EKSTRAKSI CIRI GRAY LEVEL CO-OCCURRENCE MATRIX DAN PROBABILISTIC NEURAL NETWORK UNTUK PENGENALAN CACAT PENGELASAN Adhi Harmoko S* , Benyamin Kusumoputro** , Makmur Rangkuti***
ABSTRAK EKSTRAKSI CIRI GRAY LEVEL CO-OCCURRENCE MATRIX DAN PROBABILISTIC NEURAL NETWORK UNTUK PENGENALAN CACAT PENGELASAN. Telah dikembangkan Sistem Pengenalan Cacat pada Pengelasan Metal berbasis Ciri Tekstur Gray Level Co-occurrence Matrix. Pada penelitian ini digunakan film Sinar-X standar IIW (International Institute of Welding) hasil proses radiografi beberapa buah pengelasan metal. Tahap pertama adalah mendigitalisasi film sinar-X, hal ini dilakukan dengan menggunakan kamera digital pada alat interpreter film sinar-X. Selanjutnya adalah ekstraksi ciri tekstur, yaitu dengan membentuk matriks co-occurrence, kemudian dilakukan perhitungan empat buah ciri tekstur berupa nilai angular second moment, correlation, inverse difference moment dan entropy pada satu jarak piksel dan empat arah piksel. Sebagai pengklasifikasi jenis cacat digunakan Probabilistic Neural Network. Keluaran sistem pengenalan akan dikelompokkan menjadi 8 kelas, yaitu: kelas 1 (normal/tanpa cacat), kelas 2 (distributed porosity), kelas 3 (incomplete penetration), kelas 4 (burn through), kelas 5 (cluster porosity), kelas 6 (excessive cap), kelas 7 (excessive penetration) dan kelas 8 (incomplete fussion). Pada eksperimen ini telah dilakukan pula, pengujian sistem pengenalan pada tiga metode pemilihan data pelatihan dan pengujian yaitu random, semi random dan pilih. Hasil akurasi pengenalan rata-rata terbaik pada semua kelas untuk citra yang belum diketahui jenis cacatnya mencapai nilai maksimum 99,54 % untuk perbandingan data pelatihan dan data pengujian 1 : 1. Kata Kunci : Cacat Pengelasan, Recognition, Neural Network, Texture Extraction
ABSTRACT GRAY LEVEL CO-OCCURRENCE MATRIX FEATURE EXTRACTION AND PROBABILISTIC NEURAL NETWORK FOR WELDING DEFECTS RECOGNITION. In this paper, we have developed Defects Recognition Systems on Metal Welding based on Gray Level Cooccurrence Matrix Texture Feature. The X-ray films used in this research are IIW (International Institute of Welding) standard of radiograph technique. The first step is X-ray film digitalized, using a digital camera on X-ray interpreter. The next step is feature extraction; in this step co-occurrence matrix is developed. The value of angular second moment, correlation, inverse difference moment and entropy are calculated as texture feature on one distance and four directions. Probabilistic Neural Network is used as a defect classifier to classify the output of the systems. Recognition output is classified into 8 classes, that is 1st class (normal/without defect), 2nd class (distributed porosity), 3rd class (incomplete penetration), 4th class (burn through), 5th class (cluster porosity), 6th class (excessive cap), 7th class (excessive penetration) *
Departemen Fisika FMIPA, Universitas Indonesia, Depok 16424, email :
[email protected] Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Indonesia, Depok 16424 *** PUSDIKLAT BATAN, Ps Jum’at, Jakarta Selatan **
and 8th class (incomplete fusion). Three methods of training testing data sampling (random, semi random and choosing) are compared in this research. Average of recognition on this system is 99,54 % using training testing paradigm 1 : 1. Key words: Welding defect, Recognition, Neural Network, Texture Extraction.
