FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALOKASI PRODUK DAN MARKETED SURPLUS PADI DI KABUPATEN KARAWANG
SKRIPSI
YAHYA HENDRIYANA H34070138
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
RINGKASAN YAHYA HENDRIYANA. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alokasi Produk dan Marketed Surplus Padi di Kabupaten Karawang. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan NUNUNG KUSNADI). Pemenuhan beras atau padi sebagai bahan pangan pokok saat ini masih bergantung pada produksi padi petani lokal. Namun, produksi padi masih belum mencukupi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah menerapkan kebijakan untuk meningkatkan produksi padi petani. Kebijakan-kebijakan tersebut meliputi kebijakan harga, fasilitas, dan perbaikan sarana penunjang, seperti irigasi. Sebagai kebutuhan pokok, padi pada dasarnya adalah komoditi subsisten. Petani sebagai produsen juga bisa berperan sebagai konsumen. Sebagian besar petani di Indonesia mengusahakan padi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, jika ada kelebihan, baru mereka memasarkannya (marketed surplus). Adanya kebijakan dari pemerintah untuk meningkatkan produksi padi seperti kebijakan pupuk bersubsidi dan harga pembelian pemerintah (harga dasar), serta kemudahan akses pasca panen yang semakin mudah diduga dapat mengubah padi dari komoditi subsisten menjadi komoditi komersial. Kabupaten Karawang sebagai daerah surplus beras yang diduga tejadi pergesaran sifat komoditas padi itu sendiri yang tadinya merupakan komoditi subsisten menjadi komoditi yang bersifat komersial. Produksi padi di Kabupaten Karawang tidak hanya dihasilkan oleh daerah persawahan yang telah dilengkapi oleh sistem irigasi, baik itu teknis maupun alami, tetapi juga daerah lahan kering yang berbasisikan padi ladang. Perbedaan jenis lahan berdampak pada pola tanam dan teknologi budidaya padi. Itu berimplikasi pada perbedan hasil produksi dan produktivitas padi yang dihasilkan. Perbedaan ini bisa mengakibatkan perbedaan karakteristik perilaku petani itu sendiri. Dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, maka ada perlakuan yang bebeda-beda pula dari para petani terhadap produk padinya sehingga akan memberikan pengaruh terhadap marketed surplus. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk 1) menganalisis perilaku petani padi di Kabupaten Karawang dalam mengalokasikan produknya dan, 2) menganalisis dan membandingkan faktor-faktor yang mempengaruhi marketed surplus padi pola uahatani sawah dan ladang di Kabupaten Karawang. Hasil dari pegamatan di lapangan menunjukkan bahwa akibat mudahnya akses pasar dan kebijakan, serta bekembangnya infrastruktur telah menyebabkan pergeseran corak usahatani dari subsisten ke komersial terutama pada pola usahatani padi sawah di Kabupaten Karawang, sedangkan pada pola usahatani padi sawah corak usahatani masih relatif subsisten. Hal itu disebabkan padi pada pola usahatani padi ladang masih tujuan usahatani masih berfokus pada pemenuhan konsumsi rumah tangga. Produktivitas padi ladang juga masih rendah yang mencerminkan bahwa padi ladang masih belum menjadi sasaran kebijakan pemerintah untuk pemenuhan konsumsi beras masyarakat. Pergeseran corak usahatani ditunjukkan dengan adanya perbedaan perilaku alokasi produk antara pola usahatani padi sawah dan ladang. Pada pola
usahatani padi sawah, proporsi terbesar produk ditujukan untuk penjualan, sedangkan pada pola usahatani padi ladang proporsi terbesar dari produk digunakan untuk konsumsi rumah tangga. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi besaran marketed surplus ditemukan berbeda antara pola usahatani padi sawah dan padi ladang. Pada usahatani padi sawah, faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi marketed surplus, antar lain: harga gabah kering panen, tingkat produksi total gabah, sumber modal usahatani, musim tanam, usia petani, pendidikan formal petani, dan status penguasaan lahan petani. Berbeda pada pola usahatani padi ladang, faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi marketed surplus, yaitu : produksi total, jumlah tanggungan rumah tangga, luas tempat menyimpan gabah, dan pendidikan petani. Hal itu menunjukkan bahwa kontak usahatani pada pola usahatani padi ladang relatif rendah, karena tidak ada faktor pasar, seperti harga gabah yang signifikan mempengaruhi besaran proporsi marketed surplus. Adanya pengaruh harga gabah dan tidak berpengaruhnya jumlah anggota keluarga pada pola usahatani padi sawah justru menunjukkan bahwa pengaruh pasar sangat besar terhadap besaran proporsi marketed surplus pola usahatani padi sawah. Dengan demikian, pemerintah harus memperluas cakupan kebijakan kepada pola usahatani padi ladang karena padi ladang juga juga potensial untuk dijadikan sumber pasokan beras ke masyarakat.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALOKASI PRODUK DAN MARKETED SURPLUS PADI DI KABUPATEN KARAWANG
YAHYA HENDRIYANA H34070138
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi
: Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alokasi Produk dan Marketed Surplus Padi di Kabupaten Karawang
Nama
: Yahya Hendriyana
NIM
: H34070138
Menyetujui, Pembimbing
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Mengetahui, Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Faktorfaktor yang Mempengaruhi Alokasi Produk dan Marketed Surplus Padi di Kabupaten Karawang” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2011
Yahya Hendriyana H34070138
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Karawang pada tanggal 30 September 1989. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Ayahanda Walim Anggasamita dan Ibunda Nasem. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Nagasari 1 pada tahun 2001 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SLTP Negeri 1 Karawang. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMA Negeri 1 Karawang diselesaikan pada tahun 2007. Semua lembaga pendidikan tersebut berada di Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat. Penulis diterima pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2007. Selama mengikuti pendidikan, penulis tercatat sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Peminat Agribisnis (Hipma) pada Career and Creativity Development Department periode 2009-2010 dan Organisasi Mahasiswa Daerah Panatayuda Karawang periode 2009-2010.
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alokasi Produk dan Marketed Surplus Padi di Kabupaten Karawang”. Penelitian ini bertujuan menganalisis perilaku petani dalam alokasi produknya dan faktor-faktor yang mempengaruhi marketed surplus pada pola usahatani padi sawah dan ladang . Namun demikian, sangat disadari masih terdapat kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun ke arah penyempurnaan pada skripsi ini sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Agustus 2011 Yahya Hendriyana
UCAPAN TERIMA KASIH Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada : 1.
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, dukungan, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
2.
Ir. Dwi Rachmina, MSi selaku dosen penguji utama pada sidang penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan skripsi ini.
3.
Yanti Nuraeni Muflikh, SP, MABuss selaku dosen penguji departemen pada sidang penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan skripsi ini.
4.
Yeka Hendra Fatika, SP dan Arif Karyandi Uswandi, SP yang telah membantu berdiskusi, memberikan banyak ilmu bagi penulis dalam penyusunan skripsi.
5.
Seluruh dosen dan staf Departemen Agribisnis yang telah menjadi keluarga bagi penulis di Bogor. Terima kasih atas dukungan dan bantuannya.
6.
Ibunda
Hj. Nasem, SPd dan Ayahanda
tercinta Drs. H. Walim
Anggasasmita, MPd, serta keluarga semoga ini dapat menjadi persembahan yang terbaik. 7.
Pihak Dinas Pertanian Kabupaten Karawang, Balai Penyuluh Pertanian Kecamatan Cilamaya Wetan, Tempuran, Ciampel, dan Pangkalan atas bantuan dan pengarahannya kepada penulis selama penelitian.
8.
Petani dan tokoh-tokoh petani di Kecamatan Cilamaya Wetan, Tempuran, Ciampel, dan Pangkalan, Kabupaten Karawang, Jawa Barat
yang telah
bersedia menjadi responden penelitian ini. 9.
Sahabat-sahabat (Hata Madia Kusumah, Sigit Sutrisno, Pandu Aditama, dan Riska Pujiati, SE, Arini Ungki A, SE, Sella Kristy, Okky P), yang telah membuat perjalanan ini semakin berwarna dan selalu membantu penulis. Juga sahabat-sahabat (Anten R P, SE, Agrivinie RF, SE, dan sahabat yang lain
yang tidak bisa penulis tulis semua) yang selalu membantu, dan menyemangati penulis selama penyusunan skripsi ini. 10. Teman-teman Agribisnis angkatan 44 atas semangat kekeluargaan selama kuliah di Agribisnis IPB. Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuannya.
Bogor, Agustus 2011 Yahya Hendriyana
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..........................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................
xv
I
PENDAHULUAN ................................................................. 1.1.Latar Belakang .................................................................. 1.2.Perumusan Masalah .......................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................. 1.4. Manfaat Penelitian ........................................................... 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ................................................
1 1 7 9 10 10
II
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................ 2.1. Alokasi Produk ................................................................ 2.2.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketable dan Marketed surplus ............................................................
11 11
KERANGKA PEMIKIRAN ................................................. 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................ 3.1.1. Marketable dan Marketed Surplus .......................... 3.1.2. Hubungan Corak Usahatani dan Marketed Surplus ... 3.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketed Surplus ...................................................................... 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional .....................................
18 18 18 20
IV
METODOLOGI PENELITIAN ........................................... 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................. 4.2. Jenis dan Sumber Data ..................................................... 4.3. Metode Pengambilan Sampel ........................................... 4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data .............................
27 27 27 28 30
V
GAMBARAN UMUM LOKASI DAN PETANI .................. 5.1. Kondisi Pertanian di Kabupaten Karawang ....................... 5.2. Karakteristik Petani............................................................ 5.3. Gambaran Umum Usahatani Padi Sawah dan Ladang Di Kabupaten Karawang ...................................................
35 36 37
ANALISIS PERILAKU ALOKASI PRODUK .................... 6.1. Alokasi Hasil Panen ..........................................................
51 51
III
VI
VII ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MARKETED SURPLUS PADI .............................................. 7.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketed Surplus Padi V11I KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................
8.1. Kesimpulan ...................................................................... 8.2. Saran ................................................................................
14
22 24
44
74 74 87 87 88
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................
89
LAMPIRAN .....................................................................................
92
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram ......................
1
2.
Data Konsumsi Pangan Per Kapita Indonesia ..........................
2
3.
Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Nasional Tahun 1961-2010 ...............................................................................
2
4.
Data Produksi 5 Sentra Padi Indonesia Tahun 2009 ..................
5
5.
Surplus Padi Kabupaten Karawang Tahun 2005-2009 ..............
6
6.
Data Produksi 3 Sentra Padi Berdasarkan Kabupaten di Jawa Barat Tahun 2009 .........................................................
6
7.
Data Lahan Padi di Kabupaten Karawang Tahun 2008-2009 ....
9
8.
Jenis dan Sumber Data Penelitian ............................................
28
9.
Data Luas Lahan Sawah dan Ladang Hasil Metode Judgment ..
29
10. Luas Penggunaa Lahan Kabupaten Karawang Tahun 2009 .....
36
11. Sebaran Petani Responden Menurut Usia Tahun 2011 .............
37
12. Sebaran Petani Responden Menurut Pengalaman Usahatani Tahun 2011 ..............................................................................
38
13. Sebaran Petani Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2011...............................................................................
38
14. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Status Usahatani Tahun 2011 .............................................................................
39
15. Sebaran Petani Responden Menurut Status Penguasaan Lahan Tahun 2011 ..................................................................
39
16. Sebaran Petani Responden Menurut Luas Lahan yang Diusahakan Tahun 2011 ...........................................................
40
17. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Pendapatan Luar Usahatani per Bulan Tahun 2011 .............................................
41
18. Sebaran Penghasilan Luar Usahatani Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan yang Diusahakan Tahun2011 ............
41
19. Rata-rata Jumlah Tanggungan Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan yang Diusahakan Tahun 2011 ...............................
42
20. Rata-rata Rasio Tenaga Kerja Dalam Keluarga Berdasarkan Luas Lahan yang Diusahakan Tahun 2011 ................................
42
21. Rata-rata Konsumsi Beras Rumah Tangga Petani Tahun 2011 ..
43
22. Rata-rata Biaya Tunai Usahatani Petani dan Penggunaannya Tahun 2011 ............................................................................
49
23. Sebaran Petani Berdasarkan Cara Panen di Kabupaten Karawang Tahun 2010 .............................................................
51
24. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Penggunaan Sistem Panen Natura (bawon) Tahun 2010 ..........................................
52
25. Hubungan Luas Lahan Padi Petani dengan Proporsi Marketed surplus Tahun 2010 ..................................................................
59
26. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Petani Melakukan Stok Benih Tahun 2010....................................................................
60
27. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Petani Tidak Melakukan Stok Benih Tahun 2010 ...............................................................
61
28. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Melakukan Stok Konsumsi Tahun 2010 .............................................................
62
29. Sebaran Petani Berdasarkan Akses Penjemuran Gabah Tahun 2010 .........................................................................................
65
30. Sebaran Petani Berdasarkan Lokasi Stok Gabah Tahun 2010 .....
66
31. Rata-rata Luas Tempan Simpan Gabah Berdasarkan Luas Lahan yang Diusahakan Petani Tahun 2010 ..............................
66
32. Sebaran Petani Berdasarkan Cara Penjualan Hasil Panen Tahun 2010 .........................................................................................
68
33. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Mengunakan Cara Penjualan Tebas Tahun 2010 ...................................................
69
34. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Melakukan Penjualan Bertahap Tahun 2010...............................................................
69
35. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Penjualan Cara Sekaligus Tahun 2010 .............................................................................
70
36. Distribusi Jumlah Petani Berdasarkan Proporsi Modal Sendiri Petani Terhadap Modal Total Tahun 2010 ..............................
71
37. Sebaran Petani Berdasarkan Saluran Pemasaran Gabah Tahun 2010 ..............................................................................
72
38. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Pemilihan Tengkulak Sebagai Saluran Pemasaran Gabah Petani Tahun 2010.............
73
39. Hasil Pendugaan Variabel Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketed Surplus Padi ............................................................
75
40. Pola Marketed Surplus Petani Padi Sawah Musim Tanam Tahun 2010 .............................................................................
77
41. Pola Marketed Surplus Padi Ladang Musim Tanam 2010 .........
79
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Pola Panen Padi di Indonesia Tahun 2010 ..............................
3
2.
Pola Musim Padi di Kabupaten Karawang Tahun 2010-2011)
7
3.
Perbandingan Harga Gabah Kering Panen Petani di Kab. Karawang dan HPP Bulog Tahun 2009-2011 .................
8
4.
Skema Alokasi Produksi Padi Petani ......................................
20
5.
Kerangka Pemikiran Operasional .........................................
26
6.
Alokasi Natura Petani Pola Usahatani Padi Sawah MT Akhir 2010 ......................................................................
56
Alokasi Natura Petani Pola Usahatani Padi Ladang MT Akhir 2010 ......................................................................
56
Alokasi Marketable Surplus Petani Pola Usahatani Padi Sawah MT Akhir 2010 ......................................................................
58
Alokasi Marketable Surplus Petani Pola Usahatani Padi Ladang MT Akhir 2010 ..................................................
58
10. Alokasi Stok Petani Pola Usahatani Padi Sawah MT Akhir 2010 ......................................................................
63
11. Alokasi Stok Petani Pola Usahatani Padi Ladang MT Akhir 2010 ......................................................................
64
7. 8. 9.
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Output Minitab Model Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketed Surplus Padi Sawah........................
93
2. Output Minitab Model Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketed Surplus Padi Ladang .............................................
95
3. Rincian Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketed Surplus
Padi Sawah di Kabupaten Karawang........................................
96
4. Rincian Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketed Surplus Padi Ladang di Kabupaten Karawang .....................................
101
5. Kuesioner Penelitian...............................................................
103
I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pangan memegang peranan penting dalam kehidupan umat manusia.
Tanpa pangan, manusia sulit untuk bertahan hidup. Tanpa pangan tidak akan ada kehidupan. Karena pentingnya peran pangan dalam kehidupan, maka pangan juga memerankan peranan penting dalam perekonomian. Hal itu terlihat dari kontribusi Pendapatan Domestik Bruto (PDB) di mana tanaman pangan memberikan kontribusi terbesar, khususnya di Indonesia, yakni sebesar 6,8 persen dari keseluruhan PDB sektor pertanian (BPS 2009). Komoditas tanaman pangan tediri dari dua bagian besar, yaitu: padi-padian (cereals) dan umbi-umbian (tubers) padi, jagung, sorgum, kedelai, kacang hijau, dan gandum termasuk ke dalam cereals sedangkan ubi kayu dan ubi jalar termasuk ke dalam tubers. Ada beberapa sumber pangan penting di dunia, antara lain : beras atau padi, gandum, jagung, dan kentang. Padi, gandum, dan jagung merupakan komoditas pangan yang mengandung karbohidrat yang cukup tinggi dibandingkan tanaman pangan lain. Beras atau padi adalah salah satu sumber bahan pangan terpenting. Kandungan karbohidrat beras adalah yang
tertinggi di atas kandungan
karbohidrat tanaman pangan lain. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 gram Nutrisi Satuan Beras Gandum Sorgum Karbohidrat Protein Lemak Kalori Vitamin B1 Serat Air
Gram Gram Gram Gram Mg -
78,9 6,8 6,8 360,0 -
74,1 11,8 1,2 0,4 12
73,0 11,0 73,0 332,0 0,4 -
Jagung 72,4 10,0 10,0 361,0 2,3 2,3 13,5
Sumber: Ditjen Tanaman Pangan, Direktorat Budidaya Serealia (2009)
Di Indonesia, beras adalah bahan pangan utama. Sebagian besar masyarakat Indonesia mengonsumsi padi-padian untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat. Dapat dilihat dari Tabel 2 bahwa masyarakat Indonesia mengonsumsi lebih banyak beras daripada bahan pangan lain selain beras.
Tabel 2. Data Konsumsi Pangan Per Kapita Indonesia Komoditas pangan Konsumsi per kapita (kg/orang/tahun) Padi Gandum Jagung Kedelai
139 17,1 70 40
Sumber: Badan Pusat Statistik 2010 (diolah)
Pemenuhan beras atau padi sebagai bahan pangan pokok
saat ini
mayoritas masih dipenuhi dari produksi dalam negeri. Namun, produksi padi masih belum mencukupi kebutuhan masyarakat. Perbandingan produksi dan konsumsi beras nasional Indonesia ditunjukkan pada Tabel 3 sebagai berikut. Tabel 3. Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Nasional Tahun 1961-2010 Tahun 1971 1980 1990 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Jumlah Penduduk (jiwa) 119.208.229 147.490.298 179.378.946 206.264.595 237.556.363
Produksi (juta ton) 13,72 22,29 29,04 32,96 32,96 33,41 35,02 34,83 34,96 35,30 37,00 38,31 36,37 38,00
Konsumsi (juta ton) 14,21 21,50 30,12 35,88 36,38 36,50 36,00 35,85 35,74 35,90 36,35 37,10 38,00 38,55
Impor (juta ton) 0,52 0,54 0,19 1,50 3,50 2,75 0,65 0,50 0,54 2,00 0,35 0,25 1,15 0,95
Sumber : USDA (2011)1 dan BPS 2011
Tabel 3 menunjukkan produksi beras dari tahun 1961 sampai tahun 2010. Selama kurun waktu 39 tahun tersebut, terjadi peningkatan produksi beras sebesar 292,45 persen, atau sekitar 7,01 persen per tahunnya. Walaupun laju produksi beras lebih besar dari laju konsumsi, meningkatnya laju produksi beras belum mampu menutup konsumsi yang tumbuh sebesar 262,58 persen. Masih rendahnya produksi beras disebabkan oleh berbagai macam hal antara lain rendahnya produktivitas, dan konversi lahan sawah yang semakin tinggi. Untuk mencukupi konsumsi domestik ini pemerintah melakukan impor beras. Impor beras yang 1
[USDA] www.indexmundi.com [ Diakses 30 April 2011]
dilakukan untuk menutupi selisih produksi dan konsumsi berdampak kepada meningkatnya stok dan penurunan harga beras. Penyediaan beras menjadi hal penting yang harus diperhatikan, hal ini disebabkan produksi bersifat musiman sedangkan konsumsi bersifat kontinyu. Meskipun sebagian dari produksi beras di Indonesia berlangsung sepanjang tahun, produksi bulanan yang berbeda beda dan penyimpanan diperlukan untuk menjamin suplai untuk konsumsi sehari-hari. Di Indonesia saat ini, masih terjadi lag penyediaan beras. Hal itu disebabkan produksi padi masih bergantung pada musim sedangkan konsumsi beras berlangsung secara kontinyu.
Gambar 1. Pola Panen Padi di Indonesia Tahun 2008-2010 Sumber: Data Startegis BPS, 2010 [diolah]
Seperti yang terlihat pada Gambar 1, bahwa produksi beras di Indonesia masih fluktuatif bergantung pada musim. Beras tersedia melimpah pada Bulan Februari-Maret sedangkan beras pada Bulan Nopember-Desember jauh menurun. Pada bulan Maret supply beras lebih tinggi dibandingkan musim panen lainnya, yakni pada bulan Agustus. Hal itu disebabkan ada beberapa lokasi di Indonesia yang hanya bisa melakukan panen sebanyak satu kali. Dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, hal yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa jumlah produksi dari petani tidak semuanya dijual ke pasar (Suryanarayana, 1995 dalam Nusril dan Sukiyono, 2007). Jumlah beras
yang beredar di masyarakat bergantung pada besarnya marketed surplus petani atau jumlah kelebihan hasil panen yang dijual petani. Petani masih mengeluarkan hasil produksinya untuk kebutuhan pangan keluarga, upah-upah tenaga kerja yang berbentuk natura (padi/beras) atau dikeluarkan untuk sewa lahan. Makin besar marketed surplus, makin besar pula beras atau padi yang beredar di pasar. Dikarenakan adanya gap produksi dan konsumsi, maka pemerintah sejak tahun 1969 menerapkan kebijakan jangka pendek maupun jangka panjang yang dimulai pada Pembangunan Lima Tahun (Pelita 1) hingga Pelita 5. Program yang diterapkan yaitu Bimbingan Massal (Bimas) dan Intensifikasi Massal (Inmas) yang bertujuan untuk meningkatkan hasil pertanian terutama padi dan perbaikan sarana penunjangnya, yaitu sarana irigasi dan transportasi. Selain itu juga diterapkan program untuk menaikkan posisi tawar petani dengan kebijakan harga dasar pembelian gabah petani (HPP), agar saat panen harga padi petani tidak jatuh dan juga subsidi pupuk agar usahatani padi petani semakin efisien. Kemudian dilanjutkan dengan Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) pada tahun 2007 yang masih berlangsung sampai sekarang yang berbasis penggunaan padi hibrida untuk meningkatkan produksi. Dengan adanya kebijakan-kebijakan tersebut, dengan luas lahan yang semakin berkurang produksi padi nasional tetap relatif meningkat. Dengan naiknya paroduksi, maka secara teoritis pendapatan petani juga akan naik seperti yang tersaji pada Tabel 3. Padi di Indonesia tidak hanya dihasilkan oleh padi sawah saja. Secara umum, jenis lahan sawah di Indonesia terbagi dua, yaitu lahan basah dan kering. Sampai tahun 2009, luas lahan kering atau padi ladang di Indonesia mencapai 1 juta hektar, sedangkan luas panen sawah mencapai 12 juta hektar ( BPS 2010). Untuk produksi, Jawa Timur dan Jawa Barat adalah dua propinsi terbesar penghasil padi ladang. Jawa Barat memiliki lahan padi ladang seluas 121.000 hektar, sedangkan Jawa Timur mempunyai daerah pengembangan padi ladang seluas 500.000 hektar. Namun, saat ini produktivitas rata-rata padi ladang masih lebih rendah daripada padi sawah, yaitu 2,9 ton per hektar, sedangkan padi mencapai 3,5 ton per hektar (BPS 2009).
