Gigih Mardana : Komunikasi Politik di Media Massa..
KOMUNIKASI POLITIK DI MEDIA MASSA (Analisis Framing Berita Kampanye Pasangan Calon Gubernur Jawa Timur Selama Masa Kampanye Putaran I di Harian Jawa Pos, Surya, Bhirawa, dan Duta Masyarakat)
Gigih Mardana Alumnus Pascasarjana Ilmu Komunikasi UNS Abstract As the first experience, East Java Governor Election 2008 was big moment, historical, and political maturity test case for East Java People. Followed by, candidates who become public opinion makers, get equally strong support from political parties, and biggest voter in Indonesia, the journalist viewed that East Java Governor had strong news values. This research aimed to know how Jawa Pos, Surya, Bhirawa and Duta Masyarakat daily newspaper explain political communication of East Java Governor Candidates during first campaign period and wanted to know why the all four media framed issues during the campaign period. By using framing analysis, researcher tried to analize this problem from news texts and in depth interview with the journalist who involved campaign reporting. Keywords: East Java Governor Election 2008, First Campaign, Political Communication, Daily Newspaper Pendahuluan Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, pada tanggal 23 Juli 2008 masyarakat Jawa Timur memilih pemimpin tertinggi di provinsinya secara langsung. Sebagai pengalaman pertama, Pemilihan Gubernur Jawa Timur (selanjutnya disingkat Pilgub Jatim) ini tentu dapat menjadi semacam “yurisprudensi politis” bagi masyarakat Jawa Timur. Ditilik dari jumlah pemilihnya, Pilgub Jatim Tahun 2008 ini adalah Pilgub terbesar se-Indonesia. Berdasarkan data KPUD Jawa Timur, suara yang diperebutkan dalam Pilgub Jatim ini adalah 29.061.718 suara pemilih. Dari jumlah itu tercatat 14.270.392 adalah pemilih laki-laki, sedangkan pemilih perempuan berjumlah 14.791.326. Pilgub Jatim ini menjadi semakin urgen untuk dicermati karena adanya rivalitas para kandidat yang relatif berimbang. Ditilik dari kekuatan partai pengusung dan/atau partai pendukung, kekuatan calon gubernur memang tidak berbeda jauh. Komposisi perolehan suara partai politik pada Pemilu terakhir Tahun 2004 cukup bervariasi sehingga peluang cagub-cawagub untuk memenangkan Pilkada relatif berimbang. Perolehan Suara Parpol di Jatim Pada Pemilu 2004 adalah sebagai berikut: PKB memperoleh 31%, PDI-P 21%, Partai Golkar 13%, Partai Demokrat 7%, PPP 6,89%, PAN 5%, PKS 2,9%, PBB 1,38%, dan PDS 1,18%. Non Parlemen 11% (Lihat Jawa Pos, edisi 13 Mei 2008 hal. 9, edisi 4 Juni 2008 hal. 12, dan Duta Masyarakat edisi 16 Juni 2008 hal. 9).
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
1
Gigih Mardana : Komunikasi Politik di Media Massa..
Jika kita merunut konsep nilai berita (news values) yang diperkenalkan Burns (2003: 51), Pilgub Jatim tentu ditangkap media massa sebagai sebuah peristiwa lengkap yang memenuhi semua prasyarat nilai berita. Diantaranya impact, timeliness, proximity, conflict, currency, novelty, dan relativity. Dapat dikatakan bahwa semua calon gubernur yang diajukan partai-partai politik adalah figur yang telah dikenal publik dan jamak menjadi pembentuk opini publik di media massa. Hal ini didorong oleh jabatan maupun status yang melekat pada pasangan cagub-cawagub tersebut. Pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Ka-Ji) adalah pasangan mantan menteri Pemberdayaan Perempuan/Ketua PP. Fatayat NU (non aktif) dan mantan Kasdam V/Brawijaya. Pasangan Sutjipto-Ridwan Hisyam (SR) yang diajukan PDI-P adalah Anggota DPR RI asli Surabaya/mantan Ketua DPD PDI-P Jatim dan Ketua Kosgoro 1957. Pasangan Soenarjo-Ali Maschan Musa (SALAM) yang diajukan dari Partai Golkar saat ini adalah Wakil Gubernur Jawa Timur (non aktif) dan mantan Ketua PW NU Jawa Timur yang mengundurkan diri sesaat sebelum resmi maju dalam Pilgub. Sementara Achmady-Suhartono (ACHSAN) yang diajukan PKB adalah Bupati Mojokerto dan mantan petinggi militer. Tak kalah dengan yang lain, Pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (KARSA) yang diajukan Partai Demokrat dan PAN adalah Sekdaprov Jatim (non aktif) dan Ketua Umum GP Ansor/mantan Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. Dengan demikian, sangat beralasan kiranya jika sebagai sebuah peristiwa besar dan bersejarah bagi masyarakat Jawa Timur, komunikasi politik diantara calon gubernur dan wakil gubernur selama menjelang, pada saat pelaksanaan, dan setelah pemungutan suara gubernur tersebut mendapatkan coverage yang begitu luas dari media massa. Hal ini merupakan sebuah hal yang wajar karena memang dalam setiap Pemilu di Indonesia (seperti yang ditunjukkan dari hasil penelitian Harsono Suwardi, 1987) media massa senantiasa memberikan