BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABULAN
A. Pengertian Pencabulan Perbuatan cabul sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 390 RUU KUHP yang diambil dari Pasal 289 KUHP adalah dalam lingkungan nafsu birahi kelamin misalnya: a. Seorang laki-laki dengan paksa menarik tangan seorang wanita dan menyentuhkan pada alat kelaminnya. b. Seorang laki-laki merabai badan seorang anak perempuan wanita dan kemudian membuka kancing baju anak tersebut untuk dapat mengelus teteknya dan menciumnya. Pelaku melakukan tersebut untuk memuaskan nafsu seksualnya1. Menurut R. Soesilo yaitu “Segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji semua itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan lain sebagainya. Pada umumnya yang menjadi pencabulan ini adalah anak-anak”2. Mengenai tindak pidana pencabulan, harus ada orang sebagai subjeknya dan orang itu melakukannya dengan kesalahan, dengan perkataan lain jika dikatakan telah terjadi suatu tindak pidana pencabulan, berarti ada orang sebagai subjeknya dan pada orang itu terdapat kesalahan. Adapun 1
Soedarso, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 65. R. Soesilo, Kitab-Kitab Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politea: 1996), h. 212. 2
20
21
unsur-unsur mengenai tindak pidana pencabulan menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak Pasal 82 adalah: 1. Unsur “Barang siapa” , dalam hal ini menunjukkan tentang subjek atau pelaku atau siapa yang didakwa melakukan tindak pidana. 2. Unsur “Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa,
melakukan
tipu
muslihat,
serangkaian
kebohongan atau membujuk anak atau untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”3.
B. Dasar Hukum Pencabulan Dasar hukum tentang Pidana Pencabulan termuat dalam KUHP Pasal 287 dan 288. Pasal 287 Ayat (1): “Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita yang
bukan
istrinya,
padahal
diketahuinya
atau
sepatutnya harus diduganya bahwa umur wanita itu belum lima belas tahun, atau kalau umumnya belum jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawinkan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Ayat (2): “Penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan, kecuali bila umur wanita itu belum sampai dua belas tahun atau bila ada salah satu hal tersebut dalam Pasal 291 dan Pasal 2944.
3
Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 23 Tahun 2002, Pasal. 82 4 LIHAT KUHAP, Pasal 287 Ayat 1 dan 2
22
Pasal 288 Ayat (1): “Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawinkan, bila perbuatan itu mengakibatkan luka-luka, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Ayat (2): “Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun Ayat (3): “Jika perbuatan itu mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun5. Pasal 289: “Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun6.
C. Pencabulan sebagai Tindak Pidana Tindak pidana mengadakan hubungan kelamin diluar pernikahan dengan seorang wanita yang belum mencapai usia lima belas tahun atau yang belum dapat dinikahi oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam pasal 287 KUHP, yaitu:
5 6
LIHAT KUHAP, Pasal 288 Ayat 1 dan 2 LIHAT KUHAP, Pasal 289
23
Pasal 287 Ayat (1): “Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita yang
bukan
istrinya,
padahal
diketahuinya
atau
sepatutnya harus diduganya bahwa umur wanita itu belum lima belas tahun, atau kalau umumnya belum jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawinkan, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun. Ayat (2): “Penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan, kecuali bila umur wanita itu belum sampai dua belas tahun atau bila ada salah satu hal tersebut dalam Pasal 291 dan Pasal 294. Tindak pidana yang diatur dalam pasal 287 ayat (1) KUHP terdiri atas unsur-unsur: a. Unsur-unsur subjektif: 1. Yang ia ketahui 2. Yang sepantasnya harus ia duga b. Unsur-unsur objektif 1. Barang siapa 2. Mengadakan hubungan kelamin diluar perkawinan 3. Wanita yang belum mencapai usia lima belas tahun atau yang belum dapat dinikahi7. Dari diisyaratkan dua unsur subjektif secara bersama-sama, yakni unsur yang ia ketahui dan unsur pidana yang sepantasnya harus ia duga 7
Drs. P.A.F. Lamintang, S.H, Theo Lamintang, S.H, Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 113-114
24
didalam rumusan tindak yang diatur dalam pasal 287 ayat 1 KUHP, orang dapat mengetahui bahwa tindak pidana yang diatur dalam pasal 287 ayat (1) KUHP itu mempunya unsur subjektif yang “proparte dolus” dan “pro parte culpa”. Kedua unsur subjektif tersebut meliputi undur objektif ketiga dari tindak pidana yang diatur dalam pasal 287 ayat (1) KUHP yakni unsur wanita yang belum dapat dinikahi. Agar pelaku dapat dinyatakan terbukti telah memenuhi unsur-unsur subjektif tersebut, baik penuntut umum maupun hakim harus dapat membuktikan bahwa pelaku memang mengetahui atau setidak-tidaknya dapat menduga bahwa wanita yang mengadakan hubungan kelamin diluar pernikahan dengan dirinya belum mencapai usia lima belas tahun atau belum dapat dinikahi. Unsur objektif pertama dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP adalah unsur barangsiapa. Kata barang siapa menunjukan pria, yang apabila pria tersebut memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang diatur dalam pasal 287 ayat (1) KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut. Unsur subjektif kedua dari tindak pidana yang diatur dalam pasal 287 ayat (1) KUHP ialah unsur mengadakan hubungan diluar perkawinan8. Untuk terpenuhinya unsur ini oleh pelaku, tidaklah cukup jika hanya terjadi persinggungan diluar antara alat kelamin pelaku dengan alat kelamin korban, melainkan harus terjadi persatuan antara alat kelamin pelaku dengan 8
Ibid
25
