Position Paper Kejahatan Terhadap Negara Dalam RUU KUHP A. Pengantar Sistem hukum yang berlaku di Indonesia banyak dipengaruhi oleh sistem hukum Belanda, termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pengaruh sistem hukum Belanda ini salah satunya melalui konkordansi. Dan KUHP yang digunakan kita sekarang disusun tahun 1915. Ada beberapa perbedaan sistem yang diatur dalam KUHP Indonesia dengan sistem KUHP Belanda. Misalnya sanksi bagi pelaku pencurian (pasal 362) maksimum dipidana penjara 5 tahun, sedangkan di Belanda sendiri maksimum pidana penjara selama 4 tahun. Demikian juga untuk peniupuan (pasal ……) dipidana penjara maksimum 4 tahun, sedangakan diBelanda maksimum pidana penjara selama 3 tahun. Alasan ini karena penduduk Indonesia lebih heterogen dibanding dengan penduduk Belanda. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan kenapa KUHP yang berlaku sekarang sudah tidak sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia, apalagi untuk menghadapi globalisasi yang lebih mempermudah hubungan antar negara. Pertama, Faktor Politik : Negara RI yang sudah merdeka semestinya mempunyai KUHP sendiri yang menjadi simbol dan kebanggan dari sebuah negara yang merdeka yang telah lepas dari kungkungan penjajahan politik. Kedua, faktor Sosiologis : Nilai-nilai sosial dan kebudayaan bangsa selayaknya mendapatkan tempat dalam pengaturan hukum nasionalnya khususnya dalam hukum pidana.Ukuran untuk mengkriminalisasikan suatu perbuatan harus berdasarkan pendapat kolektif masyarakat, tentang apa yang baik, benar, bermanfaat atau sebaliknya. Selain itu juga menyangkut filsafat dan tujuan hukum pidana dan pertanggungjawaban pelaku pidana. Ketiga, faktor Praktis : Teks resmi dari KUHP sekarang merupakan teks yang ditulis dalam bahasa Belanda. Sedangkan teks yang tercantum dalma KUHP yang disusun beberapa ahli (Prof.Moeljatno dsb) bukan merupakan terjemahan otentik, bukan terjemahan asli yang diresmikan UU. Sudah cukup lama pemerintah mempunyai niat untuk merevisi KUHP sekarang dengan telah dibuatnya RUU-KUHP. Tetapi mengingat hukum pidana merupakan hukum publik, maka sejauh manakah negara memberikan perlindungan bagi warganya karena ini sangat sensitif dilihat dari perspektif hubungan dengan penyelenggaraan kekuasaan negara. Memang tidak dapat dilepaskan proses pembuatan hukum pidana dimanapun akan diwarnai kepentingan berbagai kelompok di masyarakat serta perbedaan persepsi kepentingan anatar pemerintah dan kelompok di masyarakat. B. Materi RUU – KUHP Ketentuan Pasal 193 – Pasal 287 RUU KUHP 2000 terdiri dari tindak pidana yang berkaitan dengan ideologi Komunisme Marxisme dan Leninisme, tindak pidana yang berkaitan dengan pemerintahan, tindak pidana terhadap pertahanan dan keamanan, tindak pidana yang berkaitan dengan wilayah negara, tindak pidana yang berkaitan dengan hubungan dengan negara sahabat, tindak pidana yang berkaitan dengan kewajiban dan hak kenegaraan serta tindak pidana yang berkaitan dengan ketertiban umum. Sama halnya dengan KUHP lama dan KUHP
