PENGARUH INTENSITAS CAHAYA TERHADAP HASIL PENGENALAN CITRA DENGAN GRAY LEVEL COOCCURRENCE MATRIX DAN PROBABILISTIC NEURAL NETWORK
PENGARUH INTENSITAS CAHAYA TERHADAP HASIL PENGENALAN CITRA DENGAN GRAY LEVEL CO-OCCURRENCE MATRIX DAN PROBABILISTIC NEURAL NETWORK Toni Wijanarko A.P Program Studi Teknik Informatika STMIK ProVisi Semarang
[email protected]
Abstract Face recognition is a basic method of developing an authentication system using the natural characteristics of the human face as baseline. This facial image recognition process through the training phase of the training face images with MATLAB programs and test phases were performed directly on the face images are sourced directly from the camera and not on test data derived from a set of face images that have been selected. Introduction The method combines Canny, GLCM and PNN, the pretreatment stage that converts the RGB image into gray level and the Canny edge detection to determine the reference point as a separator edge areas that are not used. Face recognition factor tested was taken on the influence of the intensity of illumination of the object. GLCM are used with energy parameters, correlation, homogeneity and contrast. PNN while comparing the output of data from the GLCM matrix results. This study uses a database of facial images with a sample of 20 people in the 7 position of the face, distance 3, and 5 categories lighting. The results obtained with the database in a light that category 4 and a distance of 30 cm obtained the highest level of recognition in the process of introducing the light category 5 and 30 cm distance with the level of recognition accuracy of 82.86 percent. Keywords: Canny, GLCM, PNN, Citra Faces, Identity, Light
1.
Latar Belakang
Teknologi biometrik mempunyai kemampuan yang cukup baik dibandingkan dengan metode konvensional, terutama dalam hal memproses ciri guna menjadi sangat mudah, selain itu ciri tersebut juga mempunyai keunikan yang melekat pada manusia. Pengembangan teknologi biometrik seperti wajah, suara, iris mata dan sidik jari sudah banyak dikembangkan baik sebagai sistem keamanan maupun sebagai sistem kehadiran. Teknologi biometrik yang sudah berkembang dan diterapkan diberbagai aplikasi tetapi pada kenyataannya proses pengenalan terkadang masih mengalami kegagalan. Beberapa kegagalan diantaranya disebabkan oleh faktor penerangan, jarak objek dengan alat, sudut kemiringan objek terhadap alat, ekspresi serta posisi wajah. Pada penelitian ini dibangun aplikasi untuk mengukur pengaruh intensitas cahaya terhadap tingkat akurasi pengenalan wajah dengan Matrik Kookuransi Aras Keabuan (Gray Level CoOccurrence Matrix/GLCM) dan Jaringan Syaraf Tiruan Probabilistik (Probabilistic Neural Network/PNN) pada intensitas cahaya, jarak serta
sudut yang berbeda. Penelitian ini akan memperbaiki kinerja sistem pengenalan wajah agar dapat diaplikasikan di berbagai bidang. Pengenalan identitas manusia dengan biometrik sudah banyak dilakukan mulai dari pengenalan suara, irismata, sidik jari, pola tangan dan wajah. Pengenalan wajah dengan menguji semua frame untuk mengetahui apakah frame tersebut berisikan wajah manusia dan juga mendeteksi citra bergerak dari video dengan menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan Probabilistik (Kung, 1999). Penelitian selanjutnya dengan dilakukan untuk pengenalan wajah manusia menggunakan kumpulan citra diam atau video dengan satu set video (Zhou, dkk, 2003). Penggunaan video-kamera dan komputer cukup baik untuk memproses video secara waktu-nyata (realtime) (Gorodnichy, 2004). Penelitian sebelumnya yang membahas pengenalan wajah menggunakan sebuah kamera untuk menangkap wajah seseorang kemudian dibandingkan dengan wajah yang sebelumnya telah disimpan pada basisdata secara waktu nyata (realtime) (Bayu, dkk, 2009). Pengenalan wajah
35
Jurnal Teknologi Informasi dan Komunikasi, ISSN : 2087 - 0868, Volume 5 Nomor 2 Agustus 2014 menggunakan template matching. Verifikasi wajah dilakukan menggunakan nilai pencocokan yang dihitung dengan gradien tepi menghubungkan citra referensi (Vinitha, 2009). Kemudian pengenalan wajah menggunakan metode (Self Organizing Map/SOM) untuk memperoleh model yang mudah dipelajari dengan meminimalisir waktu belajar (Ghorpade, dkk, 2010). Penggunaan Matrik Kookuransi Aras Keabuan banyak dilakukan untuk pengambilan citra penginderaan jauh dengan purwarupa (Maheshwary, dkk, 2009). Segmentasi citra untuk menentukan nilai ambang histogram untuk mendapatkan informasi spasial. Informasi spasial adalah tingkat nilai gabungan abu-abu piksel menjadi tersegmentasi dengan piksel tetangganya yang didasarkan pada GLCM (Nie, dkk, 2011). Sedangkan penelitian dengan menggabungkan metode GLCM dan PNN dilakukan untuk pengenalan ciri pola benang pada garmen secara otomatis dan deteksi cacat berdasarkan fitur tekstur yang digunakan untuk mendeteksi cacat garmen. Pada penelitian ini didapatkan tingkat keberhasilan total identifikasi kain adalah 96,6% dan tingkat keberhasilan deteksi kain cacat 91,1% (Kulkarni dan Patil, 2012). Sedangkan pada penelitian ini dikembangkan sistem pengenalan wajah secara waktu nyata (realtime) menggunakan video kamera dengan metode GLCM dan PNN. Penelitian sebelumnya tentang pengenalan wajah dengan metode GLCM dan PNN sudah pernah dilakukan, akan tetapi kedua metode tersebut digunakan secara terpisah. Sedangkan penggunaan metode GLCM dan PNN secara bersama sudah dilakukan untuk pengenalan ciri pola benang, dan pada penelitian ini kedua metode tersebut akan digunakan untuk pengenalan wajah. Diharapkan hasil dari penelitian ini didapatkan pengenalan wajah dengan tingkat akurasi yang lebih baik serta didapatkan nilai dari tingkat intensitas cahaya yang paling tepat untuk proses pengenalan wajah. 2. Kajian Pustaka
