PERSPEKTIF GENDER TERHADAP PASAL KESUSILAAN DALAM RUU KUHP (Suatu Kajian Deskriptif Kualitatif) Farah Liza Adrian, SH, MH Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta Abstract The purpose of the INPRES No. 9 in Year 2000, is how to make happen the planning, implementation, controle and evaluation of the policy and national development program which have gender’s perspective in the life of the family, nation and stale. Keywords: Gender, perspective, ethics, implementation A. PENDAHULUAN Salah satu. instrumen yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat adalah KUHP. Dengan adanya revisi KUHP maka perlu suatu kajian apakah rumusan dalam RUU KUHP dapat diterapkan dan tidak bertentangan dengan hak-hak dari berbagai suku dan adat istiadat terutama bagi perempuan. Bila dilihat bab kesusilaan dalam RUU KUHP yang penuh dengan prasangka terhadap tubuh perempuan, nampak bahwa terdapat beberapa pasal yang berpotensi mengebiri kebudayaan dalam adat-adat tertentu. Perkawinan yang diakui oleh negara juga belum sepenuhnya mengakomodir perkawinan-perkawinan minoritas, mengingat KUHP juga merupakan acuan berbagai daerah dalam membuat PERDA, maka sangat diperlukan kajian sosiologis untuk memastikan bahwa RUU KUHP tersebut dapat diimplementasikan dan tidak diskriminatif. Target luaran penelitian ini adalah : 1) menghasilkan rekomendasi yang positif kepada pemerintah dan lembaga terkait mengenai hasil temuan agar tercipta Undang-undang KUHP yang mengacu kepada kesetaraan Gender khusus terhadap pasal-pasal yang berkaitan dengan kesusilann. 2) Memberikan informasi dan pengetahuan hukum bagi praktisi hukum, kalangan akademisi, dan masyarakat mengenai pasalpasal yang ada dalam KUHP yang perlu mendapat kritisi dan menumbuhkembangkan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. B. RUMUSAN MASALAH Rumusan masalah yang akan diangkat adalah sebagai berikut : 1. Apakah pendapat berbagai elemen masyakarakat pemerhati perempuan tentang Rancangan Undang-Undang KUHP, terutama mengenai pasal-pasal kesusilaan ? 2. Bagaimana keinginan elemen masyarakat pemerhati perempuan mengenai pasal-pasal kesusilann yang ada dalam RUU KUHP ? 3. Upaya apa saja yang dilakukan oleh elemen masyarakat pemerhati perempuan berkaitan dengan RUU KUHP ? C. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis sosiologis dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif didukung oleh data dan fakta yang relevan dari narasumber yang
dikaji dan ditelaah guna ditemukan kesimpulan yang merupakan jawaban atas pokok permasalahan. Adapun yang menjadi dasar digunakannya pendekatan deskriptif kualitatif adalah bahwa tulisan ini didasarkan pada fenomena pemberdayaan yang sangat ekslusif ditengah-tengah isu emansipasi wanita di Indonesia D. KERANGKA TEORI Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah kaum perempuan adalah membedakan antara konsep seks (jenis kelamin-pen) dan konsep gender pemahaman dan pembedaan terhadap kedua konsep tersebut sangat diperlukan untuk memahami persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini disebabkan karena ada kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender diffrences) dan ketidak adilan gender (gender nequalities) dengan struktur ketidak adilan masyarakat secara lebih luas (Mansour Fakih, 1996: 4). pengungkapan masalah kaum perempuan dengan menggunakan malisis gender sering menghadapi perlawanan (resistance), baik dari kalangan kaum laki-laki maupun perempuan sendiri. Tidak hanya itu, penolakan terhadap analisis gender disebabkan justru oleh mereka yang melakukan kritik terhadap sistem sosial seperti kapitalisme. Penyebab timbulnya perlawanan adalah karena : 1) sulitnya nempersoalkan sistem yang sudah mapan, 2) menggoncang struktur dan sistem status quo ketidakadilan tertua dalam masyarakat, 3) sulitnya membahas hubungan kekuasaan yang sifatnya sangat pribadi, yakni menyangkut dan melibatkan individu kita masingmasing serta menggugat privilege yang kita miliki dan sedang nikmati selama ini (Mansour Fakih, 1996: 4). Kata “Gender” dalam bahasa Indonesia meminjam dari bahasa Inggris. Kalau dilihat dalam kamus, tidak secara jelas dibedakan pengertian kata “sex” dan “gender”. Sementara itu belum ada uraian yang mampu menjelaskan secara singkat dan jelas mengenai konsep gender dan mengapa penting guna memahami sistem ketidakadilan sosial. Untuk memahami konsep gender harus dibedakan gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Jenis kelamin laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, jakala, dan wemproduksi sperma. Sedangkan kelamin perempuan adalah manusia yang memiliki alat reproduksi seperti rahim dan memiliki saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, vagina, dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut melekat secara biologis dan tidak bisa dipertukarkan selamanya, dan sering disebut sebagai ketentuan Tuhan atau “kodrat”. Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender, yakni sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang di konstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, Sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis lakilaki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Proses panjang dalam perjalanannya sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan-seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi, hingga perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan. Sebaliknya
