FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA DOMESTIK MINYAK SAWIT (CPO) DI INDONESIA TAHUN 1980-2007
Oleh HARIYANTO H14084006
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN HARIYANTO. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Harga Domestik Minyak Sawit (CPO) di Indonesia Tahun 1980-2007. (Dibawah Bimbingan WIWIEK RINDAYANTI).
Minyak Sawit (Crude Palm Oil) memegang peranan penting dalam perekonomian di Indonesia. Ketersediaan CPO di dalam negeri menjadi hal yang mutlak bagi pemenuhan kebutuhan berbagai industri terutama industri minyak goreng. Selain itu minyak sawit juga menjadi komoditi unggulan ekspor non migas dan penyedia lapangan pekerjaan. Perbedaan antara tingkat harga dunia dengan harga domestik mendorong para produsen CPO lebih memilih menjual CPO keluar negeri. Kelangkaan minyak sawit di dalam negari akan membuat harga di dalam negeri cenderung naik. Hal ini akan berimbas pada naiknya harga produk turunan CPO seperti minyak goreng yang merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok masyarakat di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi harga domestik minyak sawit dan mengetahui faktor yang dominan mempengaruhi harga minyak sawit di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data series tahun 19802007 yang diperoleh dari berbagai sumber seperti Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian. Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa kualitatif dan kuantitatif. Analisa kualitatif dilakukan dengan cara analisa deskriptif dan analisa kuantitatif dilakukan dengan cara analisa regresi linier berganda. Dari hasil uji F diketahui bahwa varibel bebas secara serentak berpengaruh terhadap variabel terikat pada taraf signifikansi 0,05. Sedangkan dari hasil uji t dengan taraf 0,05 diketahui bahwa produksi, konsumsi, ekspor dan harga dunia berpengaruh signifikan terhadap harga domestik sementara impor tidak berpengaruh signifikan sedangkan ekspor merupakan variabel yang paling dominan mempengaruhi harga domestik minyak sawit di Indonesia dalam kurun waktu 1980-2007. Selain itu dari model yang dihasilkan diketahui bahwa secara keseluruhan kemampuan variabel bebas untuk menjelaskan variabel terikat sebesar 98,3% sedang sisanya sebesar 1,7% dijelaskan oleh faktor-faktor diluar variabel yang ada. Upaya yang dapat dilakukan Pemerintah dalam menjaga stabilitas harga domestik minyak sawit di Indonesia antara lain dengan selalu menjaga ketersediaanya konsumsi minyak sawit dalam negeri, pengambilan kebijakan yang menguntungkan semua pihak dan meningkatkan stok minyak sawit dalam negeri agar gejolak harga dunia tidak terlalu berimbas ke harga domestik.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA DOMESTIK MINYAK SAWIT (CPO) DI INDONESIA TAHUN 1980-2007
Oleh : HARIYANTO H14084006
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama
: Hariyanto
Nomor Registrasi Pokok
: H14084006
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi
Harga
Domestik Minyak Sawit (CPO) di Indonesia Tahun 1980-2007
Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui Dosen Pembimbing
Ir. Wiwiek Rindayanti, M.Si NIP. 131 653 137 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2008
Hariyanto H14084006
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Hariyanto lahir pada tanggal 9 Juni 1973 di Jakarta. Penulis merupakan anak ke enam dari delapan bersaudara pasangan Ayahanda Alm. Tukidjan bin Tudarmo dan Ibunda Kasmini. Penulis memulai jenjang pendidikan di SDN 01 Pisangan Timur Jakarta (lulus tahun 1986) kemudian dilanjutkan ke SMPN 44 Jakarta (lulus tahun 1989) dan dilanjutkan kembali ke SMAN 5 Surakarta (lulus tahun 1992). Pada tahun 1994 penulis diterima bekerja di Badan Pusat Statistik sampai dengan sekarang pada Subdirektorat Statistik Perkebunan. Memasuki tahun 1997 penulis berkesempatan untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi setelah diterima melalui seleksi penerimaan mahasiswa jalur Tugas Belajar Program Diploma III Akademi Ilmu Statistik (lulus tahun 2000) dan langsung dilanjutkan ke Program Diploma IV Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (lulus tahun 2001). Selama bekerja penulis aktif terlibat dalam kegiatan Survei dan Sensus yang diadakan yang diadakan Badan Pusat Statistik. Selain itu penulis beberapa kali ikut terlibat dalam kegiatan kerjasama yang dilakukan BPS dengan instansi terkait seperti Departemen Pertanian, Komisi Minyak Sawit Indonesia dan Departemen Kehutanan.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur yang sedalam-dalamnya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi. Pada Skripsi ini penulis mengambil judul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Harga Domestik Minyak Sawit (CPO) Indonesia Tahun 1980-2007.” Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini karena begitu besarnya peran kelapa sawit dalam perekonomian Indonesia terutama yang berkaitan harga domestik minyak sawit di Indonesia. Sehubungan dengan selesainya karya akhir tersebut, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ibu Ir. Wiwiek Rindayanti, M.Si selaku dosen pembimbing yang dengan sabar telah memberikan bimbingan secara teknis dan teoritis dalam pembuatan skripsi ini hingga dapat diselesaikan dengan baik 2. Ibu Tanti Novianti, M.Si selaku dosen penguji untuk semua kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini. 3. Orangtua penulis, yaitu ibunda Kasmini atas doa dan dukungannya selama ini. 4. Keluarga penulis, yaitu istri (Iin Suwartini) dan tiga buah hati (Fathur Nurhafizh, Muhammad Fauzan dan Harish Fadilah) atas doa dan dukungannya selama ini . 5. Rekan-rekan penulis di Subdirektorat Statistik Perkebunan, Badan Pusat Statistik atas bantuan dan dukungannya . 6. Rekan-rekan peserta program Matrikulasi Pra S2 Ilmu Ekonomi. 7. Serta semua pihak yang mendukung penulis baik moril maupun materil yang tidak sempat disebutkan namanya hingga terselesaikannya skripsi ini. Terima Kasih.
Penulis menyadari penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, September 2008
Hariyanto H14084006
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL......................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR.................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................. v
I.
PENDAHULUAN.............................................................................. 1 1.1 Latar Belakang Penelitian .......................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah.................................................................... 5 1.3 Tujuan Penelitian........................................................................ 5 1.4 Manfaat Penelitian...................................................................... 6 1.5 Ruang Lingkup Penelitian.......................................................... 6
II.
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN............ 8 2.1 Teori Penawaran dan Permintaan.............................................. 8 2.2 Perdagangan Internasional......................................................... 11 2.2.1
Landasan Teori Perdagangan Internasional................... 11
2.2.2
Teori Perdagangan Internasional................................... 12
2.3 Penelitian Terdahulu.................................................................. 14 2.4 Hubungan Antara Variabel Dependent dan Independent.......... 16 2.4.1
Sisi Penawaran............................................................... 16
2.4.2
Sisi Permintaan.............................................................. 18
2.5 Kerangka Pemikiran.................................................................. 19 2.6 Hipotesa..................................................................................... 22 III.
METODOLOGI PENELITIAN....................................................... 23 3.1 Waktu Penelitian....................................................................... 23 3.2 Jenis dan Sumber Data.............................................................. 23 3.3 Metode Pengumpulan Data....................................................... 23 3.4 Variabel dan Definisi Operasional............................................ 24 3.5 Metode Analisa Data................................................................. 25 3.5.1
Analisa Deskriptif.......................................................... 26
ii
3.5.2
Analisa Regresi Berganda............................................. 26
3.6 Pengujian Hipotesa dan Uji Asumsi Klasik.............................
IV.
27
3.6.1
Pengujian Hipotesis...................................................... 27
3.6.2
Uji Asumsi Klasik......................................................... 29
HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................
33
4.1. Gambaran Umum...................................................................... 33 4.1.1
Perkembangan Harga Domestik.................................... 36
4.1.2
Perkembangan Volume Produksi.................................. 40
4.1.3
Perkembangan Ekspor................................................... 43
4.1.4
Perkembangan Impor.................................................... 46
4.1.5
Perkembangan Konsumsi.............................................. 47
4.1.6
Perkembangan Harga Dunia......................................... 49
4.2. Analisa Regresi......................................................................... 50 4.3. Hasil Pengujian Hipotesa.......................................................... 51 4.3.1
Hasil Uji Statistik.......................................................... 51
4.3.2
Hasil Pengujian Variabel Yang Paling Dominan.......... 54
4.4. Hasil Uji Asumsi Klasik............................................................ 55
V.
4.4.1
Uji Normalitas............................................................... 55
4.4.2
Uji Multikolinearitas..................................................... 56
4.4.3
Uji Autokorelasi............................................................ 56
4.4.4
Uji Heterokedastisitas................................................... 57
KESIMPULAN DAN SARAN........................................................ 60 Kesimpulan ............................................................................... 60 Saran.......................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 63 LAMPIRAN.................................................................................................. 65
iii
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel 1
Halaman Luas dan Produksi CPO Indonesia Menurut Status Pengusahaan Tahun 2003-2007................................................ 42
Tabel 2
Hasil Estimasi variabel Produksi, Harga dunia, Ekspor, Impor, Dan Konsumsi terhadap Harga domestik.................................. 50
Tabel 3
Hasil uji signifikansi serentak (uji F).......................................
52
Tabel 4
Hasil uji R2 dan Durbin Watson Test......................................... 54
Tabel 5
Hasil uji Heterokedastisitas dengan Uji White......................... 57
iv
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
Gambar 1
Pergeseran kurva Permintaan dan Penawaran..........................
9
Gambar 2
Kerangka Pikir.......................................................................... 21
Gambar 3
Perkembangan Harga Domestik CPO Indonesia Tahun 1980-2007................................................................................. 37
Gambar 4
Perkembangan Volume Produksi CPO Indonesia Tahun 1980-2007................................................................................. 41
Gambar 5
Perkembangan Volume Produksi CPO Indonesia Menurut Status Pengusahaan Tahun 1980-2007..................................... 43
Gambar 6
Perkembangan Ekspor CPO Indonesia Tahun 1980-2007......
Gambar 7
Persentase Volume Ekspor CPO Indonesia Menurut Negara
44
Tujuan Tahun 1980-2007.......................................................... 45 Gambar 8
Perkembangan Volume Impor CPO Indonesia Tahun 1980-2007................................................................................. 46
Gambar 9
Perkembangan Volume KonsumsiCPO Indonesia Tahun 1980-2007................................................................................. 47
Gambar 10 Persentase Volume Konsumsi CPO Indonesia Menurut Jenis Produk Industri ...............................................................
48
Gambar 11 Perkembangan Harga Dunia CPO Tahun 1980-2007..............
49
Gambar 12 Hasil uji Jarque Bera................................................................
55
v
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
Lampiran 1
Data Penelitian yang dimasukkan dalam model estimasi..
64
Lampiran 2
Model Regresi Harga Domestik Minyak Sawit.................
