ESTIMASI NILAI EKONOMI AIR DAN EKSTERNALITAS LINGKUNGAN PADA PENERAPAN IRIGASI TETES DAN ALUR DI LAHAN KERING DESA PEJARAKAN BALI Estimating Economic Value of Water and Environmental Externalities in Application of Drip and Furrow Irrigations in the Dry Land Area of Pejarakan Village, Bali Ridwan Marpaung Balai Sosekling Bidang SDA Pusat Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Sapta Taruna Raya No.26 Kompleks PU Pasar Jumat Jakarta 12310 E-mail :
[email protected] ABSTRACT
Tanggal diterima : 16 Januari 2012 ; Tanggal disetujui: 2 April 2013
Lower appreciation for economic value of irrigation water causes the over pumping on ground water resources in application of drip irrigation system in Pejarakan dry land. It has considerable impacts in term of excessive water use and environmental degradation near the well, while the cost for expenditure to install the drip system is relative expensive .Ground water reserve for drip irrigation in Pejarakan dry land area is very limited so, over pumping for rising crop productions and also for balance cost recovery make negative impact to environment. This study aims to determine the economic value of irrigation water and its environmental externality impact by using depth interview data of dry land farmer at Pejarakan Village. Using Imputation Residual Approach (IRA) on drip irrigation, the water price is Rp.2.008/m3/ha for gasoline pumping energy and Rp.3.836/m3/ha for electrical pumping energy. On the other hand, using furrow irrigation, the water price is zero. Water productivity of drip irrigation is 0,758 kg/m3 (Rp.6.822/m3), higher than the productivity using furrow irrigation that is 0,335 kg/m3 (Rp.3.015/m3). These results also show the efficiency of drip irrigation is 58,1% higher than that of furrow. By taking environmental externality cost into account, the farmers’ net income will be decreased to 50,2% for drip irrigation using gasoline and 27,9% for using electrical pumping energy. Moreover, 77,6% of the total cost is attributed to install the drip irrigation system which considered too expensive for the farmers, consequently the subsidy is still required. These results are useful to determine appropriate policy options such as subsidy, charge, tax and incentive to water use. Key word: dry land, environmental externalities, imputation residual approach, irrigation, economic value of water ABSTRAK Rendahnya apresiasi terhadap nilai ekonomi air irigasi menyebabkan pemompaan yang berlebihan sumber air tanah pada penerapan sistem irrigasi tetes di lahan kering Desa Pejarakan. Penggunaan air yang berlebihan menyebabkan degradasi lingkungan sekitar sumur, sementara biaya yang dikeluarkan untuk membangun sistem irigasi tetes relatif mahal. Persediaan air tanah sebagai sumber air irigasi tetes di lahan kering Desa Pejarakan sangat terbatas. Pemompaan air yang berlebihan untuk memacu produksi dan pemulihan biaya akan membawa dampak eksternalitas lingkungan yang justru merugikan. Studi ini ditujukan untuk menentukan nilai ekonomi air irigasi dan pengaruh eksternalitas lingkungan berdasarkan data wawancara mendalam pada petani lahan kering Desa Pejarakan. Dengan menggunakan Imputation Residual Approach (IRA) pada irigasi tetes harga air adalah Rp.2.008/m3/ha dengan pompa bahan bakar solar dan Rp.3.836/ m3/ha dengan pompa energi listrik. Sebaliknya dengan menerapkan irigasi alur harga air menjadi tidak ada. Produktivitas air irigasi tetes adalah 0,758 kg/m3 (Rp.6.822/m3) lebih tinggi dari irigasi alur 0,335 kg/m3 (Rp.3.015/m3). Dengan memperhitungkan biaya ekternalitas lingkungan, pendapatan bersih petani dapat berkurang sampai 50,2% untuk irigasi dengan pompa bahan bakar solar dan 27,9% dengan pompa tenaga listrik. Hasil ini juga menunjukkan bahwa 77,6% dari biaya total disumbangkan untuk membangun sistem irigasi tetes adalah sangat mahal bagi petani dan sebagai konsekuensinya subsidi tetap diperlukan. Hasil ini bermanfaat untuk menentukan pilihan kebijakan yang tepat seperti subsidi, pungutan, pajak, dan insentif bagi penggunaan air. Kata Kunci: kering, eksternalitas lingkungan, imputation residual approach, irigasi, nilai ekonomi air
65
PENDAHULUAN Jumlah penduduk Desa Pejarakan berdasarkan hasil sensus tahun 2010 ada sebanyak 10.673 orang; sekitar 80 % penduduk hidup dari sektor pertanian dan perkebunan. Tingkat kesejahteraan penduduk dicerminkan dari pengeluaran perkapita, dimana 74,36% dari jumlah penduduk mempunyai pengeluaran perkapita di bawah Rp.500.000. Hal ini menandakan tingkat kesejahteraan penduduk Desa Pejarakan sangat rendah (Kecamatan Gerogak dalam Angka 2011). Curah hujan rata-rata bulanan di Kabupaten Buleleng periode Juli-Desember 2009 dan Januari-2010 berkisar rata-rata 112,08mm/ bulan. Periode tahun 2010 curah hujan bulanan di atas 100 mm terjadi pada bulan Januari-Mei 2010 hanya 5 bulan (Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Buleleng 2010). Menurut Oldeman curah hujan rata-rata kurang dari 100 mm/ bulan termasuk bulan kering dan perbandingan rata-rata bulan kering dan bulan basah adalah 1 : 3 termasuk pada bulan agak kering menurut SmitchFergusson (Eni 2009). Walaupun demikian curah hujan yang tidak merata menyebabkan jumlah hujan lebih berfluktuasi dari suatu lokasi ke lokasi lain di wilayah tersebut. Hal ini menyebabkan ketersediaan air bagi tanaman menjadi riskan. (Suarna dalam Merit dan Narka 2007) menyebutkan bahwa lahan kering dengan curah hujan bulan basah hanya 4-5 bulan dikategorikan riskan untuk tanaman palawija maupun holtikultura.