alat kelamin korban. Dengan terjadinya persatuan antara alat kelamin pelaku dengan alat kelamin korban itu saja, belum cukup bagi orang untuk menyatakan pelaku terbukti telah memenuhi unsur objektif kedua dari tindak pidana yang diatur dalam pasal 287 ayat (1) KUHP, karena disamping itu Undang-undang juga mensyaratkan bahwa persatuan antara alat-alat kelamin itu harus terjadi diluar pernikahan atau buiten echt9. D. Hukuman Tindak Pidana Pencabulan Hukuman bagi Pelaku tindak Pencabulan terdapat dalam pasal 284 ayat 1 dan 2 yaitu: Pasal 287 Ayat (1): “Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita yang
bukan
istrinya,
padahal
diketahuinya
atau
sepatutnya harus diduganya bahwa umur wanita itu belum lima belas tahun, atau kalau umumnya belum jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawinkan, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun. Ayat (2): “Penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan, kecuali bila umur wanita itu belum sampai dua belas tahun atau bila ada salah satu hal tersebut dalam Pasal 291 dan Pasal 29410. Pasal 288 Ayat (1): “Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawinkan, bila
9
Ibid, h. 115 LIHAT KUHAP, Pasal 287 Ayat 1 dan 2
10
26
perbuatan itu mengakibatkan luka-luka, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Ayat (2): “Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun Ayat (3): “Jika perbuatan itu mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun11. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiaptiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia b. Bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya; c. Bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan; d. Bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk 11
LIHAT KUHAP, Pasal 288 Ayat 1 dan 2
27
mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hakhaknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi; e. Bahwa untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya; f. Bahwa berbagai undang-undang hanya mengatur hal-hal tertentu mengenai anak dan secara khusus belum mengatur keseluruhan aspek yang berkaitan dengan perlindungan anak g. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, c, d, e, dan f perlu ditetapkan Undang-undang tentang Perlindungan Anak; Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3143); 3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3277); 4. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3668);
28
5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3670); 6. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment
(Konvensi
ILO
mengenai
Usia
Minimum
untuk
Diperbolehkan Bekerja) (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3835); 7. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886); 8. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for The Elimination of The Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak) (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3941); Dengan persetujuan : DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN ANAK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
29
2. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hakhaknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta
mendapat
perlindungan
dari
kekerasan
dan
diskriminasi. 3. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga. 4. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat. 5. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak. 6. Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. 7. Anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau
mental
sehingga
mengganggu
pertumbuhan
dan
perkembangannya secara wajar. 8. Anak yang memiliki keunggulan adalah anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa, atau memiliki potensi dan/atau bakat istimewa. 9. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak
30
tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. 10. Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan
bimbingan,
pemeliharaan,
perawatan,
pendidikan,
dan
kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar. 11. Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya. 12. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. 13. Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan. 14. Pendamping adalah pekerja sosial
yang mempunyai
kompetensi
profesional dalam bidangnya. 15. Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
31
16. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. 17. Pemerintah adalah Pemerintah yang meliputi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 Penyelenggaraan perlindungan
anak berasaskan Pancasila dan
berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi : a. Non diskriminasi; b. Kepentingan yang terbaik bagi anak; c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. Penghargaan terhadap pendapat anak. Pasal 3 Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. BAB III HAK DAN KEWAJIBAN ANAK Pasal 4 Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
32
Pasal 5 Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. Pasal 6 Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. Pasal 7 (1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. (2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 8 Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. Pasal 9 (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. (2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa,
33
sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus. Pasal 10 Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. Pasal 11 Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. Pasal 12 Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. Pasal 13 (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan f. perlakuan salah lainnya.
