GERAKAN DAKWAH MUHAMMADIYAH DI TENGAH KEMELARATAN RAKYAT (*) Oleh Said Tuhuleley (**)
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaan bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
IFTITAH Perang Khandak menyisakan kisah yang menarik, bukan semata-mata karena perangnya itu sendiri, tetapi terlebih pada suasana menjelang perang. Dalam sejarah perjuangan Rasulullah, Muhammad, s.a.w., diceriterakan tentang musyawarah yang dilakukan Rasulullah bersama para pemuka ummat untuk merundingkan taktik apa yang akan digunakan menghadapi tentara sekutu, kafir Quraisy plus Yahudi yang bermukim di sekitar Makkah maupun Madinah. Syahdan mucullah dua usulan penting ketika itu. Salman Al Farisy mengusulkan penggalian parit seputar Madinah –dan karena itu perang tersebut dinamakan Perang Khandak atau Perang Parit--; maksudnya agar laju tentara musuh dapat tertahan. Sementara itu, Nu’aim bin Mas’ud mengusulkan penggunaan apa yang di dalam perang modern disebut psywar, atau perang urat syaraf. Satu pertanyaan segera timbul di sekitar itu, “mengapa Rasulullah yang jarak doanya begitu dekat dengan Allah tetap memerlukan perundingan tentang strategi dan taktik guna menghadapi tentara musuh?” Padahal kenyataan menunjukkan bahwa sebagian umat justru merasa tidak terlalu penting merumuskan strategi dan taktik atau segala macam bentuk perencanaan, sebab toh, menurut mereka, “kita kan sedang menegakkan agama Allah, pasti Allah akan menolong kita”. Rupa-rupanya hubungan yang signifikan antara perencanaan dan keberhasilan usaha adalah sunatullah, karena itu Rasulullah, Muhammad, s.a.w., memilih alur tersebut. Sebab dakwah bukanlah sesuatu yang terjadi di ruang hampa, yang kosong dari manusia dan permasalahannya. _________________________ *) **)
Disampaikan pada Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah Satu Abad, Kampus Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, 19 Desember 2009. Penulis adalah Ketua Majerlis Pemberdayaan Masyarakat Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Ketua Dewan Direktur Laboratorium Dakwah Yayasan Shalahuddin Yogyakarta; Pemimpin Redaksi Jurnal Media Inovasi; Staf Pengajar FAI UMY.
1
Makalah sederhana ini berangkat dari asumsi yang dibangun menyusul kisah di balik Perang Khandak tersebut, terutama dengan mempertimbangkan bahwa dakwah itu berada di tengah-tengah manusia dan permasalahannya. Makalah ini diawali dengan penjelasan singkat tentang kerangka konseptual dakwah dalam pandangan penulis yang awam, sebagai basis teoritis bagi perumusan model gerakan dakwah di tengah kemelaratan rakyat banyak. Pada bagian ini coba pula dijelaskan secara singkat bagaimana pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan, meletakkan gerakan dakwahnya persis di tengajh-tengah persoalan manusia dan kemanusiaan di awal Abad XX. Bagian berikutnya diarahkan untuk membicarakan realitas kekinian masyarakat Indonesia saat ini di tengah himpitan globalisasi ekonomi. Uraian selanjutnya masuk pada pokok soal, yaitu bagaimana model gerakan dakwah yang antisipatif terhadap realitas masyarakat sekaligus membantu memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan, khususnya dalam kerangka pemberdayaan masyarakat. Sekali lagi, karena keawaman penulis makalah ini jauh dari memadai sebagai sebuah tawaran model gerakan dakwah yang antisipatif dan solutif. MISI KERAHMATAN Menyampaikan kebenaran Ilahi kepada setiap manusia adalah suatu tugas 'kerisalahan' tiap mu'min sepanjang hayatnya. Tugas ini tiada lain adalah implementasi dari keterkaitan tiap individu muslim dengan "khaira ummah", yakni dalam bentuk "ta'muruna bil ma'ruf wa tanhauna 'anil munkar wa tu'minuna billah" (Q. S.3: 110). Keterkaitan individu dengan khaira ummah yang bermakna kolektif memberikan isyarat tentang suatu perspektif gerak dalam menyampaikan kebenaran Ilahi kepada tiap manusia. Perspektif dimaksud meliputi dua hal penting, yakni: a) gerak individual, dan b) gerak kolektif. Perspektif ini memperlihatkan bahwa suatu sistem gerak dakwah yang proporsional terletak secara utuh pada dua dataran gerak sebagaimana disebutkan di atas. Pada dataran individual, Allah memberikan kepada si mu'min kekuatan "iman", "akal", "ilmu", serta "keterampilan" yang diperolehnya sebagai hasil belajar; sementara pada dataran kolektif, kekuatan muncul ketika ada usaha optimalisasi kegiatan yang tidak saja melimputi aktivitas 'penyiaran', tetapi meliputi juga 'penelitian', 'perencanaan', 'pengorganisasian', 'pengkajian', 'pengembangan', dan ’pemecahan masalah’. Dakwah dalam perspektif di atas dipandang sebagai aktualisasi iman (teologis) yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman di bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap dan bertindak dari manusia pada dataran kenyataan individual dan sosio-kultural guna mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan menggunakan cara tertentu (Amrullah Ahmad, 1982). Seperti demikian, maka dakwah sesungguhnya merupakan paduan dinamis antara "proses normatif" dan "proses teknis". Paduan ini menghadirkan suatu pandangan yang utuh tentang dakwah; proses normatif mencuatkan sinyal tentang adanya daerah nilai tertentu yang di atasnya proses teknis itu berlangsung, sekaligus memberikan juga batasan-batasan 'absolut' tentang nilai kebenaran yang diharapkan membimbing "insan dakwah"; sementara proses teknis mengisyaratkan adanya suatu perubahan dari suatu situasi ke situasi lainnya yang lebih baik, sebagai akibat dari tindakan berencana yang mengggerakkan semua fungsi masukan secara fungsional di dalam dinamika konversi. Rentangan pemahaman dari kedua proses serta pengertian dasar yang diungkapkan di atas, memperlihatkan dengan jelas bahwa dakwah, di samping digerakkan oleh nilai Ilahiyah
2
(iman) yang pasti, juga berhubungan dengan kenyataan objektif maupun kondisi subjektif manusia. Sebagai proses teknis, dakwah bertumpu pada pemahaman kaitan manusia dengan lingkungannya, sekaligus pemahaman terhadap manusia dan lingkungannya itu sendiri. Kaitannya dengan proses normatif amatlah jelas, yakni bahwa isyarat Ilahiyah tentang manusia dan lingkungannya menjadi petunjuk prinsipal dalam rangka memahami manusia dan lingkungannya sebagai suatu proses teknis. Oleh karenanya, gerakan dakwah secara umum semestinya dimulai dengan pemahaman nilai Islam itu sendiri, sekaligus pemahaman terhadap manusia serta lingkungannya yang merupakan "wilayah dakwah". Termasuk dalam hal ini adalah pemahaman terhadap persoalan dasar yang dihadapi manusia, untuk kemudian mengikhtiarkan solusi alternative guna memecahkan masalah tersebut. Dalam istilah yang lebih spesifik, M. Natsir di dalam "Fiqhud Dakwah" (M. Natsir, 1983) menyebutnya sebagai "tafaqquh fid-din" dan "tafaqquh fin-nas". Memahami manusia dalam konteks ini tentu saja bukanlah sebatas pemahaman untuk sekadar mengetahui, atau dimensinya hanyalah kognitif semata. Akan tetapi pemahaman manusia dalam konteks ini adalah dalam rangka memecahkan masalah-masalah yang dihadapi manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari misi dakwah. Secara menarik, pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan, masuk dalam gerakan dakwah dengan keutuhan pandangan seperti ini. Sebagaimana diketahui, realitas masyarakat Indonesia di awal Abad XX ketika K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, dilihat dari sisi kehidupan sosial ekonomi, pada dasarnya tidak terlalu berbeda dengan realitas masyarakat Indonesia di awal Abad XXI saat ini. Kemiskinan menjadi persoalan tersendiri yang dihadapi masyarakat di ujung abad tersebut. Sebagian rakyat Indonesia memang hampir miskin, miskin, dan bahkan sangat miskin. Latar realitas masyarakat, setuju atau tidak, telah memberi pengaruh yang sangat signifikan terhadap gerak Persyarikatan Muhammadiyah yang baru didirikan itu. Lihat saja bagaimana kajian berulang yang dilakukan Kyai Dahlan terhadap surat alMa’un. Pada dasarnya kajian berulang ini menjadi pertanda bagaimana keberpihakan kepada kaum miskin dan terpinggirkan itu menjadi kuat karena memiliki landasan teologis yang jelas. Apalagi secara praksis Kyai Dahlan pun meletakkan dasar pengembangan yang sangat kuat sosoknya sebagaimana tercermin pada penamaan bagi salah satu majelis dan amal usaha di bidang sosial dan kesehatan, yaitu ”Majelis Penolong Kesengsaraan Oemoem” disingkat PKO. Harap diperhatikan, PKO adalah salah satu dari sedikit majelis yang dibentuk Kyai Dahlan di awal periode. Majelis Tarjih, misalnya, dalam catatan sejarah Muhammadiyah, datang belakangan. REALITAS KEKINIAN KITA John dalam bukunya yang terkenal, ”Confessions of An Economic Hit Man”, dengan gamblang melakukan “pengakuan dosa”. Secara menarik Perkins membongkar hasrat melakukan penghisapan sumber-sumber ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan lintas negara (TNCs). Korporasi global memanfaatkan dukungan politik elit di negara-negara kaya dan lembaga-lembaga kreditor internasional menjadikan utang luar negeri sebagai instrument utama untuk mengakumulasi kekayaan dan menghisap sumber-sumber penghidupan rakyat. Kini kekuasaan TNCs telah menaklukkan kekuatan ekonomi negara yang sesungguhnya diperuntukkan bagi menegakkan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. Tentu saja kekuasaan TNCs yang besar seperti itu dimungkinkan terjadi karena ada perselingkuhan dengan elite nasional, kaum ‘komprador’. Perselingkuhan ini berakibat fatal bagi rakyat banyak. Dapat ditemukan paling sedikit dua akibat langsung yang dialami masyarakat. 3