porsi perhatian yang cukup besar (Suwardi, 1993). Keinginan masyarakat Jawa Timur untuk memperoleh informasi tentang Pilgub langsung pertama yang akan diikutinya itu, mendapatkan sambutan positif dari pengelola media massa dengan jalan memberikan porsi yang cukup besar tentang berbagai aktivitas calon gubernur. Salah satu indikator, betapa media massa di Jawa Timur memberikan perhatian begitu luas adalah munculnya rubrikrubrik khusus Pilgub Jatim dengan berbagai nama di berbagai media massa yang terbit dan beredar di Jawa Timur. Jawa Pos, Surya, Bhirawa, dan Duta Masyarakat adalah nama-nama media cetak harian yang menampilkan halaman khusus bagi pesta demokrasi di Jawa Timur. Rubrik-rubrik itu mengindikasikan bahwa media massa memberi perhatian khusus bagi event Pilgub Jatim. Secara normatif, dalam membingkai berbagai realitas Pilgub yang begitu luas, media massa diharapkan dapat berlaku independen dan proporsional terhadap semua kandidat yang bertarung. Seperti yang diungkapkan Bill Kovac dan Tom Rosenstiel (2001: 6) bahwa praktisi jurnalisme harus menjaga indepedensi terhadap sumber berita dan jurnalisme harus menyiarkan berita komprehensif dan proporsional. Lazimnya etos profesional umum seluruh media, seperti diungkap oleh Roger (dalam Norris 1999: 1) media massa seharusnya harus dapat melaporkan
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
2
Gigih Mardana : Komunikasi Politik di Media Massa..
secara obyektif dan harus merepresentasikan fakta secara fair dan tanpa bias, dalam bahasa yang didesain tidak ambigu, dan tidak terdistorsi. Termasuk dalam memberitakan rentetan fakta pada Pilgub Jatim ini seharusnya dan sangat diharapkan masyarakat untuk menjaga netralitas dan tidak memihak kepada salah satu kandidat. Di sini pers dituntut menjaga kejujuran (honesty), akurasi (accuracy), dan keseimbangan (fairness). Namun demikian, masalahnya adalah seberapapun besarnya media massa menyediakan ruang khusus untuk Pilgub, tetap saja ruang itu memiliki keterbatasan. Menjadi tidak mungkin fakta yang sedemikian banyak harus secara keseluruhan diberitakan. Dengan demikian, sebenarnya yang tampil di media massa sebenarnya adalah penggalan-penggalan fakta pilihan yang telah dipilih oleh redaksi media massa. Media harus memilih, memilah, menonjolkan, menyembunyikan, dan memberikan frame pemberitaan dari rangkaian peristiwa Pilgub. Hal yang demikian menjadikan adanya kemungkinan bias dan kecenderungan pemberitaan pada kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam situasi demikian media sudah tidak dapat lagi sebagai saluran yang pasif, netral, dan sekedar menjadi kumpulan medium yang melaporkan informasi. Akan tetapi, pers telah menjadi arena sosial atau panggung publik yaitu suatu arena dimana berbagai kelompok berusaha menampilkan definisi situasi serta definisi realitas sosial menurut versi mereka sendiri (Nugroho, 1991: viii). Besarnya tuntutan publik atas media dengan keterbatasan sumber daya membuat posisi pers dalam upayanya memuaskan semua pihak menjadi tidak mungkin. Di tengah keterbatasan ruang di satu sisi dan banyaknya berbagai aktivitas politik selama masa kampanye yang berlangsung dalam waktu relatif bersamaan di sisi yang lain menjadikan media massa harus mengambil sikap. Keterbatasan-keterbatasan ini, ditambah dengan latar belakang, sejarah pendirian media, ideologi, dan orientasi keberpihakan menjadikan pers harus melakukan pembingkaian terhadap sebuah fakta yang terjadi. Dengan sistem kampanye Pilgub Jatim 2008 yang diawasi oleh berbagai lembaga pengawasan media, perguruan tinggi, dan masyarakat secara luas, media massa dituntut mengedepankan aspek profesionalitasnya daripada aspek kecenderungan untuk mendukung. Mengingat, agenda politis ini memiliki potensi konflik yang lebih besar. Calon gubernur tertentu dengan yang diusung partai tertentu harus diberitakan seperti apa, kemudian perlu diliput dengan angle liputan seperti apa, harus ditulis bagaimana, dan dimana posisi yang harus diambil media massa ketika terjadi kompetisi diantara pasangan calon gubernur menjadi hal yang sangat esensial dalam setiap pemberitaan. Masa pemilu, termasuk seperti yang terjadi dalam Pilgub Jatim 2008 ini adalah masa yang tepat untuk melakukan analisis antara komunikasi dan politik, terutama yang dilakukan oleh para kandidat. Seperti diungkapkan Negrine (2002: 146) bahwa dalam setting pemilu, akan mudah dieksplorasi kemungkinan pengaruh media terhadap kebiasaan pemilih, strategi pemilihan umum yang dilakukan oleh sebuah partai, kandidat, dan keaslian sistem politik itu sendiri. Media massa seringkali mempengaruhi keseluruhan proses komunikasi politik, termasuk strategi dan aktivitas politik para kandidat.
