langsung, tetapi secara bertahap dan bergantung pada banyak stimulus dan ruang gerak anak dalam mengeksplorasi lingkungan hidupnya sejak anak lahir. Jika anak memeroleh petunjuk dan pengarahan mengenai proses belajar yang cukup dari lingkungan, tanpa ditertawakan atau dilecehkan, berarti orang tua sudah ikut meningkatkan kecerdasan anaknya dan sudah berupaya meningkatkan gairah belajar anak, untuk seumur hidup mereka.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
2.
Tahap Perkembangan Berusia 7-8 Tahun
Kognitif
Anak
Anak yang berusia sekitar 7-8 tahun itu anak kelas II SD. Berdasarkan tahapan teori perkembangan kognitif dari Jean Piaget anak kelas II SD termasuk dalam tahap pemikiran operasional konkret (usia 7-12 tahun). Untuk usia 7-8 tahun digolongkan ke dalam tahap pemikiran operasional konkrit awal. Hal ini disebabkan dalam tahap perkembangan kognitif anak yang dibagi ke dalam empat struktur operasional, setiap struktur mencirikan pencapaian suatu taraf perkembangan pokok dan dalam setiap taraf itu dapat dibedakan lagi ke dalam taraf-taraf yang lebih rendah. Untuk tahap operasional konkret itu dalam pencapaian tahap pemikiran perkembangan kognitif, Piaget membedakan menjadi tiga tahap lagi yakni usia 7-8 tahun, usia 9-10 tahun, dan usia 11-12 tahun. Selama perluasannya prosesproses pemikiran konkret bersifat ireversibel sehingga dibedakan menjadi tiga taraf supaya proses-proses ini secara berangsur-angsur menjadi reversibel. Dengan reversibilitas itu, mereka membentuk satu sistem operasioperasi konkret. Operasi konkret adalah tindakan mental yang bisa dibalikkan yang berkaitan dengan objek konkret. Misalnya, bila suatu benda A dikembangkan dengan cara tertentu menjadi benda B, dapat juga dibuat bahwa benda B dengan cara tertentu kembali menjadi benda A. Dalam matematika, sifat reversibel tampak pada operasi seperti penjumlahan (+), pengurangan (-), urutan (<), dan persamaan (=). Misalnya, bila A + B = C, dapat dibuat juga C – B = A. operasi ini selalu mengandung sifat kekekalan (konservasi) dan berkaitan dengan sistem operasi yang lebih menyeluruh. Adapun konservasi pada operasi ini dikarenakan di masa ini anak telah mengembangkan tiga macam proses yang disebut dengan operasi-operasi, yaitu: negasi, resiprokasi, dan identitas. Negasi (negation) yaitu di masa konkrit operasional, anak memahami
223
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 221-230
proses yang terjadi dari adanya deretan benda yang pada mulanya keadaannya sama dan pada akhirnya tidak sama dan memahami hubungan antara keduanya. Pada deretan benda-benda, anak bisa melalui kegiatan mentalnya mengembalikan atau membatalkan perubahan yang terjadi sehingga bisa menjawab bahwa jumlah benda-benda itu adalah tetap sama. Hubungan timbal balik (resiprokasi) yaitu anak memahami proses dimana anak ketika melihat bagaimana deretan dari bendabenda itu diubah, anak mengetahui bahwa deretan benda-benda bertambah panjang tetapi tidak rapat lagi dibandingkan dengan deretan lain. Karena anak mengetahui hubungan timbal balik antara panjang dan kurang rapat atau sebaliknya kurang panjang tetapi lebih rapat, maka anak tahu juga bahwa jumlah bendabenda yang ada pada kedua deretan itu sama. Identitas anak di masa konkrit operasional sudah bisa mengenal satu per satu bendabenda yang ada pada deretan-deretan itu. Anak bisa menghitung, sehingga meskipun benda-benda dipindahkan, anak dapat mengetahui bahwa jumlahnya akan tetap sama. Setelah mampu mengkonservasi angka, anak bisa mengkonservasikan dimensi-dimensi lain, seperti isi dan panjang. 3. Kemajuan Perkembangan Kognitif Anak Berusia 7-8 Tahun Usia anak kelas II SD yang diperkirakan berusia 7-8 tahun, menurut Piaget merupakan usia yang menjadi poin utama dalam pembentukan kognitif. Hal ini disebabkan anakanak di usia itu membuat perubahan penting dari pemikiran praoperasional menjadi pemikiran operasional konkret. Anak mengalami perubahan perbaikan yang lebih tersebar luas, dibanding kemampuan-kemampuan yang ada dalam bentuk sederhana selama masa-masa sebelum sekolah. Kemajuan perkembangan kognitif anak di masa tahap operasional konkret awal bercirikan: a. Transformasi Reversibel
224
Di tahap ini, seorang anak sudah mulai mengerti proses transformasi (perubahan). Ada dua macam transformasi reversibel dalam tahap ini, inversi dan resiprok. Inversi adalah proses transformasi kebalikan. Misalnya, +A diinversi menjadi –A. Resiprok adalah transformasi pencerminan. Misalnya, A
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Lembaga Pendidikan sebagai Ruang Publik, Ajeng Gelora Astuti
rapa teman secara serentak dan memerhatikan beberapa hal lain yang dibicarakan temantemannya. d. Seriasi (pengurutan) Proses seriasi adalah proses mengatur unsur-unsur menurut semakin besar atau kecilnya unsur-unsur tersebut. Urutan dapat dibuat dari kecil ke besar atau dari besar ke kecil. Kemampuan ini berkembang di sekitar umur 7 tahun dan mengikuti transformasi korespondensi satu per satu membandingkan “manusiamanusia kerdil” dengan bermacam ukuran, sederet tongkat berbagai ukuran, dan satu set ransel juga dapat diurutkan). Seriasi untuk dua dimensi juga sudah mulai muncul pada umur 7-8 tahun. Seriasi dapat berdasarkan ukuran, berat, volume dan lain-lain. e. Klasifikasi Menurut Piaget, bila anak yang berumur 3 tahun dan 12 tahun diberi bermacam-macam objek dan disuruh membuat klasifikasi yang serupa menjadi satu, ada beberapa kemungkinan yang terjadi. Yang termuda mulai dengan koleksi figuratif. Ia menyusun objekobjek tidak hanya berdasar pada kesamaan dan perbedaan, tetapi juga menjajarkannya dalam ruang, dengan baris, bentuk, warna dan lainlain. Akibatnya, koleksi itu membentuk suatu gambaran yang banyak. Anak yang lebih dewasa akan mengelompokkan objek-objek itu secara lebih terstruktur. Misalnya, himpunan itu dibagi dalam kelompok besar dan kecil, tanpa bentuk-bentuk khusus. Selanjutnya yang besar dapat dikelompokkan lagi, demikian juga dengan yang kecil. Misalnya, anak diberikan bermacam-macam benda geometris (bulat, segitiga, bujursangkar) dengan berbagai macam warna. Anak disuruh mengklasifikasi benda-benda tersebut. Dalam penelitiannya, Piaget menemukan tiga level perkembangan. Level 1. Anak yang berumur 4 dan 5 tahun biasanya menyatukan benda-benda yang dilihatnya memiliki kesamaan. Namun, kriteria kesamaan itu kesamaan dua objek dalam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
waktu yang sama. Dapat terjadi bahwa anak mengumpulkan lingkaran putih dengan lingkaran merah karena sama-sama lingkaran. Namun, ia lalu menambah segitiga putih lingkaran putih, karena sama-sama putih sehingga klasifikasi menjadi campur aduk. Anak hanya membandingkan dua-dua, tidak melihat keseluruhan. Level 2. Anak yang berumur 7 tahun menyatukan benda-benda yang memiliki kesamaan dalam satu dimensi. Misalnya, semua lingkaran disatukan dan semua segitiga disatukan karena diklasifikasi menurut bentuk. Bila ia mengklasifikasi menurut warna, semua yang merah disatukan dan yang hijau disatukan. Wujud tidak penting disini. Hubungan antara koleksi dan subkoleksi tidak diperhatikan. Level 3. Anak yang berumur 8 tahun dapat mengklasifikasikan benda-benda dengan baik. Ia dapat menentukan hubungan antara kelas dan subkelas. f. Konsep Bilangan Di soal hitungan seperti 2 + 2 = 4, Piaget memang tidak tertarik dalam hal itu. Itu hanya soal hafalan yang dapat dibuat oleh anak SD kelas 1. Ini tidak berkaitan dengan soal pengertian secara mendalam. Ia lebih tertarik pada soal korespondensi satu-satu dan sifat kekekalan. Korespondensi satu-satu pemetakan atau pemasangan satu per satu antara unsur-unsur dalam suatu himpunan benda (A) dengan unsur-unsur himpunan yang lain (B). Setiap unsur pada himpunan A berpasangan hanya dengan satu unsur pada himpunan B. Dalam percobaannya, Piaget memberikan sejumlah benda pada anak-anak yang bentuknya beraneka ragam. Kotak A diisi lima benda yang bentuknya berlainan. Selanjutnya, anak disuruh memilih benda-benda dalam kotak lain (B) yang jumlahnya sama dengan benda-benda pada kotak A. Beberapa anak membuatnya dengan mengambil benda-benda pada kotak B dan menempelkannya pada benda-benda di kotak A sehingga masing-masing mempunyai
225
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 221-230
pasangannya sendiri. Bila pasangan itu tidak klop, jelas bahwa jumlah benda yang satu lebih sedikit atau lebih banyak dari yang lain. Meskipun bentuk bendanya berlainan, ada sesuatu yang tetap (konstan), jumlah benda itu. Sifat kekekalan atau konservasi dapat juga dicoba dengan menyuruh anak mengambil 10 keping uang. Selanjutnya, ia disuruh mengatur urut kesepuluh keping itu dan menghitungnya. Akhirnya, ia disuruh menyusun dengan berbagai macam susunan yang berbeda dan menghitung lagi jumlahnya. Ternyata, jumlahnya tetap 10. Inilah sifat kekekalan yang menjadi sifat pengertian bilangan. Sifat kekekalan ini menghilangkan perbedaan yang ada dalam setiap objek, tetapi lebih melihat segi yang tetap. Misalnya, 1 rumah, 1 orang, 1 binatang. Dari ketiga objek itu, yang sama bilangan 1, yang merupakan unsur tetapnya. Bilangan itu (jumlah) mengesampingkan bendanya sendiri (rumah, orang, dan binatang). g. Ruang dan waktu Di umur 7 atau 8 tahun, seorang anak sudah mengerti urutan ruang dengan melihat interval jarak suatu benda atau kejadian. Pada umur 8 tahun, anak sudah dapat mengerti relasi urutan waktu (sebelum dan sesudah), dan juga koordinasi dengan waktu (panjang dan pendek). h. Egosentrisme dan sosialisme Di tahap ini, anak sudah tidak begitu egosentris dalam pemikirannya. Ia sadar orang lain dapat memiliki pikiran lain. Ini terjadi terlebih dalam bertatap muka dengan temantemannya. Ia mulai mencari validitas dengan temannya. Anak usia 7 atau 8 tahun dalam melakukan sesuatu atau tindakan lebih berpikir sebelum bertindak dan dengan demikian mulai mengatasi proses yang sulit dari refleksi. Refleksi tidak lain merupakan diskusi sosial yang diinternalisasi. Anak dalam usia 7 atau 8 tahun mulai membebaskan dirinya dari egosentrisitas sosial dan intelektualnya, dan menjadi mampu untuk mengadakan koordi-
226
nasi-koordinasi baru yang akan berperanan penting dalam perkembangan intelegensi dan afektivitas. Penggunaan bahasa juga sudah lebih komunikatif dan bahasa monolog dengan diri sendiri sudah mulai berkurang. Hubungan dengan teman-teman menjadi sumber untuk disekuilibrium yang membuat perkembangan asimilasi dan akomodasi. 4.