Pertama, di dalam pabrik-pabrik besar pemeras keringat, para buruh dengan upah yang tidak layak dipaksa bekerja ekstra keras. Perkins dalam buku keduanya, “Membongkar Kejahatan Jaringan Internasional” (Terjemahan Wawan Eko Yulianto & Meda Satrio, 2009) menulis: “Barangkali tak ada kaitan antara kemiskinan, pelanggaran korporat, dan konsumen AS yang lebih jelas ketimbang di pabrik-pabrik pemeras keringat di Indonesia (seperti juga yang terdapat di banyak negara lain). Beberapa korporasi besar berkaliber internasional, didukung kebijakan Bank Dunia yang mendorong privatisasi dan keringanan pajak untuk perusahaan-perusahaan asing, mempekerjakan sendiri atau melimpahkan proyek ke pabrik-pabrik yang mengupah buruh terlalu rendah. Dan seandainya mereka protes, mereka akan dihajar atau dibunuh. Para buruh itu hidup penuh penderitaan agar barang bisa dijual dengan harga rendah di toko-toko Negara Maju”. Kedua, kegiatan industri, terutama di sektor perkebunan, pertanian, dan pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan raksasa dan transnasional menjadi salah satu penyebab pemanasan global dan penghancurahan lahan-lahan produktif masyarakat. Belum lagi akibat langsung yang ditimbulkan karena perubahan iklim yang drastis seperti kekeringan yang berkepanjangan, banjir yang terjadi hampir setiap tahun, longsor, badai. Semuanya menyengsarakan rakyat yang terus menerus mengalami proses pemiskinan. Dalam bidang pertanian, misalnya, dapat ditemukan bagaimana petani harus berhadapan dengan jaringan pabrik pupuk yang merambah sampai ke desa-desa. Padahal penggunaan pupuk kimia yang berlebihan berakibat fatal bagi kondisi tanah pertanian. Belum lagi tercemarnya air tanah karena penggunaan pestisida yang gila-gilaan. Sementara itu, pada ketika kesengsaraan buruh dan petani di negara-negara Dunia Ketiga sangat sulit diatasi, negara-negara industri maju seperti Amerika dan negara-negara Uni Eropa mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kendatipun belakangan ada krisis keuangan yang menerpa Amerika. Pertumbuhan ini, ditambah dengan laju industrialisasi yang secara rakus menyerap kebutuhan energi dalam jumlah yang sangat besar dan fantastis, ditingkahi dengan pola hidup boros energi masyarakat di Dunia Pertama, menjadi pemicu utama Global Warming saat ini. Dampak buruk dari globalisme atau globalisasi ekonomi yang didesakkan dari atas, dari pusat ke pinggiran (periferi), mulai memperlihatkan sosoknya sebagai ancaman baru bagi perkembangan masyarakat, khususnya di negara-negara Dunia Ketiga. Globalisme telah menyebabkan sulitnya posisi mereka yang lemah, baik secara institusional maupun secara individual. Secara institusional, terjadi kesenjanagan yang luar biasa antara negara-negara kaya di belahan Utara dengan negara-negara miskin di belahan Selatan. Globalisasi hutang, misalnya, menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan negara-negara miskin sulit untuk secara cepat membangun dirinya. Sementara itu, secara individual, kesenjangan kaya miskin telah berubah menjadi bencana bagi dunia saat ini. Privatisasi yang dipaksakan dengan dalih ”pasar bebas”, telah mendorong negara-negara miskin meminimalkan peran negara dalam penyediaan fasilitas pendidikan, pangan, papan, air bersih, lingkungan yang sehat, dan pelayanan publik yang membutuhkan dana besar. Akibatnya tentu mudah ditebak, semakin melebarnya kesenjangan kaya-miskin. Untuk kasus Indonesia, kesenjangan pendidikan, misalnya, telah muncul sebagai salah satu masalah sosial yang paling krusial saat ini, akan tetapi oleh sementara kalangan elit, baik politik, birokrasi, maupun ilmuan, justru disepelekan. Upaya ’privatisasi’ perguruan tinggi
4
negeri secara bertahap dalam bentuk BHMN dan disusul BHP untuk semua lembaga pendidikan, misalnya, akan sangat memukul kalangan tak berpunya yang selama ini mengandalkan kelanjutan pendidikan mereka pada perguruan tinggi negeri yang bermutu, tetapi dengan pungutan yang relatif murah. Dalam konteks ini menjadi menarik mengikuti perubahan kebijaksanaan pendidikan dalam hal perlakuan terhadap rakyat miskin. Untuk tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah, pemerintah memberlakukan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dimaksudkan untuk meminimalisasi beban siswa dalam hal pembayaran pungutan. Tindakan ini tentu sangat radikal jika dibandingkan dengan upaya ’privatisasi’ perguruan tinggi sebagaimana disinggung di atas, serta kecenderungan sebagaian lembaga pendidikan menggunakan jalan pintas dengan menaikkan pungutan pendidikan. Padahal