Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 1 Nomor 1 Juni 2009
HEGEMONI BAHASA ATAS MAKNA DALAM TINJAUAN SPRACHSPIELE WITTGENSTEIN Oleh: Neneng Afwah
Pendahuluan Masih menjadi keyakinan banyak orang, bahwa sesuatu bisa dikatakan benar jika sesuai dan bisa dibuktikan secara empiris. Keyakinan semancam ini kemudian melahirkan kepercayaan akan adanya objektivitas. Asumsi kebenaran semacam ini masih menguasai sains hingga saat ini. Akan tetapi, dalam penelitian akan kebenaran ini, para ahli sering melupakan satu hal penting, yaitu dimensi bahasa. Pada aras dominasi objektivitas inilah Ludwig Wittgenstein berdiri. Idenya mengenai sprachspiele (permainan bahasa) menghantam teori kebenaran objektif dan mendirikan subjektivitas, yang selain meruntuhkan bukunya yang terdahulu Tractatus Logico Philosophicus, juga berperan serta membidani gerakan-gerakan pasca seperti pascamodern, pascastrukturalis dan pascakolonial. pedesaan di Wina Selatan. Karena ia sering bertindak kasar, penduduk akhirnya mengusir Wittgenstein. Ia kemudian mengisi dua tahun waktunya dengan membantu mendesain dan membangun rumah Gret. Ia seakan-akan lupa akan dunia intelektual yang sebelumnya ia geluti. Hal ini yang membawa orang-orang dari lingkaran Wina, yang terdiri dari para intelektual positivistik, untuk menemuinya untuk membahas karyanya Tractatus Logico-Philosophicus, dimana karyanya ini dipakai oleh para ahli untuk menandai periode pemikirannya sebagai periode Wittgenstein I.
Wittgenstein, Hidup dan Karyanya Ludwig Wittgenstein lahir di Wina (Austria) pada tanggal 26 April 1889 sebagai anak bungsu dari delapan bersaudara. Ayahnya berasal dari keluarga Yahudi dan telah memeluk agama Kristen Protestan dan ibunya beragama Katolik. Ia tumbuh di tengah keluarga yang tergolong berada, dan punya kehidupan baik, baik dari segi intelektual maupun dalam bidang seni terutama musik. Tahun 1906 ia belajar tekhnik di Berlin dan kemudian melanjutkan di Trinity College, Manchester City di Inggris. Tahun 1911 ia berkonsultasi dengan G. Frege (ahli matematika dari Jerman), karena ketertarikannya pada matematika oleh G. Frege ia direkomendasikan untuk menimba ilmu pada Bertrand Russel, jagoan filsuf analitis dan matematika di Cambridge University. G.E. Moore, rekan sejawat Russel di Cambridge, mengatakan bahwa Wittgenstein adalah muridnya yang paling potensial karena ia satu-satunya mahasiswa yang Nampak kebingungan di kelas. Sayangya Perang Dunia I meletus dan Wittgenteian mendaftarkan diri menjadi prajurit garda depan.
Pertemuan Wittgenstein dengan lingkaran Wina membawanya kembali ke Cambridge University, almamater Wittgenstein sebelumya. Wittgenstein mengajukan Tractatus LogicoPhilosophicus untuk mendapat gelar doctor. Wittgenstein mengatakan kepada pengujinya bahwa mereka, G.E. Moore dan Bertrand Russel, tidak perlu mengkhawatirkannya karena mereka sendiri tidak akan memahami isi Tractatus Logico-Philosophicus. Setelah mendapat gelar doctor, Wittgenstein mengajar di Cambridge dengan gaya mengajar yang sering terdiam di dalam kelas, tidak pernah menggunakan catatan, dan sering marah-marah. Di Cambridge inilah Wittgenstein menulis Philosophical Investigation yang mematahkan tulisannya sendiri sebelumnya di Tractatus Logico-Philosophicus dan menandai dimulainya periode Wittgenstein II. Wittgentein sendiri pensiun dari Universitas Cambridge pada tahun 1947.
