EKSTRAKSI SENYAWA AKTIF ANTIOKSIDAN DARI LINTAH LAUT (Discodoris sp.) ASAL PERAIRAN KEPULAUAN BELITUNG
Oleh : Rizki Andriyanti C34050241
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN RIZKI ANDRIYANTI. C34050241. Ekstraksi Senyawa Aktif Antioksidan dari Lintah Laut (Discodoris sp.) asal Perairan Kepulauan Belitung. Dibimbing oleh NURJANAH dan ASADATUN ABDULLAH. Radikal bebas terbentuk secara terus-menerus dalam tubuh manusia, baik melalui pengaruh eksogen maupun endogen. Radikal bebas adalah senyawa kimia yang memiliki satu atau lebih elektron tidak berpasangan di kulit terluar sehingga sangat reaktif dan mampu bereaksi dengan protein, lipid, atau DNA. Reaktivitas radikal bebas ini dapat diredam oleh senyawa antioksidan. Antioksidan sintetik yang berkembang saat ini dikhawatirkan memberi efek samping yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Potensi antioksidan alami harus dikembangkan untuk memperoleh antioksidan yang lebih aman dikonsumsi. Salah satu sumber daya perairan yang berpotensi sebagai penghasil antioksidan alami adalah lintah laut (Discodoris sp.). Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari karakteristik lintah laut dari Perairan Kepulauan Belitung, mempelajari pengaruh perbedaan jenis pelarut terhadap persentase rendemen dan aktivitas antioksidan ekstrak kasar lintah laut, serta menentukan komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak kasar lintah laut. Pada penelitian ini dilakukan (1) pengambilan dan preparasi bahan baku, (2) karakterisasi bahan baku, (3) ekstraksi komponen antioksidan, dan (4) uji ekstrak kasar. Karakteristik lintah laut (Discodoris sp.) yang berasal dari Perairan Kepulauan Belitung meliputi rendemen daging dan jeroan segar sebesar 41,79 % dan 58,21 %, sedangkan rendemen daging dan jeroan lintah laut kering sebesar 7,20 % dan 8,64 %. Daging lintah laut kering memiliki kadar air (10,45 %), kadar abu (11,97 %), kadar abu tidak larut asam (0,20 %), kadar lemak (1,41 %), kadar protein (59,11 %), dan kadar karbohidrat (17,08 %). Hal ini menunjukkan lintah laut memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Ekstraksi lintah laut menggunakan tiga pelarut polar (etanol, metanol, dan aquabides) menghasilkan persentase rendemen dan aktivitas antioksidan yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Aquabides memiliki keunggulan dari segi keamanannya. Aquabides tidak bersifat toksik dan terbebas dari kontaminan serta garam-garam anorganik sehingga dapat memperkecil peluang ekstrak kasar terkontaminasi bahan lain. Uji fitokimia menunjukkan bahwa komponen bioaktif yang terkandung dalam ekstrak lintah laut dari ketiga pelarut polar (etanol, metanol, dan aquabides) meliputi golongan alkaloid, flavonoid, karbohidrat, dan gula pereduksi. Komponen bioaktif golongan fenol hidrokuinon dan peptida hanya terdapat pada ekstrak aquabides lintah laut.
EKSTRAKSI SENYAWA AKTIF ANTIOKSIDAN DARI LINTAH LAUT (Discodoris sp.) ASAL PERAIRAN KEPULAUAN BELITUNG
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh : Rizki Andriyanti C34050241
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Skripsi
:
EKSTRAKSI SENYAWA AKTIF ANTIOKSIDAN DARI LINTAH LAUT (Discodoris sp.) ASAL PERAIRAN KEPULAUAN BELITUNG
Nama
:
Rizki Andriyanti
NRP
:
C34050241
Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Ir. Nurjanah, MS NIP : 195910131986012002
Asadatun Abdullah S.Pi, M.Si NIP : 198304052005012001
Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Linawati Hardjito, MS NIP : 196205281987032003
Tanggal lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Ekstraksi Senyawa Aktif Antioksidan dari Lintah Laut (Discodoris sp.) asal Perairan Kepulauan Belitung adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor,
September 2009
Rizki Andriyanti C34050241
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi hasil penelitian dengan judul ”Ekstraksi Senyawa Aktif Antoksidan dari Lintah Laut (Discodoris sp.) asal Perairan Kepulauan Belitung” merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah bersedia membantu dan memberi dukungan, diantaranya adalah: 1.
Ibu Ir. Nurjanah, MS dan Ibu Asadatun Abdullah S.Pi, M.Si sebagai dosendosen pembimbing yang selalu memberikan bimbingan, arahan, saran dan motivasi kepada penulis dengan penuh kesabaran.
2.
Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si dan Ibu Desniar S.Pi, M.Si sebagai dosendosen penguji yang telah memberi pengarahan dan motivasi agar penulis dapat menyelasaikan skripsi dengan baik
3.
Ibu Dr. Ir. Linawati Hardjito, MS selaku ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.
4.
Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl. Biol selaku komisi pendidikan Departemen Teknologi Hasil Perairan.
5.
Bapakku Supratikno dan mama Siti Arifah tersayang, terima kasih untuk doa, kasih sayang, perhatian, nasihat, restu yang tak terputus, dukungan moral dan materi sehingga penulis bisa membuktikan kemampuannya.
6.
Mbak dan masku (Mbak Nink-Mas Aji, Mbak Yul-Mas Thierry) tercinta yang selalu memberikan doa, semangat, motivasi, dan materi sehingga penulis dapat mengembangkan diri selama menempuh ilmu di THP-FPIK, IPB.
7.
Windo Sastra yang dan selalu memberikan doa, semangat, nasihat, bantuan, kasih sayang dan bersedia menemani disaat senang ataupun sedih sehingga hidup semakin berwarna.
8.
Keluarga besar Ibu Wiji Rahayu, S.Pd yang telah memberikan sambutan, bantuan dan tempat tinggal saat pengambilan sampel di Belitung.
9.
Seluruh dosen dan staf Departemen THP, terima kasih atas kerja sama dan dukungannya.
10. Bu Ema dan Rita, terima kasih atas profesionalisme dan kerjasamanya sehingga penelitian ini dapat berjalan sesuai harapan. 11. Tyas, Uli, Uut, Pusse’, Prilisa, Seno, Pur, Anne, Vivit, Dewi, Anggi, Tya,
Rodi, Rustam, Micha, Ale, serta temen-teman THP’42 lainnya, terima kasih atas bantuan, motivasi, pengertian, keceriaan, dan pengalaman berharga selama ini.
12. Kakak-kakak THP 41 (K’glory, Nichol, Mba’Eka, Mas An’im, K’Yogie, K’Dhika), serta adik-adik THP 43 dan 44 atas kebersamaan dan semangatnya. 13. Teman-temanku di “aLcaTraZ” (EmBe’, Othel, Windi, Trimi, Mbo’, Asti, Baki, Mamah, dan Pusse’) beserta alumninya (Putri, Fina dan Yuni) atas kebersamaan kita selama ini. 14. Terakhir, kepada berbagai pihak yang tidak disebutkan disini, penulis mengucapkan terima kasih banyak atas bantuan dan kerjasamanya dalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan demi kemajuan penelitian selanjutnya. Akhir kata, semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan informasi bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, September 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Magelang pada tanggal 6 Maret 1988 sebagai anak terakhir dari tiga bersaudara, putri pasangan Bapak Supratikno dan Ibu Siti Arifah. Pendidikan formal penulis dimulai dari TK Mutiara Jakarta dan lulus pada tahun 1992, kemudian melanjutkan pendidikan di SDN Kayumanis 01 Pagi Jakarta dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama, penulis diterima di SLTPN 7 Jakarta dan lulus pada tahun 2002. Pendidikan selanjutnya ditempuh di SMUN 31 Jakarta dan lulus pada tahun 2005. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005, Departemen Teknologi hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama masa perkuliahan, penulis aktif menjadi
pengurus
Himpunan
Mahasiswa
Teknologi
Hasil
Perairan
(HIMASILKAN) dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (BEM-C). Penulis juga pernah tercatat sebagai asisten mata kuliah Pengetahuan Bahan Baku 2008-2009. Sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana, penulis melakukan penelitian yang berjudul "Ekstraksi Senyawa Aktif Antioksidan dari Lintah Laut (Discodoris sp.) asal Perairan Kepulauan Belitung". Dibimbing oleh Ibu Ir. Nurjanah, MS dan Ibu Asadatun Abdullah S.Pi, M.Si.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ............................................................................. ix DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
x
1. PENDAHULUAN ............................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1 1.2. Tujuan ........................................................................................ 3 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3 2.1. Lintah Laut (Discodoris sp.) ....................................................... 4 2.2. Radikal Bebas ............................................................................ 6 2.3. Antioksidan ................................................................................ 8 2.3.1. Fungsi antioksidan ........................................................... 8 2.3.2. Sumber antioksidan.......................................................... 8 2.3.3. Mekanisme kerja antioksidan ........................................... 9 2.4. Ekstraksi senyawa aktif .............................................................. 10 2.5. Uji Aktivitas Antioksidan ........................................................... 12 2.6. Senyawa Fitokimia ..................................................................... 13 2.6.1. 2.6.2. 2.6.3. 2.6.4. 2.6.5. 2.6.6. 2.6.7. 2.6.8. 2.6.9.
Alkaloid ........................................................................... Steroid/Triterpenoid ......................................................... Flavonoid ......................................................................... Saponin............................................................................ Fenol hidrokuinon............................................................ Karbohidrat...................................................................... Gula pereduksi ................................................................. Peptida............................................................................. Asam amino .....................................................................
13 13 14 15 15 16 16 17 17
3. METODOLOGI ............................................................................... 18 3.1. Waktu dan Tempat ..................................................................... 18 3.2. Bahan dan Alat ........................................................................... 18 3.3. Metode Penelitian....................................................................... 18 3.3.1. Pengambilan dan preparasi bahan baku ............................ 19 3.3.2. Karakterisasi bahan baku ................................................. 19 3.3.2.1. Rendemen .......................................................... 19
3.3.2.2. Uji proksimat ..................................................... 3.3.3. Ekstraksi komponen antioksidan ...................................... 3.3.4. Ekstrak kasar ................................................................... 3.3.4.1. Uji aktivitas antioksidan (DPPH) ........................ 3.3.4.2. Uji fitokimia .......................................................
19 22 24 24 24
3.4. Analisis Data .............................................................................. 26 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 28 4.1. Karakteristik Bahan Baku ........................................................... 28 4.1.1. Rendemen ........................................................................ 29 4.1.2. Kandungan gizi bahan baku ............................................. 29 4.2. Ekstraksi Komponen Antioksidan............................................... 32 4.3. Ekstrak Kasar ............................................................................. 35 4.3.1. Aktivitas antioksidan ....................................................... 35 4.1.2. Senyawa fitokimia ........................................................... 41 5. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 45 5.1 Kesimpulan ................................................................................. 45 5.2 Saran ........................................................................................... 45 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 46 LAMPIRAN .......................................................................................... 50
DAFTAR TABEL
Nomor
Teks
Halaman
1. Sumber-sumber radikal bebas............................................................. 7 2. Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya ........................................ 11 3. Hasil analisis proksimat lintah laut tanpa jeroan kering ...................... 30 4. Hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak kasar lintah laut ....................... 36 5. Hasil uji fitokimia ekstrak kasar lintah laut ......................................... 42
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
1. Lintah laut (Discodoris sp.) Perairan Kepulauan Belitung ............... 5 2. Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan ...................................................................................... 12 3. Diagram alir ekstraksi dengan pelarut etanol, metanol, dan aquabides ......................................................................................... 23 4. Lintah laut utuh segar, tanpa jeroan kering dan serbuknya ............... 28 5. Ekstrak kasar lintah laut .................................................................. 34 6. Rendemen ekstrak kasar lintah laut.................................................. 34 7. Reaksi radikal bebas DPPH dengan ekstrak kasar lintah laut ........... 37 8. Hubungan konsentrasi dengan persentase penghambatan BHT ........ 37 9. Hubungan konsentrasi dengan rata-rata persentase penghambatan ekstrak kasar lintah laut.................................................................... 38 10. Nilai rata-rata IC50 ekstrak kasar lintah laut ..................................... 39
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Lokasi pengambilan lintah laut (Discodoris sp.) .............................. 50 2. Contoh perhitungan hasil proksimat ................................................ 50 3. Data rendemen ekstrak kasar lintah laut........................................... 51 4. Analisis sidik ragam rendemen ekstrak kasar lintah laut berdasarkan jenis pelarut ................................................................. 52 5. Contoh perhitungan konsentrasi uji aktivitas antioksidan ................. 52 6. Contoh perhitungan nilai IC50 .......................................................... 53 7. Hasil uji aktivitas antioksidan .......................................................... 54 8. Analisis sidik ragam aktivitas antioksidan ekstrak kasar lintah laut berdasarkan jenis pelarut ................................................................. 55 9. Gambar hasil uji fitokimia ............................................................... 55
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kondisi dunia yang semakin maju dengan berbagai teknologi telah mendorong penghuninya menjadi manusia modern. Pola hidup manusia yang modern memiliki kesadaran yang rendah terhadap pemeliharaan kesehatan dan lingkungannya,
contohnya
penggunaan
berbagai
fasilitas
yang
dapat
menimbulkan polusi udara. Pencemaran udara kota-kota besar di Indonesia saat ini telah melebihi standar yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 50 mikrogram per meter kubik (ìg/m3) (PDPERSI 2009). Pencemaran udara yang telah melebihi standar WHO sangat rawan dalam menimbulkan berbagai gangguan pada kesehatan. Sumber polusi dapat berasal dari kendaraan bermotor, industri, asap rokok, mesin fotocopy, pendingin ruangan maupun kebakaran hutan. Tingkat polusi yang tinggi dapat menjadi salah satu pemicu terbentuknya radikal bebas sebagai produk samping dari proses respirasi dan metabolisme normal tubuh. Senyawa radikal bebas juga dapat terbentuk dalam tubuh melalui proses oksidasi yang berlangsung pada waktu bernapas, olah raga yang berlebihan maupun peradangan. Radikal bebas adalah senyawa kimia yang memiliki satu atau lebih elektron tidak berpasangan di kulit terluar sehingga sangat reaktif dan mampu bereaksi dengan protein, lipid, atau DNA. Reaksi antara radikal bebas dan molekul tersebut dapat berujung pada timbulnya suatu penyakit (Sofia 2008). Radikal bebas pada awalnya diperlukan untuk membunuh mikroorganisme penyebab infeksi dalam tubuh makhluk hidup. Paparan radikal bebas yang berlebihan dan secara terus-menerus dapat menyebabkan kerusakan sel, mengurangi kemampuan sel untuk beradaptasi terhadap lingkungannya, dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian sel yang memicu terjadinya berbagai jenis penyakit degeneratif seperti jantung koroner, tekanan darah tinggi, aterosklerosis, kencing manis dan kanker (PDPERSI 2009). Reaktivitas radikal bebas ini dapat diredam oleh senyawa antioksidan. Antioksidan merupakan senyawa yang mampu menghambat oksidasi molekul lain. Senyawa antioksidan ini akan menyerahkan satu atau lebih
elektronnya kepada radikal bebas sehingga dapat menghentikan kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas. Di dalam tubuh terdapat mekanisme antioksidan atau antiradikal bebas secara endogenik. Tetapi bila jumlah radikal bebas dalam tubuh berlebih maka dibutuhkan antioksidan yang berasal dari luar tubuh (eksogenik) (Pratiwi et al. 2006). Antioksidan sintetik yang berkembang saat ini dikhawatirkan dapat memberi efek samping yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Tubuh manusia mempunyai batasan maksimum dalam mentolerir seberapa banyak konsumsi bahan tambahan makanan setiap hari yang disebut ADI atau Acceptable Daily Intake. Nilai ADI untuk BHT adalah sebesar 0-0,3 mg/kg bw (WHO 1999; D’Mello 2003). Kadar maksimum BHT dalam bahan pangan adalah 200 ppm (Ketaren 1986). Penggunaan antioksidan sintetik pada manusia dalam jangka panjang
dan
jumlah
berlebihan
dapat
menyebabkan
kerusakan
hati
(Ford et al. 1980 diacu dalam Nurhikmah 2006). Potensi antioksidan alami harus dikembangkan untuk memperoleh antioksidan yang lebih aman dikonsumsi. Salah satu sumber daya perairan yang berpotensi sebagai penghasil antioksidan alami adalah lintah laut (Discodoris sp.). Lintah laut merupakan anggota kelompok filum mollusca yang tidak memiliki cangkang. Fungsi dari cangkang digantikan oleh sistem perlindungan kimia berupa senyawa aktif dalam tubuhnya (Davies-coleman 2006). Senyawa aktif ini digunakan lintah laut untuk melindungi diri dari serangan predator maupun gangguan di lingkungannya. Masyarakat Bajo di Pulau Buton biasa mengkonsumsi lintah laut sebagai aprodisiaka dan peningkat stamina tubuh. Penelitian sebelumnya telah dilakukan terhadap lintah laut yang berasal dari Pulau Buton. Hasil penelitian Ibrahim (2001) menunjukkan bahwa lintah laut mengandung steroid yang memiliki aktivitas androgenik dan anabolik. Penelitian Witjaksono (2005) menunjukkan bahwa ekstrak dan minyak dari lintah laut mengandung sterol, asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Nurjanah (2009) menambahkan bahwa lintah laut yang berasal dari perairan Pulau Buton mengandung antioksidan dan antikolesterol yang tinggi.