penggunaan jalan pintas dengan menaikkan pungutan pendidikan adalah tindakan anti-kemanusiaan paling parah dalam sejarah pendidikan di tanah air belakangan ini. Sebab tindakan itu jelas-jelas tercerabut dari akar kemasyarakatannya, dan sama sekali menunjukkan bahwa para penentu kebijaksanaan pendidikan sekolah pura-pura tidak tahu terhadap realitas kehidupan rakyat banyak. Ironisnya, ketika pemerintah tengah menyadari betapa pentingnya mempertimbangkan faktor kesenjangan pendidikan, justru sebagian pemikir dan praktisi pendidikan malah tambah menjadi-jadi bergerak dalam alur “ideologi sekolah mahal” [1]. Bahkan sebagian birokrat pun tanpa malu-malu menjadi juru bicara ”ideologi sekolah mahal tersebut [2]. Menjadi menarik untuk dilihat adalah apa yang dipertontonkan oleh Departemen Pendidikan Nasional selama kurang lebih tiga bulan berturut di media elektronik kita. Hampir tiada hari tanpa ”iklan sekolah gratis” di televisi. Padahal kalau dikalkulasi, berapa anak sudah dapat tertolong dengan biaya iklan televisi yang sedemikian bertubi-tubi?. Belum lagi kenyataan saat ini tidak sesuai dengan slogan yang diiklankan secara bertubi-tubi itu. Sekolah negeri tetap memungut biaya dari orang tua dengan berbagai alasan. Penulis terenyuh mendengar komentar seorang tetangga yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Putera ibu itu kebetulan baru masuk di salah satu SMP Negeri. Beberapa hari lalu sang ibu mengikuti rapat sekolah dengan orang tua murid. Pulangnya sanga ibu berkomentar, ”Katanya sekolah gratis, tetapi hari ini kok dipungut uang muka di atas satu juta rupiah”. Ketika itu penulis beri komentar balik, ”kan sudah selesai pemilihan presiden”. Tetapi kemiskinan tidak hanya dapat dilihat jejaknya dalam dunia pendidikan kita. Sebab kemiskinan melanda semua sektor kehidupan masyarakat kecil: buruh, tani, nelayan, usaha kecil dan mikro, dan lain-lain. Anehnya di kalangan elite justru terjadi perdebatan tentang kriteria dan jumlah orang miskin. Lebih aneh lagi, kemiskinan justru dimanfaatkan sebagai isu utama untuk menyerang lawan politik. _______________________ [1] Penulis tidak menemukan istilah yang tepat untuk menunjukkan dipegangnya prinsip bahwa sekolah bermutu itu mahal untuk membenarkan tindakan menaikkan pungutan pendidikan tanpa memperhatikan nasib rakyat miskin. Karena itu penulis menggunakan istilah “ideologi sekolah mahal”. Alastair C. MacIntyre dalam pandangannya tentang ideologi, misalnya, menyebut ideologi tidak hanya dipercayai oleh anggota-anggota kelompok sosial tertentu, melainkan diyakini sedemikian rupa sehingga ia setidak-tidaknya merumuskan sebagian keberadaan (eksistensi) sosial mereka........ . (dalam O’neil, William F, halaman 32). [2] Salah seorang petinggi pendidikan, misalnya, menjadi salah seorang pejabat yang paling nyaring meneriakkan ketidaksetujuannya terhadap ide sekolah gratis, padahal arah umum kebijaksanaan pemerintah justru tengah menuju ke realisasi ide yang humanis itu.
5
Di sektor pertanian, penyempitan lahan tidak diimbangi dengan intensifikasi yang dapat menaikkan kuantitas dan kualitas produksi. Usaha-usaha ke arah pertanian terintegrasi pun belum cukup memadai. Petani seolah-olah dibiarkan sendirian mengatasi persoalannya. Padahal persoalan petani sebagian besar diakibatkan regulasi di bidang pertanian yang belum memadai. Belum lagi kenyataan bahwa menjelang panen raya, pemerintah selalu mengimpor beras. Di sektor perikanan tangkap, perolehan tangkapan ikan cenderung menurun. Untuk wilayah tangkapan luas seperti Sumatera, Sulawesi, dan Maluku, penurunan ini terutama disebabkan beroperasinya kapal trawl, yang sebagian besar milik orang asing, yang merebut lahan para nelayan lokal. Di sektor ini pun terasa ada yang aneh, sebab kapal trawl sepertinya dilindungi pemerintah. Sementara itu, kebijaksanaan pemerintah yang menaikkan harga BBM, khususnya solar dan mintak tanah, jelas sangat memukul para nelayan tangkap. Di sektor usaha kecil dan mikro, hak rakyat sering dirampas dengan kekerasan. Hal ini dialami secara langsung oleh pedagang pasar dalam kasus renovasi pasar, penarik becak yang sering digaruk petugas, pedagang kaki lima yang sering dirazia secara kasar, serta pelaku ekonomi rakyat lainnya. Di Indonesia, "ekonomi pasar" yang berjalan ternyata tidak efisien dan tidak adil. Hal ini karena regulasi dan institusi yang mengatur regulasi justru mengakibatkan ekonomi biaya tinggi akibat adanya berbagai praktik pungutan. Ekonomi Indonesia didominasi oleh konglomerasi dan usaha besar ketimbang usaha skala kecil apalagi mikro. Kesempatan ekonomi dan aset produksi dikuasai oleh kroni sang penguasa dan elit politik ketimbang rakyat