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
3
Gigih Mardana : Komunikasi Politik di Media Massa..
Komunikasi politik calon gubernur dan wakil gubernur selama masa pemilihan gubernur menjadi wacana yang setidaknya berskala regional. Hal ini tidak lepas dari peran media massa yang dalam waktu singkat menyebarkan berita-berita kepada khalayak luas. Selanjutnya, khalayak sering terpengaruh oleh sisi-sisi yang ditonjolkan oleh media dan mengesampingkan fakta yang tidak ditampilkan. Kondisi ini akan mempengaruhi kognisi dan persepsi khalayak terhadap gagasan, komunikasi, dan kesimpulan yang diambil. Persepsi tersebut akan menimbulkan rentang yang cukup lebar bagi posisi khalayak dalam mengambil sikap terhadap gagasan, konflik, dan komunikasi politik yang dibangun (Zen, 2004: 4). Berdasarkan hal di atas, penelitian ini bermaksud memberikan gambaran bagaimana media memberitakan komunikasi politik antara pasangan calon gubernur selama masa kampanye pemilihan Gubernur Jawa Timur Tahun 2008. Artinya dalam tataran praksis, bagaimana media mencitrakan hubungan dan komunikasi politik diantara masing-masing pasangan calon gubernur. Telaah Pustaka Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Konsekuensinya penulis harus menggunakan asumsi-asumsi epistemologis, ontologis, dan aksiologis yang sejalan dengan paradigma konstruktivisme. Ontologis merujuk pada hakikat apa yang dikaji, tentang hal ada (existence), epistemologis pada cara mendapatkan pengetahuan yang benar (how you know), sedangkan aksiologis mengacu pada nilai kegunaan (what for). Bagi paradigma konstruktivisme, ketiga asumsinya sangat berbeda dengan asumsi-asumsi pada paradigma positivisme. (Lincoln and Denzin, 1994: 118-137, Salim, 2005: 88-91, Zen, 2004: 97-100). Analisis framing, sebagai teknik analisis dalam penelitian ini, termasuk ke dalam paradigma konstruksionis. Maka, agar tidak tercerabut dari akar paradigmatiknya, pembahasan paradigma konstruksionis adalah hal yang wajib. Esensi pembahasan ini karena dalam paradigma konstruksionis sangat berbeda dengan paradigma positivistik, satu paradigma yang muncul terlebih dahulu. Perspektif Konstruksionisme Perspektif konstruktivisme dan interpretisme sesungguhnya merujuk pada maksud yang tidak jauh berbeda. Istilah interpretisme digunakan untuk menjelaskan pendekatan yang berpangkal pada pemikiran sosiolog Jerman, Max Weber, dan filosuf Jerman, Wilhem Dilthey. Ada dua tipe pendekatan inti dari ilmu pengetahuan yang sangat fundamental yaitu pendekatan “Naturwissenschaft” (natural science) dan Geistessenchaft (mental science). Sedangkan berkaitan dengan pengetahuan sosial (social science), Weber menyatakan bahwa social science menyelidiki “aksi sosial yang berarti” (meaningful social action) atau aksi sosial yang memiliki maksud tertentu (Zen, 2004: 44-45). Perspektif konstruktivisme memberikan penjelasan bahwa individu mengintepretasikan dan mengaktualisasikan konsep dalam tindakan tidak begitu saja terjadi. Akan tetapi, hal itu lahir melalui proses penyaringan dari cara berpikir seseorang mengenai sebuah kejadian. Perspektif ini lahir dari pemikiran Jesse Delia dan koleganya dan kemudian dikembangkan oleh George Kelly (Littlejohn,
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
4
Gigih Mardana : Komunikasi Politik di Media Massa..
