sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XX, Nomor 4, 1995: 1–9
ISSN 0216 – 1877
FUNGSI LAUT DALAM KESEIMBANGAN IKLIM oleh Ricky Rositasari dan S. Sidabutar *) ABSTRACT Understanding ocean circulation is critical. Oceans absorb energy from the sun, mix it to varying depths, transport it in meandering currents and release it into the atmosphere at time and places far removed. This process influences temperatures, rainfall and weather pattern through out the globe. Oceans also absorb much of the exes carbon dioxide and other greenhouse gases from the atmosphere. Their capacity to hold and mix these chemicals into great depth is among the major unknown climate factors. PENDAHULUAN
akan mengurangi daya dukung tanah terhadap penyerapan air yang menyebabkan banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Gejala ini sudah mulai terlihat di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bogor, Bekasi dan Tangerang. Dalam kondisi seperti ini, aktivitas peramalan cuaca sangatlah penting untuk memberikan informasi kepada masyarakat dan berbagai instansi terkait agar dapat mengantisipasi (melakukan tindak pencegahan) terhadap bahaya banjir maupun kekeringan. Namun demikian pemahaman dan penggambaran tentang proses serta mekanisma yang bekerja dalam sistem iklim merupakan hal yang sangat rumit karena menyangkut reaksi timbal balik antara sejumlah besar komponen dalam sistem iklim tersebut. Salah satu faktor yang mempengaruhi variasi dalam
Iklim merupakan fator yang sangat vital bagi kelangsungan aktifitas berbagai mahluk termasuk manusia. Peramalan cuaca mungkin merupakan aktifitas yang paling penting dalam sebagian besar aktifitas manusia, seperti halnya dalam bidang agroindustri, pelayaran, penerbangan dan masih banyak lagi. Apalagi saat ini di banyak negara yang sedang berkembang telah terjadi perubahan ekosistem secara besar-besaran yang menyebabkan daya dukung tanah dalam penyerapan air telah menjadi berbagai jenis bangunan hasil modifikasi manusia. Walaupun pembangunan ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dan kenyamanan manusia, namun dampak yang ditimbulkan oleh pengalihan tata guna lahan hijau tersebut
1
Oseana, Volume XX No. 4, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
ke dalam atmosfir setelah terjadi semburan air laut. Kristal garam dan senyawa sulfur di dalam atmosfir ini merupakan inti kondensasi yang berperan dalam pembentukan awan dan hujan (presipitasi), dimana awan berperan penting dalam keseimbangan radiasi global. Fenomena merembesnya uap air dan senyawa garam sulfur ke dalam atmosfir yang berasal dari lautan ini merupakan bagian terpenting dalam sistem iklim. Lautan dipercayai merupakan salah satu mekanisma prinsipal yang menyebabkan variasi iklim bertahan dalam satu periode atau lebih.
sistem iklim adalah lautan, karena lautan merupakan penampung panas yang luar biasa besar, namun memiliki sifat akumulator dan redistribusi panas yang pendek (kecil). Selain itu lautan merupakan sumber utama penguapan yakni dengan masuknya uap air dari permukaan laut ke dalam atmosfir. Disamping berperan dalam keseimbangan iklim, lautan berperan pula dalam menetralisir (mengurangi) akibat dari "efek rumah kaca", dengan kemampuannya untuk mengikat kelebihan konsentrasi CO2 dari atmosfir. Kecenderungan peningkatan konsentrasi karbondioksida di atmosfir telah berlangsung selama 30 tahun, sebagai akibat dari pembakaran batu bara, minyak dan bahan bakar fosil lainnya di seluruh bumi. Namun demikian konsentrasi CO2 di atmosfir masih dalam batas toleransi karena adanya penyerapan (uptake) oleh samudra dan tumbuhan di darat (BRETHERTON 1987).
