FILM INDIKATOR WARNA DAUN ERPA (Aerva sanguinolenta) SEBAGAI KEMASAN CERDAS UNTUK PRODUK RENTAN SUHU DAN CAHAYA
RINI NOFRIDA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Film Indikator Warna Daun Erpa (Aerva Sanguinolenta) Sebagai Kemasan Cerdas Untuk Produk Rentan Suhu dan Cahaya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013 Rini Nofrida NIM F351100191
________________________ * Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
ABSTRAK RINI NOFRIDA. Film Indikator Warna Daun Erpa (Aerva sanguinolenta) Sebagai Kemasan Cerdas untuk Produk Rentan Suhu dan Cahaya. Dibimbing oleh ENDANG WARSIKI dan INDAH YULIASIH. Industri susu banyak mengembangkan metode untuk mengevaluasi kesegaran dari produk susu. Salah satunya dengan menampilkan tanggal kedaluwarsa, namun tanggal kedaluwarsa tidak mampu menginformasikan kesalahan penyimpanan pada susu. Pengembangan kemasan cerdas berupa indikator warna erpa dapat memantau kualitas susu pasteurisasi apabila terpapar suhu tinggi. Dalam penelitian ini film indikator warna dalam bentuk film kitosanPVA (Polivinil Alkohol) dengan pewarna alami dari daun erpa (Aerva sanguinolenta). Ekstrak pewarna erpa memiliki pH 5.09 dengan total 116.65 mg antosianin/100 g daun erpa segar. Indikator film disimpan pada empat suhu penyimpanan untuk memeriksa kinerja film indikator, yaitu pada suhu freezer ((-10)±2° C), refrigerator (3±2°C), ruang (25±3oC) dan perlakuan dengan paparan cahaya matahari pada suhu 40o C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa film yang disimpan pada suhu 40°C dengan paparan cahaya, secara visual film ini berubah warna dari merah ke kuning dalam waktu dua jam. Pada suhu kamar (25±3oC), secara visual film ini berubah dari merah ke kuning dalam satu hari, sementara pada suhu refrigerator (3±2°C) film mulai berubah dari merah ke merah kekuningan pada hari ke-8 dan menjadi kuning cerah pada hari ke-12. Selanjutnya, film yang disimpan pada suhu freezer ((-10)±2°C) menunjukkan sedikit perubahan warna tapi itu masih berwarna merah secara visual setelah disimpan selama 78 hari. Dari data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa film indikator warna daun erpa dapat diterapkan sebagai kemasan cerdas untuk mendeteksi kerusakan susu pasteurisasi. Kata kunci: kemasan cerdas, indikator warna, daun erpa, kitosan, susu pasteurisasi
ABSTRACT There is much interest from the milk industry in developing rapid methods to evaluate real-time freshness of milk products. The development of a “smart packaging” that monitors “quality off” of this products due to high temperature exposure is described. In this research an indicator of color in the form of films chitosan-PVA (polyvinyl alcohol) with natural dyes of erpa leaves (Aerva Sanguinolenta) was prepared. Extract the dye has a pH of 5.09 with a total of 116.65 mg antocyanin/100 g fresh erpa leaves. Indicator films stored at four storage temperatures to check the performance of the film at temperatures of freezer ((-10)±2° C), refrigerator (3±2° C), room (25±3o C) and outdoor 40o C with exposure to sunlight. The results showed that films stored at a temperature of 40 ° C with light exposure, visually, the COLOR OF film changed from red to yellow within two hours. At room temperature (25±3o C), visually, the color of film changed from red to yellow in one day while at refrigerator temperature (3±2° C)
the film begun to change from red to yellowish red on the day of 8th and the turned bright yellow on day of 12th. Furthermore, color of films stored at freezer temperature ((-10±2° C) showed a slightly changing in color but it was still visually red after being stored for 78 days. From the data obtained it was concluded that color indicator film of erpha leaf can be applied as smart packaging to detect the deterioration of pasteurized milk. Keywords: smart packaging, color indicator, erpa leaves, chitosan, pasteurized milk
RINGKASAN RINI NOFRIDA. Film Indikator Warna Daun Erpa (Aerva sanguinolenta) Sebagai Kemasan Cerdas untuk Produk Rentan Suhu dan Cahaya. Dibimbing oleh ENDANG WARSIKI dan INDAH YULIASIH. Peran utama kemasan dalam industri makanan adalah mengawetkan dan melindungi produk dari kontaminasi eksternal, termasuk keamanan makanan, memelihara mutu, meningkatkan masa simpan, wadah kenyamanan, pemasaran, dan komunikasi. Perkembangan di bidang kemasan adalah intelligent packaging atau kemasan cerdas. Aplikasi komersial teknologi seperti ini sangat membantu produsen dan konsumen mengenali kerusakan produk yang tidak diperlakukan sesuai syarat penyimpanan, melacak titik-titik kritis, dan memberikan informasi lebih rinci seluruh rantai suplai dan distribusi produk, sehingga keamanan produk lebih terjamin. Salah satu kemasan cerdas adalah TTI (Time Temperature Indicators). TTI adalah kemasan cerdas yang dapat menginformasikan jika terjadi kesalahan suhu selama penyimpanan produk. Film indikator warna erpa dibuat dari film PVA-khitosan dengan pewarna alami daun erpa yang mengandung pigmen antosianin. Film indikator warna dibuat dengan kombinasi pencampuran antara kitosan dan PVA, perbandingan 60% PVA dan 40% kitosan (b/b). Pencetakan film dilakukan pada plat kaca berukuran 20 × 30 cm dengan volume bahan sebanyak 400 mL dan dikeringkan dengan suhu 50oC selama 24 jam. Ekstrak pewarna erpa memiliki pH 5.09 dengan total antosianin sebesar 116.65 mg antosianin/100 g. Pewarnaan film terbaik dilakukan dengan cara pengolesan dengan 1 mL pewarna erpa pada 40 cm2 film. Film indikator warna memiliki ketebalan 0.22 mm, kuat tarik 42.67 kgf/cm2 dan elongasi atau persen pemanjangan sebesar 78.06%. Dari hasil uji yang dilakukan, secara umum hasil analisis warna pada film dengan pewarna daun erpa menunjukkan perubahan warna pada film sampel selama penyimpanan yaitu dari warna merah menjadi warna kuning. Untuk film yang disimpan pada suhu 40oC dengan paparan cahaya, secara visual berubah warna dari merah menjadi kuning dalam waktu dua jam. Pada suhu ruang (25±3oC), secara visual film berubah dari warna merah menjadi kuning dalam waktu satu hari. Untuk film yang disimpan pada suhu refrigerator (3±2oC) secara visual film mulai berubah dari merah menjadi merah kekuningan pada hari ke-8 namun benar-benar berubah menjadi kuning pada hari ke 12. Film yang disimpan pada suhu freezer ((-10)±2oC) mengalami sedikit perubahan warna namun tetap berwarna merah secara visual setelah disimpan selama 78 hari. Hasil uji warna dengan kromameter adalah L, a, b, ohue dan ΔE. Secara umum rata-rata nilai L (tingkat kecerahan), nilai b (derajat kekuningan), Nilai °hue (derajat warna visual yang terlihat), dan nilai ΔE (perubahan warna secara keseluruhan) pada sampel film mengalami peningkatan selama penyimpanan, sedangkan nilai a terjadi penurunan. Hal ini sejalan dengan perubahan warna film secara visualisasi dari merah menjadi kekuningan. Aplikasi film indikator warna daun erpa sebagai kemasan cerdas untuk produk rentan suhu dan cahaya dilakukan pada sampel produk pangan. Dalam penelitian ini, sampel produk pangan yang digunakan adalah susu pasteurisasi dengan merek dagang Cimory. Susu pasteurisasi ini memiliki masa simpan selama
10 hari sejak diproduksi jika disimpan pada suhu 3-5o C. Selama ini masa kedaluwarsa produk diinformasikan kepada konsumen melalui tanggal kedaluwarsa yang dicantumkan pada botol. Susu pasteurisasi sangat rentan terhadap suhu tinggi, pada kemasan ditampilkan bahwa susu bisa mengalami kerusakan lebih cepat dari tanggal kedaluwarsa apabila disimpan pada suhu lebih tinggi dari 5oC, namun tidak ada label yang bisa memberikan informasi kepada konsumen perubahan suhu penyimpanan selama distribusi. Apabila selama distribusi maupun penyimpanan terjadi peningkatan suhu, maka tanggal kedaluwarsa yang dicantumkan pada botol tidak dapat lagi dijadikan acuan. Oleh karena itu diharapkan film indikator warna erpa dapat dijadikan kemasan cerdas acuan, sehingga kesalahan penyimpanan dapat diketahui konsumen. Pengujian mutu susu pasteurisasi dilakukan melalui uji organoleptik dan uji lempeng total susu pada penyimpanan suhu refrigerator (3±2oC) dan suhu ruang (25-30oC). Uji lempeng total dilakukan untuk melihat total mikroba yang terdapat pada susu pasteurisasi selama penyimpanan. Hasil uji organoleptik susu sejalan dengan perubahan warna pada kemasan cerdas indikator warna erpa. Pada waktu warna, aroma dan rasa susu sudah mengalami perubahan dan ada persentase konsumen yang tidak suka atau tidak menerima produk, maka diwaktu yang sama kemasan cerdas indikator warna erpa juga mengalami perubahan menjadi lebih kekuningan. Susu pasteurisasi pada penyimpanan suhu refrigerator tidak terjadi perkembangan bakteri yang signifikan dan masih berada di bawah BMCM SNI No. 7388 tahun 2009 yakni dibawah 5 x104 koloni/ml pada penyimpanan 0, 3, 5, 7 dan 9 hari. Kerusakan susu yang disimpan pada suhu refrigerator terjadi pada penyimpanan hari ke -11, dimana total koloni mikroba melebihi batas maksimum cemaran mikroorganisme. Hal ini sejalan dengan pernyataan Habibah (2011), bahwa susu pasteurisasi dapat bertahan selama 9 hari dari tanggal atau hari pemprosesan jika disimpan pada suhu yang ideal yaitu 3-5 ˚C, oleh karena itu susu pasteurisasi harus disimpan dalam lemari es. Susu pasteurisasi pada penyimpanan suhu ruang cenderung mengalami kerusakan lebih cepat, terjadi peningkatan total koloni mikroba selama penyimpanan. Total koloni mikroba masih berada dibawah batas maksimum koloni mikroba SNI No.7388 tahun 2009 hingga 6 jam penyimpanan. Susu pasteurisasi memiliki total koloni mikroba diatas batas maksimum ketika jam ke-7 penyimpanan yaitu sebesar 5.1 x 104 koloni/ml dan terus meningkat di jam ke 9,10 dan 11. Hal ini menunjukkan bakteri lebih cepat berkembang pada suhu yang lebih tinggi dibanding suhu yang rendah. Dari data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa film indikator warna daun erpa dapat diterapkan sebagai kemasan cerdas untuk mendeteksi kerusakan susu pasteurisasi.
© Hak cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB
FILM INDIKATOR WARNA DAUN ERPA (Aerva sanguinolenta) SEBAGAI KEMASAN CERDAS UNTUK PRODUK RENTAN SUHU DAN CAHAYA
RINI NOFRIDA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tesis : Dr Ono Suparno, STP MT
Judul tesis Nama NIM
: Film Indikator Warna Daun Erpa (Aerva sanguinolenta) Sebagai Kemasan Cerdas Untuk Produk Rentan Suhu dan Cahaya : Rini Nofrida : F351100191
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Endang Warsiki, STP MSi Ketua
Dr Indah Yuliasih, STP MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dr Ir Machfud, MS
Tanggal Ujian: 31 Mei 2013
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kinari, Sumatera Barat pada tanggal 23 November 1987 sebagai anak ke-4 dari ayah Masri dan ibu Jalinus. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas, lulus pada tahun 2010. Pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi Teknologi Industri Pertanian pada Program Pascasarjana IPB.
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April sampai Oktober 2012 ini adalah kemasan cerdas, dengan judul Film Indikator Warna Daun Erpa (Aerva sanguinolenta) sebagai Kemasan Cerdas untuk Produk Rentan Suhu dan Cahaya. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Endang Warsiki, STP MSi dan Ibu Dr Indah Yuliasih, STP MSi selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ono Suparno, STP MT yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada ibu Egnawati Sari selaku teknisi laboratorium Teknologi Industri Pertanian IPB, Ibu Nur dan Mas Candra tenaga administrasi Pascasarjana TIP IPB yang telah banyak membantu. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2013 Rini Nofrida
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Kemasan Cerdas/Intelligent Packaging Kitosan Polivinil Alkohol (PVA) Stabilitas Warna Antosianin Tanaman Erpa (Aerva sanguinolenta) Pengukuran Warna METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan karakterisasi pewarna daun erpa Pembuatan dan karakterisasi film indikator warna Aplikasi kemasan cerdas pada penyimpanan produk pangan Potensi aplikasi film indikator warna sebagai kemasan cerdas KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
vi vi vi 1 1 3 3 4 4 6 7 7 8 9 11 11 11 11 19 19 19 37 43 44 46 50
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8
Arti ∆L, ∆a, ∆b, dan ∆E Nilai ohue dan daerah kisaran warna kromatis (Hutchings 1999) Sifat fisik film kemasan cerdas indikator warna Kinetika perubahan nilai L film selama penyimpanan Kinetika perubahan nilai a film selama penyimpanan Kinetika perubahan nilai b film selama penyimpanan Kinetika perubahan nilai ohue film selama penyimpanan Kinetika perubahan nilai ∆E film selama penyimpanan
10 16 22 25 27 28 32 34
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
14
15
16
17
Struktur kimia kitin dan kitosan Tanaman erpa (Aerva sanguinolenta) Grafik warna L, a, b (kroma dan hue) Proses ekstraksi pewarna daun erpa Diagram alir pembuatan film indikator warna (metode 1) Diagram alir pembuatan film indikator warna (metode 2) Skema alat pengganti cahaya matahari Aplikasi film indikator sebagai kemasan cerdas Ekstrak daun erpa Warna film (a) sebelum dikeringkan; (b) setelah dikeringkan pada suhu 50oC Perubahan warna larutan film (a) setelah di homogenisasi; (b) 1 jam pada suhu ruang; (c) 3 jam pada suhu ruang Lembaran film (a) belum diberi pewarna; (b) proses pewarnaan film; (c) lembar indikator warna; (d) siap untuk di uji penyimpanan Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai L film pada suhu: (a) freezer ((-10)±2oC); (b) refrigerator (3±2oC); (c) ruang (25±3oC), dan (d) luar yaitu 40oC dengan paparan cahaya Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai a film pada suhu: (a) freezer ((-10)±2oC); (b) refrigerator (3±2oC); (c) ruang (25±3oC), dan (d) luar yaitu 40oC dengan paparan cahaya Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai b film pada suhu: (a) freezer ((-10)±2oC); (b) refrigerator (3±2oC); (c) ruang (25±3oC), dan (d) luar yaitu 40oC dengan paparan cahaya Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai ohue film dan perubahan warna film dengan pada suhu: (a) freezer ((-10)±2oC); (b) refrigerator (3±2oC); (c) ruang (25±3oC), dan (d) luar yaitu 40oC dengan paparan cahaya Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai ∆E film pada suhu: (a) freezer ((-10)±2oC); (b) refrigerator (3±2oC); (c) ruang (25±3oC), dan (d) luar yaitu 40oC dengan paparan cahaya
6 9 10 12 14 14 16 17 19 20 20 21
24
26
28
31
34
18
19
20 21
22 23
Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai kadar air pada suhu: (a) freezer ((-10)±2oC); (b) refrigerator (3±2oC); (c) ruang (25±3oC), dan (d) luar yaitu 40oC dengan paparan cahaya Hubungan lama penyimpanan terhadap ketebalan pada suhu: (a) freezer ((-10)±2oC); (b) refrigerator (3±2oC); (c) ruang (25±3oC), dan (d) luar yaitu 40oC dengan paparan cahaya Aplikasi film indikator warna sebagai kemasan cerdas pada kemasan susu pasteurisasi pada penyimpanan (a) suhu refrigerator dan (b) suhu ruang Hasil uji organoleptik susu pasteurisasi (a) Warna; (b) Aroma; (c) Rasa; dan (d) perubahan warna kemasan cerdas indikator selama penyimpanan suhu refrigerator (3±2oC) Hasil uji total koloni mikroba susu pasteurisasi selama penyimpanan pada suhu (b) refrigerator (3±2oC); (c) ruang (25±3oC) Label indikator warna daun erpa
35
36 38
40 41 43
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Diagram alir tahap penelitian Proses pembuatan Larutan kitosan 3% dan Larutan PVA 3% Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) pada susu pasteurisasi menurut SNI 7388:2009 Hasil uji t nilai slope da intersep film indikator warna daun erpa
50 51 52 53
1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran utama kemasan dalam industri makanan adalah mengawetkan dan melindungi produk dari kontaminasi eksternal, termasuk keamanan makanan, memelihara mutu dan meningkatkan umur simpan. Kemasan harus dapat melindungi makanan dari pengaruh lingkungan seperti cahaya, panas, oksigen, kelembaban, mikroorganisme, serangga, debu, emisi gas, tekanan, dan lain lain. Faktor-faktor ini menyebabkan kerusakan makanan dan minuman. Umur simpan produk dapat ditingkatkan dengan mengurangi resiko cemaran dari mikroba, reaksi biokimia dan enzimatik melalui berbagai cara seperti mengontrol kelembaban dan suhu, menghilangkan atau mengurangi oksigen, menambahkan bahan aditif kimia dan bahan pengawet, atau kombinasi dari kedua bahan tersebut. Integrasi strategi yang tepat mulai dari produk, proses, kemasan, distribusi dan transportasi sangat penting untuk menghindari kerusakan produk. Bahan kemasan yang sempurna tidak boleh memindahkan satupun molekul berbahaya dari bahan kemasan ke dalam produk. Beberapa studi telah dilakukan terkait adanya beberapa bahan kemasan yang diduga sebagai sumber kontaminan berbahaya karena adanya migrasi zat kimia dari bahan kemasan tersebut ke dalam produk terkemas, seperti terjadinya migrasi diphenylbutadiene dari low-density polyethylene (LDPE) jika kontak dengan produk yang memiliki lemak tinggi seperti cokelat dan margarin. (Silva et al. 2007) Terlepas dari peran yang disebutkan di atas, fungsi penting lain dari kemasan adalah sebagai wadah, kenyamanan, pemasaran, dan komunikasi. Kemasan harus memastikan produk tidak tumpah atau bocor. Kemasan menjadikan produk mudah dibawa dan kemasan yang menarik akan membantu meningkatkan pemasaran produk. Komunikasi antara konsumen dan produsen diperankan oleh kemasan dalam menampilkan informasi seperti berat bahan, sumber bahan, nilai gizi dan tanggal kedaluwarsa. Di era sekarang, kemasan berperan dinamis dan memungkinkan berinteraksi dengan produk dan lingkungan atau dikenal dengan kemasan aktif. Kemasan ini mampu mengontrol tingkat respirasi, menunda oksidasi, memberi kelembaban, menghambat pertumbuhan mikroba, menyerap bau dan karbondioksida, menyerap etilen, melepas aroma dan lain-lain. Film selulosa-asetat dapat melepaskan kalium sorbat secara berkala sebagai kemasan untuk menghambat pertumbuhan mikroba (Uz dan Altinkaya 2011). Perkembangan lain di bidang kemasan adalah intelligent packaging atau kemasan cerdas. Kemasan cerdas telah memungkinkan untuk memantau dan mengkomunikasikan informasi tentang mutu makanan terkemas dengan bantuan indikator waktu dan suhu, identifikasi frekuensi radio, indikator kematangan, dan biosensor. Perangkat ini dapat dimasukkan ke dalam matrik bahan kemasan atau melekat pada bagian dalam atau di luar kemasan. Aplikasi komersial teknologi seperti ini sangat membantu produsen dan konsumen mengenali kerusakan produk yang tidak diperlakukan sesuai syarat penyimpanan, melacak titik-titik kritis, dan memberikan informasi lebih rinci seluruh rantai suplai dan distribusi produk, sehingga keamanan produk lebih terjamin. Sejauh ini eksplorasi dan
