FENOMENA KEBERAGAMAAN MAHASISWA MUSLIM PADA PERGURUAN TINGGI AGAMA DAN UMUM DI KOTA MEDAN Maraimbang Kata Kunci: keberagamaan, perguruan tinggi, umum, agama Mengamati fenomena beragama, adalah suatu hal yang menarik ketika fokus perhatian ditujukan kepada kalangan mahasiswa muslim perguruan tinggi, baik peruruan tinggi agama, terlebih lagi pada perguruan tinggi umum. Indikasi kebangkitan beragama di kalangan mahasiswa, terutama pada perguruan tinggi umum ini belakangan tampak semakin marak dengan kegiatan pengajian-pengajian mingguan, dan yang paling fenomenal adalah masjid kampus. Medan, sebagai salah satu kota besar terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya, ditengarai tengah mengalami fenomena unik beragama kalangan kampus, terutama di perguruan tinggi umum. Ada fenomena munculnya gerakan-gerakan keagamaan yang diusung oleh mahasiswa yang berbanding terbalik dengan perguruan tinggi Islam semisal IAIN Sumatera Utara dan perguruan tinggi Islam swasta lainnya – di mana pengorganisasian harkah-harkah keislaman radikal cenderung berjalan di tempat,1 atau bahkan tidak mendapat tempat sama sekali. Sedangkan pada perguruan tinggi umum, justru semakin berkembang pesat dengan munculnya lembaga dakwah kampus. Untuk menelusuri fenomena keberagamaan mahasiswa muslim pada perguruan tinggi saat ini, tidak bisa terlepas dari keberadaan masjid kampus dan aktivisnya. Bagaimanapun masjid kampus dan kiprahnya adalah simbol keberagamaan mahasiswa Islam di kampus yang bersangkutan. Mencari bukti ilmiah terhadap fenomena ini memerlukan kajian yang lebih komprehensif dan integratif, meskipun beberapa peneliti sosiologi yang berkaitan dengan masalah ini telah mencoba membuka ruang penelitian. Rumusah Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: ”Bagaimana fenomena keberagamaan mahasiswa Muslim di perguruan tinggi agama dan umum di Kota Medan” Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Mengetahui fenomena keberagamaan mahasiswa muslim pada perguruan tinggi umum dan agama Islam di kota Medan. 2. Mengetahui fenomena keberagamaan mahasiswa muslim antara perguruan tinggi agama dan umum di kota Medan dalam bentuk studi perbandingan ilmiah. Adapun kegunaan penelitian ini adalah Memberi informasi kepada masyarakat tentang fenomena keberagamaan mahasiswa muslim yang terdapat di berbagai perguruan tinggi umum dan agama Islam di kota Medan 1
Hal ini didasarkan pada pengamatan yang dilakukan peneliti di kampus IAIN-Sumatera Utara, Medan.
1
Fokus Penelitian Fenomena keberagamaan terdiri dari 5 (lima) dimensi, yakni: aspek ritual, mistikal, idiologikal, intelektual, dan aspek sosial. Fokus penelitian ini dibatasi pada dua aspek, yaitu aspek ritual dan social. Aspek ritual yang merupakan serangkaian ibadahibadah keagamaan. Penelitian difokuskan pada aktivitas ibadah mahdhah responden secara individual maupun kelompok, seperti pelaksanaan kewajiban shalat lima kali sehari semalam, intensitas pengajian dan puasa. Sedangkan aspek sosial, adalah aktivitas responden secara kelompok organisasi, di mana setiap manusia menjadi bagian integral masyarakat lingkungannya, akibatnya interaksi sosial tidak terhindarkan. Dalam hal ini perlu diamati perilaku interaksi responden di dalam lingkungan sosial-masyarakatnya. Metodologi Penelitian Lokasi Penelitian Yang menjadi objek dan lokasi penelitian ini adalah IAIN Sumatera Utara, Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Universitas Sumatera Utara (USU), dan Universitas Negeri Medan (UNIMED). IAIN dan UISU mewakili kampus perguruan tinggi agama, sedangkan USU dan UNIMED mewakili kampus perguruan tinggi umum. Subjek Penelitian Subjek dan informan ini akan ditentukan dengan menggunakan tehnik purposive sampling. Subjek penelitian adalah aktivitas keagamaan responden secara individual maupun kelompok sosial. Informan ditetapkan yaitu mahasiswa muslim yang ada pada perguruan tinggi tersebut dan sejumlah pimpinannya. Metode Pengumpulan dan Analisa Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan analisis dokumen, observasi dan wawancara. Analisis data dilakukan dalam suatu proses reduksi data, display data, verifikasi data. Keabsahandata dilakukan dengan tehnik triangulasi. Kajian Teoritik dan Pustaka Kajian Teoritik Roland Robertson mengemukakan bahwa fenomena keberagamaan adalah segenap bentuk implementasi keagamaan berupa emosi, sistem keyakinan, upacaraupacara atau ritus-ritus, dan pranata-pranata yang ditemukan pada komunitas pemeluk agama.2 Pengertian ini lebih mengacu kepada makna religi sebagaimana terdapat dalam kajian antropologi budaya. Keberagamaan merupakan suatu sistem penghayatan dan pengamalan agama yang sifatnya relaitif diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk sikap dan perilaku, sebagai wujud interpretasi terhadap ajaran agama yang bersifat absolut
2
Roland Robetrson (ed), Sosiology of Religion, terjemahan edisi bahasa Indonesia Paul Rosyani, Sosiologi Agama, (Jakarta: PT. Aksara Persada, 1986).
2
dalam bentuk dan format tertentu terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama, sehingga menjadi suatu aspek kebudayaan manusia. Fenomena keberagamaan adalah fenomena universal-manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial-telah mengubah orientasi dan makna agama, hal-itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya.3 Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam masyarakat, di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual-agama.4 Kenyataan itu memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah masyarakat-baik dalam wacana dan praktis sosialnya-menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama sematamata ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan-seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci-dan konstruksi manusia-terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek ritualkeagamaan. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya-primordial-yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini menjelaskan kenapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya.5 Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, etnografi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah 3
Thomas Luckmann et.al., Tafsir Sosial-Atas Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 72. 4 Ibid., h. 78. 5 Ignas Kleden, Rencana Monografi: Paham Kebudayaan Clifford Geertz (Jakarta: LP3ES. 1988), h. 38-39.
3
dipraktikkan-Islam that is practised-yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia. Kajian Pustaka Kajian tentang keberagamaan mahasiswa muslim di kampus-kampus perguruan tinggi Indonesia memang telah banyak dilakukan. Salah satunya adalah tulisan Edy A. Efendi yang berjudul Pergeseran Orientasi dan Sikap Keberagamaan di Kampus-Kampus Sekuler,6 yang memaparkan fenomena kebangkitan gerakan Islam yang dipelopori mahasiswa muslim yang cenderung fundamentalis.7 Tulisan Edy A. Efendi tersebut cukup panjang lebar, dan ia menyimpulkan bahwa berkembangnya fenomena keberagamaan mahasiswa di perguruan tinggi umum, memberi alternatif tawaran beragama dalam memahami teksteks Al-Quran, sehingga menghadirkan suatu cara beragama yang mampu membangun kesadaran pribadi sekaligus memecahkan masalah moral yang ada dalam masyarakat. Tulisan lain adalah hasil penelitian Sugianto, seorang dosen IAIN Sumatera Utara, tahun 20003 yang berjudul Hubungan antara Pola Keberagamaan dan Sikap Politik Aktivis Mahasiswa Muslim di Kota Medan. Kajian ini lebih memfokuskan penelitiannya terhadap pola keberagamaan sejumlah aktivis mahasiswa muslim dengan sikap politiknya yang dikategorikan kepada sikap konservatif, moderat, dan liberal. Penelitian ini, kurang mendalam karena belum mengelaborasi secara lebih jauh bagaimana aspek kognisi mereka terhadap ajaran Islam dan hubungannya politik secara lebih komprehensif. Penelitian terbaru adalah disertasi dari Kasinto Harto, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Fatah Palembang, ketika menngembil program Doktor di UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta dengan judul “Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi Umum (Kasus Gerakan Keagamaan Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang). Ia mengemukakan bahwa pada satu sisi, maraknya aktivitas keberagamaan mahasiswa di berbagai perguruan tinggi umum pada dua dekade terakhir cukup menggembirakan, karena fenomena ini mengindikasikan menguatnya religiusitas di kalangan mahasiswa. Namun di sisi lain, kemunculannya cukup mengkhawatirkan, karena diikuti berbagai macam gerakan keagamaan yang cenderung bercorak fundamentalis, bahkan ekstrem yang notabene sangat mengkhawatirkan orangtua mereka. Melalui penelitian yang dilakukan terhadap para mahasiswa aktivis gerakan keagamaan di lingkungan Universitas Sriwijaya Palembang, memperoleh temuan, gerakan Islam fundamentalis-ekstrem diminati kalangan mahasiswa ilmu-ilmu eksak (Teknik, MIPA, Pertanian, Farmasi dan Kedokteran).8 Dalam disertasinya, Kasinto Harto menyatakan antara lain bahwa mereka (mahasiswa) menyandarkan pada pemahaman Alquran dan Hadis secara harfiah, literalis tekstualis, a-historis dan bahkan rigid terhadap
6
Lihat Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor.3, Volume IV, Tahun 1993, h. 12-17. W. Little, H.W. Fowler dan J. Coulsen, The Shorter Oxford English Dictionary, Edisi C.T Onions, Oxford Clar and Don Press, 1964, h. 762 mendefinisikan fundamentalisme sebagai kepatuhan yang keras kepada aturan ortodoksi, dan menentang liberalisme dan modernisme. 8 Ibid. 7
4
kitab suci. Mereka juga cenderung bersikap eksklusif dengan cara menarik garis tegas antara kelompoknya dengan kelompok lain, apalagi masyarakat umum.9 Menurut Kasinto Harto, nampaknya ada kaitan antara epistemologi yang dikembangkan pada keilmuan eksakta, yang bertumpu pada logika ilmu yang hitam-putih, salah-benar, sah dan tidak sah, beriman-tidak beriman, dengan cara berfikir Islam fundamentalis yang sangat rigid dalam memahami teks keagamaan.10 Ragam gerakan Islam fundamentalis yang ditampilkan antara lain gerakan Tarbiyah, gerakan Salafi, gerakan Hizbut Tahrir, dan gerakan Jama'ah Tabligh. Masing-masing gerakan, kata Kasinto Harto, memiliki seperangkat konsep kepercayaan, pandangan, cita-cita, nilai, dan landasan perilaku yang dirumuskan dalam konsep-konsep ajaran dan menjadi landasan bagi para anggota-pendukungnya dalam bersikap dan berperilaku. Namun semua gerakan sama-sama memiliki tujuan ingin mengimplementasikan Islam secara kaffah. Gerakan Islam fundamentalis-radikal diminati sebagai basis gerakan keagamaan dan dakwah para mahasiswa karena di dalamnya mereka mendapati semangat dan agenda: adanya konsep din wa dawlah, bahwa pondasi Islam adalah Alquran dan Sunnah Nabi dan tradisi para sahabatnya, mengagendakan puritanisasi, kedaulatan dan hukum Negara harus berdasarkan syariat, perlawanan terhadap dominasi Barat dan relasi yang tidak adil antara dunia Islam dan Barat, dan jihad sebagai pilar menuju nizām Islāmi. Kasinto Harto berkesimpulan, bahwa keberagamaan yang diminati mahasiswa muslim sesuai dengan ciri-ciri di atas diperoleh mahasiswa dari adanya gerakan Islam „baru‟ dan bukan berasal dari gerakan Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Al-Washliyah, Jamiat Khair sebagai gerakan Islam yang memiliki. kerangka mainstream doktrin ideologis, praktek maupun wacara keislaman dominan. Akan tetapi berasal dari gerakan Islam di luar mainstream itu, dan organisasinya ialah Gerakan Tarbiyah Islamiyah, yang dikenal kemudian sebagai cikal bakal Partai Keadilan Sejahtera, Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, Lasykar Jihad, dan sebagainya yang merupakan representasi generasi baru gerakan Islam di Indonesia.11 Mencari bukti ilmiah terhadap fenomena ini memerlukan kajian yang lebih komprehensif dan integratif, meskipun beberapa peneliti telah mencoba membuka ruang penelitian. Hasil penelitian yang menyinggung kiprah pergerakan Islam di kampus dapat dibaca salah satunya adalah buku yang berjudul: “Fenomena Partai Keadilan” sebagai gambaran bagaimana maraknya aktivitas gerakan mahasiswa muslim dewasa ini12.