Kecerdasan Logis-Matematis
Kecerdasan logis-matematis adalah kemampuan dalam hal angka dan logika. Kecerdasan ini melibatkan keterampilan mengolah kata angka dan atau kemahiran menggunakan logika atau akal sehat. Ini merupakan kecerdasan para ilmuwan, akuntan, pemogram komputer dan sebagainya. Kecerdasan logikamatematika dasarnya melibatkan kemampuankemampuan menganalisis masalah secara logis, menemukan atau menciptakan rumusrumusnya dan menyelidiknya secara ilmiah. Anak-anak dengan kecerdasan logical-mathematical yang tinggi memerlihatkan minat besar terhadap kegiatan eksplorasi. Mereka sering bertanya tentang berbagai fenomena yang dilihatnya. Mereka menuntut penjelasan logis dari setiap pertanyaan. Selain itu mereka juga suka mengklasifikasikan benda dan senang berhitung. Kecerdasan logika matematika ditandai dengan kemampuan seseorang untuk memahami angka dan bilangan serta berfikir secara logis dan ilmiah serta mempunyai konsistensi dalam berfikir. Seseorang dengan kecerdasan logika matematika akan lebih tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan angka dan bilangan, meraka dapat dengan cepat memahami opersai pada bilangan, mampu berfikir logis dan sistematis, serta menyimpulkannya secara matematik. Kecerdasan logika matematika dapat membantu menemukan cara kerja, pola, dan hubungan, mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, mengklasifikasikan dan mengelompokkan, meningkatkan pengertian terhadap bilangan dan yang lebih penting lagi meningkatkan daya ingat.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Lembaga Pendidikan sebagai Ruang Publik, Ajeng Gelora Astuti
5.
Tahapan Perkembangan Kecerdasan Logis matematis Anak
Di usia 0-1 tahun anak suka menguji apa saja di sekitarnya yang dapat dijangkaunya dengan mudah. Saat menginjak usia 2 tahun, ia akan mulai mengklasifikasi obyek-obyek, berdasarkan warna, bentuk atau fungsi. Jika di usia ini anak mulai berbicara, kesadaran terhadap konsep besar dan kecil akan berkembang, dan memasuki tingkatan lebih besar dan lebih kecil dengan membandingkan berbagai benda. Di usia 2-4 tahun, kemampuan mental anak mengalami perkembangan pesat. Ia telah mampu berpikir tentang imajinasi, menyadari adanya mimpi, mulai mengaitkan awan mendung dengan hujan turun setelahnya. Usia 3-4 tahun, anak mungkin telah siap untuk menyukai kegiatan menyusun benda berdasarkan urutan kecil ke besar. Di usia ini, anak telah berada dalam tahap perkembangan berpikir untuk menimbang dan mengukur. Di usia 4 tahun, keingintahuannya semakin besar dan pertanyaan meluncur tiada henti. Di usia 5 tahun, anak sudah mulai memahami konsep bilangan dari 0-5, dan mungkin telah mampu menyebut bilangan dari 1-10. Pengetahuan anak terhadap bilangan diawali dengan penyebutannya dan tidak diiringi sekaligus dengan pemahamannya terhadap bilangan yang disebutkan. Di usia pra-sekolah 4-6 tahun dan 78 tahun, anak mulai mengembangkan kecerdasannya. Informasi diperolehnya dari berbagai eksperimen, pengamatan serta jawaban atas pertanyaan-pertanyaan. Sebelum memasuki usia remaja, anak-anak ini menjelajahi berbagai pola, kategori dan hubungan, dengan secara aktif memanipulasi lingkungan, serta bereksperimen dengan berbagai hal menggunakan cara yang terkendali dan teratur. Saat remaja mereka mampu menggunakan bentuk pemikiran logis yang sangat abstrak. 6. Aplikasi Kemampuan Berpikir Logis Bertipe Kecerdasan Logis Matematis dengan Konservasi
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Kemampuan logis matematis yang harus dikuasai anak usia kelas 1 dan 2 SD dan bagaimana menstimulasinya. 1.
Kategorisasi/Penggelompokan
Anak dapat memilah-milah/mengelompokkan/mengategorisasikan segala sesuatu berdasarkan warna, bentuk, ukuran atau lainnya. Contoh stimulasi: Minta anak mengelompokkan sedotan gunakan sedotan warnawarni sesuai warnanya; mana yang merah, hijau, biru, dan seterusnya. Atau, minta anak men-yusun buku-buku ceritanya dari yang kecil/ tipis sampai yang ukuran tebal; merapikan koleksi mobil-mobilannya dari yang kecilkecil hingga yang besar; dan lainnya. 2.
Mencocokkan/Menghubungkan
Anak secara nalar/logika dapat menghubungkan atau mencocokkan suatu sebab-akibat, suatu keadaan dan kondisi tertentu atau mengasosiasikan sesuatu. Contoh stimu-lasi: lakukan dengan bantuan gambar. Misal, di sebelah kiri ada deretan simbol angka 1, 2, 3, 4, dan 5; di sebelah kanan ada deretan gambar apel dengan jumlah tertentu. Kemudian, minta anak menghubungkan dengan garis antara simbol angka dengan jumlah apel yang sesuai. 3.
Komparasi/Perbandingan
Anak bisa membandingkan sesuatu dari banyak hal, apakah warna, pola-pola tertentu, bentuk, ukuran, dan lainnya. Contoh stimulasi: letakkan dua atau lebih suatu benda di meja, lalu minta anak menyebutkan mana yang ukurannya lebih kecil atau lebih besar. Bisa juga orangtua meletakkan beberapa gelas berisi air dan minta anak menyebutkan mana yang lebih banyak dan lebih sedikit airnya. 4.
Pemahaman Bentuk Geometri
Dapat mengenal bentuk-bentuk geometri sederhana seperti bulat, persegi panjang, segitiga, dan sebagainya. Contoh stimulasi: minta anak menghitung jumlah bentuk segitiga pada sebuah gambar rumah yang sederhana atau
227
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 221-230
menghitung jumlah roda pada alat transportasi seperti becak, sepeda, dan sebagainya. 5.
Pemahaman Bilangan (number bond)
Anak terampil mengolah angka dan menggunakan perhitungan matematis. Angka juga suatu simbol yang digunakan untuk berbagai macam hal, apakah itu menunjukkan waktu, ukuran, harga, dan sebagainya. Yang termasuk dalam kemampuan ini:
a. Mengurutkan Bilangan (Membilang) Dapat membilang atau mengurutkan angka secara bertahap, seperti menyebutkan bilangan 1-5, kemudian sampai 10, dan seterusnya disesuaikan dengan kemampuan anak. Anak juga belajar mengenai konsep dasar angka, angka 1 lebih sedikit jumlahnya dari angka 2, angka 2 lebih sedikit jumlahnya dari angka 3, dan seterusnya. Konsep angka ini juga berguna bagi anak untuk bisa menyatakan waktu, memutar nomor telepon, dan sebagainya. Cara stimulasi: Ketika naik turun tangga, minta anak sambil menyebutkan bilangan secara urutan. Bisa juga dengan bantuan benda seperti apel/bola yang dimasukkan ke dalam keranjang, "1 apel, 2 apel, 3 apel,.." Sambil anak diajak menghitung bendanya.
b. Perhitungan Sederhana Dapat melakukan penjumlahan dan pengurangan sederhana. Konsep perhitungan ini dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari, semisal ketika berbelanja. Cara stimulasi: bisa dengan mengajak anak bermain “tambah kurang”. Contoh, letakkan beberapa buah kubus mainan si kecil, lalu katakan, “Adek, lihat nih, Ibu punya 1 kubus (sambil meletakkan 1 kubus). Kemudian, Adek memberikan 2 kubus kepada Ibu (sambil meletakkan 2 kubus tersebut di dekat kubus yang pertama). Nah, sekarang kubus Ibu ada berapa, ya? Coba Adek hitung....” Begitu pun dengan pengurangan, namun agar anak mngerti jangan gunakan kata “dikurang” tetapi “diambil”.
228
Ilustrasi tersebut merupakan dasar bagi anak untuk belajar hukum konservasi, dalam hal ini meliputi konservasi bilangan, konservasi substansi, konservasi panjang, konservasi luas, dan konservasi berat. 1) Konservasi bilangan Hukum kekekalan bilangan/konservasi bilangan sudah ada dalam diri siswa ditandai dengan ada persepsi bahwa jumlah benda tertentu tidak berubah jumlahnya jika ditempatkan dengan berbagai cara, misalnya dalam dua wadah, tiga wadah, dan sebagainya. Perhatikan gambar berikut, daerah manakah yang banyak jumlah kelerengnya?
Jika siswa/anak menyebutkan bahwa daerah B yang paling banyak kelerengnya, maka pertanda anak belum memiliki hukum kekekalan bilangan. Untuk memercepat siswa memiliki hukum kekekalan bilangan, latihlah siswa dengan percobaan percobaan seperti berikut. Bagaimana caranya agar kita memiliki 10 kelereng? Kemungkinan jawaban adalah sebagai berikut: Siswa A: saya mengambil dari si B sebanyak 1,dari si C sebanyak 2, dari si D sebanyak 3, dan dari si E sebanyak 4. Siswa B: saya mengambil dari si A sebanyak 2, dari si C sebanyak 3, dan dari si D sebanyak 5. Siswa C: saya mengambil dari si A sebanyak 4, dari si D sebanyak 6. Dari contoh kegiatan tersebut, tampak 10 kelereng dapat diubah dalam berbagai
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Lembaga Pendidikan sebagai Ruang Publik, Ajeng Gelora Astuti
bentuk, yang akhirnya ditulis dalam kalimat matematika, sebagai berikut: 10 = 1 + 2 + 3 + 4 10 = 2 + 3 + 5 10 = 4 + 6 dan lain lain 2) Konservasi Substansi Hukum kekekalan substansi/ konservasi substansi sudah ada pada diri siswa ditandai dengan adanya persepsi bahwa benda-benda itu tidak berubah walaupun bentuk wadahnya berubah-ubah. Perhatikan contoh gambar di bawah ini. Manakah yang lebih banyak isinya antara bentuk bangun ruang A atau B? Jika siswa/anak mengatakan (berpendapat) bahwa bangun ruang A yang lebih banyak, maka pertanda siswa/anak tersebut belum memilki kekekalan substansi/ konservasi substansi. 3) Konservasi panjang Hukum kekekalan panjang/ konservasi panjang sudah ada pada diri siswa ditandai dengan adanya persepsi bahwa panjang suatu benda tidak berubah walaupun ditempatkan dengan berbagai cara, dibentangkan, digulung, dan sebagainya. 4) Konservasi Luas Hukum kekekalan luas/konservasi luas sudah ada dalam diri siswa ditandai dengan ada persepsi bahwa luas suatu daerah tidak berubah walaupun dibagi-bagi dalam beberapa bagian. Perhatikan contoh gambar berikut.
Jika diberikan ilustrasi lantas siswa berpendapat bahwa luas daerah B yang lebih luas, pertanda siswa belum memiliki hukum kekekalan luas. Untuk menumbuhkan hukum kekekalan luas/konservasi luas, siswa diajak melakukan percobaan merakit suatu bangun datar
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
yang terpisah menjadi bangun-bangun datar baru yang merupakan satu kesatuan. Untuk tahap pertama anak belajar satuan luas gunakan satuan ukuran yang sering digunakan sehari-hari, seperti di Indonesia metrik persegi (m2) dan are, digambarkan dalam tangga metrik yang menggambarkan besar konversi dengan satuan metrik yang lainnya. 5) Konservasi Berat Hukum kekekalan berat sudah ada dalam diri siswa ditandai dengan ada persepsi bahwa berat suatu benda tidak berubah walaupun dibagi-bagi dalam beberapa bagian. Hukum kekekalan berat akan tumbuh dan berkembang bila siswa sering melakukan percobaan menimbang berat suatu benda dan membandingkan dengan berat benda lain yang lebih banyak jumlahnya, tetapi beratnya sama. Suatu berat hanya dapat dirasakan, sebab benda yang kelihatannya besar belum tentu beratnya juga besar. Misal, kapuk satu kilogram dengan besi satu kilogram, mana yang bentuknya besar?. Satuan ukuran berat yang sering digunakan di Indonesia: ton, kwintal (kw), kilogram (kg), dan gram (g). Untuk di Indonesia satu ons = 100 gram, tetapi untuk di dunia internasional satu ons = 28, 3 gram (Hollands, 1984)
DAFTAR PUSTAKA
Canfield, R. L., & Smith, E. G. (1996). Number-based expectations and sequential enumeration by 5-month-old infants. Developmental Psychology, 32, 269-279. Copple, C. E. (2004). Mathematics curriculum in the early childhood context. In D. H. Clements, J. Sarama & A.-M. DiBiase (Eds.), Engaging young children in mathematics (pp. 83-90). Mahwah, NJ: Erlbaum.
229
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 221-230
Gardner, H., 1983, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. New York: Basic Books. Geist, E. (2004). Children are born mathematicians: Promoting the construction of early mathematical concepts in children under five. Annual Editions: Early Childhood Education, 178-183. Gelman, R. (1969). Conservation acquisition: A problem of learning to attend to relevant attributes. Journal of Experimental Child Psychology, 7, 167-187. Gelman, R., & Baillargeon, R. (1983). A review of some Piagetian concepts. In J. H. Flavell E. M. Markman (Eds.),
Handbook of child psychology, Vol. 3: Cognitive development (4th edition) (pp. 167-230). New York, NY: Wiley . Gelman, R., & Gallistel, C. R. (1978). The child’s understanding of number. Cambridge, Harvard University Press. Ginsburg, H. P., Inoue, N., & Seo, K.-H. (1999). Young children doing mathematics: observations of everyday activities. In J. V. Copley (Ed.), Mathematics in the Early Years (pp. 88-99). Reston, VA:
The National Council of Teachers of Mathematics.
