EPILOG Seorang anak laki-laki Kampung Mondo berlari kencang mengikuti kendaraan yang ditumpangi penulis untuk memasuki Kampung Mondo. Matahari bersinar sangat terik membuat wajah dan sekujur tubuh anak itu bermandikan keringat. Walaupun demikian, ia terus berlari dengan penuh semangat. Kendaraan yang merayap pelan di atas jalan tanah dan berbatu seolah menyamakan kecepatannya dengan lari sang anak yang terus setia mengikuti di belakang, hingga tak terasa 3 km sudah ditempuh dan sampailah kami di muka rumah Tu’a Golo. Sang anak pun turut berhenti berlari, berdiri terengah-engah memandang penulis tanpa kata. Dan jangan salah, itu bukanlah pemandangan pertama dan satu-satunya, namun sebuah pengalaman yang seringkali dialami penulis kala memasuki Kampung Mondo. Ada sebuah spirit yang membuat anak itu berlari, dan kemudian anak lain lagi, dan anak lain lagi. Belum lagi sapaan anak-anak di sepanjang kampung yang berteriak, “Selamat Suster, Selamat!” membuat penulis sibuk menoleh ke kanan dan ke kiri membalas sapaan mereka di sepanjang jalan kampung Mondo. Sungguh pemandangan yang sangat biasa jika melihat penulis di Kampung Mondo diikuti oleh anakanak ke mana pun ia pergi. Senyum mereka, nyanyian mereka, keceriaan mereka, seluruh keberadaan mereka menyinarkan sebuah spirit yang tak terlukiskan. Suatu spirit yang tak dapat dilihat dengan mata namun menjadi sebuah daya magnet yang menarik penulis dengan kuatnya untuk selalu berada di dekat mereka. Akan tetapi, sebetulnya bukan hanya dengan anak-anak saja keakraban itu terjalin. Ada sebuah tali kasih kekeluargaan yang menjalin setiap hati orang yang ada di Mondo, yang membuat penulis mau tak mau menjadi bagian dari keluarga besar Mondo. Dengan merekalah penulis berbagi kehidupan serta berbagi kegembiraan dan kesulitan. Lebih dari itu, mereka mengajarkan banyak hal yang justru diberikan tanpa kata-kata. Ajaran demi ajaran yang mereka sampaikan hanya dapat diperoleh saat kita duduk diam dalam permenungan yang dalam, membiarkan sikap, senyum, dan perilaku warga Mondo menarinari di pelupuk mata. Sebuah pengajaran yang memang tidak dapat dijelaskan, karena apa yang mereka sampaikan adalah sebuah kekuatan yang berada di balik fenomena yang kelihatan. Sesuatu yang tak terlihat, tak dapat dijelaskan, namun tertanam di tengah masyarakat Mondo, dan menjadikan mereka sebuah
301
komunitas seperti yang ada sekarang. Ada sebuah kekuatan di balik kemampuan membangun dari orang Mondo! Penderitaan demi penderitaan yang dialami warga Mondo tidak menghilangkan keceriaan dan semangat mereka. Kehangatan kasih mereka senantiasa dirasakan penulis saat-saat bersama mereka walau dinginnya kematian seolah terus mengintai setiap orang yang berstatus warga Mondo. Setidaknya sejauh yang diingat penulis sudah lebih dari lima orang yang meninggal selama penulis bersama mereka, semuanya karena sakit yang tak tersembuhkan. Dan sepulangnya penulis dari Mondo, pesan demi pesan masih terus berdatangan, mohon doa bagi warga Mondo yang sakit. Sulit menjumpai orang yang kulitnya sehat bersinar di Mondo, yang ada hanyalah sorot mata yang berbinar dan senyum yang membuat wajah-wajah itu bercahayakan keramahan. Ada sesuatu di hati mereka, yang tak terhambat sinarnya oleh kulit yang layu maupun wajah yang cepat menua. Sebuah spirit yang membuat anakanak terus berlari kencang mengikuti kendaraan penulis, spirit yang membakar hati setiap orang untuk tidak menyerah dengan kemiskinan, spirit yang menguatkan setiap jiwa untuk terus bertahan dalam setiap penderitaan. Sebuah spirit yang satu, yang pada akhirnya mengikat mereka semua menjadi sebuah komunitas yang spiritual. Di sinilah modal spiritual memainkan peranannya. Modal spiritual yang sudah tampak sebetulnya sejak perjumpaan pertama penulis dengan warga Mondo yang sibuk beramai-ramai membantu penulis mencuci kakinya. Sebuah sikap tulus dan spontan untuk seorang biarawati yang menjadi figur spiritual bagi orang-orang yang memiliki kerinduan spiritual. Demikianlah, masyarakat Mondo bagaikan padang rumput hijau yang disuburkan oleh modal spiritualnya.