9
Kasinto Harto, Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi Umum (Kasus Gerakan Keagamaan Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang), diakses pada Perpustakaan Online UIN Sunan Kalijaga, 19 Juni 2009. 10 Untuk mengurai masalah ini, menurut Kasinto Harto, pembelajaran agama Islam di PT, utamanya di PT umum, perlu dikembangkan kurikulum dengan penekanan pada substansiasi dan fungsionalisasi nilai-nilai Islam. Implementasi ajaran Islam dikemas dalam bahasa yang lebih populer, kontekstual dan jauh dari semangat ideologis yang ekstrim., Ibid. 11 M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal, Jakarta: Erlangga, 2005, h. 135. 12 Ali Damanik, Fenomena Partai Keadilan, Jakarta: DPP Partai Keadilan Sejahtera, 2005.
5
Selanjutnya dapat ditebak warna keberagamaan pun menjadi hitam putih layaknya masyarakat yang bersiap menyongsong kematian. Fikih yang pada dasarnya adalah pilihan bebas, dalam komunitas ini menjadi pilihan terikat bahkan menjadi pilihan tunggal. Fikih yang salah satu kaidah ushulnya menyatakan bahwa: "Fatwa jumhur ulama tidak dapat membatalkan fatwa ulama lain yang minoritas" berubah menjadi: "fatwa ulama yang otoritasnya diakui pergerakan membatalkan fatwa seluruh ulama lain yang berbeda". Jargon ini kemudian melahirkan sikap intoleransi, rigiditas dalam kehidupan, kaku dalam berekspresi, sikap yang mudah memfasikkan bahkan mengkafirkan orang lain yang berbeda menjadi sistem nilai bawah sadar seolah membayangi sikap dan perilaku masyarakat saat ini. Dalam situasi seperti ini dapat dibayangkan bagaimana wajah aktivis masjid kampus yang dipengaruhi dan menyatakan loyalitasnya melalui baiat kepada pergerakan Islam seperti ini. Masjid kampus tampil dengan wajah yang rigid. Mereka yang akan aktif di masjid kampus haruslah mereka yang memenuhi sekian kriteria, harus berjilbab untuk perempuan, termasuk bisa membaca Alquran lancar dengan tajwid. Tidak ada ruang tersisa sama sekali bagi mahasiswa muda yang datang ke masjid kampus dengan semangat ingin belajar membaca Al-Qur‟an karena orang tua tidak mengajarkannya. Atau sekelompok mahasiswi yang ingin aktif di masjid tapi belum bisa berjilbab karena berbagai hambatan.13 Intoleransi terjadi karena masjid kampus adalah wilayah yang harus diperebutkan. Kelompok mahasiswa tertentu harus memegang kendali, karena dengan kendali kiprah pergerakan kelompoknya dianggap dapat membawa tegaknya kembali ”izzatul Islam wa al-muslimun” (kebangkitan dan kejayaan umat Islam) seakan lebih mudah tersebar luas dan mengkooptasi organisasi-organisasi Islam berbasis kampus. Oleh sebab itu, bagaimanapun cemerlangnya ide dan gagasan yang yang dikemukakan, bila tidak sejalan dengan kebijakan gerakan kelompoknya maka tidak akan ditoleransi. Pada akhirnya akan menimbulkan terjadinya friksi dan benturan antar kelompok gerakan aktivis mahasiswa muslim di kampus. Tampaknya, kajian atau hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan bahwa bahwa fenomena kebangkitan keberagamaan mahasiswa muslim lebih menonjol pada perguruan tinggi umum ketimbang pada perguruan tinggi agama, yang secara ideal lebih baik dan terbuka bagi tumbuh dan berkembangnya kajian keislaman. Kecenderungannya juga lebih mengarah pada corak gerakan Islam fundamentalis. Temuan Penelitian A. Keberagamaan Mahasiswa Muslim pada PT Agama 1. Keberagamaan Mahasiswa di IAIN Mengamati keberagamaan mahasiswa IAIN-SU, membutuhkan ketekunan yang tinggi. Hal ini mengingat corak keberagamaan mahasiswa IAIN sangat beragam yang dikenal sebagai santri kota. Menyebut mahasiswa IAIN sebagai santri, tidaklah seperti membayangkan gambaran mereka sebagaimana terdapat dipesantren-pesantren yang ada. 13
David Sagiv, Otentisitas Liberalisme Islam, Yogyakarta: LKIS, 1997.
6
Di IAIN ditemukan beberapa corak keberagamaan mahasiswa yang dapat diamati lewat berbagai lembaga dakwah atau organisasi kemahasiswaan yang ada. Akan tetapi yang paling menonjol adalah aktivitas keagamaan dari mahasiswa yang banyak terlibat pada Lembaga Dakwah Kampus (LDK) IAIN SU. Pengurus dan mahasiswa anggota LDK ini memusatkan kegiatannya di mesjid Al-Izzah Kampus II Medan Estate. Sementara sekretariatnya terdapat di Mushalla LDK kampus tersebut. Adapun kegiatan yang dilakukan LDK ini adalah pengajian-pengajian berbentuk liqa‟ dan usro, yang dibimbing oleh ustadz-ustadz yang mereka istilahkan dengan murabbi. Para murabbi inilah yang memberi pemahaman agama terhadap mahasiswa anggota LDK, termasuk juga LDK di berbagai perguruan tinggi di Medan. Dari pengamatan peneliti, pada dasarnya mahasiswa IAIN cukup selektif untuk memilih kelompok usroh yang memiliki murabbi yang lebih berwawasan luas ala pengetahuan agama Timur Tengah, meskipun ada kesamaan dalam pemenuhan minat pengetahuan keagamaan dengan mahasiswa perguruan tinggi umum. Menurut Khairul Amri, bahwa para murabbi yang berasal dari Timur Tengah lebih mendekatkan semangatnya untuk berjuang menegakkan dan mengamalkan syariat Islam.14 Pada dimensi ini, pemakaian simbol-simbol religi seperti jilbab yang lebar sebagai bagian dari busana muslimah oleh kalangan mahasiswi dan jenggot bagi hiasan untuk kalangan mahasiswa yang laki-laki. Selain itu tentunya masih banyak ciri-ciri lainnya yang disesuaikan dengan simbol keagamaan masyarakat dan tradisi Islam dari Timur Tengah, seperti warna pakaian yang putih atau gelap, memakai lobe, dan seterusnya. Sementara Lasmiadi, mantan ketua LDK dan Ketua KAMMI Komisariat IAIN Sumatera Utara di era tahun 1997-1999, menuturkan bahwa pada mulanya kegiatan dakwah mereka dilakukan secara sembunyi-sembunyi dalam arti, berbagai kegiatan lebih sering dilakukan dengan diam-diam dan jika menyelenggarakan pengajian untuk banyak orang, mereka berkamuflase dengan mengatasnamakan kegiatan mahasiswa. Kegiatan diam-diam ini dikenal sebagai kegiatan usroh. Para aktivisnya disebut anak usroh. Usroh berarti keluarga. Maksudnya, para anggota pengajian ini dibagi ke dalam satuan-satuan kecil (6-10 orang) dengan seorang mentor (murabbi) dalam sistem stelsel.15 Penjelasan di atas mendekatkan pemahaman peneliti bahwa model pengajian yang dilakukan kalangan aktivis dakwah adalah gambaran dari gerakan Tarbiyah, apalagi ketika saat sekarang ini aktivitas usroh tersebut mereka ganti menjadi ikhwan dan menamai aktivitas mereka dengan sebutan Tarbiyah atau pendidikan.16 Jaringan LDK IAIN SU menjadi pelaku utama dakwah kampus dan menyediakan wahana dan mekanisme rekruitmen kader di kampus-kampus. Para ustadz 14
Wawancara, pada tanggal 12 Juli 2009 di kampus IAIN SU Medan Estate. Khairul Amri adalah salah satu anggota LDK IAIN Sumatera Utara, yang berlatar belakang pendidikan pesantren dan cukup baik pengetahuan agamanya. Jadi, sikap selektif yang dilakukannya dalam menentukan usroh dan murabbi, cukup beralasan. 15 Wawancara, pada tanggal 28 Juni 2009 di mesjid Al-Izzah IAIN Sumatera Utara.. 16 Sebutan usroh juga terdapat di kalangan Hizbut Tahrir Iindonesia , Gerakan Dakwah Salafi, dan aktivis Negara Islam Indonesia (NII).
7
lokal, dosen perguruan tinggi bersangkutan, dan muballigh lainnya menjadi pengajar materi keislaman sedangkan para alumnus Timur Tengah menjadi transmitter ideologi, manhaj, pemikiran, dan strategi yang diadopsi dari Ikhwan al-Muslimin. Gerakan keagamaan yang dikembangkan LDK dengan metode usroh maupun ikhwan ini mendapat penerimaan yang sangat luas di IAIN, kemudian berkembang di USU, Unimed dan UISU. Kader-kader dibentuk melalui berbagai pelatihan dan tingkat kaderisasi yang bermacam-macam untuk menjadi generasi pelanjut cita-cita dakwah yang mereka pahami. Dan hampir 85% juru dakwah atau ustadz sekaligus merangkap sebagai murabbi saat ini di USU, Unimed dan UISU adalah alumni IAIN-SU yang masih eksis di jalan dakwahnya dan sebelumnya telah mendapatkan training menapaki jenjang murabbi yang ada.17 Temuan penelitian di atas, menurut peneliti mempunyai kesesuaian dengan penelitian Mahfudz Siddik menyebutkan bahwa munculnya fenomena keberagamaan mahasiswa di dalam kampus melalui LDK yang dimasuki oleh gerakan Tarbiyah tidak semata-mata akibat gejala internal dakwah saja, melainkan ada pengaruh dinamika eksternal dakwah di tingkat dunia, khususnya dari unsur-unsur gerakan Islam. Mahfudz menyimpulkan bahwa pola aktivitas dakwah dan konsep pemikiran Islam yang dikembangkan oleh Masjid Salman ITB (yang merupakan cikal bakal LDK) bersinggungan dengan pola dakwah dan pemikiran IM. Persinggungan tersebut antara lain terkait dengan sistem usroh dan konsep Islam kaffah. Gerakan usroh yang dikembangkan dari Masjid Salman ITB ini memiliki persamaan dengan konsep Tarbiyah yang memiliki gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Masjid Salman mengadopsi konsep usroh setelah sebelumnya terjadi interaksi pemikiran gerakan IM melalui buku-buku yang ditulis para pemimpinnya.18 Pada tahap awal, sebuah buku berjudul “Panduan Usroh” yang terbit di Malaysia menjadi buku-buku panduan gerakan dakwah di Masjid Salman maupun di LDK-LDK yang lain,19 termasuk LDK IAIN SU dan LDK perguruan tinggi lainnya di Medan. Jumlah mahasiswa yang tergabung dalam LDK ini sebenarnya masih sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah mahasiswa IAIN secara keseluruhan. Tetapi nampaknya cukup memberi warna yang berarti dalam keberagamaan di kampus. Hal ini tampak dari sejumlah kegiatan anggotanya yang berdiskusi melalui liqa maupun pengajian dengan metode usroh yang cukup intens di mesjid Al-Izzah Kampus II, maupun mesjid Ulul al-Bab Kampus I, Sutomo Medan. Sebahagian lagi mahasiswa IAIN terlibat dalam organisasi-organisasi mahasiswa intra kampus, seperti BEM, Institut, BEM Fakultas, HMJ maupun ekstra kampus seperti HMI. PMII, IMM, HIMMAH, SATMA PP, KAMMI dan organisasi 17
Berdasarkan pengamatan peneliti terhadap sejumlah murabbi yang menjalankan usroh di sekitar kampus-kampus tersebut dan sebagian besar dari mereka dikenali sebagai alumni IAIN Sumatera Utara. 18 Mahfudz Sidiq, KAMMI dan Pergulatan Reformasi (Solo: Era Intermedia, 2003), h. 78. Dapat dijelaskan di sini bahwa Mahfudz Siddik adalah salah seorang anggota Fraksi PKS DPR-RI Periode 2004-2009. 19 Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan (Jakarta: Teraju, 2002), h. 72-73.