34
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman. Pasal 14 Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. Pasal 15 Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari : a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik; b. pelibatan dalam sengketa bersenjata; c. pelibatan dalam kerusuhan sosial; d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan e. pelibatan dalam peperangan. Pasal 16 1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. 2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. 3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Pasal 17 1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
35
b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya c. hukum yang berlaku; d. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif e. tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. 2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. Pasal 18 Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. Pasal 19 Setiap anak berkewajiban untuk : a. Menghormati orang tua, wali, dan guru; b. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; c. Mencintai tanah air, bangsa, dan negara; d. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan e. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. Bagian Kelima Perlindungan Khusus Pasal 59 Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan
36
terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Pasal 60 Anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 terdiri atas : a. Anak yang menjadi pengungsi; b. Anak korban kerusuhan; c. Anak korban bencana alam; dan d. Anak dalam situasi konflik bersenjata. Pasal 61 Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi pengungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum humaniter. Pasal 62 Perlindungan khusus bagi anak korban kerusuhan, korban bencana, dan anak dalam situasi konflik bersenjata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b, huruf c, dan huruf d, dilaksanakan melalui: a. Pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan;
37
b. Pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial. Pasal 63 Setiap orang dilarang merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa. Pasal 64 (1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. (2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui : a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak; b. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini; c. Penyediaan sarana dan prasarana khusus; d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum; f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga g. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
38
(3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui : a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga; b. Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi; c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan d. Pemberian
aksesibilitas
untuk
mendapatkan
informasi
mengenai
perkembangan perkara. Pasal 65 (1)
Perlindungan khusus bagi anak dari kelompok minoritas dan terisolasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana untuk dapat menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya sendiri, dan menggunakan bahasanya sendiri.
(2)
Setiap orang dilarang menghalang-halangi anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya, dan menggunakan bahasanya sendiri tanpa mengabaikan akses pembangunan masyarakat dan budaya. Pasal 66
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
39
(2) ) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui : a. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi c. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual. (3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 67 Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi dan distribusi napza sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 68 Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui
40
upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 69 Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya : penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi. Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 70 Perlindungan khusus bagi anak yang menyandang cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak; pemenuhan kebutuhankebutuhan khusus; dan memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu. Setiap orang dilarang memperlakukan anak dengan mengabaikan pandangan mereka secara diskriminatif, termasuk labelisasi dan penyetaraan dalam pendidikan bagi anak-anak yang menyandang cacat.
41
Pasal 71 Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah, dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 77 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan : a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 78 Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
42
(napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 79 Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 80 (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
43
(5) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya. Pasal 81 (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (2) ) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yangdengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Pasal 82 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Pasal 83 Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
44
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Pasal 84 Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 85 (1) Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 86 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang
45
dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 87 Setiap orang yang secara melawan hukum merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 atau penyalahgunaan dalam kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa bersenjata atau pelibatan dalam kerusuhan sosial atau pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan atau pelibatan dalam peperangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 88 Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 89 (1) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi narkotika dan/atau psikotropika dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
46
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi, atau distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan paling singkat 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan denda paling sedikit Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Pasal 90 (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89 dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus dan/atau korporasinya. (2) Pidana yang dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-masing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). E. Anak Dibawah Umur Merujuk dari Kamus Umum Bahasa Indonesia pengertian anak secara etimologis diartikan dengan “Manusia yang masih kecil ataupun manusia yang belum dewasa”.12 Pengertian tersebut juga terdapat dalam pasal 45, pasal 46, pasal 47 dan pasal 72 KUHP yang memakai batas usia 16 (enam belas) tahun, yaitu: Pasal 45 berbunyi: Jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum mencapai 16 (enam belas) tahun, hakim
12
. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Balai Pustaka: Armico, 1984), h.
25.