melalui dialektika, konstruksi sosial gender yang tersosialisasikan secara evolusional dan perlahan-lahan mempengaruhi biologis masing-masing jenis kelanun. Misalnya karena konstruksi sosial gender, kaum laki-laki harus bersifat kuat dan agresif maka kaum laki-laki kemudian terlatih dan tersosialisasi serta termotivasi untuk menjadi atau menuju ke sifat gender yang ditentukan oleh suatu masyarakat, yakni secara fisik lebih kuat dan lebih besar. Sebaliknya, karena kaum perempuan harus lemah lembut, maka sejak bayi proses sosialisasi tersebut tidak saja berpengaruh kepada perkembangan emosi dan visi serta idiologi kaum perempuan, tetapi juga mempengaruhi perkembangan fisik dan biologis selanjutnya. Karena proses sosialisasi dan rekonstruksi berangsung secara mapan dan lama, akhirnya sulit dibedakan apakah sifat-sifat gender itu, seperti kaum perempuan lemah lembut dan lelaki kuat dan gagah perkasa itu di konstruk secara sosial atau memang bawaan karena kodrat biologis yang ditetapkan Tuhan. Namun dengan menggunakan pedoman bahwa setiap sifat biasanya inelekat pada jenis kelamin tertentu dan sepanjang sifatsifat tersebut bisa dipertukarkan, maka sifat tersebut adalah hasil konstruksi masyarakat, dan sama sekali bukanlah kodrat. Dewasa ini terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya di masyarakat, dimana apa yang sesungguhnya gender, karena pada dasarnya konstruksi sosial justru dianggap sebagai kodrat yang berarti ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan. Justru sebagian besar yang dewasa ini sering dianggap atau dinamakan sebagai kodrat wanita adalah konstruksi sosial dan kultural atau gender. Misalnya saja sering diungkapkan bahwa mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga atau urusan domestik sering dianggap sebagai “kodrat wanita”. Padahal kenyataannya, bahwa kaum perempuan memiliki peran gender dalam mendidik anak, mengelola, dan merawat kebersihan rumah adalah konstruksi kultural dalam suatu masyarakat tertentu. Oleh karena itu, boleh jadi urusan mendidik anak dan merawat kebersihan rumah bisa dilakukan oleh kaum laki-laki. oleh karena jenis pekerjaan itu bisa dipertukarkan dan tidak bersifat universal, apa yang sering disebut sebagai “kodrat wanita” dalam kasus mendidik anak dan mengatur kebersihan rumah tangga, sesungguhnya, adalah gender (Mansour Fakih, 1996: 4). Perbedaan gender tersebut ternyata menimbulkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Hal yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidak adilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama bagi kaum perempuan. Ketidak adilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni : 1) marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, 2) subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, 3) pembentukan stereolipe atau belabelan negatif, 4) kekerasan, 5) beban kerja lebih panjang dan lebih banyak, 6) serta sosialisasi idiologi nilai peran gender. Manifestasi ketidakadilan gender tidak bisa dipisah-pisahkan, karena saling berkaitan dan berhubungan, saling mempengaruhi secara dialektis. Tidak ada satupun manifestasi ketidak adilan gender yang lebih penting, lebih esensial dari yang lain. Misalnya marginalisasi ekonomi maupun perempuan justru terjadi karena stereotipe tertentu atas kaum perempuan, dan itu menyumbang kepada subordinasi kekerasan kepada kaum perempuan yang akhirnya bersosialisasikan dalam keyakinan, diologi dan visi kaum perempuan itu sendiri. Dengan demikian kita tidak bisa menyatakan bahwa marginalisasi maupun perempuan adalah menentukan jawaban terpenting dari yang lain dan oleh karena itu perlu mendapat perhatian lebih, atau sebaliknya masalah kekerasa (violence) adalah masalah yang paling mendasar yang harus dipecahkan terlebih dahulu. E. HASIL PENELITIAN 1. Pasal-Pasal dalam RUU KUHP yang Biasa Gender :
a. b. c. d. e. f. g.
Kesusilaan dimuka umuni (Ps 467) Pornografi dan Pornoaksi (Pasal 469--Pasal 479) Zina dan Perbuatan Cabul (Pasal 484 - Pasal 486) Berkeliaran untuk Tujuan Melacur (Pasal 487) Perkosaan (Pasal 489) Percabulan (Pasal 490 - Pasal 497) Perdagangan perempuan dan anak (Pasal 498)
2. Masalah Penempatan Kejahatan Seksual Pada Bab Kesusilaan Sebagian besar ketentuan didalam Bab kesusilaan pada dasarnya merupakan kejahatan terhadap integritas tubuh dun seksualitas seseorang (perempuan) seperti perkosaan, pencabulan dan perdagangan perempuan dan anak. Lebih tepat masuk dalam bab “Tindak Pidana terhadap Kemerdekaan orang”. Penempatan Pasal-pasal kejahatan seksual dalam bab kesusilaan cenderung mengaburkan hakekat dari kejahatan tersebut, deduksi pada masalah pelanggaran rasa susila masyarakat (“Kesusilaan : Sopan santun masyarakat berkaitan dengan nafsu perkelaminan”). Tekanan lebih pada perlindungan rasa susila masyarakat daripada dilihat sebagai serangan terhadap individu (kejahatan terhadap orang). Dalam pola relasi individu versus kepentingan masyarakat, kepentingan korban menjadi terabaikan. Individu khususnya perempuan yang menjadi korban (pengalaman perempuan) banyak dalam kasus kejahatan seksual cenderung dipinggirkan sebagai dasar utama perumusan hukum. Standar yang dipakai dalam rumusan lebih kepada “sejauhmana dianggap tidak patut dan sopan oleh masyarakatdan seterusnya ketimbang kepentingan perlindungan dad perspektif korban yang mendapat kejahatan. Konstruksi masyarakat yang patriarkhi : konstruksi sosial yang sarat dengan bias gender, standar ganda seksual terhadap perempuan, stigma/stereotype tertentu berdasar moralitas “mainstream” yang cenderung diskriminatif. Apabila dilihat dari siapa yang lebih dilindungi antara kepentingan korban dan masyarakat ternyata Pasal percabulan masih mencantumkan sebagai “segala perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan dalam lingkup nafsu birahi” dari pada “pelecehan seksual “tindakan seksual yang melecehkan” untuk kategori tindakan-tindakan seperti - serangan seksual terhadap perempuan yang lebih tepat dengan rumusan pelecehan seksual ketimbang “percabulan”. Pelecehan seksual mencakup cumbuan/rayuan/perilaku seksual tidak hanya secara fisik tetapi juga verbal atau melalui penggunaan gambar yang tidak diinginkan oleh korban, atau merendahkan, menjijikkan bagi si penerima, termasuk pemberian julukan, penghinaan atau komentar yang tidak senonoh, atau gerak isyarat dan poster, gambar, kartun yang bersifat menyerang secara seksual. Sedang percabulan bersumber pada “kesusilaan” yakni suatu perasaan malu yang berhubungan. dengan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah dada perempuan, alat kelamin perempuan atau laki-laki, yang semuanya dilakukan dengan perbuatan, yang kadang amat bergantung pada pendapat umum pada waktu dan di tempat itu (R. Soesilo) Oleh sebab itu, konsekuensinya secara definitif tidak semua bentuk-bentuk perhatian /tindakan seksual yang melecehkan hingga serangan seksual pada kebanyakan perempuan korban dapat diakomodir dalam rumusan percabulan. Sementara serangan seksual baru dianggap sebagai perkosaan bila terjadi terutama dalam konteks “persetubuhan” (Pasal 489 ayat 1 huruf a-f) meski dalam ayat 2 sudah diperluas dengan memasukkan rumusan sodomi maupun oral serta penggunaan benda. Tetapi diluar itu, bentuk-bentuk serangan seksual tidak terakomodir. R.
