EVALUASI EFEKTIVITAS PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN ANTARA KOTA CIREBON DAN KABUPATEN KUNINGAN
KUSUMASARI
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Efektivitas Pembayaran Jasa Lingkungan antara Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
ABSTRACT KUSUMASARI. Effectiviness Evaluation of Payment of Environmental System Between Cirebon Government and Kuningan Government. Under direction of Akhmad Fauzi and Ahyar Ismail. Ecosystem conservation of watershed on the upstream area is a critical requirement in a continuous water management. This effort has to be supported not only by people that live at the upstream area as the „owner‟ of the catchment area but also by people at the downstream area as the „user‟. Therefore a comprehensive water management endeavor between the „owner‟ and the „user‟ is needed, through a payment of environmental services mechanism. This mechanism has been applied in West Java Province, specifically in Ciremai Mountain area – between Kuningan as the owner of the Paniis watershed and Cirebon as the user. Within the course of payment of environmental services, Kuningan and Cirebon keep identifying an accurate formula to manage the watershed area. Such circumstances place government in a consideration, whether the payment of environmental services program is effective in conserving Paniis watershed as the source of water of people in the city of Cirebon. It is critical to evaluate the effectiveness of payment of environmental services program in Paniis watershed, Ciremai Mountain to address the above question. Four main analyses have been employed to address that main question: (1) Cost and benefit analysis, (3) Willingness to pay analysis, and (4) Multinomial logit analysis. Results of the cost and benefit analysis of the payment of environmental services from 2003 2011 indicate that direct costs and direct benefits for Cirebon PDAM had been declining. These results conclude that the payment of environmental services of Cirebon PDAM is not effective to increase the production capacity of the institution. Results of willingness to pay analysis indicate that water users (costumers) have willingness to pay the environmental services of Rp.72/m 3 . Based on the payment retrieval analysis: 49% of the respondents choose the payment through the monthly billing method, which is paid through the PDAM account. Key words : watershed ,payment of environmental services , cost and benefit analysis, game theory,willingness to pay analysis, multinomial logit analysis.
RINGKASAN Kawasan Gunung Ciremai sebagian besar berada di Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat memiliki sumber air minum berupa mata air yang cukup melimpah. Aliran air yang berasal dari mata air tidak hanya dimanfaatkan oleh penduduk di wilayah Kabupaten Kuningan, tetapi juga
dimanfaatkan untuk
memasok kebutuhan air bagi daerah-daerah di daerah hilirnya seperti Kota Cirebon. Kota Cirebon sendiri merupakan pengguna utama sumber mata air Paniis Kawasan Gunung Ciremai, atas dasar itu kemudian Kabupaten Kuningan menuntut Kota Cirebon untuk melakukan pembayaran jasa lingkungan. Pembayaran Jasa Lingkungan merupakan paradigma baru dan lebih terarah dalam pelaksanaan konservasi. Pembayaran Jasa Lingkungan menjembatani kepentingan pemilik jasa lingkungan dan pengguna jasa lingkungan melalui adanya kompensasi. Menurut Wunder (2005), pembayaran jasa lingkungan adalah suatu transaksi sukarela yang menggambarkan suatu jasa lingkungan yang perlu dilestarikan dengan cara pemberian nilai dari penerima manfaat kepada penyedia manfaat jasa lingkungan. Sebelum tahun 2004, pengguna air yang berada di wilayah hilir (Kabupaten dan Kota Cirebon) yang memanfaatkan air dari Gunung Ciremai kurang memberikan kontribusi finansial bagi Kabupaten Kuningan sebagai daerah hulu yang selalu dituntut untuk melakukan konservasi daerah resapan air (Ramdan 2006). Pada tahun 2004 Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan menuntut adanya dana kompensasi penggunaan mata air Paniis yang selama ini menjadi sumber air bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Cirebon. Hal ini menyebabkan konflik diantara kedua daerah tersebut karena adanya ancaman pengurangan pasokan air yang akan menimbulkan krisis air di Kota Cirebon. Penyelesaian konflik ini dianggap selesai dengan pembayaran dana pembayaran jasa lingkungan dari Kota Cirebon kepada Kabupaten Kuningan (Sumarman 2006) Pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon bukan semata-mata tanpa masalah, karena dalam perjalanannya semenjak tahun 2004 kedua daerah ini terus mencari formula yang tepat dalam melakukan pengelolaan kawasan sumber mata air. Hal ini menyebabkan
pemerintah dihadapkan pada pertimbangan terkait dengan program pembayaran jasa lingkungan tersebut, apakah program tersebut efektif dalam upaya konservasi sumber mata air Paniis yang merupakan sumber air bagi Kota Cirebon. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis efektivitas pembayaran jasa lingkungan kawasan sumber mata air Paniis, mengevaluasi pelaksanaan sistem kelembagaan pembayaran jasa lingkungan kawasan sumber mata air Paniis, menghitung nilai willingness to pay masyarakat Kota Cirebon terhadap kawasan sumber mata air Paniis dan menganalisis sistem pembayaran jasa lingkungan yang diinginkan oleh masyarakat Kota Cirebon. Dalam penelitian ini digunakan empat analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi efektivitas pembayaran jasa lingkungan kawasan sumber mata air Paniis yaitu dengan analisis manfaat dan biaya PDAM Kota Cirebon, analisis game theory, analisis WTP binary logit dan analisis multinomial logit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya program pembayaran jasa lingkungan sejak tahun 2004 oleh Kota Cirebon belum meningkatkan kapasitas produksi dari PDAM. Apabila pembayaran jasa lingkungan terus dilakukan dimasa yang akan datang diperkirakan produksi air dari mata air Paniis akan terus meningkat dan akan mengakibatkan peningkatan nilai BCR PDAM Kota Cirebon. Berdasarkan analisis game theory, skenario bekerjasama (cooperative) merupakan strategi permainan yang paling menguntungkan pihak PDAM Kota Cirebon dan Pemerintah Kabupaten Kuningan. Mean WTP masyarakat Kota Cirebon adalah sebesar Rp. 72/ m3 . Artinya bahwa masyarakat kota cirebon bersedia membayar sejumlah Rp. 72/ m3 untuk jasa air diluar dari pembayaran PDAM setiap bulannya untuk jasa air. Responden menyadari pentingnya akan keberlanjutan ketersediaan air dengan membayar jasa lingkungan untuk air. Sistem rekening merupakan sistem yang paling dibanyak dipilih ada 34 responden (49 %) yang memilih sistem rekening dibandingkan kedua sistem lainnya, kemudian sistem dana kemitraan merupakan pilihan kedua yang banyak terpilih yaitu 28 responden yang memilih sistem dana kemitraan (40 %) sedangkan hanya 11 % responden yang memilih untuk membayarnya melalui sistem pajak.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa ijin IPB
EVALUASI EFEKTIVITAS PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN ANTARA KOTA CIREBON DAN KABUPATEN KUNINGAN
KUSUMASARI
Tesis Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Evaluasi Efektivitas dan Sistem Kelembagaan Pembayaran Jasa Lingkungan Antara Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar master (S2) pada Program Studi Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan,
Sekolah
Pascasarjana,
Institut
Pertanian
Bogor.
Penulis
menghaturkan terima kasih yang paling dalam kepada Bapak Prof. Dr. Ir Akhmad Fauzi, M.Sc dan Dr. Ahyar Ismail, M.Agr selaku pembimbing yang selalu memberikan arahan, bimbingan, dan selalu memberikan semangat kepada penulis untuk selalu berusaha menjalankan dan menyelesaikan tugas belajar di Institut Pertanian Bogor dengan sebaik-baiknya. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, terutama kepada Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT dan Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS selaku penguji luar komisi, Dosen dan staf program studi ESL- IPB, Departemen ESL. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami dan ananda tercinta Adam D. Zeiza dan Mikhaila A. Zeiza atas dorongan semangat dan pengertian atas waktu yang diberikan, serta orang tua tercinta Odi Suryadi dan Tien Hindasah, serta seluruh teman-teman atas segala doa dan semangatnya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Agustus 2012
Kusumasari
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Evaluasi Efektivitas dan Sistem Kelembagaan Pembayaran Jasa Lingkungan
Kawasan
Sumber Mata Air Paniis Gunung Ciremai”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar master (S2) pada Program Studi Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis menghaturkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada Bapak Prof. Dr. Ir Akhmad Fauzi, M.Sc dan Dr.Ir. Ahyar Ismail, M. Agrselaku pembimbing yang selalu memberikan arahan, bimbingan, dan selalu memberikan semangat kepada penulis untuk selalu berusaha menjalankan dan menyelesaikan tugas belajar di Institut Pertanian Bogor dengan sebaik-baiknya.
Tidak lupa
penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, terutama kepada : 1. Dr. Aceng Hidayat, MT sebagai dosen penguji luar komisi 2. Seluruh jajaran dosen dan staf program studi ESL Departemen ESL atas bantuannya selama penulis bersekolah. 3. Direktur PDAM Kota Cirebon Bapak Wiem Wilantara beserta staf atas izin,bantuan, fasilitas dan kemudahan yang diberikan ketika penulis melakukan penellitian di PDAM Kota Cirebon. 4. Orang tua tercinta dan yang saya hormati Odi Suryadi dan Tien Hindasah untuk segala doa dan kasih sayangnya. 5. Suami tercinta Adam D. Zeiza atas doa dan dorongan semangat yang diberikan dan Ananda tercinta Mikhaila A. Zeiza atas waktu yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
6. Teman-teman penulis Intan Adhi P. Putri atas bantuan dan bimbingannya kepada
penulis dan Sofi atas dorongan semangat dan bantuannya kepada
penulis. Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat khususnya bagi masyarakat dan Pemerintah Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan, dan juga bagi masyarakat pada umumnya.
Bogor, Agustus 2012
Kusumasari
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1985 sebagai anak bungsu dari pasangan Odi Suryadi dan Tien Hindasah. Penulis merupakan putri kedua dari dua bersaudara. Tahun 2003 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Cirebon dan pada tahun yang sama penulis diterima pada Program Studi Manajemen Sumber Daya Perikanan, Fakultas Pertanian UNPAD melalui UMPTN. Penulis mendapatkan gelar Sarjana Perikanan pada tahun 2008. Pada tahun 2008, penulis diterima di Program Studi Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan pada Program Pascasarjana IPB.
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR…………………………………………………… i DAFTAR ISI……………………………………...………………... …….. ii DAFTAR TABEL……………………………………..…………......
iii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………..... ……. iv DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………….. …….. v I. PENDAHULUAN……………………………………………...... …….. 1 1.1 Latar Belakang…………………………………………. ……. 1 1.2 Perumusan Masalah…………………………………..... …….. 2 1.3 Tujuan Penelitian………………………………………. …….. 4 1.4 Manfaat Penelitian……………………………………... ……. 4 II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………. 5 2.1 Jasa Lingkungan………………………………………...……. 5 2.1.1
Jasa Lingkungan Hutan untuk Perlindungan dan Pemanfaatan Air………………………….. …….. 6
2.2 Pembayaran Jasa Lingkungan…………………………. …….. 7 2.3 Kelembagaan Pengelolaan Air Minum Lintas Wilayah.. ……. 10 2.4 Analisis Manfaat dan Biaya………………………....... ……. 13 2.5 Teori Permainan (Game Theory) ………………………….
14
2.6 Analisis Regresi Binary Logistik……..….………………
19
2.7 Analisis Regresi Multinomial Logit……..…………………… 21 2.8 Penelitian Terdahulu…………………………………………. 22 III. KERANGKA PEMIKIRAN…………………………………………. 25 IV. METODE PENELITIAN……………………………………………. 28 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian…………………………............ 28 4.2 Jenis dan Sumber Data…………………………………. ……. 28 4.3 Metode Pengambilan Data….………………………….. ……. 28 4.4 Metode Analisis dan Pengolahan Data……………….... …… 4.4.1 Analisis Manfaat dan Biaya…….………………..
29 30
4.4.2 Analisis Desain Model Kelembagaan Pembayaran Jasa Lingkungan ..............................................……….31
4.4.3 Analisis Regresi Binary Logistik Willingness to Pay Pembayaran Jasa Lingkungan…..……………. ……... 32 4.4.4 Analisis Multinomial Logit Pembayaran Jasa Lingkungan……………………………….… ……... 33 4.5 Hipotesis……………………………………………………... 34 V. Gambaran Umum……………………………………………………... 35 5.1 Keadaan Umum Wilayah Studi………………………………. 35 5.1.1 Kondisi Geografis dan Fisik Kota Cirebon………… 35 5.1.2 Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Cirebon…………………………………….. 36 5.1.2.1 Peranan dan Fungsi PDAM Kota Cirebon... 37 5.1.2.2 Sejarah Perkembangan PDAM Kota Cirebon………………………........ 38 5.1.2.3 Kondisi Sistem Penyediaan Air Minum…... 39 5.1.2.4 Kemampuan Usaha PDAM Kota Cirebon… 40 5.1.3 Kabupaten Kuningan……………………………….. 41 5.1.3.1 Kondisi Geografis dan Fisik Kabupaten Kuningan………………………………….. 41 5.1.3.2 Kawasan Gunung Ciremai………………… 42 5.1.3.3 Mata Air Paniis……………………………. 43 5.2 Karakteristik Sosial Ekonomi Responden…………………… 44 VI. Pembahasan………………………………………………………….. 47 6.1 Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan Kawasan Sumber Air Minum Paniis……………………………………………… 47 6.1.1 Perubahan Status Kawasan Mata Air Paniis Masuk Dalam Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. 55 6.2 Kondisi Sebelum dan Sesudah Program Pembayaran Jasa Lingkungan berdasarkan Analisis Manfaat – Biaya..…… 56 6.3 Analisis Game Theory Pelaksanaan Kelembgaan Pembayaran Jasa Lingkungan……………………………………………… 59 6.4 Analisis Regresi Binary Logistik Willingnwaa to Pay Pembayaran jasa Lingkungan Mata Air Paniis……………… 62 6.5 Hasil Analisis Regresi Multinomial Logit…………..……….. 65 VII. Kesimpulan dan Saran 7.1 Kesimpulan…………………………………………………… 69 7.2 Saran………………………………………………………….. 69 DAFTAR PUSTAKA…………………..………………………………….. 70 LAMPIRAN……………………………………………………………….. 75
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1
Tabel Konsekuensi dari Permainan Pertukaran (Jasa)……
18
2
Matriks Metode Analisis Data……………………………
30
3
4
Matriks Pay Off permainan antara Pemerintah Kota Cirebon dan Pemerintah Kabupaten Kuningan dalam Pengelolaan Hutan……………………………………………………….. 32 Penyebaran Jumlah Penduduk Kota Cirebon…………..…….. 36
5
Susunan Pengurus PDAM Kota Cirebon……………… …….. 37
6
Karakteristik Sosial Ekonomi Responden Pelanggan Rumah Tangga PDAM………………………………………. 45
. 7
Perbedaan Debit Produksi PDAM Kota Cirebon…….. …….. 49
8
Pembagian Dana Pembayaran Jasa Lingkungan……………. 50
9 10
Perbandingan nilai BCR sebelum pembayaran jasa lingkungan dan setelah pembayaran jasa lingkungan.................................. 58 Kapasitas Produksi PDAM Kota Cirebon 2003-2011………. 58
11
Game Theory Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan …..61
12
Hasil Analisis Logit WTP Pembayaran Jasa Lingkungan….. 62
13
Hasil Analisis Regresi Multinomal Logit…………………… 66
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1
Prinsip Pembayaran Jasa Lingkungan…………………………….. 8
2
Manfaat Pembayaran Jasa Lingkungan…………………………… 9
3
Alur Pikir Penelitian………………………………………………. 27
4
Sempadan Sungai pada Sungai Cipaniis…………………………… 40
5 6
Karakteristik Sosial Ekonomi Pelanggan Rumah Tangga PDAM Kota Cirebon……………………………………………………….. 46 Grafik Perbandingan Nilai BCR selama Periode sebelum pembayaran jasa lingkungan dan setelah Periode pembayaran jasa lingkungan……………………………………………………. 58
7
Grafik Kapasitas Produksi PDAM Kota Cirebon 2003-2011……... 59
8
Kurva Bid WTP Kota Cirebon…………………………………….. 63
9
Distribusi Sistem Pembayaran Jasa Air yang Dipilih Responden… 65
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1
Peta Lokasi Penelitian……………..……………………………….. 76
2
Kuisioner Penelitian………………………………………………. 78
3
Data Penerimaan Asli Daerah Kabupaten Kuningan……………… 82
4
Output SPSS Regresi Multinomial Logistik Nominal Regression.. 83
5
Output Eviews : binary logit WTP Air di Kota Cirebon…………. 85
6
Dokumentasi Penelitian……………………………………………. 86
I. PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang strategis dan vital bagi kehidupan manusia. Air minum merupakan kebutuhan dasar manusia yang keberadaannya tidak dapat disubtitusi oleh komoditas lain bahkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendeklarasikan bahwa air merupakan hak azasi manusia, artinya, setiap manusia di muka bumi ini mempunyai hak dasar yang sama terhadap pemakaian air. Ironisnya, dua pertiga jasa lingkungan yang terkait dengan kesejahteraan manusia termasuk sumber daya air sedang mengalami degradasi atau dimanfaatkan secara tidak berkelanjutan (Ramdan 2006). Mengingat peranan air yang sangat penting dalam kelangsungan hidup manusia, maka sumberdaya air harus dikelola dan dilindungi agar kuantitasnya dapat mencukupi kebutuhan masyarakat. Air yang bersumber dari mata air tidak hanya digunakan oleh masyarakat lokal, juga dimanfaatkan oleh penduduk yang berada di wilayah hilirnya yang secara administratif berbeda. Interaksi antara kawasan hulu sebagai zona resapan sumber air dan kawasan hilirnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan air adalah erat, sehingga upaya untuk mewujudkan pengelolaan air berkelanjutan menjadi tanggung jawab semua wilayah. Upaya perlindungan ekosistem kawasan sumber air yang umumnya berada di bagian hulu merupakan syarat penting dalam pengelolaan air berkelanjutan. Hal ini harus didukung tidak hanya oleh masyarakat kawasan hulu sebagai pemilik sumber mata air tetapi juga olehI. PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang strategis dan vital bagi kehidupan manusia. Air minum merupakan kebutuhan dasar manusia yang keberadaannya tidak dapat disubtitusi oleh komoditas lain bahkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendeklarasikan bahwa air merupakan hak azasi manusia, artinya, setiap manusia di muka bumi ini mempunyai hak dasar yang sama terhadap pemakaian air. Ironisnya, dua pertiga jasa lingkungan yang terkait dengan kesejahteraan
manusia termasuk sumber daya air sedang mengalami degradasi atau dimanfaatkan secara tidak berkelanjutan (Ramdan 2006). Mengingat peranan air yang sangat penting dalam kelangsungan hidup manusia, maka sumberdaya air harus dikelola dan dilindungi agar kuantitasnya dapat mencukupi kebutuhan masyarakat. Air yang bersumber dari mata air tidak hanya digunakan oleh masyarakat lokal, juga dimanfaatkan oleh penduduk yang berada di wilayah hilirnya yang secara administratif berbeda. Interaksi antara kawasan hulu sebagai zona resapan sumber air dan kawasan hilirnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan air adalah erat, sehingga upaya untuk mewujudkan pengelolaan air berkelanjutan menjadi tanggung jawab semua wilayah. Upaya perlindungan ekosistem kawasan sumber air yang umumnya berada di bagian hulu merupakan syarat penting dalam pengelolaan air berkelanjutan. Hal ini harus didukung tidak hanya oleh masyarakat kawasan hulu sebagai pemilik sumber mata air tetapi juga oleh masyarakat kawasan hilir sebagai pengguna jasa lingkungan. Oleh karena itu diperlukan penerapan pengelolaan bersama antara penyedia jasa lingkungan di daerah hulu dan pengguna jasa lingkungan di hilir melalui mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Pembayaran jasa lingkungan ini telah diterapkan di Provinsi Jawa Barat, khususnya pada kawasan Gunung Ciremai. Kawasan Gunung Ciremai sebagian besar berada di Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat memiliki sumber air minum berupa mata air yang cukup melimpah. Aliran air yang berasal dari mata air tidak hanya dimanfaatkan oleh penduduk di wilayah Kabupaten Kuningan, tetapi juga
dimanfaatkan untuk
memasok kebutuhan air bagi daerah-daerah di daerah hilirnya seperti Kota Cirebon. Kota Cirebon sendiri merupakan pengguna utama sumber mata air Paniis Kawasan Gunung Ciremai, atas dasar itu kemudian Kabupaten Kuningan menuntut Kota Cirebon untuk melakukan pembayaran jasa lingkungan. Sebelum tahun 2004, pengguna air yang berada di wilayah hilir (Kabupaten dan Kota Cirebon) yang memanfaatkan air dari Gunung Ciremai kurang memberikan kontribusi finansial bagi Kabupaten Kuningan sebagai daerah hulu yang selalu dituntut untuk melakukan konservasi daerah resapan air (Ramdan
2006). Pada tahun 2004 Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan menuntut adanya dana kompensasi penggunaan mata air Paniis yang selama ini menjadi sumber air bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Cirebon. Hal ini menyebabkan konflik diantara kedua daerah tersebut karena adanya ancaman pengurangan pasokan air yang akan menimbulkan krisis air di Kota Cirebon. Penyelesaian konflik ini dianggap selesai dengan pembayaran dana pembayaran jasa lingkungan dari Kota Cirebon kepada Kabupaten Kuningan (Sumarman 2006) Pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon bukan semata-mata tanpa masalah, karena dalam perjalanannya semenjak tahun 2004 kedua daerah ini terus mencari formula yang tepat dalam melakukan pengelolaan kawasan sumber mata air. Hal ini menyebabkan pemerintah dihadapkan pada pertimbangan terkait dengan program pembayaran jasa lingkungan tersebut, apakah program tersebut efektif dalam upaya konservasi sumber mata air Paniis yang merupakan sumber air bagi Kota Cirebon. Atas pertimbangan tersebut penulis tertarik untuk melakukan kajian Evaluasi Efektivitas Pembayaran Jasa Lingkungan Kawasan Sumber Mata Air Paniis Gunung Ciremai. Kajian ini akan memberikan informasi mengenai kondisi pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan dari Kota Cirebon kepada Kabupaten Kuningan.