47
boleh memerintahkan supaya si anak itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman; atau memerintahkan supaya si anak diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman; yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 489, 490, 492, 497, 503-505, 514, 517, 519, 526, 536, dan 540 dan perbuatan itu dilakukan sebelum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut diatas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah. Pasal 46 berbunyi: (1) Jika hakim memerintahakan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan Negara supaya menerima pendidikan dari pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau deserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada sesuatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau dikemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun. (2) Aturan untuk melaksanakan ayat 1 pasal ini ditetapkan dengan undangundang. Pasal 47 berbunyi: (1) Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga.
48
(2) Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (3) Pidana tambahan dalam pasal 10 butir b, nomor 1 dan 3 tidak dapat diterapkan. Pasal 72 berbunyi: (1) Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, dan orang itu umurnya belum cukup 16 (enam belas) tahun dan lagi belum dewasa, atau selama ia berada di bawah pengampuan yang disebabkan oleh hal lain daripada keborosan, maka wakilnya yang sah dalam perkara perdata yang berhak mengadu. (2) Jika tidak ada wakil, atau wakil itu sendiri yang harus diadukan, maka penuntutan dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau pengampu pengawas, atau majelis yang menjadi wali pengawas atau pengampu pengawas; juga mungkin atas pengaduan istrinya atau seorang keluarga sedarah dalam garis lurus, atau jika itu tidak ada, atas pengaduan seorang keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai derajat ketiga.13 Dari pasal yang dipaparkan tersebut di atas maka penulis berkesimpulan bahwa anak sebagai pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana adalah seseorang sebelum umurnya 16 (enam belas) tahun. Namun dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak disebutkan bahwa “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 13
. Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia (Jakarta: Raja Wali Pers, 2011), Ed. 1, h. 4.
49
(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin dan dikenal dengan sebutan anak nakal. Sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 dan 2 berbunyi: 1. Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. 2. Anak nakal adalah: a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.14 Dengan berlakunya undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka Pasal 45 KUHP tidak berlaku lagi. 15 Hal ini dijelaskan dalam Pasal 67 Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang berbunyi “Pada saat berlakunya Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang peradilan anak, maka Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi.16 Batasan umur untuk anak sebagai korban pidana diatur dalam Pasal 1 butir satu Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
14
. Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Peradilan Anak RI No. 3 Tahun 1997 (Jakarta: 2009),Cet, 1. h. 3. 15 . Nashriana, Op. Cit. h. 4 16 . Ibid, h. 28.
50
Anak. Anak dirumuskan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa anak yang berhak mendapat perlindungan hukum tidak memiliki batasan umur. Dari sejak masih dalam kandungan, ia berhak mendapatkan perlindungan. Sedangkan dalam pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, bahwa yang disebut dengan anak adalah “seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.17 Kemudian dalam pasal 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, bahwa batas usia anak di bawah kekuasaan orang tua dan dii bawah perwalian sebelum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun18.
F. Pencabulan Menurut Perspektif Fiqih Jinayah a. Zina Perbuatan cabul yang sampai pada hubungan kelamin dapat dikategorikan kepada tindakan zina. Zina adalah seorang laki-laki yang menyetubuhi wanita melalui qubul (vagina atau kemaluan), yang bukan dengan istrinya, tanpa melalui perkawinan atau syubhatan nikah (perkawinan yang syubhat). Adapun dasar hukum larangan zina terdapat dalam Firman Allah:
17
. Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Kesejahteraan Anak (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), h. 52. 18 . Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Pokok Perkawinan (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 15.
51
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin,” (An-Nuur: 2-3)19. Adapun syarat penjatuhan sanksi zina adalah: 1. Berakal sehat 2. Baligh 3. Merdeka 4. Mengetahui bahwa zina diharamkan20 Sanksi zina baru dapat di jatuhkan dengan dasar sebagai berikut: a. Pengakuan
19 20
Departemen Agama RI, AL-Qur’an dan Terjemahan, PT Syaamil Cipta Media, h.285 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Depok: Madina Adipustaka, 2014), h. 132.