Berbagai contoh tadi menunjukkan bahwa kemiskinan itu lebih banyak bersumber dari kondisi eksternal daripada masalah internal si miskin. Kemiskinan saat ini diakibatkan oleh hubungan yang timpang dalam tatanan ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Dalam relasi yang timpang itu, kelompok masyarakat yang kurang memiliki akses tidak memperoleh penghormatan atau perlindungan atas hak-hak dasarnya. Akibatnya mereka semakin terjebak dalam proses pemiskinan. Lagi-lagi yang menjadi korban dari cara berpikir ”pasar bebas” seperti ini adalah masyarakat miskin dan terpinggirkan, yang secara individual maupun istitusional berada dalam posisi tidak berdaya karena lemahnya daya saing dan posisi tawar mereka. Masyarakat dipaksa harus menerima begitu saja berbagai kebijaksanaan yang anti-kemanusiaan, sementara institusi politik yang secara teoritis harusnya bertugas menyuarakan kehendak mereka justru tengah berbuat sebaliknya. Alih-alih menyatakan kehendak rakyat serta memperjuangkan aspirasinya, para wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat banyak justru tenggelam dalam upaya untuk memperkaya diri sendiri. Sampai di sini kita sebenarnya dapat melihat secara jelas dampak dari globalisasi, langsung atau tidak langsung, terhadap kehidupan rakyat banyak. Paling tidak dapat diidentifikasi empat kondisi yang memperlihatkan ketidakberdayaan masyarakat saat ini. Pertama, lemahnya daya saing; rendahnya tingkat pendidikan [3], lemahnya ketrampilan, terbatasnya permodalan, timpangnya struktur sosial-ekonomi, dan sebagainya, memperlemah daya saing masyarakat, khususnya kaum miskin. ________________________ [3] Secara resiprokal tingkat pendidikan berhubungan dengan tingkat sosial ekonomi. Trend ’privatisasi’ pendidikan saat ini menutup peluang bagi si miskin untuk mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tetapi keadaan sebaliknya pun terjadi. Karena rendahnya tingkat pendidikan, peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak juga sempit.
6
Kedua, lemahnya posisi tawar; kemampuan rakyat untuk menentukan nasib serta kepentingan sendiri, termasuk yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam, sangat lemah. Rakyat seakan-akan harus ikut saja apa yang ditentukan dari atas. Kasus-kasus penyerobotan tanah rakyat untuk pembangunan industri, misalnya, adalah contoh tentang lemahnya posisi tawar masyarakat. Ketiga, lemah atau bahkan tidak adanya kelembagaan masyarakat yang dapat secara langsung mengartikulasi kehendak mereka; secara teoritis parlemen dan partai politik memang dibentuk untuk itu, akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa kedua institusi penting itu jauh dari harapan [4]. Sementara kelembagaan masyarakat yang ada masih sangat lemah untuk keperluan itu. Hal ini membawa akibat bagi lemahnya aksesibilitas rakyat terhadap proses pengambilan keputusan dan terhadap berbagai bentuk regulasi yang menyangkut harkat hidup rakyat banyak. Keempat, lemahnya jaringan antar-kelembagaan masyarakat; ketiadaan jaringan yang efektif semakin memperlemah kelembagaan masyarakat yang pada dasarnya juga lemah. Akibatnya ialah daya desak dari kelembagaan masyarakat menjadi sangat kurang [5]. KATA KUNCI PEMECAHAN MASALAH: PEMBERDAYAAN Mengapa ini semua kita percakapkan dalam kaitannya dengan gerakan dakwah? Sebabnya tidak lain adalah karena ini memang realitas yang dihadapi masyarakat kita. Jika dakwah hanya kita reduksi menjadi sekadar ”tabligh”, apalagi domainnya pun kita sempitkan menjadi hanya sekadar ”kognitif”, maka pembicaraan kita cukupkan sampai di sini saja. Dengan demikian realitas kekinian hanya kita pandang sebagai tontonan. Tapi akibat jauhnya ialah gerakan dakwah akan juga dipandang sebagai sekadar hiburan atau klangenan, bukan suatu upaya besar untuk melakukan perubahan masyarakat menuju kemajuan. Dalam konteks pembicaraan ini dakwah ditempatkan secara penuh di tengah-tengah manusia dan permasalahannya. Oleh karena itu, pemecahan masalah-masalah manusia dan kemanusiaan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari gerakan dakwah. Secara operasional tentu saja diperlukan pembagian tugas dalam mengatasi permasalahan besar yang dihadapi masyarakat saat ini. Akan tetapi, keseluruhan gerak yang terdistribusi ke dalam institusi spesifik tersebut haruslah terumuskan dalam satu kesatuan strategi dakwah. Dapat saja institusi itu berupa Majelis Tabligh, Majelis Ekonomi, Majelis Pemberdayaan Masyarakat, dan sebagainya, akan tetapi semua gerak dari institusi-institusi tersebut adalah dakwah. Dari dataran berpikir inilah kita masuk pada pembicaraan tentang kata kunci pemecahan masalah, yaitu pemberdayaan masyarakat. Perlu disadari, pendekatan