MEMBANGUN KOMUNIKASI DAKWAH MELALUI MEDIA MASSA DIAN MURSYIDAH Abstrak Di zaman modern sekarang, dakwah tidak hanya berlangsung secara konvensional dengan tatap muka antara pendakwah dan audiens. Dakwah juga dapat dilakukan melalui media massa. Menurut penulis, dakwah dan media massa punya ciri yang sama, yakni menyiarkan kepada sebanyak mungkin audiens. Dimensi komunikasi dalam dakwah juga sangat penting. Bentuk dakwah melalui media massa ini bisa sangat beragam. Di akhir artikel, penulis juga mencoba membuat definisi tentang media massa Islam, yang salah satunya, menurut penulis, berciri dakwah. Kata Kunci: dakwah, media massa, komunikasi dakwah.
Pendahuluan Tiupan badai revolusi informasi dan kebergantungan manusia terhadap teknologi komunikasi dan informasi semakin terasa. Keberadaannya mampu mempengaruhi pola kehidupan manusia secara nyata seiring zaman terus berkembang. Teknologi informasi merupakan faktor penentu bagi proses transformasi dan perubahan yang terjadi. Siapa yang memiliki akses terbesar di dunia informasi dan jaringan teknologi, dialah yang akan menguasai dan akan mampu mengatur segala perubahan yang terjadi di atas bumi ini. Perkembangan teknologi komunikasi semakin canggih dan kemajuan itu pun tidak hanya bersifat vertikal, tetapi juga berdimensi horizontal. Kini, tidak ada pelosok negeri yang tidak terjangkau oleh komunikasi canggih (global syndrome). Proses globalisasi (penyebaran) hasil-hasil teknologi komunikasi canggih merupakan kejadian atau perubahan besar yang hampir tidak memberikan kemungkinan
226
| Media Akademika Volume 25, No. 3, Juli 2010
kepada semua negara di dunia ini untuk menolaknya. Adakah negara di dunia ini yang mempunyai pilihan lain dari keharusan menerima media massa. Negara-negara yang sedang berkembang pun tidak mempunyai pilihan lain dari keharusan menerima kehadiran teknologi pengiriman maupun pembagian (penyaluran informasi) tersebut. Untuk itu, tidak ada alternatif lain dari keharusan menyusun strategi dan kebijakan komunikasi yang sesuai dengan perkembangan itu (global communication policy and strategy). Demikian pula dengan komunitas muslim. Di tengah gegap gempitanya kemajuan teknologi informasi, terdapat berbagai hal yang harus dicermati oleh umat Islam. Tujuannya adalah untuk menggali lebih dalam bagaimana seharusnya masyarakat muslim memanfaatkan dan menyikapi kemajuan ini. Untuk hidup sejahtera dan makmur lahir batin, masyarakat muslim harus menempatkan fenomena tersebut sebagai pilihan satu-satunya. Siapa menguasai teknologi, dialah yang makmur, sejahtera, dan berkuasa. “Menguasai” di sini dalam arti luas, termasuk peranan penghasil (produsen), pencipta, di samping pemakai. Kehadiran media massa di tengah kehidupan umat Islam seharusnya dapat dijadikan benih untuk menumbuhkan berbagai usaha produksi, distribusi, dan konsumsi jasa media massa. Dalam hal ini, media massa merupakan saluran yang digunakan untuk menghubungkan komunikator dengan komunikan secara massal, berjumlah besar, bertempat tinggal yang jauh (terpencar) dan sangat heterogen.1 Keberadaan media ini sejatinya dapat digunakan umat Islam sebagai media untuk memasyarakatkan nilai-nilai keislaman di kalangan umat manusia. Hal ini akan dapat dilakukan karena sejalan dengan beberapa fungsi media massa bagi masyarakat. Pertama, institusi media menyelenggarakan produksi, reproduksi, dan distribusi pengetahuan dalam pengertian serangkaian simbol yang mengandung acuan bermakna tentang pengalaman dalam kehidupan sosial. Kedua, 1
Ardianto Elvinaro dan Lukiati Komala, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, (Bandung: Rosdakarya, 2004), hlm. 3.
