Festival Gandrung Sewu Banyuwangi
FESTIVAL GANDRUNG SEWU BANYUWANGI SEBAGAI STRATEGI REVITALISASI BUDAYA LOKAL MENGHADAPI MASYARAKAT GENERASI Z
Whima Sisterikoyasa Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Asha Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Dilla Nurfiana Astanti Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Irma Fitriani Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Perkembangan teknologi dan informasi yang semakin pesat melahirkan generasi Z yang melek teknologi. Upaya revitalisasi budaya lokal diperlukan sebagai strategi menemukan jati diri otentik sehingga generasi berikutnya tidak tercerabut dari akar budayanya. Tari Gandrung sempat memudar dan kurang diminati masyarakat, terutama generasi muda. Menyadari kondisi tersebut, pemerintah Kabupaten Banyuwangi melakukan revitalisasi budaya lokal melalui Festival Gandrung Sewu. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan revitalisasi Tari Gandrung melalui Festival Gandrung Sewu Banyuwangi beserta dampaknya dalam menghadapi masyarakat generasi Z. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengambil lokasi di Kabupaten Banyuwangi. Penelitian ini mengambil informan secara purposif. Data diperoleh melalui teknik observasi dan wawancara, dan dianalisis dengan model Miles and Huberman. Festival Gandrung Sewu menarik perhatian remaja generasi Z. Antusiasme remaja saat ini sangat tinggi, terbukti dari maraknya permintaan privat Tari Gandrung. Orangtua juga berbondongbondong mendaftarkan anaknya les Tari Gandrung di sanggar. Festival Gandrung Sewu juga diliput dan dimuat di media cetak maupun elektronik, baik dari dalam maupun luar negeri. Festival Gandrung Sewu mampu mengangkat citra budaya lokal dan semakin menguatkan identitas lokal, terutama dalam menghadapi masyarakat generasi Z saat ini. Kata Kunci: Festival Gandrung Sewu, revitalisasi, budaya lokal, generasi Z
Abstract The rapid development of technology and information gave birth to a technologically literate Z generation. Local cultural revitalization efforts are needed as a strategy to find authentic identity so that the next generation is not uprooted from its cultural roots. Gandrung dance had faded and less desirable people, especially the younger generation. Recognizing the condition, the government of Banyuwangi Regency revitalizes local culture through Gandrung Sewu Festival. This study aims to describe the revitalization of Gandrung dance through Gandrung Sewu Banyuwangi Festival and its impact in facing the Z-generation community. This research uses qualitative method by taking the location in Banyuwangi District. This research takes the informant purposively. Data were obtained through observation and interview techniques, and analyzed by Miles and Huberman model. Gandrung Sewu Festival attracts the attention of Z-generation teenagers. The enthusiasm of teenagers is currently very high, as evidenced by the rise of private demand for Gandrung Dance. Parents also flocked to register their children Gandrung Dance lessons in the studio. Gandrung Sewu Festival is also covered and published in print and electronic media, both from inside and
1
Paradigma. Volume 05 Nomor 03 Tahun 2017
outside the country. Gandrung Sewu Festival able to lift the image of local culture and strengthen the local identity, especially in facing the current generation Z community. Keywords: Festival Gandrung Sewu, revitalitation, local culture, Z generation.
PENDAHULUAN Perkembangan teknologi dan informasi yang semakin pesat di era globalisasi dewasa ini, telah mengubah kehidupan menjadi lebih terbuka. Pembatas antarnegara semakin menipis sehingga kebudayaan dari berbagai negara dengan leluasa masuk ke berbagai elemen masyarakat. Masyarakat yang telah memasuki generasi Z saat ini, melek akan teknologi dan aktif dalam mengkonsumsi segala sesuatu yang dibutuhkan. Pakar Pendidikan, Mark Prensky (2001: 1), mengemukakan ada dua generasi, yaitu digital natives dan digital immigrants. Digital natives merupakan generasi yang lahir pada era digital, sedangkan digital immigrants adalah generasi yang lahir sebelum era digital tetapi kemudian tertarik, lalu mengadopsi hal baru dari teknologi tersebut. Generasi digital natives lebih banyak mengisi kehidupan dengan penggunaan komputer, video games, digital music players, video cams, cell phone dan berbagai macam perangkat permainan yang diproduksi di abad digital. Generasi digital natives sudah terkondisikan dengan lingkungan digital dan mengganggap teknologi digital sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya. Masyarakat generasi Z cenderung menyukai budaya baru yang dianggap modern, lebih bagus, dan lebih keren dibandingkan budaya asli. Budaya baru tersebut telah menghipnotis masyarakat terutama remaja yang berada pada masa dengan rasa keingintahuan tinggi dan hasrat mencoba hal baru