IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIMULASI SKALA LABORATORIUM Proses pengaplikasian seasoning pada produk tortilla chip yang diproduksi PT Garudafood adalah metode satu tahap yaitu menggunakan dry seasoning pada tumbler. Produk tortilla yang telah didinginkan setelah keluar dari penggorengan langsung dibawa ke tumbler yang berputar untuk dilakukan penaburan seasoning. Setelah itu produk dibawa dengan conveyor belt untuk ditampung dalam bak penampung. Dari bak penampung kemudian dibawa ke mesin weighing untuk dikemas sesuai ukuran yang ditentukan. Dari pengamatan untuk proses pengaplikasian seasoning pada produk tortilla ini diperoleh rontokan yang cukup banyak baik di belt conveyor dan di mesin weighing. Rontokan di belt conveyor berupa bubuk seasoning yang rontok sedangkan rontokan pada mesin weighing berupa bubuk yang lama kelamaan akan menempel pada mesin weighing, menimbulkan kerak sehingga harus dibersihkan, dan bahkan sampai mengganggu proses penimbangan bobot produk sesuai standar yang ada. Rontokan pada belt conveyor dan mesin weighing dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah ini:
A
B
Gambar 6. Rontokan seasoning pada belt conveyor (A) dan pada mesin weighing (B) Karena adanya rontokan ini maka perlu proses pembersihan yang membutuhkan waktu tidak sedikit sehingga produktivitas pabrik terganggu. Selain itu karena adanya tumpukan pada mesin weighing akan mengganggu
26
proses penimbangan, jumlah bobot yang ditimbang untuk dikemas akan berbeda dari standar yang berlaku. Hal ini menyebabkan kerugian pada konsumen (produk yang sampai ke konsumen lebih ringan bobotnya) dan juga pada perusahaan karena terlalu berat bobotnya. Permasalahan yang sedang dihadapi ini maka perlu dipecahkan dan dicari penyebabnya. Beberapa faktor yang diperkirakan berpengaruh adalah base produk, jenis seasoning, suhu aplikasi, dosis seasoning, teknik aplikasi, dan tahapan produksi. Dari beberapa faktor yang sudah disebutkan akhirnya lebih difokuskan pada faktor suhu aplikasi, dosis seasoning, teknik aplikasi, dan tahapan produksi. Penggunaan faktor suhu aplikasi dan dosis seasoning dijadikan faktor utama yang dimasukkan dalam rancangan percobaan. Setelah diperoleh rekomendasi kombinasi suhu dan dosis seasoning dengan kerontokan terkecil maka dilanjutkan tahap perlakuan teknik aplikasi, dalam hal ini yang dipilih adalah penyemprotan minyak goreng pada permukaan base dengan penentuan dosis minyak yang digunakan. Sedangkan untuk proses tahapan produksi diteliti dengan melakukan simulasi proses tahapan produksi pada skala laboratorium. Hasil skala laboratorium akan dibawa ke tahap yang lebih besar yaitu percobaan scale up yang dilakukan di pabrik untuk mendapatkan data lapang yang lebih sesuai dan hasil produksi yang mewakili. Pada hasil produksi akan dilakukan uji sensori, pengukuran tekstur dan pengukuran kadar lemak sebagai data pendukung hasil rekomendasi. Penentuan faktor suhu aplikasi dan dosis seasoning sebagai faktor utama berdasarkan asumsi dari peneliti sendiri. Asumsi yang digunakan adalah semakin tinggi suhu aplikasi maka kelengketan seasoning akan semakin baik dan setiap seasoning memiliki daya kelekatan maksimal yang berbeda, mungkin dosis yang sekarang terlalu tinggi sehingga perlu dikurangi. Akhirnya penentuan tingkat suhu yang digunakan menggunakan tiga level yaitu suhu produksi di pabrik (700C), suhu di bawah suhu produksi (500C) dan suhu di atas suhu produksi (900C). Penentuan dosis seasoning sendiri menggunakan tiga level yaitu level produksi 7% dan dua dosis yang lebih rendah yaitu 6% dan 5%.
27
Simulasi produksi yang dilakukan terdiri dari tiga tahap yaitu tahap tumbler, tahap siever, dan tahap weighing. Setiap melewati satu tahap simulasi maka produk yang ada ditimbang kembali bobot akhirnya untuk mengetahui jumlah rontokan pada tiap tahap simulasi. Tahap tumbler adalah simulasi produksi yang bertujuan meniru tahap pengaplikasian seasoning dalam hal ini adalah mencampur base dan seasoning dalam tumbler yang berputar. Untuk simulasi skala laboratorium peran tumbler diganti dengan kaleng dan untuk putarannya dilakukan secara manual sebanyak 30 putaran. Fungsi dari pemutaran ini adalah untuk meratakan seasoning yang ditaburkan sehingga dapat diperoleh produk tortilla chip dengan penampakan yang baik. Untuk pengaplikasian skala laboratorium diperlukan pemanasan pada base tortilla yang bertujuan menyesuaikan dengan kondisi pabrik karena base produk yang digunakan adalah base yang sudah digoreng. Jika tidak dipanaskan terlebih dahulu maka seasoning akan sulit untuk melekat pada permukaaan produk. Setelah proses pengaplikasian maka ditimbang kembali bobot akhir dari produk dan jumlah rontokan dapat diketahui dengan mengurangi bobot awal dengan bobot akhir. Untuk tahap siever dilakukan penggetaran pada base yang telah diaplikasikan seasoning dengan menggunakan alat Digital Sieve Shaker Retch AS 200 dan saringan 50 mesh dengan penggetaran amplitudo 70 selama satu menit.
