ETIKA POLA KOMUNIKASI DALAM AL-QUR’AN Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I.)
Oleh Irpan Kurniawan NIM: 105051001857
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011
ETIKA POLA KOMUNIKASI DALAM AL-QUR’AN
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I.)
Oleh Irpan Kurniawan NIM: 105051001857
Pembimbing
Nurul Hidayat, M.Pd NIP. 19690322 1996032001
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011
ABSTRAK
Irpan Kurniawan Etika Pola Komunikasi Dalam Al-Quran Manusia merupakan makhluk beragama dan juga makhluk sosial, yaitu makhluk yang selalu hidup bermasyarakat dan selalu membutuhkan peran serta pihak lain. Artinya, hidup bermasyarakat merupakan sesuatu yang tumbuh sesuai dengan fitrah dan kebutuhan kemanusiaan. Dalam al-Qur’an banyak memberikan arahan atau nilai-nilai positif yang harus dikembangkan, juga nilai-nilai negatif yang semestinya untuk dihindarkan. Karena dalam al-Qur’an/49: 13 menunjukan bahwa saling mengenal yang dimaksudkan itu tidak membedakan suku, ras, bahasa, kebudayaan, bahkan ideologi. Namum pada kenyataanya manusia sebagai pembuat penilai etika (homo ethicus) sering terdapat perbedaan budaya dan etika yang dianutnya masing-masing. Sehingga dalam hal ini perlu adanya etika dalam proses komunikasi agar bertujuan komunikasi yang akan terjalin menjadi baik (komunikatif), dengan demikian hubungan akan terjalin secara harmonis apabila antara komunikator dan komunikan saling menumbuhkan rasa senang. Rasa senag akan muncul apabila keduanya saling menghargai,dan penghargaan sesama akan lahir apabila keduanya saling memahami tentang karakteristik seseorang dan etika yang diyakini masing-masing. Untuk memperoleh data yang representatif dalam pembahasan skripsi ini, digunakan metode penelitian kepustakaan (library reseach) dengan cara mencari, mengumpulkan, membaca, dan menganalisa buku-buku, yang ada relevansinya dengan masalah penelitian. Kemudian diolah sesuai dengan kemampuan penulis. Adapun pendekatan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah analisis isi. Adapun metode pembahasan tafsir dalam skripsi ini adalah metode tahlili yaitu suatu metode tafsir yang digunakan oleh para mufassir dalam menjelaskan kandungan ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana yang tercantum dalam mushaf. Dimulai dengan menyebutkan ayat yang akan ditafsirkan. Maka disini penulis menggunakan beberapa tafsir al_Qur’an sebagai landasan dasar untuk menerjemahkan ayat tersebut, maka penulis menggunakan seperti Tafsir al-Misbah, Tafsir al-Maraghi, Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Azhar. Setelah penulis memperoleh rujukan yang relevan kemudian data tersebut disusun, dianalisa, sehingga memperoleh kesimpulan. Berbicara mengenai komuninkasi insani berarti berbicara mengenai nilai atau etika yang dianut seseorang atau komunitas tertentu karena setiap pribadi atau komunitas memiliki nilai yang diyakininya. Pentingnya etika dalam komunikasi bertujuan agar komunikasi kita berhasil dengan baik (komunikatif), karena hubungan antara budaya dan komunikasi bersifat timbal balik. Keduanya saling mempengaruhi. Apa yang kita bicarakan, bagaimana kita membicarakannya, apa yang kita lihat, perhatikan atau kita abaikan, bagaimana kita berpikir dan apa yang kita pikirkan, dipengaruhi oleh budaya. Jadi, perbedaan budaya sangat berpengaruh terhadap proses komunikasi. i
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat, 20 januari 2010
Irpan Kurniawan
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, sehingga atas segala limpahan karunia dan nikmatnya akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan meskipun masih belum sempurna. Shawalat beriring salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kedamaian dan rahmat untuk semesta alam. Atas jerih payah beliau kita berada di bawah bendera Islam. Penulis menyadari bahwa skripsi ini, terselesaikan atas dukungan dari dosen, orang tua, rekan dan lainnya. Banyaknya pihak yang turut mendukung penyelesaiannya, membuat penulis tidak mungkin menyebutkannya satu-persatu, namun di bawah ini akan kami sebutkan mereka yang memiliki andil besar atas terselesaikannya skripsi ini: 1. Dekan Fakultas Komukunikasi Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ketua dan Sekretaris jurusan Komunikasi Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Nurul Hidayati S.Ag M.Pd, dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan koreksi dan bimbingan dengan baik serta senantiasa memberikan motivasi agar skripsi ini dapat segera diselesaikan. 4. Dosen penasihat akademik yang memberikan motivasi kepada penulis agar penelitian dilakukan dengan sungguh-sungguh sehingga memberikan hasil yang memuaskan
iii
5. Kedua Orang Tua M Taufik Hidayat dan Yonih yang telah merawat dan mendidik dengan penuh kasih sayang secara tulus, mendoakan dan mencukupi moril dan materil kepada penulis sejak kecil sampai sekarang dan seterusnya (kasih sayang mereka tidak pernah terputus sepanjang hayat), kakak Iif Setiawan, serta adikku Indra dan Tiara yang selalu mendorong penulis agar skripsi ini dapat segera diselesaikan. 6. Abah dan Nenek yang senantiasa memberikan bantuan baik moril maupun materil serta memberikan motivasi kepada penulis agar skripsi segera diselesaikan. 7. Staff Perpustakaan, yang memberikan kemudahan pelayanan dalam mencari literatur yang diperlukan 8. Rekan-rekan seperjuangan tercinta yang tidak dapat disebutkan satu persatu dan tidak bosan-bosannya memberikan motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan 9. Pihak-pihak lain yang berjasa baik secara langsung maupun tidak, membantu kelancaran dalam penulisan skripsi ini.
Hanya rasa syukur yang dapat
dipanjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan anugerah-Nya dalam penyusunan skripsi ini, sekali lagi penulis berterima kasih kepada pihak yang telah bekerja keras membantu penulis, semoga usaha tersebut dicatat sebagai bentuk amal kebaikan, dan mendapatkan balasan yang setimpal dari-Nya, Amiin. Jakarta, Juli 2008 Penulis
iv
DAFTAR ISI ABSTRAK ...............................................................................................
i
SURAT PERNYATAAN........................................................................
ii
KATA PENGANTAR .............................................................................
iii
DAFTAR ISI ............................................................................................
v
BAB I
PENDAHULUAN ..................................................................
1
A.
Latar Belakang Masalah ....................................................
1
B.
Batasan dan Rumusan Masalah .........................................
5
C.
Tujuan Penelitian ..............................................................
7
D.
Metodologi Penelitian .......................................................
8
KAJIAN TEORI ....................................................................
10
A. Dimensi Komunikasi.........................................................
10
BAB II
B. Ruang Lingkup Etika Pola Komunikasi Dalam
BAB III
Al-Qur’an ....................... ..................................................
14
C. Tujuan Etika Pola Komunikasi Dalam Al-Qur’an .......... .
24
D. Etika Pola Komunikasi Dalam Al-Qur’an .......................
26
GAMBARAN UMUM...........................................................
28
A. Tafsir Surat Al-Hujurat/49 Ayat 13 Menurut Pandangan para mufasir .............................................................................
v
28
BAB IV ETIKA POLA KOMUNIKASI DALAM AL-QUR’AN ....
38
A. Berbagai Pandangan Menurut Para Mufasir Terhadap Etika Pola Komunikasi ........................................................................
38
1. Etika sesama muslim ...................................................
38
2. Etika komunikasi antar pribadi dalam kontek saling mengenal (ta’aruf) .......................................................................
38
3. Etika Komunikasi antar pribadi dan kelompok dalam dakwah
BAB V
fardiyah ........................................................................
40
4. Etika Komunikasi antarbudaya (persamaan derajat) ....
43
B. Hubungan etika komunikasi dalam Al-Qur’an ................
46
C. Tujuan setiap tingkat komunikasi .....................................
49
1. Sasaran dakwah melalui metode qaulan balighan ......
49
2. Sasaran dakwah melalui metode qaulan maisuran .....
51
3. Sasaran dakwah melalui metode qaulan kariman........
52
4. Sasaran dakwah melalui metode qaulan ma’rufa.........
53
5.
Sasaran dakwah melalui metode qaulan saddidan.......
55
6.
Sasaran dakwah melalui metode qaulan layyinan........
55
PENUTUP ..............................................................................
65
A. Kesimpulan .......................................................................
65
B. Saran-saran ........................................................................
66
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
68
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Al-Qur‟an merupakan salah satu keistimewaan dan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang paling utama. Rasulullah SAW mengatakan, sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah: ''Setiap Rasul selalu dikarunai kemukjizatan, sehingga karenanya umatnya akan mempercayainya. Tetapi mukjizat yang diturunkan Allah padaku adalah wahyu ilahi yang akan menjadikan jumlah di hari kiamat''. Bahasa merupakan alat komunikasi manusia sejak awal penciptaannya sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Qur‟an surat al-Rahman ayat 4, “allamahu al bayan” artinya: “Allah mengajarkan (manusia) pandai berbicara” ( alRahman/55 :4 )1. Kata „al-bayan dan al-qaul” menurut Rahmat merupakan dua kata kunci yang dipergunakan Al-Qur‟an untuk berkomunikasi2. Umat Islam meyakini Alquran itu wahyu dari Allah dan bukan rekayasa Nabi serta para juru tulisnya, karena Nabi Muhammad SAW sendiri tidak bisa membaca dan menulis. Alquran itu benar-benar wahyu (Allah) yang diturunkan dari Tuhan semesta alam. ''Seandainya dia (Muhammad) mengadaadakan perkataan atas nama Kami, Kami pasti akan menindaknya dengan kekerasan, sebagaimana dijelaskan dalam surah Al-Haqqah/69:38-42.
1
Alquran dan Terjemahannya. (1998). Semarang: Departemen Agama RI. Rakhmat, J. (1994). “Audienta” Prinsi-prinsi Komunikasi Menurut Al-Quran : Jurnal Komunikasi. I (1). 35-56. 2
1
2
“Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. Dan dengan apa yang tidak kamu lihat. Sesungguhnya Al Quran itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia, Dan Al Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair. sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Dan bukan pula perkataan tukang tenung. sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya”.3 Sehingga diturunkannya Al-Qur‟an kepada nabi Muhammad SAW, yang secara berangsur-angsur. Surah al- Isra/17: 1064, sehingga menjadi mushaf Al-Quran yang sempurna. Al-Qur‟an merupakan wahyu yang disampaikan langsung oleh Allah SWT melalui perantara malaikat Jibril, kemudian Jibril menyampaikannya lagi kepada Nabi Muhammad SAW. Diturunkannya Al-Qur‟an sebagai kitab suci yang menyempurnakan kitab-kitab terdahulu, adalah bukti keagungan dari Al-Qur‟an itu sendiri, Firman Allah SWT dalam Al-Qu‟ran, ” Hai orang-orang yang beriman tetaplah beriman kepada Allah, rasul rasul Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat Nya, kitab kitab Nya, rasul rasul Nya dan hari akhir maka sesungguhnya orang tersebut telah sesaat sejauh-jauhnya”. Surah an – Nissa/4:1365.
3
Departeman Agama RI. Alquran dan Terjemahannya., h. 453 Ibid., h. 234 5 Ibid., h. 79 4
3
Dalam Al-Qur‟an memuat begitu banyak aspek kehidupan manusia. Tak ada rujukan yang lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan Al-Qur‟an yang hikmahnya meliputi seluruh alam dan isinya baik yang tersurat maupun yang tersirat tak akan pernah habis untuk digali dan dipelajari. Wahyu yang Allah sampaikan kepada nabi Muhammad SAW terdiri dari beberapa jenis ayat-ayat Al-Qur‟an, seperti ayat Muhkamaat ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah, ayat Mutasyabihaat adalah ayat – ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali setelah diselidiki secara mendalam (ungkapan) atau pesan simbiotik seperti surat al-Isra/17: 23.
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.6" Dan terakhir adalah Ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui, misalnya ayat-ayat yang berhubungan dengan ayat-ayat ghaib seperti ayat-ayat mengenai syurga, neraka, qiyamat dan sebagainya. Namun dalam penelitian ini ditekankan hanya akan membahas tentang pola
6
Ibid., h. 227
4
komunikasi yang akan dikaji pada surat Al-Hujurat/49 : 13 dan tidak akan membahas tentang pengertian ayat Muhkamat ataupun Mutasyabihat. Karena dalam penelitian ini penulis lebih cenderung tertarik terhadap makna lafazh yang terkandung dalam surat al – hujurat/49 : 13, dimana dari ayat tersebut kita akan menemukan ungkapan
(“supaya kamu saling
mengenal”). Dengan demikian kita sebagai manusia dianjurkan atau mungkin diharuskan untuk senantiasa menjalin komunikasi agar saling mengenal dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Maka dengan demikian semoga penelitian ini dapat menguraikan bagaimana pola komunikasi yang berlangsung didalam ayat-ayat Al-Qur‟an tersebut. Dan inilah yang menjadi dasar pemikiran bagi penulis, untuk dijadikan latar belakang masalah dalam penulisan skripsi berjudul “Etika Pola Komunikasi Dalam Al-Quran” Adapun alasan pemilihan judul oleh penulis, berdasarkan kepada: 1. Mempelajari dan memahami al-Qur‟an sebagai petunjuk dan pedoman hidup manusia agar ajaran-ajarannya dapat direalisasikan dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari. 2. Menggali nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur‟an surat al-Hujurat Ayat 13 dan hasilnya dijadikan salah satu cara dalam meningkatkan kualitas dan keimanan kepada Allah SWT. 3. Untuk melihat kemukjizatan al-Qur‟an serta keagungannya dilihat dari tuntunan ajarannya, khususnya surat al-Hujurat ayat 13.