2
pengembangan kemasan cerdas masih terus dilakukan untuk dapat diaplikasikan pada berbagai produk yang mempunyai karakter dan persyaratan mutu yang berbeda-beda. Salah satu kemasan cerdas adalah TTI (Time Temperature Indicators). TTI adalah kemasan cerdas yang dapat menginformasikan jika terjadi kesalahan suhu selama penyimpanan produk. Pengembangan TTI sudah banyak dilakukan, diantaranya 3M Monitor Mark yang merupakan merek paten dari USA yang mengembangkan TTI untuk produk segar. Hong dan Park (2000) mengembangkan indikator warna untuk memantau fermentasi dan umur simpan kimchi dengan menggunakan perubahan pH dan suhu di dalam kemasan sebagai sensor untuk perubahan warna pada kemasan produk tersebut. Penelitian mengenai TTI juga dilakukan oleh Vaikousi et al. (2008) yang mengembangkan microbial TTI untuk memonitor mutu mikrobial pada produk yang disimpan pada suhu dingin; Warsiki dkk. (2010) mengenai kemasan antimikrobial dengan bahan aktif ekstrak bawang putih; serta Warsiki dan Putri (2012) tentang label cerdas dengan indikator warna dari bahan alami dan sintetik. Negara-negara maju sudah banyak melakukan penelitian untuk mengembangkan TTI dan indikator warna sebagai kemasan cerdas, diantaranya Fresh-checkTM (USA) yang mengembangkan kemasan cerdas untuk mengetahui besarnya paparan cahaya selama penyimpanan, dan OnVuTM yang merupakan produk TTI dari Switzerland. Penelitian tentang kemasan cerdas sangat perlu dikembangkan khususnya penelitian mengenai TTI dengan kemasan indikator warna agar produk yang disimpan dapat diketahui kemungkinan adanya kesalahan suhu selama penyimpanan produk, terutama untuk produk rentan suhu dan cahaya. Salah satu bahan yang potensial dikembangkan di Indonesia sebagai matrik pembawa warna pada TTI adalah kitosan, karena kitosan dapat membentuk film dan membran dengan baik. Film dengan bahan dasar kitosan mempunyai sifat yang kuat, elastis, fleksibel dan sulit untuk dirobek sebanding dengan polimer komersial dengan kekuatan sedang (Buttler et al. 1996). PVA adalah berupa polimer sintetik yang biodegradable. Kombinasi kitosan dan PVA dapat menghasilkan film yang lebih baik, Apriyanto (2007) telah melaporkan bahwa film dengan kombinasi bahan dasar kitosan 40% (v/v) dan PVA 60% (v/v) dapat meningkatkan ketebalan, kuat tarik dan elongasi pada film secara nyata jika dibandingkan dengan film yang berbahan dasar kitosan saja. Sementara Permana (2008) menyatakan kombinasi antara PVA 26% (b/v) dan kitosan 10% (b/v) dapat meningkatkan kuat tarik dan elongasi komposit biofiber. Dalam pembuatan kemasan cerdas dengan indikator warna, diperlukan pewarna yang memiliki stabilitas tertentu yang dapat dipengaruhi oleh faktorfaktor tertentu seperti suhu penyimpanan dan paparan terhadap cahaya matahari. Salah satu sumber pewarna adalah antosianin. Antosianin adalah pigmen yang bisa larut dalam air. Secara kimiawi antosianin bisa dikelompokan ke dalam flavonoid dan fenolik. Zat tersebut bisa ditemukan di berbagai tanaman yang ada di darat. Zat tersebut berperan dalam pemberian warna terhadap bunga atau bagian tanaman lain dari mulai merah, biru sampai ke ungu termasuk juga kuning dan tidak berwarna (seluruh warna kecuali hijau). Hanum (2000) melaporkan suhu dan paparan cahaya matahari dapat menurunkan stabilitas warna dari antosianin selama penyimpanan. Sementara dalam penelitian yang dilakukan Ningrum (2005) dihasilkan bahwa daun erpa merupakan sumber warna antosianin yang
3
baik untuk dikembangkan. Daun erpa merupakan tanaman semak yang masih belum termanfaatkan secara maksimal, sejauh ini hanya digunakan sebagai tanaman hias dan obat tradisional. Berdasarkan hal-hal tersebut, perlu dikembangkan kemasan cerdas dengan indikator warna dengan pewarna alami dari daun erpa yang digunakan untuk produk rentan suhu dan cahaya. Pada penelitian-penelitian sebelumnya, perubahan indikator warna pada umumnya hanya didasarkan pada perubahan pH (Hasnedi, 2009; Warsiki dan Putri, 2012), sedangkan perubahan warna indikator karena perubahan suhu seperti susu pasteurisasi dalam kemasan serta olahannya masih sangat sedikit.
1.2 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah mendapatkan formulasi pembuatan film indikator warna sebagai kemasan cerdas untuk produk rentan suhu dan cahaya. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk (i) mengetahui formulasi film dan cara penambahan pewarna erpa dan pewarna sintetik pada matrik film kitosan dan PVA sebagai film indikator warna; (ii) mengetahui tingkat stabilitas warna film indikator terhadap suhu dan paparan cahaya matahari selama penyimpanan; dan (iii) mengaplikasikan kemasan dengan indikator warna untuk produk pangan yang rentan suhu dan cahaya.
1.3 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada (i) formulasi dan karakterisasi film indikator warna; (ii) mengkaji mengenai perubahan warna film indikator warna selama penyimpanan melalui perubahan nilai L, a, b, ohue dan ΔE dan; (iii) aplikasi film indikator warna pada salah satu sampel produk pangan rentan suhu dan cahaya yaitu susu pasteurisasi.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kemasan Cerdas/Intelligent Packaging Intelligent packaging adalah sistem melekat sebagai label, yang dimasukkan ke dalam kemasan, atau dicetak ke bahan kemasan yang menawarkan kemungkinan ditingkatkan untuk memantau mutu produk (Kerry dan Buttler 2008). Kemasan cerdas ini dapat memberikan informasi kepada komsumen mengenai kerusakan produk apabila tidak diperlakukan sesuai syarat penyimpanan, melacak titik-titik kritis, dan memberikan informasi lebih rinci seluruh rantai suplai dan distribusi produk, sehingga keamanan produk konsumen lebih terjamin.Teknik kemasan cerdas yang ada saat ini di antaranya Time Temperature Indikator, indikator oksigen, indikator CO2, indikator patogen, indikator kesegaran, dan breakage indicator. Indikator ini bertujuan untuk menunjukkan apakah mutu produk di dalamnya sudah menurun dan mengalami kerusakan. Galagan dan Su (2008) melaporkan bahan kemasan cerdas berupa indikator oksigen yang dapat berubah warna apabila terpapar oksigen. Kemasan cerdas ini berupa tinta fadable yang di aplikasikan pada kertas atau plastik. Tinta terbuat dari anthraquinone b-sulfonate yang dicampur dengan sodium hydrosulfite sehingga berwarna merah, namun apabila tinta tersebut terpapar oleh oksigen maka akan berubah menjadi warna krem. Kesensitifan tinta tersebut terhadap oksigen disimpulkan dapat digunakan sebagai indikator untuk memantau kesegaran makanan. Hong dan Park (2000) melakukan penelitian mengenai kemasan cerdas untuk produk kimchi, dengan menggunakan perubahan suhu dan pH sebagai sensor untuk mendeteksi umur simpan dan fermentasi kimchi, seiring dengan perubahan suhu dan pH ruangan dalam kemasan maka akan menyebabkan perubahan warna pada kemasan cerdas yang diletakkan di dalam kemasan primer produk. Rukchon (2011) melaporkan kemasan cerdas untuk mendeteksi kerusakan pada produk stik sayap ayam segar, dengan menggunakan senyawa volatil yang dihasilkan oleh mikroba yang terdapat pada stik sayap ayam segar selama penyimpanan dapat dijadikan indikator kerusakan pada stik sayap ayam segar yang dideteksi dengan perubahan warna pada kertas pH. Penelitian ini menghasilkan peningkatan jumlah senyawa volatil dalam hal ini amonia dapat menyebabkan perubahan warna kertas pH dari kuning menjadi hijau, sehingga dapat diaplikasikan sebagai kemasan cerdas untuk pendeteksi kerusakan stik sayap ayam segar. Selain pada ayam ada juga penelitian kemasan cerdas yang dilakukan oleh Kuswandi et al. (2012) yang menggunakan film polyaniline sebagai indikator warna yang dapat berubah warna seiring dengan bertambahnya senyawa volatil yang dihasilkan oleh aktivitas mikroba pada penyimpanan ikan bandeng. Kemasan cerdas untuk produk ikan juga dilakukan oleh Hasnedi (2009), yang melakukan pengembangan kemasan cerdas (smart packaging) dengan sensor berbahan dasar kitosan-asetat, polivinil alkohol, dan pewarna indikator bromthynol blue sebagai pendeteksi kebusukan filet ikan nila, menghasilkan smart packaging yang dapat secara visual memberikan perubahan warna dari kuning menjadi hijau kebiruan.
5
Sementara di negara-negara maju banyak paten dan merek komersial yang dikeluarkan mengenai kemasan cerdas, diantaranya 3M Monitor Mark yang merupakan merek paten dari USA yang mengembangkan kemasan cerdas berupa indikator kesegaran untuk produk dingin yang dapat mendeteksi adanya perubahan suhu selama penyimpanan produk, Fresh-check (USA) yang mengembangkan kemasan cerdas untuk mengetahui kerusakan pada produk segar. Pembuktian penggunaan 3M Monitor Mark dan Fresh-check dilakukan oleh Smolander (2004) yang menggunakan kedua merek kemasan cerdas komersial tersebut sebagai indikator kerusakan potongan ayam broiler segar yang dikemas dalam kemasan modifikasi atmosfir. Merek lain adalah OnVu yang merupakan produk dari Switzerland yang digunakan untuk mendeteksi kerusakan produk yang disimpan pada suhu dingin, juga COX Technologies yang mengeluarkan produk Fresh Tag untuk mendeteksi kesegaran seafood, yaitu berupa plastik chip yang diletakkan di dalam kemasan dan akan berubah warna menjadi bright pink ketika semakin banyaknya zat volatil yang terdapat pada ruangan di dalam kemasan seafood tersebut (Han et al. 2005). SensorQTM juga merupakan salah satu merek komersial yang merupakan kemasan cerdas yang dapat mendeteksi kebusukan pada daging segar yang disimpan dalam kemasan, SensorQTM bereaksi seiring dengan pertumbuhan bakteri pada daging selama penyimpanan, label akan berubah warna dari orange yang menujukkan daging masih segar dengan jumlah bakteri sedikit atau tidak ada menjadi warna sawo matang yang menujukkan daging sudah mengandung banyak mikroba atau busuk. Penelitian tentang kemasan cerdas berupa indikator warna sebagai indikator kesegaran juga dilakukan oleh Nopwinyuwong et al. (2010), yaitu indikator warna yang berupa label film nylon/LLDPE dengan pewarna bromothymol blue dan methyl red untuk memonitor kebusukan pada dessert khas Thailand yaitu golden drop. Penelitian tersebut melaporkan CO2 yang dihasilkan oleh produk selama penyimpanan dan juga penurunan pH dapat menyebabkan perubahan warna pada label indikator warna dari warna hijau sebagai indikator kesegaran dan warna orange sebagai indikator kebusukan. Salah satu pengembangan dari Intelligent Packaging adalah TimeTemperature Indicators (TTI) dan Temperature indicators (TI). Alat ini akan menunjukkan jika terjadi kesalaham dalam suhu penyimpanan, dan juga menduga sisa umur dari produk pangan. TTI memberikan perubahan suhu yang masuk untuk menunjukkan kumulatif dari perubahan suhu di atas suhu kritis dan lamanya perubahan suhu itu terjadi. TI memberikan informasi apakah suhu berada di atas atau di bawah suhu kritis. Pada umumnya, TTI dan TI ini berupa perubahan atau pergerakan warna, atau kombinasi keduanya (Kerry dan Buttler 2008). Label TI yang diletakkan pada kemasan pangan, akan memberikan informasi mengenai panas yang masuk ke dalam kemasan selama distribusinya, biasanya ditunjukkan dengan respon yang dapat dilihat dalam bentuk deformasi mekanis, perubahan warna atau pergerakan warna. Salah satu penelitian mengenai TTI dilakukan juga oleh Wanihsuksombat et al. (2010) yang membuat prototype TTI berdasarkan difusi asam laktat, dalam hal ini menggunakan agar yang akan berubah warna dari hijau menjadi merah seiring dengan penurunan pH, suhu dan waktu penyimpanan. Prototype ini dapat digunakan untuk melihat kinetika perubahan suhu penyimpanan pada produk buah dan sayuran segar. Vaikousi et al.(2008) juga mengembangkan prototype TTI
6
untuk produk yang disimpan pada suhu dingin, yaitu berupa TTI berupa media agar yang disimpan pada suhu 0-16oC yang akan mengalami perubahan warna dari merah menjadi kuning seiring dengan penurunan pH sebagai hasil dari metabolisme mikroba didalam media. Penelitian ini kemudian dilanjutkan oleh Vaikousi et al. (2009), yaitu dengan mengaplikasikan prototype TTI terhadap daging cincang yang disimpan pada suhu dan waktu tertentu.
2.2 Kitosan Kitosan adalah produk terdeasetilasi dari kitin yang merupakan biopolimer alami kedua terbanyak setelah selulosa. Kitin termasuk polimer karbohidrat yang terdapat pada serangga, fungi, dan kulit crustacea seperti kepiting, rajungan, dan udang dengan rumus β (1,4)-2-asetamido-2-deoksi-D-glucopyranosa, sedangkan kitosan β (1,4)-2-amino-2-deoksi-D-glucopyranose (Sanford dan Hutchings 1987). Kitosan dapat diperoleh dari limbah industri pengolahan udang. Selama ini limbah udang baru dimanfaatkan oleh industri kecil dalam pembuatan terasi, kerupuk udang, petis, dan campuran pakan ternak (Kim 2004). Kitosan telah lama digunakan sebagai edible film dan bahan alami untuk pharmaceutical, medical, pembungkus kertas, dan industri pengolahan pangan (Sanford dan Hutchings 1987). Penggunaan kitosan sebagai pelapis pelindung antara lain sebagai pelapis semipermeabel terhadap perubahan fisik kimia pada sayuran dan buah selama penyimpanan. Struktur kimia kitin dan kitosan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Struktur kimia kitin dan kitosan Hoagland dan Parris (1996) mengemukakan alasan dalam membuat film dengan bahan dasar kitosan adalah : (i) kitosan merupakan turunan kitin, polisakarida paling banyak di bumi setelah selulosa; (ii) kitosan dapat membentuk film dan membran dengan baik; dan (iii) sifat kationik selama pembentukan film merupakan interaksi elektrostatik dengan anionik. Film dengan bahan dasar kitosan mempunyai sifat yang kuat, elastis, fleksibel dan sulit untuk dirobek sebanding dengan polimer komersial dengan kekuatan sedang (Buttler et al. 1996).
7
Kitosan memiliki gugus amino bebas polikationik, pengkelat dan pembentuk dispersi dalam larutan asam asetat. Apabila kitosan dilarutkan dalam asam maka kitosan akan menjadi polimer kationik dengan struktur linear sehingga dapat digunakan dalam proses flokulasi dan pembentuk film (Rinaudo 2006). Film sendiri sebenarnya merupakan salah satu bentuk polimer yang mudah dibentuk. Proses pembentukan polimer disebut sebagai proses polimerisasi. Polimer yang berupa larutan encer memiliki rantai bebas bergerak, sehingga kemungkinan terbentuk konfigurasi rantai yang beragam. Akan tetapi polimer dalam bentuk padat memiliki rantai tidak teratur sehingga gerakan dan konfigurasinya terbatas (Sumarto 2008). Film yang terbuat dari bahan kitosan memiliki banyak keunggulan, antara lain sifat biodegradable yang telah dibuktikan Makarios-Laham dan Lee (1995). Di dalam tanah, PE-chitosan film memiliki tingkat degradasi lebih tinggi dibandingkan film komersial dengan bahan dasar tepung kanji. Selain itu Ban et al. (2005) membuktikan bahwa kitosan dengan konsentrasi 28 % mampu memberi kekuatan tarik 10 kali lipat dari film tepung kanji komersial. Sementara Chen et al. (2007) telah meneliti mengenai karakteristik ikatan yang terjadi pada film kitosan dan PVA menemukan bahwa pembentukan film kitosan dan PVA adalah melalui interaksi ikatan hidrogen antara kitosan dan PVA membuat struktur kimia film yang dihasilkan sangat kokoh yaitu ikatan hidrogen antar molekul antara NH3+ pada struktur khitosan dan OH- pada polivinil alkohol. Gugus amino (NH2) pada khitosan telah diprotonasi menjadi NH3+ dalam larutan asam asetat, dan gugus OH- pada polivinil alkohol akan berikatan dengan NH3+ membentuk ikatan hidrogen (Xu et al. 2004). Oleh karena itu pengembangan film dengan bahan kitosan dan PVA sangat potensial digunakan sebagai matrik pembawa warna untuk kemasan cerdas dengan indikator warna.
2.3 Polivinil Alkohol (PVA) Polivinil alkohol adalah suatu kopolimer vinil alkohol yang tersusun dari komonomer unit vinil seperti ethylene dan prophylene. Pembentukan polivinil alkohol dilakukan melalui proses hidrolisis (saponifikasi) dari polivinil asetat. Reaksi ini dapat berjalan dengan adanya katalis yaitu garam palladium (II) klorida (Schonberger et al. 1997). Polivinil alkohol merupakan polimer sintetik yang mudah diuraikan secara biologi (biodegradable) dan tidak beracun. Pada pengembangannya, polivinil alkohol sudah diaplikasikan dalam bidang kesehatan, pelapis bahan, bahan pembuat detergen, lem, serta pengemulsi (Hodgkinson dan Taylor 2000). Polivinil alkohol berbentuk serbuk yang berwarna putih dan dapat larut dalam air pada suhu 80oC serta memiliki densitas sebesar 1.20 – 1.30 g/cm3 (Sheftel, 2000). Polivinil alkohol dapat digunakan sebagai bahan pembuatan kemasan plastik film. Polivinil alkohol memiliki kuat sobek sekitar 147 – 834 N/mm, kuat tarik sebesar 44 – 64 MN/m2, serta persen pemanjangan sebesar 150 – 400 %. Dengan karakteristik tersebut, polivinil alkohol dapat dibentuk menjadi kemasan plastik film yang biodegradable (Hodgkinson dan Taylor 2000).