2005: 112-113). Berangkat dari pemikiran ini kita bisa melihat bahwa tugas seorang konstruktivis tidaklah mudah. Mengingat dunia arti di balik sebuah peristiwa perlu dipahami dengan seksama, menyeluruh, diintrepretasikan sampai akhirnya lahir sebuah makna. Teori Konstruksi Realitas Sosial Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality) menjadi terkenal ketika diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Kedua pemikir ini hanya meneruskan apa yang digagas oleh Giambitissta Vico yang kemudian banyak disebut sebagai cikal bakal konstruktivisme. Kalau kita mau menelaah, gagasan konstruktivisme ada jauh sebelum Berger yaitu ketika dalam aliran filsafat Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, atau sejak Plato menemukan akal budi serta ide (Bungin, 2001: 10). Berangkat dari apa yang dikemukakan pemikir komunikasi di atas, dapat dianalisis lebih dalam bahwa pemikiran konstruksionis bahwa dalam konteks media massa sebagai sumber informasi juga tidak bebas nilai. Artinya, menurut paradigma konstruksionis, berita-berita yang disajikan kepada khalayak adalah berita yang sarat dengan muatan nilai-nilai dari pengelola medianya. Masih dalam kerangka asumsi dasar konstruksionis, dapat kita tarik dalam konteks media massa bahwa pemaknaan terhadap realitas seringkali didasarkan pada kerangka berpikir dan kerangkan pengalaman pembaca yang bersifat interaktif. Sebagai hasilnya, pengetahuan yang dimiliki oleh pengelola media massa sangat berpengaruh pada hasil karya jurnalistiknya. Interaksi satu orang pengelola media dengan sebuah realitas sosial tentu akan berbeda dengan interaksi pengelola media lain terhadap realitas itu. Dalam perspektif ini, Peter Berger dan Thomas Luckman (1990: xx), menyatakan bahwa kenyataan sosial lebih diterima sebagai kenyataan ganda daripada hanya suatu kenyataan tunggal. Kenyataan kehidupan sehari-hari memiliki dimensi-dimensi obyektif dan subyektif. Masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat. Apabila bila penulis menggunakan teori tersebut sebagai sebuah pisau analisis dalam melihat komunikasi politik selama pemilihan Gubernur Jawa Timur Tahun 2008, maka setiap konflik sebagai perwujudan komunikasi politik calon gubernur tidak dapat ditampilkan secara linier dalam realitas simbolik media. Hal ini karena satu media sebagai sebuah institusi juga memiliki ideologi, visi, misi, dan kebijakan redaksional sendiri yang berbeda dengan media massa lainnya. Eksternalisasi, Objektivikasi, dan Internalisasi Dengan kemampuan dialektis, dimana terdapat tesa, anti tesa dan sintesa, Berger (1990: xx-xxi, Bungin, 2001: 15-16) memandang di dalam masyarakat terjadi dialektika antara diri (the self) dengan dunia sosio-kultural. Dialektika itu berlangsung dalam suatau proses dengan tiga “momen” simultan, yakni ekternalisasi yaitu proses penyesuaian diri dengan dunia sosio kultural sebagai produk manusia. Proses ini merupakan konkretisasi dari keyakinan yang dihayati secara internal.
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
5
Gigih Mardana : Komunikasi Politik di Media Massa..
Obyektivikasi adalah interaksi sosial dalam dunia intersubyektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Proses ini merupakan bentuk konkrit dari internalisasi disertai catatan bahwa hasil objektivikasi tersebut berlaku secara umum. Sementara internalisasi terjadi ketika individu mengidentifikasi diri dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya. Manusia adalah pencipta kenyataan sosial yang obyektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana kenyataan obyektif kembali mempengaruhi manusia melalui proses internalisasi. Dalam konteks media, dialektika seperti yang diungkapkan Berger juga berlangsung. Setiap individu dalam media, terutama wartawan, memiliki mindset berpikir tersendiri yang disebut dengan realitas subjektif. Ketika mereka masuk dalam institusi media tempat mereka bekerja, mau tidak mau mereka harus mengelaborasi realitas subjektif individunya dengan realitas subjektif individu lain dalam satu organisasi. Komunikasi Politik di Media Istilah komunikasi politik lahir dari dua istilah yaitu “komunikasi“ dan “politik”. Hubungan kedua istilah itu dinilai besifat intim dan istimewa karena pada domain politik, proses komunikasi menempati fungsi yang fundamental. Bagaimanapun pendekatan komunikasi telah membantu memberikan pandangan yang mendalam dan lebih halus mengenai perilaku politik (Nasution, 1990: 9). Banyak buku tentang komunikasi politik diawali dengan pengembaraan definisi, meskipun selalu diakui bahwa istilah komunikasi politik mencakup pemahaman yang sangat luas. Misalnya yang disebutkan oleh Denton dan Woodward, mengartikan komunikasi politik sebagai diskusi publik tentang alokasi sumber kekuasaan, kewenangan pemerintah baik eksekutif maupun legislatif, dan pemberian sanksi berupa mekanisme reward and punishment. Tema-tema studi tentang komunikasi politik pada umumnya berkisar di seputar bagaimana peranan komunikasi di dalam fungsi politik. Komunikasi politik mempersembahkan semua kegiatan sistem politik, baik masa kini maupun masa lampau sehingga aspirasi dan kepentingan dikonversikan menjadi berbagai kebijaksanaan. Pemikiran tersebut berangkat dari pemikiran bahwa komunikasi adalah suatu proses yang menyatu dengan gejala politik (Panuju, 1997: 40). Berangkat dari itulah, komunikasi politik di media massa sebenarnya pada hakikatnya adalah arena pertarungan simbol-simbol kepentingan. Dengan kekuatan yang dimiliknya, media massa adalah sarana yang banyak diperebutkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila ada adagium bahwa dalam konteks pemilihan umum, mereka yang berkuasa di media massa mereka itulah yang akan akan memegang tampuk kekuasaan. Fenomena seperti itu juga terjadi menjelang dan pada saat pelaksanaan pemilihan Gubernur Jawa Timur Tahun 2008. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di empat media cetak harian. Keempat media cetak tersebut adalah Harian Jawa Pos, Harian Surya, Harian Bhirawa, dan Harian Duta Masyarakat. Alasan utama pemilihan empat media tersebut karena
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
6
Gigih Mardana : Komunikasi Politik di Media Massa..