Belanda kejahatan terhadap keamanan negara sekarang diberi nama Tindak Pidana Terhadap Proses Kehidupan Ketatanegaraan tercantum dalam Bab I Buku II. Jadi, delik kepentingan negara dan umum merupakan bab-bab pendahulu dalam Buku II KUHP. Berbeda misalnya dengan KUHP Argentina yang delik-delik terhadap individu menempati urutan depan dalam Buku II. Pada saat bersamaan dalam upaya pelarangan penyebaran dan pengembangan ajaran komunisme/marxisme leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya walaupun dengan catatan dilakukan secara melawan hukum, ada suatu gagasan untuk menarik beberapa pasal yang berkaitan dengan tindak pidana yang berkaitan dengan ideology komunisme marxisme dan leninisme. Pertimbangan penarikan beberapa pasal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 23 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, sehingga pasal-pasal tersebut dihapuskan saja. Masalah penyebaran ajaran komunisme marxisme dan leninisme dalam bidang kehidupan ketatanegaraan ini meliputi : 1. dasar negaranya, dan 2. stabilitas social, sedangkan masalah penyebaran dan pengembangan ajaran komunisme leninisme dan marxisme dalam bidang keorganisasian mengatur : 1. keyakinan politik organisasi dan 2. hubungan individu dengan organisasi. Mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan pemerintahan yang meliputi : a. kejahatan terhadap kepala negara, b. kejahatan terhadap martabat presiden atau wakil presiden, c. makar terhadap pemerintahan yang sah, d. pemberontakan, e. membocorkan rahasia negara, f. pengkhianatan, g. quasi pengkhianatan, h. perunding yang merugikan negara, i. Kejahatan di bidang bela negara. Di dalam pasal-pasal tindak pidana yang berkaitan dengan pemerintahan disebutkan istilah makar namun tidak dijelaskan criteria/cara-cara/perbuatan-perbuatan yang disebut dengan makar. Di dalam RUU KUHP yang dinamakan makar berdasarkan Pasal 186 adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut. Mengenai tindak pidana terhadap pertahanan keamanan meliputi : a. desersi, b. kejahatan tentang penyerahan barang keperluan angkatan perang dan c. sabotase. Mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan wilayah negara meliputi : makar dengan cara memisahkan wilayah. Ruang lingkup permasalahan ini adalah makar dengan maksud supaya sebagian atau seluruh wilayah negara jatuh kepada kekuasaan asing, sebagaimana diatur di dalam Pasal 200 RUU KUHP. Mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan hubungan dengan negara sahabat meliputi : a. makar untuk melakukan suatu tindakan terhadap wilayah, bentuk pemerintahan atau kepala negara sahabat dan b. tindakan penyerangan dan penghinaan kepada kepala negara atau bendera kebangsaan negara sahabat. Mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan kewajiban dan hak kenegaraan meliputi : a. tindak pidana yang sehubungan dengan rapat-rapat MPR/DPR dan b. tindak pidana sehubungan dengan pemilihan umum. Mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan ketertiban umum meliputi : a. penghinaan kepada penguasa umum, bendera kebangsaan atau golongan masyarakat, b. pemasukan paksa ke rumah, c. penyertaan kepada kumpulan terlarang, d. tindakan kekerasan terhadap orang atau barang, e. mengganggu ketenangan, f. perbuatan mengganggu rapat, g. penyimpanan senjata api dan bahan peledak, h. penyadapan, i. Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, j. gelar palsu, k. pemakaman/kuburan/jenasah, l. izin praktek, m. memasuki pekarangan, tanah dan halaman orang lain dan n. memberi bantuan kepada narapidana.