Petani tanaman pangan (padi) di Indonesia adalah petani kecil dengan kepemilikan lahan sangat sempit yaitu rata-rata 0,6 ha (Firmansyah,1999 dalam Nusril dan Sukiyono, 2007). Perbedaan jenis lahan bisa berdampak pada pola tanam dan teknologi budidaya padi. Hal itu berimplikasi pada perbedan hasil produksi padi yang dihasilkan. Perbedaan jenis lahan bisa mengakibatkan perbedaan karakteristik perilaku petani itu sendiri. Dengan adanya perbedaanperbedaan tersebut, maka ada perlakuan yang bebeda-beda pula dari para petani terhadap produksi padinya sehingga akan memberikan pengaruh terhadap supply beras ke masyarakat. Sebagai kebutuhan pokok, padi pada dasarnya adalah komoditi subsisten. Petani sebagai produsen juga bisa berperan sebagai konsumen. Dengan rata-rata kepemilikan 0,6 ha maka sebagian besar petani di Indonesia mengusahakan padi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, jika ada kelebihan, jumlah itu lah yang dipasarkan oleh petani sebagai supply beras ke masyarakat (marketed surplus). Wilayah-wilayah Indonesia yang menghasilkan beras tinggi yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Lampung, Banten, Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pulau Jawa merupakan daerah yang berasnya sebagian besar untuk wilayah Barat Indonesia yang mencakup Pulau Sumatra, Kalimantan, Bali, dan Pulau Jawa itu sendiri. Nusa Tenggara dan Sulawesi merupakan daerah pemasok Indonesia bagian tengah dan timur yang mencakup Pulau Sulawesi, Nusa Tenggara, serta Maluku dan Papua. Jawa Barat merupakan sentra padi di Indonesia. Produksi padi Jawa Barat adalah yang tertinggi dibandingkan dengan propinsi lainnya. Sehingga, Jawa Barat adalah pemasok utama untuk wilayah barat Indonesia (Sumatera, Jawa, Kalimantan). Tabel 4. Data Produksi 5 Sentra Padi Indonesia Tahun 2009 Propinsi Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Barat Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010 [diolah]
Produksi (ton) 11.322.681 9.600.415 11.259.085 4.324.178 1.870.775
Kabupaten Karawang merupakan salah satu sentra penting padi di Propinsi Jawa Barat. Karawang berperan sebagai daerah surplus padi bagi daerah perkotaan yang mengalami defisit pangan di Jawa bagian barat. Tabel. 5 Surplus Padi Kabupaten Karawang Tahun 2005-2009 Jumlah Kebutuhan Beras Produksi Tahun Penduduk (Ton) (ton) 2005 1.971.463 266.147 689.693 2006 2.009.647 271.302 699.510 2007 2.055.469 277.488 714.195 2008 2.094.408 282.745 727.968 2009 2.133.992 288.089 790.166
Surplus Beras (ton) 423.546 428.208 436.707 445.223 502.077
Sumber : Dishutbun Kabupaten Karawang 2010 [diolah]
Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa selama lima tahun terakhir Kabupaten Karawang mengalami surplus beras. Meskipun jumlah penduduk terus meningkat sebesar sepuluh persen, surplus beras Kabupaten Karawang mengalami peningkatan sebesar 18 persen. Tabel 6. Data Produksi 3 Sentra Padi Berdasarkan Kabupaten di Jawa Barat Tahun 2009 Tahun 2009 2009 2009
Kota/kabupaten Kab Indramayu Kab Subang Kab Karawang
Produksi 1.321.016 1.105.550 1.067.691
Sumber: Badan Pusat Statistik,2010 [diolah]
Produksi padi Kabupaten Karawang pada tahun 2009 adalah sebesar 1.067.691, atau 10 persen dari total produksi padi Jawa Barat yang mencapai sebelas juta ton. Seperti yang terlihat di Tabel 6, meskipun masih lebih sedikit dari Kabupaten Indramayu dan Subang, namun letak geografisnya yang lebih dekat ke perkotaan seperti Jakarta, maka Karawang adalah sentra padi terpenting dilihat dari posisi perdagangan. Selain itu, posisi geografis Kabupaten Karawang yang paling dekat ke pusat pemerintahan, membuat akses terhadap kebijakan begitu dekat.
1.2
Perumusan Masalah
Sebagai salah satu sentra padi di Jawa Barat, Kabupaten Karawang adalah sasaran kebijakan pemerintah untuk menaikkan produksi padi dan memperbaiki posisi tawar petani. Salah satu kebijakan pemerintah adalah kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP).
800000 700000 600000 500000 400000
produksi (ton)
300000 200000 100000 Jan-10 Feb-10 Mar-10 Apr-10 May-10 Jun-10 Jul-10 Aug-10 Sep-10 Oct-10 Nov-10 Dec-10 Jan-11 Feb-11 Mar-11 Apr-11 May-11 Jun-11
0
Gambar 2. Pola Musim Padi di Kabupaten Karawang Tahun 2010-2011 Sumber: Dishutbun Kabupaten Karawang, 2011 [diolah]
Musim tanam padi di Kabupaten Karawang umumnya terdiri dari dua musim tanam setiap tahunnya. Musim tanam pertama (rendeng) terjadi pada Bulan Februari hingga Mei sedangkan musim tanam ke dua (gadu) terjadi dari Bulan Juni hingga September. Dari data di atas dapat dilihat bahwa supply padi di Kabupaten Karawang melimpaih pada bulan April hingga Mei dan bulan September sampai dengan Oktober. Pada bulan-bulan itu lah supply beras atau padi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya.
4,500 4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0
harga GKP
May-11
Mar-11
Jan-11
Nov-10
Sep-10
Jul-10
May-10
Mar-10
Jan-10
Nov-09
Sep-09
Jul-09
May-09
Mar-09
Jan-09
hpp
Gambar 3. Perbandingan Harga Gabah Kering Panen Petani di Kab.Karawang dan HPP Bulog Tahun 2009-2011 Sumber: Dishutbun Kabupaten Karawang , 2011 [diolah]
Jika dikaitkan dengan kebijakan harga, seperti yang terlihat pada Gambar 2 dan 3, bahwa dari tahun 2009 hingga 2011, harga gabah kering panen petani mengalami trend naik. Bahkan pada musim ke-dua tahun 2010, harga gabah kering panen jauh melebihi harga gabah pemerintah. Dari segi kebijakan pemerintah, akses pasca panen padi di Kabupaten Karawang pun mudah. Kemudahan tersebut terlihat dari jumlah Rice Milling Unit (RMU) yang jumlahnya bervariasi di setiap desa, berkisar 3-13 unit (BPS 2010). Skala dari penggilingan padi ini juga bervariasi dari kecil hingga besar dan mayoritas beroperasi setiap tahun. Ketergantungan petani terhadap tengkulak saat ini masih sangat tinggi. Petani sering kali meminjam modal kepada tengkulak sehingga petani secara tidak langsung punya kewajiban memasarkan hasil panennya kepada tengkulak tersebut. Atau, jika petani yang punya keterbatasan modal seringkali menjual hasil panennya sebelum padi tersebut memasuki masa panen (ijon, tebas). Kuat dugaan, petani dengan kondisi seperti ini, tidak lagi menyimpan gabahnya, melainkan dijual seluruhnya, sedangkan untuk keperluan konsumsi petani bisa membelinya dari pasar. Diduga ada pergeseran pola perilaku petani dari yang tadinya menyimpan sebagian hasil panennya menjadi menjual seluruh hasil panennya yang bisa mempengaruhi supply padi ke masyarakat. Supply padi atau beras akan menumpuk di waktu-waktu tertentu saja, yaitu saat panen.
Artinya, padi yang pada dasarnya komoditi subsisten bisa berubah menjadi komoditi komersial. Di sisi lain, produksi padi di Kabupaten Karawang tidak hanya dihasilkan oleh daerah persawahan yang telah dilengkapi oleh sistem irigasi, baik itu teknis maupun alami, tetapi juga daerah lahan kering yang berbasiskan padi ladang. Tabel 7. Data Lahan Padi Kabupaten Karawang Tahun 2008-2009 Tahun
Sawah (ha)
Ladang (ha)
2008
95.360
3.168
2009
96.261
3.141
Sumber : Badan Pusat Statistik (2010) [diolah]
Perbedaan pola usahatani ini bisa berdampak pada pola tanam dan teknologi budidaya padi. Itu berimplikasi pada perbedan hasil produksi dan produktivitas padi yang dihasilkan. Perbedaan ini bisa mengakibatkan perbedaan karakteristik perilaku petani itu sendiri. Dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, maka ada perlakuan yang bebeda-beda pula dari petani pada masingmasing pola usahatani terhadap produk padinya sehingga akan memberikan pengaruh terhadap marketed surplus. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan-permasalahan penelitian yang menarik untuk dikaji, antara lain: 1.
Bagaimana perilaku petani pada pola usahatani padi sawah dan ladang di Kabupaten Karawang dalam mengalokasikan produk atau hasil panennya?
2.
Faktor-faktor apa saja yang memepengaruhi besarnya marketed surplus padi pada pola usahatani sawah dan ladang di Kabupaten Karawang?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian berdasarkan perumusan masalah di atas adalah: 1.
Mengidentifikasi perilaku petani pada pola usahatani padi sawah dan ladang dalam mengalokasikan produknya di Kabupaten Karawang.
2.
Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang memepengaruhi jumlah marketed surplus pada pola usahatani padi sawah dan ladang di Kabupaten Karawang.
1.4 Manfaat Penelitian Penulis berharap hasil penelitian mengenai marketed surplus padi ini dapat dimanfaatkan oleh beberapa pihak, antara lain: 1.
Bagi peneliti, diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berfikir analitis serta dapat mengaplikasikan bidang keilmuan agribisnis yang telah diterima selama menjalani perkuliahan di Institut Pertanian Bogor. Selain itu, dapat menjadi sarana melatih peneliti untuk menuliskan gagasan dan fakta yang ditemukan di lapangan.
2.
Bagi pemerintah, penelitian ini dapat menjadi bahan informasi untuk menentukan kebijakan dalam meningkatkan produksi dan mengendalikan supply padi atau beras di Kabupaten Karawang.
3.
Bagi masyarakat, penelitan ini dapat menjadi bahan informasi dan sumber literatur bagi siapapun yang akan melakukan penelitian selanjutnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan di tingkat kabupaten, sehingga memiliki batasan, yaitu mengidentifikasi perilaku petani dalam mengalokasikan hasil panen padinya dan menganalisis faktor-faktor yang memepengaruhi marketed surplus padi di tingkat rumah tangga petani di Kabupaten Karawang pada pola usahatani padi sawah dan ladang. Periode pengamatan yang digunakan pada penelitian ini yaitu musim tanam 2010 untuk kedua pola usahatani padi. Sedangkan untuk model faktorfaktor yang mempengaruhi marketed surplus padi, cakupannya adalah marketed surplus dalam bentuk gabah kering panen atau penjualan saat panen.
II TINJAUAN PUSTAKA Studi mengenai marketed surplus atau marketable surplus telah dilakukan sejak waktu yang lama, yakni sejak tahun 1960-an. Konsep marketable dan marketed surplus biasanya melekat pada komoditi pangan atau komodiiti yang bersifat subsisten, seperti : padi di Asia, kentang di Amerika Latin, jagung di India, serta gandum dan pisang di Afrika. Namun ada beberapa penelitian yang mengkaji tentang marketed dan marketable surplus komoditi non pangan yaitu sayuran. Namun, dalam penelitian tersebut tidak ditemukan penjabaran secara mendalam mengenai marketed maupun marketable surplus sayuran karena keterbatasan akses informasi. 2.1. Alokasi Produk Alokasi produk menunjukkan bagaimana petani menggunakan hasil panen yang didapatnya untuk berbagai keperluan. Dengan mengetahui alokasi hasil panen maka bisa diketahui apakah petani masih menjalankan usahataninya secara subsisten atau telah bergerak ke arah komersil. Metode yang digunakan pada studi atau penelitian yang ditemukan umumnya menggunakan metode tabulasi atau crosstab dan deskriptif. Dengan demikian dapat diketahui besaran rata-rata dari setiap alokasi yang dilakukan petani terhadap hasil panennya. Petani masih banyak yang menggunakan sistem panen dengan natura atau membayar tenaga kerja dengan hasil panen (Ellis et al (1992), Nusril dan Sukiyono (2007), dan Kusnadi et al (2008)). Artinya, petani membayar jasa pemanenan atau pekerjaan dengan menyisihkan atau membagi hasil panen yang didapat dengan proporsi tertentu. Di Pulau Jawa, khususnya Jawa Barat dikenal dengan dua sistem panen natura, yaitu sistem terbuka dan tertutup. Sistem terbuka adalah panen yang dilakukan yang hanya oleh segelintir kelompok buruh tani saja, sedangkan sistem terbuka panen bebas dilakukan oleh siapapun. Sistem tertutup menggunakan pembagian proporsi panen bervariasi antara 1:4 hingga 1:6, Sedangkan untuk sistem terbuka, pembagian panen yang digunakan yaitu proporsi 1:9 atau 1:10 (Ellis et al, 1992). Sistem natura yang digunakan petani proporsinya juga dipengaruhi oleh ketersediaan tenaga kerja di lingkungan petani tersebut
(Kusnadi et al, 2008). Makin sulit tenaga kerja, maka rasio atau proporsi yang digunakan semakin kecil. Atau dengan kata lain, semakin sulit tenaga kerja, maka bagian yang diterima atau dibayarkan petani dari hasil panennya semakin banyak. Nusril dan Sukiyono (2007) dalam studinya hanya menyebutkan bahwa petani harus menyisihkan hasil panenya sebanyak satu per enam bagian. Hal itu disebabkan studi yang dilakukan hanya dalam lingkup desa, sehingga variasi pembagian lebih bersifat homogen. Begitu juga petani kentang dan jagung di India masih membayar tenaga kerja dengan hasil panen, namun proporsinya terbilang kecil, yaitu kurang dari 10 persen dari total produksi (Sadhu (2011) serta Chauchan dan Chabbra (2005)). Selain untuk natura panen dan tenaga kerja, petani juga mengalokasikan panennya untuk pembayaran sewa lahan. Sewa lahan di Jawa dalam Ellis et al (1992) masih banyak yang menggunakan sistem bagi hasil panen. Pembagian hasil panen yang digunakan umumnya 1:1 antara penggarap dan pemilik, sedangkan pembagian lain yang ditemukan namun hanya dalam jumlah kecil yaitu 1:2. Variasi proporsi 1:2 juga ditemukan dalam Nusril dan Sukiyono (2007). Pembagian 1:1 timbul karena biaya usahatani ditanggung bersama oleh pemilik dan petani penggarap sedangkan pembagian 1:2 disebabkan biaya usahatani ditangung oleh pemilik lahan. Petani juga membayar faktor produksi dengan hasil panen (Nusril dan Sukiyono, 2007). Dikarenakan minimnya uang tunai, petani meminjam pupuk kemudian membayarkannya dengan hasil panen setelah panen berlangsung. Pembayaran hasil panennya yaitu 50 kg pupuk dibayar dengan 3,5 kaleng gabah atau 56 kg gabah atau satu kilogram gabah untuk satu kilogram pupuk. Sistem tersebut merugikan petani, karena harga gabah relatif lebih tinggi dari harga pupuk per kilogramnya. Setelah mengeluarkan hasil panennya untuk berbagai kewajiban, maka petani telah mendapatkan hak sepenuhnya dari hasil panen tersebut (marketable surplus). Sebenarnya petani bisa menjual seluruhnya dari marketable surplus tersebut. Namun dalam kenyataannya berdasarkan studi-studi yang telah dilakukan, petani masih menyisihkan atau mengalokasikan panennya tersebut
untuk berbagai keperluan, yaitu: konsumsi keluarga, penjualan, benih, dan ongkos giling. Petani masih mengalokasikan sebagian produknya untuk konsumsi rumah tangga (Nusril dan Sukiyono (2007), Kusnadi et al (2008) dan Ellis et al (1992)). Proporsi dari hasil panen menunjukkan proporsi konsumsi yang bervariasi, namun masih berada di bawah 10 persen dari panen total. Namun proporsi yang lebih besar ditunjukkan pada Siregar (1990). Hal itu dibabkan luasan lahan yang diusahakan petani rata-rata di bawah satu hektar. Untuk tingkat konsumsi rumah tangga, ada kecenderungan penurunan konsumsi rumah tangga petani di Pulau Jawa. Pada Ellis et al (1992), menunjukkan bahwa konsumsi beras di Jawa lebih besar dibandingkan dengan luar Jawa. Kemudian pada Kusnadi et al (2008) ada perubahan bahwa konsumsi di Jawa rendah dari luar Jawa. Selain itu, petani juga masih menyisihkan hasil panennya untuk digunakan sebagai benih pada musim tanam yang akan datang. Sadhu (2011) serta Chaucan dan Chabbra (2005) mengungkapkan bahwa petani masih menyisihkan hasil panennya untuk benih. Namun benih yang disisihkan hanya sebatas untuk keperluan benih lahan sendiri sehingga proporsinya masih relatif kecil, yaitu 2 persen dari total produksi. Penyimpanan atau stok juga dilakukan oeh petani (Ellis et al, 1992). Ditemukan bahwa petani khususnya petani padi masih menyisihkan hasil panen untuk disimpan. Namun dalam penelitian tersebut tidak dijelaskan secara rinci penggunaan dari penyimpanan atau stok tersebut, melainkan hanya di jelaskan besaran penyimpanan yang dilakukan petani di setiap musim. Kelebihan atau selisih konsumsi atau hasil panen yang disihkan dengan produksi baru dijual oleh petani (marketed surplus). Proporsi marketed surplus yang ditemukan berbeda di setiap penelitian. Proporsi yang tinggi ditunjukkan oleh Kusnadi et al (2008), Ellis et al (1992) serta Dwi (2007) yang menunjukkan bahwa rata-rata petani padi menjual lebih dari setengah produksi atau panen kotor yang dihasilkan. Sedangkan pada Siregar (1990) serta Nusril dan Sukiyono (2007) menunjukkan bahwa proporsi penjualan petani kurang dari setengah bagian dari produksi total. Hal ini disebabkan karena perbedaan rata-rata luasan lahan padi yang diusahakan oleh petani itu sendiri. Proporsi marketed surplus yang tinggi
juga ditemukan pada komoditi sayuran. Mehta dan Chaucan (1996) dalam Sadhu (2011) serta Praminik dan Prakash (2010) mengungkapkan bahwa marketed surplus sayuran di India mencapai lebih dari 95 persen. Hal itu bisa dikatakan wajar, karena sayuran umumnya bukan merupakan pangan utama dan masa penyimpanannya pun relatif singkat sehingga jumlah marketed surplus yang muncul bisa tinggi. Marketed surplus yang dimaksud bukan hanya penjualan yang dilakukan saat panen saja atau dalam bentuk gabah kering panen, tetapi juga penjulan dalam bentuk gabah kering simpan atau kering giling. Dalam Kusnadi et al (2008) dan Ellis et al (1992) disebutkan bahwa petani menjual gabahnya secara sekaligus dan bertahap. Penjualan sekaligus adalah penjualan yang dilakukan petani dengan menjual seluruh hasil panen secara sekaligus atau hanya dilakukan dalam satu waktu. Cara ini biasanya dilakukan dengan tebas. Sedangkan cara penjualan bertahap adalah penjualan yang dilakukan petani dengan menjual secara bertahap atau dilakukan lebih dari satu waktu. Hal ini bisa berbagai kemungkinan, yaitu: 1). Petani menjual saat panen kemudian menyimpan sebagian hasil panen dan dijual di kemudian hari 2). Petani menyimpan seluruh hasil panen kemudian menjualnya secara bertahap di kemudian hari. Pengeluaran atau alokasi lain yang dikeluarkan oleh petani yaitu pembayaran zakat dan ongkos giling gabah menjadi beras. Nusril dan Sukiyono (2007) dalam studinya mengungkapkan bahwa petani membayar zakat panen dan ongkos giling masih dalam bentuk natura atau hasil panen. Proporsi untuk membayar zakat yaitu 10 persen dari total produksi sedangkan untuk ongkos giling padi petani harus mengeluarkan seper lima belas dari gabah yang akan digiling. 2.2.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketed dan Marketable Surplus Dari studi-studi empiris yang telah ditulis, marketable dan marketed surplus bisa dipegarui oleh beberapa faktor. Namun dari studi-studi tersebut menunjukkan bahwa di setiap daerah atau komoditi mempunyai faktor-faktor yang berbeda atau mempunyai ciri khas dalam mempengaruhi marketed atau marketable surplus.
