sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXVIII, Nomor 1, 2003 : 1 - 6
ISSN 0216-1877
CAHAYA DAN WARNA PADA KRUSTASEA Oleh Rianta Pratiwi 1) ABSTRACT
LIGHT AND COLOR IN CRUSTASEANS. Luminescence in the sea, with is beauty and mystery, involves one of the most fascinating problems of zoology and biochemistry - the production of cold light. Many theories have been advanced to account for it. Even Benjamin Franklin made it the subject of his penetrating curiosity. He believed that it was due to electric sparks generated by friction among the salts of the sea. The remarkable phenomenon of light in Crustacean fined what is almost its peer in another phenomenon - that of color. Many Crustaceans, like some other animals, seem able to change their color at will. All about light and color will present in this article.
CAHAYA PADA KRUSTASEA
PENDAHULUAN
Ostracoda dari jenis Cypridina hilgendorfi adalah hewan yang mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan percikanpercikan cahaya biru yang terang dan berkerlipkerlip pada saat hewan tersebut terancam bahaya, misalnya adanya predator. Hal tersebut dapat dilakukannya berulang kali, hingga hewan yang membahayakan dirinya tersebut dirasakan dapat dilaluinya. Untuk mempermudah melihat cahaya yang dikeluarkan oleh hewan tersebut, peneliti Jepang telah melakukan percobaan, dengan
Telah diketahui bersama bahwa, hewan krustasea memiliki kemampuan untuk mengeluarkan cahaya dan merubah warna tubuh sesuai dengan tempat tinggal atau habitatnya. Akan tetapi kejadian tersebut masih merupakan misteri yang masih harus diteliti lebih lanjut, seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti Jepang terhadap " kunang-kunang laut" (Ostracoda) dari jenis Cypridina hilgendorfi.
1) Bidang Sumber Daya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta.
Oseana, Volume XXVIII no. 1, 2003
1
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
cara memasukkan beberapa ratus ekor Cypridina hilgendorfi dalam tabung yang berisi air laut dan dalam kondisi tersebut Cypridina hilgendorfi akan mengeluarkan cahaya secara cepat. Selain itu dilakukan juga percobaan dengan mengganti air dengan alkohol, meskipun tubuhnya kemudian akan mati dan mengering, akan tetapi hewan tersebut tetap dapat mengeluarkan sinar terus menerus selama 15 menit. Ostracoda (Cypridina hilgendorfi) yang kering dapat diawetkan dalam jangka waktu lama (tidak terbatas). Cahaya yang dipancarkan oleh Cypridina hilgendorfi adalah sangat kuat dalam beberapa menit, sehingga pada kedalaman tertentu mata kita masih dapat melihat cahaya yang ditimbulkan oleh hewan tersebut. SCHMITT (1973) menjelaskan bahwa E. Newton Harvey dalam penemuannya terhadap bioluminescent mengungkapkan bahwa penggunaan bubuk Cypridina hilgendorfi pernah dilakukan untuk membaca pesan-pesan penting dalam keadaan malam yang gelap gulita pada saat Perang Dunia ke-II. Tentara Jepang di Pasifik pada saat itu terpaksa harus membaca pesan dengan menggunakan intensitas cahaya rendah yang dikeluarkan dari bubuk kering hewan Cypridina hilgendorfi dengan cara menggosokkan atau menaburinya pada telapak tangan. Selain Ostracoda terdapat beberapa krustasea lain yang juga mengeluarkan cahaya seperti dari kelompok Copepoda yaitu jenis Pleuromma abdominale yang tersebar luas. Hewan ini termasuk jenis kosmopolitan, sehingga dapat dijumpai hampir di seluruh perairan. Hewan ini memiliki 18 organ tubuh yang dapat mengeluarkan cahaya, namun komposisi jenis hewan ini relatif rendah, bahkan di dunia hanya 7 jenis dan hanya ditemukan di pantai Norwegia, Spitsbergen dan sebelah utara Greenland (SCHRAM 1986). Cahaya yang ditimbulkan oleh hewan tersebut dapat berganti-ganti, mulai dari biru