Mengenai masalah peranan/posisi perempuan di dalam konteks kejahatan terhadap negara ini lebih menekankan kepada jaminan kecakapan hukum yang sama dengan laki-laki dan kesempatan yang sama untuk menjalankan kecakapannya itu. Semua kontrak dan dokumen yang mempunyai kekuatan hukum yang ditujukan kepada pembatasan kecakapan hukum bagi perempuan, wajib dianggap batal dan tidak berlaku. Kebebasan untuk mengadakan pergerakan dan bebas untuk memilih tempat tinggal, domisili. Dengan demikian perkembangan kejahatan terhadap negara dalam RUU KUHP ini sebenarnya masih perlu diperhatikan dan dianalisa lebih dalam lagi bagi Tim Perumus RUU KUHP 2000 tersebut sehingga segala bentuk dan penempatan tindak pidana kejahatan terhadap negara ini menjadi jelas fungsi dan kedudukannya di dalam RUU KUHP dalam menciptakan suatu negara yang tetap adil, aman dan sejahtera tanpa memilih antara pihak-pihak tertentu. Dalam position paper ini kami akan mengangkat problematic bagaimana membuat suatu peraturan perundangundangan pidana yang dapat membangun system ketatanegaraan baru yang bercirikan demokrasi dengan tanpa membunuh atau merampas kemerdekaan tiap individunya. C. RUU KUHP dalam Konteks Negara yang sedang Berubah 1. Universalisme HAM Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh penciptanya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya. Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng. Oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapa pun. Bahwa selain hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Ratifikasi Hukum Internasional khusus masalah Perspektif Feminis Sejak tahun 1984 dengan Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1984, Indonesia telah meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (The Convention on The Elimination of Discrimination Against Women/CEDAW). Dalam konvensi mengenai hak-hak perempuan tahun 1953, dinyatakan dalam mukadimahnya bahwa konvensi ini mengakui bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan negaranya, secara langsung atau tidak langsung melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas, dan mempunyai hak serta akses yang sama pada pelayanan publik di negaranya, dan dengan maksud untuk menyetarakan status laki-laki dan perempuan dalam memperoleh dan menjalankan hak-hak politik sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Piagam PBB dan DUHAM. Dalam Deklarasi Vienna dan Program Aksi (Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia) bulan Juni tahun 1993, dinyatakan bahwa HAM dari perempuan adalah bagian dari HAM yang tidak dapat dicabut, integral, dan tidak dapat dipisahkan. Partisipasi perempuan yang seutuhnya dan sejajar dalam kehidupan politik, sipil, ekonomi, social, budaya pada tingkat nasional, regional,
dan internasional, serta pemberantasan semua bentuk diskriminasi berdasarkan jenis kelamin adalah tujuan utama bagi masyarakat internasional. Konferensi Duham meminta semua pemerintah untuk mengambil tindakan-tindakan yang tepat sesuai dengan kewajiban internasionalnya, serta dengan menghormati sistem hukum masingmasing, untuk melawan intoleransi dan kekerasan yang terkait yang didasari oleh agama atau kepercayaan termasuk praktek-pratek diskriminasi terhadap perempuan dan termasuk penodaan tempat-tempat religius, serta mengakui bahwa tiap orang mempunyai hak atas kebebasan untuk berpikir, menuruti hati nurani, berekspresi, dan beragama. Konferensi ini juga meminta semua negara untuk mepraktekkan ketentuan-ketentuan dari Deklarasi Penghapusan Semua Bentuk Intolerasi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan. Dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (KTP) tahun 1993, dinyatakan bahwa kaum perempuan berhak untuk menikmati dan memperoleh perlindungan HAM dan kebebasan asasi yang sama dalam bidang politik, ekonomi, social, budaya, sipil, atau bidangbidang lainnya. Hak-hak tersebut termasuk, antara lain: a. hak atas kehidupan, 1 b. hak atas persamaan, 2 c. hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi, 3 d. hak atas perlindungan yang sama di muka umum, 4 e. hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi, 5 f. hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mental yang sebaik-baiknya, 6
g. hak atas pekerjaan yang lakyak dan kondisi kerja yang baik, 7 h. hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau kekerjaman lain, perlakuan atau penyiksaan secara tidak manusiawi atau sewenang-wenang. 8 3. Kode Etik dan Instrumen Lain Prinsip-prinsip dasar dari Peraturan Internasional dapat dilihat pada Declaration of Human Right (Deklarasi Umum HAM) menyatakan bahwa setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya, secara langsung atau melalui perwakilan yang dipilih dengan bebas, setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negaranya, kehendak rakyat harus dinyatakan dalam bentuk pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan murni dengan hak pilih dan setiap orang berhak atas suatu tatanan social dan internasional dimana hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang termaktub di dalam deklarasi ini bisa dilaksanakan sepenuhnya.