Lintah laut tidak hanya terdapat pada Perairan Pulau Buton. Perairan Kepulauan Belitung juga memiliki lintah laut yang dikenal dengan nama “inal-inal”, namun sebagian besar masyarakatnya belum mengetahui akan keberadaan dan potensi yang dimiliki lintah laut. Hal tersebut mendasari penelitian ini untuk mengetahui potensi antioksidan yang terdapat dalam lintah laut dari Perairan Kepulauan Belitung. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya informasi mengenai kandungan senyawa antioksidan lintah laut yang dapat bermanfaat untuk bidang pangan, farmasi maupun industri lainnya. 1.2. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mempelajari karakteristik lintah laut (Discodoris sp.) dari Perairan Kepulauan Belitung, (2) mempelajari pengaruh perbedaan jenis pelarut terhadap persentase rendemen dan aktivitas antioksidan ekstrak kasar lintah laut, dan (3) menentukan komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak kasar lintah laut.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lintah Laut (Discodoris sp.) Lintah laut (Discodoris sp.) merupakan anggota dari kelompok ordo Nudibranchia. Kata Nudibranch berasal dari Bahasa latin nudus yang berarti telanjang dan bahasa Yunani brankhia yang berarti insang. Nudibranch tidak memiliki cangkang, sehingga menggunakan senyawa kimia dalam tubuhnya untuk mempertahankan diri. Kelompok hewan ini memiliki corak dan warna yang beraneka ragam, namun beberapa jenis dari hewan ini mempunyai kemampuan kamuflase yang handal sehingga cukup sulit untuk ditemukan (Sorowako 2008). Klasifikasi lintah laut secara sistematik menurut Rudman (1999) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animal
Phylum
: Molusca
Kelas
: Gastropoda
Sub Kelas
: Opistobranchia
Ordo
: Nudibranchia
Sub Ordo
: Doridina
Famili
: Dorididae
Genus
: Discodoris sp. Lintah laut (Discodoris sp.) adalah spesies yang banyak ditemukan di
kepulauan Philipina, Papua New Geunia, Indonesia, Okinawa, Afrika Selatan, dan Australia. Hewan ini memiliki tubuh yang berwarna coklat kehitam-hitaman dengan bintik putih dan garis pada bagian atas badannya. Permukaan tubuhnya licin dan tidak dilindungi oleh lapisan pelindung. Insang-insangnya berjumbaian di punggung, selain itu hewan ini memiliki kepala bertentakel yang sangat sensitif terhadap sentuhan, rasa dan bau. Matanya yang kecil hanya bisa melihat sedikit selain membedakan terang dan gelap (Sorowako 2008). Morfologi lintah laut (Discodoris sp.) dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Lintah laut (Discodoris sp.) Perairan Kepulauan Belitung Lintah laut biasanya terdapat di perairan dangkal berpasir serta terumbu karang hingga di dasar laut kelam lebih dari satu kilometer dalamnya, nudibranch berkembang biak baik di perairan hangat maupun dingin dan bahkan di sekeliling cerobong-cerobong vulkanis yang menyembur di laut dalam (Holland 2009). Hewan ini hidup dan menempel rapat pada batu-batuan yang berlumpur atau berpasir dan menghasilkan lendir (mucus) untuk mencegah kekeringan. Bagian bawahnya dapat bergerak dan menempel pada substrat sehingga gerakannya lambat (Rudman 1999). Lintah laut temasuk hewan herbivora, makanannya adalah berbagai alga baik yang berukuran kecil (fitoplankton/mikroalga) maupun yang berukuran besar makroalga/rumput laut yang terdiri dari rumput laut coklat (Paeophyceae), merah (Rodophyceae), dan hijau (Chlorophyceae). Racun yang terdapat pada mangsanya tidak membahayakan hewan ini, melainkan dapat digunakan sebagai suatu alat pertahanan terhadap musuh. Banyak nudibranch yang dapat berpindah dari lokasi pencarian makanan yang satu ke yang lain (Holland 2009). Kelompok hewan Nudibranch lebih suka menyendiri, dengan kebiasaan nokturnal serta wilayah pengembaraan yang sempit. Nudibranch dapat melakukan kamuflase mulai dari warna kusam hingga cemerlang, bukan warna-warna kontras. Pigmen warnanya mirip spons dipengaruhi oleh substrat edibel tempat mereka berdiam hewan ini mencium, mengecap, dan merasakan dunia dengan menggunakan tonjolan-tonjolan sensor di kepala yang disebut rhinophore dan tentakel-tentakel
oral.
Sinyal-sinyal
menemukan makanan (Holland 2009).
kimia
digunakan
untuk
membantu
Nudibranch temasuk hewan hermaprodit, yaitu hewan yang memiliki organ jantan maupun betina dalam satu individu serta membuahi sesamanya. Tergantung spesies, pasangan nudibranch meletakkan telurnya dalam bentuk spiral, pita, atau rumpun kusut, berjumlah dua juta sekali bertelur, namun tidak semua pembuahannya berhasil (Holland 2009). Ketika organisme ini siap untuk kawin akan bermigrasi ke daerah pantai yang berbatu dan ditumbuhi subur oleh tanaman alga atau rumput laut dan menyemprotkan telur dan sperma sekaligus di sekitar bebatuan tersebut. Telur-telur tersebut akan dibiarkan melayang di sekitar bebatuan agar
terhindar
dari predator dan dibiarkan menetas
sendiri
(Rudman 1983 diacu dalam Witjaksono 2005). 2.2. Radikal Bebas Radikal bebas adalah atom atau gugus atom yang memiliki satu atau lebih elektron tak berpasangan. Adanya elektron tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan. Radikal ini akan merebut elektron dari molekul lain yang ada disekitarnya untuk menstabilkan diri, sehingga senyawa kimia ini sering dihubungkan dengan terjadinya kerusakan sel, kerusakan jaringan, dan proses penuaan (Fessenden dan Fessenden 1986). Radikal bebas memiliki reaktivitas yang sangat tinggi. hal ini ditunjukkan oleh sifatnya yang segera menarik atau menyerang elektron di sekelilingnya. Reaktivitas radikal bebas merupakan upaya untuk mencari pasangan elektron. Sebagai dampak dari kerja radikal bebas tersebut, akan terbentuk radikal bebas baru yang berasal dari atom atau molekul yang elektronnya diambil untuk berpasangan dengan radikal sebelumnya. Namun, bila dua senyawa radikal bertemu, elektron-elektron yang tidak berpasangan dari kedua senyawa tersebut akan bergabung dan membentuk ikatan kovalen yang stabil. Sebaliknya, bila senyawa radikal bebas bertemu dengan senyawa yang bukan radikal bebas akan terjadi tiga kemungkinan, yaitu (1) radikal bebas akan memberikan elektron yang tidak berpasangan (reduktor) kepada senyawa bukan radikal bebas, (2) radikal bebas menerima elektron (oksidator) dari senyawa bukan radikal bebas, (3) radikal bebas bergabung dengan senyawa bukan radikal bebas (Winarsi 2007). Mekanisme reaksi radikal bebas digambarkan sebagai suatu deret reaksireaksi bertahap. Tahapan mekanisme reaksi tersebut diawali dengan pembentukan
awal radikal bebas (inisiasi), lalu perambatan atau terbentuknya radikal baru (propagasi), dan tahap terakhir (terminasi), yaitu pemusnahan atau pengubahan menjadi radikal bebas stabil dan tak reaktif (Fessenden dan Fessenden1986). Radikal bebas dapat terbentuk melalui dua cara, yaitu secara endogen (sebagai respon normal proses biokimia internal maupun eksternal) dan secara eksogen (berasal dari polusi, makanan, serta injeksi ataupun absorpsi melalui injeksi) (Winarsi 2007). Radikal bebas juga dapat terbentuk dari senyawa lain yang sebenarnya bukan radikal bebas, tetapi mudah berubah menjadi radikal bebas. Sumber-sumber radikal bebas yang berasal dari faktor endogen maupun eksogen dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Sumber-sumber radikal bebas Sumber endogen
Sumber eksogen
Mitokondria
Rokok
Fagosit
Polutan lingkungan
Xantin oksidase
Radiasi
Reaksi yang melibatkan logam transisi
Obat-obatan tertentu, pestisida
Jalur arakhidonat
dan anestesi dan larutan industri
Peroksisom
Ozon
Olahraga Peradangan Iskemia/reperfusi Sumber: Tuminah (2000)
Radikal bebas dalam jumlah berlebih di dalam tubuh sangat berbahaya karena menyebabkan kerusakan sel, asam nukleat, protein dan jaringan lemak. Radikal bebas terbentuk di dalam tubuh akibat produk sampingan proses metabolisme ataupun karena terdapat radikal bebas dalam tubuh melalui pernapasan (Dalimarta dan Soedibyo 1998 diacu dalam Pratiwi et al. 2006). Akan tetapi, radikal bebas tidak selalu merugikan. Misalnya, radikal bebas berperan dalam pencegahan penyakit yang disebabkan karena mikrobia melalui sel-sel darah khusus yang disebut fagosit (Tuminah 2000).
2.3. Antioksidan Dalam pengertian kimia, senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (electron donor). Secara biologis, pengertian antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut bisa dihambat (Winarsi 2007). 2.3.1. Fungsi antioksidan Antioksidan berfungsi untuk menetralisasi radikal bebas, sehingga atom dan elektron yang tidak berpasangan mendapatkan pasangan elektron dan menjadi stabil. Keberadaan antioksidan dapat melindungi tubuh dari berbagai macam penyakit degeneratif dan kanker. Selain itu antioksidan juga membantu menekan proses penuaan/antiaging (Tapan 2005). 2.3.2. Sumber antioksidan Sumber-sumber antioksidan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami) dan antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia). Senyawasenyawa yang umumnya terkandung dalam antioksidan alami adalah fenol, polifenol, dan yang paling umum adalah flavonoid (flavonol, isoflavon, flavon, katekin, flavonon), turunan asam sinamat, tokoferol, dan asam organik polifungsi. Saat ini tokoferol sudah diproduksi secara sintetik untuk tujuan komersil (Pratt dan Hudson 1990). Antioksidan sintetik ditambahkan ke dalam bahan pangan untuk mencegah ketengikan. Antioksidan sintetik yang banyak digunakan sekarang adalah senyawa-senyawa fenol yang biasanya agak beracun. Oleh karena itu penambahan antioksidan ini harus memenuhi beberapa persyaratan, misalnya tidak berbahaya bagi kesehatan, tidak menimbulkan warna yang tidak diinginkan, efektif pada konsentrasi rendah, larut dalam lemak, mudah didapat, dan ekonomis. Empat macam
antioksidan
sintetik
yang
sering
digunakan
adalah
Butylated
hydroxyanisole (BHA), Butylated hydroxytoluene (BHT), Propylgallate (PG), dan Nordihidroquairetic (NDGA) (Winarno 1997).