5
4. Ajaran yang terkandung dalam surat al-Hujurat ayat 13 tersebut adalah masalah yang banyak terjadi dan tetap aktual di dalam masyarakat dan kehidupan bermasyarakat.
B. Batasan dan Rumusan Masalah Dalam mengartikan pola komunikasi yang berada di dalam Al-Qur‟an, maka terlebih dahulu harus menafsirkan ayat yang akan dijadikan sampel, sehingga terdapat hasil yang dapat bertautan dengan pola komunikasi itu sendiri, hingga tidak terlalu luas pembahasannya. Dalam sistematik penelitian ini, penulis mencoba untuk mengangkat ayat dalam Al-Qur‟an surat AlHujurat/49 :13, yang berbunyi :
Artinya” Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kaum saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui ;lagi Maha Mengenal”7. Dalam beberapa teori atau konsep komunikasi, dijelaskan bahwa manusia hampir 75% melakukan aktivitasnya melalui komunikasi, yaitu ketika bangun tidur hingga akan tidur kembali manusia selalu melakukan komunikasi. Karena dengan komunikasi itulah kita dapat membentuk hubungan, pengertian, melakukan aktivitas pendidikan dan sekaligus menjalin 7
Ibid., h. 412
6
kasih sayang sesama manusia. Namun dengan komunikasi pula kita dapat mengembangkan
perpecahan,
melestarikan
permusuhan,
menanamkan
kebencian, dan juga mengbuntukan pemikiran8. Dalam surat Al-Hujurat/49: 13 ini, pembahasan tentang penelitian ayat tersebut, kita harus mendefinisikannya lebih dalam lagi, karena dalam redaksi ayat tersebut akan memunculkan pertanyaan. Sejauh mana manusia itu mampu mentranformasikan nilai-nilai kemanusiaannya, sehingga manusia mampu untuk saling memahami, saling menghargai dan saling mengenal. Karena dalam hal ini manusia diciptakan tidak untuk saling membeda-bedakan Suku, Ras, Bangsa, Bahasa dan bahkan Ideologi. Karena jika manusia tidak mengindahkan hal tersebut maka nilai-nilai kemanusiannya telah hilang, dan akan menghambatnya proses komunikasi itu sendiri. Dengan demikian penelitian ini, berusaha untuk menampilkan contoh konkrit dalam pola komunikasi yang berkenaan dengan ayat Al-Qur‟an tersebut, dengan mengkaji pola komunikasi dalam ayat Al-Qur‟an ini, semoga hal ini
mampu memahami inti pesan yang hendak disampaikan dan
mengetahui bagaimana proses komunikasi yang berlangsung. Maka penulis membatasi permasalahan dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut : 1. Pendapat para mufasir terhadap etika komunikasi yang terkandung dalam surat Al-hujurat/49: 13.
8
Revisi
Jalaluddin Rahmat, Psikologi komunikasi,(Bandung:Remaja Rosdakarya, 1996) Edisi
7
2. Tata cara menjalin hubungan etika komunikasi dalam surat Al-Hujurat/49: 13 3. Tujuan setiap tingkat komunikasi, yang terkandung dalam surat AlHujurat/49: 13 Adapun perumusan permasalah dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Apa pendapat para mufasir terhadap etika pola komunikasi ? 2. Apa hubungan komunikasi dan konteks komunikasi dalam Al-Qur‟an ? 3. Apa tujuan dan sasaran dakwah dalam etika komunikasi atau prinsipprinsip komunikasi ?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Penulis ingin mengambil kesimpulan dari pendapat para mufasir terhadap etika pola komunikasi. 2. Penulis ingin mengetahui hubungan etika komunikasi dalam Al-Qur‟an yang terkandung dalam surat al-Hujurat/49 : 13. 3. Aplikasi menjalin hubungan yang terdapat dalam surat al-Hujurat/49 : 13 ini.
Manfaat penelitian ini adalah : Memberikan
sumbangsih
karya
ilmiah
yang
bermanfaat
untuk
dipersembahkan kepada para pembaca umumnya dan bagi penulis khususnya.
8
D. Metodologi Penelitian 1. Waktu Penelitian Adapun waktu penelitian ini, dilakukan antara bulan September 2010 sampai Agustus 2011. 2. Jenis Penelitian Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan analisi isi kualitatif yaitu mengumpulkan data dari pendapat para ahli yang diformulasikan dalam buku-buku, istilah ini lazim disebut library research yaitu pengambilan data yang berasal dari buku-buku atau karya ilmiah di bidang tafsir dan dakwah. 3. Sumber Bahan Sumber primer dalam penulisan ini adalah tafsir al-Qur‟an surat al-Hujurat ayat 13. Tafsir al-Maraghi, Tafsir al-Misbah , Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fakhrur Razi,Tafsir Munir, Tafsir Wadhih, Tafsir Fathul Qadir dan Tafsir Al-Azhar. Adapun sumber sekundernya adalah bukubuku pendidikan yang relevan dengan pembahasan skripsi. 4. Pengolahan Data Pengolahan data yang penulis lakukan adalah dengan cara membandingkan, menghubungkan dan kemudian diselaraskan serta diambil kesimpulan dari data yang terkumpul.
9
5. Analisa Data Dalam
menganalisa
data
yang
telah
terkumpul
penulis
menggunakan metode tafsir tahlili yaitu suatu metode tafsir yang digunakan oleh para mufassir dalam menjelaskan kandungan ayat alQur‟an dari berbagai seginya dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur‟an sebagaimana yang tercantum dalam mushaf. Dimulai dengan menyebutkan ayat yang akan ditafsirkan, menjelaskan makna lafazh yang terdapat di dalamnya, menjelaskan hubungan ayat (munasabah) dan menjelaskan isi kandungan ayat yang kemudian dikaitkan dengan education approach dengan menggunakan beberapa tafsir sebagai sumber primer dalam penelitia ini seperti Tafsir alMisbah, Tafsir al-Maraghi, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fakhrur Razi, Tafsir al-Bayan, Tafsir Fathul Qadir dan Tafsir Al-Azhar. 6. Teknik Penulisan Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah yang diterbitkan CeQDA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.”
10
BAB II KAJIAN TEORI
A. Dimensi Komunikasi Kata atau istilah “komunikasi” (Bahasa Inggris “communication”) berasal dari Bahasa Latin “communicatus” yang berarti “berbagi” atau “menjadi milik bersama”9.Dengan demikian, kata komunikasi menurut kamus bahasa mengacu pada suatu upaya yang bertujuan untuk mencapai kebersamaan. Menurut Webster New Collogiate Dictionary dijelaskan bahwa komunikasi adalah “suatu proses pertukaran informasi di antara individu melalui sistem lambang-lambang, tanda-tanda atau tingkah laku”. Jadi dengan demikian komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian, dan lain-lain melalui penggunaan simbolsimbol seperti kata-kata, gambar, angka-angka, dan lain-lain. Manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai peranan penting dalam dunia ini. Karena hanya manusialah satu-satunya makhluk yang diberi karunia bisa berbicara. Dengan kemampuan berbicara itulah, memungkinkan manusia membangun hubungan sosialnya. Kemampuan
berbicara
berarti
kemampuan
berkomunikasi,
berkomunikasi adalah sesuatu yang dibutuhkan dihampir setiap kegiatan manusia. Dalam sebuah penelitian telah dibuktikan, hampir 75% sejak bangun
9
Onong Uchana Effendy, Ilmu Komunikasi, h.9
11
tidur manusia berada dalam kegiatan komunikasi. Dengan komunikasi kita dapat membentuk saling pengertian dan menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, dan menyebarkan pengetahuan. Akan tetapi dengan komunikasi juga manusia dapat menumbuhkan permusuhan, menghidupkan perpecahan, menanamkan kebencian, merintangi kemajuan, dan menghambat pemikiran10. Kenyataan ini sekaligus memberikan gambaran betapa kegiatan manusia dalam berkomunikasi bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan oleh setiap orang. Karena mungkin didasarkan atas asumsi bahwa komunikasi merupakan suatu yang lumrah dan alamiah yang tidak perlu dipermasalahkan. Karena begitu
lumrahnya,
kompleksitasnya
atau
sehingga tidak
seseorang menyadari
cenderung bahwa
tidak
dirinya
melihat
sebenarnya
berkekurangan atau tidak berkompeten dalam kegiatan pribadi yang paling pokok ini. Dengan demikian, berkomunikasi secara efektif sebenarnya merupakan suatu perbuatan yang paling sukar yang pernah dilakukan seseorang. Dalam sebuah ungkapan bangsa Arab disebutkan :
الوتكلن صفة الكالم
“Ucapan atau perkataan menggambarkan sipembicara”. Dari pernyataan diatas ini dapat disimpulkan bahwa perkatan atau ucapan, atau dengan istilah lain, kemampuan berkumonikasi akan mencerminkan apakah seseorang itu adalah
10
Jalaluddin Rahmat, Psikologi komunikasi,(Bandung:Remaja Rosdakarya, 1996), cet.ke10, h. Kata Pengantar
12
terpelajar atau tidak. Dengan demikian, berkomuniksi tidaklah mudah, tidak juga identik dengan menyampaikan sebuah informasi saja. Para pakar komunikasi, sebagaimana yang dikutip oleh Jalaluddin Rahmat, berpendapat bahwa setiap komunikasi mengandung dua aspek, yaitu aspek isi dan aspek kandungan, dimana yang kedua mengklasifikasikan yang pertama dan karena itu merupakan diluar komunikasi. Komunikasi memang bukan hanya menyampaikan informasi tetapi yang terpenting adalah mengatur hubungan sosial di antara komunikan. Dengan demikian, demi terciptanya suasana kehidupan yang harmonis antar anggota masyarakat, maka harus dikembangkan bentuk-bentuk komunikasi yang beradab, yang digambarkan oleh Jalaluddin Rahmat, yaitu sebuah bentuk komunikasi dimana sang komunikator akan menghargai apa yang mereka hargai, ia berempati dan berusaha memahami realitas dari perspektif mereka. Pengetahuannya tentang khalayak bukanlah untuk menipu, tetapi untuk memahami mereka, dan bernegosiasi dengan mereka, serta bersama-sama saling memuliakan kemanusiaannya. Adapun gambaran kebalikannya yaitu apabila sang komunikator menjadikan pihak lain sebagai objek, ia hanya menuntut agar orang lain bisa memahami pendapatnya, sementara itu, ia sendiri tidak bisa menghormati pendapat orang lain 11.
11
Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual, (Bandung: Penerbit Mizan, 1992),cet. Ke-4, h. 63
13
Pola komunikasi dalam al-Qur‟an, mungkin disini ada hal penting yang perlu diketahui terlebih dahulu. Karena al-Qur‟an tidak memberikan uraian secara spesifik tentang komuniksi. Karena pada dasarnya, kata „komunikasi‟ berasal dari bahasa Latin, communication, dan bersumber dari kata cummunis yang berarti sama, mempunyai satu makna. Artinya suatu komunikasi dikatakan komunikatif jika antara masing-masing pihak mengerti bahasa yang digunakan, dan paham terhadap apa yang dibicarakan. Karena dalam proses komunukasi, paling tidak terdapat tiga unsur, yaitu komunikator, media dan komunikan12. Para pakar komunikasi juga menjelaskan bahwa komunikasi tidak hanya bersifat informatif, yakni agar orang lain mengerti dan paham, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain mau menerima ajaran atau informasi yang disampaikan, melakukan kegiatan atau perbuatan, dan lain-lain. Bahkan menurut Hovland, seperti dikutip oleh Onong, bahwa berkomunikasi bukan hanya terkait dengan penyampaian informasi, akan tetapi juga bertujuan pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap public (public attitude)13. Meskipun al-Qur‟an secara spesifik tidak membicarakan masalah komunikasi,
namun,
terdapat
gambaran-gambaran
tentang
cara
berkomunikasi. Karena menurut para mufassir didalam al-Qur‟an dapat ditemukan qaulan balighan, qaulan maisuran, qaulan kariman, qaulan ma‟rufan, Qaulan 12 13
Onong Uchana Effendy, Ilmu Komunikasi, h.9 Ibid., h. 10
14
layyinan, dan Qaulan sadidan, dalam hal ini penulis mengasumsikan termterm tersebut sebagai bagian dari pola-pola komunikasi. Karena ada beberapa ayat yang memberikan gambaran umum tentang pola komunikasi tersebut. Dari berbagai teori komunikasi yang berkembang. Wilbur Schramm menyatakan komunikasi sebagai suatu proses berbagi (sharing process). Schramm menguraikannya sebagai berikut : “Komunikasi berasal dari kata-kata (bahasa) Latin communis yang berarti umum (common) atau bersama. Apabila kita berkomunikasi, sebenarnya kita sedang berusaha menumbuhkan suatu kebersamaan (commonnes) dengan seseorang. Yaitu kita berusaha berbagai informasi, ide atau sikap. Seperti dalam uraian ini, misalnya saya sedang berusaha berkomunikasi dengan para pembaca untuk menyampaikan ide bahwa hakikat sebuah komunikasi sebenarnya adalah usaha membuat penerima atau pemberi komunikasi memiliki pengertian (pemahaman) yang sama terhadap pesan tertentu”.14 Dari uraian tersebut, definisi komunikasi menurut Schramm tampak lebih cenderung mengarah pada sejauhmana keefektifan proses berbagi antarpelaku komunikasi. Schramm melihat sebuah komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang berhasil melahirkan kebersamaan (commonness), kesepahaman antara sumber
(source)
dengan
penerima (audience)-nya. Menurutnya, sebuah
komunikasi akan benar-benar efektif apabila audience menerima pesan, pengertian dan lain-lain persis sama seperti apa yang dikehendaki oleh penyampai. Sedangkan Pakar komunikasi lain, Joseph A Devito mengemukakan komunikasi
sebagai
transaksi.