Oseana, Volume XXVIII no. 1, 2003
terang, hijau terang, kuning sampai dengan warna kombinasi antara kedua warna tersebut. Proses keluarnya cahaya (luminesens) dari Ostracoda disebabkan oleh kelenjar khusus yang memproduksi substansi-substansi yang dapat menimbulkan cahaya secara kwantitas dan dapat disimpan dalam tubuh (SCHMITT, 1973). Bila ditelusuri lebih jauh tentang kehidupan krustasea, ternyata bahwa organ yang memproduksi sinar akan berubah dari kelenjarkelenjar sederhana dalam tubuh Ostracoda dan Copepoda menjadi organ-organ yang lebih besar dan lebih kompleks. Hewan tersebut juga memiliki lensa-lensa yang berfungsi sebagai reflektor terhadap intensitas cahaya yang dipancarkan. KLEINHOLZ (1985) mengatakan bahwa cahaya yang dikeluarkan oleh udang adalah berasal dari sejumlah kelenjar yang umumnya terdapat dalam tubuh udang. Kelenjar-kelenjar tersebut mengeluarkan sekresi yang kecil dalam jumlah besar hingga ratusan ribu, dikeluarkan dari semacam saluran yang terletak di bawah kepala, mulut, bagian dasar (dalam) dan bagian anterior thoraks. Sekresi tersebut akan bercampur dengan gelombang air yang kuat dan kemudian akan mengeluarkan cahaya. Proses pengeluaran cahaya pada hewan oleh suatu organ yang khusus, sehingga dapat dipancarkan keluar disebut photophore. Sebagai contoh udang Sergestes challengeri yang memiliki kemampuan mengeluarkan 150 titik cahaya dengan iluminasi cahaya yang kuat di saat pertumbuhannya. Menurut RAO (1985), krustasea menggunakan cahaya yang dikeluarkan dari tubuhnya adalah sebagai alat untuk menarik hewan-hewan lain dari jenis yang sama, menarik lawan jenis, menakut-nakuti pemangsa, serta untuk membingungkan predator. Caranya adalah dengan mengeluarkan cahaya terang dan gelap secara tiba-tiba, sehingga musuh tidak dapat menangkapnya. Selain itu fungsi cahaya lainnya adalah untuk mengusir predator yang selalu mengancam dirinya.
2
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Ostracoda cenderung menghindari sinar, baik yang ditimbulkan dari hewan lain maupun dari sinar lampu atau bulan, karena cahaya tersebut akan menyebabkan sinar yang dimilikinya menjadi tidak efektif. Pada siang hari, hewan-hewan tersebut sulit bersembunyi, sedangkan pada malam terang bulan hewan tersebut sulit sekali ditemukan, meskipun menggunakan lampu listrik yang dapat menembus permukaan air, namun tidak mudah untuk melihat akitivitas hidupnya. Selain itu ombak dan gelombang yang kuat dapat menyebabkan hilangnya hewan-hewan tersebut. Mereka akan terhempas dan terbawa arus sehingga bisa saja di suatu daerah banyak ditemukan Ostracoda dan Copepoda yang bercahaya, sedangkan pada daerah lain tidak ditemui hewan-hewan tersebut. Sebagian besar hewan laut dalam siklus hidupnya mengalami proses photophores dan biasanya menempati daerah yang tidak terlalu dalam, dimana sinar matahari masih dapat menembus kedalaman air. Sedangkan krustasea tingkat rendah, umumnya hidup di perairan yang dalam, sehingga tidak mengalami penetrasi. Hewan-hewan tersebut akan menggunakan organ matanya, sehingga mata akan berkembang dengan baik (GHIDALIA, 1985). Krustasea yang bercahaya bersifat pelagik. Di beberapa pantai di New England ditemukan jenis Meganyctiphanes norvegica, yang berenang-renang dan memancarkan cahaya biru terang selama pertengahan musim panas, sehingga pada malam hari terlihat seperti kunang-kunang yang terbang di laut. Produksi cahaya pada krustasea berasal dari reaksi oksigen dengan substansi fotogenik yaitu lusifera yang dikeluarkan oleh sel kelenjar khusus lusiferin yang terdapat pada jaringan tubuh dan dalam darah.