Tahap ini dilakukan untuk mensimulasikan getaran yang diterima
produk selama di mesin weighing. Setelah penggetaran maka rontokan yang ada akan tertampung pada alas siever yang digunakan. Rontokan ini terjadi karena getaran yang ada pada alat membuat base ikut bergetar sehingga seasoning yang menempel menjadi terlepas dari permukaan. Jumlah rontokan pada alas siever dihitung sebagai jumlah rontokan pada tahap simulasi siever. Sedangkan tahap weighing bertujuan mensimulasikan produk yang telah siap untuk dikemas, pada simulasi ini di skala laboratorium telah dirancang alat sederhana berupa tiang kayu setinggi dua meter dengan tiga corong pada ketiga titik. Produk dijatuhkan sebanyak dua kali dari dua ketinggian berbeda yaitu 30cm dan 100 cm. Jumlah rontokan pada tahap ini dapat dihitung dengan mengurangi bobot awal dengan bobot akhir. Rontokan
28
yang terjadi pada tahap ini disebabkan base produk yang dijatuhkan berbenturan dengan permukaan corong yang keras sehingga seasoning yang ada terlepas bahkan ada beberapa base yang patah atau remuk. Secara lengkap alat-alat yang digunakan pada simulasi produksi skala laboratorium dapat dilihat pada Gambar 7 di bawah ini:
A
B
C
Gambar 7. Alat yang digunakan untuk simulasi tumbler (A), simulasi siever (B), dan simulasi weighing (C) untuk skala laboratorium. Dari hasil percobaaan skala laboratorium pada tahap pertama yaitu penentuan suhu dan dosis aplikasi seasoning didapatkan data persentase kerontokan dengan empat ulangan seperti yang terdapat pada Tabel 3. Untuk melihat hubungan antara dosis seasoning dan suhu aplikasi dapat dilihat pada Gambar 8 yang ada di bawah ini.
Tabel 3. Nilai persentase kerontokan pada produk tortilla chips SUHU
DOSIS 5%
DOSIS 6%
DOSIS 7%
U1
U2
U3
U4
U1
U2
U3
U4
U1
U2
U3
U4
50 C
1.33
1.51
1.70
1.72
2.18
1.56
1.92
1.95
1.53
2.09
2.37
2.46
70 C
1.45
1.48
1.80
1.81
1.44
1.86
1.98
2.14
1.22
1.80
1.85
2.03
90 C
1.55
1.75
2.10
2.17
1.77
2.28
2.31
3.07
2.33
2.39
2.85
2.92
29
Total kerontokan (%)
3 2.5 2 Suhu 50 C
1.5
Suhu 70 C 1
Suhu 90 C
0.5 0 5%
6%
7%
Dosis Seasoning (%) Gambar 8. Grafik Hubungan Dosis Seasoning dengan Suhu Aplikasi per 100 gram Produk Tortilla Chips Dari grafik di atas terlihat perlakuan suhu 500 C dengan dosis seasoning 5% memiliki kerontokan terkecil. Namun hasil tersebut tidak digunakan untuk tahap selanjutnya karena mempertimbangkan kegiatan scale up selanjutnya. Suhu aplikasi seasoning yang dilakukan di pabrik berkisar antara 60-700 C sehingga untuk tahap selanjutnya yang dipilih adalah suhu 700 C dengan dosis 6%. Selain itu untuk menganalisis tahap produksi apakah yang berpengaruh pada kerontokan seasoning maka jumlah rontokan pada tiap tahap simulasi dihitung dan persentasenya dapat dilihat pada Gambar 9 pada halaman selanjutnya. Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa baik pada suhu 500 C, 700 C, dan 900 C memiliki persentase perbandingan tahap simulasi yang hampir sama. Tahap simulasi produksi yang berpengaruh paling tinggi untuk kerontokan seasoning pada skala laboratorium adalah tahap weighing (38-51%) diikuti oleh tahap tumbler (26-39%) dan yang terakhir adalah tahap siever (17-26%). Tahap
simulasi
weighing
memberikan
rontokan
terbesar
disebabkan pada tahap ini sampel mengalami dua kali penjatuhan secara kontinu dari dua ketinggian berbeda yaitu dari jarak 50 cm dan yang kedua dari jarak 100 cm. Setiap kali jatuh, sampel akan mengalami mechanical stress yang cukup kuat yaitu benturan dengan corong plastik sehingga menyebabkan
30
seasoning mengalami kerontokan bahkan base tortilla chips menjadi remuk. Pengamatan secara visual memberikan hasil untuk penjatuhan pertama dengan ketinggian 50 cm, seasoning yang rontok tidak terlalu banyak dan tekstur base tidak remuk sedangkan untuk penjatuhan kedua dengan ketinggian 100 cm, seasoning banyak yang rontok dan beberapa base mengalami remuk.