I.2 Perumusan Masalah Kawasan hulu sebagai zona resapan sumber air dan kawasan hilirnya sebagai pemanfaat sumber air memiliki hubungan yang erat dalam upaya untuk mewujudkan pengelolaan air berkelanjutan, Acreman (2004) menyebutkan bahwa upaya perlindungan ekosistem kawasan sumber air yang umumnya berada di bagian hulu merupakan salah satu pilar penting dalam pengelolaan air berkelanjutan. Kondisi ideal ini tidak mudah diwujudkan karena adanya masalahmasalah dalam manajemen sumberdaya air. Keterbatasan pendanaan sering kali menjadi kendala dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut dengan baik sehingga dikhawatirkan suatu saat nanti sumber daya alam tersebut mengalami degradasi yang akan merugikan berbagai pihak.
Kawasan Gunung Ciremai yang sebagian besar berada di Kabupaten Kuningan Propinsi Jawa Barat memiliki sumber air minum berupa mata air yang cukup melimpah salah satunya adalah sumber mata air Paniis. Adanya pemanfaatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat sekitar sumber mata air Paniis secara tidak langsung dapat merusak ekosistem hutan yang merupakan pelindung dari sumber mata air Paniis. Pemanfaatan ekonomi yang berlebihan yang akan merusak ekosistem hutan dapat ditanggulangi melalui adanya hubungan hulu dan hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan masyarakat sekitar sumber mata air Paniis. Pada tahun 2004, setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 mengenai Otonomi Daerah, dimana pemerintah daerah memiliki wewenang atas daerah administratifnya, Kabupaten Kuningan menuntut adanya pembayaran jasa lingkungan kepada Kota Cirebon. Atas dasar tuntutan tersebut, Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon membuat nota kesepakatan berupa perjanjian kerjasama pengelolaan sumber mata air Desa Paniis Kecamatan Pasawahan Kabupaten Kuningan. Pembayaran Jasa Lingkungan yang dikembangkan oleh Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon merupakan PES-like karena dalam pelaksanaannya dana konservasi di Kabupaten Kuningan masuk dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD). Alokasi dana pembayaran jasa lingkungan yang tidak sesuai tersebut menimbulkan pertimbangan apakah program tersebut efektif dalam upaya perlindungan sumber mata air Paniis yang akan meningkatkan debit air yang mengalir ke Kota Cirebon. Berdasarkan uraian diatas, beberapa masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini meliputi : 1. Bagaimana efektivitas pelaksanaan program pembayaran jasa lingkungan kawasan sumber mata air Paniis ? 2. Bagaimana pelaksanaan sistem kelembagaan pembayaran jasa lingkungan kawasan sumber mata air Paniis ? 3. Bagaimana nilai willingness to pay masyarakat Kota Cirebon terhadap kawasan sumber mata air Paniis ? 4. Bagaimana sistem pembayaran jasa lingkungan yang diinginkan oleh masyarakat Kota Cirebon ?
I.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah 1. Menganalisis efektivitas pembayaran jasa lingkungan kawasan sumber mata air Paniis 2. Mengevaluasi
pelaksanaan
sistem
kelembagaan
pembayaran
jasa
lingkungan kawasan sumber mata air Paniis. 3. Menghitung nilai willingness to pay masyarakat Kota Cirebon terhadap kawasan sumber mata air Paniis. 4. Menganalisis sistem pembayaran jasa lingkungan yang diinginkan oleh masyarakat Kota Cirebon.
I.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1. Akademisi dan peneliti lain sebagai bahan studi literatur bagi penelitian selanjutnya 2. Pemerintah Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon sebagai masukan dalam
pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan kawasan sumber air
Paniis. Hasil dari penelitian ini mencerminkan evaluasi efektivitas program pembayaran jasa lingkungan. 3. Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat, sebagai masukan mengenai kebijakan
yang
seharusnya
diambil
dalam
mendukung
program
pembayaran jasa lingkungan terutama di Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jasa Lingkungan Jasa lingkungan merupakan keseluruhan sistem alam yang menyediakan aliran barang dan jasa yang bermanfaat bagi manusia dan lingkungan. Menurut Wunder (2007) dan secara spesifik didalam Millenium Ecosystem Assesment, terdapat pembagian yang sangat jelas mengenai fungsi penting jasa lingkungan, yaitu sebagai: 1.
Jasa Penyediaan (provisioning services) yaitu jasa lingkungan dalam menyediakan sumber bahan makanan, obat-obatan alamiah, sumberdaya genetik, kayu bakar, air, dan lain-lain.
2.
Jasa Pengaturan (regulating services) yaitu jasa lingkungan dalam menjaga kualitas udara, pengaturan iklim, pengaturan air, kontrol erosi, penjernihan air, pengelolaan sampah, kontrol penyakit, kontrol biologi, pengurangan resiko dan lain-lain.
3.
Jasa Cultural (cultural services) yaitu jasa lingkungan yang terkait dengan identitas dan keragaman budaya, nilai-nilai religius dan spiritual, pengetahuan (tradisional dan formal), inspirasi, nilai estetika, hubungan sosial, rekreasi dan lain-lain.
4.
Jasa Pendukung (supporting services) yaitu jasa lingkungan yang terkait dengan produksi produk utama seperti unsur hara, produksi oksigen, ketahanan tanah, penyerbukan, ketersediaan habitat, siklus gizi dan lainlain.
Wunder (2005) mengidentifikasi empat jenis tipe jasa lingkungan yang saat ini mengemuka yaitu : 1.
Penyerap dan penyimpan karbon (carbon sequestrationand storage),
2.
Perlindungan keanekaragaman hayati (biodiversity protection),
3.
Perlindungan Daerah Aliran Sungai (watershed protection),
4.
Pelestarian keindahan bentang alam (protection of landscape beauty).
Jasa lingkungan yang ada saat ini pada suatu saat akan mengalami penurunan kualitas apabila tidak dikelola dengan baik. Proyek pembangunan yang berintegrasi dengan konservasi serta pengelolaan hutan yang berkelanjutan merupakan dua pendekatan yang digabungkan untuk dapat meningkatkan pendapatan masyarakat lokal sekaligus mengkonservasi lingkungan (Salafsky et al 2001), sayangnya kedua pendekatan ini menurut Wunder (2007) tidak dapat mengurangi trend penggunaan lahan hutan maupun praktek-praktek silvikultur. Oleh karena itu, banyak perdebatan untuk mendapatkan formulasi yang tepat dalam pelaksanaan konservasi. Gagalnya pendekatan pengelolaan konservasi lingkungan di masa lalu telah memicu berkembangnya suatu konsep dimana masyarakat sebagai penyedia jasa lingkungan perlu mendapat kompensasi terhadap usaha perlindungan terhadap lingkungan yang mereka lakukan, disisi lain pengguna jasa lingkungan perlu melakukan pembayaran jasa lingkungan yang mereka manfaatkan (Leimona et al. 2004).
2.1.1 Jasa Lingkungan Hutan untuk Perlindungan dan Pemanfaatan Air Hutan
memiliki
peranan
strategis
dalam
mendukung
berjalannya
pembangunan secara berkelanjutan. Beragam manfaat berupa jasa dan barang dapat diperoleh dari hutan, baik berupa manfaat tangible maupun manfaat intangible yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi, sosial-budaya, dan jasa lingkungan (ekologis). Jasa hidrologis hutan merupakan salah satu jasa lingkungan terpenting yang dihasilkan hutan. Fungsi hidrologis hutan tersebut antara lain berupa : 1.
Pemroses air hujan menjadi air baku. Air hujan dengan berbagai bahan polutan yang dikandungnya dapat dikeluarkan sebagai air baku yang layak digunakan bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup.
2.
Pengendali curah hujan yang jatuh dipermukaan tanah sehingga mencegah terjadinya erosi dan sedimentasi air permukaan.
3.
Penyerap sebagian air hujan untuk kemudian disimpan dan dialirkan kembali sebagai air permukaan dan air tanah.
4.
Pengendali banjir dan kekeringan serta mengatur sumber air untuk dapat tersedia sepanjang tahun.
5.
Pengendali intrusi air laut ke daratan sehingga mencegah salinitas air tanah. Aliran air yang keluar dari areal hutan digunakan untuk memenuhi berbagai
kebutuhan, misalnya air minum, sanitasi lingkungan, pertanian, industri, ekosistem dan sebagainya. Johnson et al. (2001) menyatakan bahwa mayoritas penduduk dunia berada di hilir daerah aliran sungai (DAS) berhutan (downstream forested watershed), sehingga aliran air yang dimanfaatkan oleh masyarakat umumnya berasal dari hutan yang berada di DAS bagian hulu. Oleh karena itu untuk menjamin ketersediaan air dalam jumlah dan kualitas yang memadai, maka upaya konservasi ekosistem hutan harus dilakukan. Pada tingkatan global diperkirakan 13% dari luas lahan di dunia dibutuhkan untuk melindungi pasokan air (water supply) untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat (Johnson et al. 2001).
2.2 Pembayaran Jasa Lingkungan Pembayaran Jasa Lingkungan merupakan paradigma baru dan lebih terarah
dalam
pelaksanaan
konservasi.
Pembayaran
Jasa
Lingkungan
menjembatani kepentingan pemilik jasa lingkungan dan pengguna jasa lingkungan melalui adanya kompensasi. Menurut Wunder (2005), pembayaran jasa lingkungan adalah suatu transaksi sukarela yang menggambarkan suatu jasa lingkungan yang perlu dilestarikan dengan cara pemberian nilai dari penerima manfaat kepada penyedia manfaat jasa lingkungan. Pembayaran jasa lingkungan memiliki prinsip yang sederhana yaitu “Mereka yang membantu menyediakan jasa lingkungan harus diberikan kompensasi atas usaha perlindungan lingkungan yang mereka lakukan dan mereka yang menerima jasa tersebut harus membayar untuk memperolehnya”, diilustrasikan seperti gambar berikut (gambar 1) (Fauzi 2009).
Gambar 1. Prinsip Pembayaran Jasa Lingkungan
Di Indonesia, pembayaran jasa lingkungan memiliki beberapa kerangka hukum, yang terbaru adalah Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai instrumen ekonomi lingkungan hidup Bab II Pasal 4, bahwa salah satu perencanaan
pembangunan
dan
kegiatan
ekonomi
meliputi
mekanisme
kompensasi atau imbal jasa lingkungan hidup antar daerah. Pembayaran jasa lingkungan memiliki tiga komponen didalamnya yaitu, voluntary yang berarti penyedia jasa lingkungan memiliki pilihan bebas untuk memanfaatkan lingkungannnya, namun berkomitmen untuk menjaga kelestariannya, kemudian, well-defined artinya jasa terukur, serta adanya perjanjian yang melibatkan minimum satu buyer dan satu provider jasa lingkungan (Wunder 2005). Pembayaran jasa lingkungan akan tetap bermanfaat dalam kondisi sumberdaya alam yang statis, menurun ataupun meningkat, seperti ditunjukan pada gambar 2.
Sumber : Fauzi 2009 Gambar 2. Manfaat Pembayaran Jasa Lingkungan
Pendekatan pembayaran jasa lingkungan didasarkan atas pemikiran bahwa model konservasi dan usaha-usaha pembangunan tidak dapat dipisahkan untuk mencapai efektivitas dan kelestarian sumberdaya yang berkelanjutan (Bawa et al. 2004; Ferraro dan Kiss 2002). Menurut Landell-Mills dan Poras (2002), beberapa mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang sudah banyak digunakan di dunia yaitu: 1. Direct Negotiation : Transaksi langsung antara penyedia dan pengguna jasa lingkungan dan seringkali menghasilkan proses negosiasi yang panjang. 2. Intermediary-Based Transaction : Fasilitator berperan agar transaksi dalam hal mencari informasi, bernegosiasi dan menyelesaikan proses transaksi menjadi rendah. Selain itu fasilitator juga berperan untuk mereduksi resiko kegagalan dengan membangun kapasitas masyarakat, mencari partner yang tepat serta mengidentifikasi masalah yang ada. 3. Pooled transaction : Pendekatan yang mengandung resiko transaksi dengan membagikan investasi melalui beberapa pengguna jasa lingkungan. Dana terkumpul biasanya cukup besar untuk mendiversifikasi investasi. 4. Joint venture : Mekanisme yang melibatkan investor yang menawarkan input yang seimbang untuk memulai suatu perusahaan dan menyalurkan imbalan
bagi lingkungan melalui perusahaan tersebut dalam bentuk bagi keuntungan, konsultasi teknis, dana langsung, dan lain-lain. 5. Retail Based Traders : Imbalan jasa lingkungan terlampir dalam bentuk pasar dan jasa, contoh : harga premium bagi produk ramah lingkungan. 6. Internal trading : Transaksi antar departemen dalam suatu organisasi 7. Over The Counter Traders/User Fees : Pada mekanisme ini jasa lingkungan dikemas terlebih dahulu untuk dijual. Mekanisme pembayaran lingkungan menurut Wunder (2005), memiliki konsep bahwa penyedia manfaat adalah lingkungan yang menyediakan suatu jasa lingkungan. Mekanisme pembayaran lingkungan ini tergantung oleh mekanisme keuangan dan mekanisme pembayaran jasa lingkungan itu sendiri. Keduanya sangat dipengaruhi oleh struktur pemerintah sehingga menghasilkan suatu nilai yang sesuai dengan jasa lingkungan sesungguhnya yang dibayarkan secara sukarela oleh penerima manfaat jasa lingkungan agar dapat menghasilkan jasa lingkungan yang berkelanjutan untuk generasi mendatang.
2.3 Kelembagaan Pengelolaan Air Minum Lintas Wilayah Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan membutuhkan suatu kelembagaan untuk mengatur dan mengarahkan perilaku stakeholders yang terlibat didalamnya. Kelembagaan atau institusi merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, dan abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan dan kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan adanya kelembagaan yang tepat dapat menjadi sumber efisiensi dan kemajuan ekonomi (Ramdan 2006). Institusi mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh individu atau dalam kondisi bagaimana individu dapat mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu, institusi adalah instrumen yang mengatur hubungan antar individu. Institusi juga berarti seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang mana masyarakat tersebut telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktifitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung-jawab yang harus mereka lakukan (Kartodihardjo et al. 2000). Menurut Soekanto (1990), fungsi
kelembagaan atau institusi adalah : 1) sebagai pedoman bagi masyarakat untuk bertingkah laku, 2) menjaga keutuhan masyarakat dan 3) sebagai sistem pengendalian sosial (social control), artinya sistem pengawasan dari masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya. Institusi dalam prakteknya dapat merupakan gabungan dari kebijakan dan tujuan, hukum dan regulasi, rencana dan prosedur organisasi, mekanisme insentif, mekanisme akuntabilitas, norma, tradisi, dan adat istiadat (Bandaragoda 2000; Kliot dan Shmueli 2001).
Institusi sebagai modal dasar masyarakat dapat
dipandang sebagai aset produktif yang mendorong individu-individu anggotanya untuk bekerjasama menurut aturan perilaku tertentu yang disetujui bersama untuk meningkatkan produktifitas anggotanya dan produktifitas masyarakat secara keseluruhan. Ikatan institusi masyarakat yang rusak secara langsung akan menurunkan produktifitas masyarakat dan menjadi faktor pendorong percepatan eksploitasi sumberdaya alam di sekitarnya (Kartodihardjo et al. 2000). Institusi yang berjalan baik dalam pengelolaan air memiliki fungsi yang penting, misalnya untuk memfasilitasi resolusi konflik. Dua aspek penting dalam analisis kelembagaan sumber air minum yang perlu diperhatikan meliputi hukum dan adat, serta regulasi dan pengaturan organisasi yang terkait dengan pengelolaan sumber air (Bandaragoda 2000). Sarwan et al. (2003) menyatakan bahwa struktur property rights dalam air akan memfasilitasi alokasi air yang efisien. Hak-hak air umumnya berasal dari penggunaan air secara historis dan telah berjalan di tengah masyarakat sepanjang waktu, bahkan ada diantaranya yang telah diakui oleh suatu keputusan legislatif atau konstitusi. Namun dalam banyak kasus, hak-hak air masih samar-samar. Di Amerika Serikat dikenal adanya riparian rights dan appropriation-rights dalam pengelolaan sumberdaya air. Di Indonesia hak guna air (water right) diatur berdasarkan konstitusi, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Hak guna air adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air untuk berbagai keperluan. Hak guna air dibagi menjadi hak guna pakai air dan hak guna usaha air. Hak guna pakai air adalah hak untuk memperoleh dan memanfaatkan air. Hak guna usaha air adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air. Hak guna pakai air diperoleh tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari
bagi perseorangan dan bagi pertanian rakyat yang berada dalam sistem irigasi. Hak guna pakai air memerlukan izin apabila : (a) cara menggunakannya dilakukan dengan mengubah kondisi alami sumber air, (b) ditujukan untuk kelompok yang memerlukan air dalam jumlah besar,atau (c) digunakan untuk pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang sudah ada. Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan
izin
dari
pemerintah
atau
pemerintah
daerah
sesuai
dengan
kewenangannya. Hak guna usaha air merupakan hak guna yang baru secara eksplisit dinyatakan dalam peraturan perundangan-undangan yang mengatur masalah air, sehingga dalam pengesahan undang-undangnya menuai sejumlah kekhawatiran terhadap terjadinya privatisasi sumberdaya air di Indonesia. Privatisasi air dikhawatirkan akan memperburuk tingkat kesejahteraan masyarakat yang selama ini menganggap bahwa air adalah barang publik. Upaya konservasi sumber air memiliki kaitan dengan adanya kelestarian kawasan sumber air (Acreman 2004). Dengan demikian regulasi tentang perlindungan kawasan sumber air merupakan regulasi penting yang terkait dengan upaya mempertahankan kesinambungan pasokan air di suatu wilayah, misalnya regulasi tentang upaya pengaturan ruang dari kawasan sumber air tersebut. Ada beberapa alternatif bentuk penguatan kelembagaan dalam pembayaran jasa lingkungan, antara lain: (i) membentuk kepengurusan kolaboratif, (ii) membentuk lembaga baru, dan (iii) memanfaatkan lembaga yang sudah ada. Membentuk kepengurusan kolaboratif dalam bentuk forum atau badan koordinasi merupakan salah satu alternatif yang paling memungkinkan dalam penguatan kelembagaan pengelolaan sumber daya alam saat ini.