Upaya Kementerian Pekerjaan Umum (PU) untuk mengatasi keterbatasan air ini sudah dilakukan sejak tahun 1992 dimana telah dibangun sumursumur pompa bor dalam. Saat ini sumur bor yang dibangun oleh Petani Pemakai Air Tanah (P2AT) di Desa Pejarakan terdapat 6 titik, yang salah satu titik di Dusun Banjar Doris Desa Pejarakan yang menjadi lokasi penelitian ini. Jaringan irigasi tetes (drip irrigation) di Dusun Banjar Doris, Desa Pejarakan dibangun oleh Balai Wilayah Sungai BaliPenida (BWS Bali-Penida) yang merupakan bagian kegiatan besar rehabilitasi/peningkatan Jaringan Irigasi Air Tanah (JIAT) di Kabupaten Buleleng dan Jembrana. Upaya merehabilitasi jaringan irigasi air tanah dengan memanfaatkan sumur bor untuk meningkatkan produksi pertanian. Besar biaya untuk irigasi tetes mencapai Rp.117.702.000 yang dibiayai oleh APBN tahun 2011 pada lahan kering dengan luas 0.6 ha di Desa Pejarakan. Investasi ini adalah biaya modal yang sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah melalui subsidi, sedangkan di level petani adalah biaya operasional pompa dan biaya untuk bibit, pupuk, dan pestisida. Kementerian PU Pada tahun 2011 melakukan upaya untuk merehabilitasi sumur pompa dan
66
penggantian mesin baru untuk menekan biaya operasional pompa. Biaya operasional pompa yang baru ini jauh lebih berkurang menjadi 4 liter/jam (Rp.20.000/jam) dan debit pompa lebih besar 8 liter/detik (Rp.40.000/jam). Untuk memacu produksi, petani menggunakan pompa secara terus menerus (over pumped) dari pagi sampai malam terutama pada saat musim kering yang berdampak pada penurunan muka air tanah dan bahkan ada yang sampai mengering di sekitar sumur PAT. Penggunaan irigasi alur tidak efisien, hal ini ditandai dengan penggelontoran air pada bedengan setinggi 10-15 cm dan dibiarkan meresap ke dalam tanah sampai semua dalam keadaan basah. Tenaga kerja yang digunakan hanya untuk membuka dan menutup jalur air selama pengairan dikerjakan. Penggunaan air yang boros ini disebabkan oleh rendahnya dan bahkan tidak ada apresiasi petani terhadap nilai ekonomi air. Beberapa penelitian tentang penerapan irigasi mikro dilahan kering sudah dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian PU. Penelitian yang dilakukan oleh Balai Irigasi Pusat Penelitian dan Penegmbangan Sumber Daya Air tentang rancangan hidrolika irigasi tetes di Kabupaten Nganjuk Jawa, Timur dengan memanfaatkan Jaringan Teknis Irigasi Air Tanah (JIAT) (Prastowo 2009) menemukan efisiensi irigasi tetes bervariasi antara (49-81%). Selanjutnya (Dadang 2009) pada penelitian efektivitas irigasi tetes pada lahan kering di Desa Akar-akar, Lombok Utara, Provinsi NTB menemukan adanya efisiensi penghematan air yang cukup tinggi, yaitu 75,60% sampai 51,59% dan manfaatnya adalah mampu meningkatkan produksi tanaman melon sebesar 20,59% dan 53,8% untuk tanaman semangka. Pada penelitian ini belum dihitung harga air, tetapi manfaat efisiensi air sudah dihitung. Penelitian lainya yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian PU di lahan kering Desa Temiyang, Kecamatan Kroya, Indramayu Jawa Barat dengan menerapkan irigasi tetes untuk tanaman cabe menemukan penghematan air sebesar 78,29% dengan nilai ekonomi air sebesar Rp.2,49/liter dan perbandingan manfaat dengan biaya (B/C) adalah 2,1. Penelitian di atas secara umum belum memasukkan biaya dari ekternalitas lingkungan akibat penerapan teknologi irigasi mikro oleh karena itu perlu menghitung ekternalitas ini karena akan mempengaruhi appresiasi terhadap air dan nilai ekonomi air irigasi tersebut. Untuk meningkatkan appresiasi petani terhadap nilai ekonomi air ini, maka air harus diberlakukan sebagai salah satu faktor produksi penting di lahan kering, sama seperti faktor produksi lainnya, yaitu modal, tenaga kerja, dan tanah. Oleh karena
Estimasi Nilai Ekonomi Air Dan Eksternalitas Lingkungan Pada Penerapan Irigasi Tetes Dan Alur Di Lahan Kering Desa Pejarakan Bali Ridwan Marpaung itu, perlu diketahui struktur pembiayaan sistem irigasi dikaitkan dengan kemampuan petani dalam pembiayaan tersebut. Seberapa besar harga air irigasi ini, produktivitas air, efisiensi penggunaan air, pengaruh biaya ekternalitas lingkungan, income petani, dan keuntungan bersih petani pada penerapan irigasi tetes maupun alur. Dengan diketahuinya komponen-komponen di atas, maka kebijakan mengenai subsidi, kutipan, pajak, retribusi, dan iuran bagi setiap besaran penggunaan air dapat ditetapkan. Dengan demikian apresiasi terhadap nilai ekonomi air akan meningkat yang pada gilirannya penggunaan air irigasi akan menjadi efisien.
KAJIAN PUSTAKA
Penentuan bulan basah, bulan lembab, dan bulan kering menurut Oldeman dibagi tiga golongan. Bulan basah apabila rata-rata curah hujan bulanan >200 mm, bulan lembab apabila curah hujan antara 100-200 mm, dan bulan kering curah hujannya <100mm (Eni 2009). Desa Pejarakan yang terletak pada Kabupaten Buleleng termasuk pada lahan kering. Pada lahan kering dimana suplai air relatif kecil dibandingkan dengan permintaan (demand) maka air mempunyai nilai ekonomi dan ketika air tersedia dalam pasokan yang tidak terbatas. Kondisi ini artinya air tidak mempunyai nilai ekonomi (Ward dan Michelsen 2002). Selanjutnya disebutkan bahwa nilai ekonomi air adalah besaran yang mana pengguna rasional seperti masyarakat atau individu mendapat pasokan air tersebut mau membayar untuk sejumlah air yang dikonsumsinya (williness to pay) atau secara tidak langsung dengan menggunakan berbagai metode seperti Inputation Residual Approach (IRA) yang menggunakan pengamatan harga pasar. Namun nilai ekonomi air tidak terlepas dengan isu water prising. Water pricing terkait dengan dua lingkaran yang kompleks, yaitu ekonomi mikro petani dan hubungannya dengan sistem ekonomi yang lebih luas seperti kebijakan pertanian dan di sisi lain adalah kondisi hidrologi terkait dengan sistem irigasi serta daerah aliran sungai (Molle dan Berkoff 2007).