8
2.4 Stabilitas Warna Antosianin Struktur dan konsentrasi antosianin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi stabilitas warna antosianin. Antosianin umumnya lebih stabil pada larutan asam dibandingkan pada larutan netral atau alkali. Dalam keadaan asam, struktur dominan antosianin berada dalam bentuk inti kation flavium yang terprotonisasi dan kekurangan elektron. Peningkatan nilai pH menyebabkan kation flavilum menjadi tidak stabil dan mudah mengalami transformasi struktural menjadi senyawa tidak bewarna seperti kalkon ( Jackman dan Smith 1996). Oksigen dapat menstimulasi terjadinya proses degradasi antosianin secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung oksigen mampu menyebabkan oksidasi antosianin membentuk senyawa tidak berwarna yang menurunkan stabilitas warna antosianin. Secara tidak langsung senyawa hidroksiradikal mampu menyebabkan oksidasi pada struktur antosianin membentuk senyawa tidak berwarna seperti kalkon yang merupakan indikator degradasi warna antosianin (Ningrum 2005). Cahaya juga dapat menyebabkan terjadinya proses degradasi antosianin. Cahaya memiliki energi tertentu yang mampu menstimulasi terjadinya reaksi fotokimia (fotooksidasi) dapat menyebabkan pembukaan cincin karbon nomor dua. Pada akhirnya reaksi fotokimia (fotooksidasi) tersebut mampu membentuk senyawa yang tidak berwarna seperti kalkon yang merupakan indikator degradasi warna antosianin (Ningrum 2005). Degradasi lanjutan antosianin dapat membentuk senyawa turunan lain yang tidak berwarna seperti 2,4,6 trihidroksibenzaldehida dan asam benzoate tersubtitusi lainnya. (Jackman dan Smith 1996). Suhu juga merupakan faktor yang mempengaruhi kestabilan antosianin. Peningkatan suhu pengolahan hingga penyimpanan dapat mengakibatkan kerusakan dan perubahan warna antosianin secara cepat, yaitu melalui tahapan : (i) terjadinya hidrolisis pada ikatan glikosidik antosianin dan menghasilkan aglikon-aglikon yang labil; dan (ii) terbukanya cincin aglikon sehingga terbentuk gugus karbinol dan kalkon yang tidak berwarna. Selanjutnya menurut Jackman dan Smith (1996), senyawa kalkon dapat mengalami degradasi membentuk senyawa tidak berwarna yang lebih sederhana yaitu asam karboksilat seperti asam benzoat tersubtitusi dan karboksi-aldehida seperti 2,4,6 trihidroksibenzaldehida.
2.5 Tanaman Erpa (Aerva sanguinolenta) Salah satu tanaman yang merupakan sumber potensial pewarna antosianin adalah daun tanaman erpa (Aerva sanguinolenta) yang termasuk kedalam suku Amaranthaceae dan genus Aerva. Tanaman ini memiliki nama dagang atau nama umum sambang colok. Tanaman erpa memiliki beberapa nama daerah yaitu Ki Sambang (Sunda), Sambang Colok (Jawa) dan Rebha et raedhan (Madura). Menurut Mardisiswojo dan Harsono (1985), tanaman ini tumbuh liar di halaman dan di ladang-ladang sampai di dataran setinggi kira-kira 1000 m dari permukaan laut. Ada juga yang ditanam orang di halaman-halaman sebagai tanaman hias. Heyne (1987) menambahkan bahwa tanaman sambang colok merupakan tanaman berbatang lemas dan tingginya sekitar 0.3-2 m. Daun sambang colok berbentuk
9
bulat hingga meruncing, bertepi rata dan berbulu, warnanya merah-coklat atau ungu. Bunganya berwarna merah atau merah muda. Daun inilah yang digunakan sebagai pewarna alami. Kandungan yang terdapat dalam daun sambang colok yaitu mengandung senyawa alkaloid, minyak atsiri, dan flavonoid (Restanti 1992). Tanaman erpa merupakan tanaman berpotensi besar untuk dikembangkan sebagai pewarna antosianin terutama untuk produksi dalam skala besar, karena tanaman ini (i) memiliki umur panen relatif singkat, (ii) tahan terhadap hama dan penyakit (iii) mudah dibudidayakan dan dapat diproduksi sepanjang tahun (Ningrum 2005).
Gambar 2 Tanaman erpa (Aerva sanguinolenta)
2.5 Pengukuran Warna Warna adalah spektrum cahaya yang dipantulkan oleh benda yang kemudian ditangkap oleh indra penglihatan kita (yakni mata) lalu diterjemahkan oleh otak sebagai sebuah warna tertentu. Warna yang diterima jika mata memandang objek yang disinari berkaitan dengan tiga faktor: sumber sinar, ciri kimia dan fisika objek, dan sifat-sifat kepekaan spektrum mata (Putri 2012). Pada produk pangan warna merupakan faktor yang menentukan mutu, indikator kematangan, indikator kesegaran dan juga indikator kerusakan pangan. Terdapat berbagai metode dan alat yang bisa digunakan untuk pengukuran warna, beberapa contoh alat yang bisa digunakan dalam pengukuran warna adalah kromameter dan spektrofotometer. Kromameter biasanya digunakan untuk sampel padat sedangkan spektrofotometer digunakan untuk sampel dalam bentuk cair. Kromameter memiliki prinsip kerja berdasarkan pemantulan warna yang dihasilkan oleh sampel. Lampu getar yang terdapat di dalam kromameter akan memancarkan sinar xenon dan menghasilkan penyebaran serta penerangan cahaya yang merata pada permukaan sampel. Enam buah fotosel silikon yang memiliki sensitifitas tinggi dan filter untuk mencocokkan dengan respon standar CIE (Commission Internationale d'Eclairage) digunakan sebagai sistem pengukuran umpan balik berkas ganda untuk mengukur sinar yang dipantulkan. Kromameter dapat mendeteksi setiap deviasi sinar spectral yang berasal dari pancaran lampu getar xenon yang bekerja secara otomatis. Pada umumnya sistem output data hasil pengukuran adalah tiga output yaitu sistem warna CIE; sistem warna Hunter Lab; dan sistem warna CIELAB (Joshi dan Brimellow 2002). Sistem CIELAB, terdapat beberapa atribut nilai warna yang terdiri dari nilai L, a, b, ohue, C, dan ∆E (MacDougall 2002). Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan warna dengan interval nilai 0 (hitam) hingga 100 (putih). Nilai a merupakan nilai yang menunjukkan cahaya
10
pantul sehingga menghasilkan warna kromatik campuran warna merah hijau. Nilai a positif menunjukkan koordinat derajat kemerahan yang lebih dominan, sedangkan nilai a negatif menunjukkan koordinat derajat kehijauan yang lebih dominan. Nilai b merupakan nilai yang menunjukkan cahaya pantul sehingga menghasilkan warna kromatik campuran biru kuning. Nilai b positif menunjukkan koordinat derajat kekuningan yang lebih dominan, sedangkan nilai b negatif menunjukkan koordinat derajat kebiruan yang lebih dominan. Nilai ohue menunjukkan derajat kroma yang merujuk pada kisaran warna kromatik yang dilihat indera penglihatan. Nilai ∆E merupakan total perubahan warna selama penyimpanan. Sistem atribut nilai dalam CIELAB dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Grafik warna L, a, b (kroma dan hue) Perhitungan pada skala warna CIELab menggunakan persamaan-persamaan di bawah ini dan dideskripsikan pada Tabel 1 : hue = tan-1 (b/a) …………………… (Persamaan 1)
o
E L2 a 2 b 2 ................. ( Persamaan 2) Dimana : ΔL = L sampel – L standar Δa = a sampel – a standar Δb = b sampel – b standar Tabel 1 Arti ∆L, ∆a, ∆b, dan ∆E Perbedaan Komponen ∆L ∆a ∆b ∆E
(+) lebih cerah (+) lebih merah (+) lebih kuning Perubahan warna
(-) lebih gelap (-) lebih hijau (-) lebih biru
11
3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan April-Oktober 2012. Pembuatan film indikator dilakukan di Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Analisis warna dilakukan di Laboratoriun Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Analisa fisik mekanis film dilakukan di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu (RDBK) Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua macam yaitu bahan pewarna dan bahan untuk membuat film/kemasan. Bahan pewarna adalah ekstrak daun erpa segar (Aerva sanguinolenta) yang berumur 2-3 bulan dan pewarna sintetis merah karmoisin CI 14720 yang berbentuk cair. Bahan untuk pembuatan matrik film sekaligus pembawa bahan pewarna adalah kitosan yang berbentuk bubuk dan kristal polivinil alkohol (PVA). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah oven, inkubator, homogenizer, cetakan kaca (30×20cm) sebagai wadah larutan film, magnetic stirrer, pengaduk, termometer, gelas piala, gelas ukur, shaker, dan neraca analitik. Selain itu juga akan digunakan untuk analisis mekanik dan fisik adalah pH meter, micrometer untuk mengukur ketebalan dan Chromameter Minolta CR-200 dan spektrofotometer untuk pengukuran warna.
3.3 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah ekstraksi dan karakterisasi pewarna daun erpa, tahap kedua adalah pembuatan dan karakterisasi film indikator warna daun erpa, dan tahap ketiga adalah aplikasi indikator warna daun erpa sebagai kemasan cerdas untuk mendeteksi kerusakan produk pangan yaitu susu pasteurisasi. Sistematika penelitian ini dapat diuraikan secara rinci pada Lampiran 1. 3.3.1 Tahap 1 : Ekstraksi dan karakterisasi pewarna daun erpa (modifikasi metode Ningrum (2005)) Daun erpa yang digunakan adalah daun erpa segar (dari tanaman erpa yang berumur 2-3 bulan) dan kondisinya baik (bentuk daun utuh dan tidak terkena penyakit). Sebelum digunakan daun erpa segar disortasi terlebih dahulu untuk memisahkan daun yang rusak maupun yang berpenyakit, daun erpa yang telah disortasi kemudian dicuci untuk mencegah pencemaran karena debu, tanah ataupun kotoran lain. Pencucian daun erpa dilakukan secepat mungkin untuk mencegah berkurangnya rendemen antosianin karena luka pada pangkal daun
12
bekas patahan daun erpa menjadi tempat keluar zat warna ketika daun erpa dicuci (Dianawati 2001). Daun erpa yang telah dicuci kemudian dikering anginkan sebentar lalu ditimbang berdasarkan kebutuhan. Daun erpa kemudian dihaluskan dengan blender dan dilakukan penambahan akuades sebanyak 1:2, 1:3, 1:4 dan 1:5 (erpa:air(g/mL)) sebagai pengekstrak. Daun erpa yang sudah dihaluskan kemudian diekstraksi dengan menggunakan akuades pada suhu 80oC selama 3 menit. Kemudian bahan disaring sehingga didapatkan ekstrak pewarna. Proses pembuatan ekstrak daun erpa dapat dilihat pada Gambar 4. Daun Erpa
Sebelum digunakan daun Pencucian erpa segar di Pengeringan (diangin-anginkan) sortasi terlebih
dahulu untuk Pengecilan ukuran (dengan blender) memisahkan
Daun erpa : akuades (b/v) (1:1) (1:2), (1:3), (1:4), (1:5)
daun yang Ekstraksi (suhu 80o C selama 3 menit)
rusak maupun yang Penyaringan
Ampas
berpenyakit a Ekstrak pewarna
Pengukuran pH dan total antosianin (ekstrak terbaik)
Gambar 4 Proses ekstraksi pewarna daun erpa Ekstrak pewarna daun erpa terbaik yang didapatkan kemudian diukur pH dan total antosianin dengan metode berikut : (i) Analisis pH Nilai pH dihitung dengan pH meter, alat dihidupkan dan dibiarkan sebentar hingga jarum menunjukkan angka yang tepat. pH meter distandarkan dengan larutan buffer = 7 dan buffer = 4. Nilai pH diukur dengan cara mencelupkan elektroda pH meter kedalam larutan sampai menunjukan pH yang stabil. Sebelum pencelupan elektroda dibilas dengan akuades dan dilap dengan kapas atau tisu kering. Pengukuran dilakukan minimal 3 kali untuk larutan sampel yang sama. (ii) Konsentrasi Total Antosianin (Less dan Francis 1972 ) Konsentrasi antosianin diukur dengan teknik spektrofotometri. Sebanyak 1 ml filtrat hasil ekstraksi diencerkan hingga 100 mL dengan etanol 95 %: HCl 1.5
13
N (85:15). Filtrat kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 535 nm (Dianawati 2001).Total antosianin kemudian dihitung dengan rumus : (Absorbans i fp ) 100 98.2 Wsampel (g) ........ (Persamaan 3) Dimana : fp = faktor pengenceran Faktor 98.2 = nilai ε (serapan molar) dari pigmen antosianin dalam pelarut etanol 95% : HCl 1.5 N (85:15), yang merujuk pada absorbansi antosianin dalam etanol asam yang di ukur dalam celah selebar 1 cm pada panjang gelombang 535 nm dalam konsentrasi 1% (v/v). Wsampel = berat sampel Total antosianin (mL/100 g sampel) =
3.3.2 Tahap 2 : Pembuatan dan karakterisasi film indikator warna Tahap kedua ditujukan untuk pembuatan film dari campuran kitosan dan PVA dan penentuan konsentrasi dan cara aplikasi penambahan pewarna pada matrik film diujicobakan sampai mendapatkan formulasi yang sesuai dengan kebutuhan. Penggunaan pewarna sintesis adalah karmoisin CI 14720 juga dicobakan pada penelitian ini untuk dibandingkan dengan pewarna alami daun erpa. Selanjutnya dilakukan karakterisasi film indikator dan juga pengukuran stabilitas warna film yang dilakukan selama film tersebut disimpan dalam beberapa kondisi penyimpanan. 3.3.2.1 Pembuatan dan karakterisasi film indikator warna Film indikator warna dibuat dengan menggunakan kitosan-asetat dan PVA, penggunaan bahan tersebut didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Apriyanto (2007) yang dimodifikasi. Komposisi larutan yang digunakan yaitu dengan kombinasi PVA 3 % (b/v) dan kitosan-asetat 3 % (b/v) sebanyak 400 mL dengan perbandingan(0:100) (20:80), (40:60), (60:40), (80:20), (100:0) dan gliserol sebagai plasticizer sebesar 1% (v/v) dari volume larutan. Proses percobaan aplikasi pewarna adalah sebanyak ((5, 10, 15, 20, 25) mL pewarna /100 mL larutan film), pewarna yang digunakan adalah ekstrak daun erpa dan pewarna sintetis karmoisin CI 14720 (merah tua). Percobaan pertama adalah penambahan pewarna kemudian dilakukan homogenisasi pada suhu 80oC, dengan kecepatan 60 rpm selama 5 menit, setelah itu dilakukan pencetakan dengan cetakan kaca 20×30 cm, untuk selanjutnya dikeringkan pada suhu 50oC dan suhu ruang (25±3oC) selama 24 jam. Metode lain aplikasi warna adalah dengan pengolesan pewarna pada film, hingga didapatkan film indikator warna erpa dengan warna merata secara visual. Diagram alir proses pembuatan film indikator warna dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6.