65
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam Perekonomian Indonesia Kelapa Sawit mempunyai peranan yang cukup strategis. Pertama, minyak kelapa sawit merupakan bahan baku utama minyak goreng, sehingga pasokan yang kontinyu ikut menjaga kestabilan harga minyak goreng tersebut. Kestabilan ini penting sebab minyak goreng merupakan salah satu dari 9 bahan pokok kebutuhan masyarakat sehingga harganya harus terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Kedua, sebagai salah satu komoditi pertanian andalan ekspor non migas, komoditi ini mempunyai prospek yang baik sebagai sumber dalam perolehan devisa maupun pajak. Ketiga, dalam proses produksi maupun pengolahan, mampu menciptakan kesempatan kerja dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Soetrisno, 1991). Semakin pentingnya kedudukan minyak kelapa sawit (CPO) sebagai bahan baku minyak goreng di satu pihak dan perolehan devisa di lain pihak menyebabkan pemerintah dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kepentingan untuk menjaga harga minyak goreng sebagai salah satu bahan kebutuhan pokok atau kepentingan meningkatkan perolehan devisa (Rachman dan Subroto, 1999). Pilihan sulit ini dapat dirasakan ketika nilai tukar mata uang rupiah melemah sejak pertengahan 1997. Dengan menurunnya nilai mata uang rupiah, produsen CPO lebih condong untuk melakukan ekspor daripada memenuhi kebutuhan dalam negeri. Produsen dengan berbagai cara berusaha untuk dapat mengekspor
2
sebanyak-banyaknya. Akibatnya stok minyak goreng di dalam negeri menurun, yang pada gilirannya akan meningkatkan harga. Untuk melindungi konsumen dalam negeri, maka pemerintah berusaha membatasi ekspor minyak kelapa sawit ini. Pembatasan melalui kuota ekspor ternyata tidak berhasil, maka kemudian ditempuh melalui kebijaksanaan pada sistem perpajakan, yaitu dengan memungut pajak ekspor CPO. Namun demikian penetapan PE CPO yang tinggi tidak serta merta menurunkan harga CPO dalam negeri karena produsen akan tetap mengekspor CPO ke luar negeri selama masih ada selisih keuntungan harga jual setelah ditambah Pajak Ekspor. Selain itu penetapan harga ekspor CPO justru menurunkan harga jual Tandan Buah Segar Kelapa sawit di tingkat petani sehingga membuat petani kelapa sawit merugi. Dampak lain dari penerapan PE CPO ini adalah menurunnya daya saing ekspor minyak sawit Indonesia di pasar Internasional. Harga jual ekspor CPO Indonesia menjadi tidak kompetitif karena harus terbebani oleh tambahan Pajak Ekspor. Hal ini akan mendorong pembeli CPO di luar negeri untuk beralih ke negara lain yang menjual minyak sawit dengan harga yang lebih murah. Sebagai komoditi yang diperdagangkan di pasar Internasional maka pengaruh dari supply dan demand
komoditi ini turut berperan dalam
pembentukan harga di dalam negeri (domestik). Kestabilan harga di dalam negeri sangat penting guna menjamin ketersediaan minyak sawit sebagai bahan baku industri khususnya industri minyak goreng. Dalam beberapa waktu yang lalu Indonesia sempat mengalami beberapa kali kelangkaan minyak goreng akibat
3
berkurangnya pasokan bahan baku minyak sawit. Kurangnya pasokan bahan baku minyak sawit untuk kebutuhan industri minyak goreng dikarenakan sebagian besar produsen minyak sawit lebih memilih menjual produknya keluar negeri (ekspor) daripada menjual ke industri minyak goreng di dalam negeri. Hal ini disebabkan karena tingginya harga minyak CPO di pasaran internasional. Kestabilan harga CPO dalam negeri menjadi hal yang mutlak untuk menjadi perhatian Pemerintah. Hal ini cukup beralasan karena minyak sawit merupakan bahan baku utama dari industri minyak goreng yang merupakan salah satu dari sembilan bahan kebutuhan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Dalam sejarah tercatat beberapa kali rezim Pemerintahan di Indonesia jatuh dari tampuk kekuasaan yang salah satu sebabnya karena tidak mampu mengendalikan harga. Kebijakan ekonomi yang diambil Pemerintah tidak bisa dilepaskan dari kebijakan untuk mengendalikan harga termasuk harga minyak sawit. Karena itu untuk menjaga agar tingkat harga minyak sawit di dalam negeri tetap stabil maka kita perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya baik dari sisi penawaran
maupun
permintaannya.
Dari
sisi
penawaran,
kita
harus
memperhatikan kecukupan kebutuhan dalam negeri dengan terus meningkatkan produksi kelapa sawit baik di Perkebunan milik negara, swasta maupun rakyat. Sedangkan di sisi permintaan selain untuk konsumsi dalam negeri, harus diperhatikan juga besarnya permintaan konsumsi dunia lewat jalur ekspor. Hal ini penting karena besarnya permintaan ekspor akan mengganggu pemenuhan bagi konsumsi dalam negeri.
4
Menunut data terakhir yang diterbitkan Oil World, saat ini Indonesia menjadi negara eksportir minyak sawit terbesar kedua di dunia setelah Malaysia. Untuk tahun 2007 saja total nilai ekspor minyak sawit Indonesia ke berbagai negara mencapai US$ 7,8 milyar dengan total volume sebesar 11,8 juta ton (BPS, 2007). Angka tersebut belum termasuk nilai ekspor dari produk turunan kelapa sawit lainnnya yang mencapai total sebesar US$ 9,4 milyar. Besarnya peran ekspor minyak sawit Indonesia, disatu sisi cukup membanggakan sebagai salah satu penghasil devisa bagi keuangan negara namun di sisi lain ekspor yang terus meningkat akan mengakibatkan kelangkaan pasokan CPO di dalam negeri sehingga akan menyebabkan peningkatan harga. Kesimbangan antara supply dan demand inilah yang menjadi perhatian kita dalam menentukan arah kebijakan stabilisasi harga minyak sawit di dalam negeri. Dalam beberapa tahun kedepan fluktuasi harga minyak sawit tidak hanya dipengaruhi oleh permintaan produk ini untuk keperluan industri makanan tapi lebih dari itu dimasa depan CPO akan menjadi andalan salah satu sumber bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil.
Pergerakan harga CPO dalam
beberapa tahun terakhir di pasar internasional juga dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak bumi. Karena itu di masa datang peran minyak sawit akan sangat penting dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia baik sebagai sumber bahan makanan juga sebagai sumber bahan bakar alternatif. Pentingnya peran minyak kelapa sawit inilah yang membuat komoditi ini menarik untuk dianalisa terutama dilihat dari sisi perkembangan harga domestik yang selalu berfluktuasi dari tahun ke tahun. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh
5
penawaran dan permintaan minyak sawit itu sendiri seperti Harga dunia, Produksi, Ekspor, Impor dan Konsumsi di Indonesia.
1.2 Perumusan Masalah Adanya faktor-faktor yang mempengaruhi harga domestik minyak sawit menyebabkan tingkat harga domestik yang selalu berfluktuasi dari waktu ke waktu. Berangkat dari hal inilah penelitian ini ingin melihat : a. Apakah produksi, ekspor, impor, konsumsi dan harga dunia berpengaruh signifikan terhadap harga domestik minyak kelapa sawit di Indonesia ? b. Faktor manakah yang paling dominan dalam mempengaruhi harga domestik minyak kelapa sawit di Indonesia ?
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Untuk menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi harga domestik minyak sawit di Indonesia.
2.
Untuk mengetahui faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi harga domestik minyak sawit di Indonesia
6
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Bagi peneliti: Penelitian ini merupakan wahana untuk mengaplikasi teori yang telah dipelajari selama ini dengan kenyataan empirik di lapangan disamping menambah ketrampilan serta wawasan penulis dalam menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi harga domestik minyak sawit
di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memperluas wawasan penulis dalam bidang teori penawaran dan permintaan serta teori perdagangan internasional 2.
Bagi masyarakat: sebagai informasi yang bermanfaat bagi masyarakat secara umum.
3.
Bagi pemerintah: Sebagai informasi yang bermanfaat bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakannya, terutama yang berkaitan dengan tata niaga minyak sawit menyangkut masalah pengaturan ekspor CPO dan penyediaan bahan baku bagi industri hilir CPO di dalam negeri dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi harga domestik minyak sawit seperti Produksi, konsumsi, ekspor, impor dan harga dunia.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah penelitian yang bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga minyak sawit
7
di Indonesia sebagai salah satu Negara kecil dengan sistem perekonomian terbuka. Minyak sawit yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) dan Minyak sawit lainnya dengan kode HS (151110000 dan 151190000). Dalam penelitian ini variabel yang mempengaruhi dibatasi pada pengaruh Volume Produksi, Ekspor, Impor, Konsumsi dan Harga Dunia. Data yang digunakan berupa angka agregat nasional yang merupakan series data tahun 1980 sampai 2007 yang diperoleh dari berbagai sumber seperti Badan Pusat Statistik, dan Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Teori Penawaran dan Permintaan
Teori
penawaran
dan
permintaan
dalam
ilmu
ekonomi
adalah
penggambarkan atas hubungan-hubungan di pasar, antara para calon pembeli dan penjual dari suatu barang. Model penawaran dan permintaan digunakan untuk menentukan harga dan kuantitas yang terjual di pasar. Model ini sangat penting untuk melakukan analisa ekonomi mikro terhadap perilaku para pembeli dan penjual, serta interaksi mereka di pasar. Ia juga digunakan sebagai titik tolak bagi berbagai model dan teori ekonomi lainnya. Model ini memperkirakan bahwa dalam suatu pasar yang kompetitif, harga akan berfungsi sebagai penyeimbang antara kuantitas yang diminta oleh konsumen dan kuantitas yang ditawarkan oleh produsen, sehingga terciptalah keseimbangan ekonomi antara harga dan kuantitas.
Keadaan di pasar dikatakan dalam kesimbangan atau equilibrium apabila jumlah yang ditawarkan para penjual pada suatu harga tertentu adalah sama dengan jumlah yang diminta para pembeli pada harga tersebut, harga suatu barang dan jumlah barang yang diperjualbelikan adalah ditentukan keadaan kesimbangan dalam suatu pasar (Sukirno, 1997).
Kesimbangan dalam pasar dapat berubah setiap saat yang disebabkan karena terjadinya pergeseran-pergeseran dari kurva permintaan dan penawaran. Perubahan dalam kesimbangan pasar akan berpengaruh pada jumlah dan harga
9
yang disepakati antara penjual dan pembeli. Pergeseran pada kurva demand karena penambahan permintaan mengakibatkan kurva demand bergeser ke kanan Pada kondisi ini terjadi kelebihan permintaan dimana jumlah barang yang diminta lebih banyak (dengan asumsi supply yang tetap) sehingga menyebabkan harga naik yang berarti hubungan antara penambahan dengan peningkatan harga adalah berbanding lurus atau positif. Hal yang berbeda, terjadi bila terjadi penambahan penawaran. Pada kondisi ini terjadi kelebihan penawaran yang berakibat jumlah barang yang melimpah di pasar (dengan asumsi demand yang tetap) sehingga kurva Supply bergeser ke kanan yang berakibat terjadinya penurunan harga atau dengan kata lain hubungan antara peningkatan penawaran dengan peningkatan harga adalah berbanding terbalik atau negatif.
Demand Shift
Supply Shift
Price
S
Price
S1 S2
P2
P1
P1
D2 D1 Quantity
P2 D Quantity
Sumber : Nicholson, Walter (2002)
Gambar 1 Pergeseran kurva Permintaan dan Penawaran
Dalam perdagangan komoditi minyak sawit ada beberapa hal yang dapat menjadi sebab bergesernya kurva penawaran seperti yang tampak pada Gambar 1 diantaranya : kondisi iklim yang menyebabkan gagal panen, siklus dari tanaman
10
kelapa sawit dan peraturan/kebijakan dalam perdagangan (bea masuk, tarif atau pajak ekspor). Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan pegeseran kurva permintaan antara lain : pendapatan, harga produk substitusi, jumlah penduduk, selera
dan peraturan/kebijakan dalam perdagangan. Pergeseran antara kurva
permintaan dan penawaran akan membentuk harga baru di pasar. Kecepatan dan efisiensi dari penyesuaian harga yang terjadi akan tergantung dari struktur pasar di mana suatu komoditas diperdagangkan.
Arianto (2008) dalam penelitiannya mengenai prilaku harga minyak sawit mengemukaan beberapa karakteristik dari struktur pasar antara lain adalah :
1. Jumlah pembeli dan penjual – semakin besar pelaku pasar, semakin meningkat price competitiveness. 2. Homogenitas dari komoditas dalam hal varietas, tipe, kualitas, dan karakteristik yang diinginkan pengguna akhir – semakin bervariasi suatu produk, maka semakin bervariasi tingkat harga di antara produk dan pasar. 3. Jumlah dari produk substitusi – semakin banyak subsitusi, maka pembeli akan semakin memiliki alternatif pilihan, dan semakin price sensitif. 4. Kemampuan simpanan dari komoditas – semakin mampu disimpan, maka penjual akan semakin memiliki pilihan kapan dan pada kondisi apa komoditas akan dijual. 5. Transparansi dari formasi harga, misalnya pelelangan terbuka dibanding kontrak privat – semakin transparan akan menjaga terjadinya manipulasi harga.
11
6. Kemudahan memindahtangankan komoditas di antara pembeli dan penjual dan antar pasar – semakin memiliki mobilitas tinggi maka akan semakin memiliki kesamaan tingkat harga. 7. Restriksi artifisial pada proses di pasar, misalnya kebijakan pemerintah atau kolusi pasar dari para pelaku utama – semakin banyak restriksi akan semakin membuat harga jauh dari posisi keseimbangan natural.
2.2
Perdagangan Internasional
2.2.1 Landasan Teori Perdagangan Internasional Landasan teori lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Perdagangan Internasional. Dasar teori perdagangan internasional adalah “Gains from Trade” artinya perdagangan internasional dapat terjadi karena salah satu Negara atau kedua Negara yang melakukan perdagangan melihat adanya keuntungan dari pertukaran tersebut. Hal ini bermanfaat untuk memperluas pasar bagi barang yang dihasilkan dalam negeri, memenuhi kebutuhan barang yang tidak diproduksi dalam negeri, transfer teknologi dan yang terakhir meraih keuntungan komparatif dari spesialisasi ekspor (Jhingan, 1993). Disamping itu terdapat beberapa faktor yang mendorong terjadinya perdagangan internasional yaitu : 1.
Perbedaan sumber daya alam
2.
Perbedaan sumber daya modal
3.
Perbedaan Tenaga kerja
4.
Perbedaan Teknologi
5.
Perbedaan Harga.
