REVISI KUHP DAN PROSPEK HUKUM ISLAM DI INDONESIA Written by Prof. Dr. H. D. Ismatullah Mahdi, SH. M.Hum Tuesday, 03 April 2012 11:24
Kajian diskusi mengenai pokok-pokok pemikiran (ide-dasar) tentang revisi KUH Pidana menjadi sangat penting, karena pembaharuan hukum “law reform” khususnya penal reform pada hakik atnya adalah ”membangun/ memperbaharui pokok-pokok pemikiran/konsep/ide-dasarnya”.Bukan sekedar memperbaharui/mengganti perumusan pasal (UU) secara tekstual. Oleh karena itu, kajian/diskusi tekstual mengenai konsep/RUU KUHP harus didahului atau disertai dengan diskusi konseptual.
Kajian konseptual mengenai pokok-pokok (ide dasar) asas-asas hukum pidana (materiil) nasional sudah cukup lama dilakukan, yaitu sejak dibahasnya konsep 1 tahun 1964 sampai sekarang. Konsep pertama tahun 1964 berjudul “konsep RUU tentang asas-asas dan dasar-dasar pokok tata hukum pidana dan hukum pidana Indonesia”.
Konsep pertama ini dibahas dalam Kongres PERSAHI di Surabaya tahun 1964, antara lain oleh almarhum Prof. Moeljatno yang mengajukan prasaran berjudul “Atas Dasar Atau Asas-Asas Apakah Hukum Pidana Kita Dibangun? pokok-pokok pemikiraan tersebut bergulir terus dan diperkaya oleh pemikiran-pemikiran yang berkembang sampai saat ini. Jadi masalah ini sudah menjadi objek kajian yang cukup panjang dan bergenerasi (sekitar 40 tahun).
Hasil kajian itu kemudian dicoba untuk dituangkan, diimplementasikan dan diformulasikan dalam RUU KUHP.
Pembahasaan Ide dasar penyusunan konsep KUHP baru dapat dilihat dari berbagai aspek (Barda : 2004): Pertama, Aspek Kebijakan Pembaharuaan Hukum Nasional Penyusunan Konsep KUHP baru dilatarbelakangi oleh kebutuhan dan tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan dan sekaligus perubahan/penggantiaan KUHP lama (Wetboek van Strafrecht) warisan jaman kolonial Belanda. Jadi berkaitan erat dengan ide “penal reform” (pembaharuan hukum pidana) yang pada hakikatnya juga merupakan bagian dari ide
1 / 18
REVISI KUHP DAN PROSPEK HUKUM ISLAM DI INDONESIA Written by Prof. Dr. H. D. Ismatullah Mahdi, SH. M.Hum Tuesday, 03 April 2012 11:24
yang lebih besar, yaitu pembangunan/pembaharuan (sistem) hukum nasional. Upaya melakukan pembaharuan hukum pidana penal reform pada hakikatnya termasuk bidang penal policy yang merupakan bagian dan terkait erat dengan law enforcement policy, criminal policy, dan social policy.
RUU KUHP tidak dapat dilepaskan dari ide/kebijakan pembangunan sistem hukum nasional yang berlandaskan pancasila sebagai nilai-nilai berkehidupan kebangsaan yang dicita-citakan. Ini berarti bahwa pembaharuan hukum pidana nasional seyogyanya juga dilatarbelakangi dan bersumber/berorientasi pada ide-ide dasar pancasila yang mengandung keseimbangan nilai paradigma : (a) moral religius (ketuhanan), (b) humanistic (kemanusiaan), (c) kebangsaan, (d) demokrasi, dan (e) keadilan sosial.
Pembaharuan hukum pidana dan penegakan hukum pidana hendaknya dilakukan dengan menggali dan mengkaji sumber hukum tidak tertulis dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat seperti hukum agama dan hukum adat.
Perlu dilakukan pengkajian dan penggalian nilai-nilai nasional yang bersumber pada pancasila dan nilai-nilai hukum yang tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (nilai-nilai religius maupun budaya/adat).