yang besar. Pada masa sekarang, globalisasi menjadi sorotan sekaligus masalah yang sangat tajam di Indonesia terkait dengan liberalisasi dunia melalui kekuatan ekonomi. Hal ini sering dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap seluruh bidang kehidupan sosial dan ekonomi, yang dalam perkembangannya mengancam persatuan dan kesatuan bangsa karena konflik yang ditimbulkannya, termasuk mengancam keberadaan budaya lokal di Indonesia (Yuniarto, 2014: 69). Melalui pintu globalisasi, masyarakat saat ini telah beralih ke budaya modern. Dunia baru yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai yang ada di Indonesia. Hal tersebut sangat berbahaya karena akan mengikis eksistensi budaya lokal sehingga akan berdampak pada lunturnya identitas lokal. Dimana masyarakat generasi Z tumbuh dengan identitas serapan dari budaya-budaya asing. Ketika fenomena tersebut berlangsung terusmenerus, maka akan berhenti pada siklus regenerasi
budaya asli Indonesia, padahal Indonesia merupakan negara dengan aset budaya terkaya. Oleh karena itu, diperlukan upaya revitalisasi budaya lokal sebagai strategi menemukan jati diri otentik sehingga generasi berikutnya tidak tercerabut dari akar budayanya. Guna memelihara eksistensi budaya lokal agar tidak punah, Susanto (2007: 102) dalam kajiannya menawarkan solusi perlu ada upaya transformasi nilainilai luhur tradisi lokal dengan menggali makna luhur filosofisnya, sehingga generasi muda tertarik untuk mengembangkannya dalam ruang dan waktu kontekstual. Dengan kata lain, perlu ada kontekstualisasi dan rekonstruksi makna filosofis epistemologis. Pendekatan kultural dan struktural dalam konteks ini menjadi sedemikian signifikan dengan cara memberi makna genuine atas tradisi-tradisi tersebut dan mentransformasikannya dalam makna baru yang lebih kontekstual dengan dinamika zaman yang terus bergerak pada bandul progresivitas. Instrumen efektif untuk melakukan revitalisasi budaya lokal adalah pendidikan. Level pendidikan dasar menjadi pondasi untuk mengupayakan revitalisasi kearifan budaya lokal sebagai salah satu basis pembentukan identitas dan karakter bangsa. Sularso (2016: 76), lebih lanjut mengungkapkan bahwa penggunaan konsepsi wawasan nusantara menjadi hal penting untuk menjawab persoalan mengikisnya budaya lokal. Melalui konsepsi wawasan nusantara, lokalitas atau kearifan lokal sebagai unsur pembentuk jati diri bangsa menjadi solusi atas persoalan sosial di masing-masing daerah. Senada dengan Susanto dan Sularso, Mubah (2011: 258) menawarkan strategi revitalisasi budaya lokal dengan membangun kesadaran identitas kepada seluruh masyarakat Indonesia. Jati diri bangsa sebagai nilai identitas masyarakat harus dibangun secara kokoh dan diinternalisasi secara mendalam. Pembangunan jati diri bangsa dijalankan melalui perangkat pendidikan dan perangkat hukum. Melalui pendidikan, negara harus mengatur agar kurikulum mengajarkan tentang nilai-nilai kultural Indonesia sejak dini kepada siswa dengan diberi pemahaman tentang arti penting dalam menjaga kelestariannya. Melalui perangkat hukum, negara harus merumuskan regulasi yang menjamin kelestarian identitas kultural Indonesia. Salah satu aset budaya Indonesia yang berharga adalah kesenian Tari Gandrung dari Kabupaten
Festival Gandrung Sewu Banyuwangi
Banyuwangi. Secara historis, Tari Gandrung dibawakan sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat pasca panen. Tari Gandrung merupakan seni pertunjukan yang disajikan dengan iringan musik khas perpaduan budaya Jawa dan Bali (Anoegrajekti, 2007: 51). Tari Gandung ditetapkan sebagai maskot Kabupaten Banyuwangi sejak tahun 2002. Tari Gandrung sempat memudar dan kurang diminati oleh masyarakat, terutama generasi muda. Menyadari kondisi tersebut, pemerintah Kabupaten Banyuwangi melakukan revitalisasi budaya lokal melalui Festival Gandrung Sewu dengan mengajak masyarakat turut berpartisipasi bukan hanya menjadi penonton, namun juga sebagai partisipan aktif. Festival Gandrung Sewu diharapkan dapat mengangkat citra lokalitas khas daerah, menjaga regenerasi pelestarian seni Tari Gandrung, dan semakin menguatkan identitas lokal terutama dalam menghadapi masyarakat generasi Z. Berdasarkan paparan hasil penelitian sebelumnya, belum ada yang mengkaji aspek dampak revitalisasi budaya lokal dalam menghadapi generasi Z. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan revitalisasi Tari Gandrung melalui Festival Gandrung Sewu Banyuwangi dalam menghadapi masyarakat generasi Z beserta dampaknya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap khazanah kajian ilmiah tentang kebudayaan lokal, sehingga dapat dikembangkan melalui penelitian lebih lanjut. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi dalam upaya revitalisasi kebudayaan lain untuk mempertahankan eksistensi kebudayaan dan menguatkan identitas lokal dalam menghadapi masyarakat generasi Z.