52
Pengakuan adalah bukti yang paling akurat. Rasulullah saw menghukum Ma’iz dan al-Ghamidiyah berdasarkan pengakuan mereka. Tidak ada seorang pun ulama yang berselisih pendapat dalam hal ini meskipun mereka berselisih pendapat dalam jumlah pengakuan. Malik, Syafi’I Dawud, Thabari, dan Abu Tsaur berpendapat bahwa sanksi dijatuhkan cukup dengan sekali pengakuan sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid bahwa Rasulullah saw bersabda: ”Pergilah, wahai Unais, kepada istri orang ini. Jika ia mengakui perbuatannya, rajamlah dia”. Perempuan itu mengakui perbuatannya dan ia pun lalu merajamnya dan tidak menyebutkan jumlah pengakuan. Menurut Hanafi, sanksi dijatuhkan setelah empat kali pengakuan disejumlah tempat yang berbeda. Dalam hal ini Mazhab Ahmad dan Ishaq sepakat dengan Hanafi, hanya saja mereka tidak mensyaratkan sejumlah tempat yang berbeda. Mazhab yang pertama adalah yang paling sahih. b. Kesaksian Menuduh laki-laki dan perempuan berzina dapat menimbulkan efek yang sangat buruk, yaitu menjatuhkan reputasi mereka, menodai kehormatan mereka, menjatuhkan citra keluarga dan keturunannya. Karenanya, Islam memberikan ketentuan yang sangat tegas dalam menetapkan kriminal ini. Hal itu untuk mencegah orang-orang yang
53
menuduh orang lain tanpa bukti dengan mengatakan, misalnya orangorang paling cela, orang paling hina sepanjang masa21. Karenanya, kesaksian atas zina harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. a. Hendaknya saksi berjumlah empat orang. firman Allah: “Dan para perempuan yang melakukan perbuatan keji diantara perempuan-perempuan kamu, hendaklah terhadap mereka ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Apabila mereka telah member kesaksian maka kurunglah mereka (perempuan itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah member jalan (yang lain) kepadanya.” (Q.S. An-Nisa: 15). Firman Allah: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan yang baik (telah berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi” (QS. An-Nur: 4) Jika mereka kurang dari empat orang, kesaksiannya tidak diterima. b. Baligh Firman Allah: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki diantara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan diantara orang-orang
21
Ibid
54
yang kamu sukai daripada saksi (yang ada)”. (Q.S. Al-Baqarah: 282) Jika saksi belum baligh, kesaksiannya tidak diterima karena dianggap belum matang kepribadiannya dan tidak memuaskan kesaksiaannya meskipun memungkinkan untuk memberikan kesaksian. c. Berakal sehat, kesaksian orang gila dan orang idiot tidak diterima. d. Adil. Firman Allah: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu”. (Q.S At-Thalaq: 2). e. Beragama Islam f. Melihat kejadian zina secara langsung. Artinya melihat secara langsung
kemaluan
silaki-laki
masuk
kedalam
vagina
si
perempuan, seperti masuknya pensil alis kedalam botol celak atau masuknya tali kedalam sumur. Hal ini karena Rasulullah saw. Bertanya kepada Maiz, “Jangan-jangan engkau hanya mencium, meraba atau melihat?”. Ma’iz menjawab, “Tidak wahai Rasulullah.” Rasulullah saw mengulangi lagi pertanyaannya dengan bahasa yang lebih jelas, bukan dengan bahasa sindiran. Ma’iz menjawab “Ya benar wahai Rasulullah. Diperbolehkan melihat secara langsung dalam kondisi ini untuk tujuan memberikan kesaksian, seperti halnya dokter dan lainnya.
55
g. Kesaksian hendaknya dengan bahasa transparan, bukan dengan bahasa kiasan. Artinya, menyatakan bahwa penis benar-benar masuk kedalam lubang vagina, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits diatas. h. Hendaknya kesaksian diberikan dalam satu majelis. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa diantara syarat diterimanya kesaksian adalah diberikan dalam satu majelis yang sama, tidak berbeda dalam waktu dan tempat. Jika mereka mengajukan kesaksian dalam waktu dan tempat yang berbeda-beda kesaksian mereka ditolak. i. Hendaknya dari kaum laki-laki. Para saksi yang mempersaksikan zina hendaknya dari kaum laki-laki. Tidak diterima kesaksian perempuan. Meskipun demikian, Ibnu Hazm berpendapat bahwa saksi kesaksian dua orang perempuan muslimah setara dengan satu orang laki-laki dapat diterima. Menurut Ibnu Hazm, kesaksian dapat diterima jika para saksi terdiri dari tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan, atau dua orang laki-laki dan empat orang perempuan, atau satu orang laki-laki dan enam perempuan, atau delapan orang saksi perempuan tanpa seorang pun laki-laki. j. Hendaknya jarak antara perbuatan zina dan kesaksian tidak terlalu lama22. c. Perbuatan mendekati zina Dalam hukum Islam, Pencabulan yang belum sampai hubungan kelamin dimasukan kedalam kategori Perbuatan mendekati zina