Lahan kering dimana pasokan air hujan tidak dapat mencukupi kebutuhan tanaman maka kekurangan air harus ditutupi dengan membangun irigasi tambahan menggunakan teknologi irigasi mikro seperti irigasi tetes atau irigasi alur. Irigasi tetes adalah cara pemberian air secara langsung pada zona akar secara sinambung melalui alat penetes emiter, sedangkan irigasi sistem alur pemberian air irigasi dilakukan dengan penggenangan air di antara alur tersebut. Penerapan teknologi irigasi tetes dan alur dimaksudkan untuk menambah pasokan air pada
tanaman pada musim kering, dimana jumlah hujan tidak mencukupi dengan memanfaatkan sumber air tanah. Nilai ekonomi air irigasi dapat ditaksir melalui pendekatan produktivitas air, bukan dari pasokan air tetapi dari sisi penggunaannya. Estimasi nilai ekonomi air mencakup penyediaan informasi untuk rancangan instrumen ekonomi ,seperti harga air (water pricing), produktivitas air, efisiensi penggunaan air, pendapatan kotor, dan pendapatan bersih. Harga air adalah besar pungutan per meter kubik air yang dapat dihitung dengan berbagai metode, seperti metode Inputation Residual Approach (IRA). Metode ini menaksir harga air yang belum ada harga pasarnya dengan memberlakukan air sama seperti faktor-faktor input produksi lainnya yang mempunyai harga pasar. Produktivitas air adalah benefit atau hasil (yield) yang dihasilkan dari satu unit volume air, sedangkan efisiensi penggunaan air adalah jumlah air yang digunakan berbanding dengan jumlah air yang di pasok. Pendapatan kotor (gross income)adalah hasil atau produk rata-rata pertanian dikali dengan harga satuan produk, sedangkan pendapatan bersih (net income) adalah pendapatan kotor dikurangi dikurangi dengan biaya total. Nilai ekonomi air dapat ditentukan dengan melakukan analisis biaya produksi. Suatu produksi memerlukan faktor-faktor input produksi, seperti Modal (K), Tenaga Kerja (L), Tanah (R), dan Air (W) untuk menghasilkan output produksi (Iskandar 2007). Beberapa faktor produksi seperti modal, tenaga kerja, dan tanah terdapat nilai pasarnya. Sedangkan air jarang tersedia harganya di pasar, sehingga estimasi nilai ekonomi air harus didasarkan pada pendekatan tidak langsung, seperti metode IRA. Metode IRA mengkaitkan dengan biaya input marginal dari faktor-faktor produksi dan output yang dihasilkan.
Dalam sistem irigasi tetes atau alur biaya terdiri dari biaya tetap (fixed cost) , biaya variabel (variable cost), dan biaya total (total cost) (Iskandar 2007; Asfact 2005; Lamn 2007). Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan tidak tergantung pada ada atau tidaknya air diantarkan ke sistem irigasi. Biaya tetap dapat berupa pengembalian pinjaman atau biaya hilangnya kesempatan (opportunity cost) dari modal yang digunakan untuk membeli alat atau sistem tersebut, yakni biaya perawatan alat (maintenance costs), depresiasi alat, dan pajak atau retribusi. Umumnya biaya tetap dalam sistem irigasi mikro lebih besar dari irigasi permukaan yang disebabkan investasi awal yang besar untuk membeli dan memasang sistem irigasi mikro (Lamn 2007). Sehingga pada tahap awal kebanyakan pihak pemerintah mensubsidi dari segi pembiayaan untuk biaya tetap sedangkan petani adalah untuk
67
biaya operasi. Biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan berhubungan dengan besarnya faktor produksi. Biaya variabel meliputi air, tenaga kerja, energi, manajemen, dan material yang dibeli. Dalam kaitannya dengan produk pertanian,biaya variabel meliputi biaya tenaga baik yang didatangkan dari luar maupun keluarga, benih, pupuk/rabuk pestisida, biaya tenaga mesin, dan biaya layanan irigasi (Ashfaq 2005). Biaya total adalah biaya secara keseluruhan yang dikeluarkan yaitu jumlah dari biaya tetap maupun biaya vaiabel.
Berdasarkan pertanggungjawabannya, biaya dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu biaya internal dan biaya eksternal. Biaya internal adalah biaya yang dikeluarkan dalam rangka operasi perusahaan baik eksplisit maupun implisit, sedangkan biaya eksternal adalah biaya yang harus ditanggung yang memproduksi karena dampak akibat operasi usaha (Iskandar 2007). Nilai ekonomi air dapat ditentukan dengan pendekatan analisis biaya (Matthews 2001 dalam Naber dan Shatanawi 2012). Biaya ekonomi penuh (Full Economic Costs) meliputi aspek biaya modal dan biaya operasi serta pemeliharaan (OP), seperti juga biaya ekternalitas lingkungan. Terdapat tiga komponen dalam analisis biaya irigasi, per bulan biaya pasok (supply cost)
adalah penjumlahan dari biaya kesempatan (opportunity cost) dengan biaya modal (capital cost), ditambah dengan biaya operasi dan pemeliharaan (operation and maintenance cost) serta biaya perencanaan (planned cost). Kedua, biaya ekonomi penuh (full economic cost) adalah jumlah biaya pasok dan biaya ekternalitas lingkungan. Ketiga, biaya lengkap (complete cost) adalah penjumlahan biaya pasok biaya ekternalitas lingkungan dan biaya ekstenalitas terkait dengan uang (Matthews 2001 dalam Naber dan Shatanawi 2012). Eksternal terjadi bila suatu kegiatan menimbulkan manfaat dan atau biaya bagi pihak luar pelaksana kegiatan. Biaya eksternal ini adalah biaya sosial terkait dengan kerusakan lingkungan yang dapat berfungsi sebagai biaya pembangunan ekonomi (Suparmoko 2008). Opportunity cost adalah biaya kesempatan, alternatif baik yang kita korbankan atau kita hentikan ketika mengambil suatu pilihan atau kepuasan (Ameliadeas 2012). Misalnya biaya pengembalian bantuan untuk membeli sistem irigasi tetes atau terdapat biaya kesempatan bagi petani untuk memperoleh pendapatan pekerjaan di luar tani disamping pekerjaan sekarang. Berikut gambar 1 adalah kerangka konseptual penelitian.