tersebut sebagai lokasi penelitian pada prinsipnya mencakup kriteria sebagai berikut: a. Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi merupakan otoritas penyelenggara Festival Gandrung Sewu Banyuwangi. Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang memiliki tupoksi menyelenggarakan program dan kegiatan dalam bidang kebudayaan dan pariwisata di Kabupaten Banyuwangi; b. Banyuwangi Tourism Center merupakan pusat data dan informasi tentang aspek kepariwisataan di Kabupaten Banyuwangi, termasuk segala informasi terkait penyelenggaraan Festival Gandrung Sewu Banyuwangi; c. Sanggar Seni “Janger” di Kecamatan Srono merupakan sanggar seni terbesar dan terkenal di Kabupaten Banyuwangi yang melakukan proses pembinaan dan pendidikan seni, terutama Tari Gandrung bagi generasi muda. Sanggar Seni “Janger” diberikan kepercayaan oleh pemerintah Kabupaten Banyuwangi untuk melakukan pembinaan bagi penari yang akan tampil pada Festival Gandrung Sewu Banyuwangi; d. Paguyuban Pelatih Seni dan Tari Banyuwangi (Patih Senawangi) di Kecamatan Cluring merupakan event organizer yang dipercaya oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi untuk menyelenggarakan Festival Gandrung Sewu Banyuwangi; e. Alun-alun Blambangan merupakan ruang publik yang kerap digunakan oleh para remaja di Kabupaten Banyuwangi untuk berkumpul dan berinteraksi dengan sesama remaja. Penelitian ini berlangsung selama empat bulan, mulai Maret sampai Juni 2017. Informan yang dipilih dalam penelitian ini antara lain, Kepala Seksi Adat dan Cagar Budaya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata; Pengelola Banyuwangi Tourism Center; Bapak Suko Prayitno selaku Ketua Paguyuban Pelatih Seni dan Tari Banyuwangi (Patih Senawangi); Bapak Dwi Agus Cahyono selaku pemilik dan pelatih di Sanggar Seni “Janger”, dan remaja. Remaja menjadi informan kunci dalam penelitian ini karena tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan dampak revitalisasi Tari Gandrung melalui Festival Gandrung Sewu Banyuwangi dalam menghadapi masyarakat generasi Z. Remaja yang dipilih dalam penelitian ini adalah remaja yang berlatih di Sanggar Seni “Janger” maupun remaja yang tidak pernah mengikuti latihan tari. Karakteristik lain dalam menentukan remaja sebagai subyek penelitian yaitu berdasarkan tingkat pendidikan, mulai dari SMP, SMA dan S1 (mahasiswa). Agar data lebih representatif, maka informan remaja dipilih berdasarkan aspek geografis, yakni di wilayah pedesaan dan perkotaan. Informan dalam penelitian ini dipilih secara purposive. Dalam pelaksanaan pengumpulan data, secara garis besar dilakukan dengan dua cara, yaitu penggalian data primer dan data sekunder. Penggalian data primer dilakukan melalui dua cara. Pertama, melalui
METODE Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang dapat memberikan gambaran secara utuh dan menyeluruh tentang revitalisasi Tari Gandrung melalui Festival Gandrung Sewu Banyuwangi dalam menghadapi masyarakat generasi Z beserta dampaknya. Data yang diperoleh berupa kata lisan atau ungkapan bahasa, cara berfikir, pandangan dari subyek penelitian melalui wawancara dan pengamatan terhadap perilaku subjek (observasi), sehingga data yang diperoleh di lapangan mampu mengungkapkan interpretasi subjek akan perilakunya. Penelitian ini mengambil beberapa lokasi di Kabupaten Banyuwangi, diantaranya di kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Banyuwangi Tourism Center, Sanggar Seni “Janger” di Kecamatan Srono, Paguyuban Pelatih Seni dan Tari Banyuwangi (Patih Senawangi) di Kecamatan Cluring, serta di Alun-alun Blambangan. Adapun alasan metodologis untuk menentukan tempat
3
Paradigma. Volume 05 Nomor 03 Tahun 2017