Ginsburg, H. P. (2006). Mathematical play and playful mathematics: A guide for early education. In D. Singer, R. M. Golinkoff & K. Hirsh-Pasek (Eds.), Play=Learning:
How play motivates and enhance children’s cognitive and socialemotional growth (pp. 145-165). New York, NY: Oxford University Press. Hurlock, Elizabeth B., 1980, Psikologi Per-
Bagiannya, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Mussen, Henry, Paul, 1996, Perkembangan dan Kepribadian Anak, Terj. Meitasari Tjandrasa, Erlangga, Jakarta, Ed.6. Piaget, Jean, 1988, Antara Tindakan Dan Pikiran, disunting oleh Agus Cremers, PT. Gramedia, Jakarta. Santrock, J. W. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group. Sarama, J., & Clements, D. H. (2002). Building blocks for young children’s mathematical development. Journal of Educational Computing Research, 27(1&2), 93-110. Sarama, J., & Clements, D. H. (2009). Early
Childhood Mathematics Education Rese-arch: Learning trajectories for young children. New York, NY: Routledge. Sarama, J., DiBiase, A.-M., Clements, D. H., & Spitler, M. E. (2004). The
professional development challenge in preschool mathematics. In D. H.
Clements, J. Sarama & A.-M. DiBiase (Eds.), Engaging young children in mathematics (pp. 415-446). Mahwah, NJ: Erlbaum. Suparno, Paul, 2001, Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget, Kanisius, Yogyakarta. Starkey, P. (1992). The early development of numerical reasoning. Cognition, 43, 93126. Starkey, P., Spelke, E. S., & Gelman, R. (1990). Numerical abstraction by human infants. Cognition, 36, 97-128.
kembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Erlangga, Jakarta. Inhelder, Barbel,
& Jean Piaget, 2010,
Psikologi Anak, Terj. Miftahul Jannah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet. 1. Monks, dkk.F. J., 1985, Psikologi Perkem-
bangan:
230
Pengantar
dalam
Berbagai
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Hubungan Penerapan Pembelajaran Matematika, Sarfa Wassahua, Ahmad Mahu
HUBUNGAN PENERAPAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW TERHADAP KEMAMPUAN PENALARAN Sarfa Wassahua dan Ahmad Mahu Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon Email :
[email protected]
Abstrak: Pembelajaran matematika yang dilakukan oleh guru kurang menekankan pada aspek berpikir siswa. Guru dalam pembelajarannya hanya berfokus pada aspek menilai hasil belajar yang baik. Kemampuan penalaran dalam matematika berperan penting, sebab dengan kemampuan penalaran siswa dapat menganalisis dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh siswa tersebut.Tujuan penelitian ini menjelaskan hubungan pembelajaran tipe Jigsaw terhadap kemampuan penalaran siswa. Tipe penenilitian kuasi eksperimen. Sampel yang digunakan 29 siswa dngan tehnik analisis data menggunakan korelasi product moment dengan bantuan SPSS. Hasil penelitian, penggunaan model pembelajaran Jigsaw berhubungan dengan kemampuan penalaran siswa, khususnya dalam materi segitiga. Terdapat hubungan penerapan model pembelajaran tipe Jigsaw terhadap kemampuan penalaran siswa dalam pembelajaran matematika sebesar 81,11% dengan nilai koefisien korelasinya sebesar 0,901 dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain. Keywords: Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw, Kemampuan Penalaran. Pendahuluan Dunia pendidikan saat ini memusatkan mutu pendidikan pada peningkatan kegiatan belajar mengajar (KBM) yang didalamnya terdapat guru dan siswa yang memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut menjadikan pembelajaran sebagai proses pendidikan memerlukan siasat, pendekatan, metode, dan teknik yang bermacam-macam sehingga siswa dapat menguasai materi dengan baik dan mendalam. Penguasaan siswa terhadap suatu materi dapat dilihat dari kecakapan yang dimilikinya salah satunya siswa menggunakan daya nalarnya untuk memecahkan suatu masalah yang ada. Pendidikan menurut UU RI No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional Bab I Pasal 1 (1) dikatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang di perlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.1 Sisiwa dalam lingkungan pndidikan formal seperti sekolah merupakan subjek di dalam proses pendidikan. Seorang guru dituntut harus mampu menguasai materi yang harus diajarkan, menguasai metode dalam memberi rangsangan kepada siswa, menyiptakan kondisi belajar yang efektif serta melaksankan evaluasi belajar. Evaluasi yang baik hendaknya dilaksanakan oleh guru setiap kali proses belajar mengajar.
1
Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2010), h. 1.
231
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 231-234
Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, pihak guru sebagai pendidik dan peserta didik sebagai pebelajar.2 Pembelajaran perlu memberdayakan semua potensi siswa untuk menguasai kopetensi yang diharapkan. Pemberdayaan diharapkan dapat mendorong pencapaian kopetensi dan perilaku khusus agar sikap individu mampu menjadi pembelajaran sepanjang hayat dan mewujudkan kemampuan daya nalarnya. Kemampuan penalaran yang tertuang dalam pedidikan No. 22 tahun 2006 tentang standar isi (SI) merupakan salah satu dari komponen yang harus dilakukan oleh siswa. Penalaran merupakan suatu aktivitas berpikir untuk menarik kesimpulan atau membuat pernyataan baru yang benar berdasarkan beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya.3 Materi matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami dan dilatih melalui belajar materi matematika. Kemampuan penalaran tidak hanya dibutuhkan para siswa pada saat pembelajaran matematika atau mata pelajaran lainnya, tetapi dibutuhkan ketika siswa dituntut untuk memecahkan masalah dan mengambil kesimpulan dalam permasalahan hidup. Mencermati begitu penting kemampuan penalaran pada pembelajaran matematika siswa dituntut untuk memiliki kemampuan ini. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern. Matematika juga berperan penting dalam berbagai disiplin ilmu. Matematika dalam baasa dianggap ilmu tentang bilangan-bilangan, antara bilangan dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah bilang-
an.4 Pembelajaran matematika yang dilakukan oleh guru kurang menekankan pada aspek berpikir siswa, terutama menggunakan nalar dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi siswa dalam proses pembelajaran. Guru dalam pembelajarannya hanya berfokus pada aspek nilai.. Padahal, kemampuan penalaran dalam matematika berperan penting, sebab dengan kemampuan penalaran siswa dapat menganalisis dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh siswa tersebut. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw 1.
Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Jigsaw pertama kali ditemukan dan diuji cobakan oleh Elliod Aronson dan temanteman di Universitas Texas, kemudian diadaptasikan oleh Slavin dan teman-teman di Universitas Jhon. Teknik mengajar Jigsaw dikembangkan dengan mendengarkan atau berbicara. Guru dalam teknik ini, memerhatikan skema atau latar belakang pengembangan siswa dan membantu siswa mengaktifkan skema ini agar bahan pelajaran menjadi bermakna. Siswa bersama dengan siswa lain bergotong royong dan memberikan banyak kesempatan untuk mengetahui informasi dan mningkatkan keterampilan berkomunakasi.5 Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif, siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 secara heterogen bekerja sama yang saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dengan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok lain. Jigsaw didesain untuk 4
2
Syaiful Sagala. Konsep dan Makna Pembelajaran (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 61. 3 Supriyoko, Memajukan Matematika Indonesia (http://www. Sinarharapan.co.id/2008), diakses tanggal 5 Desember 2011.
232
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h.31. 5 Pembelajaran Kooperatif Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Kelebihan dan kelemahan Tipe Jigsaw (http://matematika-ipa.com
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Hubungan Penerapan Pembelajaran Matematika, Sarfa Wassahua, Ahmad Mahu
meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya memelajari materi yang diberikan, tetapi mereka harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut kepada anggota kelompok lain. Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw di dalamnya terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok induk siswa beranggota siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragama. Kelompok asal gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal berbeda yang ditugaskan untuk memelajari dan mendalami topic tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal.6 2.
Kemampuan Penalaran Matematika
Istilah penalaran (reasoning) adalah proses berfikir yang berusaha menghubunghubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju suatu kesimpulan.7 Contoh, dari pengetahuan tentang besar dua sudut segitiga yaitu 600 dan 1000 maka dapat disimpulkan ataupun dibuat pernyataan lain bahwa besar sudut yang tiga pada segitiga itu adalah 200.Secara umum, terdapat dua model penalaran, yakni penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif adalah proses penalaran yang memungkinkan siswa mencapai sesuatu prinsip umum atau kesimpulan berdasarkan observasi atas hal-hal yang kecil. Penalaran induktif terbagi menjadi dua, generalisasi induktif dan analogi induktif. Generalisasi merupakan proses penalaran yang dimulai dari hal-hal kecil atau spesifik menuju hal-hal yang lebih umum. Analogi induktif dimulai dari hal spesifik yang satu menuju halhal yang lain.
Penalaran deduktif merupakan proses penalaran yang dimulai dari hal-hal yang umum menuju hal-hal yang bersifat khusus atau panel.8 Jenis penalaran yang digunakan dalam proses penelitian ini penalaran deduktif. Hal tersebut dimaksudkan untuk lebih mengarahkan tujuan penelitian, melihat hubungan antara penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan kemampuan penalaran siswa. Penalaran matematika dapat dicapai dengan memerhatikan indikator berikut: (1) mengajukan dugaan (konjukture), (2) memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran suatu pernyataan, (3) menarik kesimpulan dari suatu pernyataan, (4) memeriksa kesahihan suatu argumen, (5) menemukan pola pada suatu gejala matematis, dan (6) memeberikan alternatif bagi suatu argumen.9 Indikator-indikator penalaran yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: (1) mengajukan dugaan (konjukture), (2) memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran suatu pernyataan, (3) menarik kesimpulan dari suatu pernyataan, dan (4) memeriksa kesahihan suatu argumen. Pembahasan Pembelajaran merupakan suatu upaya membelajarkan peserta didik. Hal tersebut menuntut pendidik dapat mengatur kegiatan belajar mengajar sehingga menjadi lebih efektif dan menyenangkan. Proses pemilihan metode dan strategi yang tepat penting dalam suatu kegiatan pembelajaran. Hal tersebut diperlukan agar dalam proses belajar peserta didik lebih termotivasi dan dapat memahami dengan baik materi yang dipelajari dengan harapan dapat memeroleh hasil belajar yang maksimal serta menumbuhkembangkan kemampuan berpikirnya dalam bernalar.
8
6
htp://matematika-ipa.com 7 Keraf. G. Argumen dan Narasi: Komposisi Lanjut III (Jakarta, 1982) h. 5.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
http//blog.unsri ac.id/mathematics-eduction Depdiknas, Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah Menengah Pertama (Jakarta: 2003), h. 6. 9
233
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 231-234
Berdasarkan hasil penyebaran angket, rata-rata peserta didik merasa senang dan termotivasi dalam melaksanakan pembelajaran dengan model pembelajaran Jigsaw. Penggunaan model pembelajaran Jigsaw berhubungan dengan kemampuan penalaran siswa, khususnya materi segitiga. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat hubungan penerapan model pembelajaran tipe Jigsaw dengan kemampuan penalaran siswa dalam pembelajaran matematika sebesar 81,11% dengan nilai koefisien korelasinya sebesar 0,901 dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain. Nilai tersebut jika dikonversikan dalam tabel interpertasi nilai koefisien korelasi. Dari 29 orang sampel yang digunakan dalam penelitian ini, seluruh siswa menyetujui proses pembelajaran dilakukan dengan menggunakan metode Jigsaw, sebab dapat menumbuh kembangkan kemampauan penalaran siswa. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil uji analisis data dengan menggunakan uji Kolmogrov-Smirnov¸diperoleh bahwa data yang diperoleh dari sampel berdistribusi normal dengan nilai standar deviasi atau standar eror dalam metode Jigsaw sebesar 9,60 dan dalam variabel kemampuan penalaran sebesar 11,472. Proses pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran tipe Jigsaw menempatkan peserta didik sebagai subjek belajar bukan sebagai objek dalam pembelajaran. Menurut Zaimi, proses belajar akan berlangsung lebih efektif dan menyenangkan apabila dalam kegiatan pembelajarannya peserta didik terlibat langsung dalam proses tersebut. Peserta didik mengalami, menghayati, dan menarik pelajaran dari pengalamannya sehingga hasil belajar tersebut lebih melekat pada pikirannya dan mendorong peserta didik untuk lebih kreatif.
jaran tipe Jigsaw terhadap kemampuan penalaran siswa dalam pembelajaran matematika sebesar 81,11% dengan nilai koefisien korelasinya sebesar 0,901 dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain. DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas, Kurikulum 2004 Standar Kompe-
tensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah Menengah Pertama, Jakarta: 2003. Keraf. G. Argumen Dan Narasi:Komposisi Lanjut III, Jakarta, 1982. Depdiknas, Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajran Matematika Sekolah Menengah Pertama, Jakarta: Depdiknas, 2003. Poerwardarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Depdiknas, Kurikulum 2004 Standar Kompet-
ensi Mata Pelajran Matematika Sekolah Menengah Pertama, Jakarta: Depdiknas,
2003. Pembelajaran Kooperatif Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Kelebihan dan kelemahan Tipe Jigsaw (http://matematika-ipa.com Supriyoko, Memajukan Matematika Indonesia (http://www. Sinarharapan.co.id/2008), diakses tanggal 5 Desember 2011 Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2010. Syaiful Sagala. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta, 2012.