14
Larutan PVA 3% + larutan kitosan 3% ((0:100),(20:80),(40:60), (60:40),(80:20),(100:0))+1% gliserol
(5, 10, 15, 20, 25) mL pewarna /100 mL larutan film
Homogenisasi 80o C, 60 rpm, 5 menit Pencetakan dengan cetakan 20 x 30 cm
Pengeringan suhu 50oC dan suhu ruang (25±3oC) selama 24 jam
Film Indikator
Gambar 5 Diagram alir pembuatan film indikator warna (metode 1)
Larutan PVA 3% + larutan kitosan 3% ((0:100),(20:80),(40:60), (60:40),(80:20),(100:0)) + 1% gliserol
Homogenisasi 80o C, 60 rpm, 5 menit Pencetakan dengan cetakan 20 x 30 cm
Pengeringan suhu 50oC selama 24 jam
Lembaran film
Pengolesan pewarna
Pewarna erpa
Film indikator
Gambar 6 Diagram alir pembuatan film indikator warna (metode 2)
15
3.3.2.2 Karakteristik sifat fisik dan mekanis film indikator Film indikator warna terbaik yang dihasilkan kemudian dianalisis sifat fisis mekanis, analisis yang digunakan adalah sebagai berikut : (i) Ketebalan Ketebalan film indikator warna diukur dengan micrometer scrup. Alat ini memiliki ketelitian sampai 0,01 mm. Pengukuran dilakukan pada lima tempat yang berbeda kemudian hasilnya dirata-ratakan sehingga diperoleh nilai ketebalan film indikator warna rata-rata dalam satuan mm. (ii) Kekuatan tarik (KT) dan persentase pemanjangan (%E) (ASTM 1989) Kekuatan tarik dan persentase pemanjangan film indikator warna yang dihasilkan diukur dengan menggunakan alat Tensile Strenght and Elongation Tester Strograph. Alat ini diatur pada Initial Grip Separation 50 mm dengan Load cells 5 kg dan kecepatan cross Lead 200 cm/menit. Kekuatan tarik ditentukan berdasarkan beban maksimum pada saat film pecah dan %E dilakukan pada penambahan panjang film pada saat film pecah/putus. Satuan kekuatan tarik adalah N/mm2. KT =
%E =
Gaya (newton) Luas contoh (mm 2 ) ...........................................(Persamaan 4)
Panjang setelah putus - panjang awal 100% Panjang awal ..............(Persamaan 5)
Di mana : KT = kuat tarik %E = elongasi 3.3.2.3 Uji stabilitas film indikator warna sebagai kemasan cerdas Uji stabilitas warna film indikator dititik beratkan pada perubahan degradasi warna, kadar air dan ketebalan film indikator warna seiring dengan lama waktu dan suhu penyimpanan, sehingga akan diperoleh rekomendasi penggunaan kemasan cerdas untuk produk nyata. Ada dua perlakuan yang berbeda, film indikator warna dibungkus/diselotip dan tanpa dibungkus/diselotip dengan selotip bening. Pembungkusan dilakukan untuk melihat ketahanan dari film indikator warna yang dihasilkan dan pengaruh lingkungan terhadap film, karena film indikator warna memiliki sifat larut air, sehingga dengan pembungkusan dapat melindungi film indikator warna dari kelembaban dan pengaruh lingkungan lainnya. Perbedaan kedua perlakuan ini akan dilihat perbedaannya dengan melakukan uji t terhadap nilai kemiringan (slope) dan intersep dari persamaan matematis perubahan nilai L,a,b, ohue dan ΔE pada masing-masing kondisi penyimpanan. Pengukuran stabilitas terhadap film indikator warna dilakukan selama kemasan tersebut disimpan dalam beberapa kondisi penyimpanan. Respon film indikator terhadap suhu diuji dengan penyimpanan film indikator warna pada suhu freezer ((-10)±2oC), refrigerator (3±2oC), dan ruang (25±3oC), serta penyimpanan
16
dengan perlakuan diberi paparan cahaya lampu flouroscent dengan jarak 6 cm dalam kotak berukuran 30× 10×10 cm dengan suhu 40o C dengan RH 35-40% dan intensitas cahaya 400 klx yang diasumsikan sebagai panas cahaya matahari dan juga pada cahaya matahari langsung, selama 6 jam dan diamati degradasi warna selama penyimpanan. Gambar skema alat pengganti cahaya matahari dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Skema alat pengganti cahaya matahari Perubahan warna yang terjadi terhadap film indikator warna terbaik selama masa simpan, dilihat secara visual dan dengan melakukan pengukuran dengan chromameter, perubahan kadar air dianalisis dengan metoda oven dan ketebalan diukur dengan micrometer secrup. (i) Analisis Warna (Hunter 1958) Pengukuran dilakukan dengan menggunakan chromameter CR 200 keluaran Minolta. Pertama alat dikalibrasi dengan obyek standar merah dari CR 200. Kemudian contoh diletakkan dibawah sensor. Hasil pengukuran terhadap warna obyek dibaca pada layar yaitu Y, x dan y. Selanjutnya dihitung nilai L sebagai indikasi kecerahan (lightnees) dan nilai a sebagai indikasi warna merah (+a) dan warna hijau (-a) dan sebagai warna kuning (+b) dan warna biru (-b). Warna bahan diukur dalam unit L, a, b yang merupakan standar internasional pengukuran warna, diadopsi oleh CIE (Commission Internationale d'Eclairage). Kecerahan atau Lightness berkisar anara 0 dan 100 sedangkan parameter kromatik (a, b) berkisar antara -60 and 60. Skala warna CIELab adalah skala warna yang seragam. Dalam sebuah skala warna yang seragam, perbedaan antara titik-titik plot dalam ruang warna dapat disamakan untuk melihat perbedaan warna yang direncanakan (Hunter 1958). Pengukuran juga dilakukan terhadap nilai ohue dan ΔE. Nilai ohue menggambarkan kisaran warna kromatis visual yang terlihat, yang dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Nilai ohue dan daerah kisaran warna kromatis (Hutchings 1999) Nilai ohue 342o – 18o 18o – 54o 54o – 90o 90o – 126o 126o – 162o 162o – 198o 198o – 234o 234o – 270o 270o – 306o 306o – 342o
Daerah kisaran warna Merah-Ungu Merah Kuning-Merah Kuning Kuning-Hijau Hijau Biru-Hijau Biru Biru-Ungu Ungu
17
ΔE menggambarkan total perbedaan warna secara keseluruhan. ΔE adalah nilai tunggal yang diperoleh untuk menghitung perbedaan L, a dan b antara sampel dan standar. Perhitungan pada skala warna CIELab menggunakan persamaan pada persamaan 1 dan 2. Skala warna CIELab dapat digunakan pada berbagai objek yang akan diukur warnanya. Skala warna ini digunakan terutama pada industri-industri. (ii) Penentuan kadar air, metode oven (Sudarmadji et al. 1997) Cawan aluminium dikeringkan dalam oven pada suhu 110oC selama 1-2 jam. Kemudian cawan dimasukkan ke dalam desikator sampai dingin, lalu ditimbang. Lembaran bahan dimasukkan ke dalam cawan dan keringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 3-5 jam, atau hingga mencapai berat konstan. Cawan yang berisi lembaran bahan dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Kadar air dihitung dengan rumus sebagai berikut:
W 1 W 2 100 % W1 .................. (Persamaan 6) W1 = Berat awal sampel (g) W2 = Berat sampel setelah pengeringan (g)
% Kadar Air = Di mana :
(iii) Ketebalan Ketebalan film indikator warna diukur dengan micrometer secrup. Alat ini memiliki ketelitian sampai 0,01 mm. Pengukuran dilakukan pada lima tempat yang berbeda kemudian hasilnya dirata-ratakan sehingga diperoleh nilai ketebalan film indikator warna rata-rata dalam satuan mm. 3.3.3 Tahap 3 : Aplikasi film indikator warna sebagai kemasan cerdas untuk produk susu pasteurisasi Setelah didapatkan film indikator warna dan perubahannya terhadap suhu dan paparan cahaya matahari, maka akan dapat disesuaikan dengan aplikasi untuk produk yang akan diberi label film indikator warna tersebut. Salah satu produk contoh adalah susu pasteurisasi segar yang harus disimpan dalam suhu ruang (25±3oC) dan suhu refrigerator (3±2oC). Cara aplikasi film indikator dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Aplikasi film indikator sebagai kemasan cerdas
18
Perubahan film indikator warna selama penyimpanan akan diamati seiring dengan perubahan mutu produk susu. Dengan demikian dapat diperoleh informasi hubungan perubahan warna indikator dengan perubahan mutu produk. Uji mutu susu pasteurisasi yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Penentuan angka lempeng total (Fardiaz,1993) Tujuan pengamatan mikroba adalah untuk mengetahui pencemaran mikroba pada sampel susu pasteurisasi. Media yang digunakan yaitu Plate Count Agar (PCA) yang mengandung tripton 0.5 % (5 g), ekstrak khamir 0.25 % (2.5 g), agar 15 g, air destilata 1000 mL dan glukosa/dekstrosa 0.1 % (1 g) sehingga semua mikroba termasuk bakteri, kapang dan khamir dapat tumbuh dengan baik pada medium tersebut. Caranya adalah sebagai berikut : a. Sebanyak 5 mL susu pasteurisasi ditimbang lalu dimasukkan kedalam erlenmeyer 50 mL yang berisi air steril, lalu dikocok-kocok dan didiamkan lebih kurang 10 menit dan dilanjutkan dengan pengenceran 10-1, 10-2, 10-3. b. Sebanyak 1 mL cairan dipipet dari tabung pengenceran dan dimasukkan kedalam cawan petri secara aseptik (pemipetan dilakukan dari pengenceran tinggi ke rendah) c. PCA (50oC) dimasukkan kedalam cawan dengan gerak melingkar atau gerak seperti angka delapan untuk menyebarkan sel-sel mikroba secara merata. d. Lempengan agar dibiarkan membeku (10 menit) e. Setelah membeku, lempengan agar dibalik dan inkubasi pada suhu kamar. f. Pertumbuhan koloni mikroba diamati setelah 2 – 3 hari g. Jumlah koloni pada lempeng agar kemudian dihitung sesuai dengan aturan pada Standar Plate Count. Hasil uji ini disesuaikan dengan Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) susu pasteurisasi pada SNI 7388:2009 dengan jumlah total mikroba minimal yaitu 5 x 104 koloni/mL (Lampiran 3). 2. Uji organoleptik terhadap susu pasteurisasi (Soekarto 1995) Pada uji organoleptik dilakukan pengujian terhadap penampakan, warna, aroma, dan rasa. Uji organoleptik bertujuan untuk menguji penerimaan panelis terhadap susu pasteurisasi. Uji ini dilakukan dengan cara sebagai berikut : masingmasing contoh disediakan dalam wadah bersih dan tembus pandang, masingmasing wadah diberi kode sampel. Uji ini dilakukan oleh 30 orang panelis yang tidak saling mempengaruhi. Disamping itu disediakan air untuk mencuci mulut dan menetralkan lidah. Parameter uji dicantumkan pada kertas penilaian, dan panelis diperintahkan untuk mencontreng salah satu parameter uji organoleptik. Panelis yang melakukan pengujian adalah panelis yang sama setiap pengujian sampel susu pasteurisasi selama penyimpanan. Selanjutnya hasil ini dianalisis untuk mendapatkan penerimaan panelis terhadap susu pasteurisasi.
19
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ekstraksi dan karakterisasi pewarna daun erpa Penilaian terhadap karakter pewarna erpa dilakukan dengan melihat kepekatan pewarna secara visual, semakin sedikit jumlah air yang digunakan maka secara visual semakin pekat pewarna erpa yang dihasilkan. Perbandingan daun erpa dan akuades sebesar 1:2 adalah perbandingan terpilih yang digunakan, karena dengan perbandingan lebih sedikit lagi, air tidak bisa mengekstrak semua pewarna yang ada karena daun erpa sulit untuk dihaluskan. Semakin sedikit jumlah air yang digunakan untuk mengekstrak bahan maka akan semakin pekat ekstrak pewarna yang dihasilkan. Eksraksi pewarna erpa dilakukan dengan menggunakan pelarut akuades, karena ekstraksi daun erpa dengan menggunakan pelarut akuades menghasilkan rendemen antosianin yang lebih besar dibandingkan metanol dan etanol (Raharja dan Dianwati 2001). Ekstrak pewarna yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki pH 5.09 dan berdasarkan perhitungan diperoleh total antosianin sebesar 116.65 mg antosianin/100 g daun erpa segar. Total antosianin diperoleh lebih tinggi dibanding dengan ekstrak daun erpa yang dihasilkan dari penelitian Ningrum (2005) yaitu sebesar 69.98 mg antosianin/100 g daun erpa segar, dengan perbandingan daun erpa dan akuades 1:5, dan juga lebih tinggi dari beberapa sumber antosianin lainnya seperti stroberi yang hanya memiliki rendemen antosianin sebesar 45 mg/100 g bahan, atau kulit rambutan yang hanya memiliki total antosianin sebesar 1.925 x 10-3 mg/ml (Rein 2005). Zat pewarna alami yang dominan terdapat pada daun erpa adalah antosianin, dengan jenis antosianidin yang dominan yaitu jenis sianidin (Raharja dan Dianawati 2001). Ekstrak yang diperoleh dapat digunakan sebagai pewarna pada matrik film. Gambar ekstrak daun erpa yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Ekstrak daun erpa
4.2 Pembuatan dan karakterisasi film indikator warna Perlakuan dengan menambahkan berbagai konsentrasi pewarna (5,10,15,20,25) mL pewarna /100 mL larutan film) kedalam larutan matriks film lalu dikeringkan pada suhu 50oC menghasilkan film indikator dengan warna merah merata untuk film yang ditambahkan pewarna sintetis pada semua konsentrasi warna, namun untuk film yang ditambahkan pewarna daun erpa tidak
20
menghasilkan film indikator dengan warna merah yang diharapkan. Larutan film dengan pewarna daun erpa menghasilkan warna yang tidak stabil, sehingga larutan film sudah berubah warna menjadi kuning ketika bahan dikeringkan, dan menghasilkan film yang berwarna kuning dan tidak bisa digunakan sebagai indikator warna. Hal ini disebabkan karena antosianin yang terdapat pada ekstrak pewarna daun erpa sangat rentan terhadap suhu tinggi yang digunakan pada saat pengeringan yaitu 50oC. Perubahan warna larutan film dan film yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 10.
(a)
(b)
Gambar 10 Warna film (a) sebelum dikeringkan; (b) setelah dikeringkan pada suhu 50oC Perlakuan dengan mengeringkan larutan film yang sudah ditambahkan pewarna daun erpa pada suhu ruang, menghasilkan larutan film dengan pewarna daun erpa tetap mengalami perubahan warna, mulanya warna mengalami perubahan dari merah darah menjadi orange pada satu jam pertama, kemudian menjadi kekuningan pada jam berikutnya sehingga larutan film sudah berubah warna sebelum kering menjadi lembaran film. Ekstrak pewarna daun erpa di dalam matrik film sangat rentan terhadap suhu ruang dan suhu tinggi, sehingga film sudah berubah warna selama pengeringan, maupun selama pembuatan film. Secara umum stabilitas antosianin dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu struktur dan konsentrasi antosianin, suhu, pH, oksigen, cahaya, enzim, asam askorbat, gula, sulfit dan sebagainya (Jackman dan Smith 1996). Pada saat pewarna dicampurkan kedalam larutan matrik film, pewarna antosianin pada ekstrak daun erpa terdegradasi dan mengalami kehilangan warna merah (memudar) karena adanya kandungan asam pada larutan film. Menurut Jackman dan Smith (1996) antosianin pada pH 3-6 terjadi serangan nukleofilik air terhadap gugus karbon no.2 inti kation flavium sehingga menstimulasi pembentukan struktur pseudobasa yang berkesetimbangan dengan kalkon (tidak berwarna). Perubahan warna larutan film yang dikeringkan pada suhu ruang dapat dilihat pada Gambar 11.
(a)
(b)
(c)
Gambar 11 Perubahan warna larutan film (a) setelah dihomogenisasi; (b) 1 jam pada suhu ruang; (c) 3 jam pada suhu ruang
21
Percobaan selanjutnya dilakukan dengan teknik pengolesan ekstrak pewarna pada matrik film yang sudah dikeringkan. Metode ini dipilih juga karena menurut Sumarto (2008) polimer yang berupa larutan encer memiliki rantai bebas bergerak, sehingga kemungkinan terbentuk konfigurasi rantai yang beragam, tetapi polimer dalam bentuk padat memiliki rantai tidak teratur sehingga gerakan dan konfigurasinya terbatas, sehingga ketika pewarna dioleskan pada film yang sudah dalam bentuk lembaran menghasilkan film dengan warna yang lebih stabil dibanding ketika pewarna dicampurkan dalam larutan film yang berbentuk cair. Sebelum melakukan pengolesan terlebih dahulu dipilih perbandingan film yang akan digunakan untuk diolesi pewarna. Perbandingan film yang digunakan adalah perbandingan PVA dan kitosan (60:40), perbandingan ini dipilih karena menghasilkan film dengan sifat fisik yang baik dibanding perbandingan lain yang telah dilakukan. Uji yang dilakukan perbandingan (100:0) dan (80:20) cenderung susah untuk menyerap pewarna yang dioleskan sehingga warna kurang merata. Film dengan perbandingan (40:60), (20:80), dan (0:100) cepat menyerap warna sehingga film yang dihasilkan menjadi mudah sobek. Hal ini sesuai dengan penelitian Apriyanto (2007) di mana semakin tinggi jumlah kitosan yang digunakan dibanding dengan PVA akan meningkatkan laju transmisi uap air yang berhubungan dengan kerapatan rantai pilimer film. Semakin tinggi nilai laju transmisi uap air maka bahan tersebut akan semakin mudah dilalui uap air dan air. Rantai polimer yang lurus dan sederhana memiliki tingkat kerapatan yang tinggi sehingga nilai laju transmisi oksigen rendah (Herjanti 1997). Metode pengolesan dilakukan hingga didapatkan film indikator warna dengan warna merata secara visual. Pengolesan 1 mL pewarna erpa pada 40 cm2 film menghasilkan film dengan warna merah yang stabil dan rata secara visual. Film hasil sebelum dan sesudah pengolesan pewarna daun erpa dapat dilihat pada Gambar 12
(a)
(b)
(c) (d) Gambar 12 Lembaran film (a) belum diberi pewarna; (b) proses pewarnaan film; (c) lembar indikator warna; (d) siap untuk diuji penyimpanan
22
4.2.1 Karakteristik sifat fisik dan mekanis film indikator Sifat fisik dan mekanis film berkaitan dengan proses pencetakan, jenis dan sifat bahan yang digunakan untuk membentuk film dan terutama sifat kohesi dari larutan bahan. Sifat kohesi bahan akan mempengaruhi kemampuan polimer, terutama ikatan molekul antar rantai polimer (Gontard dan Gilbert 1994). Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 3 Tabel 3 Sifat fisik film kemasan cerdas indikator warna Parameter Uji Satuan Hasil Uji film Ketebalan Mm 0.22 Kuat tarik kgf/cm2 42.67 Elongasi % 78.06 Ketebalan merupakan salah satu parameter untuk mengetahui karakteristik film yang telah dibuat. Terjadi pengerutan ketika proses pengeringan pada suhu 50oC, di mana terjadi penguapan pelarut saat terbentuk lembaran film. Pembentukan lembaran film diawali dengan melemahnya jarak antar partikel yang saling berikatan dalam suatu cairan, sehingga setelah terjadi proses penguapan akan terbentuk lembaran (Buckmann et al. 2002). Ketebalan film dipengaruhi oleh volume larutan film dan luas cetakan yang digunakan dalam pembuatan film, semakin besar volume larutan film yang dimasukkan ke dalam cetakan dengan ukuran tertentu maka akan semakin tebal film yang dihasilkan. Ketebalan film juga dipengaruhi oleh kekentalan atau viskositas larutan film yang digunakan, semakin besar persentase padatan bahan baku dan plasticizer yang digunakan maka akan semakin meningkatkan ketebalan film yang dihasilkan. Proses pewarnaan menyebabkan ketebalan film yang dihasilkan sedikit turun, namun tidak begitu berbeda dengan ketebalan film yang belum diwarnai. Pada penelitian ini, volume larutan yang dituangkan ke dalam cetakan yaitu 400 mL dengan ukuran cetakan 20×30 cm2, dan menghasilkan film yang belum di warnai dengan ketebalan 0.26 mm dan 0.22 mm untuk film yang sudah diwarnai. Proses pengolesan menyebabkan permukaan film tergerus oleh kuas, mengakibatka terjadinya sedikit penipisan pada film. Kuat tarik dan persen pemanjangan merupakan sifat mekanik yang berhubungan dengan kekuatan film, semakin tinggi nilai kuat tarik suatu film maka semakin kuat juga film tersebut. Kuat tarik atau kekuatan tarik menunjukkan ukuran ketahanan film, yaitu, yaitu regangan maksimal yang dapat diterima sampel sebelum putus, sedangkan persen pemanjangan atau elongasi merupakan perubahan panjang maksimum yang di alami (Theresia 2003). Nilai kuat tarik film yang dihasilkan cukup tinggi yaitu 42.67 kgf/cm2, jika dibandingkan dengan kuat tarik film dari bahan kitosan saja yaitu sebesar 13.3 kgf/cm2 (Putri 2012), hal ini disebabkan pembentukan ikatan hidrogen antar molekul antara NH3+ pada struktur khitosan dan OH- pada polivinil alkohol. Gugus amino (NH2) pada khitosan telah diprotonasi menjadi NH3+ dalam larutan asam asetat, dan gugus OH- pada polivinil alkohol akan berikatan dengan NH3+ membentuk ikatan hidrogen (Xu et al. 2004). Elongasi atau persen pemanjangan film yang dihasilkan 78.06%, semakin besar nilai persen pemanjangan, maka akan semakin elastis film tersebut. Elongasi film yang dihasilkan lebih tinggi daripada elongasi film kitosan dengan plasticizer
23
gliserol yaitu 20.8% (Putri 2012), juga lebih tinggi dari elongasi film dengan plasticizer sorbitol yaitu 16.6% (Purwanti 2010). Jika dibandingkan dengan film dari polimer lain, nilai elongasi juga lebih tinggi, yaitu elongasi film dari pati ubi jalar sebesar 9.00±2.70%, dengan pati ubi kayu sebesar 10.67±2.39%, dengan pati kentang sebesar 4.67±1.55%, dengan pati garut sebesar 4.33±1.55% dan dengan pati jagung sebesar 25.33±6.29% (Ardian 2011). Penambahan plasticizer yaitu gliserol mempengaruhi tingkat elastisitas film yang dihasilkan. Semakin banyak penambahan plasticizer, maka elastisitas film akan semakin tinggi. Plasticizer adalah bahan organik dengan bobot molekul rendah yang ditambahkan dengan maksud memperlemah kekakuan suatu film. Plasticizer didefinisikan sebagai substansi non volatil yang mempunyai titik didih tinggi, yang jika ditambahkan ke senyawa lain akan mengubah sifat fisik dan mekanik senyawa tersebut. Penambahan plasticizer akan menghindarkan film dari keretakan selama penanganan maupun penyimpanan yang dapat mengurangi sifat–sifat tahanan film (Sumarto 2008). Gliserol adalah senyawa alkohol polihidrat dengan tiga buah gugus hidroksil dalam satu molekul (alkohol trivalen). Rumus kimia gliserol adalah C3H8O3 dengan nilai densitas 1,23 g/cm3 dan titik didihnya 204oC, berbentuk cair, tidak berbau, transparan, higroskopis, dan dapat larut dalam air dan alkohol. Gliserol efektif digunakan sebagai plasticizer pada film hidrofilik. Penambahan gliserol dengan jumlah sedikit akan menghasilkan film yang lebih fleksibel dan halus, namun tidak terlalu menurunkan kuat tarik dari film yang dihasilkan (Nurdiana 2002). 4.2.2 Stabilitas warna film selama penyimpanan Warna adalah spektrum cahaya yang dipantulkan oleh benda yang kemudian ditangkap oleh indra penglihatan kita (yakni mata) lalu diterjemahkan oleh otak sebagai sebuah warna tertentu. Warna merupakan faktor yang ikut menentukan mutu, selain itu warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan (Putri 2012). Dari hasil uji yang dilakukan, secara umum hasil analisis warna pada film selama penyimpanan menunjukkan perubahan warna pada film sampel yaitu dari warna merah menjadi warna kuning. Untuk film yang disimpan pada suhu 40oC dengan paparan cahaya, secara visual berubah warna dari merah menjadi kuning dalam waktu dua jam. Pada suhu ruang (25±3oC), secara visual film berubah dari warna merah menjadi kuning dalam waktu satu hari. Untuk film yang disimpan pada suhu refrigerator (3±2oC) secara visual film mulai berubah dari merah menjadi merah kekuningan pada hari ke-8 namun benar-benar berubah menjadi kuning pada hari ke-12. Film yang disimpan pada suhu freezer ((-10)±2oC) mengalami sedikit perubahan warna namun tetap berwarna merah secara visual setelah disimpan selama 78 hari. Untuk film dengan pewarna sintetis (karmoisin CI 14720) sangat stabil, semua perlakuan penyimpanan dengan suhu freezer, refrigerator, dan suhu ruang juga paparan cahaya matahari dengan matahari dan alat pengganti cahaya matahari dengan suhu 40o C dengan RH 35-40% dan intensitas cahaya 400 klx sudah dilakukan selama 40 hari dengan penyinaran 6 jam per hari, namun film tidak mengalami perubahan warna secara visualisasi, film tetap menampilkan warna merah selama di semua kondisi penyimpanan, sehingga untuk film dengan pewarna sintetis tidak dilakukan pengukuran warna dengan kromameter.