Kelangkaan Air, ( Jumlah Pasokan (Supply) Kurang dari Permintaan (Demand)), Air Menjadi Barang Ekonomi
Appresiasi terhadap nilai ekonomi air sangat rendah dan bahkan tidak ada
Input Produksi, Modal, Tenaga Kerja, Tanah dan Bibit, Pupuk, Pestisida dan lain-lain
Pasokan(supplai) air bertambah untuk peningkatan produksi
Penerapan Irigasi supplemen (Tetes atau alur)
Ekternalitas Lingkungan
Analisis Ekonomi
Nilai Ekonomi Air (Harga Air, Produktivitas Air, Efisiensi Air, Pendapatan Kotor, Pendapatan Bersih
Kebijakan Subsidi, tarif, pajak, retribusi, iuran
Appresiasi terhadap nilai ekonomi air bertambah
Gambar 1. Kerangka Konseptual Penelitian
68
Estimasi Nilai Ekonomi Air Dan Eksternalitas Lingkungan Pada Penerapan Irigasi Tetes Dan Alur Di Lahan Kering Desa Pejarakan Bali Ridwan Marpaung
METODOLOGI Penelitian ini menggunakan baik data sekunder maupun data primer. Data sekunder meliputi data tentang curah hujan, data teknis pompa, biaya membangun sistem irigasi tetes, dan alur. Data sekunder dikumpulkan dari sumber data laporan teknis pelaksanaan irigasi tetes. Buku Kecamatan Grogak dalam Angka dan Laporan Akhir Penelitian Sosekling tahun 2012 tentang Analisis Biaya dan Manfaat Penerapan Irigasi Tetes Di Lahan Kering. Data primer dikumpulkan secara purposif pada Petani Desa Pejarakan yang sudah menerapkan sistem irigasi tetes dan alur. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam yang meliputi data harga pompa, harga bahan bakar solar, listrik, luas lahan, pola tanam, dan hasil panen tanaman cabe selama satu musim. Data primer lainnya adalah data penggunaan faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, pupuk, bibit, pestisida, bahan bakar pompa, lama penggunaan pompa, lama pengairan, lama dan frekuensi penyiraman selama musim tanam dan volume penggunaan air setiap kali melakukan penyiraman. Data tentang teknis pelaksanaan penyiraman dengan irigasi tetes dan informasi mengenai penurunan muka air tanah akibat pemompaan serta biaya penggalian sumur per meter. Waktu penelitian ini adalah 10 (sepuluh) bulan yang dimulai pada bulan Januari 2012 sampai November 2012. Nilai ekonomi air irigasi dapat diestimasi dengan metode Residual Imputation Approach (RIA) (Dadan 2012; Sumaryanto, 2010; Musamba 2011; Al Karablieh 2012; Hussain 2009). Pada kasus ini metode RIA dipilih didasarkan pada pertimbangan ketersediaan data dan juga harga input produksi yang tersedia di pasar, sedangkan satu unsur lagi yang belum tersedia di pasar yaitu harga air. Asumsi metode RIA pada perhitungan ini adalah petani memaksimumkan laba, bentuk fungsi adalah homogen dan linier, sehingga total produk dapat dibagi habis oleh sumbangan dari masingmasing faktor produksi. Fungsi produksi dengan satu produk yang dinyatakan dengan Y yang diproduksi oleh empat faktor produksi, yaitu modal (K), tenaga kerja (L), tanah (R) dan air irigasi (W), (Dadan 2012; Sumaryanto, 2010; Musamba 2011; Al Karablieh 2012; Hussain, 2009) menjelaskan sebagai berikut : ..................(1)
Dengan memasukkan postulat pertama maka persamaan dapat ditulis :
......(2)
Dimana TVP adalah nilai total produk Y, VMP adalah nilai produk marjinal dari sumber daya i, dan Q adalah kuantitas sumber daya i. Jika harga diasumsikan konstan sehingga VMPi = Pi) disubstitusi ke persamaan di atas, sehingga :
......(3)
Semua varibel di atas diketahui kecuali Pw, Persamaan di atas dapat diselesaikan untuk mencari nilai bayangan air sebagai berikut :
.....(4)
Persamaan terakhir ini menghitung harga air irigasi.
digunakan
untuk
Produktivitas air irigasi adalah dihitung berdasarkan hasil bagi antara nilai total produk dibagi volume air :
....(5)
Gross income kotor (pendapatan kotor petani) adalah hasil kali antara jumlah produk dengan harga produk outputnya, sedangkan pendapatan bersih atau keuntungan petani adalah pendapatan kotor dikurangi biaya total. Efisiensi penggunaan air irigasi adalah hasil bagi antara kebutuhan air irigasi alur dikurangi dengan kebutuhan air irigasi tetes dibagi dengan kebutuhan air irigasi tetes. Produktivitas air adalah jumlah output yang dihasilkan setiap m3 air. Produktivitas air merupakan perbandingan antara output produksi dengan air yang digunakan (Wagar 2009; Cai dan Rosegrant 2003; Clemmens dan Melden 2007 dalam Subari 2007).
Parameter output produksi dapat saja berupa berat panen atau nilai ekonominya dan parameter jumlah air dapat saja air yang diginkan atau air yang disuplai (Subari 2007). Biaya lainnya adalah biaya akibat adanya ekternal lingkungan. Besarnya biaya ini dapat dihitung dengan berbagai cara. Pemilihan metode perhitungan biaya lingkungan ini sesuai dengan data yang tersedia dalam hal ini digunakan pendekatan biaya produksi karena biaya penggalian sumur per meter dapat diketahui atau biaya tenaga untuk menggali sumur (Suparmoko 2008)
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi
Desa Pejarakan terletak di Kecamatan Gerogak, Kabupaten Buleleng sebelah utara Pulau Bali. Luas
69
Gambar 2. Peta Desa Pejarakan Kecamatan Gerogak (Sumber : Kecamatan Gerogak dalam Angka, 2011)
desa Pejarakan adalah 39,60 km2 yang terdiri dari lahan kering/tegalan 602,00 ha dan 87,00 ha adalah lahan perkebunan dan 25,00 ha adalah pekarangan, sedangkan lahan sawah tidak terdapat karena sistem irigasi permukaan tidak mencapai daerah ini. Gambar 2 adalah peta Desa Pejarakan Kecamatan Gerogak.