2.4 Analisis Manfaat dan Biaya Analisis manfaat dan biaya merupakan suatu metode evaluasi ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari beberapa alternatif yang ada. Analisis manfaat biaya adalah bentuk dari analisis ekonomi yang membandingkan biaya pengeluaran dan manfaat yang dihasilkan dari dua kegiatan atau lebih. Analisis manfaat dan biaya digunakan untuk mengevaluasi penggunaan sumber-sumber ekonomi agar sumber yang
langka tersebut dapat digunakan secara efisien. Pemerintah mempunyai banyak program atau proyek yang harus dilaksanakan sedangkan biaya yang tersedia sangat terbatas. Dengan analisis ini pemerintah menjamin penggunaan sumbersumber ekonomi yang efisien dengan memilih program-program yang memenuhi kriteria efisiensi. Analisis manfaat dan biaya merupakan alat bantu untuk membuat keputusan publik dengan mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat. Analisis Manfaat dan Biaya, merupakan analisis yang telah diaplikasikan untuk menguji kelayakan ekonomi dari aktivitas yang telah dilaksanakan atau masih direncanakan, dan atau membandingkan dua metode atau lebih yang digunakan dalam suatu aktivitas. Dalam manajemen sumber daya alam konteks analisis manfaat dan biaya merupakan penjumlahan biaya moneter ter-discounting dari suatu proyek atau aktivitas dari nilai moneter ter-discounting atas seluruh manfaat yang dihasilkan untuk mendapatkan nilai manfaat bersih atau aliran biaya dari aktivitas yang diajukan. Komponen penilaian dalam analisis manfaat dan biaya didasarkan pada dua komponen penilaian, yaitu komponen biaya dan komponen manfaat. Komponen biaya harus dilakukan dengan memperhitungkan biaya alternatif dari pelaksanaan suatu kegiatan. Misalnya suatu proyek pengairan di suatu area yang menyebabkan berkurangnya pengairan di area lain sehingga dalam pembuatan evaluasi proyek, penurunan produksi akibat penurunan jumlah air dari area lain yang terpengaruh harus dimasukkan ke dalam biaya proyek tersebut. Biaya sosial dapat diperkirakan dengan menggunakan prinsip oportunity cost, untuk membedakan dengan biaya untuk pembelian barang bagi individu. Oportunity cost dalam penggunaan sumber daya alam merupakan nilai tertinggi bagi masyarakat dari berbagai alternatif penggunaan sumber daya tersebut. Sehingga pendekatan oportunity cost merupakan pendekatan yang terbaik untuk menentukan nilai dari biaya yang tidak berwujud (Prabantoro 2010). Manfaat atau efektifitas dari sebuah sistem informasi dapat juga diklasifikasikan dalam dua bentuk yaitu : tangible benefits dan intangible benefits. Tangible Benefits atau manfaat yang dapat di ukur secara kuantitatif dalam bentuk satuan nilai moneter/uang sedangkan Intangible Benefits atau manfaat yang tidak
berwujud adalah nilai manfaat yang sulit atau tidak mungkin di ukur dalam bentuk satuan nilai moneter/uang (Prabantoro 2010). Analisis biaya dan manfaat dalam program konservasi ditujukan untuk mengidentifikasi keuntungan dan biaya yang mempengaruhi seluruh anggota masyarakat sehingga perlu dipersiapkan daftar lengkap tentang semua kemungkinan keluaran yang dapat muncul dari pelaksanaan keputusan pengelolaan konservasi. Untuk satuan yang dapat dipertukarkan melalui mekanisme pasar, nilai moneternya dapat dihitung dengan mengalikan jumlah satuan dengan harganya.Untuk tujuan ini kita harus mengetahui tingkat diskon masyarakat. Tingkat diskon menunjukkan angka dimana kita akan mengorbankan konsumsi masa datang untuk masa sekarang. Angka diskon positif yang tinggi menyatakan secara tidak langsung bahwa kita menilai konsumsi saat sekarang lebih tinggi dari konsumsi masa yang akan datang. T BM
(1 i) t ……..……………(1) BCR M (1 i) t t 0 Rumus 1. Analisis Manfaat dan Biaya t 0 T
Keterangan : M = Manfaat pertahun B = Biaya R = Discount rate per tahun T = Jangka waktu 2.5 Teori Permainan (Game theory) Teori permainan (game theory) adalah suatu pendekatan matematis untuk merumuskan situasi persaingan dan konflik antara berbagai kepentingan. Game theory dikembangkan untuk menganalisis proses pengambilan keputusan dari bermacam situasi persaingan dan melibatkan dua atau lebih kepentingan. Teori permainan mula-mula dikemukakan oleh seorang ahli matematika Prancis yang bernama Emile Borel pada tahun 1921, kemudian, John Von Neeumann dan Oskar Morgenstern mengembangkan lebih lanjut sebagai alat untuk merumuskan perilaku ekonomi yang bersaing. “Permainan terdiri atas sekumpulan peraturan yang membangun situasi bersaing dari dua sampai beberapa orang atau kelompok
dengan memilih strategi yang dibangun untuk memaksimalkan kemenangan sendiri atau pun untuk meminimalkan kemenangan lawan. Peraturan-peraturan menentukan kemungkinan tindakan untuk setiap pemain, sejumlah keterangan diterima setiap pemain sebagai kemajuan bermain, dan sejumlah kemenangan atau kekalahan dalam berbagai situasi.” Manfaat teori permainan antara lain : 1. Mengembangkan kerangka untuk analisa pengambilan keputusan dalam situas persaingan atau kerjasama 2. Menguraikan metode kuantitatif yang sistematik bagi pemain yang terlibat dalam persaingan untuk memilih strategi yang tradisional dalam pencapaian tujuan. 3. Memberi gambaran dan penjelasan fenomena situasi konflik seperti tawar menawar dan perumusan koalisi Pada game theory dilibatkan dua atau lebih pengambil keputusan yang biasa disebut pemain (players). Berdasarkan jumlah pemainnya, teori permainan ini terbagi menjadi dua jenis games yang terkenal, yaitu two person games dan N person games. Two person games jumlah pemainnya sebanyak dua orang, sedangkan N person games jumlah pemainnya lebih dari dua orang. Sedangkan berdasarkan jumlah keuntungan dan kerugiaan dikenal dua jenis games, yaitu zero sum games dan non zero sum games. Nilai permainan pada zero sum games adalah nol, sedangka non zero sum games nilai permainannya tidak sama dengan nol.dan terdapat dua jenis strategi permainan yang dapat digunakan, yaitu pure strategy (setiap pemain mempergunakan strategi tunggal) dan mixed strategy (setiap pemain menggunakan campuran dari berbagai strategi yang berbeda-beda). Pure strategy digunakan untuk jenis permainan yang hasil optimalnya mempunyai saddle point (semacam titik keseimbangan antara nilai permainan kedua pemain). Sedangkan mixed strategy digunakan untuk mencari solusi optimal dari kasus game theory yang tidak mempunyai saddle point. Sebelum kasus game theory diselesaikan dengan mengunakan salah satu metode game theory, diidentifikasi terlebih dahulu berdasarkan jumlah pemain, jumlah keuntungan dan kerugiaan atau yang biasa disebut nilai permainan, dan jenis strategi yang digunakan. Model-model teori permainan dapat diklasifikasi
kan dengan sejumlah cara, seperti jumlah pemain, jumlah keuntungan dan kerugian dan jumlah strategi yang digunakan dalam permainan. Oleh karena itu apabila jumlah pemain sebanyak dua, maka permainan tersebut disebut permainan dua-pemain. Begitu juga, bila jumlah pemain adalah N, maka permainannya disebut permainan N-pemain.Sedangkan berdasarkan jumlah keuntungan dan kerugian tidak sama dengan nol, maka disebut permainan-bukan jumlah nol (non zero-sum game). Menurut Rasmusen (1990), game theory banyak digunakan sebagai model pengambilan keputusan baik dalam suasana konflik (non-cooperative) maupun cooperative. Perbedaan diantara keduanya adalah bahwa pada sistem cooperative mengandung komitmen yang mengikat para pemain yang terlibat, sedangkan pada sistem non-cooperative tidak terdapat ikatan yang berpengaruh terhadap tindakan yang akan diambil oleh para pemain. Dalam suatu permainan (game), terdapat beberapa unsur dasar, player, action, strategy, pay off, information, outcome, dan equlibria player, action dan outcome secara bersama-sama berhubungan dengan rule of the game. Untuk mendapatkan suatu hasil yang optimal, seorang pemain harus dapat bertindak secara rasional yang mengarah kepada suatu keadaan equlibrium. Keadaan equilibrium ini ditentukan oleh kekuatan bargaining masing-masing pihak yang terlibat, dimana informasi mengenai tindakan dari pemain lain sangat bermanfaat dalam menentukan sikap atau tindakan yang diambil. Teori permainan sampai sekarang sebenarnya belum berhasil dalam menghasilkan model-model yang memuaskan, terutama bagi para pemain yang merupakan individu-individu yang bersifat rasional tetapi memiliki keterbatasan (dalam menguasai dan mengolah informasi) seperti yang dikemukakan oleh Simon (1961) dalam Kay (2003). Tanpa memandang pemahaman keseimbangan yang dipilih, cara yang dipergunakan untuk mencari solusi dari permainan (game), dipergunakan solusi menurut keseimbangan Nash (equlibria Nash) yaitu suatu solusi yang menghasilkan institusi yang berhasil dibangun menyangkut aturanaturan pengelolaan sumber daya hutan sesuai dengan perkembangan kondisi sosial ekonomi masyarakat
Selanjutnya dalam setiap permainan, terdapat dua macam keadaan keseimbangan (equilibrium), yaitu : 1. Dominant strategy, yaitu suatu strategi yang diambil oleh pemain sehingga memberikan keuntungan (pay off) yang paling besar, apapun strategi yang diambil oleh lawan mainnya. 2. Nash equlibrium, sering disebut juga “solusi optimal”. Dalam Nash equilibrium tercapai suatu kondisi dimana setiap pemain telah memberikan pilihan terbaik dan permainan telah mencapai keadaan “strategically stable”, karena tidak ada pemain yang dapat memperoleh hasil yang lebih besar walaupun dengan mengganti strategi yang dipilihnya. Anwar (2001) dalam Kay (2003) mengemukakan bahwa untuk menjelaskan terjadinya kesempatan kearah bekerjasama (cooperation) antara anggota-anggota Anwar (2001) dalam Kay (2003) mengemukakan bahwa untuk menjelaskan terjadinya kesempatan kearah bekerjasama (cooperation) antara anggota-anggota masyarakat di tingkat komunal (agents) dapat digambarkan oleh suatu model sederhana dari satu kali (one-shot) keadaan terjadinya interaksi antara dua agen atau kelompok : dimana kedua agen/kelompok masing-masing sebenarnya mempunyai kesempatan untuk memperoleh manfaat/keuntungan (benefit) dari adanya kerjasama yang jujur antara mereka, yang sebenarnya mempunyai kesempatan untuk memperoleh manfaat dari adanya kerjasama yang jujur antara mereka, yang sebenarnya akan saling menguntungkan. Tetapi jika salah satu atau kedua pihak yang berinteraksi masing-masinh secara sendiri-sendiri mencoba untuk berlaku curang kepada pihak lainnya, maka yang terjadi bahkan akan merugikan pihak lainnya. Jika tidak ada suatu kelembagaan (control) bagi sikap curang atau ketidakjujuran tersebut, maka pertukaran jasa/barang antara mereka yang sebenarnya mempunyai potensi untuk saling menguntungkan bagi kedua belah pihak itu tidak akan terjadi. Umpamanya keadaan ini dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini:
Tabel 1. Konsekuensi dari Permainan Pertukaran (Jasa) Pihak Agen B
J Pihak Agen A
C
J
/2. /2
- ,
C
,-
- ,-
Matriks pada tabel 1 diatas, menyatakan tentang hasil-hasil (pay off) yang diperoleh bagi kedua belah pihak yang bertukar barang /jasa (exchange of goods) dari suatu pertukaran yang dilaksanakan sekali (tunggal), yang hasil pay off-nya tergantung pada kombinasi dari strategi-strategi yang mereka pilih. Lambang huruf J (untuk sikap jujur) menunjukkan permainan yang jujur, sedangkan pilihan tindakan C (curang) menyatakan permainan dengan melakukan penyelewengan untuk berbuat curang dengan harapan untuk dapat menguntungkan dirinya sendiri. Pada tabel 1, angka pertama di dalam sel-sel matriks yang tersedia menunjukan rewards atau konsekuensi yang dapat diperolah bagi pemain A, sedangkan pahala yang kedua didapat oleh A untuk pilihan jika dia bermain C, Jika mereka keduanya bermain jujur (J), maka keuntungan bersih dari pertukaran (jasa, tenaga kerja atau barang) secara jujur adalah
, yang dapat dibagi sama rata kepada
kedua belah pihak A dan B sebesar
/2. Tetapi jika salah satu pihak secara
tersendiri mencoba berlaku curang kepada yang lainnnya, maka dia akan dapat memperoleh keuntungan pribadi yang diukur sebesar
> /2, sementara kondisi
ini akan menyebabkan keadaan menjadi rusak yang ditimpakan secara eksternal kepada pihak lainnya, dengan pahala yang diukur oleh - < . Dalam keadaan ini akan terjadi kerugian sosial (social loss) yang dapat diukur
- (
-
) > 0.
Masing-masing pemain dalam keadaan ini mempunyai suatu pilihan untuk tidak berinteraksi yang akan menghasilkan nilai sebesar 0 yang akan diterima oleh kedua belah pihak. Kemudian jika terdapat salah satu pihak berharap pihak lain curang (C), maka dia cenderung tidak bekerjasama. Keadaan tersebut yang dinamakan mencapai kesimbangan dari Nash (Nash equilibrium), pada keadaan ini tidak ada insentif bagi kedua pihak. Apabila kedua pihak A dan B dapat saling bertemu secara berulang-ulang untuk setiap waktu tertentu maka ancaman terjadinya penghentian terjainya pertukaran yang saling menguntungkan kedua belah pihak tersebut di masa depan
akan dapat dihindari,sehingga tindakan saling mencurangi diantara keduanya dapat dihindari dengans yarat mereka tidak mendiskonto yang berkaitan dengan keuntungn dikemudian hari dari kegiatan pertukaran nilainya tidak besar.
2.6 Analisis Regresi Binary Logistik Banyak hal dalam kehidupan sehari-hari kita berhadapan variabel yang tidak selalu bersifat kuantitatif, seperti jenis kelamin, warna kulit, tingkat pendidikan, status perkawinan dan lain sebagainnya kita berbicara variabel yang sifatnya kualitatif. Seperti halnya keputusan-keputusan yang bersifat kualitatif misalnya dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, kadang-kadang kita menghadapi respon masyarakat apakah sumber daya alam dan lingkungan tersebut dikonservasi ataupun tidak atau keputusan masyarakat untuk melakukan pembayaran jasa lingkungan. Dengan kata lain, respon masyarakat tersebut bersifat dikotomis atau binari (Widarjono 2005). Dalam melakukan analisis regresi pada variabel yang bersifat kualitatif dapat dilakukan dengan memberikan nilai 1 pada variabel yang mempunyai atribut dan nilai nol jika tidak mengandung atribut. Tujuan dari model kualitatif pilihan (qulitative choice model) ini adalah untuk menentukan probabilitas dari individu dengan set atribut yang diberikan kepada mereka dan memilih satu pilihan daripada alternatif yang lainnya (Pyndyck dan Rubinfeld 1998). Model yang dapat digunakan adalah model yang termasuk dalam kategori Limited Dependent Variable (Limdep Model) yaitu Model Probabilitas Linear, Model Logit, Probit dan Tobit. Model Probit berkaitan dengan fungsi probabilitas distribusi normal (normal distribution function), sementara model Logit berkaitan dengan fungsi probabilitas distribusi logistik (logistic distribution function) (Widarjono 2005). Salah satu model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Logit. Model ini disebut Logit yang berasal dari nama jenis distribusi probabilitas logistik untuk menjelaskan respon kualitatif variabel dependen dan dapat ditulis dengan :
Pi F(zi) F(
xi)
1 1 e zi
1 1 e(
xi )i
……….…………………………..(2)
e merupakan logaritma natural dengan nilai 2,718 dan Pi adalah probabilitas seseorang dalam memilih pilihan pertama pada tingkat variabel x tertentu. Nilai Z
terletak antara -∞ dan +∞ sedangkan nilai Pi terletak diantara 0 dan 1, dengan demikian model ini memenuhi kriteria CDF. Perbedaan antara model probit dan logit ini adalah nilai probabilitas Pi model logit yang mendekati 0 atau 1 mempunyai tingkat penurunan yang lebih lambat daripada model Probit. Persamaan tersebut dapat diestimasi dengan mengalikan persamaan Pi dengan pada kedua sisinya sehingga akan menghasilkan …...…………………………………….……………….…….... (2.1) (1ezi)P i 1 Persamaan (2.1) tersebut kemudian dibagi dengan Pi dan kemudian dikurangi dengan 1 sehingga menghasilkan persamaan :
ezi 1 ezi
1 1P 1 i1 P P i i
……………………………………..…….………...……(2.2)
(1 Pi) ……...………………………………………………………...…(2.3) Pi
Persamaan (2.3) dapat juga ditulis dengan : ezi
Pi ……… …………………………………………………….…….(2.4) (1 Pi )
Persamaan (2.4) kemudian ditransformasi menjadi model logaritma natural sehingga menghasilkan persamaan :
Pi ………........................................................................................(2.5) n (1 Pi)
zi l
z Ingat bahwa ln e i
P l ni 1 pi
zi
zi .Persamaan tersebut dapat ditulis menjadi persamaan : xi ……………....................................................................(2.6)
Persamaan (2.6) di kenal sebagai model Logit (Logistic distribution function). Nilai Zi terletak antara -∞ dan +∞, Pi terletak antara 0 dan1, Pi adalah nonlinier terhadap Zi. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana mengestimasi persamaan (2.8) tersebut karena Pi tidak hanya non linear terhadap X tetapi juga terhadap parameternya (βi). Estimasi model Logit tergantung dari jenis datanya yaitu jika data nya berupa grup dapat diestimasi dengan OLS namun jika datanya individu maka dapat diestimasi dengan metode maximum likelihood. Pada persamaan (2) individual Pi tidak teramati, malahan kita mempunyai informasi dari setiap observasi baik pilihan satu atau dua yang terpilih. Variabel dependen Yi = 1 jika pilihan pertama yang dipilih dan 0 jika pilihan kedua yang
dipilih. Tujuan kita adalah untuk mencari estimator parameter untuk α dan β , jika diasumsikan alternatif pertama yang dipilih sebanyak n1 kali dan pilihan kedua dipilih sebanyak n2 kali. (n1 + n2= N) dan jika data tersebut diurut, maka observasi n1 yang pertama berhubungan dengan alternatif pertama, fungsi Likelihood mempunyai bentuk :
L Prob(Y1,.......,YN ) Prob(Y1)..Prob(YN ) ……………………..……(2.7) Sekarang dengan fakta perhitungan bahwa probabilitas dari alternatif kedua yang dipilih dan menggunakan Π untuk mewakili produk faktor bilangan maka fungsi Likelihood menjadi : n1
L
Pi .....Pn1 (1 Pn1 1)...(1 PN )
n1
Pi i 1
n1
PiYi (1 Pi )(1
(1 Pi ) i
n1 1
i
Yi )
……...(2.8)
n1 1
Sehingga akan diperoleh nilai WTP rataan (mean WTP) dari pendugaan koefisien (2.7) yang menggambarkan nilai non-use dari kawasan sumber mata air Paniis.
2.7 Analisis Regresi Multinomial Logit Model multinomial logit adalah model logistik yang variable terikatnya bukan merupakan pilihan yang dikotomi (ya atau tidak), melainkan pilihan berganda (lebih dari dua) (Nachrowi dan Usman 2002), Dalam model regresi logistik dikotomi, variable terikat dinyatakan dalam fungsi logit Y=1 dibandingkan dengan fungsi logit untuk Y=0., sedangkan dalam model logistik multinomial fungsi logit memiliki lebih dari dua kategori, misalnya dalam model logistik empat kategori, kita akan mempunyai tiga fungsi logit sebagai berikut : 1. Fungsi Logit untuk Y=1 relatif terhadap fungsi Y=0 2. Fungsi Logit untuk Y=2 relatif terhadap fungsi logit Y=0 3.Fungsi logit untuk Y=3 relatif terhadap fungsi logit Y=0 Dalam hal demikian, kategori Y=0 dinamakan sebagai kategori pembanding atau reference group. Secara umum,bila kita hendak menganalisis model dengan p variable bebas, maka tiga fungsi logitnya dapat dinotasikan sebagai :
z1(x)
l
z1(x)
l
z1(x)
l
P Y P Y
1 x) r n 0 x)r
P Y
2 x)r n 0 x)r
P Y P Y
1
( x (1 (
3 x)r n 0 x)r
P Y
1
2
2
3
3
( ( (
x2 1 .
01
21p
xp .
x1
02
x2 1 .
22p
xp .
x1
03
x2 1 .
23p
xp .
. .
…………………….(2.9) .
Probabilitas untuk masing-masing model regresi logistik dengan empat kategori adalah:
P0
Pr(Y
0 x)
P1
Pr(Y
1 x)
P2
Pr(Y
P2
Pr(Y
1 e
z1
1 e z2
e z3
e z1 1 e z1 e z2 e z3 …………………………………………..(3.0) e z2 2 x) 1 e z1 e z2 e z3 e z3 3 x) 1 e z1 e z2 e z3
Model ini dapat diestimasi melalui teknik maximum likelihood. Dalam model regresi logistik empat kategori, dapat digunakan rumus sebagai berikut :
l
p3 n p0
z3
3
03 1 1
x
3
x2 2 .
. 3pxp.
l
p2 n p0
z2
2
02 1 1
x
2
x2 2 .
. 2pxp. …………………………………(3.1)
l
p1 n p0
z1
1
01
x1
1 1
x2 2 .
.1pxp.
Kemudian, dengan menggunakan metode taksiran maximum likelihood, parameter-parameter dalam model tersebut dapat diestimasi.