2.3.3. Mekanisme kerja antioksidan Aktivitas penghambatan antioksidan dalam reaksi oksidasi berdasarkan keseimbangan reaksi keseimbangan reaksi oksidasi reduksi. Molekul antioksidan akan bereaksi dengan radikal bebas (R*) dan membentuk molekul yang tidak reaktif (RH) dan dengan demikian reaksi berantai pembentukan radikal bebas dapat dihentikan (Belitz dan Grosch 1999). Antioksidan yang baik akan bereaksi dengan radikal bebas segera setelah senyawa tersebut terbentuk. Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi, dapat disebabkan oleh 4 macam mekanisme reaksi (Ketaren 1986), yaitu (1) pelepasan hidrogen dari antioksidan, (2) pelepasan elektron dari antioksidan, (3) addisi lemak ke dalam cincin aromatik pada antioksidan, dan (4) pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari antioksidan. Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu antioksidan primer, sekunder, dan tersier. Antioksidan primer disebut juga antioksidan endogenus atau enzimatis. Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan primer apabila dapat memberikan atom hidrogen secara cepat kepada senyawa radikal, kemudian radikal antioksidan yang terbentuk segera berubah menjadi senyawa yang lebih stabil. Antioksidan primer meliputi enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase. Sebagai antioksidan, enzim-enzim tersebut menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara memutus reaksi berantai (polimerisasi), kemudian mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil (Winarsi 2007). Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogenus atau nonenzimatis. Antioksidan kelompok ini juga disebut sistem pertahanan preventif dimana terbentuknya senyawa oksigen reaktif dihambat dengan cara pengkelatan metal, atau dirusak pembentukannya. Kerja antioksidan sekunder yaitu dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan cara menangkapnya. Antioksidan sekunder meliputi vitamin e, vitamin C, -karoten, flavonoid, asam urat, bilirubin, dan albumin (Winarsi 2007). Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-repair dan metionin sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berfungsi dalam perbaikan
biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas. Kerusakan DNA yang terinduksi senyawa radikal bebas dicirikan oleh rusaknya single dan double stand, baik gugus basa maupun non-basa (Winarsi 2007). Dari berbagai jenis antioksidan yang ada, mekanisme kerja serta kemampuannya sebagai antioksidan sangat bervariasi. Seringkali, kombinasi beberap jenis antioksidan memberikan perlindungan yang lebih baik (sinergisme) terhadap oksidasi dibandingkan dengan satu jenis antioksidan saja (Siagian 2002). 2.4. Ekstraksi Senyawa Aktif Ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi komponen-komponen yang terpisah (Winarno et al. 1973). Harbone (1987) menambahkan bahwa ekstraksi adalah proses penarikan komponen atau zat aktif suatu simplisia dengan menggunakan pelarut tertentu. Proses ekstraksi bertujuan mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen-komponen aktif. Metode ekstraksi yang digunakan tergantung dari beberapa faktor, antara lain tujuan ekstraksi, skala ekstraksi, sifat-sifat komponen yang akan diekstrak dan sifat-sifat pelarut yang digunakan. Metode umum ekstraksi yang dapat dilakukan terdiri dari ekstraksi dengan pelarut, destilasi, supercritical fluid extraction (SFE), pengepresan mekanik dan sublimasi. Diantara metode-metode yang telah dilakukan, metode yang banyak digunakan adalah destilasi dan ekstraksi menggunakan pelarut (Houghton dan Raman 1998). Ekstraksi menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu aqueous phase dan organic phase. Ekstraksi aqueous phase dilakukan dengan menggunakan pelarut air, sedangkan organic phase menggunakan pelarut organik (Winarno et al. 1973). Prinsip metode ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah bahan yang akan diekstrak kontak langsung dengan pelarut pada waktu tertentu kemudian diikuti dengan pemisahan dari bahan yang telah diekstrak (Houghton dan Raman 1998). Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Bahan dan senyawa kimia akan mudah larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya. Derajat polaritas tergantung pada tahapan dielektrik, makin besar tahapan dielektrik semakin polar pelarut tersebut (Nur dan
Adijuwana 1989). Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya Pelarut Dietil eter Karbon disulfide Aseton Kloroform Metanol Tetrahidrofuran Di-isopropil eter N-heksan Karbon Tetraklorida Etil asetat Etanol Benzena Sikloheksana Isopropanol Air Dioksan Toluena Asam asetat glasial N,N-dimetil formamida Dietilenaglikol
Titik didih (oC) 35 46 56 61 65 66 68 69 76 77 78 80 81 82 100 102 111 118 154 245
Titik beku (oC) -116 -111 -95 -64 -98 -65 -60 -94 -23 -84 -117 5,5 5,5 -89 0 12 -95 17 -61 -10
Konstanta dielektrik (Debye) 4,3 2,6 20,7 4,8 32,6 7,6 3,9 1,9 2,2 6,0 24,3 2,3 2,0 18,3 78,5 2,2 2,4 6,2 34,8 37,7
Sumber: Nur dan Adijuwana (1989)
Pelarut yang bersifat polar, mampu mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tannin, gula, asam amino, dan glikosida (Harborne 1987). Hasil ekstrak yang diperoleh akan tergantung pada beberapa faktor antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, dan perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel (Darusman et al. 1995). Jenis dan mutu pelarut yang digunakan menentukan keberhasilan proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan harus dapat melarutkan zat yang diinginkannya, mempunyai titik didih yang rendah, murah, tidak toksik, dan mudah terbakar (Ketaren 1986). Selain itu, keberhasilan ekstraksi juga tergantung pada banyaknya ekstraksi yang dilakukan. Hasil yang baik diperoleh jika ekstraksi dilakukan
berulang-ulang dengan jumlah pelarut yang sedikit-sedikit. Efisiensi ekstraksi dapat ditingkatkan dengan menggunakan luas kontak yang besar (Khopkar 2003). 2.5. Uji Aktivitas Antioksidan Metode yang umum digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan suatu bahan adalah dengan menggunakan radikal bebas diphenylpicrylhydrazyl (DPPH). DPPH adalah radikal bebas yang bersifat stabil dan beraktivitas dengan cara mendelokasi elektron bebas pada suatu molekul, sehingga molekul tersebut tidak reaktif sebagaimana radikal bebas yang lain. Proses delokalisasi ini ditunjukkan dengan adanya warna ungu (violet) pekat yang dapat dikarakterisasi pada pita absorbansi (Molyneux 2004). Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menggunakan prinsip spektrofotometri. Senyawa DPPH (dalam metanol) berwarna ungu tua terdeteksi pada panjang gelombang sinar tampak sekitar 517 nm. Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya untuk berikatan dengan DPPH membentuk DPPH tereduksi, ditandai dengan semakin hilangnya warna ungu (menjadi kuning pucat) (Molyneux 2004). Prinsip penurunan nilai absorbansi digunakan untuk mengetahui kapasitas antioksidan suatu senyawa. Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan dapat dilihat pada Gambar 2.
Diphenylpicrylhydrazyl (radikal bebas)
Diphenylpicrylhydrazine (non radikal)
Gambar 2. Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan Parameter untuk menginterpretasikan hasil pengujian dengan metode DPPH adalah IC50 (inhibition concentration). IC50 merupakan konsentrasi larutan substrata atau sampel yang akan menyebabkan reduksi terhadap aktivitas DPPH sebesar 50 % (Molyneux 2004). Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin tinggi aktivitas antioksidan. Secara spesifik suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan
sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat untuk IC50 antara 0,05-0,1 mg/ml, sedang jika IC50 bernilai 0,101-0,150 mg/ml, dan lemah jika IC50 bernilai 0,150-0,200 mg/ml. 2.6. Senyawa Fitokimia Fitokimia adalah cabang ilmu yang mempelajari senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh tumbuhan, yaitu mencakup struktur kimia, biosintesis, perubahan serta metabolisme, penyebaran secara alami, dan fungsi biologis. Senyawa fitokimia bukanlah zat gizi, namun kehadirannya dalam tubuh dapat membuat tubuh lebih sehat, lebih kuat dan lebih bugar (Astawan dan Kasih 2008). Senyawa fitokimia berpotensi mencegah bebagai penyakit seperti penyakit degeneratif dan kardiovaskuler (Harborne 1987). 2.6.1. Alkaloid Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran (Sirait 2007). Pada umumnya alkaloid merupakan senyawa yang bersifat basa (adanya gugus amino) yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen dalam bentuk gabungan sebagai bagian dari sistem siklik (Harborne 1987). Kelompok senyawa
alkaloid
terdiri dari alkaloid
sesungguhnya,
protoalkaloid, dan pseudoalkaloid. Alkaloid sesungguhnya adalah racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas phisiologi yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa, lazim mengandung nitrogen dalam cincin heterosiklis, diturunkan dari asam amino, dan biasanya terdapat dalam tanaman sebagai garam asam organik. Protoalkaloid merupakan amin yang relatif sederhana dimana dalam nitrogen asam amino tidak terdapat cincin heterosiklis, dan diperoleh berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat basa. Pseudoalkaloid tidak diturunkan dari prekursor asam amino, dan biasanya senyawa ini bersifat basa (Sastrohamidjojo 1996). 2.6.2. Steroid/Triterpenoid Triterpenoid adalah senyawa dengan kerangka karbon yang disusun dari 6 unit isoprena dan dibuat secara biosintesis dari skualen, suatu C30 hidrokarbon siklik. Senyawa tersebut tidak berwarna, kristalin, sering mempunyai titik lebur tinggi, umumnya sulit untuk dikarakterisasi karena secara kimia tidak reaktif.
Triterpenoid dapat dibagi menjadi empat kelompok senyawa, yaitu triterpen sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung (cardiac glycoside). Beberapa triterpen dikenal dengan rasanya, terutama rasa pahit (Sirait 2007). Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid. Hormon steroid dalam mamalia dibiosintesis dari kolesterol. Steroid berupa padatan kristal yang berwarna putih dan dapat berbentuk jarum kecil, lembaran, lempengan atau partikel amorf tergantung pelarut yang digunakan dalam kristalisasi. Steroid mempunyai 17 atom karbon atau lebih sehingga golongan senyawa ini cenderung tidak larut dalam air (Wilson dan Gisvold 1982). 2.6.3. Flavonoid Senyawa flavonoid adalah senyawa yang mengandung C15 terdiri atas dua inti fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Cincin A memiliki karakteristik bentuk hidroksilasi phloroglusinol atau resorsinol, dan cincin B biasanya 4-,3,4-, atau 3,4,5-terhidroksilasi (Sastrohamidjojo 1996). Flavonoid terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid. Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mula-mula
didasarkan
pada
telaah
sifat
kelarutan
dan
reaksi
warna
(Harbone 1987). Flavonoid dapat diklasifikasikan menjadi flavon, flavonol, flavonon, flavononon, isoflavon, calkon, dihidrokalkon, auron, antosianidin, katekin, dan flavan-3,4-diol (Sirait 2007). Flavonoid memberikan konstribusi keindahan dan kesemarakan pada buah-buahan di alam. Flavon memberikan warna kuning atau jingga, antosianin memberikan warna merah, ungu atau biru, yaitu semua warna yang terdapat pada pelangi kecuali warna hijau (Sastrohamidjojo 1996). Flavonoid pada tumbuhan berfungsi dalam pengaturan tumbuh, pengaturan fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus, dan kerja terhadap serangga (Robinson 1995). Kegunaan flavonoid juga ditemukan dalam kehidupan manusia. Flavon bekerja sebagai stimulan pada jantung, hesperidin mempengaruhi pembuluh darah kapiler. Flavon terhidroksilasi bekerja sebagai diuretik dan sebagai antioksidan pada lemak (Sirait 2007).
2.6.4. Saponin Saponin adalah senyawa aktif permukaan kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah (Robinson 1995). Sifatnya sebagai senyawa aktif permukaan disebabkan adanya kombinasi antara aglikon lipofilik dengan gula yang bersifat hidrofilik (Houghton dan Raman 1998). Terdapat dua jenis saponin, yaitu glikosida triterpenoid alkohol dan glikosida struktur steroid tertentu yang mempunyai rantai samping spiroketal. Kedua jenis ini larut dalam air dan etanol tetapi tidak larut dalam eter. Aglikonnya yang disebut sapogenin diperoleh dengan hidrolisis dalam suasana asam atau hidrolisis memakai enzim, dan tanpa bagian gula ciri kelarutannya sama dengan ciri sterol lain (Robinson 1995). Saponin menyebabkan stimulasi pada jaringan tertentu misalnya, pada epitel hidung, bronkus, ginjal, dan sebagainya. Stimulasi pada ginjal diperkirakan menimbulkan efek diuretika. Sifat menurunkan tegangan muka yang ditimbulkan oleh saponin dapat dihubungkan dengan daya ekspektoransia. Dengan sifat ini lendir akan dilunakkan atau dicairkan. Saponin bisa juga sebagai prekursor hormon steroid (Sirait 2007). 2.6.5. Fenol hidrokuinon Fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan dan mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Flavonoid merupakan golongan fenol yang terbesar, selain itu juga terdapat fenol monosiklik sederhana, fenilpropanoid, dan kuinon fenolik (Harborne 1987). Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Untuk tujuan identifikasi, kuinon dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon dan
kuinon
isoprenoid. Tiga
kelompok pertama
biasanya
terhidroksilasi dan bersifat senyawa fenol (Harborne 1987). Polifenol memiliki kemampuan untuk berikatan dengan metabolit lain seperti protein, lemak, dan karbohidrat membentuk senyawa kompleks yang stabil
sehingga menghambat mutagenesis dan karsinogenesis. Selain itu, polifenol memiliki sifat antioksidatif dan antitumor (Mukhopadhiay 2000). 2.6.6. Karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia dan hewan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Melalui proses fotosintesis, klorofil tanaman dengan sinar matahari mampu membentuk karbohidrat dari karbon dioksida (CO2) yang berasal dari udara dan air dari tanah. Proses fotosintesis menghasilkan karbohidrat
sederhana
glukosa
dan
oksigen
yang
dilepas
di
udara
(Almatsier 2006). Karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi monosakarida, oligosakarida serta polisakarida. Monosakarida merupakan suatu molekul yang dapat terdiri dari lima atau enam atom C, sedangkan oligosakarida merupakan polimer dari 2-10 monosakarida, dan pada umumnya polisakarida merupakan polimer yang terdiri lebih dari 10 monomer monosakarida (Winarno 1997). Karbohidrat mempunyai peranan penting untuk mencegah pemecahan protein tubuh yang berlebihan yang berakibat kepada penurunan fungsi protein sebagai enzim dan fungsi antibodi, timbulnya ketosis, kehilangan mineral dan berguna untuk membantu metabolisme lemak dan protein (Budiyanto 2002). 2.6.7. Gula pereduksi Sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada atau tidaknya gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor satu (anomerik), sedangkan pada fruktosa (ketosa) terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat, sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor satu pada gugus glukosanya (Winarno 1997). Sifat sebagai reduktor pada monosakarida dan beberapa disakarida disebabkan oleh adanya gugus aldehida atau keton bebas dalam molekul karbohidrat. Sifat ini dapat digunakan untuk keperluan identifikasi karbohidrat maupun analisis kuantitatif. Pereaksi Benedict berupa larutan yang mengandung kuprisulfat, natrium karbonat dan natrium sitrat. Glukosa dapat mereduksi ion Cu2+ dari kuprisulfat menjadi ion Cu+ yang kemudian mengendap sebagai Cu2O.