1
Duham pasal 3 dan Konvenan Internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik, pasal 6. Konvenan Internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik, pasal 26 3 Duham pasal 3 dan Konvenan Internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik, 9. 4 Konvenan Internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik, pasal 26 5 Konvenan Internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik, pasal 26 6 Konvenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya, pasal 12 7 Duham pasal 23 dan Konvenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya, pasal 6 dan 7. 8 Duham pasal 5; Konvenan Internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik, 7; Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain y ang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. 2
Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik menjelaskan bahwa semua orang mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Atas kekuatan hak itu mereka bebas untuk menentukan status politik dan bebas untuk mengejar perkembangan ekonomi, social dan budaya mereka sendiri. Pada saat yang sama juga negara menjamin semua individu yang berada di dalam wilayahnya dan tunduk kepada kekuasaan pengadilan hak-hak yang diakui dalam kovenan in, tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau yang lain, asal-usul kebangsaan ataupun social, harta milik, kelahiran atau status lainnya. Hal lainnya yang dijelaskan lagi masih dalam Kovenan ini adalah bahwa di dalam Pasal 19 ayat (2) dikatakan pelaksanaan hak-hak yang diberikan tersebut membawa berbagai kewajiban dan tanggung jawabnya sendiri. Maka dari itu dapat dikenakan pembatasan-pembatasan tertentu, tetapi hal demikian hanya boleh ditetapkan dengan undang-undang dan sepanjang keperluan untuk : a. menghormati hak-hak dan nama baik orang lain b. menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau kesusilaan umum. c. Hak untuk berkumpul secara bebas harus diakui. Tidak satupun pembatasan dapat dikenakan terhadap pelaksanaan hak ini kecuali yang ditentukan oleh undang-undang dan sebagaimana diperlukan dalam suatu masyarakat demokrasi demi kepentingan keamanan nasional, keamanan dan ketertiban umum, serta menjaga kesehatan atau kesusilaan umum atau menjaga hak dan kebebasan orang lain. Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan untuk tanpa pembedaan apapun dan tanpa pembatasan yang wajar untuk berpatisipasi dalam menjalankan segala urusan umum, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas sehingga dalam hal memilih dan dipilih pada pemilihan berkala yang bebas dengan hak pilih yang sama dan universal serta diadakan melalui pengeluaran suara tertulis dan rahasia yang menjamin para pemilih untuk menyatakan kehendak mereka secara bebas juga layak mendapatkan pelayanan umum di negaranya sendiri pada umumnya atas dasar persamaan. Dalam hal perlindungan hukum melarang segala diskriminasi dan menjamin semua orang mendapat perlindungan yang sama dan efektif terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti misalnya ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau yang lain, asal-usul kebangsaan atau social, harta milik, kelahiran atau status lain. Dalam Kode Etik Para Pejabat Penegak Hukum, dikatakan bahwa dalam melaksanakan kewajiban mereka, para petugas penegak hukum harus menghormati dan melindungi martabat manusia, dan menjaga serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia semua orang.
4. Aspek Idiologi dalam Perundang-undangan dan Penerapannya Menurut TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, membahas mengenai pembubaran Partai Komunis Indonesia dinyatakan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara RI bagi PKI Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunis/mrxisme-leninisme. Dijelaskan bahwa faham atau ajaran komunism/marxisme-