Lautan sebagai penyimpan panas. Lautan memiliki kemampuan menyimpan panas lebih besar dibandingkan dengan atmosfir. Lapisan permukaan laut memiliki kemampuan untuk menyerap panas selama beberapa hari dalam musim panas atau musim semi dengan hanya meningkatkan temperatur beberapa derajat per minggunya. Startifikasi yang tajam pada lapisan air teratas (permukaan) dapat menimbulkan variasi temperatur diurnal di lautan dalam satu derajat atau lebih. Hal itu sangat berbeda dengan sifat penyerapan panas pada permukaan tanah dan udara yang perbedaaanya dapat mencapai 10°C antara siang dan malam. Lautan menyerap dan menyimpan berbagai energi termal bila tersedia dalam jumlah berlebihan (terutama diwaktu siang hari dan cuaca panas) dan membebaskannya pada malam hari atau pada saat cuaca dingin. Bila panas meningkat, lautan berperan untuk menyimpan sebagian panas dan mengintensifkan evaporasi. Bila panas telah merata dengan bantuan angin, maka temperatur akan meningkat.
LAUT DAN SISTEM IKLIM GLOBAL Lautan merupakan mitra yang sejajar dengan atmosfir dalam sistem iklim, sedikit orang yang memahami bahwa uap air memiliki peran yang sangat dominan dalam proses pembentukan gas dalam efek rumah kaca dan mengontrol iklim di bumi sehingga kehidupan di bumi ini dapat bertahan dan berkembang (CLARKE 1993). Penggambaran peran air yang cukup kompleks dalam sistem iklim dapat dilihat dalam gambar 4 dan skema umum tentang kemitraan antara komponen lautan dan atmosfir dapat dilihat pada gambar 1. Lautan merupakan sumber bagi sebagian besar proses penguapan (evaporasi). Terdapat juga beberapa bukti yang menunjukkan bahwa kristal garam dan senyawa sulfur merembes
2
Oseana, Volume XX No. 4, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
3
Oseana, Volume XX No. 4, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
marginal seperti yang juga terjadi di laut-laut yang berada di belahan bumi bagian Selatan.
Lautan sebagai media transportasi panas Lautan merupakan sebuah induk pergerakan baik secara vertikal maupun horizontal dengan bantuan tekanan angin, variasi densitas (kepadatan air), proses pemanasan dan pendinginan, penguapan, presipitasi (hujan) dan pergerakan arus dan gelombang. Dengan pergerakan ini, lautan akan menyebarkan panas dan garam. Perputaran angin merupakan media perantara yang cukup penting dalam proses transportasi panas di lautan. Perputaran angin di daerah subtropis dan angin yang kuat dari perbatasan sebelah Barat (Western border) memindahkan air hangat ke arah kutub. Air tersebut akan memindahkan panasnya ke atmosfir. sehingga air akan menjadi dingin. Air yang telah menjadi dingin ini akan kembali ke ekuator melalui perut laut (ocean interior). Perbedaan temperatur antara arus yang mengalir ke kutub dan air yang mengalir ke ekuator di perut lautan memyebabkan terjadinya jaring-jaring flux panas ke arah kutub. Akhirnya panas dapat diangkut dari beberapa tempat dilautan ke arah kutub melalui pergerakan "Eddy" (Eddy motions). Pergerakan air tersebut merupakan mekanisma dominan bagi transportasi panas atmosfir meridional. Lautan melakukan transportasi panas seperti yang terjadi dalam atmosfir. Sebagian besar dipindahkan melalui termohalin dalam pengadukan samudra, air yang lebih dingin mengalir ke arah ekuator pada lapisan yang lebih dalam, dan air permukaan dari daerah "temperate" digantikan oleh air yang lebih hangat yang sedang mengalir kearah kutub. Perputaran air ini disebabkan oleh proses konveksi yang berpusat di beberapa daerah Atlantik Utara dan lintang tinggi di laut-laut
Lautan dan efek rumah kaca. MOORE III & BOLIN (1987) dan MOORE III & BRASWELL (1994) menyebutkan bahwa kecepatan pengikatan (uptake) CO2 oleh lautan dikontrol oleh temperatur air laut, kimia permukaan, biologi serta berbagai pola pengadukan dan sirkulasi yang menggambarkan jumlah korban yang dipindahkan dari permukaan air laut ke dasar laut. Permodelan yang digambarkan secara konseptual tentang hubungan antara efek rumah kaca, aktifitas manusia (digambarkan sebagai emisi CO2) dan respon dari samudera dapat dilihat pada gambar 3. Pertukaran CO2 antara permukaan laut dan atmosfir adalah melalui difusi yang terjadi pada garis pertemuan antara permukaan laut dengan atmosfir. Proses tersebut sangat dipengaruhi oleh perbedaan tekanan partial CO2 antara lautan dan atmosfir, kecepatan angin di permukaan laut dan sifat permukaan laut. Dari gambaran umum yang terlihat dalam siklus karbon (Gambar 2), dapat dilihat bahwa tekanan partial CO2 pada permukaan air merupakan fungsi linear yang tergantung pada alkalinitas dan konsentrasi CO2 dalam air laut tersebut. Secara mudah, penggambaran tersebut dapat dimulai dari terurainya air laut menjadi ion bikarbonat dan karbonat, produktifitas primer mengkonsumsi CO2, sedangkan pernapasan dan pembusukan menghasilkan CO2. Setiap proses tersebut menyebabkan efek terhadap keseimbangan kimia, demikian juga dengan formasi karbonat (cangkang hewan) dan peningkatan aktifitas penguraian alkalinitas, mempengaruhi tekanan parsial karbon dioksida dalam air laut.