Adanya natrium karbonat dan natrium sitrat membuat pereaksi Benedict bersifat basa lemah. Endapan yang terbentuk dapat berwarna hijau, kuning atau merah bata. Warna endapan ini tergantung pada konsentrasi karbohidrat yang diperiksa (Poedjiadi 1994). 2.6.8. Peptida Peptida merupakan hasil polikondensasi asam amino. Gugus karbonil dari satu asam amino berikatan dengan gugus asam amino lain membentuk ikatan amida atau ikatan peptida. Pengertian peptida biasanya untuk menyatakan polimer yang memiliki berat molekul lebih rendah dari 5000. Peptida dapat dihidrolisis sebagian menjadi protein, juga senyawa yang mengandung asam amino nonprotein (Sastrohamidjojo 1996). Dipeptida diturunkan dari dua asam amino tripeptida dari tiga asam amino, dan seterusnya. Siklisasi dipeptida menghasilkan 2,5-dioksopi-perazin dan senyawa sejenisnya sering disintesis oleh mikroorganisme (Sastrohamidjojo 1996). Dipeptida masih mempunyai gugus amino dan karboksil bebas sehingga dapat bereaksi dengan dipeptida-dipeptida lain membentuk polipeptida dan akhirnya membentuk molekul protein (Winarno 1997). 2.6.9. Asam amino Asam amino adalah asam karboksilat yang mempunyai sekurangkurangnya satu gugus amino. Kebanyakan asam amino alam mempunyai rumus umum RCH(NH3+)CO2- (Robinson 1995). Semua asam amino berkonfigurasi á dan mempunyai konfigurasi L kecuali glisin yang tidak mempunyai atom C asimetrik.
Hanya
asam
amino L
yang merupakan komponen protein
(Winarno 1997). Sebagian besar sifat fisika asam amino ditentukan oleh struktur ion dwikutub. Kelompok asam amino lebih mudah larut dalam air daripada dalam pelarut organik. Asam amino membentuk garam dengan asam atau basa karena bersifat amfoter (Robinson 1995). Derajat ionisasi dari asam amino sangat dipengaruhi oleh pH. Pada pH yang rendah misalnya pada pH 1,0 gugus karboksilnya tidak terdisosiasi, sedang gugus aminonya menjadi ion. Pada pH yang tinggi misalnya pada pH 11,0 karboksilnya terdisosiasi sedang gugusan aminonya tidak (Winarno 1997).
3. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai Juli 2009. Lintah laut diambil dari perairan Tanjung Binga Kepulauan Belitung. Analisis lintah laut bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Biologi Hewan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi-LPPM, serta Laboratorium Basah Pusat Studi Biofarmaka, Institut Pertanian Bogor. 3.2. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan antara lain pisau, timbangan digital, timbangan analitik, cawan porselin, oven, desikator, tanur pengabuan, labu Kjeldahl, kondensor, erlenmeyer, kapas, alat soxhlet, water bath shaker, kertas saring whatman 42, evaporator vakum putar Buchi Rotavapor R-205, botol ekstrak, freezer, tabung reaksi, pipet tetes, pipet volumetrik, kompor listrik, pipet mikro, inkubator, spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800. Bahan yang digunakan terdiri dari bahan utama dan bahan pembantu. Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah lintah laut (Discodoris sp.) segar yang telah dikeringkan dengan panas matahari. Bahan pembantu yang digunakan antara lain air, aquades, H2SO4, selenium, NaOH 40 %, H3BO3, methyl red, brom creosol green, HCl 0,1 %, pelarut lemak, asam klorida 2 N, metanol p.a, etanol p.a, aquabides, radikal bebas DPPH (1,1-difenil-2pikrilhidrazil),
BHT
(Butylated
Hydroxytoluena)
sebagai
antioksidan
pembanding, kloroform p.a, anhidrat asetat, asam sulfat pekat, pereaksi Dragendorff, pereaksi wagner, pereaksi Meyer, serbuk magnesium, HCl 37 %, etanol 70 %, FeCl3 5 %, pereaksi molisch, pereaksi benedict, pereaksi biuret, dan larutan ninhidrin 0,1 %. 3.3. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui empat tahap, yaitu (1) pengambilan dan preparasi bahan baku, (2) karakterisasi bahan baku, (3) ekstraksi komponen antioksidan, dan (4) uji ekstrak kasar.
3.3.1. Pengambilan dan preparasi bahan baku Bahan baku lintah laut (Discodoris sp.) diambil dari Perairan Tanjung Binga Kepulauan Belitung. Lintah laut ditemukan di pinggir pantai yang terdapat pasir dan karang-karang mati. Lintah laut diambil pada pagi hari sekitar pukul 9.00-11.00 wib saat air laut surut. Pengambilan lintah laut dilakukan saat air laut surut karena saat air pasang sangat sulit untuk menemukan keberadaan lintah laut. Ukuran panjang lintah laut yang digunakan berkisar 3-6 cm. Daging lintah laut dipisahkan dari jeroannya kemudian dicuci dengan air bersih untuk menghilangkan benda-benda asing yang masih menempel seperti pasir, kerikil dan kotoran lainnya. Setelah bersih, daging lintah laut dikeringkan di bawah sinar matahari selama 2-3 hari. Lintah laut ditimbang berat utuhnya serta berat sebelum dan sesudah pengeringan untuk mengetahui rendemennya. Lintah laut tanpa jeroan yang telah kering dihancurkan dengan menggunakan mortar dan blender sehingga diperoleh bentuk serbuk. Serbuk lintah laut tanpa jeroan inilah yang akan digunakan dalam analisis proksimat dan proses ekstraksi dengan pelarut polar. 3.3.2. Karakterisasi bahan baku Karakterisasi lintah laut dilakukan melalui perhitungan rendemen dan uji proksimat. 3.3.2.1. Rendemen Perhitungan rendemen digunakan untuk mengetahui persentase rendemen daging dan jeroan lintah laut baik segar ataupun kering. Adapun perumusan matematiknya adalah sebagai berikut: Rendemen (%)
bobot daging 100 % bobot lintah laut utuh
3.3.2.2. Uji proksimat Analisis proksimat dilakukan terhadap lintah laut yang telah dibuang jeroannya dan dikeringkan menggunakan sinar matahari, kemudian dihaluskan menggunakan mortar dan blender sehingga diperoleh sampel dalam bentuk serbuk. Analisis proksimat yang dilakukan adalah:
1) Kadar air (AOAC 1995) Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah mengeringkan cawa porselen dalam oven pada suhu 102-105 oC selama 30 menit. Cawan tersebut diletakkan dalam desikator (kurang lebih 30 menit) hingga dingin kemudian ditimbang hingga beratnya konstan, kemudian cawan dan daging lintah laut sebanyak 1-2 gram ditimbang setelah terlebih dahulu dihomogenkan. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102-105 oC selama 6 jam. Cawan tersebut didinginkan dalam desikator dan kemudian ditimbang. Kadar air ditentukan dengan rumus:
Kadar air (%)
berat contoh (g) - berat contoh kering (g) 100 % berat contoh (g)
2) Kadar abu (AOAC 1995) Cawan abu porselen dimasukkan dalam tungku pengabuan selama kurang lebih 1 jam. Setelah itu cawan abu porselen tersebut didinginkan dalam desikator dan ditimbang berat kosongnya. Daging lintah laut sebanyak 1-2 gram dimasukkan ke dalam cawan abu porselen, kemudian diletakkan dalam tungku pengabuan hingga suhu 600 oC. Proses pengabuan dilakukan sampai diperoleh abu berwarna abu-abu. Setelah itu cawan abu porselen didinginkan selama 30 menit dan ditimbang beratnya. Kadar abu ditentukan dengan rumus: Kadar abu (%)
berat abu (g) 100 % berat sampel (g)
3) Analisis abu tidak larut asam (FMC Corp. 1977) Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu total dididihkan dengan 25 ml HCl 10 % selama lima menit. Bahan-bahan yang tidak terlarut disaring menggunakan kertas saring tak berabu, lalu didinginkan dalam desikator untuk selanjutnya ditimbang. Kadar abu tidak larut asam ditentukan dengan rumus: Kadar abu tidak larut asam (%)
berat abu (g) 100 % berat sampel (g)
4) Kadar protein (AOAC 1995) Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. (1) Tahap destruksi Daging lintah laut ditimbang sebanyak 0,1 gram, kemudian dimasukkan ke dalam tabung kjeltac. Selanjutnya ditambahkan selenium dan 3 ml H2SO4 ke dalam tabung tersebut. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 oC. Proses destruksi dilakukan sampai larutan berwarna bening. (2) Tahap destilasi Isi labu dituangkan ke dalam labu destilasi, lalu ditambahkan dengan aquades 50 ml. Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40 % sebanyak 20 ml. Cairan
dalam
ujung tabung
kondensor
ditampung
dalam
erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (cairan methyl red dan brom creosol green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer. (3) Tahap titrasi Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan erlenmeyer berubah warna menjadi pink. Kadar protein ditentukan dengan rumus: %N
(ml HCl - ml HCl blanko) 0,1 N HCl 14,007 100 % mg sampel
Kadar protein % N 6,25
5)
Kadar lemak (AOAC 1995) Penentuan kadar lemak dilakukan dengan menggunakan metode ekstraksi
soxhlet. Daging lintah laut sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya dan disambungkan dengan
tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet, lalau dipanaskan pada suhu 40
o
C dengan menggunakan
pemanas listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 o
C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan. Kadar lemak ditentukan dengan rumus:
Kadar lemak (%)
berat lemak (g) 100 % berat sampel (g)
3.3.3. Ekstraksi komponen antioksidan Ekstraksi dilakukan untuk menghasilkan ekstrak kasar lintah laut dengan menggunakan pelarut. Komponen antioksidan pada lintah laut diperoleh melalui ekstraksi tunggal dengan menggunakan tiga pelarut polar yang berbeda, yaitu metanol, etanol dan aquabides. Lintah laut tanpa jeroan kering yang telah dihancurkan ditimbang beratnya 50 gram, kemudian dimasukkan dalam erlenmeyer. Masing-masing pelarut metanol dan etanol ditambahkan sampai sampel terendam dengan perbandingan bahan dan pelarut 1:3 (w/v). Erlenmeyer ditutup dengan kapas dan aluminium foil untuk mencegah penguapan dari pelarut. Sampel dimaserasi menggunakan shaker LED Orbit selama 5x24 jam. Setiap 24 jam, hasil maserasi disaring dengan kertas saring whatman 42 untuk memisahkan filtrat dengan ampasnya. Ekstraksi dengan pelarut aquabides dilakukan dengan memanaskan aquabides sebanyak 750 ml dalam panci kaca hingga suhu 100 oC. Lintah laut tanpa jeroan kering yang telah dihancurkan ditambahkan ke dalam panci kaca sebanyak 50 gr sehingga diperoleh perbandingan bahan dan pelarut 1:15 (w/v). Sampel dan pelarut dipanaskan selama 20 menit dengan selalu diaduk. Setelah dingin, sampel disaring dengan menggunakan kain katun dilanjutkan dengan kertas saring whatman 42 untuk memisahkan filtrat dengan ampasnya. Filtrat dari masing-masing pelarut dimasukkan dalam erlenmeyer dan disimpan dalam lemari es sampai waktunya evaporasi. Evaporasi filtrat hasil
maserasi menggunakan pelarut etanol dan metanol dilakukan dengan evaporator vakum putar Buchi Rotavator R-205 pada suhu 37 oC, sedangkan filtrat aquabides dievaporasi pada suhu 54 oC sehingga diperoleh ekstrak kasar. Ekstrak kasar ini dimasukkan dalam botol ekstrak untuk dilakukan uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH (Blois 1958 diacu dalam Molyneux 2004) dan uji fitokimia secara kualitatif (Harborne 1987). Diagram alir proses ekstraksi komponen antioksidan menggunakan pelarut etanol, metanol, dan aquabides dapat dilihat pada Gambar 3. Lintah laut tanpa jeroan
Penimbangan (50 g)*
Maserasi 5x24 jam
Maserasi 5x24 jam
Pemanasan selama 20 menit
dengan etanol
dengan metanol
dalam pelarut aquabides
150 ml (m/v)*
150 ml (m/v)*
750 ml (m/v)* suhu 100 C
o
Penyaringan
Filtrat
Residu
Evaporasi
Ekstrak kasar
Gambar 3. Diagram alir ekstraksi dengan pelarut etanol, metanol (Pramadhany 2006 yang dimodifikasi*), dan aquabides (Anesini et al. 2005 yang dimodifikasi*) 3.3.4. Ekstrak kasar Analisis yang dilakukan terhadap ekstrak kasar menggunakan dua uji, yaitu uji aktivitas antioksidan (DPPH) untuk mengetahui aktivitas antioksidan dari ekstrak masing-masing pelarut, dan uji fitokimia untuk mengetahui senyawa kimia yang terdapat dalam ekstrak lintah laut.