12
2.2.2 Teori Perdagangan Internasional Perdagangan internasional sudah menjadi obyek pembahasan para ekonom sejak abad ke 16. Dalam pandangan kaum merkantilisme menyatakan bahwa satusatunya cara bagi sebuah Negara untuk menjadi kaya dan kuat adalah dengan melakukan sebanyak mungkin ekspor dan sesedikit mungkin impor. Surplus ekspor yang dihasilkan selanjutnya akan dibentuk dalam aliran emas lantakan, atau logam-logam mulia, khususnya emas dan perak. Semakin banyak emas dan perak yang dimiliki oleh sebuah Negara, maka semakin kaya dan kuatlah Negara tersebut. Dengan demikian, Negara harus menggunakan seluruh kekuatannya untuk mendorong ekspor dan mengurangi impor (khususnya barang-barang mewah). Namun, oleh karena setiap Negara tidak secara simultan dapat menghasilkan surplus ekspor dan jumlah emas adalah tetap pada suatu waktu tertentu, maka sebuah Negara hanya dapat memperoleh keuntungan dengan mengorbankan Negara lain. Oleh karenanya, kaum merkantilisme
ini
menyebarluaskan nasionalisme ekonomi, dan percaya bahwa akan timbul konflik kepentingan nasional. Pandangan yang berbeda yang disampaikan oleh seorang ilmuwan yang terkenal dengan Teori Keunggulan Absolut (Absolute Advantage) dalam bukunya yang berjudul Wealth of Nation. Adam Smith mengawali penjelasannya dengan kebenaran sederhana bahwa dua Negara akan melakukan perdagangan secara sukarela bila kedua Negara tersebut memperoleh keuntungan. Jika salah satu Negara mempeeroleh keuntungan sementara Negara lain mengalami kerugian,
13
maka hal ini akan mendorong penolakan terhadap perdangangan. Keuntungan dari perdagangan dapat diperoleh dengan mengandalkan keunggulan (effisiensi) dari masing-masing Negara dalam memproduksi suatu barang. Ilmuwan yang lain dalam perdagangan internasional yaitu ekonom dari inggris, David Ricardo (1772-1823) yang terkenal dengan teori “Comparative Advantage” atau keunggulan komparatif. Menurut teori keunggulan komparatif, meskipun suatu Negara kurang effisien atau memiliki kerugian absolut terhadap Negara lain dalam memproduksi suatu barang namun masih bisa melakukan perdagangan yang menguntungkan diantara keduanya. Suatu Negara harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditi yang memilki kerugian absolute lebih kecil (ini merupakan komoditi dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang memilki kerugian absolut lebih besar (komoditi ini memilki kerugian komparatif). Pembahasan perdagangan internasional tentang keunggulan komparatif dari sudut pandang yang berbeda juga dikemukan oleh ekonom dari Swedia Eli Heckser (1879-1952) dan Bertil Ohlin (1889-1979). Teori yang dikemukan oleh kedua ekonom tadi lebih dikenal dengan Teori H-O (Heckser-Ohlin). Ide dasarnya adalah bahwa Negara-negara berbeda dalam sumber daya, terutama dalam faktor produksi yang dimiliki dan faktor kemampuan penawaran (supply) yang berpengaruh terhadap biaya produksi untuk suatu komoditi. Masih menurut teori ini bahwa suatu Negara yang mempunyai kelimpahan faktor produksi tertentu misalnya tenaga kerja (dibanding modal) cenderung akan memproduksi suatu barang dimana biaya produksinya lebih bersifat padat karya (labour intensive).
14
Demikian pula sebaliknya bagi suatu Negara dengan dengan kelimpahan factor modal akan lebih memilih untuk memproduksi barang dengan struktur biaya yang padat modal (capital intensive). Namun dalam perkembangan selanjutnya Teori Heckser-Ohlin kemudian dibantah oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Wassily Leontif pada tahun 1951. Dalam penelitiannya, Leontif menggunakan data-data perdagangan (table input output) Amerika Serikat untuk tahun 1947. Mengingat Amerika Serikat adalah suatu Negara yang mempunyai kelimpahan faktor modal, maka Leontif menduga bahwa Amerika Serikat akan memproduksi dan mengekspor barangbarang padat modal dan mengimpor barang-barang padat tenaga kerja yang merupakan faktor produksi yang langka di Negara itu. Hasil penelitian yang dilakukan Leontif
menemukan bahwa Amerika
Serikat ternyata banyak sekali mengekspor barang-barang yang justru kurang padat modal modal dibandingkan dengan barang-barang yang diimpornya. Hasil temuan ini membuat Leontif meraih hadiah Nobel di bidang ekonomi pada tahun 1973 sekaligus menggoyahkan kesahihan dari teori Heckser-Ohlin. Hail temuan ini menjadi sumber kontroversi selama bertahun-tahun dan dikenal dengan istilah Paradoks Leontif (Leontif Paradoks).
2.3
Penelitian terdahulu Maulana (1995) dalam penelitiaannya mengenai analisis perdagangan
minyak sawit Indonesia di pasar domestik dan pasar Masyarakat Eropa menduga bahwa peubah-peubah penjelas yang secara nyata mempengaruhi harga domestik
15
minyak kelapa sawit (CPO) adalah permintaan domestik, penawaran domestik dan nilai tukar. Aspek permintaan domestik dapat menggunakan indikator besarnya konsumsi dan ekspor minyak kelapa sawit (CPO) sedangkan aspek penawaran domestik dapat digambarkan melalui besarnya produksi dan impor minyak kelapa sawit. Djauhari dan Pasaribu (1995), dalam penelitiannya menyatakan bahwa kondisi harga domestik minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia dari tahun ke tahun umumnya lebih rendah dibandingkan dengan harga ekspornya, perbedaan yang cukup besar ini akan menyebabkan para eksportir lebih tertarik untuk mengekspor daripada menjualnya didalam negeri. Maka dalam hal ini dapat terlihat keterkaitan antara harga domestik minyak kelapa sawit (CPO) dengan ekspor minyak kelapa sawit Indonesia. Buana (1992), dalam penelitiannya menyebutkan harga, produksi dan permintaan minyak nabati yang berfluktuasi berpengaruh terhadap harga minyak goreng dalam negeri. Harga minyak sawit dunia sangat berfluktuasi dan pergerakannya tersusun dari pergerakan siklus bisnis dan musiman. Produksi CPO Indonesia memiliki pola musiman sama dengan panen tandan buah segar dengan puncak pada Oktober dan Desember serta terendah pada bulan Januari. Drajat (2006), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pergerakan harga minyak sawit di pasar Internasional ditransmisikan ke pasar domestik melalui mekanisme pasar. Secara umum pergerakan harga minyak sawit domestik searah dengan perkembangan harga minyak sawit di pasar Internasional. Dengan memperhatikan pergerakan harga periode 1982-2006 gejolak harga CPO
16
menunjukkan faktor musim dan cenderung mengikuti pergerakan harga musiman 1982-1999. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu adalah penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga domestik minyak sawit pada masa sebelum krisis ekonomi dan setelah krisis ekonomi sedangkan pada penelitian Maulana (1995), Djauhari dan Pasaribu (1995) serta Buana (1992) hanya melihat faktor-faktor yang mempengaruhi harga domestik pada masa sebelum krisis ekonomi atau dengan kata lain referensi waktu penelitian terdahulu dilakukan sebelum tahun 1997. Perbedaan lainnya adalah dalam penelitian ini mengikutsertakan pengaruh harga dunia dan faktor lainnya dalam satu model persamaan sedangkan pada penelitian-penelitian terdahulu seperti pada penelitian
Maulana (1995), pengaruh harga dunia tidak
diikutsertakan dalam model sementara pada penelitian Drajat (2006) hanya melihat pengaruh harga dunia terhadap harga domestik tanpa mengikutsertakan pengaruh faktor lainnya diluar harga dunia. 2.4
Hubungan Antara Variabel Dependent dan Independent
2.4.1 Sisi Penawaran Dilihat dari sisi Penawaran, variabel-varibel yang mempengaruhi kurva penawaran adalah Produksi dan impor. Pergerakan kurva penawaran (Supply Shift) akibat penambahan penawaran (Gambar 1 sisi kiri) membuat kesimbangan dalam pasar berubah sehingga jumlah barang yang diperdagangkan bertambah namun dengan harga yang lebih rendah atau dengan kata lain hubungan antara perubahan penawaran dengan perubahan harga adalah berbanding terbalik
17
(negatif). Penjelasan masing-masing variabel ditinjau dari sisi penawaran adalah sebagai berikut : 1.
Pengaruh Produksi terhadap harga domestik Minyak sawit seperti juga komoditi lain secara relatif harganya tergantung pada pasokan CPO dalam halnya ini produksi dalam negeri. Semakin besar produksi akan menyebabkan pasokan barang yang melimpah di pasar sehingga harga akan turun. Dengan demikian secara umum pengaruh produksi dengan harga domestik adalah berhubungan negatif dimana jika semakin besar produksi CPO maka harga domestik akan semakin turun harganya.
2.
Pengaruh Impor terhadap harga domestik Kekurangan pemenuhan kebutuhan CPO didalam negeri membuat produsen industri hilir minyak sawit berusaha memenuhinya dengan melakukan impor. Sejak tahun 1982 impor CPO mulai dilakukan di Indonesia walaupun secara volume besarnya tidak terlalu signifikan bila dibandingkan total konsumsinya. Dari sudut
pandang
mekanisme pasar yang berlaku semakin banyak impor maka harga domestik akan semakin turun. Pengaruh impor dalam kenyataannya mempunyai pengaruh yang sama dengan produksi dimana baik produksi maupun impor sama-sama menambah penyediaan atau dengan kata lain menambah penawaran. Dengan demikian pengaruh Impor dengan harga dalam negeri adalah berhubungan negatif. Hal
18
ini berarti semakin besar volume impor maka harga CPO dalam negeri akan semakin turun.
2.4.2 Sisi Permintaan Dilihat dari sisi Permintaan, variabel-varibel yang mempengaruhi kurva Permintaan
adalah Ekspor, Konsumsi dan Harga Dunia. Pergerakan kurva
Permintaan (Demand Shift) akibat penambahan Permintaan (Gambar 1 sisi kanan) membuat kesimbangan dalam pasar berubah sehingga
jumlah barang yang
diperdagangkan bertambah namun dengan harga yang lebih tinggi atau dengan kata lain hubungan antara perubahan permintaan dengan perubahan harga adalah berbanding lurus (positif). Penjelasan masing-masing variabel ditinjau dari sisi penawaran adalah sebagai berikut : 1.
Pengaruh Ekspor terhadap harga domestik. Peningkatan
Volume
ekspor
CPO
dengan
sendirinya
akan
mengurangi persediaan CPO didalam Negeri. Berkurangnya pasokan CPO untuk industri dalam negeri akan berpengaruh terhadap harga CPO domestik. Akibatnya harga akan naik mengikuti mekasnisme pasar. Semakin banyak CPO yang diekspor maka akan semakin meningkatkan harga CPO di dalam negeri sehingga hubungan antara perubahan ekspor dan harga adalah berbanding lurus atau positif. 2.
Pengaruh Konsumsi terhadap harga domestik Pengaruh konsumsi suatu barang terhadap harga barang itu sendiri adalah dua hal yang saling mempengaruhi. Semakin besar konsumsi suatu barang
maka harga barang tersebut akan cenderung naik.
19
Dalam kondisi pasokan suatu barang yang sudah tertentu, penambahan peningkatan permintaan dengan sendirinya akan meningkat harga dari barang itu sendiri. Hubungan antara variabel konsumsi dengan harga domestik adalah berbanding lurus (positif) yang artinya bila terjadi peningkatan konsumsi maka akan meningkatkan harga domestik CPO. 3.
Pengaruh Harga Dunia terhadap harga domestik Pembentukan harga domestik CPO di Indonesia tidak bisa dilepaskan pengaruhnya membuat harga komoditi ini di dalam negeri akan ikut berfluktuasi manakala harga dunia mengalami perubahan. Harga dunia yang meningkat akan mendorong produsen CPO dalam negeri untuk menjual produknya keluar negeri daripada harus menjual ke konsumen dalam negeri. Banyaknya produsen CPO yang menjual ke luar negeri akan mengurangi pasokan dalam negeri yang pada akhirnya meningkatkan harga dalam negeri. Dengan demikian pengaruh antara harga dunia dengan harga domestik adalah berhubungan positif yang artinya semakin tinggi harga dunia maka semakin tinggi pula harga di dalam negeri.
2.5
Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran menunjukkan mekanisme dari penelitian yang dilakukan, dimana penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh dari Volume produksi, Ekspor, Impor, Konsumsi harga dunia terhadap harga domestik
20
minyak sawit di Indonesia. Variabel-variabel diambil berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Maulana (1995), Buana (1992),
Jauhari dan
Pasaribu (1995) serta Drajat (2006). Variabel Produksi dan impor merupakan variabel yang mempengaruhi penawaran sedangkan Ekspor, konsumsi dan harga dunia sebagai variabel yang mempengaruhi permintaan. Terdapat dua alasan mengapa analisis harga komoditas ini menjadi penting untuk dilakukan, yaitu: (1) Untuk mengestimasi koefisien (parameter) ekonomi tertentu seperti elastisitas permintaan dari harga komoditas dan (2) Untuk meramalkan harga pada masa mendatang dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat harga komoditas tertentu.
Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa deskriptif dan analisa regresi linier berganda. Analisa dekriptif digunakan untuk melihat gambaran secara umum perkembangan variabel-variabel yang mempengaruhi harga domestik dari tahun ke tahun sedangkan analisa regresi linier berganda digunakan untuk melihat signifikansi dari masing-masing variabel yang mempengaruhi harga domestik minyak sawit di Indonesia.
Analisa faktor-faktor yang mempengaruhi harga domestik minyak sawit di Indonesia pada tahun 1980-2007 dilakukan dengan cara :
1.
Merumuskan masalah yang ada dan mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi harga domestik minyak sawit di Indonesia. Variabelvariabel tersebut adalah produksi, harga dunia, ekspor, impor dan konsumsi dalam negeri.
21
2.
Membuat model pendugaan untuk menganalisi faktor-faktor yang mempengaruhi harga domestik.Dari hasil analisa regresi linier berganda akan ditarik suatu kesimpulan guna menjawab permasalahan dalam penelitian ini.
Adapun kerangka pemikiran penelitian ini adalah sebagai berikut:
Produktifitas
Luas Areal
Produksi TBS
Produksi PKO
Produksi Oleokimia
Demand Side Produksi CPO
Impor CPO
Analisa Deskriptif dan Regresi
Harga Domestik CPO
Ekspor CPO
Konsumsi CPO
Harga Dunia CPO
Produksi Minyak goreng
Keterangan : ----------- Hal yang dianalisa
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian
Supply Side
Hasil dan Pembahasan Kesimpulan dan Saran
22
2.6
Hipotesis Hipotesis yang disusun dalam penelitian ini adalah:
1.
Diduga bahwa pengaruh volume produksi dan impor berhubungan negatif terhadap harga domestik sementara pengaruh ekspor, konsumsi dan harga dunia berhubungan positif terhadap harga domestik minyak sawit di Indonesia
2.
Diduga bahwa ekspor berpengaruh dominan terhadap harga domestik minyak sawit di Indonesia.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Waktu Penelitian Waktu penelitan ini dilakukan pada tahun 2008 dengan menggunakan
series data volume produksi, ekspor, impor, konsumsi, harga domestik dan harga dunia CPO antara tahun 1980-2007.
3.2
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam Penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari berbagai sumber. Data Ekspor, impor dan konsumsi diperoleh dari Badan Pusat Statistik, data Produksi diperoleh dari Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian sedangkan data Harga domestik dan harga dunia diperoleh dari
Direktorat Jenderal Perkebunan
Departemen Pertanian. Data tersebut berupa data time series mulai tahun 19802007.
3.3
Metode Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mencatat data-
data yang diperoleh dari beberapa lembaga sumber data diantaranya adalah Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
24
3.4
Variabel dan Definisi Operasional Variabel adalah elemen dasar dalam aljabar, biasanya disebut X, Y dan
sebagainya yang besarnya tertentu (given) untuk setiap nilai numerik dalam persamaan (Nicholson, 2002). Agar variabel bisa dioperasionalkan dalam sebuah penelitian, maka harus jelas pengukurannya. Variabel yang diamati dalam penelitian ini merujuk pada literatur yang telah dibaca oleh penulis, yaitu: 1. Variabel terikat (Y) atau dependen variabel adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh satu atau serangkaian nilai variabel lain. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkat harga domestik Minyak sawit 1980-2007. Variabel Y diukur dalam rupiah/kg. 2. Variabel bebas (X) atau independen variabel adalah variabel yang nilainya tidak dipengaruhi oleh perilaku variabel lain dan memiliki serangkaian nilai tertentu. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Volume Produksi (X1) Volume Produksi adalah jumlah total produksi minyak sawit yang dihasilkan oleh seluruh perkebunan baik yang berasal dari Perkebunan
Rakyat,
Perkebunan
Besar
Negara
maupun
Perkebunan Besar Swasta. Variabel X1 diukur dalam satuan ton. b. Harga Domestik (X2) Harga domestik adalah harga rata-rata penjualan minyak sawit di tingkat perdagangan besar. Variabel X3 Rp/Kg.
diukur dalam satuan
25
c. Ekspor (X3) Ekspor adalah jumlah total minyak sawit yang di ekspor ke berbagai negara sesuai dengan jumlah yang dilaporkan dalam Dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Variabel X3 diukur dalam satuan ton. d. Impor (X4). Impor adalah jumlah total minyak sawit yang di Impor dari berbagai negara sesuai dengan jumlah yang dilaporkan dalam Dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Variabel X4 diukur dalam satuan ton. e. Konsumsi dalam negeri (X5) Konsumsi dalam negeri adalah jumlah total produksi minyak sawit dikonsumsi oleh sejumlah industri hilir CPO di dalam negeri. Industri yang mengkonsumsi CPO berasal dari Industri makanan dan non makanan Variabel X5 diukur dalam satuan ton.
3.5
Metode Analisa Data Pada penelitian ini pembahasan dilakukan dengan menggunakan analisa
deskriptif dan analisa regresi linier berganda dengan metode OLS (Ordinary Least Square).
26
Analisa Deskriptif Dalam analisa deskriptif akan dijelaskan variabel-variabel dari sisi kualitatifnya dengan menggunakan bantuan grafik dan gambar.
Analisa Regresi Berganda Analisa regresi berganda digunakan untuk mengetahui pengaruh dua atau lebih variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikatnya. Rumus regresi linier berganda adalah sebagai berikut : Y=a+b X +b X + b X + b X + b X + e 1
1
2
2
3
3
4
4
5
5
Dimana :
Y = Tingkat harga domestik minyak sawit a = intersep b ,b …b 1
2
5
= koefisien regresi parsial untuk X1,X2,…X5
X = Volume produksi 1 X = Harga dunia 2 X = Ekspor 3 X = Impor 4 X = Konsumsi dalam negeri 5 e = error
27
3.6
Pengujian Hipotesa dan Uji Asumsi Klasik
3.6.1 Pengujian Hipotesis a.
Uji F Uji F merupakan pengujian hubungan regresi secara simultan atau
serentak dari variabel independen terhadap variabel dependen. Uji F ditujukan untuk mengukur tingkat hubungan secara keseluruhan koefisien regresi dari variabel independen tehadap variabel dependen. Pengujian dilakukan dengan tingkat kepercayaan 95 % dengan menggunakan uji F. Rumus Uji F adalah sebagai berikut :
F=
R2 / k 1 − R 2 / (n − k − 1)
(
)
Keterangan : F = f hitung yang selanjutnya dibandingkan dengan F tabel R2 = Koefisien korelasi ganda yang telah ditemukan K = jumlah faktor independen n = jumlah sampel
Apabila diperoleh F hitung > F tabel maka H0 ditolak. Sebaliknya apabila F hitung < F tabel maka H0 diterima, bila H0 ditolak berarti variabel - variabel independen yang diuji mempunyai hubungan yang signifikan dengan variabel dependen.
28
b.
Uji t
Uji t digunakan untuk menguji apakah koefisien regresi dari masing-masing variabel independen secara individu berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel dependen. Rumus yang digunakan pada uji ini adalah : t = dimana : bi
bi Se (b1)
= Penduga bagi β
Se(b1) = standar error bagi β Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan t hitung dengan t tabel. Bila t hitung > dari t tabel, maka H0 ditolak yang berarti bahwa faktor X1, X2, X3, X4, secara parsial memiliki pengaruh terhadap Y. Sebaliknya jika t hitung < dari t tabel, maka H0 diterima yang berarti bahwa faktor X1, X2, X3, X4, secara parsial tidak memiliki pengaruh terhadap Y
c.
Uji Goodness of Fit (R2)
Koefisien determinasi berganda (R2) digunakan untuk mengukur besarnya peranan faktor independen secara keseluruhan terhadap faktor dependennya. R2 memiliki nilai antara 0 dan 1 (0< R2 <1) dimana bila semakin tinggi nilai R2 suatu persamaan regresi tersebut maka akan semakin baik. R2
= Jumlah kuadrat regresi = JKR Jumlah kuadrat total JKT = JKT-JKS = 1- JKS JKT JKT 2 ∑ ei = 1− ∑ yi2
29
3.6.2. Uji Asumsi klasik a.
Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah error term terdistribusi normal, jika data tidak normal maka dikhawatirkan hasil analisis regresi nantinya tidak memberikan kesimpulan yang valid (bias). Normalitas data dapat diukur dengan menggunakan uji Jarque-Bera. Jika Nilai JB test < nilai X2tabel maka hipotesa yang menyatakan bahwa model empiris yang digunakan mempunyai residual atau faktor pengganggu yang berdistribusi normal dapat diterima
b.
Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas adalah situasi dimana terjadi hubungan linier yang kuat antar variabel independen. Kondisi Multikolinearitas dapat ditunjukkan dengan berbagai informasi berikut : 1. Nilai R2 tinggi, tetapi variabel independen banyak yang tidak signifikan. 2. Dengan menghitung koefisien korelasi antar variabel. Apabila koefisiennya rendah, maka tidak terdapat multikolinearitas. Apabila
model
prediksi
kita
memiliki
Multikolinearitas,
akan
memunculkan akibat-akibat sebagai berikut : 1. Estimator masih bisa bersifat BLUE, tetapi memiliki varian dan kovarian yang besar, sehingga sulit dipakai sebagai alat estimasi.
30
2. Interval estimasi cenderung lebar dan nilai statistik uji t akan kecil, sehingga menyebabkan variabel independen tidak signifikan secara statistik dalam mempengaruhi variabel independen. Ada beberapa alternatif dalam menghadapi masalah multikolinearitas antara lain : 1. Membiarkan model kita mengandung multikolinearitas, karena estimatornya masih dapat bersifat BLUE. Sifat BLUE tidak terpengaruh oleh adanya tidaknya korelasi antar variabel independen. Namun harus diketahui bahwa multikolinearitas menyebabkan standar error yang besar. 2. Menambahkan datanya bila memungkinkan, karena masalah multikolinearitas biasanya muncul karena jumlah observasi sedikit. 3. Hilangkan salah satu variabel indenpenden, terutama yang memiliki hubungan linear yang kuat dengan variabel lain. 4. Tranformasikan salah satu (atau beberapa) variabel, termasuk misal dengan melakukan diferensi. Ada tidaknya Multikolinearitas dalam model regresi yang kita hasilkan dapat kita lihat dari hasil VIF (Variance Inflation Factor) dan TOL dari hasil pengolahan data menggunakan SPSS. Jika Nilai VIF yang kita hasilkan < 10 dan TOL > 0,1 maka dapat kita simpulkan bahwa tidak tidak terjadi Multikolinearitas.
31
c.
Uji Autokorelasi
Salah satu asumsi dasar dari metode regresi dengan kuadrat terkecil adalah tidak adanya korelasi antar gangguan. Adanya masalah Autokorelasi ini akan menghasilkan hasil estimasi koefisien yang konsisten dan tidak bias tetapi dengan varian yang besar, atau dengan kata lain hasil penafsiran tidak efisien. Varians estimasi parameter yang tidak efisien ini menyebabkan nilai t hitung cenderung kecil dan hasil pengujian cenderung menerima hipotesis nol (Ho). Cara yang paling sering digunakan untuk mendeteksi adanya autokorelasi adalah dengan uji Durbin-Watson. Uji ini dilakukan dengan membandingkan nilai statistik DW yang dihitung dengan nilai batas atas (DWu ) dan nilai batas bawah (DWl) dari tabel Durbin Watson, dengan memperhatikan jumlah observasi dan jumlah variabel bebas ditambah satu. Selang kepercayaan yang didapat dari hasil pengujian mencakup 5 daerah, yaitu : 1. Kurang dari DWl 2. Antara DWl dan DWu 3. Antara DWu dan 4- DWu 4. Antara 4 – DWu dan 4 - DWl 5. Lebih dari 4 - DWl Jika DW hitung terletak pada interval (1) atau (5) maka model menunjukan adanya masalah autokorelasi. Sedangkan apabila nilai DW
32
hasil perhitungan terletak pada interval (3) maka dalam model tidak terdapat masalah autokorelasi. Bila hasil perhitungan statistik DW terletak pada interval (2) atau (4) maka hasil pengujian tidak dapat disimpulkan. Penjabaran dari penjelasan diatas dapat denga jelas kita lihat pada bagan dibawah ini : Tolak Ho berarti ada korelasi positif 0 dL
d.