Soesilo mengartikan persetubuhan sebagai peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk kedalam anggota kemaluan perempuan, sehingga mengeluarkan air mani. Karena rumusannya adalah persetubuhan, maka wajar dalam pembuktian harus dapat dibuktikan adanya penetrasi dan sperma pelaku. Dalam banyak kasus bila dianggap tidak terbukti adanya persetubuhan maka seringkali jatuh pada percabulan yang hukumannya biasanya lebih ringan dan tentunya tidak dianggap sebagai serangan seksual tetapi lebih karena tidak patut/pantas dilakukan o1eh pelaku pada korban. Element of crimes dari keja hatan perkosaan dalam Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional Pasal 7 (g) jauh lebih komprehensif yaitu” kerangan terhadap tubuh yang mengarah kepada penetrasi seringan apapun, atas bagian tubuh manapun dari korban atau pelaku menyerang organ seksual, atau anus, atau alat genital korban yang terbuka dengan benda apapun atau bagian tubuh manapun dari korban atau pelaku penyerang organ seksual atau anus, atau alat genital korban yang terbuka dengan benda apapun atau bagian tubuh lainnya.
3. Rumusan Perkosaan yang masih diskriminatif Dalam Pasal 489 ayat f huruf dan b, laki-laki yang melakukan persetubuhan diluar perkawinan bertentangan dengan kehendak perempuan atau tanpa persetujuan perempuan dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun paling lama 12 tahun. Rumusan ini tidak memasukkan kelompok istri sebagai pihak perempuan tersebut. Artinya ketentuan dia masih diskriminatif (tidak melindungi semua perempuan). Sifat diskriminasi langsung yaitu : rumusan hukum / kebijakan sejak awal rumusannya telah mengeluarkan kelompok tertentu. Tidak langsung artinya rumusan kebijakan yang dianggap “netral” tetapi patut diduga pengaruhnya akan diskriminatif rumusan tentang pornografi dan pornoaksi serta ketentuan tentang pelacur jalanan) Pasal 468 : “Setiap orang yang membuat tulisan, suara, atau rekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto, dan/atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik seksual pada bagian tubuh, dipidana karena pornografi dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 75 juta Pasal 469 : “Setiap orang yang menyiarkan, memperdengarkan, mempertontonkan, atau menempelkan lukisan, suara dst yang engekploitasi daya tarik seksual pada bagian tubuh, aktifitas seksual, hubungan seksual, dan seterusnya dipidana karena pornografi dengan penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 75 juta. Pasal 476 : “Setiap orang yang dimuka umum mempertontonkan gerakan gerakan atau tarian erotis atau peragaan orang yang sedang melakukan hubungan seks, dipidana karena pornoaksi dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak 75 juta. Tidak memberi perlindungan terhadap perempuan sebagai objek eksploitasi pornografi, tetapi justru menempatkan sebagai pelaku kriminal. Pengaruhnya akan diskriminatif, karena objek pomografi yang sering dipermasalahkan adalah tubuh / seksualitas perempuan. Pendekatan kesusilaan moralitas yang digunakan dalam melihat pornografi seperti dalam RUU KUHP ini, pada akhirnya mengabaikan fakta bahwa
masalah pornografi sangat terkait dengan bagaimana masyarakat itu sendiri memperlakukan perempuan sebagai objek/komoditi seksual. Perempuan ditempatkan sebagai objek seksual / seks provider bagi laki-laki, karena rentan menjadi sasaran segala bentuk eksploitasi dan kekerasan seksual. Perempuan faktanya merupakan faktanya merupakan korban terbesar dari perdagangan manusia (traficking) dan salah satu modus perdagangan adalah terkait dengan industri seks dan pomografi. Dalam pornografi dan prostitusi, tubuh perempuan diobjektifikasi dan dieksploitasi untuk kepentingan kelompok-kelompok yang lebih berkuasa ditengah masyarakat, kaum pornografer, industri seks, kapitalis, konsumen yang kesemuanya pada umumnya laki-laki. 4. Beberapa pengertian pornografi a. Andrea Dworkin : pornografi adalah gambaran tentang para pelacur kelas terendah dalam kegiatan-kegiatan seksualnya b. Mac Kinnon : Pornografi adalah grafs-gratis yang eksplisit secara seksual yang muatannya mensubordinasikan perempuan. c. Susanne Kappeler : pornografi adalah bentuk representasi perempuan yang merupakan hasil subjektivitas laki-laki Bentuk-bentuk pomografi sebagai isu KTP. Perempuan digambarkan sebagai objek-objek seks, benda atau komoditi (ada aspek dehumanisasi perempuan). Perempuan digambarkan sebagai objek-objek seks yang menikmati penghinaan dan kesakitan. Perempuan digambarkan sebagai objek-objek seks yang mengalami kenikmatan seksual dalam perkosaan, incest atau serangan-serangan seksual lainnya. Perempuan digambarkan sebagai objek-objek seks yang diikat, dimutilasi, menderita luka memar atau dilukai secara fisik. Perempuan digambarkan dalam postur/posisi-posisi ketertundukan seksual, budak, tontonan. Bagian-bagian tubuh perempuan dipertontonkan sedemikian rupa seolah-olah perempuan direduksi pada bagian-bagian itu. Perempuan digambarkan dengan dipenetrasi oleh objek-objek atau hewan. Perempuan digambarkan dalam skenario-skenario yang mendegradasi, tersiksa, diperlihatkan sebagai interior, berdarah-darah, memar, atau luka dalam konteks yang membuat kondisikondisi ini menjadi bersifat seksual (merangsang birahi). 