Sebagian besar penduduk Desa Pejarakan hidup dari sektor pertanian tanaman pangan(20,7%), holtikultura (16,14%) dan sektor perkebunan (10%). Pertanian ini sangat tergantung pada air hujan yang sangat terbatas jumlahnya. Tingkat pengeluaran perbulan penduduk terbesar antara Rp.300.000Rp.500.000 (49,37%) yang mencerminkan tingkat kesejahteraan penduduk tergolong rendah. Curah hujan tersebut tidak merata dalam setiap kecamatan dan kebanyakan terjadi hanya dalam waktu 4-5 bulan saja. Lahan kering dengan hanya 4-5 bulan basah dikategorikan cukup riskan untuk pengembangan palawija maupun holtikultura (Suarna 1990 dalam Merit dan Narkah, 2007). Luas lahan daerah untuk irigasi mikro ini adalah 80 are (0,6 ha) yang dibagi dalam 9 (sembilan) blok dengan ukuran rata-rata 1 blok 35 x 20 m. Sumber air pertanian berasal dari irigasi sumur air tanah PAT dengan Nomor NB-48 (Gambar 3). Jaringan irigasi tetes di Desa Pejarakan ini memanfaatkan jaringan air tanah JIAT yang dibangun oleh P2AT BWS Bali-Penida Kementerian PU. Air di pompa dari sumur JIAT dengan debit 8 liter/detik dialirkan ke bak reservoir dan kemudian ke tangki toren yang berjumlah 2 buah dengan kapasitas masingmasing 2200 liter. Dari tangki ini, melalui bak pengontrol air dialirkan pada pipa utama (main
70
pipe), kemudian kepada ke sub pipa dan ke pipa lateral. Terakhir dari pipa lateral ke emiter lalu ke zona perakaran cabe. Desa Pejarakan menerapkan dua sistem irigasi, yaitu sistem irigasi tetes dan alur. Bahan bakar pompa yang digunakan adalah solar dan energi listrik. Tanaman cabe berumur 7-8 bulan dan pada bulan keempat sudah mulai dapat dipanen sampai bulan ketujuh dan ke-delapan, dan setiap bulan petani dapat memanen sampai 16 kali. Gambar berikut adalah denah lahan irigasi tetes dan alur di Desa Pejarakan. Untuk mengisi penuh dua buah tangki menara air membutuhkan waktu 15 menit/blok lahan, sedangkan untuk sistem alur membutuhkan waktu 2 jam. Dari tangki toren air dialirkan ke lahan pertanian lewat bak pengontrol. Hasil wawancara dengan Wayan Wirta (petani cabe Desa Pejarakan) Lahan Pertanian Ke Gerokgak
9 blok (0,6 ha)
Ke Buleleng
500 meter
200 m Sumur pompa NB=48
Gambar 3. Denah Penerapan Sistem Irigasi Tetes dan Alur di Desa Pejarakan Sumber: (BWS Bali-Penida Kementerian PU)
Estimasi Nilai Ekonomi Air Dan Eksternalitas Lingkungan Pada Penerapan Irigasi Tetes Dan Alur Di Lahan Kering Desa Pejarakan Bali Ridwan Marpaung menyebutkan bahwa waktu tanam cabe dimulai pada akhir Nopember atau Bulan awal Desember. Pada bulan Desember relatif tidak ada pemberian air karena hujan masih cukup. Pada Bulan Januari penyiraman dilakukan sebanyak 15 kali selama 1 jam per blok. Bulan Februari penyiraman ada sebanyak 5 (lima) kali, pada Bulan Maret tidak ada karena hujan pada bulan ini cukup tinggi. Pada Bulan Mei adalah panen pertama, pada bulan ini penyiraman dilakukan sebanyak 6 (enam) kali. Pada bulan Juni, Juli, dan Agustus penyiraman masingmasing dilakukan sebanyak 16 kali, 15 kali, dan 12 kali. Pada Bulan September, Oktober dan Nopember sampai Desember tidak ada penyiraman karena masa pengolahan tanah. Menurut Wayan Wirta, untuk Irigasi Alur dengan menggunakan sumur pantek, rata-rata pemberian air dilakukan selama 7 jam/hari, yaitu : 4 jam pagi yang dimulai dari jam (7.00-11.00) sampai sore jam (14.00-17.00) dengan debit pompa 2,5 liter/detik. Pada bulan September, Oktober, Nopember, dan Desember tidak ada pemberian air irigasi. Pada Bulan Januari, Februari, Maret April, Mei, Juni, Juli, dan Agustus masingmasing dilakukan sebanyak 5, 6, 2, 10, 4, 9, 10 kali per bulan.
Dari tabel 1 terlihat bahwa konsumsi air dengan menggunakan sistem irigasi tetes adalah 1478,4 m3 dan 2997,0 m3 untuk satu kali musim tanam untuk lahan seluas 0,6 ha atau masing-masing 2464 m3 dan 4995 m3 untuk luas 1 ha. Efisiensi penggunaan air dengan menggunakan irigasi tetes adalah (3528.0-1478.4)/(3528.0)x100% = 58.1% . (Dadan et al 2010) mendapatkan efisiensi irigasi tetes dibandingkan alur untuk tanaman cabe pada lokasi Desa Temiyang Jawa Barat sebesar 78,45 % lebih besar dari efisiensi irigasi tetes di Desa Pejarakan Bali (58.1%). Selain itu Wayan Wirta menyebutkan bahwa panen cabe atau petik cabe dilakukan sebanyak dalam 1 minggu sekali dengan masa panen 4 empat bulan. Jadi dalam setahun panen cabe ini mencapai 16 kali dengan variasi antara 40 kg (terendah) pada awal petik dan tertinggi adalah 1 kwintal 20 kg. Selanjutnya jumlah panen semakin mengecil. Ratarata dalam setahun jumlah panen dapat mencapai 1200 kg cabe. Dengan harga normal Rp.9.000/ kg. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dihitung besarnya konsumsi air dan efisiensi air untuk irigasi tetes menggunakan sumur PAT dan Irigasi Alur menggunakan sumur Pantek dalam tabel 1.