8
mahasiswa kedaerahan. Tetapi jumlah yang terlibat dalam organisasi inipun tidak terlalu banyak. Dengan demikian, ternyata bahwa sebagian besar mahasiswa IAIN SU tidak mengikuti organisasi. Mereka cenderung larut dengan aktivitas dan kesibukan masingmasing. Seperti dikatakan Mohammad Jaelani, mahasiswa semester akhir Fakultas Tarbiyah, baginya organisasi yang ada di IAIN SU kurang menarik minatnya, ia lebih terkonsentrasi dengan kuliahnya.20 Begitu juga pengakuan sejumlah mahasiswa/i yang sempat peneliti wawancarai. 2. Keberagamaan Mahasiswa Muslim di UISU Menurut Sumantri R, salah seorang dosen senior di Fakultas Ekonomi, bahwa sejak tahun 1970-an di lingkungan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) telah terjadi perkembangan gerakan kemahasiswaan dengan beragam organisasi intra dan ekstra kampusnya yang cukup signifikan, termasuk gerakan dakwahnya.21 Hal ini ditunjukkan bahwa selain Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM-dulu Senat Mahasiswa), UISU sendiri memberikan fasilitas berupa sarana ruangan untuk perkantoran Lembaga Dakwah Kampus (LDK) bagi mahasiswa-mahasiswa yang intens melakukan gerakan dakwah di dalam kampus maupun untuk luar kampus sebagai lembaga kader juru dakwah dan muballigh. Hingga saat ini LDK UISU telah mengalami pergantian pengurus lebih dari 11 kali. Mereka senantiasa eksis melakukan konstruksi pemahaman keagamaan melalui diskusi dan seminar, kajian-kajian (liqo‟) keislaman, meskipun yang paling banyak itu adalah berupa pelatihan membaca Al-Quran dan tajwid-nya, pelatihan Bahasa Arab dan sebagainya. Keberadaan LDK UISU menjadi tumpuan harapan mahasiswa muslim untuk memberikan pencerahan wawasan keislaman mereka, namun tidak jarang LDK sendiri terlibat secara tidak langsung terhadap aktivitas penyebaran paham-paham yang tumbuh di luar organisasi keagamaan yang sudah ada. Misalnya, banyak pengurus LDK yang juga memasuki Jamaah Tabligh, Dakwah Salaf dan sebagainya, bahkan pernah disinyalir bahwa di UISU berkembang misalnya aliran Alquran Suci dan seterusnya.22 Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) mempunyai 1 (satu) buah masjid yang dikenal dengan Mesjid Al-Munawwarah sebagai pusat kegiatan keagamaannya, termasuk shalat dan pengajian-pengajian yang dilakukan oleh mahasiswa, dosen maupun karyawan. Berdasarkan data administrasi UISU, Abdul Hakim Siregar, salah seorang pimpinan UISU mengemukakan bahwa jumlah mahasiswa yang kuliah diperguruan tinggi itu sebanyak 24.577 orang. Mayoritas mahasiswa UISU beragama Islam, yaitu 92,25 %, dan selebihnya non muslim yaitu 7, 75 %.23 Menurut Sulaiman Panjaitan dan Wahid Zaki, keduanya pengurus LDK UISU, dari keseluruhan mahasiswa muslim di UISU,
20
Wawancara, , Selasa tanggal 14 Juli 2009 di Kampus IAIN SU Medan Esatate. Wawancana dengan Ibu Sumantri R, tanggal 03 Juli 2009. 22 Harian Koran Mandiri, Medan tanggal 23 Januari 2004. 23 Wawancara dengan Drs. H. Abdul Hakim Siregar, Pembantu Rektor IV Universitas Islam Sumatera Utara, Jum’at 10 Juli 2009 di kampus UISU Jl. Sisingamangaraja Medan. 21
9
diperkirakan hanya 14 %, saja yang sering menggunakan fasilitas masjid ini untuk beribadah sehari-harinya.24 Menurut Abdul Hakim Siregar, selama 15 tahun terakhir ini, ghirah atau semangat keberagamaan mahasiswa muslim di UISU sangat menurun dan memprihatinkan. Betapa tidak, menurutnya tingkat keberagamaan mahasiswa UISU saat sudah mencapai titik kulminasi terendah, yakni sebagian besarg mahasiswa UISU jarang yang melakukan shalat 5 kali dalam sehari-semalam secara penuh. Bahkan masih menurut beliau, banyak sekali mahasiswa yang tidak melakukan shalat.25 Rendahnya kualitas dan kuantitas keberagamaan mahasiswa di kampus UISU disebabkan regulasi dosen dan tenaga struktural lainnya yang tidak sehat, kemampuan manajerial yang lemah, tingkat pendidikan agama yang rendah dan sebagainya. Singkatnya, hal ini berhubungan dengan sumber daya manusia yang diharapkan menjadi motivator dan inspirator keberagamaan sangat jauh dari yang diinginkan dapat membangun kembali intensitas keberagamaan mahasiswa. Temuan pengamatan di lapangan juga menunjukkan bahwa banyak sekali mahasiswa muslim yang tidak mengindahkan nilai-nilai keislaman. Penampilan dan pergaulan mahasiswa yang cenderung bebas, ditambah lagi rendahnya aplikasi etika Islam dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan “lampu merah” bahaya degradasi keislaman mereka. Pakaian yang tidak mencerminkan mahasiswa Islam dan juga pergaulan metrokosmopolitan yang tidak bisa dihindarkan menjadi ciri keseharian sebagian besar mahasiswa Islam di UISU. B. Keberagamaan Mahasiswa Muslim pada PT Umum 1. Keberagamaan Mahasiswa Muslim di USU Bagi kalangan mahasiswa muslim pada perguruan tinggi umum seperti USU menganggap pada umumnya berpandangan melaksanakan ajaran agama adalah suatu kewajiban. Bagi sejumlah mahasiswa yang ditemui berpandangan bahwa pengetahuan umum tidak bermakna apa-apa jika tidak dibarengi dengan pengetahuan dan ketaatan dalam beragama. Untuk menambah pengetahuan agamanya, banyak mahasiswa yang belajar dan ikut pengajian agama melalui liqo‟ atau usroh atau diskusi keagamaan yang mereka lakukan dengan murabbi yang membimbing pengajiannya. Di kampus USU terdapat LDK yang berpusat di mesjid kampus.Sementara sejumlah divisi dakwah terdapat pada setiap fakultas yang dikelola oleh mahasiswa muslim yang berpusat pada LDK. LDK inilah yang bergerak dalam kegiatan Usroh dan Liqa‟ terhadap mahasiswa anggotanya.