Perlu kajian komparatif yang fundamental, konseptual, kritis, dan konstruktif. a. Aspek Kesatuan Sistem Hukum Pidana 1. KUHP hanya merupakan suatu bagian/sub sistem dari sistem pemidanaan sentencing system atau bagian/sub sistem dari “sistem penegakan hukum pidana “. Oleh karena itu, disadari sejak awal bahwa upaya pembaharuan hukum pidana di Indonesia tidak dapat dilakukan hanya dengan mengajukan konsep/RUU KUHP (hukum pidana materiil), tetapi juga harus disertai dengan konsep/RUU mengenai hukum acara pidana (KUHAP) dan konsep/RUU Pelaksanaan Pidana.
2 / 18
REVISI KUHP DAN PROSPEK HUKUM ISLAM DI INDONESIA Written by Prof. Dr. H. D. Ismatullah Mahdi, SH. M.Hum Tuesday, 03 April 2012 11:24
2. Penyusunan hukum pidana materil (termasuk KUHP) pada hakikatnya merupakan penyusunan suatu “sistem yang bertujuan” dan merupakan bagian/sub-sistem dari tahap-tahap kebijakan fungsionalisasi /oprasoinalisasi hukum pidana. Oleh karena itu harus ada mata rantai antara tahap pembuatan dengan tahap penerapan (tahap kebijakan aplikasi/yudikatif) dan tahap pelaksanaan (tahap kebijakan eksekusi/administratif).
Gagasan pembaharuan KUHP yang dirintis sejak tahun 1964 sampai saat ini belum disahkan dengan berbagai pertimbangan bahkan sebagian orang yang menyusun draf ini sudah meninggal. Restrukturisasi ini membawa dampak perubahan-perubahan baru terhadap draf RUU KUHP. Dalam perkembangannya terdapat tiga hal krusial dalam RUU KUHP yaitu masalah ideologi, kesusilaan, dan agama, hal ini menjadi perhatian serius dan acapkali menimbulkan perdebatan di antara anggota tim penyusun RUU KUHP.
Masuknya pasal-pasal ideologi sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Sebab, pasal senada sudah tercantum dalam KUHP yang sekarang masih berlaku. Masalah ideologis yang dimaksud adalah larangan menyebarkan ajaran komunisme atau Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan wujudnya. Paling tidak, terdapat 5 pasal (193-197) RUU KUHP yang mengandung larangan tersebut dengan tingkatan berbeda (Robertus :2003).
Dalam pasal 281 KUHP, orang yang telanjang di muka umum dapat dipidana 2 tahun 8 bulan. Hal ini tidak bisa diterapkan untuk seluruh masyarakat Indonesia seperti masyarakat Papua yang biasa menggunakan koteka. Kecuali kalau menggunakan asas nasionalitas hukum pidana.
Perdebatan juga muncul ketika membahas tindak pidana susila yang mendapat porsi besar. Tidak kurang dari 30 pasal (pasal 411 sampai 441). Selain mengatur kumpul kebo samenleving , pasal-pasal tersebut juga mengatur perkosaan, permukahan dan zina. Dalam konteks susila ini, RUU tidak memasukan kejahatan perkosaan dalam keluarga marital rape .
KUHP yang sekarang berlaku hanya mengatur satu pasal saja mengenai agama, revisinya justru mengatur dalam satu bab tersendiri, dalam bab VII tentang Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama. Hal ini dapat menimbulkan masalah di negara kita yang pluralistik.