dalam suatu latar belakang yang terbaur (Putra, 2009). Secara umum 36ystem pengenalan citra wajah dibagi menjadi 2 jenis, yaitu 36ystem feature based dan 36ystem image based. Pada 36ystem pertama digunakan fitur yang diekstraksi dari komponen citra wajah (mata, hidung, mulu, dan lain-lain) yang kemudian hubungan antara ciri-ciri tersebut dimodelkan secara geometris. Sedangkan 36ystem kedua menggunakan informasi mentah dari piksel citra yang kemudian direpresentasikan dalam metode tertentu, misalnya Principal Component Analysis (PCA), transformasi wavelt, GLCM yang kemudian digunakan untuk klasifikasi identitas citra (Fatta, 2009).
2.2. Pencahayaan Intensitas cahaya adalah besarnya tenaga cahaya yang diterima per satuan luas per satuan waktu (Arifin, 2007). Sumber cahaya meliputi pencahayaan alami dan pencahayaan buatan. Pencahayaan alami merupakan pencahayaan yang menggunakan sinar matahari, sedangkan cahaya buatan adalah penyediaan penerangan buatan melalui intalasi listrik atau sistem energi dalam bangunan gedung (Ashari dan Ikhwanudin, 2013), Cahaya buatan terdiri dari empat macam yaitu cahaya langsung, cahaya setengah langsung, cahaya tidak langsung, cahaya setengah tidak langsung (Tori, 2012).
Tabel 2.1 Perbandingan efikasi (efisiensi lampu) (Ashari dan Ikhwanudin, 2013) Sumber
Efikasi (lm/watt)
Lilin
0,1
Lampu Minyak
0,3
Lampu Edison yang pertama
1,4
2.1. Pengenalan wajah
Lampu Edison tahun 1910
4,5
Sistem pengenalan seseorang dengan wajah tidak mengganggu kenyamanan seseorang saat akuisisi citra. Citra wajah mungkin merupakan karakteristik biometrika yang paling umum digunakan oleh manusia untuk 36sytem pengenalan. Aplikasi pengenalan wajah meliputi pengenalan wajah statis atau terkontrol sampai 36sytem identifikasi wajah dinamis yang tidak terkontrol di
Lampu pijar biasa
14-18
Lampu halogen tungsten
16-20
Lampu flourescent
50-85
Lampu mercury
40-70
Lampu helida metal
60-80
36
PENGARUH INTENSITAS CAHAYA TERHADAP HASIL PENGENALAN CITRA DENGAN GRAY LEVEL COOCCURRENCE MATRIX DAN PROBABILISTIC NEURAL NETWORK
Lampu sodium bertekanan tinggi
* , ( 1, 2) ( , ), (, ) ∈ : = | − | = , − = 0,
, = 1, , = 2
90-100
2.3. Ekstraksi Ciri dengan GLCM Ekstraksi ciri merupakan langkah awal dalam melakukan klasifikasi dan interpretasi citra. Proses ini berkaitan dengan kuantisasi karakteristik citra ke dalam sekelompok nilai ciri yang sesuai. Analisis tekstur lazim dimanfaatkan sebagai proses antara untuk melakukan klasifikasi dan interpretasi citra. Ekstraksi ciri 37tatic37ic orde kedua dilakukan dengan matriks kookurensi, yaitu suatu matriks antara yang merepresentasikan hubungan ketetanggaan antar piksel dalam citra pada berbagai arah orientasi dan jarak spasial (Albregtsen, 2008). Matriks kookurensi merupakan matriks berukuran L x L (L menyatakan banyaknya tingkat keabuan) dengan elemen P(x1, x2) yang merupakan distribusi probabilitas bersama (join probability distribution) dari pasangan titik-titik dengan tingkat keabuan x1 yang berlokasi pada koordinat (j,k) dengan x2 yang berlokasi pada koordinat (m,n). Koordinat pasangan titik-titik tersebut berjarak r dengan sudut θ. Histogram tingkat kedua P(x1, x2) dihitung dengan pendekatan sebagai berikut : (,) banyaknya pasangan titik-titik dengan tingkat keabuan x1 dan x2 = banyaknya titik pada daerah suatu citra
(2.1)
(2.4)
+ , ( 1, 2) ( , ), (, ) ∈ : ⎫ ( − = , − = ) ⎪ = ⎨$( − = −, − = −),⎬ ⎪ ⎪ , = 1, , = 2 ⎩ ⎠⎧ ⎪
(2.5)
GLCM adalah suatu matriks yang elemenelemennya merupakan jumlah pasangan piksel yang memiliki tingkat kecerahan tertentu, di mana pasangan piksel itu terpisah dengan jarak d, dan dengan suatu sudut inklinasi θ. Dengan kata lain, matriks kookurensi adalah probabilitas munculnya gray level 37tati j dari dua piksel yang terpisah pada jarak d dan sudut θ. Suatu piksel yang bertetangga yang memiliki jarak d diantara keduanya, dapat terletak di delapan arah yang berlainan, hal ini ditunjukkan pada Gambar 2.1. Dengan menambahkan transposnya, matriks simetrik akan diperoleh, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.3, tapi hasilnya masih belum ternormalisasi. Oleh karena itu, proses normalisasi harus dilakukan untuk menghapus ketergantungan pada ukuran citra dengan mengatur semua elemen dalam matriks sehingga total dari semua nilai elemen sama dengan 1. Gambar 2.4 merupakan hasil dari matriks yang telah ternormalisasi.