24
4.2.2.1 Nilai L
60
60
55
55 Nilai L
Nilai L
Nilai L merupakan nilai yang menunjukkan tingkat kecerahan suatu sampel. Nilai L berkisar antara 0 (gelap/hitam) dan 100 (terang/putih). Semakin tinggi nilai L sampel makan bisa diartikan sampel tersebut memiliki warna yang semakin cerah. Untuk sampel yang disimpan pada freezer terjadi sedikit peningkatan nilai L yaitu dari 41.10 pada hari ke-0 menjadi 44.04 pada hari ke-78 untuk sampel yang tidak dibungkus dan 42.42 pada hari ke-0 menjadi 43.96 pada hari ke-78 untuk sampel yang dibungkus. Untuk sampel yang disimpan pada suhu refrigerator terjadi peningkatan nilai L dari 39.67 pada hari ke-0 menjadi 53.91 pada hari ke-12 untuk sampel yang tidak dibungkus dan 41.81 pada hari ke-0 menjadi 53.59 pada hari ke-12 untuk sampel yang dibungkus. Pada penyimpanan suhu suhu ruang, nilai L meningkat dari 41.22 pada jam ke-0 menjadi 55.12 pada jam ke-11 untuk sampel yang tidak dibungkus dan 42.03 pada jam ke-0 menjadi 55.19 pada jam ke-11 untuk sampel yang dibungkus. Pada penyimpanan suhu 40oC dengan penyinaran cahaya matahari, nilai L meningkat dari 41.22 pada jam ke-0 menjadi 56.21 pada jam ke-2 untuk sampel yang tidak dibungkus dan 41.93 pada jam ke-0 menjadi 57.93 pada jam ke-2 untuk sampel yang dibungkus. Perubahan nilai L film indikator warna untuk masing-masing suhu penyimpanan dan persamaan matematis perubahan nilai L film indikator terlihat pada Gambar 13 dan Tabel 4.
50 45 40
50 45 40
35
35 0
1000 2000 Lama Penyimpanan (jam)
0
(b)
60
60
55
55 Nilai L
Nilai L
(a)
200 400 Lama Penyimpanan (jam)
50 45 40
50 45 40
35
35 0
5
10
Lama Penyimpanan (Jam)
15
0
1
2
3
Lama Penyimpanan (Jam)
(c)
(d) Ket : ♦ Tanpa dibungkus, ■ Dibungkus
Gambar 13 Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai L film pada suhu: (a) freezer ((-10)±2oC); (b) refrigerator (3±2oC); (c) ruang (25±3oC), dan (d) luar yaitu 40oC dengan paparan cahaya.
25
Tabel 4 Kinetika perubahan nilai L film selama penyimpanan Cara Penyimpanan Dibungkus
Tanpa dibungkus
Suhu Penyimpanan Freezer ((-10)±2oC) Refrigerator (3±2oC) Ruang (25±3oC) Luar (40oC dengan paparan cahaya) Freezer ((-10)±2oC) Refrigerator (3±2oC) Ruang (25±3oC) Luar (40oC dengan paparan cahaya)
Persamaan Matematis y = 0.0009x + 42.19 y = 0.0415x + 42.07 y = 1.2150x + 42.38 y = 8.0000x + 41.35 y = 0.0016x + 40.97 y = 0.0509x + 37.15 y = 1.2770x + 41.11 y = 7.4950x + 40.86
R2 0.88 0.94 0.99 0.98 0.93 0.90 0.97 0.99
y (nilai L film), x (lama penyimpanan)
Secara umum rata-rata nilai L (tingkat kecerahan) sampel film setelah penyimpanan lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum penyimpanan, berarti selama penyimpanan sampel menjadi semakin cerah atau nilai L meningkat. Hal ini berbanding terbalik dengan penelitian Hong dan Park (2000) di mana sebaliknya terjadi perubahan warna indikator Metyl Red dari orange menjadi merah sehingga menurunkan nilai L pada indikator. Dapat disimpulkan semakin pekat warna sampel maka kecerahan atau nilai L akan semakin menurun, dan semakin memudar warna sampel mendekati putih, maka nilai L sampel akan semakin meningkat. Data yang didapatkan menggambarkan bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan menyebabkan nilai L semakin cepat meningkat. Peningkatan nilai L disebabkan terjadinya proses degradasi antosianin akibat pengaruh suhu yang menyebabkan peningkatan nilai L (Ningrum 2005). Adanya peningkatan nilai L dapat menunjukkan telah terjadi degradasi warna pada sampel. Persamaan matematis juga menggambarkan adanya peningkatan nilai L, dapat dilihat nilai kemiringan (slope) persamaan matematis nilai L pada penyimpanan suhu luar lebih tinggi dibanding pada penyimpanan suhu yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan semakin tinggi suhu penyimpanan, nilai L semakin cepat mengalami peningkatan. Pada suhu freezer setiap jamnya terjadi peningkatan nilai L sebesar 0.0009 satuan pada film yang dibungkus dan 0.0016 pada film yang tidak dibungkus. Pada suhu refrigerator setiap jamnya terjadi peningkatan nilai L sebesar 0.0415 satuan pada film yang dibungkus dan 0.0509 pada film yang tidak dibungkus. Pada suhu ruang setiap jamnya terjadi peningkatan nilai L sebesar 1.215 satuan pada film yang dibungkus dan 1.277 pada film yang tidak dibungkus, dan pada suhu luar setiap harinya terjadi peningkatan nilai L sebesar 8 satuan pada film yang dibungkus dan 7.495 pada film yang tidak dibungkus. Dari hasil uji t terhadap nilai kemiringan (slope) dan nilai intersep didapatkan hasil nilai t hitung lebih kecil dari pada nilai t tabel, hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pembungkusan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai L selama penyimpanan. Hal ini disebabkan oleh selotip yang digunakan untuk membungkus adalah selotip bening yang tipis dan tidak mampu menghambat suhu lingkungan terpapar terhadap film indikator yang dibungkus, sehingga perubahan nilai L yang terjadi tidak berbeda nyata dengan film indikator yang tidak dibungkus.
26
4.2.2.2 Nilai a
45
45
35
35 Nilai a
Nilai a
Nilai a positif (+a) menunjukkan sampel memiliki derajat kemerahan, sedangkan nilai a negatif (-a) menunjukkan sampel memiliki derajat kehijauan. Antosianin merupakan pigmen yang cenderung memiliki nilai a positif. Nilai a pada film kemasan cerdas indikator warna yang dihasilkan berada pada kisaran nilai positif (+a) yang berarti film kemasan cerdas indikator warna berada pada kisaran warna merah. Untuk sampel yang disimpan pada suhu freezer terjadi sedikit penurunan nilai a yaitu dari 37.62 menjadi 31.01 untuk sampel yang tidak dibungkus dan 40.10 menjadi 28.785 untuk sampel yang dibungkus. Untuk sampel yang disimpan pada suhu refrigerator terjadi penurunan nilai a dari 37.89 menjadi 15.18 untuk sampel yang tidak dibungkus dan 35.24 menjadi 12.625 untuk sampel yang dibungkus. Pada penyimpanan suhu suhu ruang, nilai a turun dari 38.10 menjadi 11.78 untuk sampel yang tidak dibungkus dan 38.15 menjadi 14.115 untuk sampel yang dibungkus. Pada penyimpanan suhu 40oC dengan penyinaran cahaya matahari, nilai a turun dari 38.23 pada jam ke-0 menjadi 10.27 pada jam ke-2 untuk sampel yang tidak dibungkus dan 40.01 pada jam ke-0 menjadi 9.99 pada jam ke-2 untuk sampel yang dibungkus. Perubahan nilai a film indikator untuk masing-masing suhu penyimpanan dan persamaan matematis perubahan nilai a terlihat pada Gambar 14 dan Tabel 5.
25
25 15
15 5
5 0
500 1000 1500 2000 Lama penyimpanan (jam)
0
100 200 300 400 Lama Penyimpanan (jam)
(b)
45
45
35
35 Nilai a
Nilai a
(a)
25 15
25 15
5
5 0
5 10 Lama Penyimpanan (Jam)
15
0
1 2 Lama Penyimpanan (Jam)
(c)
3
(d) Ket : ♦ Tanpa dibungkus, ■ Dibungkus
Gambar 14 Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai a film pada suhu: (a) freezer ((-10)±2oC); (b) refrigerator (3±2oC); (c) ruang (25±3oC), dan (d) luar yaitu 40oC dengan paparan cahaya.
27
Tabel 5 Kinetika perubahan nilai a film selama penyimpanan Cara Penyimpanan Dibungkus
Tanpa dibungkus
Suhu Penyimpanan Freezer ((-10)±2oC) Refrigerator (3±2oC) Ruang (25±3oC) Luar (40oC dengan paparan cahaya) Freezer ((-10)±2oC) Refrigerator (3±2oC) Ruang (25±3oC) Luar (40oC dengan paparan cahaya)
Persamaan Matematis y = -0.0051x + 40.65 y = -0.0693x + 36.98 y = -2.0880x + 40.54 y = -15.010x + 40.97 y = -0.0035x + 37.79 y = -0.0389x + 37.01 y = -2.1140x + 39.95 y = -13.980x + 39.18
R2 0.82 0.92 0.96 0.99 0.94 0.95 0.94 0.99
y (nilai a film), x (lama penyimpanan)
Penurunan nilai a menunjukkan terjadinya penurunan derajat kemerahan sampel film yang juga berimplikasi pada perubahan warna film secara visualisasi dari merah menjadi kekuningan. Penurunan nilai a ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ningrum (2005), di mana juga terjadi penurunan nilai a pada minuman ringan dan puding agar seiring dengan perubahan warna kedua bahan tersebut dari merah menjadi kekuningan. Hong dan Park (2000) menemukan terjadi kenaikan nilai a pada di perubahan warna indikator Methyl Red dari orange menjadi merah. Nilai a akan meningkat ketika warna sampel menjadi kemerahan dan akan menurun ketika warna sampel menjadi kekuningan. Peningkatan suhu dan lama penyimpanan menyebabkan penurunan derajat kemerahan sampel film. Derajat kemerahan (+a) pada suhu yang lebih rendah cenderung lebih lama bertahan dibandingkan dengan suhu yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan persamaan matematis yang menggambarkan adanya penurunanan nilai kemiringan (slope) persamaan matematis nilai a pada penyimpanan suhu luar lebih tinggi dibanding pada penyimpanan suhu yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan semakin tinggi suhu penyimpanan, nilai a semakin cepat mengalami penurunan. Pada suhu freezer setiap jamnya terjadi penurunan nilai a sebesar 0.0051 satuan pada film yang dibungkus adan 0.0035 pada film yang tidak dibungkus. Pada suhu refrigerator setiap jamnya terjadi penurunan nilai a sebesar 0.0693 satuan pada film yang dibungkus dan 0.0389 pada film yang tidak dibungkus. Pada suhu ruang setiap jamnya terjadi penurunan nilai a sebesar 2.088 satuan pada film yang dibungkus dan 2.114 pada film yang tidak dibungkus, dan pada suhu luar setiap harinya terjadi penurunan nilai a sebesar 15.01 satuan pada film yang dibungkus dan 13.98 pada film yang tidak dibungkus. Dari hasil uji t terhadap nilai kemiringan (slope) dan nilai intersep didapatkan hasil nilai t hitung lebih kecil dari pada nilai t tabel, hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pembungkusan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai a selama penyimpanan karena selotip yang digunakan adalah selotip bening dan tipis sehingga tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan nilai a film indikator Peningkatan suhu penyimpanan mampu menstimulasi proses hidrolisis ikatan glikosidik antara gugus aglikon dan glikon pada struktur antosianin. Hidrolisis tersebut mampu menghasilkan gugus-gugus aglikon yang mudah mengalami transformasi struktural menjadi senyawa kalkon yang tidak berwarna (Jackman dan Smith 1996). Penurunan nilai derajat kemerahan disebabkan peningkatan kecepatan reaksi transformasi struktural kation flavilum (berwarna merah) menjadi kalkon (tidak berwarna) (Viguera dan Bridle 1999).
28
4.2.2.3 Nilai b
35 30 25 20 15 10 5 0
50 40 Nilai b
Nilai b
Nilai b merupakan nilai yang menunjukkan derajat kekuningan dan kebiruan suatu sampel. Nilai b positif (+b) menunjukkan sampel memiliki derajat kekuningan, sedangkan nilai b negatif (-b) menunjukkan sampel memiliki derajat kebiruan. Perubahan nilai b film indikator untuk masing-masing suhu penyimpanan dan persamaan matematis perubahan nilai b terlihat pada Gambar 15 dan Tabel 6.