Dian Mursyidah, “Membangun Komunikasi Dakwah Melalui Media Massa” |
227
media massa memiliki peran mediasi (penengah/penghubung) antara realitas sosial yang objektif dengan pengalaman pribadi.2 Fungsi lain adalah media massa sebagai surveillance (pengawasan).3 Fungsi ini terjadi ketika media massa menginformasikan tentang ancaman dari angin topan, kondisi yang memprihatinkan, dan lain sebagainya. Demikian pula penyebaran informasi yang dapat membantu khalayak dalam kehidupan sehari-hari. Interpretation (penafsiran), media massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting. Linkage (pertalian), media massa dapat menyatukan anggota masyarakat yang beragam, sehingga membentuk linkage berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu. Transmission of values (penyebaran nilai-nilai), fungsi ini disebut juga dengan sosialisasi. Entertainment (hiburan), fungsi ini sulit dibantah bahwa pada kenyataannya hampir semua media sangat kental dengan hiburan. Fungsi informasi, fungsi ini diartikan bahwa media massa adalah penyebar informasi. Fungsi pendidikan, salah satu cara mendidik yang dilakukan media massa adalah melalui pengajaran nilai, etika, serta aturan-aturan yang berlaku kepada pemirsa atau pembaca. Media massa melakukannya melalui drama, cerita, diskusi, dan artikel. Fungsi mempengaruhi secara implisit dapat ditemui pada tajuk/editorial, features, iklan, artikel, dan sebagainya. Demikian besarnya fungsi media massa di tengah masyarakat, akan memberi peluang besar kepada umat islam untuk dapat menyentuh masyarakat muslim ataupun nonmuslim secara lebih luas. Menghadapi kemampuan media ini, maka ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, di kalangan umat Islam harus ada keinginan untuk mengubah paradigma dakwah. Dakwah bukanlah hanya ceramah atau bukan hanya membuat pengajian dan halaqah dengan jumlah pendengar yang terbatas. Seharusnya dakwah mencakup segala 2
Dennis McQuail, Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar (Erlangga, 1987), hlm. 52.
228
| Media Akademika Volume 25, No. 3, Juli 2010
kegiatan yang memberikan pemahaman Islam kepada siapa pun melalui media massa yang tersedia saat ini. Kedua, umat Islam harus meluaskan penggunaan media dakwah, mulai dari media elektronik, media cetak, hingga internet.4 Melalui media massa dakwah tersebut, umat Islam tidak hanya akan memiliki audiens yang luas, tetapi juga memiliki kekekalan yang lebih. Syiar Islam saat ini memang telah memasuki era baru, yaitu melalui musik Opick dan Bimbo yang semakin menggema, film-film rohani yang bermunculan, serta banyak kegiatan dakwah muncul di dunia maya dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Namun, apresiasi terhadap karya-karya itu tetap harus diberikan. Fenomena lain ditemukan bahwa keterlibatan media massa dalam “menyemarakkan” syiar Islam tidak dapat berlangsung sesuai tuntutan agama karena terdapat kepentingan lain yang harus dilaksanakan oleh media. Bukan saja tuntutan era industri, tetapi juga ciri khas yang menjadi dasar eksistensi media khsusnya ciri universalitas, publisitas, dan komersialitas. Aspek dagang media kini meningkat menjadi industri media. Konsekuensinya adalah apa yang “haram” dalam islam (komunikasi dakwah) belum tentu “haram” bagi kebutuhan industri media massa. Di satu pihak banyak ditayangkan siraman rohani, tetapi di pihak lain banyak ditayangkan acara-acara hiburan selera rendah menurut tolok ukur norma agama. Untuk itu, munculah permasalahan yang memerlukan jawaban, yaitu apakah kualitas komunikasi dakwah dapat ditingkatkan melalui media massa dan apakah komunikasi dakwah dapat terakomodasi dengan kecanggihan teknologi media massa itu.
Interaksi Media Massa dengan Agama Saat ini kegiatan syiar keagamaan telah menembus teknologi komunikasi melalui media elektronik. Sarana ini mampu masuk ke 3 4
Ardianto Elvinaro dan Lukiati Komala, Komunikasi Massa, hlm. 16. Husein Umar dkk, Dakwah: Mencermati Peluang dan Problematikanya, ( Jakarta: Mohammad Natsir Press, 2007), hlm. 176.