Tidak dapat diputuskan
Tidak menolak Tolak Ho Tidak dapat Ho berarti tidak berarti ada diputuskan ada autokorelasi korelasi negatif du 2 4 - du 4 – dL 4
Uji Heterokedastisitas
Asumsi yang dipakai dalam penerapan model regresi linear adalah varians dari setiap gangguan adalah konstan. Heterokedastisitas adalah keadaan dimana asumsi tersebut tidak tercapai. Dampak adanya heterokedastisitas adalah tidak efisien proses estimasi, sementara hasil estimasinya sendiri tetap konsisten dan tidak bias, Dengan adanya masalah Heterokedasitas akan berakibat hasil uji t dan F dapat menjadi tidak berguna (misleading). Untuk mengetahui ada tidak Heterokedastisitas dalam model regresi dapat kita uji white heteroscedasticity-consistent standar errors and covariance yang ada pada program Eviews version 4.1. Apabila hasil Obs*R-Squared < λ2 Tabel maka tidak terdapat Heterokedastisitas. Selain itu dapat dilihat apabila probabilitas hitung > 0,05 maka tidak ditemukan Heterokedastisitas.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Gambaran Umum Dalam perekonomian Indonesia, Minyak kelapa sawit mempunyai peranan
yang penting. Pentingnya kelapa sawit disebabkan karena kelapa sawit merupakan sumber pendapatan devisa bagi negara dan menjadi bahan baku bagi berbagai industri seperti minyak goreng, margarin, kosmetika dan lain-lain, Hasil olahan kelapa sawit utamanya berupa minyak sawit/Crude Palm Oil (CPO) dan Minyak Inti Sawit/Palm Kernel Oil (PKO). Minyak kelapa sawit (CPO) memiliki keunggulan dibanding minyak nabati lainnya yaitu antara lain lebuh tahan lama, tahan terhadap tekanan dan suhu serta tidak cepat bau. Karena keunggulan tersebut CPO digunakan sebagai bahan baku
industri yait industri pangan (sebagai bahan baku minyak goreng dan
margarine), industri sabun, industri tekstil dan lain-lain. Pengembangan perkebunan kelapa sawit sejak akhir dasawarsa 1970 an dimaksudkan untuk menghasilkan CPO sebagai bahan baku minyak goreng. Dalam pelaksanaannya dikembangkan pula tujuan-tujuan lain yang sejalan dengan upaya ini, seperti sebagai bagian dari upaya meningkatkan ekspor non migas, meningkatkan nilai tambah sektor pertanian dan meningkatkan pendapatan petani. Minyak goreng yang merupakan salah satu komoditas dalam kelompok sembilan bahan pokok kebutuhan masyarakat, sekitar 59,30% dari total bahan bakunya berasal dari minyak kelapa sawit (CPO). Pemenuhan bahan baku CPO
34
dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan minyak goreng untuk produksi dalam negeri agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Pertumbuhan industri minyak goreng sawit merupakan respon terhadap pertumbuhan permintaan, khususnya permintaan ekspor CPO maupun munyaik goreng yang berkembang cepat. Walaupun produksi CPO meningkat akan tetapi permintaan pasar domestik relatif terbatas, sementara industri minyak sawit di negara penghasil utama Malaysia masih belum mampu mengantisipasi permintaan di pasar dunia maka harga di pasar dunia merupakan faktor penentu utama yang mendorong industri minyak sawit Indonesia. Menurut Kartasamita (1994), penurunan pangsa produksi Malaysia disebabkan keterbatasan areal dan kurangnya tenaga kerja yang dimiliki Malaysia. Hal ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk lebih dapat meningkatkan pangsa produksinya karena memiliki keunggulan komparatif di kedua aspek tersebut. Peranan Minyak kelapa sawit (CPO) dalam perdagangan minyak nabati dunia akan terus meningkat. Pertumbuhannya diperkirakan mencapai 5,4% per tahun (Pasquali, 1993) sehingga melampaui perkembangan minyak nabati lainnya. Pada tahun 1984 terjadi gejolak harga minyak goreng yang menarik perhatian banyak pihak baik konsumen, pengusaha pabrik minyak goreng, penyalur dan pemerintah. Gejolak harga minyak goreng tersebut disebabkan oleh berkurangnya pasokan bahan baku CPO. Ada dua sebab kurangnya pasokan karena banyak CPO yang diekspor oleh pihak pabrik minyak goreng, rangsangan ekspor tadi didorong oleh harga CPO yang relatif tinggi di pasaran dunia. Kedua, diduga adanya ”permainan” dalam alokasi CPO ke pabrik-pabrik minyak goreng (Longgogeni,
35
1984). Krisis harga minyak goreng yang lebih serius terjadi pada tahun 1994. Pada waktu itu penyebabnya berantai yaitu harga CPO di pasar dunia melonjak sampai 80% hanya dalam waktu 10 bulan. Harga CPO yang tinggi di pasar dunia selanjutnya mendorong ekspor CPO besar-besaran, pasokan CPO dalam negeri untuk minyak goreng sangat kurang dan harga CPO dalam negeri mengalami kenaikan mengikuti kenaikan harga di pasar dunia. Akhirnya harga minyak goreng di dalam negeri juga naik dengan cepat. Sebagai komoditi yang bebas diperdagangkan di pasar internasional, perdagangan minyak sawit Indonesia sangat dipengaruhi perdagangan minyak sawit dunia. Oleh karena itu, perubahanperubahan yang terjadi pada lingkungan ekternal tersebut akan berimplikasi pada produksi dan perdagangan minyak sawit dunia. Permintaan dunia terhadap CPO terus mengalami peningkatan cukup pesat akibatnya produsen CPO lebih mengutamakan ekspor daripada menjual ke industri minyak goreng dalam negeri karena harga dunia yang lebih tinggi sehingga pasokan dalam negeri tidak terpenuhi ataupun jika dapat diperoleh harganya sangat tinggi. Fluktuasi harga domestik disebabkan oleh permintaan domestik yang lebih besar daripada kapasitas produksi CPO. Kondisi ini ditunjukkan oleh besarnya kapasitas terpasang industri-indusri pengguna CPO sebagai bahan baku, khususnya kapasitas terpasang industri minyak goreng yang membutuhkan CPO lebih besar daripada produksi CPO per tahun. Disamping itu disebabkan juga oleh peningkatan penggunaan CPO untuk bahan baku industrti bukan minyak goreng. Sipayung (1995) mengemukakan kapasitas produksi industri minyak goreng yang terpakai hingga saat ini hanya 50-60%.
36
Selama ini harga CPO di dalam negeri produksi PBN (Perkebunan Besar Negara) dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Misalnya dengan penentuan pajak ekpor dan ketentuan harga jual domestik. Pangsa CPO domestik adalah 44,6% dari Perkebunan Besar Swasta, 33,6% dari Perkebunan Rakyat dan 20,0% dari Perkebunan Besar Negara. Harga CPO yang ada biasanya dibawah harga ekspor CPO. Perusahaan Perkebunan Swasta mempunyai kebebasan menjual CPO nya maka dalam prakteknya mereka melakukan penjualan ke dalam atau ke luar negeri tergantung kepada harga yang memberi keuntungan. Karena minyak kelapa sawit mentah (CPO) sebagai komoditas ekspor, maka harga domestik CPO yang berfluktuasi diakibatkan keterkaitan antara pasar dalam negeri dengan pasar internasional yang cukup kuat, jadi kebijakan pembatasan ekspor CPO yang ditujukan untuk menjamin Supply minyak goreng tidak mampu menjamin stabilitas harga.
4.1.1 Perkembangan Harga Domestik Pembentukan harga minyak kelapa sawit tidak dapat dilepaskan dengan jumlah produksi, konsumsi dalam negeri, kebijakan pemerintah, harga internasional dan ekspor. Jumlah produksi dan impor dapat dipandang sebagai sisi supply, sedangkan jumlah konsumsi dan ekspor dapat dipandang sebagai sisi demand minyak kelapa sawit. Konsumsi minyak sawit yang meningkat dari tahun ke tahun memicu naiknya harga minyak sawit di pasaran. Sebelum tahun 1979 pembentukan harga ditentukan oleh mekanisme pasar yang berlaku. Demikian
37
pula halnya dengan produksi, pada saat produksi tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri maka secara otomatis harga akan naik. Sebaliknya jika produksi melebihi kebutuhan dalam negeri maka harga akan turun. Namun pembentukan harga minyak sawit dalam negeri tidak hanya dipengaruhi oleh produksi dan konsumsi dalam negeri. Ada faktor lain yang juga berperan seperti kebijakan pemerintah, harga dunia, ekspor dan impor. Memasuki tahun 1979 pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan baru berupa penetapan harga CPO untuk penjualan dalam negeri dan alokasi kebutuhan dalam negeri.. Kebijakan penetapan harga dan alokasi kebutuhan dalam negeri untuk mengantisipasi melonjaknya harga CPO pada saat itu. 8 000 7 000 6 000 5 000 4 000 3 000 2 000 1 000 0 1980
1983
1986
1989
1992
1995
1998
2001
2004
2007
Sumber : Ditjen Perkebunan, Departemen Pertanian
Gambar 3 Perkembangan Harga Domestik CPO Indonesia tahun 1980-2007 (Rp/kg) Dalam kurun waktu lima tahun (1980-1984) harga CPO relatif stabil atau dengan kata lain tidak berfluktuasi terlalu tinggi. Kenaikan harga tertinggi pada
38
periode ini sebesar 19,53% dan terendah 7,77% bahkan pada periode ini harga CPO sempat turun tipis sebesar 1,69%, Memasuki tahun 1984 harga CPO dalam negeri kembali naik cukup drastis sebesar 58,45% dibandingkan tahun sebelumnya. Seiring dengan peningkatan harga, pemerintah mengeluarkan ketetapan baru berupa pajak ekspor CPO sebesar 37,18% dan penetapan harga serta alokasi dan ijin penjualan tetap dipertahankan. Pengaruh harga dunia pada pembentukan harga dalam negeri juga cukup signifikan. Pada kondisi dimana harga CPO dunia meningkat maka para produsen akan terdorong mengekspor CPO ke luar negeri daripada menjualnya di dalam negeri. Dengan demikian ketersediaan CPO akan menurun dan pada akhirnya akan menurunkan penawaran CPO (Sariati, 1996). Hal ini tentunya akan memicu kenaikan harga, walaupun pemerintah menetapkan aturan perijinan ekspor CPO yang ketat dan pajak ekspor yang tinggi tidak akan menyurutkan keinginan produsen untuk mengekspor CPO keluar negeri karena margin keuntungan yang lebih baik. Peningkatan harga CPO didalam negeri beberapa kali sempat mengalami guncangan sepanjang tahun 1980-2007. Saat krisis moneter menimpa Indonesia, mata uang Rupiah terdepresiasi sangat besar terhadap Dolar Amerika. Tercatat pada saat itu US $ 1 setara dengan Rp 15 000. Kondisi seperti ini dimanfaatkan oleh para produsen komoditi yang berorientasi ekspor untuk meningkatkan ekspor sebesar-besarnya karena margin keuntungan yang sangat besar. Banyak petani yang menjadi mendadak jadi orang kaya baru pada saat itu karena besarnya selisih antara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. CPO adalah salah satu komoditi
39
pertanian yang banyak diekspor keluar negeri selain komoditi lainnya seperti Kopi, Lada dan Kakao. Sebagian besar petani di wilayah Sumatera dan Sulawesi yang mengusahakan komoditi pertanian tersebut memperoleh rejeki yang tidak terduga akibat krisis moneter yang bagi kebanyakan penduduk di Indonesia sangat menyengsarakan. Harga CPO yang sangat tinggi di dalam negeri tidak membuat Pemerintah tinggal diam. Untuk menstabilkan harga CPO, pada bulan Juli 1998 sampai Februari 1999 Pemerintah mengeluarkan kebijakan pengenaan Pajak ekspor CPO sebesar 60% (Rosediana, 2005). Kebijakan ini diambil karena dampak dari mahalnya harga CPO yang mengakibatkan harga Minyak goreng juga ikut mahal. Selain itu banyaknya produsen CPO yang mengekspor keluar negeri membuat penyediaan kebutuhan industri dalam negeri ikut terganggu. Kebijakan pengenaan Pajak Ekspor CPO (PE CPO) yang tinggi (sekitar 30-40%) terus dipertahankan Pemerintah sampai dengan sekitar bulan Juni 1999. Memasuki bulan juli 1999 Pemerintah mulai menurunkan PE CPO menjadi hanya sekitar 10%. Sepanjang tahun 2000 sampai dengan 2007 harga CPO terus naik seiring dengan meningkatnya kebutuhan CPO dunia. Sentimen perubahan harga CPO beberapa tahun belakangan tidak hanya dipengaruhi oleh harga CPO dunia tapi juga ikut dipengaruhi oleh perubahan harga minyak dunia. Hal ini dapat dimaklumi karena pada saat ini CPO selain digunakan untuk industri makanan tapi juga sudah mulai digunakan untuk pengganti bahan bakar solar (biodiesel).