22
Ibid
56
(mukadimah zina) adalah perbuatan cabul yang dapat mengakibatkan terjadinya zina. Dalam Al-Quran, larangan perbuatan mendekati zina terdapat dalam surah Al-Isra’ ayat 32:
ًَﺎﺣ َﺸﺔً َوﺳَﺎء َﺳﺒِﻴﻼ ِ ﱢﱏ إِﻧﱠﻪُ ﻛَﺎ َن ﻓ َ َوﻻَ ﺗَـ ْﻘَﺮﺑُﻮاْ اﻟﺰ Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk,” (Al-Israa’: 32)23. Alasan-alasan larangan melakukan perbuatan mendekati zina, menurut para mufassirin dari Tim Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, adalah karena perbuatan zina itu merupakan perbuatan keji yang dapat mengakibatkan kerusakan, antara lain: 1. Perbuatan zina itu mencampur adukkan keturunan, yang mengakibatkan seseorang menjadi ragu-ragu terhadap anaknya, apakah anak tersebut lahir itu sebagai keturunannya yang sah atau anak hasil perzinaan. Dugaan suami terhadap istri melakukan zina dengan laki-laki lain, dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam hal kedudukan hukum anak bersangkutan. Hal ini dapat mengakibatkan terhambatnya kelangsungan keturunan dan menghancurkan tata kemasyarakatan. 2. Perbuatan zina menimbulkan ketidakstabilan dan kegelisahan diantara sesama anggota masyarakat, disebabkan tidak terpeliharanya kehormatan. Akibat terjadinya perbuatan zina banyak menimbulkan terjadinya tindak pidana terhadap nyawaatau pembunuhan dalam masyarakat. 3. Perbuatan zina dapat merusak ketenangan hidup berumah tangga. Seorang wanita atau seorang lelaki yang telah berbuat zina menimbulkan stigma
23
Departemen Agama RI, AL-Qur’an dan Terjemahan, PT Syaamil Cipta Media, h.285
57
atau noda keluarga dalam masyarakat setempat, sehingga memunculkan ketidakharmonisan dan tidak ada kedamaian serta tidak ada ketenangan dalam hubungan hidup berumah tangga, terlebih lagi jika zina itu dilakukan oleh suami atau istri yang bersangkutan. 4. Perbuatan zina dapat menghancurkan kehidupan rumah tangga atau keluarga yang bersangkutan. Hal itu karena suami atau istri yang melakukan zina berarti ia telah menodai rumah tangga atau keluarganya, sehingga akan sukar untuk dielakkan dari kehancuran rumah tangga24. Tindak pidana mendekati perbuatan zina adalah merupakan tindak pidana ta’zir. Pengertian tindak pidana ta’zir menurut Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, adalah tindak pidana yang bentuk dan jumlah hukumannya tidak dapat ditentukan oleh hukum syara’. Tindak pidana ta’zir adalah semua tindak pidana yang hukumannya berupa ta’zir25.
G. Identifikasi Pembuktian 1. Definisi Pembuktian Pembuktian
adalah
kegiatan
menyakinkan
hakim
tentang
kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan26. Menurut Martiman Projoharmijo menjelaskan arti pembuktian yaitu “Membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran atas suatu peristiwa sehingga dapat diterima oleh 24
Neng Dzubaedah, Perzinaan, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 73-75 Ibid, h. 287 26 R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta:PradnyaParamita, 1991), h. 7 25
58
akal terhadap kebenaran tersebut. Dalam proses acara pidana maupun perdata diperlukan adanya pembuktian, yang memegang peranan penting”27. Dari berbagai pendapat tersebut dapat melahirkan berbagai pemikiran yang dapat ditarik pengertian pembuktian, yaitu: a. Pembuktian merupakan kegiatan ilmiah untuk menyusun suatu kebenaran secara hukum, atas suatu peristiwa pidana
yang
diperkirakan sebagai peristiwa pidana yang terjadi dimasa lampau. b. Pembuktian merupakan kegiatan yang mencari dan menemukan keterkaitan (relevansi) peristiwa pidana yang terjadi dimasa lalu dengan persangkaan perbuatan pidana. c. Pembuktian merupakan upaya pengesahan terhadap sarana alat bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku. d. Pembuktian merupakan upaya menumbuhkan keyakinan hakim secara wajar atas dalil-dalil yang dikemukakan untuk kebenaran atas suatu peristiwa pidana dan keterkaitan antara persangkaan dan atau terhadap dakwa terhadap seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana. e. Pembuktian merupakan alat bantu bagi hakim untuk menetapkan suatu putusan dalam persidangan peradilan. Menurut M. Yahya Harahap, pembuktian adalah ketentuanketentuan yang berisi pengarisan dan pedoman tentang cara-cara yang