Berikut ini ketentuan untuk hubungan pasangan titiktitik dengan sudut 0o, 45o, 90o, dan 135o pada jarak r (Putra, 2009). , ( 1, 2) ( , ), (, ) ∈ : = − = 0, | − | = ,
, = 1, , = 2
(2.2)
, ( 1, 2) ( , ), (, ) ∈ ∶ ⎧ ⎫ ⎪ ( − = , | − | = −) ⎪ = ⎨$ ( − = −, − = ) ,⎬ ⎪ ⎪ , = 1, , = 2 ⎩ âŽ
(2.3)
Gambar 2.1 Hubungan ketetanggaan antar piksel sebagai fungsi orientasi dan jarak spasial (Kulkarni dan Patil, 2012)
37
Jurnal Teknologi Informasi dan Komunikasi, ISSN : 2087 - 0868, Volume 5 Nomor 2 Agustus 2014 Sedangkan Gambar 2.2 menggambarkan bagaimana untuk menghasilkan matriks menggunakan arah 0o dan dengan jarak 1 piksel.
0 1 2 3
0 0 0 0 2
1 0 0 2 2
2 1 1 2 3
3 1 1 2 3
0 1 2 3
0 1 2 3
1 0,1 1,1 2,1 3,1
2 0,2 1,2 2,2 3,2
3 0,3 1,3 2,3 3,3
0 2 0 0 0
1 2 2 0 0
2 1 0 3 0
3 0 0 1 1
Komposisi dari piksel 3 dan 3
(a) Akumulasi komposisi piksel
Gambar 2.2 Langkah pertama mengubah GLCM
2 0 0 0
2 2 0 0
1 0 3 0
2 0 2 0 .+1 1 0 1
0 2 0 0
0 0 3 1
4 0 2 0 .=1 0 0 1
2 4 0 0
1 0 6 1
0 0 . 1 2
Gambar 2.3 Prosedure membuat matriks simetrik
Gambar 2.3menjelaskan perubahan urutan matriks dari baris ke kolom lalu dijumlahkan dan akan menghasilkan matriks GLCM sebelum normalisasi. 4 ⎡ 24 ⎢ 2 ⎢ 24 ⎢ ⎢1 ⎢24 ⎢0 ⎣24
2 24 4 24 0 24 0 24
1 24 0 24 6 24 1 24
0 ⎤ 24⎥ 0 ⎥ 24⎥ 1⎥ 24⎥ 2⎥ 24⎦
Gambar 2.4 Matriks ternormalisasi (Kadir, dkk, 2011)
Sebagai contoh Tabel 2.2, diketahui masukan citra array berukuran 8x8 piksel 8 derajat keabuan dengan rentang nilai (0, 7)
Tabel 2.2. Array ukuran 8x8
38
1
1
5
5
0
0
1
0
1
1
2
2
0
1
0
1
1
7
6
6
5
5
0
0
0
7
6
7
5
5
5
5
7
6
7
3
5
7
0
1
1
4
1
6
5
6
1
2
2
4
1
1
5
1
1
1
2
2
0
0
0
0
5
Dari Tabel 2.2 dapat dihitung probabilitas hubungan ketetanggaan antara dua piksel pada jarak dan orientasi sudut tertentu. Kemudian dihitung dengan jarak spasial 1 dan sudut 900 dan akan diperoleh matriks kookurensi yang dapat dihitung ciri statistik yang merepresentasikan citra yang diamati. Karena matriks dari tabel 2.2 tersebut memiliki delapan aras keabuan, maka jumlah nilai piksel ketetanggaan dan nilai piksel referensi pada area kerja matriks berjumlah delapan, seperti tampak pada Tabel 2.3.