Metode
yang
digunakan
untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
mempengaruhi marketable maupun marketed surplus pada penelitian sebelumnya umumnya menggunakan regresi linear. Karena regresi linear adalah metode yang sederhana tetapi cukup menggambarkan pengaruh-pengaruh farktor terhadap marketed maupun marketable surplus. Marketed surplus di daerah yang terspesialisasi sistem budidayanya lebih tinggi dari pada daerah yang kurang terspesialisasi (Ellis et al (1992), Edmeades (2006), dan Kusnadi et al (2008)). Hal tersebut ditunjukkan dengan informasi bahwa marketed surplus di Pulau Jawa lebih besar daripada di Luar Jawa. Sistem budidaya di Pulau Jawa relatif lebih bagus infrastrukturnya bisa memberikan hasil produksi yang lebih tinggi dan pola tanam yang lebih teratur dari pada di Luar Jawa. Dengan tingkat konsumsi yang lebih rendah, maka marketed surplus di Pulau Jawa sebagai daerah terspesialisasi menjadi lebih tinggi. Ukuran atau jumlah anggota keluarga berpengaruh negatif terhadap besaran marketed surplus (Bhakta (1983), Nusril dan Sukiyono (2007), serta Kusnadi et al (2008)). Hal ini disebabkan semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka jumlah hasil yang disisihkan untuk memenuhi konsumsi seharihari beras rumah tangga akan semakin besar. Akibatnya hal ini akan memperkecil jumlah marketed surplus. Chaucan dan Chabra (2005) serta Edmeades (2006) juga menunjukkan hal tersebut. Tingkat produksi berpengaruh positif dan nyata terhadap besaran marketed surplus (Bhakta (1983), Chaucan dan Chabra (2005), serta Nusril dan Sukiyono (2007)). Semakin besar jumlah produksi maka jumlah yang dijual oleh petani akan semakin besar pula, karena konsumsi keluarga besarannya cenderung tetap. Berbeda dengan Kusnadi et all (2008) dan Siregar (1990) serta Edmeades (2006) dan Idumathi (1984), yang dalam hasil studinya menyebutkan bahwa yang berpengaruh nyata dan positif yaitu luasan lahan yang dikuasai. Hal itu disebabkan karena konsumsi keluarga tidak dipengaruhi oleh besaran produksi. Namun baik itu faktor tingkat produksi maupun luas lahan, keduanya mengacu pada hasil produk yang dihasilkan. Semakin luas lahan yang dikuasai petani, maka produk yang dihasilkan akan semakin besar sehingga baik itu tingkat
produksi maupun luas lahan jika meningkat akan meningkatkan marketed surplus juga. Pengaruh harga juga ditunjukkan Chaucan dan Chabra (2005), Nusril (2007), Nuryanti et al (2000), dan Kusnadi et al (2008) serta Amarender (2009). Harga di pasaran akan mempengaruhi jumlah hasil panen yang dijual oleh petani. Semakin tinggi harga hasil panen, maka jumlah hasil panen yang dijual akan semakin tinggi pula. Hal ini disebabkan petani khusunya petani yang bersifat komersial, akan terpacu untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dengan meningkatkan marketed surplus saat ada kenaikan harga. Pendapatan luar usahatani juga berpengaruh positif dan nyata terhadap besaran marketed surplus (Nusril dan Sukiyono (2007), Mubyarto (1970), dan Edmeades (2006)). Semakin besar pendapatan luar usahatani, maka bisa dikatakan tingkat kesejahteraan petani semakin tinggi sehingga kebutuhan konsumsi beras rumah tangga bisa dipenuhi dengan membelinya di pasar. Namun kesejahteraan petani juga bisa diukur dari pendapan total rumah tangga. Pendapatan rumah tangga yang tinggi, dalam hal ini penjumlahan pendapatan usahatani dan luar usahatani, akan mendorong marketed surplus yang tinggi pula (Kusnadi et al, 2008). Hal itu dikarenakan petani yang penghasilan rumah tangganya tinggi, akan merasa mampu memenuhi kebutuhan keluarganya, dalam hal ini konsumsi beras dengan membelinya dari pasar, sehingga tidak perlu menyisishkan dari produknya yang berdampak meningkatnya maketed surplus. Status kepemilikan lahan berpengaruh terhadap besaran marketed surplus (Nusril dan Sukiyono (2007) dan Edmeades (2006)). Petani yang status lahannya hak milik, besaran marketed surplusnya akan lebih tinggi. Hal itu disebabkan patani dengan lahan milik sendiri tidak harus membayar sewa lahan sebagai timbal balik penggunaan lahan. Sewa lahan yang digunakan petani yaitu tidak dengan sistem tunai, tetapi dengan natura atau pembayaran dengan proporsi hasil panen tertentu, sehingga petani dengan status lahan hak milik marketed surplusnya akan lebih tinggi. Musim tanam berpengaruh terhadap besaran marketed surplus (Ellis et al , 1992). Petani akan cenderung menambah jumlah stok gabahnya (storage) pada jeda musim yang lebih lama. Hasil temuan menunjukkan bahwa perilaku petani di
tiap daerah berbeda-beda dalam menyikapi musim tanam ini. Hal ini juga sesuai dengan Shah (2007). Namun, dalam studi-studi yang ditemukan, tidak dijelaskan mengapa petani menambah stoknya di waktu-waktu tersebut, tetapi hanya lebih dijabarkan mengenai peningkatan besaran dari simpanan atau stok yang dilakukan petani tersebut Usia dan pendidikan petani berpengaruh positif terhadap marketed surplus (McDowell (1997) dalam Nuryanti et al (2000)). Umur yang terlalu lanjut atau terlalu muda menyebabkan keluarga tidak mampu atau enggan melakukan kegiatan pasca panen. Hal ini berdampak pada pilihan menjual lebih banyak produk yang dihasilkan sehingga besaran marketed surplus semakin besar. Selain itu, Kumar dan Mruthyunjaya (1989) dalam Nuryanti et al (2000) mengemukakan bahwa petani akan menjual lebih banyak agar keuntungan yang diperoleh bisa mengkompensasi kesulitan yang telah dialami. Bagi petani, sarana untuk menyimpan dan menjemur
gabah adalah sebuah kesulitan karena
panyimpanan dan penjemuran gabah membutuhkan ruang yang luas dan biaya jika stok tersebut menggunkan fasilitas pihak lain. Sehingga, fasilitas pasca panen seperti luas atau kapasitas penjemuran dan penyimpanan hasil panen petani berpengaruh positif terhadap marketed surplus. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dari temuan studi-studi yang telah dilakukan, petani saat ini masih bersifat subsisten atau semi subsisten. Hal tersebut disebabkan petani masih mengalokasikan sebagian produk atau hasil panennya untuk berbagai keperluan selain penjualan. Faktor-faktor yang mempengaruhi besaran penjualan atau marketed surplus pun ditemukan berbeda baik itu di setiap komoditi maupun di setiap daerah. Dalam penelitian ini akan diidentifikasi dan dianalisis pola alokasi produk atau hasil panen petani dan faktor-faktor yang mempengaruhi besaran marketed surplus. Hanya saja, lingkup penelitian ini difokuskan pada komoditi padi di satu daerah, yaitu di Kabupaten Karawang. Selain itu, penelitian ini akan mencoba menemukan perbedaan pola alokasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi marketed surplus pada pola usahatani padi ladang dan padi sawah. Hal tersebut dikarenakan bahwa penghasil padi di Kabupaten Karawang bukan hanya padi dari
pola usahatani padi sawah, tetapi juga pola usahatani padi ladang, seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1
Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis dilandasi oleh teori-teori mengenai konsep
marketable dan marketed surplus, serta faktor-faktor yang memepengaruhinya. Adapun uraian secara lengkap dapat dijelaskan dalam sub-bab berikut : 3.1.1 Marketable dan Marketed Surplus Ada banyak pengertian mengenai marketed dan marketable surplus yang telah berkembang sampai saat ini. Krishna dalam Newman (1977) mendefinisikan marketable surplus sebagai hasil panen setelah dikurangi konsumsi. Barter, transfer, dan pemberian termasuk dalam konsumsi tersebut. Dalam penelitiannya, Nusril dan Sukiyono (2007) mendefinisikan marketable surplus sebagai jumlah produksi yang dapat dipasarkan setelah dikeluarkan alokasi produksi yang benarbenar dikeluarkan petani dalam bentuk natura atau bagian dari hasil panen. Dari definisi-definisi yang didapat, ada yang menyamakan dan membedakan antara marketable dan marketed surplus itu sendiri. Namun sebenarnya, konsep marketable dan marketed surplus berbeda. menurut Kusnadi et al (2008), marketable surplus adalah jumlah potensial yang dapat dijual petani. Pengertian tersebut paling sesuai dengan keadaan petani saat ini. Hal itu disebabkan meskipun marketable surplus tersebut dapat dijual, tetapi dalam kenyataannya belum tentu semua produk tersebut dijual oleh petani, tetapi dialokasikan untuk kepentingan lain. Jika dikaitkan dengan kondisi petani padi di Indonesia saat ini dan studistudi yang telah dilakukan, maka marketable surplus adalah jumlah hasil panen dikurangi oleh pembayaran natura. Marketable surplus = hasil panen – pembayaran natura ......................(1) Marketable surplus pada persamaan (1) terdiri dari hasil panen lahan yang diusahakan sendiri oleh petani ditambah dengan hasil panen lahan yang disakapkan atau digarap oleh petani lain, tetapi pembayaran sewanya menggunakan sistem natura ditambah juga dengan sisa stok sebelum panen sisa
dari simpanan gabah musim lalu. Sedangkan natura terdiri dari pembayaran yang dilakukan
selama
proses
usahatani
sampai
dengan
pemanenan
yang
pembayarannya meggunakan bagian hasil panen. Pembayaran secara natura terdiri dari pembayaran zakat panen, input produksi, pembayaran tenaga kerja selama proses budidaya sampai dengan pemanenan. Lain halnya dengan marketed surplus. Marketed surplus menurut Mark D Newman (1977), mendefinisikan marketed surplus sebagai porsi dari produksi yang dijual ke pasar. Dalam pelaksanaanya, petani sering kali menyimpan sebagian hasil panennya sebagai persediaan untuk konsumsi rumah tangga, benih, dan stok cadangan atau penjualan bertahap. Marketed Surplus = Marketable Surplus – konsumsi.............................(2) Marketable surplus adalah bagian produksi bersih yang bisa dijual oleh petani. Besaran marketed surplus akan sama dengan marketable surplus jika petani tidak menyisihkan hasil panennya untuk konsumsi rumah tangga, tetapi menjual seluruhnya dari hasil panen tersebut. Konsumsi rumah tangga yang dimaksud adalah konsumsi untuk benih dan konsumsi beras rumah tangga. Petani biasanya menyimpan kebutuhan konsumsi dan benih dalam bentuk cadangan atau stok. Stok atau penyimpanan dilakukan petani dengan berbagai jenis tujuan, diantaranya untuk benih musim tanam selanjutnya, persediaan konsumsi dan cadangan untuk dijual sewaktu-waktu (dijual bertahap). Hasil petani tidak semuanya dijual ke pasar, tetapi dialokasikan untuk berbagai keperluan. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dalam skema berikut:
produksi
Sisa stok sebelum panen Dijual (marketed surplus)
Net Harvest (Marketable surplus)
penggunaan
Pembayaran natura Hasil dari lahan yang diusahakan petani lain
konsumsi dan benih
Gambar 4. Skema alokasi produksi padi petani Dalam Gambar 4 dapat dilihat bahwa besaran marketed surplus adalah sebagian dari hasil panen petani. Besaran marketed surplus akan sama dengan marketable surplus jika petani menjual seluruh hasil panennya dengan kata lain tidak melakukan penyimpanan atau stok. Menurut BPS (2003), stok adalah sejumlah bahan makanan yang disimpan atau dikuasai oleh pemerintah atau swasta yang dimaksud sebagai cadangan dan akan digunakan apabila sewaktu-waktu diperlukan. Secara umum, pemegang stok gabah ada dua, yaitu pemerintah dan masyarakat. Stok gabah pemerintah dipegang oleh Bulog sedangkan stok di masyarakat salah satunya dipegang oleh petani. Petani umumnya menyimpan sebagian gabah hasil panennya untuk kebutuhan konsumsi, benih, dan pakan ternak (Mears, 1981). Selain itu, petani juga bisa bersplekulasi menyimpan gabah mereka untuk dijual saat harga naik setelah panen. 3.1.2 Hubungan Corak Usahatani dengan Marketed Surplus Berdasarkan ciri ekonomi, dikenal dua corak usahatani yakni usahatani subsisten dan pertanian komersial. Usahatani subsisten ditandai oleh ketiadaan akses terhadap pasar. Dengan kata lain produk pertanian yang dihasilkan hanya untuk memenuhi konsumsi keluarga dan tidak dijual. Usahatani komersial berada pada sisi berlainan dengan usahatani subsisten. Umumnya usahatani komersial menjadi karakter perusahaan pertanian (farm) di mana pengelola usahatani telah
berorientasi pasar. Dengan demikian seluruh output pertanian yang dihasilkan seluruhnya dijual dan tidak dikonsumsi sendiri. Usahatani dalam makna subsisten adalah usahatani yang dikelola oleh petani dan keluarganya. Karena dikelola oleh petani dan keluarganya, umumnya petani mengelola lahan milik sendiri atau lahan sewa yang tidak terlalu luas karena tenaga kerja yang tersedia terbatas. Usahatani tersebut dapat diusahakan di tanah sawah, ladang dan pekarangan. Hasil yang mereka panen biasanya digunakan untuk konsumsi keluarga, jika hasil panen mereka lebih banyak dari jumlah yang mereka konsumsi mereka akan menjualnya ke pasar (Soekartawi, 1986). Jadi, pertanian dalam arti sempit dapat dicirikan oleh sifat subsistensi atau semi komersial. Ciri lain usahatani subsisten adalah tidak adanya spesifikasi dan spesialisasi. Mereka biasa menanam berbagai macam komoditi. Dalam satu tahun musim tanam petani dapat memutuskan untuk menanam tanaman bahan pangan atau tanaman perdagangan. Adapun bila usahatani telah dilakukan secara efisien dalam skala besar dengan menerapkan konsep spesialisasi komoditi maka karakteristik pertanian bergeser ke arah komersialisasi. Selain itu, pada usahatani subsisten, kontak antara petani dan pasar sangat minim, bahkan tidak ada. Perilaku ekonomi mempunyai tiga hal yang patut diperhatikan
yaitu
risiko, ketidakpastian, serta keuntungan (Scott,1981) dalam Metro (2005). Istilah risiko dan ketidakpastian dimaksudkan kepada terjadinya
kemungkinan
kekurangan bahan makanan pokok di masa yang akan datang. Usahatani subsisten juga tidak berorientasi seberapa besar keuntungan yang bisa didapat dengan penjuala hasil produk usahatani, karena hasilnya diprioritaskan untuk memenuhi konsumsi rumah tangga. Scott (1981) dalam Metro (2005), menjelaskan adanya perilaku enggan menerima risiko dalam pengambilan keputusan petani disebabkan oleh adanya dilema ekonomi petani yang dihadapi oleh kebanyakan rumah tangga petani. Hal itu disebabkan kehidupan petani yang umumnya berada di pedesaan begitu dekat dengan batas subsistensi dan karena itu kondisi tersebut menyebabkan rumah tangga petani tidak banyak mempunyai peluang untuk menerapkan keuntungan maksimal dalam berusahatani.
Sifat khas yang senantiasa ada pada diri petani ialah berusaha menghindari kegagalan yang akan menghancurkan kehidupannya dan bukan berusaha memperoleh keuntungan besar dengan mengambil resiko.
Dengan kata lain
petani berusaha meminimumkan keuntungan subjektif dari kerugian maksimum. Perilaku demikian yang disebut juga perilaku safety first atau mendahulukan keamanan merupakan ciri umum petani. Wharton (1964) dalam Kusnadi et al (2008) mengemukakan bahwa ciri subsistensi petani bisa diketahui dengan dua pendekatan kriteria, yaitu kriteria ekonomi dan kriteria sosial budaya. Kriteria ekonomi meliputi 1). Rasio atau proporsi produk yang dijual 2). Rasio tenaga kerja upah atau input yang dibeli 3). Tingkat penggunaan teknologi 4). Pendapatan dan 5). Kebebasan pengambilan keputusan. Kriteria sosial budaya mencakup 1). Faktor non-ekonomi dalam pengambilan keputusan 2). Derajat kontak dengan dunia luar (pasar) 3). Bentuk hubungan personal 4.) perbedaan psikologis. Jika dikaitkan dengan marketed surplus, maka kriteria rasio produk yang dijual adalah kriteria paling sesuai untuk mengukur subsistensi petani. Semakin besar rasio atau semakin besar bagian produk yang dijual, maka petani tersebut semakin komersiil. Hal itu disebabkan pada usahatani komersiil, semakin besar marketed surplus, maka keuntungan yang bisa diperoleh juga bisa semakin besar. 3.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi marketed surplus Dalam penelitian ini, ada beberapa hipotesis faktor-faktor yang mempengaruhi marketed surplus petani. Faktor –faktor yang mempengaruhi marketed surplus terbagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi faktor yang berasal dari internal rumah tangga petani itu sendiri sedangkan faktor eksternal meliputi faktor yang berasal dari luar rumah tangga petani. Faktor internal meliputi ukuran keluarga, usia petani, pendidikan petani, dan pengalaman usahatani, sedangkan faktor eksternal meliputi produksi total, harga, musim tanam, akses sarana pasca panen, dan sumber modal : 1.
Jumlah Produksi Semakin tinggi hasil panen yang diperoleh petani, maka semakin banyak
pula hasil panen tersebut dipasarkan karena jumlah kelebihan hasil panen akan semakin banyak. Hal itu disebabkan karena jumlah konsumsi keluarga cenderung
tetap, sehingga bila produksi tinggi, maka selisih antara konsumsi dan produksi yang bisa dijual makin besar atau banyak. 2.
Ukuran keluarga Petani yang subsisten akan menyisihkan sebagian hasil panennya untuk
dikonsumsi sehari-hari. Semakin besar jumlah anggota atau tanggungan rumah tangga petani, maka jumlah yang disisihkan dari hasil panen akan semakin besar yang akan mengurangi jumlah panen yang dipasarkan. 3.
Pendapatan luar usahatani Sumber pendapatan rumah tangga petani tidak hanya dari kegiatan
usahatani, tetapi dapat juga berasal dari luar usahatani. Semakin besar pendapatan rumah tangga petani, maka tingkat kesejahteraannya pun akan semakin tinggi sehingga petani bisa menjual seluruh hasil panennya dan berperan sebagai konsumen untuk memenuhi kebutuhan berasnya. 4.
Harga Petani yang komersial akan berusaha memaksimalkan keuntungan atau
dalam hal ini penerimaan dari penjualan hasil panen padi. Jika harga gabah atau beras di pasar sedang tinggi, maka petani akan cenderung meningkatkan marketed surplus agar penerimaan yang didapat semakin besar pula. 5.
Musim Tanam Pola tanam di setiap daerah belum tentu sama. Sehingga, musim tanam
akan mempengaruhi jumlah marketed surplus petani karena jeda dari musim ke musim belum tentu sama. Hal itu menyebabkan petani yang subsisten akan memperhitungkan berapa kebutuhan konsumsi yang akan dia simpan selama jeda musim tersebut disesuaikan dengan lamanya jeda musim. Semakin lama jeda musim, maka jumlah produk yang disisihkan akan semakin besar. 6.
Usia Petani Usia dan pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir seseorang. Petani
yang berusia tua diduga akan bersikap lebih subsisten dibandingkan petani yang berusia muda. Petani yang komersiil akan menjual lebih banyak gabah hasil panennya dibandingkan petani yang subsisten.
7.
Pendidikan petani Pendidikan erat kaitannya dengan pola pikir petani. Petani yang
berpendidikan cencerung akan berusaha mendapat hasil atau keuntungan yang maksimal dari lahan yang diusahakannya. Sehingga, petani yang berpendidikan akan mejual lebih banyak daripada petani yang kurang berpendidikan. 8.
Akses sarana pasca panen gabah Sarana pasca panen terdiri dari gudang penyimpanan gabah dan lantai
jemur. Jika petani mempunya akses keduanya, maka petani tersebut akan cenderung menyimpan gabahnya untuk dijual di kemudian hari saat harga gabah lebih baik. Pendekatan pengukuran variabel ini adalah dengan luasan lantai jemur atau akses jemur, dan tempat petani menyimpan persediaan gabahnya (storage). 9.
Status Penguasaan Lahan Status penguasaan lahan secara teoritis akan berpengaruh negatif terhadap
marketed surplus. Hal tersebut dikarenakan petani yang mengusahakan lahan bukan miliknya sendiri akan dikenakan biaya tambahan atau biaya sewa, yang sebagian besar sewanya menggunakan sistem bagi hasil panen antara petani pangarap dan pemilik lahan. 10. Sumber Modal Petani yang modal usahataninya berasal dari pinjaman akan cenderung meningkatkan marketed surplus. Hal itu disebabkan selain untuk mendapat keuntungan, petani juga menjual lebih banyak produknya untuk membayar modal pinjaman yang dipinjamnya tersebut. 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Pemenuhan beras atau padi sebagai bahan pangan pokok saat ini masih bergantung pada produksi padi petani lokal. Namun, produksi padi masih belum mencukupi kebutuhan masyarakat. Penyediaan beras atau padi sebagai bahan pangan utama masih mengandalkan padi yang diproduksi oleh petani dalam negeri yang mana adalah marketed surplus dari para petani itu sendiri. Sebagai kebutuhan pokok, padi pada dasarnya adalah komoditi subsisten. Petani sebagai produsen juga bisa berperan sebagai konsumen. Dengan rata-rata kepemilikan 0,6 hektar maka sebagian besar petani di Indonesia mengusahakan padi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, jika ada kelebihan, baru mereka
memasarkannya (marketed surplus). Adanya kebijakan dari pemerintah untuk meningkatkan produksi padi, seperti kebijakan pupuk bersubsidi dan
harga
pembelian pemerintah (harga dasar). Selain itu juga, kemudahan akses pasca panen yang semakin mudah diduga bisa mengubah padi dari komoditi subsisten menjadi komoditi komersial. Kuat dugaan, petani dengan kondisi seperti ini, tidak lagi menyimpan gabahnya, melainkan dijual seluruhnya, sedangkan untuk keperluan konsumsi petani bisa membelinya dari pasar. Diduga ada pergeseran pola perilaku petani dari yang tadinya menyimpan sebagian hasil panennya menjadi menjual seluruh hasil panennya yang bisa mempengaruhi supply padi atau beras ke masyarakat. Artinya, padi yang pada dasarnya komoditi subsisten bisa berubah menjadi komoditi komersial. Di sisi lain, pola usahatani padi bukan hanya pola usahatani yang berbasis lahan basah atau sawah, melainkan juga pola usahatani yang bebasis lahan kering atau ladang. Oleh karena itu, menarik untuk dikaji corak usahatani padi pada kedua pola usahatani tersebut baik dalam perilaku alokasi produk maupun faktorfaktor yang mempengaruhi marketed surplusnya.
Kebijakan pemerintah
Kondisi Pasar
Kelembagaan dan budaya
Pola Usahatani padi (sawah dan Ladang)
Corak Perkembanan Usahatani (Subsisten dan Komersiil)
marketed surplus
Faktor internal
Faktor eksternal
Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi marketed surplus petani
Pola Alokasi Produk
Kesimpulan
Saran
Gambar 5. Kerangka Pemikiran Operasional
IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada petani padi di Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) atas dasar petimbangan bahwa Kabupaten Karawang adalah salah satu sentra padi terbesar di Jawa Barat. Produksi padi Kabupaten Karawang adalah sebesar 1.067.691 ton, atau 10% dari produksi padi Jawa Barat (2009). Selain itu, laju industrialisasi di Kabupaten Karawang cukup tinggi. hal ini diduga berdampak kepada karakter sosial ekonomi petani. Pertimbangan lokasi dan waktu penelitian didasarkan atas penguasaan masalah, keterbatasan dana, waktu, dan kemampuan yang dimilki oleh peneliti. Waktu penelitian dilaksanakan dari Maret hingga Agustus 2011. 4.2. Jenis dan Sumber Data Penelusuran dan pencarian informasi data penelitian menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dengan penelusuran bahan pustaka berupa buku, hasil penelitian, website, serta lembaga pemerintahan. Data primer diperoleh melalui pengisian kuesioner yang dilakukan dengan wawancara responden yaitu petani padi padi sawah dan padi ladang. Kuesioner yang diberikan berupa pertanyaan terstruktur tertutup dan terbuka. Data primer juga diperoleh langsung di tempat penelitian dan wawancara dengan petugas penyuluh pertanian. Data primer merupakan data mentah sehingga masih diperlukan pengolahan terlebih dahulu sebelum menggunakannya untuk tujuan-tujuan tertentu yang sesuai dengan kebutuhan. Jenis dan sumber data terdapat pada Tabel 8.
Tabel 8. Jenis dan Sumber Data Penelitian Jenis Data Petani
Data Primer : Karakteristik Usahatani
Sumber Data
Petani dan Total,
Keluarga,
Usahatani
Padi,
Konsumsi Rumah Tangga, Pendapatan Rumah Tangga, Saluran Penjualan Gabah,
Sarana
Pascananen
Gabah
Petani Badan
Data Sekunder : Data
Luas
Lahan,Luas
Pusat
Panen, Pertanian
Produktivitas, dan Gambaran Umum Pemerintah Daerah, Harga Gabah 4.3.
Statistik,
Kabupaten Desa.Balai
Dinas
Karawang, Penyuluh
Pertanian, data elektronik (internet)
Metode Penentuan Sampel Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara bertahap dengan
metode judgement, cluster, stratified sampling, simple random sampling, dan snowball sampling. Metode judgement digunakan untuk menentukan lokasi penelitian, yaitu Kabupaten Karawang berdasarkan pertimbangan bahwa Kabupaten Karawang adalah salah satu sentra beras di Jawa Barat dan supplier terbesar beras ke daerah perkotaan di sekitarnya, seperti Jakarta, Bekasi, dan Kota Bekasi. Metode cluster dan stratified digunakan untuk mengelompokkan kecamatan-kecamatan yang merupakan sentra padi sawah dan ladang di Kabupaten Karawang. Kabupaten Karawang kemudian dikelompokkan menjadi beberapa kecamatan yang terdapat lahan sawah dan lahan padi ladang.
Tabel 9. Data Luas Lahan Sawah dan Ladang Hasil Metode Cluster Kecamatan Luas Lahan Sawah Luas Lahan Padi Ladang (ha)
(ha)
Tempuran
6.640
-
Cilamaya Wetan
5.121
-
Ciampel Pangkalan
840
200
2.230
500
Sumber : Badan Pusat Statistik 2010 (diolah)
Metode cluster juga digunakan untuk membagi Wilayah Kabupaten Karawang menjadi 2 bagian, yaitu Karawang Bagian Utara dan Selatan. Karawang Utara adalah daerah persawahan yang mayoritas dilengkapi dengan sistem irigasi teknis. Sedangkan Karawang bagian selatan adalah daerah yang didominasi oleh perbukitan sehingga budidaya padi di sana banyak yang berbasis padi ladang. Dengan metode sampling tersebut didapat empat kecamatan, yaitu Kecamatan Cilamaya Wetan, Tempuran, Ciampel, dan Pangkalan. Kecamatan Tempuran dan Cilamaya Wetan adalah sentra padi sawah, sedangkan Kecamatan Pangkalan dan Ciampel adalah dua kecamatan dengan luas lahan padi ladang terbesar. Selanjutnya dari setiap kecamatan, dipilih satu desa dengan produksi dan produktivitas tertinggi. Dari desa tersebut masing-masing diambil secara acak 30 petani padi sawah dan 15 untuk petani padi ladang, sehingga jumlah total responden sebanyak 90 responden. Perbedaan jumlah sampel petani disebabkan akses menuju kediaman petani padi ladang yang lebih sulit karena keterbatasan peneliti untuk mencapai lokasi tersebut dan perbandingan jumlah petani padi sawah juga lebih banyak dibandingkan dengan petani padi ladang. Pemilihan sampel petani padi sawah dilakukan secara acak, sedangkan untuk padi ladang dilakukan secara snowball. Hal itu disebabkan karena data petani padi sawah telah tersedia di pemerintah desa maupun kelompok tani, sedangkan data mengenai petani padi ladang belum tersedia sehingga untuk padi ladang, penentuan sampel diambil berdasarkan informasi dari petani di daerah itu sendiri.