Gambar 36 Anak-anak Mondo (Sumber: H.A. Tjondro Sugianto 2010)
302
Sudah lebih dari sepuluh tahun warga Mondo mengharapkan pemerintah mau mengaspal jalan yang sudah mereka buat. Hal ini bisa dimengerti karena jika musim hujan, jalan yang sudah mereka buat dengan susah payah itu menjadi becek dan berlumpur sehingga mereka kembali dalam kondisi terisolir. Sekitar awal tahun 2010 harapan mereka semakin memuncak karena sebuah kawasan di seberang Kampung Mondo yang disebut Lehong diputuskan untuk menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Manggarai Timur. Para aparat termasuk Bupati dan Wakilnya pada umumnya tinggal di Borong. Maka, rute tersingkat dari Borong ke Lehong tidak lain adalah lewat Mondo. Apalagi, warga Mondo sudah membuat jalannya sehingga pemerintah tidak usah bersusah-payah membuka jalan, tinggal mengaspal saja. Harapan masyarakat Mondo pun terasa hampir menjadi kenyataan ketika suatu hari Feri Sehadung yang saat itu bekerja sebagai pegawai Kecamatan Borong menyampaikan bahwa pengaspalan jalan Mondo sudah ditetapkan dalam Musrenbang tingkat Kecamatan. Ketika itu penulis juga melakukan konfirmasi langsung kepada Egidius Asa, Camat Borong, yang segera membenarkan pernyataan tersebut. Konfirmasi selanjutnya dilakukan dengan menyaksikan sendiri buku Hasil Musrenbang Kecamatan Borong. Tertulis dianggarkan dana Rp. 400 juta untuk peningkatan kualitas jalan yang terbentang dari dari Kampung Golo – Mondo – Longko. Pada bulan November 2010, diperoleh informasi bahwa pengaspalan jalan Mondo tidak pernah dilaksanakan. Bahkan, yang terjadi adalah saat ini sedang dibuka jalan dari Borong menuju Lehong melalui jalur lain. Kasus ini seolah menunjukkan bahwa hingga saat ini Mondo masih tetap dalam ancaman terisolir dan terabaikan dalam pembangunan. Bagaimanapun, peran pemerintah dibutuhkan untuk membangun Mondo. Secara swadaya saja akan terlalu sulit bagi warga Mondo untuk mengaspal jalan, menarik jaringan listrik, mempunyai keran air bersih di setiap rumah, dan seterusnya. Sebetulnya, pembangunan di Mondo akan berjalan pesat jika pemerintah mau menggunakan seoptimal mungkin komunitas yang ada di Mondo. Pembangunan berbasis komunitas merupakan opsi yang tepat untuk membangun Mondo. Keberadaan komunitas pembangun di Mondo menunjukkan bahwa Mondo sudah siap untuk melaju dalam pembangunan. Namun, kasus Mondo menunjukkan bahwa bagaimanapun rakyat seringkali tidak berdaya terhadap kebijakan para pemangku kepentingan. Teori-teori pembangunan berbasis komunitas yang dikontribusikan dalam tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menafikan peran negara. Sebaliknya, sampai saat ini warga Mondo masih terus menanti negara turun membangun kampung mereka. 303