Dian Mursyidah, “Membangun Komunikasi Dakwah Melalui Media Massa” |
229
dalam rumah keluarga-keluarga muslim. Kondisi ini memberi harapan yang baik bagi perkembangan dakwah itu sendiri. Husein Umar menggambarkan bahwa paling tidak syiar Islam ditemukan di media televisi. Pertama, ketika waktu subuh. Dalam dunia televisi waktu subuh dikenal dengan waktu non-prime time. Artinya, di waktu subuh jumlah penonton yang menyaksikan televisi tidak banyak. Bahkan, kemungkinan besar penonton yang menyaksikan acara ceramah subuh itu adalah penonton yang sengaja ingin memperdalam pengetahuan agamnya. Kedua, sebagai bagian dari industri hiburan, acara televisi pada umumnya mengikuti tren aktual. Jika acara yang sedang tren pada satu kurun waktu adalah cerita religi, maka acara bertema religilah yang akan menghiasi acara layar kaca. Ketiga, kepentingan image. Acara dakwah seringkali dijadikan alat untuk membangun image. Seperti yang terjadi ketika bulan Ramadhan, media massa berlomba menampilkan acara-acara yang bernuansa dakwah. Akan tetapi, setelah Ramadhan acara-acara tersebut hilang. Hal tersebut karena image yang dibangun bukan image dakwah melainkan image media.5 Kegiatan media seperti diungkapkan di atas menunjukkan telah terjadi interaksi antara media massa dan agama. Di media TV, radio, dan media cetak, teori tentang penentuan waktu siaran, penempatan volume berita (agenda setting function of the media) memang sangat meningkat. Masalah agama pun memiliki porsi yang memadai dan makin banyak dikedepankan. Tiap bulan Ramadhan hampir semua stasiun TV dan radio menggelar kegiatan rohani Islam dalam berbagai segi. Demikian pula media pers. Selain itu, muncul juga homepage-homepage tentang keislaman. Banyak website yang menyediakan informasi untuk referensi kaum muslimin. Melalui saluran ini bisa ditemukan berbagai ilmu dan kitab-kitab Islam. Untuk berita-berita luar negeri yang bervisi Islam, peselancar internet dapat pula menemukannya. Demikian pula 5
Umar dkk, Dakwah, hlm.176.
230
| Media Akademika Volume 25, No. 3, Juli 2010
kegiatan pembelajaran tentang keislaman dapat ditemui di media internet ini. Kegiatan-kegiatan media massa di atas menunjukkan adanya interaksi simbolik. Hal tersebut bertujuan media massa dengan informasi yang dibawanya dapat mengilhami pikiran khalayak untuk bersikap dan bertindak.6 Interaksi melalui media massa ini merupakan salah satu cara untuk menarik perhatian tidak hanya umat Islam. W. Schramm menentukan cara untuk menarik perhatian, yaitu available, mudah ditangkap, dan khalayak selalu memilih yang paling mudah. Untuk mendengar berita yang disiarkan oleh siaran sentral RRI, yang direlai oleh semua pemancar di Indonesia, orang tentu tidak memilih mendengarkannya dari pemancar lokalnya, kalau pemancar Jakarta central dapat didengar dengan lebih terang.7 Khalayak akan merasa lebih mudah belajar agama melalui media yang dapat diakses di rumah dibanding harus datang ke pengajian-pengajian. Fenomena baru abad ini menunjukkan maraknya dakwah digital yang berkembang seiring perkembangan teknologi informasi di dunia internet. Adapun media TV sajian dakwah tidak lagi berbentuk dakwah bil-lisan, tetapi juga dakwah bil-hal yang ditunjukkan melalui nilai-nilai yang terkandung dalam sinetron, diskusi, dan tayangan lainnya.