Transaksi
yang
dimaksudkannya
bahwa
komunikasi merupakan suatu proses dimana komponen-komponennya saling 14
Suprapto, Tommy. Pengantar Teori Komunikasi, cet ke-1, Yogyakarta: Indonesia, 2006, h. 2-3
15
terkait dan bahwa para komunikatornya beraksi dan bereaksi sebagai suatu kesatuan dan keseluruhan. Dalam setiap proses transaksi, setiap elemen berkaitan secara integral dengan elemen lain15.
Jika dilihat sekilas dari ulasan di atas, kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa tiap ahli bisa memiliki pandangan beragam dalam mendefinisikan komunikasi. Komunikasi terlihat sebagai kata yang abstrak sehingga memiliki banyak arti. Kenyataannya untuk menetapkan satu definisi tunggal terbukti sulit dan tidak mungkin terutama jika melihat pada berbagai ide yang dibawa dalam istilah itu.
Ilmu komunikasi merupakan ilmu pengetahuan sosial yang bersifat multidisipliner sehingga definisi komunikasi pun menjadi banyak dan beragam. Masing-masing mempunyai penekanan arti, cakupan, konteks yang berbeda satu sama lain, tetapi pada dasarnya berbagai definisi komunikasi yang ada sesungguhnya
saling melengkapi
dan
menyempurnakan
sejalan
dengan
perkembangan ilmu komunikasi itu sendiri.
B. Ruang Lingkup Komunikasi ( Etika Pola Komunikasi Dalam Al-Qur’an) Al-Qur‟an merupakan contoh konkrit bagaimana Allah selalu berkomunikasi dengan hamba-Nya melalui wahyu. Selain itu Rasulullah SAW pun berkomunikasi dengan keluarga, sahabat dan umatnya. Komunikasi beliau sudah terkumpul dalam ratusan ribu hadist yang menjadi penguat, penjelas alQur‟an sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia. 15
Suprapto, Tommy. Pengantar Teori Komunikasi, cet ke-1, Yogyakarta: Indonesia, 2006, h. 6
16
Komunikasi dalam al-Qur‟an dinilai sangat penting, karena adanya kewajiban berda‟wah atau menyampaikan (mentransfortasikan) ajaran ketuhanan itu sendiri, sehingga al-Qur‟an harus selalu dikomunikasikan kepada umat manusia. Namun dalam hal ini, defenisi-definisi komunikasi yang secara jelas menjelaskan tentang komunikasi dalam al-Qur‟an belum dapat ditemukan, hanya saja para pakar komunikasi mencoba untuk menerangkannya melalui gambaran-gambaran ayat-ayat al-Qur‟an itu sendiri. Definisi komunikasi. Seperti Kroeber dan Kluckhohn (1957) berhasil mengumpulkan 164 definisi kebudayaan, dan Dance (1970) menghimpun tidak kurang dari 98 definisi komunikasi. Definisi-definisi tersebut dilatarbelakangi berbagai perspektif, seperti, mekanistis, sosiologis, dan psikologistis. Hovland, Janis, dan Kelly, semuanya psikolog, mendifinisikan komunikasi sebagai “the process by which an individual (the communicator) transmits stimuli (usually) to modify the behavior of other individuals (the audience)”.16 Dance (1967) mengartikan komunikasi dalam kerangka psikologi behaviorisme sebagai usaha “menimbulkan respons melalui lambang-lambang verbal tersebut bertindak sebagai stimuli17. Namun kesemuanya itu tidak ada satu pun yang langsung berkaitan dengan pola komunikasi dalam al-Qur‟an. Maka dari itu penulis mencoba untuk mengkolaborasikan antara definisi-
16
Burgon dan Huffner. Human Communication, London, Sage Publication, 2002. Data diperoleh dari http://bagusspsi.blog.unair.ac.id/2010/03/02/bab-1/ 17 Jalaluddin Rahmat, Psikologi komunikasi,(Bandung:Remaja Rosdakarya, 1996), h.3
17
definisi komunikasi umum dengan gambaran-gambaran etika pola komunikasi yang tersirat dalam al-Qur‟an. Adapun etika pola komunikasi dalam al-Qur‟an menurut Dahlan yaitu : 1. Pola Qaulan balighoh
“Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, Kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna".Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan Katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka”18. ( an-Nissa/4 : 62-63) Baligh, yang berasal dari ba la gha,oleh para ahli bahasa dipahami sampainya sesuatu kepada sesuatu kepada sesuatu yang lain. Juga bisa dimaknai “cukup” (al-kifayah). Sehingga pola ini mengarahkan kita untuk bisa menyampaikan setiap pemikiran, perasaan dan nasehat dengan menggunakan pilihan kata, gaya bahasa, yang penuh makna sehingga membekas dalam diri atau jiwa orang yang kita ajak bicara, bahwa perkataan tersebut mengandung tiga unsur utama, yaitu bahasanya tepat, sesuai dengan yang dikehendaki, dan isi perkataan adalah kebenaran19.
18 19
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, h. 70 Ashiddiqi, H. (1977). Tafsir al-Bayan Jilid 1,2. Bandung: Al- Maarif,
18
Lebih lanjut Al- Maraghi mengaitkan “qaulan balighoh” dengan arti tabligh sebagai salah satu sifat Rasul (Tabligh dan baligh berasal dari kata dasar yang sama balagha), yakni Nabi Muhammad diserahi tugas untuk menyampaikan peringatan kepada umatnya dengan perkataan yang menyentuh hati mereka20. Secara rinci, para pakar sastra, seperti dikutip oleh Quraish Shihab, membuat kriteria-kriteria khusus tentang suatu pesan dianggap baligh 21, antara lain : a. Tertampungnya seluruh pesan dalam kalimat yang disampaikan. b. Kalimatnya tidak bertele-tele, juga tidak terlalu pendek sehingga pengertiannya menjadi kabur. c. Pilihan kosa katanya tidak dirasakan asing bagi si pendengar d. Kesesuaian kandungan dan gaya bahasa dengan lawan bicara e. Kesesuaian dengan tata bahasa.
2. Pola Qaulan kariman
“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka 20 21
Al-Maraghi. (1943). Tafsir Al-Maraghi. Bairut: Dar el Fikr., jilid 4 h. 74-79 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000), jilid 2, h. 468
19
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”22. (Al-Isra/17: 23) Kata karim, yang secara bahasa berarti mulia. Merupakan sifat Allah yang Maha Karim, artinya Allah Maha Pemurah, juga bisa disandarkan kepada manusia, yaitu menyangkut akhlak dan kebaikan prilakunya. Artinya, seseorang akan dikatakan karim, jika kedua hal itu benar-benar terbukti dan terlihat dalam kesehariannya. Namun jika term karim dirangkai dengan kata qaul atau perkataan, maka berarti suatu perkataan yang menjadikan pihak lain tetap dalam kemuliaan, atau perkataan yang membawa manfaat bagi pihak lain tanpa bermaksud merendahkan23. Sayyid Quthb menyatakan bahwa perkataan yang karim, dalam konteks hubungan dengan kedua orang tua, pada hakikatnya adalah tingkatan yang tertinggi yang harus dilakukan oleh seorang anak. Yakni, bagaimana ia berkata kepadanya, namun keduanya tetap merasa dimuliakan dan dihormati. Al- Maraghi menafsirkan qaulan kariman dengan menunjuk kepada pernyataan Ibn Musyayyab yaitu ucapan mulia itu bagaikan ucapan seorang budak yang bersalah di hadapan majikannya yang galak24. Melihat gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa qaulan kariman memiliki pengertian mulia, penghormatan, pengagungan, dan
22
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, h. 227 Katsir, I. (1410H). Tafsir Ibnu Katsir. Riyadh: Maktabah Ma‟arif., jilid 3. h.45-46 24 Al-Maraghi. (1943). Tafsir Al-Maraghi. Bairut: Dar el Fikr., jilid 5. h. 39-41 23
20
penghargaan. Ucapan yang bermakna qaulan kariman berarti ucapan yang lembut berisi pemuliaan, penghargaan, pengagungan, dan penghormatan kepada orang yang diajak bicara. Sebaliknya ucapan yang menghinakan dan merendahkan orang lain merupakan ucapan yang tidak santun. 3. Pola Qaulan maisuran
“Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, Maka Katakanlah kepada mereka Ucapan yang pantas”25.(Al-Isra/17: 28) Menurut bahasa qaulan maysuran artinya perkataan yang mudah. Al-maraghi mengartikannya dalam konteks ayat ini yaitu ucapan yang lunak dan baik atau ucapan janji yang tidak mengecewakan. Dilihat dari situasi dan kondisi ketika ayat ini diturunkan (asbab nuzul) sebagaimana diriwayatkan oleh Saad bin Mansur yang bersumber dari Atha AlKhurasany ketika orang-orang dari Muzainah meminta kepada Rasulullah supaya diberi kendaraan untuk berperang fi sabilillah. Rasulullah menjawab; “Aku tidak mendapatkan lagi kendaraan untuk kalian”. Mereka berpaling dengan air mata berlinang karena sedih dan mengira bahwa Rasulullah marah kepada mereka. Maka turunlah ayat ini sebagai petunjuk kepada Rasulullah dalam menolak suatu permohonan supaya menggunakan kata-kata yang lemah lembut26. Dalam tafsir Departemen Agama RI disebutkan bahwa qaulan
25 26
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, h. 227 Al-Maraghi. (1943). Tafsir Al-Maraghi. Bairut: Dar el Fikr., jilid 16. h. 114
21
maysuran apabila kamu belum bisa memberikan hak kepada orang lain, maka katakanlah kepada mereka perkataan yang baik agar mereka tidak kecewa lantaran mereka belum mendapat bantuan dari kamu. Dan pada itu kamu berusaha untuk mendapatkan rizki dari Tuhanmu sehingga kamu dapat memberikan kepada mereka hak-hak mereka. Dari konteks ayat yang ada, maka qaulan maysuran merupakan ucapan yang membuat orang mempunyai harapan dan menyebabkan orang lain tidak kecewa. Dapat pula dikatakan bahwa qaulan maysuran itu perkataan yang baik yang di dalamnya terkandung harapan akan kemudahan sehingga tidak membuat orang lain kecewa atau putus asa. Dengan demikian qaulan maysuran merupakan tata cara pengucapan bahasa yang santun.
4. Pola Qaulan ma‟rufan
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”. (an-Nissa/4 : 5)27 Secara bahasa arti ma‟ruf adalah baik dan diterima oleh nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Ucapan yang baik adalah ucapan yang diterima sebagai sesuatu yang baik dalam pandangan masyarakat 27
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, h. 61
22
lingkungan penutur dengan demikian qaulan ma‟rufan sebagai perkataan yang baik dan pantas. Baik artinya sesuai dengan norma dan nilai, sedangkan pantas sesuai dengan latar belakang dan status orang yang mengucapkannya28. Dari sinilah kemudian muncul pengertian bahwa ma‟ruf adalah kebaikan bersifat lokal, karena, jika akal dijadikan sebagai dasar pertimbangan dari setiap kebaikan yang muncul, maka tidak akan sama dari masing-masing daerah dan kebudayaan. Sementara menurut Ibn „Asyur, qaul ma‟ruf adalah perkataan baik yang melegakan dan menyenangkan lawan bicara29. Perkataan yang mengadung penyesalan ketika tidak bisa memberi atau membantu. Perkataan yang tidak menyakitkan dan yang sudah dikenal sebagai perkatan baik. Pokok masalah yang dibahas dalam pola komunikasi dalam al-Qur‟an ini adalah bagaimana manusia bisa membangun komunikasi yang beradab secara universal, meskipun unsur terpenting dalam komunikasi adalah komunikator, media, dan komunikan. Namun yang terpenting ada hal diluar dari ketiga unsur ini, yaitu teknik atau cara. Bahkan dalam beberapa kasus, seringkali cara lebih penting dari pada isi, karena yang perlu ditegaskan disini adalah bahwa cara penyampaian (berkomunikasi) terkadang seringkali lebih penting dari pada isi itu sendiri. Contoh sebuah kasus, ada seorang anak yang baru belajar 28 29
Amir,M. (1999). Etika Komunikasi Masa dalam pandangan Islam. Jakarta: Logos. Ibn „Asyur, al-Tahrir, jilid 4, h. 252 dan al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, jilid 4, h. 2016
23
agama. Di antara materi yang pernah didengar dan diterimanya adalah bahwa” setiap muslim harus berani berkata benar meskipun pahit”. Maka setelah pesan itu diterimanya, maka ia akan berani mengatakan kepada kedua orang tuanya, “ kakek, apa kakek tidak takut masuk neraka, sudah setua ini kakek tidak pernah mau melakukan shalat”. Pernyataan ini benar, tetapi kata-kata ini cenderung meremehkan pihak lain, terlebih ia adalah kakeknya sendiri atau orang yang usianya lebih tua. Maka komunikasi tersebut selanjutnya ditentukan oleh kriteria apakah baik atau buruk dalam menyampaikan pesannya itu sendiri. Dengan demikian ruang lingkup pembahasan pola komunikasi dalam alQur‟an ini berkaitan dengan adab atau norma, terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Jika perbuatan tersebut dikatakan baik atau buruk, maka ukuran yang harus digunakan adalah ukuran normatif. Selanjutnya jika dikatakan sesuatu itu benar atau salah maka yang demikian itu termasuk masalah hitungan atau fikiran. Melihat keterangan di atas, bahwa ruang lingkup pola komunikasi dalam al-Qur‟an ialah agar manusia bisa membangun komunikasi yang beradab. 5. Pola Qaul layyinan
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut". ( at-Tahaa/20 : 44) Qaulan layyinan dari segi bahasa berarti perkataan yang lemah atau lembut. Berkata layyinan adalah berkata lemah lembut. Lemah lembut
24
mengandung makna strategi sebagaimana diungkapkan Al- Maraghi, bahwa ayat ini berbicara dalam konteks pembicaraan Nabi Musa menghadapi Firaun. Allah mengajarkan agar Nabi Musa berkata lemah lembut agar Firaun tertarik dan tersentuh hatinya sehingga dapat menerima dakwahnya dengan baik30. Senada dengan itu, Ash- Shiddiqi memaknai qaulan layyinan sebagai perkataan yang lemah lembut yang di dalamnya terdapat harapan agar orang yang diajak berbicara menjadi teringat pada kewajibannya atau takut meninggalkan kewajibannya 31. Dengan demikian yang dimaksud dengan qaulan layyinan adalah ucapan baik yang dilakukan dengan lemah lembut sehingga dapat menyentuh hati orang yang diajak bicara. Ucapan yang lemah lembut dimulai dari dorongan dan suasana hati orang yang berbicara. Apabila ia berbicara dengan hati yang tulus dan memandang orang yang diajak bicara sebagai saudara yang ia cintai, maka akan lahir ucapan yang bernada lemah lembut. Dampak kelemahlembutan itu akan membawa isi pembicaraan kepada hati orang yang diajak bicara. Komunikasi yang terjadi adalah hubungan dua hati yang akan berdampak pada terserapnya isi ucapan oleh orang yang diajak bicara. Akibatnya ucapan itu akan memiliki pengaruh yang dalam, bukan hanya sekedar sampainya informasi, tetapi juga berubahnya pandangan, sikap, dan perilaku orang yang diajak bicara. 30 31
Al-Maraghi. (1943). Tafsir Al-Maraghi. Bairut: Dar el Fikr., jilid 16. h. 114 Ashiddiqi, H. (1977). Tafsir al-Bayan Jilid 1,2. Bandung: Al- Maarif.