(c) Komposisi piksel
(b) Gambar Asli Komposisi dari piksel 0 dan 0
0 0,0 1,0 2,0 3,0
4
Tabel 2.3 Area kerja matriks 0
1
2
3
4
5
6
7
0
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
1
1,0
1,1
1,2
1,3
1,4
1,5
1,6
1,7
2
2,0
2,1
2,2
2,3
2,4
2,5
2,6
2,7
3
3,0
3,1
3,2
3,3
3,4
3,5
3,6
3,7
4
4,0
4,1
4,2
4,3
4,4
4,5
4,6
4,7
5
5,0
5,1
5,2
5,3
5,4
5,5
5,6
5,7
6
6,0
6,1
6,2
6,3
6,4
6,5
6,6
6,7
7
7,0
7,1
7,2
7,3
7,4
7,5
7,6
7,7
Langkah selanjutnya yaitu menghitung nilai matriks dengan mengisikan jumlah hubungan spasial sehingga akan menghasilkan nilai matriks seperti pada Tabel 2.4.
PENGARUH INTENSITAS CAHAYA TERHADAP HASIL PENGENALAN CITRA DENGAN GRAY LEVEL COOCCURRENCE MATRIX DAN PROBABILISTIC NEURAL NETWORK
Tabel 2.4 Pembentukan matriks kookurensi GL
0
1
2
3
4
5
6
7
0
2
6
0
0
0
2
0
0
1
3
4
1
0
1
0
2
2
2
0
2
1
0
1
2
0
0
3
0
0
0
0
0
1
0
0
4
1
0
0
0
1
0
1
0
5
3
2
0
0
0
5
0
0
6
0
0
2
1
0
0
2
1
7
0
1
0
0
0
1
1
3
Proses yang ditunjukkan mulai Tabel 2.2, Tabel 2.3 dan Tabel 2.4 merupakan langkah pertama mengubah GLCM. Langkah selanjutnya nilai dari hasil pertama GLCM dicari nilai transposnya. Hasil dari nilai transpose dijumlahkan dengan nilai hasil pertama GLCM dan akan menghasilkan nilai matriks yang belum ternormalisasi seperti berikut. 2 ⎡3 ⎢0 ⎢ ⎢0 ⎢1 ⎢3 ⎢0 ⎣0
6 4 2 0 0 2 0 1
0 1 1 0 0 0 2 0
0 0 0 0 0 0 1 0
0 1 1 0 1 0 0 0
2 0 2 1 0 5 0 1
0 2 0 0 1 0 2 1
0 2⎤ 0⎥ ⎥ 0⎥ + 0⎥ 0⎥ 1⎥ 3⎦
2 ⎡6 ⎢0 ⎢ ⎢0 ⎢0 ⎢2 ⎢0 ⎣0
3 4 1 0 1 0 2 2
0 2 1 0 1 2 0 0
0 0 0 0 0 1 0 0
1 0 0 0 1 0 1 0
3 2 0 0 0 5 0 0
0 0 2 1 0 0 2 1
0 1⎤ 0⎥ ⎥ 0⎥ = 0⎥ 1⎥ 1⎥ 3⎦
4 ⎡9 ⎢ 0 ⎢ ⎢0 ⎢1 ⎢5 ⎢0 ⎣0
9 8 3 0 1 2 2 3
0 3 2 0 1 2 2 0
0 0 0 0 0 1 1 0
1 1 1 0 2 0 1 0
5 2 2 1 0 10 0 1
0 2 2 1 1 0 4 2
0 3⎤ ⎥ 0 ⎥ 0⎥ 0⎥ 1⎥ 2⎥ 6⎦
Matriks yang telah simetris di atas selanjutnya harus dinormalisasi elemen-elemennya yang dinyatakan dengan probabilitas. Nilai elemen untuk masingmasing sel dibagi dengan jumlah seluruh elemen spasial seperti berikut.
⎡ ⎢ * ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣
*
A
+
+
+
⎤ + ⎥ ⎥
⎥
⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥
⎥
B ⎥ ⎦
Setelah diperoleh matriks kookurensinya dapat dihitung ciri 39tatic orde-dua yang merepresentasikan citra wajah. Dalam matriks kookurensi, terdapat sebelas ciri tekstur yang dapat diperoleh dari suatu citra yang digunakan sebagai pembeda antara citra dengan kelas tertentu atau kelas lainnya. Ciri-ciri tersebut adalah : 1.
Momen Angular Kedua Moment) ASM = C C D (E, ) F
(Angular Second Energi (2.6)
= √HIJ
2.
Kontras (Contrast) CONTRAST = C C(E − ) D (E, ) F
3.
Homogenitas (Homogeneity) Homogenitas = C C F
4.
(2.7)
D (E, ) 1 + |E − |
(2.8)
Korelasi (Correlation) COR = C C F
E D (E, ) − K KL M ML
(2.9)
2.4. Jaringan Syaraf Tiruan Probabilistik. Pada tahun 1990, Donald F. Specht mengusulkan jaringan yang didasarkan pada pengklasifikasi jarak tetangga terdekat dan menamakannya sebagai "Jaringan Syaraf Probabilistik" (Santhanam dan Radhika, 2011). Jaringan syaraf probabilistik dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah klasifikasi (Gill dan Sohal, 2008). Ketika lapisan pertama diberikan masukan yang menghitung jarak dari vektor masukan terhadap
39
Jurnal Teknologi Informasi dan Komunikasi, ISSN : 2087 - 0868, Volume 5 Nomor 2 Agustus 2014 vektor masukan pelatihan, dan menghasilkan vektor yang elemen-elemennya menandakan seberapa dekat masukan terhadap masukan pelatihan. Lapisan kedua menjumlahkan kontribusi ini untuk setiap masukan kelas untuk menghasilkan vektor keluaran jaringan PNN. Fungsi pada lapisan keluaran kedua mengambil probabilitas maksimum dan menghasilkan nilai 1 untuk kelas yang sesuai dan nilai 0 untuk kelas yang tidak sesuai.