24
Wawancara dengan Sulaiman Panjaitan dan Wahid Zaki, Jum’at 10 Juli 2009 Beliau mengakui bahwa selama ini memang tidak ada penelitian yang secara khusus tentang hal ini, tetapi sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini mahasiswa di UISU memiliki kelompok-kelompok gaul yang bergaya hidup bebas, dan biasanya malam hari suka makan minum di kafe-kafe yang tersebar sekitar kampus UISU. Wawancara dengan Abdul Hakim Siregar, Jum’at, 10 Juli 2009. 25
10
Bagi Siti Fatimah, mahasiswa semester II Fakultas Kedokteran USU misalnya, menilai bahwa kekurangannya dalam bidang agama cukup didapat dari lembaga keagamaan kampus yang ia ikuti atau melalui perkumpulan pengajian usroh yang di luar kampus yang merupakan rekomendasi lembaga dakwah kampusnya. Ia merasa bahwa pengetahuan lewat lembaga-lembaga keagamaan di kampusnya maupun di majelis ta‟lim Tarbiyah yang diikutinya sudah cukup menjadi penambah bekal ilmu agamanya.26 Jawaban di atas rata-rata sama dengan mahasiswa fakultas lainnnya yang terlibat sebagai anggota LDK ini. Namun, peneliti menemukan bahwa bagi sejumlah mahasiswa muslim yang tidak terlibat dalam LDK, mereka beranggapan bahwa perilaku anggota LDK ini agak aneh juga, karena cenderung eksklusif, kurang bergaul dengan mahasiswa lainnya. Hal ini dikemukakan oleh Rahmat Adiguna Lubis, mahasiswa Fakultas Hukum semester VI. Menurutnya, cara beragama anggota LDK tersebut menurutnya cukup baik, taat menjalankan ibadah, sopan dalam berpakaian dan bersikap ramah. Tetapi disisi lain, mereka juga membatasi pergaulannya. “Aneh kan, tapi gak apa-apa lah sepanjang mereka bukan melaksanakan perbuatan yang tidak-tidak, seperti yang melanggar ajaran agama,” katanya.27 Keberagamaan mahasiswa muslim di USU akan lebih semarak ketika waktu tiba sholat fardu. Mesjid Dakwah kampus USU hampir setiap hari penuh, bahkan sampai ke bagian luar mesjid. Tampak bahwa sikap dan keberagmaan mahasiswa muslim di USU cukup baik, yang ditandai juga dengan adanya sejumlah pengajian-pengajian baik di mesjid, maupun kelompok-kelompok mahasiswa. Di sisi lain, peneliti juga menemukan sejumlah mahasiswa muslim yang malas beribadah, seperti mengerjakan sholat misalnya. Menurut Heri Saputra, salah seorang mahasiswa fakultas Sastra yang sempat peneliti temui, bahwa ia jarang melaksanakan shalat karena ada keinginannya yang tidak terpenuhi, sehingga hatinya beberapa bulan kacau. Tetapi ia mengakui juga ia memerlukan uang, kalau ia pulang ke rumah, ia biasanya mengerjakan sholat agar dilihat orangtuanya. Tujuannya adalah agar permintaannya diberikan.28 2. Keberagamaan Mahasiswa Muslim di UNIMED Untuk mengetahui keberagamaan mahasiswa muslim di UNIMED, peneliti melakukan pengamatan terhadap keberadaan mesjid Baiturrahman yang ada di kampus tersebut. Selain itu, juga mengamati keberadaan dan aktivitas dari berbagai lembaga dakwah yang aktif, terutama beberapa di antaranya hamper selalu memanfaatkan mesjid sebagai tempat kegiatannya. Masjid Baiturrahman berfungsi sebagai tempat bertukarpikiran dan diskusi bagi para mahasiswa melalui forum-forum kajian yang dibentuk misalnya, study club di mana seorang mahasiswa dapat mentransferkan ilmunya kepada mahasiswa lainnya baik dalam 26
Wawancara, pada tanggal 7 Juli 2009 di kampus USU, Padang Bulan Medan.. Wawancara, pada tanggal 8 Agustus 2009 di kampus USU Medan. 28 Wawancara dengan Heru Saputra, Selasa 11 Agustus 2009 di Fakultas Sastra USU, Padang Bulan, Medan 27
11
masalah yang berhubungan dengan perkuliahan maupun masalah di lingkungan sekitarnya. Namun, di samping itu pula agar tidak menimbulkan kejenuhan dalam berdiskusi dibuat semacam games yang tidak terlalu dituntut untuk berpikir keras dengan tidak lari dari kaidah yang berlaku. Selain itu, sejumlah lembaga mahasiswa kampus sering mengadakan acara di masjid Baiturrahman, seperti HMJ-HMJ di lingkungan UNIMED, KAMMI, IMM, HMI, PMII, Mahasiswa Pembebasan Indonesia, HTI dan beberapa lembaga lain di luar UNIMED. Pada umumnya para aktivis organisasi tersebut menyampaikan visi dan misinya untuk menarik minat para mahasiswa agar dapat bergabung dengan mereka untuk menjalankan dakwah Islam lewat diskusi dan penempelan brosur atau bulletin. Keberadaan masjid kampus UNIMED ini menurut peneliti paling tidak dapat memberikan pendampingan terhadap keberadaan kampus yang minim mengajarkan ilmu-ilmu agama. Masjid itu sendiri memiliki lembaga keagamaan yang disebut PHBI (Pengurus Hari Besar Islam) yang bertugas mengelola masjid dan segala kegiatan keagamaan yang berkaitan dengannya. Sisi lain perbedaan masjid ini dengan masjid kampus lain, bahwa di masjid UNIMED setiap tahun selalu diadakan pelaksanaan shalat Hari Raya Idhul Fithri dan Idhul Adha, yang diikuti oleh masyarakat sekitar kampus. Di kampus UNIMED ditemukan fakta yang cukup menarik dan membanggakan bahwa setiap fakultas terdapat Lembaga Dakwah berbasis fakultas atau jurusan yang diorganisir oleh mahasiswa Islam. Kegiatan LDK-LDK tersebut utamanya pengajian-pengajian internal, yang dikenal dengan liqa‟ dan usroh. Pada setiap LDK fakultas memiliki beberapa kelompok liqa‟ dan usroh. LDK yang paling aktif adalah yang terdapat pada Fakultas MIPA. Akan tetapi semua LDK itu bergabung dan berkordinasi pada Majelis Dakwah Mesjid Baiturrahman yang ada di UNIMED, yang bertanggung jawab kepada Rektor perguruan tinggi tersebut. Hal ini sesungguhnya tidak mengejutkan, akan tetapi menarik dan patut dikemukakan di sini – bahwa hasil temuan penelitian menunjukkan keberadaan LDKLDK yang ada di UNIMED diorganisir oleh aktivis-aktivis mahasiswa yang cenderung atau dekat kepada anggota gerakan Islam yang cukup dikenal sebagai gerakan yang radikal-fundamentalis seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atau partai politik Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Hal ini diindikasikan bahwa sejumlah ustadz yang terlibat dalam kegiatan pengajian internal LDK mapun MDK Mesjid Baiturahman UNIMED, adalah pengurus organisasi atau partai tersebut. Secara moral para aktivis LDK UNIMED memiliki perilaku yang cukup terpuji, terutama penampilan berpakaian, tutur sapa yang mencerminkan nilai-nilai kesopanan dan akhlak yang baik. Dalam berpakaian misalnya, pada saat jam kuliah mahasiswa laki-laki yang terlibat secara aktif dalam LDK biasanya tidak pernah memakai kemeja atau celana jeans, tetapi yang terbuat dari bahan lain, dan ketika ada kegiatan pengajian seperti liqa‟ dan usroh, mereka memakai baju koko atau sejenisnya. Sementara yang perempuan menggunakan busana muslimah dengan ciri jilbab yang lebih lebar, dengan corak hitam atau putih lebih dominan. Cara berpikir para aktivis mahasiswa yang bergabung dalam lembaga Majelis Dakwah Mesjid kurang terbuka dan cenderung menutup diri terhadap kelompok lain. 12
Pemahaman terhadap sumber ajaran Islam seperti Alquran dan Hadis cenderung literaltekstualis, sehingga pemahaman keagamaan yang lebih rasional dan modern tidak dapat mereka diterima. Indikasi tersebut ditandai dengan pola pemahaman Al-Quran dan Hadis yang mereka pelajari dari para murabbi-nya sangat mereka pegang teguh disertai dengan kepatuhan yang tinggi. Indikasi lain, mereka tidak memberi izin bagi kegiatan keagamaan yang berasal dari lembaga lain yang dianggap liberal, misalnya JARIK (Jaringan Islam Kampus), yang tidak sejalan dengan pemikiran mereka. Selain kegiatan keagamaan yang diorginisir aktivitas Majelis Dakwah Mesjid (MDM) dan LDK kampus UNIMED, terdapat juga kegiatan keagamaan kelompok mahasiswa Islam lainnya seperti HMI, IMM, HIMMAH, PMII dan KAMMI. Bahkan juga ada kegiatan keagamaan yang diselenggarakan sejumlah organisasi mahasiswa kedaerahan, seperti mahasiswa Aceh, Tapsel, Madina, Labuhan Batu, Asahan, Riau, dan daerah lainnya. Mesjid Baiturrahman UNIMED ini merupakan tempat yang strategis dalam membina aktivitas dakwah maupun pendidikan agama di lembaga pendidikan tinggi umum tersebut. Mahasiswa banyak yang bergabung dengan kelompok pengajian mahasiswa Islam yang dilaksanakan di mesjid Baiturrahman ini. Di dalamnya terdapat berbagai tingkatan keanggotaan sesuai dengan pendidikan kader yang telah dilalui masing-masing. Memang tidak begitu nampak aktivitasnya di lingkungan kampus, namun mereka masuk ke dalam lembaga atau organisasi kemahasiswaan yang ada, misalnya di dalam HMI, KAMMI maupun menjadi kader organisasi yang berafiliasi kepada partai tertentu di luar kampus. Nurul Fadilah mahasiswa semester VI FMIPA, Sekretaris Majelis Dakwah mesjid Baiturrahman kampus UNIMED, mengemukakan mereka selalu berkoordinasi dalam mengantisipasi perkembangan keberagamaan di lingkungan kampusnya, karena di UNIMED terdapat berbagai organisasi kemahasiswaan, sehingga cukup pluralistik. Dan hal tersebut menurutnya memiliki tantangan tersendiri.29 Pembahasan Kehidupan mahasiswa yang sedikit banyak berbeda dengan kehidupan pramahasiswa ditengarai mempengaruhi keberagamaan mahasiswa di kampus-kampus yang ada di kota Medan. Terlebih kehidupan yang dialami oleh mahasiswa perantau, yang kost-kost-an. Oleh karena itu, di samping kebutuhan manusia akan agama, maka agaknya menarik membicarakan keberagamaan mahasiswa pada perguruan tinggi agama dan umum dalam memeluk agamanya. Pada sisi tertentu, ketertarikan itu justru terletak pada interaksi keberagamaan mahasiswa pada kampus perguruan tinggi agama yang sepertinya “datar-datar” saja, beragama sebagaimana masyarakat pada umumnya. Bahkan, kecenderungannya beragama dengan corak moderat. Dalam kaitan ini, kecenderungan tersebut dapat diamati sebab keberagamaan tersebut ada dalam kenyataan keseharian mereka.
29
Wawancara dilakukan dengan Nurul Fadilah, Kamis, 15 Juli 2009 di mesjid Baiturrahman kampus Universitas Negeri Medan.
13
Pada dasarnya cukup sulit melihat bentuk-bentuk khusus keberagamaan mahasiswa pada perguruan tinggi agama dengan umum. Hal itu karena fenomena keberagamaan tidak semata-mata gejala sosiologis maupun gejala psikologis. Dalam hubungan ini, terdapat aspek spiritualitas dalam keberagamaan, di luar gejala-gejala ritual tersebut. Temuan penelitian ini adalah bentuk-bentuk keberagamaan mahasiswa pada dimensi intelektual, ritual, dan sosial.30 Pertama, bentuk keberagamaan mahasiswa yang meliputi dimensi intelektual, ditandai adanya ketertarikan dan minat mahasiswa perguruan tinggi umum yang cukup tinggi untuk mempelajari agamanya. Pada saat yang sama, sebetulnya ada pergulatan batin pada mahasiswa perguruan tinggi umum, yakni antara mempelajari agamanya dengan mempelajari program studi umum yang yang menjadi pilihan kuliahnya. Titik ini mengisyaratkan bahwa ilmu umum dianggap “agama baru” yang mendapat pengesahan dan terlembagakan dalam program studi umum. Meskipun demikian, mata kuliah umum tidak dapat menggantikan agama dalam pengertian yang sesungguhnya. Sebaliknya, agama pun sepertinya tidak dapat menggantikan posisi pengetahuan umum sebagai sains. Selanjutnya, mempelajari agama merupakan tanggungjawab pribadi, sedangkan mempelajari mata kuliah umum merupakan tanggungjawab yang mengikat mahasiswa yang semata-mata karena statusnya mahasiswa perguruan tinggi umum sesuai dengan cita-cita dan keinginannya. Melalui dimensi intelektual ini, mahasiswa perguruan tinggi umum merasakan ikut bertanggungjawab untuk membela agama dan nilai-nilai agamanya. Mereka menghafal teoriteori umum untuk membela dalil atau argumentasi agama sekaligus menjadikan agama sebagai pengetahuan ilmiah-akademik. Contoh yang dapat diberikan adalah bahwa mahasiswa perguruan tinggi umum biasanya berupaya mengaitkan pengetahuan umumnya dengan nash-nash Alquran maupun Hadis. Mereka berceramah bahwa ilmu pengetahuan umum tidak bertentangan dengan Islam, bahkan mendukung kebenaran agama. Baik antara perguruan tinggi umum dan agama, adalah sama dalam bentuk keberagamaan intelektual ini, yakni sama-sama menghubungkan dimensi duniawi dengan ukhrawi.31 Bacaan yang menarik bagi mereka misalnya karya-karya Harun Yahya, yang seringkali menghubungkan fenomena alam dengan Al-Qur‟an.. Terkait dengan hal itu, organisasi intra maupun organisasi ekstra kampus yang berbasis agama sebetulnya dapat dimasuki oleh mahasiswa perguruan tinggi umum dalam pemenuhan dimensi intelektual ini. Perlu diketahui bahwa organisasi-organisasi tersebut sebetulnya memiliki kekuatan untuk menghimpun. Akan tetapi, kenyataannya tidak semua mahasiswa perguruan tinggi umum terhimpun ke dalam organisasi intra maupun ekstra kampus yang berbasis agama tersebut. Tentu saja hal ini bukan sekedar bentuk ketidakpercayaan terhadap organisasi yang berbasis agama tersebut. Patut dicatat bahwa pemenuhan dimensi tersebut tidak hanya diperoleh dari organisasi-organisasi yang disebut itu tadi, mereka pun ada yang masuk ke kelompok Tarbiyah, HTI, dan sejenisnya. Sungguhpun 30
Lihat lebih lengkap, Soebroto Soetandyo Wignjo, Pengantar Interaksionisme Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. 31 Hampir semua responden yang dijumpai peneliti mengemukakan bahwa Islam adalah agama sains dan kebenarannya dapat dibuktikan secara ilmiah.