leninisme pada inti-hakekatnya bertentangan dengan Pancasila dan orang-orang serta golongan-golongan di Indonesia yang menganut faham atau ajaran komunisme/marxismeleninisme, khususnya PKI, dalam sejarah kemerdekaan RI telah nyata-nyata terbukti beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan Pemerintah RI yang sah dengan jalan kekerasan. Oleh sebab itu terhadap PKI dan terhadap kegiatan-kegiatan yang menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme akan diambil tindakan tegas untuk menghentikannya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lama (terjemahan Belanda) yang telah disesuaikan dengan UU baru, tidak mengatur tentang tindak pidana yang berkaitan dengan ajaran/aliran marxisme-leninisme/komunisme. Karena tindak pidana ini dianggap bersifat khusus, sehingga diatur secara terpisah dari KUHP lama. Karena tindak pidana ini dikategorikan sebagai tindak pidana khusus, maka ia diatur secara tersendiri, yakni di dalam UU PNPS Nomor 11/1963, tentang pemberantasan tindak pidana subversi, hal ini diperkuat dengan adanya Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966. Selang 33 tahun kemudian, seiring dengan arus reformasi bergulir, UU PNPS ini dicabut oleh UU No. 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, dengan alasan sebagai bagian dari proses penegakkan HAM di Indonesia. Walaupun UU No 11/PNPS/1963 telah dicabut, tetapi kenyataannya dilapangan masih berjalan. Tidak jelasnya perbuatan mana yang dapat dikualifiksaikan sebagai perbuatan subversi menyebabkan adanya penafsiran yang berbeda diberbagai kalangan. Disatu pihak pemerintah sering mendasarkan latar belakang kegiatan politik sebagai unsur untuk menyeret seseorang menghadapi tuntutan subversi. Seperti halnya gerakan yang ingin mengubah ideologi negara, kasus H.R Dharsono, AM. Fatwa dll. Tetapi dipihak lain, pemerintah juga mengancamkan pidana subversi terhadap kejahatan yang tidak ada kaitannya dengan latar belakang politik. Dalam batang tubuh UU No 11/PNPS/1963 tidak disebut laatr belakang politik sebagai unsur esensiil dalam tindak pidana subversi. Tetapi dalam penjelasan dikatakan bahwa : “Subversi selalu berhubungan dengan politik dan merupakan alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik yang dikehendaki oleh pihak/golongan yang berkepentingan”. Sedangkan dalam Putusan MA tgl 5 Mei 1971 no 26/K/Kr/1969 menyatakan tindak pidana subversi tidak lagi merupakan unsur esensiil. Unsur yang diperlukan bagi delik subversi adalah prebuatan nyata dari terdakwa. Kasus pada waktu itu diDesa Sawangan, Kecamatan Kebasen, Banyuwangi (5 Juni 1966), terdakwa dituduh mengumpulkan massa 200 orang dan melecehkan Kepala Desanya. Majelis hakim (Prof. R. Sardjono. SH, Bustanul Arifin. SH, Indroharto. SH) memutuskan prekara tersebut dikategorikan sebagai delik subversi, Dalam pertimbangannya perbuatan tersebut murni perbuatan terdakwa bukan karena latar belakang politik.
5. Hubungan Ideologi dengan Negara : Dalam RUU KUHP terdapat pasal yang berusaha untuk menindak bagi seseorang yang meneyebarkan paham komunisme , leninisme-Marxisme. Kalau hal itu diterapka maka harus dipretimbangkan beberapa pertimbangan; Pertama, Apakah ada relevansinya menyususn suatu UU ytang dimaksudkan untuk mennetang suatu ideologi yang pada dasarnya tidak punya kekuatan dan aktualitas lagi. Kalau ada
kekhawatiran munculnya komunisme, maka itu tergantung pada pretanyaan apakah ketidakmerataan ekonomi dan sosial mendapat perhatian untuk diatasi atau dibiarkan. Kedua, kalau runtuhnya komunisme yang ditandai bubarnya sistem ini di Blok Timur sudah menghilangkan sama sekali kepercayaan orang terhadap siistem ini (sebagai ideologi yang sanggup menggerakkan pembangunan ekonomi), maka UU nati komunisme akan tidak mempunyai manfaat lagi. Hal lain yang perlu dipertimbangkan apakah sebuah UU lebih memungkinkan anggota masyarakat membela dan mempertahankan hak atau lebih memberi wewenang kepada penguasa untuk mempergunakan kekuasaannya melakukan intervensi. Melarang menggunakan teori kelas dan berpretensi bahwa konflik kelas tidak prenah ada, hanay akan memberi kesempatan untuk akumulasi dan mengerasnya konflik tersebut.