Pada akhirnya, keputusan dan tindakan para pemangku kepentingan inilah yang menentukan nasib rakyat banyak. Apakah ini menjadi potret untuk seluruh wilayah tanah air? Apakah fenomena ini menyimpulkan kondisi pembangunan di negeri ini? Kini penelitian telah berakhir, namun Mondo masih menyimpan segudang misteri yang menarik untuk diteliti. Padang rumput Mondo masih subur dengan ilalangnya yang tinggi dan menanti untuk disibak. Setelah terjadi pemekaran Desa Golo Kantar, diadakanlah pemilihan Kepala Desa Bangka Kantar 223 pada bulan Maret 2011. Alfonsius Dasung dari Mondo maju mencalonkan diri sebagai Kepala Desa bersama dua calon lainnya dari Jengok dan Longko. Namun, ternyata Alfonsius kalah suara sehingga tak terpilih sebagai Kepala Desa. Kepala Desa terpilih berasal dari Kampung Jengok dengan 359 suara, sedangkan Alfonsius berada di peringkat kedua karena hanya mendapatkan 314 suara. Diperkirakan ada beberapa orang Mondo yang tidak menyumbangkan suaranya untuk memilih Alfonsius. Mengapa Mondo tidak bulat lagi suaranya kini? Apakah peristiwa konflik di Boa Ragok ada sangkut pautnya dengan hal ini? Semua ini menyisakan pertanyaan yang membutuhkan penelitian lanjutan. Lepas dari itu semua, Mondo memang merupakan kampung yang sangat dinamis, terbuka dengan perubahan, dan siap untuk melaju dalam pembangunan jika saja pemerintah memberikan sentuhannya. Implikasi praktis dari penelitian ini cukup jelas, bahwa sebetulnya pemerintah daerah tidak perlu terbeban untuk melakukan pembangunan di segala bidang, di segala tempat, dan di segala lini. Masyarakat yang hendak dibangun bukanlah orang-orang yang tidak mau dan tidak sanggup membangun daerahnya sendiri. Jika saja pemerintah mau bekerja sama dengan komunitaskomunitas yang ada di akar rumput maka pembangunan akan berjalan dengan lebih baik. Memfasilitasi pembangunan kiranya akan menjadi gagasan yang lebih baik daripada membangunkan fasilitas tanpa melibatkan warga di aras lokal. Ambisi pemerintah untuk membangunkan fasilitas di mana-mana hanya akan menghambat pembangunan karena kenyataannya dana, waktu, dan tenaga sangat terbatas. Kebijakan yang demikian, kiranya hanya akan membuat kemajuan pembangunan di tanah Manggarai Timur menjadi sebuah impian dan penantian yang panjang.
223
Bangka Kantar merupakan desa baru hasil pemekaran Desa Golo Kantar. Mondo sejak saat itu berada di bawah Desa Bangka Kantar. Pemekaran ini terjadi di awal tahun 2011, jauh setelah penulis meninggalkan Mondo pada akhir April 2010.
304
Di lain pihak, peristiwa bantuan Gereja untuk Mondo yang dapat menggerakkan pembangunan menunjukkan bahwa bantuan akan menjadi efektif jika sang pemberi bantuan hadir secara langsung di lapangan. Dengan cara itulah dapat dirasakan secara langsung apa yang menjadi kebutuhan masyarakat setempat dan bagaimana cara yang paling efektif untuk membantu mereka. Peristiwa tersebut memberikan sebuah pelajaran yang cukup berharga bahwa memberikan bantuan atau dengan perkataan lain membangun dari belakang meja tidaklah akan berlangsung efektif. Untuk masyarakat Mondo sendiri, semoga perjuangan dalam membangun dapat terus berlangsung karena di sana ada sebuah modal yang menjadi kekuatan tersembunyi di balik kekerabatan mereka, yaitu modal spiritual yang belum tentu ada di setiap kampung di Manggarai. Selamat membangun!
305