Setelah Perang Dunia I usai, Wittgenstein menerbitkan buku Tractatus LogicoPhilosophicus. Begitu ambisiusnya karya ini sampai-sampai Wittgenstein menyebutnya sebagai karya yang telah menyelesaikan semua permasalahan filsafat. Sebagai bukti pengabdiannya terhadap filsafat, Wittgenstein menolak semua warisan yang seharusnya menjadi haknya, dan memutuskan pindah ke 21
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 1 Nomor 1 Juni 2009
Seperti umumnya permainan yang memiliki aturan, Bahasa pun demikian. Ia punya permainan bahasa yang memiliki seperangkat aturan mainnya sendiri. Aturan-aturan ini berbeda satu dengan lainnya sehingga akan ditemukan ada banyak permainan bahasa dalam dunia ke-bahasaan kita. Misalnya perintah untuk membawa lima buah piring berbeda dengan laporan membawa lima buah piring . Penggunaan kalimat membawa lima buah papan pada analisis tersebut, menggambarkan perbedaan makna dalam konteks penggunaan bahasa yang berbeda-beda oleh karena aturan main yang berbeda-beda. Masing-masing mengandung ketentuan yang mencerminkan bentuk PB yang bersangkutan. Kekacuan akan timbul manakala kita menerapkan aturan PB yang satu ke dalam bentuk PB yang lain.Oleh karena itumustahil dapat ditentukan aturan umum yang dap[at merangkum berbagai bentuk PB tersebut. MEnurut Wittgenstein makna sebuah kata tergantung penggunaannya dalam kalimat, sedangkan makna kalimat tergantung penggunaannya dalam bahasa . Kita baru dapat mengetahui makna sebuah kata atau kalimat, bilamana kita telah mengetahui dalam ruang lingkup yang mana kata atau kalimat tersebut dipergunakan.
Selama hidupnya, ia banyak mengalami depresi psikis dan beberapa kali mempertimbangkan untuk bunuh diri. Ia hidup di ambang penyakit jiwa dan oleh karena itu ia dilanda ketakuatan yang hebat. Ia mengakui bahwa filsafat adalah obat yang mujarab bagi penyakit depresi yang dideritanya. Dan pada tahun 1951, ia menghembuskan nafas terakhirnya, setelah melewati perjalan hidup yang tidak biasa, sekaligus luar biasa. SPRACHSPIELE ( TEORI PERMAINAN BAHASA ) Jika Wittgenstein I dalam Tractatus Logico-Philoshopicus, percaya bahwa bahasa masih memiliki hubungan dengan dunia (baca: realitas), berbeda dengan Wittgenstein II, dalam Philosophical Investigation-nya, ia memberi kemungkinan musnahnya hubungan itu dalam teori sprachspiele (Sprache=bahasa, Spiel=permaianan), Permainan bahasa (SS-PB). Tata PB ini adalah proses menyeluruh penggunaan kata, juga termasuk pemakaian bahasa yang sederhana sebagai suatu bentuk permainan. Konon istilah SS-PB timbul sebagai suatu gagasan filsafat ketika pada suatu hari Wittgenstein melihat pertandingan sepak bola. Tiba-tiba melintas dalam benaknya bahwa sesungguhnya dalam bahasa, kita pun terlibat dalam suatu bentuk permainan kata.
Namun, dalam kehidupan sehari-hari, acap kali kita menjumpai kata atau u7ngkapan yang sama yang dipergunakan dalam pelbagai bentuk PB. Apakah ini ada sesuatu yang bersifat umum yang terkandung di dalam pengertian kata atau ungkapan tersebut? menurut Wittgenstein, bisa sajabahasa itu menghasilkan sesuatu yang bersifat umum. Akan tetapi fenomena yang diliputi kata atau ungkapan tersebut bukanlah dalam pengertian umum, sehingga dapat membuat kita mempergunakan kata atau ungkapan yang sama untuk semua hal. Sebab sesungguhnya kata atau ungkapan itu dihubungkan satu sama lain dalam banyak cara yang berbeda. Konsep PB ini oleh Wittgenstein, ia istilahkan dengan aneka kemiripan keluarga (family resemblances). Sebagai analoginya ia menggambarkan dengan kemiripan genetis antara anggiota keluarga, baik kemiripan secara fisik, maupun emosi dan lain-lain.