memiliki parameter penghalus, σk, yang berbeda satu dengan yang lain dan menerapkan algoritma belajar yang baru untuk memperoleh σk secara otomatis. Apabila tiap kelas memiliki parameter yang memiliki fungsi peluang dapat ditulis sebagai :
Jaringan syaraf tiruan probabilistik dibangun menggunakan ide dari teori probabilitas klasik, seperti pengklasifikasi bayesian (bayesian classification) dan pengestimasian klasik (classical estimator) untuk fungsi kerapatan probabilitas (probability density function), untuk membentuk sebuah jaringan syaraf sebagai pengklasifikasi pola (Harmoko, dkk, 2004).
dimana |O | adalah jumlah pola latih pada kelas Ck; m merupakan dimensi vektor pola masukan; dan wi adalah vektor bobot pada pola latih ke-i (Mao, dkk, 2000).
Jaringan syaraf tiruan probabilistik tergolong dalam pembelajaran terawasi (supervised learning) dan merupakan model yang dibentuk berdasarkan penaksir fungsi peluang. Model ini memberikan unjuk kerja pengklasifikasian yang sangat baik dan cepat dalam pelatihan karena dilakukan hanya dalam satu tahap pelatihan. Suatu parameter tunggal, σ, mengendalikan jaringan dari pengaruh tiap pola pada penaksiran fungsi peluang. Metode Bayes untuk mengklasifikasikan pola menggunakan suatu aturan pengambilan keputusan yang meminimalkan risiko yang dihadapi. Misalkan terdapat n kelas, C0, C1, C2, …, Cn-1; diasumsikan pola yang diamati adalah variabel acak x dengan mdimensi dan fungsi padat peluang bersyarat x, bila diketahui bahwa pola tersebut berasal dari kelas Ck, dinotasikan dengan N( |O ). Dengan menerapkan aturan pertama dari Bayes, dapat ditulis peluang berikutnya dari variabel x pada kelas Ck sebagai : N( |O )(O ) N( )
N( |O ) =
1
C U N[−‖ (2T) M |O | WX ∈YZ − \F ‖ /(2M )]
Xm-1
(2.12)
Pr (C0 X)
Kelas Keputusan
X0 Unit-unit Masukan
Pr (Cn X)
Unit-unit Hasil Penjumlahan
Lapisan Keputusan
Unit-unit Pola
Gambar 2.5 Arsitektur jaringan syaraf tiruan probabilistik (Suyanto, 2011)
Berikut contoh ilustrasi proses perhitungan dalam Jaringan Syaraf Tiruan Probabilistik, dengan fungsi pnn sebagai berikut : net = newpnn(P,T,spread) P : matriks masukan berukuran RxQ yang berisi Q vektor masukan T : matriks klas target berukuran SxQ yang berisi Q vektor target
(2.10)
Spread : lebar (penyebaran) fungsi basis radial (default = 0.1).
Keputusan dari masalah tersebut dapat diformulasikan dengan cara yang lebih umum untuk meminimalkan resiko yaitu dengan meminimalkan peluang. Aturan keputusan Bayes dalam kasus ini cukup sederhana untuk menentukan kelas Ck, yaitu dengan memilih (O | ) yang paling besar, hal ini berarti :
Misalkan masukan data terletak pada matriks P dan target terletak pada vemtor T sebagai berikut :
Pr(O | ) =
Q( ) = O jika N SO O
N( |O )(O ) >
(2.11)
Model jaringan syaraf tiruan probabilistik yang dibuat oleh Cain memperbolehkan setiap kelas
40
P = [0 -1 -2 5 1 6 10 8 12; 0 1 3 3 7 -1 3 8 -1]; T = [1 1 1 2 2 2 3 3 3]; Kemudian vektor target T harus diubah ke dalam bentuk vektor, dengan instruksi : Tt = ind2vec(T);. Kemudian dibentuk jaringan probabilistik, net, dengan nilai spead = 0.01, dengan instriksi net = newpnn(P,Tt,0.01);. Jaringan ini akan menghasilkan bobot-bobot :
PENGARUH INTENSITAS CAHAYA TERHADAP HASIL PENGENALAN CITRA DENGAN GRAY LEVEL COOCCURRENCE MATRIX DAN PROBABILISTIC NEURAL NETWORK
Bobot_Masukan = 0
Studi Literatur
0
Pendeteksian Wajah (face detection)
Akuisisi data wajah (pengambilan gambar)
-1
1
-2
3
5
3
1
7
6
-1
10
3
8
8
12
-1
Proses Prapengolahan (preprocessing)
Pengenalan Wajah (face recognition)
Pengenalan data dengan PNN
Ekstraksi ciri dengan GLCM
Simpan ke basisdata
Hasil : prosentase pengenalan wajah dikenal dan tidak dikenal
Analisis Hasil
Laporan Hasil
Gambar 3.1. Desain penelitian
Kemudian hasilnya dapat dilihat dengan instruksi
3.3. Algoritma Program
Ht = sim(net,P);
Adapun algoritma ekstraksi ciri yang akan dilakukan seperti Gambar 3.2 berikut :
H = vec2ind(Ht); Hasilnya adalah : Mulai
H=111222333 Masukkan Citra Wajah
Proses Prapengolahan (preprocessing)
3.1. Bahan Penelitian Bahan penelitian diperoleh dari pengambilan citra wajah sebanyak 20 orang dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Ekstraksi ciri dengan GLCM
Pencocokan
tidak
Pencocokan
tidak
Tingkat Penolakan Salah