Simpulan Penggunaan model pembelajaran Jigsaw berhubungan dengan kemampuan penalaran siswa, khususnya dalam materi segitiga. Terdapat hubungan penerapan model pembela-
234
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Embedded Mathematic pada Budaya Ukiran Khas Tana Toraja, Abdillah
EMBEDDED MAHTEMATICS PADA BUDAYA UKIRAN KHAS TANA TORAJA UNTUK KONTEKS PEMBELAJARAN Abdillah Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon Email :
[email protected]
Abstrak: Artikel ini membahas identifikasi embedded mahtematics pada budaya ukiran khas Tana Toraja. Identifikasi dilakukan perspektif ethnomat-hematical untuk mengungkap embedded mahtematics pada budaya ukiran khas Tana Toraja agar dapat membantu mengembangkan intelektual, pembelajaran sosial, emosional, dan kreativitas pebelajar sehingga dengan menggunakan referensi budaya pebelajar pada ukiran Tana Toraja yang unik dapat memberikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang berkarakter pada diri pebelajar. Berbagai konsep matematika telah diidentifikasi dari budaya ukiran khas Tana Toraja. Embedded mahtematics pada budaya ukiran khas Tana Toraja, dan bahwa hal itu dapat digunakan sebagai konteks pembelajaran matematika untuk memromosikan pembelajaran matematika. di mana embedded mahtematics ini berkaitan dengan pengalaman budaya dan keseharian siswa, sehingga dapat membantu siswa dalam memudahkan mereka untuk menjelaskan hubungan yang bermakna dan memerdalam pemahaman mereka tentang matematika. Keyword: Embedded Mathematic pada Budaya Ukiran Khas Tana Toraja. Pendahuluan Fenomena kajian tentang budaya dan matematika telah mendapat banyak perhatian oleh beberapa peneliti1. Terkait dengan pembelajaran, beberapa ahli telah mengembangkan teori budaya yang relevan dengan pedagogi serta meneliti proses belajar meng-ajar dalam paradigma kritis dan melalui koneksi eksplisit antara budaya siswa dan materi pelajaran sekolah2. Berdasarkan perspektif ini, perlu untuk mengintegrasikan kurikulum budaya yang relevan dengan kurikulum matema-
tika. Menurut Torres-Velasquez dan Lobo (2004), perspektif ini merupakan komponen penting dari pendidikan budaya yang relevan karena mengusulkan bahwa guru mengontekstualisasikan pembelajaran matematika dengan menghubungkan konten matematika dengan budaya siswa dan pengalaman kehidupan nyata. Menurut Rosa dan Orey3, hubungan kurikulum matematika-budaya harus fokus pada peran matematika dalam konteks sosial budaya yang melibatkan ide-ide dan konsepkonsep yang berhubungan dengan ethnomathematics, menggunakan perspektif ethnoma-
1
Mascarenhas, A. 2004. Knowledge, Indigenous Knowledge, Peace and Development. Indilinga: African Journal of Indigenous Knowledge Systems, 3:1 -15. 2 Rosa, M. & Orey, D. C. 2011. Ethnomathematics: the cultural aspects of mathematics. Revista Latinoamericana de Etnomatemática, 4(2). 32-54
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
3
Torres-Velasquez, D., & Lobo, G. 2004. Culturally responsive mathematics teaching and English language learners. Teaching Children Mathematics, 11, 249-255
235
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 235-242
thematical untuk pemecahan kontekstual masalah. Selanjutnya Rosa4 menyatakan, ethnoma-thematics memelajari aspek budaya matematika. Hal ini menyajikan konsep-konsep matematika dari kurikulum sekolah dengan cara konsep-konsep yang dikaitkan dengan pengalaman budaya dan pengalaman harian siswa sehingga meningkatkan kemampuan mereka menjelaskan hubungan yang bermakna dan memerdalam pemahaman mereka tentang matematika. Pendekatan Ethnomathematical pada kurikulum matematika dimaksudkan untuk membuat sekolah matematika yang lebih relevan dan bermakna bagi siswa dan untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Istilah ethnomathematics digunakan untuk mengekspresikan hubungan antara budaya dan matematika. Istilah ethnomathematics digunakan untuk mengekspresikan hubungan antara budaya dan matematika. Istilah tersebut memerlukan interpretasi yang dinamis karena menggambarkan konsep yang sendirinya tidak kaku atau tunggal yaitu ethno and mathematics.5 D'Ambrosio6 menegaskan bahwa matematika muncul dari kebutuhan masyarakat yang terorganisir, yang tidak dapat dipisahkan dari aktivitas dan praktik yang dikembangkan oleh orang-orang dalam masyarakat global. Sedangkan Monteiro menyelidiki ide-ide matematika dan praktek yang diperoleh dari suatu anggota masyarakat petani sayuran di wilayah timur laut Brasil. Mereka memelajari konsep-konsep matematika yang digunakan petani untuk memanen, memroduksi, dan mengomersialkan sayur sayuran. Hal ini senada 4
Rosa, M. & Orey, D. C. 2011. Ethnomathematics: the cultural aspects of mathematics. Revista Latinoamericana de Etnomatemática, 4(2). 32-54. 5 D’Ambrosio, U. 2001. What is Ethnomathematics and how can it help children in schools? Teaching Children Mathematics, 7(6), 308-310. 6 D’Ambrosio, U. (2006). Ethnomathematics: Link between traditions and modernity. ZDM, 40(6), 1033-1034.
236
dengan Rosa7 menemukan bahwa pengetahuan matematika tertentu yang dihasilkan oleh petani berbeda dari penge-tahuan matematika yang diperoleh dalam setting akademik. Perbedaan pengetahuan matematika yang diperoleh suatu masyarakat dalam mendiami suatu wilayah tertentu dipengaruhi oleh budaya. Ethnomathematics telah menunjukkan bentuk-bentuk budaya matematika yang berbeda dari bentuk-bentuk matematika yang dominan atau matematika Barat. Ethnomathematics yang dibatasi oleh konsep alam dan gagasan, matematika secara budaya menunjukkan kekuatan analitis dalam mengidentifikasi, menghitung, dan penerapan proses generatif sistematis yang digunakan dalam 'statistik sosial' untuk menggambarkan dan mengklasifikasikan benda-benda, hewan, dan spesies tanaman. Ethnomathematics dapat menunjukkan kekuatan analitis dalam mengidentifikasi pola kognitif yang digunakan dalam lukisan dan berbagai desain struktural seperti dekoratif dinding, tempat tidur, keranjang, tikar, dan dekoratif ikat lengan, ikat kepala, dan produk lainnya berkelok-kelok dari tumbuhan dan bagian-bagian hewan.8 Salah satu daerah yang terkenal dengan budaya ukiran dekoratif dinding, kain tenun, rumah adat dan produk lainnya berkelok-kelok dari tumbuhan dan bagian-bagian hewan itu Tana Toraja. Terdapat beberapa penelitian yang mengungkapkan tentang budaya masyarakat Tana Toraja. Totanan9 mengusulkan pemodelan proses transformasi sosial hubung7
Rosa, M.&Orey, D.C. 2011. Ethnoma-thematics: the cultural aspects of mathematics. Revista Latinoamericana de Etnomatemática, 4(2). 32-54 8 Fisher, J. 2006. Enriching Students’ Learning
Through Ethnomathematics in Kuruti Elementary Schools in Papua New Guinea. Department of Electrical and Communication Engineering. PNG University of Technology. Papua New Guinea. 9 Totanan, C. 2012. Debt and Credit Principle in Culture Toraja Ethnic ‚Rambu Solo’‛: A New Perspective Non Contractual. IOSR Journal of Business
and Management (IOSR-JBM) ISSN: 2278-487X. Volume 4, Issue 3. PP. 26-31.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Embedded Mathematic pada Budaya Ukiran Khas Tana Toraja, Abdillah
an antara perilaku orang Toraja dalam prinsip utang dan kredit non kontrak dalam budaya etnis Toraja "rambu solo". Konsep eksplorasi menggunakan pendekatan open-ended dari fenomenologi dengan pengamatan terhadap fenomena budaya etnis Toraja. Christou menjelaskan teknik tenun dan teknologi tenun dari salah satu kelompok etnis Toraja Sa'dan. Tenun Toraja Sa'dan tidak selalu memiliki pola heddles benang lungsin, tetapi selalu memiliki batang gulungan yang dimasukkan ke dalam benang lungsin karena merupakan komponen integral dari alat tenun. Adam10 mengungkapkan penelitiannya tentang seni Toraja sebagai negosiator identitas. Berfokus pada ukiran berbasis arsitektur dari Toraja Indonesia, Adam berpendapat bentuk-bentuk seni itu situs untuk pernyataan, artikulasi, dan negosiasi berbagai identitas hubungan dan hirarkis. Budaya ukiran khas Tana Toraja menjadi hiasan dinding di rumah dan gudang beras tradisional dengan desain ukiran sebagian besar geometris. Disebut Pa‘ssura (tulisan) oleh masyarakat Toraja, konsepsi sosial, agama dan cosmogonist dunia sehingga menjadi tulisan untuk mewakili kehidupan sosial dan budaya Toraja.11 Ukiran kayu merupakan perwujudan budaya masyarakat Toraja. Setiap ukiran diberi nama yang membedakan dari yang lainnya. Ukiran yang dibuat mengikuti sistem yang terstruktur dengan mengambil sumbu vertikal dan tengah sebagai poros simetri: apa yang diukir pada sisi kiri juga diukir di sisi kanan. Terkadang dua desain terkait dapat mengikuti simetri pencerminan saat diukir sebagai refleksi cermin dari yang lain. Keteraturan simetris ini menyampaikan urutan bangunan dan kese10
Adams, K M. (1998). more than an ethnic marker: Toraja art as identity negotiator. SOURCE: American Ethnologist 25 no3 327-51. 11 Harliati. (2012). Toraja sebagaimana yang
imbangan, karakter akhir. Menimbang bahwa ukiran yang sama persis berulang di berbagai bagian rumah yang sama dan di bangunanbangunan rumah yang berbeda di lokasi yang berbeda.12 Hal ini menjadi tantangan bagi pendidik untuk mengidentifikasi embedded mahtematics pada budaya ukiran khas Tana Toraja dengan potensi penggunaannya dalam konteks pembelajaran matematika. Hasil dan Pembahasan Lucena13 menyelidiki ide-ide dan praktek matematika yang diperoleh oleh sekelompok masyarakat petani sayur di wilayah timur laut Brasil. Mereka memelajari konsep-konsep matematika yang digunakan petani untuk memanen, memroduksi, dan mengkomersialkan sayur-sayuran. Mereka menemukan penge t-huan matematika tertentu yang dihasilkan oleh petani berbeda dari pengetahuan matematika yang diperoleh dalam setting akademik. Rosa & Orey14 menyatakan, beberapa konsep penting matematika yang dikembangkan di luar sekolah tanpa petunjuk khusus karena konsep dan prosedur ini akan muncul melalui interaksi sosial individu dalam kegiatan sehari-hari seperti perdagangan dan produksi barang serta mungkin untuk menyimpulkan bahwa ide-ide matematika dan praktek yang digunakan di luar sekolah dapat dianggap sebagai proses pemodelan daripada hanya proses manipulasi angka. Orey15 menyatakan,
12
Adams, Kathleen M. 2006. Art as Politics: Recrafting Identities, Tourism and Power in Tana Toraja, Indonesia. Honolulu: University of Hawaii Press. 13 Lucena, I. C. R. 2004. Etnomatemática e práticas sociais [Ethnomathematics and social practices]. Coleção Introdução à Etnomatemática [Introduction to Ethnomathematics Collection]. Natal, RN,
terlukis dalam Landorundun Karya Rampa’ Maega: sebuah Tinjauan Sosiologis. Skripsi. Depok: Fakultas
Brazil: UFRN 14 Rosa, M. & Orey, D.C. 2011. Ethnomathematics: the cultural aspects of mathematics. Revista Latinoamericana de Etnomatemática, 4(2). 32-54 15 Orey, D.C. (2000). The ethnomathematics of the Sioux tipi and cone. In H. Selin (Ed.), Mathematics
Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia
across culture: the History of non-Western mathema-
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
237
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 235-242
penerapan "teknik ethnomathematical dan modeling alat-alat matematika memungkinkan manusia melihat realitas berbeda dan memberi wawasan tentang ilmu dilakukan dalam cara yang berbeda". Untuk memecahkan masalah, pebelajar harus memahami sistem alternatif dalam matematika dan mereka juga harus mampu untuk memahami lebih lanjut bahwa matematika memainkan peran dalam konteks sosial.16. Di awal tahun 1993, D'Ambrosio mendefinisikan sistem sebagai bagian dari realitas yang dianggap integral. Sistem adalah seperangkat item yang diambil dari realitas pebelajar, studi dari semua komponen dan hubungan di antara mereka. Modeling matematis adalah strategi pedagogis yang digunakan untuk memotivasi siswa dalam bekerja pada matematika konten dan membantu mereka untuk membangun jembatan antara matematika informal dan matematika akademik. Sebagai contoh, Palmer17 mengungkapkan hasil penelitiannya yang berkaitan dengan masalah bagaimana mengidentifikasi matematika dalam kegiatan woodcarver Tana Toraja. Palmer menawarkan metode yang berkembang seiring dengan proses pemodelan matematika. Bergerak dari luar ke dalam dalam praktek: pertama, menganalisis finished-work (produk aktivitas); kemudian mengamati (proses konstruksi produk tempat alat memainkan peran besar) work-in-progress dan; Akhirnya, menanyakan tentang work-in-purpose (ide-ide produk penulis dan penjelasan). Hanya setelah memperhitungkan tiga tahap penting dari
situasi dapat dinyatakan bahwa pengetahuan matematika yang terlibat dalam praktek dan menggambarkannya. Kasus ini terdapat pada pengukir Toraja Sulawesi, di Indonesia. Hal ini menunjukkan cara mereka membagi segmen ke dalam bagian yang sama menggunakan metode rekursif yang tidak perlu partisipasi menggunakan jangka seperti pada solusi Euclidean. Pendidik penting untuk mencari masalah atau konteks pembelajaran yang diambil dari realitas siswa. Melalui konteks pembelajaran tersebut pebelajar dapat terbantu pemahamannya dalam memerdalam situasi kehidupan nyatanya melalui penerapan kegiatan budaya yang berhubungan. Menurut Rosa18, tujuan utama dari pendekatan pedagogis ini untuk berlatih konteks matematis yang memungkinkan siswa untuk melihat dunia sebagai sesuatu yang terdiri dari peluang untuk memekerjakan pengetahuan matematika yang membantu mereka untuk membuat sense situasi tertentu. Observasi Materi Matematika Gambar 1 berikut salah satu halaman dalam Buku Kerja Siswa (BKS). Di halaman tersebut siswa diminta untuk menyelesaikan beberapa masalah yang berhubungan dengan pecahan. Penyelesaian masalah dilakukan dengan didampingi orang tua, pada petunjuk tercetak (‚Ayo bersama orang tua‛, Nyatakan pecahan yang sesuai untuk daerah yang berwarna terhadap daerah keseluruhan dengan cara seperti yang telah kita pelajari).