pengamatan (observasi). Pengamatan dilakukan terhadap aktivitas informan dalam rangkaian persiapan dalam penyelenggaraan Festival Gandrung Sewu Banyuwangi, maupun aktivitas remaja yang biasa berkumpul di Alunalun Blambangan, Banyuwangi. Kedua, in-depth interview (wawancara mendalam). Melalui teknik ini, terlebih dahulu melakukan getting in dengan berinteraksi bersama informan. Setelah getting in dianggap berhasil, kemudian melakukan wawancara secara intensif berdasarkan pedoman wawancara yang telah dirancang sebelumnya untuk mendapatkan data atau informasi sehubungan dengan fokus penelitian. Jenis pertanyaan yang terangkum dalam pedoman wawancara adalah pertanyaan terbuka yang dapat memberikan kesempatan kepada informan untuk memberikan jawaban secara bebas selama masih dalam koridor pertanyaan yang diajukan. Beberapa pertanyaan yang diajukan dalam tahapan wawancara secara mendalam ini berkaitan dengan bentuk-bentuk budaya lokal yang ada di Kabupaten Banyuwangi; strategi revitalisasi budaya lokal melalui Festival Gandrung Sewu Banyuwangi; dan dampak revitalisasi budaya lokal terhadap masyarakat generasi Z. Segala informasi yang diperoleh di lapangan, baik melalui proses pengamatan (observasi) maupun in-depth interview (wawacara mendalam) dicatat dalam bentuk transkrip wawancara. Catatan dalam bentuk transkrip wawancara kemudian diolah dalam bentuk field note (catatan lapangan). Dalam proses penggalian data primer, beberapa kendala sempat ditemui. Pertama, terbatasnya waktu wawancara dengan informan dikarenakan berbagai kesibukan dari informan sehingga harus melakukan penyesuaian waktu dan penjadwalan ulang. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta Pengelola Banyuwangi Tourism Center misalnya, sulit ditemui karena kesibukan menjalankan kegiatan promosi budaya ke luar negeri. Selain itu, informan lain seperti Bapak Suko Prayitno selaku Ketua Paguyuban Patih Senawangi yang sulit ditemui karena kesibukan. Kedua, pada saat getting in dengan remaja, masih ada yang menghindar dan menolak ketika diwawancarai dengan alasan tidak memahami masalah yang diteliti. Penggalian data sekunder dilakukan dengan cara penelusuran buku-buku dan artikel ilmiah yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dibutuhkan untuk membangun konstruksi awal penelitian yang selanjutnya diperlukan untuk membantu interpretasi agar diperoleh pemahaman yang komprehensif dan mendalam. Penelitian ini menggunakan analisis data model Miles and Huberman. Adapun langka-langkah analisis data dilakukan sebagai berikut. Pertama, melakukan reduksi data dengan cara memilah, mengkategorikan, memfokuskan, dan menyusun data dari hasil wawancara dan observasi yang diperoleh sesuai fokus penelitian. Sebelum reduksi data dilakukan, data hasil wawancara disalin dalam bentuk transkrip wawancara dan kemudian diolah dalam bentuk catatan lapangan (field note). Kedua, catatan lapangan (field note) yang telah direduksi ditulis
dalam bentuk narasi dan menyusun matrik hasil penelitian untuk memudahkan interpretasi teoritik. Ketiga, melakukan interpretasi teoritik berdasarkan kategorisasi data. Keempat, melakukan penarikan kesimpulan. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Festival Gandrung Sewu Banyuwangi Festival Gandrung Sewu merupakan pertunjukan kolosal rakyat Banyuwangi yang melibatkan 1.000 penari lebih. Acara ini diadakan sejak 2012 dengan penari dari berbagai usia yang mayoritas para remaja. Festival yang berisi pertunjukan kolosal Tari Gandrung menjadi agenda tahunan dalam rangkaian Banyuwangi Festival (B-Fest). Penari dengan busana khas berwarna merah memenuhi Pantai Boom yang berlatar belakang Selat Bali sebagai lokasi tempat perhelatan Festival Gandrung Sewu. Festival Gandrung Sewu diadakan sore hari hingga menyambut matahari terbenam. Acara tersebut sebagai bentuk pelestarian budaya lokal oleh para seniman dan pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Selain itu, Festival Gandrung Sewu sebagai media promosi destinasi wisata Kabupaten Banyuwangi. 2.