3.3.4.1. Uji aktivitas antioksidan (DPPH) (Blois 1959 diacu dalam Molyneux 2004) Ekstrak kasar lintah laut yang diperoleh dari proses ekstraksi dengan metanol p.a, etanol p.a, dan aquabides dilarutkan dalam metanol p.a dengan konsentrasi 100, 200, 500, 1000, 2000 dan 4000 ppm. Antioksidan sintetik BHT digunakan sebagai pembanding dengan konsentrasi 5, 10, 25, 50, da 100 ppm. Larutan pereaksi DPPH yang digunakan dibuat dengan melarutkan DPPH dalam metanol p.a dengan konsentrasi 1 mM, yang dibuat segar dan dijaga pada suhu rendah serta terlindung dari cahaya. Sebanyak 4 ml larutan uji atau pembanding direaksikan dengan 1 ml larutan DPPH dalam tabung reaksi. Campuran tersebut diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit, kemudian diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometri UV-VIS Hitachi U-2800 pada panjang gelombang 517 nm. Larutan standar dibuat dengan mencampur 4 ml metanol p.a dengan 1 ml DPPH. Aktivitas antioksidan masing-masing sampel dan BHT dinyatakan dengan persentase penghambatan radikal bebas yang dihitung dengan rumus: % inhibisi
absorbansi blanko - absorbansi sampel 100 absorbansi blanko
Nilai konsentrasi dan hambatan ekstrak diplot masing-masing pada sumbu x dan y. Persamaan garis yang diperoleh dalam bentuk y = bLn(x) + a digunakan untuk mencari nilai IC (inhibitor concentration), dengan menyatakan nilai y sebesar 50 dan nilai x sebagai IC50. Nilai IC50 menyatakan konsentrasi larutan sampel yang dibutuhkan untuk mereduksi DPPH sebesar 50 %. 3.3.4.2. Uji fitokimia (Harborne 1987) Uji fitokimia dilakukan untuk menentukan komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak kasar lintah laut masing-masing pelarut. Uji fitokimia yang dilakukan terdiri dari uji alkaloid, steroid/triterpenoid, saponin, flavonoid, fenol hidrokuinon, molisch, benedict, biuret, ninhidrin. Metode uji didasarkan pada Harborne (1987). a) Uji Alkaloid Sebanyak 1 gr sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid, yaitu pereaksi Dragendorff, Meyer
dan Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, dengan pereaksi Wagner membentuk endapan putih kekuningan, dengan pereaksi Wagner membentuk endapan coklat dan dengan pereaksi Dragendorff membentuk endapan merah sampai jingga. b) Uji Steroid/triterpenoid Sebanyak 1 gr sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi. Anhidrida asetat sebanyak 10 tetes dan asam sulfat pekat sebanyak 3 tetes ditambahkan ke dalam campuran tersebut. Hasil uji positif sampel mengandung steroid dan triterpenoid yaitu terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau. c) Uji Saponin (uji busa) Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan sampel mengandung saponin. d) Uji Flavonoid Sebanyak 1 gr sampel ditambah serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 ml amil alkohol (campuran asam klorida 37 % dan etanol 95 % dengan volume sama) dan 4 ml alkohol, kemudian campuran dikocok. Hasil uji positif sampel mengandung flavonoid yaitu terbentuknya warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol. e) Uji Fenol hidrokuinon (pereaksi FeCl3) Sebanyak 1 g sampel lintah laut kering diekstrak dengan 20 ml etanol 70 %. Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3 5 %. Hasil uji positif sampel mengandung senyawa fenol yaitu terbentukya larutan berwarna hijau atau hijau biru. f) Uji Molisch Sebanyak 1 ml larutan sampel ditambahkan 2 tetes pereaksi molisch dan 1 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Hasil uji positif sampel mengandung karbohidrat ditandai oleh terbentuknya kompleks berwarna ungu diantara 2 lapisan cairan.
g) Uji Benedict Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 ml pereaksi benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Hasil uji positif sampel mengandung gula pereduksi yaitu terbentuknya larutan berwarna hijau, kuning atau endapan merah bata. h) Uji Biuret Larutan sampel sebanyak 1 ml ditambahkan pereaksi biuret sebanyak 4 ml. Campuran dikocok dengan seksama. Hasil uji positif sampel mengandung senyawa peptida yaitu terbentuknya larutan berwarna ungu. i) Uji Ninhidrin Larutan sampel sebanyak 2 ml ditambahkan beberapa tetes larutan ninhidrin 0,1 %. Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Hasil uji positif sampel mengandung asam amino yaitu terbentuknya larutan warna biru. 3.4. Analisis Data Perlakuan pada penelitian ini adalah penggunaan jenis pelarut polar yaitu metanol, etanol, dan aquabides. Semua perlakuan dilakukan sebanyak dua kali ulangan. Rancangan percobaan yang digunakan untuk menganalisis data rendemen ekstrak dan hasil uji kandungan antioksidan dengan DPPH adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan model sebagai berikut (Steel dan Torie 1980):
Yij = ð + á i + åij Keterangan: Yij = nilai pengamatan rendemen ekstrak; hasil uji kandungan antioksidan (i) pada ulangan ke-j ð = rataan umum
ái = pengaruh jenis pelarut polar (i)
åij = pengaruh galat jenis pelarut polar (i) pada ulangan ke-j Hipotesis rancangan acak lengkap (RAL) terhadap rendemen ekstrak dan hasil uji kandungan antioksidan dengan DPPH adalah sebagai berikut: H0 : jenis pelarut tidak berpengaruh nyata (ái = 0) H1 : jenis pelarut berpengaruh nyata (ái ≠ 0)
Apabila hasil analisis ragam (ANOVA) pada rendemen ekstrak dan hasil uji kandungan antioksidan dengan DPPH berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (P<0,05), maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan dengan rumus sebagai S¢ = ඥሺሻȀ
berikut:
Rp = qá’ x S¢ Keterangan: S¢
= significant range
r
= ulangan
qá’
= significant studentized range
Rp
= wilayah nyata terkecil dari nilai rata-rata
= kuadrat tengah sisa
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Bahan Baku Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah lintah laut (Discodoris sp.) dari Perairan Tanjung Binga Kepulauan Belitung. Lokasi pengambilan lintah laut dapat dilihat pada Lampiran 1. Lintah laut dikurangi kadar airnya melalui proses pengeringan. Keuntungan dilakukannya pengeringan adalah daya awet bahan yang lebih lama, volume dan berat bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan. Pengeringan dapat berlangsung baik, jika pemanasan terjadi pada setiap tempat dari bahan dan uap air dikeluarkan dari seluruh permukaan bahan tersebut (Winarno et al. 1980). Lintah laut tanpa jeroan kering memiliki tekstur yang keras, dan berwarna hitam kecoklatan. Setelah kering, lintah laut tanpa jeroan dihancurkan sehingga diperoleh bentuk serbuk. Bahan baku dalam bentuk serbuk dapat mempermudah saat analisis proksimat dan proses ekstraksi karena permukaan bahan baku yang kontak dengan pelarut lebih luas. Serbuk lintah laut tanpa jeroan disimpan dalam wadah tertutup untuk melindungi bahan baku dari lingkungan sekitarnya. Lintah laut segar, tanpa jeroan kering dan bentuk serbuknya dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Lintah laut utuh segar, tanpa jeroan kering dan serbuknya
Karakterisasi dilakukan untuk mengetahui sifat dari bahan baku yang digunakan. Suatu bahan baku memiliki sifat fisik maupun kimia yang berbeda dengan yang lainnya. Karakterisasi pada penelitian ini meliputi pengukuran rendemen dan analisis kandungan gizi bahan baku (uji proksimat). 4.1.1. Rendemen Rendemen adalah persentase bagian tubuh yang dapat dimanfaatkan. Lintah laut utuh ditimbang beratnya baik sebelum maupun sesudah diambil dengan jeroannya, kemudian dijemur dengan menggunakan panas matahari. Daging dan jeroan lintah laut yang telah kering ditimbang kembali untuk mengetahui penurunan berat setelah dikeringkan. Persen rendemen merupakan perbandingan antara berat daging segar/kering dengan berat utuh lintah laut yang digunakan. Hasil pengukuran rendemen menunjukkan bahwa daging dan jeroan lintah laut segar memiliki rendemen sebesar 41,79 % dan 58,21 %, sedangkan rendemen daging dan jeroan lintah laut kering sebesar 7,20 % dan 8,64 %. Penurunan rendemen lintah laut disebabkan penguapan kandungan air dalam bahan dengan adanya energi panas matahari. Lintah laut yang berukuran besar akan memiliki rendemen yang besar pula. Nilai rendemen digunakan untuk mengetahui nilai ekonomis suatu produk atau bahan. Semakin tinggi rendemen maka semakin tinggi pula nilai ekonomisnya sehingga lebih efektif. 4.1.2. Kandungan gizi bahan baku Senyawa kimia yang mutlak diperlukan oleh tubuh adalah zat gizi. Zat gizi berperan dalam penyediaan energi, proses pertumbuhan, perbaikan jaringan, pengaturan serta pemeliharaan proses fisiologis dan biokimiawi di dalam tubuh. Zat gizi diklasifikasikan dalam 6 kelompok besar yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air (Tejasari 2003). Kandungan zat gizi pada lintah laut dapat diketahui melalui uji proksimat. Uji proksimat dilakukan untuk memperoleh data kasar tentang komposisi kimia suatu bahan. Nurjanah (2009) melakukan uji proksimat pada lintah laut utuh kering. Hasil uji menunjukkan bahwa lintah laut utuh kering mengandung abu tidak larut asam yang dapat merusak jaringan ginjal. Abu tidak larut asam tersebut berasal dari jeroannya yang tidak dibuang. Oleh karena itu, penelitian ini
melakukan uji proksimat pada lintah laut yang telah dibuang jeroannya. Zat gizi lintah laut tanpa jeroan kering yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar abu tidak larut asam, kadar protein, dan kadar lemak. Kadar karbohidrat diperoleh dengan perhitungan by difference. Hasil uji proksimat serbuk lintah laut tanpa jeroan kering dapat dilihat pada Tabel 3. Contoh perhitungan uji proksimat lintah laut tanpa jeroan kering dapat dilihat pada Lampiran 2. Tabel 3. Hasil uji proksimat lintah laut tanpa jeroan kering Komponen
Nilai
Kadar air (%)
10,45
Kadar abu (%)
11,97
Kadar abu tidak larut asam (%)
0,20
Kadar lemak (%)
1,41
Kadar protein (%)
59,11
Kadar karbohidrat (%)
17,08
Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan karena keawetan suatu bahan pangan mempunyai hubungan yang erat dengan kadar air yang dikandungnya. Kandungan air dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan makanan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan aw, yaitu jumlah air
bebas
yang dapat digunakan
oleh mikroorganisme
untuk
pertumbuhannya (Winarno 1997). Hasil uji kadar air pada lintah laut tanpa jeroan kering adalah sebesar 10,45 %. Penelitian Nurjanah (2009) menunjukkan hasil uji kadar air pada lintah laut utuh kering sebesar 15,25 %. Kadar air yang lebih rendah pada penelitian ini diduga akibat pengaruh lingkungan saat penjemuran sehingga
memperbesar
penguapan
kandungan
air.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi pengeringan terutama adalah luas permukaan bahan, suhu pengeringan, aliran udara, dan tekanan uap yang di udara (Winarno et al. 1980). Lintah laut tanpa jeroan kering memiliki kadar air yang lebih rendah dari lintah laut utuh kering sehingga dapat meningkatkan daya awet suatu bahan. Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu menunjukkan kandungan mineral yang terdapat dalam
suatu bahan (Sudarmadji et al. 2007). Mineral memegang peranan penting dalam memelihara fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan (Almatsier 2006). Hasil uji kadar abu adalah sebesar 11,97 %, sedangkan hasil penelitian Nurjanah (2009) menunjukkan uji kadar abu lintah laut utuh kering sebesar 11,74 %. Hal ini menunjukkan bahwa lintah laut kering tanpa jeroan kering mengandung mineral yang tidak berbeda jauh dengan lintah laut utuh kering. Abu tidak larut asam adalah garam-garam klorida yang tidak larut asam yang sebagian adalah garam-garam logam berat dan silika. Kadar abu tidak larut asam yang tinggi menunjukkan adanya kontaminasi residu mineral atau logam yang tidak dapat larut asam pada suatu produk (Basmal et al. 2003). Hasil uji kadar abu tidak larut asam adalah sebesar 0,20 %. Penelitian Nurjanah (2009) menunjukkan kadar abu tidak larut asam lintah laut utuh kering sebesar 1,9 %. Kadar abu tidak larut asam yang tinggi pada lintah laut utuh kering disebabkan jeroan yang tidak dibuang mengandung material-material abu yang tidak larut asam seperti pasir, lumpur, silika, dan batu. Kemungkinan ini bisa terjadi karena lintah laut termasuk anggota kelompok filum mollusca yang bersifat filter feeder dan hidup menempel pada substrat. Lintah laut tanpa jeroan kering memiliki kadar abu tidak larut asam yang lebih rendah dari lintah laut utuh kering sehingga lebih aman untuk dikonsumsi. Lemak merupakan bagian jaringan tubuh yang dapat digunakan untuk energi setelah dicerna. Menurut bobotnya, energi yang diperoleh dari lemak dua kali lebih banyak dibandingkan dengan karbohidrat dan protein (Helper et al. 1988). Kadar lemak yang didapatkan dari uji proksimat lintah laut tanpa jeroan adalah sebesar 1,41 %. Berdasarkan penelitian Nurjanah (2009), kandungan lemak pada lintah laut utuh adalah sebesar 4,58 %. Kadar lemak yang lebih rendah pada penelitian ini disebabkan telah dibuangnya jeroan lintah laut saat preparasi. Lemak pada tubuh umumnya disimpan sebesar 45 % di sekeliling organ dan rongga perut (Almatsier 2006). Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena selain berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur (Budiyanto 2002). Protein dibentuk oleh asam-asam