4
Oseana, Volume XX No. 4, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
5
Oseana, Volume XX No. 4, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
6
Oseana, Volume XX No. 4, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
7
Oseana, Volume XX No. 4, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Fungsi lautan dalam siklus karbon sangat tergantung pada kecepatan pengadukan samudera. Proses fisika dari sirkulasi dan pengadukan mengatur karbon anorganik total dari seluruh lautan dan secara kontinu merubah sebaran tekanan parsial CO2 di permukaan air. Proses tersebut merupakan aktifitas yang tidak terhinga besarnya, namun demikian oseanografer masih dapat menggambarkan fungsi lautan dalam siklus karbon. Terdapat 5 faktor yang mempengaruhi fungsi lautan dalam siklus karbon (MOORE III & BOLIN 1987) yaitu : 1.
Konsumsi CO2 oleh produktifitas primer di permukaan laut, sebagai akibat dari aktifitas biologi yang berlangsung di lingkungan tersebut (permukaan laut).
2.
Pengayaan CO2, di dasar laut sebagai akibat dari penguraian dan pembusukkan pada matrial detritus yang berasal dari proses biologis di permukaan laut.
3.
Pengendapan air di daerah kutub, terutama di Atlantik Utara membawa CO 2 melalui aliran bawah laut ke ekuator.
4.
Upwelling (pergerakan vertikal air dari dasar laut ke arah permukaan) di daerah ekuator yang berhubungan dengan pengeluaran gas CO 2 ke atmosfir dan aliran ke arah kutub dari permukaan air.
5.
Pengadukan samudera di daerah meridian (Meridional circulation) merupakan proses pengadukan turbulen yang umum terjadi di samudra, dimana air yang kaya akan karbon di kedalaman pertengahan selalu dalam keadaan terkocok dengan air yang mengandung karbon lebih sedikit di lapisan permukan.