14
demikian, keberadaan organisasi intra maupun organisasi ekstra kampus masih tetap mengorganisasikan keberagamaan kalangan mahasiswa. Hal tersebut menjadikan organisasi, khususnya organisasi mahasiswa ekstra kampus sebagai kelompok strategis yang berperan dalam perubahan, dalam momen-momen tertentu. Kedua, yakni bentuk keberagamaan yang bercorak ritualistik-eksprensial yang ditandai serangkaian ritus keagamaan yang dilakukan mahasiswa dalam kehidupan kesehariannya. Umumnya, ritual ibadah yang dilakukan sebagaimana umat Islam pada umumnya. Memang, pelaksanaan ritual ibadah ini amat pribadi, tetapi dapat dikatakan bahwa tidak ada bentuk-bentuk ritus yang “menyempal”. Apabila akar sosial pramahasiswa memengaruhi keberagamaannya, maka meskipun sebagian mahasiswa tersebut telah terpisah dengan akar sosialnya, misalnya kampung halamannya, ternyata bentuk-bentuk ritual ibadah masih tetap dilaksanakan. Lagi pula, tempat tinggalnya yang baru mengakomodasi pelaksanaan ritus tersebut, sehingga turut memelihara pelaksanaanpelaksanaan ritus. Misalnya, keberadaan masjid tempat melakukan sholat jumat bagi yang Muslim dan bagi mereka yang tinggal di masjid masih terdapat pelaksanaan wirid, tahlil, yasinan dan berbagai tradisi lokal keagamaan lainnya, seperti selamatan dan sebagainya. Sejumlah aktivitas yang berkaitan dengan pemeliharaan pelaksanaan ritus keagamaan yang berarti pula pemeliharaan memori kolektif keberagamaan ini. Misalnya, pada sejumlah kelompok mahasiswa ditemukan kegiatan seperti acara buka puasa bersama yang mereka koordinir, musik religi yang mereka dengarkan, suara azan maupun acara kerohanian yang disiarkan oleh televisi maupun radio, tulisan hari-hari besar keagamaan di kelender, atau apapun yang mudah diakses yang berkaitan dengan keagamaan juga turut memelihara memori kolektif keberagamaan ritual ini. Temuan penelitian ini menunjukkan adanya kekhawatiran dari sejumlah pimpinan dan dosen terhadap masa depan ritual dan tradisi keagamaan lokal yang mulai terkikis dari benak pemahaman dan praktek keagamaan mahasiswa. Contoh di UISU, UNIMED dan USU,32 dapat dipastikan bahwa cara-cara ritual keagamaan di mesjid kampus tersebut sudah dipengaruhi oleh tradisi ritual ibadah ala Timur Tengah. Sebagai contoh misalnya, tradisi membaca doa bersama yang sudah dihapuskan dari kebiasaan setelah shalat berjamaah. Namun hal ini bukan karena mereka itu menganut paham Muhammadiyah, tetapi lebih disebabkan penguasaan jaringan dakwah Tarbiyah di dalam masjid kampus tersebut. Di sisi lain bentuk keberagamaan yang meliputi dimensi ritual-eksperiensial yang bermakna pengalaman dalam beragama, sejumlah mahasiswa mulai mengalami, atau setidak-tidaknya menanyakan keberagamaannya selama ini, sedangkan pertanyaanpertanyaan itu kian bergelayutan saat masuk kuliah. Bila dibandingkan antara mahasiswa perguruan tinggi umum dengan perguruan tinggi agama, kelihatannya yang lebih menonjol bentuk keberagamaan eksperiensialnya adalah mahasiswa tamatan SMU dan 32
Hal ini berdasarkan temuan peneliti pada bulan Juni-Juli 2009, di mana adanya sejumlah kegiatan yang menggunakan fasilitas kampus-kampus tersebut untuk umum, seperti resepsi pernikahan, peringatan hari besar Islam, dan sebagainya. Dalam upacara resepsi pernikahan misalnya, penyelenggara melakukan pemisahan tempat duduk antara laki-laki dan perempuan.
15
MA yang sedikit sekali pengalaman keagamaannya. Mereka selama ini dalam menjalankan ritual ibadah agama tidak merasakan kenikmatan pengalaman keagamaan, sehingga ketika berhadapan dengan fenomena keberagamaan yang khas ala Timur Tengah dapat menarik hatinya untuk ikut bergabung di dalamnya. Sementara itu mahasiswa tamatan pesantren tidak terlalu terpengaruh dengan cara khas keberagamaan Timur Tengah, sebab mereka sudah mengalami indahnya pengalaman keagamaan dalam kehidupannya sehari-hari, baik pada masa lalu selama di pesantren maupun ketika berada di kampusnya masing-masing. Dosen yang mengajar di perguruan tinggi agama banyak memberikan pandangan bahwa mahasiswa yang banyak mengikuti paham Tarbiyah, Salaf ataupun gerakan keagamaan alternatif lainnya itu adalah para alumni pendidikan umum seperti SMU maupun MA yang sedikit sekali bidang studi agamanya. Disebabkan minimnya ilmu agama yang mereka punya, mahasiswa-mahasiswa Islam cenderung memasuki kelompok keagamaan radikal-revivalis. Jika dibandingkan jumlahnya, maka yang dominan banyak mahasiswanya mengikuti kelompok keagamaan revivalis adalah USU dan UNIMED. Penelitian ini mendapatkan data bahwa lebih dari 85 % mahasiswa dari kedua perguruan tinggi tersebut memiliki semangat tinggi untuk memasuki lembaga dakwah kampus yang ada disebabkan mereka berasal dari pelosok desa dan kampung-kampung di daerahnya masing-masing, dengan latar belakang pendidikan SMU. Sedangkan UISU mahasiswanya terbilang lebih maju dan banyak yang berasal dari daerah perkotaan. Sementara IAIN banyak mahasiswanya yang berasal dari pesantren dan madrasah aliyah yang kuat tradisi keagamaannya. Ketiga, yakni dimensi sosial yang merupakan implikasi dari keberagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Keyakinan bahwa agama memiliki sisi yang mulia, maka dimensi ini sering dikaitkan dengan sebuah pandangan hidup, dalam hal ini sebagai semangat belajar. Akan tetapi, kedua hubungan itu agaknya belum begitu menonjol di kalangan mahasiswa. Memang, masih terlalu dini apabila mendasarkan dimensi ini hanya pada etos belajar. Jadi, setiap dari kita yang beragama-lah yang perlu merenungi hal-hal seperti itu. Mengamati fenomena keberagamaan mahasiswa muslim di kampus-kampus perguruan tinggi agama dan umum, adalah menarik untuk mengamati adanya kecenderungan semacam gerakan keberagamaan mahasiswa dalam skala yang lebih luas. Gerakan ini secara ideologis sebenarnya tidak jauh beda dengan gerakan Islam yang terjadi abad XVIII dimana terkesan sangat bernuansa Arabisme-Wahabis. Akan tetapi, nuansa perbedaannya hanya terdapat pada strategi yang digunakan, di mana gerakan Islam abad XVIII lebih mengedepankan pendekatan kultural, sedangkan gerakan Islam yang terjadi pada abad XXI ini tidak hanya menggunakan pendekatan kultural, tapi juga pendekatan struktural. Sejumlah pejabat pada IAIN, USU, UNIMED dan UISU, mengakui bahwa mereka pernah ditemui sejumlah tokoh organisasi atau politik tertentu agar memberi rekomendasi izin sejumlah kegiatan mahasiswa muslim di kampusnya, bahkan diminta partisipasinya secara sukrela membantu kegiatan tersebut. Akan tetapi mereka merasa terpaksa juga, namun karena suatu alasan tertentu yang tidak mereka sebutkan, mereka Bantu juga sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan kampusnya. 16
Secara kultural, femomena keberagamaan mahasiswa dilakukan sangat sistematis dan terorganisir dengan baik. Yang menjadi sasaran utama adalah komunitas perguruan tinggi. Karena komunitas intelektual dinilai sebagai sasaran yang potensial untuk memasarkan ideologi gerakan Islam itu. Secara struktural, mereka sudah masuk ke dalam institusi-institusi pemerintahan yang ada. Sedikit banyak gerakan ini sudah mewarnai corak kebijakan dari pemerintahan yang berlangsung. Sebagai bukti untuk itu, disadari atau tidak, lahirnya undang-undang yang diproduk untuk mengakomodir kepentingan untuk menerapkan syariat Islam. Strategi ini terpaksa ditempuh mengingat isu syariat Islam dalam konteks Indonesia hari ini tidak laku jual dan sangat dilematis. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan bila sampai saatnya nanti, bila komunitas gerakan ini sudah mulai mendominasi, akan berhasil. Fenomena keberagamaan mahasiswa di kampus-kampus, kalau boleh dikatakan seperti itu, sampai sejauh ini kondisinya cukup menggembirakan, walaupun belum dapat dikatakan cukup maju. Secara umum, masyarakat memandang positif gerakan ini sebab visi yang diperjuangkannya sangat kental bernuansa keislaman. Namun, bila dilihat secara jeli dan jujur, dimensi Islam yang ditampilkan oleh gerakan ini sebenarnya sangat radikal. Ada nuansa pemaksaan kehendak secara sepihak dan mengkebiri hak-hak otonom individu untuk berekspresi. Sebagai contoh, banyak ditemukan mahasiswa yang menjadi anggota LDK ini yang menikah sebelum selesai kuliahnya. Sistem dan tatacara pernikahannya ditentukan oleh para murabbi, termasuk ketika mempertemukan calon jodohnya. Hal ini seringkali membuat para orangtua merasa diabaikan, dan tidak jarang menimbulkan ketegangan atau konflik ditengah keluarga. Akibatnya, telah terjadi semacam proses penghakiman moral secara sewenang-wenang yang berdasarkan dalihdalih keagamaan dan tidak tertutup kemungkinan akan berujung pada tindak kekerasan, seperti teror religius, pemukulan, penghancuran dan tindak anarkhisme lainnya. Aksi seperti itu, dipandang sah karena dibangun atas dasar pemahaman keagamaan Salah satu isu dalam hal ini yang dibawa ke dalam harakah (gerakan) kemahasiswaan adalah bahwa umat Islam diwajibkan melaksanakan ajaran Islam secara kaffah. Sehingga bangkitnya gerakan Islam berbasis dakwah di perguruan tinggi agama dan umum di Sumatera Utara dilatar belakangi oleh kegiatan dakwah mereka untuk mengajak orang lain agar menerapkan ajaran-ajaran Islam tersebut. Setiap muslim punya kewajiban untuk berupaya menjalankan seluruh sisi kehidupan berdasarkan Islam. Bagi aktivis dakwah di IAIN dan USU merasakan bahwa gerakan dakwah tidak hanya pada tingkatan anjuran bi al-lisan saja, mereka mendapatkan cara pandang holistik dari gerakan Tarbiyah bahwa setiap muslim harus menjadikan aturan-aturan Islam menggantikan hukum buatan manusia. Hukum Islam adalah hukum yang tertinggi dan dipastikan memiliki hikmah bagi kehidupan seluruh manusia dan alam ini. Masuknya gerakan Tarbiyah dan gerakan lainnya itu menurut hasil penelitian penulis dilihat dari tahun berdirinya di dalam institusi kampus masing-masing ternyata terlebih dahulu masuk ke IAIN-SU. Baru merambah masuk ke USU, Unimed dan UISU. Aktivis IAIN menjadi cikal bakal sekaligus model utama dalam penerapan gerakan Islam kaffah.