4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis lebih lanjut untuk memperoleh hasil yang dijadikan jawaban dari masalah penelitian. Dalam menjawab permasalah, digunakan metode analisis deskriptif dan kuantitatif. Nazir (2003) mengartikan analisis deskriptif sebagai suatu metode dalam meneliti suatu kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran maupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan
akurat,
mengenai
fakta-fakta,
sifat-sifat,
serta
hubungan antara fenomena yang diselidiki. Metode deskriptif digunakan untuk menjelaskan alasan-alasan pemilihan keputusan petani. Metode Kuantitatif dan deskriptif digunakan untuk mencari alokasi panen petani, pola musiman marketed surplus, dan faktor-faktor yang mempengaruhi besaran marketed surplus petani. Untuk menganalisis alokasi hasil panen digunakan metode deskriptif dan tabulasi. Untuk alokasi hasil panen, rentang waktu yang digunakan adalah musim tanam terakhir (MT 2010). Untuk membandingkan pola musiman, digunakan perbandingan dua musim. Musim awal 2010 dan akhir 2010 untuk padi sawah, dan musim 2010 untuk padi ladang. Model yang dibangun dipisahkan antara model faktor-faktor yang mempengaruhi matketed surplus padi sawah dan padi ladang. Hal ini bertujuan untuk melihat perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi marketed surplus dari kedua jenis lahan tersebut sehingga dapat dilihat perbedaan karakteristiknya. 4.3.1 Analisis Regresi Linear Berganda Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi besaran marketed surplus akan dilakukan dengan menggunakan data dari keseluruhan responden, maka diperoleh model faktor marketed surplus. Model yang digunakan adalah regresi linear berganda. Tingkat signifikansi variabel yang dipilih yaitu sampai dengan 15 persen karena variabel yang digunakan adalah sosial ekonomi. Berdasarkan data yang tersedia, model persamaannya dapat dituliskan sebagai berikut : Y=b0+b1X1+b2X2+b3X3+b4X4+b5X5+b6X6+ b7X7+b8X8+b9X9+b10X10+b11X11+ei
Dimana : Y
= Jumlah produk yang dipasarkan (marketed surplus) (%)
X1
= Produksi Gabah Petani (kg)
X2
= Harga Gabah/kg (Rp)
X3
= Harga Gabak Kering Giling
X3
= Pendapatan Luar Usahatani (Rp)
X4
= Musim (dummy)
X5
= Jumlah Tanggungan Keluarga (orang)
X6
= Usia Petani (tahun)
X7
= Luas tempat menjemur Gabah (m2)
X8
= Luas tempat menyimpan stok gabah (m2)
X9
= Pendidikan petani (tahun)
X10
= Status Penguasaan Lahan Petani (dummy)
X11
= Sumber Modal Usahatani (dummy) Analisis dimulai dengan melakukan wawancara berdasarkan kuesioner
yang dibuat kepada responden. 1. Marketed Surplus (Y) Marketed surplus adalah variabel dependent atau variabel yang dipengaruhi oleh variabel-variabel dugaan. Marketed surplus yang digunakan di dalam model adalah proporsi (%) gabah yang dijual oleh petani saat panen atau dalam bentuk gabah kering panen (GKP), sedangkan untuk penjualan bentuk gabah kering giling (GKG) akan dianalisis dengan metode deskriptif. 2.
Produksi (X1) Produksi adalah jumlah gabah kotor (Gross Harvest) yang dihasilkan dari
lahan padi petani. Hal ini disebabkan jika yang digunakan data net harvest atau marketabe surplus, maka potongan natura setia petani akan berbeda-beda. 3.
Harga Gabah (X2) Harga gabah yang digunakan dibagi menjadi dua jenis, yaitu harga gabah
kering panen (GKP) dan harga gabah kering simpan (GKS). Harga gabah kering panen adalah harga gabah yang berlaku saat petani menjual hasil panennya saat panen. Sedangkan harga gabah kering simpan adalah harga rata-rata yang berlaku saat petani menjual secara bertahap hasil panennnya.
4.
Pendapatan Luar Usahatani (X3) Pendapatan luar usahatani yang digunakan adalah data pendapatan yang
didapat rumah tangga petani selain dari usahatani padi yang diusahakannya sendiri. Pendapatan luar usahatani ada yang bersifat musiman, seperti hasil kebun, penyewaan traktor. Ada juga yang bersifat rutin, seperti upah buruh tani dan gaji pegawai negeri/swasta. Agar datanya seragam ,maka data keduanya ditabulasi, kemudian dikonversi menjadi pendapatan luar usahatani per bulan. 5.
Musim (X4) Variabel musim adalah variabel dummy dalam model ini. Untuk padi
sawah, musim bernilai 0 adalah musim musim awal tahun sedangkan musim bernilai 1 adalah musim akhir tahun. 6.
Jumlah Tanggungan Rumah Tangga (X5) Jumlah tanggungan adalah jumlah anggota keluarga, saudara, atau kerabat
yang masih menjadi tanggungan petani. Jumlah tanggungan ini mencerminkan ukuran keluarga, sehingga petani sebagai kepala keluarga dimasukkan atau dihitung ke dalam jumlah tersebut. 7.
Usia Petani (X6) Data usia petani adalah umur petani saat diwawancarai. Usia petani
biasanya telah menggambarkan pengalaman usahatani petani itu sendiri. 8.
Luas Tempat Menjemur (X7) dan Menyimpan Gabah (X8) Luas tempat menjemur dan menyimpan gabah digunakan untuk
menggambarkan akses petani untuk melakukan stok gabah. Hal itu dikarenakan stok sangat erat kaitannya dengan akses penjemuran dan penyimpanan. Luas penyimpanan dan penjemuran tidak harus milik petani, tetapi bukan milik petani yang biasa diakses petani, contohnya: luas lapangan umum, luas lantai jemur penggilingan terdekat, atau luas halaman rumah yang biasa digunakan untuk menjemur gabah petani tersebut. Sedangkan untuk luas akses penyimpanan adalah luas tempat menyimpan yang biasa digunakan petani untuk menyimpan gabah. 9.
Pendidikan (X9) Variabel pendidikan adalah lamanya petani menempuh pendidikan formal.
10. Status Penguasaan Lahan Petani (X10) Status penguasaan lahan dalam model ini adalah variabel dummy. Nilai 1 untuk petani yang mengusahakan lahan yang seluruhnya milik petani itu sendiri, sedangkan niai nol adalah untuk petani yang mengusahakan lahan yang seluruhnya atau sebagian bukan miliki sendiri. 11. Sumber Modal Usahatani Sumber modal dalam model ini digambarkan dalam data nominal (dummy). Data tersebut dibedakan menjadi modal sendiri (1) dan modal pinjaman (0). Modal pinjaman mencakup petani yang hanya sebagian meminjam atau sepenuhnya meminjam modal untuk usahataninya. Evaluasi Model Pendugaan Evaluasi
model pendugaan
bertujuan untuk mengetahui apakah
model yang diduga terpenuhi secara statistik. Dalam membuat suatu keputusan ada atau tidaknya pengaruh variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y), maka digunakan uji F dan uji t. Uji F digunakan untuk melihat pengaruh variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y) secara bersama-sama (simultan), sedangkan uji t digunakan untuk melihat pengaruh setiap variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y) dalam penilitian ini. a. Uji-F Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor (Xi) secara bersamaan
(simultan) terhadap
variable
terikat
(Y).
dengan
hipotesis
sebagai berikut : H0 : b1 = bi = 0 (Semua faktor Xi tidak mempengaruhi Y) H1 : b1 ≠ 0 (Sekurang-kurangnya ada satu Xi yang mempengaruhi Y) Rumus Uji F adalah : F-hit = JKK . k (n-1) JKG . (k-1) Keterangan : JKK : Jumlah kuadrat untuk nilai tengah kolom JKG : Jumlah kuadrat galat k
: Jumlah faktor yang dianalisis
n
: Jumlah contoh
Kriteria Uji : 1. F- hit > F Tabel, maka tolak H0 berarti semua variabel bebas mampu secara bersama-sama menjelaskan variasi dari variabel tak bebas. 2. F- hit < F Tabel, maka terima H0 berarti semua variabel bebas tidak mampu secara bersama-sama menjelaskan variasi dari variabel bebas. Dikarenakan pengolahan model telah menggunakan tools statistik, maka pendugaan signifikansi model ini bisa terlihat di output. b. Uji- t Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas ( X) terhadap variabel terikat (Y). Hipotesis pengujiannya adalah : H0 : bi = 0 (Variabel X tidak mempengaruhi variabel Y) H1 : bi ≠ 0 (Variabel X mempengaruhi variabel Y) Dalam melihat pengaruh variabel X terhadap variabel Y, maka digunakanlah uji t. Rumus perhitungan uji t adalah: t hitung = bi – b0 SE Keterangan : bi = Slope faktor Xi b0 = Slope Konstanta SE = Standard Error Kriteria Uji : 1. t- hit > t
tabel,
maka tolak H0 artinya variabel-variabel bebas yang diuji
berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. 2. t- hit < t
tabel,
maka terima H0 artinya variabel-variabel bebas tidak
berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi (R2) digunakan sebagai pengukur tingkat kebaikan model. Semakin tinggi keragaman dapat diterangkan oleh model tersebut, semakin besar koefisien determinasi.
V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Karawang berada di bagian utara Propinsi Jawa Barat yang terletak antara 107002 – 107040’ Bujur Timur dan 5056’ – 6034’ Lintang Selatan. Suhu rata-rata di Kabupaten Karawang adalah 270C dengan kelembapan 80%. Kabupaten Karawang mempunyai batas wilayah secara administratif sebagai berikut : 1.
Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa,
2.
sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Subang,
3.
sebelah Tenggara berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta,
4.
sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, dan ;
5.
sebelah Barat dengan Kabupaten Bekasi. Secara administratif Kabupaten Karawang terbagi menjadi 30 kecamatan.
Pada tahun 2010 jumlah penduduk Kabupaten Karawang mencapai 2.125.234 jiwa. Kabupaten Karawang memiliki luas 1.753,27 km2 dengan kepadatan penduduk 1.212 jiwa tiap km2. Berdasarkan sensus pertanian tahun 2003, banyaknya rumah tangga pertanian di Kabupaten Karawang adalah 133.292 rumah tangga yang terbagi menjadi rumah tangga petani padi, palawija, holtikultura, dan perkebunan. Untuk rumah tangga petani padi sebanyak 90.792 rumah tangga. Secara topografi Kabupaten Karawang termasuk daerah yang relatif rendah dan datar. Karawang bagian utara dan tengah didominasi oleh dataran rendah yang merupakan daera pemukiman dan pesawahan yang telah dilengkapi dengan pengairan atau sistem irigasi teknis. Sedangkan Karawang bagian selatan adalah daerah perbukitan dengan ketinggian 100-250 meter dpl. Oleh karena itu, daerah
Karawang
Selatan
merupakan
darah
pengembangan
komoditas
perkebunan. Keragaman kemiringan berkisar antara 0-40 persen, dengan tingkat kemiringan datar mendominasi sebagian besar wilayah Kabupaten Karawang. Sekitar 94 persen memiliki tingkat kemiringan lereng maksimum 8 persen dan 83 persen berada pada kisaran lereng 0-3 persen. Kabupaten Karawang termasuk memiliki rata-rata curah hujan 163,5 mm/bulan dan jumlah hari hujan 6,97 per bulan.
5.1 Kondisi Pertanian Kabupaten Karawang Sebagai satu sentra beras, penggunaan lahan di Kabupaten Karawang mayoritas digunakan untuk pertanian, khususnya tanaman pangan, yaitu padi. Luas lahan pesawahan mendominasi lebih dari separuh luas lahan keseluruhan di Kabupaten Karawang. lahan sawah itu pun mayoritas telah dilengkapi dengan sistem irigasi, terutama irigasi teknis. Tabel 10. Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Karawang Tahun 2009 Lahan Pertanian Luas (ha) Lahan Sawah Pengairan Teknis 85.513 Setengah teknis 4.009 Irigasi Sederhana 3.620 Desa/non PU 435 Tadah Hujan 3.952 Jumlah 97.529 Lahan Bukan Sawah Tegal/Kebuh Ladang/Huma Perkebunan Hutan Rakyat Tambak Empang Lainnya Jumlah Jumlah Lahan Pertanian Lahan Bukan Pertanian Rumah/Bangunan Hutan Negara Rawa Lainnya Jumlah Jumlah Lahan Non Pertanian
8.149 2.378 328 4.389 9.354 657 9.444 35.092 132.621 Luas (ha) 22.063 13.292 197 7.154 42.706 42.706
Sumber : Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Karawang 2010 [diolah]
Tabel 10 menyajikan luas penggunaan lahan sesuai dengan fungsi lahan tahun 2009. Dapat dilihat bahwa Kabupaten Karawang mayoritas lahannya digunakan untuk pertanian, sehingga mayoritas penduduknya adalah masyarakat
yang bekerja di bidang pertanian (61,9%). Luas lahan sawah masih mendominasi, dan lahan untuk padi non sawah tidak terlalu luas, namun dari sisi teknologi, peluang peningkatan untuk produksinya masih menjanjikan. Selain komoditi padi, Kabupaten Karawang juga menghasilkan komoditi palawija dan hortikultura. Komoditi sayuran utama yang dihasilkan yaitu jamur merang, mentimun, dan kacang panjang. Bahkan jamur merang merupakan komoditi unggulan Kabupaten Karawang, karena pasokan bahan baku merang sangat melimpah. 5.2 Karakteristik Responden Kategori usia petani dikelompokkan berdasarkan kategori Survei Tenaga Kerja Nasional (Saskernas). Usia petani yang menjadi respondan yaitu petani yang berusia 28 – 70 tahun. Namun jumlah terbanyak yaitu petani dengan rentang usia 45-59 tahun. Hal itu menunjukkan bahwa petani masih berada pada usia produktif. Sebaran responden menurut usia petani padi di Kabupaten Karawang dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Sebaran Petani Responden Menurut Usia Tahun 2011 Petani Padi Ladang Petani Padi Sawah Kategori Umur (n) (%) (n) (%) 10-29 tahun 1 3,30 1 1,60 30-44 tahun 9 30,00 14 23,30 45-59 tahun 15 50,00 31 51,70 >60 tahun 5 16,70 14 23,30 Jumlah 30 100,00 60 100,00 Sumber: Data Primer
Pengalaman usahatani padi petani rata-rata telah lebih dari lima tahun. Jumlah petani yang lebih dari 60 tahun atau usia pasca produktif berjumlah 14 orang untuk petani padi sawah dan lima orang untuk petani padi ladang. sedangkan usia 10-29 tahun berjumlah masing-masing 1 orang untuk petani padi sawah dan lading
Tabel 12. Sebaran Petani Responden Menurut Pengalaman Usahatani Tahun 2011 Kategori Umur 10-29 tahun 30-44 tahun 45-59 tahun >60 tahun
Rata-rata Pengalaman Usahatani Padi (tahun) Petani Padi Sawah Petani Padi Ladang 10,00 15,00 18,10 16,10 23,10 22,70 31,90 40,00
Sumber: Data Primer
Untuk pengalama usahatani padi, baik itu petani ladang maupun sawah, usia petani mencerminkan pengalaman usahatani padi itu sendiri. Semakin tua usia petani, maka semakin lama pula pengalaman usahataninya. Hal yang terjadi di lapangan, yaitu rata-rata petani sudah mulai berusahatani saat umur masih terbilang muda, yaitu 20-30 tahun. Tabel 13. Sebaran Petani Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2011 Petani Padi Ladang Petani Padi Sawah Pendidikan (n) (%) (n) (%) Tidak sekolah 2 6,70 1 1,70 Lulusan SD 22 73,30 27 45,00 Lulusan SMP 0 0,00 3 5,00 Lulusan SMA 5 16,70 14 23,30 S1 0 0,00 14 23,30 S2 1 3,30 1 1,70 Jumlah 30 100,00 60 100,00 Sumber: Data Primer
Tabel 13 menunjukkan tingkat pendidikan petani responden. Mayoritas pendidikan petani responden adalah tamatan SD baik itu petani padi ladang maupun petani padi sawah. Sebaran tingkat pendidikan yang terjadi pada petani padi sawah, yaitu jumlah lulusan SMA dan S1 masing-masing sebanyak 14 responden. Itu menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal rata-rata petani padi sawah lebih tinggi dibandingkan petani padi ladang.
Tabel 14. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Status Usahatani Tahun 2011 Petani Padi Ladang Petani Padi Sawah Status Usahatani (n) (%) (n) (%) Penghasilan Utama 0 0,00 53 88,30 Penghasilan Sampingan 30 100,00 7 11,70 Jumlah 30 100,00 60 100,00 Sumber: Data Primer
Dari Tabel 14 dapat disimpulkan bahwa petani padi sawah lebih banyak menjadikan usahatani padi sebagai sumber penghasilan utama rumah tangga dibandingkan petani padi ladang. Petani padi ladang lebih mengandalkan hasil kebun untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Hasil kebun yang diusahakan antara lain: jeruk, pisang, dan palawija. Tabel 15. Sebaran Petani Responden Menurut Status Penguasaan Lahan Tahun 2011 Petani Padi Sawah Petani Padi Ladang Status Penguasaan Lahan (n) (%) (n) (%) Penggarap (pinjam) 0 0 30 100,00 Pemilik 44 73,30 0 0 Penggarap (Sewa) 3 5,00 0 0 Penggarap (sakap) 6 10,00 0 0 Penggarap (Gadai) 1 1,70 0 0 Milik dan Sewa 2 3,30 0 0 Milik dan Gadai 3 5,00 0 0 Penggarap (Sewa dan Sakap) 1 1,70 0 0 Jumlah 60 100,00 30 100,00 Sumber: Data Primer
Dari Tabel 15 didapat bahwa secara keseluruhan, status penguasaan lahan yang diusahakan petani adalah garapan. Jenis garapan yang ada, antara lain: garapan sewa, sakap, gadai, dan pinjam atau hak garap. Namun jika dilihat masing-masing jenis lahan, mayoritas petani padi sawah adalah pemilik sedangkan petani padi ladang adalah penggarap dengan sistem pinjam atau hak garap. Hak garap yang didapat petani padi ladang adalah hak garap lahan hutan yang diberikan oleh Perhutani kepada masyarakat lokal.
Perbedaan antara sistem garap pinjam dengan sistem garap lainnya adalah sistem garap pinjam petani tidak dikenakan konsekuensi apapun seperti pajak atau biaya sewa yang sifatnya rutin kepada pemilik lahan dalam hal ini Perhutani. Untuk sistem sewa, petani pengarap harus membayar uang sewa kepada pemilik lahan. Untuk sistem sakap, petani harus membayar sejumlah proporsi atau jumlah penjualan atas proporsi hasil panen. Tabel 16. Sebaran Petani Responden Menurut Luas Lahan yang Diusahakan Tahun 2011 Petani Padi Ladang Petani Padi Sawah Kategori Luas Lahan Padi (n) (%) (n) (%) < 0,49 ha 8 26,70 2 3,30 0,5 ha - 0,99 ha 9 30,00 20 30,00 1 ha - 1,99 ha 8 26,70 10 16,70 2 ha - 4,99 ha 4 13,30 20 30,00 >5 ha 1 3,30 8 13,30 Jumlah 30 100,00 60 100,00 Sumber: Data Primer
Dari Tabel 16 dapat disimpulkan bahwa petani padi sawah mayoritas mengusahakan lebih dari satu hektar lahan sedangkan mayoritas petani padi ladang kurang dari satu hektar. Namun, secara keseluruhan, rata-rata luasan lahan yang dikuasai oleh setiap petani pada pola usahatani padi sawah yaitu 4,3 hektar, sedangkan rata-rata luas lahan petani pada pola usahatani padi ladang adalah 1 hektar. Hal ini konsisten dengan temuan sebelumnya, yaitu petani padi sawah mayoritas menjadikan usahatani padi sebagai sumber penghasilan utama sedangkan petani padi ladang menjadikan usahatani padi hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras rumah tangga petani. Selain itu, dapat disimpulkan pula pendapatan usahatani petani padi sawah lebih besar dibandingkan dengan petani padi ladang. Hal itu disebabkan selain luasan lahan rata-rata padi yang lebih luas, juga pola tanam padi sawah yang lebih banyak daripada padi ladang.
Tabel 17. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Pendapatan Luar Usahatani per Bulan Tahun 2011 Petani Padi Sawah Petani Padi Ladang Penghasilan per bulan (n) (%) (n) (%) <500.000 28 46,70 0 0 500.000-1.500.000 8 13,30 23 76,70 1.500.000 - 2.500.000 7 11,70 4 13,30 2.500.000 - 3.500.000 3 5,00 0 0 >3.500.000 14 23,30 3 10,00 Jumlah 60 100,00 30 100,00 Sumber: Data Primer
Dari Tabel 17 dapat dilihat bahwa distribusi pendapatan luar usahatani petani sawah lebih menyebar dibandingkan petani padi ladang. Selain itu, rata-rata penghasilan padi ladang relatif lebih tinggi dibandingkan petani sawah. hal ini konsisten dengan status usahatani padi petani sendiri yang telah dibahas sebelumnya. Dengan status usahatani padi sebagai penghasilan utama rumah tangga, maka penghasilan luar usahatani petani padi sawah relatif lebih kecil dari pada petani ladang yang lebih mengandalkan penghasilan di luar usahatani padi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Tabel 18. Sebaran Penghasilan Luar Usahatani Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan yang Diusahakan Tahun 2011 Petani Padi Sawah Petani Padi Ladang Kategori Luas Lahan Rata-rata Penghasilan Rata-rata Penghasilan Usahatani Perbulan (Rp) Usahatani Perbulan (Rp) 972.500 1.300.000 <0,49 ha 1.570.000 1.876.111 0,5-0,99 ha 981.250 2.262.500 1-1,99 ha 2.443.333 1.437.500 2-4,99 ha 10.084.750 8.500.000 >5 ha Sumber: Data Primer
Namun dari Tabel 18 diketahui bahwa besaran penghasilan luar usahatani tidak bergantung pada luasan lahan padi yang diusahakan. Petani yang mengusahakan lahan padi yang luas belum tentu mempunyai penghasilan luas usahatani yang tinggi pula, begitu juga sebaliknya.