Tabel 1. Konsumsi Air Sistem Irigasi Tetes dan Alur
Kegiatan
Bulan
Olah Tanah Nopember Awal Musim Tanam Desember Masa Tanam Januari Masa Tanam February Masa Tanam Maret Masa Tanam April Panen Mei Panen Juni Panen/Akhir Masa Tanam Juli Panen/Akhir Musim Tanan Agustus Olah Tanam September Olah Tanah Oktober Total Konsumsi Air Satu Musim Tanam
Frekwensi Pengairan
Lama Pengairan
Konsumsi Air
(kali/bulan)
jam/hari/blok
m3/hari/ blok
Jumlah m3/bulan/9 blok
Tetes-PAT 0
AlurPantek 0
TetesPAT 0
AlurPantek 0
TetesPAT 0,00
AlurPantek 0,0
TetesPAT 0,0
AlurPantek 0,0
0 15 5 0 6 15 16
0 5 6 2 10 4 9
0 1 1 0 1 1 1
0 7 7 7 7 7 7
0,00 2,20 2,20 2,20 2,20 2,20 2,20
0,0 63,0 63,0 63,0 63,0 63,0 63,0
0,0 264,0 88,0 0,0 105,6 264,0 281,6
0,0 315,0 378,0 126,0 630,0 252,0 567,0
15
10
1
7
2,20
63,0
264,0
630,0
12 0 0
10 0 0
1 0 0
7 0 0
2,20 0,00 0,00
63,0 0,0 0,0
211,2 0,0 0,0
630,0 0,0 0,0
84
56
7
56
1478,4 3528,0
Sumber : Diolah dari hasil wawancara petani Desa Pejarakan 2012
71
Tabel 2. Perhitungan Biaya Penerapan Irigasi Tetes Permusim Tanam No A A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 B B1
B2 B3
B4 B5 B6
B7
Biaya (cost)
Volume
Pendapatan kotor Biaya tetap (fixed cost) Biaya Pembelian alat Bunga (6%) Depresiasi alat Pemeliharaan (Maintenance) Pajak Asuransi Tanah (Land) Biaya tidak tetap (variable cost) Tenaga Kerja (Labors) Pengolahan tanam (bedeng) Pengolahan bedeng bibit Penyebaran bibit dan buat jaring Tanam Bibit Pemupukan Penyiangan rumput Jaga pengaliran air Sapi bajak Air Energy Pompa oli dan accu Manajemen Bibit Bibit Pupuk Urea Za Ponska Kcl Pestisida Decis Andrakol Denolis Dentin
1120
Harga Satuan (Rp) 9.000
Perhitungan 70
kg
x
16
kali
1
117.702.409,00 117.702.409,00 117.702.409,00 117.702.409,00
0,1 0,05 0 0 0
45 1
15 1
org org
x x
3 1
hari hari
x x
1 1
kali kali
40.000 40.000
7 6 0 0 21 4 2997
1 3 1 2 1 4 8
org org org org org ekor jam
x x x x x x x
7 2 1 24 0,25 1 2,2
hari hari hari hari hari hari m3/jam
x x x x x x x
1 1 3 1 84 1 84
kali kali kali kali kali kali kali
40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 0
420 168 0
1,25 2
jam jam
x x
84
kali
x
4 84
ltr/jam kali
5.000 2.500
12
12
gelas
2 3 0,6 0,3
2 3 3 3
x x x x
1,5 1 3 1
1,5 1 3 1
botol kg botol kg
15.000 1 1 0,2 0,1
sak sak sak sak
125.000 70.000 125.000 120.000 20.000 80.000 90.000 100.000
Nilai (Rp) 10.080.000 39.430.307 14.712.801 7.062.145 11.770.241 5.885.120,45 0 0 0
3.360.000 1.800.000 40.000 280.000 240.000 0 0 840.000 160.000 0 2.520.000 2.100.000 420.000 0 180.000 180.000 571.000 250.000 210.000 75.000 36.000 480.000 30.000 80.000 270.000 100.000
Sumber : diolah dari laporan akhir Puslitbang Sosekling tahun 2012
Biaya instalasi sistem irigasi tetes adalah sebesar Rp.117.702.000 dengan umur rencana 8 tahun dan tingkat suku bungah 6% sehingga diperoleh depresiasi alat sebesar 0,101. Di sini diasumsikan biaya instalasi sistem irigasi tetes didapat melalui pinjaman dan biaya pemeliharaan (maintenance) diasumsikan sebesar 5%. Jika menggunakan irigasi alur maka biaya instalasi sistem irigasi tetes tidak ada dan diganti dengan biaya pengadaan pompa yang dibeli petani seharga Rp.2.600.000 per unit. Tabel 2 menunjukkan biaya tetap untuk teknologi irigasi tetes cukup besar, yaitu 77,6 % dari total pembiayaan. Usaha ini memiliki biaya yang
72
lebih besar dari manfaat (Rp.21.748.506) yang menandakan kerugian usaha produksi cabe dengan menggunakan irigasi tetes. Hal ini terjadi jika petani menanggung seluruh biaya tanpa adanya subsidi pihak pemerintah. Oleh karena itu, agar pendapatan petani meningkat, maka biaya tetap (fixed cost) instalasi sistem irigasi ditanggung oleh pemerintah, petani hanya menanggung biaya operasional saja dan biaya variabel lainnya. Di tingkat petani biaya instalasi peralatan sistem irigasi tetes adalah tidak ada, hanya pada sistem alur karena petani menggunakan pompa yang dibeli sendiri seharga
Estimasi Nilai Ekonomi Air Dan Eksternalitas Lingkungan Pada Penerapan Irigasi Tetes Dan Alur Di Lahan Kering Desa Pejarakan Bali Ridwan Marpaung Rp.2.600.000. Jika menggunakan pompa listrik untuk irigasi tetes maka biaya tidak tetap komponen energi diganti menjadi 84 kali x1.25jam 1000/jam = Rp.105.000, Berdasarkan hal ini maka perhitung nilai ekonomi air dan investasi tertera dalam tabel 3.