Oseana, Volume XXVIII no. 1, 2003
WARNA (PIGMEN) PADA KRUSTASEA Kebanyakan dari krustasea seperti juga beberapa jenis hewan lainnya, memiliki "Kromatophore" (sel pigmen atau zat pembentuk warna), misalnya Amphipoda, Copepoda, Dekapoda, Euphausiids, Isopoda, Mysid, Hyppolytidae dan Stomatopoda (Gambar 1). Kromatophore pada krustasea terbagi atas 3 jenis yaitu : 1). Kromatophore Monokromatik terdiri dari satu jenis pigmen yang memberikan warna melanophore (hitam dan coklat), eritrophore (merah), leukophore (putih) dan xanthophore (kuning); 2). Kromatophore Polikromatik yaitu jenis pigmen yang sangat jarang dan biasanya hanya memberikan satu atau dua warna saja, seperti misalnya erittrophore yang hanya memberikan warna merah dan biru saja; 3). Kromatosome adalah penyebaran (cluster) dari kromatophore (GHIDALIA, 1985). Pada umumya kelompok hewan tersebut mempunyai kemampuan untuk merubah warna tubuhnya ("mimikri"), kapan saja dan dimana saja sesuai dengan warna yang ada pada kondisi lingkungannya baik secara fisiologi maupun morfologi. Selain itu jumlah warna yang dikeluarkan bisa lebih dari satu seperti warna hitam - merah; kuning- putih; hitam - merah putih atau kuning-hitam-merah-putih. Sebagai contoh adalah jenis udang Hippolyte varians memiliki respon yang tinggi terhadap perubahan warna, hewan ini dijumpai hidup di beberapa jenis algae. Bila tinggal pada algae merah, maka hewan inipun akan merubah wamanya menjadi kemerah-merahan, demikian pula bila hidup atau tinggal pada algae hijau dan coklat. Hewan tersebut cenderung merubah warna sesuai dengan habitatnya, hal ini dilakukan sebagai alat membela diri untuk melindungi tubuhnya bila ada bahaya di sekitarnya.
3
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 1.
Jenis Kromatophore Krustasea: a. Kromatophore Monokromatik; b. Kromatophore Polykromatik dan c. Kromatosom (GHIDALIA, 1985). yang hidup pada rumput laut, juga memilki kemampuan "mimikri" seperti udang Hyppolyte. Warna kuning muda, kuning kehijauan, hijau kecoklatan, dan coklat kemerahan merupakan warna yang dihasilkan dan sesuai dengan warna dari algae yang ditempatinya. Kadang-kadang ditemukan pula udang dengan corak bergaris seperti alur-alur pada rumput laut, hal ini digunakan sebagai penyamaran untuk menghindari predator. Warna hitam atau hitam dengan titik putih dan hitam keunguan biasanya ditemukan pada jenis udang yang hidup pada bagian ujung rumput laut. Telah diteliti, oleh SCHMITT (1973) bahwa krustasea yang hidup di padang lamun Mediteranian yaitu sejenis Amphipoda hidup di akar dan tangkai akar lamun. Amphipoda tersebut membuat lubang pada habitatnya dengan warna yang sesuai dengan akar. Tetapi apabila hewan tersebut menempati substrat pasir, mereka akan merubah corak tubuhnya seperti warna pasir. Sejenis Amphipoda Hyperia galba, ditemukan menempel pada tentakel ubur-ubur dan hewan tersebut akan ikut berenang-renang di perairan dan berubah warna menjadi transparan, sedangkan pada saat hewan
Kemampuan merubah warna dari hewan tersebut karena, terdapat fungsi sintesa lemak, dimana pada siang hari lemak akan diproduksi dengan bantuan sinar matahari dan pada malam hari, pada saat udang akan melakukan aktivitas hidupnya, maka lemak yang disertai pigmen tersebut akan digunakan sebagai energi yang disimpan dalam tubuhnya, sehingga berangsurangsur akan berkurang. Hal ini terlihat seperti tumbuhan akan berwarna segar, apabila terdapat sinar matahari, sedangkan pada waktu tidak ada sinar matahari akan layu. Demikian pula halnya dengan udang, apabila tidak terdapat sinar matahari untuk memproses lemak dalam tubuhnya, maka udang akan nampak tidak segar. Tetapi pada saat berlangsung proses sintesa lemak yang terjadi di bawah kulit, maka udang akan terlihat segar sekali seperti udang yang baru ditangkap (KLEINHOLZ, 1985). Selain itu kemampuan merubah warna tersebut juga dipengaruhi oleh umur, karena umumnya hewan yang lebih muda dapat merubah warna dari warna satu ke warna lainnya hanya dengan beberapa jam saja, tetapi semakin besar dan dewasa hewan tersebut akan memerlukan waktu yang lebih lama (GHIDALIA, 1985). RAO (1985) mengungkapkan udang Latreutes fucorum, merupakan jenis udang
Oseana, Volume XXVIII no. 1, 2003