Media Massa dan Kegiatan Dakwah Interaksi media massa dengan agama yang menunjukkan volume yang semakin meningkat telah menyemarakkan kegiatan dakwah Islam. Ada beberapa hal yang perlu dipahami tentang hakikat makna dakwah, yaitu dakwah sebagai “kerja” Tuhan. Pada hakikatnya bukan hanya kerja manusia, tetapi juga “kerja” (takdir) Tuhan. Oleh karena itu, keberhasilan suatu dakwah tidak hanya ditentukan manusia, tetapi
6
7
Onong Uchyana Effendi, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, (Bandung: Rosdakarya, 2001), hlm. 390. Thoha Yahya Umar, Islam dan Dakwah, ( Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2004), hlm. 133.
Dian Mursyidah, “Membangun Komunikasi Dakwah Melalui Media Massa” |
231
juga oleh “persetujuan” Tuhan. Dakwah juga bermakna sebagai ajakan atau seruan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk mengikuti dan mengamalkan ajaran dan nilai-nilai Islam. Bagi yang belum Islam diajak menjadi muslim dan bagi yang sudah Islam diajak menyempurnakan keislamannya. Lebih lanjut, dakwah yang semula berarti memanggil, kemudian meluas menjadi mengajak berpindah dari satu situasi ke situasi lain yang lebih islami/baik. Dakwah dapat diartikan pula sebagai proses komunikasi (tabligh). Setiap muslim diperintahkan mengomunikasikan ajaran Islam betapapun pengetahuannya tentang Islam masih sedikit. Kemudian, dakwah sebagai penyebaran rahmat Allah, yakni dakwah berarti juga penyebaran rahmat (cinta kasih) kepada seluruh alam. Dakwah berperan pula sebagai pembebasan, yaitu Islam mengandung ajaran atau petunjuk tentang cara membebaskan diri dari keterbelengguan terhadap alam, materi, dan budaya. Membebaskan diri dari kebodohan, kebekuan pikiran, kemiskinan, dan kemalasan. Prinsip lainnya adalah dakwah sebagai penyelamatan, yaitu penyelamatan manusia dari berbagai hal yang merugikan manusia. Dakwah sebagai pembangun peradaban, yakni sebagai wakil Sang Maha Pencipta, manusia harus menjadi pencipta kedua. Manusia yang taat akan menjadi manusia yang berkualitas, kreatif, dan bisa menciptakan hal-hal baru untuk membangun peradaban di bumi ini.8 Pelaksanaan tugas dakwah di atas memerlukan wasilah (media) yang tepat agar kehadiran para du’at dapat dirasakan di tengah-tengah umatnya. Hamzah Ya’kub membagi wasilah dakwah itu menjadi lima macam, yaitu: 1. Lisan: media dakwah sederhana menggunakan lidah dan suara, dakwah melalui media ini dapat berbentuk pidato, ceramah, kuliah, bimbingan, penyuluhan, dan sebagainya.
8
KI Moesa A. Machfoeld, Filsafat Dakwah, Ilmu Dakwah dan Penerapannya, ( Jakarta: Bulan Bintang, 2004), hlm. xvi.
232
| Media Akademika Volume 25, No. 3, Juli 2010
2. Tulisan: media melalui tulisan ini dapat berbentuk buku, majalah surat kabar, surat-menyurat, spanduk, dan sebagainya. 3. Lukisan: media dakwah melalui gambar, karikatur, dan lainnya. 4. Audiovisual: media dakwah yang dapat merangsang indera penglihatan, pendengaran, atau kedua-duanya, seperti TV, film slide, internet, dan sebagainya. 5. Media dakwah melalui perbuatan nyata yang mencerminkan ajaran Islam yang secara langsung dapat dilihat dan didengarkan.9 Terjadi sedikit pergeseran paradigma tentang media dakwah, yakni saat ini teknologi komunikasi melalui media elektronik. Pembagian media di atas dapat dilakukan dan ditemukan melalui media massa yang ada saat ini. Melalui saluran inilah penyebaran dakwah harus dapat menyesuaikan diri. Fenomena peningkatan penyebaran syiar Islam melalui media massa banyak dijumpai di berbagai media, mulai dari tayangan ceramah, dialog Islam hingga sinetron telah banyak dikemas di media massa. Namun di sisi lain, keterlibatan media massa dalam “menyemarakkan” syiar Islam tidak dapat berlangsung sesuai tuntutan karena ada kepentingan lain yang harus dilaksanakan media. Bukan saja tuntutan era industri, tetapi juga ciri khas yang menjadi dasar eksistensi media itu sendiri. Khususnya ciri universalitas, publisitas, dan komersialitas. Isinya harus terbuka untuk umum (offenliche aussage) dan karena itu isinya juga harus beraneka ragam (veelheid van inhoud) untuk memenuhi kepentingan audience yang berbeda-beda. Ciri komersialitasnya justru terintegrasi dengan ciri-ciri lainnya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Media harus peka terhadap selera masyarakat. Itulah sebabnya tidak jarang ditemui pada satu waktu terlihat tayangan rohani Islam, namun pada tayangan lain terlihat tontonan vulgar yang bertolak belakang dengan budaya lokal dan mengaburkan nilai-nilai Islam. 9