Budaya Lokal Banyuwangi Berdasarkan hasil temuan data, Kabupaten Banyuwangi memiliki berbagai kebudayaan lokal. Ditinjau dari unsur-unsur budaya, terdapat sistem bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari, seperti bahasa Jawa, Osing, Madura, dan Indonesia. Osing sendiri merupakan suku asli Banyuwangi. Adapun kepercayaan atau agama yang berkembang di Kabupaten Banyuwangi, yaitu Hindu karena berbatasan dengan Pulau Bali. Masyarakat masih menjaga ritual dan kepercayaannya, seperti adanya Danyang. Selain itu, agama Islam masih menjadi agama mayoritas. Beberapa kesenian yang terdapat di Kabupaten Banyuwangi sebagai wujud kebudayaan lokal, seperti Tari Gandrung, Tari Janger, Kebo-keboan, Tari Seblang, dan Musik Kendang Kempul. Selain itu, terdapat pula beberapa pertunjukkan, seperti Festival Gandrung Sewu, Festival Jaranan Butho, Festival Ngopi Sepuluh Ewu, Festival Tumpeng Sewu, dan Banyuwangi Ethno Carnival. “Festival Gandrung Sewu lahir dari tradisi masyarakat Banyuwangi. Sebelumnya ada Festival Jaranan Butho, dimana sekitar 50 jaranan tampil. Selain itu juga ada musik tradisi yang sampai saat ini kita lestarikan dengan mengajarkannya ke anak-anak, seperti musik kendang kempul. Yang terpenting unsur-unsur kebudayaan Banyuwangi harus tetap dilestarikan” (Wawancara dengan Suko Prayitno, 17 Maret 2017). Unsur-unsur budaya yang ada di Kabupaten Banyuwangi selaras dengan kategori kebudayaan menurut Koentjaraningrat (2002: 203), yang menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem
Festival Gandrung Sewu Banyuwangi
gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia melalui belajar. Kebudayaan dibagi atas 7 (tujuh) unsur, yakni sistem religi, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan, bahasa, dan kesenian. Kesemua unsur budaya tersebut terwujud dalam bentuk sistem budaya atau adat-istiadat (kompleks budaya, tema budaya, dan gagasan), sistem sosial (aktivitas sosial, kompleks sosial, pola sosial, dan tindakan), serta unsurunsur kebudayaan fisik (benda kebudayaan).
merubah esensi Tari Gandrung itu sendiri melainkan hanya diubah penyajiannya. Anggota Patih Senawangi berasal dari para seniman, budayawan, guru, dan pelatih tari dari sanggar-sanggar tari yang ada di Kabupaten Banyuwangi. Ide penciptaan Festival Gandrung Sewu Banyuwangi berasal dari anggota yang tergabung di Paguyuban Patih Senawangi. Apabila dilihat dari penamaannya, Festival Gandrung Sewu Banyuwangi melibatkan lebih dari 1.000 penari. Belum lagi ditambah dengan crew dan penonton yang ada menjadikan jumlahnya lebih dari 1.500 orang. Hal ini merupakan keunikan tersendiri bagi Festival Gandrung Sewu Banyuwangi, dimana sebuah tarian dan drama kolosal dimainkan bersama oleh lebih dari 1.000 penari. Istilah Gandrung Sewu berbeda dengan Sewu Gandrung. Istilah Sewu Gandrung digunakan untuk menunjukkan Tari Gandrung yang ditampilkan 1.000 penari, tidak kurang dan tidak lebih. Akan tetapi, apabila digunakan istilah Gandrung Sewu, maka menunjukkan lebih dari 1.000 penari gandrung. Setelah adanya ide Gandrung Sewu, pemerintah Kabupaten Banyuwangi memasukkan Gandrung Sewu dalam daftar festival yang ada di Kabupaten Banyuwangi bersamaan dengan festival-festival besar lainnya dan dilaksanakan rutin setiap tahun. Bahkan Festival Gandrung Sewu merupakan festival yang terbesar diantara festival-festival lainnya.
3.