17
Menurut gerakan Tarbiyah, Islam adalah agama yang universal, kaffah dan syamil. Ia mengatur kehidupan pribadi, sosial dan negara. Ahmad Syahnan, salah seorang murabbi di UISU menjelaskan bahwa mereka mendapatkan penjelasan rinci gerakan Tarbiyah dari konsepsi Said Hawwa bahwa Islam meliputi tiga komponen: 1) Tiang penegak yang terdiri dari jihad, amar ma‟ruf nahyi munkar, hukum Islam dan sanksinya. 2) Bangunan yang meliputi sistem hidup; politik, ekonomi, militer, sosial, pendidikan dan akhlak. 3) Dasar/asas yang terdiri dari; a. ibadah: salat, puasa, zakat, dan haji, b. akidah: syahadatain, iman kepada Allah, malaikat dan seterusnya. Sehingga menurut Syahnan, gerakan Tarbiyah ini membentuk mereka agar melakukan dakwah mulai dari perubahan perilaku pribadi, masyarakat hingga negara.33 Fenomena keberagamaan mahasiswa yang berkembang lewat gerakan-gerakan dakwah yang berafiliasi kepada harakah-harakah Islam baru dengan corak Timur Tengahnya, dilatar belakangi oleh prakarsa alumni Timur Tengah dan masih berusia muda masuk ke dalam kampus mengelola pengajian yang diwadahi dalam bentuk Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Di semua perguruan tinggi yang menjadi lokasi penelitian ini mengungkapkan bahwa para ustadz (sebutan mereka terhadap da‟i-da‟i Timur Tengah itu) tersebut berusaha masuk ke dalam kampus melalui LDK dengan mendirikan dan mengelola pengajian-pengajian yang selama ini tidak diperhatikan oleh organisasi mahasiswa, dosen maupun pihak kampus. Bukhari, salah seorang pengurus LDK Unimed menjelaskan, bahwa para ustadz yang memberikan pengajian di lembaganya adalah para alumni Timur Tengah atau paling tidak hasil didikan alumni Timur Tengah yang sebelumnya.34 A. Keberagamaan Musiman Ada informasi yang menarik dari Louis O. Kattsoff (Guru Besar Filsafat di North Carolina University, USA) mengenai suatu ungkapan yang populer ketika Perang Dunia II berkecamuk. Ia mengemukakan ungkapan: „di dalam lubang-lubang perlindungan tidak ada penganut ateisme‟. Ungkapan populer ini mengilustrasikan suasana mencekam ketika Perang Dunia II berlangsung dengan dahsyat. Semua orang, tidak terkecuali pasukan tentara atau masyarakat sipil, sangat berharap untuk selamat, tidak terluka atau tewas dalam suasana peperangan yang dahsyat dan mengerikan tersebut.35 Dengan kata lain, dalam situasi dan kondisi yang penuh ancaman dan marabahaya itu, orang tidak bisa lagi menolak tentang tesis bahwa Tuhan itu Maha Ada dan Maha Kuasa. Kepada siapa lagi harapan dan permohonan akan disampaikan, ketika sang maut mengintai di mana-mana. Tentu saja hanya pada Zat Yang Maha Esa, Tuhan semesta alam. Dalam kondisi seperti itu orang merasakan betapa perlunya ia akan Tuhan.
33
Lihat Syamsu Hilal, Gerakan Dakwah Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2002, h. 10. 34 Wawancara 16 Juni 2009. 35 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institute, 2007, h. 23.
18
Bisa dikatakan, pada waktu itu atau dalam keadaan seperti itu, semua orang sepertinya beragama, percaya kepada Tuhan, atau menjadi religius.36 Argumentasi di atas menunjukkan bahwa ada saat-saat tertentu di mana seorang manusia itu merasakan dirinya memerlukan pertolongan Tuhan atau paling tidak merasakan adanya eksistensi Tuhan. Lalu ia akan melakukan perbuatan seperti berdoa, atau melakukan ibadah untuk memenuhi hasrat keyakinannya kepada Tuhan untuk meraih sesuatu yang diinginkannya. Salah satu indikasi dan deskripsi tentang hal ini, bisa dicontohkan dengan datangnya bulan Ramadan. Pada bulan Ramadhan 1430H, tampaknya hampir semua orang menyambut dan mengisinya dengan beragam kegiatan, tidak terkecuali mahasiswa muslim yang terdapat di IAIN, USU, UNIMED dan UISU, begitu juga dengan mahasiswa perguruan tinggi lainnya. Semua kalangan ikut menyemarakkan dan tidak mau ketinggalan momentum bulan suci itu. Sejumlah mahasiswa pada berbagai perguruan tinggi itu, jauh-jauh hari sebelum tibanya bulan Ramadan sudah disiapkan agenda acara, atau program yang disesuaikan dengan bulan yang mulia ini. Tentu saja hal ini tidak lepas dari latar belakang yang berbeda dan kepentingannya masing-masing yang tidak sama. Sejumlah mahasiswa muslim di USU misalnya, melakukan pengajian Ramadhan, berbuka puasa bersama, bazaar Ramadhan, bedah buku, dan peragaan busana muslimah. Begitu juga halnya di IAIN dan UNIMED. Sementara di UISU, mahasiswa muslimnya mengadakan tadarus Al-Qur‟an dan khataman di mesjid kampus Al-Munawwarah. Keadaan di atas dikaitkan dengan fenomena keberagamaan mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi umum dan agama, juga melahirkan kesan yang sama, yakni citra religius yang lumayan kuat dan menarik untuk diamati dalam konteks sosiologis. Atau dengan kata lain, “ketika semua tampak seperti religius”, mahasiswa ikut merasakan masa-masa di mana ia akan berkecimpung aktif melakukan ibadah kepada Tuhan-Nya. Saat-saat itu mahasiswa menjadi sangat beragama tentunya.37 Salah satu momentum di mana seseorang merasakan kesadaran yang luar biasa untuk meningkatkan keimanan da ketakwaannya kepada Tuhan, adalah ketika adanya motivasi aktif yang diberikan oleh seseorang; teman, orangtua, guru, dosen atau ustadz – sehingga mengawal dirinya untuk melakukan ritual-ritual ibadah secara intens. Dalam keadaan demikian, semua orang akan bersibuk ria melakukan ibadah kepada Tuhannya. Dalam perspektif etnografi keagamaan, masalah dan realitas keberagamaan seperti di atas, menyiratkan semacam adanya gejala atau fenomena “agama pasar” atau keberagamaan musiman. Istilah agama pasar bisa dipahami dalam dua pengertian. Pertama, mengacu kepada sikap beragama dan fenomena keagamaan manusia dalam realitas kehidupan yang lebih banyak dipengaruhi atau dikendalikan oleh momentmoment tertentu dan waktu-waktu khusus saja, seperti halnya “hari pasaran” yang berlaku di masyarakat secara tradisional.38 Kedua, agama atau berbagai hal yang berkaitan erat dengan agama secara tidak langsung telah menjadi salah satu komoditas yang bisa 36
Khamami Zada, "Islam Lokal versus Islam Kafah”, Koran Media Indonesia, 6 Juni 2007. Ibid. 38 Ibid. 37
19
dipasarkan, dipengaruhi atau ikut mempengaruhi pasar. Dalam hal ini logika dan kepentingan ekonomi lebih dominan dan memonopoli daripada nilai atau kepentingan agama itu sendiri. Sebagai contoh, siapa bilang bulan Ramadan bukan sesuatu yang bisa ditawarkan kepada pasar. Juga ibadah haji, dan sebagainya. Begitu pula di bulan Ramadan terlihat pasar menjadi semakin ramai, dan di berbagai tempat banyak bermunculan pasarpasar tiban. Dalam konteks ini juga bisa dikatakan bahwa agama atau keberagamaan seseorang itu dikendalikan oleh pasar.39 Banyak mahasiswa yang melaksanakan kewajiban agamanya secara taat dan tertib, namun di saat-saat lain, misalnya ketika ia tidak lagi berhadapan dengan “pemandu” keagamaan yang dijalankannya, ia menjadi tidak patuh dan bahkan meninggalkan ketaatan dan ibadahnya. Saat-saat ia merasa semakin menderita karena tidak dapat memenuhi kebutuhan fisiknya, ia menjadi pemarah dan memusuhi orang lain. Ketika ustadz yang selama ini meninggalkannya, ia menjadi tidak terkendali dan rapuh. Hal ini menunjukkan bahwa keberagamaan mahasiswa bersifat musiman. Sejumlah mahasiswa ditemukan tidak konsisten dalam mengabdikan hidupnya kepada Tuhan yang semula diyakininya secara absolut, misalnya dilihat dari pelaksanaan ibadah shalatnya yang tidak tepat waktu dan seringkali tertinggal. Selain itu, penemuan sejumlah mahasiswa/i yang berlatar pendidikan agama atau pesantren, tiba-tiba bertingkah laku aneh ketika berhadapan dengan kehidupan „kosmopolitan‟ kota Medan yang tidak pernah dibayangkannya. Kesadarannya hilang dan bahkan tercebur ke dalam kehidupan pergaulan bebas yang dulunya sangat asing dan terlarang baginya, seperti berkunjung ke diskotik, jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, makan minum di kafe-kafe malam yang bertebaran seputar kota Medan sampai larut malam. Bahkan, ditemukan sejumlah mahasiswi yang terlibat dalam jaringan prostitusi. Akan tetapi, fenomena di atas berlaku sebaliknya, di mana temuan penelitian menunjukkan bahwa ada sejunlah mahasiswa/i ketika pada masa pendidikan di SLTA atau sederajat ia tidak begitu intens beribadah. Ketika ia menjadi mahasiswa dan selama kuliah ia bergabung dengan komunitas keagamaan yang ketat, ia kemudian terikut dan melaksanakan ibadah lebih intens dari sebelumnya. Namun, ketika pada masa akhir pendidikannya maka ia mulai sering meninggalkan ibadah shalat. Fenomena keberagamaan seperti itu dinamakan keberagamaan musiman. Sejatinya orang beragama atau menjadi religius harus bersifat intrinsik, tidak ekstrinsik. Karena keberagamaan yang instrinsik lebih bermakna substansial, perenial, sehingga tidak lekang kena panas dan tidak lapuk kena hujan. Sedangkan keberagamaan yang ekstrinsik lebih bernilai formalistik dan artifisial, sehingga bersifat temporal dan parsial. Tergantung situasi dan kondisi. Jadi, ada situasi yang membuat seseorang itu menjadi lebih islamis dari sebelumnya yang disebut dengan keberagamaan musiman. B. Keberagamaan Simbolistik Menurut William Durant dalam dalam karyanya „The Lesson of History‟ pernah menyatakan, "agama memiliki seratus jiwa”. Pernyataan ini bermakna bahwa segala 39
Edy Utama, “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”, dalam Ahmad Baso, Plesetan Lokalitas: Politik Pribumisasi Islam, Jakarta: Desantara, 2002, h. 124-125.