keempatnya beroperasi di Jawa Timur dengan jumlah oplah yang cukup besar dimana keempat media massa tersebut telah menjadi rujukan masyarakat Jawa Timur dan keempat media tersebut sama-sama menyediakan ruang khusus untuk berita-berita pemilihan Gubernur Jawa Timur. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus sebagai suatu metodologi yang dikembangkan oleh Robert K. Yin (2005: 1). Jenis Penelitian ini adalah penelitian dasar (basic research) dan sifatnya terpancang (embedded research) karena penelitian ini sudah terarah pada batasan atau fokus tertentu yang dijadikan sasaran dalam penelitian. Namun meskipun fokus penelitian sudah terarah, berdasarkan karakteristik metodologi penelitian kualitatif khususnya yang berkaitan dengan desain yang lentur dan terbuka, dan proses analisisnya yang bersifat induktif, penelitian ini tetap tidak mengembangkan hipotesis dalam proposalnya. Ada dua dimensi besar dalam framing: seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas. Framing merupakan strategi pembentukan dan operasionalisasi wacana media. Media massa pada dasarnya adalah wahana diskusi publik tentang masalah yang melibatkan tiga pihak yaitu wartawan (journalist), sumber berita (source) dan khalayak (audience). Dalam analisisnya penelitian ini menggunakan model Zhondang Pan dan Gerald Kosicki. Pan Kosicki mengatakan framing analisis merupakan pendekatan kaum konstruktivis dalam menguji wacana media yang bersifat empiris dan operasional yakni berupa struktur sintaksis (syntactical structures), struktur naskah (script structures), struktur tematik (thematic structures), dan struktur retorik (rethoric structures) (Zen, 2004: 107-115). Cuplikan yang akan digunakan dalam penelitian ini lebih bersifat Purposive Sampling atau lebih tepat disebut sebagai criterion-based selection (Goetz & LeCompte). Dalam hal ini peneliti akan memilih informan yang dipandang paling tahu, sehingga kemungkinan pilihan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam memperoleh data (dalam Sutopo, 2006: 229). Dari empat macam teknik trianggulasi yang ada (Patton dalam Sutopo, 2006: 229), dalam penelitian ini hanya akan digunakan satu jenis trianggulasi data yaitu trianggulasi sumber. Artinya, mengumpulkan data sejenis dari beberapa sumber data yang berbeda. Sementara teknik analisis dan penafsiran data dalam penelitian ini mengikuti langkah-langkah yang direkomendasikan oleh Yin (2005), yang menyatakan bahwa analisis data dilakukan dengan penelaahan, kategorisasi, melakukan tabulasi data dan atau mengkombinasikan bukti untuk menjawab pertanyaan penelitian. Hasil Penelitian dan Pembahasan Penyajian data dan analisis data dalam penelitian ini, diawali dengan analisis teks terhadap berita-berita yang berkaitan dengan komunikasi politik pasangan calon gubernur di Harian Jawa Pos, Surya, Duta Masyarakat, dan Bhirawa. Sejumlah item berita yang dianalisis merupakan berita yang muncul pada periode penelitian, yaitu selama masa kampanye putaran I Pemilihan Gubernur Jawa Timur tepatnya mulai tanggal 6 sampai dengan 20 Juli 2008.
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
7
Gigih Mardana : Komunikasi Politik di Media Massa..