tics (pp.239-252). Dordrecht, Netherlands: Kulwer Academic Publishers 16 Rosa, M., & Orey, D.C. (2007). Cultural assertions and challenges towards pedagogical action of an ethnomathematics program. For the Learning of Mathematics, 27(1), 10-16. 17 Palmer, M. A. (2006). "The Kira-kira method of the Torajan woodcarvers of Sulawesi to divide a segment into equal parts" (doc). Third International
Conference on Ethnomathematics: Cultural Connections and Mathematical Manipulations, Auckland, New Zealand: University of Auckland.
238
Gambar 1 salah satu halaman pada BKS 18
Rosa, M., & Orey, D. C. (2008). Ethnomathematics and cultural representations: Teaching in highly diverse contexts. Acta Scientiae - ULBRA, 10, 27-46.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Embedded Mathematic pada Budaya Ukiran Khas Tana Toraja, Abdillah
Artikel ini membahas tentang identifikasi embedded mahtematics pada budaya ukiran khas Tana Toraja. Identifikasi dimaksudkan agar dapat dijadikan sebagai konteks pembelajaran matematika. Identifikasi dilakukan perspektif ethnomathematical untuk mengungkap embedded mahtematics pada budaya ukiran khas Tana Toraja agar dapat membantu mengembangkan intelektual, pembelajaran sosial, emo-sional, dan kreativitas pebelajar sehingga dengan menggunakan referensi budaya pebelajar pada ukiran Tana Toraja yang unik dapat memberikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang berkarakter pada diri pebelajar. Berbagai konsep matematika telah diidentifikasi dari budaya ukiran khas Tana Toraja. Ditemukan bahwa terdapat embedded mahtematics dalam budaya ukiran khas Tana Toraja. Hal itu dapat digunakan sebagai konteks pembelajaran matematika untuk memromosikan pembelajaran matematika. Embedded mahtematics ini berkaitan dengan pengalaman budaya dan keseharian siswa, sehingga dapat membantu siswa dalam memudahkan mereka untuk menjelaskan hubungan yang bermakna dan memperdalam pemahaman mereka tentang matematika Gambar 2 berupa lembar evaluasi, yang pebelajar diminta untuk menunjukkan nilai pecahan pada daerah yang dianggap berwana, pada lembaran tersebut tercetak ‚Tunjukkan nilai pecahan pada daerah yang berwarna berikut!‛ Hasil pengamatan pada BKS dan Lembar Evaluasi menjadi ide awal untuk mengidentifikasi embedded mathematics dalam budaya ukiran khas Tana Toraja untuk dijadikan konteks pembelajaran. Beberapa peneliti telah mengidenfikasi objek-objek matematika pada suatu produk budaya.19 Nkopodi & Mosimege20 mengatakan, beberapa aspek bu19
Adam, N. A. (2012). Weaving Mathematics and Culture: Mutual Interrogation as a Methodological Approach. Journal of Mathematics and Culture Volume 6 Number 1 Focus Issue ICEM4. 20 Nkopodi, N & Mosimege, M. (2009). Incorporating the indigenous game of Morabaraba in
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
daya yang berhubungan dengan game (kebudayaan) penduduk asli dapat dimasukkan dalam pengajaran dan pembelajaran matematika. Adam21 melalui mutual interogasinya telah mengidentifikasi bahwa interaksi antara konsep penenun dan konvensi matematikawan telah menemukan beberapa perspektif yang menarik.
Identifikasi embedded mathematics pada budaya ukiran khas Tana Toraja Identifikasi embedded mathematics dalam budaya ukiran khas Tana Toraja dengan potensi penggunaannya dalam konteks pembelajaran. Ada berbagai ukiran khas di Tana Toraja. Jika pendidik ingin menggunakan ukiran ini di dalam kelas, mereka harus memilih ukiran tertentu atau jumlah ukiran tergantung pada fokus materi dan relevansi ukiran seperti dalam hal fokus pembelajaran matematika. Suatu analisis matematis (menerapkan konsep-konsep, prinsip dan proses matematika) dari setiap ukiran mengungkapkan seberapa jauh konsep-konsep matematika yang tertanam dalam ukiran. Konsep-konsep matematika berikut ditemukan dalam analisis ukiran khas Tana Toraja: (1) identifikasi berbagai segiempat (persegi); (2) rasio dan proporsi antara garis dan persegi dalam pembuatan ukiran, dan (3) simetri: Simetri diamati dalam setidaknya tiga kasus yang berbeda: (1) berbagai sisi ukiran; (2) dalam setiap sisi ukiran; (3) penempatan tanda dan gerakan berulang-ulang dari ukiran. Berikut contoh ukiran yang diidentifikasi sebagai embedded mathematics dalam budaya ukiran khas Tana Toraja dengan potensi penggunaannya dalam konteks pemthe learning of mathmatics. South African Journal of Education. EASA. Vol 29:377-392. 21 Adam, N. A. (2012). Weaving Mathematics and Culture: Mutual Interrogation as a Methodological Approach. Journal of Mathematics and Culture Volume 6 Number 1 Focus Issue ICEM4.
239
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 235-242
belajaran matematika dengan materi pecahan pada tingkat sekolah dasar atau sederajat. Daerah yang diberi warna arsiran putih di samping itu 1 bagian dari 2. Daerah tersebut menunjukkan pecahan .
Gambar 5 hasil cutting bagian gambar 8 dari salah satu jenis ukiran khas Tana Toraja yang berbentuk persegi. Gambar 5 tersebut diilustrsikan sebagai ukiran yang dilapisi plastik mika kemudian diberi arsiran warna putih pada 3 bagian dari 4 bagian/keseluruhan. Daerah tersebut menunjukkan pecahan .
Gambar 3
Daerah yang diberi warna arsiran putih di samping itu 1 bagian dari 4. Daerah tersebut menunjukkan pecahan . Gambar 4
Daerah yang diberi war-na arsiran putih di samping itu 3 bagian dari 4. Daerah tersebut menunjukkan pecahan .
Gambar 8
Gambar 6 hasil editing bagian gambar 9 dari salah satu jenis ukiran khas Tana Toraja yang berbentuk persegi. Gambar 6 tersebut diilustrsikan sebagai ukiran yang dilapisi plastik mika kemudian diberi arsiran warna hijau pada 1 bagian dari 8 bagian/keseluruhan. Daerah tersebut menunjukkan pecahan .
Gambar 5
Daerah yang diberi war-na arsiran hijau di sam-ping itu 1 bagian dari 8. Daerah tersebut menun-jukkan pecahan . Gambar 6
Gambar 3 salah satu jenis ukiran khas Tana Toraja yang berbentuk lingkaran. Ukiran tersebut diilustrsikan sebagai ukiran yang dilapisi plastik mika kemudian diarsir warna putih pada setengah bagian dari keseluruhan. Gambar 4 hasil cutting bagian gambar 7 dari salah satu jenis ukiran khas Tana Toraja yang berbentuk persegi. Gambar 4 tersebut diilustrsikan sebagai ukiran yang dilapisi plastik mika kemudian diberi arsiran warna putih pada 1 bagian dari 4 bagian/keseluruhan. Daerah tersebut menunjukkan pecahan .