3 / 18
REVISI KUHP DAN PROSPEK HUKUM ISLAM DI INDONESIA Written by Prof. Dr. H. D. Ismatullah Mahdi, SH. M.Hum Tuesday, 03 April 2012 11:24
Ada delapan pasal dalam RUU yang secara khusus mengatur tindak pidana keagamaan. Ancaman pidananya dari dua hingga tujuh tahun (pasal 290-297). Pasal-pasal itu antara lain mengatur tentang penghinaan terhadap suatu agama, membubarkan dengan kekerasan ibadah suatu agama, membuat gaduh di dekat rumah ibadah, dan mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah. Termasuk pula pengrusakan tempat ibadah, menghasut untuk meniadakan keyakinan seseorang terhadap agama yang dianut di Indonesia, dan menghina Tuhan dan ajarannya.
Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia 1. A. Politik Hukum Hindia Belanda
Mempelajari sejarah hukum (legal history) Hindia Belanda mengenai kedudukan hukum Islam, dapat dibagi menjadi 2 periode (Amrullah Ahmad dkk-1994): (1) Periode Peneriman Hukum Islam sepenuhnya, dan (2) Periode Penerimaan Hukum Islam oleh Hukum Adat.
Periode Penerimaan Hukum Islam sepenuhnya yang disebut juga Receptio in Complexu, adalah memperlakukan penuh hukum Islam bagi orang Islam, sebab mereka telah memeluk agama Islam. Apa yang telah berlaku sejak mulai adanya kerajaan-kerajaan Islam: hukum perkawinan dan hukum waris, tetap diakui oleh Belanda. Bahkan oleh VOC hukum kekeluargaan itu diakui dan dilaksanakan dengan bentuk peraturan Resolutie der Indische Regeering tanggal 25 Mei 1760 yang merupakan kumpulan aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam, terkenal sebagai Compendium Freijer . Hukum Islam yang telah berlaku dari zaman VOC itulah oleh Pemerintah Hindia Belanda diberikan dasar hukumnya dalam Regeeringsreglement (R.R) tahun 1855, di mana antara lain dinyatakan dalam pasal 75: “ oleh hakim Indonesia itu hendaklah diperlakukan undang-undang agama (godsdienstigewetten)…… ”
4 / 18
REVISI KUHP DAN PROSPEK HUKUM ISLAM DI INDONESIA Written by Prof. Dr. H. D. Ismatullah Mahdi, SH. M.Hum Tuesday, 03 April 2012 11:24
Periode penerimaan hukum Islam oleh hukum Adat yang disebut juga Theorie Receptie adalah, hukum Islam baru berlaku bila dikehendaki atau diterima oleh hukum Adat. Pendapat Prof. Snouck Hurgronje ini diberi dasar hukumnya dalam Undang-undang Dasar Hindia Belanda yang menjadi pengganti R.R., yang disebut Wet op de Staatsregeling van Nederlands Indie , disingkat Indische Staats-regeling (I.S.). Dalam I.S. yang diundangkan dalam Stbl. 1929: 212. Hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Pasal 134 ayat (2) dari I.S. tahun 1929 itu berbunyi: “ Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum Adat mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi”.
Pada pertengahan tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda mengumum-kan gagasan untuk memindahkan wewenang mengatur waris dari Pengadilan Agama ke Pengadilan Negeri. Apa yang menjadi kompetensi Pengadilan Agama sejak tahun 1882 hendak dialihkan kepada Pengadilan Negeri. Dan dengan Stbl. 1937: 116 dicabutlah wewenang Pengadilan Agama itu, dengan alasan hukum waris Islam belum diterima sepenuhnya diterima oleh hukum Adat (Ismail Suny:1987). Reaksi pihak Islam terhadap campur tangan Belanda dalam masalah-masalah hukum Islam ini banyak ditulis dalam buku-buku dan surat-surat kabar pada waktu itu (H. Aqib Suminto:1985). Tidak perlu diterangkan bahwa politik hukum yang menjauhkan umat Islam dari ketentuan-ketentuan agamanya, sengaja diusahakan Belanda untuk kepentingan peneguhan kekuasaannya di Indonesia. Oleh karena itu tatkala kesempatan itu terbuka pada waktu Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan terbentuk dan bersidang di zaman penjajahan Jepang, pemimpin-pemimpin Islam memperjuangkan berlakunya kembali hukum Islam dengan kekuatan hukum Islam sendiri, tanpa hubungannya dengan hukum Adat (H. Aqib Suminto : 1985).