amino, yang mengandung unsur karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), (beberapa asam amino juga mengandung fosfor, besi, dan yodium) melalui ikatan peptida (Tejasari 2003). Hasil uji kadar protein pada lintah laut tanpa jeroan kering adalah sebesar 59,11 %. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurjanah (2009) diperoleh kadar protein lintah laut utuh kering sebesar 49,60 %. Hal ini disebabkan kandungan air yang lebih rendah pada lintah laut tanpa jeroan kering sehingga secara proporsional persentase kadar protein akan naik. Semakin meningkatnya kandungan air maka kandungan protein akan menurun dan sebaliknya (Syarief dan Halid 1993). Kadar protein yang lebih tinggi pada lintah laut tanpa jeroan kering menunjukkan potensi besar sebagai pangan fungsional kaya protein. Karbohidrat adalah sumber kalori utama bagi kehidupan manusia dan hewan. Karbohidrat dalam ilmu gizi dibagi dalam dua golongan, yaitu karbohidrat sederhana (monosakarida, disakarida, gula alkohol, dan oligosakarida) dan karbohidrat kompleks (polisakarida dan serat) (Almatsier 2006). Hasil perhitungan by difference menunjukkan bahwa kadar karbohidrat lintah laut tanpa jeroan kering sebesar 17,08 %. Sedangkan penelitian Nurjanah (2009) menunjukkan kadar karbohidrat lintah laut utuh kering sebesar 18,83 %. Hal ini menunjukkan bahwa lintah laut utuh kering memiliki kandungan karbohidrat yang lebih tinggi dibandingkan dengan lintah laut tanpa jeroan kering. 4.2. Ekstraksi Komponen Antioksidan Ekstraksi dilakukan untuk memisahkan komponen-komponen senyawa aktif dari suatu bahan dengan menggunakan pelarut. Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstraksi tunggal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Prabowo (2009), metode ekstraksi tunggal menghasilkan rendemen dan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan metode ekstraksi bertingkat. Selain itu, hasil ekstraksi juga dipengaruhi oleh jenis pelarut, waktu, dan suhu yang digunakan dalam proses ekstraksi (Row dan Jin 2005). Penelitian ini menggunakan tiga pelarut polar untuk memperoleh komponen antioksidan melalui proses ekstraksi, yaitu etanol pro analyst (p.a), metanol pro analyst (p.a), dan aquabides. Pemilihan pelarut polar mengacu pada penelitian Nurjanah (2009) yang mengatakan bahwa rendemen ekstrak dan
aktivitas antioksidan lintah laut lebih banyak ditemukan pada ekstrak dengan pelarut polar sehingga diduga senyawa kimia yang terdapat di dalamnya bersifat polar. Penggunaan ketiga pelarut ini bertujuan untuk mengetahui rendemen dan sifat komponen bioaktif lintah laut pada pelarut polar dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Proses ekstraksi dengan pelarut polar menggunakan lintah laut dalam bentuk serbuk halus. Ukuran partikel yang kecil diharapkan dapat memperluas kontak sampel dengan pelarutnya sehingga semakin banyak komponen bioaktif yang dapat terekstrak. Selain itu, penghancuran akan memecah se-sel yang terdapat dalam jaringan sehingga komponen yang akan di ekstrak dapat cepat keluar dari bahan. Perbandingan antara bahan dengan pelarut yang digunakan adalah sebesar 1:3 (w/v). Hal ini dilakukan untuk memperbanyak ekstrak kasar yang dihasilkan. Semakin besar volume pelarut maka jumlah bahan yang akan terekstrak akan semakin besar sampai larutan menjadi jenuh kemudian penambahan pelarut tidak akan menambah hasil ekstraksi (Hougton dan Raman 1998). Proses maserasi dibantu dengan pengadukan dimaksudkan untuk memperbesar kemungkinan proses tumbukan antara bahan dengan pelarut sehingga senyawa bioaktif dapat terlarut dengan cepat ke dalam pelarut. Proses maserasi ini dilakukan selama 5x24 jam sampai filtrat berwarna lebih bening. Hal ini bertujuan untuk memperbanyak senyawa-senyawa kimia lintah laut yang terlarut dalam pelarut. Aquabides dipilih sebagai pelarut karena bersifat murni dan terbebas dari kontaminasi serta garam-garam anorganik sehingga dapat memperkecil peluang ekstrak kasar terkontaminasi bahan lain. Ekstraksi dengan pelarut aquabides pada suhu tinggi (suhu 100 oC) dan dalam waktu singkat (20 menit) dilakukan untuk menghindari pembusukan pada hasil filtrat selama ektraksi karena bakteri cepat tumbuh dalam media air pada suhu ruang. Suhu tinggi dapat menginaktifkan bakteri yang tidak tahan panas, walaupun akan berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan suatu bahan. Suatu bahan yang dipanaskan pada temperatur lebih dari 50 oC akan mengalami penurunan aktivitas antioksidan secara signifikan (Azizah et al. 1998).
Proses evaporasi dari filtrat lintah laut dengan ketiga pelarut polar menghasilkan ekstrak kasar dengan karakteristik yang berbeda-beda. Ekstrak kasar metanol dan etanol berwarna coklat pekat dalam bentuk pasta, sedangkan ekstrak kasar aquabides berwarna coklat kehijauan dalam bentuk pasta kering. Ekstrak kasar lintah laut dari ketiga pelarut dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Ekstrak kasar lintah laut Hasil ekstraksi menggunakan tiga pelarut polar dengan tingkat kepolaran yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda-beda pula. Rendemen ekstrak merupakan perbandingan antara bobot ekstrak kasar yang dihasilkan dengan bobot awal yang digunakan. Nilai rendemen ekstrak dinyatakan dalam bentuk persen. Rendemen ekstrak kasar lintah laut dari ketiga pelarut dapat dilihat pada Gambar 6. Data rendemen ekstrak kasar lintah laut dapat dilihat pada Lampiran 3. 16
Rendemen (%)
14
14,75 13,21
12,54
12 10 8 6 4 2 0 Etanol
Metanol
Aquabides
Jenis pelarut
Gambar 6. Rendemen ekstrak kasar lintah laut
Ekstrak kasar etanol, metanol, dan aquabides lintah laut memiliki rata-rata persentase rendemen yaitu sebesar 12,54 %, 14,75 %, dan 13,21 %. Hasil analisis ragam terhadap rendemen ekstrak lintah laut berdasarkan jenis pelarut (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perbedaan jenis pelarut tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah rendemen ekstrak yang dihasilkan. Ketiga pelarut yang digunakan sama-sama bersifat polar sehingga tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap rendemen ekstrak. Nilai rendemen ekstrak metanol yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Nurjanah (2009) yang menunjukkan rendemen ekstrak kasar lintah laut tanpa jeroan sebesar 4,51 %. Hal ini disebabkan ukuran bahan yang diekstrak pada penelitian ini dalam bentuk serbuk halus, sedangkan penelitian Nurjanah (2009) dalam bentuk serbuk kasar sehingga memperluas permukaan bahan yang kontak dengan pelarut. Selain itu, pada penelitian ini dilakukan metode ekstraksi tunggal sehingga komponen bioaktifnya lebih banyak tereksrak dibandingkan dengan metode ekstraksi bertingkat. 4.3. Ekstrak Kasar Analisis yang dilakukan terhadap ekstrak kasar lintah laut dengan menggunakan tiga pelarut meliputi uji aktivitas antioksidan dengan menggunakan metode DPPH dan uji fitokimia dengan pengamatan secara kualitatif. 4.3.1. Aktivitas antioksidan Keberadaan senyawa antioksidan dalam suatu bahan dapat diketahui melalui uji aktivitas antioksidan. Pengujian aktivitas antioksidan dalam lintah laut dilakukan dengan menggunakan metode DPPH. DPPH (diphenylpicrylhydrazyl) adalah suatu radikal bebas stabil yang dapat bereaksi dengan radikal lain membentuk senyawa yang lebih stabil. Selain itu, DPPH juga dapat bereaksi dengan atom hidrogen membentuk DPPH tereduksi (diphenylpicrylhydrazine) yang stabil. Antioksidan pembanding yang digunakan pada penelitian ini adalah BHT. BHT dalam penelitian ini dibuat dengan konsentrasi 5, 10, 25, 50 dan 100 ppm. Konsentrasi tersebut diperoleh dari hasil pengenceran stok BHT dengan konsentrasi 500 ppm. Konsentrasi ekstrak kasar yang digunakan pada metode DPPH ini adalah 100, 200, 500, 1000, 2000 dan 4000 ppm. Konsentrasi tersebut
diperoleh dari hasil pengenceran stok sampel ekstrak dengan konsentrasi 5000 ppm. Contoh perhitungan konsentrasi uji aktivitas antioksidan dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil uji aktivitas antioksidan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak kasar lintah laut Sampel
IC50
% inhibisi
BHT
(ppm)
5 ppm
10 ppm
25 ppm
50 ppm
100 ppm
18,57
43,30
71,51
87,31
90,14
14,00
100 ppm 200 ppm 500 ppm 1000 ppm 2000 ppm 4000 ppm Ekstrak etanol Ekstrak metanol Ekstrak aquabides
0,73
4,00
10,70
24,43
44,82
77,87
2152,93
2,01
5,80
18,11
28,71
52,87
85,76
1527,37
0,45
3,36
9,92
18,49
36,97
64,59
3640,05
Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya ditandai dengan perubahan warna ungu menjadi kuning pucat (Moluneux 2004). Tingkat diskolorisasi warna ungu DPPH mengindikasi aktivitas penghambatan radikal bebas oleh sampel antioksidan (Abdille et al. 2004). Reaksi penghambatan radikal bebas DPPH oleh sampel ekstrak kasar lintah laut dapat dilihat pada Gambar 7. Hasil pengujian aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa ekstrak kasar lintah laut dari pelarut etanol, metanol dan aquabides dapat menghambat aktivitas radikal bebas pada konsentrasi sebesar 4000 ppm. Reaksi penghambatan radikal bebas DPPH oleh ekstrak kasar diindikasi dengan berubahnya warna ungu menjadi kuning pada konsentrasi tersebut. Perubahan warna ini membuktikan bahwa ekstrak kasar memiliki aktivitas antioksidan walaupun pada konsentrasi yang tinggi.
Ektrak kasar etanol
Ekstrak kasar metanol
Ekstrak kasar aquabides Gambar 7. Reaksi radikal bebas DPPH dengan ekstrak kasar lintah laut BHT adalah antioksidan sintetik yang digunakan sebagai pembanding pada penelitian ini. Antioksidan sintetik ini biasa dicampurkan ke dalam bahan pangan karena efektif menghambat aktivitas radikal bebas dan bersifat sinergis dengan antioksidan lainnya. Namun penggunaan antioksidan sintetik dapat menyebabkan keracunan pada dosis tertentu. Kadar maksimum BHT dalam bahan pangan adalah 200 ppm (Ketaren 1986). Pengujian aktivitas antioksidan menghasilkan hubungan konsentrasi dengan persentase penghambatan BHT yang dapat dilihat pada Gambar 8.
% inhibisi
120 100 80 60
y = 24,80ln(x) - 15,45 R² = 0,948
40 20 0 0
50
100
150
Konsentrasi (ppm) Gambar 8. Hubungan konsentrasi dengan persentase penghambatan BHT
Hasil pengujian aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa BHT memiliki persen penghambatan radikal bebas tertinggi pada konsentrasi 100 ppm, yaitu sebesar 90,14 % dengan nilai IC50 sebesar 14 ppm. Contoh perhitungan persentase penghambatan dan nilai IC50 dapat dilihat pada Lampiran 6. Semakin kecil nilai IC50 maka semakin tinggi aktivitas antioksidannya. Persentase penghambatan tinggi dan nilai IC50 yang rendah membuktikan bahwa BHT bersifat sebagai antioksidan yang kuat. Hal ini disebabkan BHT terbuat dari senyawa-senyawa kimia yang merupakan senyawa antioksidan. Aktivitas antioksidan ekstrak kasar lintah laut dinyatakan dengan persentase penghambatan (% inhibisi) dan nilai IC50. Sampel ekstrak pada 6 konsentrasi, yaitu 100, 200, 500, 1000, 2000 dan 4000 ppm diukur nilai absorbansinya menggunakan spektrofotometer. Persentase penghambatan adalah kemampuan suatu bahan untuk menghambat aktivitas radikal bebas, yang berhubungan
dengan
konsentrasi
suatu
bahan.