30 20 10 0
0
500 1000 1500 Lama Penyimpanan (jam)
2000
0
100
200
(b)
Nilai b
Nilai b
(a)
5
400
Lama Penyimpanan (jam)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
300
10
15
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Lama Penyimpanan (Jam)
1
2
3
Lama Penyimpanan (Jam)
(c)
(d) Ket : ♦ Tanpa dibungkus, ■ Dibungkus
Gambar 15 Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai b film pada suhu: (a) freezer ((-10)±2oC); (b) refrigerator (3±2oC); (c) ruang (25±3oC), dan (d) luar yaitu 40oC dengan paparan cahaya. Tabel 6 Kinetika perubahan nilai b film selama penyimpanan Cara Penyimpanan Dibungkus
Tanpa dibungkus
Suhu Penyimpanan Freezer ((-10)±2oC) Refrigerator (3±2oC) Ruang (25±3oC) Luar (40oC dengan paparan cahaya) Freezer ((-10)±2oC) Refrigerator (3±2oC) Ruang (25±3oC) Luar (40oC dengan paparan cahaya)
y (nilai b film), x (lama penyimpanan)
Persamaan Matematis y = 0.0017x + 25.63 y = 0.0917x + 12.50 y = 2.4980x + 9.200 y = 13.590x + 15.67 y = 0.0015x + 16.95 y = 0.0699x + 9.710 y = 2.4720x + 8.560 y = 13.450x + 15.83
R2 0.84 0.97 0.97 0.88 0.91 0.82 0.96 0.86
29
Secara umum rata-rata nilai b (derajat kekuningan) sampel film setelah penyimpanan lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum penyimpanan. Untuk sampel yang disimpan pada freezer terjadi sedikit peningkatan nilai b yaitu dari 16.37 pada hari ke-0 menjadi 19.67 pada hari ke-78 untuk sampel yang tidak dibungkus dan 25.19 pada hari ke-0 menjadi 28.35 pada hari ke-78 untuk sampel yang dibungkus. Untuk sampel yang disimpan pada suhu refrigerator terjadi peningkatan nilai b dari 12.42 pada hari ke-0 menjadi 37.605 pada hari ke-12 untuk sampel yang tidak dibungkus dan 11.18 pada hari ke-0 menjadi 36.205 pada hari ke-12 untuk sampel yang dibungkus. Pada penyimpanan suhu suhu ruang, nilai b meningkat dari 11.37 pada jam ke-0 menjadi 35.79 pada jam ke-11 untuk sampel yang tidak dibungkus dan 11.91 pada jam ke-0 menjadi 36.095 pada jam ke-11 untuk sampel yang dibungkus. Sedangkan pada penyimpanan suhu 40oC dengan penyinaran cahaya matahari, nilai b meningkat dari 12.76 pada jam ke-0 menjadi 39.67 pada jam ke-2 untuk sampel yang tidak dibungkus dan 12.83 pada jam ke-0 menjadi 40.01 pada jam ke-2 untuk sampel yang dibungkus. Perubahan warna film yang disebabkan karena degradasi antosianin menjadi senyawa kalkon dan turunannya yang tidak berwarna menyebabkan meningkatnya derajat kekuningan (+b) dari sampel terutama pada sampel yang disimpan pada suhu ruang dan suhu luar dengan penyinaran sinar matahari. Persamaan matematis menggambarkan sampel yang disimpan pada suhu luar lebih cepat mengalami perubahan dari pada sampel yang disimpan pada suhu lain, ditandai dengan tingginya nilai slope persamaan pada suhu luar. Hal ini menunjukkan semakin tinggi suhu penyimpanan, nilai b semakin cepat mengalami peningkatan. Pada suhu freezer setiap jamnya terjadi peningkatan nilai b sebesar 0.0017 satuan pada film yang dibungkus adan 0.0015 pada film yang tidak dibungkus. Pada suhu refrigerator setiap jamnya terjadi peningkatan nilai b sebesar 0.0917 satuan pada film yang dibungkus dan 0.0699 pada film yang tidak dibungkus. Pada suhu ruang setiap jamnya terjadi peningkatan nilai b sebesar 2.498 satuan pada film yang dibungkus dan 2.472 pada film yang tidak dibungkus, dan pada suhu luar setiap harinya terjadi peningkatan nilai b sebesar 13.59 satuan pada film yang dibungkus dan 13.45 pada film yang tidak dibungkus. Dari hasil uji t terhadap nilai kemiringan (slope) dan nilai intersep didapatkan hasil nilai t hitung lebih kecil dari pada nilai t tabel, hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pembungkusan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai a selama penyimpanan. Untuk film dengan pewarna daun erpa sangat rentan terhadap cahaya matahari, terjadi perubahan warna dari merah ke kuning selama 2 jam terkena paparan cahaya matahari. Ini menunjukkan peningkatan suhu dan cahaya menyebabkan senyawa antosianin terdegradasi lebih cepat. Terakumulasinya senyawa karbinol yang kurang berwarna menjadikan nilai b meningkat. Senyawa karbinol akan terdegradasi menjadi senyawa kalkon yang tidak berwarna atau kekuningan jika suhu penyimpanan terus meningkat dan lama penyimpanan di perpanjang. Senyawa kalkon secara visual tidak berwarna dan dapat menyebabkan peningkatan nilai b positif (+b) atau derajat kekuningan (Ningrum 2005). 4.2.2.4 Nilai ohue Nilai °hue atau nilai derajat Hue merupakan atribut yang menunjukkan derajat warna visual yang terlihat. Nilai °hue diperoleh melalui perhitungan invers
30
tangen perbandingan nilai b dengan nilai a. Nilai °hue merupakan gambaran dari sumbu 360o di mana daerah kuadran 1 menunjukkan warna kemerahan, daerah kuadran 2 menunjukkan warna kuning hijau, daerah kuadran 3 menunjukkan warna hijau biru, dan kuadran 4 menunjukkan warna ungu. Dari data yang di hasilkan, dapat diketahui bahwa kisara ohue film berada pada kuadran 1 dan 2, yaitu pada kisaran warna kemerahan hingga kuning, pada tahap awal sampel berada pada kuadran 1 dengan warna merah dan perlahan nilai ohue naik sehingga beralih kekuadran 2 dengan warna kekuningan, dengan kisaran ohue sampel berada pada angka 28o hingga 100o. Untuk sampel yang disimpan pada freezer terjadi sedikit peningkatan nilai °hue yaitu dari 40.96o pada hari ke-0 menjadi 55.98o pada hari ke-78 untuk sampel yang tidak dibungkus dan 55.68o pada hari ke-0 menjadi 75.52o pada hari ke-78 untuk sampel yang dibungkus. Pada sampel yang disimpan di suhu freezer °hue berkisar antara 40.96o-75.52o, jika merujuk pada tabel daerah kisaran warna °hue film yang disimpan pada suhu freezer berada pada kisaran warna merah hingga kuning merah. Sampel yang disimpan pada suhu refrigerator dengan cara tidak dibungkus terjadi peningkatan nilai °hue dari 31.75o pada hari ke-0 menjadi 42.59o pada hari ke-5, hingga hari ke-5 ini, kisaran warna berada pada warna merah, dan pada hari ke-6 sampai hari ke-11, °hue sampel berada meningkat pada daerah kisaran warna kuning merah dengan nilai °hue 57.27o-77.61o, sedangkan pada hari ke-12 °hue menjadi 98.60o, nilai tersebut berada pada daerah kisaran warna kuning. Untuk sampel yang disimpan pada suhu refrigerator dengan cara dibungkus, nilai °hue meningkat dari 30.70o pada hari ke-0 menjadi 50.65o pada hari ke-3, yang merupakan nilai °hue yang berada pada daerah kisaran warna merah, pada hari ke-4 hingga hari ke-9 nilai °hue sampel berada pada daerah kisaran warna kuning merah yaitu dengan nilai °hue sebesar 62.51o pada hari ke-4 dan 86.31o pada hari ke-9. Pada hari ke-10 hingga hari ke-12 nilai °hue sampel meningkat menjadi pada daerah kisaran warna kuning dengan nilai °hue sebesar 92.37o-99.36o. Sampel yang disimpan pada suhu ruang dengan cara tidak dibungkus terjadi peningkatan nilai °hue dari 28.99o pada jam ke-0 menjadi 53.44o pada jam ke-5, hingga jam ke-5 ini, nilai °hue berada pada daerah kisaran warna merah, dan pada jam ke-6 sampai jam ke-9, °hue sampel berada meningkat pada daerah kisaran warna kuning merah dengan nilai °hue 60.50o-88.82o, sedangkan pada jam ke-10 hingga jam ke-11 nilai °hue berada pada daerah kisaran warna kuning, dengan nilai °hue berkisar antara 94.38o -99.54o. Untuk sampel yang disimpan pada suhu ruang dengan cara dibungkus, nilai °hue meningkat dari 30.19o pada jam ke-0 menjadi 46.64o pada jam ke-4, yang merupakan nilai °hue yang berada pada daerah kisaran warna merah, pada jam ke-5 hingga jam ke-9 nilai °hue sampel berada pada daerah kisaran warna kuning merah yaitu dengan nilai °hue antara 57.54o pada jam ke-5 dan 89.39o pada jam ke-9. Pada jam ke-10 hingga jam ke-11 nilai °hue sampel meningkat menjadi pada daerah kisaran warna kuning dengan nilai °hue sebesar 93.99o-98.80o. Sampel yang disimpan pada suhu luar dengan penyinaran cahaya matahari cenderung lebih cepat mengalami perubahan warna dari daerah kisaran warna merah pada jam ke-0, meningkat menjadi kuning merah pada jam ke 1 dan menjadi kuning pada jam ke 3. Nilai °hue yang pada jam ke-0 yang memiliki nilai °hue 32.19o untuk film yang tidak dibungkus dan 31.01o untuk sampel film yang
31
dibungkus, mengalami peningkatan pada jam ke-1 menjadi 86.34o untuk film yang tidak dibungkus dan 84.93o untuk sampel film yang dibungkus, sedangkan pada jam ke-3 nilai °hue sudah berada pada angka 99.91o untuk untuk film yang tidak dibungkus dan 99.93o untuk sampel film yang dibungkus, sehingga warna film berada pada daerah kisaran warna kuning. Perubahan nilai °hue film indikator untuk masing-masing suhu penyimpanan dan persamaan matematis perubahan nilai °hue terlihat pada Gambar 16 dan Tabel 7. 100 90 80 70 60 50 40 30 20
Nilai
Nilai
ohue
ohue
110 100 90 80 70 60 50 40 30 20
0
500 1000 1500 Lama penyimpanan (jam)
2000
0
100 200 300 Lama penyimpanan (jam)
(a)
(b)
Nilai ohue
Nilai ohue
110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 0
5
400
10
Lama Penyimpanan (Jam)
15
110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 0
1 2 3 Lama Penyimpanan (Jam)
(c)
(d) Ket : ♦ Tanpa dibungkus, ■ Dibungkus
Gambar 16 Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai ohue film dan perubahan warna film dengan pada suhu: (a) freezer ((-10)±2oC); (b) refrigerator (3±2oC); (c) ruang (25±3oC), dan (d) luar yaitu 40oC dengan paparan cahaya
32
Tabel 7 Kinetika perubahan nilai ohue film selama penyimpanan Cara Penyimpanan Dibungkus
Tanpa dibungkus
Suhu Penyimpanan Freezer ((-10)±2oC) Refrigerator (3±2oC) Ruang (25±3oC) Luar (40oC dengan paparan cahaya) Freezer ((-10)±2oC) Refrigerator (3±2oC) Ruang (25±3oC) Luar (40oC dengan paparan cahaya)
Persamaan Matematis y = 0.0095x + 55.19 y = 0.2371x + 35.95 y = 7.0620x + 23.95 y = 34.460x + 37.49 y = 0.0067x + 41.78 y = 0.1997x + 26.48 y = 7.1100x + 22.95 y = 33.860x + 38.95
R2 0.87 0.98 0.97 0.90 0.89 0.89 0.97 0.89
y (nilai ohue film), x (lama penyimpanan)
Sinar matahari merupakan salah kondisi yang menyebabkan terjadinya perubahan warna. Benda di sekitar manusia, apabila diamati, terlihat bahwa benda yang sering terkena sinar matahari secara langsung mengalami perubahan warna lebih cepat dibanding dengan benda-benda yang terkena sinar matahari secara tidak langsung (pada kondisi lain yang sama). Begitu pula pada zat warna dari film ini. Intensitas warnanya berubah cukup cepat terhadap sinar matahari seperti yang ada pada grafik, Hal ini menunjukkan bahwa zat warna ini tidak stabil terhadap sinar matahari. Persamaan matematis juga menggambarkan perubahan yang cepat pada sampel yang disimpan pada suhu luar dengan penyinaran cahaya matahari dibanding dengan penyimpanan pada suhu-suhu lainnya, ini ditandai dengan besarnya nilai persama y berbanding x. Persamaan matematis menggambarkan adanya peningkatan nilai ohue, dapat dilihat nilai kemiringan (slope) persamaan matematis nilai ohue pada penyimpanan suhu luar lebih tinggi dibanding pada penyimpanan suhu yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan semakin tinggi suhu penyimpanan, nilai ohue semakin cepat mengalami peningkatan. Pada suhu freezer setiap jamnya terjadi peningkatan nilai ohue sebesar 0.0095 satuan pada film yang dibungkus dan 0.0067 pada film yang tidak dibungkus. Pada suhu refrigerator setiap jamnya terjadi peningkatan nilai ohue sebesar 0.2371 satuan pada film yang dibungkus dan 0.1997 pada film yang tidak dibungkus. Pada suhu ruang setiap jamnya terjadi peningkatan nilai ohue sebesar 7.062 satuan pada film yang dibungkus dan 7.11 pada film yang tidak dibungkus, dan pada suhu luar setiap harinya terjadi peningkatan nilai ohue sebesar 34.46 satuan pada film yang dibungkus dan 33.86 pada film yang tidak dibungkus. Dari hasil uji t terhadap nilai kemiringan (slope) dan nilai intersep didapatkan hasil nilai t hitung lebih kecil dari pada nilai t tabel, hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pembungkusan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai ohue selama penyimpanan. Perubahan nilai a dan b berpengaruh pada perubahan nilai °hue, nilai a yang cenderung berkurang derajat kemerahannya dan nilai b yang cenderung meningkat derajat kekuningannya menyebabkan daerah kisaran warna kromatis sampel film bergeser dari merah menjadi kuning seiring meningkatnya nilai °hue. Peningkatan suhu penyimpanan menyebabkan terjadinya peningkatan nilai °hue, dan semakin lama waktu penyimpanan juga menyebabkan ohue semakin meningkat. Berdasarkan hasil yang diperoleh, nilai °hue film indikator warna sebelum penyimpanan lebih tinggi dibandingkan setelah penyimpanan. Hasil ini sejalan jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ningrum (2005),
33
nilai °hue pada minuman ringan dan puding agar juga mengalami peningkatan seiring dengan berubahnya warna minuman ringan dan pudding agar secara visual, dari warna merah menjadi warna kekuningan. 4.2.2.5 Nilai ∆E Total perubahan warna sampel film selama penyimpanan dapat dideteksi melalui nilai ΔE. Nilai ΔE merupakan atribut nilai yang menjadi parameter terjadinya perubahan warna secara keseluruhan. Semakin tinggi nilai ΔE menunjukkan lebih besarnya total perubahan warna sampel selama penyimpanan, sedangkan semakin kecil nilai ΔE menunjukkan perubahan warna sampel selama penyimpanan relatif kecil (Hutchings 1999). Semakin besar nilai ΔE, menunjukkan menurunnya intensitas warna yang jauh berbeda terhadap warna semula. Perubahan nilai ΔE film indikator untuk masing-masing suhu penyimpanan dan persamaan matematis perubahan nilai ΔE terlihat pada Gambar 17 dan Tabel 8. Untuk sampel yang disimpan pada freezer terjadi sedikit peningkatan nilai ∆E yaitu dari 0 pada hari ke-0, karena hari ke-0 dijadikan sebagai patokan warna awal, menjadi 7.88 pada hari ke-78 untuk sampel yang tidak dibungkus dan dari ∆E yang 0 pada hari ke-0 menjadi 11.85 pada hari ke-78 untuk sampel yang dibungkus. Untuk sampel yang disimpan pada suhu refrigerator terjadi peningkatan nilai ∆E dari 0 pada hari ke-0 menjadi 36.71 pada hari ke-12 untuk sampel yang tidak dibungkus dan dari 0 pada hari ke-0 menjadi 35.73 pada hari ke-12 untuk sampel yang dibungkus. Pada penyimpanan suhu suhu ruang, nilai ∆E meningkat dari 0 pada jam ke-0 menjadi 38.50 pada jam ke-11 untuk sampel yang tidak dibungkus dan dari nilai ∆E yang nol pada jam ke-0 menjadi 36.59 pada jam ke-11 untuk sampel yang dibungkus. Film pada penyimpanan suhu 40oC dengan penyinaran cahaya matahari, nilai ∆E meningkat dari nol pada jam ke-0 menjadi 41.60 pada jam ke-2 untuk sampel yang tidak dibungkus dan dari nol pada jam ke-0 menjadi 43.54 pada jam ke-2 untuk sampel yang dibungkus. Perubahan warna sampel menunjukkan lama penyimpanan, suhu dan cahaya dapat menyebabkan terjadinya degradasi antosianin yang menyebabkan perubahan warna sampel dari merah menjadi kekuningan. Peningkatan suhu penyimpanan dan lama penyimpanan mengakibatkan kenaikan nilai ∆E, sebagai imbas dari perubahan nilai L, a, dan b dari sampel film. Data yang didapat memperlihatkan bahwa film yang disimpan pada suhu yang lebih tinggi yaitu suhu ruang dan suhu luar memiliki perubahan nilai ∆E yang lebih besar dan lebih cepat di banding film yang disimpan pada suhu yang lebih rendah yaitu suhu freezer dan suhu refrigerator. Dari hasil penelitian dapat diketahui, perubahan warna menyebabkan peningkatan nilai ∆E pada semua suhu penyimpanan, hal ini sejalan dengan hasil penelitian Wanihsuksombat et al. (2010), perubahan prototype TTI berbasis asam laktat dari warna kuning kehijauan menjadi merah juga mengakibatkan peningkatan nilai ∆E yang dihasilkan.
50
50
40
40 Nilai ΔE
Nilai ΔE
34
30 20 10
30 20 10
0
0 0
500
1000
1500
2000
0
100
200
(b) 50
40
40 Nilai ∆E
Nilai ∆E
(a) 50
30 20
30 20
10
10
0
0 5
400
Lama penyimpanan (jam)
Lama penyimpanan (jam)
0
300
10
15
0
Lama Penyimpanan (Jam)
1
2
3
Lama Penyimpanan (Jam)
(c)
(d) Ket : ♦ Tanpa dibungkus, ■ Dibungkus
Gambar 17 Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai ∆E film pada suhu: (a) freezer ((-10)±2oC); (b) refrigerator (3±2oC); (c) ruang (25±3oC), dan (d) luar yaitu 40oC dengan paparan cahaya Tabel 8 Kinetika perubahan nilai ∆E film selama penyimpanan Cara Penyimpanan Dibungkus
Tanpa dibungkus
Suhu Penyimpanan Freezer ((-10)±2oC) Refrigerator (3±2oC) Ruang (25±3oC) o Luar (40 C dengan paparan cahaya) Freezer ((-10)±2oC) Refrigerator (3±2oC) Ruang (25±3oC) o Luar (40 C dengan paparan cahaya)
Persamaan Matematis y = 0.0052x + 0.09 y = 0.1219x + 0.53 y = 3.4370x – 2.76 y = 21.770x + 1.41 y = 0.0034x + 0.33 y = 0.0998x - 2.76 y = 3.4750x - 2.87 y = 20.800x + 1.75
R2 0.85 0.99 0.98 0.99 0.83 0.85 0.97 0.98
y (nilai ΔE film), x (lama penyimpanan)
Hal ini sesuai dengan persamaan matematis yang menggambarkan adanya peningkatan nilai ΔE, dapat dilihat nilai kemiringan (slope) persamaan matematis nilai ΔE pada penyimpanan suhu luar lebih tinggi dibanding pada penyimpanan suhu yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan semakin tinggi suhu penyimpanan, nilai ΔE semakin cepat mengalami peningkatan. Pada suhu freezer setiap jamnya terjadi peningkatan nilai ΔE sebesar 0.0052 satuan pada film yang dibungkus dan 0.0034 pada film yang tidak dibungkus. Pada suhu refrigerator setiap jamnya terjadi peningkatan nilai ΔE sebesar 0.1219 satuan pada film yang dibungkus dan
35
0.0998 pada film yang tidak dibungkus. Pada suhu ruang setiap jamnya terjadi peningkatan nilai ΔE sebesar 3.437 satuan pada film yang dibungkus dan 3.475 pada film yang tidak dibungkus, dan pada suhu luar setiap harinya terjadi peningkatan nilai ΔE sebesar 21.77 satuan pada film yang dibungkus dan 20.80 pada film yang tidak dibungkus. Dari hasil uji t terhadap nilai kemiringan (slope) dan nilai intersep didapatkan hasil nilai t hitung lebih kecil dari pada nilai t tabel, hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pembungkusan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai ΔE selama penyimpanan. 4.2.2.6 Perubahan kadar air dan ketebalan selama penyimpanan
30
30
25
25
20
20
Kadar Air (%)
Kadar Air (%)
Pengukuran kadar air film selama penyimpanan dilakukan untuk melihat ketahanan film selama disimpan. Kadar air film selama penyimpanan juga mengalami penurunan pada penyimpanan freezer dan refrigerator di awal penyimpanan, hal ini disebabkan karena menguapnya atau berpindahnya air pada film ke ruangan penyimpanan karena tingkat kelembaban yang rendah, terutama pada suhu freezer dengan RH 25-30%. Perubahan nilai kadar air indikator untuk masing-masing suhu penyimpanan terlihat pada Gambar 18.