25
6. Pola Qaul Sadidan
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya dan (jika ada) orang-orang yang kamu Telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”. ( an-Nissa/4 : 33 ) Perkataan qaulan sadidan diungkapkan Alquran dalam konteks pembicaraan mengenai wasiat. Al- Maraghi melihat konteks ayat yang berkisar tentang para wali dan orang-orang yang diwasiati, yaitu mereka yang dititipi anak yatim, juga tentang perintah terhadap mereka agar memperlakukan anak-anak yatim dengan baik, berbicara kepada mereka sebagaimana berbicara kepada anak-anaknya, yaitu dengan halus, baik, dan sopan, lalu memanggil mereka dengan sebutan yang bernada kasih sayang32. Memahami pandangan ahli tafsir di atas dapat diungkapkan bahwa qaulan sadidan dari segi konteks ayat mengandung makna kekuatiran dan kecemasan seorang pemberi wasiat terhadap anak-anaknya yang digambarkan dalam bentuk ucapan-ucapan yang lemah lembut (halus), jelas, jujur, tepat, baik dan adil. Lemah lembut artinya cara penyampaian menggambarkan kasih sayang yang diungkapkan dengan kata-kata yang lemah lembut. Jelas mengandung arti terang sehingga ucapan itu tidak ada penafsiran lain. 32
Al-Maraghi. (1943). Tafsir Al-Maraghi. Bairut: Dar el Fikr. , jilid 5. h. 24-25
26
Jujur artinya transparan, apa adanya, tidak ada yang disembunyikan. Tepat artinya kena sasaran, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, dan sesuai pula dengan situasi dan kondisi. Baik berarti sesuai dengan nilai-nilai, baik nilai moral-masyarakat maupun ilahiyah. Sedangkan adil mengandung arti isi pembicaraan sesuai dengan kemestiannya, tidak berat sebelah atau memihak.
C. Tujuan Pola Komunikasi dalam Al-Qur’an Dalam konteks ini, pola komunikasi dalam al-Qur‟an menekankan bahwasanya dalam berkomunikasi dengan siapa, dimana, dan kapanpun kita harus bisa menunjukan adab dan norma kita sebagai mahkluk yang mempunyai peradaban. Karena pada dasarnya al-Qur‟an banyak menampilkan contoh-contoh konkrit dalam upaya menyampaikan komunikasi yang beradab. Mengenai tujuan
pola
komunikasi
dalam
al-Qur‟an
yaitu,
menerapkan
cara
berkomunikasi, meskipun al-Qur‟an secara spesifik tidak membicarakan masalah komunikasi, namun, banyak ayat yang memberikan gambarangambaran umum pola-pola komuniksi. Dalam hal ini, penulis akan merujuk kepada term yang diasumsikan sebagai penjelasan dari pola komuikasi tersebut. Salah satu contohnya adalah, surat an-Nisa/4 : 62-63.
27
“Maka Allah bagaimana halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa suatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu (Muhammad) sambil bersumpah,”Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian .” Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Karena itu, berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwa meraka”. Ayat ini yang menginformasikan tentang kebusukan hati kaum munafik, bahwa mereka tidak akan pernah bertahkim kepada Rasulullah SAW, meski mereka bersumpah atas nama Allah, kalau apa yang mereka lakukan semata-mata hanya menghendaki kebaikan. Walaupun demikian, beliau dilarang menghukum mereka secara fisik, akan tetapi, cukup memberi nasehat sekaligus ancaman bahwa perbuatan buruknya akan mengakibatkan turunnya siksa Allah 33, dan berkata kepada mereka dengan perkataan yang baligh.
D. Etika / cara Pola Komunikasi Dalam Al-Qur’an Al-Quran diturunkan kepada manusia yang memiliki sifat sebagai makhluk yang memerlukan komunikasi. Karena itu, Al-Quran memberikan tuntunan berkomunikasi, khususnya berbahasa bagi manusia. Dalam
33
Ashiddiqi, H. (1977). Tafsir al-Bayan Jilid 1,2. Bandung: Al- Maarif.
28
berkomunikasi Hasnan menyebutkan bahwa ajaran Islam memberi penekanan pada nilai sosial, religius, dan budaya34. Dalam hal ini, antara lain Dahlan menegaskan bahwa Al-Qur‟an menampilkan enam pola komunikasi yang sesogyanya dijadikan pegangan saat berbicara35. 1. Qaulan Sadidan, Surah an-Nisa/4: 9, yaitu berbicara dengan benar. 2. Qaulan Ma‟rufa, Surah an-Nisa/4: 8 , yaitu berbicara dengan menggunakan bahasa yang menyedapkan hati, tidak menyinggung atau menyakiti perasaan, sesuai dengan kriteria kebenaran, jujur, tidak mengandung kebohongan, dan tidak berpura-pura. 3. Qaulan
Baligha,
Surah
an-Nisa/4:
63,
yaitu
berbicara
dengan
menggunakan ungkapan yang mengena, mencapai sasaran dan tujuan, atau membekas, bicaranya jelas, terang, tepat. Ini berarti bahwa bicaranya efektif. 4. Qaulan Maysuran, Surah al-Isra/17: 28, yaitu berbicara dengan baik dan pantas, agar orang lain tidak kecewa. 5. Qaulan Karima, Surah al-Isra/17: 23, yaitu berbicara kata-kata mulia yang menyiratkan kata yang isi, pesan, cara serta tujuannya selalu baik, terpuji, penuh hormat, mencerminkan akhlak terpuji dan mulia. 6. Qaulan Layyinan, Surah Thaha/20: 44, yaitu berbicara dengan lembut.
34
Hasnan,I. (1993). “Audientia” Komunikasi Menurut Pendekatan Islam, Jurnal Komunikasi : 1 (1) h. 15-21 35 Dahlan, M,D. dan Syihabuddin. (2001). Kunci-kunci Menyingkap Isi Al Quran. Bandung: Pustaka Fithri.
BAB III TAFSIR SURAT AL-HUJURAT
A. Tafsir Surat Al-Hujurat/49 : 13 Menurut Pandangan Para Mufasir Surat yang tidak lebih dari 18 ayat ini termasuk surat Madaniah, surat al-Hujurat merupakan surah yang agung dan besar, yang mengandung aneka hakikat akidah dan syariah yang penting, mengandung hakikat wujud dan kemanusiaan. Hakikat ini merupakan cakrawala yang luas dan jangkauan yang jauh bagi akal dan kalbu. Juga menimbulkan pikiran yang dalam dan konsep yang penting bagi jiwa dan nalar. Hakikat itu meliputi berbagai manhaj (cara) penciptaan, penataan, kaidah-kaidah pendidikan dan pembinaan. Padahal jumlah ayatnya kurang dari ratusan. Surat al-Hujurat berisi pentunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang mukmin terhadap Allah SWT, terhadap Nabi dan orang yang menentang ajaran Allah dan Rasul-Nya, yaitu orang fasik. Pada pembahasan ini dijelaskan apa yang harus dilakukan seorang mukmin terhadap sesamanya dan manusia secara keseluruhan, demi terciptanya sebuah perdamaian. Adapun etika yang diusung untuk menciptakan sebuah perdamaian dan menghindari pertikaian yaitu menjauhi sikap saling membedakan suku, ras, bahasa, kebudayaan, bahkan ideologi. Karena, ketika manusia tidak peduli dengan lainnya, tidak mau saling kenal mengenal atau lebih cenderung egois, maka berarti ia telah kehilangan
29
30
sifat dasar kemanusiaannya. Berikut ini adalah bunyi lengkap surat al-Hujurat ayat 13:
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal1. ( al-Hujurat/49: 13) Turunnya ayat ini, menurut Abu Daud berkenaan dengan Abu Hind yang pekerjaan sehari-harinya adalah pembekam. Nabi meminta kepada Bani Bayadhah agar menikahkan salah seorang putrid mereka dengan Abu Hind, tetapi mereka enggan dengan alasan tidak wajar mereka menikahkan putri mereka dengannya yang merupakan salah seorang bekas budaknya. Ada juga riwayat yang menyatakan bahwa Usaid Ibn Abi al-Ish berkomentar ketika mendengar Bilal mengumandangkan adzan di Ka‟bah bahwa: “Alhamdulillah ayahku wafat sebelum melihat kejadian ini.” Ada lagi yang berkomentar: “Apakah Muhammad tidak menemukan selain burung gagak ini untuk beradzan?”2. Untuk lebih memahami kandungan surat al-Hujurat ayat 13 ini , maka penulis akan mencoba mencari implikasinya secara mufradat (kosa kata), seperti berikut ini:
1 2
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, h. 412 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…..,h. 261
31
“Dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku”. Kata ( ) ﺸﻌﻭﺏsyu‟ub adalah bentuk jamak dari kata ( ) ﺸﻌﺏ. Kata ini digunkan untuk menunjuk kumpulan dari sekian kabilah yang biasa diterjemahkan suku yang biasa merujuk kepada satu kakek. Qabilah pun terdiri dari sekian banyak kelompok keluarga yang dinamai „imarah, dan yang ini terdiri dari sekian banyak kelompok yang dinamai bathn. Di bawah bathn ada sekian fakhd hingga akhirnya sampai pada himpunan keluarga yang terkecil3. Supaya kamu saling mengenal. “Kata ta‟arafu terambil dari kata „arafa yang berarti mengenal, kata yang digunakan dalam ayat ini mengandung makna timbal balik, dengan demikian berarti saling mengenal.”4 Upaya saling mengenal ini dapat dilakukan dengan cara kembali kepada kabilahnya masing-masing dan saling menolong di antara sesama kerabat. Dengan demikian, ayat ini menjadi alasan bahwa diciptakannya manusia adalah untuk saling mengenal dan tolong menolong, bukan untuk saling membanggakan dan menyombongkan diri. Upaya saling mengenal dapat dilakukan dengan proses bersilaturrahim. Akan tetapi warna kulit, ras, bahasa, negara dan lainnya yang seringkali membuat orang enggan berinterkasi dengan yang lainnya disebabkan karena perbedaan tersebut. Padahal perbedaan-perbedaan tersebut
3 4
Ahmad, Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj, (Semarang: Toha Putra, 1993),h.220. Ibid., h. 262
32
merupakan suatu Sunnatullah dan tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak saling mengenal.