Hubungan
persentase
penghambatan dengan konsentrasi ekstrak kasar lintah laut disajikan pada Gambar 9. 100 90 80
y = 21,66ln(x) - 108,3 R² = 0,890
70
% inhibisi
60
y = 19,76ln(x) - 101,1 R² = 0,862
50
y = 16,28ln(x) - 83,35 R² = 0,856
40 30 20 10 0 -10 0
1000
2000
3000
4000
5000
Konsentrasi (ppm) Gambar 9. Hubungan konsentrasi dengan rata-rata persentase penghambatan ekstrak kasar lintah laut etanol metanol aquabides
Hasil perhitungan rata-rata persentase penghambatan menunjukkan bahwa ekstrak kasar lintah laut memiliki rata-rata kemampuan menghambat radikal bebas terendah terdapat pada konsentrasi 100 ppm, yaitu 0,73 % untuk ekstrak etanol, 2,01 % untuk ekstrak metanol, dan 0,45 % untuk ekstrak aquabides. Sedangkan rata-rata kemampuan menghambat radikal bebas tertinggi terdapat pada konsentrasi 4000 ppm, yaitu 77,87 % untuk ekstrak etanol, 85,76 % untuk ekstrak metanol, dan 64,62 % untuk ekstrak aquabides (Lampiran 7). Semakin tingginya konsentrasi ekstrak kasar lintah laut yang digunakan menghasilkan persentase penghambatan radikal bebas yang tinggi pula. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Hanani (2005) diacu dalam Prabowo (2009), yang menyatakan bahwa persentase penghambatan terhadap aktivitas radikal bebas meningkat dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak. IC50 merupakan konsentrasi larutan substrat atau sampel yang akan menyebabkan reduksi terhadap aktivitas DPPH sebesar 50 % (Molyneux 2004). Nilai rata-rata IC50 pada ekstrak kasar lintah laut dari ketiga pelarut dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Nilai rata-rata IC50 ekstrak kasar lintah laut
Nilai rata-rata IC50 ekstrak kasar lintah laut menunjukkan bahwa ekstrak etanol dapat menghambat aktivitas radikal bebas DPPH sebesar 50 % pada konsentrasi 2152,94 ppm, ekstrak metanol pada konsentrasi 1527,37 ppm, dan
ekstrak aquabides pada konsentrasi 3640,05 ppm. Nilai IC50 yang rendah mengindikasi aktivitas antioksidan yang tinggi. Ekstrak kasar lintah laut hasil ekstraksi dengan ketiga pelarut memiliki aktivitas antioksidan yang tergolong lemah karena memiliki nilai IC50 lebih besar dari 200 ppm. Suatu bahan dapat dikatakan sebagai antioksidan kuat apabila memiliki nilai IC50 kurang dari 200 ppm (Blois 1958 diacu dalam Molyneux 2004). Aktivitas antioksidan pada ekstrak kasar lintah laut lebih rendah apabila dibandingkan dengan antioksidan sintetik BHT. Nilai IC50 BHT yaitu sebesar 14 ppm. Aktivitas antioksidan yang rendah pada penelitian ini diduga akibat sampel yang masih berupa ekstrak kasar. Ekstrak kasar lintah laut masih mengandung senyawa lain yang bukan senyawa antioksidan. Senyawa lain tersebut ikut terbawa dalam pelarut saat proses ekstraksi. Senyawa-senyawa lain pada ekstrak dapat meningkatkan persentase rendemennya. Oleh karena itu ekstrak lintah laut yang diperoleh melalui ekstraksi dengan pelarut etanol, metanol dan aquabides memiliki persentase rendemen yang cukup tinggi. Senyawa murni dari ekstrak kasarnya mungkin memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi. Hasil analisis ragam terhadap aktivitas antioksidan lintah laut berdasarkan jenis pelarut (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perbedaan jenis pelarut tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas antioksidan yang dihasilkan. Ketiga pelarut yang digunakan sama-sama bersifat polar sehingga tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap aktivitas antioksidan ekstrak. Ekstrak aquabides memiliki keunggulan apabila dilihat dari segi keamanannya. Pelarut aquabides adalah air yang telah mengalami dua kali destilasi. Air yang telah didestilasi akan terbebas dari kontaminan seperti elektrolit, substansi organik, mikroorganisme, klorin, partikel gas terlarut misalnya karbon dioksida dan oksigen. Garam anorganik di dalam air dapat terdisosiasi menbentuk ion positif dan negatif, misalnya kalsium dan magnesium sebagai pembentuk kesadahan air. Bila diuapkan melalui destilasi ion-ion ini bersama dengan ion-ion seperti karbonat akan mengendap sehingga diperoleh air yang murni (Suwandi 1993). Aquabides terbebas dari kontaminasi dan garam
organik sehingga dapat memperkecil peluang ekstrak kasar terkontaminasi bahan lain. Selain itu, aquabides lebih aman dikonsumsi dibandingkan dengan etanol dan metanol sehingga sangat baik apabila digunakan sebagai pelarut dalam proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan harus dapat melarutkan zat yang diinginkannya, mempunyai titik didih yang rendah, murah, tidak toksik, dan tidak mudah terbakar (Ketaren 1986). Kebanyakan pelarut organik yang biasa digunakan saat ini diketahui bersifat toksik dan berbahaya. Pada penelitian ini digunakan pelarut organik berupa etanol dan metanol. Etanol dan metanol adalah sejenis cairan ringan yang mudah menguap dan mudah terbakar. Meminum atau menghisap metanol dapat menimbulkan kebutaan bahkan kematian. Terdapat laporan yang menjelaskan bahwa terjadi kematian yang disebabkan minum metanol kurang dari 30 ml (Fessenden dan Fessenden 1986). Pelarut organik yang bersifat toksik dapat berbahaya bagi kesehatan sehingga akan lebih aman apabila proses ekstraksi menggunakan air murni yaitu aquabides. 4.3.2. Senyawa fitokimia Ekstrak kasar hasil ekstraksi lintah laut menggunakan tiga pelarut polar, yaitu etanol, metanol dan aquabides diuji fitokimia untuk mengetahui komponen bioaktif yang terdapat dalam tubuhnya yang terlarut pada masing-masing pelarut. Komponen bioaktif berpotensi mencegah berbagai penyakit seperti penyakit degeneratif dan kardiovaskular (Harborne 1987). Uji fitokimia yang dilakukan meliputi uji alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, molisch, benedict, biuret dan ninhidrin. Pemilihan pelarut perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan zat kimia tertentu yang diinginkan. Ekstraksi dengan pelarut etanol dapat mengekstrak fenolik, steroid, terpenoid, alkaloid, dan glikosida (Hougton dan Raman 1998). Pelarut metanol mampu mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid dan tanin (Harborne 1987). Selain itu, metanol juga dapat mengekstrak gula, asam amino dan glikosida. Metanol merupakan pelarut polar, namun dapat juga mengekstrak senyawa-senyawa yang bersifat nonpolar, seperti lilin dan lemak. Pelarut aquabides cenderung melarutkan garam dari asam maupun
basa (Houghton dan Raman 1998). Komponen bioaktif yang terdapat dalam ekstrak kasar lintah laut dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil uji fitokimia ekstrak kasar lintah laut Jenis pelarut
Uji fitokimia
Standar (warna)
Etanol
Metanol
Aquabides
Wagner
++
+
+++
Endapan coklat
Meyer
+
++
+++
Endapan putih kekuningan
Dragendroff
−
−
−
Endapan merah sampai jingga
Steroid
−
−
−
Perubahan merah menjadi biru/hijau
Flavonoid
++
+++
++
Lapisan amil alkohol berwarna merah/kuning/hijau
Saponin
−
−
−
Terbentuk busa
Fenol hidrokuinon
−
−
+
Warna hijau atau hijau biru
Molisch
++
++
++
Warna ungu diantara 2 lapisan
Benedict
+
++
+++
Warna hijau/kuning/endapan merah bata
Biuret
−
−
++
Warna ungu
−
Warna biru
Alkaloid:
−
Ninhidrin
−
Keterangan: +++ sangat kuat ++
kuat
+
kurang kuat
Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak kasar lintah laut dengan ketiga pelarut polar mengandung senyawa kimia yang merupakan golongan alkaloid, flavonoid, karbohidrat, dan gula pereduksi. Senyawa kimia fenol hidrokuinon dan peptida hanya terdapat pada ekstrak kasar lintah laut dengan menggunakan pelarut aquabides. Setiap zat kimia memiliki kelarutan yang berbeda-beda
terhadap
suatu
jenis
pelarut.
Pemilihan
pelarut
perlu
dipertimbangkan untuk mendapatkan zat kimia tertentu yang diinginkan. Alkaloid adalah senyawa alami amina, baik pada tanaman, hewan, ataupun jamur dan merupakan produk yang dihasilkan dari proses metabolisme sekunder,
dimana saat ini diketahui sebanyak 5500 jenis alkaloid (Harborne 1987). Pada umumnya basa bebas alkaloida hanya larut dalam pelarut organik meskipun beberapa pseudoalkaloida dan protoalkaloida larut dalam air. Garam alkaloida quarterner sangat larut dalam air (Sastrohamidjojo 1996). Penelitian Ibrahim (2001) menunjukkan bahwa senyawa kimia yang dominan dalam lintah laut adalah steroid. Pada penelitian ini tidak ditemukan senyawa kimia steroid pada lintah laut tanpa jeroan. Hormon steroid dibentuk dari jaringan tertentu di dalam tubuh dan dibagi dalam dua kelas, yaitu hormon adrenal dan hormon seks (estrogen, progesteron dan testosteron). Lintah laut yang telah dibuang jeroannya tidak ditemukan hormon steroid karena steroid secara normal diproduksi oleh organ reproduksi seperti ovari, plasenta, korteks adrenal, korpus luteus, dan testis (Wilson dan Gisvold 1982). Schmidt dan Steinhart (2001) menyatakan bahwa kandungan steroid pada ekstrak polar dan non-polar tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, dalam bentuk aglikon maupun terikat pada gula sebagai glikosida (Harborne 1987). Karena mempunyai sejumlah gugus gula, flavonoid bersifat polar maka umumnya flavonoid larut dalam pelarut polar seperti etanol (EtOH), metanol (MeOH), butanol (BuOH), aseton, dimetilsulfoksida (DMSO), dimetilformamida (DMF), air dan lain-lain. Sebaliknya, aglikon yang kurang polar cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan kloroform (Markham 1988). Flavonoid dapat digunakan untuk mengurangi resiko berberapa penyakit kronis dengan kemampuannya sebagai antioksidan, anti-inflamasi, dan anti-proliferasi (Chen dan Blumberg 2007). Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, kateksin, flavonol dan kalkon (Pratt dan Hudson 1990). Senyawa kimia fenol hidrokuinon hanya terdeteksi pada ekstrak aquabides lintah laut. Senyawa fenol cenderung mudah larut dalam air karena umumnya seyawa ini seringkali berikatan dengan gula sebagai glikosida, dan biasanya terdapat dalam vakuola sel (Harborne 1987). Senyawa yang termasuk dalam golongan fenolik cenderung mudah larut dalam pelarut yang mempunyai polaritas tinggi (Marhusip 2006) diacu dalam Nuraini 2007). Peranan beberapa golongan fenol sudah diketahui, misalnya lignin sebagai bahan pembangun dinding sel,
antosianin sebagai pigmen bunga. Selain itu, dengan mengkonsumsi fenol dipercaya dapat mengurangi resiko beberapa penyakit kronis karena bersifat sebagai antioksidan, anti-inflamansi, detoksifikasi karsinogen, dan antikolesterol (Chen dan Blumberg 2007). Karbohidrat
pada
hewan
dan
manusia
diperoleh
dengan
cara
mengkonsumsi organisme autotroph yang dapat melakukan fotosintesis. Lintah laut mendapatkan karbohidrat dari alga yang dimakannya. Karbohidrat berfungsi sebagai storing energy seperti pati, dapat juga berguna sebagai transport of energy seperti sukrosa, dan sebagai penyusun dinding sel seperti selulosa (Sirait 2007). Terbentuknya endapan kuning pada pengujian benedict ketiga pelarut menunjukkan adanya gula pereduksi dalam ekstrak kasar lintah laut. Gula pereduksi adalah monosakarida yang mereduksi senyawa lain seperti pereaksi Benedict. Bila monosakarida dioksidasi akan menghasilkan senyawa bergugus karboksil, sedangkan pada waktu yang sama ion Cu2+ dalam pereaksi Benedict direduksi menjadi Cu + (Roswiem et al. 2006). Uji biuret pada pelarut aquabides menunjukkan warna ungu sehingga dapat diketahui terdapat peptida dalam ekstrak kasar lintah laut. Protein bersifat larut dalam air, tidak larut dalam alkohol atau ether, tidak berwarna serta dapat membentuk kristal (Sudarmadji et al. 2007). Keberadaan protein yang tinggi dalam lintah laut didukung dengan pengujian secara kuantitatif melalui analisis proksimat yang menunjukkan kadar protein sebesar 59,11 %.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Karakteristik lintah laut (Discodoris sp.) yang berasal dari perairan Kepulauan Belitung meliputi rendemen daging dan jeroan segar sebesar 41,79 % dan 58,21 %, sedangkan rendemen daging dan jeroan lintah laut kering sebesar 7,20 % dan 8,64 %. Daging lintah laut kering memiliki kadar air (10,45 %), kadar abu (11,97 %), kadar abu tidak larut asam (0,20 %), kadar lemak (1,41 %), kadar protein (59,11 %), dan kadar karbohidrat (17,08 %). Berdasarkan analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa dalam lintah laut terkandung zat gizi yang cukup tinggi. Ekstraksi lintah laut menggunakan tiga pelarut polar (etanol, metanol, dan aquabides) menghasilkan persentase rendemen dan aktivitas antioksidan yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Aquabides memiliki keunggulan dari segi keamanannya. Aquabides tidak bersifat toksik dan terbebas dari kontaminan serta garam-garam anorganik sehingga dapat memperkecil peluang ekstrak kasar terkontaminasi bahan lain. Uji fitokimia menunjukkan bahwa komponen bioaktif yang terkandung dalam ekstrak kasar lintah laut dari ketiga pelarut polar (etanol, metanol, dan aquabides) meliputi golongan alkaloid, flavonoid, karbohidrat, dan gula pereduksi. Komponen bioaktif golongan fenol hidrokuinon dan peptida hanya terdapat pada ekstrak aquabides lintah laut. 5.2. Saran Saran-saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah (1) perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai ekstraksi dengan pelarut aquabides menggunakan metode lain untuk mendapatkan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi, (2) perlu dilakukan pemurnian terhadap ekstrak kasar lintah laut sehingga memperoleh aktivitas antioksidan yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdille HMD, Singh RP, Jayaprakasha GK, Jena BS. 2004. Antioxidant activity of the extracts from Dillenia indica fruits. Journal of Food Chemistry. 90: 891-896. Association of Official Analytical Chemist [AOAC]. 1995. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. Virginia USA: Association of Official Analytical Chemist Inc. Arlington. Almatsier Y. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Cetakan keenam. Jakarta: Gramedia. Anesini C, Ferraro G, Filip R. 2005. Peroxidase-like activity of Ilex paraguariensis. Journal of Food Chemistry. 97: 459–464. Astawan M, Kasih AL. 2008. Khasiat Warna-warni Makanan. Jakarta: PT Gramedia. Azizah AH, Ruslawati NMN, Tee TS. 1998. Extraction and characterization from antioxidant of cocoa by-product. Journal of Food Chemistry. 64: 199-202. Basmal J, Syarifuddin, Ma’ruf WF. 2003. Pengaruh konsentrasi larutan potasium hidroksida terhadap mutu kappa-karagenan yang diekstraksi dari Eucheuma cottonii. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 9(5): 95-103. Budiyanto AK. 2002. Dasar-dasar Muhammadiyah Malang.
Ilmu
Gizi.