2.8 Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai Pembayaran Jasa Lingkungan di kawasan sumber mata air Paniis telah dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya Sumarman yang berjudul Kajian Kompensasi Air Baku untuk Air Bersih dari Pemerintah Kota Cirebon ke Pemerintah Kabupaten Kuningan. Sumarman (2006), melakukan kajian untuk menganalisis kasus pemanfaatan air lintas wilayah, yang isinya untuk melihat aturan kerja sama pemanfaatan air antar kabupaten kota yang sudah
ada. Analisis besaran dana kompensasi berdasarkan perbaikan dan pemeliharaan hutan pada catchment area mata air Paniis serta besaran perhitungan berdasarkan usulan dari PERHUTANI dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Dari data yang didapat dibuat persamaan regresi dan analisis koefisien korelasi untuk menyatakan hubungan variabel dependent dan independent. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang mencakup potensi sumber air, sistem penyediaan air bersih, besaran kompensasi, kemampuan keuangan PDAM Kota Cirebon, uji statistik dan perundang-undangan/peraturan-peraturan yang terkait, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu, untuk memulihkan kerusakan dilingkungan catchment area mata air Paniis sesuai perhitungan PERHUTANI sebesar Rp3.615.916.000/tahun
dan
Dinas
Kehutanan
dan
Perkebunan
sebesar
Rp2.110.204.000/tahun. Berdasarkan debit pemanfaatan, dimana terdapat prosentasi pemanfaatan sebesar 57,33%, maka besarnya usulan biaya kompensasi menjadi
Rp2.073.126.000/tahun
untuk
PERHUTANI
dan
Rp1.209.839.000/tahun untuk Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Proporsi bagi hasil dari biaya kompensasi yang dibayarkan Pemerintah Kota Cirebon yang penggunaannya disesuaikan dengan hasil analisis didapat pembagian prosentasi untuk Pembangunan Pemerintah Daerah Kuningan sebesar 62,5 %, untuk konservasi hutan dan lingkungan hidup sebesar 30 % dan desa-desa pemilik/pemanfaat sekitar mata air Paniis sebesar 7,5 %. Kemudian penelitian serupa juga telah dilakukan oleh Hikmat Ramdan dalam kajiannya yang berjudul Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat. Ramdan (2006) melakukan kajian untuk menganalisis ketersediaan dan kebutuhan air minum di kawasan Gunung Ciremai dan potensi konflik dalam pemanfaatan air minum lintas wilayah antara Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon, kemudian penelitiannya juga menganalisis mekanisme alokasi air minum lintas wilayah sebagai upaya resolusi konflik air lintas wilayah di kawasan Gunung Ciremai serta menganalisis kelembagaan dalam pengelolaan sumber air minum di kawasan Gunung Ciremai. Analisa yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis hirarki proses untuk menganalisis alokasi air minum antar wilayah Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme alokasi air minum lintas wilayah perlu
ditentukan sebagai bagian dari kerjasama antar daerah dalam memanfaatkan sumber air minum dan menghindari konflik. Penentuan mekanisme alokasi air minum lintas wilayah perlu memperhatikan aspek-aspek dari faktor, aktor, dan tujuan yang mempengaruhi alokasi air minum lintas wilayah. Dalam penelitian ini prioritas mekanisme alokasi air minum lintas wilayah di Kawasan Gunung Ciremai adalah alokasi air oleh pemerintah/public based allocation (0,4), alokasi melalui transfer hak guna air/water market allocation (0,204), alokasi melalui biaya penyediaan air/marginal cost pricing allocation (0,2), dan alokasi oleh pengguna air/user based allocation (0,196). Kemudian dalam penelitian ini rumah tangga pengguna air minum setuju untuk memberikan dana (kompensasi) konservasi sebagai additional fee untuk membantu kegiatan konservasi sumber air di kawasan Gunung Ciremai. Ramdan (2006), menambahkan bahwa Peraturan daerah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Rencana Umum Tata Ruang Gunung Ciremai selain berfungsi untuk mengalokasikan ruang dalam kawasan tersebut, juga bernilai ekonomi berkaitan dengan jaminan komitmen wilayah hulu (Kabupaten Kuningan) untuk memasok air dalam jumlah dan kualitas yang stabil sepanjang tahun. Implementasi RUTR sebagai sebuah sertifikat komitmen dari daerah hulu untuk hilirnya tersebut merupakan terobosan kebijakan dalam kerjasama antar daerah di era otonomi daerah ini. Estimasi nilai WTP total untuk konservasi Gunung Ciremai dari pengguna air minum di Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon masing-masing adalah
Rp29.250.000,00/bulan
atau
Rp351.000.000,00/tahun
dan
Rp177.500.000,00/bulan atau Rp2,13 milyar/tahun. Kedua penelitian ini pada intinya membahas hal yang sama yaitu mengenai penentuan dasar nilai pembayaran jasa lingkungan untuk kegiatan konservasi kawasan sumber mata air Paniis. Kajian ini menjadi dasar bagi penulis dalam melakukan kajian evaluasi efektivitas pembayaran jasa lingkungan di Kota Cirebon.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
Kawasan Gunung Ciremai menyediakan sejumlah jasa lingkungan (environmental services) yang bermanfaat
untuk menyangga kehidupan
masyarakat sekitarnya. Manfaat hidrologis merupakan salah satu manfaat yang langsung dirasakan penduduk. Kawasan tersebut memiliki sejumlah sumber air minum berupa mata air yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air minum masyarakat di dalam wilayah Kabupaten Kuningan sendiri, maupun untuk memenuhi kebutuhan air minum masyarakat Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon. Aspek kebijakan yang penting dalam pemanfaatan air minum yang berasal dari Kawasan Gunung Ciremai adalah mekanisme pengelolaan kawasan sumber air. Kebijakan tersebut harus dilaksanakan berkelanjutan dalam kaitan pemenuhan kebutuhan air minum tingkat lokal dan lintas wilayah. Kontribusi air terhadap pembangunan ekonomi dan sosial juga sangat vital sehingga seiiring bertambahnya penduduk dan pembangunan ekonomi, fungsi ekonomi dan sosial air sering terganggu karena semakin kritisnya suplai air, sementara permintaan semakin meningkat. Menurut Flint (2003) salah satu syarat pengelolaan air yang berkelanjutan diindikasikan oleh adanya upaya perlindungan terhadap sumbersumber air dari acaman degradasi hal ini sesuai dengan UU No.32 tahun 2009 bahwa konservasi sumber daya alam diperlukan dalam pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya. Ironisnya saat ini perlindungan sumber air ini masih belum dilakukan secara serius, hal ini disebabkan oleh adanya masalah ekonomi, sosial serta kelembagaan yang terjadi di masyarakat. Adanya ketidak pedulian masyarakat pengguna air karena kurangnya pengetahuan tentang pentingnya pelestarian kawasan Gunung Ciremai kemudian adanya pemahaman perbedaan wilayah dan telah dipenuhinya pembayaran tagihan PDAM menyebabkan pelestarian kawasan sumber air dianggap bukan menjadi tanggung jawab penduduk di Kota Cirebon. Adanya orientasi ekonomi dalam perubahan fungsi lahan hutan menjadi lahan
pertanian juga dapat menyebabkan penurunan kualitas lingkungan di kawasan sumber mata air Desa Cipaniis. Kemudian masalah pengaturan imbal jasa diantara pemilik serta pengguna sumber mata air juga belum jelas diatur hal ini menyebabkan perlunya suatu bentuk pengelolaan kawasan sumber mata air yang berbasis pembayaran jasa lingkungan. Menurut Cruz (2000), biaya untuk penggunaan air yang berasal dari sumber air dalam kawasan hutan belum memasukkan biaya perlindungan dan pengelolaan yang sebenarnya (underestimated), oleh karena itu menurut Ramdani (2006), upaya untuk mengestimasi kemampuan pengguna air minum dalam membantu membiayai konservasi kawasan sumber air perlu diteliti. Nilai kontribusi konservasi dari pengguna air minum merupakan pendekatan pembayaran jasa lingkungan atas jasa hidrologis kawasan Gunung Ciremai yang dimanfaatkan oleh pengguna air minum. Bagi pengguna air minum yang berada di bagian hilir, nilai kontribusi konservasi tersebut merupakan bentuk dari kontribusi hilir untuk membantu melestarikan kawasan sumber air minum di bagian hulu. Dalam pelaksanaannya, pembayaran jasa lingkungan
yang telah
dilaksanakan antara Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan ini belum diketahui efektifitasnya. Evaluasi efektivitas ini diperlukan dalam rangka perbaikan kebijakan dalam perlindungan kawasan sumber mata air Paniis yang pada akhirnya dapat berkontribusi bagi masyarakat kedua daerah tersebut terutama dalam penyediaan air minum bagi Kota Cirebon dan perlindungan kawasan hutan bagi Kabupaten Kuningan. Alur pikir penelitian, yang menggambarkan hubungan antara masalah penelitian, tujuan penelitian, serta metode analisis disajikan pada Gambar 3 berikut ini :
Kawasan Sumber Mata Air Paniis
Penyedia Air Minum Kota Cirebon
Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan
Evaluasi Efektivitas Pembayaran Jasa Lingkungan
Manfaat
Sistem Pembayaran Jasa
Biaya
Kondisi
Sebelum
Sesudah
Manfaat Langsung
Analisis Manfaat Biaya
Multinomial Logit
Debit Air
Status Hutan Kawasan Sumber Mata Air
Analisis Deskriptif Gambar 3. Alur Pikir Penelitian
Analisis Binary Logit
Kelembagaan
Game Theory
48
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian yaitu Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2012.
4.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan diperoleh dari wawancara langsung dengan responden melalui kuisioner, sedangkan data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai instansi pemerintahan di lokasi penelitian dan instansi–instansi yang terkait dengan program pembayaran jasa lingkungan, data sosial-demografis penduduk Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan.
4.3 Metode Pengambilan Data Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling, dimana untuk setiap pengambilan sampel dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tertentu
(Singarimbun
dan
Effendi
1989).
Pertimbangan peneliti dalam pemilihan responden diantaranya adalah bahwa responden merupakan warga Kota Cirebon pelanggan PDAM. Jumlah sampel yang diambil berdasarkan dari teknik pengambilan contoh penelitian sosial ekonomi yang dikembangkan oleh Fauzi (2001) yaitu :
Keterangan : n = Jumlah sampel yang diambil N = Jumlah populasi (yang diketahui dan diperkirakan) Z = Standar deviasi yang berhubungan dengan tingkat kepercayaan (lihat tabel Z statistik) d = Tingkat akurasi/presisi (biasanya antara 0,05 atau 0,01)
49
Jumlah penduduk Kota Cirebon yaitu 304.152 jiwa, sehingga berdasarkan rumus Fauzi (2001) dengan tingkat presisi 10% (0,1) dan dengan tingkat kepercayaan 95% maka nilai Z = 1,65 akan didapatkan sample sebesar : n=
((0,1)
2
304.152 (1,65) 2 0,25 (304.152 1) ((1,65) 2 0,25))
207.013,46 3042,19
68,04
70
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 70 responden, karena jumlah pelanggan PDAM terbesar adalah pelanggan rumah tangga sehingga responden dipilih yang merupakan pelanggan rumah tangga PDAM.
4.4 Metode Analisis dan Pengolahan Data Data dan informasi yang diperoleh dalam penelitian akan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif dengan metode deskriptif dan model kuantitatif. Perhitungan dengan model analisa dilakukan dengan bantuan komputer. Proses pengolahan data dilakukan dengan program Microsoft Office Excel dan SPSS 15. Matriks metode analisis yang akan digunakan untuk menjawab tujuan-tujuan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Matriks Metode Analisis Data Tujuan Menganalisis efektivitas pembayaran jasa lingkungan kawasan sumber mata air Paniis Mengevaluasi pelaksanaan sistem kelembagaan pembayaran jasa lingkungan
Menghitung nilai willingness to pay masyarakat Kota Cirebon terhadap kawasan sumber mata air Paniis Menganalisis sistem pembayaran jasa lingkungan
Metode Jenis Data Analisis Analisis Data manfaat dan sekunder biaya PDAM Kota Cirebon Game theory Data Sekunder
Analisis WTP Data Binary Logit Primer
Analisis Multinomial Logit
Data Primer
Sumber Data Data statistik PDAM Kota Cirebon Data Statistik PDAM Kota Cirebon, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan Wawancara Masyarakat Kota Cirebon
Wawancara Masyarakat Kota Cirebon
50
4.4.1 Analisis Manfaat dan Biaya Analisis manfaat dan biaya adalah bentuk dari analisis ekonomi yang membandingkan biaya pengeluaran dan manfaat yang dihasilkan dari dua kegiatan atau lebih. Penelitian dilakukan dengan melihat data sekunder yang diambil dari nilai biaya yang dikeluarkan oleh PDAM Kota Cirebon pada periode pelaksanaan program pembayaran jasa lingkungan dan pada periode sebelum pelaksanaan program pembayaran jasa lingkungan. Perhitungan biaya ditinjau dari sisi pengguna jasa lingkungan terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan selama adanya program pembayaran jasa lingkungan. Landasan penilaian dan asumsi yang diterapkan pada penilaian komponen analisis biaya dan manfaat untuk aktivitas pembayaran jasa lingkungan antara lain : 1. Penilaian secara Moneter terhadap Manfaat Sosial dan Manfaat Langsung terhadap PDAM Kota Cirebon Dari identifikasi yang dilakukan, maka manfaat sosial yang digunakan dalam penelitian ini yaitu manfaat yang berkaitan dengan penggunaan air minum oleh masyarakat Kota Cirebon, yaitu berdasarkan debit air minum yang mengalir ke Kota Cirebon dan manfaat langsung ini berkaitan dengan pendapatan yang diterima oleh PDAM Kota Cirebon 2. Penilaian secara Moneter terhadap Biaya Penilaian moneter terhadap komponen variabel biaya (cost), berkaitan dengan biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan oleh PDAM Kota Cirebon.
4.4.2 Analisis Desain Model Kelembagaan Pembayaran Jasa Lingkungan Analisis ini dilakukan secara deksriptif dan secara terperinci dalam analisis ini akan dibahas pola hubungan antar stakeholder yang secara umum adalah pihak pemerintah Kota Cirebon dan pemerintah Kabupaten Kuningan dalam memainkan peranannya untuk mencapai tujuan yang diharapkan yakni kesejahteraan masyarakat dan sekaligus terjaminnya kelestarian fungsi hutan. Pola hubungan antar stakeholder dapat dipahami dengan menggunakan pendekatan “Teori permainan” (Game theory).
51
Analisis game theory berguna mengkaji persoalan riil yang saat ini dihadapi oleh Pemerintah Kota Cirebon (PDAM) dan Pemerintah Kabupaten Kuningan dalam pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan. Dalam teori permainan, biasanya terdapat dua bentuk strategi yang diterapkan oleh masingmasing pihak adalah strategi yang bersifat cooperative (bekerjasama) dan noncooperative (tidak mau bekerjasama). Pada strategi cooperative, peranan yang dimainkan oleh suatu pihak ditetapkan dengan mempertimbangkan dampak negatifnya bagi pihak lawan. Sebaliknya dalam strategi non-cooperative, tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya bagi pihak lawan, dan bahkan tindakan yang diperankan justru cenderung merupakan suatu tindakan pembalasan yang dapat merugikan pihak lawan. Dalam hal ini, pertimbangan yang melandasi penetapan peran oleh masing-masing pihak lawan. Dalam hal ini, pertimbangan yang melandasi penetapan peran oleh masing-masing pihak lebih didasarkan pada kepentingan pribadi. Selanjutnya langkah-langkah yang ditempuh dalam analisis game adalah sebagai berikut : 1. Menyusun matrik pay off dari masing-masing stakeholder yang dalam hal ini adalah PDAM Kota Cirebon dan Pemerintah Kabupaten Kuningan. 2. Menetapkan besarnya nilai keuntungan dan kerugian dari masing-masing stake holder apabila memilih / menerapkan suatu strategi. 3. Menetapkan kriteria/konsekuensi yang akan diperoleh apabila memilih /menerapkan strategi baik cooperative maupun non-cooperative. Adapun matrik pay off dari permainan, disajikan pada tabel berikut ini :
Pemerintah Kabupaten Kuningan
Tabel 3. Matriks pay off permainan antara Pemerintah Kota Cirebon dan Pemerintah Kabupaten Kuningan dalam Pengelolaan Hutan. Pemerintah Kota Cirebon (PDAM Kota Cirebon) Cooperative Non Cooperative (A) (B) Cooperative (A) Non-cooperative (B)
(A,A)*
(A,B)*
(B,A)*
(B,B)*
Ket: * adalah nilai-nilai pay off dari setiap kombinasi strategi
52
4.4.3 Analisis Regresi Binary Logistik Willingness to Pay Pembayaran Jasa Lingkungan Mata Air Paniis Dalam penelitian ini dilakukan metode permainan penawaran seperti yang dilakukan oleh Jordan dan Elnagheeb (1993) dalam Arianti (1999) berdasarkan teknik yang ditawarkan oleh Mitchell dan Richard (1989) dalam Arianti (1999), yaitu dengan menyediakan berbagai pilihan nilai WTP di atas dan dibawah nilai pembayaran ajsa lingkungan yang saat ini telah dilaksanakan oleh PDAM Kota Cirebon. Nilai mean WTP jasa air di Kota Cirebon diperoleh dari metodologi yang dikembangkan oleh Cameroon (1988) diacu dalam Ramlan et al (2011) dengan rumus : (
M e a n W T P0
2
x 2 . . .k x. k ) i
Dimana koefisien α adalah koefisien regresi dengan X adalah vektor variabel sosial ekonomi (usia, pendapatan, nilai bid).
4.4.4 Analisis Multinomial Logit Pembayaran Jasa Lingkungan Untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor penentu peluang terpilihnya berbagai jenis sistem pengambilan dana pembayaran jasa lingkungan di Kota Cirebon dilakukan analisis kesediaan masyarakat dalam melakukan pembayaran jasa lingkungan yang dilakukan dengan menggunakan analisis regresi multinomial logit. Sistem pengambilan dana jasa lingkungan dibagi menjadi tiga yaitu melalui, rekening air, pajak air dan dana mitra dalam pelaksanaan konservasi. Untuk melakukan analisis peluang pilihan-pilihan ini digunakan persamaan regresi perbandingan peluang multinomial (multinomial logit) terhadap berbagai pilihan system pengambilan dana jasa lingkungan yang dominan di pilih penduduk : ln ln ln
p 1
p p
1
p p
1
p
y1
10
Bid
11
y2
20
21
y3
30
31
Usia
12
Bid
22
Bid
32
Pendapatan
13
Usia
23
Usia
33
14
Asal
Pendapatan
24
Asal
Pendapatan
34
Asal
53
Dimana,
y1 = Pembayaran melalui rekening tagihan PDAM
y 2 = Pembayaran melalui pajak lingkungan y 3 = Pembayaran melalui dana mitra 4.5 Hipotesis Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, dapat dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut : 1. Kegiatan pembayaran jasa lingkungan akan bersifat efektif apabila perbandingan manfaat dan biaya yang diperoleh lebih dari 1, dimana manfaat yang didapat bernilai lebih tinggi dibandingkan biaya yang dikeluarkan. 2. Kegiatan pembayaran jasa lingkungan akan bersifat efektif apabila perbandingan manfaat biaya PDAM Kota Cirebon setelah dilakukan pembayaran jasa lingkungan lebih tinggi dibandingkan
sebelum
pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan dengan perolehan manfaat yang lebih besar. 3. Kegiatan pembayaran jasa lingkungan akan bersifat efektif apabila dalam kelembagaan program pembayaran jasa lingkungan Pemerintah Kota Cirebon dan Pemerintah Kabupaten Kuningan bekerjasama dalam konservasi daerah sumber mata air Paniis. 4. Pilihan masyarakat atas pembayaran jasa lingkungan dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, jumlah anggota keluarga yang bekerja, usia, serta asalusul responden, dimana penduduk asli Cirebon akan memilih untuk melakukan pembayaran jasa lingkungan dibandingkan bukan penduduk asli Kota Cirebon.
54
V. GAMBARAN UMUM
5.1 KEADAAN UMUM WILAYAH STUDI 5.1.1 Kondisi Geografis dan Fisik Kota Cirebon Kota Cirebon terletak di ujung Timur Propinsi Jawa Barat dan merupakan pintu gerbang Jawa Barat sebelah Timur karena menjadi simpul pergerakan antar kota antar provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kota Cirebon merupakan kota pantai Utara di Jawa Barat yang memiliki wilayah seluas 37.358 km 2 . Secara geografis Kota Cirebon terletak pada posisi 108,33 0 Bujur Timur dan 6,41 0 Lintang Selatan, dengan batas- batas wilayah sebagai berikut : 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Cirebon, 2. Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Brebes, 3. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Cirebon, 4. Sebelah Timur, berbatasan dengan Laut Jawa. Batas administrasi Kota Cirebon adalah sebagai berikut: 1. Sebelah Utara / Barat : Sungai Kedungpane 2. Sebelah Barat
: Banjir Kanal / Kabupaten Cirebon
3. Sebelah Timur
: Laut Jawa
4. Sebelah Selatan
: Sungai Kalijaga / Kabupaten Cirebon
Pemerintahan Kota Cirebon terbagi menjadi 5 kecamatan, 22 kelurahan, 247 rukun warga (RW) dan 1350 rukun tetangga (RT), dengan jumlah penduduk 304.152 jiwa. Penyebaran jumlah penduduk di 5 wilayah kecamatan dapat dilihat pada Tabel 4 sebagai berikut :
55
Tabel 4. Penyebaran Jumlah Penduduk Kota Cirebon No.
Kecamatan
1
Harjamukti
2
Luas Wilayah (km)
Penduduk
Kepadatan
17,62
95.339
5.412
Lemahwungkuk
6,51
55.972
8.602
3
Pekalipan
1,56
35.678
22.862
4
Kesambi
8,06
71.067
8.818
5
Kejaksan
3,62
46.096
12.748
37.37
304.152
8.142
Jumlah
Sumber : Laporan Akhir Corporate Plan PDAM Kota Cirebon 2011
Wilayah pesisir Kota Cirebon merupakan dataran rendah dengan ketinggian bervariasi kurang lebih 0 sampai 5 meter di atas permukaan laut. Keadaan air tanah pada umumnya dipengaruhi oleh intrusi air laut, sehingga kebutuhan air bersih masyarakat untuk keperluan air minum sebagian besar bersumber dari pasokan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) kota Cirebon yang sumber mata airnya berasal dari Kabupaten Kuningan.
5.1.2 Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Cirebon PDAM Kota Cirebon merupakan perusahaan penyedia utama air bersih bagi masyarakat Kota Cirebon. Dasar hukum PDAM Kota Cirebon yaitu : 1.
Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 1994 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Saluran Air Minum.
2.
Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Cirebon Nomor 18 Tahun 1994 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Cirebon Nomor 13 Tahun 1994 tentang ketentuan Pelayanan Air Minum dan Air Limbah pada Perusahaan Daerah Air Minum Kotamadya Daerah Tingkat II Cirebon. Berdasarkan Peraturan Daerah tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air
Minum Kota Cirebon, dalam melaksanakan kegiatan usaha selain mencari profit, PDAM juga mengemban fungsi sosial. Berkaitan dengan hal tersebut, PDAM Kota Cirebon mempunyai visi dan misi sebagai berikut :
56
Visi : Pelayanan
Prima
atas
dasar
Akuntabilitas
Transparansi
dan
Profesionalisme Misi : 1.