Dari pemetaan yang dilakukan, terdapat 5 (lima) berita pada masingmasing surat kabar yang berkaitan dengan tema yang diangkat penulis, yaitu persaingan antar kandidat calon gubernur. Dipilihnya lima berita tersebut didasarkan pada lima sub tema yang berkaitan dengan tema permasalahan dan sama-sama diangkat oleh empat surat kabar yang dipilih. Dengan demikian, terdapat 20 (dua puluh) item berita yang dianalisis dalam penelitian ini. Kelima sub tema atau kejadian yang sama-sama diangkat oleh media massa yang menjadi obyek penelitian ini adalah: 1. Pemaparan Visi Misi di DPRD dan Debat Kandidat 2. Pasar: Tempat Pilihan Meraih Simpati 3. Keterlibatan Tokoh Pusat dalam Event Regional 4. Peran Kyai dan NU dalam Menggalang Dukungan Massa 5. Kampanye di Hari Pamungkas Masing-masing dari sub tema tersebut, yakni pada Harian Jawa Pos menurunkan judul berita: ”Semua Calon Tak Singgung Lumpur Lapindo”, ”Pakdhe Pertahankan Pasar Tradisional”, ”Ketua MPR Kampanye Untuk Karsa”, ”Ali Tetap Optimis”, ”All Out di Hari Terakhir” (Jawa Pos, edisi 8, 16, 14, 13, 20 Juli 2008); Harian Surya: ”Tim SR dan Karsa Bersitegang”, ”Salam Gerojok 4 Ton Beras”, ”Hidayat Nur Wahid Dampingi Karwo”, ”NU Pecah, SR Menang”, ”Tebar Janji Sebelum Istirahat” (Surya, 4, 10, 14, 14, 20 Juli 2008); Harian Bhirawa: ”Visi Misi Tak Sentuh Lapindo”, ”Safari Politik Karsa Blusukan ke Pasar Hingga Bertemu Kyai”, ”Kampanye Pakde di Madiun Didoakan Wanita Tua dan Yatim Piatu”, ”Kegagalan Ali Maschan di NU Pengaruhi Salam”, ”Tim Sukses Karsa Yakin Kuasai Suara di 22 Daerah” (Bhirawa, 8, 11, 14, 11, 18 Juli 2008); dan Harian Duta Masyarakat: ”Visi Misi Diwarnai Teror”, ”Ka-Ji membaur Bersama Pedagang Pasar”, ”Pakdhe Tebar Pesona di Kampung Halaman”, ”Ka-Ji dibanjiri Massa, Achsan Dikawal Gus Dur”, ”Kampanye Ka-Ji Luar Biasa” (Duta Masyarakat, 8, 10, 14, 14, 19 Juli 2008). Dari analisis level teks, Harian Jawa Pos dan Harian Surya mampu mengambil jarak yang relatif sama dengan para kandidat. Hal ini pun terlihat dari kebijakan keredaksionalannya. Dalam wawancara peneliti dengan redaktur politik Jawa Pos, Kurniawan Muhammad terungkap bahwa Jawa Pos berupaya menjaga betul netralitasnya baik dalam hal berita maupun foto. ”.... Yang jelas kita netral ya. Sikap kita netral. Pemberitaan kita, kita bikin proporsional dan berimbang. Caranya bagaimana, kita bikin daftar. Misalnya foto A, foto utama, hari ini misalnya Khofifah berarti besok Achsan. Besoknya lagi Karsa, besoknya lagi siapa kita bikin bergilir begitu. Jadi kita ada daftarnya untuk menjaga. Itu kan yang paling gampang dinilai” (Wawancara dengan redaktur politik Jawa Pos, Kurniawan Muhammad, Sabtu 4 Juli 2008). Kebijakan redaksional Jawa Pos tentang Pilgub seperti yang terungkap dari redaktur politiknya ini tercermin tegas dalam pemberitaan yang mengkritik keras semua pasangan calon gubernur dan menempatkan foto yang memberikan frame seluruh kandidat dalam satu angle yang sama. Semua kandidat ditampilkan dalam satu posisi yang sama.
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
8
Gigih Mardana : Komunikasi Politik di Media Massa..