baru terhadap persoalan kemiskinan menuntut adanya fokus yang jelas pada masalah kemiskinan struktural. Penanggu________________________ [4] Sebagian partai politik yang telah mengobral janji untuk menyuarakan aspirasi masyarakat cenderung berubah menjadi ’calo’ politik. Bahkan lebih dari itu, sebagian partai politik berubah menjadi ’biro perjalanan’, yang dengan bayaran tertentu dapat dipakai sebagai kendaraan politik oleh calon gubernur, bupati, atau walikota. [5] Kita dikejutkan dengan jaringan antarindividual yang dibangun karena solidaritas masyarakat melihat ketidakadilan yang terjadi di depan mata. Dua peristiwa penting belakangan ini memperlihatkan hal itu, yaitu fenomena ”parlemen online” yang mampu menjaring lebih dari satu juga facebookers pendukung Bibit-Chandra dalam waktu yang relatif singkat, dan ratusan juta rupiah koin yang diserahkan berbagai lapiran masyarakat yang simpati terhadap Prita Mulyasari dalam waktu yang juga relatif singkat. Hal ini memberi harapan bahwa kita masih memiliki solidaritas sosial yang kuat, dan karena itu masih sangat terbuka peluang untuk membangun jaringan antar-kelembagaan masyarakat.
7
langan kemiskinan struktural berarti menangani faktor-faktor sistemis dalam masyarakat yang secara konsisten mengakibatkan marjinalisasi kelompok-kelompok tertentu dari akses terhadap sumber daya dan manfaatnya. Artinya, agenda penanggulangan kemiskinan pada hakikatnya adalah agenda pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui pengorganisasian masyarakat, yaitu proses konsolidasi kekuatan masyarakat dengan melibatkan konstituen sebanyak mungkin. Hal ini dilakukan melalui proses menemukan penyelesaian-penyelesaian masalah yang mungkin dilakukan, menyusun sasaran yang harus dicapai dan membangun sebuah institusi yang secara demokratis diawasi oleh seluruh konstituen. Pada gilirannya institusi ini diharapkan akan mampu mengembangkan kapasitas masyarakat untuk menangani masalahnya dan bisa menampung semua keinginan dan kekuatan konstituen yang ada. Tujuan pengorganisasian masyarakat adalah mewujudkan suatu perubahan sosial yang transformatif dengan berangkat dari apa yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan. Dalam bidang pertanian, misalnya, arah utamanya bukanlah ketahanan pangan tetapi kedaulatan pangan, di mana petani dapat memenuhi sendiri kebutuhan pangannya, menentukan sendiri apa yang tepat untuk dilakukan, tentu saja dengan dampingan dari kekuatan sosial maupun pemerintah yang peduli.. Sebab kalau arahnya hanya ketahanan pangan, pemerintah cukup melakukan impor untuk memenuhi stok pangan nasional, urusan selesai. Kembali ke apa yang disampaikan di bagian sebelumnya, keempat realitas yang menunjukkan ketidakberdayaan masyarakat sebagaimana secara sederhana diuraikan di atas, terjadi pada level individual maupun institusional. Sehingga upaya pemberdayaan pun pada dasarnya perlu dilakukan pada dua level tersebut. Pada level individual, diperlukan upaya sungguh-sungguh untuk meningkatkan daya saing dan posisi tawar masyarakat, khususnya kaum miskin kota maupun desa. Perbaikan pendidikan, kesehatan, pendapatan, dan berbagai sarana dan prasarana kehidupan menjadi penting untuk terus diikhtiarkan. Dalam konteks ini, penyadaran masyarakat tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara menjadi sangat penting. Rakyat harus paham hak dan kewajibannya, sehingga mereka tidak mudah dipermainkan. Selain itu, pengembangan pendidikan alternatif menjadi penting untuk penguatan individu, seperti kelompok belajar, sekolah ’rakitan’, rumah singgah, dan sebagainya. Pada level institusional, pengembangan dan penguatan kelembagaan masyarakat menjadi penting untuk disegerakan. Penguatan kelembagaan masyarakat memberi peluang besar bagi penguatan posisi tawar masyarakat, sehingga rakyat miskin dapat mempunyai akses langsung pada proses pengambilan keputusan dan berbagai bentuk regulasi yang menyangkut harkat hidup mereka. Secara teknis-operasional, langkah penguatan kelembagaan masyarakat dapat berupa pembentukan kelompok-kelompok masyarakat, baik dalam unit-unit kecil, maupun dalam unit besar; advokasi kebijakan publik yang tidak sensitif dan berpihak pada rakyat banyak; mengupayakan berbagai forum bersama untuk mendiskusikan berbagai hal, termasuk menyusunan rencana strategis guna menolong diri sendiri. Selain itu, membangun jaringan antarkelompok menjadi sangat penting, sehingga daya desak rakyat menjadi semakin kuat. Dialog intensif antar-kelompok pun menjadi penting untuk terus diupayakan, sehingga memungkin adanya sharing ide atau gagasan secara kontinyu. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan soliditas antar-kelompok.