40
4.1.2 Perkembangan Volume Produksi Produksi minyak sawit Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya kebutuhan minyak sawit sebagai bahan baku bagi industri-industri hilir yang melakukan pengolahan minyak sawit menjadi barang konsumsi siap pakai seperti sabun, minyak goreng, produk kosmetik dan bahan bakar alternatif. Sembilan puluh persen minyak sawit digunakan untuk industri bahan pangan seperti minyak goreng, margarin, shortening, minyak salad dan sebagainya. Sisanya, 10% lagi digunakan untuk industri non pangan seperti produk kosmetik, oleokimia dan sebagainya. (Kosasih dan Harsono, 1991). Produksi CPO terus meningkat seiring penambahan luas areal perkebunan kelapa sawit di berbagai wilayah. Peningkatan produksi minyak sawit yang berarti terjadi sekitar terjadi sekitar tahun 1992 dimana ada peningkatan produksi sebesar 22,90% dibanding tahun sebelumnya. Peningkatan produksi ini terus berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Pesatnya peningkatan produksi minyak sawit disebabkan oleh adanya pergeseran basis penyediaan minyak goreng dalam negeri dari dominasi minyak kelapa ke dominasi minyak sawit (CPO), sehingga produksi minyak goreng bergeser dari basis industri kecil ke menengah-besar (Indiarto, et al, 1995). Pergeseran basis penyediaan minyak goreng dari minyak kelapa ke minyak sawit (CPO), dikarenakan keunggulan yang dimiliki CPO antara lain : 1. Kecenderungan berasap lebih rendah. 2. Sifat pembakaran yang lebih baik untuk kue dan roti.
41
3. Tingkat perkaratan pada perabot lebih rendah. 4. Tidak menyebabkan kenaikan kadar kolesterol dalam darah. Perkembangan produksi CPO dari tahun 1980-2007 telah menunjukan trend yang cukup meningkat dengan peningkatan produksi sebesar 0,5 juta ton per tahun atau meningkat sebesar 12,50% per tahun (Gambar 4). Saat ini Indonesia telah menjadi produsen CPO terbesar di dunia dengan total produksi sebesar 16,8 juta ton pada tahun 2007. Sebelum tahun 2006 dominasi produksi CPO dunia dipegang oleh negara tetangga Malaysia.
18000 000 16000 000 14000 000 12000 000 10000 000 8000 000 6000 000 4000 000 2000 000 0 1980
1983
1986
1989
1992
1995
1998
2001
2004
2007
Sumber : Badan Pusat Statistik dan Ditjen Perkebunan, Departemen Pertanian
Gambar 4 Perkembangan Volume Produksi CPO Indonesia tahun 1980-2007 (ton) Pangsa produksi CPO di Indonesia saat ini sebagian besar dihasilkan oleh Perusahaan Perkebunan Milik Swasta (PBS). Perusahaan perkebunan milik swasta menguasai sekitar 51,46% dengan jumlah produksi sebesar 8,7 juta ton. Dalam kurun waktu 5 lima tahun seperti tampak pada Tabel 2 produksi dari perkebunan
42
swasta meningkat sebesar 68%. Perusahaan perkebunan swasta ini sebagian besar tergabung dalam satu Holding Company dengan beberapa lokasi kebun yang tersebar di sejumlah wilayah. Group Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang cukup besar antara lain : Bakrie Plantations, London Sumatera Plantations (Lonsum), Socfin, Sinar Mas Group dan Astra Group. Dalam kurun waktu 5 lima tahun
seperti tampak pada Tabel 2 produksi dari perkebunan swasta terus
mengalami peningkatan yang signifikan. Tabel 1. Luas Areal dan Produksi CPO Indonesia Menurut Status Pengusahaaan Tahun 2003-2007 Luas Areal (ha) Tahun
Produksi (ton)
Perk. rakyat
Perk. Besar Negara
Perk. Besar Swasta
2003
1 808 424
631 566
2 627 068
2004
1 854 394
662 803
2005
2 220 338
2006 2007
Perk. rakyat
Perk. Besar Negara
Perk. Besar Swasta
3 517 324
1 750 651
5 172 859
2 766 360
3 847 157
2 013 130
6 466 132
674 983
2 821 705
4 500 769
2 235 827
7 883 234
2 356 895
677 792
2 915 634
5 608 171
2 376 872
8 584 884
2 536 508
692 204
3 056 248
5 810 970
2 388 183
8 691 374
Sumber : Badan Pusat Statistik dan Ditjen Perkebunan, Departemen Pertanian
Peningkatan produksi di perkebunan besar juga diikuti dengan peningkatan pada perkebunan rakyat dalam kurun waktu yang sama produksi dari perkebunan ini juga meningkat sekitar 65%. Sedangkan pada Perkebunan milik Negara peningkatan produksinya tidak sebesar Perkebunan Swasta maupun Perkebunan Rakyat. Pada awal pengembangan komoditi kelapa sawit perkebunan milik negara menguasai sebagian besar lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
43
Secara umum bila dilihat secara grafik peningkatan produksi CPO baik yang berasal dari Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Swasta maupun Perkebunan Besar Negara waktu ke waktu terus menunjukkan peningkatan. Dari total produksi sebesar 16,8 juta CPO setahun Indonesia saat ini menguasai sekitar 44% pangsa produksi CPO dunia disusul Malaysia yang mengusai sekitar 41%.
9000000 8000000 7000000 6000000 5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 0
2002
2003
2004
PR
2005
PBN
2006
2007*
PBS
Sumber : Badan Pusat Statistik dan Ditjen Perkebunan, Departemen Pertanian
Gambar 5 Perkembangan Volume Produksi CPO Indonesia Menurut Status Pengusahaan tahun 2002-2007 (ton)
4.1.3 Perkembangan Ekspor Sejalan dengan terus meningkatnya produksi CPO di Indonesia, ekspor produk kelapa sawit dan produk turunannya juga ikut meningkat. Sepanjang tahun 1980 sampai dengan 2007 ekspor CPO telah mengalami peningkatan sebesar 2261%. Suatu prestasi yang sangat luar biasa. Ekspor CPO saat ini menjadi salah satu komoditas unggulan yang menghasilkan devisa bagi Indonesia. Untuk tahun 2007 dari Ekspor CPO saja Indonesia mampu meraih pendapatan sebesar US $ 7,8 Milyar. Angka itu belum termasuk nilai ekspor produk turunan kelapa sawit di
44
luar CPO seperti produk Palm Kernel Oil dan produk oleochemical lainnya. Perkembangan ekspor produk CPO berbanding lurus dengan perkembangan produksi CPO di dalam negeri.
14000 000 12000 000 10000 000 8000 000 6000 000 4000 000 2000 000 0 1980
1983
1986
1989
1992
1995
1998
2001
2004
2007
Sumber : Badan Pusat Statistik
Gambar 6 Perkembangan Volume Ekspor CPO Indonesia tahun 1980-2007 (ton)
Namun demikian perkembangan ekspor CPO tidak selamanya mengikuti proses mekanisme pasar yang ada. Sejumlah kebijakan yang pernah diterapkan Pemerintah turut mempengaruhi besarnya ekspor CPO Indonesia. Pengenaan Pajak Ekspor CPO dan kewajiban penyediaan CPO bagi industri di dalam negeri adalah sebagian kebijakan yang mengatur masalah tata niaga CPO di Indonesia. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (Gambar 6) ekspor CPO Indonesia mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Demand pasar dunia akan produk
45
ini merangsang produsen CPO dalam negeri untuk terus meningkatkan kapasitas produksi.
India 48%
Other 11% Netherland 10%
Malaysia 5% Italy 2%
Srilangka 2%
Pakistan 4%
China 4%
Germany 5%
Singapore 9%
Sumber : Badan Pusat Statistik
Gambar 7 Persentase Volume Ekspor CPO Indonesia Menurut Negara Tujuan Tahun 2007 Saat ini India merupakan negara tujuan ekspor CPO Indonesia yang paling dominan. Dengan total ekspor sebesar 2,7 juta ton pada tahun 2007, india menjadi negara tujuan ekspor CPO terbesar dengan pangsa ekspor sebesar 48%. Sebagian besar produk CPO Indonesia diekspor ke berbagai negara di Asia dan sebagian lagi ke benua Eropa dan Amerika Serikat. Sebelum tahun 1997 sebagian besar ekspor CPO Indonesia mengalir ke benua Eropa terutama Belanda. Namun akibat isu ”CPO yang tercemar solar” kepercayaan sejumlah negara eropa mulai luntur pada produk CPO Indonesia. Saat ini berbagai negara di benua Eropa memberlakukan syarat khusus bagi produk CPO Indonesia. Hal ini merupakan salah satu bentuk hambatan yang diterapkan sejumlah negara maju terhadap berbagai produk pertanian dari Indonesia.
46
4.1.4 Perkembangan Impor Volume impor CPO Indonesia selama ini tidak terlalu besar jumlahnya. Sebagai negara penghasil CPO terbesar di dunia, perkembangan impor minyak sawit tidak terlalu berpengaruh banyak bagi penyediaan minyak sawit di dalam negeri. Sepanjang tahun 1980-2007 impor minyak sawit terbesar terjadi pada tahun 1989 sebesar 412 ribu ton. Perkembangan impor CPO secara grafik selama ini mengalami fluktuasi yang cukup signifikan.
450 000 400 000 350 000 300 000 250 000 200 000 150 000 100 000 50 000 0 1980
1983
1986
1989
1992
1995
1998
2001
2004
2007
Sumber : Badan Pusat Statistik
Gambar 8 Perkembangan Volume Impor CPO Indonesia tahun 1980-2007 (ton) Secara umum rata-rata impor CPO selama kurun waktu 28 tahun terakhir berkisar antara 1 sampai dengan 412 ribu ton dengan rata-rata total impor per tahun sebesar 70 ribu ton. Angka ini jauh dibawah total kebutuhan CPO dalam negeri yang berkisar antara 4-5 juta ton per tahunnya atau hanya sekitar kurang dari 2% saja.
47
4.1.5 Perkembangan Konsumsi Perkembangan konsumsi CPO Indonesia dalam kurun waktu 20 tahun terakhir mengalami peningkatan yang sangat berarti. Peningkatan konsumsi CPO dalam negeri berbanding lurus dengan pertambahan jumlah penduduk di Indonesia. Sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 2007, konsumsi CPO dalam negeri telah mengalami peningkatan sebesar 2198%. Peningkatan konsumsi CPO untuk kebutuhan industri salah satu sebabnya dikarenakan bergesernya dominasi penggunaan minyak yang berasal dari minyak kelapa ke minyak goreng yang terbuat dari kelapa sawit.
6000 000
5000 000
4000 000
3000 000
2000 000
1000 000
0 1980
1983
1986
1989
1992
1995
1998
2001
2004
2007
Sumber : Badan Pusat Statistik
Gambar 9 Perkembangan Volume Konsumsi CPO Indonesia tahun 1980-2007 (ton) Secara rata-rata konsumsi CPO dalam negeri mengalami peningkatan sebesar 78% per tahun atau mengalami peningkatan sebesar 171 ribu ton setiap tahunnya sejak tahun 1980. Saat ini diperkirakan kebutuhan CPO dalam negeri
48
untuk kebutuhan berbagai industri pengolahan baik makanan maupun bukan makanan berkisar antara 4-5 juta ton per tahunnya. Indonesia termasuk salah satu negara terbesar dalam hal konsumsi minyak sawit.
Oleokimia 17%
Lainnya 5%
Sabun 5%
Margarine 4%
Minyak goreng 69%
Sumber : Ditjen Perkebunan, Departemen Pertanian
Gambar 10 Persentase Volume Konsumsi CPO menurut Jenis Produk industri di Indonesia Dari sekitar 4-5 juta ton konsumsi CPO dalam negeri, sekitar lebih dari 60% digunakan untuk memproduksi minyak goreng sisanya digunakan untuk memproduksi margarine, sabun dan produk oleokimia lainnya. (Gambar 10). Pada beberapa tahun kedepan, dimungkinkan porsi penggunaan minyak sawit akan bergeser dari sekedar penghasil produk makanan beralih menjadi produk bukan makanan. Menipisnya cadangan minyak bumi dunia pada tahun-tahun kedepan akan memicu peningkatan konsumsi minyak sawit sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak solar untuk bahan bakar bermesin diesel. Beberapa SPBU di Jakarta dan beberapa wilayah sudah mulai menjual Biosolar (Solar yang berasal dari minyak sawit) untuk memenuhi kebutuhan minyak solar.