Tabel 19. Rata-rata Jumlah Tanggungan Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan Tahun 2011 Petani Padi Sawah Petani Padi Ladang Luas Lahan rata-rata jumlah rata-rata jumlah tanggungan tanggungan <0,49 ha 4,00 3,63 0,5-0,99 ha 3,90 4,75 1-1,99 ha 4,38 4,11 2-4,99 ha 3,95 3,75 >5 ha 4,20 3,00 Rata-rata 4,08 4,07 Sumber: Data Primer
Secara keseluruhan, jumlah rata-rata tanggungan rumah tangga petani responden sama, yaitu empat tanggungan setiap rumah tangga. Jumlah tanggungan yang berbeda hanya pada petani responden padi ladang dengan rentang luas lahan yang dikuasai 1-1,99 hektar, yaitu dengan rata-rata jumlah tanggungan rumah tangga 4 orang. Tabel 20. Rata-rata Rasio Tenaga Kerja Dalam Keluarga Berdasarkan Luas Lahan yang Diusahakan Tahun 2011 Kategori Luas Lahan Rata-rata rasio TK dalam keluarga 0,46 Ladang < 0,49 ha 0,46 0,5 ha - 0,99 ha 0,59 1 ha - 1,99 ha 0,51 2 ha - 4,99 ha 0,18 >5 ha 0,06 0,12 Sawah < 0,49 ha 0,31 0,5 ha - 0,99 ha 0,42 1 ha - 1,99 ha 0,15 2 ha - 4,99 ha 0,05 >5 ha 0,01 Sumber: Data Primer
Rasio tenaga kerja dalam keluarga untuk petani padi sawah secara umum lebih rendah dari pada padi ladang. Untuk setiap luasan lahan, semakin luas lahan yang dikuasai maka rasio tenaga kerja dalam keluarga semakin kecil. Hal itu
disebabkan jumlah anggota keluarga yang relatif sama di setiap rumah tangga petani. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada usahatani padi pola ladang penggunaan tenaga kerja dalam keluarga lebih tinggi dibandingkan pola usahatani dibandingkan pola usahatani sawah. hal tersebut disebabkan jumlah anggota keluarga yang bejerja di usahatani pada pola usahatani ladang relatif lebih tinggi dibandingkan pola usahatani sawah. Tabel 21. Rata-rata Konsumsi Beras Rumah Tangga Petani Responden Tahun 2011 beras sosial per rumah tangga konsumsi perkapita per Ladang per tahun tahun (makan) <0,49 ha 88,20 127,00 0,5-0,99 ha 108,00 119,56 1-1,99 ha 91,95 169,00 2-4,99 ha 63,00 50,00 >5 ha 60,00 400,00 rata-rata total 90,84 134,80 konsumsi perkapita per beras sosial per rumah tangga tahun (makan) per tahun Sawah <0,49 ha 76,50 328,00 0,5-0,99 ha 95,49 374,60 1-1,99 ha 127,70 611,25 2-4,99 ha 105,41 514,80 >5 ha 107,64 518,88 rata-rata total 106,51 499,43 Sumber: Data Primer
Untuk konsumsi beras rumah tangga, rumah tangga petani padi sawah mengonsumsi atau tingkat konsumsi per kapita per tahun lebih tinggi daripada petani padi ladang. begitu juga untuk konsumsi beras untuk keperluan sosial. Rumah tangga petani padi sawah lebih banyak menggonsumsi beras untuk keperluan sosial dibandingkan rumah tangga petani padi ladang. Artinya, di lingkungan petani padi sawah, budaya kegiatan sosial atau keagamaan yang menggunakan beras lebih tinggi daripada petani ladang. di lingkungan rumah tangga petani ladang, acara budaya atau keagamaan petani lebih banyak mengonsumsi dalam bentuk uang daripada beras. Produktivitas padi ladang yang lebih rendah juga mengakibatkan jumlah beras yang dimiliki petani menjadi lebih
sedikit sehingga, konsumsi acara keagamaan atau budaya dalam bentuk uang lebih digemari. Jika konsumsi tersebut didistribusikan menurut luasan lahan yang dikuasai, maka rumah tangga petani yang mengusahakan lahan pada rentang 11,99 hektar yang mempunyai konsumsi per kapita per tahun yang paling tinggi. hal itu terjadi pada kedua jenis petani, baik petani sawah maupun petani ladang. hal tersebut disebabkan pada rumah tangga petani dengan rentang 1-1,99 hektar, jumlah tanggungan keluarganya juga paling tinggi, seperti yang terlampir pada tabel 19. 5.3. Gambaran Umum Usahatani Padi Sawah dan Ladang di Kabupaten Karawang 5.3.1. Usahatani Padi Sawah di Kabupaten Karawang Persiapan dan Pengolahan Lahan Persiapan dan pengolahan lahan terdiri dari beberapa tahapan, antara lain: pembersihan, pencangkulan, pembajakan, dan perataan. Pada tahap pembersihan, saluran air yang menuju ke sawah dibersihkan agar air yang diperlukan dapat mengalir dengan lancar. Tanah sawah yang masih ada jeraminya dibersihkan. Biasanya dalam tahap ini petani juga membuat kotakan untuk persemaian benih. Setelah pembersihan selesai, dilanjutkan dengan pencangkulan, yaitu dengan memperbaiki pematang serta mencangkul sudut-sudut petak sawah yang sulit dikerjakan oleh bajak. Setelah pencangkulan selesai, maka dilanjutkan dengan pembajaka. Proses ini petani biasa menyewa traktor untuk memercepat pengerjaan. Tiap hektar lahan, petani membayar sewa antara Rp.600.000-Rp.700.000. Setelah pembajakan selesai, maka tanah yang telah selesai dibajak kemudian diratakan dan diberi tanda garis-garis untuk tempat menananm benih padi saat penanaman. Penanaman Penanaman bisa dilakukan setelah benih disemai 20-30 hari. Proses penanaman biasa disebut tandur. Petani padi sawah di Kabupaten Karawang
melakukan penanaman dengan sistem borongan, biayanya tergantung jarak tanam yang didinginkan petani. Jika jarak tanam biasa, yakni 25x25 cm biaya yang dikeluarkan adalah Rp.600.000-Rp.650.000, sedangkan jika jarak tanamnya menggunakan sistem legowo, maka biayanya bisa mencapai Rp.700.000 per hektar lahannya. Meskipun secara teori sistem legowo bisa memberikan hasil yang lebih tinggi, namun petani lebih sering menggunakan sistem tanam dengan jarak tanam biasa. Pemupukan Pemupukan dilakukan dua kali saat padi berusia 3-4 minggu dan 6-8 minggu. Dosis pupuk (urea, TSP, SP-36, NPK) yang digunakan berkisar 3-4,5 kuintal per hektarnya. Penyiangan dan Penyulaman Penyiangan bertujuan untuk membersihkan padi dari tanaman gulma, sedangkan penyulaman bertujuan untuk mengganti benih padi yang mati setelah ditanam. Petani umumnya tidak mengeluarkan biaya untuk melakukan penyiangan dan penyulaman. Hal itu dikarenakan buruh tani yang ingin memanen lahan padi petani tersebut lah akan melakukan penyiangan, dengan konsekuensi pemanenan nanti tidak boleh dilakukan oleh buruh tani lain. Kegiatan penyiangan dilakukan satu sampai dua kali tergantung bannyak sedikitnya gulama yang tumbuh. Pengendalian Hama dan Penyakit Pengendalian hama dan penyakit atau penyemprotan dilakukan 6-10 kali. Hama yang sering menyerang yaitu wereng. Sekain banyak wereng yang menyerang, maka intensitas penyemprotan semakin banyak. 5.3.2. Usahatani Padi Ladang di Kabupaten Karawang Kegiatan berusahatani padi ladang Kabupaten Karawang dilakukan mulai dari kegiatan
persiapan
lahan dalam dengan
mengolah
lahan pada
saat datangnya musim hujan sekitar bukan Oktober atau November tergantung perkiraan petani berdasarkan pengalamannya sampai dengan masa panen sekitar bulan Maret atau April. Kegiatan berusahatani padi ladang di Kabupaten
Karawang umumnya dilakukan dengan sistem tumpang sari atau mono kultur. Sebagian petani menanam padi sebagai tanaman utama, dan ada juga yang menannamnya sebagai tanaman sela, di antara tanaman utama, seperti: pisang, jeruk, dan jenis tanaman tahunan lainnya. Varietas padi ladang yang digunakan saat ini petani adalah jenis Ciherang yang sebenarnya
merupakan
varietas
padi sawah.
Berdasarkan
pengalaman petani, varietas padi sawah jenis Ciherang dapat memberikan hasil yang relatif lebih tinggi jika ditanam
di lahan kering daripada
padi ladang lainnya.
Ciherang
Varietas
jenis
juga
dianggap
varietas sesuai
dengan kondisi tanah dan iklim di Kabupaten Karawang oleh para petani. Pengolahan Lahan Penentuan waktu yang paling tepat untuk mengolah tanah dilakukan petani berdasarkan pengalaman dari masa tanam sebelumnya. Berdasarkan pengalaman tersebut jika petani memperkirakan bahwa musim hujan akan mulai berlangsung secara merata pada bulan tertentu, maka sekitar dua minggu hingga satu bulan sebelum bulan tersebut merupakan saat yang paling tepat untuk melakukan pengolahan lahan. Pengolahan tanah dilakukan petani responden dengan cara mencangkul dengan menggunakan cangkul dan tidak ada petani responden yang menggunakan mesin atau ternak untuk membajak karena biaya penggunaan mesin pembajak (traktor) yang sangat tinggi dan karena tidak ada petani memiliki ternak pembajak sehingga kegiatan
mencangkul tanah dilakukan hanya dengan mengandalkan
tenaga manusia dari dalam maupun dari luar keluarga. Pada pengolahan pertama, mencangkul dilakukan sedemikian rupa sehingga tanahnya terbalik, yaitu yang semula di atas atau di permukaan menjadi di bagian bawah dan demikian sebaliknya yang semula di bagian bawah menjadi di bagian atas. Pengolahan ini dimaksudkan untuk mematikan dan membusukkan rerumputan yang semula terdapat di permukaan tanah dan kemudian akan terbenam ke bagian bawah tanah. Pembalikan
tanah bagian bawah ke atas
betujuan untuk menganginkan tanah memberikan kesempatan bagi tanah untuk melepaskan racun-racun yang sangat mungkin terbentuk dalam tanah. Keadaaan ini dibiarkan selama dua minggu hingga rerumputan yang terbenam dianggap
sudah membusuk atau melapuk dan racun-racun yang ada sudah menguap ke udara. Pengolahan kedua merupakan penyisiran tanah yaitu mengusahakan agar tanah yang sebelumnya merupakan bongkahan atau gumpalan -gumpalan besar dipecahkan dan diremukkan hingga sekecil-kecilnya. Bagian atas tanah juga diolah sedemikian rupa dengan menggunakan garpu atau garu sehingga lahan yang akan ditanami padi menjadi sedatar mungkin. Kemudian sekitar dua minggu setelah pengolahan kedua, dilakukan pengolahan ketiga yang merupakan kegiatan mencangkul tanah yang sebelumnya telah diremukkan dan diratakan pada pengolahan pertama dan kedua. Pengolahan ketiga ini dilakukan sedemikian rupa sehingga arah dari pembajakan tanah pertama membentuk siku dengan arah dari pembajakan tanah kedua. Kemudian pada tahap pengolahan ini juga diusahakan sedemikian rupa sehingga bagian tengah dari lahan yang diolah sedikit lebih tinggi daripada bagian pinggir lahan dengan maksud agar bagian tengah lahan tidak tergenang air jika hujan turun secara berlebihan tetapi akan mengalir ke bagian pinggir lahan, sebab walaupun padi ladang sangat tergantung pada air hujan dalam pertumbuhannya namun air yang berlebihan juga akan menyebabkan kerusakan pada padi ladang. Untuk lahan yang permukaannya miring, terutama pada daerah berbukit, lahan dibuat berbentuk terasering untuk mencegah pengendapan air dan membentuk parit-parit untuk mencegah erosi agar kesuburan tanah tetap terjaga. Biaya upah yang berlaku secara umum bagi para buruh tani untuk proses pengolahan tanah adalah Rp. 20 ribu per hari dengan jam kerja selama 6 jam. Penanaman Penanaman dilakukan dengan menggunakan alat tugal (aseuk) yang terbuat dari kayu untuk membuat lubang- lubang tanam pada kedalaman sekitar 2 hingga 5 cm pada lahan yang sebelumnya sudah diolah terlebih dahulu, kemudian ke dalam ubang dimasukkan sekitar 5 sampai 7 bulir padi jenis Ciherang dengan jarak anam pada umumnya kira-kira 20 X 20 sentimeter hingga 30 X 30 sentimeter. Setelah bulir ditugalkan ke dalam tiap-tiap lubang tanam kemudian ditutup kembali dengan maksud agar bulir yang ditugalkan tidak diganggu oleh
burung atau binatang-binatang perusak atau pemakan bulir lainnya. Kebutuhan benih per hektar padi ladang yaitu 50-100 kg. Pemupukan Sulitnya mendapatkan pupuk bagi petani menyebabkan penggunaan pupuk yang
tidak optimal karena tidak sesuai dengan dosis pupuk ideal, bahkan
sebagian petani tidak menggunakan pupuk sama sekali. petani hanya memupuk 50-100 kg per hektar lahannya. Pemupukan dilakukan dua kali, yaitu pada saat umur padi 15 hari dan 45 hari. Pengendalian Hama dan Penyakit Pengendalian hama dan penyakit untuk padi ladang di Kabupaten Karawang hanya sebagai pencegahan. Hama yang biasa menyerang yaitu wereng. Hal itu bisa diatasi dan ducegah dengan penyemprotan pestisida jenis insektisida, yang bisa dengan mudah didaoatkan di kios tani terdekat. Pengendalian hama padi ladang yang paling menyita waktu dan biaya adalah untuk mengendalikan gulma (penyiangan). Petani harus melakukan sesering mungkin penyiangan terutama awal masa penanaman, agar pertumbuhan gulma tidak menghambat pertumbuhan padi yang baru ditanam. 5.3.3. Struktur Biaya Tunai Usahatani Padi Ladang dan Sawah Tabel 22 menginformasikan rata-rata biaya tunai usahatani dalam satu musim. Biaya tersebut adalah biaya dari pengolahan lahan hingga biaya pengendalian hama dan penyakit. Dari tabel 22 didapat informasi bahwa biaya tunai usahatani per hektar yang dikeluarkan oleh petani padi sawah lebih tinggi daripada petani padi ladang. Hal itu disebabkan sistem budidaya padi sawah lebih intensif daripada padi ladang, sehingga memerlukan lebih banyak biaya baik itu untuk membeli faktor produksi seperti pupu dan pestisida, maupun tenaga kerja. Sistem budidaya padi ladang di Kabupaten Karawang cenderung lebih tradisional atau kurang intensif. Sebagian petani ladang menanam padi ladang sebagai tanaman selang diantara tanaman utama.
Tabel 22. Rata-rata Biaya Tunai Usahatani Petani Responden dan Penggunaannya Tahun 2011 rata-rata biaya %pupuk %pestisida %TK Ladang ustan per ha %benih <0,49 ha 4.546.146 12 23 9 56 0,5-0,99 ha 2.315.407 15 21 10 55 1-1,99 ha 2.064.792 16 13 13 58 2-4,99 ha 2.104.792 16 8 9 67 >5 ha 2.150.000 14 19 5 63 rata-rata 2.809.844 14 17 10 58 rata-rata biaya %pupuk %pestisida %TK ustan per ha %benih Sawah <0,49 ha 6.023.982 2 21 25 52 0,5-0,99 ha 3.339.524 1 26 26 47 1-1,99 ha 4.311.935 1 14 38 47 2-4,99 ha 3.816.409 2 21 26 51 >5 ha 3.665.821 1 50 11 39 rata-rata 3.826.388 1 26,40 25,20 46,30 Sumber: Data Primer
Selain itu, dapat disimpulkan juga, semakin luas lahan yang diusahakan, biaya tunai usahatani juga relatif semakin rendah. Hal ini terjadi pada padi ladang maupun padi sawah. Petani yang menguasai lahan lebih luas cenderung akan menggunakan sistem borongan untuk setiap kegiatan usahataninya sehingga biayanya bisa lebih murah. Untuk proporsi penggunaan biaya tunai usahatani, biaya yang dikeluarkan untuk pupuk dan pestisida padi ladang lebih rendah dibandingkan padi sawah, tetapi lebih tinggi untuk biaya tenaga kerja dan benih. Untuk biaya benih, petani padi ladang lebih besar mengeluarkan biaya karena petani padi ladang cenderung tidak melakukan stok benih dari hasil panen untuk musim selanjutnya, sedangkan mayoritas petani padi sawah melakukan stok benih. Untuk biaya pupuk, petani padi ladang lebih sedikit meneluarkan biaya karena petani mengalami kesulitan mendapatkan pupuk dalam jumlah yang diinginkan. Untuk setiap hektarnya, petani padi sawah menggunakan pupuk (urea, TSP, SP-36, NPK) dua sampai empat kuintal. Namun karena kesulitan mendapatkan pupuk, maka petani ladang hanya memupuk 50-100 kg pupuk untuk setiap hektar lahannya.
Padi sawah lebih rentan terhadap hama dan peyakit sehingga lebih banyak memerlukan perawatan. Hal ini berdampak pada tingginya biaya untuk membeli pestisida. Sedangkan untuk proporsi biaya tenaga kerja, budidaya padi ladang lebih banyak memerlukan perawatan dalam hal menganggulangi gulma atau tanaman
pengganggu,
sehingga
dibandingkan budidaya padi sawah.
diperlukan
lebih
banyak
tenaga
kerja
VI ALOKASI PRODUK 6.1 Alokasi Produk (Hasil Panen) Dari hasil pengamatan di lapangan, alokasi produk atau hasil panen baik petani padi sawah maupun petani padi ladang antara lain di antaranya: natura panen, share pemilik lahan, natura pengaturan air, penjualan, dan penyimpanan (stock). 1.
Natura Panen (bawon) Natura panen adalah potongan biaya yang harus dikeluarkan oleh petani
untuk membayar tenaga kerja saat memanen lahan padi miliknya. Berdasarkan hasil pengamatan, hanya tenaga kerja saat panen saja yang dibayar dengan sistem natura. Untuk tenaga selama proses budidaya dibayar dengan uang tunai. Variasi cara panen petani padi di Kabupaten Karawang antara lain : Tabel 23. Sebaran Petani Berdasarkan Cara Panen di Kabupaten Karawang Tahun 2010 Cara Panen Panen Sendiri Bawon Jumlah
Bawon Tebas dan Panen Sendiri Bawon dan Tebas Bawon dan Panen Sendiri Jumlah
(n) 16 14 30 (n) 50
Petani Padi Ladang (%) 53,30 46,70 100,00 Petani Padi Sawah (%) 83,30
3 2
5,00 3,30
5 60
8,30 100,00
Sumber: Data Primer
Dari Tabel 23 dapat dilihat bahwa pada petani padi sawah, variasi sistem panen lebih beragam dari petani padi ladang. Hal ini disebabkan petani padi sawah yang menggunakan lebih dari satu cara panen mempunyai persil lebih dari satu sehingga memungkinkan cara panennya berbeda-beda setiap persil.
a. Panen Sendiri Panen sendiri adalah cara panen petani oleh anggota keluarga petani itu sendiri. Cara panen ini biasanya digunakan oleh petani yang mengusahakan lahan kurang dari 1 hektar. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan jika dipanen oleh keluarga sendiri maka tidak perlu biaya untuk membayar tenaga kerja untuk pemanenan dan hasil yang didapat juga akan lebih banyak dan pasti. b.
Bawon ( Panen Natura) Bawon adalah istilah panen natura di Kabupaten Karawang di mana sistem
pembayaran tenaga kerja panennya menggunakan proporsi hasil panen yang didapat dari lahan yang dipanen. dari total 90 petani responden, yang menggunakan sistem panen ini sebanyak 71 petani (78,9%), mayoritas dari petani pola usahatani padi sawah. Ada 2 sistem panen bawon yang dikenal di Kabupaten Karawang, yaitu sistem ceblok atau sitem tertutup, dan bradagan atau sitem terbuka. Sistem tertutup yaitu sistem bawon yang proses pemanenannya hanya dikuasai oleh satu kelompok saja sedangkan sistem terbuka yaitu sistem bawon yang pelaksanaan panennya boleh dilakukan oleh siapa saja. Sistem tertutup punya konsekuensi tambahan, yaitu kelompok yang ingin memanen lahan seorang petani, mereka harus melakukan penyemaian. Namun dalam pelaksanaannya kini, sitem ceblok atau tertutup lebih sering digunakan karena sistem terbuka atau bradagan sangat rawan kecurangan dalam kegiatan pembagian hasil panennya. Proporsi hasil panen yang digunakan bervariasi, antara lain : 1:7, 1:6, dan 1:5. Proporsi 1:7 dan 1:6 biasanya dipakai oleh petani padi sawah sedangkan proporsi 1:5 biasanya digunakan oleh petani padi ladang. Besaran real natura yang harus dikeluarkan petani pada musim tanam yang diamati, yaitu 1,43 ton untuk petani padi sawah dan 0,28 ton untuk petani padi ladang. Proporsi dari produksi kotornya sendiri yaitu 14 persen pada petani padi dsawah dan 15% pada petani padi ladang. Dari hasil pengamatan, alasan petani melakukan sistem panen bawon, yaitu :
Tabel 24. Sebaran Jumlah Petani Berdasarkan Alasan Penggunaan Sistem Panen Natura (bawon) Tahun 2010 Alasan (n) (%) Kurang Tenaga Kerja 15 21,10 Menghemat Biaya Panen 12 16,90 Tanggung Jawab Sosial 23 32,40 Kepastian hasil 21 29,60 Jumlah 71 100,00 Sumber: Data Primer
Alasan menghemat biaya panen timbul akibat petani kekurangan uang tunai untuk membayar tenaga kerja sehingga pembayaran secara natura lebih dipilih petani. Alasan kurangnya tenaga kerja disebabkan lahan yang diusahakan petani terlalu luas untuk dipanen oleh anggota keluarga petani sehingga petani lebih memilih menggunakan sistem natura untuk memanen lahannya. Selain itu, buruh tani setempat lebih senang dibayar menggunakan sistem natura dibandingkan sistem lainnya, seperti Rp/kg atau upah harian. Sistem natura dinilai lebih adil dan manusiawi oleh tenaga kerja maupun pemilik lahan dikarenakan proses pemanenan adalah proses yang lebih lama dari kegiatan usahatani lainnya. Selain itu, petani bisa menghemat biaya pengangkutan, karena biaya natura sudah termasuk biaya pengangkutan hasil panen baik itu ke tempat penyimpanan gabah petani, maupun ke tempat tengkulak. Pemanenan dengan sistem natura atau bawon ini juga memberikan hasil yang lebih pasti bagi petani dan pemanen. Jika dipanen dengan sistem tebas, maka petani tidak tahu berapa sebenarnya hasil yang didapat karena hasil panennya dibeli dengan sistem borongan sehingga hasil yang didapat tergantung pada tawarmenawar petani dengan penebas. Kepastian hasil ini juga disebabkan karena petani biasanya mempekerjakan buruh tani yang sudah sangat dikenalnya, agar kecurangan yang terjadi saat pemanenan bisa diminimalisir. Namun kebanyakan petani beralasan mereka melakukan sistem panen bawon karena merasa ada tanggung jawab sosial terhadap buruh tani di sekitar mereka. Sebenarnya, memanen dengan dengan sistem pembayaran tunai sepert Rp/kg atau upah harian bisa memberikan lebih banyak hasil terhadap petani, tetapi karena alasan sosial tersebut petani lebih banyak yang menggunakan sistem bawon ini.
c. Tebas Sistem tebas atau borongan dilakukan petani dengan menjual padinya kepada pembeli beberapa hari sebelum dipanen. Petani tidak tahu pasti berapa hasil padi yang didapatnya, karena hasil yang didapat tergantung dari tawarmenawar petani denagn pembeli atau yang biasa disebut penebas. Dari hasil pengamatan, diketahui bahwa sistem tebas hanya dilakukan oleh petani petani padi sawah di Kabupaten Karawang. Dari hasil diskusi dengan tokoh petani setempat juga didapat bahwa kini petani mulai meninggalkan cara panen ini karena diniali melanggar ajaran agama. Menurut ulama setempat, cara tebas termasuk transaksi yang melanggar aturan jual beli karena nilai barang yang ditransaksikan tidak pasti nilainya, hanya berdasarkan perkiraan atau tebakan pembeli. Dalam transaksi tebas, padi atau hasil panen yang dibeli penebas dari petani nilainya tidak berdasarkan berapa banyak atau hasil timbangan saat panen, tetapi berdasarkan perkiraan penebas dan petani beberapa hari sebelum padi dipanen. 2.
Natura pengaturan air Berdasarkan pengamatan, pembayaran natura pengaturan hanya dilakukan
oleh petani padi sawah. Hal ini disebabkan pada budidaya padi ladang tidak memerlukan banyak air dan hanya mengandalkan air hujan untuk pengairannya. Meskipun lahan sawah di Kabupaten Karawang telah dilengkapi dengan sistem irigasi teknis, tetapi dalam pelaksanaannya perlu adanya pihak yang mengatur jalannya aliran air ke setiap lahan petani. Hal ini disebabkan jika irigasi digunakan secara bersama-sama, maka air irigasi yang tersedia tidak akan mencukupi untuk mengairi lahan sawah petani sehingga perlu ada pihak yang mengatur distribusinya. Pemerintah desa telah menyediakan perangkat khusus yang menangani masalah distribusi pengairan. Petugas ini di namakan Mitra Cai (mitra air) atau ulu-ulu dalam bahasa setempat. Sebagai imbalannya, petani menyisishkan 20-30 kilogram gabahnya untuk setiap hektar lahannya saat panen atau dengan proporsi 1 persen dari produksi total.
3. Natura Pemilik Lahan Pembayaran natura pemilik lahan hanya dilakukan oleh petani penggarap, khususnya penggarap dengan sistem sakap. Bagian yang disisihkan yaitu setengah dari hasil produksi bersih, yaitu produksi kotor yang telah dipotong natura panen dan pengaturan air. Pembagian hasil 50:50 yang paling lazim dilakukan antara pemilik lahan dan petani penggarap karena biaya produksi pun ditanggung oleh kedua belah pihak. Hasil panen yang dibagi pun hasil panen bersih. Artinya, marketable surplus lah yang dibagi rata oleh petani penggarap dan pemilik lahan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, hanya petani pada pola usahatani sawah saja yang harus mengeluarkan natura ini. Hal itu disebabkan pada pola usahatani padi ladang, meskipun status penguasaan lahan petani seluruhnya penggarap, tetapi petani tidak perlu mengeluarkan natura untuk pemilik lahan, karena lahan tersebut dipinjamkan secara cuma-cuma, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Besaran atau jumlah rata-rata yang secara real dikeluarkan yaitu sebanyak 0,32 ton atau 3 persen dari total produksi. Rendahnya proporsi ini disebabkan petani yang status penguasaaan lahannya sebagai penggarap pada pola usahatani padi sawah sangat sedikit dibandingkan dengan petani yang menggarap lahan miliknya sendiri. 4. Marketable surplus Marketable surplus adalah hasil produksi bersih yang bisa dijual karena telah dipotong natura panen, pengaturan air, dan pemilik lahan jika itu petani penggarap. Meskipun bisa dijual seluruhnya, tetapi petani baik itu padi ladang maupun padi sawah masih menyisihkan sebagian hasil panen mereka untuk kebutuhan benih musim tanam selanjutnya, konsumsi rumah tangga, dan cadangan. Oleh karena itu, perlu kehati-hatian dalam menerjemahkan dan menganalisis dari marketable dan marketed surplus itu sendiri. Seperti yang terlihat pada Gambar 6 dan 7, bahwa proporsi marketable surplus antara pola usahatani padi sawah dan ladang relatif sama. Keduanya mempunyai marketable surplus sebesar 85 persen dari produksi total.