20
sesuatu bila telah dibunuh, pada kali pertama itu pula ia tewas untuk selama-lamanya, kecuali agama. Sekiranya ia seratus kali dibunuh, ia akan muncul lagi dan kembali hidup setelah itu. Pernyataan William Durant ini mengisyaratkan betapa agama selalu hidup di tengah-tengah kehidupan umat manusia sepanjang masa. Tidak seperti yang diyakini oleh Federich Nietsche dan Ludwig Feurbach bahwa Tuhan (agama) itu telah mati. Bagi William Durant, agama tetap memiliki fungsi terbaik bagi kehidupan umat manusia.40 Namun demikian, agama bisa kehilangan makna substansialnya dalam menjawab problem-problem kemanusiaan, ketika agama tidak lagi berfungsi sebagai pedoman hidup yang mampu melahirkan kenyamanan spiritual dan objektif di dalam segala aspek kehidupan umat manusia. Atau dalam istilah Karl Marx, ketika agama telah menjadi candu bagi masyarakat. Inilah yang sedang dialami bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan bergesernya fungsi agama. Konflik antaragama, radikalisme, dan terorisme telah menjadi masalah besar yang masih harus terus dicarikan penyelesaiannya secara tepat. Dalam konteks inilah, tantangan kehidupan beragama sesungguhnya lebih disebabkan oleh model keberagamaan umat yang diekspresikan secara simbolik, termasuk keberagamaan mahasiswa. Keberagamaan simbolik pada mahasiswa ditandai dengan sikap dan praktik beragama yang bertitik tolak pada simbol atau identitas belaka, bukan disemangati oleh nilai-nilai substansial dalam ajaran agama. Adanya sikap keberagamaan simbolik itulah yang melahirkan agama secara empirik tidak mampu menjawab problem kemanusiaan dan banyak melahirkan konflik atas nama agama. Ada beberapa fenomena yang dapat dilihat sebagai bentuk dari kehidupan beragama mahasiswa yang bersifat simbolik ini. Pertama, adanya keinginan mahasiswa untuk mengawal tuntutan diberlakukannya syariat Islam yang sudah merambah ke daerah-daerah.41. Kedua, sifat yang cenderung radikal dengan menganggap selainnya adalah „others‟ atau yang lain. Menyukai kelompoknya saja, sedangkan umat dan kelompok lainnya tidak benar atau telah menyimpang dari ajaran agama. Perang antara perbedaan pemahamaan agama dianggap sebagai perang suci (holy war), yang di akherat kelak hanya corak keberagamaannya yang akan mendapatkan pahala sorga.42
40
Ibid., h. 37. Sejak ditolaknya syariat Islam di parlemen melalui proses amandemen UUD 1945, perjuangan memberlakukan syariat beralih ke daerah-daerah. Dimulai dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang memberlakukan syariat Islam pada 1 Muharram 1423 H (15 Maret 2002), kemudian merambah ke Cianjur dan Tasikmalaya. Bahkan, belum lama ini Pamekasan sudah mulai mengkaji aspek pemberlakuan syariat Islam melalui Peraturan Daerah. Harus diakui bahwa, perberlakuan syariat Islam di daerah-daerah itu masih berkisar pada fenomena simbolik. Misalnya, pemberlakuan syariat Islam dimaknai dengan kawasan wajib tutup aurat dan penggantian nama jalan, toko dan bus dengan huruf Arab atau nama Islam (misalnya di Propinsi NAD). Pelaksanaan shalat berjamaah, dan berbusana Islam di kantor-kantor pemerintah (seperti di Tasikmalaya, Cianjur, dan Pamekasan). Dalam hal ini tampak sekali nuansa simbolik dari ajaran agama, yang sesungguhnya menawarkan ajaran yang lebih progesif ketimbang ajaran simbolik. Lihat Ahmad Gibson Al-Bustomi, ”Islam-Sunda Bersahaja di Kampung Naga”, Pikiran Rakyat, 30 Januari 2006 42 Qomaruzzaman, ”Menawarkan Diri Pada Syariat Islam”, Pikiran Rakyat, 2 Januari 2003. 41
21
Dalam konteks ini, fanatisme keberagamaan mahasiswa muslim agak berlebihan terhadap pemahaman agama yang diyakininya yang dipancarkan dalam ekspresi keberagamaan simbolik akan mengakibatkan radikalisasi yang luar biasa, jika tidak diminimalisir oleh sikap-sikap toleran terhadap perbedaan, akomodatif terhadap perubahan dan menerima realitas sosial. Dengan demikian, agama memiliki dua sisi yang paradoksal; di satu sisi agama berfungsi sebagai kenyamanan spiritual untuk kedamaian jiwanya, tetapi di sisi lain, agama dijadikannya menjadi media yang subur untuk menciptakan perseteruan atau konflik. Keberagamaan simbolistik hanya lebih menonjolkan pemakaian simbol-simbol keislaman yang lebih banyak berbau arabisasi atau tradisi Timur Tengah. Mereka menganggap bahwa hanya tradisi Timur Tengah atau Arab itu saja yang bernilai islami, selainnya dianggap tidak mencerminkan nilai-nilai atau simbol Islam. Indikasi lain adanya pengaruh dari gerakan Islam transnasional bisa dilihat dari konsepsi pemikiran Islam kaffah yang diusung tokoh-tokoh gerakan dakwah Salman dan sejumlah tokoh LDK lainnya. Imaduddin Abdurrahim misalnya, mengajukan konsep pemahaman Islam kaffah, yaitu terwujudnya pemahaman ajaran Islam yang menyeluruh, menjangkau semua aspek dan dimensi kehidupan tanpa ada peminggiran satu dengan yang lainnya. Transformasi Islam kaffah ini dalam pola pembinaan di usroh adalah pada sasaran pembinaan untuk mencetak muslim kaffah. Pandangan ini berseberangan dengan pemikiran-pemikiran Islam masa itu yang diajukan oleh Nurcholish Madjid, yang menyerukan pemilahan antara Islam dan politik.43 Ciri keberagamaan yang dilatar belakangi oleh ekspansi dakwah ala Timur Tengah ini dipahami oleh mahasiswa dalam kerangka ajaran Islam yang bersifat sempurna, yang tidak memisahkan satu aspek dengan aspek lainnya. Islam tidak dilihat dari perspektif yang memisahkan antara yang sakral dan yang profan, yang transenden dan yang temporal.44 Konsep keberagamaan seperti ini lazim disebut sebagai Islam kaffah, yaitu wujud pemahaman Islam yang menyeluruh, menjangkau semua aspek dan dimensi kehidupan: duniawi-ukhrawi, jasmani-ruhani, ubudiyah-muamalah, sosial-politik, kultural-struktural dalam jargon al-islam din wa al-daulah. Pemikiran semacam ini sesungguhnya secara lebih awal dikenalkan dan diperjuangkan oleh tokoh-tokoh gerakan Ikhwan al-Muslimin (IM) seperti Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, dan Mustafa Mansyhur.45 Berdasarkan pengamatan terhadap keempat perguruan tinggi yang menjadi basis penelitian, keberagamaan mahasiswa IAIN Sumatera Utara paling dinamis yang paling majemuk, yang tampak dari nuansa dan warna keberagamaan yang ada dan tampil di permukaan. Mulai dari yang paling radikal-revivalis seperti LDK, KAMMI dan Mahasiswa Pembebasan Indonesia, sampai yang moderat seperti PMII46, HMI47, 43
Mahfudz Siddiq, KAMMI.., h. 80. Abdul Aziz (ed.), Gerakan Kontemporer Islam Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989, h.
44
217. 45
Mahfudz Siddiq, KAMMI.., h. 80. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir pada tanggal 17 April 1960 di Surabaya, sebagai organisasi angkatan muda Nahdlatul Ulama dari kalangan mahasiswa. Pada 46
22
HIMMAH, IMM48, dan juga organisasi kemahasiswaan yang cenderung liberal seperti JARIK dan sebagainya. Bentuk keberagamaan dan gerakan mahasiswa muslim seperti kedua corak yang disebutkan terakhir, memahami Islam sebagai elemen dasar yang membutuhkan penjabaran dan pemahaman kontekstual sesuai zamannya saat ini49 Bagi PMII, HMI, HIMMAH, IMM, JARIK50 dan organisasi kemahasiswaan lainnya baik yang berbasis agama maupun kedaerahan menyebutkan bahwa praktek keberagamaan mereka sangat kontekstual sesuai dengan paradigma Islam lokal atau pribumisasi Islam. Selanjutnya dapat ditebak warna keberagamaan pun tidak menjadi hitam putih layaknya masyarakat yang bersiap menyongsong kematian. Fikih yang pada dasarnya adalah pilihan bebas, dalam komunitas-komunitas ini menjadi pilihan terbuka dan beragam. Pada kelompok ini terlihat dinamika keberislaman begitu toleransi, tidak rigid dalam kehidupan, tidak kaku dalam berekspresi, sikap yang tidak mudah pula menfasikkan bahkan mengkafirkan orang lain.
perkembangannya, pada tahun 1971 melalui Deklarasi Murnajati, PMII menyatakan diri sebagai organisasi independen, terlepas dari ormas apa pun, termasuk dari sang induknya 47 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lahir ditengah-tengah suasana revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan, yaitu pada 5 Februari 1947 di kota Yogyakarta. Lafran Pane dan kawan-kawan merasa prihatin dengan kondisi umat Islam saat itu yang terpecah-pecah dalam berbagai aliran keagamaan dan politik serta jurang kemiskinan dan kebodohan. Oleh karena itu dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk mengambil peranan dalam berbagai aspek kehidupan. Kemudian didirikanlah wadah perkumpulan mahasiswa Islam yang memiliki potensi besar bagi terbinanya insan akademik, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah. Dalam perjalanannya, HMI telah banyak melahirkan kader-kader pemimpin bangsa. Selain itu, sebagai ormas mahasiswa Islam yang independen dan bergerak dijalur intelektual, tidak jarang HMI melahirkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia. 48 Beberapa tokoh angkatan muda Muhammadiyah seperti Muhammad Djaman Alkirdi, Rosyad Soleh, Amin Rais dan kawan-kawan memelopori berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Yogyakarta pada tanggal 14 Maret 1964. Sebagai organisasi otonom Muhammadiyah, sifat dan gerakan IMM sama dengan Muhammadiyah yakni sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar. Ide dasar gerakan IMM adalah; Pertama, Vision, yakni membangun tradisi intelektual dan wacana pemikiran melalui intelectual enlightement (pencerahan intelektual) dan intelectual enrichment (pengkayaan intelektual). Strategi pendekatan yang digunakan IMM ialah melalui pemaksimalan potensi kesadaran dan penyadaran individu yang memungkinkan terciptanya komunitas ilmiah. Kedua, Value, ialah usaha untuk mempertajam hati nurani melalui penanaman nilainilai moral agama sehingga terbangun pemikiran dan konseptual yang mendapatkan pembenaran dari Alquran. Ketiga, Courage atau keberanian dalam melakukan aktualisasi program, misalnya dalam melakukan advokasi terhadap permasalahan masyarakat dan keberpihakan ikatan dalam pemberdayaan umat. 49 Wawancara dengan sejumlah pengurus organsasi tersebut secara random di berbagai lokasi di sekitar Kampus II IAIN-SU Medan tanggal 27 Mei 2009 50 Jaringan Islam Kampus, mulai muncul di kampus IAIN sejak tahun 2005, yang dibina oleh sejumlah dosen IAIN yang cenderung berpikiran liberal.