PENDAHULUAN Radiografi adalah metode pengujian tak merusak yang menggunakan penestrasi dan ionisasi untuk mendeteksi kerusakan internal dengan sensitivitas tinggi berupa diskontinuitas beberapa milimeter dari sebuah sambungan dengan prinsip kelurusan sinar datang. Metode radiografi umumnya digunakan pada industri petrolium, petro kimia, nuklir dan pembangkit tenaga untuk menginspeksi kualitas sambungan pengelasan (welding) dan cetakan (casting). Penggunaan spesial metode ini juga pada industri peralatan perang untuk menginspeksi alat peladak, alat perang dan rudal. Radiografi juga memainkan peranan penting dalam penjaminan kualitas (Quality Assurance) pada komponen yang memerlukan kesesuain dengan suatu standar, spesifikasi dan kode perancangan [1]. Salah satu aplikasi teknik radiografi adalah pengujian tak merusak pada welding (pengelasan) sambungan metal untuk mengetahui kualitas pengelasan tersebut. Terdapat beberapa jenis cacat pengelasan dengan penyebab yang berbeda-beda pula. Setiap negara mempunyai standar sendiri untuk menentukan jenis dan tingkat keamanan cacat tersebut. Beberapa istila h cacat pengelasan diantaranya adalah distributed porosity, cluster porosity, linear porosity, worm hole, continous undercut, linear slag, incomplete penetration, inclusion, cracks, lack of penetration, lack of fusion, longitudinal crack , dan lain sebagainya. Pada penelitian ini digunakan standar untuk negara Inggris yaitu IIW (International Institute of Welding). Pada standar tersebut jenis cacat dikelompokkan berdasarkan 5 tingkat keamanan, tingkat keamanan paling rendah (tidak ada cacat atau cacat masih aman digunakan) sampai cacat yang paling parah. Proses interpreter sinar-X pada cacat pengelasan dengan menggunakan teknologi komputer merupakan tahapan untuk menuju proses otomatiasi pengenalan cacat pengelasan. Kegunaan otomatisasi proses analisis radiografi digital adalah untuk mereduksi waktu analisis dan mengeliminasi aspek subyektivitas dalam menganalisis yang dilakukan oleh seorang inspektor. Cara ini mampu meningkatkan reliabilitas dalam penginspeksian karena dilakukan oleh program komputer. Otomatisasi analisis radiografi terdiri atas beberapa tahapan, yaitu: digitalisasi film radiografi, pemrosesan citra digital, ekstraksi ciri dan pengenalan cacat dengan menggunakan alat pengenalan pola (pattern recognition) [2].
Pada Gambar 1 diperlihatkan contoh citra yang digunakan pada penelitian ini dengan jenis cacat burn through, excessive cap dan excessice penetration. Citra berukuran piksel 360 × 180 menjadi input pada proses pengenalan cacat.
(a) Gambar 1.
(b)
(c)
Contoh gambar jenis cacat (a) burn through, (b) excessive cap dan (c) excessice penetration
SISTEM PENGENALAN CACAT PENGELASAN Skema umum yang menggambarkan sistem pengenalan cacat pengelasan dengan menggunakan GLCM diperlihatkan pada Gambar 2. Sistem pengenalan tersebut digunakan untuk dapat mengenali apakah terdapat cacat di dalam sambungan dua buah material metal yang disambung dengan proses pengelasan, apabila terdapat cacat, jenis cacat yang seperti apakah.
Gambar 2. Sistem pengenalan cacat pengelasan dengan menggunakan GLCM
Citra input yang digunakan merupakan citra bentuk digital yang didigitalisasi dari film sinar-X dengan menggunakan kamera digital. Citra input merupakan citra dengan ukuran piksel sama dengan 360 × 180. Jumlah citra input yang digunakan sebanyak 432 buah. Sebagian citra ini akan digunakan sebagai data pelatihan dan sisanya akan digunakan sebagai data pengujian. Proses komputasi dimulai dengan melakukan kuantisasi deraja t keabuan, hal ini dilakukan karena citra input merupakan citra standar dari kamera digital dengan format jpg. Setelah itu dibentukan satu buah matrik co-occurrence dari satu buah citra input. Dalam membentuk