3% 1% 14% natura pemilik lahan natura pengaturan air natura panen
85%
marketable surplus (GKP)
Gambar 6. Alokasi Natura Petani Pola Usahatani Padi Sawah di Kabupaten Karawang MT Akhir 2010 Namun, meskipun besaran proporsi dari marketable surplus yang hampir sama, natura-natura yang dikeluarkan antara pola usahatani padi sawah dan ladang sangat berbeda. pada pola usahatani padi sawah, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, petani harus mengeluarkan natura untuk panen, pengaturan air, dan pemilik lahan. Lain halnya dengan pola usahatani padi ladang, yang harus mengeluarkan natura hanya untuk pemanenan saja.
15.20%
natura panen marketable surplus
84.70%
Gambar 7. Alokasi Natura Petani Pola Usahatani Padi Ladang di Kabupaten Karawang MT Akhir 2010
Proporsi natura panen pada pola usahatani padi ladang yang lebih besar lah yang menyebabkan besaran marketable surplus pada padi ladang sma dengan pola usahatani padi sawah. Pada pola usahatani padi sawah, proporsi natura panen sebesar 1:6, sedangkan pada pola usahatani padi ladang sebesar 1:5. Hal itu menyebabkan meskipun pengeluaran natura pada pola usahatani padi ladang lebih sedikit jenisnya, tetapi pegeluaran natura yang lebih besar untuk pemanenan, menyebabkan besaran marketable surplus yang timbul sama. 5. Marketed surplus (Penjualan) Marketed surplus adalah kelebihan dari produksi yang dijual oleh petani. Selain untuk disimpan, hasil panen padi juga dijual oleh petani. Berdasarkan pengamatan, ada dua waktu petani menjual hasil panennya, yaitu: jual panen (sekaligus) dan jual bertahap. Jual sekaligus adalah penjualan gabah petani setelah panen dilaksanakan , yakni kurang dari 7 hari (Ellis et all 1992). Sedangkan jual bertahap adalah penjualan gabah bertahap adalah penjualan gabah yang telah disimpan petani lebih dari 7 hari dan telah mengalami proses penjemuran. Gabah yang dijual saat panen atau jual sekaligus adalah gabah kering panen. Artinya, gabah tersebut belum melalui proses penjemuran. Kadar air gabah pun masih tinggi, yaitu 25-30 persen. Lain halnya dengan gabah yang dijual bertahap. Gabah yang dijual bertahap adalah gabah yang telah dijemur hingga kadar airnya mencapai 14-15 persen atau gabah kering giling (GKG). Selain itu, gabah yang dijual ini merupakan stok cadangan petani atau kelebihan dari stok konsumsi yang disimpan petani. Berdasarkan pengamatan di lapangan, dari besaran marketable surplus yang muncul, petani tidak menjual seluruh produknya, tetapi disimpan sebagian sebagai stok atau cadangan. Stok atau cadangan tersebut digunakan untuk berbagai keperluan, antara lain benih, konsumsi, dan penjualan bertahap. Proporsi marketable surplus yang dijual pada periode pengamatan yaitu sebesar 67 persen pada pola usahatani padi sawah dan 10 persen pada pola usahatani padi ladang.
18% marketed surplus (GKP) distok
67%
Gambar 8. Alokasi Marketable Surplus Petani Pola Usahatani Padi Sawah MT Akhir 2010 Proporsi marketed surplus dari marketable surplus yang lebih kecil pada pola usahatani padi ladang disebabkan karena pada pertani padi ladang, mereka mengusahakan padi tujuan utamanya adalah untuk memenuhi konsumsi rumah tangga. Sehingga, proporsi yang dialokasikan lebih besar dibandingkan petani pada pola usahatani padi sawah.
9.70%
marketed surplus (GKP) distok
75%
Gambar 9. Alokasi Marketable Surplus Petani Pola Usahatani Padi Ladang MT Akhir 2010
Marketed Surplus erat kaitannya dengan luas lahan atau skala produksi. Hal itu disebabkan secara teori semakin luas lahan yang diusahakan, maka marketed surplus bisa semakin tinggi. Tabel 25. Hubungan Luas Lahan Padi Petani dengan Proporsi Marketed surplus Tahun 2010 Rata-rata % marketed Rata-rata % marketed surplus Luas Lahan surplus padi sawah padi ladang < 1 ha 58,20 2,00 1-2 ha 57,40 0 2-3 ha 51,70 0 3-4 ha 71,00 0 >5 ha 79,40 36,70 Sumber: Data Primer
Dapat dilihat pada Tabel 25 bahwa luas lahan mempengaruhi jumlah marketed surplus berbanding lurus dengan luas lahan yang dikuasai. Namun ada perbedaan di mana marketed surplus petani sawah yang luasan lahannya kurang dari 1 ha lebih besar daripada yang luasannya 1-2 dan 2-3 hhektar. Hal tersebut disebabkan hasil panen petani yang luas lahannya kurang dari satu hektar lebih sedikit dibandingkan petani dengan luasan 1-2 dan 2-3 hektar sehingga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, petani tersebut harus menjual lebih banyak hasil panennya. Selain itu, pada pola usahatani padi ladang, yang melakukan penjualan dalam bentuk GKP hanya pada petani dengan luasan kurang dari satu hektar dan lebih dari 5 hektar, hal itu disebabkan pada luasan lebih dari 5 hektar, petani telah cenderung telah bersifat komersil, sehingga petani mengusahakan padi bukan hanya untuk konsumsi, tetapi juga untuk mendapatkan keuntungan. 6. Stok Stok adalah persediaan yang disimpan agar bisa digunakan sewaktuwaktu. Berdasarkan pengamatan, stok gabah masih dilakukan oleh petani, baik itu petani padi sawah maupun padi ladang. Jenis stoknya, antara lain: stok benih, stok konsumsi, dan stok cadangan. a.
Stok Benih Dari total 90 responden, 53 petani melakukan stok benih atau menyisihkan
sebagian produknya untuk digunakan sebagai benih pada musim tanam
selanjutnya. Keperluan benih petani relatif tidak jauh berbeda di setiap musim. Petani padi sawah memerlukan 20-30 kilogram benih setiap hektarnya, sedangkan petani padi ladang memerlukan 50-60 kilogram benih tiap hektarnya. Namun, hanya petani padi sawah yang menyisihkan sebagian hasil panennya untuk stok benih musim selanjutnya. Alasan petani melakukan stok benih, antara lain : Tabel 26. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Petani Melakukan Stok Benih Tahun 2010 Alasan Petani Melakukan Stok Benih (n) (%) Harga Benih di Luar Mahal 7 13,20 Petani mempercayai kualitas gabah sendiri lebih baik dari pada benih lain 14 26,00 Hasil lebih pasti bila menggunakan benih dari hasil panen 22 42,00 Sulit Mendapat Benih dari Luar 1 2,00 Sudah Tahu Cara Menangkarkan Benih 9 16,98 Jumlah 53 100,00 Sumber: Data Primer
Sebanyak 13 persen petani melakukan stok benih karena harga benih dari luar mahal. Hal tersebut disebabkan jika petani menggunkan benih dari hasil panen, maka biaya untuk membeli benih bisa dihemat. Harga benih di toko atau kios terdekat yaitu Rp 6000 – Rp 7000 per kilogram. Petani bisa menghemat Rp 120.000 – Rp. 140.000 tiap hektarnya untuk membeli benih jika menggunakan benih dari hasil panen musim sebelumnya. 16 persen petani beralasan bahwa mereka melakukan stok benih karena mereka telah tahu bagaimana cara menangkarkan benih. Hal itu disebabkan karena penyuluh setempat sering melakukan penyuluhan bagaimana cara memilih benuh dari lahan para petani. Bila petani ingin mengganti varietas untuk musim berikutnya, maka petani bisa menukar benihnya dengan petani lain yang menyimpan stok benih varietas yang ingin ditanam petani untuk musim selanjutnya. Dua alasan dengan persentase tertinggi petani melakukan stok benih yaitu hasil lebih pasti menggunakan benih sendiri dan petani percaya bahwa kualitas benih sendiri daripada benih dari luar. Hal itu timbul akibat seringnya petani mengalami kegagalan di masa lampau saat meggunakan benih yang bersala dari luar atau membeli dari kios atau bantuan benih dari pemerintah. Benih yang
berasal dari hasil panen sendiri bisa memberikan kepastian mengenai kualitas maupun hasil yang akan didapat petani dibandingkan benih yang dibeli dari luar atau bantuan pemerintah. Tabel 27. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Petani Tidak Melakukan Stok Benih Tahun 2010 Alasan Tidak Melakukan Stok Benih (n) (%) jika stok kualitas tidak bagus 6 20,00 kualitas gabah kurang bagus untuk benih 24 80,00 Jumlah 30 100,00 Sumber: Data Primer
Tidak dilakukannya stok benih oleh petani padi ladang disebabkan oleh kurang baiknya kualitas gabah padi ladang untuk digunakan sebagai benih musim tanam berikutnya. Saat ini varietas padi lokal seperti gajah, dan bulu sudah jarang digunakan oleh petani ladang di Kabupaten Karawang. petani ladang saat ini lebih suka menggunakan benih padi seperti varietas yang ditanam petani padi sawah, seperti Ciherang dan IR 64. Oleh karena itu, untuk keperluan benih, petani ladang di Kabupaten Karawang mendapatkannya dari kios terdekat atau membeli dari petani padi sawah. b.
Stok Konsumsi Untuk konsumsi beras rumah tangga, petani baik ladang maupun sawah
masih menggunakan beras dari hasil panen yang disimpan. Ada 49 petani padi sawah yang mengonsumsi beras dari hasil panen, sedangkan seluruh petani padi ladang mengonsumsi beras dari hasil panennya. Ada dua jenis konsumsi beras di tingkat rumah tangga petani di Kabupaten Karawang, yaitu konsumsi makan, dan konsumsi sosial. Konsumsi makan adalah konsumsi makan anggota keluarga yang masih jadi tanggungan petani sedangkan konsumsi sosial adalah konsumsi makan non tanggungan petani, keperluan keagamaan, dan adat istiadat. Yang termasuk konsumsi non tanggungan petani yaitu konsumsi makan pekerja di sawah, dan keluarga atau kerabat yang bukan tanggungan petani tetapi ikut mengonsumsi padi dari petani. Konsumsi keagamaan yaitu zakat fitrah, sedangkan konsumsi adat istiadat yaitu konsumsi beras untuk memberi pihak lain lain sedang mangadakan acara adat, seperti pernikahan, atau kematian. Di Kabupaten Karawang terdapat budaya yang disebut
lawangan. Budaya ini mengharuskan rumah tangga memmberikan sumbangan berupa sejumlah beras kepada pihak yang sedang mengadakan upacara adat dan pihak yang menerima bantuan beras itu harus mengembalikan jika pihak yang memberi sumbangan beras mengadakan upacara adat. Tabel 28. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Melakukan Stok Konsumsi Tahun 2010 Petani Padi Ladang Petani Padi Sawah Alasan Melakukan Stok Konsumsi (n) (%) (n) (%) Harga Beras di Luar Mahal 11 13,41 8 9,76 Kualitas Beras di Toko Lebih Jelek 0 0,00 2 2,44 Lebih Bangga Mengonsumsi yang Ditanam Sendiri 15 18,29 23 31,71 Kebiasaan/Budaya 4 4,88 14 17,07 Kebutuhan Sendiri Harus Didahulukan 0 0,00 2 2,44 Jumlah 30 36,59 49 63,41 Sumber: Data Primer
Faktor kebanggaan adalah alasan utama petani dalam melakukan stok konsumsi. Meskipun kualitas beras dari hasil lahannya belum tentu lebih baik dari kualitas beras dari luar, tetapi petani merasa lebih bangga jika mengonsumsi beras hasil dari padi yang ditanamnya sendiri. Kemudian alasan ekonomi dan kebiasaan yang membuat petani melakukan stok untuk konsumsi. c.
Stok Cadangan Berdasarkan hasil pengamatan, petani di Kabupaten Karawang pada
umumnya tidak mengalokasikan khusus sebagian gabah hasil panennya untuk stok cadangan. Petani tidak menyimpan kebutuhan konsumsinya secara pas, tetapi menyimpan lebih banyak dari kebutuhan konsumsi. kelebihan atau selisih inilah yang disebut stok cadangan yang dijual secara bertahap. Dari jumlah yang distok, petani biasanya menjual produknya tersebut (marketed surplus) dalam bentuk gabah kering giling (GKG). Tujuan penjualan pun bermacam-macam, terutama yang bersifat insidental dan memerlukan jumlah uang yang cukup besar, seperti membayar uang sekolah anak dan membayar cicilan kredit. Oleh karena itu, perlu kehati-hatian juga dalam menerjemahkan marketed surplus, karena penjualan petani bukan hanya di waktu panen, tetapi juga di waktu jeda ke musim tanam selanjutnya juga petani melakukan penjualan.
Dari hasil temuan di lapangan menunjukkan bahwa petani pola usahatani padi sawah memiliki proporsi penjualan stok gabah yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani pada pola usahatani padi ladang.
6% 21%
benih konsumsi
73%
marketed surplus (GKG)
Gambar 10. Alokasi Stok Petani Pola Usahatani Padi Sawah MT Akhir 2010 Dari Gambar 10 dan 11, dapat dilihat bahwa petani padi sawah rata-rata menjual 73 persen gabah yang disimpannya, sedangkan petani padi ladang ratarata hanya menjual 28 persen dari stok gabahnya. Hal ini dikarenakan petani ladang memmpunyai skala produksi yang lebih kecil. Hal ini mengakibatkan jumlah yang distok pun lebih kecil, sehingga bila dipotong untuk konsumsi, maka proporsi yang bisa dijual pada padi ladang lebih kecil atau sedikit. Selain itu, pola tanam padi ladang yag hanya setahun sekali menyebabkan priode waktu konsumsi rumah tangga padi ladang lebih lama dibandingkan padi sawah yang pola tanamnya dua kali setahun.
28.20%
konsumsi
71.80%
marketed surplus (GKG)
Gambar 11. Alokasi Stok Petani Pola Usahatani Padi Ladang MT Akhir 2010 Namun, jika dilihat dari proporsi keseluruhan, marketed surplus bertahap atau dalam bentuk GKG pada pola usahatani padi sawah masih jauh lebih kecil dari pada marketed surplus dalam bentuk gabah kering panen atau GKP. Proporsi marketed surplus GKP pada pola usahatani padi sawah adalah sebesar 67 persen dan marketed surplus dalam bentuk GKG sebesar 11 persen. Berbeda dengan pola usahatani padi ladang yang proporsi marketed surplus dalam bentuk GKPnya lebih kecil dibandingkan marketed surplus dalam bentuk GKG. Proporsi marketed surplus GKP pada pola usahatani padi ladang adalah sebesar 11 persen dan marketed surplus GKG sebesar 21 persen. 5.1 Perilaku Stok Petani Bagian perilaku stok petani ini akan membahas bagai mana petani memperlakukan gabah yang disimpannya sebagai stok. 5.1.1 Akses penjemuran Sebelum menyimpan gabah, petani perlu melakukan penjemuran untuk menurunkan kadar air agar gabah yang disimpan tetap bagus kualitasnya meski disimpan lama. Para petani menjemur gabahnya hingga kadar air gabah mencapai kadar 14%-15%. Dengan kadar air seperti itu, kualitas gabah akan tetap baik hingga masa simpan satu tahun. Dari gabah kering panen hingga menjadi gabah kering simpan atau giling, penyusutan berat gabah petani rata-rata mencapai 20%.
Artinya, jika satu ton gabah kering panen dijemur, maka akan menghasilkan ratarata 800 kilogram gabah kering giling. Waktu penjemuran yang diperlukan untuk mencapai kadar air yang diperlukan yaitu dua hari, dengan asumsi sinar matahari terik sepanjang hari. Jika matahari kurang terik, maka waktu penjemuran bisa mencapai tiga sampai empat hari. Tabel 29. Sebaran Petani Berdasarkan Akses Penjemuran Gabah Tahun 2010 Petani Padi Sawah Petani Padi Ladang Tempat Menjemur Gabah (n) (%) (n) (%) Milik Sendiri (lantai jemur/ halaman) 40 46,50 26 30,23 Penggilingan (RMU) 2 2,32 4 4,65 Lapangan/Tempat Umum 14 16,27 0 0 Jumlah 56 65,09 30 34,01 Sumber: Data Primer
Umumnya (76,73%) petani menjemur gabah hasil
penennya di lahan
mereka sendiri, baik itu di halaman rumah maupun di lantai jemur. Sisanya sebanyak 14 persen dan 6 persen petani menjemur gabah mereka di penggilingan dan tempat umum. Petani yang menjemur gabah di penggilingan, mereka bisa menggunakan fasilitas lantai jemur milik penggilingan terdekat dengan konsekuensi mereka juga hasrus menitipkan gabah yang akan mereka stok dan menggilingnya di penggilingan tersebut. Untuk petani yang menjemur di tempat umum, mereka mengunakan lapangan umum terdekat, atau di pinggir jalan raya dengan alat bantu terpal agar tidak banyak kotoran yang bercampur dengan gabah yang dijemur. 5.1.2 Akses penyimpanan Setelah melewati proses penjemuran, gabah akan melalui proses penyimpanan. Berdasarkan pengamatan, ada beberapa lokasi yang dipakai petani untuk menyimpan stok gabahnya.
Tabel 30. Sebaran Petani Berdasarkan Lokasi Stok Gabah Tahun 2010 Petani Padi Sawah Petani Padi Ladang Lokasi Menyimpan Stok Gabah (n) (%) (n) (%) Gudang (milik sendiri) 20 23,25 1 1,16 Dapur 16 18,60 0 0 Dalam Rumah 18 20,93 25 29,06 Penggilingan 1 1,16 4 4,65 Gudang (dititipkan) 1 1,16 0 0 Jumlah 56 65,10 30 34,90 Sumber: Data Primer
Mayoritas petani menyimpan stok gabahnya di rumah baik itu spesifik, yaitu di dalam dapur (16%), maupun tidak secara spesifik (49,99%). Sisanya, petani ada yang menyimpannya di ruangan khusus, yaitu gudang (24,41%) dan diditipkan di penggilingan dan gudang milik petani lain. Hal ini sesuai atau sama dengan Ellis et al (1992) yang menunjukkan bahwa 95% petani menyimpan stok gabah mereka di rumah. Dari Tabel 30 juga dapat disimpulkan bahwa petani padi sawah lebih mempunyai banyak akses tempat penyimpanan stok gabah dibandingkan petani padi ladang. Tabel 31. Rata-rata Luas Tempat Simpan Gabah Berdasarkan Luas Lahan yang Diusahakan Petani Tahun 2010 Rata-rata Luas tempat Menyimpan Gabah (m2) Kategori Luas Lahan Petani Sawah Petani Ladang <0,49 ha 11,00 6,00 0,5-0,99 ha 5,40 7,00 1-1,99 ha 6,87 7,87 2-4,99 ha 15,05 227,00 >5 ha 38,25 50,00 Sumber: Data Primer
Selain itu, berdasarkan Tabel 31, luas tempat menyimpan gabaha petani relatif berbanding lurus dengan luas lahan padi yang diusahakan. Semakin luas lahan padi yang diusahakan, maka semakin luas pula tempat yang disediakan petani untuk menyimpan persediaan atau stok gabahnya. 5.1.3 Bentuk Penyimpanan dan Masa Penyimpanan Stok Petani di Kabupaten Karawang seluruhnya menyimpan stok dalam bentuk gabah kering gimpan. Hal itu disebabkan jika stok disimpan dalam bentuk gabah
kering akan lebih awet dan kualitasnya tidak akan berubah. Jika disimpan dalam bentuk beras, maka masa simpannya akan menjadi lebih pendek. Untuk kebutuhan konsumsi, petani menggiling gabah secara berkala atau sedikit-demi sedikit tergantung kebutuhan. Petani ladang rata-rata menggiling gabah sitap 24 hari sedangkan petani padi sawah rata-rata mengging gabah setiap 18 hari. Lebih tingginya frekuensi penggilingan gabah petani padi sawah disebabkan karena akses penggilingan di sekitar padi sawah yang lebih mudah dan kebutuhan beras sosial petani padi sawah lebih tinggi sehingga agar kualitas beras yang dihasilkan baik, maka petani padi sawah menggiling gabah lebih sering daripada petani padi ladang. Masa simpan terlama gabah petani yaitu satu musim. Setelah satu musim, gabah dapat dipastikan habis, baik itu dikonsumsi maupun dijual. Jika dalam jangka waktu satu musim gabah tidak dijual, maka kualitas gabah akan turun dan bila dijual pun harganya akan lebih rendah dari gabah yang baru dipanen. 7. Cara Penjualan Hasil Panen Di Kabupaten Karawang, ada tiga cara penjualan hasil panen petani, antara lain: tebas, sekaligus, dan bertahap. Cara penjualan tebas adalah penjualan panen secara borongan. Hasil panen hanya melalui perkiraan penebas dan harga borongan didapat atas hasil tawar-menawar antara penebas dan petani. Setelah transaksi berlangsung, maka petani lepas dari tanggung jawab pemanenan, karena pemanenan akan dilakukan oleh penebas. Cara penjualan sekaligus adalah cara penjualan yang dilakukan sesaat setelah pemanenan. Nilai transaksi berdasarkan hasil panen yang didapat petani. Tanggung jawab pemanenan ada di petani. Pada petani lahan sawah, pembeli dalam hal ini tengkulak biasanya menjemput gabah yang akan dibelinya hingga ke lahan petani, sehingga transaksi biasanya dilakukan di lahan petani. Lain halnya dengan penjualan bertahap. Pada cara penjualan ini, petani juga melakukan penjualan di lahan seperti penjualan sekaligus, tetapi tidak semua gabah yang dipanen dijual, melainkan disimpan, dan baru dijual di kemudian hari. Dari informasi yang didapat di lapangan, cara panen tidak mempengaruhi jumlah marketed surplus. Yang dipengaruhi adalah penghasilan atau uang tunai hasil penjualan panen. Hal tersebut disebabkan dari ketiga cara penjualan, harga
yang dipakai saat transaksi berbeda-beda. Harga penjualan dengan tebas umumnya lebih rendah karena cara pembelian ini bersifat borongan. Pemanenan pun dilakukan oleh pembeli atau penebas sehingga perlu biaya tambahan. Harga cara penjualan sekaligus adalah harga gabah kering panen atau gabah basah. Sedangkan penjualan bertahap menggunakan harga gabah basah dan gabah kering panen sehingga hasil penjualannya akan lebih banyak karena harga gabah kering simpan umumnya lebih tinggi dari gabaha kering panen atau gabah basah. Tabel
32.