Mula-mula memang diperjuangkan dibentuknya negara Islam dalam Badan Penyelidik yang beranggotakan 62 orang itu. Dari jumlah itu hanya 15 anggota yang mewakili kelompok nasionalis Islam yang menyetujui dasar negara Islam, sedangkan suara terbanyak (45 suara) memilih dasar negara kebangsaan (H. Endang Saifudin Anshari :1981).
Setelah itu panitia 9 dari Badan Penyelidik berhasil mencapai kompromi yang terkenal dengan Piagam Jakarta, yang isinya antara lain: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
5 / 18
REVISI KUHP DAN PROSPEK HUKUM ISLAM DI INDONESIA Written by Prof. Dr. H. D. Ismatullah Mahdi, SH. M.Hum Tuesday, 03 April 2012 11:24
Orang tidak perlu menjadi Guru Besar Hukum Tatanegara dahulu, karena cukupjelas, bahwa dengan ketentuan 7 kata itu saja, sama sekali tidak berarti telah terbentuk Negara Islam dengan Piagam Jakarta. Oleh karena dasar negara Islam telah ditolak, maka dengan 7 kata-kata itu hanya dapat diartikan bahwa hukum Islam berlaku bagi pemeluk-pemeluk Islam sebagai halnya politik hukum Hindia Belanda sebelum tahun 1929. Salah paham yang kemudian terjadi, sebenarnya tidak perlu menghapuskan 7 kata-kata dalam Piagam Jakarta, tetapi cukup dengan mengubahnya dengan 7 kata-kata baru yang berbunyi: “dengan kewajiban menjalankan ketentuan agama bagi pemeluk-pemeluknya.” Dengan perumusan baru itu berarti bagi pemeluk agama Islam wajib menjalankan hukum Islam, bagi pemeluk Katholik wajib menjalankan hukum Katholik, bagi pemeluk agama Kristen wajib menjalankan hukum Kristen, bagi pemeluk agama Hindu, wajib menjalankan hukum Hindu, dan bagi pemeluk agama Budha, wajibmenjalankan hukum Budha. 1. B. Politik Hukum Republik Indonesia
Kedudukan hukum Islam dalam ketatanegaraan Indonesia harus dibagi dalam 2 periode juga: (1) Periode Penerimaan Hukum Islam sebagai Sumber Persuasif,(2) Periode Penerimaan Hukum Islam sebagai Sumber Otoritatif. 1. Dalam hukum konstitusi dikenal persuasive-source dan authoritative-source. Sumber persuasive ialah sumber yang orang harus diyakinkan untuk menerimanya, sedang sumber yang otoritatif ialah sumber yang mempunyai kekuatan ( authority ).
Dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan berlakunya UUD 1945, walaupun tanpa memuat 7 kata dari Piagam Jakarta, teori resepsi yang dasar hukumnya adalah I.S. dan dengan tidak berlakunya lagi I.S. dengan berlakunya UUD 1945, maka teori resepsi kehilangan dasar hukumnya. Dengan berlakunya UUD 1945 yang Aturan Peralihannya Pasal II-nya menetapkan, “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini, ” tidak dengan sendirinya pasal 134 ayat (2) dari I.S. itu tetap berlaku, karena dasar hukum yang ditetapkan oleh suatu undang-undang dasar yang tidak berlaku lagi, tidak dapat dijadikan dasar hukum bagi suatu undang-undang dasar baru, yang sama sekali tidak mengatur soal itu.