M. Munir dan Wahyu Ilaihi, Manajemen Dakwah, ( Jakarta: Prenada Media, 2006), hlm. 32.
Dian Mursyidah, “Membangun Komunikasi Dakwah Melalui Media Massa” |
233
Keberadaan media massa mengalami kesulitan untuk mengakomodasi kehendak-kehendak lembaga agama. Di pihak lain sebenarnya peraturan perundang-undangan dan kode etik telah menentukan bagaimana seharusnya media massa melaksanakan atau mengakomodasikan norma-norma agama melalui sejumlah fungsi yang dimilikinya (fungsi hiburan, informasi, pendidikan, dan ekonomi). Yang dimaksud dengan etika di sini tentulah “rem” yang berfungsi membatasi atau mengontrol kebebasan media. Etika dalam komunikasi massa mengandung pengertian cara berkomunikasi sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di tengah masyarakat atau golongan tertentu.10 Adanya UU Perfilman dan UU Pers ternyata tidak menjamin pelanggaran etika yang terjadi di berbagai media massa. Perkembangan tersebut menghadirkan keperluan baru dalam bidang dakwah Islam. Kompleksitas hubungan antara kegiatan dakwah dan media massa sukar dihindar. Di satu pihak kegiatan dakwah ingin lebih banyak berperan untuk mengendalikan nilai-nilai dan gaya hidup masyarakat melalui media massa, namun di pihak lain media massa tak dapat melepaskan tuntutan industri dan komersialitas perusahaan.
Dimensi Komunikasi dalam Dakwah Dakwah merupakan salah satu bentuk komunikasi yang khas sehingga banyak teori mengenai komunikasi dapat pula kiranya menjadi bahan penunjang untuk suksesnya tujuan dakwah. Sejalan dengan perkembangan teknologi, maka perubahan sosial serta norma-norma yang ada di dalam masyarakat pun tentunya menghadapi fenomena baru. Oleh karenanya, dibutuhkan pula teknik-teknik dakwah yang selaras dengan perubahan sosial tersebut. Dalam teori komunikasi dikenal suatu teori hypodermis, yang melihat komunikan itu sebagai objek komunikasi pasif. Dengan perkembangan teknologi dan tingkat berpikir manusia, teori itu menjadi ketinggalan. 10
Mafri Amir, Etika Komunikasi Massa, ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm 34.
234
| Media Akademika Volume 25, No. 3, Juli 2010
Pada dasarnya komunikasi adalah suatu proses saling mempengaruhi antara komunikator dan komunikan untuk mencari titik kepentingan yang sama. Dalam situasi sekarang dikenal pula teori interchange model (model saling mempengaruhi). Istilah komunikasi atau communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Minimal kegiatan komunikasi tidak hanya informative, yakni agar orang lain mengerti dan tahu, tetapi juga persuasive, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu faham atau keyakinan, melakukan suatu perbuatan atau kegiatan.11 Sementara itu, dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Merupakan suatu proses penyampaian (tabligh) pesan-pesan tertentu yang berupa ajakan atau dengan tujuan agar orang lain memenuhi ajakan tersebut.12 Perhatian secara saksama pada dua bidang (komunikasi dan dakwah) di atas menggambarkan kegiatan dakwah itu tidak lain merupakan kegiatan komunikasi. Hanya saja yang secara khas dibedakan dari bentuk komunikasi yang lainnya, terletak pada cara dan tujuan yang akan dicapai. Tujuan komunikasi mengharapkan adanya partisipasi dari komunikan atas ide-ide atau pesan-pesan yang disampaikan oleh komunikator sehingga dengan pesan-pesan yang disampaikan tersebut terjadilah perubahan sikap dan tingkah laku yang diharapkan. Demikian pula dalam kegiatan dakwah. Muballigh sebagai komunikator mengharapkan munculnya partisipasi dari komunikan (mad’u) dan berharap agar mad’u bersikap dan berbuat sesuai isi pesan yang disampaikan. Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa dakwah merupakan suatu proses komunikasi, namun tidak semua proses komunikasi merupakan kegiatan dakwah. 11 12
Onong Uchyana Effendi, Ilmu Komunikasi, hlm. 9. Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), hlm. 31.