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa”. “Kata ( ) ا ﻛﺮهكنakramakum terambil dari kata ( ) ﻛﺮنkaruma yang pada dasarnya berarti yang baik dan istimewa sesuai objeknya. Manusia yang baik adalah manusia yang baik terhadap Allah, dan terhadap sesama makhluk5. Firman inna akramakum inda Allah atqaakum mengandung dua makna, yang pertama seseorang yang paling bertakwa maka kedudukannya akan mulia di hadapan Allah SWT dengan kata lain ketakwaan akan membuat kedudukan seseorang menjadi mulia. Yang kedua, seseorang yang mulia di hadapan Allah SWT akan membuat orang menjadi takwa, artinya kemuliaan akan membuat seseorang menjadi takwa. Akan tetapi pendapat pertama adalah lebih terkenal dibanding yang kedua6. Ketakwaan merupakan sumber segala keutamaan, dengan demikian dapat dikatakan takwa adalah manifestasi dari samal sedangkan ilmu adalah kemuliaan. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa seseorang yang salim adalah lebih dibenci syaithan dibanding seribu abid yang rajin beribadah tapi tidak memiliki ilmu. Ketakwaan merupakan buah dari pada ilmu, Allah SWT berfirman ”Sesungguhnya orang yang paling takut kepada Allah adalah orang yang
5 6
Ibid., h. 262 Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrur Razi., h. 139
33
alim” maka tidaklah dikatakan takwa kecuali bagi orang yang berilmu. Dengan demikian ilmu dan ketakwaan merupakan dua hal yang saling menyatu dan tidak bisa dipisahkan. Orang salim tetapi tidak bertaqwa adalah seperti pohon yang tidak berbuah, oleh karena itu pohon yang berbuah adalah lebih utama disbanding yang tidak berbuah, pohon yang tidak berbuah tidak memiliki banyak manfaat kecuali hanya sebatas untuk kayu bakar. Begitu pula orang salim yang tidak bertaqwa hanya akan menjadi bahan bakar neraka. Manusia memiliki kecenderungan untuk mencari bahkan bersaing dan berlomba menjadi yang terbaik. Banyak sekali manusia yang menduga bahwa kepemilikan materi, kecantikan serta kedudukan sosial karena kekuasaan atau garis keturunan, merupakan kemuliaan yang harus dimiliki dan karena itu banyak yang berusaha memilikinya. Tetapi bila diamati apa yang dianggap keistimewaan dan sumber kemuliaan itu, sifatnya sangat sementara. Bahkan tidak jarang mengantar pemiliknya pada kebinasaan. Jika demikian hal-hal tersebut bukanlah sumber kemuliaan. Kemuliaan adalah sesuatu yang langgeng sekaligus membahagiakan secara terus-menerus. Kemuliaan abadi dan langgeng itu ada di sisi Allah SWT dan untuk mencapainya adalah dengan mendekatkan diri kepada-Nya, menjauhi larangan-Nya, melaksanakan perintah-Nya serta meneladani sifatsifat-Nya sesuai kemampuan manusia. Itulah takwa, dan dengan demikian yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa7.
7
M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 263
34
Di sisi Allah hanya ada satu pertimbangan untuk menguji seluruh nilai dan mengetahui keutamaan manusia. Yaitu, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu “. orang yang paling mulia yang hakiki ialah yang paling mulia menurut pandangan Allah. ”Dengan demikian, berguguranlah segala perbedaan, gugurlah segala nilai. Lalu dinaikkanlah satu timbangan dengan satu penilaian. Timbangan inilah yang digunakan manusia untuk menetapkan hukum. Nilai inilah yang harus dirujuk oleh manusia dalam menimbang. Adapun nilai/panji yang diperebutkan semua orang agar dapat bernaung di bawahnya yaitu, panji ketakwaan di bawah naungan Allah SWT. Inilah panji yang dikerek Islam untuk menyelamatkan umat manusia dari fanatisme ras, fanatisme daerah, fanatisme kabilah, dan fanatisme rumah8. Semua ini merupakan kejahiliahan yang kemudian dikemas dalam berbagai model dan dinamai dengan berbagai istilah. Semuanya merupakan kejahiliahan yang tidak berkaitan dengan Islam. Islam memerangi fanatisme jahiliah ini serta segala sosok dan bentuknya agar sistem Islam yang manusiawi dan mengglobal ini tegak di bawah satu panji yaitu panji Allah. Bukan panji negara, bukan panji nasonalisme, bukan panji keluarga, dan bukan panji ras. Semua itu merupakan panji palsu yang tidak dikenal Islam. Dalam konteks ini, sewaktu haji wada (perpisahan), Nabi SAW berpesan antara lain: “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Tuhan kamu Esa, ayah kamu satu,
8
Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur‟an, Jilid X, h. 422.
35
tiada kelebihan orang Arab atas non Arab, tidak juga non Arab atas orang Arab atau orang (berkulit) hitam atas yang (berkulit) merah (yakni putih) tidak juga sebaliknya kecuali dengan takwa, sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa 9. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa Durrah binti Abu Lahab r.a berkata, seorang laki-laki beranjak menemui Nabi yang sedang berada di atas mimbar. Orang itu berkata, Ya Rasulallah, manusia manakah yang paling baik? Rasulallah menjawab, Manusia yang paling baik adalah yang paling rajin membaca al-Qursan, yang paling bertakwa kepada Allah, yang paling sering memerintahkan kepada yang masruf dan mencegah dari perbuatan mungkar, dan yang paling sering menyambungkan tali silaturrahim. Dalam suatu riwayat ayat ini turun ketika Fat-hu Makkah (Penaklukan kota Mekah), Bilal naik ke atas kasbah untuk mengumandangkan azan. Beberapa orang berkata: “Apakah pantas budak hitam ini azan di atas Kasbah?” Maka berkatalah yang lainnya: “Sekiranya Allah membenci orang ini, pasti Dia akan menggantinya.” Ayat ini turun sebagai penegasan bahwa dalam Islam tidak ada diskriminasi, yang paling mulia adalah yang paling bertakwa10. Dengan demikian sebagian ulama berpendapat kafaah di dalam pernikahan tidaklah disyaratkan kecuali agamanya, karena kedudukan semua orang adalah sama, hanya ketakwaan yang membedakan antara satu dengan 9
M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 261 HQ Shaleh dan AA Dahlan, Asbabun Nuzul, Edisi II, h. 518
10
36
yang lainnya. Bahkan pada hari kiamat nanti seseorang tidak akan ditanya tentang nasab maupun kedudukan mereka, karena yang paling mulia adalah yang paling bertakwa kepada Allah SWT.
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”, maksudnya Maha mengetahui apa yang dikerjakan dan Maha Mengenal/teliti terhadap semua urusan manusia. Allah memberi petunjuk kepada yang dikehendaki dan menyesatkan kepada yang dikehendaki, mengasihi dan menyiksa kepada yang dikehendaki, memuliakan kepada yang dikehendaki dan merendahkan kepada yang dikehendaki pula. Allah SWT Maha bijaksana, Maha Mengetahui dan Maha Teliti dalam semua urusan tersebut Sifat Alim dan Khabir keduanya mengandung makna kemahatahuan Allah SWT. Sementara ulama membedakan keduanya dengan menyatakan bahwa Alim menggambarkan pengetahuaan-Nya menyangkut segala sesuatu yang dikenal itu. Penekanannya pada Dzat Allah yang bersifat Maha Mengetahui bukan pada sesuatu yang diketahui itu. Sedang Khabir menggambarkan pengetahuan-Nya yang menjangkau sesuatu. Di sini, sisi penekanannya bukan pada dzat-Nya Yang Maha Mengetahui tetapi pada sesuatu yang diketahui itu11. Dengan demikian, ayat 13 surat al-Hujurat ini mengandung kesimpulan bahwa:
11
M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 263
37
1. Allah SWT menciptakan manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa) dan menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya mereka saling mengenal dan tolong menolong. 2. Kemulian manusia tidak diukur dengan keturunannya, melainkan diukur dengan ketakwaannya kepada Allah SWT. 3. Ayat ini menegaskan kesatuan asal usul manusia, yang pada dasarnya seluruh umat manusia lahir dari induk yang sama, yaitu Adam dan Hawwa. 4. Kesamaan kasta dihadapan Allah SWT, bahwasanya manusia itu sama, tidak ada orang kulit putih, kulit hitam atapun kulit coklat. Yang ada hanyalah manusia yang sama, yang diciptakan dari tanah oleh Allah.
BAB IV ETIKA POLA KOMUNIKASI DALAM AL-QUR’AN
A. Berbagai Pandangan Menurut Para Mufasir Terhadap Etika Pola Komunikasi 1. Etika Sesama Muslim Dakwah Islam sangat memperhatikan penataan individual dan sosial yang membawa penganutnya pada pemelukan dan pengaplikasian Islam secara komprehensif. Agar penganutnya memikul amanat dan yang dikehendaki Allah, pendidikan Islam harus dimaknai secara rinci, karena itu keberadaan referensi atau sumber pendidikan Islam harus merupakan sumber utama Islam itu sendiri, yaitu al-Qur‟an dan al-Sunnah. Surat al-Hujurat/49 : 13 memiliki makna yang luas dan mendalam, membahas tentang akhlak sesama kaum Muslim khususnya. Ayat ini dapat dijadikan pedoman agar terciptanya sebuah kehidupan yang harmonis, tentram dan damai. Sebagai makhluk sosial setiap manusia tentu tidak ingin haknya tergganggu. Oleh karena itu, di sinilah pentingnya bagaimana memahami agar hak (kehormatan diri) setiap orang tidak tergganggu sehingga tercipta kehidupan masyarakat harmonis. 1. Etika Komunikasi Antar Pribadi, dalam kontek saling mengenal (Ta’aruf) Komunikasi antar pribadi merupakan sebuah konsep komunikasi yang menggambarkan bentuk komunikasi antara seseorang dan orang lain
38
39
orang lain dalam suasana tatap muka. Dean Bernlund menjabarkan komunikasi antar personal sebagai pertemuan tatap muka dalam situasi informal yang melakukan interaksi terfokus lewat pertukaran isyarat verbal dan nonverbal yang saling berbalasan. Sedangkan John Stewart dan Gary D‟Angelo melihat esensi komunikasi antar pribadi berpusat pada kualitas komunikasi antarpartisipan, berhubungan satu sama lain lebih sebagai
personel
(unik,
mampu
memilih,
mempunyai
perasaan,
bermanfaat, dan merefleksikan diri sendiri) daripada sebagai objek atau benda (dapat ditukar, diukura secara otomatis merespons rangsangan dan kurang kesadaran diri).1 Dalam hal ini al-qur‟an menjelaskan dimana manusia diajarkan untuk saling mengenal satu sama lainnya, sesuai dengan firman Allah SWT saling mengenal (Ta‟aruf ) ini terdapat dalam firman-Nya:
“Maha suci Dzat yang telah menciptakan manusia berbangsabangsa dan bersuku-suku”, Padahal pada awalnya manusia berasal dari sumber yang sama yaitu Adam dan Hawa. Dengan kekuasaan dan kehendaknya terlahir manusia yang berbeda ras dan warna kulit, dan sudah menjadi sunah-Nya bahwa segala yang diciptakannya tidak sia-sia. Perbedaan semua itu adalah agar semua manusia satu sama lain melakukan ta‟aruf (saling mengenal). 1
Saefullah, Ujang.Drs. M.si. Kapita Selekta Komunikasi Pendekatan Agama dan Budaya (Simbiosa Rekatama Media, Bandung:2007)h. 56
40
Karena
pada
dasarnya
manusia
tidak
bisa
hidup
tanpa
bermasyarakat dan bantuan orang lain. Dengan ta‟aruf pula rasa saling menyayangi akan timbul di antara sesama. Ayat tersebut semakin menegaskan bahwa diciptakannya manusia berbangsa-bangsa, bersukusuku adalah untuk saling mengenal, bekerja sama (dalam kebaikan) sekaligus menafikan sifat kesombongan dan berbangga-bangga yang disebabkan oleh bedanya nasab (keturunan). Ayat ini juga dapat dipahami bahwa diciptakannya manusia untuk mengenal Tuhannya 2. Untuk menciptakan masyarakat yang harmonis tidak cukup hanya dengan ta‟aruf (saling mengenal), akan tetapi harus dibina dan dipupuk dengan subur melalui upaya yang dapat membuat hubungan di antara manusia dapat bertahan lama. 2. Etika Komunikasi Antar Pribadi dan Kelompok Dalam Dakwah Fardiyah Komunikasi penerimaannya
antarbudaya
berasal
dari
(kelompok)
budaya
adalah
sumber
yang berbeda-beda.
dan
Artinya
komunikasi antarbudaya terjadi bila pemberi pesan adalah anggota suatu budaya lainnya. Dengan demikian, komunikasi antarbudaya dalam bentuk ragam situasi yang berkisar dari interaksi-interaksi antarorang yang berbeda yang mempunyai budaya dominan yang sama, namun mempunyai subkultur atau subkelompok yang berbeda pula.