Sebaran Petani Tahun 2010
Cara Penjualan tidak menjual Bertahap Sekaligus tebas dan bertahap tebas dan sekaligus Jumlah
Berdasarkan
Cara
Padi Sawah (n) (%) 1 1,00 33 37,00 21 23,00 4 4,00 1 1,00 60 67,00
Penjualan
Hasil
Panen
Padi Ladang (n) (%) 17 19,00 12 13,00 1 1,00 0 0,00 0 0,00 30 33,33
Sumber: Data Primer
Petani di Kabupaten Karawang, baik itu petani padi sawah maupun padi ladang paling banyak melakukan penjualan secara bertahap (45%), kemudian diikuti dengan penjualan secara sekaligus (23%). Untuk cara penjualan kombinasi antara tebas, bertahap, dan sekaligus, hal itu dilakukan oleh petani yang mempunyai lahan lebih dari satu persil sehingga memungkinkan petani tersebut menerapkan cara penjualan yang berbeda untuk setiap persilnya. Untuk petani yang menjual hasil panennya secara sekaligus, petani tersebut umumnya melakukan penjualan saat panen atau beberapa hari setelah panen. Hal tersebut dimungkinkan karena tengkulak di sana juga telah terbiasa menjemput hasil panen yang kan dibelinya hingga ke lahan atau ke pinggir jalan yang terdekat dari lahan petani. Itu cukup menguntungkan petani karena bisa menghemat biaya pengangkutan dan pengemasan. Di musim terakhir (akhir 2010), ada petani yang tidak melakukan penjualan hasil panen. Untuk petani padi sawah, hal tersebut dikarenakan lahannya puso total sehingga padinya tak bisa dipanen sama sekali. Lain halnya
dengan petani padi ladang. Meraka tidak melakukan penjualan karena hasil panennya habis untuk konsumsi rumah tangga. Tabel 33. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Mengunakan Cara Penjualan Tebas Tahun 2010 Alasan (n) (%) Mengurangi risiko 2 40,00 Lebih Praktis 3 60,00 Jumlah 5 100,00 Sumber: Data Primer
Alasan mengurangi risiko muncul karena sistem tebas biasa digunakan oleh petani yang letak sawahnya berada jauh dari kediaman petani. Beberapa hari menjelang panen petani tersebut biasanya menjual padinya secara borongan. Hal itu disebabkan karena jika tidak dijual secara borongan, tindak pencurian sering muncul jika sawah petani tidak diawasi. Jika dijual secara tebas, maka risiko pencurian tersebut bisa dihindari dan tanggung jawab pemanenan berpindah ke penebas sehingga petani tidak perlu repot untuk memanen. Alasan lain yang timbul dari petani adalah petani tersebut tidak ingin repot. Jika hasil panennya dijual secara tebas, maka petani langsung mendapat uang hasil penjualan padinya tersebut sehingga tidak perlu repot memanen dan menjual ke tengkulak. Tabel 34. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Melakukan Penjualan Bertahap Tahun 2010 Padi Sawah Padi Ladang Alasan Jula Bertahap (n) (%) (n) (%) Untuk Keperluan Sosial 2 4,08 0 0 Motif jaga-jaga 20 40,80 12 24,78 Kebiasaan/Budaya 2 4,08 0 0 Menunggu harga baik 13 25,53 0 0 Jumlah 37 55,22 12 24,78 Sumber: Data Primer
Alasan petani yang menjual hasil panennya secara bertahap yaitu yang terbanyak adalah karena motif jaga-jaga (64%). Selanjutnya, alasan petani yaitu menunggu harga baik (25,5%), kebiasaan atau budaya (4,08%, dan untuk keperluan sosial (4,08%). Alasan motif jaga-jaga yaitu petani bisa menjual gabah
yang mereka simpan jika dalam jangka waktu satu musim ada kebutuhan mendadak. Dengan kata lain, stok gabah cadangan ini berfungsi sebagai aktiva lancar petani yang bisa dijual sewaktu-waktu. Motif jaga-jaga di sini juga ada yang maksudnya untuk keperluan modal musim selanjutnya. Jika pada musim tanam selanjutnya petai kurang biaya untuk membayar faktor produksi seperti tenaga kerja, maka petani juga bisa menjual gabah yang disimpannya. Alasan menunggu harga baik berlaku bagi petani yang sudah bersifat komersial, artinya petani tersebut menginginkan hasil panennya dijual pada saat harga lebih tinggi dari harga panen. Saat pertengahan musim tanam selanjutnya, atau dua sampai tiga bulan setelah panen, biasannya harga gabah terutama gabah kering simpan akan naik karena pasokan gabah ke pasaran menurun. Di saat itu lah petani biasanya menjual gabah yang disimpannya untuk mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi. Alasan kebudayaan dan keperluan sosial adalah petani yang konsumsi beras untuk keperluan sosialnya tinggi, biasanya setiap akan mengonsumsi beras tersebut, petani bisa menggunakan atau menggiling hasil panennya agar tidak perlu membeli beras dari pasar. Tabel 35. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Penjualan Cara Sekaligus Tahun 2010 Alasan (n) (%) Kebutuhan Uang Tunai 15 62,50 Petani Enggan Melakukan Kegiatan Pasca Panen 9 37,50 Jumlah 24 100,00 Sumber: Data Primer
Berdasarkan pengamatan, penjualan dengan cara sekaligus hanya digunakan oleh petani padi sawah. Alasan petani melakukan penjualan sekaligus yaitu karena kebutuhan uang tunai. Hal tersebut dikarenakan modal untuk membiayai usahatani petani tersebut pada musim itu sebagian besar berasal dari modal pinjaman. Pinjaman tersebut harus segera dibayar setelah panen. Oleh karena itu, agar bisa membayar cicilan utang tersebut, maka petani melakukan penjualan secara sekaligus.
Tabel 36. Distribusi Jumlah Petani Berdasarkan Proporsi Modal Sendiri Petani Terhadap Modal Total Tahun 2010 Tebas dan Tidak Tebas dan proporsi modal Sekaligus menjual Bertahap bertahap sekaligus (n) sendiri (n) (n) (n) (n) <25% 7 0 0 0 1 25-50% 2 1 2 0 0 51-75% 4 0 2 0 0 <75% 1 0 1 0 0 100% 9 17 39 5 0 Jumlah 13 18 42 4 1 Sumber: Data Primer
Dari Tabel 36 dapat dilihat bahwa petani yang melakukan penjualan secara sekaligus, sebagian besar modalnya berasal dari pinjaman. Proporsi pinjamannya pun lebih dari lima puluh persen dari modal total petani. Alasan lainnya, petani tidak mau repot melakukan penjemuran dan penyimpanan. Kalaupun melakukan, petani hanya menjemur dan menyimpan hasil panen hanya untuk simpanan keperluan konsumsi rumah tangga atau dalam jumlah yang kecil. Ada perbedaan yang cukup mencolok dalam bentuk penjualan hasil panen antra petani padi sawah dan ladang. Petani padi sawah lebih banyak menjual hasil panennya lebih banyak dalam bentuk gabah kering panen, sedangkan petani padi ladang lebih banyak dalam bentuk gabah kering giling. Dari hasil pengamatan dan data di lapangan, perbedaan perilaku penjualan petani tersebut salah satunya disebabkan status usahatani petani. Petani padi sawah umumnya menjadikan usahatani padi sebagai matapencaharian utama sedangkan petani padi ladang seluruhnya menjadikan usahatani padinya sebagai usahatani sampingan. Bagi petani padi sawah, hasil panen harus segera dijual agar hasil penjualannya bisa segera dipakai untuk berbagai keperluan. Sedangkan bagi petani padi ladang, usahatani padi dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras rumah tangga. Jika ada lebih, maka petani baru menjualnya. Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari, petani padi ladang lebih mengandalkan pada penjualan hasil kebun, seperti pisang dan jeruk.
Perbedaan status usahatani tersebut terlihat dari luasan padi yang diusahakan. Petani padi sawah umumnya mengusahakan lebih dari satu hektar sawah sedangkan petani padi ladang umumnya hanya mengusahakan kurang dari satu hektar. Penyebab lainnya yaitu kapasitas petani dalam menyimpan hasil panennya. Umumnya petani hanya bisa menyimpan sebagian kecil hasil panennya akrena akses penyimpanan hasil panen juga lebih banyak di dalam rumah yang kapasitasnya kecil pula. Dengan produktivitas lahan yang lebih rendah daripada lahan sawah, proporsi hasil panen yang mampu disimpan petani ladang akan lebih besar daripada petani padi sawah. 6.1.2 Saluran Pemasaran Gabah Berdasarkan pengamatan di lapangan, pembeli gabah petani masih disominasi oleh tengkulak. Ada juga petani padi sawah yang menjual sebagian hasil panennya ke penangkar benih, dalam hal ini Balai Besar Padi, sedangkan semua petani padi ladang menjual gabahnya kepada tengkulak. Tengkulak di Kabupaten Karawang bukan hanya sekedar berperan sebagai pengumpul gabah petani saja, tetapi mereka berperan sebagai pengolah. Hal itu disebabkan tengkulak di Kabupaten Karawang pasti mempunyai alat penggilingan beras sehingga mereka membeli gabah kering panen atau giling dari petani dan menjual beras kepada lembaga pemasar selanjutnya. Tabel 37. Sebaran Petani Berdasarkan Saluran Pemasaran Gabah Petani Tahun 2010 Petani Padi Sawah Petani Padi Ladang Saluran Pemasaran Gabah (n) (%) (n) (%) Tengkulak/pengggilingan 57 65,51 28 32,18 Tengkulak dan Penangkar Benih 2 2,29 0 0 Jumlah 59 67,80 28 32,2 Sumber: Data Primer
Ada beberapa alasan mengapa petani memilih menjual gabahnya kepada tengkulak. Alasan-alasan petani tersebut dapat dilihat di Tabel 38.
Tabel 38. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Pemilihan Tengkulak Sebagai Saluran Pemasaran Gabah Petani Tahun 2010 Alasan (n) (%) Ikatan Kerja sama 3 3,45 Meminjam Uang 6 6,89 Kebutuhan Uang Tunai Secara Cepat 57 65,51 Lebih Mudah 21 24,13 Jumlah 87 100,00 Sumber: Data Primer
Alasan kebutuhan uang tunai dan kemudahan proses penjualan menjadi alasan utama petani menjual gabahnya kepada tengkulak. Hal tersebut disebabkan saat panen, tengkulak tidak segan-segan menjemput gabah yang akan dibelinya langsung ke lahan sawah petani. Sedangkan untuk petani padi ladang, tengkulak adalah satu-satunya saluran pemasaran yang apling dekat dan mudah diakses karen umumnya lapan dan tempat tinggal petani padi ladang berada di pedalaman atau aksesnya jauh dari perkotaan.
VII FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MARKETED SURPLUS PADI 7.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketed Surplus Model regresi linear disajikan pada Tabel 39 adalah model terbaik yang dapat dibuat berdasarkan data yang didapat. Secara statistik, ada perbedaan variabel yang secara signifikan berpengaruh terhadap marketed surplus pada padi sawah dan ladang. Nilai R2 yang didapat relatif berbeda antara kedua model, yaitu 51 persen untuk padi sawah dan 77,6 persen untuk padi ladang. Itu artinya, variabel-variabel yang dipilih telah dapat menjelaskan variasi marketed surplus sebesar 51 persen dan 77,6 persen, sedangkan sisanya yaitu 49 dan 22,4 persen dijelaskan oleh error atau variabel-variabel di luar variabel-variabel dugaan. Untuk signifikansi model, nilai F hitung yang didapat di setiap model melebihi dari T tabel pada selang kepercayaan satu persen. Artinya, pada selang kepercayaan satu persen, model yang didapat signifikan, baik itu model faktorfaktor yang mempengaruhi marketed surplus padi sawah maupun padi ladang Dari model didapat informasi bahwa nilai intersep padi sawah bernilai 60,23. Hal itu berarti pada petani padi sawah, dalam keadaan apapun, petani harus menjual 60,23 persen hasil panennya. Ini menunjukkan bahwa posisi tawar petani masih rendah dalam mengambil keputusan apakah menjual atau menyimpan hasil panennya. Berbeda dengan petani padi ladang yang nilai intersepnya tidak signifikan yang berarti pada pengambilan keputusan untuk menyimpan atau menjual, petani ladang lebih bebas menentukan apakah menjual atau menyimpan hasil panennya. Berdasarkan pengamatan di lapangan, tingginya proporsi panen yang harus dijual disebabkan karena 1). Petani harus menjula hasil panennya untuk membayar pinjaman modal untuk biaya usahatani padi musim sebelumnya, 2). Petani tidak punya tempat untuk menyimpan seluruh hasil panenya tersebut, karena tempat yang tersedia hanya cukup menampung sebagian kecil hasil panen. Pada taraf kepercayaan 15 persen, variabel-variabel yang signifikan mempengaruhi marketed surplus pada pola usahatani padi sawah adalah musim, harga GKP, harga GKG, tingkat produksi, penghasilan luar usahatani padi,
pendidikan formal petani, luar lantai jemur, status penguasaan lahan, dan sumber modal usahatani. Sedangkan pada pola usahatani padi ladang, variabel-variabel yang berpengaruh signifikan terhadap marketed surplus yaitu: tingkat produksi, jumlah tanggungan keluarga, pendidikan petani, dan luas gudang. Tabel 39. Hasil Pendugaan Variabel Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketed surplus Padi Padi Sawah Variabel Standard Koefisien Error t-hit P-value Intercept 65,71 18,55 3,54 0,001 Musim -27,523 4,404 -6,25 0,000 Harga GKP 0,011443 0,001824 6,27 0,000 Harga GKG -0,000771 0,001213 -0,63 0,527 Produksi 0,0005067 0,000233 2,17 0,032 Jumlah Tanggungan 0,409 1,578 0,26 0,796 Penghasilan Luar Usahatani -0,00000056 0,0000002 -2,77 0,007 Usia Petani -0,2382 0,2381 -1,00 0,319 Luas Lantai Jemur -0,02374 0,01383 -1,72 0,089 Luas Gudang -0,02806 0,02861 -0,98 0,329 Pendidikan 1,0645 0,6409 1,66 0,100 Status Penguasaan Lahan -3,285 5,763 -0,57 0,570 Sumber Modal 14,493 5,393 2,69 0,008 2 2 R = 51,8% R -adj= 46,9% F-hit=9,57 F tabel (1%)=2,24 Padi Ladang Intercept 8,545 7,774 1,10 0,284 Harga GKG -0,001207 0,00157 -0,77 0,451 Produksi 0,0047001 0,0009167 5,13 0,000 Jumlah Tanggungan -1,487 0,9469 -1,57 0,131 Penghasilan Luar Usahatani 0,00000139 0,00000088 1,59 0,127 Usia Petani -0,0212 0,126 -0,17 0,868 Luas Lantai Jemur 0,01531 0,03013 0,51 0,617 Luas Gudang -0,03062 0,01664 -1,84 0,080 Pendidikan -0,8935 0,4268 -2,09 0,049 R2=77,2% R2-adj= 68,5% F-hit= 8,89 F tabel (1%)=2,2,4
Musim Tanam Pada bagian alokasi produk, besaran dan proporsi yang digambarkan bersifat statis atau fokus pada waktu tertentu. Ternyata, ada perubahan besaran maupun proporsi marketed surplus dari musim ke musim. Dari Tabel 39 dapat dilihat bahwa pada padi sawah, variabel musim berpengaruh dan signifikan sedangkan pada padi ladang variabel musim tidak dimasukkan sebagai variabel dugaan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pola tanam antara keduanya. Pola tanam padi sawah di Karawang adalah padi-padibera, sedangkan padi ladang berpola tanam setahun sekali. Koefisien regresi menunjukkan bahwa jika pada musim ke 2, maka proporsi penjualan akan menurun sebersar 27 persen. Pada padi sawah, marketed surplus akan lebih tinggi pada musim 2 (awal tahun), karena stok petani akan cenderung meningkat pada musim akhir tahun. Lain halnya dengan padi ladang, yang besaran marketed surplusnya relatif tetap. Hal ini
karena jeda dari musim ke musim relatif sama, dan tingkat
konsumsi yang relatif sama di setiap musimnya. Seperti yang tersaji pada Tabel 40 bahwa produksi rata-rata petani yaitu 17 ton pada musim awal tahun 2010 (Rendeng). Namun, pada musim akhir tahun (Gadu) 2010, produksi rata-rata petani turun menjadi 10 ton. Hal itu terjadi karena adanya serangan hama massal yang melanda hampir seluruh lahan sawah petani di Kabupaten Karawang. Dalam penggunaan hasil panen, untuk natura panen dan pemilik lahan jumlahnya dinamis mengikuti jumlah produksi. Kemudian natura pengaturan air jumlahnya tidak berubah karena jumlah yang dibayarkan petani relatif tetap di setiap musim, yaitu 20-30 kg gabah per hektar lahannya. Peningkatan jumlah penggunaan terjadi pada stok gabah. Musim awal tahun (Rendeng) petani rata-rata menyimpan gabah sebesar 1,4 ton, kemudian mengalami kenaikan pada musim Gadu. Pada musim Gadu, petani menambah persediaan gabahnya menjadi rata-rata 1,8 ton atau meningkat sebesar 30 %. Hal ini disebabkan petani di Kabupaten Karawang masi bersifat subsisten, artinya kebutuhan konsumsi rumah tangga masih dipenuhi dari hasul produksi sendiri. Pola tanam dalam satu musim untuk padi sawah di Kabupaten Karawang
umumnya adalah padi-padi-bera. Musim panen puncak terjadi pada Bulan AprilMei dan September-Oktober. Masa jeda musim Gadu ke Rendeng lebih lama dibandingkan dari musim Rendeng ke Gadu. Masa jeda musim Rendeng ke Gadu rata-rata selama lima bulan, sedangkan masa jeda dari musim Gadu ke Rendeng rata-rata selama tujuh bulan. Untuk mengantisipasinya, petani akan menyimpan lebih banyak hasil panennya pada panen musim Gadu atau musim tanam akhir tahun agar kebutuhan konsumsi rumah tangganya tetap terpenuhi. Tabel 40. Pola Marketed surplus Petani Padi Sawah Musim Tanam Tahun 2010 Jumlah Rata-rata (GKP) Produksi Kotor Natura Pemilik Lahan Natura Pengaturan air Natura Panen Marketable Surplus Marketed Surplus Distok
Jumlah Rata-rata (GKG) Stok Benih Konsumsi Jual Bertahap
Musim Akhir 2010 (kg) 10.207,00
(%) 100,00
Musim Awal 2010 (kg) 17.311,20
(%) 100,00
320,83
3,00
815,00
5,00
59,83 1.438,00
1,00 14,00
59,83 2.477,78
1,00 14,00
8.709,17
85,00
14.773,58
85,00
6.875,83 1.867,50
67,00 18,00
13.346,08 1.427,50
77,00 8,00
(%) 100,00 6,00 21,00 73,00
Musim Awal 2010 (kg) 1.142,00 96,67 285,52 759,81
(%) 100,00 8,00 25,00 67,00
Musim Akhir 2010 (kg) 1.494,00 83,05 319,03 1.091,92
Sumber: Data Primer
Peningkatan jumlah juga terjadi pada jumlah penjualan bertahap. Pada musim Gadu ke Rendeng. Petani tidak hanya menambah persediaan gabahnya untuk kebutuhan konsumsi beras rumah tangga saja, tetapi juga persediaan cadangannya. Hasil panen petani yang dijual secara bertahap akan meningkat karena petani akan mengantisipasi kebutuhan tak terduga selama masa jeda musim Gadu ke Rendeng yang lebih lama.
eningkatan jumlah stok konsumsi dan cadangan petani ini akan berdampak pada jumlah marketed surplus petani padi sawah. Pada musim panen Gadu, jumlah marketed surplus akan cenderung lebih kecil atau sedikit dibandingkan pada musim Rendeng. Pola tanam petani padi ladang berbeda dengan petani padi sawah. dalam satu tahun, petani padi ladang hanya menanam padi satu kali. Musim panen puncak terjadi pada Bulan Maret-April. Hal ini disebabkan umur panen padi ladang relatif lebih lama dari pada padi sawah. Berdasarkan pengamatan, Padi sawah umumya bisa dipanen dalam umur 105-120 hari, tetapi padi ladang baru bisa dipanen pada umur 150-180 hari. Meskipun petani padi ladang di Kabupaten Karawang saat ini telah banyak yang menggunakan varietas padi sawah, tetapi tetap saja, umur panennya lebih lama dibandingkan jika ditanam di lahan sawah. Kurangnya pasokan pupuk pada tanaman menjadi salah satu panyebab bertambahnya umur panen padi ladang. memang selama ini, petani padi ladang mengaku sulit mendapatkan input produksi terutana pupuk, seperti: urea, TS, dan NPK. Jumlah penggunaan hasil panen pada rumah tangga petani padi ladang cenderung tetap dari musim ke musim. Hal tersebut disebabkan pola tanam musim petani yang hanya satu tahun sekali sehingga masa jeda di setiap musim relatif sama juga. Dalam Tabel 41, didapat informasi bahwa perbandingan skala produksi padi ladang dan sawah yang jauh berbeda menyebabkan proporsi marketed surplus petani padi ladang lebih elastis dibandingkan padi sawah.
Tabel 41. Pola Marketed surplus Padi Ladang Musim Tanam 2010 Musim 2010 Jumlah Rata-rata (GKP) (kg) (%) Produksi Kotor 1.851,67 100,00 Natura Panen 281,67 0,15 1.570,00 0,85 Marketable Surplus 180,00 0,10 Marketed Surplus Distok 1.390,00 0,75
Jumlah Rata-rata (GKG) Stok Konsumsi Jual Bertahap
Musim 2010 (kg) 1.112,00 798,45 313,55
(%) 100,00 0,72 0,28
Sumber: Data Primer
Harga Gabah Kering Panen Pada tabel 39, nilai koefisien variabel harga GKP bernlai positif namun dan berpengaruh signifikan sedangkan pada padi ladang berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap marketed surplus. Berdasarkan koefiseien regresi model pola usahatani padi sawah, kenaikan harga gabak kering panen padi sawah sebesar 1 persen akan menaikkan proporsi marketed surplus sebesar satu persen, sedangkan pada padi ladang, kenaikan atau penurunan harga gabah kering panen tidak berpengaruh terhadap proporsi marketed surplus. Berpengaruhnya harga gabah kering panen terhadap marketed surplus padi sawah disebabkan harga yang berlaku saat panen relatif tidak sama di setiap petani, dan bisa berbeda jauh di setiap musim. Harga gabah kering panen petani bergantung pada jarak lahan dan waktu pemanenan. Petani yang memanen pada awal dan akhir musim panen cenderung akan mendapat harga gabha yang tinggi, selain jarak lahan petani ke akses pengangkutan yang diperhitungkan oleh tengkulak. Sedangkan pada padi ladang, harga gabah kering panen di setiap waktu panen dan di setiap musim relatif sama, sehingga harga gabah kering panen kurang menggambarkan besaran marketed surplus pada rumah tangga petani padi ladang.
Harga Gabah Kering Giling Sejalan dengan dengan harga gabah kering panen, harga gabah kering giling berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap besaran marketed surplus pada padi sawah, sedangkan pada padi ladang harga GKG juga berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap marketed surplus. Hal ini menunjukkan bahwa pada usahatani padi sawah, saat harga GKG tinggi, petani justru akan cenderung mengurangi marketed surplus dalam bentuk GKP. Penjualan akan dialihkan dalam bentuk gabah kering giling, karena petani berasumsi bahwa jika menjualnya dalam bentuk gabah kering giling akan mendatangkan keuntungan yang lebih besar. Berpengaruh negatifnya harga GKG pada padi sawah disebabkan waktu penjualan gabah kering simpan antar petani relatif bervariasi. Gabah kering panen bisa dijual oleh petani hingga beberapa bulan setelah panen. Dalam rentang waktu tersebut, harga GKG berfluktuasi tergantung suplai gabah di pasar. Harga tinggi terjadi saat menjelang musim tanam selanjutnya atau awal musim tanam selanjutnya. Jika saat panen harga gabah Rp 3000, maka saat menjelang musim tanam selanjutnya, harga gabah kering simpan bisa mencapai Rp.4500-Rp.5000. Untuk padi sawah, hal ini berlawanan dengan Chaucan dan Chabra (2005), Nusril dan Sukiyono (2007), Nuryanti et all (2000) dan Kusnadi et all (2008) bahwa harga beras atau hasil panen berpengaruh positif terhadap marketed surplus. Oleh karena itu, petani yang menujual hasil panennya secara bertahap, cenderung menjual gabahnya menjelang musim tanam selanjutnya. Bahkan jika harga gabah kering simpan melonjak sangat tinggi, petani tak segan-segan menjual semua stok gabah termasuk stok untuk konsumsi. Sedangkan pada padi ladang, harga GKG cenderung stabil. Selain itu, konsisten dengan alasan petani untuk melakukan stok untuk konsumsi rumah tangga, yaitu mahalnya harga beras di sekitar lingkungan petani ladang dan kebanggaan mengonsumsi padi hasil tanam sendiri, maka rumah tangga petani ladang hanya menjual kelebihan konsumsi rumah tangga. Sehingga, harga gabah
kering giling tidak mempengaruhi secara signifikan besaran marketed surplus padi ladang di Kabupaten Karawang. Produksi Total Tingkat produksi total berpengaruh positif dan signifikan terhadap besaran marketed surplus baik pada padi sawah maupun ladang. Berdasarkan koefisien regresi, pada padi sawah, kenaikan produksi total sebesar 0,0005 persen, mengakibatkan keniakan marketed surplus sebesar satu persen. Sedangkan pada padi ladang kenaikan satu persen marketed surplus bisa disebabkan oleh kenaikan produksi total sebesar 0,04 persen cateris paribus. Secara statistik, angka ini kurang elastis, tetapi berdasarkan pengamatan di lapangan, tingkat produksi sangat menentukan marketed surplus. Angka dalam model menyatakan proporsi, bukan jumlah marketed surplus. Terutama pada pola usahatani padi sawah, saat panen sedang sedikit, karena tingginya biaya produksi seringkali petani menjual seluruh produknya untuk menutupi biaya produksi tadi. Konsumsi rumah tangga bagi para petani masih menjadi prioritas yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Jika berlebih, petani baru menjual kelebihan itu ke pasar. Semakin tinggi produksi, maka selisih antara produksi dan konsumsi akan semakin besar pula sehingga jumlah marketed surplus akan semakin besar. Bhakta (1983), Chaucan dan Chabra (2005), dan Nusril dan Sukiyono (2007) dalam studinya juga menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat produksi, maka jumlah penjualan (marketed surplus) akan meningkat pula. Jumlah Tanggungan Keluarga Variabel jumlah tanggungan keluarga berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap besaran marketed surplus pada padi sawah. Sedangkan pada padi ladang, jumlah tanggungan keluarga berpengaruh negatif dan signifikan. Nilai koefisien variabel jumlah tanggungan rumah tangga petani padi sawah bernilai negatif tetapi tidak signifikan, artinya ukuran keluarga kurang menggambarkan marketed surplus pada padi sawah. Hal ini berlainan dengan hasil studi Bhakta (1983), Nusril dan Sukiyono (2007), dan Kusnadi et all (2008) yang mengungkapkan bahwa semakin besar ukuran keluarga, maka besaran marketed surplus semakin kecil.