Demikian pula Surya dimana media ini berusaha menjaga keseimbangan. Konsistensi itu merupakan garis kebijakan redaksional yang dipegang Surya selama event Pilgub, seperti yang diungkapkan redaktur politik Harian Surya sebagai berikut: ”....... Harusnya rata-rata saja. Misalnya hari ini kita nulis Khofifah ya besok kita nulis Pak Karwo. Besok kita nulis Pak Tjipto. Besoknya kita nulis siapa. Tapi tidak mungkin satu hari satu calon. Hari ini kita nulis Khofifah dengan Tjipto, besok Pak Karwo dengan Achmady, lusa siapa dengan siapa lagi, ya seperti itu diputar” (Wawancara dengan redaktur politik Surya, Taufiq Zuhdi, Sabtu 4 Juli 2008). Namun berbeda dengan Harian Jawa Pos dan Harian Surya, Harian Bhirawa dan Harian Duta Masyarakat dari level analisis teks sudah memiliki arah kecenderungan pemberitaan terhadap kandidat tertentu. Dan hal ini pun diafirmasi secara kebijakan melalui wawancara dengan praktisi medianya. Harian Bhirawa misalnya kebijakan untuk menempatkan berita-berita yang berhubungan dengan birokrasi sebagai sesuatu yang utama, ini dijelaskan secara rinci oleh awak media Bhirawa pada saat diwawancarai peneliti. ”.... Karena pangsa pasar kita birokrasi, maka sebisa mungkin tulisantulisan tentang Pilgub memberi informasi yang lengkap kepada birokrasi. Porsi pemberitaan di Bhirawa adalah 75% berita-berita seputar Birokrasi, dan sisanya 25% adalah berita non birokrasi”. (Wawancara dengan Wawan Triyanto, wartawan Harian Bhirawa, Sabtu 28 Juni 2008). Meskipun tidak mempunyai hubungan struktural dengan Soekarwo, kedekatan ideologis sebagai dua unsur yang sama-sama memiliki kepentingan dari di dunia birokrasi sangat berpengaruh pada pemberitaan di Harian Bhirawa. Kandidat yang berangkat dari unsur birokrasi, khususnya Soekarwo, mendapat perhatian yang sangat besar dari pengelola Bhirawa. ”Bhirawa ini kan mindset nya birokrasi. Ya jelas kita mendukung calon yang dari birokrasi. Meskipun calon yang lain tetap kita tampilkan. Kalau dulu, kita mendukung terang-terangan. Kalau ada beritanya KarSa kita tampilkan besar-besaran. Kalau ada beritanya Salam saya sembunyikan. Kalau ada beritanya Ka-Ji saya sembunyikan kecil gitu. Tetap kita tampilkan tapi kecil dan di bagian dalam. Tetapi kalau KarSa saya tulis besar gitu hehehe...” (Wawancara dengan Bambang WN, redaktur pelaksana Harian Bhirawa, Sabtu 28 Juni 2008). Rasionalisasi dimana pemberitaan Harian Bhirawa cenderung ke pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf yakni sejarah pendirian Bhirawa sebagai koran birokrasi, visi misi dan mindset koran ini adalah birokrasi dan oleh karena itu kebijakan redaksionalannya pun mengarah pada kepentingan birokrasi. Selain itu, Soekarwo sebagai mantan Sekdaprov memiliki kultur kuat birokrasi dan telah memiliki “kedekatan kultur” dengan Bhirawa.
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
9
Gigih Mardana : Komunikasi Politik di Media Massa..
Begitupun dengan Harian Duta Masyarakat, kecenderungan untuk menempatkan Khofifah sebagai prioritas dalam pemberitaan Duta Masyarakat selama masa kampanye adalah sebuah pilihan ideologis yang secara langsung diakui oleh mereka yang berada di balik berita koran ini. Menurutnya, mereka yang mendapat dukungan adalah kandidat yang berlatar belakang NU dan mempunyai rekam jejak perjalanan karir di NU. Hal itu seperti yang diungkapkan oleh redaktur politik, Duta Masyarakat, Hendik Budi Yuantoro sebagai berikut: ”............... Satu hal yang pasti ditilik dari sisi lahir Duta Masyarakat adalah dengan NU. Maka fokus pemberitaan kita jelas harus ada korelasinya dengan NU. Beritanya kita arahkan perhatiannya kepada NU. Cermatilah, dari pemberitaan kami yang diotak-atik bagaimana para calon gubernur itu dapat memberikan manfaat bagi NU……” (Wawancara dengan Redaktur Politik Harian Duta Masyarakat, Hendik Budi Yuantoro, Jum’at, 1 Agustus 2008). Pernyataan redaktur bidang politik Harian Duta Masyarakat ini menurut penulis menjadi penegasan bahwa pilihan Harian Duta Masyarakat terhadap beberapa kandidat yang berlatar belakang NU adalah pilihan sadar, rasional, dan sangat ideologis. Media ini mendukung calon gubernur yang bervisi sama, yaitu membawa kemaslahatan bagi NU. Kecenderungan Duta Masyarakat mengarah kepada pasangan KhofifahMudjiono karena sejarah dan visi misi pendirian Duta Masyarakat yang dekat dengan NU. Sehingga kebijakan redaksionalannya pun mengharapkan kandidat yang menjadi Gubernur adalah berlatar belakang NU, apalagi pasangan ini yang mendapat restu dari KH. Hasyim Muzadi. Kesimpulan Pertama, cara media memaparkan komunikasi politik pada saat pemilihan Gubernur Jawa Timur tahap I antara lain: (a) Event dan wacana komunikasi politik Calon Gubernur Jawa Timur selama masa kampanye dianggap penting oleh media massa, baik Jawa Pos, Surya, Duta Masyarakat, maupun Bhirawa. Terbukti, keempat harian tersebut memberikan halaman khusus untuk berita-berita komunikasi politik calon gubernur selama masa kampanye. Hal itu dibuktikan lagi hasil wawancara penulis terhadap praktisi media dari Jawa Pos, Surya, Duta Masyarakat, maupun Bhirawa bahwa event Kampanye Pemilihan Gubernur Jawa Timur memiliki news value yang tinggi; (b) Karena dianggap penting dan memiliki news value yang tinggi, Jawa Pos, Surya, Duta Masyarakat, maupun Bhirawa memiliki kebijakan redaksional khusus terhadap isu-isu kampanye Pemilihan Gubernur Jawa Timur selama masa kampanye putaran I. Kebijakan redaksional khusus itu mempunyai pengaruh kuat terhadap frame pemberitaan di masing-masing media; (c) Berita-berita yang menjadi obyek penelitian seringkali kurang memenuhi aspek seimbang (balance) dan cover all sides sehingga justru mirip dengan berita-berita advertorial. Ada indikasi bahwa berita yang dipasang adalah bonus berita ketika kandidat memasang iklan di media massa tersebut. Kedua, framing Jawa Pos, Surya, Duta Masyarakat, maupun Bhirawa dalam mengambil sudut pandang pemberitaan antara lain: (a) Jawa Pos dan Surya
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
10
Gigih Mardana : Komunikasi Politik di Media Massa..