Strategi Revitalisasi Budaya Lokal Sebelum adanya Festival Gandrung Sewu, Tari Gandrung sudah terkenal dan menjadi primadona di Banyuwangi. Festival Gandrung Sewu bermula dari transformasi Tari Gandrung yang sudah menjadi kebudayaan nenek moyang Banyuwangi yang diubah sedemikian rupa sehingga menghasilkan suguhan karya tari yang mampu mengangkat budaya lokal Banyuwangi di era globalisasi. Dikenalnya Tari Gandrung sebagai primadona di Banyuwangi, seperti hasil wawancara dengan Dwi Agus Cahyono, seorang pelatih Sanggar Tari “Janger” di Kecamatan Srono, yang memiliki andil besar dalam pelaksanaan Festival Gandrung Sewu tahun 2016 lalu. ”Gandrung sudah menjadi primadona di Banyuwangi”, ungkapnya. Sekitar tahun 70-an, Tari Gandrung sempat meredup dan kurang diminati masyarakat. Berangkat dari kondisi tersebut, pemerintah Kabupaten Banyuwangi beserta masyarakat berusaha meningkatkan citra Tari Gandrung dengan menciptakan Tari Gandrung kreasi. Dalam Gandrung kreasi, Tari Gandrung dikemas menjadi lebih ringkas, menarik, singkat, dikreasikan, dan tidak lagi dilaksanakan semalam suntuk. Inilah bentuk revitalisasi sebagai upaya mengangkat kembali Tari Gandrung sebagai salah satu budaya lokal Kabupaten Banyuwangi. Wiyono, dkk (2013: 5-6), mendefinisikan revitalisasi sebagai proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Merevitalisasi juga merupakan upaya untuk menvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran. Merevitalisasi berarti juga mengangkat kembali potensi dan sumber daya laten. Bagi Soetomo (2012: 121 dalam Sularso, 2016: 75), potensi dan sumber daya laten adalah potensi dan sumber daya yang sebetulnya ada dalam masyarakat, namun belum diketahui dan disadarai. Dalam konteks penelitian ini, sumber daya laten yang dimaksud adalah budaya lokal. Upaya pelestarian Tari Gandrung tidak hanya sebatas dikreasikan, namun pemerintah daerah juga mencari ide agar Tari Gandrung mampu menarik hati masyarakat dan kembali booming. Merevitalisasi (melestarikan dan mengembangkan) berarti membuat sedemikian rupa agar seni tradisi tetap berlangsung hidup dan berkembang dalam konteks masyarakatnya (Warto dan Sugiarti, 2009: 5). Pak Suko selaku Ketua Paguyuban Patih Senawangi dan rekan-rekannya yang tergabung di Patih Senawangi menciptakan Festival Gandrung Sewu dimana dengan adanya Festival Gandrung Sewu ini tidak
4.
Dampak Revitalisasi Budaya Lokal Terhadap Masyarakat Generasi Z Menurut Wulandari (2011:1-2), generasi Z adalah generasi yang dibesarkan dalam dominasi penggunaan teknologi informasi, dikenal dengan sebutan internet generation atau net generation. Menurut Aprianti dalam Tjipto Susana (2012: 57), Net Generation lahir antara 1998 hingga sekarang dengan ciri-ciri antara lain: a. memiliki akses yang cepat terhadap informasi dari berbagai sumber; b. dapat mengerjakan beberapa hal dalam waktu bersamaan (multitasking); c. lebih menyukai hal-hal yang bernuansa multimedia; d. lebih menyukai berinteraksi via dunia maya melalui media sosial (Facebook, Twitter, Yahoo Messenger, hingga BBM); dan e. dalam belajar lebih menyukai hal-hal yang bersifat aplikatif dan menyenangkan. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), rentang usia remaja adalah 10-24 tahun dan belum menikah. Di Kabupaten Banyuwangi, berdasarkan data yang dilansir Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Tahun 2015, jumlah penduduk di Kabupaten Banyuwangi pada rentang usia 10-24 tahun sebanyak 380.802 jiwa. Jumlah ini 22,82% dari total jumlah penduduk Kabupaten Banyuwangi, maka jumlah penuduk usia remaja di Kabupaten Banyuwangi cukup besar. Generasi Z lahir di tengah pertumbuhan komputer dan internet yang sangat pesat sehingga begitu akrab dan bergantung terhadap teknologi. Oleh karena itu, tepat kiranya remaja sebagai bagian dari masyarakat generasi Z merupakan masyarakat yang lekat dengan teknologi dalam kaitannya dengan revitalisasi budaya lokal melalui
5
Paradigma. Volume 05 Nomor 03 Tahun 2017
Festival Gandrung Sewu Banyuwangi, bahwa jika ingin selaras dengan masyarakat generasi Z, maka budayabudaya lokal yang disajikan melalui Festival Gandrung Sewu harus dikemas sekreatif mungkin dengan menggunakan sentuhan teknologi. “Anak-anak kalau untuk gandrung sekarang tidak sulit setelah awalnya seperti itu sukses kemudian sekarang ini menjadi kebanggaan. Begitu sekarang ada Festival Gandrung Sewu mereka rebutan ikut seleksi. Setelah Festival Gandrung Sewu yang ketiga kita menyeleksi sudah kesulitan. Awal-awal kita sulit mencari sekarang sulit menerima. Kualitasnya semakin lama semakin meningkat dan seleksinya semakin ketat”. (Wawancara dengan Bapak Dwi Agus, 10 April 2017).