ya
Tabel 3.1 Faktor pengambilan citra wajah tiap orang Intensitas Cahaya (lux) 5 perbedaan intensitas cahaya
Jarak 3 perbeda an jarak
Gerakan Ekspresi dan Sudut
Jumlah
Depan ( 1x )
1 citra
Dari depan ke atas ( 1x )
1 citra
Dari depan ke bawah ( 1x )
1 citra
Dari depan ke kanan ( 2x )
2 citra
Dari depan ke kiri ( 2x )
2 citra
Keluaran Citra benar
Tingkat Penerimaan Salah
Selesai
Gambar 3.2 Algoritma proses identifikasi citra wajah
4.1. Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian merupakan jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan pada awal penelitian. Bagaimana merancang sistem pengenalan citra wajah secara waktu nyata dengan menggunakan metode GLCM dan PNN.
3.2. Metode Pengumpulan Data Studi literatur merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai berikut.
Gambar 4.1 Tampilan pelatihan
41
Jurnal Teknologi Informasi dan Komunikasi, ISSN : 2087 - 0868, Volume 5 Nomor 2 Agustus 2014 1.
Tampilan pengujian data
Pada proses pengujian ini dilakukan dalam 2 tahap yaitu proses pengujian secara tidak langsung dan proses pengujian secara langsung. Pada proses pengujian secara tidak langsung basisdata hasil dari proses pelatihan diuji dengan beberapa citra wajah baik dari jarak, sudut dan cahaya yang berbeda. Sedangkan pada proses pengujian secara langsung basisdata hasil proses pelatihan diuji dengan citra wajah yang diperoleh dari kamera secara langsung. Gambar 4.2 berikut merupakan tampilan proses pengujian. Proses pengujian tidak langsung dilakukan dengan jalan memilih basisdata jaringan dengan memilih menu Browse pada basisdata jaringan, dan citra wajah yang akan diuji dapat dipilih dengan memelih menu Browse pada Citra wajah. Citra wajah yang akan diuji akan tampil pada area yang ditunjukkan dengan nomor 2 pada Gambar 4.2, sedangkan hasil dari pengujian akan tampil pada area yang ditunjukkan dengan nomor 3 pada Gambar 4.2, sedangkan proses pengujian secara langsung citra wajah yang akan diuji bersumber dari kamera dengan memilih tombol Preview kemudian citra wajah akan tampil pada area yang ditunjukkan dengan nomor 1. Untuk mengambil citra wajah langkah selanjutnya memilih tombol Ambil Citra yang kemudian citra wajah yang akan diuji akan ditampilkan pada area yang ditunjukkan dengan nomor 2, sedangkan hasil dari pengujian akan tampil pada area yang ditunjukkan dengan nomor 3 pada Gambar 4.2. Kolom isian nama akan menampilkan nama dari pemilik citra wajah dan kolom isian waktu pengenalan merupakan waktu yang dicatat selama proses pengenalan.
1 3 Gambar 4.2 Tampilan pengujian 42
2
4.2. Pengujian Sistem Pengujian sistem dilakukan untuk mengetahui kemampuan pengenalan citra wajah. Pengujian sistem menggunakan data citra wajah dari tahap pelatihan dan menggunakan citra wajah yang diambil secara waktu nyata (realtime). Pengujian sistem menggunakan data citra wajah dilakukan dengan 7 kali percobaan untuk tiap individu. Berikut data penelitian yang diperoleh dari hasil pelatihan dan pengujian sistem dengan membandingkan berdasarkan intensitas cahaya, jarak, posisi dan ekspresi wajah. 1.
Pengujian sistem data citra wajah dari tahap pelatihan
Proses yang dilakukan pada tahap pelatihan adalah menguji citra wajah dengan mencocokkan antara basisdata dengan citra wajah yang ada secara bergantian.
Tabel 4.1 Tahap pelatihan Jarak Kategori Cahaya
30 cm
50 cm
Waktu
100 cm
Waktu Status
(detik)
Waktu Status
(detik)
Status (detik)
1
148.14
gagal
144.54
gagal
151.28
gagal
2
143.47
gagal
139.49
gagal
146.40
gagal
3
145.48
berhasil
141.46
berhasil
143.80
berhasil
4
148.53
berhasil
141.17
berhasil
142.66
berhasil
5
144.16
berhasil
142.31
berhasil
148.06
berhasil
Berdasarkan hasil pengujian yang ditunjukkan pada Tabel 4.1 bahwa pada saat dilakukan tahap pelatihan terhadap citra wajah ada yang gagal dan ada yang berhasil. Tahap pelatihan yang gagal ditunjukkan pada Tabel 4.1 dengan warna merah yaitu pada kategori cahaya 1 dan 2 dengan jarak 30 cm, 50 cm dan 100 cm, sendangkan yang berhasil berwarna hijau pada kategori cahaya 3, 4 dan 5 dengan jarak 30 cm, 50 cm dan 100 cm. Kegagalan pada yang terjadi pada tahap pelatihan ini disebabkan karena faktor intensitas cahaya kurang, sedangkan pada intensitas cahaya yang cukup dan baik berhasil.