Memenuhi kebutuhan air minum dan melayani pengelolaan air limbah.
2.
Ikut mengangkat perekonomian daerah dalam bentuk memberikan kontribusi terhadap PAD.
3.
Meningkatkan
profesionalisme
dan
kesejahteraan
pegawai
Perusahaan Daerah Air Minum. Kota Cirebon.
5.1.2.1 Peranan dan Fungsi PDAM Kota Cirebon PDAM Kota Cirebon sebagai perusahaan yang mengelola air minum memiliki peranan dan fungsi dalam memenuhi kebutuhan air minum masyarakat. Berdasarkan
Surat
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No.907/Menkes/SK/2002, yang dimaksud air minum adalah air yang parameter di dalamnya sudah memenuhi persyaratan kesehatan dan dapat langsung diminum. Air yang didistribusikan digunakan untuk beberapa jenis, yaitu : a.
Air yang didistribusikan melalui pipa untuk kebutuhan rumah tangga, Industri, rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, perkantoran, pariwisata,
b.
Didistribusikan melalui Tangki Air,
c.
Air yang digunakan untuk keperluan pemadam kebakaran,
d.
Digunakan untuk keperluan menyiram taman kota,
e.
Sebagian dijual ke PDAM Kabupaten Cirebon, dan kegiatan sosial lainnya.
5.1.2.2 Sejarah Perkembangan PDAM Kota Cirebon Sejarah perkembangan PDAM Kota Cirebon dimulai pada tahun 1930 dengan dibangunnya fasilitas penyediaan air bersih untuk masyarakat Kota Cirebon yang berada di Desa Paniis yang berjarak 22 km dari Kota Cirebon, dengan kapasitas air sebesar 30 liter/detik. Mengingat air minum sangat dibutuhkan oleh masyarakat Cirebon, maka pada tanggal 22 Februari 1958 didirikan Perusahaan Saluran Air Minum Kota Cirebon, yang bertujuan untuk mengelola penyediaan air bersih peninggalan Belanda.
57
Seiring peningkatan kebutuhan air untuk masyarakat Kota Cirebon, maka pada tahun 1960, PDAM Cirebon dan Pemerintah Daerah Kota Cirebon dengan bantuan dari Bapindo meningkatkan kapasitas air bersih menjadi 100 liter/detik. Pada tahun 1972 sampai tahun 1982 dengan bantuan dana dari Pemerintah Swiss dilaksanakan CUDP I (Cirebon Urban Development Project) untuk meningkatkan penyediaan air bersih sehingga kapasitas produksi menjadi 860 liter /detik. Proyek tersebut telah melaksanakan kegiatan sebagai berikut : 1. Merehabilitasi menara air Gunung Sari dan Parujakan, 2. Penggantian pipa-pipa tua dan pemanfaatan overflow, 3. Pembangunan Collector Well Cipaniis, 4. Pemasangan pipa transmisi dari Desa Paniis sampai ke Kalitanjung sebagai batas Kota Cirebon. Kemudian pada tahun 1983 sampai 1991 program CUDP I dilanjutkan dengan CUDP II melalui bantuan dana dari Pemerintah Swiss. menangani sektor air limbah
dan
drainase,
yang
kemudian
dikembangkan
dengan
sektor
persampahan.Untuk menyempurnakan pekerjaan CUDP II, kemudian dilanjutkan dengan CUDP III (1991 sampai 1998), dengan pekerjaan sebagai berikut : 1. Pembangunan sektor air bersih, air limbah dan drainase, serta persampahan sebagai kelanjutan dari CUDP II, 2. Pembangunan masyarakat melalui Community Development Programme, 3. Program kelembagaan melalui Institutional Development Programme, 4. Keterpaduan pembangunan wilayah jangka menengah Cirebon Raya. Melalui program CUDP I,II dan III, PDAM mengalami peningkatan kapasitas produksi sehingga dapat melayani peningkatan jumlah pelanggan yang semakin besar.
5.1.2.3 Kondisi Sistem Penyediaan Air Minum PDAM Kota Cirebon memiliki dua buah sumber air untuk sistem penyediaan air minumnya yaitu : 1.
Sumber air I : Sumber air I berasal dari terowongan penampungan air yang dibangun pada tahun 1937 terletak di Paniis dengan volume 33 liter/detik. Terowongan air merupakan penampung air yang berasal dari 15 sumur
58
vertikal berdiameter 200 mm dengan kedalaman bervariasi antara 2 m sampai 8 m. Panjang terowongan
77 m dibawah kaki Gunung Ciremai. Pada tahun
1960, kapasitas ditingkatkan menjadi 100 liter / detik dengan menambah pipa 350 mm. Dari sumber ini air disalurkan melalui pipa berdiameter 250 mm menuju instalasi pengolahan yang terletak 2.
270 m dari sumber air
Sumber air II : Sumber air II terletak 50m dari sumber air lama, berupa sumur pengumpul berdiameter dalam 5 m, dan diameter luar dengan kedalaman
7 m yang mengumpulkan air dari 24 buah sumur horisontal
berdiameter 200 mm yang terpasang melingkar dengan jari-jari antara 9 m sampai 32,5 m. Namun demikian hanya 19 sumur horisontal yang dibuka dan hanya yang terarah ke sungai yang mampu mengalirkan air secara potensial. Dari sumber air ini disalurkan melalui pipa diameter 700 mm menuju instalasi pengolahan yang terletak di Plangon
8,195 km dari Paniis.
Perkembangan lingkungan kawasan sumber air sejak tahun 1998, telah banyak mengalami perubahan. Perubahan ini antara lain disebabkan oleh kebakaran hutan, galian pasir dan batu, penebangan hutan dan perubahan perilaku masyarakat. Adanya perubahan yang terjadi di kawasan sumber mata air mempengaruhi jumlah debit mata air Paniis. Sebelum tahun 1998, ketinggian muka air di sumur pengumpul Paniis adalah
100 cm, dari bibir atas pipa outlet.
Kondisi ini menjamin air yang masuk ke dalam pipa mengalir secara penuh. Sehingga instalasi pengolahan air di Plangon dapat menghasilkan air secara optimal baik kuantitas maupun kualitasnya. Pada akhir tahun 2010, telah dilakukan perbaikan terhadap lingkungan sumber air Paniis. Atas bantuan masyarakat sekitar sumber air Paniis, telah dilakukan perbaikan terhadap lingkungan sumber air Paniis, dengan pembangunan sempadan sungai. Keberadaan sempadan tersebut sekaligus membatasi area kerja PDAM dan area untuk masyarakat umum (Gambar 4). Pembangunan kembali sempadan ini secara perlahan telah mengembalikan kondisi lingkungan sekitar sumber air. Meskipun ketinggian muka air di sumur pengumpul horizontal tidak seperti sebelum tahun 1998, namun kondisi tersebut telah memperbaiki pasokan air ke pipa transmisi dan selanjutnya ke bak pengumpul Plangon.
59
Gambar 4. Sempadan sungai pada Sungai Cipaniis 5.1.2.4 Kemampuan Usaha PDAM Kota Cirebon Posisi keuangan pada laporan neraca menunjukkan kesehatan suatu perusahaan dalam menjalankan usahanya dan membayar kewajiban-kewajiban perusahaan termasuk didalamnya membayar kompensasi ke Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan. Berdasarkan laporan keuangan PDAM tahun 2011 diketahui bahwa, Total pendapatan usaha yaitu sebesar Rp.37.233.021.334 meningkat sebesar Rp1.474.733.509,03 atau sebesar 4,12% dibandingkan total pendapatan usaha pada tahun 2010 sebesar total
pengeluaran
biaya
usaha
pada
Rp35.758.287.824,97, sedangkan tahun
2011
yaitu
sebesar
Rp36.698.748.892,51 meningkat sebesar Rp3.824.363.755,39 atau 11,63% dibandingkan
total
biaya
usaha
pada
tahun
2010
yaitu
sebesar
Rp32.874.385.137,12. Menurut Sumarman (2006), kondisi keuangan PDAM Kota Cirebon berada dalam kondisi baik dimanaperusahaan pada awal bulan punya cadangan dana tunai sebesar 45 % dari biaya keseluruhan rata-rata dalam operasional setiap bulannya. Penilaian Bank Dunia untuk minimal cadangan dana tunai pada awal bulan adalah 30 %, sehingga apabila nilainya lebih besar dari 30% maka kondisi perusahaan dinilai baik. Kemudian berdasarkan efisiensi penagihan kondisi perusahaan dinilai baik sekali dimana sejak tahun 1998 sampai tahun 2005 kemauan pelanggan dalam membayar rekening air pada setiap akhir bulannya selalu tercapai di atas 97 % (Sumarman, 2006). Nilai ini berada diatas standar nilai yang ditetapkan oleh PDAM dimana nilai lebih dari 90% memiliki arti bahwa kondisi sistem penagihan
60
baik sekali.
5.1.3 KABUPATEN KUNINGAN 5.1. 3.1 Kondisi Geografis dan Fisik Kabupaten Kuningan Kabupaten Kuningan merupakan Kabupaten yang terletak di sebelah Selatan Kota Cirebon dengan luas wilayah 1.117 km 2 .Pada Tahun 2010 penduduk di Kabupaten Kuningan sebanyak 1.122.372 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki 561.948 jiwa dan perempuan 560.428 jiwa. Kondisi geografis Kabupaten Kuningan terbagi menjadi dua kelompok ketinggian yaitu dataran tinggi di bagian Barat dan Utara serta dataran rendah di bagian timur dan selatan membuat Kabupaten Kuningan memiliki potensi pertanian tanaman dataran tinggi maupun pertanian tanaman dataran rendah. Hal ini dapat terjadi karena cukupnya curah hujan dan persediaan air tanah dalam jumlah
yang
besar
sehingga
produksi
pertanian
di
Kabupaten
Kuningan.memungkinkan untuk dioptimalkan. Kabupaten Kuningan secara geografis terletak antara 06045" LS sampai dengan 07013" LS dan 108023" BT sampai dengan 108047" BT, dengan batas batas wilayahnya : 1. Sebelah Utara, berbatasan dengan Kabupaten Cirebon, 2. Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah, 3. Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Majalengka, 4. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Majalengka. Kabupaten Kuningan beriklim tropis dengan temperatur bulanan berkisar (180 – 240 0 C), dengan kelembaban udara 80 - 90 %. Curah hujan berkisar antara 2000 mm/tahun – 4000 mm/tahun terutama dibagian utara dan timur, sedangkan curah hujan di daerah catchment area sumber air baku mata air Paniis adalah 3500 mm/tahun.
61
5.1.3.2 Kawasan Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan memiliki kondisi kawasan dan sumber daya alam yang cukup melimpah salah satunya berupa gunung tertinggi di Jawa Barat yaitu Gunung Ciremai yang terletak pada ketinggian 3.078 meter dari permukaan laut dan merupakan salah satu ekosistem pegunungan yang memiliki keunikan karena merupakan gunung yang terletak tidak terlalu jauh dengan laut. Luas lahan kawasan hutan Gunung Ciremai yang termasuk di wilayah Kecamatan Pasawahan, Mandirancan, Cilimus, Jalaksana, Cigugur, Kadugede dan Darma adalah 15.859,90 ha. Topografi Kawasan Gunung Ciremai pada umumnya berbukit, dan bergunung dengan membentuk kerucut di bagian puncak. Kondisi topografi Gunung Ciremai bervariasi mulai dari landai sampai curam. Iklim dikawasan Gunung Ciremai dengan curah hujan2.000-4.000 mm/tahun memiliki udara yang sejuk dengan temperatur udara berkisar antara 18-22 0 C Memiliki topografi yang bervariasi, dari sebelah Timur dengan tingkat kecuraman yang tinggi dan dari sebelah Selatan dengan kemiringan yang landai. Kondisi alam Gunung Ciremai sangat disukai oleh semua lapisan masyarakat baik untuk berekreasi sebagai kawasan wisata alam, untuk berolah raga pendakian, maupun pendidikan dan kelestarian budaya cagar alam. Mereka hadir dari berbagai kota dan daerah, kelompok masyarakat muda maupun kelompok umur tua dengan berbagai tujuan yang berbeda. Kawasan hutan Gunung Ciremai memiliki 3 (tiga) fungsi pokok, yaitu sebagai kawasan lindung, konservasi alam dan zona resapan air. Berdasarkan Perda Kabupaten Kuningan No. 38 Tahun 2002 Gunung Ciremai merupakan s salah satu paru-paru dunia yang mampu menetralisir karbon dioksida yang berdampak sebagai racun menjadi oksigen yang dibutuhkan umat manusia untuk pernapasan serta menjaga kestabilan temperatur bumi yang terus meningkat akibat lapisan ozon yang semakin menipis. Selain itu dalam Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2003 disebutkan bahwa kawasan hutan gunung ciremai termasuk dalam kawasan perlindungan alam plasma nutfah eks-situ, kawasan rawan bencana gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi. Hasil telaahan terhadap berbagai potensi dan prospek pengembangannya,
62
Atas dasar peraturan daerah tersebut kemudian Pemerintah Kabupaten Kuningan menggagas perubahan fungsi pada kelompok hutan lindung Gunung Ciremai menjadi kawasan pelestarian alam pada tahun 2004 dan telah mendapat persetujuan dari Menteri Kehutanan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 424/Menhut-11/2004 tentang Perubahan Kawasan Hutan Lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai seluas 15.500 Ha yang terletak di 2 kabupaten yaitu Kabupaten Majalengka dan wilayah barat Kabupaten Kuningan. Kawasan Gunung Ciremai yang masuk wilayah Kabupaten Kuningan seluas 8.839,05 hektar yang secara resmi kemudian dideklarasikan oleh Menteri Kehutanan pada tanggal 14 juli 2005.
5.1.3.3 Mata Air Paniis Mata air Paniis, salah satu mata air di kawasan Gunung Ciremai, merupakan mata air gravitasi dimana merupakan aliran air tanah yang terpotong oleh topografi, dan keluar melalui celah dan rongga antar butir batuan gunung api. Mata air ini berada pada ketinggian 320 mdpl. Mata air Paniis dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk sawah dan oleh PDAM Kota Cirebon sebagai sumber air baku. Mata air Paniis merupakan sumber air minum andalan utama untuk memenuhi kebutuhan air minum masyarakat Kota Cirebon. Alternatif sumber air minum lainnya yang berasal dari air tanah dalam di sekitar Kota Cirebon dari jumlah dan kualitasnya kurang memenuhi standar air minum bagi masyarakat (Ramdan, 2006). Oleh karena itu sumber air minum dari mata air di kawasan Gunung Ciremai merupakan prioritas pertama untuk memenuhi kebutuhan air minum masyarakat di Kota Cirebon. Pada saat ini air dialirkan melalui pipa berdiameter 700 mm dari sumur pengumpul ke instalasi pengolahan di Plangon yang berjarak sekitar 8,2 Km dari Paniis. Pengambilan air dilakukan menggunakan sistem pemboran horisontal menggunakan pipa. Debit yang tersedia mencapai 3000 liter/detik, dan yang dimanfaatkan sebesar 700-800 liter/detik. Sifat fisik air pada lokasi ini masih terlihat baik, yaitu tidak berbau, tidak ada rasa, sangat jernih dan temperatur 24 0 C.
63
5.2 Karakteristik Sosial Ekonomi Responden Jumlah responden untuk pelanggan PDAM adalah 70 responden dimana teknik sampling yang dilakukan adalah teknik purposive sampling, penentuan sampel berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pertimbangan – pertimbangan yang diambil dalam pengambilan sampel adalah bahwa responden merupakan pelanggan rumah tangga PDAM Kota Cirebon dan tinggal di wilayah Kota Cirebon. Tabel 6 dan Gambar 5 berikut menggambarkan karakteristik sosial ekonomi responden di Kota Cirebon sebagai pelanggan rumah tangga PDAM Kota Cirebon.
Tabel 6. Karakteristik Sosial Ekonomi Responden Pelanggan Rumah Tangga PDAM Variabel Persentase Mean Gender 62,50 - Pria 37,50 - Wanita Usia (tahun) 2.85 - 20 - 25 1.43 - 26 - 30 15.71 - 31 – 35 41 52.85 - 36 – 40 24.29 - 40 – 45 0.85 - 46 - 50 2.85 - > 50 Pendidikan 2.85 - SD 5.71 - SMP 14 24.2 - SMA 71.4 - Perguruan Tinggi Tanggungan Keluarga (orang) <5 97.1 3 5 -10 2.85 >10 0 Pendapatan (Rupiah) 500.000 - 1.000.000 2.85 1.000.000 - 2.000.000 8.57 3.050.286 > 2.000.000 82.85 Sumber : Data Primer (Diolah), 2012
64
Pada Tabel 6 dan Gambar 5 terlihat persentase responden pria lebih besar yaitu sebesar 62.5 % dibandingkan dengan responden wanita yaitu 17.5 %, hal ini dikarenakan responden wanita rata-rata sedang melakukan kegiatan rumah tangga. Umur rata-rata responden adalah 41 tahun dan modus umur responden adalah 40 tahun, sedangkan distribusi umur terbesar adalah diantara 36 - 40 tahun yaitu sebesar 52.85 %. Pendidikan yang rata – rata ditempuh oleh responden rata-rata perguruan tinggi, sedangkan porposi terbesar adalah lulusan perguruan tinggi yaitu 71.40 % diikuti lulusan SMA sebesar 24.20% dan SMP sebesar 5.71 %. Sebanyak 90 % responden telah menikah, dan 10% belum menikah. Tanggungan keluarga responden mempunyai range antara 0 – 5 orang, namun mayoritas (97.1 %) mempunyai tanggungan keluarga 3 orang, sedangkan sisanya 2.85% mempunyai tanggungan keluarga antara 5 – 10 orang. Jika melihat pendapatan responden rumah tangga pelanggan PDAM rata-rata adalah sebesar Rp3.050.286, menurut Klasifikasi Bank Dunia rata-rata pendapatan pelanggan rumah tangga PDAM Kota Cirebon termasuk kepada kelompok pendapatan menengah ke bawah karena berada diantara $ 83,83 - $ 331,25 per bulan atau Rp796.417 – Rp3.146.875 (Putri, 2009)
65
Gambar 5. Karakteristik Sosial Ekonomi Pelanggan Rumah Tangga PDAM Kota Cirebon
66
VI. PEMBAHASAN
6.1 Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan Kawasan Sumber Mata Air Paniis Kebutuhan air bersih dengan kualitas, kuantitas dan kontinuitas yang memadai diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat perkotaan sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan kota. Pemenuhan kebutuhan air bersih ini harus didukung dengan adanya pengelolaan daerah kawasan sumber air yang lokasinya tidak selalu berada dalam satu wilayah administrasi, oleh karena itu mutlak diperlukan kerjasama antar daerah pengguna manfaat jasa lingkungan dengan pemilik jasa lingkungan. Saat ini Pemerintah Kota Cirebon dengan PDAM Kota Cirebon sebagai penyelenggara penyediaan air bersih, sangat bergantung dengan pasokan air baku untuk air bersih dari Pemerintah Kabupaten Kuningan, karena Pemerintah Kota Cirebon tidak memiliki sumber air baku yang memenuhi syarat. Kabupaten Kuningan memiliki beberapa sumber air minum, salah satu diantaranya yaitu Mata Air Paniis di Desa Paniis. Mata air ini digunakan sebagai sumber utama air minum bagi masyarakat Kota Cirebon, sehingga sistem pengelolaan mata air Paniis pun dilakukan oleh manajemen PDAM Kota Cirebon. Interaksi Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon dalam pengelolaan air minum sudah berjalan sejak lama. Sejarah dimulainya penggunaan mata air Paniis untuk pemenuhan kebutuhan air minum di Kota Cirebon dimulai sejak tahun 1937 pada saat pemerintahan Belanda. Mata air ini tetap digunakan sebagai sumber air minum utama oleh PDAM Kota Cirebon hingga saat ini dan diperkirakan bahwa pada masa yang akan datang kebutuhan air minum di Kota Cirebon akan meningkat dengan dijadikannya wilayah Cirebon sebagai salah satu kawasan pembangunan nasional. Sampai akhir tahun 2010 jumlah pelanggan di wilayah Kota Cirebon sebanyak 54.326 pelanggan dan tingkat konsumsi masyarakat yang tinggi 192 liter/orang/hari pada tahun 2010. Bertambahnya jumlah penduduk, menyebabkan sumber air baku air bersih kian hari kian menurun debitnya akibat kerusakan hutan di Gunung Ciremai, sehingga PDAM Kota Cirebon di tahun sekarang dan tahun-tahun mendatang, akan mengalami kekurangan air baku air bersih dari sumber Mata Air Paniis.