Sudah barang tentu gagasan mengenai penggunaan istilah Permainan Bahasa itu sendiri tidak akan terwujud dengan baik apabila Wittgenstein tidak menghubungkannya dengan kenyataan yang terpampang jelas dihadapannya, yaitu adanya keanekaragaman (pluriformitas) bahasa yang dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari. Keanekaragaman yang dimaksud Wittgenstein di sisni bukanlah pelbagai macam bahasa – seperti bahasa Indinesia, bahasa Inggris, bahasa Jerman dan lainnya, dan tidak juga ragam bahasa ilmu pengetahuan seperti bahasa sastera, bahasa kedokteran, bahasa filsafat dan sejenisnya – melainkan keanekaragaman bahsa yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Wittgenstein mengingatkan bahwa ada banyak PB-SS bahkan tak terhitung jumlahnya sehingga memiliki sifat sangat beragam dan kompleks misalnya dalam melaporkan kejadian, meramalkan kejadian, menceritakan pengalaman dan aneka bentuk PB lainnya.
Dengan demikian penerapan kata atau kalimat yang sama dalam pelbagai cara yang berbeda, 22
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 1 Nomor 1 Juni 2009
bukan mengandung makana yang sama, melainkan dasaar kemiripana yang sifatnya umum. Dua saudara kembar sekalipun tidak akan memiliki kesamaan yang bersifat mutlak, pasti ada perbedaan tertentu yang membuat kita dapat membedakan keduanya. Akan tetapi kita dapat mengatakan bahwa kedua saudara kembar itu benar-bear mirip, meskipun tidak sama (serupa tapi tak sama). Hal yang sama berlaku pula bagi penggunaan kata atau kalimat yang sama dalam banyak cara yang berbeda, meskipun mengandung sesuatu yang bersifat umum (kemiripannya), namun maknanya tergantung pada cara pengguanaannya. Misalnya bunyi padu dalam bahasa Jawa artinya bertengkar mulut, sedangkan dalam bahasa Indonesia justru bermakna positif: bersatu padu yang artinya rukun banget.
menghisap kaum buruh dan merugikan petani serta kaum kecil lainnya. Jadi kaum kiri ialah mereka yang memperjuangkan buruh tani kecil, kawulo alit yang tersisih, tergusur, tercekik, praktis waktu waktu itu kaum democrat dan sosialis. Sedangkan kaum Kanan adalah para penjajah itu, yaitu Hindia-Belanda. Bagaimana dengan komunisme ?. Dimana kiri sering di kait-kaitakan dengan komunisme, bahkan di klaim sebagai terminology milik kaum sosialis-komunis. Ketika Marx masih hidup komunis masih kiri, tetapi cepat sekali sesudah mulai berkuasa di Rusia, Cina, Eropa Timur, apalagi di Asia Tenggara (lihat Stalin, Mao, Pol Pot) berubah menjadi ekstrem kanan. Di Rusia dulu yang berjalan sehari-hari adalah Stalinisme yang sama denga Starisme (Tsaar=maharaja) berabad-abad, di Cina berfungsi sama dengan kekaisaran Tiongkok yang sudah ribuan tahun umurnya, dan di Kamboja tidak berbeda dari Fasisme Hitler yang suka membunuh orang yang tidak disukai penguasa. Alangkah kelirunya kita jika komunisme ditampilkan dengan wajah seperti ini, kita masih mengkategorikan komunisme atau sosialisme yang seperti itu sebagai kiri.