2
Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrur Razi, (Beirut: Darul Fikr, t.t), h. 138
41
Hubungan antara budaya dan komunikasi bersifat timbal balik. Keduanya saling mempengaruhi. Apa yang kita bicarakan, bagaimana kita membicarakannya, apa yang kita lihat, perhatikan, atau abaikan, bagaimana kita berpikir dan apa yang kita pikirkan, dipengaruhi oleh budaya. Jadi, perbedaan budaya sangat berpengaruh terhadap proses komunikasi.3 K.S Sitaran dan Roy Cogdell menyajikan standar etika komunikasi anatarbudaya (kelompok) sebagai berikut : 1. Memperlakukan budaya khalayak dengan penghormatan yang sama diberikan terhadap budaya sendiri. 2. Memahami landasan budaya dan nilai-nilai orang lain. 3. Tidak pernah menganggap lebih tinggi standar etika yang diyakininya dibandingkan dengan etika orang lain. 4. Berusaha keras memahami kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan orang lain. 5. Menghargai cara berpakaian orang-orang dari budaya lain. 6. Tidak memandang rendah orang lain karena ia berbicara dengan aksen yang berbeda dari aksen seseorang. 7. Tidak menciptakan suasana untuk menebalkan stereotip tentang orang lain. 8. Tidak memaksakan nilai yang diyakininya kepada orang lain yang berbeda budaya. 9. Berhati-hati dengan simbol nonverbal yang digunakan pada budaya lain. 10. Tidak berbicara dengan bahasa yang sama dengan orang lain dari budaya yang sama di hadapan orang yang tidak mengerti bahasa tersebut.4 Sehingga silaturrahim sebagai salah satu praktek pertukaran budaya dengan orang lain memiliki nilai yang luas dan mendalam, yang tidak hanya sekedar menyambungkan tali persaudaraan, lebih daripada itu,
3
Saefullah, Ujang.Drs. M.si. Kapita Selekta Komunikasi Pendekatan Agama dan Budaya (Simbiosa Rekatama Media, Bandung:2007)h. 60-61 4 Ibid.,h.60
42
silaturrahim juga bisa dijadikan sebagai sarana untuk mempermudah datangnya sebuah rezeki. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi yang berbunyi:
“Anas bin Malik r.a berkata, Saya telah mendengar Rasulallah SAW bersabda, ”Siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dilanjutkan umurnya, hendaklah ia menyambung hubungan famili (kerabat)”. (HR Bukhari) Hadits di atas kalau dicermati dengan seksama sangatlah logis, orang yang selalu bersilaturrahim tentunya akan memiliki banyak teman relasi, sedangkan relasi merupakan salah satu faktor yang akan menunjang kesuksesan seseorang dalam berusaha/berbisnis. Selain itu dengan banyak teman, akan memperbanyak saudara dan berarti pula telah berusaha meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT, hal ini karena telah melaksanakan salah satu perintahnya yang menyambungkan tali silaturrahim. Silaturrahim merupakan sifat terpuji yang harus senantiasa dibiasakan, karena memiliki banyak manfaat. Menurut al-Faqih abu Laits Samarqandi seperti dikutip Rahmat Syafisi keuntungan bersilaturrahim ada sepuluh, yaitu: a. b. c. d. e. f. g.
Memperoleh ridha Allah SWT karena Dia yang memerintahkannya. Membuat gembira orang lain. Menyebabkan pelakunya menjadi disukai malaikat. Mendatangkan pujian kaum Muslimin padanya. Membuat marah iblis. Memanjangkan usia. Menambah barakah rezekinya.
43
h.
Membuat senang kaum kerabat yang telah meninggal, karena mereka senang jika anak cucunya selalu bersilaturrahim. i. Memupuk rasa kasih sayang di antara keluarga/famili sehingga timbul semangat saling membantu ketika berhajat. j. Menambah pahala sesudah pelakunya meninggal karena ia akan selalu dikenang, dan didoakan karena kebaikannya 5. Apalagi bila mereka menyadari bahwa mereka yang memutuskan silaturrahim, diancam tidak akan mendapatkan kebahagiaan kelak di akhirat, yaitu mereka tidak masuk surga. Rasulallah SAW bersabda:
“Dari Abu Muhammad (Jubair) bin Muthsin ra., bahwa Rasulallah SAW bersabda, tidak akan masuk surga orang yang pemutus (hubungan famili). Abu Sufyan berkata, ”yakni pemutus hubungan famili (silaturrahim)”.6 (HR Bukhari dan Muslim) Menurut Imam Nawawi, persengketaan harus diakhiri pada hari ketiga, tidak boleh lebih. Menurut sebagaian ulama, di antara sebab Islam membolehkan adanya persengketaan selama tiga hari karena dalam jiwa manusia terdapat amarah dan akhlak jelek yang tidak dapat dikuasainya ketika bertengkar atau dalam keadaan marah. Waktu tiga hari diharapkan akan menghilangkan perasaan tersebut. 3. Etika Komunikasi Antarbudaya (persamaan derajat) Agar terciptanya komunikasi antarbudaya yang berhasil, kita harus menyadari faktor-faktor budaya yang mempengaruhi komunikasi kita, baik dari budaya kita maupun dari budaya pihak lain. Kita tidak hanya perlu
5 6
Rahmat SyafesI, Aqidah, Akhlak, Sosial dan Hukum, Cet. II, h. 210 Musthafa Dhaib Bigha, Mukhtashar Shahih Bukhari., h. 663
44
memahami
perbedaan-perbedaan
budaya,
tetapi
juga
persamaan-
persamaannya. Menurut K.S Sitaran dan Cogdell menyajikan standar etika komunikasi antarbudaya adalah : a. Tidak pernah menganggap lebih tinggi standar etika yang diyakininya dibandingkan dengan etika orang lain. b. Tidak memandang rendah orang lain karena ia berbicara dengan aksen yang berbeda dari aksen orang lain. c. Tidak memaksakan nilai yang diyakininya kepada orang lain yang berbeda budaya.7 Karena hal ini sesuai dengan firman Allah SWT tentang Persamaan derajat dalam firman-Nya:
Ketakwaan merupakan tolok ukur untuk membedakan apakah derajat seseorang itu mulia atau tidak. Tolok ukur yang digunakan manusia selama ini seperti melimpahnya materi dan kedudukan bukanlah tolok ukur yang sebenarnya. Dengan demikian, kedudukan manusia itu semuanya sama, kecuali taqwanya. Salah satu sendi ajaran Islam yang paling agung adalah pola persamaan hak yang telah disyariatkan bagi umat manusia. Semua manusia sama dalam pandangan Islam. Tidak ada perbedaan antara yang
7
Saefullah, Ujang.Drs. M.si. Kapita Selekta Komunikasi Pendekatan Agama dan Budaya (Simbiosa Rekatama Media, Bandung:2007)h. 60
45
hitam dan yang putih, antara kuning dan merah, kaya dan miskin raja dan rakyat, pemimpin dan yang dipimpin. Oleh karenanya tidaklah tepat kalau di antara manusia terjadi kesombongan disebabkan karena bedanya pangkat maupun keturunannya. Orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa dan yang paling banyak amal kebaikannya. Rasulallah SAW menegaskan pola persamaan hak ini dan menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat, seperti tercermin dalam sabdanya:
“Dari Iyadl Ibnu Himar r.a. bahwa Rosulullah SAW, bersabda: Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri, sehingga tidak ada seseorang pun yang menganiaya orang lain dan tidak ada yang bersikap sombong terhadap orang lain”. (Riwayat Muslim)8 Dengan demikian Islam dalam ajaran syariatnya, mengukuhkan adanya penghormatan terhadap manusia, menjamin kebebasan kehidupan dan hak asasi mereka, dan kedudukan mereka di hadapan hukum adalah sama. Tidak ada ajaran untuk melebihkan satu dari yang lain di hadapan hukum, kecuali dengan mengamalkan kebaikan dan meninggalkan perbuatan dosa dan pelanggaran.
8
Ibnu Hajar Asqalani,( Tarjamah Hadist Bulugul Maram, 1994 ), h. 494
46
Adapun bentuk dari pelaksanaan persamaan hak itu antara lain ialah penerapan hukum bagi pelaku kejahatan tanpa membeda-bedakan status sosial pelakunya. Kalau dicermati lebih jauh, bahwa salah satu penyebab kemunduran suatu bangsa adalah karena penegakkan hukum belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik, dalam hal ini sering kali orang dipandang berdasarkan status sosialnya. Rasulallah SAW adalah pribadi yang paling tegas dalam menegakkan keadilan, hal ini tercermin dari dari sebuah peristiwa ketika pada masa itu terjadi sebuah pencurian, beliau mengatakan seandainya yang mencuri itu adalah Fatimah maka akulah yang akan memotong tangannya. Oleh karena itu, jika suatu bangsa mengharapkan negara yang makmur, aman dan sejahtera maka salah satu cara yang perlu dilakukan adalah dengan menegakkan pola keadilan, dan menghukumnya bagi yang melanggar peraturan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedudukan semua orang adalah sama, artinya siapa yang melakukan kesalahan maka baginya pantas mendapatkan hukuman yang setimpal. Dengan tidak memandang latar belakang dan jabatan yang disandangnya, karena hanya ketakwaan yang membedakan antara yang satu dengan lainnya.
B. Hubungan Etika Komunikasi Dalam Al-Qur’an Berbicara mengenai komunikasi insani (human communication) berarti berbicara mengenai nilai atau etika yang dianut seseorang atau komunitas
47
tertentu karena setiap pribadi atau komunitas memiliki nilai yang diyakininya. Richard Means (Richard L. Johannesen, 1996: 2) mengatakan esensi manusia yang tinggi adalah homo ethicus, artinya bahwa manusia sebagai pembuat penilai etika.9 Pentingnya etika dalam proses komunikasi bertujuan agar komunikasi kita berhasil dengan baik (komunikatif), yang menurut Wilbur Schramm (dalam James G. Robbins, 1982) disebut the condition of succes in communication (kondisi suksesnya komunikasi), dan terjalinnya hubungan yang harmonis antara komuninkator dan komunikan. Hubungan akan terjalin secara
harmonis
apabila
antarakomunikator
dan
komunikan
saling
menumbuhkan rasa senang. Rasa senang akan muncul apabila keduanya saling menghargai, dan penghargaan sesama akan lahir apabila keduanya saling memahami tentang karakteristik seseorang dan etika yang diyakini masingmasing.10 Dari standar etika yang dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa standar etika dapat dikategorikan ke dalam tiga hal, yaitu : 1. Kognitif (pengetahuan) tentang budaya lain, yang menjelaskan perlunya memahami landasan budaya dan nilai-nilai orang lain, berusaha keras memahami kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan orang lain. Karena menurut
Mulyana (1999: 13) ketika kita
berkomunikasi dengan orang dari suku lain, agama, atau ras yang berbeda, kita dihadapkan dengan sistem nilai atau aturan yang 9
Saefullah, Ujang.Drs. M.si. Kapita Selekta Komunikasi Pendekatan Agama dan Budaya (Simbiosa Rekatama Media, Bandung:2007)h. 55 10 Ibid., h. 56
48
berbeda. Oleh karena itu, memahami sistem nilai orang lain adalah suatu keharusan. 2. Afektif (sikap) terhadap budaya lain, yang menyatakan hendakanya mengahrgai dan tidak memandang rendah budaya lain serta harus memperhatikan perilaku nonverbal, seperti : kontak mata, ekspresi wajah, nada suara, senyuman, gerakan isyarat, dan sejenisnya, dalam komunikasi antarbudaya sebab perilaku nonverbal budaya A jauh berbeda dengan budaya B. 3. Psikomotorik (perilaku) bekomunikasi dengan orang lain yang berbeda budaya perlu menghormati budaya tersebut dengan segala aspeknya, serta perlu menghindari stereotip, yaitu generalisasi yang bersifat negatif atas sekelompok orang (suku, agama, dan ras) dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan individual. Dengan demikian, stereotip antarsuku, agama dan ras harus ditinggalkan dengan mengedepankan persamaan dan saling menghormati perbedaan di antara kita. Sehingga peda gilirannya komunikasi di antara budaya yang berbeda akan berjalan baik.11 Aplikasi dari surat al-Hujurat/49 ayat 13 ini, menguraikan tentang prinsip dasar hubungan antar manusia. Karena itu ayat di atas tidak lagi menggunakan panggilan yang ditunjukan kepada orang-orang beriman, tetapi kepada jenis manusia, karena pada Allah berfirman.
11
Ibid.,h. 61-62
49
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan”, yakni Adam dan Hawwa, atau dari sperma ( benih laki-laki ) dan ovum ( indung telur perempuan ) “serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa juga bersuku-suku supaya kamu saling mengenal” yang mengantar kamu untuk bantu-membantu serta saling melengkapi, “sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” sehingga tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya12. Sehingga ayat ini menegaskan bahwasanya semua manusia sama di sisi Allah. 1. Tidak ada perbedaan antara satu suku dengan suku lainnya hal sesuai dengan komunikasi antar budaya. 2. Tidak adanya kasta yang membeda-bedakan kedudukan manusia ( status sosial ) setara disetiap tingkatan. 3. Tidak ada juga perbedaan (setara) pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan
C. Tujuan Setiap Tingkat Komunikasi 1. Sasaran dakwah melalui metode qaulan balighan Prinsip qaulan balighan dapat diterjemahkan sebagai prinsip komunikasi yang efektif. Al-qur‟an memerintahkan kita berbicara yang
12
M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 263
50
efektif. Semua perintah hukumnya wajib selama tidak ada keterangan lain yang meringankan. Al-qur‟an pun melarang kita melakukan komunikasi yang tidak efektif. Keterangan lain yang memperkokoh larangan ini, yaitu perkataan Nabi Muhammad saw, “Katakanlah dengan baik, bila tidak mampu, diamlah.”13 Sebagaimana al-qur‟an menjelaskan dalam surat an-nissa : 63, yang artinya “Berkatalah pada mereka tentang diri mereka dengan qaulan balighan (fasih)” Berikut ini perincian Al-Qur‟an tentang qaulan balighan. a. Qaulan
balighan
terjadi
bila
komunikator
menyesuaikan
pembicaraannya dengan sifat-sifat komunikan. Dalam istilah alqur‟an, ia berbicara fi anfusihim (tentang diri mereka). Dalam istilah sunah, “ Berkomunikasilah kamu sesuai dengan kadar akal mereka”. Pada zaman modern, ahli komunikasi berbicara tentang frame of reference dan field of experience. Komunikator baru efektif bila ia menyesuaikan pesannya dengan kerangka rujukan dan medan pengalaman komunikannya. Al-Qur‟an berkata, “ Tidak kami utus seorang Rasul kecuali ia harus menjelaskan dengan bahasa kaumnya” (QS. Ibrahim: 4) b. Qaulan balighan terjadi bila komunikator menyentuh komunikan pada hati dan otaknya sekaligus. Aristoteles pernah menyebut tiga cara yang efektif untuk mempengaruhi manusia, yaitu ethos, logos,
13
Ibid.,h. 72
51
dan pathos. Dengan ethos, kita merujuk pada kualitas komunikator. Komunikator yang jujur, dapat dipercaya, memiliki pengetahuan yang
tinggi,
akan
sangat
efektif
untuk
mempengaruhi
komunikannya. Dengan logos, kita menyakinkan orang lain tentang kebenaran argumentasi kita. Kita mengajak mereka berpikir, menggunakan akal sehat, dan membimbing sikap kritis. Kita tunjukkan bahwa kita benar karena secara rasional argumentasi kita harus diterima. Dengan pathos, kita bujuk komunikan untuk mengikuti pendapat kita. Kita getarkan emosi mereka, kita sentuh keinginan dan kerinduan mereka, kita redakan kegelisahan dan kecemasan mereka.14 2. Sasaran dakwah melalui metode qaulan maisuran Secara etimologis, kata maysuran berasal dari kata yasara yang artinya mudah atau gampang (al-Munawir, 1997: 158). Ketika kata maysuran digabungkan dengan kata qaulan menjadi qaulan maysuran yang aartinya berkata dengan mudah atau gampang. Berkata dengan mudah maksudnya adalah kata-kata yang digunakan mudah dicerna, dimengerti, dan dipahami oleh komunikan. Salah satu prinsip komunikasi dalam Islam adalah setiap berkomunikasi haarus bertujuan mendekatkan manusia dengan Tuhannya dan hamba-hambanya yang lain. Islam mengharamkan setiap komunikasi yang membuat manusia terpisah dari Tuhannya dan hamba-hambanya.