A
Dosis 5% 27% 22%
B
TUMBLER SIEVER 17%
C
23%
WEIGHING
Dosis 5%
C
TUMBLER 39%
43%
WEIGHING
TUMBLER 34%
40%
SIEVER 26%
WEIGHING
C Dosis 7% TUMBLER 38%
39% SIEVER
SIEVER 20%
WEIGHING
WEIGHING
B Dosis 7%
TUMBLER 39%
41% SIEVER
18%
20%
WEIGHING
Dosis 6%
TUMBLER SIEVER
TUMBLER SIEVER
51%
50%
WEIGHING
Dosis 6% 26%
33% 50%
SIEVER 23%
B
30%
32%
45%
WEIGHING
Dosis 5%
A Dosis 7%
TUMBLER
TUMBLER SIEVER
51%
A Dosis 6%
23%
WEIGHING
Gambar 9. Persentase rontokan tiap tahap simulasi pada suhu 500 C (A), 700 C (B), dan 900 C (C) Sedangkan tahap simulasi tumbler berperan menghasilkan rontokan yang cukup besar yaitu 26-39% disebabkan pada tahap ini mengalami mechanical stress berupa putaran kaleng sehingga base akan mengalami sedikit benturan dengan kaleng tapi tidak terlalu parah karena pengadukan
31
seasoning dilakukan sesuai dengan alur kaleng. Faktor lain yang lebih berpengaruh adalah seasoning yang digunakan belum menempel sempurna pada permukaan base sehingga mudah rontok ketika kaleng diputar untuk mengaduk seasoning dengan base tortilla chips. Tahap simulasi siever sendiri menyumbangkan kerontokan antara 17-26% dan merupakan yang terkecil. Pada tahap ini sendiri sampel mengalami mechanical stress berupa penggetaran oleh alat Sieve Shaker Retch AS 200 untuk mensimulasikan getaran yang diterima produk sebelum pengemasan. Kerontokan yang tinggi pada produk tortilla chips ini selain diteliti tahap produksi yang mempengaruhi juga perlu diketahui rontokan yang dihasilkan ini apakah rontokan dari base atau rontokan dari seasoning. Untuk mengetahuinya maka pada tahap simulasi juga dilakukan untuk base tortilla chips yang tidak diaplikasikan seasoning sebagai kontrol. Sehingga untuk mengetahui kerontokan seasoning dapat dilakukan dengan mengurangi total kerontokan dengan kerontokan base tanpa seasoning (kontrol). Untuk mengetahui perbandingan persentase kerontokan pada produk tortilla chips dapat dilihat pada Gambar 10 berikut ini:
Persentase Kerontokan (%)
3 2.5 2 1.5 50 C
1
70 C
0.5
90 C
DOSIS 5%
DOSIS 6%
Seasoning
Kontrol
Total
Seasoning
Kontrol
Total
Seasoning
Kontrol
Total
0
DOSIS 7%
Gambar 10. Nilai rata-rata persentase kerontokan pada Produk Tortilla Chips Setelah mengetahui persentase kerontokan pada suhu aplikasi dan dosis seasoning maka kita juga perlu mengetahui perbandingan persentase 32
antara kerontokan yang disebabkan oleh kontrol (base) dan yang disebabkan oleh kerontokan seasoning. Hasil perbandingannya dapat dilihat pada Gambar 11 berikut ini:
Dosis Seasoning 5 %
Dosis Seasoning 6 %
19% 24%
15% 21% Rontokan Kontrol
43% 57% 76% 81%
47%
53%
Rontokan Seasoning
79% 85%
Rontokan Kontrol Rontokan Seasoning
Dosis Seasoning 7 % 13% 23% 43% 57%
Rontokan Kontrol Rontokan Seasoning
77% 87%
Keterangan : Lingkaran bagian dalam (suhu 500 C) Lingkaran bagian tengah (suhu 700 C) Lingkaran bagian luar (suhu 900 C) Gambar 11. Perbandingan persentase rontokan base dengan rontokan seasoning pada berbagai dosis seasoning Perbandingan persentase kerontokan base dengan kerontokan seasoning yang pada tiap dosis seasoning memberikan hasil yang hampir sama. Pada semua dosis seasoning terlihat bahwa rontokan yang dominan adalah rontokan seasoning dibandingkan rontokan base. Persentase kerontokan seasoning berkisar 43-87% sedangkan persentase kerontokan base berkisar 1357%. Hal lain yang menjadi perhatian adalah dengan meningkatnya suhu maka persentase kerontokan seasoning semakin besar, terlihat untuk dosis seasoning 5% terjadi peningkatan persentase seasoning dari 43% (500 C) menjadi 76% 33
(700 C) dan menjadi 81% (900 C). Penambahan persentase kerontokan seasoning ini juga terjadi pada dosis 6% dan 7%, penyebabnya yaitu terjadinya penurunan jumlah rontokan base (kontrol) dan jumlah seasoning yang rontok semakin banyak seiring naiknya suhu. Dengan mengetahui bahwa kerontokan yang terjadi didominsai oleh rontokan seasoning, maka perlu diketahui apakah dengan variasi faktor perlakuan suhu, dosis, dan interaksi suhu dengan dosis menghasilkan kerontokan yang berbeda nyata jumlahnya. Oleh karena itu maka data simulasi dengan empat ulangan perlu dianalisis secara statistika. Pada penelitian ini untuk tahap penentuan dosis seasoning dan suhu aplikasi menggunakan metode Anova (Analysis of Variance) dengan bantuan software Minitab 14. Hasil uji statistika Anova pada faktor suhu aplikasi, dosis seasoning, dan interaksi kedua faktor memberikan hasil seperti yang terdapat di bawah ini: Tabel 4. Analysis of Variance for kerontokan Faktor
DF
Seq SS
Adj SS
Adj MS
F value
P value
Suhu
2
2.2321
2.2321
1.1160
9.93
0.001
Dosis
2
1.2620
1.2620
0.6310
5.62
0.009
Suhu*Dosis
4
0.5829
0.5829
0.1457
1.30
0.296
Dari tabel di atas yang perlu diperhatikan adalah kolom P value, dengan tingkat kepercayaan 95% maka nilai α yang digunakan adalah 5 % (0.05). Jika P value lebih kecil dari 5% (0.05) maka tidak ada perbedaan signifikan dalam jumlah kerontokannya sehingga dapat disebut faktor tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap kerontokan seasoning. Pada faktor suhu dan dosis terlihat kolom P value memiliki nilai 0.001 dan 0.009 yang lebih kecil daripada α 5% (0.05) sehingga kedua faktor tersebut secara individual berpengaruh nyata terhadap jumlah total kerontokan seasoning pada tingkat kepercayaan 95%. Namun interaksi kedua faktor memiliki P value lebih besar dari 0.05 yaitu 0.296 sehingga dapat disebutkan interaksi antara kedua faktor tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah kerontokan seasoning.