matrik ini derajat keabuan dapat dikurangi untuk mempercepat proses selanjutnya, misalkan dikurangi dari 256 derajat keabuan menjadi 8 derajat keabuan. Keluaran proses ini adalah sebuah matriks dengan ukuran 256×256 bila digunakan 256 derajat keabuan yang merepresentasikan citra masukan. Kemudian dilakukan proses perhitungan tekstur untuk mendapatkan ciri tekstur dengan menggunakan persamaan Harralick [2]. Pada tahap ini akan didapatkan sebuah set ciri awal. Tahap selanjutnya adalah menurunkan/mengurangi set ciri multi resolusi yang besar menjadi set baru yang lebih kecil dengan menggunakan principal component analysis. Hasil dari tahap ini adalah suatu set ciri baru dengan jumlah yang lebih kecil dari semula. Tahapan selanjutnya menggunakan Jaringan Neural Buatan untuk mengklasifikasikan kedalam kelompok normal (tidak ada cacat) atau kedalam kelompok jenis cacat tertentu (distributed porosity, incomplete penetration, burn through, cluster porosity, excessive cap, excessive penetration, incomplete fussion). Jaringan neural buatan yang digunakan di sini adala h Probabilistic Neural Network . GRAY LEVEL CO-OCCURRENCE MATRIX Gray Level Co-occurrence Matrix (GLCM) mempunyai sekumpulan informasi tentang derajat keabuan (intensitas) suatu piksel dengan tetanggannya, pada jarak dan orientasi yang tetap. Ide dasarnya adalah untuk men-scan citra untuk mencari jejak derajat keabuan setiap dua buah piksel yang dipisahkan dengan jarak d dan sudut θ yang tetap. Tetapi umumnya tidak hanya satu jarak dan sudut saja cukup untuk menggambarkan ciri tekstur citra tersebut. Sehingga harus digunakan lebih dari satu jarak dan arah. Umumnya digunakan empat arah horizontal vertikal dan dua arah diagonal. Kebanyakan peneliti menggunakan empat arah dan lima jarak [3]. Setiap matriks berukuran 256 × 256 dengan asumsi citra mempunyai derajat keabuan 256. Tetapi jika setiap matriks mempunyai ukuran 256 × 256, akan membutuhkan memori yang besar untuk menyimpannya dan waktu yang diperlukan untuk melakukan proses pembuatan matriks juga akan lama. Karena itu, perlu
dilakukan konversi citra kedalam x derajat keabuan yang lebih kecil dan menghasilkan matriks co-occurrence dengan ukuran lebih kecil pula. Elemen-elemen suatu matrik co-occurrence p(i,j), merupakan seberapa sering terjadi piksel dengan nilai i dan j berpasangan pada suatu jarak d dan sudut θ. Pada Gambar 3 diilustrasikan sebuah contoh membuat matriks co-occurence dengan citra input berukuran 4 × 4 dan mempunyai 3 derajat keabuan.
Gambar 3. Empat arah untuk GLCM Misalkan Dx = {0, 1, ... , Nx – 1} dan Dy = {0, 1, ... , Ny – 1} adalah domain dari dimensi ruang baris dan kolom, di mana Nx dan Ny adalah jumlah piksel pada sumbu x dan y. Dan G = {0, 1, ... , Ng – 1} adalah domain dari derajat keabuan dengan Ng adalah jumlah derajat keabuan. Sebuah citra I dapat direpresentasikan sebagai fungsi 2 dimensi I:D x × Dy à G. Sebuah domain baru dapat didefinisikan sebagai D ⊂ N (di mana N adalah sekumpulan bilangan dasar) yang diturunkan dari Dx × Dy .
Gambar 4. Membuat matrik co-occurrence pada empat arah dengan 3 derajat keabuan
Dalam perumusannya, matriks co-occurrence pada jarak d dan sudut θ dapat dituliskan sebagai persamaan p( i , j ; d ,θ ) =# ((x , y ),(x' , y' )∈ D × D | d =|| (x , y ),(x' , y' ) ||,θ = ∠ (x , y ),( x' , y' ), I (x , y ) = i , I (x' , y' ) = j )
(1)
di mana p( i , j ; d ,θ ) adalah matriks co-occurrence, # merupakan fungsi “jumlah
dari” ( x , y ) dan ( x' , y' ) yang merupakan koordinat piksel citra, D adalah domain derajat keabuan, d adalah jarak antara dua piksel, θ adalah sudut. Dalam persamaan akan diperoleh sekumpulan ciri dari citra. Apabila, dua citra dengan pola tekstur yang sama, tetapi berbeda ukurannya akan memiliki vektor ciri yang berbeda pula.