5. Kriminalisasi Pelacur Jalanan Dalam RUU KUHP diintrodusir pasal baru (Pasal 487) yang menyebutkan :”setiap orang yang bergelandangan dan berkeliaran di jalan atau ditempat umum dengan tujuan melacurkan diri, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I Rp 1.500.000,- (dalam penjelasan sudah cukup jelas) Meski rumusan yang digunakan seolah netral “setiap orang”, tetapi hampir dipastikan dalam prakteknya sebagian besar yang akan terkena pasal ini adalah perempuan, tidak semata dalam konteks jenis kelamin tetapi juga yang bergender perempuan (menggunakan atribut/penampilan sebagai perempuan) yang melayani konsumen yang sama : laki-laki. Selain bias kelas (pelacur jalanan) ketentuan ini kembali mengukuhkan standar ganda seksual masyarakat patriarkhi ---perempuan yang lebih dipersalahkan (sumber maksiat) ketimbang lakilaki (pelacur perempuan) yang mencari pelanggan di jalanan yang akan ditangkap tetapi tidak sebaliknya, konsumen (laki-laki) yang berkeliaran mencari pelacur. Dalam budaya patriarkhi, perempuan diharapkan mengharapkan menjaga kesucian dalam perkawinan dengan satu laki-laki. Namun, tidak berlaku sebaliknya. Aturan moral (seksual) yang berlaku, membatasi seksualitas perempuan (promiskuitas perempuan dikutuk), sementara (poligami dalam perkawinan atau menggunakan pelacur dan bebas dari sanksi sosial atau stigma)
Selain diskriminatif terhadap pelacur, ketentuan ini juga bakal mengancam keseluruhan perempuan yang memiliki kepentingan berada di wilayah publik (jalanan) Terancam dicurigai sebagai pelacur-harus membuktikan diri bukan pelacur sebagaimana dalam praktek pemberlakuan perda-perda anti maksiat selama ini. Rumusan tersebut bertentangan lengan UU No. 7 Tahun 1984 yang nenegaskan kewajiban pemerintah rntuk menghapus setiap bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan, dalah setiap pembedaan, pengucilan, pembatasan yang mempunyai tujuan atau pengaruh yang akan mengurangi atau menghapuskan pengakuan, kenikmatan atau penggunaan ham lagi/oleh perempuan, terlepas dari status perkawinannya (Pasal 1). 6. Pandangan Masyarakat Terhadap Pasal kesusilaan Dari hasil kuisioner maka didapat ata sebagai berikut: Sample masyarakat perempuan dari kuisioner yang diberikan didapat hasil sebagai berikut : Usia Responden Umur Prosentase 19-25 20 % 26-30 10 % 31-35 40 %_ Lebih dari 35% 10 % Pendidikan Responden Pendidikan Tidak Sekolah Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Diploma Strata Satu Strata Dua
Pro sentase 0% 10% 30 % 48% 0% 11% 6%
Pekerjaan Responden Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Pegawai Swasta Pegawai Negeri Wiraswasta
Prosentase 52% 15% 25% 8%
Berdasarkan hasil kuisioner diperoleh hasil penelitian mengenai Pasal Kesusilaan didapat data bahwa 93 mengetahui bahwa pasal kesusilaan terdapat dalam KUHP akan tetapi tidak tahu lingkupnya apa saja yang termasuk dalam pasal kesusilaan. Selebihnya 6 person mengetahui bahwa pasal kesusilaan diatur dalam KUHP dan memberikan saran bahwa seharusnya jangan menyudutkan perempuan sebagai pihak yang bersalah, dan 1 % mengetahui bahwa pasal kesusilaan diatur dalam KUHP karena mengalami penyimpangan seksual dalam perkawinannya,
akan tetapi tidak memberikan saran perubahan KUHP dengan alasan tidak mengetahui bahwa UU yang berlaku dapat dievaluasi, dan takut memberikan saran dengan alasan tidak pantas, takut salah dst. 7. Pandangan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Dan hasil wawancara peneliti dengan KPAI diperoleh informasi sebagai berikut : a. Pasal kesusilaan yang ada dalam KUHP belum memenuhi harapan lembaga ini untuk melindungi anak dari perbuatan asusila, sebab anaklah yang paling rentan menerima perlakuan asusila baik dalam lingkungan rumahnya sendiri, tempat bermain, sekolah dan keluarganya. Dari data yang didapat, perbuatan tersebut dilakukan secara sengaja, sehingga mengakibatkan anak atau kelompok anak terutama anak perempuan menderita perasaan tertekan menderita fisik, seksual, psikis, hingga perkembangan pertumbuhannya dan atau mentalnya terganggu. b. Faktor utama anak menjadi korban perilaku asusila adalah karena anak-anak dalam posisi yang lemah, dan dalam keluarga ditanamkan anak-anak harus patuh pada yang lebih tua, terutama anak perempuan tidak boleh melawan, anak laki-laki diperlakukan lebih istimewa