Setelah berlakunya UUD 1945 hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam, karena kedudukan hukum Islam itu sendiri, bukan karena ia telah diterima oleh hukum
6 / 18
REVISI KUHP DAN PROSPEK HUKUM ISLAM DI INDONESIA Written by Prof. Dr. H. D. Ismatullah Mahdi, SH. M.Hum Tuesday, 03 April 2012 11:24
Adat. Pasal 29 UUD 1945 mengenai agama menetapkan:
“(1) Negara berdasar atas ke-Tuhan-an yang Maha Esa;
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Selama 14 tahun, dari tanggal 22 Juni 1945 waktu ditandatangani gentlement agreement antara pemimpin-pemimpin nasionalis sekuler dan nasionalis Islami sampai tanggal 5 Juli 1959, sebelum Dekrit Presiden RI diundangkan, kedudukan ketentuan “ kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” adalah persuasive-source . Sebagaimana semua hasil sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan adalah persuasive-source bagi grondwet interpretatie dari UUD 1945, maka Piagam Jakarta sebagai salah satu hasil dari sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan adalahjuga merupakan persuasive-source dari UUD 1945 (Ismail Suny :1987). 1. Barulah dengan ditempatkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959, Piagam Jakarta atau penerimaan hukum Islam telah menjadi authoritative-source, sumber otoritatif dalam hukum Tatanegara Indonesia, bukan sekedar persuasive-source atau sumber persuasive.
Untuk mengetahui dasar hukum dari Piagam Jakarta dalam konsiderans Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, perlu dipelajari dasar hukum pendahuluan atau preambule dalam suatu Konstitusi dan konsiderans atau pertimbangan dari suatu peraturan-perundangan. Sebagaimana kita ketahui, Piagam Jakarta itu semula merupakan pembukaan dari Rancangan UUD 1945 yang dibuat oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan. Kemudian dalam konsiderans Dekrit Presiden ditetapkan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan
7 / 18
REVISI KUHP DAN PROSPEK HUKUM ISLAM DI INDONESIA Written by Prof. Dr. H. D. Ismatullah Mahdi, SH. M.Hum Tuesday, 03 April 2012 11:24
suatu rangkaian kesatuan dalam Konstitusi tersebut.”
Menurut hukum Tatanegara Indonesia, preambule atau konsiderans, bahkan penjelasan peraturan-perundangan adalah mempunyai kedudukan hukum. Preambule atau pembukaan dan penjelasan UUD adalah rangkaian kesatuan dari suatu Konstitusi. Begitu pula konsiderans dan penjelasan dari peraturan-perundangan adalah bagian integral dari suatu peraturan-perundangan. Pendapat di atas ini sebelum adanya UU No. 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya adalah semata-mata pendapat sarjana hukum. Dengan penjelasan pasal demi pasal dari pasal 3 UU No. 3/1975 dijelaskan: “(1)a. yang dimaksud dengan Undang-undang Dasar 1945 dalam huruf a pasal ini meliputi Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasannya.” Dengan demikian maka preambule atau konsiderans, penjelasan dari UUD dan peraturan-perundangan adalah mempunyai kekuatan hukum.
Dalam Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 itu selain ditetapkan Piagam Jakarta dalam konsiderans, dalam dictum ditetapkan pula “menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi.” Dengan demikian dasar hukum Piagam Jakarta dalam konsiderans dan dasar hukum Undang-Undang Dasar 1945 dalam diktum (batang tubuh) ditetapkan dalam satu peraturan-perundangan yang dinamakan Dekrit Presiden. Keduanya menurut hukum Tatanegara Indonesia mempunyai kedudukan hukum yang sama.
Dengan demikian Dekrit Presiden RI berkeyakinan,jadi bukan hanya Ir. Soekarno pribadi, bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam Konstitusi tersebut. Dan karena perbedaan Piagam Jakarta dengan Pembukaan UUD 1945 hanyalah 7 kata-kata “dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” mak a itu berarti bahwa ketuju perkataan itulah yang menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam UUD 1945 itu.