PENGUKURAN NILAI TEKSTUR Matrik co-occurrence P0 kl didefinisikan sebagai berikut. Elemen matriks P kl (i,j) pada suatu window adalah berapa kali derajat keabuan i dan j terjadi dalam dua buah piksel dengan jarak dan arah yang diberikan oleh vektor (k,l) atau (-k,-l) dibagi dengan NT. Di mana NT adalah jumlah pasangan piksel yang terdapat dalam Pkl . Untuk menurunkan ukuran matriks co-occurrence Nx × Nx, derajat keabuan dapat direduksi dari 256 menjadi 8 derajat keabuan [4]. Dari matrik co-occurrence yang terbentuk, beberapa ciri tekstur dalam dihitung. Pengukuran nilai tekstur didasarkan pada 4 persamaan Harralick [2] yang didefenisikan sebagai berikut untuk p(i,j) :=P kl (i,j): Angular second moment : N x Nx
f 1 = ∑∑ [ p(i , j )]2
(2)
i =1 j =1
Correlation :
f3 =
∑∑ (ij ⋅ p(i, j) − µ Nx N x
1 σxσy
i =1 j =1
x
2
µy )
(3)
Invers difference moment : Nx Nx
1 p(i , j ) 2 j =1 1 + (i − j )
f 5 = ∑∑ i =1
(4)
Entropy : N x Nx
f 9 = −∑∑ p(i , j ) log [ p(i , j )] i =1 j =1
(5)
PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS (PCA) Dalam studi ini, digunakan metode Principal Component Analysis (PCA) untuk menemukan sebuah sub set dari sekumpulan ciri tekstur multi resolusi asli sehingga ciri yang mempunyai pengaruh besar dipilih sebagai input pengklasifikasi. Principal Component Analysis sering digunakan secara luas pada aplikasi remote sensing untuk mereduksi dimensi [5]. Penggunakan tradisional dari metode ini meliputi pencarian untuk mengganti kolom m dari baris ciri dengan kolom baru n. Untuk beberapa set data, penggabungan dua ciri dapat menghasilkan kekuatan baru untuk membedakan dibandingkan dengan sebelumnya. Tetapi, ciri yang berlebihan tidak dapat diidentifikasi oleh pemakaian ini karena ciri aslinya telah ditransformasi menjadi ciri baru. Metode ini didasarkan pada pencarian dan pembuangan ciri yang berhubungan dengan bobot terbesar dalam eigenvektor dari eigenvalue terkecil. PCA adalah sebuah cara mengidentifikasi pola dalam data dan mengekspresikan data dengan cara memperhatikan kemiripan dan perbedaannya. Ketika pola dalam data menjadi sulit untuk ditemukan dalam data dengan dimensi yang besar, PCA merupakan alat yang tanggung untuk menganlisis data tersebut. Keuntungan utama PCA adalah mampu menemukan pola dalam data dan meng-compress data dengan cara mereduksi jumlah dimensi tanpa harus kehilangan banyak informasi. PROBABILISTIC NEURAL NETWORK Jaringan neural probabilistik (Probabilistic Neural Network ) dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah klasifikasi. Ketika diberikan input, lapisan pertama menghitung jarak dari vektor input terhadap vektor input pelatihan, dan menghasilkan vektor yang elemen-elemennya menandakan seberapa dekat input terhadap input pelatihan. Lapisan kedua menjumlahkan kontribusi ini untuk setiap input kelas untuk menghasilkan vektor output jaringan PNN. Akhirnya, fungsi transfer yang sempurna pada output lapisan kedua mengambil probabilitas maksimum dan menghasilkan 1 untuk kelas yang sesuai dan menghasilkan 0 untuk kelas yang lain. Jaringan neural probabilistik dibangun menggunakan ide dari teori probabilitas klasik, seperti pengklasifikasi Bayesian (Bayesian classification) dan pengestimasi klasik (classical estimator) untuk fungsi kerapatan probabilitas (probability density function), untuk membentuk sebuah jaringan neural sebagai pengklasifikasi pola. Jaringan neural probabilistik dipilih karena dikenal mempunyai waktu pelatihan sangat singkat serta mempunyai tingkat generalisasi yang baik [6].
EKSPERIMEN Citra yang digunakan disini adalah 432 citra welding dengan ukuran piksel 360 × 180. Citra tersebut dikelompokkan kedalam 8 kelas yaitu normal, distributed porosity, incomplete penetration, burn through, cluster porosity, excessive cap, excessive penetration, incomplete fussion. Dalam pemrosesannya, citra tersebut dikuantisasi menjadi 256 derajat keabuan. Ekstraksi ciri diawali dengan mengkuantisasi citra input RGB menjadi citra dalam 256 derajat keabuan. Langkah selanjutnya membentuk matriks co-occurrence dengan beberapa variasi window pada setiap citra. Dengan pemilihan empat jenis orientasi (0°, 45°, 90° dan 135°) pada 14 pengukuran akan didapat sebuah set data yang terdiri atas 56 baris diekstraksi dari setiap citra. Set data ini digunakan sebagai set data awal. Set data ini terdiri atas 56 ciri (Gambar 5).