Sudah ribuan tahun, peringatan Wittgenstein yang cerdas itu, manusia saling bertengkar dan berperang tentang kata-kata (bukan realitas) dalam 1001 sengketa teori filsafat dan politik, tanpa sadar bahwa ada Sprachspiel yang amat berperan dan harus amat diperhatikan, begitu tutur Y.B Mangunwijaya (dalam satu artikelnya di Kompas) untuk menggambarkan kekagumannya atas konsep cerdas Wittgenstein ini. REFLEKSI SPRACHSPIEL TERPELAJAR
DALAM
BAHASA Sedangkan bagaimana dengan Nazi Hitler, fasisme Mussolini, Militerisme Jepang perang Pasifik?. Fasisme disukai kaum psikopat gila kekuasaan dan keagungan diri. Jadi selalu ekstrem kanan dan benci bukan main terhadap kaum komunis, yang dianggap saingan terbesar dari nafsu kuasa mereka, maka kelihatan sekali di Eropa, Asia, Afrika, Amerika Latin, kaum ekstrem kanan punya ciri fasisme yang kejam dan selalu mempunyai dalil : Hukum dalah partai kami. Suatu modifikasi modern sok Republik dari dalil Maharaja Louis XIV dari Perancis sebelum revolusi : L’etat c’est moi (Hukum adalah aku)
Sekarang kita akan coba memasuki wacana dalam SS-PB dalam membedah bahasa terpelajar umum yang berlaku di seluruh belahan di dunia ini, kita ambil contoh terminologi Kiri-Kanan dan Terorisme, dimana terminology ini sering menjadi polemic di kalangan intelektual saat ini. Kajian tentang Kiri-Kanan ini pernah di angkat oleh Romo Mangun dalam tulisannya di Kompas, Ia berpendapat Kiri berarti melawan eshtablishmen. Establishment yang mana ?. Dalam konteks Indonesia masa colonial, tentu saja melawan sistem kapitalis kolonial imperial feodal kaya kuasa Hindia Belanda yang sudah kokoh mapan seperti beringin atau karet tua. Dalam SS-PB perjuangan : penjajah asing conquistador dan pribumi comprador, feodalis monarkis borjuis, fasis, pendek kata, para tuan puan besar konservatif reaksioner mapan yang
Dan bagaimana dengan Amerika Serikat yang kapitalis itu?. Jelas yang berkuasa adalah kaum majikan dan kaum kaya raya yang amat berkuasa. Dengan sendirinya USA adalah kanan, tetapi tanpa ekses-ekses kediktatoran dan fasisme karena di sana demokrasi lumayan berjalan. Lumayan dan tidak sempurna ,menurut Romo Mangun, karena demokrasi di sana masih 23
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 1 Nomor 1 Juni 2009
kumat-kumatan , wild west dengan perangai Rambo yang masih kental – terutama terhadap negara-negara di dunia ke tiga –, ditambah kambuhan ekstrem di bagian Amerika Selatan, tetapi rule of the game dilaksanakan dalam tata hukum yang baik. Mungkin dapat diformulasi dalam lingkungan SS-PB adalah : amat kanan tanpa menjadi benar-benar kanan. Atau mungkin, jika ada terminology tengah, ia bisa dikategorikan kaum tengah.
Untuk terorisme di dunia Islam, Hendropriyono merujuk pada al-Qaeda kelompok Osamah yang ia sebut sebagai Wahabi Kontemporer yang bercirikan penafsiran literal yang kaku terhadap text agama dan menolak dialog. Adapun istilah perang dan terorisme meskipun keduanya mempunyai kemiripan keluarga (family resemblance) antara bahasa yang dipergunakan dalam perang maupun dalam terorisme keduanya berbeda dalam penggunaan. Kasus kekerasan mengatasnamakan agama sekarang ini adalah lebih dikarenakan universalisme protestan sekuler dan ekstremisme Yahudi yang bertemu dengan universalisme Islam kelompok Osamah yang mengusung kekhilafahan. Keduanya berdiri pada posisi saling ingin meniadakan satu sama lainnya sehingga keduanya lebih mengutamakan terorisme daripada dialektika untuk menghadirkan perdamaian.
Eropa Barat terang kanan tetapi lebih dari pada AS. Yang kekiri-kirian ialah Skandinavia, Denmark, Belanda, meskipun kebanyakan monarki konstitusional. Rusia, Polandia, Ceko, Balkan masih dalam gejolak perubahan yang penuh pertanyaan. Oleh karenanya klaim-klaim bahasa, seperti kiri pasti sosialis-komunis, kanan pasti kapitalis perlu dibongkar ulang dan didudukkan secara proporsional dalam kerangka makna yang sesungguh-sungguhnya dalam berbahasa.
Selama ini adanya terorisme selalu dicarikan cantolannya pada dalil teologis. Dalam kajian ontologis ada kemiripan keluarga (family rasamblance) pada ungkapan yang digunakan oleh Islam ekstrim kelompok Osamah bin Laden ataupun Amerika (baca George Walker Bush) sebagai kelompok-negara yang berhadapan dengan Osamah. Jika Osamah suka menggunakan ungkapan agama InsyaAllah/Ridlo Allah dalam melancarakan aksi kekerasannya, begitupula USA yang dulu di motori George Bush yang suka menggunakan ungkapan godbless dalam menunjukkan arogansinya terhadap kelompok Islam yang melawannya dengan membunuh penduduk sipil Amerika yang dianggap membahayakan kekuasaannya.