27
Martiman Pradjohamidjodjo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat bukti, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983)
59
dibenarkan oleh Undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwa terhadap terdakwa28. Proses pembuktian dalam hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materil, berbeda dengan hukum acara perdata yang mencari kebenaran formil29. Namun aliran telah terdesak didalam prakteknya, sehingga sekarang tujuan perkara perdata pun sama dengan perkara pidana, yaitu mencari kebenaran materil. Perbedaan ini karena hukum Pidana dan Hukum Publik, yang mengatur kepentingan-kepentingan umum dan dikendalikan oleh alat Negara. Sebaliknya hukum perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan (hak-hak perdata) dan diserahkan kepada
masing-masing
yang
berkepentingan
apakah
akan
mempertahankan atau melepaskan hak-haknya tersebut30. Dalam rangka mencari kebenaran materil, hakim harus hati-hati, cermat dan matang dalam menilai kekuatan pembuktian setiap alat bukti yang diajukan dalam persidangan31. Hakim tidak hanya harus harus memperhatikan kepentinngan masyarakat dan terdakwa tapi juga korban. Dalam hukum acara pidana, hakim berkewajiban menetapkan: a. Perbuatan-perbuatan yang mana yang dapat dianggap terbukti menurut pemeriksaan pengadilan.
28
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan penerapan Kuhap, (Jakarta: Sinar Grafika: 2002), h. 252. 29 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), h. 137. 30 R. Subekti, Op.Cit, h. 9 31 KUHAP, Undang-undang No. 8 Tahun 1981 No. 76, TLN No. 3285, Pasal 184 ayat 1.
60
b. Terdakwa bersalah atau tidak atas perbuatan yang didakwakan kepadanya. c. Tindak pidana yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan itu. d. Hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa32. Dalam hukum acara pidana pembuktian dilakukan dalam rangka mencari kebenran materil. Untuk itu terdapat empat tahap yang harus dilewati: a. Penyidikan b. Penuntutan c. Pemeriksaan dipengadilan d. Pelaksanaan, pengamatan, pengawasan33. 2. Saksi dan Alat Bukti Keterangan Saksi 1. Definisi Saksi Dalam KUHP pengertian saksi diatur dalam Pasal 1 butir 26, Saksi adalah orang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan, peradilan suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan saksi sendiri diatur dalam Pasal pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
32 33
Prodjomidjodjo, Opcit h.9 Ibid, h.12
61
Berdasarkan perumusan tersebut maka dalam keterangan saksi, hal yang harus diungkapkan didepan sidang pengadilan yaitu: 1. Yang ia dengar sendiri, bukan hasil cerita atau pendengaran dari orang lain. Saksi secara pribadi harus mendengar langsung peristiwa pidana yang kejadian yang terkait dengan peristiwa pidana tersebut. 2. Yang ia lihat sendiri, kejadian tersebut benar-benar disaksikan langsung dengan mata kepala sendiri oleh saksi baik secara keseluruhan atapun rentetan, fragmentasi peristiwa pidana yang diperiksa. 3. Yang ia alami sendiri sehubungan dengan perkara yang sedang diperiksa, biasanya merupakan korban dan menjadi saksi utama dari peristiwa pidana yang bersangkutan. Pasal 160 Ayat (1) huruf b menyatakan bahwa yang pertamakali didengar keterangannya adalah saksi korban. 4. Didukung oleh sumber hukum dan alasan dari pengetahuan itu, sehubungan dengan peristiwa, keadaan, kejadian yang didengar, dilihat dan atau dialaminya. Setiap unsur keterangan harus diuji kebenarannya. Antara keterangan saksi dan sumbernya harus benar-benar konsisten satu dengan yang lainnya34. b. Syarat sahnya alat bukti keterangan saksi
34
M. Yahya Harahap, Op. cit h. 183
62
Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian keterangan saksi maka alat bukti keterangan ini sah apabila memenuhi dua kategori syarat: a. Syarat Formil, yaitu: -
Pasal 160 ayat (3) menyebutkan: “Sebelum memberi keterangan saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing. Bahwa ia akan memberi keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya”. Sumpah atau janji ini wajib diucapkan setelah pemberian keterangan. Hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (4) KUHP.