Gambar 5. Pengukuran Ciri dengan menggunakan GLCM Set data awal yang terdiri atas 56 ciri selanjutnya dilakukan pemilihan ciri dengan menggunakan PCA. Karena itu diperlukan serangkaian eksperimen untuk menentukan jumlah ciri yang tepat untuk mewakili data cacat pengelasan tersebut agar mampu menghasilkan pengenalan yang tinggi pada JNB. Jumlah ciri semakin kecil akan memperkecil jumlah neuron pada lapisan input. Hal tersebut tentunya akan mempercepat proses pelatihan dan proses pengenalan JNB. Namun di sisi lain, jumlah ciri yang semakin kecil akan semakin mengurangi informasi penting bagi JNB. Karena itu perlu dicari sebuah nilai optimal antara jumlah ciri dan jumlah informasi,
sehingga diharapkan tidak akan mengurangi akurasi pengenalan JNB dengan jumlah ciri yang kecil. Pada eksperimen ini digunakan nilai 2% untuk PCA. Untuk mengetahui hasil pengenalan cacat pengelasan pada penelitian ini diperlukan persiapan data masukan untuk proses pembelajaran dan data masukan untuk proses pengujian. Maka pada bagian ini akan dijelaskan bentuk metode pemilihan data masukan, variasi perbandingan data pembelajaran dan data pengujian serta hasil pengenalan cacat pengelasan oleh JNB. Pemilihan data pembelajaran dan data pengujian merupakan salah satu penentu keberhasilan sistem pengenalan. Apabila dapat dipilih satu set data pembelajaran yang mampu mewakili keseluruhan keadaan sistem pengenalan maka akan diperoleh nilai pengenalan tinggi. Untuk mendapatkan set data yang mewakili keseluruhan keadaan sistem pengenalan tentunya bukanlah merupakan hal mudah. Pada penelitian ini digunakan tiga jenis pemilihan data, yaitu sebagai berikut: § Random penuh Sedangkan pada jenis pemilihan data ini, sebuah set indeks baru selalu dibuat dengan cara random pada setiap kelas pada setiap awal eksperimen. Sehingga akan dihasilkan suatu urutan data yang berbeda-beda pada setiap pelatihan dan pengujian. Dari urutan yang baru tersebut akan dilakukan pemilihan data pelatihan dan data pengujian sesuai dengan perbandingan tertentu. § Semi random Pada jenis pemilihan data ini, sebuah set indeks baru telah dibuat terlebih dahulu dengan cara random pada setiap kelas sebelum dilaksanakan eksperimen. Sehingga akan dihasilkan suatu urutan data yang tetap pada setiap pelatihan dan pengujian. Dari urutan yang baru tersebut akan dilakukan pemilihan data pelatihan dan data pengujian sesuai dengan perbandingan tertentu. § Pilih Pada jenis pemilihan data ini, sebuah set indeks baru telah dibuat terlebih dahulu dengan dipilih secara manual dengan memperhatikan pola cacat pengelasan pada setiap kelas sebelum dilaksanakan eksperimen. Sehingga akan dihasilkan suatu urutan data yang tetap pada setiap pelatihan dan pengujian. Pada metode ini, telah dipilih satu set data yang digunakan untuk pelatihan dan satu set data yang digunakan pengujian. Telah dilakukan beberapa variasi setting eksperimen dengan menggunakan 432 citra dengan 8 kelas klasifikasi. Variasi setting eksperimen dilakukan untuk mencari parameter-parameter yang mampu menghasilkan nilai akurasi data maksimal. Varia si setting eksperimen meliputi : matrik co-occurrence (berupa jarak piksel dan sudut), level derajat keabuan, persen PCA (jumlah ciri input jaringan saraf buatan), spread
(sebaran gaussian), metode pemilihan data pelatihan dan data pengujian dan perbandingan antara data pelatihan dan pengujian. Setelah didapatkan parameter-parameter yang dianggap dapat memberikan hasil pengenalan maksimal, parameter tersebut disimpan dan kemudian akan diambil sebagai input sistem untuk melakukan pembelajaran selanjutnya untuk melakukan pengujian. Setelah dilakukan proses pembelajaran menggunakan vektor pelatihan maka jaringan terlebih dahulu diuji untuk mendapatkan pengenalan terhadap vektor pelatihan, yaitu sebuah set data yang dipilih dari 432 citra untuk digunakan sebagai data proses pembelajaran. Kemudian dilakukan pengujian terhadap jaringan dengan menggunakan vektor testing, yaitu sebuah set data yang merupakan sisa dari 432 citra yang tidak digunakan dalam proses pembelajaran. Persentase pengenalan atau akurasi dinyatakan sebagai nilai perbandingan antara jumlah data citra yang berhasil dikenali oleh jaringan dengan jumlah total data pengujian (8 kelas) seperti pada persamaan 6.