Konsumsi CO 2 oleh produktifitas primer dan pengayaan CO 2 di dasar laut secara bersamaan biasa disebut "biological pump" atau dapat diartikan sebagai aktifitas biologi untuk memompa karbon ke dasar laut. Pemompaan yang paling jelas adalah pemompaan yang terkoordinasi seperti dalam jaringan organisme atau sebagai karbonat dalam cangkang. Karbon dioksida yang dilepas oleh organisme hidup terurai di permukaan air, menyebabkan turunnya tekanan parsial CO 2 diikuti dengan pengendapan sebagian CO2 ke dasar laut dalam bentuk sisa-sisa organisme laut yang mati. Sebagai konsekwensi dari proses "biological pump", konsentrasi dari karbon anorganik terurai secara seragam pada setiap kedalaman. Konsentrasi CO2 di permukaan air 10 – 15 % lebih kecil daripada perairan yang lebih dalam. Terdapat kecenderungan turunnya kandungan fosfor dan nitrogen secara signifikan pada permukaan air, sekalipun di daerah upwelling sebagai akibat dari penyerapan biologis dan kehilangan materi detritius. Proses yang dialami oleh karbon yang luruh dari permukaan laut tergantung pada karakter karbon itu sendiri. Pada materi organik yang akan teroksidasi pada kedalaman menengah akan menimbulkan keadaan oksigen minimum dan kandungan karbon serta fosfor yang maksimum. Jika materinya berbentuk karbonat, senyawa tersebut akan diuraikan sehingga menimbulkan peningkatan alkakalinitas dan konsentrasi karbon, terutama pada kedalaman laut yang besar, dimana tekanan yang tinggi akan meningkatkan kelarutan kalsium karbonat. Dalam keadaan "biological pump" yang aktif yang aktif penurunan tekanan parsial CO2 di permukaan laut dan meningkatkan tekanan parsial di perairan yang lebih dalam,
8
Oseana, Volume XX No. 4, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
dimana tidak terdapat hubungan langsung dengan atmosfir. Di daerah dengan tingkat produktifitas rendah tekanan partial perairan acapkali lebih besar dari pada di dalam atmosfir, sehingga kelebihan senyawa CO2 akan dilepas di permukaan air. Pada kondisi alami yakni sebelum era industrialisasi, pola siklus karbon ini selalu dalam keadaan berimbang (MOORE III & BOLIN 1987). Peningkatan salinitas di samudra akan meningkatkan densitas, sebagai konsekuensinya akan terjadi pengendapan air dari permukaan. Keadaaan tersebutpun sangat potensial untuk menyebabkan aliran memutar (converyor belt) sehingga dapat mentransportasi CO2 dari atmosfir menuju reservoir di daerah abisal. Di daerah reservoir ini air akan tinggal dalam jangka waktu lama. Konveksi menuju kedalaman air dari permukaan di daerah kutub selama terjadinya "formasi air di dasar laut" akan menyebabkan pengendapan CO2 di daerah subtropis, sebagai keseimbangan dari proses tersebut akan terjadi upwelling dari air yang kaya akan kandungan karbon di daerah ekuator. Dengan lain perkataan air yang mengendap dari kutub dan mengandung CO2 akan kembali ke daerah ekuator dalam peristiwa upwelling. Disamping proses tersebut diatas, terdapat juga proses pertukaran antara air permukaan dengan air pertengahan di perut samudra (intermediate waters) di daerah kutub sebagai akibat proses pertukaran air secara vertikal. Proses pertukaran air secara vertikal ini dapat berbentuk pengadukan turbulen atau difusi dengan dibantu oleh arus permukaan air laut.
Proses pertukaran yang berbeda seperti formasi air dasar laut dan pengadukan turbulen, disebabkan oleh pergerakan air yang memperbaharui kandungan air di bagian abisal dari lautan, seperti yang terjadi di lautan Atlantik yang telah berusia beberapa ratus tahun dan laut Pasifik yang berusia ± 1500 tahun. Dari kenyataan tersebut dapat dilihat bahwa kecepatan sirkulasi air laut yang lamban menjadi pembatas bagi fungsinya sebagai penyerap CO2 (MOORE III & BOLIN 1986).
DAFTAR PUSTAKA BRETHERTON, E.P. 1986/1987. The Oceans, Climate, and Technology. Oceanus 29 (4) : 2 – 9 CLARKE, R.A. 1993. World Ocean Circulation Experiment. Proc. of The Ocean climate Data Workshop: 87–94. Me BEAN, G. 1984. Global change model-a physical perspective. Ambio 23 (1) : 13–18 MANABE, S., RJ. STOUFER and M.J. SPELMAN. 1994 Response of a Coupled Ocean-Atmosphere Model to Increasing Atmospheric Carbon Dioxide. Ambio 2 (l) : 44 – 49 MOORE III, B. and H. BRASWELL. Jr. 1994. Planetary Metabolism : Understanding the Carbon Cycle. Ambio 23 (1) : 4–2 MOORE III, B. and B. BOLIN. 1986/1987. The Ocean Carbon Dioxide, and Global Climate Change. Oceanus 29 (4) : 9–15.
9
Oseana, Volume XX No. 4, 1995