Kata “menjiwai” secara negatif berarti bahwa tidak boleh dibuat peraturan-perundangan dalam negara RI yang bertentangan dengan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Dan secara positif berarti bahwa bagi pemeluk-pemeluk Islam diwajibkan menjalankan syariat Islam. Dan untuk itu harus dibuat undang-undang yang akan memperlakukan Hukum Islam dalam Hukum Nasional. Pendapat ini sesuai dengan keterangan Perdana Menteri Juanda pada tahun 1959: “ Pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen-historis, bagi Pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya terhadap Undang-undang Dasar 1945. Jadi pengakuan tersebut tidak menge-nai Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 saja, pasal mana selanjutnya harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan. ” (UUD 45 Dep. RI: 1959)
8 / 18
REVISI KUHP DAN PROSPEK HUKUM ISLAM DI INDONESIA Written by Prof. Dr. H. D. Ismatullah Mahdi, SH. M.Hum Tuesday, 03 April 2012 11:24
Politik hukum ini terlihat pula pada Ketetapan MPRS No. II/MPRS/ 1960 di mana dinyatakan dalam penyempurnaan hukum perkawinan dan hukum waris supaya diperhatikan adanya faktor-faktor agama. Sampai tidak berlakunya lagi Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 pada 27 Maret 1968 tidak satupun undang-undang muncul di bidang hukum perkawinan dan hukum waris, walaupun oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional telah disiapkan RUU Peraturan Pelengkap Pencatatan Perkawinan, RUU Hukum Perkawinan dan RUU Hukum Waris. Sebaliknya di bidang yurisprudensi dengan Keputusan-keputusan dalam bidang hukum waris nasional menurut sistem bilateral secara judge made law.” Di sini terlihat di bidang hukum waris nasional yang bilateral mendekati hukum Islam daripada hukum Adat.
C. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa maksud para pakar hukum pidana merevisi kitab undang-undang hukum pidana dan membuat pasal tersendiri mengenai delik agama bukan mengarah kepada adanya niat untuk merubah dasar hukum negara kita. Tetapi dimaksudkan untuk mengatur khusus tentang tindak pidana terhadap kehidupan keagamaan. Kedudukan hukum Islam di negara kita tetap sebagai agama yang dianut oleh warga negara Indonesia dan dilindungi oleh konstitusi kita sebagai hak yang tidak dapat dikurangi.
9 / 18
REVISI KUHP DAN PROSPEK HUKUM ISLAM DI INDONESIA Written by Prof. Dr. H. D. Ismatullah Mahdi, SH. M.Hum Tuesday, 03 April 2012 11:24
Dalam KUHP yang baru itu, karakteristik yang penting adalah azas yang mendasarinya, yaitu adanya suatu pergeseran dari hukum pidana pembalasan menjadi hukum pidana yang manusiawi. KUHP baru itu tidak hanya melihat pelaku dan perbuatannya tetapi juga memperhatikan pelaku, korban dengan tujuan pemidanaan yang jelas dengan memperhatikan semua aspek.
Penyusunan draf KUHP itu dilakukan dengan menampung aspirasi suprastruktural, aspirasi masyarakat, aspirasi pakar, aspirasi internasional, serta kecenderungan internasional. Yang merupakan perbandingan dari semua produk hukum, seperti dari anglo saxon, continental, sosialis, Timur Tengah, Timur Jauh, di samping hukum adat yang ada di negara kita.
Sampai saat ini kita belum memiliki KUHP yang baru dan ini merupakan masalah besar bagi negara kita.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Amrullah Ahmad at.al, Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, Cet. 1, PP IKAHI Jakarta, 1994!
10 / 18
REVISI KUHP DAN PROSPEK HUKUM ISLAM DI INDONESIA Written by Prof. Dr. H. D. Ismatullah Mahdi, SH. M.Hum Tuesday, 03 April 2012 11:24
Bambang Pornomo,. Asas-asas Hukum Pidana. Cet. 7. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994.
Hazairin, Demokrasi Pancasila, Cet. 5, Jakarta: Bina Aksara, 1985.
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Cet. 2, Jakarta, Tintamas, 1968.
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta, LP3S, 1985, hal. 30-31.