Gambar 9
Adam menjelaskan, sistem pengetahuan mengacu pada pengetahuan tertanam dalam praktek budaya (yaitu pengetahuan budaya.) yang konvensional, dan pengetahuan matematika. Penekanannya pada matematika, karena ethnomathematics tentang menemukan atau mengungkap berbagai cara untuk mengetahui sesuatu yang dianggap merupakan unsur matematika. Massarwe22 dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pebelajar dianggap membangun praktek ornamen geometris dan penemuan hakikat matematika mereka sebagai pengalaman belajar bermakna dan menyenangkan. Pengalaman ini emosi terinspirasi, wacana hidup, dan motivasi belajar. Hal ini muncul dalam penyelidikan geometris dan so22
Gambar 7
240
Massarwe, K, dkk. (2010). An Ethnomathematics Exercise in Analyzing and Constructing Ornaments in a Geometry Class. Journal of Mathe-matics & Culture. February 2010 5 (1) ISSN –1558-5336
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Embedded Mathematic pada Budaya Ukiran Khas Tana Toraja, Abdillah
sial budaya, yang menyerminkan rasa haus siswa untuk penggunaan praktis dari pengetahuan matematika yang diperoleh dan kesadaran mereka tentang identitas budaya. Terkait dengan belajar bermakna, teori Ausebel23 memberikan gambaran cara individu belajar sejumlah materi pembelajaran secara bermakna dari suatu sajian berbentuk verbal/teks di sekolah. Menurut Ausebel, belajar dapat dikategorikan ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama, berhubungan dengan cara informasi/materi pembelajaran tersebut disajikan kepada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua, menyangkut cara siswa dapat mengaitkan informasi itu dalam struktur kognitifnya (berupa fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa) yang telah ada. Kedua dimensi tersebut tidak menunjukkan dikotomi sederhana, melainkan merupakan suatu kontinuum. Informasi yang diperoleh/dipelajari pebelajar dengan menggunakan potensi kontekstual pada embedded mathematics ukiran khas Tana Toraja menjadi bermakna karena merupakan praktek budaya keseharian pebelajar dan akan lebih lama diingat. Informasi yang diperoleh berakibatkan peningkatan diferensiasi dari subsumer-subsumer sehingga memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip. Simpulan
Embedded mathematics adalah program yang mencakup budaya dan matematika yang tertanam pada kebutuhan, konteks lokal, dan budaya siswa. Embedded mathematics sebagai konteks pembelajaran yang dirancang agar sesuai dengan budaya sekolah siswa sebagai dasar untuk membantu mereka dalam memahami diri sendiri dan rekan-rekan mereka, mengembangkan dan struktur interaksi sosial, dan konsep pengetahuan matematika. Konteks 23
Ausubel, D. (1978). In defense of advance organizers: A reply to the critics. Review of
pembelajaran dengan embedded mathematics yang diidentifikasi juga membangun dan menghargai pengalaman budaya dan pengetahuan siswa terlepas dari apakah mereka diwakili oleh sistem budaya yang dominan dan memberdayakan mereka secara intelektual, sosial, emosional, dan politik dengan menggunakan acuan budaya untuk memberikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam pekerjaan pedagogis di sekolah. DAFTAR PUSTAKA
Adams, K M. (1998). more than an ethnic marker: Toraja art as Identity Negotiator. SOURCE: American Ethnologist 25 no3 327-51. Adams, Kathleen M. (2006). Art as Politics:
Recrafting Identities, Tourism and Power in Tana Toraja, Indonesia. Honolulu: University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-3072-4. http://pdms.kucing.biz/_b.php?_b=info &id=26212#cite_note-Palmer2006-21 Adam, N. A. (2012). Weaving Mathematics and Culture: Mutual Interrogation as a Methodological Approach. Journal of
Mathematics and Culture Volume 6 Number 1 Focus Issue ICEM4. Ausubel, D. (1978). In defense of advance organizers: A reply to the Critics. Review of Educational Research, 48, 251257. Ausubel, D., Novak, J., & Hanesian, H. (1978). Educational Psychology: A Cognitive View (2nd Ed.). New York: Holt, Rinehart & Winston. Christou, M. (2004). Saddan Toraja Supplementary Weft Weaving An Ethnographic Interpretation of Acculturation and Assimilation of Loom Technology and Weaving Techniques. Textile
Educational Research, 48, 251-257.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
241
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 235-242
Society of America Symposium Proceedings. D’Ambrosio, U. (2001). What is Ethnomathematics and how can it help children in schools? Teaching Children Mathematics, 7(6), 308-310. D’Ambrosio, U. (2006). Ethnomathematics: Link between traditions and modernity. ZDM, 40(6), 1033-1034 Fisher, J. (2006). Enriching Students’
Learning Through Ethnomathematics in Kuruti Elementary Schools in Papua New Guinea. Department of Electrical
and Communication Engineering. PNG University of Technology. Papua New Guinea. (https://www.math.auckland.ac.nz/Even ts/2006/ICEM3/3.Prez%20Not%20Given/Prez%20not %20given%20papers/Fisher-paper.pdf) Harliati. (2012). Toraja sebagaimana yang
terlukis dalam Landorundun Karya Rampa’ Maega: sebuah Tinjauan Sosiologis. Skripsi. Depok: Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia. Larson, C. (2007). Master of Arts in Teaching (MAT) Masters Exam. In partial fulfilment of the requirements for the Master of Arts in Teaching with a specialization in the teaching of middle level mathematics in Department of Mathematics. Gordon Woodward, Advisor. Lucena, I. C. R. (2004). Etnomatemática e
práticas sociais [Ethnomathematics and social practices]. Coleção Introdução à Etnomatemática [Introduction to Ethnomathematics Collection]. Natal,
RN, Brazil: UFRN. Mascarenhas, A. (2004). Knowledge, Indigenous Knowledge, Peace and Development. Indilinga: African Journal of Indigenous Knowledge Systems, 3:1 -15. Massarwe, K, dkk. (2010). An Ethnomathematics Exercise in Analyzing and Constructing Ornaments in a Geometry
242
Journal of Mathematics & Culture. February 2010 5 (1) ISSN – Class.
1558-5336 Nkopodi, N & Mosimege, M. (2009). Incorporating the indigenous game of Morabaraba in the learning of mathmatics. South African Journal of Education. EASA. Vol 29:377-392. Orey, D. C. (2000). The ethnomathematics of the Sioux tipi and cone. In H. Selin (Ed.), Mathematics across culture: the
History of non-Western mathematics (pp.239-252). Dordrecht, Netherlands: Kulwer Academic Publishers. Palmer, M. A. (2006). "The Kira-kira method of the Torajan woodcarvers of Sulawesi to divide a segment into equal parts" (doc). Third International Conference on
Ethnomathematics: Cultural Connections and Mathematical Manipulations, Auckland, New Zealand: University of Auckland.
Rosa, M., & Orey, D. C. (2007). Cultural assertions and Challenges Towards Pedagogical Action of an EthnomatheMatics Program. For the Learning of Mathematics, 27(1), 10-16. Rosa, M., & Orey, D. C. (2008). Ethnomathematics and Cultural Representations: Teaching in highly diverse contexts. Acta Scientiae - ULBRA, 10, 27-46 Rosa, M. & Orey, D.C. (2011). Ethnomathematics: the Cultural Aspects of mathematics. Revista Latinoamericana de Etnomatemática, 4(2). 32-54 Torres-Velasquez, D., & Lobo, G. (2004). Culturally Responsive Mathematics Teaching And English Language Learners. Teaching Children Mathematics, 11, 249-255. Totanan, C. (2012). Debt and Credit Principle in Culture Toraja Ethnic ‚Rambu Solo’‛: A New Perspective Non Contractual. IOSR Journal of Business and
Management (IOSR-JBM) ISSN: 2278487X. Volume 4, Issue 3. PP. 26-31.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Etika Guru dan Peserta Didik di Kelas dalam Islam, Ridhwan Latuapo
ETIKA INTERAKSI GURU DAN PESERTA DIDIK DI KELAS DALAM PENDIDIKAN ISLAM Ridhwan Latuapo Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon Email :
[email protected]
Abstrak: Interaksi edukatif berarti interaksi yang berlangsung dalam ikatan proses pendidikan, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Dilihat dari ilmu pendidikan Islam, untuk menjadi guru dan diperkirakan dapat memenuhi tanggung jawab yang dibebankan kepadanya hendaknya bertakwa kepada Allah, berilmu, sehat jasmaniah, baik akhlaknya, bertanggung jawab dan berjiwa nasional. Guru sebagai pihak yang berinisiatif awal untuk penyelenggaraan pengajaran, sedangkan peserta didik sebagai pihak yang secara langsung mengalami dan mendapatkan manfaat dari peritiwa belajar mengajar yang terjadi. Keywords: Interaksi Guru-Peserta Didik, Pendidikan Islam. Pendahuluan Guru dan peserta didik merupakan unsur manusiawi dalam sistem pendidikan. Kedua unsur ini dominan kedudukannya dalam sistem pendidikan, sekaligus muara segala persoalan dalam pendidikan. Ketika semua orang memersoalkan dunia pendidikan, figur guru mesti terlibat dalam agenda pembicaraan, terutama berkaitan dengan persoalan pendidikan formal di sekolah.1 Menurut Zakiah Daradjat, proses pendidikan hanya dapat berlangsung jika terdapat pebelajar dan orang yang mengajar, guru dan peserta didik, sehingga terjalin hubungan interaktif antara mereka. Guru dan peserta didik merupakan unsur pendidikan yang berpotensi untuk dinamis.2 Interaksi edukatif dapat berlangsung baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Interaksi edukatif yang berlang1
Imam Sutari Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis (Yayasan Penerbit FIP IKIP: Yogyakarta, 1982. h. 52. 2 Zakiah Daradjat, Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 37.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
sung secara khusus dengan ketentuan-ketentuan tertentu di lingkungan sekolah disebut interaksi belajar mengajar. Tulisan ini mendeskripsikan pola interaksi di kelas dalam linkungan pendidikan Islam. Etika Interaksi Guru dan Peserta didik di kelas dalam pendidikan Islam Guru sebagai pendidik profesional telah merelakan diri menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang terpikul di pundak orang tua. Hal itu menunjukkan orang tua menyerahkan anaknya kepada pihak yang dapat dipercaya, seperti guru di sekolah. Menurut Zakiah Darajat syarat-syarat (kode etik) dilihat dari ilmu pendidikan Islam, secara umum untuk menjadi guru diperkirakan dapat memenuhi tanggung jawab yang dibebankan kepadanya hendaknya bertakwa kepada Allah, berilmu, sehat jasmaniah, baik akhlak, bertanggung jawab dan berjiwa nasional.3 3
Zakiah Daradjat, Islam untuk Disiplin Ilmu
Pendidikan, h. 41.
243
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 243-246
Edi Suardi merinci ciri-ciri interaksi belajar mengajar sebagai berikut: 1) Interaksi belajar-mengajar memiliki tujuan, yakni membantu anak dalam suatu perkembangan tertentu. Siswa bertujuan, unsur lainnya sebagai pengantar dan pendukung. 2) Ada suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncana, didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 3) Interaksi belajar-mengajar itu ditandai dengan satu penggarapan materi yang khusus. Materi harus didesain sedemikian rupa sehingga cocok untuk mencapai tujuan. Perlu diperhatikan komponen-komponen yang lain, apalagi komponen anak didik sebagai sentral. Materi harus sudah didesain dan disiapkan sebelum berlangsung interaksi belajar-mengajar. 4) Ditandai dengan adanya aktivitas siswa baik secara fisik maupun secara mental aktif. Inilah yang sesuai dengan konsep CBSA. 5) Guru dalam interaksi belajar-mengajar berperan sebagai pembimbing. Guru harus berusaha menghidupkan dan memberikan motivasi agar terjadi proses interaksi yang kondusif. 6) Dibutuhkan disiplin dalam interaksi belajar-mengajar. Disiplin dalam interaksi belajar-mengajar ini diartikan sebagai suatu pola tingkah laku yang diatur sedemikian rupa menurut ketentuan yang ditaati oleh semua pihak dengan secara sadar, baik pihak guru maupun pihak siswa. 7) Ada batas waktu. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu dalam sistem berkelas (kelompok siswa).
Interaksi antara guru dan peserta didik terjadi karena saling membutuhkan. Peran Guru sebagai orang tua harus dimiliki karena keberhasilan peserta didik bukan hanya terfokus pada ilmu yang ditransfer oleh seorang guru saja. Tugas guru sebagai pengajar belum cukup untuk mencapai keberhasilan peserta didik dan tujuan pendidikan nasional. Sebagai figur guru harus mampu mendidik sifat, sikap, dan mental peserta didiknya. Dengan cara pendekatan individu guru sudah melakukan perannya sebagai orang tua. Selain pendekatan individu, guru juga harus bersikap adil (tidak membeda-bedakan peserta didiksiswinya) perbedaan karakteristik yang dimiliki peserta didiknya harus diketahui oleh gurunya dan guru harus mampu menyeimbangkan perbedaan karakteristik peserta didiknya.4 Guru sebagai Pendidik Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Bab XI Pasal 39 Ayat 2 menyatakan bahwa guru sebagai pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.5 Guru itu pendidik, menjadi tokoh, panutan dan identifikasi bagi para peserta didik, dan lingkungannya. Guru harus memiliki standar kualitas tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin. Peran guru sebagai pendidik merupakan peran-peran yang berkaitan dengan tugas-tugas memberi bantuan dan dorongan, tugas-tugas pengawasan dan pembinaan serta tugas-tugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan anak agar anak itu menjadi
Guru sebagai Orang Tua Peserta didik Menurut Syaiful Bahri Jamarah, semua norma yang diyakini mengandung kebaikan perlu ditanamkan ke dalam jiwa peserta didik melalui peranan guru dalam pengajaran. Guru dan anak berada dalam suatu relasi kejiwaan.