67
Tingginya ketergantungan Kota Cirebon terhadap Mata Air Paniis menyebabkan pentingnya upaya konservasi kawasan mata air tersebut agar tetap dapat memenuhi kebutuhan air bersih Kota Cirebon yang terus meningkat. Hal ini juga yang mendorong Pemda Kabupaten Kuningan untuk melakukan upaya kerjasama dengan Pemda Kota Cirebon untuk memelihara kelestarian Gunung Ciremai sebagai kawasan resapan air dari sejumlah mata air yang selama ini digunakan oleh masyarakat Kota Cirebon. Kebutuhan air minum yang lebih besar daripada ketersediaannya di suatu wilayah menciptakan kondisi kelangkaan yang dapat memicu terjadinya konflik diantara pengguna air minum terutama setelah pemberlakuan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004, yaitu penerapan sistem otonomi daerah. Pemberlakuan otonomi daerah memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya termasuk mengelola sumberdaya alam di wilayah administratifnya. Pemerintah daerah
dapat mengeksploitasi sumber air yang ada untuk
mendapatkan dana untuk membiayai pembangunannya. Hal ini pula yang mendorong Pemerintah
Kabupaten
Kuningan
mengajukan
adanya
dana
kompensasi pemanfaatan Mata Air Paniis kepada Kota Cirebon. Pengajuan kompensasi ini menimbulkan konflik diantara kedua daerah tersebut. Konflik pemenuhan air antara Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon terjadi pada tahun 2004, dimana Pemda Kabupaten Kuningan menuntut adanya dana kompensasi pembayaran jasa lingkungan dari Kota Cirebon dalam pemanfaatan air Paniis. Kabupaten Kuningan sendiri merupakan kabupaten dengan tingkat pendapatan jauh lebih rendah dibandingkan Kota Cirebon sehingga dorongan untuk mendapatkan dana kompensasi hasil air dari daerah pengguna manfaat air dipandang menjadi alternatif pembiayaan upaya konservasi kawasan sumber air diwilayahnya. Kapasitas terpasang yang dimanfaatkan oleh PDAM Kodya Cirebon adalah 860 l/dtk, dan debit yang diijinkan oleh Pemda Kabupaten Kuningan sebesar 750 l/dtk berdasarkan surat ijin pengambilan air (SIPA) yang dikeluarkan oleh Kantor Sumberdaya Air dan Mineral Kabupaten Kuningan Nomor 616/039/SDAM/2003. Pengambilan air yang melebihi SIPA memicu konflik antara Pemda Kabupaten
68
Kuningan dengan Kota Cirebon yang terjadi pada pertengahan sampai akhir tahun 2004. Berdasarkan data perhitungan alat pengukuran debit air, PDAM Kota Cirebon telah mengambil air dari kawasan Mata Air Paniis melebihi ijin pengambilan air rata-rata lebih sebesar 155
liter/detik (Sumarman 2006).
Peningkatan konsumsi air minum masyarakat di Kota Cirebon yang terus meningkat menjadi alasan bagi PDAM Kota Cirebon untuk mengambil air di atas yang diijinkan. Hasil perhitungan kebutuhan air minum selama 30 tahun menunjukkan bahwa jumlah pasokan air dari kawasan tersebut sebesar 860 liter/dtk atau 74,304 juta liter/hari, sedangkan
kebutuhan air bersih di Kota
Cirebon hingga tahun 2015 mencapai 1.382 l/dtk atau 43,58 juta m 3 per tahun. Adanya kelebihan debit air terukur ini memicu adanya konflik lebih lanjut diantara kedua daerah tersebut, Kabupaten Kuningan bahkan mengancam untuk mengurangi pasokan air ke Kota Cirebon melalui pemasangan gate valve. Pengurangan pasokan ini menyebabkan tidak mengalirnya air di beberapa wilayah di Kota Cirebon dan menyebabkan kerugian PDAM Kota Cirebon, sehingga menimbulkan krisis air bersih di Kota Cirebon. Atas dasar konflik tersebut, Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan membuat perjanjian kerja sama No. 44 tahun 2004 dan Nomor 690/Perj.35ekon/2004 tanggal 17 Desember 2004 tentang Pemanfaatan air dari sumber mata air Paniis Kecamatan Pasawahan Kabupaten Kuningan berdasarkan Keputusan Bersama Bupati kuningan dan Walikota Cirebon Nomor 616/Kep.59-Huk/2004 Tahun 2004 dan Nomor 32 Tahun 2004 tanggal 16 Desember 2004 tentang Pemanfaatan Sumber Air dari Mata Air Kabupaten Kuningan, diatur bahwa Bupati Kuningan dan Walikota Cirebon sepakat melaksanakan konservasi melalui pelestarian lingkungan Sumber Daya Air dengan ketentuan Walikota Cirebon akan melakukan pembayaran dana kompensasi untuk pelaksanaan konservasi dengan
nilai
yang
ditentukan
berdasarkan
kesepakatan,
yaitu
sebesar
Rp1.750.000.000 per tahun dan perjanjian pemasangan water meter untuk mengetahui jumlah debit air yang mengalir ke Kota Cirebon Pembagian besaran prosentasi dikaitkan dengan besaran realisasi yang diterima Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan pada tahun 2005 sebesar Rp1.750.000.000 dapat dilihat pada tabel berikut ini :
69
Tabel 8. Pembagian Dana Pembayaran Jasa Lingkungan No 1
Lembaga, Dinas dan Desa Pemerintah Daerah
Dana Konservasi Hutan Gunung Ciremai yang dikelola oleh Dinas Hutbun dan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Subdin Lingkungan Hidup Desa-desa yang terkait dengan 3 catchment area dan pemanfaat mata air Paniis JUMLAH Sumber : Sumarman 2006
Porsi (%) 62.5
Dana yang disalurkan (Rp) 1.093.750.000
2
30
525.000.000
7.5
131.250.000
100
1.750.000.000
Porsi Pemerintah daerah dipergunakan untuk kebutuhan pembangunan pemerintah daerah, yang didalamnya sudah termasuk upah pungut dana kompensasi yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Kuningan, biaya pemeliharaan water meter dan bangunannya di lokasi mata air Cipaniis dan upah biaya pembacaan water meter oleh petugas dari Sumber Daya Air dan Pertambangan Kabupaten Kuningan. Porsi dinas pengelola dana konservasi hutan Gunung Ciremai dikelola untuk Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Hutbun) dan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Subdin Lingkungan Hidup dibawah kendali Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan, untuk pembagian berapa besaran masing-masing dinas tergantung kebutuhan dan diatur oleh lembaga yang terkait. Setelah penandatanganan kerjasama, pembayaran jasa lingkungan dilakukan oleh Pemerintah Kota Cirebon sebanyak dua kali yaitu tahun 2005 dan 2008, sedangkan pada 2006 dan 2007 pembayaran jasa lingkungan dibayar oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Pada tahun 2008, Pemerintah Kota Cirebon mulai mempertanyakan dasar hukum perjanjian kerjasama tahun 2004 tentang pembayaran jasa lingkungan hal ini dikarenakan perwakilan BPK (Badan Pengawas Keuangan) Jawa Barat mengeluarkan surat bahwa pembayaran kompensasi air yang hanya berdasar pada nota kesepakatan tidak mempunyai dasar hukum yang kuat. Munculnya serangkaian konflik antara Kabupaten Kuningan dan Kota
70
Cirebon kemudian diselesaikan dengan bantuan Pemerintah Propinsi Jawa Barat dengan memfasilitasi pertemuan antara kedua pihak tersebut dan dibuatlah Perjanjian Kerjasama No. 10 Tahun 2009/690/Perj. I- Adm Perek/2009 tentang Kerjasama Pengelolaan Sumber Mata Air Desa Paniis Kecamatan Pasawahan Kabupaten Kuningan. Dalam perjanjian ini Kota Cirebon dalam hal ini PDAM Kota Cirebon bersedia memberi dana kompensasi untuk pemeliharaan dan pelestarian sumber mata air Desa Paniis Kecamatan Pasawahan Kabupaten Kuningan kepada Kabupaten Kuningan sebesar Rp. 80,00 / m 3 setelah dikurangi toleransi kebocoran 20% dan pemberian dana kompensasi dilaksanakan setiap tanggal 15 pada bulan pertama setiap triwulannya. Kemudian Kabupaten Kuningan berkewajiban menyediakan pasokan air yang dibutuhkan bagi keperluan pemenuhan kebutuhan air Kota Cirebon dan berkewajiban memelihara sumber daya air dan melestarikan lingkungan termasuk pemberdayaan masyarakat sekitar sumber air dan kewajiban
Kota Cirebon adalah menggunakan dan
mengambil air sesuai dengan ijin yang diberikan oleh Kabupaten Kuningan, memberikan dana kompensasi,
turut
serta
membantu memelihara dan
melestarikan lingkungan sekitar lokasi pengambilan air serta menjaga dan memelihara hubungan yang harmonis dengan masyarakat sekitar sumber mata air. Pembayaran Jasa Lingkungan yang dikembangkan oleh Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon adalah PES-like karena dalam pelaksanaannya dana konservasi di Kabupaten Kuningan masuk dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan didasarkan pada produk (product-based PES) yang lebih mengkhususkan pada jenis tertentu yaitu mata air Paniis. Dana Konservasi yang masuk dalam PAD seharusnya dialokasikan secara langsung untuk upaya konservasi kawasan sumber mata air Paniis, alokasi dana pembayaran jasa lingkungan yang tidak tepat sasaran ini menyebabkan program pembayaran jasa lingkungan antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon menjadi tidak efektif dalam upaya peningkatan kualitas kawasan sumber mata air Paniis. Program pembayaran jasa lingkungan yang dilakukan oleh Kota Cirebon seharusnya dilakukan langsung misalnya dalam bentuk program ke kawasan. Namun, hal tersebut belum dilaksanakan karena TNGC belum mendapatkan Surat Edaran (SE) sehingga dana konservasi masih dalam bentuk uang tunai. SE
71
tersebut merupakan landasan awal pemanfaatan jasa lingkungan air dan wisata alam yang dikeluarkan olrh Dirjen Pengelolaan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA). SE Dirjen PHKA tersebut berlaku secara nasional karena belum ada peraturan dari Menteri Kehutanan yang mengatur pemanfaat air.
6.1.1 Perubahan Status Kawasan Mata Air Paniis Masuk dalam Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) Sebelum menjadi kawasan taman nasional saat zaman pemerintahan kolonial Belanda, kawasan hutan Gunung Ciremai sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan tutupan atau hutan lindung. Saat pemerintahan Indonesia tepatnya pada tahun 1978, hutan Gunung Ciremai ditetapkan sebagai hutan produksi yang pengelolaannya diserahkan kepada Perum Perhutani. Perubahan fungsi kawasan dari hutan lindung menjadi hutan produksi membawa dampak yang nyata terhadap perubahan ekologi kawasan Gunung Ciremai dimana sebagian besar vegetasi hutan alam diganti menjadi vegetasi dengan tujuan produksi yang mayoritas ditanami pohon pinus. Intensifnya kegiatan ekonomi oleh masyarakat menyebabkan turunnya kualitas lingkungan hutan. Untuk mengembalikan fungsi ekologis Gunung Ciremai akibat kegiatan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani, maka kawasan hutan Gunung Ciremai dialih fungsikan sebagai kawasan hutan lindung melalui SK. Menteri Kehutanan Nomor : 195/Kpts-II/2003 tanggal 4 Juli 2003 tentang penunjukan sebagian kelompok hutan produksi Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka menjadi hutan lindung yang dapat memberikan manfaat jasa lingkungan dan keanekaragaman hayati. Walaupun telah terjadi pengalihan fungsi, kawasan tersebut belum dikelola menjadi kawasan lindung yang baik (Renstra Balai TNGC 2010-2014, 2012). Masyarakat penggarap masih melakukan kegiatan tumpang sari dan penggarapan di kawasan hutan lindung. Oleh karena tidak efektifnya pengelolaan kawasan hutan Gunung Ciremai sebagai hutan lindung, maka status kawasan ini ditingkatkan menjadi kawasan taman nasional. Sebelum menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai, status Gunung Ciremai sebagai kawasan resapan air yang memasok air minum bagi wilayah-
72
wilayah di sekitarnya juga tercantum dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 32 Tahun 2002 tentang Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Gunung Ciremai. Dalam RUTR tercantum bahwa Gunung Ciremai selain berfungsi untuk mengalokasikan ruang dalam kawasan tersebut, juga bernilai ekonomi karena berkaitan dengan jaminan komitmen Kabupaten Kuningan untuk memasok air dalam jumlah dan kualitas yang stabil sepanjang tahun. Pelaksanaan RUTR sebagai sebuah sertifikat komitmen dari daerah hulu untuk hilirnya tersebut merupakan terobosan kebijakan dalam kerjasama antar daerah. Bagi bidang perencanaan wilayah, proses pembuatan perda ini menjadi bukti bahwa dokumen RUTR tidak hanya bermanfaat dalam mengalokasikan ruang saja, namun berdampak ekonomi dalam meningkatkan pendapatan daerah hulu. Wilayah pengguna air di bagian hilir cenderung lebih merasa aman apabila wilayah hulu sebagai pemasok air mampu menunjukkan komitmen dalam menjaga kawasan resapan airnya, sehingga kesediaan wilayah hilir untuk membayar atas air yang digunakannya diperkirakan akan meningkat. Peningkatan apresiasi nilai ini dari wilayah hilir ini berkaitan dengan adanya komitmen yang jelas dari wilayah hulu sebagai pemasok air untuk melindungi wilayahnya sebagai resapan air Upaya-upaya penyelesaian konflik sumber air minum lintas di wilayah Gunung Ciremai tersebut didorong oleh suatu kemitraan yang luas antara pemerintah, lembaga legislatif, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok masyarakat lainnya. Kesepahaman untuk memberikan kontribusi dari hilir ke hulu diharapkan akan meningkatkan upaya kelestarian lingkungan sumber mata air, sehingga distribusi manfaat air diantara pihak-pihak yang berkepentingan dapat berjalan lebih adil. Dalam pelaksanaannya keberadaan RUTR Gunung Ciremai masih menghadapi sejumlah permasalahan yang mengganggu perlindungan fungsi sumber daya alam yang ada, misalnya perambahan lahan kawasan hutan cukup tinggi akibat keterbatasan lahan milik masyarakat. Komoditas yang diusahakan petani di kawasan Gunung Ciremai umumnya adalah sayuran dan palawija yang pengolahannya sangat intensif sehingga mempercepat degradasi tanah. Kegiatan penambangan pasir di kawasan Gunung Ciremai juga menimbulkan degradasi
73
tanah yang sangat serius dan mengancam fungsi kawasan tersebut sebagai wilayah resapan air. Adanya permasalahan-permasalahan tersebut menunjukkan bahwa Perda RUTR Gunung Ciremai masih memerlukan upaya penegakan yang serius. Atas dasar tersebut kemudian dikeluarkanlah Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004, bahwa sebagian kelompok hutan Gunung Ciremai seluas 15.500 ha diubah statusnya menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Sejak keluarnya keputusan tentang TNGC tersebut, maka kawasan hutan di kelompok hutan Gunung Ciremai yang umumnya merupakan hutan lindung dan berdasarkan RUTR Ciremai merupakan zona inti beralih fungsi menjadi taman nasional yang dikategorikan sebagai kawasan hutan konservasi. Adanya perubahan status kawasan hutan dari hutan lindung menjadi taman nasional di sebagian kelompok hutan Gunung Ciremai memerlukan upaya penataan kembali terhadap isi dari RUTR di lapangan, atau sebaliknya dalam menyusun Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) maka isi dari RUTR Gunung Ciremai yang telah di-perda-kan dapat diadopsi dalam rencana tersebut, sehingga antara kepentingan konservasi dalam TNGC bisa sinergis dengan RUTR Ciremai yang telah ada. Oleh karena itu konsultasi publik yang lebih luas dalam menyusun Rencana Pengelolaan TNGC perlu melibatkan semua pihak yang berkepentingan dengan kawasan Gunung Ciremai. Penunjukan kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi taman nasional merupakan
usulan
Pemerintah
Kabupaten
Kuningan
melalui
surat
Nomor.522/1480/Dishutbun tanggal 26 Juli 2004 perihal “Proposal Kawasan Hutan Gunung Ciremai sebagai Kawasan Pelestarian Alam” dan Pemerintah Kabupaten Majalengka melalui surat Nomor. 522/2394/Hutbun tanggal 13 Agustus 2004 perihal “Usulan Gunung Ciremai sebagai kawasan Pelestarian Alam”. Proposal usulan Bupati Kuningan ditindak lanjuti dengan Surat Bupati Kuningan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rayat Daerah Kabupaten Kuningan melalui suratnya No. 522.6/1653/Dishutbun tanggal 13 Agustus 2004 perihal “Pengelolaan Kawasan Hutan Gunung Ciremai sebagai Kawasan Pelestarian Alam”. Hal tersebut langsung mendapat respon dari DPRD Kabupaten Kuningan dengan mengirimkan surat kepada Menteri Kehutanan melalui surat pimpinan
74
DPRD Kabupaten Kuningan Nomor. 661/266/DPRD perihal dukungan atas usulan pengelolaan kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi kawasan taman nasional. Pengusulan tersebut dilatar belakangi oleh fungsi ekologi Gunung Ciremai yang sangat besar khususnya sebagai daerah catchment area daerah tangkapan air yang sangat berperan penting sebagai penyedia air baik sebagai bahan baku air minum maupun air irigasi pertanian bagi tiga kabupaten di sekitarnya yaitu Kuningan, Majalengka dan Cirebon. Adanya perubahan status hutan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai menyebabkan perubahan status kawasan hutan sekitar Mata air Paniis menjadi bagian dari Taman Nasional Gunung Ciremai. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh TNGC adalah belum optimalnya kerjasama dan koordinasi dengan pihak lain sehingga belum ditemukan visi bersama sebagai arah pengelolaan multipihak TNGC dan masih kurang adanya sinergitas langkah, pemahaman dan sinkronisasi program oleh seluruh stakeholder (Renstra Balai TNGC 2010-2014, 2012). Permasalahan tersebut harus di selesaikan melalui adanya kerjasama dengan berbagai pihak terutama dengan pengguna manfaat kawasan TNGC, misalnya Kota Cirebon sebagai pengguna manfaat kawasan mata air Paniis. Pengelolaan hutan kawasan mata air paniis yang telah berpindah ke TNGC harus didukung oleh daerah pengguna manfaat kawasan tersebut misalnya oleh Kota Cirebon sebagai pengguna utama mata air Paniis. Hal ini juga telah dilaksanakan oleh Kabupaten Cirebon sebagai pengguna manfaat air dari Gunung Ciremai yaitu Blok Cipujangga yang melakukan upaya partisipatif bekerjasama langsung dengan TNGC dalam konservasi wilayah sekitar mata air. Sejak tahun 2011, TNGC bekerjasama dengan Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Jati Kabupaten Cirebon dalam pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan TNGC dimana telah disepakati oleh kedua pihak untuk : 1. Pemanfaatan Jasa Lingkungan air yang besarannya sesuai dengan yang diijinkan dari pejabat yang berwenang atau maksimal 20% dari debit air yang berasal dari sumber mata air Blok Cipujangga Resort Pasawahan, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Balai TNGC.
75
2. Pembangunan sarana penunjang berupa Bron Captering, Bak Penampung Air Bersih dan Jaringan Pipa Transmisi. 3. Program konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 4. Monitoring dan Evaluasi. Adanya kerjasama langsung antara TNGC dan Kabupaten Cirebon dalam pengelolaan daerah kawasan sumber mata air Cipujangga menimbulkan pemikiran bahwa Kota Cirebon sebagai pengguna manfaat air dari kawasan Gunung Ciremai juga dapat langsung bekerjasama dengan TNGC sebagai pemegang wilayah kawasan catchment area mata air Paniis, sehingga dapat secara aktif bekerjasama untuk melakukan upaya perlindungan wilayah mata air Paniis untuk tujuan mengoptimalkan pemanfaatan secara lestari potensi sumber air Paniis. 6.2 Kondisi Sebelum dan Sesudah Program Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) berdasarkan Analisis Manfaat-Biaya PDAM Kota Cirebon Analisis Manfaat-Biaya adalah bentuk dari analisis ekonomi yang membandingkan manfaat dan biaya pengeluaran yang dihasilkan dari dua kegiatan atau lebih. Perhitungan biaya ditinjau dari sisi pengguna jasa lingkungan terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan dalam perolehan air selama adanya program pembayaran jasa lingkungan, sedangkan perhitungan manfaat dilihat dari pendapatan yang dihasilkan oleh PDAM Kota Cirebon. Berdasarkan nilai biaya yang dikeluarkan oleh PDAM Kota Cirebon pada periode pelaksanaan program pembayaran jasa lingkungan dan pada periode sebelum pelaksanaan program pembayaran jasa lingkungan, dapat dilihat bahwa nilai perbandingan pendapatan dan biaya pada tahun 2004 bernilai 1,12 kemudian pada tahun 2005 perbandingan nilai pendapatan dan biaya sebesar 1,13 hal ini menunjukkan bahwa pada saat sebelum pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan nilai biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diterima oleh PDAM Kota Cirebon lebih rendah dibandingkan saat pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan dengan nilai BCR lebih tinggi. Setelah berjalannya program pembayaran jasa lingkungan di tahun 2005, nilai prosentase BCR semakin meningkat. Adanya peningkatan biaya karena dimasukkannya nilai pembayaran jasa lingkungan, diikuti dengan adanya
76
peningkatan nilai pendapatan yang mengindikasikan adanya peningkatan volume penjualan (Tabel 9) yang dilakukan oleh PDAM Kota Cirebon dengan adanya program pembayaran jasa lingkungan. Pada tahun 2008 nilai BCR mengalami penurunan, hal ini diperkirakan disebabkan oleh adanya konflik antara Kota Cirebon dengan Kabupaten Kuningan disebabkan perbedaan pencatatan debit air, sehingga Kabupaten Kuningan melakukan pengurangan debit air sehingga mengganggu pasokan air ke daerah Kota Cirebon bagian Utara. Adanya gangguan ini menyebabkan PDAM Kota Cirebon mengalami kerugian karena pasokan air menjadi terhenti.