34
Secara umum hubungan diantara kedua faktor secara individual dengan jumlah kerontokan seasoning dapat dilihat kecenderungannya pada Gambar 12 sedangkan hubungan interaksi kedua faktor dapat dilihat pada Gambar 13.
Kecenderungan Individual Faktor Suhu dan Dosis untuk Kerontokan suhu
dosis
Rata-Rata Kerontokan
2.3 2.2 2.1 2.0 1.9 1.8 1.7 50
70
90
5
6
7
Gambar 12. Grafik Kecenderungan Individual Faktor Suhu dan Dosis untuk Kerontokan Produk Tortilla Chips
Plot Interaksi Antara Faktor Suhu dan Dosis dengan Kerontokan 5
6
7 2.50 2.25
suhu
suhu 50 70 90
2.00 1.75 1.50
2.50 2.25
dosis 5 6 7
dosis
2.00 1.75 1.50 50
70
90
Gambar 13. Grafik Plot Interaksi Faktor Suhu dan Dosis dengan Kerontokan Produk Tortilla Chips
35
Pada Gambar 12 yang menjelaskan kecenderungan masing-masing faktor, terlihat untuk faktor suhu memiliki kecenderungan yang tidak linear, pada suhu 700C memiliki jumlah kerontokan terkecil sedangkan suhu 900 C memiliki kerontokan yang paling besar. Sedangkan untuk faktor dosis terlihat kecenderungan semakin tinggi dosis seasoning maka semakin tinggi pula jumlah kerontokan, sehingga dosis 5% memiliki kerontokan terkecil sedangkan dosis 7% memiliki kerontokan terbesar. Untuk gambaran yang lebih konkret tentang kerontokan seasoning perlu diteliti pula hubungan interaksi kedua faktor. Hal ini disebabkan kedua faktor tidak berdiri sendiri-sendiri tetapi saling mempengaruhi. Dari kedua gambar pada grafik didapatkan
hasil kerontokan terkecil didapatkan pada
perlakuan suhu aplikasi 500C dengan dosis 5% dan yang terbesar pada suhu aplikasi 900 C dengan dosis 7%. Hal yang menarik pada Gambar 13 (bagian kiri bawah) untuk suhu 700 C terlihat jumlah kerontokannya tidak berbeda terlalu jauh jumlah kerontokannya pada semua dosis seasoning. Berangkat dari hal inilah, perlakuan yang dipilih untuk diambil ke tahap penentuan oil spray adalah suhu 700 C dengan dosis 6%. Pemilihan dosis 6% disebabkan alasan ekonomi, yaitu ingin mencoba dosis yang lebih rendah daripada dosis yang digunakan di pabrik. Diharapkan dengan pengurangan dosis ini dapat menurunkan biaya produksi karena untuk oil spray perlu penambahan minyak sehingga dikhawatirkan biaya produksi untuk produk tortilla chips akan naik dan tidak mencapai batas ekonomi yang diinginkan. Tahap selanjutnya adalah penentuan dosis oil spray yang akan disemprotkan pada permukaan base tortilla chips. Dosis yang digunakan adalah tiga tingkat yaitu 0.3%, 0.4%, dan 0.5%. Diharapkan penggunaan oil spray ini bisa mengurangi jumlah rontokan seasoning sehingga produktivitas line tortilla chips dapat meningkat. Suhu aplikasi dan dosis seasoning yang digunakan adalah hasil percobaan sebelumnya yaitu suhu 700 C dengan dosis seasoning 6%. Alat yang digunakan untuk menyemprotkan minyak yaitu DeVILBISS Atomizer (DV 15) dengan minyak yang sebelumnya dipanaskan dalam oven hingga suhunya 700 C. Dari hasil percobaan dengan skala laboratorium didapatkan hasil seperti yang terdapat pada Gambar 14 di bawah ini:
36
2.00 1.80
1.73
1.60 1.40
1.38
1.20
1.32
1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 0.30%
0.40%
0.50%
Gambar 14. Grafik jumlah kerontokan pada aplikasi oil spray pada suhu 70 C dengan dosis seasoning 6%. Pada grafik di atas terlihat bahwa jumlah kerontokan pada dosis oil spray 0.3% sebesar 1.38%, dosis oil spray 0.4% sebesar 1.32%, dan dosis oil spray 0.5% sebesar 1.73%. Data yang ada menunjukkan dosis oil spray 0.4% memiliki kerontokan yang paling kecil sehingga dijadikan rekomendasi untuk tahap selanjutnya.