H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Bandung, Pustaka-Perpustakaan Salman ITB, 1981, hal. 14, 25-26.
Hood, Roger. The Death Penalty, A World-Wide Perspective. Second Revised and Updated st . Oxford: Clarendon Press, 1998. Edition. 1
11 / 18
REVISI KUHP DAN PROSPEK HUKUM ISLAM DI INDONESIA Written by Prof. Dr. H. D. Ismatullah Mahdi, SH. M.Hum Tuesday, 03 April 2012 11:24
Hulam, Tafiqul. Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA, Perspektif Hukum Islam & Hukum Positif. Cet. 1, Yogyakarta: UII Press, 2002.
Ismail, Rose, ed. Hudud in Malaysia, The Issues at Stake. Kuala Lumpur: Vinlin Press Sdn Bhd, 1995.
Ismail Suny, Hukum Islam dalam Hukum Nasional, Jakarta, Universitas Muham-madiyah Jakarta, 1987, hal. 5-6, dimuat juga dalam Hukum dan Pembangunan , No. 4 Tahun ke-XVII, Agustus 1987, hal. 351-357.
Ismail Suny, UU No. 14/1970 dan RUUPA, Seminar Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Jakart a, 15 Juli 1989.
Ismail Suny, The Religious Freedom and the Religious Court in Indonesia, paper submitted ti the Regional Confrence on Human Rights in Islam at Petaling Jaya Hilton, Selang
12 / 18
REVISI KUHP DAN PROSPEK HUKUM ISLAM DI INDONESIA Written by Prof. Dr. H. D. Ismatullah Mahdi, SH. M.Hum Tuesday, 03 April 2012 11:24
or, Darul Ehsan, 27-29 July 1989, organized by Institut Kajian Dasar dan University Kebangsaan Malaysia.
Ka’bah, Rifyal, “Hukum Pidana Islam dan Penegakan Hukum di Indonesia.” Dalam Muhammad Amin Suma, et.al. Pi dana Islam di Indonesia, Peluang, Pros-pek, dan Tantangan. Cet. 1, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Mahmood, Tahir, et.al. Criminal Law in Islam and the Muslim World, A Compara tive st . edition. New Delhi: Institute pf Objective Studies, 1996. Perspective. 1
Masud, Muhammad Khalid. Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Shati-bi’s Philosophy of Islamic Law: An Analitical Study of Shatibi’s Concept of Maslaha in Relaction to His Doctrine of Maqasid al-Syari’a With Particular Reference to the Problem of Adaptability of Islamic Legal Theory to Social Change). Diterjemahkan oleh Yudian W. Cet. 1, Surabaya, Al-Ikhlas, 1995.
Muladi, “Pengembangan Hukum Pidana dalam Konteks Negara Kebangsaan.” Dalam Jaenal Aripin dan M. Arskal Salim GP, ed. Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek, dan Tantangan. Cet. 1. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
13 / 18
REVISI KUHP DAN PROSPEK HUKUM ISLAM DI INDONESIA Written by Prof. Dr. H. D. Ismatullah Mahdi, SH. M.Hum Tuesday, 03 April 2012 11:24
Muslehuddin, Muhammad. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam (Philosophy of Islamic Law and the Orienta-list A Comparative Study of Islamic Legal System). Diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin. Cet.2, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997.
Muhammad Abu Zahra,. Ushul Fiqh (Ushul al-Fiqh). Diterjemahkan oleh Saefullah, et.al. Cet. 5. Jakarata: Pustaka Firdaus, 1999
Mohammad Radhie, Peranan Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional. Cet. 1. Yogyakarta: Bina Usaha, 1983.
Nawawi, Mahiudin Abu Zakaria Yahya Ibn Sharif En. Minhaj Et Talibin, A Manual of Muhammadan Law According to The School of Shafii. Translated in to English from The French Edition of L.W.C. Van Den Berg by E.C. Howard. Lahore: Pakistan Educational Press, without years.