15 10 5 0
15 10 5 0
0
1
2
3
4
11 18 48 78
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Lama Penyimpanan (hari)
Lama Penyimpanan (Hari)
(b)
30
30
25
25
20
20
Kadar Air (%)
Kadar Air (%)
(a)
15 10 5 0 0
1 Lama Penyimpanan (Hari)
15 10 5 0 0
1 Lama Penyimpanan (Jam)
(c)
2
(d) Ket : ♦ Tanpa dibungkus, ■ Dibungkus
Gambar 18 Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai kadar air film pada suhu: (a) freezer ((-10)±2oC); (b) refrigerator (3±2oC); (c) ruang (25±3oC), dan (d) luar yaitu 40oC dengan paparan cahaya Pada penyimpanan suhu freezer terjadi penurunan kadar air dari 27.375 menjadi 16.735 untuk sampel yang tidak dibungkus dan 28.4175 menjadi 16.08 untuk sampel yang dibungkus. Untuk sampel yang disimpan pada suhu
36
0.25
0.25
0.2
0.2 Ketebalan (mm)
Ketebalan (mm)
refrigerator terjadi penurunan kadar air dari 25.825 menjadi 18.02 untuk sampel yang tidak dibungkus dan 27.07 menjadi 18.355 untuk sampel yang dibungkus. Untuk suhu ruang kadar air cendrung tidak mengalami penurunan yang berarti yaitu dari 19.02 menjadi 19.175 untuk sampel yang tidak dibungkus dan 16.87 menjadi 16.81 untuk sampel yang dibungkus. Sedangkan pada sampel yang disimpan pada suhu luar dengan penyinaran matahari, kadar air turun dalam waktu 2 jam penyimpanan, yaitu dari 19.27 pada jam ke-0 menjadi 14.02 ada jam ke-2 untuk sampel yang tidak dibungkus dan 19.09 menjadi 15.78 untuk sampel yang dibungkus. Hal ini disebabkan oleh panasnya suhu dan panas dari cahaya matahari yang menyebabkan menguapnya air dari film ke udara. Ketebalan film selama penyimpanan cendrung stabil berkisar antara 0.20 mm-0.22 mm. Hal ini terjadi karena bahan tidak mengalami kehilangan atau penambahan kadar air yang berarti, sehingga tidak terjadi penipisan maupun penebalan yang besar. Tidak terlihatnya perubahan ketebalan juga karena pengukuran ketebalan film hanya dilakukan micrometer scrup yang hanya memiliki ketelitian 0.01 mm, sehingga tidak terlihat nilai perubahan yang berarti pada ketebalan film. Perubahan nilai ketebalan film indikator untuk masingmasing suhu penyimpanan terlihat pada Gambar 19.
0.15 0.1 0.05 0
0.15 0.1 0.05 0
0 1 2 3 4 11 18 48 78 Lama Penyimpanan (Hari)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Lama Penyimpanan (Hari)
(b)
0.25
0.25
0.2
0.2 Ketebalan (mm)
Ketebalan (mm)
(a)
0.15 0.1 0.05
0.15 0.1 0.05 0
0 0
1 Lama Penyimpanan (Hari)
0
1 Lama Penyimpanan (Jam)
(c)
2
(d) Ket : ♦ Tanpa dibungkus, ■ Dibungkus
Gambar 19 Hubungan lama penyimpanan terhadap ketebalan film pada suhu: (a) freezer ((-10)±2oC); (b) refrigerator (3±2oC); (c) ruang (25±3oC), dan (d) luar yaitu 40oC dengan paparan cahaya
37
4.3 Aplikasi kemasan cerdas pada penyimpanan produk pangan Film indikator yang dihasilkan dari penelitian ini dapat diaplikasikan menjadi kemasan cerdas yang merupakan Time Temperature Indicator (TI), yaitu kemasan cerdas yang dapat memberikan informasi apakah suhu berada di atas atau di bawah suhu kritis penyimpanan yang dianjurkan pada masing-masing produk. Label indikator warna daun erpa ini dapat ditempelkan pada kemasan pangan, akan memberikan informasi mengenai perubahan suhu pada kemasan selama distribusi maupun penyimpanan, hal ini ditunjukkan dengan respons perubahan warna dari merah menjadi kuning. Perubahan warna merah menjadi kuning yang disebabkan oleh faktor perubahan suhu selama penyimpanan terjadi karena kerusakan dan perubahan warna antosianin yang merupakan pigmen warna merah pada indikator warna, yaitu melalui tahapan : (i) terjadinya hidrolisis pada ikatan glikosidik antosianin dan menghasilkan aglikon-aglikon yang labil; dan (ii) terbukanya cincin aglikon sehingga terbentuk gugus karbinol dan kalkon yang berwarna kuning hingga tidak berwarna. Selman (1995) menjabarkan syarat-syarat TTI untuk dapat digunakan secara komersial dalam kemasan pangan adalah : Mudah untuk digunakan dan diaktivasi dan tidak merusak kemasan Harus diaplikasikan dan diaktivasi pada saat pengemasan (bukan sebelum pengemasan). Harus memberikan respon yang akurat mengenai perubahan suhu penyimpanan dan fluktuasi suhu yang cepat. Respon ini harus tidak dapat balik (irreversible) dan berkorelasi dengan kerusakan aktual pada bahan pangan. Perubahan TTI berkorelasi dengan kerusakan produk Berdasarkan data yang didapatkan, film indikator warna yang dihasilkan telah memenuhi syarat-syarat tersebut, hal ini terbukti film indikator warna yang dihasilkan lebih stabil pada suhu penyimpanan yang lebih rendah seperti pada suhu freezer, suhu ini dapat digunakan sebagai suhu penyimpanan film indikator warna sebelum digunakan sebagai kemasan cerdas. Kemampuan untuk berubah warna sehingga dapat memberikan respon terhadap perubahan suhu penyimpanan dibuktikan dengan perubahan warna film indikator warna ketika disimpan pada suhu yang lebih tinggi, karena film indikator warna akan sangat mudah terdegradasi pada suhu penyimpanan suhu ruang dan suhu luar dengan penyinaran matahari. Oleh karena itu, film indikator warna erpa dapat direkomendasikan untuk diaplikasikan sebagai kemasan cerdas pada susu pasteurisasi yang harus disimpan pada suhu freezer dan refrigerator, karena film indikator warna erpa akan sangat cepat mengalami kerusakan jika disimpan pada suhu ruang dan suhu yang lebih tinggi. Dalam penelitian ini, sampel produk pangan yang digunakan adalah susu pasteurisasi dengan merek dagang Cimory. Susu pasteurisasi ini memiliki masa simpan selama 10 hari sejak diproduksi jika disimpan pada suhu 3-5o C. Selama ini masa kedaluwarsa produk diinformasikan kepada konsumen melalui tanggal kedaluwarsa yang dicantumkan pada botol. Susu pasteurisasi sangat rentan terhadap suhu tinggi, pada kemasan ditampilkan bahwa susu bisa mengalami kerusakan lebih cepat dari tanggal kadaluarsa apabila disimpan pada suhu lebih tinggi dari 5oC, namun tidak ada label yang bisa memberikan informasi kepada konsumen perubahan suhu penyimpanan selama distribusi. Apabila selama
38
distribusi maupun penyimpanan terjadi peningkatan suhu, maka tanggal kedaluwarsa yang dicantumkan pada botol tidak dapat lagi dijadikan acuan. Oleh karena itu diharapkan film indikator warna erpa dapat dijadikan kemasan cerdas acuan, sehingga kesalahan penyimpanan dapat diketahui konsumen. Aplikasi film indikator warna pada kemasan susu pasteurisasi Cimory dapat dilihat pada Gambar 20.
(a)
(b) Gambar 20 Aplikasi film indikator warna sebagai kemasan cerdas pada kemasan susu pasteurisasi pada penyimpanan (a) suhu refrigerator dan (b) suhu ruang Pengujian mutu susu pasteurisasi dilakukan melalui uji organoleptik dan uji lempeng total susu pada penyimpanan suhu refrigerator (3±2oC) dan suhu ruang (25-30oC). Uji lempeng total dilakukan untuk melihat total mikroba yang terdapat pada susu pasteurisasi selama penyimpanan. 4.3.1 Uji organoleptik susu pasteurisasi Uji organoleptik dilakukan untuk melihat penerimaan konsumen terhadap susu pasteurisasi selama penyimpanan, dan untuk mengetahui apakah susu pasteurisasi masih layak untuk dikonsumsi atau tidak. Uji Organoleptik yang dilakukan adalah warna, aroma, dan rasa susu pasteurisasi. Penentuan mutu bahan pangan pada umumnya sangat tergantung pada beberapa faktor, seperti cita rasa, warna, tekstur dan nilai gizinya serta sifat mikrobiologis. Sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan, faktor visual merupakan faktor warna yang tampil terlebih
39
dahulu dan cenderung sangat menentukan. Warna memberikan daya tarik tersendiri dan sangat berpengaruh terhadap penilaian panelis terhadap suatu produk. Produk susu segar memiliki warna putih kekuningan. Warna putih disebabkan karena kandungan kasein dan kalsium fosfat yang merupakan dispersi koloid sehingga tidak tembus cahaya, sedangkan warna kekuningan disebabkan oleh kandungan lemak dalam susu, terutama dipengaruhi oleh zat-zat terlarut dalam lemak seperti karoten yang berasal dari pakan ternak (Buckle et al. 1987). Selama penyimpanan tidak terjadi perubahan warna yang signifikan pada susu yang disimpan pada suhu 4oC, hingga hari ke 10 penilaian panelis adalah normal/suka terhadap warna susu pasteurisasi. Aroma juga merupakan salah satu faktor penting pada penilaian mutu atau penerimaan panelis terhadap susu pasteurisasi. Aroma memberikan penilaian terhadap suatu produk apakah produk tersubut layak dikonsumsi atau tidak. Pengujian aroma /flavor susu pasteurisasi segar menunjukkan bau yang mengarah kepada bau yang sedap/enak. Aroma susu pasteurisasi adalah spesifik karena kandungan asam-asam volatil dan lemak dalam susu (Buckle et al. 1987). Pada penyimpanan susu pasteurisasi di suhu 4oC, secara umum aroma susu masih cenderung diterima oleh konsumen sampai hari ke-9 namun pada hari ke-11 hanya 33.3% panelis yang menerima aroma susu dalam batas normal, 50% panelis lain menyatakan kurang suka dan 16.7% menyatakan tidak suka terhadap aroma susu pasteurisasi. Hal ini membuktikan bahwa aroma susu akan semakin tidak normal dan cenderung asam selama penyimpanan, hal ini disebabkan karena semakin banyaknya mikroba yang terdapat pada susu pasteurisasi dan pada hari ke-11 susu pasteurisasi dinyatakan tidak layak konsumsi. Rasa adalah juga menentukan penilaian mutu dan penerimaan panelis terhadap susu pasteurisasi. Pengujian rasa melibatkan indera pengecap karena rasa merupakan parameter mutu dimana penilaian dilakukan dengan meminum produk yang diujikan. Susu pasteurisasi mempunyai rasa normal, agak sedikit manis karena terdapat kandungan laktosa dan juga akibat penambahan gula, laktosa merupakan satu-satunya karbohidrat yang terkandung dalam susu. Laktosa adalah disakarida yang tersusun dari 1 molekul glukosa dan 1 molekul galaktosa (Buckle et al. 1987). Uji rasa menunjukkan bahwa susu pasteurisasi pada lama penyimpanan 0,3,5,7 dan 9 hari masih normal, dibuktikan dengan 66-100% panelis masih menyatakan suka terhadap rasa susu pasteurisasi yang diujikan. Rasa asam pada susu pasteurisasi mulai terdapat pada lama penyimpanan hari ke-11 terjadi penurunan rasa sehingga hanya 26.7% panelis menyatakan bahwa rasa susu normal, dan 73.3% lainnya menyatakan kurang dan tidak suka. Rasa asam diakibatkan dekomposisi komponen susu oleh mikroba yang menyebabkan peragian laktosa menjadi asam laktat, sedangkan rasa pahit disebabkan oleh bakteri pembentuk pepton. Dekomposisi susu pasteurisasi oleh baktei secara enzimatik juga bisa terjadi dan berpengaruh terhadap rasa susu (Buckle et al. 1987). Hasil uji organoleptik susu pasteurisasi dan perubahan warna kemasan cerdas indikator warna erpa selama penyimpanan suhu refrigerator (3±2oC) dapat dilihat pada Gambar 21.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
% Panelis
% Panelis
40
0
3 5 7 9 Lama Penyimpanan (Hari)
11
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
3 5 7 9 Lama Penyimpanan (Hari)
(a)
11
(b) 100
% Panelis
80 60 40 20 0 0 3 5 7 Lama Penyimpanan (Hari)
9
11
(c) Suka
Kurang suka
Tidak suka
(d) Gambar 21 Hasil uji organoleptik susu pasteurisasi (a) Warna; (b) Aroma; (c) Rasa; dan (d) perubahan warna kemasan cerdas indikator selama penyimpanan suhu refrigerator (3±2oC) Pada Gambar 21 dapat dilihat, hasil uji organoleptik susu sejalan dengan perubahan warna pada kemasan cerdas indikator warna erpa. Pada waktu warna, aroma dan rasa susu sudah mengalami perubahan dan ada persentase konsumen yang tidak suka atau tidak menerima produk, maka diwaktu yang sama kemasan cerdas indikator warna erpa juga mengalami perubahan menjadi lebih kekuningan. 4.3.2 Uji Total Mikroba Susu Pasteurisasi Susu pasteurisasi merupakan bahan makanan yang bergizi tinggi karena mengandung zat-zat makanan yang lengkap dan seimbang seperti protein, lemak, karbohidrat, mineral, dan vitamin yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Karena kandungan gizi yang lengkap susu menjadi media yang sangat disukai oleh mikrooganisme untuk tumbuh dan berkembang sehingga bila tidak ditangani secara benar dalam waktu yang sangat singkat susu menjadi tidak layak untuk dikonsumsi (Habibah 2011). Mikroorganisme yang berkembang di dalam susu selain menyebabkan susu menjadi rusak juga membahayakan kesehatan manusia
41
yang mengkonsumsinya. Selain itu penanganan susu yang tidak benar juga dapat menyebabkan daya simpan susu menjadi singkat. Penyebab utama kerusakan susu adalah mikroba, terutama bakteri. Kerusakan pada susu disebabkan oleh terbentuknya asam laktat sebagai hasil fermentasi laktosa oleh bakteri asam laktat dan juga kontaminasi bakteri lain seperti Escherichia coli. Aktivitas bakteri ini akan menyebabkan aroma susu menjadi berubah dan tidak disukai oleh konsumen. Pertumbuhan mikroorganisme dalam susu dapat menurunkan mutu dan keamanan pangan susu karena perubahan rasa, aroma, warna, konsistensi dan penampakannya (Buckle et al. 1987). Menurut SNI No. 7388 Tahun 2009, Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) untuk susu pasteurisasi adalah dengan total bakteri sebesar 5 × 104 koloni/ml. Perubahan total koloni mikroba dan perubahan warna indikator selama penyimpanan suhu refrigerator (3±2oC) dan suhu ruang (25±3oC) dapat dilihat pada Gambar 22. 6
Kolono/ml
5 4 3 2 1 0 0
2
4 6 Lama Penyimpanan (Hari)
8
10 12 Total Koloni Mikroba
Koloni/ml
(a) 7 6 5 4 3 2 1 0 0
2
4
6
Lama Penyimpanan (Jam)
8
10
12
Total Koloni Mikroba
(b) Gambar 22 Hasil uji total koloni mikroba susu pasteurisasi selama penyimpanan pada suhu (a) refrigerator (3±2oC); (b) ruang (25±3oC)
42
Pada Gambar 22 dapat dilihat perubahan warna kemasan cerdas indikator warna seiring dengan peningkatan total koloni mikroba meningkat selama penyimpanan. Penyimpanan susu pasteurisasi pada suhu (3±2oC) dapat mempertahankan mutu susu pasteurisasi sampai 9 hari dengan indikator berwarna kuning-merah pada hari ke-9 yang menyatakan bahwa produk harus segera dikonsumsi, dan total mikroba melebihi batas maksimum total koloni mikroba pada hari ke 11 dengan indikator warna berwarna kuning. Pada suhu ruang mutu susu hanya bertahan selama 7 jam dengan indikator berwarna kuning-merah pada hari ke-7 yang menyatakan bahwa produk harus segera dikonsumsi, dan total mikroba melebihi batas maksimum total koloni mikroba pada hari ke-8 hingga ke11 dengan indikator warna berwarna kuning. Susu pasteurisasi pada penyimpanan suhu refrigerator tidak terjadi perkembangan bakteri yang signifikan dan masih berada di bawah BMCM SNI No. 7388 Tahun 2009 yakni dibawah 5 x104 koloni/ml pada penyimpanan 0, 3, 5, 7 dan 9 hari. Kerusakan susu yang disimpan pada suhu refrigerator terjadi pada penyimpanan hari ke -11, dimana total koloni mikroba melebihi batas maksimum cemaran mikroorganisme. Hal ini sejalan dengan pernyataan Habibah (2011), bahwa susu pasteurisasi dapat bertahan selama 9 hari dari tanggal atau hari pemprosesan jika disimpan pada suhu yang ideal yaitu 3-5 ˚C, oleh karena itu susu pasteurisasi harus disimpan dalam lemari es. Susu pasteurisasi pada penyimpanan suhu ruang cenderung mengalami kerusakan lebih cepat, terjadi peningkatan total koloni mikroba selama penyimpanan. Total koloni mikroba masih berada dibawah batas maksimum koloni mikroba SNI No.7388 tahun 2009 hingga 6 jam penyimpanan. Susu pasteurisasi memiliki total koloni mikroba diatas batas maksimum ketika jam ke-7 penyimpanan yaitu sebesar 5.1 x 104 koloni/ml dan terus meningkat di jam ke 9,10 dan 11. Hal ini menunjukkan bakteri lebih cepat berkembang pada suhu yang lebih tinggi dibanding suhu yang rendah. Peningkatan total koloni mikroba ini menyebabkan perubahan sifat fisik dari susu pasteurisasi, sehingga susu tidak layak lagi untuk dikonsumsi, seperti pernyataan Buckle et al. (1987), pertumbuhan mikroorganisme di dalam atau pada makanan dapat mengakibatkan berbagai perubahan fisik maupun kimiawi yang tidak diinginkan , sehingga bahan pangan tersebut tidak layak untuk di konsumsi lagi. Apabila hal ini terjadi, produk pangan tersebut dinyatakan sebagai bahan pangan yang busuk.