B. SCALE UP PRODUKSI Tahap selanjutnya adalah trial scale up yang dilakukan di pabrik PT Garudafood Putra Putri Jaya yang berada di Pati, Jawa Tengah dan dilakukan pada tanggal 9 - 11 Juni 2009. Pada tanggal 9 Juni 2009 dilakukan pengamatan mengenai keadaan line produksi dan meeting dengan semua pihak yang terlibat. Pada tanggal 10 Juni dilakukan trial untuk membandingkan jumlah rontokan antara metode aplikasi menggunakan oil spray dan kontrol. Sistem produksi yang digunakan pada bukan continuous line seperti biasanya tetapi menggunakan sistem batch disebabkan keterbatasan alat. Continuous line menggunakan tumbler sedangkan pada sistem batch menggunakan coating pan. Coating pan merupakan tumbler berputar namun produk yang dihasilkan harus dipindahkan secara manual untuk pengemasannya. Sedangkan pada tahap weighing tetap menggunakan mesin
37
weighing yang sama. Hasil trial scale up yang dilakukan untuk membandingkan pada tanggal 10 Juni dapat dilihat pada Tabel 5 berikut: Tabel 5. Hasil trial scale up perbandingan kontrol dengan aplikasi oil spray No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Parameter Berat Base (g) Berat Minyak terpakai (g) dosis 0.4% Suhu Minyak (0C) Berat Input Seasoning SNC-01 (g) dosis 6% Berat Rontokan Coating Pan (g) Berat Rontokan Container (g) Berat Rontokan di Bak Tuang (g) Berat Rontokan di Bucket (g) Berat Rontokan di Mesin Packing (g) Berat Total rontokan (g) Berat Produk LCOF (g) Persentase kerontokan basis produk LCOF Total seasoning - total rontokan (g) Persentase seasoning menempel
Kontrol 3 x105 1.8 x104 40 59 9.5 212.5 422.5 743.5 3.12 x105 0.24% 1.72 x104 95.87%
Oil Spray 3 x105 1.2 x103 70-800C 1.8 x104 40 42 9.5 123.5 523 738 3.18 x105 0.23% 1.85 x104 96.16%
Trial dilakukan pada 300 kg base produk tortilla chips dengan suhu aplikasi pada kisaran 60-700C dan dosis seasoning sebesar 6% (1.8 x104 g). Dosis minyak yang disemprotkan adalah 0.4% dengan suhu minyak dipertahankan pada kisaran 700C. Produk yang dihasilkan akan diuji sensori di laboratorium sensori Head Office dan laboratorium sensori pabrik Pati. Kerontokan diamati pada beberapa titik yaitu rontokan pada coating pan, rontokan pada container, rontokan pada bak tuang, rontokan pada bucket, dan rontokan pada mesin packing. Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah rontokan pada perlakuan kontrol sebesar 743.5 g sedangkan pada metode oil spray memiliki kerontokan lebih kecil yaitu 738 g. Jika dibandingkan persentase jumlah kerontokan untuk perlakuan kontrol dan metode oil spray tidak berbeda yaitu sebesar 0.24% untuk kontrol sedangkan untuk aplikasi oil spray sebesar 0.23% dengan basis produk jadi tortilla chips. Terlihat dengan perlakuan aplikasi oil spray jumlah kerontokan seasoning dapat dikurangi dibandingkan dengan perlakuan kontrol.
38
Walaupun perbedaan jumlah kerontokan tidak berbeda nyata namun secara visual, mesin weighing memiliki penampakan lebih bersih yang dapat dilihat perbandingannya pada Gambar 15 berikut ini: Kontrol
1
2
3
Oil Spray
1
2
3
Gambar 15. Gambar perbandingan rontokan perlakuan kontrol dengan aplikasi oil spray pada mesin weighing.
39
Pada Gambar 15 bagian atas adalah gambar bagian mesin weighing yang berpengaruh pada proses penimbangan bobot, jika terlalu banyak rontokan seasoning yang menumpuk maka bobot yang tertimbang tidak akan sesuai standar. Sedangkan pada bagian tengah terlihat pada panah merah terlihat jumlah rontokan seasoning pada aplikasi oil spray lebih sedikit dibandingkan pada perlakuan kontrol. Pada bagian bawah juga terlihat rontokan seasoning pada perlakuan kontrol lebih banyak yang menempel dibandingkan pada perlakuan oil spray. Dari parameter pembersihan pada alat weighing memiliki jumlah pembersihan lebih kecil (tiga kali) dibandingkan pada perlakuan kontrol (empat kali). Dan menurut estimasi dari pihak pabrik waktu pembersihan alat weighing pada perlakuan oil spray lebih sebentar (35 menit) dibandingkan perlakuan kontrol (75 menit). Waktu pembersihan perlakuan oil spray lebih sebentar dibandingkan perlakuan kontrol disebabkan seasoning yang digunakan menjadi lebih basah dan lebih licin akibat penyemprotan minyak sehingga proses pembersihan alat weighing lebih mudah dibandingkan perlakuan kontrol. Trial selanjutnya pada tanggal 11 Juni 2009 yaitu penentuan dosis seasoning yang efektif pada produksi line existing sistem kontinu dengan dosis 5%, 6%, dan 7 dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 6 berikut Tabel 6. Hasil trial scale up berbagai dosis seasoning pada line existing No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Parameter Berat Base (g) Batch produksi Berat Input Seasoning (g) Berat Rontokan Tumbler (g) Berat Rontokan Belt Conveyor (g) Berat Rontokan Lantai Ruang Aplikasi (g) Berat Rontokan di Bak Tuang (g) Berat Rontokan di Bucket (g) Berat Rontokan di Mesin Packing (g) Waste WIP gembel + lantai + rontokan (g) Berat Total rontokan (g) Berat Produk LCOF (g) Total seasoning - total rontokan (g) Persentase kerontokan basis produk LCOF Persentase seasoning menempel
Dosis 5% 5 1.62x10 3.5 3 8.84 x10 42 3 1.24 x10 48 56 90 900 320 3 2.38 x10 5 1.82 x10 3 6.46 x10 1.31% 73.12%
Dosis 6% 5 1.84 x10 4 3 9.17 x10 78 3 1.51 x10 80 10 70 710 3 1.69 x10 3 2.46 x10 5 2.05x10 3 6.71 x10 1.20% 73.21%
Dosis 7% 5 2.54 x10 5.5 4 1.67 x10 40 3 1.87 x10 228 30 5 3 1.81 x10 3 1.38 x10 3 4.02 x10 5 3.42 x10 4 1.27 x10 1.18% 75.95%
40
Dari Tabel 6 yang berada di atas terlihat persentase seasoning yang menempel yaitu 73.12% untuk dosis 5%, 73.21% untuk dosis 6%, dan 75.95% untuk dosis 7%. Sedangkan jika membandingkan persentase kerontokan dengan basis produk jadi maka persentase kerontokan terbesar dihasilkan oleh perlakuan dosis seasoning 5%
yaitu 1.31% diikuti oleh
perlakuan dosis seasoning 6% yaitu sebesar 1.20% dan yang paling kecil dihasilkan oleh perlakuan dosis seasoning 7% yaitu sebesar 1.18%. Dari beberapa data di atas terlihat perlakuan perubahan dosis tidak berbeda secara signifikan pada persentase kerontokan, dengan perlakuan dosis seasoning 7% yang memiliki persentase seasoning menempel terbesar dan persentase kerontokan basis produk jadi yang paling kecil.