tema berbeda setiap tahunnya dan kesenian khas tradisioanal Banyuwangi (Barong, Gandrung, Kebokeboan, Seblang, dan Penganten Osing) yang dikemas secara modern. Sehingga melalui kegiatan tersebut, dapat menjadi sarana mengenalkan sosial kebudayaan yang ada pada masyarakat dan memudahkan remaja usia sekolah (siswa) belajar secara aktif melalui enkulturasi dengan budaya lingkungan sosialnya. Tabel 1. Dampak Revitalisasi Budaya Lokal Melalui Festival Gandrung Sewu Banyuwangi Terhadap Generasi Z Jenja ng Pend.
SMP
Adanya revitalisasi Tari Gandrung yang sebelumnya terkesan mistis, saat ini terus digali, dikembangkan, dan dikemas menjadi lebih modern berbentuk festival. Festival Gandrung Sewu mendapat respon positif dari masyarakat dibuktikan dengan animo masyarakat yang tinggi, dilihat dari membludaknya penonton pada saat pagelaran Festival Gandrung Sewu. Dukungan juga datang dari masyarakat kalangan pondok pesantren yang ada di Kecamatan Blokagung. Semula, kawasan tersebut tidak termasuk dalam daftar untuk mengirimkan penari karena merupakan daerah religius. Namun, masyarakat Kecamatan Blokagung saat ini yang meminta secara langsung kepada pihak Patih Senawangi untuk berpartisipasi dalam acara tersebut. Festival Gandrung Sewu menarik perhatian bukan saja remaja generasi Z yang berada di Banyuwangi tetapi juga anak-anak yang berada di luar Banyuwangi. Mereka rela datang ke Banyuwangi untuk mengikuti festival ini. Bahkan menurut keterangan informan, murid-murid sanggar yang telah melanjutkan studi di luar kota, mereka kembali pulang hanya untuk meramaikan Festival Gandrung Sewu. Antusiasme remaja saat ini sangat tinggi, terbukti dari maraknya permintaan privat Tari Gandrung. Orangtua juga berbondong-bondong mendaftarkan anaknya les Tari Gandrung di sanggar. Munculnya les privat tari di sanggar-sanggar memperkuat bahwa remaja mencintai Tari Gandrung sebagai budaya lokal Kabupaten Banyuwangi. Antusiasme remaja yang tinggi terhadap budaya lokal Banyuwangi menguatkan hasil kajian Fitria (2016: 628) tentang “Sikap Siswa terhadap Sosial Budaya di Kabupaten Banyuwangi: Studi Deskriptif Analisis”, yang menjelaskan bahwa sikap positif siswa terhadap budaya Banyuwangi disebabkan adanya faktor pengalaman sebagai peserta festival, pengetahuan, dan penerimaan secara terbuka terhadap perubahan. Perubahan merupakan tantangan dan kesempatan berkreasi, menunjukan eksistensi, dan adaptasi dengan kemajuan zaman. Sikap positif menunjukan dinamisasi mengikuti perkembangan budaya yang lebih modern tanpa meninggalkan unsur-unsur budaya asli, seperti Banyuwangi Etno Carnival (BEC) yang mengangkat
SMA
PT
Peserta Festival
Desa Nonpesert a Festival
Peserta Festival
Kota Nonpesert a Festival
Memperlua s jaringan sosial dan menambah pengalaman
Menginspir asi belajar memahami perbedaan
Mengemba ngkan bakat dan minat tari
Memahami strategi pelestarian budaya lokal
Menumbuh kan rasa kekeluargaa n
Melestarika n budaya lokal
Mengemba ngkan budaya lokal
Membenten gi pengaruh negatif budaya asing
Menumbuh kan minat tari
Mengemba ngkan bakat di bidang seni tari
Memperlua s jaringan sosial
Menguatka n identitas sosial
Memperlua s pengetahua n historis daerah
Memperole h penghargaa n secara material maupun sosial
Sarana promosi kebudayaan
Sebagai hiburan yang menginspir asi
Membangki tkan kebanggaan terhadap budaya lokal Menarik minat generasi muda untuk menari
Menambah wawasan budaya lokal
Nilai-nilai dalam Tari Gandrung sebagai pembelajar an hidup Menumbuh kan kebanggaan akan budaya lokal
Memahami budaya lokal
Menumbuh kan kecintaan terhadap budaya lokal
Memotivasi generasi muda untuk mengikuti sanggar tari
Menambah wawasan budaya lokal
Sumber: Data primer setelah diolah
Nilai-nilai dalam Tari Gandrung sebagai pembelajar an hidup