PENGARUH INTENSITAS CAHAYA TERHADAP HASIL PENGENALAN CITRA DENGAN GRAY LEVEL COOCCURRENCE MATRIX DAN PROBABILISTIC NEURAL NETWORK
Tabel 4.2 Tabel hasil pengukuran intensitas cahaya Kategori Cahaya
1
2
3
4
5
Citra 1
3 lux
10 lux
21 lux
90 lux
127 lux
Citra 2
3 lux
13 lux
23 lux
91 lux
126 lux
Citra 3
2 lux
12 lux
21 lux
90 lux
127 lux
Citra 4
4 lux
14 lux
20 lux
95 lux
127 lux
Citra 5
5 lux
13 lux
22 lux
94 lux
130 lux
Citra 6
5 lux
11 lux
25 lux
93 lux
129 lux
Citra 7
4 lux
15 lux
23 lux
93 lux
126 lux
Dari masing-masing kategori cahaya tersebut dilakukan proses pengamatan intensitas cahaya sebanyak 7 kali pada saat pengambilan citra wajah kemudian di ambil nilai terkecil dan nilai terbesar dari setiap kategori cahaya tersebut untuk dijadikan sebagai batasan nilai ambang intensitas cahaya seperti ditunjukkan pada Tabel 4.3
Tabel 4.3 Kategori cahaya Nilai Ambang Kategori cahaya
Min
2 lux
10 lux
20 lux
90 lux
126 lux
Max
5 lux
15 lux
25 lux
95 lux
130 lux
Proses yang dilakukan seperti ditunjukkan pada Tabel 4.2 sebagai berikut. Kategori cahaya yang di pakai merupakan kategori cahaya dalam ruangan dengan ukuran 3 m x 8 m saat terjadinya proses pengambilan citra wajah pada tahap pelatihan dan tahap pengujian. Kategori cahaya yang digunakan meliputi : a.
Kategori cahaya 5 ruangan pada proses pengambilan citra wajah menggunakan 2 buah penerangan dengan lokasi penerangan berada diatas objek citra wajah dan yang satunya berada di depan tetapi tetap diatap.
b.
Kategori cahaya 4 ruangan pada proses pengambilan citra wajah menggunakan 1 buah penerangan dengan posisi penerangan hanya yang berada diatas objek citra wajah yang menyala.
c.
Kategori cahaya 3 ruangan pada proses pengambilan citra wajah menggunakan 1 buah penerangan dengan posisi penerangan hanya yang berada di depan yang menyala.
d.
Kategori cahaya 2 ruangan pada proses pengambilan citra wajah tidak menggunakan penerangan dalam tetapi menggunakan penerangan yang bersumber pada sinar matahari dengan posisi pintu ruangan dibuka dan dilakukan antara jam 11 sampai dengan jam 13 siang.
e.
Kategori cahaya 1 ruangan pada proses pengambilan citra wajah tidak menggunakan penerangan dalam tetapi menggunakan penerangan yang bersumber pada sinar matahari dengan posisi pintu tertutup.
2.
1-5 lux
10-15 lux
2025 lux
90-95 lux
126130 lux
1
2
3
4
5
Pengujian sistem.
Proses pengujian sistem yang dilakukan menggunakan basisdata yang yang bersumber pada basisdata kategori cahaya 3, kategori cahaya 4 dan kategori cahaya 5 yang masing-masing pada jarak sama yaitu 30 cm. Dari basisdata tersebut diuji prosentase tingkat kecocokannya berdasarkan kategori cahaya dan jarak yang berbeda. Pada proses pengujian ini didapatkan basisdata seperti ditunjukkan pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Tabel hasil pengujian citra wajah
Dari hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai tertinggi pada proses pengujian ini sebesar 82,86 % pada jarak 30 cm dan kategori cahaya 4 dengan basisdata pada jarak 30 cm dan kategori cahaya 5. Hasil ini menunjukkan bahwa cahaya dan jarak mempengaruhi hasil pengujian. Hasil pengujian menunjukkan prosentase pengenalan sebesar 100 % dikarenakan data uji yang digunakan juga sebagai basisdata. Proses pengenalan citra wajah berdasarkan jarak antara objek citra wajah dengan kamera juga menunjukkan perbedaan seperti ditunjukkan pada Tabel 4.4 bahwa semakin jauh jarak pengambilan citra wajah maka prosentase tingkat pengenalannya semakin kecil. Sedangkan bila dilihat dari faktor cahaya juga mengalami perbedaan tingkat
43
Jurnal Teknologi Informasi dan Komunikasi, ISSN : 2087 - 0868, Volume 5 Nomor 2 Agustus 2014 pengenalan citra wajah dimana semakin terang intensitas cahaya yang digunakan maka tingkat pengenalannya semakin tinggi dan sebaliknya bila intensitas cahaya berkurang maka pengenalan citra wajah jauh lebih kecil.