%Akurasi =
Jumlah Data Terklasifi kasi Benar ×100% Jumlah Data Total
(6)
Gambar 6 memperlihatkan perbandingan pengenalan sistem yang menggunakan PNN sebagai pengklasifikasi pada sistem pengenalan cacat pengelasan berbasis GLCM pada ketujuh variasi jarak piksel. Eksperimen ini menggunakan parameter eksperimen sebagai berikut : ± Spread = 0.03 ± Perbandingan Data Pelatihan dan Pengujian = 50 : 50 ± Persen PCA = 2%
Gambar 6. Hasil Pengenalan sistem berbasis GLCM pada variasi jarak piksel
Dari Gambar 6 terlihat pemilihan data semi random dan random menghasilkan tingkat pengenalan yang hampir sama. Hal tersebut menunjukkan sistem kestabilan sistem terhadap perubahan pemilihan data pembelajaran dan pengujian. Dengan kata lain, sistem tidak terlalu tergantung dengan adanya perubahan data pembelajaran, sistem tetap mampu membentuk jaringan dengan tingkat pengenalan yang relatif sama. Sedangkan pemilihan data dengan metode pilih mempunyai tingkat pengenalan yang baik, hal ini wajar dan telah diprediksi sebelumnya, karena data pembelajaran dipilih dengan menggunakan data yang dianggap paling mewakili. Tingkat pengenalan sistem terbaik diberikan oleh jarak piksel 1 dan penambahan jarak piksel pada jendela matriks co-occurrence mengurangi tingkat pengenalan sistem. Hal tersebut ditentukan oleh bentuk fisik tekstur pada citra input. Pada Gambar 7 memperlihatkan perbandingan pengenalan sistem yang menggunakan PNN sebagai pengklasifikasi pada sistem pengenalan cacat pengelasan berbasis GLCM pada variasi derajat keabuan. Pada penelitian ini telah diteliti lima variasi derajat keabuan yaitu 8, 16, 32, 64 dan 256.
Gambar 7. Hasil Pengenalan sistem berbasis GLCM pada derajat keabuan Derajat keabuan 256 mampu menghasilkan tingkat pengenalan paling baik dibandingkan dengan derajat keabuan yang lain. Hal ini disebabkan karena pada derajat keabuan ini, informasi yang dimiliki oleh citra relatif lebih banyak dibandingkan dengan derajat keabuan yang lebih rendah. Namum derajat keabuan yang besar membutuhkan waktu komputasi yang lebih lama dibandingkan dengan derajat keabuan yang lebih rendah (lihat Tabel 1). Karena itu tidak perlu menggunakan derajat keabuan yang tinggi, ditambah apabila pengurangan derajat keabuan tidak terlalu mengurangi tingkat pengenalan secara signifikan.
Tabel 1. Waktu komputasi pada variasi derajat keabuan Derajat Keabuan 8 16 32 64 256
GLCM (sekon) 0,171 0,250 0,422 1,250 24,047
KESIMPULAN Dalam tulisan ini, telah dilakukan penelitian sebuah metode untuk mendeteksi cacat pengelasan berbasis Gray Level Co -occurrence matrix (GLCM). Film sinar-X standar IIW telah dijadikan sebagai input sistem pengenalan. Film sinar-X telah didigitalisasi terlebih dahulu dengan menggunakan kamera digital. Ciri tekstur diekstrak dengan menggunakan empat persamaan Harralick pada matrik cooccurrence. Probabilistic Neural Network telah digunakan sebagai pengklasifikasi output pengenalan berupa delapan kelompok jenis cacat pengelasan. Tingkat pengenalan sistem terbaik mampu memcapai 99,54 % pada derajat keabuan 256 dan jarak piksel 1. Penelitian ini membuat sebuah kontribusi dalam memecahkan permasalahan dalam sistem pengenalan weld defect.