C. HASIL ANALISIS SENSORI, FISIK, DAN KIMIA Pada produk hasil trial scale up dilakukan uji sensori yang dilaksanakan di laboratorium sensori Head Office dan pabrik di Pati. Selain itu juga diukur tekstur produk dan kadar lemak dari produk trial yang dihasilkan sebagai data kuantitatif untuk mengkonfirmasi data hasil sensori yang bersifat kualitatif dan subjektif. Pelaksanaan uji sensori dilakukan di dua tempat agar data sensori yang ada dapat dibandingkan. Terdapat tiga uji sensori yang dilakukan di laboratorium sensori di Head Office yaitu:
(1) Uji beda triangle perlakuan kontrol dengan oil spray (keduanya menggunakan sistem batch dengan dosis seasoning 6%) Uji beda perlakuan kontrol dengan oil spray dilakukan dengan metode triangle dengan tujuan apakah kedua sampel berbeda nyata pada atribut rasa secara keseluruhan. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah ini: Tabel 7. Hasil uji beda triangle perlakuan kontrol dengan oil spray Parameter
Jumlah panelis
Jumlah total panelis
18 orang
Jumlah panelis menjawab benar
5 orang
Jumlah panelis minimal menjawab benar pada α = 5%
10 orang
41
Dari hasil uji beda terlihat dari 18 panelis khusus yang mengikuti uji beda hanya lima orang yang menjawab benar. Jumlah ini lebih kecil daripada syarat minimal panelis yang harus menjawab benar pada α = 5% yaitu sepuluh orang. Sehingga uji triangle ini memiliki hasil yaitu sampel dengan perlakuan kontrol tidak berbeda nyata secara keseluruhan dengan sampel perlakuan oil spray pada α = 5%.
(2) Uji afektif perlakuan kontrol dengan oil spray (keduanya menggunakan sistem batch dengan dosis seasoning 6%) Uji afektif perlakuan kontrol dengan oil spray dilakukan dengan tujuan mengetahui kesukaan konsumen terhadap kedua produk dengan atribut yang diujikan penampakan, aroma, tekstur, rasa keseluruhan, dan aftertaste. Nilai Level of Acceptance (LoA) atau tingkat penerimaan masingmasing atribut dan nilai keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini: Tabel 8. Hasil uji afektif perlakuan kontrol dengan oil spray LoA Atribut
Bobot
Penampakan Aroma Tekstur Rasa keseluruhan Aftertase
20 % 20 % 20 % 20 % 20 %
Oil Spray 3.33 3.23 3.29 3.19 3.21
Kontrol 3.25 3.17 3.25 3.46 3.27
LoA Keseluruhan Oil Kontrol Spray
3.25
3.28
Uji afektif diikuti oleh 24 orang panelis umum dengan lima tingkat kesukaan yaitu mulai dari tidak suka sekali, tidak suka, antara suka dan tidak suka, suka, dan suka sekali. Semakin tinggi nilai yang didapatkan berarti sampel lebih disukai oleh panelis. Dari hasil yang diperoleh terlihat LoA keseluruhan sampel perlakuan kontrol dengan sampel perlakuan oil spray tidak berbeda nyata yaitu 3.25 untuk perlakuan oil spray dan 3.28 untuk perlakuan kontrol. Hal ini sesuai dengan hasil uji beda yang telah dilakukan sebelumnya namun nilai ini lebih kecil daripada LoA standar (3.5) yang disyaratkan oleh PT Garudafood.
42
Hubungan antara masing-masing atribut pada tiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 16. Dari kelima atribut yang diujikan, untuk perlakuan oil spray unggul pada atribut penampakan, aroma, dan tekstur sedangkan untuk perlakuan kontrol unggul pada atribut rasa keseluruhan dan aftertaste.
Penampakan
Aftertase
Aroma LoA Oil Spray LoA Kontrol
Rasa keseluruhan
Tekstur
Gambar 16. Grafik Hubungan Atribut Sensori Produk Tortilla Chips Perlakuan Kontrol dan Oil Spray (3) Uji afektif perlakuan oil spray (sistem batch dosis seasoning 6%) dengan line existing (sistem kontinu dosis seasoning 6%). Uji afektif perlakuan oil spray dengan line existing dilakukan dengan tujuan mengetahui kesukaan konsumen terhadap kedua produk dengan atribut yang diujikan penampakan, aroma, tekstur, rasa keseluruhan, dan aftertaste. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini: Tabel 9. Hasil uji afektif perlakuan oil spray dengan line existing LoA Atribut
Bobot
Penampakan Aroma Tekstur Rasa keseluruhan Aftertase
20 % 20 % 20 % 20 % 20 %
Oil spray 3.63 3.33 3.42 3.31 3.19
Line Existing 3.58 3.25 3.54 3.65 3.42
LoA Keseluruhan Oil Line spray Existing
3.38
3.49
43
Uji afektif diikuti oleh 24 orang panelis umum dengan lima tingkat kesukaan yaitu mulai dari tidak suka sekali, tidak suka, antara suka dan tidak suka, suka, dan suka sekali. Semakin tinggi nilai yang didapatkan berarti sampel lebih disukai oleh panelis. Dari hasil yang diperoleh terlihat LoA keseluruhan sampel perlakuan oil spray dengan line existing tidak berbeda nyata yaitu 3.38 untuk perlakuan oil spray dan 3.49 untuk line existing. Nilai LoA yang diperoleh ini lebih kecil daripada LoA standar (3.5) yang disyaratkan oleh PT Garudafood. Hubungan antara masing-masing atribut pada tiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 17. Dari kelima atribut yang diujikan, untuk perlakuan oil spray unggul pada atribut penampakan dan aroma, sedangkan untuk line existing unggul pada atribut tekstur, rasa keseluruhan, dan aftertaste.