masih mampu mengambil jarak yang relatif sama dengan para kandidat. Komitmen untuk menjaga netralitas melalui kebijakan redaksionalnya dapat terimplementasi sampai di tingkatan pemberitaan; (b) Dari analisis teks dan wawancara dengan praktisi media massa, Harian Bhirawa dan Duta Masyarakat memiliki arah kecenderungan pemberitaan terhadap kandidat tertentu. Hal ini utamanya didorong oleh faktor sejarah pendirian media, visi dan misi media, ideologi dan kebijakan redaksional selama masa kampanye pemilihan gubernur. Bhirawa memiliki kecenderungan ke pasangan Karsa (Soekarwo dan Saifullah Yusuf) dan Duta Masyarakat memiliki arah kecenderungan ke pasangan Ka-Ji (Khofifah dan Mudjiono). Hal ini juga diakui oleh pengelola media massa yang bersangkutan; (c) Duta Masyarakat memiliki arah kecenderungan terhadap pasangan Khofifah-Mudjiono karena sejarah dan visi misi pendirian Duta Masyarakat yang dekat dengan NU. Kebijakan redaksionalannya pun mengharapkan kandidat yang menjadi Gubernur adalah berlatar belakang NU, khususnya pasangan Khofifah-Mudjiono yang mendapat restu dari KH. Hasyim Muzadi. Sementara Bhirawa pemberitaannya cenderung ke pasangan SoekarwoSaifullah Yusuf karena sejarah pendirian Bhirawa sebagai koran birokrasi, visi misi dan mindset koran ini adalah birokrasi dan kebijakan redaksionalannya pun mengarah pada kepentingan birokrasi. Soekarwo sebagai mantan Sekdaprov memiliki kultur kuat birokrasi dan telah memiliki “kedekatan kultur” dengan Bhirawa. Daftar Pustaka Berger, Peter L dan Thomas Luckmann. Terj. Tafsir Sosial Atas Kenyataan. Sebuah Risalah Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES, 1990. Bhirawa, Edisi 6 – 20 Juli 2008. Bungin, Burhan. Imaji Media Massa: Konstruksi dan Makna Realitas Sosial dalam Masyarakat Kapitalistik. Jakarta: Jendela, 2001. Burns, Lynette Sherida. Understanding Journalism. New Delhi: Sage Publications, 2003. Denzin, Norman K. And Tvonna S. Lincoln (Eds), Handbooks of Qualitative Research. London: Sage, 1994. Duta Masyarakat, Edisi 16 Juni 2008, 6-20 Juli 2008. Jawa Pos, Edisi 13 Mei, 4 Juni, 16-17 Juni 2008, 6-20 Juli 2008. Kovac, Bill dan Tom Rosenstiel. Sembilan Elemen Jurnalisme. Apa Yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik. New York: Crown Publisher, 2001. Littlejohn. Stephen W. Theories of Human Communication 8th edition. Belmont: Thompson Wadsworth, 2005. Nasution, Zulkarimein. Komunikasi Politik. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990. Negrine, Raplh. The Communication Of Politics. London: Sage Publications, 2002. Norris, Pippo, John Curtice, David Sanders, Margaret Scammel, and Holli A Semetko. On Message; Communicating The Campaign. London: SAGE Publications, 1999.
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
11
Gigih Mardana : Komunikasi Politik di Media Massa..
Nugroho, Bimo, Eriyanto, dan Frans Sudiarsis. Politik Media Mengemas Berita. Jakarta: ISAI, 1991. Panuju, Redi. Sistem Komunikasi Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997. Salim, Agus. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005. Surya, Edisi 6-20 Juli 2008. Sutopo, H.B. Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Penerapannya. Surakarta: UNS Press, 2006. Suwardi, Harsono. Peranan Pers dalam Politik di Indonesia. Suatu Studi Komunikasi Politik Terhadap Liputan Berita kampanye Pemilu 1987. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993. Yin. Robert K. Studi Kasus Desain dan Metode. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005. Zen, Fathurin. NU Politik: Analisis Wacana Media. Yogyakarta: LKiS, 2004.
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010
12