244
4
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000.h. 121.-122. 5
UU RI, SISDIKNAS NO 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, (Cet. VIII; Jakarta: Asa Mandiri, 2009), h. 5.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Etika Guru dan Peserta Didik di Kelas dalam Islam, Ridhwan Latuapo
patuh terhadap aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam keluarga dan masyarakat.6 Guru dan peserta didik merupakan unsur yang menggerakkan proses interaksi edukatif, dimana interaksi edukatif tesebut mempunyai suatu tujuan. Ketika interaksi edukatif tersebut berproses, guru harus dengan ikhlas dalam bersikap dan berbuat serta mau memahami peserta didik dengan konsekuensinya. Semua kendala yang menghambat proses interaksi edukatif harus dihilangkan dan membiarkan, karena keberhasilan interaksi edukatif lebih banyak ditentukan oleh guru dalam mengelola kelas. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Bab XI Pasal 39 Ayat 2 menyatakan bahwa guru sebagai pendidik adalah tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat7 Hubungan Guru Peserta didik dalam kegiatan pembelajaran Guru dan peserta didik dua subjek dalam berinteraksi pengajaran. Guru sebagai pihak yang berinisiatif awal untuk penyelenggaraan pengajaran, sedankan peserta didik sebagai pihak yang secara langsung mengalami dan mendapatkan manfaat dari peritiwa belajar mengajar yang terjadi. Guru sebagai pengarah dan pembimbing berdasarkan tujuan yang telah di tentukan, sedang peserta didik ialah sebagai yang menuju pada arah tujuan melalui aktifitas dan berinteraksi langsung dengan lingkungan sebagai sumber belajar atas bimbingan guru. Jadi kedua pihak (guru dan peserta didik) menunjukan sebagai dua subjek
6
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1992, h. 42. 7 https://nasriaika1125.wordpress.com/2013/09/2 8/interaksi-dalam-pembelajaran/. Diakses tanggal 08 Juli 2015.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
pengajaran yang sama-sama menempati status yang penting. Proses pembelajaran ataupun kegiatan belajar-mengajar tidak bisa lepas dari keberadaan guru. Tanpa adanya guru pembelajaran akan sulit dilakukan, apalagi dalam rangka pelaksanaan pendidikan formal, guru menjadi pihak yang vital. Guru berperan paling aktif dalam pelaksanaan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang akan dicapai. Guru melaksanakan pendidikan melalui kegiatan pembelajaran dengan mengajar peserta didik. Peserta didik akan kesulitan dalam belajar atau menerima materi tanpa keberadaan guru, mengandalkan sumber belajar dan media pembelajaran saja akan sulit dalam penguasaan materi tanpa bimbingan guru. Guru juga memiliki banyak kewajiban dalam pembelajaran dari mulai merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran hingga melakukan evaluasi pembelajaran yang telah dilakukan. Hubungan guru dengan peserta didik dalam proses pembelajaran merupakan faktor yang sangat menentukan. Salah-satu caranya ada contact-hours di dalam hubungan gurupeserta didik. Contact-hours/jam-jam bertemu antara guru-peserta didik hakikatnya merupakan kegiatan di luar jam-jam presen-tasi di muka kelas seperti biasanya. Kegiatan belajar mengajar tidak hanya melalui presentasi atau sistem kuliah di depan kelas. Metode dan kuliah (presentasi) tidaklah dianggap sebagai satu-satunya proses belajar yang efisien bila ditinjau baik dari segi pengembangan sikap dan pikiran intelektual yang kritis dan kreatif. Bentuk-bentuk kegiatan belajar selain melalui pengajaran di depan kelas, perlu diperhatikan bentuk-bentuk kegiatan pembelajaran yang lain. Cara-cara atau bentuk-bentuk belajar yang lain itu antara lain dapat melalui dengan contact-hours tadi. Dalam saatsaat semacarn itu dapat dikembangkan komunikasi dua arah. Guru dapat menanyai dan mengungkap keadaan peserta didik dan sebaliknya peserta didik mengajukan berbagai persoalanpersoalan dan
245
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 243-246
hambatan yang sedang dihadapi. Terjadilah suatu proses interaksi dan komunikasi yang humanistik.8 Tujuan kemanusiaan harus selalu diperhatikan, sehingga salah-satu hasil pendi-dikan yang diharapkan human people, manusia yang memiliki kesadaran untuk memperlakukan orang lain dengan penuh respect dan dignity.9 Namun, kegiatan informal semacam itu belum banyak dikernbangkan. Ada hambatan-hambatan tertentu seperti kadang-kadang masih bersikap otoriter dari guru, sikap tertutup dari guru, peserta didik yang pasif, jumlah peserta didik yang terlalu besar dan latar-belakang guru sendiri maupun para peserta didiknya. Untuk mengatasi itu perlu dikembangkan sikap demokratis dan terbuka dari para guru. Simpulan Guru dalam tanggung jawabnya membibing peserta didik dituntut (kode etik) memiliki syarat yang berhubungan dengan dirinya, dengan pelajaran dan peserta didik. Berkaitan dengan interaksinya guru memiliki multiperan, sebagai pendidik yang mengajarkan nilai-nilai pendidikan dan sebagai orang tua atas pelimpahan wewenang orang tua dalam mendidik anak di sekolah. Guru dalam interaksinya dituntut membentuk interaksi yang bertujuan edukatif yang bermanfaat bagi peserta didik.
Ahmadi Abu dan Triprasetya Joko, Strategi Belajar Mengaja, Bandung: Pustaka Setia, 1997. Barnadib Imam Sutari, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, Yayasan Penerbit FIP IKIP: Yogyakarta, 1982. Daradjat Zakiah, Islam Untuk Disiplin Ilmu Pendidikan, Bulan Bintang: Jakarta, 2008. _____, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012. Djamarah Syaiful Bahri, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000. Djamarah Syaiful Bahri, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. an-Nadwi Abul Hasan, Pendidikan Islam yang Mandiri, Bandung: Dunia Ilmu, 1987.
UU RI, SISDIKNAS NO 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Cet. VIII; Jakarta: Asa Mandiri, 2009. Yunus Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1992. Uzer Usman Moh., Menjadi Guru Profesional, Bandung: Remaja Rosda Karya. 2000.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur,an dan Terjemahnya, Kementerian Agama.
8
Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, Bandung: Remaja Rosda Karya, h. 32. 9 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, h. 35.
246
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Model Belajar: Tinjauan Teoretik, Idrus Sere
MODEL BELAJAR: TINJAUAN TEORETIK Idrus Sere Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon Email :
[email protected]
Abstrak: Belajar merupakan sebuah aktivitas yang ditandai dengan adanya perubahan tingkah kaku peserta didik. Komponen belajar yang terpenting terdiri dari pendidik, anak didik, materi, dan media. Interaksi edukatif berarti interaksi yang berlangsung dalam ikatan proses pendidikan, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Karena belajar memiliki berbagai tipe, pendidik sebagai pihak yang bertanggung jawab harus memiliki kepekaan terhadap anak didiknya. Pendidik harus memiliki sejumlah persyaratanm baik ebrkaitan dengan kepriabdian maupun profesionalitasnya. Keywords: Model Belajar, Pedagogis. Pendahuluan Belajar baik di kalangan umum maupun di pondok pesantren memiliki pengertian yang sama. Belajar dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku, akibat interaksi individu dengan lingkungan.1 Belajar adalah mengumpulkan sejumlah pengetahuan yang didapat dari seseorang yang lebih tahu. Dalam belajar, pengetahuan dikumpulkan setahap demi setahap sehingga menjadi komplek. Orang yang sarat dengan pengetahuannya diidentifikasi sebagai orang yang banyak belajar, sebaliknya, orang yang terbatas dengan pengetahuannya diidentifikasi sebagai orang yang sedikit belajar; dan orang yang tidak berpengetahuan dikatakan sebagai orang yang tidak mengalami belajar.2 Kegiatan belajar tersebut merupakan kegiatan harian yang lama kelamaan dalam diri orang yang melakukan aktivitas tersebut akan mengalami perubahan, baik dari tidak mengerti menjadi mengerti, dari tidak 1
Muhammad Ali, Pendidik dalam Proses Belajar Mengajar (Edisi Revisi), Bandung, Sinar Baru, 1987, h. 14 2 Dimyati & Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta, Rineka Cipta, 1999, h. 2
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
tahu menjadi tahu, maupun dari tidak bisa menjadi bisa.3 Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Pemahaman yang benar mengenai arti belajar dengan segala aspek, bentuk dan manifestasinya mutlak diperlukan oleh para pendidik.4 Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, keterampilan dan nilai-sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan dan berbekas.5 Komponen Belajar Belajar yang merupakan inti dari proses pendidikan, di dalamnya terjadi interaksi 3
Aminuddin Rasyad, Teori Belajar dan Pembelajaran, Jakarta, UHAMKA Press dan Yayasan PEPEX 8, 2006, cet. Ke-6, h. 26 4 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung, Remaja Rosda-karya, 2003, h. 89 5 W.S. Winkel, Psikologi Pembelajaran, Jakarta: Grasindo, 1991, h. 36
247
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 243-252
antara berbagai komponen pengajaran. Komponen-komponen itu menurut Muhammad Ali dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama, yaitu pendidik, peserta didik, dan isi atau materi pelajaran.6 1.
Pendidik
Pendidik ialah “orang yang memikul tanggung jawab untuk membimbing”.7 Pendidik tidak sama dengan pengajar, sebab pengajar itu hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada murid. Prestasi yang tinggi yang dapat dicapai oleh seorang pengajar apabila ia berhasil membuat memahami dan menguasai materi pengajaran yang diajarkan kepadanya. Tetapi seorang pendidik bukan hanya bertanggung jawab menyampaikan materi pengajaran kepada peserta didik saja, tetapi juga membentuk kepribadian seorang peserta didik bernilai tinggi. Islam dalam pendidikan, tidak hanya menyiapkan seorang peserta didik memerankan peranannya sebagai individu dan anggota masyarakat saja, tetapi juga membina sikapnya terhadap agama, tekun beribadah, mematuhi peraturan agama, serta menghayati dan mengamalkan nilai luhur agama dalam kehidupan sehari-hari. Peran pendidik dalam proses pembelajaran sama dengan pendidik pada umumnya. Pendidik mempunyai peran penting dalam interaksi edukatif di pesantren atau di sekolah. Peran dan kedudukan pendidik yang tepat dalam interaksi tersebut akan menjamin tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan. Peserta didik dalam proses pembelajaran, juga menemui berbagai kesulitan. Setiap anak tumbuh dan berkembang dalam berbagai irama dan variasi sesuai dengan kodrat yang ada padanya. Ia akan belajar sekalipun akan berhasil atau tidak, dan juga dia tidak memi6
Muhammad Ali, Pendidik dalam Proses Belajar
Mengajar h. 4. 7
Ramayulis, Didaktik Metodik, Fakultas Tarbiyah IAIN “Imam Bonjol”, 1982, h. 42.
248
kirkan apakah tingkah lakunya mendatangkan pujian atau tidak. Ia belajar dengan caranya masing-masing, sesuai dengan kemampuan dan potensi serta keterampilan dan bakat yang ada padanya. Ia belajar sesuai dengan individunya masing-masing. Peran pendidik dalam membantu proses belajar peserta didik diharapkan. Setiap pendidik harus mengetahui sifat-sifat khusus setiap peserta didiknya dan ia harus tabah menghadapinya serta berusaha untuk memecahkan kesulitannya. Berdasarkan pendapat tersebut, pendidik hendaklah berusaha memberikan bimbingan dengan penuh semangat kerja, mengembangkan minat, menumbuhkan sikap dan bakat yang baik, mengorganisir proses belajar mengajar, sehingga belajar disekolah dapat ditransferkan ke alam nyata yang kesemuanya itu dilakukan melalui hubungan yang manusiawi. Roestiyah NK menjabarkan peranan pendidik di dalam interaksi edukatif adalah sebagai berikut: 1. 2.
3. 4. 5.
Fasilitator, menyediakan situasi dan kondisi yang dibutuhkan individu pebelajar, Pembimbing, yakni memberikan bimbingan terhadap peserta didik dalam interaksi belajar mengajar, agar peserta didik mampu belajar dengan lancar dan berhasil secara efektif dan efisien, Motivator, memberikan dorongan dan semangat agar peserta didik mau giat belajar. Organisator, mengorganisasikan kegiatan belajar peserta didik maupun pendidik, dan Manusia sumber, pendidik dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peserta didik, baik berupa pengeta-huan, keterampilan, maupun sikap.8
Pendapat di atas menunjukkan bahwa pendidik hendaklah berusaha memberikan bimbingan dan mendorong semangat belajar 8
Roestiyah NK., Masalah Pengajaran sebagai Suatu Sistem (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1982, h. 46.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Model Belajar: Tinjauan Teoretik, Idrus Sere
mereka, mengorganisasikan kegiatan belajar sebaik mungkin serta memberikan informasi yang dibutuhkan peserta didik berupa pengetahuan, keterampilan dan sikap. Begitu urgennya tugas dan tanggung jawab pendidik dalam pengajaran sehingga perlu ada kriteria-kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pendidik. bisa mengarahkan peserta didiknya kearah yang lebih baik dan sesuai dengan apa yang diharapkan. Di antara kriteria-kriteria yang harus dimiliki seorang pendidik antara lain: 1.