Malang:
Universitas
Belitz HD, Grosch W. 1999. Food Chemistry. New York: Springer Verlag. Chen CYO, Blumberg JB. 2007. Phytochemical composition of nuts. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition. 17(S1): 329-332. Darusman LK, Sajuthi D, Sutriah K, Pamungkas D. 1995. Ekstraksi Komponen Bioaktif sebagai Bahan Obat dari Karang-karangan, Bunga Karang, dan Ganggang di Perairan P. Pari Kepulauan Seribu [laporan penelitian]. Bogor: Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Davies-coleman MT. 2006. Secondary metabolites from the marine gastropod molluscs of Antarctica, Southern Africa and South America. Di dalam: Cimino G, Gavagnin M, editor. Molluscs. Verlag Berlin Heidelberg: Springer. D’Mello JPF. 2003. Food Safety Contaminants and Toxins. London: Cromwell. Fessenden RJ, Fessenden JS. 1986. Kimia organik. Cetakan ketiga. Pudjaatmaka AH, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Organic chemistry, third edition.
FMC Corp. 1977. Carrageenan. Marine Colloid Monograph Number One. Springfield, New Jersey. USA Marine Colloids Division FMC Corporation. P 23-29 Harborne JB. 1987. Metode fitokimia. Edisi kedua. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Phytochemical Methods. Helper LJ, Deaton BJ, Driskel JA. 1988. Pangan, gizi dan pertanian. Suhardjo, penerjemah. Jakarta: Direktorat jendral Pendidikan Tinggi. Terjemahan dari: Food, Nutrition and Agriculture. Holland JS. 2009. Nudibranch si siput http://farmasea.blogspot.com/ [13 Maret 2009].
tak
bercangkang.
Houghton PJ, Raman A. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of Natutal Extracts. London: Chapman and Hall. Ibrahim M. 2001. Isolasi dan uji aktivitas biologi senyawa steroid dari lintah laut, Discodoris sp. [skripsi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press. Khopkar SM. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press. Markham KR. 1988. Cara mengidentifikasi flavonoid. Padmawinata K, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Techniques of flavonoid identification. Molyneux P. 2004. The use of the stable free radicals diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for estimating antioxidant activity. Songklanakarin Journal of Science Technology. 26(2):211-219. Mukhopadhiay M. 2000. Natural Extracts Using Supercritical Carbondioxide. New York: CRC Press. Nur MA, Adijuwana HA. 1989. Teknik Pemisahan dalam Analisis Biologi. Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Nuraini AD. 2007. Ekstraksi komponen antibakteri dan antioksidan dari biji teratai (Nymphaea pubescens Willd) [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nurhikmah I. 2006. Studi kasus fisika pangan pada pengolahan minyak kelapa dengan penambahan antioksidan BHT dan bubuk jambu mete [skripsi]. Bogor: Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Nurjanah. 2009. Karakterisasi lintah laut (Discodoris sp.) dari perairan pantai Pulau Buton sebagai antioksidan dan antikolesterol [seminar pascasarjana]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Poedjiadi A. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: UI Press. Prabowo TT. 2009. Uji aktivitas antioksidan dari keong matah merah (Cerithidea obtusa) [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pramadhany WW. 2006. Penapisan komponen antibakteri dari spons asal Pulau Bonerate Sulawesi Selatan [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pratiwi, Dewi P, Harapini M. 2006. Nilai peroksida dan aktivitas anti radikal bebas diphenyl picril hydrazil hydrate (DPPH) ekstrak methanol Knema laurina. Majalah Farmasi Indonesia. 17(1): 32-36. Pratt DE, Hudson BJF. 1990. Natural antioxidant not exploited comercially. BJF Hudson, editor. Food Antioxidant. London: Elvisier Applied Science. PDPERSI (Pusat Data dan Informasi Rumah Sakit Seluruh Indonesia). 2009. Awas! Kondisi Lingkungan Buruk Pemicu Radikal Bebas. Jakarta. Robinson T. 1995. Kandungan organik tumbuhan tinggi. Edisi keenam. Padmawinata K, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: The organic constituents of higher plants. Roswien AP, Bintang M, Kustaman E, Ambarsari L, Safithri M, Hawab M. 2006. Biokimia Umum Jilid 1. Bogor: FMIPA-IPB. Row KH, Jin Y. 2005. Recovery of catechin compounds from Korean tea by solvent extraction. Journal of Bioresource Technology. 97: 790-793. Rudman WB. 1999. Discodoris lilacina. Sea slug. http://www.austunus.gov.au/. [13 Maret 2009]. Siagian A. 2002. Bahan Tambahan Makanan. Sumatera: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara. Sastrohamidjojo H. 1996. Sintesis Bahan Alam. Yogyakarta: Gadjah mada University Press. Sirait M. 2007. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Bandung: ITB. Schmidt G, Steinhart H. 2001. Impact of extraction solvents on steroid contents determined in beef. Journal of Food chemistry. 76: 83–88.
Sofia D. 2008. Antioksidan dan radikal bebas. http:/www.chem-is-try.org [10 Maret 2009]. Sorowako. 2008. Nudibranch, sicantik http://sorowako.net/ [13 Maret 2009].
penghias
terumbu
karang.
Steel RGD, Torrie JH. 1980. Principles and Procedures of Statistic: A Biometrical Approach 2ndEd. New York: McGraw-Hill Book Company. Sudarmadji S, Haryono B, Suhardi. 2007. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Cetakan ketiga. Yogyakarta: Liberty. Suwandi U. 1993. Air sebagai sumber kontaminan. Cermin Dunia Kedokteran. 82: 32-34. Syarief R, Halid H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Jakarta: Penerbit Accan. Tapan E. 2005. Kanker, Antioksidan, dan Terapi Komplementer. Jakarta: PT Gramedia. Tejasari. 2003. Nilai Gizi Pangan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Tuminah S. 2000. Radikal Bebas dan antioksidan kaitannya dengan nutrisi dan penyakit kronik. Cermin Dunia Kedokteran. 128: 49-51. Wilson, Gisvold. 1982. Kimia farmasi dan medisinal organik. Fatah AM, penerjemah. Semarang: IKIP Press. Terjemahan dari: Organic medicinal and pharmaceutical chemistry. Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: Gramedia. _____________________________. 1973. Extraksi, dan Khromatografi, Elektrophoresis. Bogor: Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Pertanian. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia. Winarsi H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Yogyakarta: Kanisius. Witjaksono HT. 2005. Komposisi kimia ekstrak dan minyak dari lintah laut (Discodoris boholensis) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. JECFA (Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additive. 1999. Evaluation of National Intake Assessment of Butylated Hydroxytoluene (BHT). WHO Food Additive Series 42. New York: Cambridge University Press.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Lokasi pengambilan lintah laut (Discodoris sp.)
Lampiran 2. Contoh perhitungan uji proksimat a) Kadar air
Kadar air (%)
berat sampel (g) - berat sampel kering (g) 100 % berat sampel (g) 1,0043 g - 0,8989 g 100 % 1,0043 g
10,50 % b) Kadar abu Kadar abu (%)
berat abu (g) 100 % berat sampel (g)
0,1202 (g) 100 % 1,0069 (g)
11,94 %
c) Kadar lemak
Kadar lemak (%)
berat lemak (g) 100 % berat sampel (g) 0,0274 g 100 % 2,0057 g
1,37 % d) Kadar protein
%N
(ml blanko - ml HCl blanko) x 0,1 N HCl x 14,007 100 % mg sampel x 2,5
%N
(23,35 ml - 0 ml) x 0,1 N x 14,007 100 % 152,7 mg x 2,5
9,42 % Kadar protein = % N x 6,25 = 9,42 % x 6,25 = 58,87 % Lampiran 3. Data rendemen ekstrak kasar lintah laut
Jenis pelarut
Etanol
Metanol
Aquabides
Berat ekstrak
Rendemen
Rata-rata
(gram)
(%)
(%)
1
5,07
10,15
2
7,46
14,93
1
6,57
13,13
2
8,18
16,37
1
6,28
13,85
2
6,92
12,57
Ulangan
Contoh perhitungan rendemen ekstrak kasar etanol ulangan 1: Rendemen (%)
berat ekstrak kasar (g) 100 % berat sampel awal (g)
12,54
14,75
13,21
Lampiran 4.
5,0746 g 100 % 10,15 % 50 g
Analisis sidik ragam rendemen ekstrak kasar lintah laut berdasarkan jenis pelarut
Sumber
dB
Keragaman
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
Jenis pelarut
2
5,136
2,568
Sisa
3
17,492
5,831
Total
5
22,629
Fhit
0,44
P
0,680
Keterangan: Bila P>0,05, maka gagal tolak H0, artinya jenis pelarut memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata Lampiran 5. Contoh perhitungan konsentrasi uji aktivitas antioksidan a) DPPH 0,0010 mol 1L 394 g 50 ml 1L 1000 ml 1 mol
Stok DPPH 0,0010 M =
= 0,0197 g DPPH sebanyak 0,0197 g dilarutkan dalam metanol p.a sampai 50 ml b) Standar BHT Stok BHT 500 ppm =
500 mg 1L 25 ml 1L 1000 ml
= 12,5 mg = 0,0125 g Ekstrak sebanyak 0,0125 g dilarukan dalam metanol p.a sampai 25 ml BHT konsentrasi 100 ppm V1xM1 = V2xM2 V1x500 ppm = 4 mlx100 ppm V1 = 0,8 ml Metanol = 4 ml-0,8 ml = 3,2 ml = 3200 ìl
BHT sebanyak 0,8 ml ditambahkan metanol sebanyak 3200 ìl c) Sampel ekstrak
Stok ekstrak 5000 ppm =
5000 mg 1L 25 ml 1L 1000 ml
= 75 mg = 0,075 g Ekstrak sebanyak 0,075 gram dilarutkan dalam metanol p.a sampai 25 ml Sampel ekstrak konsentrasi 1000 ppm V1xM1 = V2xM2 V1x5000 ppm = 4 mlx1000 ppm V1 = 0,8 ml Metanol = 4 ml-0,8 ml = 3,2 ml = 3200 ìl
Ekstrak sebanyak 0,8 ml ditambahkan metanol sebanyak 3200 ìl Lampiran 6. Contoh perhitungan persen penghambatan dan nilai IC50 a) Persen penghambatan (% inhibisi) Pengukuran spektrofotometri UV-VIS menghasilkan nilai absorbansi untuk sampel ekstrak dan standar BHT. Nilai absorbansi masing-masing sampel dimasukkan ke dalam rumus: % inhibisi
absorbansi blanko - absorbansi sampel 100 absorbansi blanko
Contoh: % inhibisi BHT 10 ppm Absorbansi blanko: 1,836
% inhibisi
Absorbansi BHT 10 ppm: 1,041
1,836 - 1,041 100 43,30065 % 1,836
Konsentrasi BHT yang digunakan adalah 5, 10, 25, 50, 100 ppm masing-masing dicari % inhibisinya. Konsentrasi BHT diplot pada sumbu x dan inhibisi dari kelima konsentrasi tersebut diplot pada sumbu y sehingga diperoleh persamaan garis y = bx+a b) perhitungan nilai IC50 Persamaan
garis
yang diperoleh dari regresi logaritmik BHT
y
= 26,64ln(x)-14,39
y
= 26,64ln(x)-14,39
ln(x) = 2,632179 x
= 13,90404
Dengan demikian, didapatkan nilai IC50 untuk BHT sebesar 13,90404 ppm.
adalah
Lampiran 7. Hasil uji aktivitas antioksidan Sampel Blanko
BHT
Sampel Blanko
Konsentrasi dalam ppm
Absorbansi
% inhibisi
0
1,84
100
0,18
90,14
50
0,23
87,31
25
0,52
71,51
10
1,04
43,30
5
1,50
18,57
Konsentrasi dalam ppm
Absorbansi
% inhibisi
0
1,79
4000
0,47
73,67
2000
1,08
39,72
Etanol
1000
1,37
23,42
1
500
1,61
9,64
200
1,71
4,20
100
1,77
1,01
Etanol
4000
0,32
82,07
2
2000
0,89
49,92
1000
1,33
25,49
500
1,58
11,77
200
1,72
3,81
100
1,78
0,45
Absorbansi
% inhibisi
Sampel Blanko
Konsentrasi dalam ppm 0
1,79
4000
0,17
88,72
2000
0,63
58,06
Metanol
1000
1,01
32,71
1
500
1,18
21,77
200
1,40
6,90
100
1,47
2,72
Metanol
4000
0,31
82,80
2
2000
0,93
47,68
1000
1,34
24,71
500
1,53
14,45
200
1,70
4,71
Persamaan garis
IC50
y = 24,80ln(x)-15,45
14,00
Persamaan garis
y = 21,22ln(x)-108,7
IC 50
Rataan IC50
2353,77
2152,93
y = 18,30ln(x)-93,44
Persamaan garis
y = 21,60ln(x)-111,5
1770,10
IC 50
Rataan IC50
1266,24
1527,37
y = 20,71ln(x)-105,1
1788,51
100
Sampel
1,76
Konsentrasi dalam ppm
Blanko
1,29
Absorbansi
% inhibisi
0
1,79
4000
0,60
66,50
2000
1,08
39,55
Aquabides
1000
1,44
19,38
1
500
1,62
9,24
200
1,70
5,04
100
1,79
-0,34
Aquabides
4000
0,67
62,75
2
2000
1,17
34,45
1000
1,47
17,65
500
1,60
10,64
200
1,75
1,74
100
1,76
1,29
Persamaan garis
IC 50
y = 16,94ln(x)-86,66
Rataan IC50
3188,47
3640,05
y = 15,64ln(x)-79,99
4091,63
Lampiran 8. Analisis sidik ragam aktivitas antioksidan ekstrak kasar lintah laut berdasarkan jenis pelarut Sumber
dB
Keragaman
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
Jenis pelarut
2
4710833
2355416
Sisa
3
837351
279117
Total
5
5548184
Fhit
P
8,44
0,059
Keterangan: Bila P>0,05, maka gagal tolak H0, artinya jenis pelarut memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata.
Lampiran 9. Gambar hasil uji fitokimia 1. Ekstrak kasar etanol lintah laut
2. Ekstrak kasar metanol lintah laut
3. Ekstrak kasar aquabides lintah laut