Penampakan
Aftertase
Aroma
LoA Oil spray LoA Line Existing
Rasa keseluruhan
Tekstur
Gambar 17. Grafik Hubungan Atribut Sensori Produk Tortilla Chips Perlakuan Kontrol dan Line Existing Sedangkan di laboratorium uji sensori pabrik di Pati dilakukan dua uji yaitu: (1) Uji afektif perlakuan kontrol dengan aplikasi oil spray Uji afektif perlakuan kontrol dengan oil spray dilakukan dengan tujuan mengetahui kesukaan konsumen terhadap kedua produk dengan atribut yang diujikan hanya pada rasa keseluruhan. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 18 di bawah ini:
44
3.3
3.22
3.2 3.1 3
Level of Acceptance (LoA) Oil Spray
2.96
2.9
Level of Acceptance (LoA) Kontrol
2.8 Oil Spray
Kontrol
Level of Acceptance (LoA)
Gambar 18. Tingkat Penerimaan Rasa Keseluruhan Produk Tortilla Chips Perlakuan Kontrol dan Oil Spray Uji afektif diikuti oleh 46 orang panelis umum dengan lima tingkat kesukaan yaitu mulai dari tidak suka sekali, tidak suka, antara suka dan tidak suka, suka, dan suka sekali. Semakin tinggi nilai yang didapatkan berarti sampel lebih disukai oleh panelis. Dari hasil yang diperoleh terlihat LoA keseluruhan sampel perlakuan kontrol dengan sampel perlakuan oil spray tidak berbeda nyata yaitu 2.96 untuk perlakuan oil spray dan 3.22 untuk perlakuan kontrol. Nilai ini lebih kecil daripada LoA standar (3.5) yang disyaratkan oleh PT Garudafood.
(2) Uji afektif perlakuan dosis seasoning 5%,6%, dan 7% Uji afektif perlakuan dosis seasoning 5%, 6%, dan 7% dilakukan dengan tujuan mengetahui kesukaan konsumen terhadap kedua produk dengan atribut yang diujikan hanya pada rasa keseluruhan. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 19 yang berada di halaman selanjutnya: 3.4 3.3 3.2 3.1 3 2.9 2.8
3.34
2.98
2.98
Level of Acceptance (LoA) Dosis 5% Level of Acceptance (LoA) Dosis 6%
Dosis 5%
Dosis 6%
Dosis 7%
Level of Acceptance (LoA) Dosis 7%
Level of Acceptance (LoA)
Gambar 19. Tingkat Penerimaan Rasa Keseluruhan Produk Tortilla Chips Dosis 5%, 6%, dan 7%
45
Uji afektif diikuti oleh 41 orang panelis umum dengan lima tingkat kesukaan yaitu mulai dari tidak suka sekali, tidak suka, antara suka dan tidak suka, suka, dan suka sekali. Hasil yang diperoleh yaitu LoA rasa keseluruhan sampel dengan dosis seasoning 5% yaitu 2.98, dosis seasoning 6% yaitu 3.34, dan dosis seasoning 7% yaitu 2.98. Dari hasil tersebut terlihat perlakuan dosis seasoning 5% tidak berbeda nyata untuk atribut rasa keseluruhan dengan dosis seasoning 7% sedangkan perlakuan dosis seasoning 6% berbeda nyata untuk atribut keseluruhan dengan perlakuan dosis seasoning 5% dan dosis seasoning 7%. Tetapi nilai LoA ketiga produk hasil trial ini lebih kecil daripada LoA standar (3.5) yang disyaratkan oleh PT Garudafood. Untuk data kualitatif yang dilakukan adalah uji kadar lemak dan uji tekstur dari produk hasil scale up yang dilakukan terutama untuk perlakuan oil spray dengan kontrol. Dari Gambar 20 terlihat bahwa kadar lemak sampel dengan perlakuan oil spray tidak terlalu berbeda dengan kadar lemak pada perlakuan kontrol. Kadar lemak pada perlakuan kontrol yaitu 23.41% sedangkan kadar lemak pada perlakuan oil spray yaitu 24.92%. Kadar lemak pada kedua perlakuan masih memenuhi SNI Produk Makanan Ringan Ekstrudat (SNI 01-2886-2000), di mana pada SNI tersebut kadar lemak untuk produk makanan ringan ekstrudat yang mengalami penggorengan maksimal 38%. Dari hasil tersebut terlihat perlakuan oil spray memiliki kadar lemak yang jumlahnya sedikit lebih tinggi namun tidak melebihi SNI Produk Makanan Ringan Ekstrudat .