23
Penutup Kesimpulan Berdasarkan temuan penelitian, maka dapat diambil beberapa kesimpulan. Pertama, bentuk keberagamaan mahasiswa yang meliputi dimensi intelektual, ditandai adanya ketertarikan dan minat mahasiswa perguruan tinggi umum yang cukup tinggi untuk mempelajari agamanya. Pada saat yang sama, sebetulnya ada pergulatan batin pada mahasiswa perguruan tinggi umum, yakni antara mempelajari agamanya dengan mempelajari program studi umum yang yang menjadi pilihan kuliahnya. Titik ini mengisyaratkan bahwa ilmu umum dianggap “agama baru” yang mendapat pengesahan dan terlembagakan dalam program studi umum. Meskipun demikian, mata kuliah umum tidak dapat menggantikan agama dalam pengertian yang sesungguhnya. Sebaliknya, agama pun sepertinya tidak dapat menggantikan posisi pengetahuan umum sebagai sains. Selanjutnya, mempelajari agama merupakan tanggungjawab pribadi, sedangkan mempelajari mata kuliah umum merupakan tanggungjawab yang mengikat mahasiswa yang semata-mata karena statusnya mahasiswa perguruan tinggi umum sesuai dengan cita-cita dan keinginannya. Melalui dimensi intelektual ini, mahasiswa perguruan tinggi umum merasakan ikut bertanggungjawab untuk membela agama dan nilai-nilai agamanya. Kedua, yakni bentuk keberagamaan yang bercorak ritualistik-eksprensial yang ditandai serangkaian ritus keagamaan yang dilakukan mahasiswa dalam kehidupan kesehariannya. Ditemukan sejumlah mahasiswa mulai mengalami, atau setidak-tidaknya menanyakan keberagamaannya selama ini, sedangkan pertanyaan-pertanyaan itu kian bergelayutan saat masuk kuliah. Bila dibandingkan antara mahasiswa perguruan tinggi umum dengan perguruan tinggi agama, kelihatannya yang lebih menonjol bentuk keberagamaan eksperiensialnya adalah mahasiswa tamatan SMU dan MA yang sedikit sekali pengalaman keagamaannya. Ketiga, yakni dimensi sosial yang merupakan implikasi dari keberagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena keberagamaan mahasiswa di kampus-kampus, kalau boleh dikatakan seperti itu, sampai sejauh ini kondisinya cukup menggembirakan, walaupun belum dapat dikatakan cukup maju. Secara umum, masyarakat memandang positif gerakan ini sebab visi yang diperjuangkannya sangat kental bernuansa keislaman. Namun, bila dilihat secara jeli dan jujur, dimensi Islam yang ditampilkan oleh gerakan ini sebenarnya sangat radikal. Ada nuansa pemaksaan kehendak secara sepihak dan mengkebiri hak-hak otonom individu untuk berekspresi. Sebagai contoh, banyak ditemukan mahasiswa yang menjadi anggota LDK ini yang menikah sebelum selesai kuliahnya. Sistem dan tatacara pernikahannya ditentukan oleh para murabbi, termasuk ketika mempertemukan calon jodohnya. Hal ini seringkali membuat para orangtua merasa diabaikan, dan tidak jarang menimbulkan ketegangan atau konflik ditengah keluarga. Akibatnya, telah terjadi semacam proses penghakiman moral secara sewenangwenang yang berdasarkan dalih-dalih keagamaan dan tidak tertutup kemungkinan akan berujung pada tindak kekerasan, seperti teror religius, pemukulan, penghancuran dan tindak anarkhisme lainnya. Aksi seperti itu, dipandang sah karena dibangun atas dasar pemahaman keagamaan.
24
Keempat, fenomena keberagamaan musiman dan bersifat simbolistik juga melanda mahasiswa muslim di kampus PT umum maupun agama, tetapi kecenderungan ini lebih tampak pada perguruan tinggi umum. Rekomendasi Perilaku keagamaan yang meningkat pada tingkat individu mahasiswa mengalahkan kepekaan sosial atau kepeduliaan sosialnya yang merupakan ciri keberagamaan komunal. Sudah saatnya dilakukan revitalisasi ajaran agama dalam kehidupan mahasiswa, di antaranya : Pertama, membangun kesadaran bahwa hubungan dengan sesama manusia (hablum min an-nas) sama derajatnya dengan melakukan hubungan dengan Tuhan (hablum min Allah). Pengembangan kesadaran ini akan mengingatkan, tiap anggota masyarakat memiliki tanggung jawab untuk peduli kepada sesamanya. Seseorang tidak lagi harus pergi berhaji berkali-kali, sebaliknya dana untuk menunaikan haji yang kedua dan selanjutnya dipergunakan mensejahterakan masyarakat sekitar, sehingga diharapkan mereka bisa maju dan suatu saat hasil usahanya dapat digunakan untuk pergi beribadah haji seperti seseorang tadi. Bukankah kemabruran ibadah seseorang tidak dilihat dari kuantitas ibadah hajinya tapi justru dilihat dari kualitasnya. Bahkan zaman nabi ada orang yang dianugerahi mabrur oleh Allah, padahal-dia tidak jadi pergi karena dananya diperguankan untuk memberi makanan bagi tetangganya yagn kelaparan. Kedua, penanaman nilai-nilai keikhlasan dalam hidup bermasyarakat. Banyak orang yang melakukan ibadah sosial-seperti bersedekah semata-mata diniatkan untuk mencari pujian dan sanjungan dari orang lain (riya). Hal-ini mengakibatkan hilangnya kepekaan seseorang akan kondisi orang lain. Orang hanya akan membantu ketika bantuannya disebut-sebut dan dibicarkaan orang atau media. Bila jauh dari pemberitaan jangan harap dia akan membantu. Nilai keikhlasan inilah yang kemudian mendasari niat seseorang. Sekalipun kita tidak bisa menghakimi seseorang telah ikhlas atau belum namun dalam tingkah laku setelahnya kita bisa melihat, apakah muncul dalam sikap orang tersebut rasa ingin dipuji dan disebut-sebut atau tidak. Dengan niat ikhlas ini maka kita tidak akan membeda-bedakan dalam menolong. Kita akan menolong siapa saja yang terkena musibah, dan tidak peduli apakah ada media atau tidak yang akan memberitakan prosesi bantuan kita. Perilaku keagamaan yang meningkat pada tingkat individu mahasiswa mengalahkan kepekaan sosial atau kepeduliaan sosialnya yang merupakan ciri keberagamaan komunal. Sudah saatnya dilakukan revitalisasi ajaran agama dalam kehidupan mahasiswa, di antaranya : Fenomena keberagamaan mahasiswa yang cenderung individualistik butuh pembinaan dan pemahaman keagamaan yang lebih dalam sehingga dapat memaknai kehidupannya selaras antara iman dan amal saleh. Ajaran agama yang dipahami tidak semata-mata bersifat dan bercirikan budaya Timur Tengah, ajaran Islam itu juga termasuk budaya lokal yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian dapat menjadikan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil „alamin). Bentuk-bentuk keberagamaan yang ditanamkan di kalangan mahasiswa di masa mendatang harus disertai dengan pemahaman hakikat Islam yang tidak hanya mementingkan simbol dan makna 25
literal ayat-hadis semata. Mereka harus juga memahami nilai-nilai Islam lokal yang telah mentradisi dalam masyarakat seperti metode masuknya Islam di tanah air sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para penyebar agama Islam, seperti Walisongo di tanah Jawa pada masa lalu. Penulis: Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sumatera Utara.
26
Pustaka Acuan Abdul Aziz, ed.), Gerakan Kontemporer Islam Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi,, Jakarta: The Wahid Institute, 2007 Abu Ebi Hara Bakar, “Islam Radikalisme dan Demokrasi”, dalam Jurnal Demokrasi dan HAM, tanggal 4 November 2004. Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam, Surabaya: LSIP, 2000 Ahmad Gibson Al-Bustomi, ”Islam-Sunda Bersahaja di Kampung Naga”, Koran Harian Pikiran Rakyat, 30 Januari 2006. Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia, Bandung, Mizan, 2002 Andito, “Globalisasi dan Masa Depan Agama”, dalam Jurnal Al-Huda, Islamic Center Jakarta, Vol. II, No. 7, 2002, hlm. Azyumardi Azra, Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, Bandung: Mizan, 2000 David Sagiv, Otentisitas Liberalisme Islam, Yogyakarata: LKIS, 1997. Edy Utama, “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”, dalam Ahmad Baso, Plesetan Lokalitas: Politik Pribumisasi Islam, Jakarta: Desantara, 2002 Fazlur Rahman, Islam, Bandung: Pustaka, 1992 Glock and Stark, The Dimensions of Religion, New York: Hans Co., 1965 Hairus Salim HS dan Muhammad Ridwan, Kultur Hibrida: Anak Muda NU di Jalur Kultural-(Yogyakarta: LKiS, 1999. Harian Koran, Mandiri, Medan, tanggal 23 Januari 2004 http://www.unimed.ac.id/images/fbs.jpg. http://www.unimed.ac.id/images/fe.jpg. http://www.unimed.ac.id/images/fik.jpg. http://www.unimed.ac.id/images/fip.jpg. http://www.unimed.ac.id/images/fis.jpg. http://www.unimed.ac.id/images/fmipa.jpg. http://www.unimed.ac.id/images/ft.jpg. http://www.usu.ac.id/component/mailto/?tmpl=component&link=aHR0cDovL3d3dy 51c3UuYWMuaWQvcHJvZmlsLmh0bWw%3 D. http://www.usu.ac.id/id/images/articles/biro_rektor.jpg 27
http://www.usu.ac.id/profil.html?tmpl=component&print=1&page= Ignas Kleden, Rencana Monografi: Paham Kebudayaan Clifford Geertz, Jakarta: LP3ES. 1988 Jâbir al-Anshari, Islam dan Tatanan Sosial, Jakarta: Al-Kautsar, 1999 Khaled Abou el-Fadl, Cita dan Fakta Toleransi Islam, Bandung: Mizan, 2002. Khamami Zada, "Islam Lokal versus Islam Kafah”, Media Indonesia, 6 Juni 2007. Lexy J.Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989. M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2008. Mahfudz Sidiq, KAMMI dan Pergulatan Reformasi, Solo: Era Intermedia, 2003Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan, Jakarta: Teraju, 2002 Majalah, Syir‟ah, 15 Pebruari & 29 Oktokber, 2007. Mona Abaza, Pendidikan Islam dan Pergeseran Orientasi Studi Kasus Alumni Al-Azhar, Jakarta: LP3ES, 1999 Nuswantoro dan Daniel Bell, Matinya Ideologi, Magelang: Indonesia Tera, 2001. Qomaruzzaman, ”Menawarkan Diri Pada Syariat Islam”, Pikiran Rakyat, 2 Januari 2003. Samsul Rizal-Panggabean, Antara Negara Agama dan Sekuler, Jakarta: Grafiti Press, 1998 Samuel P. Huntington, The Clas of Civilization, Remaking in the Order World (Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, Yogyakarta: Qalam, 2000 Shireen T. Hunter, Politik Islam di Era Kebangkitan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001. Soebroto Soetandyo Wignjo, Pengantar interaksionisme Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002 Sukmadinata, Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006. Syamsu Hilal, Gerakan Dakwah Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2002 Syarifudin Jurdi ed., Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani, dan Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008 Thomas Luckmann et.al., Tafsir Sosial-Atas Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990 www.habibiecenter.or.id. www.uisu.org. www.unimed.ac.id. Yudi Latif, “Islam Inklusif, Islam Damai”, Republika, 2 Februari 2006.
28