Tabel 9. Perbandingan nilai BCR PDAM Kota Cirebon Sebelum Pembayaran Jasa Lingkungan dan Setelah Pembayaran Jasa Lingkungan Tahun Manfaat Biaya BCR 2003 21.688.290.000 19.415.250.000 1.12 2004 22.656.287.207 20.075.863.058 1.13 2005 32.544.329.903 27.656.704.106 1.18 2006 31.863.298.250 27.751.483.561 1.15 2007 33.484.090.649 29.433.322.162 1.14 2008 35.042.548.460 32.327.111.951 1.08 2009 37.892.998.671 35.414.603.922 1.07 2010 36.271.692.577 32.994.340.803 1.10 2011 37.615.270.195 36.820.712.627 1.02 Sumber: Laporan Akhir Corporate Plan PDAM Kota Cirebon 2011
Tabel 10.Kapasitas Produksi PDAM Kota Cirebon 2003-2011 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Volume (m3/thn) Debit (liter/detik) 24305791 772 26659018 843 27247022 864 26262302 833 26621154 844 25432691 798 25769459 818 25439273 807 25800000 818 Sumber: Laporan Akhir Corporate Plan PDAM Kota Cirebon 2011
77
Gambar 6. Grafik Nilai BCR dan selama Periode Sebelum Pembayaran Jasa Lingkungan dan Setelah Periode Pembayaran Jasa Lingkungan
Gambar 7. Grafik Kapasitas Produksi PDAM Kota Cirebon 2003-2011 Kemudian pada tahun 2010, produksi PDAM Kota Cirebon meningkat diikuti oleh adanya peningkatan BCR, tetapi kemudian tahun 2011 nilai produksi PDAM menurun kembali walaupun realisasinya belum bisa diketahui karena masih dalam tahun berjalan. Pembayaran jasa lingkungan yang dilaksanakan oleh PDAM Kota Cirebon tidak meningkatkan BCR PDAM secara signifikan, hal ini diperkirakan karena tidak ada peningkatan harga air dalam rangka PJL, serta adanya pertambahan jumlah pelanggan PDAM yang tidak diikuti dengan peningkatan kapasitas produksi air yang berasal dari Mata Air Paniis. Berdasarkan analisis tersebut dapat dilihat bahwa adanya program pembayaran jasa lingkungan sejak tahun 2004 oleh Kota Cirebon belum
78
meningkatkan kapasitas produksi dari PDAM. Apabila pembayaran jasa lingkungan terus dilakukan dimasa yang akan datang diperkirakan produksi air dari mata air Paniis akan terus meningkat dan akan mengakibatkan peningkatan nilai BCR PDAM Kota Cirebon. Hal ini sesuai dengan Istiqomah (2012), bahwa benefit akan semakin meningkat dengan bertambahnya produksi dan biaya transaksi akan semakin menurun dengan semakin tingginya produksi. Kemudian hal ini dapat mengindikasikan bahwa sistem kerja sama dari PDAM Kota Cirebon dalam rangka pengelolaan kawasan catchment area Mata air Paniis harus tetap dilaksanakan tetapi dalam suatu sistem kerjasama yang berbeda, terutama karena saat ini Mata Air Paniis tidak berada dalam wilayah kelola Kabupaten Kuningan tetapi masuk ke dalam wilayah Taman Nasional Gunung Ciremai, sehingga kerjasama dapat dilakukan langsung dengan TNGC. Kerjasama ini juga dilakukan oleh Kabupaten Cirebon yang mendapatkan air minum dari wilayah Cipujangga yang masuk ke dalam wilayah TNGC. Kerjasama Kabupaten Cirebon dengan TNGC ini berupa sharing program pengelolaan kawasan sekitar mata air Cipujangga dimana Kabupaten Cirebon berpartisipasi aktif dalam melakukan konservasi.
6.3 Analisis Game Theory Pelaksanaan Kelembagaan Pembayaran Jasa Lingkungan Dalam menganalisis pelaksanaan kelembagaan pembayaran jasa lingkungan, dapat digunakan analisis game theory sehingga nilai pay off dari masing-masing pelaku pembayaran jasa lingkungan dapat diketahui. Dalam analisis ini dilakukan beberapa skenario dimana masing-masing pelaksana pembayaran jasa lingkungan mendapatkan pay off atau konsekuensi dari pelaksanaan masing-masing skenario tersebut (Tabel 11). Skenario yang dibuat dalam analisis ini yaitu PDAM Kota Cirebon bekerjasama dengan Kabupaten Kuningan (cooperative - cooperative), PDAM Kota Cirebon bekerjasama sedangkan Kabupaten Kuningan tidak bekerjasama (non cooperative - cooperative), PDAM Kota Cirebon tidak mau bekerjasama dan Pemda Kabupaten Kuningan (non-cooperative - cooperative), dan skenario
79
terakhir yaitu PDAM Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan tidak mau bekerjasama (non cooperative - non-cooperative) Berdasarkan hasil analisis game theory diketahui bahwa apabila kedua daerah bekerjasama dalam pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan, maka nilai pay off dari tiap bentuk kerjasama adalah Rp. 29.351.799.531 untuk PDAM Kota Cirebon dan Rp. 2.400.000.000 untuk Pemerintah Kabupaten Kuningan. Nilai pay off ini merupakan nilai pendapatan masing-masing pemain apabila kerjasama diantara keduanya dilakukan. Nilai pay off PDAM Kota Cirebon merupakan nilai air yang didapatkan dari mata air Paniis yang akan didapatkan apabila Kabupaten mengijinkan untuk mengambil air dari mata air tersebut. Nilai pay off bagi PDAM Kota Cirebon dapat pula berarti nilai yang didapat oleh PDAM Kota Cirebon apabila mau bekerjasama dalam pengelolaan kawasan sumber mata air sehingga Kabupaten Kuningan mengijinkan PDAM Kota Cirebon menggunakan sumber daya air lebih banyak, hal ini sesuai dengan penelitian Suciati (2005), bahwa adanya kerjasama dalam pembayaran kompensasi kepada pemain lain dan diilustrasikan dengan suatu fungsi karakteristik yang menggambarkan manfaat koalisi dari gaming dimana distribusi koalisi pemain hanya terjadi jiika ada tambahan pendapatan bersih dari adanya bentuk kerjasama. Nilai pay off Pemerintah Kabupaten Kuningan didapatkan dari nilai pembayaran jasa lingkungan yang dibayarkan oleh PDAM Kota Cirebon apabila Kabupaten Kuningan mengijinkan Kota Cirebon untuk menggunakan air yang berasal dari mata air Paniis. Menurut Suciati (2008), nilai ini dapat pula berarti turunnya biaya pengelolaan sumberdaya atau naiknya pendapatan bersih. Apabila PDAM Kota Cirebon tidak melakukan kerjasama dalam pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan dan Kabupaten Kuningan melakukan kerjasama (non-cooperative – cooperative) maka PDAM Kota Cirebon tidak akan mendapatkan nilai pay off
atau bernilai 0, hal ini dimungkinkan karena
Kabupaten Kuningan tidak akan mengijinkan pengambilan air dari Mata Air Paniis yang merupakan sumber air minum bagi Kota Cirebon, sedangkan Pemerintah Kabupaten Kuningan mendapatkan nilai pay off Rp. 336.000.000.
80
Nilai ini merupakan nilai penjualan air PDAM Kabupaten Kuningan kepada pihak lain yaitu Kabupaten Cirebon. Sebaliknya apabila PDAM Kota Cirebon melakukan kerjasama sedangkan Kabupaten Kuningan tidak melakukan kerjasama (cooperative – non cooperative) maka PDAM Kota Cirebon akan mendapatkan nilai pay off sebesar Rp. 22.656.287.207, dan Kabupaten Kuningan akan mendapatkan nilai pay off 0. Nilai pay off yang didapat Kota Cirebon adalah nilai pendapatan PDAM Kota Cirebon pada saat sebelum pelaksanaan program pembayaran jasa lingkungan dengan asumsi konservasi daerah sumber mata air Paniis tidak dilakukan. Sedangkan Kabupaten Kuningan mendapatkan nilai pay off 0 atas skenario ini dikarenakan Kabupaten Kuningan tidak melakukan kerjasama dengan pihak manapun dan tidak melakukan konservasi daerah sumber mata air Paniis. Apabila kedua wilayah tidak saling bekerjasama (non-cooperative-non cooperative) maka nilai pay off akan bernilai Rp. -5.789.670.231 untuk PDAM Kota Cirebon dan bernilai Rp. -1.128.502.325. Nilai pay off yang didapatkan oleh PDAM Kota Cirebon merupakan nilai shadow price untuk nilai penyediaan air, sedangkan nilai pay off untuk Kabupaten Kuningan merupakan biaya konservasi rata-rata setahun perhitungan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabuapaten Kuningan. Kedua nilai pay off ini bernilai negatif karena merupakan kenaikan biaya produksi bagi PDAM Kota Cirebon dan kenaikan biaya pengelolaan sumberdaya bagi Kabupaten Kuningan atau turunnya nilai pendapatan bersih. Tabel 11. Game Theory Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan 2010 Kabupaten Kuningan
Cooperative Cirebon
PDAM Kota
Cooperative
Noncooperative
Non Cooperative
29.351.799.531
2.400.000.000
22.656.287.207
0
0
336.000.000
-5.789.670.231
- 1.128.502.325
81
6.4 Analisis Regresi Binary Logistik Willingness to Pay Pembayaran Jasa Lingkungan Mata Air Paniis Kesediaan masyarakat kota Cirebon untuk membayar jasa air dihitung dengan menggunakan Willingness to Pay (WTP) yang kemudian di analisis dengan menggunakan analisis logit. Masyarakat kota Cirebon yang dijadikan responden adalah sebanyak 70 orang, nilai yang ditawarkan (bid) kepada responden ada 3 nilai yaitu Rp. 50 /m 3 , Rp. 80/m 3 dan Rp. 100/m 3 . Responden di bagi kedalam 3 kelompok dimana 24 orang di tanyakan nilai bid Rp50/m 3 , 23 orang ditanyakan nilai bid Rp. 80/m 3 dan 23 orang ditanyakan nilai bid Rp100/m 3 Responden yang menjawab bersedia membayar sejumlah yang ditawarkan diberi nilai 1 (satu) dan responden yang tidak bersedia membayar sejumlah yang ditawarkan diberi nilai 0 (nol). Kesediaan membayar (WTP) dari masing-masing responden diduga dipengaruhi oleh nilai bid yang ditawarkan dan karakteristik sosial ekonominya yaitu pendapatan, usia, pendidikan dan tanggungan keluarga. Analisis logit digunakan dalam penelitian untuk mencari nilai WTP berdasarkan hasil survey dengan menggunakan software Eviews 7. Koefisien dari masing-masing variabel diestimasi dengan menggunakan Maximum Likelihood Estimation (MLE). Adapun nilai koefisien dari masing-masing variabel dan uji statistik dari analisis logit WTP air di Kota Cirebon dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil Analisis Logit WTP Pembayaran Jasa Lingkungan Variabel
Koefisien p-value Konstanta 12,830 0.052 Bid -0,379 0.023* 06 Pendapatan 4,72 x 10 0.059** Usia 0,052 0.579 Pendidikan 0,227 0.442 Tanggungan Keluarga 0,719 0.286 2 R MCF 0,68 LR statistic 49,77 Prob(LR statistic) 0,000 Keterangan : * signifikan pada α = 5%; * *signifikan pada α = 10%
82
Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa variabel yang paling berpengaruh secara signifikan pada selang kepercayaan 95 % atau α = 5 % adalah variabel Bid dengan nilai probability sebesar 0,023 (p-value < 0,05). Sedangkan variabel lain yang signifikan adalah variabel pendapatan, signifikan pada selang kepercayaan 90% atau α = 10 % dengan nilai probability (p-value) sebesar 0,059 (p-value < 0,1). Arti dari koefisien masing-masing variable dapat dilihat dari tanda koefisien masing-masing variabel. Koefisien variabel bid mempunyai tanda negatif, artinya bahwa semakin rendah nilai bid maka semakin tinggi keinginan responden untuk membayar jasa air (Gambar 8), hal ini sejalan dengan hukum permintaan bahwa semakin rendah harga suatu barang, maka semakin banyak permintaan barang tersebut vice versa (Sukirno 2003). Namun koefisien pendapatan bernilai positif artinya bahwa semakin tinggi pendapatan dari responden maka semakin tinggi pula keinginan mereka untuk membayar jasa air. Sesuai dengan teori perilaku konsumen (Friedman
1957), bahwa jumlah
pengeluaran (konsumsi) seseorang tergantung dengan jumlah pendapatannya. Teori perilaku konsumen juga mengemukakan bagaimana seseorang mengalokasikan Pendapatan yang diperolehnya dapat membeli berbagai barang dan jasa (dalam hal ini jasa lingkungan) sehingga tercapai kepuasan tertentu sesuai dengan yang diharapkannya yaitu keberlanjutan penyediaan air, selain itu konsumen juga memilih opsi yang memberikan utilitas yang tinggi (Pindyck dan Rubenfeld 2007). Hal ini diperkuat dengan modus pendapatan responden adalah sebesar Rp. 3.450.000, menurut bank dunia berarti termasuk ke dalam golongan berpendapatan menengah ke atas, hal ini berarti dalam konsumsi mereka berubah dari untuk memenuhi kebutuhan pangan semata ke jasa (Deaton 1998).
83
Bid (rp/m 3)
100
80
50
0
5
10
15
20
25
30
orang
Gambar 8. Kurva Bid WTP Kota Cirebon
Selanjutnya untuk menguji hipotesis nul apakah semua variabel bebas secara bersama-sama mempengaruhi keputusan membayar atau tidak, digunakan uji statistic Likelihood Ratio (LR statistic). Nilai LR statistic hasil analisis adalah 49,77 dengan probability dari LR statistic adalah 0.000 (kurang dari α = 1%), oleh karena itu H0 ditolak, artinya bahwa semua peubah bebas (nilai bid, pendapatan, usia, pendidikan dan tanggungan keluarga) secara bersama-sama mempengaruhi keputusan responden untuk membayar. Uji statistik selanjutnya adalah Nilai koefisien determinasi McFadden atau McFadden pseuso R2 (R2MCF), Nilai koefsien McFadden tidak dapat dibandingkan secara langsung dengan nilai R2 (R square) yang didapatkan dari OLS (ordinary least square), namun secara luas nilai R2MCF digunakan untuk mengevaluasi kebaikan dari model untuk regresi logistik . Nilai R2MCF adalah sebesar 0,68 artinya bahwa sebesar 68% model ini diterangkan oleh peubah bebas yang ada di dalam model dan sisanya oleh peubah lain. Nilai R2MCF dari model ini relatif tinggi dan baik dibandingkan penelitianpenelitian lain yang menggunakan analisis regresi logit, nilai R2MCF penelitian yang menggunakan model ini biasanya berkisar antara 0,2 – 0,4 (Zbinden dan Lee 2005) Nilai mean WTP jasa air di Kota Cirebon diperoleh metodologi yang dikembangkan oleh Cameroon (1988) diacu dalam Ramlan et al (2011) dengan rumus : M e a n W T P0
(
2
x 2 . . .k x. k ) i
84
Setelah memasukan nilai konstanta, koefisien dari variable bid dan pendapatan (signifikan) dan memasukan rata-rata pendapatan maka diperoleh mean WTP masyarakat Kota Cirebon adalah sebesar Rp. 72/ m3 . Artinya bahwa masyarakat kota cirebon bersedia membayar sejumlah Rp. 72/ m3 untuk jasa air diluar dari pembayaran PDAM setiap bulannya untuk jasa air. Responden menyadari pentingnya akan keberlanjutan ketersediaan air dengan membayar jasa lingkungan untuk air. Hal ini terjadi juga di Ibadan, Nigeria, masyarakat bersedia membayar air sebesar N 1.108 lebih besar air dari tarif perbulan air yaitu N 1.000 (Omonona and Fajimi 2011), hal ini semakin memperkuat bahwa ketersediaan dan keberlanjutan sumber daya air bagi manusia adalah penting dan air memegang peranan penting kehidupan dasar manusia.
6.5 Hasil Analisis Regresi Multinomial Logit Analisis regresi multinomial logistik dilakukan untuk mengetahui pilihan responden dalam sistem pembayaran jasa lingkungan (PJL) di Kota Cirebon. Responden diberi 3 pilihan dalam sistem pembayaran jasa lingkungan untuk air, yaitu melalui sistem (1) rekening; (2) pajak dan (3) dana kemitraan. Sistem rekening adalah sistem pembayaran jasa lingkungan dengan memasukkan dana PJL kedalam tagihan rekening, dimana nilainya telah ditentukan dan dihitung tiap , sistem pajak adalah sistem pembayaran dimana PJL dipisahkan dari tagihan rekening, dan menjadi nilai pembayaran tersendiri, sedangkan dana kemitraan adalah nilai PJL yang sifatnya CSR (Corporate Social Responsibility) yang merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan sesuai dengan isi pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT) yang terbaru, yakni UU Nomer 40 Tahun 2007, nilai pembayaran ini dapat berupa sharing program dengan pihak yang terkait dengan pengelolaan kawasan Mata Air Paniis. Hasil survey
menunjukkan bahwa sistem rekening merupakan sistem
yang paling dibanyak dipilih ada 34 responden (49 %) yang memilih sistem rekening dibandingkan kedua sistem lainnya, kemudian sistem dana kemitraan merupakan pilihan kedua yang banyak terpilih yaitu 28 responden yang memilih sistem dana kemitraan (40 %) sedangkan hanya 11 % responden yang memilih
85
untuk membayarnya melalui sistem pajak. Distribusi pilihan sistem pembayaran responden dapat dilihat pada Gambar 9.
40% 49%
11%
Rekening
Pajak
Dana mitra
Gambar 9. Distribusi Sistem Pembayaran Jasa Air yang Dipilih Responden
Pilihan dari setiap responden tersebut dianalisis dengan menggunakan model regresi multinomial logistik, analisis estimasi parameter dan uji statistik dari model ini dapat dilihat pada Tabel 13. Hasil analisis regresi multinomial logistik pada Tabel 13 menunjukan perbandingan antara sistem rekening terhadap dana kemitraan dan sistem pajak terhadap dana kemitraan. Hasil analisis perbandingan sistem rekening terhadap dana kemitraan menujukkan variabel yang berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95 % atau taraf nyata α = 5% adalah pendidikan dengan nilai probability sebesar 0,012, tanda koefisien yang positif dan nilai odd ratio sebesar 1,440, hal ini berarti bahwa semakin tinggi pendidikan dari responden maka kecenderungan memilih sistem pembayaran melalui rekening 1,44 kali lebih tinggi dari pada menggunakan dana kemitraan.
86
Tabel 13.Hasil Analisis Regresi Multinomal Logit Sistem Pembayarana Rekening
Variabel Konstanta Usia Pendidikan Tanggungan Pendapatan
Koefisien -6,776 0,013 0,365 -0,014 3,8 x 10-7
P-Value
Odd Ratio
0,012 0,785 0,012* 0,963 0,275
1,013 1,440 0,986 1,000
Pajak
Konstanta Usia Pendidikan Tanggungan Pendapatan
-3,521 0,028 -0,081 -0,332 9,6 x 10-7
0,277 0,613 0,660 0,518 0,050*
1,029 0,922 0,718 1,000
R2MCF
0,138 LR statistic 18,583 Prob 0,017* (LR statistic) Keterangan : *signifikan pada α = 5%; * *signifikan pada α = 10% a Sistem pembayaran sebagai kategori referensi adalah dana kemitraan Sedangkan
perbandingan
antara
pajak
terhadap
dana
kemitraan
menunjukkan bahwa hanya variabel pendapatan yang mempengaruhi pilihan responden terhadap pajak dbandingkan dana kemitraan, variabel pendapatan berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95% (α = 5%), tanda koefisien yang positif dan nilai odd ratio sebesar satu artinya bahwa semakin tinggi pendapatan dari responden maka kecenderungan responden memilih sistem pajak dan dana kemitraan sama besar. Pengujian statistik selanjutnya adalah uji hipotesis nul apakah semua variabel bebas (usia, pendidikan, tanggungan keluarga dan pendapatan) mempengaruhi secara bersama-sama terhadap keputusan responden dalam memilih sistem pembayaran, untuk itu digunakan uji Likelihood Ratio (LR statistic). Nilai LR Statistic model ini adalah 18,583 dengan nilai p-value sebesar 0,017 sehingga nilai LR Statistic ini signifikan pada α < 5%, sehingga H0 ditolak. Dengan H0 ditolak berarti semua variabel bebas secara bersama-sama mempengaruhi keputusan responden dalam memilih sistem pembayaran.
87
2 Uji statistik selanjutnya adalah Pseudo R-Square dengan nilai RMCF sebesar
0,138 artinya bahwa model ini hanya bisa menerangkan sebesar 13,8 % oleh variabel-variabel penjelasnya, namun seperti yang sudah disebutkan bahwa Nilai koefisien McFadden tidak dapat dibandingkan secara langsung dengan nilai R2 (R square) yang didapatkan dari OLS (ordinary least square). Starkweather dan 2 Moske (2011) menjelaskan bahwa RMCF tidak menggambarkan jumlah varian
dalam keluaran variabel yang dihitung menggunakan variabel prediktor.Nilai 2 2 yang tinggi mengindikasikan kebaikan model yang lebih baik, namun RMCF ini RMCF
harus diintrepretasikan dengan hati-hati.Sebenarnya untuk menilai kebaikan model cukup dilihat dari LR Statistic seperti yang dianjurkan oleh McFadden (1973). Namun memang dalam beberapa penelitian yang menggunakan analisis 2 yang relatif kecil, seperti Multinomial Logit (MNL) model mempunyai nilai RMCF 2 pada penelitian Creel dan Lumis (1997) nilai Pseudo R2 (sama dengan RMCF )
sebesar 0,107.