Produktivitas air irigasi tetes adalah 0,758 kg/m3 dibandingkan dengan irigasi alur 0.335 kg/m3. Dari hasil wawancara dengan Wayan Wirta mengatakan akibat operasi pompa yang terus menerus dari pagi sampai sore telah terjadi penurunan muka air tanah. Penduduk sekitar yang mempunyai sumur di sekitar sumur PAT merasa resah karena sumur mereka menjadi kering dan sebagian lagi muka airnya turun. Sumur penduduk ada sebanyak 2 buah yang berjarak 30 m dari sumur PAT praktis menjadi kering. Sedangkan sumur yang berjarak 100 m berjumlah 4 buah juga habis. Dua sumur lagi di sebelah barat dengan jarak 150 sampai 200 m mengalami penurunan lebih dari 1 meter. Untuk mengatasi dampak ini, penduduk menggali kembali sumur mereka agar kebutuhan air setiap hari dapat terpenuhi. Berikut adalah tabel 4, perhitungan biaya akibat eksternalitas lingkungan dengan metode produktivitas atau harga pasar.
Tabel 3 menunjukkan pendapatan bersih petani terbesar adalah jika menggunakan irigasi tetes dengan pompa listrik sebesar Rp.8.940.000 dibandingkan dengan penggunaan pompa dengan bahan bakar solar, yaitu sebesar Rp.4.948.333 sedangkan dengan menggunakan sistem alur dengan bahan bakar solar akan rugi sebesar Rp.3.256,000. Volume rata-rata air yang dikonsumsi oleh sistem irigasi tetes dibandingkan dengan alur 2464 m3/musim tanam lebih hemat dibandingkan dengan sistem alur yaitu Rp.5580 m3/musim tanam. Harga air (water pricing) dengan menggunakan irigasi tetes menggunakan bahan bakar solar adalah Rp.2.008/m3, sedangkan menggunakan bahan bakar listrik besarnya Rp.3.638/m3. Hal ini menunjukkan apresiasi harga air dengan menggunakan irigasi tetes bahan bakar listrik lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan bahan bakar solar. Produktivitas air irigasi tetes jauh lebih tinggi dibandingkan dengan irigasi alur.
Jika biaya yang dikorbankan karena adanya eksternal lingkungan ini dimasukkan dalam perhitungan biaya, maka pendapatan bersih (net income) petani akan berkurang sebesar Rp.2.250.000. Dari
tabel
3,
misalnya
Tabel 3. Tabel Analisis Biaya Penerapan Irigasi Tetes dan Alur
Biaya untuk produksi cabe/luas area Biaya tetap (fixed costs) (Rp) Variabel tidak tetap (variable costs) (Rp) Biaya total (total cost) (Rp) Pendapatan kotor (gross income) (Rp) Pendapatan Bersih (net income) (Rp) Volume air rata-rata yang dikonsumsi (m3) Nilai Residul Air (Residual Value of Water) (Rp) Harga air (water pricing) (Rp/m3) Rata-rata hasil panen (kg) Produktivitas air (kg/m3)
Irigasi Tetes Pompa Bahan Bakar Solar (0,6 ha) (1 ha) 0
Irigasi Tetes dengan Pompa Listrik (0,6 ha) (1 ha) 0 0
untuk
Irigasi Alur Pantek Bahan Bakar Solar (0,6 ha) (1 ha) 871.000 871.000
7.111.000
11.851.677
4.696.000
7.826.667
11.511.000
19.185.000
7.111.000
11.851.677
4.696.000
7.826.667
12.382.000
20.056.000
10.080.000
16.800.000
10.080.000
16.800.000
10.080.000
16.800.000
2.969.000
4.948.333
5.364.000
8.940.000
(2.302.000)
(3.256.000)
1478,4
2464.0
1478,4
2464.0
3528,0
5580.0
2.969,0
4.948.333
5.364.000
8.940.000
0
0
3.628,25
0
0
1866.67
1120
1866.67
2.008,25 1120
1866.67
1120
0,758
penerapan
0.758
0.335
Sumber : diolah dari laporan akhir Puslitbang Sosekling dan hasil wawancara tahun 2012
Tabel 4. Perhitungan Dampak Eksternalitas Lingkungan Jarak Sumur dengan Sumur PAT 30 100 150-200 Total
Jumlah (buah) 2 4 3
Setelah Penerapan Irigasi Tetes Kering Habis Muka air turun
Penggalian (meter) 2 2 1
Harga Satuan Rp.150.000-, Rp.150.000-, Rp 150.000-,
Biaya Rp 600.000-, Rp 1.200.000-, Rp 450.000-, Rp2.250.000-,
Sumber : Hasil wawancara dengan Pak Wayan Wirta,2012
73
tinggi. Hal ini juga menandakan volume air yang dikonsumsi sistem irigasi tetes adalah jauh lebih kecil dibandingkan sistem alur. Untuk tanaman cabe dengan luas 1ha dibutuhkan 2.464 m3/ ha air dengan sistem tetes, sedangkan dengan sistem irigasi alur dibutuhkan 5.580 m3/ha. Hal ini menunjukkan efisiensi penggunaan air irigasi tetes mencapai 58,1%.
Gambar 4. Pengaruh Biaya Ekternalitas Lingkungan Pendapatan Bersih Petani irigasi tetes dengan menggunakan bahan bakar pompa diesel akan menjadi berkurang dari Rp.4.948.333 menjadi Rp.2.448.333 (50,2%). Pendapatan Bersih untuk penerapan irigasi tetes dengan menggunakan bahan pompa listrik akan berkurang dari Rp.8.940.000 menjadi Rp.6.440.000 (27,9%). Pendapatan bersih dengan penerapan irigasi alur akan lebih merugi dari Rp.3.256.000 menjadi Rp.5.756.000. Gambar 4 memperlihatkan pengurangan income petani akibat eksternalitas lingkungan.
KESIMPULAN
1. Komponen terbesar dalam biaya penerapan irigasi tetes adalah biaya tetap instalasi dan perawatannya yang mencakup 77,6% dari keseluruhan biaya. Jika petani menanggung biaya ini maka petani rugi. Pada penerapan irigasi alur, biaya operasi pompa cukup besar, dan penerapan sistem alur ini juga tidak menguntungkan petani. Oleh karena itu subsidi pemerintah tetap diperlukan petani.
2. Harga air (water price) untuk irigasi tetes menggunakan pompa bahan bakar solar adalah Rp.2.008/m3, sedangkan dengan menggunakan pompa listrik harga air Rp.3.638/m3. Hal ini menunjukkan apresiasi petani terhadap harga air dengan menggunakan pompa listrik lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan pompa bahan bakar solar, sedangkan dengan menggunakan irigasi alur tidak ada appresiasi harga air.