Petani padi sawah mayoritas menjadikan
usahatani padi sebagai sumber penghasilan utama rumah tangga. Sehingga semakin banyak jumlah tanggungan keluarga, maka kebutuhan yang harus dipenuhi semakin banyak pula. Karena usahatani padi adalah sumber pendapatan utama, maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut, jumlah penjualan atau marketed surplus harus semakin besar pula atau pemenuhan kebutuhan lebih banyak dalam bentuk uang tunai yang bisa didapat melalui penjualan hasil panen tersebut. Berbeda dengan rumah tangga petani padi sawah, petani padi ladang lebih menjadikan usahatani padi ladang sebagai usahatani sampingan. Usahatani padi ladang hasilnya hanya digunakan untuk konsumsi rumah tangga. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, petani padi ladang lebih mengandalkan penjualan hasil kebun, seperti pisang, palawija, dan jeruk. Sehingga, semakin banyak anggota keluarga, semakin banyak konsumsi, semakin banyak pula hasil panen yang disisihkan untuk tidak dijual. Penghasilan Luar Usahatani Ada perbedaan pengaruh variabel pendapatan luar usahatani terhadap marketed surplus. Variabel penghasilan luar usahatani berpengaruh negatif dan signifikan mempengaruhi marketed surplus pada padi sawah, sedangkan variabel penghasilan luar usahatani berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap marketed surplus pada padi ladang. Signifikannya penghasilan luar usahatani pada padi sawah disebabkan oleh pendapatan luar usahatani di antara petani padi sawah mayoritas adalah penghasilan tambahan. Hal ini berakibat petani padi sawah yang berpenghasilan luar usahatani tinggi cenderung mengurangi marketed surplus. Petani yang berpenghasilan luar usahatani tinggi adalah petani yang kaya. Petani kaya biasanya mempunyai sarana pasca panen yang memadai, seperti lantai jemur dan gudang, sehingga penjualan dalam bentuk gabah kering panen yang dianggap petani kurang menguntungkan bisa dikurangi dan penjualan bisa diubah ke dalam bentuk gabah kering giling yang lebih menguntungkan. Pada petani pola usahatani padi ladang, petani yang berpenghasilan usahatani tinggi cenderung menambah marketed surplus. Hal ini dikarenakan petani yang berpenghasilan luar usahatani tinggi cenderung meningkatkan
marketed surplus karena untuk konsumsi rumah tangga bisa dipenuhi dengan membeli beras dari pasar dari penghasilannya tersebut. Hal ini sesuai dengan Nusril dan Sukiyono (2007) serta Kusnadi et al (2008) bahwa semakin besar pendapatan luar usahatani, maka tingkat kesejahteraan petani semakin tinggi sehingga kebutuhan konsumsi beras rumah tangga
bisa dipenuhi dengan
membelinya di pasar. Usia Petani Variabel usia petani berpengaruh negatif dan signifikan mempengaruhi bersaran marketed surplus padi sawah. Usia petani juga berpengaruh negatif tetapi signifikan pada padi ladang. Untuk petani padi sawah, hal ini sesuai dengan Nuryanti et al (2000) yang mengungkapkan bahwa umur yang terlalu lanjut atau terlalu muda menyebabkan keluarga tidak mampu atau enggan melakukan kegiatan pasca panen. Berdasarkan pengamatan di lapangan, dalam rumah tangga petani terutama petani padi sawah, hanya petani sendiri lah yang menangani usahatani padi, sedangkan anggota keluarga lain biasanya bekerja di luar usahatani padi, sehingga semakin tua petani, maka kemampuan menangani pasca panen semakin menurun Hal ini menunjukkan bahwa pada petani padi sawah, semakin tua dan berpengalamannya petani, maka orientasi pasar dari petani tersebut semain kecil pula sehingga marketed surplusnya semakin sedikit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada rumah tangga padi sawah, semakin tua umur petani, maka sifat subsistennya semakin meningkat pula. Luas Lantai Jemur Luasan lantai jemur yang digunakan petani untuk menjemur gabahnya berpengaruh negatif pada padi sawah dan signifikan terhadap marketed surplus. Pada padi ladang, luasan lantai jemur kurang menggambarkan marketed surplus. Signifikannya variabel luasan lantai jemur berdasarkan pengamatan di lapangan disebabkan petani baik itu sawah maupun ladang bisa dengan mudah mengakses tempat menjemur gabah. Hanya sedikit petani yang mengaku kesulitan mengakses tempat menjemur gabah. Selain bisa menjemur gabahnya di lantai
jemur milik sendiri, petani juga bisa menjemur gabahnya di lantai jemur penggilingan, lapangan umum, bahkan di pinggir jalan setempat. Meskipun mudah mengakses tempat menjemur, tetapi pada pola usahatani padi sawah, luasan yang cukup untum menjemur produk sulit diakses petani. Petani mayoritas mempunyai akses penjemuran, tetapi sering kali tidak cukup untuk menjemur gabah sesuai dengan yang petani inginkan. Oleh karena itu, pada padi sawah, petani yang memiliki lantai jemur luas, cenderung akan menjemur dan menjual gabahnya di kemudian hari saat harga meningkat. Luas Tempat Menyimpan Gabah Luas tempat menyimpan stok gabah berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap marketed surplus padi sawah. Namun, pengaruh luas simpan gabah berpengaruh negatif dan signifikan pada padi ladang. Secara logika, semakin luas tempat menyimpan gabah petani, maka jumlah gabah yang bisa disimpan bisa semakin besar pula. Sehingga
berdasarkan pengamatan di
lapangan, semakin luas tempat menyimpan gabah petani berarti semakin besar gabah yang bisa dijual secara bertahap. Dengan kata lain, semakin luas tempat menyimpan gabah, maka akan mengurangi marketed surplus dalam bentuk gabah kering panen atau gabah basah karena petani bisa menyimpan gabah kering lebih banyak. Tetapi, luasan tempat menyimpan gabah akan mempengaruhi secara positif jumlah marketed surplus secara keseluruhan (gabah kering dan basah). Bila semakin luas tempat menyimpan gabah petani maka akan menambah penjualan gabah dalam bentuk gabah kering karena dinilai petani lebih menguntungkan. Luasan rata-rata tempat menyimpan gabah petani berbanding lurus dengan luas lahan yang diusahakan, sehingga semakin luas lahan yang diusahakan, maka luasan yang dimiliki oleh petani untuk menyimpan gabah akan semakin luas pula. Signifikannya pengaruh luas simpan pada padi ladang disebabkan karena skala produksi yang lebih kecil, sehingga lebih elastis terhadap marketed surplus. Pada petani padi ladang, bentuk penjualan produk lebih banyak dalam bentuk gabah kering simpan, sedangkan padi sawah lebih banyak dalam bentuk gabah
kering panen. Sehingga, pada padi ladang, akses penyimpanan lebih dibutuhkan daripada padi sawah meskipun skalanya lebih kecil. Hal ini sejalan dengan Kumar dan Mruthyunjaya (1989) dalam Nuryanti et al. (2000) bahwa petani akan menjual lebih banyak agar keuntungan yang diperoleh bisa mengkompensasi kesulitan yang telah dialami. Bagi petani, sarana untuk menyimpan gabah adalah sebuah kesulitan karena panyimpanan gabah membutuhkan ruang yang luas dan biaya jika stok tersebut menggunkan fasilitas pihak lain. Sehingga, petani yang memiliki gudang yang luas, akan menyimpan gabahnya untuk dijual di kemudian hari agar keuntungan yang didapat semakin besar. Pendidikan Petani Variabel pendidikan petani berpengaruh positif dan signifikan terhadap marketed surplus pada padi sawah sedangkan pada padi ladang berpengaruh negatif dan signifikan. Berdasarkan koefisien regresi, penambahan 1 tahun pendidikan formal petani padi sawah akan menambah marketed surplus sebesar satu persen, sedangkan pada padi ladang, penurunan satu persen marketed surplus akan timbul seinring penambahan lama pendidikan formal petani selama 0,8 tahun. Hal ini sejalan dengan McDowell (1997) dalam Nuryanti et al (2000) yang mengungkapkan bahwa anggota keluarga yang berpendidikan tinggi, akan cenderung bekerja di luar usahatani, sehingga kesempatan menangani hasil panen akan semakin berkurang, sedangkan pada padi ladang ditemukan hal yang bertentangan. Pada pola usahatani padi sawah, semakin tinggi pendidikan petani, maka pola pikir untuk menjual hasil panennya lebih banyak akan meningkat. Untuk konsumsi rumah tangga sehari-hari, petani tersebut bisa membeli dari pasar dengan kualitas lebih baik atau dengan harga lebih murah. Status Penguasaan Lahan Status penguasaan lahan petani berpengarih negatif dan signifikan terhadap besaran marketed surplus. Hal ini disebabkan jika petani mengusahakan lahan garapan yang bukan milik sendiri, maka petani tersebut akan dikenakan biaya atas jasa pemakaian lahan tersebut. Biaya yang dikenakan biasanya berupa
natura dari hasil panen bersih, sehingga bila petani tersebut hasil panennya dibagi dengan pemilik lahan, maka jumlah hasil panen yang bisa dialokasikan untuk dijual akan berkurang. Hal ini sejalan dengan Nusril dan Sukiyono (2008) bahwa petani yang mengusahakan dengan sistem sakap akan dikenai pembayaran natura pemilik lahan sehingga besaran marketed surplus semakin kecil. Namun, petani yang menggunakan sistem sakap lebih sedikit dibandingkan dengan lainnya. Status penguasaan lahan pada rumah tangga petani padi ladang tidak berpengaruh signifikan terhadap besaran marketed surplus. Meskipun seluruh petani ladang mengusahakan lahan dengan status hak garap, tetapi dari status tersebut petani tidak dikenakan biaya untuk sebagai balas jasa untuk pemakaian lahan. Perhutani sebagai pemiliki lahan meminjamkan lahan tersebut kepada para petani dengan cuma-cuma, sehingga tidak mempengaruhi jumlah hasil panen yang bisa dislokasikan untuk dijual. Syarat yang diberikan Perhutani kepada petani hanya tidak memperbolehkan petani membangun bangunan permanen di atas lahan garapan tersebut. Sumber Modal Petani sering kali kesulitan modal untuk membiayai usahataninya. Untuk membiayai usahatani padinya, petani biasanya meminjam kepada pihak lain, yaitu tengkulak, pemilik lahan, dan lembaga keuangan. Petani harus membayar pinjaman itu saat panen. Dana untuk membayar pinjaman tersebut biasanya didapat petani dari hasil penjualan produk atau hasil panen. Pada model, sumber modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap marketed surplus. Hal ini ditunjukkan oleh informasi di lapangan bahwa petani yang meminjam modal menjual lebih banyak hasil panennya, karena selain untuk memperoleh uang tunai untuk membiayai kebutuhan rumah tangga, juga untuk membayar pinjaman modal tersebut.
VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan Akibat mudahnya akses pasar dan kebijakan serta bekembangnya infrastruktur telah menyebabkan pergeseran corak usahatani terutama dari subsisten ke komersial pada pola usahatani padi sawah di Kabupaten Karawang, sedangkan pada pola usahatani padi sawah corak usahatani masih relatif subsisten. Hal itu disebabkan padi pada pola usahatani padi ladang masih tujuan usahatani masih berfokus pada pemenuhan konsumsi rumah tangga. Produktivitas padi ladang juga masih rendah dan sarana usahatani yang tidak sebaik pada pola usahatani padi sawah yang mencerminkan bahwa padi ladang masih belum menjadi sasaran kebijakan pemerintah untuk pemenuhan konsumsi beras masyarakat, sehingga corak usahataninya masih bersifat subsisten. Pergeseran corak usahatani ditunjukkan dengan adanya
perbedaan
perilaku alokasi produk antara pola usahatani padi sawah dan ladang. Pada pola usahatani padi sawah, proporsi terbesar produk ditujukan untuk penjualan, sedangkan pada pola usahatani padi ladang proporsi terbesar dari produk digunakan untuk konsumsi rumah tangga. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi besaran marketed surplus ditemukan berbeda antara pola usahatani padi sawah dan padi ladang. Pada usahatani padi sawah, faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi marketed surplus, antar lain: harga gabah kering panen, tingkat produksi total gabah, sumber modal usahatani, musim tanam, usia petani, pendidikan formal petani, dan status penguasaan lahan petani. Berbeda pada pola usahatani padi ladang, faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi marketed surplus, yaitu : produksi total, jumlah tanggungan rumah tangga, luas tempat menyimpan gabah, dan pendidikan petani. Hal itu menunjukkan bahwa kontak usahatani pada pola usahatani padi ladang relatif rendah, karena tidak ada faktor pasar, seperti harga gabah yang signifikan mempengaruhi besaran proporsi marketed surplus. Adanya pengaruh harga gabah dan tidak berpengaruhnya jumlah anggota keluarga pada pola usahatani padi sawah justru menunjukkan bahwa pengaruh pasar sangat besar terhadap besaran proporsi marketed surplus pola usahatani padi sawah.
8.2 Saran Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan, maka ada beberapa saran yang bisa dilaksanakan : 1.
Pemerintah harus memperluas cakupan kebijakan kepada pola usahatani padi ladang karena padi ladang juga juga potensial untuk dijadikan sumber pasokan beras ke masyarakat.
2.
Pemerintah sebaiknya memberikan insentif bagi petani agar mengurangi penjualan dalam bentuk gabah kering panen, tetapi dalam bentuk gabah kering giling atau bahkan beras agar supply beras ke masyarakat bisa lebih stabil karena rentang waktu penjualan gabah kering giling bisa lebih lama dari pada gabah kering panen.
3.
Pemerintah setempat dan petani bisa menambah akses penyimpanan dan penjemuran gabah yang bisa meningkatkan marketed surplus terutama dalam bentuk gabah kering giling. Selain itu, dengan memperlancar pasokan pupuk agar produksi pada padi ladang di Kabupaten Karawang bisa meningkat sehingga marketed surplus padi ke pasar bisa ditingkatkan.
4.
Untuk penelitian selanjutnya, agar cakupan faktor-faktor yang mempengaruhi marketed surplus tidak hanya mencakup penjualan dalam bentuk gabah kering panen saja, tetapi juga dalam bentuk gabah kering giling.
DAFTAR PUSTAKA Amarender R. 2009. Factor Productivity and Marketed surplus of Major Crops in India. India. Administrative Staff College of India [BPS] Badan Pusat Staristik .2003. Sensus Pertanian Indonesia. Jakarta. Badan Pusat Statistik [BPS] __________________. 2009(a). Survei Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta. Badan Pusat Statistik [BPS] __________________ . 2009(b). Data Strategis Indonesia. Jakarta. Badan Pusat Statistik [BPS] __________________. 2010(a). Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Per Provinsi di Indonesia Tahun 2010. Jakarta. Badan Pusat Statistik [BPS] ___________________. 2010(b). Produksi Padi di Jawa Barat. Bandung.Badan Pusat Statistik [BPS] ___________________. 2010(c). Produksi Padi di Kabupaten Karawang. Karawang : Badan Pusat Statistik [BPS]
___________________. 2010(d). Kecamatan Cilamaya Wetan dalam Angka 2010. Karawang : Badan Pusat Statistik
[BPS]
___________________. 2010(e). Kecamatan Tempuran dalam Angka 2010. Karawang : Badan Pusat Statistik
[BPS] ___________________. 2010(f). Kecamatan Ciampel dalam Angka 2010. Karawang : Badan Pusat Statistik [BPS]
___________________. 2010(g). Kecamatan Pangkalan dalam Angka 2010. Karawang : Badan Pusat Statistik
Bhakta, Narayan N. 1983. An Economic Analysis of Marketable Surplus of Paddy in Kathmandu District. [Thesis]: Universiti Putra Malaysia [Dishutbun] NN. 2011. Laporan Produksi dan Harga Padi di Kabupaten Karawang. Karawang. Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Perkebunan Kabupaten Karawang. Dwi W. 2007. Marketable Surplus Beras Pada Petani Peserta Proyek Peningkatan Produktivitas Padi Desa Baturetno Kabupaten Bantul. Jurnal Dinamika Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta.
Chauman SK. 2005. Marketable Surplus and Price Spread for Maize in Hamirpur District.dalam Agricultural Economic Research Review vol 18 Edmeades S. 2005. Varieties, Attributes and Marketed Surplus of a Subsistence Crop: Bananas in Uganda. Di dalam International Association of Agricultural Economists Conference, Gold Coast, Australia, August 1218, 2006. Ellis F, Trotter B, Magrath P. 1992. Rice Marketing in Indonesia : methodology, Result and Implications of a Reasearch Study. Catham: Natural Resources Institue Hernanto, F. 1995. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta. Indumathi J. 1984. Farm Size, Productivity, and Marketable Surplus Case Study in Thanjavur District. [Thesis]. Mysore: Mysore University Kusnadi N, Nurmalina R, Ilham N, Yolinda E. 2008. Besaran dan Karakteristik Marketable Surplus Beras. Di dalam Makalah Seminar Konsorsium Penelitian : Karakteristik Sosial Ekonomi Petani pada Berbagai Tipe Agroekosistem. Bogor; Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Departemen Pertanian Mears, Leon A. 1981. The New Rice Economy of Indonesia . Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Metro Hendri P. 2005. Analisis Pendapatan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Cabang Usahatani Padi Ladang di Kabupaten Karawang. [Skripsi]. Bogor:Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Mubyarto.1975. Masalah Beras Di Indonesia. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Fakultas Ekonomi UGM Mubyarto. 1970. Marketable Surplus Beras di Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM Newman, Mark D. 1977. Determinant of Marketed surplus in Rural Household. [Thesis]. Michigan: Department of Agricultural Economics Michigan University Nazir. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia Nuryanti S, Maksum M, Masyhuri. 2000. Faktor-faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Kuantitas Padi yang Dijual Petani di Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul. Yogyakarta: Jurnal AgroEkonomi
Nusril,
H.S. Harahap dan K. Sukiyono. 2007. Analisa Marketable Surplus Beras (Studi Kasus di Desa Dusun Muara Aman Kecamatan Lebong Utara Kabupaten Lebong). Jurnal Akta Agrosia. Volume 10.
Praminik R dan Prakash G. 2010. Marketable Surplus and Marketing Efficiency of Vegetables in Indore District: A Micro-Level Study [Abstrak]. The IUP Journal of Agricultural Economics, Vol. 7, No. 3, pp. 84-93, July 2010 Sadhu R Bella. 2011. Marketable surplus of Potato. International Reffered Research Journal, February 2011. Sawit MH dan Lakollo.2007. Rice Import Surge in Indonesia. Jakarta. ICASEPS & AAI Shah D. 2007. Impact of Milk Cooperatives on Marketed Surplus of Milk [Abstrak]. Pune: Gokhale Institute of Politics and Economics Siregar H.1987. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Bogor: PT Sastra Hudaya Siregar, Tetty. 1990. Telaah Terhadap Marketed surplus Beras di Tiga Desa Kecamatan Baros Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Soekartawi, Dillon JL, Herdaker JB, Soeharjo A. 1984. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta : UI Press. Terjemah dari : Farm Management Research for small Development Upender, M. 1990. Marketable and Marketed surplus in Agriculture. New Delhi: Mittal Pubication.
LAMPIRAN
Lampiran 1.
Output Minitab Model Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketed Surplus Padi Sawah
Regression Analysis: marketed versus musim; harga gkp; ... The regression equation is marketed = 65,7 - 27,5 musim + 0,0114 harga gkp - 0,00077 harga gkg + 0,000507 produksi + 0,41 tanggungan - 0,000001 penghasilan luar ustan - 0,238 usia - 0,0237 luas jemur - 0,0281 luas gudang + 1,06 pendidikan - 3,29 status penguasaan lahan + 14,5 asal modal Predictor Constant musim harga gkp harga gkg produksi tanggungan penghasilan luar ustan usia luas jemur luas gudang pendidikan status penguasaan lahan asal modal S = 21,6408
Coef 65,71 -27,523 0,011443 -0,000771 0,0005067 0,409 -0,00000056 -0,2382 -0,02374 -0,02806 1,0645 -3,285 14,493
R-Sq = 51,8%
PRESS = 65789,1
SE Coef 18,55 4,404 0,001824 0,001213 0,0002330 1,578 0,00000020 0,2381 0,01383 0,02861 0,6409 5,763 5,393
T 3,54 -6,25 6,27 -0,63 2,17 0,26 -2,77 -1,00 -1,72 -0,98 1,66 -0,57 2,69
P 0,001 0,000 0,000 0,527 0,032 0,796 0,007 0,319 0,089 0,329 0,100 0,570 0,008
R-Sq(adj) = 46,4%
R-Sq(pred) = 36,68%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 12 107 119
SS 53795,2 50110,9 103906,1
Source musim harga gkp harga gkg produksi tanggungan penghasilan luar ustan usia luas jemur luas gudang pendidikan status penguasaan lahan asal modal
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
MS 4482,9 468,3
F 9,57
P 0,000
Seq SS 8833,8 24513,0 371,2 2844,3 28,0 4668,4 2432,6 533,1 931,1 2437,9 2819,2 3382,5
Unusual Observations Obs 1 13
musim 1,00 1,00
marketed 0,00 39,35
Fit 10,72 97,28
SE Fit 12,81 9,82
Residual -10,72 -57,93
St Resid -0,61 X -3,00R
VIF 1,2 1,3 1,7 1,7 1,2 1,3 1,3 1,5 1,4 1,5 1,7 1,8
36 41 50 61 80 101 115
1,00 1,00 1,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 99,43 100,00 0,00 0,00 99,56 0,00
67,36 106,45 53,73 38,37 48,09 83,69 60,12
5,28 17,25 8,73 12,57 6,19 16,63 7,21
-67,36 -7,02 46,27 -38,37 -48,09 15,87 -60,12
-3,21R -0,54 X 2,34R -2,18RX -2,32R 1,15 X -2,95R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Durbin-Watson statistic = 2,26425
Lampiran 2.
Output Minitab Model Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketed Surplus Padi Ladang
Regression Analysis: marketed versus produksi; harga gkp; ... * harga gkp is (essentially) constant * harga gkp has been removed from the equation. The regression equation is marketed = 8,54 + 0,00470 produksi - 0,00121 harga gkg - 1,49 tanggungan + 0,000001 penghasilan luar ustan - 0,021 usia + 0,0153 luas jemur - 0,0306 luas gudang - 0,893 pendidikan Predictor Constant produksi harga gkg tanggungan penghasilan luar ustan usia luas jemur luas gudang pendidikan S = 5,88027
Coef 8,545 0,0047001 -0,001207 -1,4870 0,00000139 -0,0212 0,01531 -0,03062 -0,8935
R-Sq = 77,2%
PRESS = 2994,57
SE Coef 7,774 0,0009167 0,001570 0,9469 0,00000088 0,1260 0,03013 0,01664 0,4268
T 1,10 5,13 -0,77 -1,57 1,59 -0,17 0,51 -1,84 -2,09
P 0,284 0,000 0,451 0,131 0,127 0,868 0,617 0,080 0,049
R-Sq(adj) = 68,5%
R-Sq(pred) = 6,00%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 8 21 29
SS 2459,48 726,13 3185,61
Source produksi harga gkg tanggungan penghasilan luar ustan usia luas jemur luas gudang pendidikan
DF 1 1 1 1 1 1 1 1
MS 307,43 34,58
F 8,89
P 0,000
Seq SS 2051,89 17,20 38,96 125,79 6,92 7,38 59,82 151,51
Unusual Observations Obs 2 10 12
produksi 1000 10000 2500
marketed 20,00 50,00 0,00
Fit 5,19 45,15 7,96
SE Fit 2,91 5,45 4,39
Residual 14,81 4,85 -7,96
St Resid 2,90R 2,19R -2,03R
R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 2,14667
VIF 2,7 1,2 1,4 1,9 1,5 1,4 1,9 1,7