8
BAGAIMANA MUHAMMADIYAH? Muhammadiyah memiliki gagasan spesifik untuk keperluan pemberdayaan ini. Landasan normatif bagi pengembangan paradigma geraknya adalah Al-Ma’un, yang memberi isyarat kuat bagi keberpihakan kepada kaum miskin dan termarjinalkan. Basis gerakan secara institusional adalah Dakwah Jama’ah dan Ranting Muhammadiyah, serta substansi gerakannya adalah Penolong Kesengsaraan Oemoem. Kendatipun implementasinya di lapangan tidak semulus yang dibayangkan, gagasan spesifik ini masih terus dipertahankan, bahkan senantiasa menjadi salah satu isu utama di setiap Muktamar Muhammadiyah. Khusus pasca Muktamar Muhammadiyah ke 45, dalam rangka revitalisasi organisasi jelang satu abad Muhammadiyah, dibentuk majelis khusus untuk perkara pemberdayaan masyarakat ini, dengan nama Majelis Pemberdayaan Masyarakat. Gagasan spesifik ini kemudian coba dikembangkan, dengan sepenuhnya menggunakan pendekatan ”ekologi perkembangan manusia dan lingkungannya”, yang menyatakan bahwa intervensi sosial harus dapat menyentuh seluruh level relasi antar-individu dan lingkungannya”. Skema berikut menjelaskan pendekatan tersebut. LEVEL MAKRO (Struktur Sosial, Sistem Politik, Ideologi, Kebijakan Pemerintah, Lingkungan Gobal) LEVEL MESO (Lingkungan dan Komunitas; Norma Sosial, Nilai-nilai, Kultur) LEVEL MIKRO (Individual; sistem nilai, sikap, kepribadian, pengetahuan dan keterampilan)
Sistem yang akomodatif dan responsif terhadap kebutuhan publik; fullparticipation of community
Membantu lingkungan agar dapat mengakomodasi kebutuhan individu; social networking
Self-Awareness; memfasilitasi pengembangan potensi individual dan memfasilitasi adaptasi diri terhadap lingkungan
Dengan demikian, upaya pemberdayaan masyarakat seyogyanya menyentuh tiga level sekaligus, yaitu individual, kultural, dan struktural. Berdasarkan pendekatan itu MPM menetapkan empat bidang garap utama yang mendapat prioritas. Berikut dijelaskan secara singkat empat bidang garap tersebut 1. Penyadaran Masyarakat tentang Hak dan Kewajibannya Sebagai Warga Negara. Program kerja bidang garap ini diarahkan kepada dua hal, yang menjadi prioritas utama, sebagai berikut : 1) Pendidikan Politik bagi Masyarakat dengan prioritas pada Pendidikan Pemilih dalam Pemilu Legislatif maupun Eksekutif. 2) Pengorganisasian kelompok masyarakat untuk mengawasi jalannya Pemilu, agar timbul kesadaran tentang pentingnya Pemilu yang bersih, jujur, dan terbuka.
9
2. Pengembangan kebutuhan dasar dan peningkatan pendapatan masyarakat (yang miskin dan termarjinalisasi). Program kerja bidang garap ini diarahkan kepada empat hal, yang menjadi prioritas utama, sebagai berikut. a. Peningkatan pendapatan Petani, Nelayan, dan Peternak, dalam satu kesatuan program yang disebut “Pertanian Terpadu” (integrated farming). Program dikembangkan melalui empat tahapan uatama, yaitu: 1) Perbaikan budidaya dan pengorganisasian petani, nelayan, peternak dengan pendekatan Dakwah Jama’ah. 2) Pengembangan model Pertanian Terpadu. 3) Fasilitasi pemasaran produk. 4) Penganekaragaman produk olahan hasil pertanian, perikanan, dan peternakan. b. Fasilitasi pemberdayaan masyarakat miskin kota, dengan mengembangkan program percontohan. c. Pendidikan kecakapan hidup (life skill). d. Pendidikan keaksaraan fungsional untuk masyarakat miskin perkotaan maupun pedesaan Secara lebih rinci pengembangan program peningkatan pendapatan petani, nelayan, peternak, ditunjukkan dalam skema di halaman berikut. Skema Pengembangan Program Pemberdayaan Petani, Nelayan, Peternak
PENGUATAN KAPASITAS DALAM:
PETANI YANG LEMAH
PENGEMBANGAN ORGANISASI
PASCA PRODUKSI
PENGEMBANGAN SARANA & PRASARANA
BUDIDAYA PERTANIAN, PETERNAKAN, PERIKANAN
PENDAMPINGAN, KONSULTASI, TRAINING, WORKSHOP
ADVOKASI KEBIJAKAN PUBLIK YANG MERUGIKAN PETANI, NELAYAN, PETERNAK
INFORMASI PASAR
PENGEMBANGAN KUBE
PERANTARA PASAR
GRIYA-NIAGA
PETANI YANG KUAT
AKSES PASAR DAN FASILITASI
10