DAFTAR PUSTAKA 1. ANTONIO ALVES DE CARVALHO, RAPHAEL CARLOS DE SÁ BRITO SUITA, ROMEU RICARDO DA SILVA, JOÃO MARCOS ALCOFORADO REBELLO, “Evaluation of the Relevant Features of Welding Defects in Radiographic Inspection”, Materials Research, 6(3) (2003) 427-432 2. MERY, D, “Automatic detection of welding defects using textute feature” International Symposium on Computed Tomography and Image Processing for Industrial Raidology, Berlin, 2003. 3. CELEBI, ERBUG, ADIL ALPKOCAK, “Clustering of Texture Features for Content based Image Retrieval”, Dokuz Eylul University, Department of Computer Engineering, 35100 Bornova, Izmir, TURKEY, 2000.
4. MERY, D, “Processing Digital X-ray Images and Its Applications in the Automated Visual Inspection of Aluminum Casting”, 3rd Pan Americ an Conference for Nondestructive Testing – PANNDT, Rio de Janeiro – RJ, June 2003. 5. WU. D, J. LINDERS, “Comparison of three different methods to select feature for discriminating forest cover types using SAR Imaginary”, International Journal of Remote Sensing, 21(10) (2000) 2089-2099 6. TRIANTO, ADI, “Ekstraksi ciri pada data suara menggunakan spektra orde tinggi dan kuantisasi vektor untuk identifikasi pembicara menggunakan Jaringan Neural Buatan”, Tesis, Program Pasca Sarjana Ilmu Komputer, Universitas Indonesia, 2000.
DISKUSI
ELFRIDA SARAGI Hasil Akurasi pengenalan rata-rata semua kelas untuk citra yang belum diketahui jenis cacatnya mencapai maksimal 99,54 %. Bagaimana / apakah bisa digunakan metode clustering berdasarkan kemiripan masing-masing, kemudian menggunakan pemodelan dengan berbagai variabel indikator untuk mendapatkan jenis cacatnya. ADHI HARMOKO Kalau digunakan metode clusterring jumlah kelas bisa berubah menjadi naik/turun. Pada penelitian ini jumlah kelas telah ditentukan yaitu: 8. Dengan Metode Neural Network data telah ditentukan target kelasnya. Sistem akan men-generate nilai-nilai fungsi sendiri dengan data pembelajaran.
GATOT S 1. Bagaimana menentukan jarak pixel dan banyaknya pixel pada jejak di film? 2. Bagaimana penerapan metode yang disampaikan pada cacat welding pada masingmasing 8 kelas cacat welding? ADHI HARMOKO 1. 2.
Penelitian ini ditunjukkan untuk menentukan jarak pixel optimal, pada kasus ini jarak pixel kecil lebih optimal. Hal ini karena jenis cacat yang diamati mempunyai ukuran yang relatif kecil. Metodenya adalah supervised learning. Sistem dibuat belajar dengan sendirinya dengan diberikan input dan target. Ketika pengujian data diberikan berbeda dengan data yang telah dipelajari untuk melihat kemampuan sistem.
RIDWAN Jenis-jenis cacat logam dan kendala apa saja yang sering timbul dalam eksperimen yang Bapak temukan. ADHI HARMOKO Logam yang diteliti adalah metal, ada banyak jenis cacat. Namun pada penelitian ini hanya dikelompokkan ke dalam 8 kelas. Kendala yang timbul adalah terbatasnya jumlah data sampel.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1. Nama
: Adhi Harmoko C
2. Tempat/Tanggal Lahir
: Jakarta, 28 Agustus 1978
3. Instansi
: Dept. Fisika FMIPA Universitas Indonesia
4. Pekerjaan / Jabatan
: Dosen
5. Riwayat Pendidikan
:
• S1 Fisika FMIPA Universitas Indonesia • S2 Fasilkom Universitas Indonesia 6. Pengalaman Kerja
Back
: Dosen Universitas Indonesia