dibanding perempuan (sistem patriarki), dan ketakutan lain yang mengakibatkan peluang untuk mendapat perlakuan asusila menjadi semakin besar. c. Mengenai Pasal Kesusilaan yang terdapat dalam KUHP menurut KPAI sudah cukup memadai akan tetapi masih perlu perubahan terhadap besaran hukuman karena berbeda dengan perempuan pada umumnya, anak-anak lebih lemah posisinya, kemudian mempertaruhkan masa depan yang masih panjang, maka terhadap pelaku asusila terhadap anak seyogyanya dibebani hukuman yang lebih berat. Kemudian terhadap penegakan hukumnya, sosialisasi aturan hukum, perlindungan terhadap saksi dan korban yang belum dirasa cukup dalam prakteknya, dan pengetahuan masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua masih memprihatinkan. 8. LBH APIK (Pengurus LBH APIK/Koord. Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) Dan hasil wawancara didapat hasil sebagai berikut : a. Bahwa penempatan Pasal - pasal kejahatan seksual dalam bab kesusilaan cenderung mengaburkan hakekat dari kejahatan tersebut, direduksi dari masalah pelanggaran rasa susila masyarakat (Kesusilaan: sopan santun masyarakat berkaitan dengan nafsu perkelaminan) b. Sebagian besar ketentuan dalam bab Kesusilaan pada dasarnya merupakan kejahatan terhadap integritas tubuh dan seksualitas seseorang (perempuan) seperti perkosaan, percabulan, dan perdagangan perempuan dan anak. Lebih tepat masuk dalam bab tindak pidana terhadap kemerdekaan orang, padahal selama ini tekanan lebih kepada perlindungan rasa susila masyarakat daripada dilihat sebagai serangan terhadap individu khususnya perempuan yang menjadi korban (pengalaman perempuan) dalam banyak kasus kejahatan seksual cenderung dipinggirkan sebagai dasar utama perumusan hukum c. Standar yang dipakai sejauh mana dianggap tidak patut atau tidak sopan oleh masyarakat dsb. Ketimbang kepentingan perlindungan dari perspektif korban yang mendapat kejahatan. Kemudian pengaruh dari masyarakat patriarkhi : konstruksi sosial yang sarat dengan bias gender, standar gander seksual terhadap perempuan, stigma/stereotipe tertentu berdasarkan moralitas “mainstream” yang cenderung diskriminatif
d. Diinginkan untuk menggunakan kata “percabulan” (segala perbuatan yang melanggar rasa kesusilan dalam lingkup nafsu birahi) ketimbang”pelecehan seksual yang melecehkan) karena untuk kategori tindakan-tindaskan seperti serangan seksual terhadap perempuan yang lebih cepat dengan rumusan pelecehan seksual ketimbang “percabulan”. “Pelecehan seksual” mencakup cumbuan / rayuan/ perilaku seksual tidak hanya secara fisik tetapi juga verbal atau melalui penggunaan gambar yang tidak diinginkan oleh korban, atau merendahkan, menjijikkan bagi penerima, termasuk pemberian julukan, penghinaan, atau komentar yang tidak senonoh, atau gerak isyarat poster, gambar, kartun, yang bersifat menyerang secara seksual; sedang “percabulan” bersumber pada “kesusilaan” yakni suatu perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah dada perempuan, alat kelamin perempuan dan laki-laki, yang semuanya dilakukan dengan “perbuatan” yang kadang amat tergantung pada pndapat umum pada waktu dan tempat itu. e. Oleh sebab itu konsekwensinya secara definitif tidak semua bentuk-bentuk perhatian / tindakan seksual “persetubuhan” (Pasal 489 (1) huruf a-f) meski dalam ayat 2 sudah diperluas sodomi maupun oral serta penggunaan benda. Tetapi diluar itu, bentuk-bentuk serangan seksual tidak terakomodir. 9. Pandangan Yayasan Tuna Netra (wakil dari penyandang cacat netra) a. Bagi penyandang cacat, KUHP sendiri belum pernah diketahui, karena bentuk yang diinginkan untuk disosialisasikan kepada penyandang cacat pun belum diperoleh. Sosialisasi lebih kepada hal-hal penting mengenai aturan pidana. Padahal bagi penyandang cacat bentuk aturan yang dapat dimengerti, dan dijadikan acuan sangat penting mengingat penyandang cacat juga bagian dari masyarakat yang sangat rentan dijadikan sasaran perbuatan asusila. Untuk itu diinginkan bentuk aturan undang-undang yang lebih luas dapat disosialisasikan kepada masyarakat; b. Pendidikan hukum secara umum dan pendidikan mengenai peraturan hukum juga diperlukan oleh penyandang cacat, karena seyogyanya penyandang cacat mendapat perhatian dan perlindungan hukum yang lebih baik, dan hak asasinya seharusnya juga diperhatikan, terutama perempuan penyandang cacat. c. Perumusanpasal perkosaan terhadap penyandang cacat sepertinya sudah dianggap cukup memadai, padahal apabila diteliti, tindakan perkosaan atau perbuatan asusila lainnya terhadap perempuan penyandang cacat, lebih sulit untuk dapat dibuktikan kehadapan pengadilan, karena pelakunya tidak dikenali oleh korban (karena kecacatannya) sehingga seharusnya, diberikan upaya pembuktian yang lain dan sistem hukum yang lain terhadap korban penyandang cacat.