Kadar Lemak (%)
30 25
23.41
24.92
20 15
Kontrol
10
Oil Spray
5 0 Kontrol
Oil Spray
Gambar 20. Kadar Lemak pada Produk Tortilla Chips Hasil Scale Up 46
Uji tekstur dilakukan dengan alat Texture Analyzer dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan kerenyahan dari produk yang dilakukan aplikasi oil spray dengan perlakuan kontrol. Dikhawatirkan dengan penambahan minyak maka tekstur akan berubah, oleh karena itu perlu datanya secara kualitatif. Uji tekstur dilakukan menggunakan probe 5 Blade Kramer Shear Cell dan dihasilkan grafik yang dianalisis menggunakan makro yang telah disediakan program Texture Exponent Lite yaitu meletakkan Anchor pada dua titik sehingga dihasilkan area. Kemudian dari area yang dihasilkan dianalisis jumlah peak yang naik, semakin banyak jumlah peak yang naik maka sampel memiliki tekstur yang lebih renyah. Hasil analisis pada produk dengan perlakuan oil spray dan perlakuan kontrol dapat dilihat pada Gambar 21. Dari grafik yang berada di halaman selanjutnya terlihat bahwa sampel kontrol memiliki rata-rata jumlah peak yang naik sebanyak 126.9 sedangkan untuk perlakuan oil spray rata-rata jumlah peak yang naik sebanyak 120.5. Walaupun terdapat perbedaan pada jumlah peak yang naik tetapi setelah dianalisis secara statistik kedua perlakuan tidak memiliki perbedaan yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95% dengan P value yang lebih besar dari 0.05 yaitu 0.301. Dari hasil tersebut terlihat bahwa perlakuan oil spray tidak mempengaruhi tekstur produk tortilla chips secara nyata pada tingkat kepercayaan 95%.
N i l a i P e a k +
140 130 120 110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
126.9 120.5
Kontrol
Oil spray Jenis Perlakuan
Gambar 21. Jumlah Peak + Pada Produk Tortilla Chips Hasil Scale Up 47
D. REKOMENDASI Produk makanan ringan tortilla chips adalah produk yang memiliki permukaan cenderung kering sehingga untuk melekatkan seasoning jika hanya menggunakan metode dust on (satu tahap) tentu akan kurang maksimal. Beberapa faktor produksi yang coba diteliti diantaranya proses produksi, faktor suhu, teknik aplikasi, dan dosis seasoning. Dari simulasi produksi yang dilakukan di laboratorium, terlihat simulasi weighing (pengemasan) menyumbangkan kerontokan terbesar diikuti simulasi tumbler (penaburan seasoning) dan yang terakhir yaitu simulasi siever (penggetaran). Sedangkan dari rontokan yang dihasilkan ternyata sebagian besar rontokan yang terjadi adalah rontokan seasoning dibandingkan rontokan kontrol. Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan perbaikan, dalam hal ini lebih berfokus dalam mencari parameter dari faktor produksi yang nantinya dapat diaplikasikan langsung di pabrik. Beberapa parameter yang diuji di skala laboratorium yaitu penentuan suhu aplikasi dan dosis seasoning. Setelah diuji statistika dari data yang diperoleh pada skala laboratorium, ternyata interaksi diantara faktor dosis dan suhu tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah total kerontokan pada tingkat kepercayaan 95%. Namun jika salah satu faktor sebagai variable tetap maka faktor yang lain menjadi berpengaruh nyata terhadap jumlah total kerontokan pada tingkat kepercayaan 95%. Rekomendasi penentuan dosis seasoning dan suhu aplikasi yang dipilih adalah suhu 700 C dengan dosis 6% dengan pertimbangan suhu sebenarnya yang digunakan di pabrik adalah suhu 700 C dan dari perhitungan terlihat pada suhu 700 C memiliki rata-rata kerontokan terkecil. Dosis 6% dipilih dengan mempertimbangkan faktor ekonomi, karena tahap selanjutnya akan diaplikasikan metode oil spray maka tentunya akan ada penambahan biaya untuk penggunaan minyak, oleh karena itu diharapkan dengan pengurangan dosis menjadi 6% akan lebih layak dari sisi ekonominya. Alasan lainnya yaitu dari hasil scale up penentuan dosis seasoning, ternyata dosis 6% lebih disukai, terlihat dari nilai Level of Acceptance yang paling tinggi yaitu 3.34.
48
Teknik aplikasi seasoning oil spray yang dipilih perlu penentuan dosis penyemprotan, dari hasil skala laboratorium diperoleh dengan dosis 0.4% memiliki jumlah total kerontokan terkecil. Dan setelah dilakukan scale up di pabrik diperoleh hasil dengan teknik aplikasi oil spray, secara visual line produksi lebih bersih walaupun jumlah kerontokan tidak berbeda jauh. Namun teknik aplikasi ini memiliki keuntungan yaitu jumlah serta waktu pembersihan alat dapat dikurangi dari empat kali (75 menit) menjadi tiga kali (35 menit). Hal ini disebabkan seasoning menjadi lebih berminyak sehingga ketika jatuh di alat tidak langsung menempel dan alat lebih mudah dibersihkan. Dari produk yang dihasilkan ternyata dengan perlakuan oil spray jika dibandingkan dengan kontrol memiliki kerenyahan yang tidak terlalu berbeda dan kadar lemaknya sedikit meningkat menjadi 24.92% namun masih di bawah standar SNI Produk Makanan Ringan Ekstrudat (SNI 01-2886-2000). Namun nilai uji sensori hedonik yang dilakukan ternyata memiliki nilai Level of Acceptance di bawah standar PT Garudafood dengan kelemahan pada atribut aftertaste dan rasa keseluruhan jika dibandingkan dengan kontrol. Hasil akhir yang dapat direkomendasikan yaitu untuk faktor suhu dan dosis seasoning yang direkomendasikan yaitu suhu 700 C dengan dosis seasoning 6% dan aplikasi oil spray dengan dosis 0.4%. Penggunaan teknik aplikasi seasoning berupa oil spray walaupun tidak mengurangi jumlah kerontokan nyata namun dapat mempermudah proses pembersihan alat sehingga waktu pembersihan dapat dikurangi dan produktifitas line produksi dapat meningkat. Walaupun sedikit menambah biaya produksi dengan penggunaan minyak namun produktifitas line produksi dapat ditingkatkan sehingga teknik aplikasi oil spray juga menguntungkan dari sisi ekonomi.
49