6. Perbandingan dengan Negara Lain : Pada kebanyakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kejahatan Terhadap Proses Kehidupan Ketatanegaraan ditempatkan pada bab-bab pertama dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, akan tetapi ada negara yang menempatkan Kejahatan Terhadap Proses Kehidupan Ketatanegaraan di bagian belakang dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana-nya. Dengan demikian negara tersebut mengutamakan kejahatan-kejahatan yang ditujukan kepada perorangan baru kemudian diikuti oleh pengaturan terhadap kejahatan-kejahatan yang ditujukan kepada negara atau kepentingan umum. Kejahatan Terhadap Proses Kehidupan Ketatanegaraan berbeda penempatan pengaturannya antara satu negara dengan negara yang lain. Ada negara yang menempatkan Kejahatan Keamanan Negara dalam KUHP mereka dan ada pula yang mengaturnya di luar KUHP. Beberapa contoh pengaturan kejahatan negara dari beberapa negara sebagai perbandingan, diantaranya; 1. Ghana mengaturnya di dalam Criminal Law 1960, yakni dalam Part IV Chapter I Offence Against The Safety of The State, dari Pasal 180 s/d Pasal 189. 2. Kenya mengaturnya dalam Part II Division I – Offence Against Public Order dalam Chapter VII tentang Treason and Allied Offence. 3. Nigeria mengaturnya dalam Part II Offence Against Public Order dalam Chapter IX KUHP-nya. Amerika Serikat mengaturnya dalam Criminal Code serta beberapa dokumen tentang perbuatan subversi dalam The Three of Liberty. 4. Malaysia dalam Bab VI KUHP-nya ditempatkan delik-delik terhadap negara, yakni yang dimulai dari Pasal 121, sementara dalam hal undang-undang tentang keamanan negara yang mempunyai sifat darurat diatur dalam Internal Security Act. 5. Singapura menempatkan kejahatan ini dalam Bab VI Penal Code-nya. 6. Australia mengaturnya di luar KUHP, yakni Crimes (Aircraft) Act tahun 1963, Crimes (Internationally Protected Persons) Act 1976; Crimes (Hijacking of Aircraft) Act 1972; Crimes (Protection of Aircraft) Act 1973; Postal Service Act 1973; dan Australian Security Intelligence Act Tahun 1979 sebagai pengganti undang-undang Tahun 1956 dan 1976 yang di dalamnya masuk juga pengertian subversi. 7. New Zealand mengaturnya dalam Crimes (Internationally Protected Persons And Hostages) Act Nomor 44 tahun 1980.
8. Kanada mengaturnya dalam Martin’s Criminal Code dalam Pasal 32 tahun 1980 dan War Measures Act tahun 1970. 9. Pakistan mengaturnya dalam Suppression of Terorist Activities (Special Court) Act Nomor XV dimana setelah itu diadakan perubahan melalui Suppression of Terorist Activities (Special Court Amandment) Act 1975, III of 1976 dan Prevention of AntiNational Activities Act Nomor VII tahun 1974. 10. Sri Lanka telah mengadakan suatu aturan khusus untuk melindungi dari suatu kegiatan terror, perlindungan terhadap aktivitas yang melanggar hukum dari seseorang ataupun suatu kelompok/organisasi atau suatu badan yang di dalam ataupun diluar Sri Lanka yang berhubungan dengan aktivitas terror tersebut ataupun dengan tujuan melakukan terror. Peraturan tersebut terdapat dalam Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) Act tahun 1979 No. 48 yang diubah dengan Prevention of Terrorism (Temporary Provisions Amandment) Act tahun 1982 No. 10. Afrika Selatan telah memberlakukan Internal Security Act 1982, yakni undang-undang tentang keamanan negara dan pemeliharaan ketertiban hukum. 11. Jepang mengaturnya dalam Bab II KUHP Jepang. 12. Perancis membagi tindak pidana menjadi dua, yakni Kejahatan Berat (Crime) dan Kejahatan Ringan (Delit) diatur dalam Buku III Titel I Bab I Kejahatan Berat dan Kejahatan Ringan terhadap Keamanan Negara. 13. Thailand mengatur dalam Buku II KUHP Thailand. 14. Korea, mengaturnya dalam Buku II tentang Ketentuan Khusus KUHP Republik Korea. 15. RRC menempatkannya dalam KUHP-nya. 16. Inggris dalam The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) Act tahun 1974 yang kemudian dilakukan perubahan terakhir pada tahun 1984. 17. Dan The Nothern Ireland (Emergency Provisions) Act tahun 1978. 18. Filipina juga mempunyai undang-undang anti subversi Nomor 1700 UU Negara. B. Tinjauan Rumusan Kejahatan Negara Dalam RUU KUHP Rumusan Kejahatan terhadap Negara dalam RUU KUHP digolongkan ke dalam dua pokok tinjauan, yaitu : i.