43
4.4 Potensi Aplikasi Film Indikator Warna Sebagai Kemasan Cerdas Film indikator warna daun erpa sangat potensial untuk diaplikasikan pada produk susu pasteurisasi. Film indikator warna daun erpa dapat diaplikasikan dalam bentuk label yang ditempel di bagian luar kemasan susu pasteurisasi. Aplikasi film indikator warna daun erpa ditempel dalam bentuk label bersamaan dengan pedoman warna film indikator warna daun erpa sehingga dapat di aplikasikan sebagai kemasan cerdas. Adanya pedoman warna film indikator warna daun erpa dapat menjadi panduan bagi konsumen, agar konsumen dapat melihat tingkat perubahan warna film indikator warna daun erpa sebagi kemasan cerdas, dan dapat dijadikan panduan kerusakan produk hanya dengan melihat perubahan warna dari film indikator dan mencocokkannya dengan warna panduan. Label indikator warna daun erpa sebagai kemasan cerdas dapat dilihat pada Gambar 23.
Gambar 23 Label indikator warna daun erpa
44
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian kemasan cerdas indikator warna ini adalah sebagai berikut : Film indikator warna dapat dibuat dari film PVA-kitosan dengan pewarna alami daun erpa yang mengandung pigmen antosianin. Film indikator warna dibuat dengan kombinasi pencampuran antara kitosan dan PVA, perbandingan 60% PVA dan 40% kitosan (b/b). Pencetakan film dilakukan pada plat kaca berukuran 20×30 cm dengan volume bahan sebanyak 400 mL dan dikeringkan dengan suhu 50oC selama 24 jam. Ekstrak pewarna erpa memiliki pH 5.09 dengan total antosianin sebesar 116.65 mg antosianin/100 g. Pewarnaan film terbaik dilakukan dengan cara pengolesan dengan 1 mL pewarna erpa pada 40 cm2 film. Film indikator warna erpa yang mengandung antosianin mengalami perubahan warna selama penyimpanan. Peningkatan suhu dan cahaya menyebabkan senyawa antosianin terdegradasi lebih cepat, sehingga warna indikator berubah dari merah menjadi kuning. Secara umum peningkatan suhu penyimpanan, cahaya dan lama penyimpanan menyebabkan rata-rata nilai L (tingkat kecerahan) sampel film setelah penyimpanan lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum penyimpanan, berarti selama penyimpanan sampel menjadi semakin cerah, juga menyebabkan penurunan derajat kemerahan sampel film. Rata-rata nilai derajat kemerahan (+a) sampel film setelah penyimpanan lebih rendah dibandingkan dengan sebelum penyimpanan. Peningkatan suhu penyimpanan, cahaya dan lama penyimpanan juga menyebabkan rata-rata nilai b (derajat kekuningan) sampel film setelah penyimpanan lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum penyimpanan. Perubahan nilai a dan b berpengaruh pada perubahan nilai °hue, nilai a yang cenderung berkurang derajat kemerahannya dan nilai b yang cenderung meningkat derajat kekuningannya menyebabkan daerah kisaran warna kromatis sampel film bergeser dari merah menjadi kuning seiring meningkatnya nilai °hue dan juga mengakibatkan kenaikan nilai ∆E, sebagai hasil dari perubahan nilai L, a, dan b dari sampel film. Data yang didapat memperlihatkan bahwa film yang disimpan pada suhu yang lebih tinggi yaitu suhu ruang dan suhu luar memiliki perubahan nilai ∆E yang lebih besar dan lebih cepat dibanding film yang disimpan pada suhu yang lebih rendah yaitu suhu freezer dan suhu refrigerator. Perubahan nilai L,a,b,ohue dan ∆E seiring dengan perubahan warna sampel secara visual dari merah menjadi kuning. Hal ini menunjukkan lama penyimpanan, suhu dan cahaya dapat menyebabkan terjadinya degradasi antosianin yang menyebabkan perubahan warna sampel dari merah menjadi kekuningan. Berdasarkan data yang didapatkan, dapat diketahui bahwa warna film ini lebih stabil atau tidak berubah pada suhu penyimpanan yang lebih rendah, yaitu pada suhu freezer dan suhu refrigerator, dan sangat mudah berubah pada suhu penyimpanan suhu ruang dan suhu 40oC dengan penyinaran matahari. Oleh karena itu, film indikator ini diaplikasikan pada produk susu pasteurisasi yang akan mengalami kerusakan jika disimpan pada suhu ruang atau suhu yang lebih tinggi dari yang disarankan. Hasil penelitian menunjukkan perubahan warna film indikator sesuai dengan indikator kerusakan susu pasteurisasi yaitu pertumbuhan
45
mikroba dan uji organoleptik pada susu pasteurisasi tersebut, sehingga film indikator warna ini dapat digunakan sebagai indikator kerusakan susu pasteurisasi. 5.2 Saran Untuk peneliti selanjutnya disarankan melakukan penelitian aplikasi kemasan cerdas indikator warna ini pada penyimpanan produk lain selain susu pasteurisasi sehingga pemanfaatan film indikator warna daun erpa sebagai kemasan cerdas dapat diperluas.
46
DAFTAR PUSTAKA Ahvenainen R. 2003. Novel Food Packaging Techniques. Abington : Woodhead Publising P. Apriyanto J. 2007. Karakteristik biofilm dari bahan dasar polivinil alcohol dan chitosan. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Ardian FN. 2011. Pengaruh jenis pati terhadap kuat tarik dan persen pemanjangan plastik biodegradabel dengan metode grafting. (Diunduh 15 Maret 2013) tersedia pada http://elibrary.ub.ac.id/handle/123456789/26342 ASTM (American Society for Testing and Material). 1989. Standar Methods for Oxygen Gas Transmission Rate of Materials. Philadelpia: ASTM Book of Standard Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI No.7388:2009. Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Susu Pasteurisasi. Bogor Ban W, Jianguosong, Argyropoulus DS, Lucia LA. 2005. Improving the physicaland chemical functionality of starch-derived films with biopolymers. J App Polym Sci. 100 : 2542-2548 Buckle KA, Edwards RA, Gleet GH Wotton M. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan Purnomo H, Adiono. Jakarta : UI Press Buckmann AJP,Nabuurs T, Overbeek GC. 2002. Self Crosslingking Polymeric Dispersant Used in Emulsion Polymerization. Netherland Buttler B L, Vergano P J, Testin R F.1996. Mechanical and barrier properties of edible chitosan films as affected by composition and storage. J Food Sci. 61(5) : 953 - 955. Chen C H, Yang C H.2007. Studies of chitosan I : Preparationand characterization of chitosan/polyvinyl alcohol blends film. J Polym Sci. 105 : 1086-1092 Dainelli D. 2008. Active and intelligent food packaging : legal aspects and safety concern. J Trends Food Sci Technol. 19 : S103 – S112 Dharmawan IP. 2009. Pengaruh kopigmentasi pewarna alami antosianin dari rosella (Hibiscus sabdariffa L.) dengan brazilien dari kayu secang (Caesalpinia L.) terhadap stabilitas warna pada model minuman ringan. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor Dianawati E. 2001. Mempelajari ekstraksi antosianin dari daun erpa (Aerva sp.) menggunakan pelarut yang diasamkan dengan asam klorida.[Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Fardiaz S. 1992. Petunjuk Laboratorium Mikrobiologi Pengolahan Pangan. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Galagan Y, Su WF. 2008. Fadable ink for time-temperature control of food freshness : novel new time-temperature indicator. J Food Res Intern. 41: 653-657 Gontard N and Gilbert S. 1994.Biopackaging technology and properties of edible biodegradable material of agricultural origin. Di dalam : Food Packaging and Preservation. Wesport : The AVI Publ Hanum T. 2000. Ekstraksi dan Stabilitas Zat Pewarna Alam dari Katul Beras Ketan Hitam (Oryza sativa glutinosa). Bul TIP 11(1) : 17 – 23. Habibah. 2011. Pertumbuhan mikroorganisme selama penyimpanan susu pasteurisasi pada suhu rendah. J Agro Sci. 18(3) : 51-56
47
Hasnedi Y. 2009. Pengembangan kemasan cerdas (smart packaging) dengan sensor berbahan dasar chitosan asetat, polivinil alcohol, dan pewarna indikator bromothymol blue sebagai pendeteksi kebusukan fillet ikan nila. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor Herjanti. 1997. Pemanfaatan kitosan sebagai bahan pelapis tomat (Lycopersicum esculenum mill).[Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor Heyne K. 1987. Tanaman Berguna Indonesia II. Jakarta : Yayasan Sarana Wana Jaya Hoagland PD, Parris N. 1996. Chitosan/pectin laminated films. J Agri Food Chem. 44: 1915-1919. Hodgkinson N , Taylor M.2000. Thermoplastic poly (vinyl alcohol) (PVOH). J Material World l(8) : 24-25 Hong SI, Park W S.2000. Use of color indicators as an active packaging system for evaluating kimchi fermentation. J Food Eng. 46 : 67 - 72 Hunter RS. 1958. Photoelectric colour difference meter. J. of the optical Society of America 48 : 985-995 Di dalam : MacDouggall DB. 2002. Colour in Food : Improving Quality. Washington : CRC Press Hutching JB. 1999. Food Color and Appereance. Second edition. Maruland : Chapman Hall Food Sci Jackman RL, Smith JL. 1996. Anthocyanins and betalains. Di dalam : Hendry, G. F. And J.D. Houghton. Natural Food Colourants. London : Blackie Academic Prof : 244-309 Joshi P, Brimelow CJB. 2002. Colour measurement of foods by colour reflectance. Di dalam. MacDougall (ed).2002. Colour in food : Improving quality. Washington : CRC Press Kerry J, Buttler P, editor . 2008. Smart Packaging Technologies for Fast Moving Consumer Goods . England : J Wiley Kim MJ. Jung SW. Park HR, Lee SJ. 2012. Selection of an optimum pH-indicator for developing lactic acid bacteria-based time-temperature integrators (TTI). J Food Eng. 113 : 471-478 Kuswandi BJ, Restyana, Abdullah A, Ahmad LYH. 2012. A novel colorimetric food package label for fish spoilage based on polyaniline film. J Food Contr. 25: 184-189 Lindy TEN. 2008. Aplikasi ekstrak antosianin buah dawet (Syzigium cumuni) pada produk jelly, yogurt, dan minuman berkarbonasi. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor Lydia SW, Widjanarko SB, Tri S. 2001. Ekstraksi dan karakterisasi pigmen dari kulit buah rambutan (Nephelium lappaceum). Var. Binjai biosain. J TIP 1 (2) : 42-53 MacDougall. 2002. Colour in food : Improving quality. Washington : CRC Press Makarios LLC, 1995. Biodegrability of chitin and chitosan containing films in soil environment. J Environ Polym Degradation. 3: 1-5 Mardisiswojo S, Radjakmangunsudarso H. 1985. Cabe Puyang Warisan Nenek Moyang 1. Jakarta : PN Balai Pustaka Markakis P, 1982. Anthocyanins as Food Additive. NewYork : Academic Press 263 pp Mustajib MI. 2010. Susu pasteurisasi dan mikrobiologi susu. J TIP. 12 (2) : 109118.
48
Ningrum A, 2005. Stabilitas zat pewarna alami dari daun erpa (Aerva sp) dalam model minuman ringan dan pudding agar. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor Nopwinyuwong A, Trevanich S, Suppakul P. 2010. Development of a novel colometric indicator label for monitoring freshness of intermediate-moisture dessert spoilage. J Talan. 81 : 1126 – 1132 Nurdiana D. 2002. Karakteristik fisik edible film dari kitosan dengan sorbitol sebagai plasticizer. [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Pavelkova A. 2012. Intelligent packaging as device for monitoring of risk factors in food. J Microbiol Biotechnol Food Sci. : 282 – 292 Permana ID. 2008. Modifikasi proses pemintalan basah pembuatan komposit biofiber tekstil dengan menggunakan bahan dasar kitosan dan polivinil alkohol. [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor Purwanti A. 2010. Analisis kuat tarik dan elongasi plastik kitosan terplastisasi sorbitol. J Teknol. 3 (2) : 99-106 Putri CW. 2012. Kemasan cerdas indikator warna untuk mendeteksi kesegaran buah potong nenas.[Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor Raharja S, Dianawati E. 2001. Mempelajari ekstraksi antosianin dari daun erpa (aerva sp.) menggunakan pelarut yang di asamkan. Bul TIP. 11(2):49-52 Rein M .2005. Copigments reaction and color stability of berry anthocyanins. (Diunduh 5 Mei 2005) ditemukan pada http://www.copigments.pdf.com. html Restanti AR. 1992, Skrining fitokimia dan pemeriksaan mikroskopi daun sambang colok (Aerva sanguinolenta Linn.).[Skripsi]. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada Rinaudo M. 2006. Chitin and chitosan : properties and applications. J Polym Sci. 31 : 603-632 Rukchon C. 2011. Volatile compounds as quality indicators of fresh chicken and possible application in intelligent packaging. The 12th ASEAN food conference 2011, 16-18 June, 2011. BITEC Bangna, Bangkok, Thailand. Sanford PA, Hutchings GP. 1987. Industrial polysaccharides. Di dalam: Genetic Engineering, Structure/Property and Application. Amsterdam : Elsevier : 363-375 Schonberger H, Maumann A, Keller W. 1997. Study of microbial degradation of plyvinyl alcohol (PVA) in wastewater treatment Plants. Di dalam. Apriyanto J. 2007. Karakteristik biofilm dari bahan dasar polivinil alcohol dan chitosan. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Selman JD. 1995. Time-Temperature Indicators. Di dalam : Rooney, ML. 1995. Active Food Packaging. Glasgow : Blackie Academ Professional Silva AS. et al .2007 . Time–temperature study of the kinetics of migration of DPBD from plastics into chocolate, chocolate spread and margarine. J Food Res Intern. 40 : 679–686 Smolander M. 2004. Monitoring of the quality of modified atmosphere packaged broiler chicken cuts stored in different temperature conditions a time– temperature indicators as quality-indicating tools. J Food Contr. 15 : 217229
49
Smolander M. 2008. Freshness Indicators for food packaging. Di dalam : Buttler, P. and Kerry, J. 2008. Smart Packaging Technologies For Fast Moving Consumer Goods. J Wiley Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bharata Aksara Sudarmadji. 1997. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty Sumarto. 2008. Mempelajari pengaruh penambahan asam lemak dan natrium benzoat terhadap sifat fisik, mekanik, dan aktivitas antimikroba film edibel kitosan .[Skripsi].Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Theresia V. 2003. Aplikasi dan karakteristik sifat fisik mekanik plastik biodegradable dari campuran LDPE dan tapioka. [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor Uz M, Altinkaya SA. 2011. Development of mono and multilayer antimicrobial food packaging materials for controlled release of potassium sorbate. J Food Sci Technol. 44 : 2302 - 2309 Vaikousi H, Biliaderis, Koutsoumanis KP. 2008. Development of a microbial TTI prototype for monitoring microbiological quality of chilled food. Amerika : American Society for Microbiology Vaikousi H, Biliaderis CG, Koutsoumanis KP.2009. Applicability of a microbial Time Temperature Indicator (TTI) for monitoring spoilage of modified atmosphere packed minced meat. J Food Microbiol. 133 : 272-278 Viguera CG, Bridle. 1999. Influence of structure on colour stability of anthocyanins and flavylum salts with ascorbic acid. J Food Chem. 64 : 2126 Wanihsuksombat C, Hongtrakul V, Suppakul P. 2010. Development and characterization of a prototype of a lactic acid-based time-temperature indicator for monitoring food product quality. J Food Eng. 100 : 427 - 434 Warsiki E, Sunarti TC, Damanik R. 2010. Pengembangan kemasan antimikrobial untuk memperpanjang umur simpan produk pangan. Prosiding Seminar Hasil - Hasil Penelitian IPB 2009, Buku 5 Bidang Teknologi dan Rekayasa Pangan, Bogor, Desember 2010. Hal. 579-588 Warsiki E, Putri CW. 2012. Pembuatan label/film indikator warna dengan pewarna alami dan sintetis. E-J Agroindust Indones. 1(2): 82 – 87 Winarno FG. (1984). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 251 hal. Winarno FG. (1983). Kerusakan Bahan Pangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Wrolstand RE, Skrede G, Lea P, Enersen G. 1990. Influence of sugar on anthocyanin pigmen in frozen strawberries. J Food Sci. 55 : 1064-1065 Xu XY, Kim KM, Hanna MA, Nag D. 2004. Chitosan starch composite film : preparation and characterization . J Indust Crops Prod. 21 : 185-192
50
Lampiran 1 Diagram alir tahap penelitian
Formulasi Ekstraksi kemasan pewarna cerdas daun indikator erpawarna Tahap ke-1 Pembuatan dan karakterisasi film indikator warna
Karakterisasi dan uji stabilitas film indikator kemasan cerdas indikator warna Uji penyimpanan film indikator
1
2
3
4
Uji performa film indikator sebagai kemasan cerdas Tahap ke-2 Aplikasi kemasan cerdas untuk produk susu pasteurisasi Tahap ke-3
51
Lampiran 2 Proses pembuatan larutan kitosan 3% dan larutan PVA 3% Proses pembuatan Larutan khitosan 3% Larutan kitosan 3% dibuat sebanyak 500 mL. Kitosan dalam bentuk serbuk sebanyak 15 g ditambahkan asam asetat 1% hingga volume 250 mL, kemudian ditambahkan akuades hingga mencapai 500 mL. Larutan kitosan 3% kemudian dihomogenkan selama 10 menit dengan magnetig stirrer. Proses pembuatan Larutan PVA 3 % Larutan PVA 3% dibuat sebanyak 500 ml. PVA serbuk sebanyak 15 g ditambahkan akuades bersuhu 80oC hingga mencapai volume 500 mL. Selanjutnya larutan PVA diaduk hingga merata selama 20 menit secara manual dengan suhu stabil. Larutan PVA diambil dalam jumlah tertentu sesuai dengan komposisi yang dibutuhkan dalam pembuatan kemasan cerdas.
52
Lampiran 3 Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) pada susu pasteurisasi menurut SNI 7388:2009 Jenis Cemaran Mikroorganisme Total Plate Count (TPC) MPN Koliform MPN Escherichia coli Salmonella sp Staphylococcus aureus Listeria monocytogenes
Batas Maksimum 5 x 104 koloni/ml 10/ml <3/ml Negatif/25 ml 1 x 102 koloni/ml Negatif/ 25 ml
53
Lampiran 4 Hasil uji t nilai slope dan intersep film indikator warna daun erpa Slope Nilai L Nilai a Nilai b Nilai ohue Nilai ΔE
Mean (x1-x2) 0.108 0.259 0.047 0.148 0.239
Intersep Nilai L Nilai a Nilai b Nilai ohue Nilai ΔE
Mean (x1-x2) 1.974 1.303 2.987 5.605 0.702
t hitung 0.814 1.007 1.492 0.965 0.936 t hitung 0.978 2.029 1.496 1.602 0.811
t tabel 2.353 2.353 2.353 2.353 2.353
Keterangan terima H0 terima H0 terima H0 terima H0 terima H0
t tabel 2.353 2.353 2.353 2.353 2.353
Keterangan terima H0 terima H0 terima H0 terima H0 terima H0
Keputusan : Pada selang kepercayaan 95%, t hitung < t tabel, maka terima H0. Artinya perlakuan pembungkusan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai L,a, b, ohue, dan ΔE film indikator warna erpa selama penyimpanan.