49
4.1.6 Perkembangan Harga Dunia Fluktuasi harga domestik CPO tidak bisa dilepaskan dari pengaruh harga dunia yang terus mengalami perubahan. Naik turunnya harga CPO dunia tidak terlepas dari pengaruh supply dan demand minyak sawit di pasar dunia. Faktor kondisi musim dan siklus tanaman kelapa sawit di berbagai negara adalah adalah faktor-faktor yang menyebabkan perubahan terhadap perubahan harga CPO. Peningkatan harga minyak sawit tertinggi pernah terjadi sekitar 1998 pada saat krisis moneter melanda sebagian besar negara di dunia. 8 000 7 000 6 000 5 000 4 000 3 000 2 000 1 000 0 1980
1983
1986
1989
1992
1995
1998
2001
2004
2007
Sumber : Ditjen Perkebunan, Departemen Pertanian
Gambar 11 Perkembangan Harga Dunia CPO tahun 1980-2007 (Rp/kg) Harga dunia pada tahun 1998 mendekati angka Rp 7000 per kg nya, angka ini merupakan angka tertinggi dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Tingginya harga CPO ini selain harganya yang mahal di pasar dunia juga dikarenakan
50
rendahnya nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat pada waktu itu sehingga membuat harga menjadi lebih mahal.
4.2
Analisa Regresi
Dari hasil pengolahan data diperoleh hasil regresi seperti terlihat pada Tabel 2 dibawah ini : Tabel 2. Hasil estimasi variabel produksi, harga dunia, ekspor, impor, konsumsi terhadap harga domestik Coefficients(a)
Model
1
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
B
Beta
(Constant)
-49.3673
Produksi
Collinearity Statistics
t
Tolerance
VIF
-0.404
-0.0005
-0.196
-4.054
0.341
2.93
Harga dunia
0.4511
0.452
7.603
0.226
4.43
Ekspor
0.0003
0.576
9.773
0.226
4.37
Impor
-0.0006
-0.036
-1.149
0.794
1.26
0.0002
0.175
2.519
0.165
6.07
konsumsi a Dependent Variable: domestik Sumber : Data diolah
Dari tabel diatas dapat dibuat suatu persamaan regresi sebagai berikut : Harga domestik = -49,3673 – 0,0005Produksi + 0,4511harga dunia + 0,0003ekspor – 0,0006impor +0,0002konsumsi t- hitung
(-0,404)
(-4,054)
(7,603)
(9,773)
(-1,149)
(2,519)
Dari persamaan diatas, dapat dilihat bahwa koefisien regresi masing-masing variabel bebas menjelaskan perubahan yang akan terjadi pada variabel terikat. Akibat perubahan masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. β1 = -0,0005 , Apabila Volume Produksi dinaikkan 1 ton maka harga domestik akan turun sebesar Rp 0,0005
51
2. β2= 0,4511 , Apabila harga dunia dinaikkan Rp 1 maka harga domestik akan naik sebesar Rp 0,4511 3. β3 = 0,0003 , Apabila Volume ekspor dinaikkan 1 ton maka harga domestik akan naik sebesar Rp 0,0003 4. β4 = -0,0006 , Apabila Volume impor dinaikkan 1 ton maka harga domestik akan turun sebesar Rp 0,0006 5. β5 = 0,0002 , Apabila konsumsi dinaikkan 1 ton maka harga domestik akan naik sebesar Rp 0,0002.
4.3
Hasil Pengujian Hipotesa Hasil Pengujian Hipotesa dalam Penelitian ini meliputi : Hasil uji statistik,
hasil uji asumsi klasik dan hasil uji faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi harga domestik minyak sawit.
4.3.1 Hasil Uji Statistik Uji statistik terdiri dari uji F, Uji t dan uji R2 dengan menggunakan regresi linier berganda. Tujuan dari uji ini adalah untuk mengetahui apakah variabel independen yang digunakan dalam model ini berpengaruh terhadap varibel harga domestik di Indonesia. Berikut hasil penghitungan :
52
a.
Uji Signifikansi serentak (Uji F) Uji F dilakukan untuk menunjukkan apakah variabel produksi, harga dunia,
ekspor impor dan konsumsi mempunyai pengaruh secara bersama-sama atau serentak terhadap harga domestik. Tabel 3 Hasil uji signifikansi serentak (uji F) ANOVA Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 75885334 1290839 77176173
df 5 21 26
Mean Square 15177066.84 61468.533
F 246.908
Sig. .000
Sumber : Data diolah
Dari hasil estimasi diperoleh Fstatistik
sebesar 246,908 dengan tingkat
signifikansi α = 0,05 serta degree of freedom(df) =5 dan jumlah n=27 diperoleh FTabel sebesar 2,59 dari perhitungan Fstatistik > FTabel (246,908 > 2,59), maka varibel bebas secara serentak berpengaruh terhadap variabel terikat. b.
Uji signifikansi parsial (Uji t) Uji t dilakukan untuk menunjukkan apakah variabel produksi, harga dunia,
ekspor, impor dan konsumsi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel harga domestik. 1.
Variabel produksi Variabel produksi memiliki nilai tstatistik sebesar -4,054 pada tingkat signifikansi α = 0,05 dan jumlah n = 27 diperoleh nilai ttabel sebesar 1,703. Nilai absolut tstatistik > ttabel (4,054 > 1,703), dengan demikian pengujian menunjukkan H0 ditolak. Hasil ini menunjukkan bahwa variabel produksi berpengaruh secara siginifikan terhadap harga domestik.
53
2.
Variabel harga dunia Variabel
harga dunia memiliki nilai tstatistik sebesar 7,603 pada tingkat
signifikansi α = 0,05 dan jumlah n = 27 diperoleh nilai ttabel sebesar 1,703. Nilai absolut tstatistik > ttabel (7,603 > 1,703), dengan demikian pengujian menunjukkan H0 ditolak. Hasil ini menunjukkan bahwa variabel harga dunia berpengaruh secara siginifikan terhadap harga domestik. 3.
Variabel ekspor Variabel produksi memiliki nilai tstatistik sebesar 9,772 pada tingkat signifikansi α = 0,05 dan jumlah n = 27 diperoleh nilai ttabel sebesar 1,703. Nilai absolut tstatistik > ttabel (9,772 > 1,703), dengan demikian pengujian menunjukkan H0 ditolak. Hasil ini menunjukkan bahwa variabel ekspor berpengaruh secara siginifikan terhadap harga domestik.
4.
Varibel impor Variabel impor memiliki nilai tstatistik sebesar 1,149 pada tingkat signifikansi α = 0,05 dan jumlah n = 27 diperoleh nilai ttabel sebesar 1,703. Nilai absolut tstatistik > ttabel (1,149 < 1,703), dengan demikian pengujian menunjukkan H0 diterima. Hasil ini menunjukkan bahwa variabel impor tidak berpengaruh secara siginifikan terhadap harga domestik.
5.
Variabel konsumsi Variabel konsumsi memiliki nilai tstatistik sebesar 2,520 pada tingkat signifikansi α = 0,05 dan jumlah n = 27 diperoleh nilai ttabel sebesar 1,703. Nilai absolut tstatistik > ttabel (2,520 > 1,703), dengan demikian pengujian
54
menunjukkan H0 ditolak. Hasil ini menunjukkan bahwa variabel konsumsi berpengaruh secara siginifikan terhadap harga domestik.
c.
Uji keberartian Model (Uji R2 ) Tabel 4 Hasil Uji R2 dan Durbin Watson Test Model Summary Model 1
R .992
R Square .983
Adjusted R Square .979
Std. Error of the Estimate 247.928
DurbinWatson 1.716
Sumber : Data diolah
Dari hasil estimasi diketahui koefisien determinasi berganda (R-Squared) sebesar 0,983 yang berarti bahwa variabel terikat harga domestik mampu dijelaskan oleh variabel bebas produksi, harga dunia, ekspor, impor dan konsumsi sebesar 98,3% sedangkan 1,7% lainnya dijelaskan oleh variabel yang tidak termasuk dalam model (error).
4.3.2 Hasil Pengujian Variabel Yang Paling Dominan Pengujian variabel yang paling dominan, dilakukan dengan melihat koefisien regresi masing-masing variabel. Variabel bebas yang memiliki koefisien tertinggi akan menunjukkan bahwa variabel tersebut merupakan variabel yang paling dominan mempengaruhi variabel terikatnya. Untuk mengetahui variabel mana yang paling dominan mempengaruhi harga domestik minyak sawit di Indonesia dapat dilihat hasilnya pada Tabel 2. Dari hasil output yang ditampilkan pada Tabel 2 dapat diketahui bahwa ekspor
55
dengan koefisien sebesar 0,576 merupakan variabel yang paling dominan mempengaruhi harga domestik di Indonesia.
4.4
Hasil Uji Asumsi Klasik Uji asumsi klasik dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya penyimpangan
asumsi klasik. Uji meliputi uji normalitas, multikolinearitas, autokorelasi, dan heterokedastisitas.
4.4.1 Uji Normalitas
10 Series: Residuals Sample 2002 2027 Observations 26
8
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
6
4
5.68E-14 -19.90120 498.7607 -487.5327 222.3030 0.342222 3.141447
2 Jarque-Bera Probability
0 -400
-200
0
200
0.529177 0.767522
400
Sumber : Data diolah
Gambar 12 Hasil uji Jarque Bera Uji Normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah faktor pengganggu berdistribusi normal atau tidak. Salah satu tes yang digunakan untuk mendeteksi berdistribusi normal atau tidaknya faktor pengganggunya, yaitu dengan
56
menggunakan Jarque Bera atau JB test. Untuk uji Normalitas ini digunakan software Eviews 4.1 Dari hasil uji normalitas JB test dapat dilihat bahwa besarnya Jarque Bera normality test statistic-nya adalah 0,529177 kemudian dibandingkan dengan X2tabel , df = 5, probabilitas = 0,05 diperoleh nilai 11,070, karena nilai JB test < X2tabel
(0,529177 < 11,070) maka hipotesa yang menyatakan bahwa model
empiris yang digunakan mempunyai residual atau faktor pengganggu yang berdistribusi normal dapat diterima.
4.4.2 Uji Multikolinearitas Uji Multikolinearitas digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan linier antara variabel-variabel bebas dalam suatu model regresi. Cara untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas dalam suatu model adalah dengan melihat nilai VIF . Apabila nilai VIF < 10 maka dapat kita simpulkan bahwa dalam model tidak terdapat multikolinearitas. Dari hasil output pada tabel 1 terlihat bahwa nilai VIF dari masing-masing varibel bebas bernilai kurang dari 10, sehingga dapat kita simpulkan bahwa model yang dihasilkan pada penelitian ini tidak terdapat multikolinearitas.
4.4.3 Uji Autokorelasi Uji autokorelasi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya korelasi antara variabel bebas dan seri korelasi yang disusun menurut waktu (time series) atau menurut lintas waktu (cross section). Salah satu cara yang digunakan untuk
57
mendeteksi gejala autokorelasi dengan melakukan Durbin Watson dari hasil pengolahan menggunakan SPSS 12.0. dapat dapat dilihat Tabel 3 dimana dari hasil penghitungan Nilai Durbin Watson sebesar 1,701. Dengan k=5 dan n=27, diperoleh nilai du= 1,01 dan dl=1,86 dengan demikian nilai DWhitung berada pada wilayah 3 (berada antara du dan 4 - du atau antara 1.03 dan 2.97) yang berarti tidak ada alasan untuk menolak Ho sehingga dapat kita simpulkan bahwa tidak terjadi autokorelasi dalam model regresi yang dihasilkan.
4.4.4 Uji Heterokedastisitas Uji heterokedastisitas dilakukan untuk melihat apakah varian (σ2) suatu variabel terikat (Y) meningkat sebagai akibat dari meningkatnya varian (σ2) variabel bebas (X1, X2, X3, X4, dan X5,). Untuk melihat ada tidaknya heterokedastisitas dapat dilakukan dengan menggunakan uji White (no cross terms).