14
Ibid.,h. 73-74
52
Termasuk dosa besar dalam Islam apabila memutuskan ikatan kasih sayang (qathi‟at ar-rahim). Begitulah bentuk komunnikasi yang hangat di dalam Islam, sehingga penolakan permintaan tidak boleh menyinggung perasaan orang lain. Suatu komunikasi yang sangat mudah dalam memelihara keharmonisan dalam tata pergaulan umat (publik). Seorang komunikator yang baik adalah komunikator yang mampu menampilkan dirinya sehingga disukai dan disenangi orang lain. Untuk bisa disenangi orang lain, ia harus memiliki sikap simpati dan empati. Dalam hal ini, Kris Cole (2005: 113-114) mengatakan bahwa simpati melibatkan perasaan semacam pertalian erat dengan seseorang, apa pun yang mempengaruhi seseorang akan mempengaruhi orang lain juga. Dalam sebagian besar situasi komunikasi, simpati jauh lebih dari yang diperlukan atau bahkan diinginkan. Sedangkan empati membutuhkan kemampuan untuk melihat situasi dari sudut orang lain. 3. Sasaran dakwah melalui metode qaulan kariman Kata qaulan kariman dalam al-qur‟an dijelaskan pada surat AlIsraa ayat 23 : “Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan ah dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” Subtansi ayat tersebut, paling tidak mengandung dua hal, yakni: (1) berkenaan dengan tuntunan berakhlak kepadan Allah, dan (2) berkenaan dengan tuntunaan berakhlak kepada kedua orang tua.
53
Khusus berkenaan dengan kat-kata qaulan kariman yang berarti perkataan yang baik, enak didengar dan manis dirasakan, Al-Mawardi (2002: 35) dalam buku Lidah Tak Bertulang, mengartikan qaulan kariman adalah perkataan dan ucapan-ucapan yang baik yang mencerminkan kemuliaan. Sedangkan Wahab Al-Zuhaily dalam tafsir Munir mengartikan qaulan kariman adalah, “ Ucapkanlah kepada mereka perkataan yang lemah lembut dan baik yang disertai dengan sikap sopan santun, hormat, ramah tamah dan bertatakrama.15 4. Sasaran dakwah melalui metode qaulan ma‟rufa Kata qaulan ma‟rufa disebutkan Allah dalam Al-Qur‟an sebanyak lima kali. Pertama, berkenaan dengan pemeliharaan harta anak yatim, “ Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu), dan ucapkanlah kepada mereka qaulan ma‟rufa (kata-kata yang baik).” (QS. An-Nissa: 5) Kedua, berkenaan dengan perkataan terhadap anak yatim dan orang miskin. “ Dan apabila sewaktu-waktu pembagian itu hadir kerabat anak yatim, dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada meraka perkataan yang baik.”(QS. An-Nissa: 8) Ketiga, berkenaan dengan harta yang diinfakan atau disedakahkan kepada orang lain. “Qaulan ma‟rufa atau perkataan yang baik dan
15
Ibid., h.87-88
54
pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan penerima). Allah Mahakaya lagi Maha Penyantun”(QS. Al-Baqarah: 263). Keempat, berkenaan dengan ketentuan-ketentuan Allah terhadap istri Nabi. “ ...Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik (qaulan ma‟rufa)” (QS. Al-Ahzab: 32). Kelima, berkenaan dengan soal pinangan terhadap seorang wanita. “...janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma‟ruf”(QS. Al-Baqarah: 235). Dengan demikian, perkataan yang baik itu adalah perkataan yang menimbulkan rasa tentram dan damai bagi orang yang mendengarkannya, baik pada saat berkomunikasi berdua antara seseorang dan orang lain (interpersonal communication),berkomunikasi dengan banyak orang (group
communication),
maupun
melalui
media
massa
-
mass
communication. Qaulan ma‟rufa lebih banyak ditunjukan kepada wanita atau orang miskin yang kurang beruntung kehidupannya, seperti anak yatim dan orang miskin. Hal ini dimaksudkan agar setiap orang dituntut untuk dapat berkomunikasi dengan pantas kepada orang lain karena perkataan yang pantas akan menimbulkan perasaan senang dan bahagia.16
16
Ibid., h. 85
55
5. Sasaran dakwah melalui metode qaulan saddidan Qaulan saddidan, artinya pembicaraan yang benar, jujur (Pichhall menerjemahkannya straight to the point), lurus, tidak bohong, dan tidak berbelit-belit. Prinsip komunikasi yang pertama menurut Al-Qur‟an adalah berkata benar. Ada beberapa makna dari pengertian benar sesuai dengan kriteria kebenaran Al-Qur‟an. Salah satunya adalah sesuai dengan kriteria kebenaran. Buat orang orang lain, ucapan yang benar, tentu ucapan yang sesuai dengan AlQur‟an, sunnah, dan ilmu. Al-Qur‟an menyindir keras orang-orang yang berdiskusi tanpa merujuk pada alkitab, petunjuk dan ilmu, “Diantara manusia ada yang berdebat tentang Allah tanpa ilmu, petunjuk dan kitab yang menerangi” (QS. Luqman: 20). Al-Qur‟an mengajarkan bahwa salah satu strategi memperbaiki masyarakat ialah membereskan bahasa yang kita pergunakan untuk mengungkapkan realitas, bukan untuk menyembunyikannya. 17 6. Sasaran dakwah melalui metode qaulan layyinan Kata qaulan layyinan hanya satu kali disebutkan dalam Al-Qur‟an. “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” (QS. Thaahaa: 44). Qaulan layyinan menurut Al-Maraghi (1993: 203) dalam tafsirnya Al-Maraghi berarti pembicaraan yang lemah lembut agar labih dapat menyentuh hati dan menariknya untuk menerima dakwah. Dengan
17
Ibid., h. 68-69
56
perkataan yang lemah lembut, hati orang-orang yang durhaka akan menjadi halus, dan kekuatan orang-orang yang sombong akan hancur. Oleh sebab itu, datang perintah yang serupa kepada Nabi Muhammad saw yang tertuang dalam surat An-Nahl ayat 125, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan katakanlah mereka dengan cara yang baik pula.” Selanjutnya,
Allah
mengemukakan
alasan
mengapa
Musa
diperintahkan untuk berkata lemah lembut karena kata la‟alla (mudahmudahan) dalam kalimat seperti ini menunjukkana harapan tercapainya maksud ajakan tersebut, yakni : jalankanlah risalah, kerjakanlah apa yang Aku serukan kepada kalian, dan berusahalah mengerjakannya seperti orang yang berharap dan tamak, agar berjuang sampai puncak usahanya dengan harapan
segala
perbuatannya
dapat
mendatangkan
kebersihan,
kemenangan dan keuntungan (Al-Maraghi: 24). Sedangkan menurut Ibnu Kasir yang dimaksudkan dengan layyinan ialah kata-kata sindiran (bukan dengan kata terus terang). Hal yang sama telah diriwayatkan Sufyan As-Sauri bahwa sebutlah dia dengan julukan Abu Murrah. Pada garis besarnya, pendapat mereka menyimpulkan bahwa Musa dan Harun diperintahkan oleh Allah swt agar memakai kata-kata yang lemah lembut, sopan-santun, dan belas kasihan dalam dakwahnya kepada Firaun, agar kesannya lebih mendalam dan lebih menggugah perasaan, serta dapat membawa hasil yang positif.
57
Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa nilai dan aplikasi komunikasi yang terdapat dalam surat al-Hujurat ayat 13 meliputi ta‟aruf dan egaliter (persamaan derajat). Agar nilai tersebut dapat diaplikasikan dengan baik maka diperlukan sebuah metode. Bagaimana seseorang mampu berkomunikasi dengan komunikatif mempunyai timbal balik yang selaras dengan inti dari pesan yang ingin disampaikannya, untuk dapat memilih dan menggunakan metode secara tepat. Adapun metode yang dapat digunakan seperti yang telah dikemukakan meliputi metode atau prinsip qaulan balighan, qaulan maisuran, qaulan kariman, qaulan ma‟rufan, qaulan saddidan dan qaulan layyinan. Dengan demikian Islam dalam ajaran syariatnya, mengukuhkan adanya penghormatan terhadap manusia, menjamin kebebasan kehidupan dan hak asasi mereka, dan kedudukan mereka di hadapan hukum adalah sama. Tidak ada ajaran untuk melebihkan satu dari yang lain di hadapan hukum, kecuali dengan mengamalkan kebaikan dan meninggalkan perbuatan dosa dan pelanggaran. Adapun bentuk dari pelaksanaan persamaan hak itu antara lain ialah penerapan hukum bagi pelaku kejahatan tanpa membeda-bedakan status sosial pelakunya. Kalau dicermati lebih jauh, bahwa salah satu penyebab kemunduran suatu bangsa adalah karena penegakkan hukum belum sepenuhnya
58
dilaksanakan dengan baik, dalam hal ini sering kali orang dipandang berdasarkan status sosialnya. Rasulallah SAW adalah pribadi
yang paling tegas dalam
menegakkan keadilan, hal ini tercermin dari dari sebuah peristiwa ketika pada masa itu terjadi sebuah pencurian, beliau mengatakan seandainya yang mencuri itu adalah Fatimah maka akulah yang akan memotong tangannya. Oleh karena itu, jika suatu bangsa mengharapkan negara yang makmur, aman dan sejahtera maka salah satu cara yang perlu dilakukan adalah dengan menegakkan pola keadilan, dan menghukumnya bagi yang melanggar peraturan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedudukan semua orang adalah sama, artinya siapa yang melakukan kesalahan maka baginya pantas mendapatkan hukuman yang setimpal. Dengan tidak memandang latar belakang dan jabatan yang disandangnya, karena hanya ketakwaan yang membedakan antara yang satu dengan lainnya. Oleh karena itu, setiap orang harus menanamkan kembali tentang pentingnya ta‟aruf dan silaturrahim, sehingga diharapkan nantinya ketika sudah terjun kepada kehidupan sosial
gemar melakukan ta‟aruf dan
bersilaturrahim sebagai wujud kepedulian sesama. Dalam kaitannya dengan manamkan sikap saling berta‟aruf dan silaturrahim maka pola komunikasi yang baiklah yang dapat dijadikan sebagai salah satu metode untuk menumbuhkan sikap tersebut.