3. Advokasi kebijakan, terutama yang berhubungan dengan kebijakan publik yang tidak akomodatif dan sensitif terhadap kebutuhan masyarakat luas maupun komunitaskomunitas yang termarjinalisasi. Program kerja bidang garap ini diarahkan kepada dua hal, yang menjadi prioritas utama, sebagai berikut. a. Memfasilitasi penyaluran aspirasi masyarakat miskin langsung kepada penentu kebijaksanaan/pengambil keputusan, dengan menggunakan pendekatan ”islah”. Prinsipnya: rakyat miskin tidak dikorbankan. b. Mengangkat isu-isu besar yang berhubungan dengan nasib rakyat banyak sehingga menjadi perbincangan khalayak. 4. Pengembangan pusat penanggulangan krisis (recovery center) di tingkat regional dan wilayah yang berfungsi sebagai respon cepat dan antisipasi terhadap problem-problem psikososial di masyarakat Program kerja bidang garap ini diarahkan kepada dua hal, yang menjadi prioritas utama, sebagai berikut. a. Secara organisatoris dalam lingkup persyarikatan Muhammadiyah, leading sector dari program ini adalah Majelis Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat. MPM mensupport kegiatan ini dengan masuk menjadi bagian dari lembaga yang dibentuk. b. Secara mandiri MPM mengembangkan program pemberdayaan dalam berbagai aktivitas untuk masyarakat korban bencana, setelah tindakan darurat dilakukan oleh lembaga yang dibentuk PP Muhammadiyah. Keempat jenis program ini menandai dinamika baru Persyarikatan Muhammadiyah memasuki usia satu abad, yaitu mulai masuknya Muhammadiyah langsung ke akar rumput untuk bersama masyarakat berupaya menolong diri mereka sendiri. Kalau selama ini Muhammadiyah terkesan sebagai gerakan elite kota maupun desa, maka dinamika menjelang usia satu abad memperlihatkan bahwa Muhammadiyah memilih juga ’jalan sunyi’, masuk langsung ke desa untuk bersama masyarakat ’melumuri tangan dengan lumpur’, atau bermandi keringat di ganggang sempit untuk bersama masyarakat miskin berbuat sesuatu bagi upaya menolong diri sendiri.. Beragam tanggapan memang muncul dari kalangan persyarikatan sendiri. Ada yang memberi komentar, ”Muhammadiyah kok ngurusi petani”. Ini perkara jalan berpikir. Sudah lama di kalangan Muhammadiyah berkembang cara berpikir bahwa Muhammadiyah itu ya sekolah, ya rumah sakit, ya panti asuhan. Karena itu, dinamika menjelang satu abad usia Muhammadiyah ini memerlukan suatu upaya serius juga untuk mengembangkan jalan berpikir sedemikian sehingga persoalan dasar rakyat juga menjadi bagian yang dipikirkan Muhammadiyah. KHATIMAH Persoalan penting di seputar pemberdayaan masyarakat adalah empati dan keberpihakan. Timbul pertanyaan, ”Masihkah tersisa barang sedikit empati kita kepada nasib rakyat banyak untuk kemudian berpihak pada mereka, ataukah tidak?” Sederhana saja. Sedangkan para pemimpin negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa saja masih berempati kepada nasib rakyat mereka --yang tentu jauh lebih makmur dari kita—. Mereka masih mempertimbangkan kondisi rakyatnya ketika menolak ide liberalisasi pendidikan dalam Sidang WTO, apatah lagi kita, yang sebagian rakyatnya hidup sengsara. Tapi soalnya memang itu: ”Masihkah tersisa barang sedikit empati dan keberpihakan kita pada nasib rakyat banyak?” Cuma itu!
11
DAFTAR BACAAN Amrullah Ahmad (ed). 1982. Dakwah dan Perubahan Sosial, Suatu Kerangka Pendekatan dan Permasalahan. Yogyakarta: PLP2M. ----------------- 2009. Format Strategi Dakwah yang Antisipatif terhadap Tekanan Neoliberalisme. Makalah dalam Pengajian I’tikaf Ramadhan Ke XXVII, Laboratorium Dakwah Yayasan Shalahuddin Yogyakarta. John Perkins (terjemahan Wawan Eko Yulianto & MedA Satrio). 2009. Membongkar Kejahatan Jaringan Internasional. Jakarta: PT. Ufuk Publishing House. M. Natsir. 1983. Fighud Da’wah. Jakarta: Media Da’wah. Said Tuhuleley. 2009. Muhammadiyah dan Pemberdayaan Masyarakat, Memposisikan Muhammadiyah di Tengah Kemelaratan Rakyat. Makalah dalam Pengajian Ramadhan PP Muhammadiyah Jakarta. T. Jacob. 2002. Menghadapi Tantangan Budaya Globalistis Seraya Membina Masyarakat Beradab. Orasi Budaya pada Seminar Menata Kapasitas Masyarakat Madani Laboratorium Dakwah Yayasan Shalahuddin Yogyakarta.
William F O’neil. 2001, Ideologi-ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
12