Klasifikasi Kejahatan Negara Menurut KUHP :
1. Idiologi (komunisme/marxisme-leninisme) meliputi : Pasal 193 s/d Pasal 197 2. Pemerintahan (Presiden dan Wapres) meliputi : Pasal 199, 224 s/d 227 3. Wilayah Negara meliputi : Pasal 4. Hubungan dengan negara asing yang bermusuhan
5. Sabotase terhadap pertahanan keamanan/instansi Pasal 198 : 6. Negara sahabat, kepala negara sahabat dan perwakilan negara sahabat meliputi : Pasal 228 s/d Pasal 237 7. Hak dan Kewajiban Kenegaraan, meliputi : Pasal 238 s/d 245
ii. Kaitannya dengan perundang-undangan lain : Ada beberapa aturan yang berhubungan erat dengan RUU KUHP, diantaranya : •
UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM, meliputi :
Pasal 23 :
(1) Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya. (2) Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa.
Pasal 24 :
(1) Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat dan berserikajt untuk maksud-maksud damai.
Pasal 25 :
“ Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat dimuka umum termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan “.
Pasal 28 :
“ Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain”. •
UU NO 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS : Pasal 2 : “ Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum “. UU No 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan UU No 11 /PNPS/1963 Tentang Pemberantasan TP. Subversi. UU NO 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara meliputi : Pasal 107a : “ Dipidana penjara paling lama 12 tahun jika menyebarkan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme “.
Pasal 107 b : “ Dipidana penjara paling lama 20 tahun jika menyatakan keinginan untuk
meniadakan atau mengganti Pancasila yang menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda” .
107 c: “ Dipidana penjara paling lama 15 tahun jika menyebarkan ajaran komunisme/MarxismeLeninisme yang menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda “. 107d : “ Dipidana penjara paling lama 20 tahun jika menyebarkan ajaran komunisme/MarxismeLeninisme demgan maksud mengubah Pancasila “.
Pasal 107 e : Dipidana penjara paling lama 15 tahun jika : (1) (2)
Mendirikan organisasi yang patut diduga menganut komunisme/Marxisme- Leninisme. Mengadakan hubungan dengan memberikan bantuan kepada organisasi baik didalam/diluar negeri yang berasaskan komunisme/Marxisme- Leninisme yang bermaksud mengubah dasar negara atau menggulingkan Pemerintah yang sah.
Pasal 107 f : dipidana paling lama 20 tahun karena sabotase jika :
(1) Merusak instalasi negara atau militer. (2) Menghalangi atau menggagalkan pengadaan atau distribusi bahan pokok yang menguasai hajat hidup orang banyak.
D. Analisa BAB KEJAHATAN TERHADAP NEGARA DALAM KUHP Ketika hukum pidana ini bersinggungan dengan antara kepentingan kekuasaan dengan hakhak warga negara maka ini merupakan hal yang sangat sensitif. Belum jelasnya katerigorisasi mana yang adapat disebut sebagai tindakan subversi dan bukan menjadi tarik ulur bagi berbagai kepentingan. Walaupun telah dikeluarkan UU No 26 tahun 1999, tetapi dilapangan hal ini belum diterapkan. Bahkan semacam terjadi kontradiktif dengan RUUKUHP. RUU KUHP ini tidak sesuai dengan jiwa demokrasi yang menjadi tuntutan sekarang di masyarakat. Pembelengguan terhadap masyarakat untuk menyampaikan pendapat atau mengkritisi suatu teori (leninisme, marxisme, komunisme) dianggap suatu tindakan subversi. Padahal dalam UU no 39 Tahun 1999 (pasal 23), setiap orang diberikan kebebasn untuk mengeluarkan pendapat. Berarti disini antara KUHP snediri dengan aturan yang lain masih belum sejalan. E. Rekomendasi BAB KEJAHATAN TERHADAP NEGARA DALAM KUHP • •
RUU KUHP harus lebih memperjelas definisi tentang tindakan subversi/makar, apakah itu untuk kegiatan yang dilatar belakangi oleh politik atau tidak (perbuatan perorangan belaka. Sistem/aturan yang adad dlaam KUHP harus selaras dengan aturan yang lainnya, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dalam praktiknya.