59
Setiap manusia harus mampu mengaflikasikan pentingnya ta‟aruf dan silaturrahim serta hikmah yang terkandung di dalamnya, karena memang ta‟aruf dan silaturrahim banyak mengandung manfaat. Agar pola komunikasi ini dapat terlaksana dengan baik, maka dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu: a. Gunakan bahasa yang baik dan sopan serta mudah dipahami. Baik artinya: elok, patut, teratur, apik, rapih, beres, tak ada celanya, berguna, tidak jahat, tentang kelakuan budi pekerti18. Bahasa yang baik adalah bahasa yang diucapkan sesuai dengan kaidah pengucapan atau bahasa, isinya menunjukkan nilai kebaikan dan kebenaran, dan diucapkan sesuai dengan situasi dan kondisi. b. Jujur, artinya: lurus hati, tidak curang. Bahasa yang jujur adalah ungkapan bahasa yang isinya mengandung kebenaran apa adanya, sesuai dengan data atau realita. Penyampaiannya dilakukan dengan polos; tanpa mempengaruhi atau memihak19. c. Jangan sampai menyinggung perasaan orang yang dinasihati atau orang disekitarnya. d. Iringi bahasa lisan dengan bahasa tubuh, agar lebih mudah dipahami. e. Menyampaikan pesan dengan kalimat yang sederhana (tidak berteletele). Lurus artinya: lempang (betul, tidak bengkok atau tidak lengkung), tegak benar, jujur; terus terang tepat, benar; betul, sebetulnya, sebenarnya. Bahasa yang lurus adalah ungkapan bahasa 18
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1988). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka., h. 67 19 Ibid,. h. 367
60
yang tepat sesuai dengan tujuannya, baik berkaitan dengan isinya yang benar maupun berkaitan dengan caranya yang tidak menyimpang 20. 1. Aplikasi Egaliter (persamaan derajat) Seperti yang telah penulis kemukakan pada bab sebelumnya, bahwa semua manusia kedudukannya sama. Hanya takwa yang membedakan. Oleh karenanya, menjadi tidak wajar apabila ada yang beranggapan bahwa dirinya merasa lebih baik dari pada yang lain karena suatu kelebihan yang dimilikinya (sombong). Karena sesungguhnya kesombongan merupakan sifat buruk yang pertama nampak pada Iblis ketika diminta bersujud kepada Adam. Sehingga akhirnya iblis laqnatullah alaih diusir dari surga. Terkait dengan upaya menanamkan sikap persamaan derajat di antara sesama maka harus senantiasa untuk mempunyai pandangan bahwa semua manusia adalah sama, tidak ada perbedaan antara yang kaya dan miskin, kulit hitam maupun putih, pintar dan bodoh. Karena semua itu merupakan tolok ukur yang sifatnya sementara. Sedangkan orang yang paling mulia adalah yang paling takwa kepada Allah SWT. Oleh karenanya, tidak perlu menyombongkan diri ketika memiliki kelebihan dibanding yang lain. Bahkan seharusnya orang yang kaya membantu yang miskin dan pintar membantu yang bodoh. Bahkan keteladanan pun bisa digunakan dalam rangka menanamkan sikap persamaan derajat. Misalnya seorang guru tidak membedakan anak
20
Ibid,. h. 539
61
didik berdasarkan status sosialnya. Kedudukan semua murid adalah sama, artinya ketika melakukan kesalahan maka siapapun orangnya dengan tidak memandang latar belakang sosialnya ia harus mendapatkan sanksi yang seimbang atas kesalahan tersebut. Dalam menanamkan bahwa kedudukan semua manusia adalah sama kecuali takwanya adalah merupakan gambaran. seperti Nabi Muhammad SAW tidak pernah membedakan kedudukan seseorang berdasarkan warna kulit, kedudukan maupun status sosialnya. Seperti yang diketahui bahwa Bilal adalah seorang sahabat yang berkulit hitam, namun ia mendapatkan kehormatan untuk mengumandangkan azdan. Padahal pada saat itu masih ada orang lain yang secara fisik lebih baik dari Bilal, hal ini menandakan bahwa “Rasulallah SAW tidak pernah membedakan seseorang berdasarkan status sosial maupun warna kulitnya. Rasulallah SAW tidak lantas memandanya sebagai orang yang rendah melihat kondisi warna kulit yang dimiliki Bilal r.a seperti itu.21 Setelah mengkaji adab dan syarat dalam komunikasi dakwah, berikut ini akan disimpulkan prinsip-prinsip pendekatan komunikasi yang terkandung dalam qaul/kata dalam Al-Qur‟an berserta sasaran-sasarannya: 1. Qaulan balighan jika ditelaah kata, “balighan” dari huruf-huruf “Ba”, “Lam” dan “Gain”. Para pakar bahasa menyatakan bahwa semua kata yang terdiri dari huruf-huruf tersebut mengandung arti “sampainya sesuatu ke suatu
21
Ahmad al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj. (Semarang: Toha Putra, 1993), h. 236
62
yang lain”. Ia juga bermakna “cukup”, karena kecukupan mengandung arti sampainya sesuatu pada batas yang dibutuhkan. Seseorang yang pandai menyusun kata sehingga mampu menyampaikan pesannya dengan baik cukup dinamai “baligh” dan sasaran dari qaulan balighan ini ialah untuk semua kalangan.22 2. Qaulan maisuran Terkait dengan proses komunikasi dakwah dan sasarannya, dalam buku Metode Dakwah ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika sang dai menggunakan qaulan maisuran jika ditinjau dari karakter dan kondisi mad‟u yang akan dihadapi adalah: 1. Orang tua atau kelompok orang tua yang merasa dituakan, yang sedang menjalanin kesedihan lantaran kaurang bijaknya perlakuan anak terhadap orangtuanya atau kelompok yang lebih muda. 2. Orang yang tergolong dizalimi hak-haknya oleh orang-orang yang lebih kuat. 3. Masyarakat yang secara sosial berada di bawah garis kemiskinan, lapisan masyarakat tersebut sangat peka dengan nasihat yang panjang, karenanya dai harus memberikan solusi dengan membantu mereka dengan dakwah bil hal.23 3.
Qaulan kariman Prinsip
komunikasi
yang
terkandung
adalah
jika
berkomunikasi dengan orang yang lebih tua dari pada kita atau siapa 22 23
Ilaihi,Wahyu.M.A, Komunkasi Dakwah (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010),h.174 Ibid.,h.182
63
saja, maka komunikator haruslah memiliki dan memperlihatkan sopan santun yang berlaku. Dalam artian, tidak melakukan kekasaran dan memilih bahasa yang terbaik dan sopan penuh penghormatan.24 4.
Qaulan ma‟rufa Dari frasa qaulan ma‟rufa terlihat gambaran mengenai bagaimana secara etis berkomunikasi dan berlaku pada konteks komunikan, yang pertama, orang-orang kuat (komunikator yang memiliki power) kepada kaum yang lemah seperti orang miskin, anak yatim dan lain sebagainya (komunikan). Kedua. Orang-orang yang masih belum sempurna menggunakan akalnya (anak-anak), yang lebih mengedepankan emosi daripada logikanya. Ketiga, para perempuan, ditujukan untuk menghindari dan mencegah perkataan yang lemah lembut dalam konteks dapat menimbulkan fitnah. Akan tetapi, kata-kata tersebut boleh diucapkan hanya ditujukan kepada muhrimnya.25
5. Qaulan saddidan Dapat diartikan sebagai “pembicaraan yang benar”, “jujur”, “tidak bohong”, “lurus” dan “tidak berbelit-belit”. Dalam Al-Qur‟an, kata qaulan saddidan terungkap sebanyak dua kali yaitu yang pertama, Allah swt menyuruh qaulan saddidan dalam menghadapi urusan anak yatim dan keturunnya. Kedua, ungkapan “saddidan” yang mengandung 24 25
Ibid.,h.177-178 Ibid.,h.184
makna
“meruntuhkan
sesuatu
kemudian
64
memperbaikinya”, diperoleh pula petunjuk bahwa ucapan yang meruntuhkan jika disampaikan harus pula dalam saat yang sama memperbaikinya, dalam arti kritik yang disampaikan hendanya merupakan “kritik membangun”, atau dalam arti informasi yang disampaikan haruslah baik, benar, dan mendidik.26 6. Qaulan layyinan Interaksi aktif dari qaulan layyinan adalah komunikasi yang ditunjukan pada dua karakter mad‟u. Pertama, adalah pada mad‟u tingkat
penguasa
dengan
perkataan
yang
lemah
lembut
menghindarkan atau menimbulkan sikap konfrontatif. Kedua, mad‟u pada tataran budayanya yang masih rendah. Sikap dengan qaulan layyinan akan berimbas pada sikap simpati dan sebaliknya akan menghindarkan atau menimbulkan sikap antipati.27
26 27
Ibid.,h.187-188 Ibid.,h.181
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Komunikasi merupakan cerminan seseorang untuk menjalin hubungan, sehingga baik buruknya komunikasi seseorang dapat dilihat dari ia bergaul dengan masyarakat luas. Al-Qur‟an adalah sumber pokok dalam berprilaku dan menjadi acuan kehidupan, karena di dalamnya memuat berbagai aturan kehidupan dimulai dari hal yang urgent sampai kepada hal yang sederhana sekalipun. Jika al-Qur‟an telah melekat dalam kehidupan setiap insan, maka ketenangan dan ketentraman bathin akan mudah ditemukan dalam realita kehidupan. Dengan demikian kesimpulan dari pembahasan ini adalah : 1. Memperoleh informasi dari para mufassir tentang tata cara menjalin hubungan aplikasi dalam surat Al-hujurat/49: 13. 2. Etika komunikasi yang terdapat dalam surat Al-Qur‟an Al-Hujurat/49: 13. 3. Aplikasi tentang menjalin hubungan yang terdapat dalam surat AlHujurat/49: 13 didalam Islam. Sehingga dari penelitian ini penulis dapat mengambil aplikasi dari etika pola
komunikasi yang terkandung dalam surat al-Hujurat ayat 13
tersebut, adalah sebagai berikut: 1. Menjunjung tinggi kehormatan umat
manusia seutuhnya, mendidik
manusia untuk selalu menghargai dan menjaga kehormatan diri mereka
65
66
dan orang lain. Dengan demikian akan terwujud kehidupan masyarakat yang harmonis. 2. Mendidik manusia untuk selalu berfikir positif agar hidup menjadi lebih produktif, sehingga energi tidak terkuras hanya untuk memikirkan hal-hal yang belum pasti kebenarannya. 3. Ta‟aruf mendidik manusia untuk selalu menjalin komunikasi dengan sesama, karena banyaknya relasi merupakan salah satu cara untuk mempermudah menjalin hubugan dengan siapa, dimana dan kapanpun 4. Egaliter mendidik manusia untuk bersikap rendah hati, sedangkan rendah hati adalah salah satu cara agar kita bisa diterima keberadaanya dihadapan orang lain. Dengan demikian surat al-Hujurat/49 : 13 ini memberikan landasan bagi manusia, khususnya umat Islam untuk berorientasi kepada terwujudnya manusia yang shaleh baik secara ritual maupun sosial.
B. Saran-saran Islam merupakan agama yang tidak hanya mengedepankan sisi kognitif saja, lebih dari itu, adalah aspek sikap (afektif). Oleh karenanya, perlu adanya usaha untuk memotivasi dan mendukung pembentukan pribadi Muslim yang tangguh (pemeluk agama yang taat) dengan berpedoman kepada alQur‟an dan as-Shunah.
Hal ini tentu harus didasari oleh kemampuan-
kemampuan dasar sebagai manusia. Sehingga secara terpadu dapat mewujudkan tujuan dan harapaan sebagai makhluk sosial dan beragama.
67
Jadi untuk mencapai tujuan, maka penanaman pola komunikasi dalam al-Qur‟an harus diterapkan dengan menggunakan metode yang tepat. Adapun aplikasinya yang meliputi menjunjung kehormatan umat manusia dapat disampaikan dengan cara keteladanan. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan dapat digunakan metode- metode lain sebagai penerapannya. Tentunya peranan orang-orang alim sebagai pendidik utama tidaklah kalah pentingnya dalam mewujudkan proses mengkomunikasikan al-Qur‟an dengan metode atau cara komunikasi yang baik. Sehingga mampu diterima oleh setiap idividu-individu atau masyarakat luas, walaupun dalam ukuran yang sangat sederhana (sesuai dengan kemampuan berfikir ). Sehingga nilai al-Qur‟an yang agung dapat terealisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Mushthofa, Tafsir al-Maraghi, Beirut: Dar al-Fikr, t. th. Muslim, Imam, Shahih Muslim, Kairo: al-Masyad al-Husaini, t. th. Alquran dan Terjemahannya. (1989). Jakarta: Departemen Agama RI. Ashiddiqi, H. (1977). Tafsir al-Bayan Jilid 1,2. Bandung: Al- Maarif. Dahlan, M,D. dan Syihabuddin. (2001). Kunci-kunci Menyingkap Isi Al Quran. Bandung: Pustaka Fithri. Effendy, Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya), cet XII, 1999. Kamus Besar bahasa Indonesia. (1988). Jakarta: Balai Pustaka. Katsir, I. (1410H). Tafsir Ibnu Katsir. Riyadh: Maktabah Ma‟arif. Purwadarminta, W,J,S. (1985). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Qardhawi, Yusuf. 1973. Hajazi, Mahmud, Tafsir Wadhih, Beirut: Dar al-Jil, jilid III, tt. Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987. Hamka. (1983). Tafsir Al Azhar. Jakarta: Bulan Bintang. Ibn Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-„Adhim, Beirut: al-Maktabah al-„Ashriyah, jilid IV, 2000. Jilid I, 2005. Ilaihi, Mahmud, Komunikasi Dakwah, (Bandung: Remaja Rosdakarya), cet. I, 2007 Asqalani, Ibn Hajar : Tarjamah Hadist Bulugum Maram,(Gema Risalah Press Bandung, 1994)h. 499 Maraghi, Ahmad, Tafsir al-Maraghi, terj, Semarang: Toha Putra, Cet. III, 1993. Nimmo, Dan, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, penerjemah Tjun Surjaman, (Bandung: Remaja Rosdakarya), cet. II, 2000. Rahmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya), cet. X, 1996.
68
69
Shihab, Muhammad Quraish, Wawasan al-Qur`an, Bandung: Mizan, cdet. II, 1996. Razi, Fakhrur, Tafsir Fakhrur Razi, Beirut: Darul Fikr, jilid IV,1985. Rifasi, Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani, Jilid IV, 2000. Shihab, M Quraish, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, Cet. I, volume 13, 2003. Susanto, Astrid S., Komunikasi dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Bina Cipta), cet. V, 1986. Al-Razi, Fakhr al-Din, al-Tafsir al-Kabir, Beirut: Dar al-Fikr, t. th. Al-Ashfahani, Abu al-Qasim Abu al-Husain bin Muhammad al-Raghib, alMufradat fi al-Gharib al-Qur`an, Mesir: Mushthofa al-Bab al-halabi, 1961. Amir, Mafri, Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Utsaimin, Muhammad, Syarah Riyadhus Shalihin, Jakarta: Darul Falah, Cet. I, Saefullah, Ujang, Drs. M.Si. Kapita Selekta komunikasi Pendekatan Budaya dan Agama, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007 Syafe‟i, Rahmat, Aqidah, akhlak, Sosial dan Hukum, Bandung: Pustaka Setia, Cet. II, 2003. Taher, Tarmizi, Membumikan al-Qur`an, Bandung: Mizan, 1995.