-
Saksi harus sudah dewasa, hal ini terkait dengan Pasal 171 KUHP yang menyataan bahwa anak dibawah umur 15 tahun atau belum menikah, boleh saja memberikan kesaksian namun tidak boleh disumpah. Padahal pada pasal 160 ayat (3) KUHP mewajibkan adanya sumpah atau janji. Keterangan saksi dari seseorang yang tidak disumpah ini tidak punya kekuatan sebagai alat bukti sah. Maka batas kedewasaan menurut KUHP untuk memberikan kesaksian adalah umur 15 Tahun atau belum menikah.
-
Saksi tidak sakit ingatan atau sakit jiwa sebagaimana disebutkan Pasal 171 butir b KUHP, mengingat mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam
63
hukum pidana meski kadang-kadang ingatannya baik kembali. Jadi tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam member keterangan. Keterangan mereka hanya dapat dipakai sebagai petunjuk saja, sebagaimana juga berlaku bagi orang yang belum dewasa35. b. Syarat materil Syarat materil mengacu pada Pasal 1 butir 27 KUHP dan Pasal 185 ayat (1) KUHP, YAITU: -
Setiap keterangan saksi diluar apa apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi diluar yang dilihat atau dialaminya, keterangan yang diberikan diluar pendengaran, penglihatan atau yang terjadi, tidak dapat dinilai dan dijadikan sebagai alat bukti.
-
Testimonium de audite atau keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil pendengaran dari orang lain tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah.
-
Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh hasil dari pemikiran bukan merupakan keterangan saksi. Pasal 185 ayat (5) KUHP36.
Selain syarat-syarat diatas, syarat lain yang harus dipenuhi sebagai syarat sahnya alat bukti adalah:
35
36
Ibid, h. 286 M. Yahya Harahap, Op.Cit h. 287
64
1) Keterangan saksi harus diberikan disidang pengadilan, agar dapat dinilai sebagai alat bukti sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 185 ayat (1) KUHP. Keterangan saksi tentang apa yang didengar, dilihat dan dialaminya sendiri tentang suatu peristiwa tertentu baru dapat bernilai sebagai alat bukti ketika dinyatakan didepan sidang pengadilan. Keterangan saksi diluar pengadilan tidak bernilai sebagai alat bukti. Dalam keadaan tertentu keterangan saksi dipenyidikan yang berupa berita acara pemeriksaan dapat digunakan juga sebagai alat bukti disidang pengadilan, jika saksi ketika member keterangan berada bawah sumpah (Pasal 116 ayat 1 KUHP), ketika ada dugaan saksi berhalangan menghadiri pemeriksaan disidang pengadilan. 2) Saksi tidak sakit ingatan atau sakit jiwa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 171 butir b KUHP, mengingat mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana meski kadangkadang ingatannya baik kembali. Jadi tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberi keterangan. Keterangan mereka hanya dapat dipakai sebagai petunjuk saja, sebagaimana juga berlaku bagi orang yang belum dewasa37. Macam-macam saksi: a. Saksi A Charge
37
Ibid
65
Saksi yang diajukan oleh penuntut umum karena kesaksianya memberatkan terdakwa. b. Saksi A De Charge Saksi yang sifatnya meringankan terdakwa dan biasanya diajukan terdakwa atau penasihat hukumnya. Pasal 160 ayat (3) KUHP menegaskan dalam hal saksi yang memberatkan terdakwa atau yang meringankan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara atau diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama sidang berlangsung atau sebelum putusan dijatuhkan. Maka hakim wajib mendengarkan. c. Saksi yang mengalami langsung suatu tindak pidana yang sedang diproses. Saksi menjadi korban dalam tindak pidana tersebut. Posisi korban ini sangat penting dalam sidang pengadilan, hal ini dinyatakan dalam Pasal 160 ayat 1 KUHP dimana yang mana didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi. d. Saksi Pelapor Saksi yang memberikan laporan tentang terjadinya tindak pidana. Pasal 1 butir 24 KUHP menyebutkan bahwa laporan adalah laporan pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak dan kewajiban
berdasarkan
undang-undang
kepada
pejabat
yang
berwenang tentang telah atau sedang diduga akan terjadinya suatu peristiwa pidana. Pasal 108 menjelaskan lebih lanjut.
66