10. Keinginan Elemen Masyarakat Pemerhati Perempuan Mengenai Pasal-pasal dalam RUU KUHP Pengalaman perempuan selama ini telah memperlihatkan bagaimana negara dengan kebijakanya telah gagal memperhitungkan kepentingan dan hak-hak perempuan yang sesungguhnya telah dijamin oleh konstitusi. Melalui advokasi kebijakan, para perempuan dan kelompok-kelompok pro demokrasi mempertanyakan situasi pengabaian tersebut dan berjuang untuk mengubah kebijakan serta praktek-praktek yang tidak adil bagi perempuan dan kelompok marjinal lainnya. Belajar dari teori hukum feminis, melalui pendekatan “asking the women’s
questions”, kelompok perempuan berupaya membongkar asumsi serta implikasi-implikasi bias gender dari aturan maupun prakteknya, menguji bagaimana hukum yang ada telah melanggengkan stereotipe seksual perempuan seperti “perempuan sebagai sumber kejahatan” yang kemudian mendiskualifikasi pengalaman perempuan, seperti dalam kasus marital rape (perkosaan atau kekerasan seksual dalam perkawinan) atau kasus prostitusi. RUU KUHP harus di perbaharui dengan pendekatan yang mempertimbangkan pengalaman perempuan (perspektif korban). Ketentuan yang terkait dengan kejahatan seksual lebih tepat dimasukkan dalam bab kejahatan terhadap kemerdekaan orang, dan definisi perkosaan mengacu seperti dalam ICC, yang tidak terbatas kepada konteks persetubuhan. Penghapusan kata “perkawinan” (sesuai dengan spirit UU PKDRT) dalam definisi perkosaan. Kemudian secara eksplisit definisi pelecehan seksual dimasukkan, khususnya pelecehan seksual di tempat kerja yang sering terjadi (belum di akomodir) Sinkronisasi dengan UU yang sudah ada (UU PKDRT, UU PTPPO) dan menghapus ketentuan tentanp pelacur jalanan (bias kelas dan standar ganda seksual yang pengaruhnya dipastikan diskriminatif) Merumuskan ulang ketentuan tentang pornografi dan pornoaksi sehingga tidak multi tafsir dan berimplikasi pada kriminalisasi korban atau pencemaran narna baik. Perlu mempertimbangkan perspektif perempuan/korban isu pornografi. F. UPAYA YANG DILAKUKAN BERKAITAN DENGAN RUU KUHP 1. Metode Pembahasan RUU KUHP di DPR Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam membahas polo pembahasan RUU KUHP di DPR. Ada dua metode dan mekanisme pembahasan yang bisa dijadikan alternatif model pembahasan terlepas dari metode yang “konvensional”. Hal ini didasarkan pada struktur RUU KUHP. RUU KUHP terdiri dari dua “buku”. Buku Kesatu mengenai Ketentuan Umum yang terdiri dari 208 Pasal dan Buku Kedua mengenai Tindak Pidana yang terdiri dari 519 Pasal dan tersusun atas 35 bab. Metode pembahasan alternatif pertama adalah membahas adanya satu Pansus atau Komisi yang membahas tuntas terlebih dahulu Buku Kesatu, baru kemudian membahas Buku Kedua per bab. Alternatif lainnya adalah dengan membuat dua kelompok pembahas (Pansus dan Komisi) yang membahas RUU secara bersamaan (paralel). Kelompok pertama membahas buku kesatu dan kelompok kedua membahas buku kedua. Mengenai siapa yang membahas, pembentukan pansus yang terdiri dari lintas komisi dan anggota-anggota tertentu yng dianggap mempunyai latar belakang yang cukup untuk membahas RUU KUHP akan menjadi pilihan terbaik. Apalagi Komisi III sendiri juga sudah banyak mempunyai agenda pembahasan, mulai dari pembahasan RUU sampai dengan uji kepatutan dan kelayakan. Perbedaan diantara keduanya hanya terletak pada jumlah pansus yang dibentuk. Pada alternatif pertama hanya satu pansus yturg dibentuk. Pada alternatif kedua ada dua pansus yang dibentuk. Dari segi metode pembahasan, yang paling penting adalah untuk membicarakan Buku Kesatu dan Kedua secara tuntas dan terpisah. Hal ini penting karena kekhususan masing-masing materi muatan Buku Kesatu dan Kedua. Apa yang diatur di dalam buku Kesatu-lah yang akan sangat krusial dalam perubaltan sistem hukum pidana Indonesia. No
Metode Pembahasan
Kelebihan
Kekurangan
1
2
3
Konvensional: Dibahas per DIM oleh Panitia Khusus (Pansus) Dibahas oleh satu pansus, dengan membahas tunta tcrlebih dulu Buku Kesatu dan kemudian Buku Kedua
Tidak membutuhkan kesepakatan politik khusus karena sesuai kebiasaan Pembahasan bisa lebih mendalam
Memakan waktu lama
Dibahas oleh dua Pansus yang membahas secara bersamaan (paralel) Buku Kesatu dan Kedua Catatan Harus ada koordinasi reguler antara kedua Pansus
Pembahasan bisa lebih mendalam Waktu bisa lebih cepat dibandingkan dua pilihan diatas
Membutuhkan kesepakatan politik khusus bisa tidak ada ketidak sinkronan antara pembahasan Buku Kesatu dan Kedua
Memakan Waktu Lama Membutuh kan kesepakatan politik Khusus
Sumber : Bivitri susanti (PSHK) Apapun metode pembahasan yang dipilih, yang harus diperhatikan adalah penyeimbangan antara kedalaman pembahasan dan sempitnya waktu. Sehingga penting untuk memperhatikan aspek lainnya dalam metode pembahasan, yaitu dalam pengambilan keputusan. Untuk bisa mengadakan rapat yang efektif dan efisien, perlu diperhatikan paling tidak dua faktor yang berpengaruh, yaitu dukungan teknis dan kepemimpinan. Dari segi dukungan teknis, ketersediaan notulen pembahasan, jadwal dan laporan singkat harus terkelola dengan rapi. Hal ini untuk mencegah pengulangan pembahasan yang mungkin saja terjadi tanpa adanya dokumentasi pembahasan yang baik. Ketegasan pimpinan rapat, menjadi faktor penting. Dibutuhkan Pimpinan Pansus dan Panja yang tegas dan rapi dalam mengelola sidang. Diluar itu pemilihan anggota pansus tentu juga harus diperhatikan, jangan sampai terlalu banyak anggota yang absen dan Tdak konsisten dalam pembahasan yang berlarutlarut. Mengenai alur proses pembahasan di DPR terdapat dalam lampiran (lampiran 3) 2. Advokasi Kebijakan Pro Perempuan Kajian RUU KUHP yang telah dimulai sejak tahun 1982 tentu saja menjadi sorotan perhatian elemen masyarakat pemerhati perempuan dalam hal memasukkan perspektif gender dalam RUU tersebut. Adapun yang menjadi fokus utama tentulah bahwa apabila RUU KUHP tersebut berubah menjadi UU (KUHP yang baru) maka implementasi dilapangan tidak bias gender sehingga tidak terjadi ketidakadilan gender yang akan berimbas kepada adanya ketidaksetaraan gender terutama bagi perempuan. Advokasi kebijakan merupakan sebuah strategi untuk rnemastikan adanya jaminan hukum yang lebih efektif untuk perlindungan serta pemenuhan hak-hak rakyat. Bagi perempuan,