Apabila
hasil
Obs*R-Squared
<
X2tabel maka
tidak
terdapat
heterokedastisitas. Selain itu dapat dilihat apabila probabilitas hitung > 0.05, maka dapat disimpulkan tidak terdapat heterokedastisitas. Dari hasil penghitungan dengan Eviews 4.1 diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel 5 Hasil uji Heterokedastisitas dengan Uji White White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
1.108528 2.851229
Probability Probability
0.351553 0.240361
Sumber : Data diolah
Dari tabel diperoleh hasil Obs*R-Squared (N*R-Squared=X2) = 16,50849 sedangkan dengan df sebesar 27 dan =0.05 dipeoleh X2tabel = 40,113 karena
58
X2tabel lebih besar dari Obs*R-Squared maka kita simpulkan tidak terdapat heterokedastisitas di dalam regresi. Secara statistik variabel produksi (X ) mempunyai pengaruh yang 1
signifikan terhadap tingkat perubahan harga domestik. Arah koefisien yang negatif menunjukkan bahwa apabila produksi meningkat maka akan menyebabkan penurunan harga domestik. Hal ini sesuai dengan teori karena peningkatan produksi akan menambah jumlah barang yang ada dalam pasar sehingga akan menyebabkan kelebihan penawaran yang berakibat pada turunnya harga. Secara statistik variabel harga dunia (X ) mempunyai pengaruh yang 2
signifikan terhadap tingkat perubahan harga domestik. Arah koefisien yang positif menunjukkan bahwa apabila harga dunia meningkat maka akan menyebabkan kenaikan harga domestik. Hal ini sesuai dengan teori karena kenaikan harga di pasar internasional akan mendorong produsen CPO menjual produknya ke luar negeri sehingga menimbulkan kelangkaan di dalam negeri. Kurangnya pasokan CPO di dalam negeri secara otomatis akan menaikkan harga CPO di dalam negeri. Secara statistik variabel ekspor (X ) mempunyai pengaruh yang signifikan 3
terhadap tingkat perubahan harga domestik. Arah koefisien yang positif menunjukkan bahwa apabila Volume ekspor yang meningkat akan menyebabkan peningkatan pada harga domestik. Hal ini sesuai dengan teori permintaan dimana jika terjadi kelebihan permintaan maka kurva demand akan bergeser ke kanan sehingga harga akan naik. Secara statistik variabel impor
(X ) mempunyai pengaruh yang tidak 4
signifikan terhadap tingkat perubahan harga domestik. Arah koefisien yang
59
negatif menunjukkan bahwa apabila Volume impor yang meningkat akan menyebabkan penurunan pada harga domestik. Hal ini sesuai dengan teori penawaran dimana jika terjadi kelebihan penawaran maka kurva supply akan bergeser ke kanan sehingga harga akan turun. Secara statistik variabel konsumsi (X ) mempunyai pengaruh yang 5
signifikan terhadap tingkat perubahan harga domestik. Arah koefisien yang positif menunjukkan bahwa apabila jumlah konsumsi CPO
meningkat akan
menyebabkan peningkatan pada harga domestik. Hal ini sesuai dengan teori permintaan dimana jika terjadi kelebihan permintaan maka kurva demand akan bergeser ke kanan sehingga harga akan naik.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan Berdasarkan penelitian pada “Faktor-faktor yang mempengaruhi Harga
Minyak Sawit (CPO) di Indonesia tahun 1980-2007,” serta hasil analisa data dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1.
Variabel produksi, harga dunia, ekspor dan konsumsi berpengaruh signifikan terhadap harga domestik. Sedangkan variabel impor tidak berpengaruh secara signifikan terhadap harga domestik Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Variabel produksi menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap harga domestik, dengan arah hubungan yang negatif yang berarti bahwa kenaikan produksi mengakibatkan penurunan harga domestik. Kondisi ini
sesuai dengan teori yang ada karena
peningkatan produksi akan menyebabkan penurunan harga dalam negeri. b. Variabel harga dunia menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap harga domestik, dengan arah hubungan yang positif yang berarti bahwa kenaikan harga dunia mengakibatkan peningkatan harga domestik. Hal ini sesuai dengan teori yang ada dimana peningkatan harga dunia akan meningkatkan harga domestik CPO.
61
c. Variabel ekspor menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap harga domestik, dengan arah hubungan yang positif yang berarti bahwa ekspor mengakibatkan peningkatan harga domestik. Hal ini sesuai dengan teori yang ada dimana peningkatan ekspor akan menyebabkan peningkatan pada harga domestik CPO. d. Variabel konsumsi menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap harga domestik, dengan arah hubungan yang positif yang berarti bahwa kenaikan konsumsi mengakibatkan peningkatan harga domestik. Hal ini sesuai dengan teori yang ada dimana peningkatan konsumsi akan menyebabkan peningkatan harga domestik CPO. e. Variabel impor menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap harga domestik, dengan arah hubungan yang negatif yang berarti bahwa kenaikan impor mengakibatkan penurunan harga domestik. Hal ini sesuai dengan teori yang ada dimana peningkatan impor akan menyebakan penurunan harga domestik CPO. 2.
Dari hasil olah data juga diketahui bahwa variabel ekspor merupakan variabel yang paling dominan pengaruhnya terhadap harga domestik di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari besarnya koefisien yang dihasilkan dari pengolahan data.
62
5.2
Saran Saran yang dapat diberikan untuk permasalahan yang ada dalam penelitian
ini, yaitu: 1.
Konsumsi dalam negeri minyak sawit harus selalu menjadi perhatian bagi Pemerintah dalam hal ini Departemen Pertanian dan Departemen Perindustrian.
Konsumsi
minyak
sawit
harus
selalu
dijaga
ketersediaannya oleh Pemerintah guna menjamin kestabilan harga dalam negeri. 2.
Untuk menjaga keseimbangan antara ekspor, produksi dan konsumsi dalam negeri, Pemerintah diharapkan mampu mengambil kebijakan yang menguntungkan semua pihak (produsen dan konsumen CPO) seperti Penerapan Pajak Ekspor yang tidak memberatkan produsen dan pemberian subsidi harga minyak goreng kepada masyarakat.
3.
Fluktuasi harga minyak sawit dunia hendaknya mampu diatasi Pemerintah dengan meningkatkan stok minyak sawit dalam negeri agar gejolak kenaikan harga dunia tidak terlalu berimbas ke harga domestik (Peran BULOG harus lebih ditingkatkan).
4.
Perkembangan industri minyak sawit beberapa tahun tahun terakhir menghasilkan produk turunan minyak sawit yang dapat digunakan sebagai bahan bakar nabati maka pada penelitian lebih lanjut diharapkan dapat mengikutisertakan pengaruh harga minyak bumi didalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amang, Beddu. 1995. Peranan Kelapa Sawit dalam Pemenuhan 9 Kebutuhan Bahan Pokok posiding seminar nasional : Peluang dan Tantangan Industri Kelapa Sawit dalam menyongsong abad XXI, Pusat Penelitian Kelapa Sawit dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Medan. Azmiati. 1996. Analisis Peramalan Penawaran dan Permintaan Sawit di Indonesia, Karya Tulis S1, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Faperta, Institut Pertanian Bogor. Badan Pusat Statistik. 1980-2007. Statistik Perdagangan Luar negeri : Ekspor tahun 1980-2007, BPS, Jakarta. __________________. 1980-2007. Statistik Perdagangan Luar negeri : Impor tahun 1980-2007, BPS, Jakarta. __________________. 2004-2006. Statistik Kelapa Sawit tahun 2004-2006, BPS, Jakarta. Buana, Lalang. 1992. Dinamika produksi, permintaan dan harga minyak sawit dalam kaitan dengan gejolak harga minyak goreng dan penanganannya , Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan. Buana, Lalang dan Daswir. 1994. Hubungan Ekonomi Antar Minyak nabati Utama dan Pengaruhnya terhadap Harga Minyak Sawit, Buletin PPKS Vol 2 Januari-Maret, Jakarta. Ditjen Perkebunan Departemen Pertanian. 1992-2007. Statistik Kelapa Sawit tahun 1992-2007, Departemen Pertanian, Jakarta. Djauhari, Achmad dan Sahat M. Pasaribu. 1996. Produksi dan Pemasaran Minyak Kelapa Sawit dalam Buku “Ekonomi Minyak Goreng di Indonesia” penyuting Beddu Amang et. Al., IPB, Bogor. Draper,N.R, and H. Smith. 1967. Applied Regression Analysis, John Wiley and Sons Inc, New York. Drajat, Bambang. 2006. Gejolak Harga Minyak Goreng: Perlukah intervensi pasar ? , Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Hanke, John E. 1995. Bussines Forecasting, Prentice Hall International, 5th ed, Englewood Cliffs, New Jersey. Jhingan, M.L. 1993. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Raja Grafindo, Jakarta.
64
Lubis, Adlin U, Et.al. 1994. Indonesia Palm Oil : Supply, Demand and Price Outlook, Hasil Presentasi seminar di Kuala Lumpur tentang“Commodity Exchange” , Kuala Lumpur. Maulana, T. Nur Ahmad. 1995. Analisis Perdagangan Minyak Sawit Indonesia di Pasar Domestik dan Masyarakat Eropa, Karya Tulis S1, Jurusan Ekonomi Pertanian Faperta, IPB, Bogor. Nazarudin. 1993. Seri Komoditi Ekspor Pertanian : Tanaman Perkebunan, Rempah dan Obat 1st ed, PT Penebar Swadaya, Jakarta. Nicholson, Walter. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya, Erlangga, Jakarta Rachman, A, dan Bubun, S. 1999. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Agrobisnis Kelapa Sawit di Indonesia, Agro Ekonomika No 1 , PERHEPI, Jakarta. Salvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional, Erlangga, Jakarta. Santoso, Singgih. 1999. Mengolah Data Statistik secara Profesional, PT Elex Media Komputindo Gramedia, Jakarta. Soetrisno, L, dan Winahyu, R. 1991. Kelapa Sawit kajian sosial ekonomi , Aditya Media , Yogyakarta. Winarno, Wing Wahyu. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews , UPP STIM YKPN , Yogyakarta.
65 Lampiran 1. Data Penelitian yang dimasukkan dalam Model estimasi Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Harga dunia 368 363 296 454 748 556 332 565 735 618 523 654 813 790 1153 841 1246 1563 6974 2436 2237 2256 2945 3148 3749 3402 3493 5781
Harga domestik 222 241 237 256 406 416 333 421 487 541 534 649 776 753 988 1274 1147 1449 3950 2678 2278 2499 3513 3779 4130 3699 4112 6780
Produksi
Ekspor
Impor
721172 800060 886820 982987 1147190 1243430 1350729 1506055 1713335 1964954 2412612 2657600 3266250 3421449 4008062 4479670 4898658 5448508 5930415 6455590 7000508 8396472 9622345 10440834 12224526 14619830 16569927 16890527
502902 196361 259476 345777 127938 518760 566885 551118 852843 781844 1015580 1167689 1030272 1632012 1265024 1631203 1671957 2967589 1479278 3298987 4110027 4903218 6333708 6386409 8661647 10376190 12100921 11875410
1 33288 63 78 57630 37182 8786 165991 302190 412392 26183 37874 308743 151939 123637 49785 107553 91680 17618 1648 4350 141 9499 4014 4320 10645 11416 1068
Konsumsi domestik 218271 636987 627407 637288 1076882 761852 792630 1120928 1162682 1595502 1423215 1527785 2544721 1941376 2866675 2898252 3334254 2572599 4468755 3158251 2894831 3493395 3298136 4058439 3567199 4254285 4480422 5016185
DIFF(Produksi)
78888 86760 96167 164203 96240 107299 155326 207280 251619 447658 244988 608650 155199 586613 471608 418988 549850 481907 525175 544918 1395964 1225873 818489 1783692 2395304 1950097 320600
66 Lampiran 2. Model Regresi Harga Domestik Minyak Sawit Descriptive Statistics Mean harga_domestik 1789.85 DIFF(produksi,1) 598865.00 harga_dunia 1802.63 ekspor 3189190 impor 73322.70 konsumsi 2452257
Std. Deviation 1722.880 619191.050 1725.660 3694575.425 108952.552 1376394.064
N 27 27 27 27 27 27
Correlations
Pearson Correlation
harga_dom estik
DIFF(prod uksi,1)
harga_duni a
1.000
.608
.922
.892
-.405
.899
DIFF(produksi,1)
.608
1.000
.494
.787
-.268
.673
harga_dunia
.922
.494
1.000
.700
-.362
.855
ekspor
.892
.787
.700
1.000
-.367
.798
impor
-.405
-.268
-.362
-.367
1.000
-.259
.899
.673
.855
.798
-.259
1.000
harga_domestik
konsumsi Sig. (1-tailed)
N
harga_domestik
ekspor
impor
konsumsi
.
.000
.000
.000
.018
.000
DIFF(produksi,1)
.000
.
.004
.000
.088
.000
harga_dunia
.000
.004
.
.000
.032
.000
ekspor
.000
.000
.000
.
.030
.000
impor
.018
.088
.032
.030
.
.096
konsumsi
.000
.000
.000
.000
.096
.
harga_domestik
27
27
27
27
27
27
DIFF(produksi,1)
27
27
27
27
27
27
harga_dunia
27
27
27
27
27
27
ekspor
27
27
27
27
27
27
impor
27
27
27
27
27
27
konsumsi
27
27
27
27
27
27
Coefficients(a)
Model 1
(Constant) DIFF(produksi,1)
Unstandardized Coefficients Std. B Error -49.367
122.074
Standardized Coefficients
t
Sig.
Beta
Collinearity Statistics Tolerance
-.404
.690
VIF
-.001
.000
-.196
-4.054
.001
.341
2.932
harga_dunia
.451
.059
.452
7.603
.000
.226
4.433
ekspor
.000
.000
.576
9.772
.000
.229
4.367
impor
-.001
.001
-.036
-1.149
.263
.794
1.260
.000
.000
.175
2.520
.020
.165
6.067
konsumsi
a Dependent Variable: harga_domestik
67
Histogram
Dependent Variable: harga_domestik 10
6
4
2 Mean =-7.29E-16 Std. Dev. =0.899 N =27
0 -3
-2
-1
0
1
2
Regression Standardized Residual
Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual
Dependent Variable: harga_domestik
1.0
Expected Cum Prob
Frequency
8
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0 0.0
0.2
0.4
0.6
Observed Cum Prob
0.8
1.0