Snouck Hurgronje,. Aceh di Mata Kolonialis (The Acehnese). Jilid 1. Diterjemah-kan oleh Ng. Singarimbun, S. Maimoen, dan Kustiniyati Mochtar. Cet. 1, Jakarta, Yayasan Soko Guru, 1985.
14 / 18
REVISI KUHP DAN PROSPEK HUKUM ISLAM DI INDONESIA Written by Prof. Dr. H. D. Ismatullah Mahdi, SH. M.Hum Tuesday, 03 April 2012 11:24
Supomo dan Djokosutono, Sejarah Politik Hukum Adat Masa 1848-1928. Jilid 2. Jakarta: Pradnya Paramita, 1982.
Sajuti Thalib,. Receptio a Contrario, Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam. Cet. 4. Jakarta: Bina Aksara, 1985.
Yuzril Ihza Mahendra, Catatan Kritis dan Percikan Pemikiran Yusril Ihza Mahendra. Cet. 1, Jakarta, Bulan Bintang, 2001.
B. Makalah, Koran
Barda Nawawi Arief, Pokok-Pokok Pemikiran (Ide Dasar)Asas-Asas Hukum Pidana Nasional, Makalah disajikan pada Seminar Nasional tentang “Asas-Asas Hukum Pidaana Nasional”, BPHN Depkeh dan HAM bekerja sama dengan FH UNDIP, di Hotel Ciputra, Semarang, Tgl 26-27 April 2004
Robertus Robet, Ada Tiga Masalah Krusial dalam Penyusunan RUU KUHP, Pikiran Rakyat, 17 September 2003
15 / 18
REVISI KUHP DAN PROSPEK HUKUM ISLAM DI INDONESIA Written by Prof. Dr. H. D. Ismatullah Mahdi, SH. M.Hum Tuesday, 03 April 2012 11:24
C. Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidaaaana, Direktorat Perundang-Undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan Perundang-Undaangan, 1999-2000
Indonesia. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Keperca-yaan, dan Adat Istiadat Cina, tanggal 12 Januari 2000 .
16 / 18
REVISI KUHP DAN PROSPEK HUKUM ISLAM DI INDONESIA Written by Prof. Dr. H. D. Ismatullah Mahdi, SH. M.Hum Tuesday, 03 April 2012 11:24
Indonesia. Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999 beserta Perubahan Pertama Atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Cet. 1, Jakarta,BP. Panca Usaha, 1999.
Indonesia. Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, “Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana ”. Laporan Peneli-tian, LPHN, 1973.
wa ?�*la �O>, Syirkah Musahamah, Mesir, 1925, hlm. 28, sebagaimana dikutip Ija Suntana, dalam Model Kekuasaan Legislatif dalam Sistem Ketatanegaraan Islam, Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 24
[2] Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, UI Press, Jakarta, 1993, hlm. 9
[3] Deddy Ismatullah, Gagasan Pemerintahan Modern Dalam Konstitusi Madinah, Pustaka At-Tadbir, Bandung, 2006, hlm
[4] Munawir Sadzali, Op.cit, hlm. 21-39
[5] Parsudi Suparlan, Demokrasi Dalam Tradisi Masyarakat Pedesaan Jawa, dalam
17 / 18
REVISI KUHP DAN PROSPEK HUKUM ISLAM DI INDONESIA Written by Prof. Dr. H. D. Ismatullah Mahdi, SH. M.Hum Tuesday, 03 April 2012 11:24
Demokrasi dan Proses Politik, LP3ES, Jakarta, 1986, hlm. 20
[6] Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat, Nusamedia, Bandung, 2007, hlm. 40
[7] Pasal ini merupakan pasal yang diamandemen melalui amademen ketiga tahun 2001. sebelum amandemen, pasal ini berbunyi ”Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
[8] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 48
[9] Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia , PT. Ichtiyar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994, hlm. 91
[10] Ibid, hlm. 150
[11] Ibid
18 / 18