tersebut melepaskan diri dari ubur-ubur tersebut, maka dengan cepat akan merubah warna menjadi kecoklatan atau
4
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
kekuning-kuningan sesuai dengan dasar perairan. Kepiting Portunid yang hidup di rataan pasir pada patahan daun lamun, akan merubah warna dan corak tubuhnya sesuai dengan tempat tinggalnya yaitu berbintik-bintik seperti corak pasir (SCHMITT (1973). SKINNER (1985) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara perubahan warna dengan molting (pergantian kulit) pada krustasea yang disebabkan oleh kelenjar sinus yang terdapat pada tangkai mata, organ ini sangat penting, karena organ tersebut merupakan alat kontrol dan respon bagi hewan krustasea. Krustasea berkemampuan merubah warna dan memiliki 20 atau lebih pigmen warna (Kromoprotein) yang tersimpan dalam Khromatophore. Istilah Khromatophore monokhromatik adalah berdasarkan kandungan warnanya, misalnya pigmen warna merah disebut erytrophore, warna kuning (xanthophore), warna putih (guanophore), dan warna hitam atau coklat (melanophore). Sedangkan khromatophore polykhromatik adalah terdiri dari beberapa zat warna (pigment), hal inilah yang menyebabkan krustasea dapat merubah warna sesuai dengan corak dan pola habitat. Warna biru adalah warna yang sangat jarang ditemukan pada krustasea dan warna tersebut hanya terdapat pada beberapa jenis krustasea saja, seperti lobster, udang galah dan udang-udang kecil non komersial. Hal ini disebabkan karena warna biru merupakan protein karotenoid yang sangat kompleks dan bukan merupakan warna abadi. Perubahan warna juga dilakukan oleh kepiting penggali lubang di pantai Uca stylifera. Jenis kepiting ini akan merubah warnanya berhubungan atau sesuai dengan gelombang yang datang dari laut. Faktor lain yang juga sangat berpengaruh adalah panasnya sinar matahari, temperatur yang tinggi dan kekeringan sehingga, setiap jenis kepiting akan merubah warnanya dengan waktu yang berbeda-beda. Uca stylifera akan
Oseana, Volume XXVIII no. 1, 2003
merubah warna dengan memakan waktu 15 menit, sedangkan Uca latimanus memakan waktu 2 jam (CRANE, 1975). Transport oksigen dalam tubuh krustasea diketahui mengandung haemoglobin dan haemocyanin yang banyak mengandung logam protein dan tidak memberikan warna umum pada krustasea. Warna merah diturunkan dari zat besi, sedangkan warna biru dari zat tembaga. Haemocyanin dalam krustasea sedikit sekali dijumpai pada Decapoda dan Stomatopoda, tetapi banyak dijumpai pada Malacostraca, Ostracoda, Branchiopoda, Copepoda dan Barnacle. Kemungkinan ini terjadi karena adanya daya tarik menarik antara oksigen dengan zat besi yang terkandung dalam protein, terutama terlihat pada krustasea yang hidup pada habitat yang berlumpur (WARNER, 1977). Pigmen atau khromoprotein merupakan substansi yang multiguna. Dalam berbagai macam situasi, hewan tersebut akan membentuk pola warna, perlindungan atau penunjuk emosional, kematangan seksual dan proses metabolisme lemak dalam tubuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
CRANE, J. 1975. " Fiddler Crabs of the World, Ocypodidae: Genus Uca". Princeton Univ,. Press, Princeton, New Jersey. GHIDALIA, W. 1985. Structural and Biological Aspects of Pigments. In: The Biology of Crustacea. Dorothy E. Bliss (Ed.). Vol. 9. Integument, Pigments and Hormonal Processes. Academic Press Inc. 301-375. KLEINHOLZ, L. H. 1985. Biochemistry of Crustacean Hormones. In: The Biology of Crustacea. Dorothy E. Bliss (Ed.). Vol. 9. Integument, Pigments and Hormonal Processes. Academic Press Inc. 464-533.
5
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
RAO, K.R. 1985. Pigmentary Effectors. In: The Biology of Crustacea. Dorothy E. Bliss (Ed.). Vol. 9. Integument, Pigments and Hormonal Processes. Academic Press Inc. 395-444.
SKINNERD. M. 1985. Molting and Regeneration. In: The Biology of Crustacea. Dorothy E. Bliss (Ed.). Vol. 9. Integument, Pigments and Hormonal Processes. Academic Press Inc. 44-128.
SCHMTTT, W. L. 1973. Crustaceans. David and Charles Limited, Newton Abbot. The University of Michigan. 204 pp.
WARNER, G.F. 1977. The Biology of Crabs Elek Science London. 197 pp.
SCHRAM, F.R., 1986. Crustacea. New York, Oxford University Press. 606 pp.
Oseana, Volume XXVIII no. 1, 2003
6