mendorong adanya sebuah kebijakan yang positif dan ‘bunyi’ di masyarakat, merupakan suatu cara masuk untuk kepentingan jangka panjang yakni mengubah struktur sosial dan budaya yang selama ini ada, yang melanggengkan ketidakadilan struktural terhadap perempuan. Sebuah kebijakan harusnya dibuat agar responsif terhadap situasi masyarakat (responsive law), dan diarahkan untuk menghapus berbagai ketidakadilan seperti stereotipe seksual atau stigmastigma sosial yang selama ini dilekatkan kepada perempuan, pembatasan-pembatasan dan subordinasi, marjinalisasi ekonomi serta berbagai bentuk kekerasan berbasis gender/jenis kelamin yang dialami oleh perempuan di berbagai level sosial. Advokasi kebijakan merupakan satu strategi atau mekanisme yang dapat digunakan oleh perempuan dalam rangka menuntut akuntabilitas yang lebih besar dari negara, yakni memastikan kebijakan-kebijakan yang dibuat benar-benar menyasar pada kepentingan strategi pemberdayaan perempuan untuk menegakkan hak-haknya. Kebijakan itu sendiri dapat dipahami dalam kerangka analisa sistern hukum, yakni meliputi isi hukum (content of law), yaitu aturan-aturan hukum atau materi kebijakan-kebijakan, struktur hukum (Structure of Law) yaitu meliputi institusi hukum maupun sikap aparat penegak hukum serta budaya hukum (culture of law), yang mengacu pada alam pikir serta perikehidupan masyarakat yang membentuk hukum. Masingmasing komponen ini saling berkaitan dan perubahan yang satu belum tentu menjamin perubahan yang lainnya. Bentuk advokasi yang telah dilakukan adalah terhadap beberapa peraturan salah satunya adalah melalui jaringan Prolegnas Pro Perempuan (selanjutnya disingkat JKP3), kelompok perempuan memperjuangkan agenda legislasi yang terkait dengan kepentingan perempuan, terutama perempuan sebagai korban kekerasan, seperti RUU KUHP, Traficking, RUU Pornografi, dan Pornoaksi, RUU Perlindungan saksi, Revisi UU Kesehatan serta amandemen UU Perkawinan. Begitupun ditingkat lokal, kelompok perempuan terlibat aktif dalam menelaah kritis perda-perda yang sarat dengan bias gender serta mengkriminalisasi korban, kelompok perempuan juga menjadi inisitor dalam pembuatan aturan kebijakan lokal yang lebih strategis misalnya perda Traficking, KDRT, atau penanggulangan HIV-AIDS, seperti yang dilakukan oleh kelompok perempuan di Bengkulu, Makassar, Yogyakarta, dan Surabaya. Sebelumnya ditingkat nasional, kelompok perempuan yang tergabung dalam jangka PKTP (Jaringan Kerja Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan) telah berhasil mengadvokasikan RUU Anti KURT sehingga menjadi UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Komponen advokasi yang telah dilakukan adalaln sebagai berikut : a. Melakukan Penelitian dan Pengemasan Isu. Penelitian nnerupakan hal penting yang menjadi prasarat utama dari usulan-usulan kebijakan yang tepat, responsif dan “bunyi”. Hasil penelitian dapat dikemas dalam “position paper” atau naskah akademis dan dikembangkan sebagai dukungan terhadap bahan usulan perubahan sebuah RUU/Ranperda/Ranperdes yang diajukan oleh masyarakat b. Membangun Koalisi/Jaringan ini dan Koalisi yang lebih luas untuk mobilisasi dukungan Jaringan inti adalah yang pertama yang harus dibentuk terdiri dari kelompok, individu, dan lembaga yang biasanya punya visi-misi sama, sehingga dapat berbagi beban dan sumber daya dalam memperjuangkan agenda bersama. c. Melakukan sosialisasi informasi dan pendidikan publik
Dalam koalisi perlu dipertimbangkan keterwakilan kelompok-kelompok strategis yang dapat memberikan dukungan publik yang lebih luas, termasuk penerimaan dari legislatif dan eksekutif, akademisi, pemuka agama/pemuka masyarakat aparat penegak hukum, insan media, organisasi massa dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat. d. Melakukan lobi dan Melakukan pantauan terhadap kinerja legislatif Lobiing adalah proses mempengaruhi pembuat kebijakan, anggota DPR dan pejabat pemerintah berkenaan dengan agenda advokasi yang diusung, bertujuan mendesakkan atau memastikan diakomodasinya usulan atau rancangan kebijakan. Dilakukan dengan mengejar dan berbicara (dalam arti luas) dengan para pembuat Undang-undang. Pejabat Publik dan pengambil keputusan, atau kemudian kegiatan berjalan kedalam dan keluar ruang sidang atau ruang parlemen. Yang perlu dipersiapkan pada saat melakukan lobi adalah pengetahuan tentang orangorang yang akan dilobi, bahan-bahan lobi yang terus diperbaharui, jadwal pembahasan berikut daftar anggota pansus, panja, atau komisi, asal fraksi mereka, ruangan, alamat, hingga telepon yang memudakan kontak dan pertemuan, juga melacak pandangan fraksi tentang isu perempuan, dan pandangan orang tersebut secara pribadi. Bahan-bahan