3. Produktivitas air dengan menggunakan irigasi tetes adalah 0,758 kg/m3 (Rp.6.822/m3), sedangkan dengan menggunakan adalah 0,335 kg/m3 (Rp.3.015/m3). Hal ini menandakan efisiensi penggunaan air untuk irigasi tetes lebih
74
4. Pendapatan bersih petani yang paling besar adalah dengan menerapkan irigasi tetes dengan menggunakan pompa listrik, yaitu Rp. 940.000/ ha dari pada menggunakan pompa bahan bakar solar, yaitu Rp.4.948.333/ha sedangkan jika menggunakan irigasi alur petani merugi sebesar Rp.3.256.000/ha. 5. Harga air (water price) untuk irigasi tetes menggunakan bahan bakar pompa solar adalah Rp.2.008/m3, sedangkan dengan menggunakan pompa listrik harga air Rp.3.638/m3. Hal ini menunjukkan apresiasi petani terhadap harga air dengan menggunakan pompa listrik lebih tinggi, sedangkan dengan menggunakan irigasi alur tidak ada appresiasi karena tidak ada keuntungan. Agar air lebih di hargai perlu dikenakan tarif atau kutipan, namun pada saat ini belum dilakukan mengingat masih kecilnya keuntungan yang diperoleh petani dan umumnya petani mempunyai luas tanah yang kecil < 1 ha.
6. Pempompaan yang berlebihan akan menurunkan muka air tanah, dimana biaya ini ditanggung oleh yang melakukan produksi seperti petani. Apabila biaya ekternalitas lingkungan ini dimasukkan dalam biaya, maka akan mengurangi pendapatan petani cukup signifikan sebesar (50,2%) untuk irigasi tetes menggunakan pompa bahan bakar solar dan 27,9% jika menggunakan bahan bakar listrik.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Karablieh, E.K., et al. 2012. Estimation of Economic Value of Irrigation Water in Jordan, Journal of Agricultural Science and Technology, 2 : 487-497
Anjani, Eni. 2012. Iklim Menurut Schidt-Ferguson, Oldeman dan Junghuhn, (http://www.siswapedia. com/iklim-menurut-schmidt-ferguson-oldemandan-junghuhn) Ameliadeas. 2012. Tugas Pengantar Ekonomi Mikro dalam (http://ameliadeas.blogspot. com/2012/09/tugas-pengantar-ekonomi-mikro. html) Dadan, R.et al. 2012. Evaluasi Kinerja Jaringan Irigasi Tetes di Kabupaten Indramayu Provinsi Jabar. Bandung: Kolokium Hasil Litbang SDA,
Estimasi Nilai Ekonomi Air Dan Eksternalitas Lingkungan Pada Penerapan Irigasi Tetes Dan Alur Di Lahan Kering Desa Pejarakan Bali Ridwan Marpaung Puslitbang SDA,
Dadang, R. et al. 2009. Efektivitas Irigasi Tetes untuk Mendukung Optimalisasi Pengelolaan Air Tanah di Lahan Kering (Studi Kasus Desa Akar-akar, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Irigasi (4) 2 : 107-118.
Ward, Frank A and Ari Michelsen. 2002. The Economic Value of Water in Agriculture : Conceppts and Policy, Water Policy (4) : 423-446
I. Hussain, Maqbool H., Zakir, H., W. Akram. 2009. Economic Value of Irrigation Water : Evidence From a Punjab Canal, The Lahore Journal of Economics, (14) 1 : 69-84 I. Nyoman Merit dan I. Wayan Narka. 2007. Pengaruh Interval Pemberian Air melalui Irigasi Tetes (Drips Irrigation) dan Pupuk Mineral Plus terhadap Produksi Anggur pada Lahan Kering di Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng, Jurnal Agritrop (26) 1 :24-32 Iskandar. P. 2007. Economics (Pengantar Mikro dan Makro). Jakarta : Mitra Wacana Media.
Lamm F.R. 2007. Mikro Irrigation For Crop Production, Design, Operation, and management, Elsevier, The Boulevard, Langforland, Kiddlington, Oxford OX5 IGB, UK
Molle, F. and Berkoff, J. 2007. Irrigation Water Pricing, The Gap Between Theory and Practice. USA : CABI International, Cambridge, MA 02139.
Musamba B. Emmanuel et al. 2011. The Economic of Water in Pady and Non-Paddy Crop Production around the Kilombero Valley Ramsar Site, Tanzania: Productivity, Costs, Return and Implication to Poverty Reduction, Jurnal Agri Sci, 2 (1):17-27
M. Ashfaq, S. Jabeen, I.A. Baig, 2005, Estimation of Economic Value of Irrigation Water, Journal of Agriculture & Social Sciences, (01) 3 : 270-272
Naber, S dan Shatanawi M. 2011. Valuing Water from Social, Economic and Environment Perspektif, Seminaires Mediterraneens, Bari, CIHEAM, P. 109-117 Prastowo, S.H dan Saptono S.P. 2009. Pengembangan Kriteria Rancangan Hidrolika Sub-Unit Irigasi Tetes pada Jaringan Irigasi Air Tanah Dangkal, Jurnal iigasi (4) 2 : 94-106
(PUSLITBANG SOSEKLING). 2012. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Kementerian PU. Laporan Akhir Analisis Manfaat Penerapan Irigasi Mikro. Jakarta : Balai Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan Bidang Sumber Daya Air. Subari, et al. 2012. Pengaruh Perlakuan Pemberian Air Irigasi pada Budidaya SRI, PTT dan Konvensional Terhadap Produktivitas Air. Jurnal Irigasi,(7) 1 : 28-42.
Sumaryanto. 2007. Peningkatan Efisiensi Penggunaan Air Irigasi Melalui Penerapan Iuran Irigasi Berbasis Nilai Ekonomi Air Irigasi, Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Suparmoko, M. 2008. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Yogyakarta: BPFE. [BPS Kabupaten Buleleng]. Badan Pusat Statistik Kabuaten Buleleng, 2011, Kecamatan Gerokgak dalam Angka Tahun 2010, BPS-Kabupaten Buleleng [BPS Kabupaten Buleleng]. Badan Pusat Statistik Kabuaten Buleleng, 2011, Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Buleleng Tahun 2010, Pemerintah Kabupaten Buleleng,
75