Meningkatk an animo generasi muda terhadap budaya lokal Memikat wisatawan domestik maupun asing untuk datang ke Banyuwang i
Festival Gandrung Sewu Banyuwangi
Generasi Z atau biasa disebut net generation merupakan kategori digital natives. Ku dan Soulier (2009: 651), menyebutkan karakteristik digital natives sebagai orang yang opportunistic dan omnivorous yang menikmati sesuatu dalam lingkungan yang serba online; menyukai kolaborasi dari satu orang ke orang lain; multitasking; menyukai proses kerja secara pararel; menyukai sesuatu yang berbentuk gambar interaktif dibanding teks; menyukai bekerja sebagai suatu “games”; mengharapkan suatu penghargaan; puas dengan sesuatu yang serba instan; akses secara random (hypertext). Lingkungan hypertext muncul seiring perkembangan internet sehingga berdampak pada cara yang berbeda dalam menggunakan informasi. Festival Gandrung Sewu juga diliput dan dimuat di media cetak maupun elektronik, baik dari dalam maupun luar negeri. Festival Gandrung Sewu mulai terkenal ketika dimuat dalam harian Kompas satu halaman. Selepas itu, Kabupaten Banyuwangi kerap diundang beberapa daerah, istana negara, bahkan sampai ke luar negeri, seperti Brunei Darussalam dan Turki. Festival Gandrung Sewu mampu mengangkat citra budaya lokal dan semakin menguatkan identitas lokal, terutama dalam menghadapi masyarakat generasi Z saat ini.
Ku DT, S. JS. 2009. Effects of Learning Goals on Learning Performance of Field-Dependent and Field-Independent Late Adolescent in a Hypertext Environment. Adolescence. 44 (1). 651-664. Mubah, A.S. 2011. Revitalisasi Identitas Kultural Indonesia di Tengah Homogenisasi Global. Global dan Strategis. 12 (1). 251-260. Prensky, M. 2001. Digital Natives, Digital Immigrant. On the Horizon. 9 (5). 1-5. Soetomo. 2012. Keswadayaan Masyarakat: Manifestasi Kapasitas Masyarakat Untuk Berkembang Secara Mandiri. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Sularso. 2016. Revitalisasi Kearifan Lokal Dalam Pendidikan Dasar. Jurnal Pendidikan Dasar. 2 (1): 73-79. Susana, T. 2012. Kesetiaan Pada Panggilan di Era Digital. Orientasi Baru. 21 (1): 55-78. Susanto, E. 2007. Revitalisasi Nilai Luhur Tradisi Lokal Madura. Karsa. 12 (2): 96-103.
PENUTUP Strategi revitalisasi budaya lokal Banyuwangi dilakukan dengan cara mengkreasi Tari Gandrung dalam bentuk Festival Gandrung Sewu. Festival Gandrung Sewu mampu meningkatkan animo masyarakat generasi Z untuk lebih mencintai dan melestarikan budaya lokal. Dengan demikian, identitas budaya lokal semakin menguat, terutama dalam menghadapi masyarakat generasi Z saat ini.
Warto dan Sugiarti, R. 2009. Revitalisasi Seni Pertunjukan Tradisional Reog Ponorogo Sebagai Identitas Budaya Nasional Melalui Pengembangan Pariwisata. Laporan Penelitian Hibah Strategis Nasional. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Wiyono, E.T., dkk. 2013. Perancangan Komunikasi Visual Revitalisasi Tari Topeng Dalang untuk Program Destinasi Madura. Adiwarna. 1 (2): 5-6.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang telah memberikan bantuan hibah melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Penelitian Sosial Humaniora Tahun 2017.
Wulandari, D. 2011. Mengembangkan Perpustakaan Sejalan Dengan Kebutuhan Net Generation. Visi. 13 (2): 50-55. Yuniarto, P.R. 2014. Masalah Globalisasi di Indonesia: Antara Kepentingan, Kebijakan, dan Tantangan. Jurnal Kajian Wilayah. 5 (1): 67-95.
DAFTAR PUSTAKA Anoegrajekti, N. 2007. Penari Gandrung: Kontrol Agama, Masyarakat, dan Kekuatan Pasar dalam Merayakan Keberagaman. Jurnal Perempuan. 54 (1). 48-57. Fitria, Y. 2016. Sikap Siswa terhadap Sosial Budaya di Kabupaten Banyuwangi: Studi Deskriptif Analisis. Proceeding Seminar ASEAN 2nd Psychology & Humanity. 19-20 Februari 2016, Malang. Hal. 624629. Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
7