Dian Mursyidah, “Membangun Komunikasi Dakwah Melalui Media Massa” |
235
Satu fenomena dilihat melalui konsep salat. Secara implisit salat mempunyai konotasi sebuah proses komunikasi vertikal antara manusia dengan Tuhannya. Sedangkan ibadah horizontal dapat dipahami sebagai proses komunikasi antara manusia dengan sesamanya. Secara lahiriah proses komunikasi vertikal terlihat bersifat satu arah. Namun, pada hakikatnya terjadi komunikasi dua arah, sebab salat seakan-akan merupakan dialog lewat puji-pujian dan permohonan. Secara makro terjadi komunikasi dua arah antara manusia dengan penciptanya, meski yang dirasakan oleh orang yang melaksanakan perintah salat adalah komunikasi intrapribadi (bukan antarpribadi). Ibadah horizontal juga dapat dipahami melalui proses komunikasi dengan manusia. Konsep ibadah horizontal mempunyai makna luas. Jika perbuatan baik kepada sesama manusia diartikan sebagai sedekah dalam bentuk nonmateri tentu sifatnya lebih luas dan kompleks. Secara aksioma dapat dikatakan bahwa semua komunikasi antarmanusia (human communication) itu dapat berlaku sebagai kegiatan dakwah.
Media Massa Islam: Upaya Membangun Paradigma Komunikasi Dakwah Perluasan penggunaan media dakwah untuk menjangkau masyarakat luas melalui media massa perlu peningkatan kualitas dan kuantitasnya. Tak mudah menyatukan idealisme dan efektivitas saat berbicara soal media massa islami. Dalam masyarakat yang ambigu, kita tidak dapat membuat media massa islami dan berharap media itu efektif memberi pengaruh luas kepada umat. Sudah bukan rahasia lagi jika media massa islami selalu kalah bersaing dengan media lainnya. Artinya, media massa yang mengaku menjunjung tinggi nilai-nilai Islam saat ini memiliki pembaca yang jauh lebih sedikit dari media massa lain. Hal ini tentu tak dapat dilepaskan dari kecenderungan masyarakat. Mereka memilih sebuah media karena merasa apa yang mereka butuhkan dapat dipenuhi oleh media tersebut. Media papan atas rata-
236
| Media Akademika Volume 25, No. 3, Juli 2010
rata adalah media yang mampu membaca kebutuhan pembaca yang luas. Akan tetapi, media massa Islam atau yang mengaku Islam cenderung menyuplai kebutuhan kelompok tertentu. Keadaan ini bukan merupakan suatu kesalahan tapi kenyataannya mempersempit pasar pembaca. Akibatnya, pengaruhnya pun ikut menyempit. Menyeimbangkan antara idealisme dan efektivitas memang sulit, tetapi mau tak mau itu harus dilakukan jika ingin nilai-nilai Islam dapat menyentuh masyarakat luas. Keberadaan dan komitmen media massa islami amat dibutuhkan dalam rangka membentuk proses komunikasi islami. Komunikasi islami adalah sistem komunikasi Islam. Pengertian yang sederhana ini menunjukkan bahwa komunikasi Islam lebih fokus pada sistemnya dengan latar belakang filosofi (teori) yang berbeda dengan perspektif komunikasi non-Islam. Dengan kata lain, sistem komunikasi Islam didasarkan pada Alquran dan Hadis. Sudah tentu filosofi atau teori yang menjadi landasan sistem komunikasi Islam mempunyai implikasi-implikasi tertentu terhadap makna proses komunikasi, model komunikasi, media massa, etika, hokum, dan kebijakan media (media law and media policy). Mengenai makna komunikasi islami, secara singkat dapat didefinisikan sebagai proses penyampaian pesan antara manusia yang didasarkan ajaran Islam. Pengertian ini menunjukkan cara komunikasi yang bersifat islami.13 Lebih jauh bagaimana dengan media massa Islam? Bagaimana sistem hukum dan etikanya? Bagaimana mengenai pers Islam, telematika Islam, muslim cyber media? Apakah komunikasi Islam identik dengan komunikasi dakwah? Semua macam komunikasi Islam tersebut pada dasarnya tidak berbeda dengan komunikasi non-Islam dalam hal model, proses, dan efeknya. Yang membedakannya lebih pada landasan filosofinya. Dengan sendirinya komunikasi Islam terikat pada pesan khusus. Mengenai model proses komunikasi secara ilmiah tentu berlaku universal. Komunikator dalam perspektif Islam pada 13