Lantas bagaimana dengan terminology terorisme, yang akhir-akhir ini mewarnai setiap perbincangan baik dalam domain politik, budaya, sosial, dan terutama agama?. Sebenarnya kata terorisme tidak akan pernah kita temukan dalam literature manapun. Ia muncul dan mendapat pemaknaan yang semakin spesifik ketika tragedy runtuhnya WTC (World Trade Center) pada tanggal 11 September 2001 lalu, dan telunjuk Amerikan diarahkan kepada kelompok Islam pimpinan Osamah bin Laden. Pada akhirnya terorisme adalah gerakan teror yang dilakukan oleh kelompok Osamah dan seluruh jaringannya di penjuru dunia ini.
Sebenarnya jika kita mau jujur berbahasa, dan mau mengembalikan teror pada makna aslinya: bahwa teror adalah tindak kekerasan, tidak adil kiranya jika terorisme hanya dilekatkan pada kelompok Osamah bin laden, USA dengan gerakan kapitalisme globalnya, yang menganggap sah menginvasi Irak, Afghanistan, dan menguasai kilang-kilang minyak di dataran Arab dan keperbihakannya terhadap Yahudi, adalah penyebab kenapa Osamah melakukan perlawanannya dengan bergerilya. Aksi teror yang dilakukan Osamah tidaklah sebanding dengan apa yang dilakukan USA terhadap Negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam. Perang yang disulut USA di Irak adalah
Dalam kajian historis, terorisme, menurut Hendropriyono (mantan ketua BIN di era Megawati ini) dalam disertasinya yang kemudian dicetak menjadi buku Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam , sebenarnya telah terjadi sejak awal sejarah manusia itu sendiri. Hendropriyono mengambil berbagai contoh terorisme pada semua era baik pada masa Yunani-Romawi, kesultanan di Baghdad, India, Inggris, perang kemerdekaan Amerika, demikian juga berbagai aksi terorisme yang terjadi dari awal Perang Dunia I hingga akhir Perang Dunia II termasuk Yahudi di Palestina. 24
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 1 Nomor 1 Juni 2009
teror, apa yang dilakukan Yahudi dengan Backing USA terhadap Palestina adalah teror, pendudukan militer USA di Afghanistan adalah teror, Invasi ekonomi USA di negara-negara dunia ke-3 terutama Negara-negara Islam dengan dalih developmentalisme adalah teror, dan menguasai kilang-kilang minyak di dataran Arab adalah teror. Dengan demikian istilah terorisme yang hanya dilekatkan pada satu gerakan yang dilakukan satu komunitas saja adalah arogansi berbahasa.
Agar kembali Kepada Makna sebelum kata Kepada wujud sebelum rupa Kepada saat sebelum masa Kepada nyawa sebelum ada Tapi tak bisa Daftar Pustaka Y.B. Mangunwijaya, Kiri dan Kanan dalam Sprachspille , dalam jurnal Wacana, 1/Agustus 1999
Dunia kata (bahasa) kita sekarang ini jika kita bedah dengan memakai pisau bedah yang disediakan Wittgenstein ini, ternyata sudah sedemikian berisik dan jauh dari tata aturan (idealisme) berbahasa yang benar. Siapapun dengan power yang dimilikinya, baik politik, ekonomi bahkan agama bisa mengklaim bahwasanya bahasa/ kata tertentu hanya bisa dilekatkan pada dirinya atau rivalnya. Dan seharusnya kata/bahasa itu hidup secara fleksibel dan dinamis. Di bawah ini ada sebuah puisi dari Hasyim Wahid (adik Gus Dur) yang bisa jadi refleksi kita bagaiman dunia kata sudah sedemikian menghegemoni makna dan menjadikan kita frustasi:
Rizal mustansyir, 2001, Filasafat Analitik; Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya, Pustaka pelajar. Yogyakarta A.M. Hendropriyono, 2009, Terorisme ; Fundamentalisme Kristen, Yahudi, Islam, Kompas. Jakarta Hasyim Wahid, 2005, Bunglon, Fresh Book. Jakarta John heaten & Judy Goves, 2005, Introduction Wittgenstein , Totem Books ,U.S.A
Ingin hapus sajak 26 huruf Bungkam oda 12 nada
25