Beriman
Seorang pendidik di pondok pesantren harus orang yang “beriman”, yaitu meyakini akan keesaan Allah. Iman kepada Allah merupakan asas setiap aqidah. Dengan mengimani Allah SWT selanjutnya diikuti pula dengan keimanan kepada yang lainnya. Keyakinan terhadap keesaan Allah seperti di atas disebut juga “tauhid”. Kalimat tauhid dalam Islam adalah kalimat: “lailaha illa Allah” yang berarti: Tidak ada Tuhan selain Allah. Firman Allah swt: “Dan Tuhan-
mu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada tuhan melainkan Dia, Ynag Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (Q.S. 47: 19). 2.
Bertaqwa Syarat yang penting yang harus pula dimiliki oleh pendidik di pondok pesantren adalah “taqwa” yang berarti menjaga diri agar selalu mengerjakan perintah Allah dan meninggalkan laranganNya, serta merasa takut kepada-Nya baik secara sembunyi maupun terang-terangan. Banyak ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan dan menganjurkan untuk bertaqwa, seperti dalam Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kepada Allahdengan sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya….” (Q.S. 3: 102). Firman Allah swt: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (Q.S. 33: 70).
Taqwa bukan sekedar amalan batin semata akan tetapi implikasi taqwa itu juga terlihat dalam kehidupan.Taqwa menurut Sardar bukan merupakan suatu konsep teori, dia memerlukan kenyataan dalam karya, gerak dan interaksi. Untuk memperoleh taqwa tidak hanya cukup berupa pernyataan percaya dan cinta kepada Allah SWT dia juga memerlukan pengakuan terhadap Allah melalui peribadatan, pelayanan dan perhatian kepada orang lain melalui kebenaran, kejujuran, dan keikhlasan.9 3.
Ikhlas
Ikhlas dalam perkataan dan perbuatan adalah sebagian dari asas iman dan keharusan Islam. Allah tidak akan menerima perbuatan tanpa dikerjakan secara ikhlas. Perintah untuk ikhlas tercantum dalam al-Quran dengan tegas: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan (dengan ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; yang demikian ituah agama yang lurus. (Q.S. 98: 5). 4.
Berakhlak
Seorang pendidik di pondok pesantren haruslah memiliki akhlak yang baik. Seorang yang berakhlak adalah seorang yang mengisi dirinya dengan sifat-sifat yang terpuji dan menjauhkan dirinya dari sifat-sifat yang tercela. Karena pentingnya kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia, tugas kerasulan Nabi Muhammad keseluruhannya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. 1.
Kepribadian Integral (Terpadu)
Menurut Zakiah Daradjat, kepribadian yang terpadu dapat menghadapai segala persoalan dengan wajar dan sehat, karena segala unsur dalam pribadinya bekerja seimbang dan serasi. Pikirannya mampu bekrja dengan 9
Zianuddin Sardar, The Future of Moslem Civilization, London: Croom Helm, 1979, h. 30.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
249
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 243-252
tenang, setiap masalah dapat dipahaminya dengan objektif, sebagaimana adanya. Sebagai manusia biasa tentu saja pribadi pendidik tidak akan terlepas dari berbagai kesulitan seperti; kesulitan ekonomi, kesulitan dalam rumah tangga, kesulian dalam pergaulan di tengah-tengah masyarakat, kesulitan dalam meningkatkan karir dan sebagainya. Kesulitan-kesulitan tersebut secara tidak langsung akan mengganggu tugas-tugasnya dalam proses belajar mengajar. Namun, sebagai pendidik ia harus tabah menghadapai kesulitan yang dihadapinya tersebut dan berusaha mencari pemecahannya tanpa mengganggu tugasnya dalam mengajar. Hal ini memang perlu diusahakan oleh seorang gur, sebab ia akan dijadikan tokoh identifikasi oleh muridnya, sehingga penampilannya harus berwibawa dan meyakinkan. 2.
Cakap
Menurut Burlian Somad, untuk menjadi pendidik yang memiliki kecakapan, harus: a. b. c.
3.
Menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan bagi pembuatan standar kualitas mnimal (tasmin), Menguasai ilmu-ilmu yan diperlukan bagi pembuatan unit-unit bahan pembentukan kualitas minimal itu (ubak); Menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan bagi pembentukan dan pengembangan tasmin pada diri anak didik dengan menggunakan ubak itu, Bertanggung Jawab
Pendidik harus memertanggungjawabkan perbuatannya kepada Allah swt. Setiap pribadi harus menyadari bahwa kelak segala amal dan perbuatannya. 4.
Keteladanan
Saat ini diperlukan pendidik yang memiliki kepribadian yang menyenangkan remaja, yang dapat dijadikan sebagai kakak yang dapat memahami perkembangan jiwanya, yang dapat meredakan gejolak emosinya.
250
5.
Memiliki Kompetensi Kependidikan
Kompetensi kependidikan kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh seorang pendidik di pondok pesantren. Mulanya kompetensi ini diperoleh dari “Pre service training” yang kemudian dikembangkan dalam pekerjaan profesioanlitas pendidik dan dibina melalui “in service training”. Pada dasrnya pendidik harus memiliki tiga kompetensi, yaitu; kompetensi kepribadian, kompetensi penguasaan bahan (materi), dan kompetensi dalam cara-cara mengajar.10 Tipe-Tipe Belajar Tipe belajar dikemukakan oleh Gagne tersebut pada hakekatnya merupakan prinsip umum baik dalam belajar maupun mengajar. Artinya dalam mengajar atau membimbing peserta didik belajar pun terdapat tingkatan sebagaimana tingkatan belajar tersebut di atas. Kedelapan belajar tipe itu: 1.
Belajar Isyarat (Signal Learning)
Belajar isyrat mirip dengan conditioned respons atau respons bersyarat, seperti menutup mulut dengan telunjuk, isyarat mengambil sikap tidak bicara. Lambaian tangan, isyarat untuk datang mendekat. Menutup telunjuk dan lambaian tangan isyarat, sedangkan diam dan datang merespons suatu siyarat. Respons yang dilakukan itu bersifat umum, kabur dan emisional. Menurut Kimble (1961) berbentuk belajar semacam ini biasanya bersifat tidak disadari, dalam arti respons diberikan secara tidak sadar. 2.
Belajar
Stimulus–Respons
Respons Learning)
(Stimulus
Berbeda dengan belajar isyarat, respons bersifat umum, kabur dan emosional. Tipe belajar S R, respons bersifat, spesifik, 2x3=6 adalah bentuk suatu hubungan S R. Mecium bau masakan sedap. Keluar air liur, 10
Lihat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, op.cit. h. 206-207.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
Model Belajar: Tinjauan Teoretik, Idrus Sere
itupun ikatan S R, jadi belajar stimulus respons dapat diperkuat dengan reinforcement, hal ini berlaku pula pada tipe belajar stimulus respons. 3.
Belajar Rangkain (Chaining)
Rangkain atau rantai dalam chaining adalah semacam rangkain antara S R yang bersifat segera. Hal ini terjadi dalam rangkain motorik; seperti gerakan dalam mengikat sepatu, makan-minum merokok; atau gerakan verbal seperti selamat-tinggal, bapak-ibu. 4.
Asosiasi verbal (verbal assosiation)
Suatu kalimat “piramida itu berbangun limas” adalah contoh asosiasi verbal. Seseorang dapat meyatakan piramida berbangun limas kalau ia mengetahui berbagai bangun, seperti balok, kubus, atau kerucut. Hubungan atau asosiasi verbal terbentuk bila unsurunsurnya terdapat dalam urutan tertentu, yang satu mengikuti yang lain. 5.
Belajar
Diskriminasi
(Discrimination
Learning) Tipe belajar ini pembedaan terhadap berbagai rangkaian seperti membedakan berbagai bentuk wajah, binatang atau tumbuhtumbuhan. 6.
Belajar Konsep (Concept Learning)
Konsep merupakan simbol berfikir. Hal ini diperoleh dari hasil membuat tafsiran terhadap fakta atau realita, dan hubungan antara berbagai fakta. Dengan konsep dapat digolongkan binatang bertulang belakang menurut ciri-ciri khusu (kelas), seperti kelas mammalia, reptilia, ampibhia, burung dan ikan, dapat pula digolongkan manusia berdasarkan ras (warna kulit) atau kebangsaan, suku bangsa, atau hubungan keluarga, kemampuan membentuk konsep ini terjadi bila orang dapat melakukan diskriminasi. 7.
Belajar Aturan (Rute Learning) Hukuman, dalil atau rumusan adalah
rute (aturan). Tipe belajar ini banyak terdapat
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon
dalam semua pelajaran di sekolah; seperti: benda memuai dipanaskan, besar sudut, dalam sebuah segi tiga sama dengan 180 derajat. Belajar aturan mirip dengan verbal chaining (rangkain verbal), terutama bila aturan itu tidak diketahui artinya. Setiap dalil rumusan yang dipelajarai harus difahami artinya. 8.
Belajar Pemecahan Masalah (Problem
Solving) Memecahkan masalah biasa dalam kehidupan. Ini memerlukan pemikiran. Upaya pemecahan masalah dilakukan dengan menghubungkan berbagai aturan yang relevan dengan masalah itu. Dengan ulangan-ulangan masalah tidak ter-pecahkan; dan apa yang dipecahkan sendiri -- yang menyelesaikan ditemukan sendiri -- lebih mantap dan dapat ditransfer kepada situasi atau problem lain. Kesanggupan memecahkan masalah memerbesar kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah lain. Ke delapan tipe itu ada hirarkinya. Setiap tipe belajar merupakan prasyarat bagi tipe belajar di atasnya sebaliknya tiap tipe belajar memerlukan penguasaan pada tipe belajar pada tingkat di bawahnya. Untuk belajar memecahkan masalah misalnya, perlu dikuasai sejumlah aturan yang relevan; dan untuk menguasai aturan perlu dipakai semua konsep dalam aturan itu. Agar dikuasai konsep perlu kemampuan membuat perbedaan, dan agar dapat membuat pembedaan perlu dikuasai verbal chain, dan seterusnya. Simpulan Belajar kegiatan yang berproses dan merupakan unsur fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Pemahaman yang benar mengenai arti belajar dengan segala aspek, bentuk dan manifestasinya mutlak diperlukan oleh para pendidik. Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan-pemaha-
251
Jurnal Horizon Pendidikan, Vol. 10, Nomor 2, Juli-Desember 2015: 243-252
man, keterampilan dan nilai-sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan dan berbekas. Secara paedagogis, belajar memiliki pengertian terjadinya perubahan persepsi dan perilaku, termasuk juga perbaikan perilaku.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi Abu. & Joko Tri Prasetya, Strategi Belajar Mengajar, Bandung, Pustaka Setia, 1997. al-Faruqi, Ismail Razi. Tauhid its Implication for Thought and Life, Brentwood AS: The International Institute or Islamic Thought, 1982. Ali, Muhammad. Pendidik dalam Proses Belajar Mengajar, Edisi Revisi, Bandung, Sinar Baru, 1987. Anonimous, Pedoman Bahan Penataran
Pendidik-Pendidik Agama pada Sekolah Umum, Jakarta: Departemen Agama RI,
Mujib. Abdul. dan Abdil Muzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana Predada Media Group, 2008. NK., Roestiyah. Masalah Pengajaran sebagai Suatu Sistem (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1982. Papallia, Dianne E. et.al., Human Development, New York: Mc. Graw Book Company, 1978. Ramayulis, Didaktik Metodik, Fakultas Tarbiyah IAIN “Imam Bonjol”, 1982. Rasyad, Aminuddin. Teori Belajar dan Pembelajaran, Jakarta, UHAMKA Press dan Yayasan PEP-EX 8, 2006. Sardar, Zianuddin. The Future of Moslem Civilization, London: Croom Helm, 1979. Somad, Burlian. Beberapa Persoalan dalam Pendidikan Islam, Bandung: PT alMa’arif, cet. Ke-1, 1981. Tanress, Richart. Word Religious in Education Approaches to Islam, London,: John Murry Ltd. 1982. Winkel, W.S. Psikologi Pembelajaran, Jakarta: Grasindo, 1991.
1975. Baharuddin dan Makin, Pendidikan Humanistik, Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2009. Basri, Hasan. Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2009.. Darajat, Zakiah. Kepribadian Pendidik, Jakarta Bulan Bintang, 1980. Dauly, Haidar Putra. Historisitas dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2004.. Dimyati & Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta, Rineka Cipta, 1999. Hamalik, Oemar. Psikologi Belajar dan Mengajar, Bandung, Sinar Baru Algresindo, 2004. Hamalik, Oemar. Strategi Belajar Mengajar Berdasarkan CBSA, Bandung, Sinar Baru, 1991. Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2003.
252
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Ambon