88
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1. Adanya program pembayaran jasa lingkungan sejak tahun 2004 oleh Kota Cirebon belum meningkatkan kapasitas produksi dari PDAM. Apabila pembayaran jasa lingkungan terus dilakukan dimasa yang akan datang diperkirakan produksi air dari mata air Paniis akan terus meningkat dan akan mengakibatkan peningkatan nilai BCR PDAM Kota Cirebon. 2. Berdasarkan analisis game theory, skenario bekerjasama (cooperative) merupakan strategi permainan yang paling menguntungkan pihak PDAM Kota Cirebon dan Pemerintah Kabupaten Kuningan. 3. Mean WTP masyarakat Kota Cirebon adalah sebesar Rp. 72/ m3 . Artinya bahwa masyarakat kota cirebon bersedia membayar sejumlah Rp. 72/ m3 untuk jasa air diluar dari pembayaran PDAM setiap bulannya untuk jasa air. Responden menyadari pentingnya akan keberlanjutan ketersediaan air dengan membayar jasa lingkungan untuk air. 4. Sistem rekening merupakan sistem yang paling dibanyak dipilih ada 34 responden (49 %) yang memilih sistem rekening dibandingkan kedua sistem lainnya, kemudian sistem dana kemitraan merupakan pilihan kedua yang banyak terpilih yaitu 28 responden yang memilih sistem dana kemitraan (40 %) sedangkan hanya 11 % responden yang memilih untuk membayarnya melalui sistem pajak.
7.2 Saran Untuk meningkatkan efektivitas pembayaran jasa lingkungan Mata Air Paniis, di kawasan Gunung Ciremai, saran yang dapat disampaikan adalah: 1. Perlu dilakukan pengkajian bentuk kelembagaan yang lebih tepat dalam pengelolaan konservasi daerah sumber mata air Paniis, sehingga dalam pelaksaanaan pembayaran jasa lingkungan, alokasi dana untuk konservasi daerah sumber mata air dapat sesuai sasaran, terutama karena saat ini Mata
89
Air Paniis tidak berada dalam wilayah kelola Kabupaten Kuningan tetapi masuk ke dalam wilayah Taman Nasional Gunung Ciremai, sehingga kerjasama dapat dilakukan langsung dengan TNGC. 2. Mekanisme pembayaran jasa lingkungan dapat dilakukan melalui tagihan rekening PDAM sebesar Rp.72/m3.. 3. Perlu
dibuat
aturan
perundang-undangan
pengelolaan air minum lintas wilayah.
yang
mengatur
sistem
90
DAFTAR PUSTAKA
Acreman, M. 2004.Water and Ecology. United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organizations (UNESCO). Paris Arianti, Nyanyu N.1999. Analisis Pilihan Sumber Air Bersih dan Kesediaan Membayar Bagi Perbaikan Kualitas dan Kuantitas Air PDAM di Kodya Bengkulu. Thesis. Program Pascasarjana. IPB.Bogor.Tidak Dipublikasikan. Asian Development Bank (ADB). 2001. Handbook for Economic Analysis of Water Supply Projects. Http : //www.adb.org//. Bandaragoda, D.J. 2000. A Framework for Institutional Analysis for Water Resources Management in River Basin Context. International Water Management Institute. Colombo. Bawa, KS, Seidler R dan Raven PH. 2004. Reconciling Conservation Paradigms. Conservation Biology 18 (4): 859-860 Cameron, T. A. 1988. A New Paradigm for Valuation Non-Market Goods Using Referendum Data : Maximum Likelihood Estimation by Cencored Logistic Regression. Journal of Environmental Economic and Management. Vol 13, pp 355-379. Carson, R.T. 1991. Constructed markets. In J. Braden and C. Kolstad (eds.), Measuring the Demand for Environmental Commodities, Amsterdam: North-Holland. Cruz, R.V.O. ,L.A. Bugayong, P.C. Dolom, and N.O.Esperitu. 2000. MarketBased Instruments for Water Resource Conservation in Mt Makiling, Philippines : A Case Study. Paper for the 8th Biennal Conference of The International Association for the Study of Common Property, 31 May – 4 June 2000 at Bloomington, Indiana. Creel, M. dan Loomis, J. 1997. Semi-Nonparametric Distribution-Free Dichotomous Choic Contingent Valuation. UFAE and IAE Working Papers 273.94. Journal of Environment Economics and Management, Elsevier, vol. 32(3). Pages 341-358, March. Darusman, D. 2002.Pembenahan Kehutanan Indonesia.Lab Politik dan Sosial Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB dan Yayasan Dani Hanafiah. Bogor. Departemen Pekerjaan Umum. 1990. Pola Induk Sistem Penyediaan Air Bersih Kabupaten Kuningan. Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.
91
Dixon, A.J. & P.B.Sherman. 1990. Economics of Protected Areas – A New Look at Benefits and Costs. Earthscan Publications Ltd, London Djunaedi, H. 2007. Kajian Efektivitas Pengolahan Limbah Cair Rumah Sakit (Studi Kasus Rumah Sakit di Wilayah DKI Jakarta). Disertasi. SekolahPasca Sarjana IPB, Bogor. Fauzi A. 2001. Prinsip-prinsip Penelitian Sosial Ekonomi: Panduan Singkat Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan IPB. Bogor Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. PT. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta. _____________. 2007. Istrumen Ekonomi untuk Pengelolaan Lingkungan. Laporan disampaikan kepada DANIDA Denmark dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) RI. _____________.2009. Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi Laut Berau. WWF-TNC Ferraro, PJ dan Kiss A. 2002.Direct Payments to Conseve Biodiversity. Science 298 (5599): 1718-1719 Flint, R.W. 2003. The Sustainable Development of Water Resources. Http: //www.sustainabledevelopmentsolutions.com.[10 Jul 2003]. Friedman, M. 1957. A Theory of The Consumption Function. Princeton University Press. Garrod, G dan Kenneth G. Willis. 1999. Economics Valuation of The Environmental. Edward Elgar Publishing, Inc. Massachussetts. Johnson, N., A.White, and D.P. Maitre. 2001. Developing Markets for Water Services from Forests : Issues and Lessons for Innovators. Forest Trends. Washington, DC. Jordan , J and Elnagheeb, A. 1993. Willingness to Pay Improvements in Drinking Water Quality. Water Resources Reasearch 29(2):237-245. Kartodihardjo, H, K. Murtilaksono, H.S. Pasaribu, U.Sudadi, dan N. Nuryartono. 2000. Kajian Institusi Pengelolaan DAS dan Konservasi Tanah. K3SB Bogor. Kay, J. 2003. Analisis Tata Guna Lahan dan Ekonomi Kelembagaan Mengarah Kepada Pengelolaan Hutan Berkelanjutan. Thesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.
92
Kliot, N. and D.Shmueli. 2001. Development of institutional frameworks for the management of transboundary water resources. Int.J.Global Environmental Issues, Vol.1, Nos.3/4, 2001. Landell-Mills, Natasha dan Porras, Ina. 2009. Peluru Perak atau Emas Loyang?. Srikandi Kathryn, penerjemah. Terjemahan dari : Silver Bullet or Fool Gold?. The International Institute for Environment and Development : London. Laporan Akhir Corporate Plan PDAM Kota Cirebon 2011. Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Jati Kota Cirebon.2011.Tidak dipublikasikan. Leimona B, Suyanto S Permana RP, dan Chandler F. 2004. Review of Development of Environmental Services and Their Impact on The Poor. The International Institute for Environment and Development (IIED). London. McFadden, D. 1973. Conditional Logit Analysid Qualitative Choice Behaviour. In P.Zarembka. Frontiers in Econometrics. Academic Press. Mitchell, R. C., dan Carson, R. T. 1989. Resources for The Future. Washington, D.C. P 4-5. Nachrowi D. N., dan H. Usman. 2002. Penggunaan Teknik Ekonometri. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2002, 297-318 Prabantoro, G. 2010. Mengukur Kelayakan Ekonomis Proyek Sistem Informasi Manajemen Menggunakan Metode ‘Cost & Benefits Analysis’ Dan Aplikasinya Dengan MS EXCEL 2000.www.geocities.ws/gatot_prabantoro/cost_n_benefit_analysis.pdf . Putri, Intan A. 2009. Valuasi Ekonomi Daerah Kepualauan Seribu. Thesis. Institut Pertanian Bogor. Pyndik R., Rubinfeld DL. 1998. Econometric Model and Economic Forecast. Third Edition. New York : McGraw-Hill Book Company, Inc. 634 p. Ramdan, H. 2006. Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah. Disertasi Program Doktoral Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Ramanathan. 1997. Introductory Economics with Applications. Philadelphia :The Dryden Press. Ramlan. M. A., A. Radam, M. R. Yacob, dan N.A. Yahya. 2011. Willingness to Pay Towards the Suistainability of Forest Research Institute Malaysia’s
93
i(FRIM) canopy walkaway. International Journal of Bussiness Management and Social Sciences Vol 2 No. 3. Pp 85-98 Rasmusen, E. 1990.Games and Information An Introduction to Game Theory.University Press, Cambridge. Reksohadiprodjo, S dan A.B. P. Brodjonegoro. 1997. Ekonomi Lingkungan : Suatu Pengantar. BPFE-Yogyakarta Richard, T, Carson, Nicholas E, F, Norman F, M. 2001. Contingent Valuation : Controversies and Evident. Environmental and Resourse Economic. 19 : 173-210. Kluwer Academic Publishers. Netherland. Salafsky N,Margoluis R, Redford KH. 2001. Adaptive management: A tool for conservation practitioners.Washington (DC):World Wildlife Fund. Sarwan, S., T.W. Subijanto, and C. Rogers. 2003. Development of Water Rights in Indonesia. Paper International Working Conference on Water Rights : Instirutional Options for Improving Water Allocation. Hanoi, Vietnam, February 12-15, 2003. Soekanto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta: Starkweather, J dan A.K Moske .2011. Multinomial Logistic Regression. Academic Press. New York Sumarman. 2006. Kajian Kompensasi Air Baku untuk Air Bersih dari Pemerintah Kota Cirebon ke Pemerintahan Kabupaten Kuningan. Thesis Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang. Tidak dipublikasikan. Syakya, 2005.Analisis Willingness To Pay (WTP) dan Strategi Pengembangan Objek Wisata Pantai Lampuk Di Nanggroe Aceh Darussalam. Thesis Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Weinstein, Milton C., 1996. “From Cost-Effectiveness Ratios to Resource Allocation: Where to Draw the Line?” in Valuing Health Care (ed., Frank A. Sloan), Cambridge University Press, New York, New York, 1996, 77-98. Widarjono A. 2005. Ekonometrika Teori dan Aplikasi, untuk ekonomi dan bisnis, Ekonisia, Yogyakarta Wunder S, 2005.The Efficiency of Payments for Environmental Services in Tropical Conservation.Conservation Biology, 21 (1), 48-88. Wunder S, 2007. Payment for Environmental Services: Some Nuts and Bolts.
94
Research. Center for International Forestery Research. Zbinden S. dan Lee D. R. Paying for Environmental Services : An Analysis of Participation in Costa Rica’s PSA Program. 2005. World Development. 33(2):255-272.
95
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian
Kota Cirebon
96
Kabupaten Kuningan
Lokasi Mata Air Paniis
97
Lampiran II. Kuisioner Penelitian
KUISIONER PENELITIAN Nomor Responden Nama Alamat : Tanggal Wawancara :
: :
Kuisioner ini digunakan sebagai bahan thesis mengenai “EVALUASI EFEKTIFITAS PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN KAWASAN SUMBER MATA AIR PANIIS GUNUNG CIREMAI ”.Oleh karena itu, kami mohon partisipasi Bapak/Ibu untuk mengisi kuisioner ini dengan teliti dan lengkap sehingga dapat memberikan data yang sesuai. Informasi yang saudara berikan akan dijamin kerahasiaannya, tidak untuk dipublikasikan dan tidak digunakan untuk kepentingan politis. Atas perhatian dan partsipasinya, kami ucapkan terima kasih. A.Karakteristik Responden b. Perempuan 1. Jenis Kelamin : a. Laki-laki 2. Usia :……………………...tahun 3. Status : a. Menikah b. Belum Menikah 4. Pendidikan formal terakhir : a. Tidak Sekolah b. SD / sederajat Kelas : 1 2 3 4 5 6 c. SMP / sederajat Kelas : 1 2 3 d. SMA / sederajat Kelas : 1 2 3 e. Perguruan tinggi 5. Apa pekerjaan Bapak/Ibu sehari-hari : 1) Petani 2) Pegawai Negri Sipil 3) Karyawan Swasta 4) Pedagang / Wiraswasta 5) Lainnya……………….. 6. Jumlah tanggungan :………………..orang 7. Berapa rata-rata pendapatan Bapak/Ibu per bulan : a. < 500.000 Tepatnya : Rp. ……….. b. 500.001 – 1.000.000 Tepatnya : Rp. ……….. c. 1.000.001 - 1.500.000 Tepatnya : Rp. ……….. d. 1.500.001 – 2.000.000 Tepatnya : Rp. ……….. e. > 2.000.000 Tepatnya : Rp. ……….. 8. Berapa jumlah tenaga kerja di rumah : a. 1 b. > 1
Tepatnya : ………..orang
98
9.
Tambahan sumber pendapatan lainnya yang Bapak/Ibu miliki : Sumber Pendapatan
10. Asal daerah
: ……………….
Rp………………
:
a. Kota Cirebon b. Kab. Cirebon c. Kab.Kuningan d. Kab. Majalengka e. Lainnya :…………………….
B. Persepsi Responden Mengenai Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Sehubungan dengan peran penting kawasan sumber mata air Paniis, sebagai sumber air minum masyarakat Kota Cirebon, dibuatlah mekanisme pembayaran jasa lingkungan dari Kota Cirebon sebagai pengguna jasa lingkungan kepada Kabupaten Kuningan sebagai pemilik jasa lingkungan. Sebagai penyedia jasa lingkungan, masyarakat sekitar sumber mata air diharuskan mengkonservasi atau menjaga setiap pohon yang ada di atas lahan miliknya. Sebagai pengguna jasa lingkungan, masyarakat Kota Cirebon diharuskan untuk melakukan pembayaran atas jasa lingkungan tersebut. Nilai pembayaran ini ditetapkan dengan cara negosiasi dimana prosesnya hanya diwakili oleh tokoh setempat, bukan atas keinginan sebenarnya dari masyarakat untuk membayar dana kompensasi.
1. Menurut saudara, bagaimana sebaiknya penarikan dana pembayaran lingkungan dilakukan ? a. melalui Rekening Tagihan Bulanan PDAM b. melalui Pajak Lingkungan diluar tagihan rekening c. melalui Dana Mitra PDAM Kota Cirebon 2. Apa peran penting kawasan sumber mata air Paniis yang saudara ketahui? a.
Menjamin ketersediaan air dari hulu hingga hilir
b.
Penopang aktivitas ekonomi Kota Cirebon sebagai pengguna manfaat
c.
Lainnya
3. Mengacu pada peran penting tersebut, menurut anda apakah upaya konservasi perlu dilakukan? a.
Ya (langsung ke no.5)
b.
Tidak
99
4. Jika tidak apa alasan anda menganggap upaya konservasi tidak penting untuk dilakukan? a.
karena tidak penting
b.
karena merupakan kewajiban Pemerintah
c.
karena tuntutan ekonomi yang mengakibatkan semua tindakan yang dilakukan pada akhirnya tidak mengindahkan konservasi (orientasi ekonomi)
d.
karena tidak paham konservasi
e.
lainnya…….
5. Apakah bapak/ibu tahu daerah mana yang membayarkan dana kompensasi PES? a. Ya, siapa……………
b. Tidak, langsung ke nomor 6
6. Menurut anda mengapa daerah tersebut membayarkan dana kompensasi PES? a. karena peduli pada kelestarian hutan kawasan sumber mata air Paniis b. untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat c. karena sadar kehidupannya bergantung pada kelestarian sumber mata air Paniis d. menghargai usaha konservasi yang dilakukan masyarakat e. lainnya……………. 7. Apakah anda tahu bagaimana cara penetapan dana kompensasi PES yang diberikan pada anda? a. Ya, cara…..
b. Tidak
8. Bagaimana penilaian anda mengenai cara penetapan dana kompensasi dengan sistem negosiasi yang dalam prosesnya hanya diwwkili oleh tokoh setempat? a. baik
b. buruk
c. tidak tahu
9. Apakah Bapak/ibu ingin program pembayaran jasa lingkungan ini dilanjutkan? a. Ya , lanjut dengan nilai kompensasi yang sama b.Ya, lanjut dengan nilai kompensasi yang didasarkan pada keinginan masyarakat (WTP) c. Tidak dilanjutkan
100
D. Informasi Tentang Kesediaan Membayar Kompensasi (WTP) Card 2
Dalam rangka pengelolaan kawasan sumber mata air Paniis yang lebih baik, diajukan suatu kebijakan baru untuk melakukan evaluasi atas pembayaran jasa lingkungan yang dilakukan oleh Kota Cirebon kepada Kabupaten Kuningan senilai Rp. 80/m 3 . Nilai pembayaran jasa lingkungan ditetapkan berdasarkan cara negosiasi dimana prosesnya hanya diwakili oleh tokoh setempat, bukan atas keinginan sebenarnya dari masyarakat untukmembayar dana kompensasi .Kebijakan ini pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui efektivitas pembayaran jasa lingkungan yang telah berjalan untuk perbaikan di masa yang akan datang.
1. Apakah Bapak/Ibu Setuju dengan kebijakan baru tersebut? a. Setuju b. Tidak setuju 2. Apakah Bapak/Ibu bersedia menerima peningkatan dana kompensasi yang akan diajukan? a. Setuju (langsung ke nomor4) b. Tidak setuju 3. Jika setuju, berapakah dana kompensasi yang bersedia saudara bayar akibat diharuskannya upaya konservasi? a. Rp. 50,-/m 3 b. Rp. 80,-/m 3 c. Rp. 100,-/m 3
101
Lampiran IV. Output SPSS Regresi Multinomial Logistik Nominal Regression Case Processing Summary Marginal N Percentage Prog rekening 34 48,6% pajak 8 11,4% mitra 28 40,0% Valid 70 100,0% Missing 0 Total 70 Subpopulation 69a a. The dependent variable has only one value observed in 69 (100,0%) subpopulations.
Model
Intercept Only Final
Model Fitting Information Model Fitting Criteria Likelihood Ratio Tests -2 Log Likeliho Chiod Square df Sig. 135,122 116,539
Pseudo R-Square Cox and ,233 Snell Nagelkerke ,273 McFadden
,138
18,583
8
,017
102
Effect
Intercept Usia Pendidikan Tangkel Pendapatan
Likelihood Ratio Tests Model Fitting Criteria Likelihood Ratio Tests -2 Log Likeliho od of Reduced ChiModel Square df Sig. 124,216 7,676 2 ,022 116,809 ,269 2 ,874 126,022 9,483 2 ,009 116,983 ,443 2 ,801 121,080 4,541 2 ,103
Parameter Estimates a
Prog
Std. Error -6,776
Wald 2,690
Usia Pendidik an
,013 ,365
,047 ,145
,075 6,336
1 ,785 1,013 1 ,012 1,440
,924 1,084
1,111 1,912
Tangkel Pendapat an
-,014 ,000
,307 ,000
,002 1,193
1 ,963 ,986 1 ,275 1,000
,540 1,000
1,801 1,000
Intercept Usia Pendidik an Tangkel
-3,521 ,028 -,081
3,239 ,056 ,184
1,181 ,255 ,194
1 ,277 1 ,613 1,029 1 ,660 ,922
,922 ,643
1,148 1,323
-,332 ,000
,513 ,000
,418 3,857
1 ,518 ,718 1 ,050 1,000
,263 1,000
1,961 1,000
B rekening Intercept
pajak
95% Confidence Interval for Exp(B) Lowe r Exp( Boun df Sig. B) d Upper Bound 6,347 1 ,012
Pendapat an a. The reference category is: mitra.
103
Lampiran V. Output Eviews : binary logit WTP Air di Kota Cirebon
Dependent Variable: Y Method: ML - Binary Logit (Quadratic hill climbing) Date: 06/17/12 Time: 22:23 Sample: 1 70 Included observations: 70 Convergence achieved after 12 iterations QML (Huber/White) standard errors & covariance Variable
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
C BID PENDAPATAN USIA PENDIDIKAN TANGKEL
12.82976 -0.379473 4.72E-06 0.051814 0.227439 0.719243
6.593874 0.167262 2.50E-06 0.093409 0.295867 0.673393
1.945710 -2.268739 1.891782 0.554694 0.768718 1.068088
0.0517 0.0233 0.0585 0.5791 0.4421 0.2855
McFadden R-squared S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Restr. deviance LR statistic Prob(LR statistic) Obs with Dep=0 Obs with Dep=1
0.684276 0.413289 0.499517 0.692245 0.576071 72.74118 49.77501 0.000000 15 55
Mean dependent var S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Deviance Restr. log likelihood Avg. log likelihood
Total obs
0.785714 0.235131 3.538356 -11.48308 22.96617 -36.37059 -0.164044
70
104
Lampiran VI. Dokumentasi Penelitian
Sumur I PDAM Kota Cirebon
Kawasan Hutan Paniis
Sumber Mata Air I
Sumur Pengumpul Horisontal Paniis
Kawasan Objek Wisata Paniis Singkup
Sumber Mata Air II