A. Muis, Komunikasi Islami, (Bandung: Rosdakarya, 2001), hlm. 65.
Dian Mursyidah, “Membangun Komunikasi Dakwah Melalui Media Massa” |
237
hakikatnya adalah saluran pesan. Artinya, komunikator adalah orang yang menyampaikan firman-firman Tuhan dan Hadis Nabi. Dengan demikian, proses komunikasi islami harus terikat dengan normanorma dan etika Islam. Demikian seharusnya gambaran yang harus ada dalam media massa Islam. Media massa ini diharapkan dapat benar-benar menjadi media komunikasi dakwah. Di sana paradigma dakwah diperluas menyentuh semua lini kehidupan dan kegiatan manusia. Demikian pula media massa diharapkan mampu tetap kental dengan nilai-nilai Islam di setiap pemberitaan ataupun tayangan. Komunikasi dakwah melalui media massa Islam ini tidak lagi sekadar bermakna sebuah retorika, lembaga dakwah tidak hanya berpusat di mesjid, atau forum diskusi, tetapi dakwah harus mengalami desentralisasi kegiatan-kegiatan dalam media massa Islam.
Kesimpulan Perintah agama yang dijalankan melalui komunikasi dakwah tidak dapat sepenuhnya terakomodasi ke dalam pengelolaan media massa yang terikat pada tuntutan industrialisasi. Hal ini terjadi karena muncul interaksi kontroversial yang sukar dielakkan antara media massa dan komunikasi dakwah. Di satu pihak media massa dalam menyediakan diri sebagai “media dakwah” tidak mungkin melepaskan diri dari tuntutan komoditi. Dengan demikian, kualitas komunikasi dakwah dapat dilaksanakan melalui media massa yang kental dengan religiusitas sehingga konsekuensi “haram” diartikan sama menurut komunikasi dakwah dan menurut media itu sendiri.
238
| Media Akademika Volume 25, No. 3, Juli 2010
DAFTAR PUSTAKA Amir, Mafri, Etika Komunikasi Massa, ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999). Effendi, Onong Uchyana, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, (Bandung: Rosdakaryam 2001). Elvinaro, Ardianto dan Lukiati Komala, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, (Bandung: Rosdakarya, 2004). Machfoeld, KI Moesa A., Filsafat Dakwah, Ilmu Dakwah dan Penerapannya, ( Jakarta: Bulan Bintang, 2004). McQuail, Dennis, Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, ( Jakarta: Erlangga, 1987). Muis, A., Komunikasi Islami, (Bandung: Rosdakarya, 2001). Munir, Muhammad dan Wahyu Ilahi, Manajemen Dakwah, ( Jakarta: Prenada Media, 2006). Rivers, William dkk., Media Massa dan Masyarakat Modern, ( Jakarta: Prenada Media, 2003). Tasmara, Toto, Komunikasi Dakwah, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997). Umar, Hussein dkk., Dakwah: Mencermati Peluang dan Problematikanya, ( Jakarta: Mohammad Natsir Press, 2007). Umar, Thoha Yahya, Islam dan Dakwah, ( Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2004).