5. Kesimpulan Penelitian tentang pengaruh cahaya terhadap proses pengenalan wajah dengan GLCM dan PNN yang dihasilkan adalah bahwa pencahayaan sangat penting sekali dalam hal pengenalan wajah, mulai dari pencahayaan disaat pengambilan citra wajah maupun disaat pengujian citra wajah. Terbukti dengan hasil penelitian ini bahwa semakin terang intensitas cahayanya maka prosentase tingkat pengenalannya semakin tinggi dan sebaliknya bila intensitas cahaya kurang maka prosentase tingkat pengenalannya kecil.
Daftar Pustaka Albregtsen, F., 2008. Statistical Texture Measures Computed from Gray Level Coocurrence Matrices, Image Processing Laboratory, Department of Informatics, University of Oslo. Arifin, S.Z., 2007. Pengaruh Intensitas Cahaya Matahari dan Triakontanol Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Biji Bayam, Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 1, Fakultas Pertanian UPN "Veteran" Yogyakarta. Ashari, A., Ikhwanudin, 2013. Kajian Terhadap Kenyamanan Ruang Teori Di Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta Ditinjau Dari Pencahayaan Alami Dan Pencahayaan Campuran, Jurnal Teknik Sipil, Universitas Negeri Yogyakarta. Bayu, S., Hedriawan, A., dan Susetyoko, R, 2009. Penerapan Face Recognition Dengan Metode Eigenface dalam Intelligent Home Security, skripsi, Politeknik Elektronika Negeri Surabaya Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Sukolilo, Surabaya. Fatta, H.A., 2009. Rekayasa Sistem Pengenalan Wajah, Andi Offset, Yogyakarta. Gill, G.S., dan Sohal, J.S., 2008. Battlefield Decision Making : A Neural Network Approach, Journal of Theoretical and Applied 44
Information Technology, Vol.4, No.8, 697699. Ghorpade, S., Ghorpade, J., Mantri, S., Ghorpade, D., 2010. Neural Networks for Face Recognition using SOM, IJCT Vol.1 Issue 2, Desember. Gorodnichy, D.O., 2004. Introduction to the First IEEE Workshop on Face Processing in Video, Conference Publications, 27 – 02 Juni, 61. Harmoko, S.A., Kusumoputro, B., Rangkuti, M., 2004. Ekstraksi Ciri Gray Level CoOccurrence Matrix Dan Probabilistic Neural Network Untuk Pengenalan Cacat Pengelasan, Departemen Fisika FMIPA, Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Indonesia. Kadir, A., Nugroho, L.E., Susanto, A., dan Santosa, P.I., 2011. Neural Network Application on Foliage Plant Identification, International Journal of Computer Application (09758887), Vol.29. No.9, 15-22. Kulkarni, A.H., dan Patil, S.B., 2012. Automated Garment identification and defect detection model based on Texture Features and PNN, International Journal of Latest Trends in Engineering and Technology, Vol. 1, Issue 2 July. Kung, S.Y., 1999. Synergistic Modeling and Applications of Hierarchical Fuzzy Neural Networks, Proceedings of the IEEE Vol. 87 No.9, 1550-1574. Maheshwary, P., dan Sricastava, N., 2009. Prototype System for Retrieval of Remote Sensing Images based on Color Moment and Gray Level Co-Occurrence Matrix, IJCSI International Journal of Computer Science Issues, Vol. 3. Mao, K.Z., Tan, K.C., dan Ser, W., 2000. Probabilistic Neural-Network Structure Determination for Patten Classification, IEEE Transactions on neural networks, Vol. 11 No.4. Nie, F., Gao, C., Guo, Y., dan Gan, M., 2011. Twodimensional minimum local cross-entropy thresholding based on co-occurrence matrix, Computer and Electrical Engineering 37, 757767.
PENGARUH INTENSITAS CAHAYA TERHADAP HASIL PENGENALAN CITRA DENGAN GRAY LEVEL COOCCURRENCE MATRIX DAN PROBABILISTIC NEURAL NETWORK
Putra, D., 2009. Sistem Biometrika. Konsep Dasar, Teknik Analisis Citra dan Tahapan Membangun Aplikasi Sistem Biometrika, Andi Offset, Yogyakarta. Santhanam, T., dan Radhika, S., 2011. Probabilistic Neural Network – A Better Solution for Noise Classification, Journal of Theoretical and Applied Information Technology, Vol. 27 No.1, 39-42. Suyanto, S.T., 2011. Artificial Informatika. Bandung.
Intelligence,
Tori, E.K., 2012. Analisis Pengaruh Intensitas Cahaya pada Pengepakan Bando di Mesin Injection CV. Prima Lestari, Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknik Universitas Mercu Buana Jakarta. Vinitha, K.V., 2009. Face Recognition using Probabilistic Neural Networks, Conference Publications, 9 - 11 Desember, 1388-1393. Zhou, S., Krueger, V., dan Chellappa, R., 2003. Probabilistic recognition of human faces from video, Computer Vision and Image Understanding 91, 214245.
45