advokasi yang akan mendukung selama proses lobi harus terus tersedia dan diperbaharui sesuai dengan dinamika pembahasan yang muncul maupun idiologi politik dan fraksi-fraksi yang ada. Selama melakukan lobi hal yang penting adalah untuk mengacu pada target advokasi yang sudah disepakati sebelumnya. Sejak awal jaringan/koalisi harus menentukan target minimum atau prioritas usulan-usulan yang akan digunakan sebagai standar pencapaian advokasi yang akan terus didesakkan hingga usulan tersebut dapat di sepakati. G. KESIMPULAN Dilihat dari hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pendapat berbagai elemen masyarakat terhadap rancangan Undang-undang KUHP a. Penempatan kejahatan seksual pada bab kesusilaan akhirnya mereduksi kejahatan tersebut dari Sebagian besar ketentuan didalam bab kesusilaan pada dasarnya merupakan kejahatan terhadap integritas tubuh danseksualitas seseorang (perempuan) seperti perkosaan, percabulan dan perdagangan perempuan dan anak. Lebih tepat masuk dalam bab “Tindak Pidana terhadap Kemerdekaan orang”. b. Rumusan Perkosaan yang masih diskriminatif Dalam Pasal 489 ayat 1 huruf a dan b, laki-laki yang melakukan persetubuhan diluar perkawinan bertentangan dengan kehendak perempuan atau tanpa persetujuan perempuan dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun paling lama 12 tahun. Rumusan ini tidak memasukkan kelompok istri sebagai pihak perempuan tersebut. Artinya ketentuan ini masih diskriminatif (tidak melindungi semua perempuan). Terutama mengenai pasal-pasal kesusilaan adalah bahwa tecdapat bias gender terutama pada kata “percabulan” yang tidak pro korban dan sebaiknya diganti dengan “pelecehan seksual” yang tidak menafikan aspek ucapan atau kata-kata verbal sebagai bentuk pelecehan seksual pula. c. Kriminalisasi Pelacur Jalanan Meski rumusan yg digunakan seolah netral “setiap orang”, tetapi hampir dipastikan dalam prakteknya sebagian besar yang akan terkena pasal ini adalah perempuan, tidak semata dalam konteks jenis kelamin tetapi juga yang bergender
perempuan (menggunakan atribut/penampilan sebagai perempuan) yang melayani konsumen yang sama : laki-laki. Selain bias kelas (pelacur jalanan) ketentuan ini kembali mengukuhkan standar ganda seksual masyarakat patriarkhi --perempuan yang lebih dipersalahkan (sumber maksiat) ketimbang laki-laki -(pelacur perempuan) yang mencari pelanggan di jalanan yang akan ditangkap tetapi tidak sebaiknya, konsumen (laki-laki) yang berkeliaran mencari pelacur. 2. Keinginan elemen masyarakat pemerhati perempuan berkaitan dengan RUU KUHP adalah dengan melakukan sinkronisasi dengan UU yang sudah ada (UU PKDRT, UU PTPPO) dan menghapus ketentuan tentang pelacur jalanan (bias kelas dan standar ganda seksual yang pengaruhnya dipastikan diskriminatif). Merumuskan ulang ketentuan tentang pornografi dan pornoaksi sehingga tidak multi tafsir dan berimplikasi pada kriminalisasi korban atau pencemaran nama baik. Perlu mempertimbangkan perspektif perempuan / korban isu pornografi. 3. Upaya yang telah dilakukan berkaitan dengan Pasal-pasal Kesusilaan dalam KUHP agar tidak menimbulkan bias gender. a. Melakukan Penelitian dan Pengemasan Isu b. Membangun Koalisi/Jaringan ini dan Koalisi yang lebih luas untuk mobilisasi dukungan c. Melakukan sosialisasi informasi dan pendidikan publik d. Melakukan lobi dan Melakukan pantauan terhadap kinerja legislatif H. DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Jakarta, 2002 Barda Nawawi Arif, RUU KUHPBaru Sebuah Restrukturisasi / Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia, Jakarta 2005 Brunetta R. Wolfman, Peranan Kaum Wanita, Kanisius, Jakarta 1992 Erich Froum, Cinta Seksualitas, dan matriarkhi Gender : Judul Asli, Love, sexuality, and matriarkhi about Gender, Alih bahasa : Pipit Mazei, Jalasutra, Yogyakarta, 2001 Faqih Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yokyakarta, Cetakan ke-4, 1999 Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualiatif, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 1991 Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia. Ghalia Indonesia, Jakarta 2005 Muhajir Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta, Penerbit Rake Sarasin, Cet. II 1990. Nancy Van Vuuren, Wanita dan Karier, Kanisius, Yogyakarta, 1993 PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1997
R. Soesilo, Delik-Delik Susila, Jakarta, 1984 Sarlito Sarwono Wirawan, Pengantar Umum Psikologi, Bulan Bintang, Jakarta, 1984 Setiawan, Konflik Sosial, Pustaka Pelajar, Jakarta 2004 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2002 Soerodibroto Soenarto, KUHP dan KUHAP dilengkapi dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hooge Raad, PT Raja Grafindo Indonesia, Jakarta, 2006 Sulistyawati Irianto, Pendekatan Hukum Berprespektif Perempuan, Yayasan obor Indonesia, Jakarta 2003 _____________, Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum, Yayasan Obor, Jakarta 2003 2. Peraturan Perundang-undangan Indonesia, UUD Negara Republik Indonesia. _____________, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia _____________, Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional _____________, KUHP Indonesia _____________, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga _____________,, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak _____________, UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban _____________, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan