IDENTIFIKASI HAMA TANAMAN CABAI DENGAN MEMBANDINGKAN PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS DAN GRAY LEVEL CO-OCCURRENCE MATRIX SEBAGAI EKSTRAKSI CIRI RINI WINDYASTUTI1, TOTO HARYANTO*1, NINA MARYANA2 Abstrak Cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura jenis sayuran buah yang bernilai ekonomi tinggi. Produktivitas cabai yang relatif masih rendah di antaranya disebabkan oleh serangan hama. Salah satu cara mengidentifikasi hama yaitu dengan menggunakan sistem identifikasi secara otomatis berbasis pemrosesan citra digital. Pada penelitian ini dilakukan perbandingan dua ekstraksi ciri yaitu Principal Component Analysis (PCA) dan Gray Level Co- ccurrence Matrix (GLCM) dengan klasifikasi menggunakan Probabilistic Neural Network (PNN). Ekstraksi ciri PCA yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan proporsi 80%, 90%, dan 95% dan ekstraksi ciri GLCM menggunakan sudut 00, 450, 900, dan 1350. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil akurasi identifikasi dengan menggunakan ekstraksi ciri GLCM lebih baik dibandingkan PCA. Hasil akurasi tertinggi pada GLCM yaitu sebesar 72% sementaradengan PCA menghasilkan akurasi maksimu sebesar 65%. Kata kunci : Gray Level Co-Occurrence
atrix, Hama, PNN, Principal Component Analysis Abstract
Chili is a type of vegetables horticulture with high value economically. he decrease of Chili’s productivity caused by presence of pests. Pests identification can be conducted by automatic system pests identification based on digital image processing. In this research, two features extraction algorithms were used for the system, i.e. Principal Component Analysis (PCA) and the Gray Level Co-Occurrence atrix (GLC ). or identification, Probabilistic Neural Network (PNN) will be conducted. Various principal in PCA for this research start from 80%, 90%, and 95% while GLC uses angles of 00, 450, 900, and 1350. he results show that GLC is better performance than PCA for feature extraction. he highest accuracy obtained from GLC feature extraction and PNN classify with the value of 72% while PCA and PNN classify with the value of 65%. Keywords: Gray Level Co-Occurrence
atrix, pest, PNN, Principal Component Analysis
PENDAHULUAN Cabai (Capsicum annum) adalah salah satu komoditas hortikultura jenis sayuran buah yang bernilai ekonomi tinggi dan cocok untuk dikembangkan di daerah tropika seperti Indonesia. Penduduk Indonesia sangat menggemari cabai karena dapat digunakan pada beraneka masakan. Dengan demikian, prospek pemasaran cabai sangat cerah dan potensi pasarnya cukup tinggi. Menurut data Deptan (2012), rata-rata konsumsi cabai per kapita adalah 1 500 gram per tahun. Dengan jumlah penduduk sebanyak 237.6 juta (sensus tahun 2010), berarti Indonesia membutuhkan cabai sebanyak 356 400 ton per tahun. Sekalipun ada kecenderungan peningkatan kebutuhan, tetapi permintaan terhadap cabai merah untuk kebutuhan sehari-hari berfluktuasi, yang disebabkan oleh naik turunnya harga cabai yang 1
Departemen Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680 Penulis Korespondensi : Telp: 08567332055; Surel:
[email protected]. 2 Departemen Hama dan Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680 *
104
terjadi di pasar eceran. Faktor yang menyebabkan produktivitas cabai rendah di Indonesia di antaranya disebabkan oleh gangguan organisme pengganggu tanaman (Suryaningsih dan Hadisoeganda 2007). Kerusakan yang disebabkan oleh serangan hama pada cabai masih merupakan penyebab utama kegagalan panen sehingga hama menjadi faktor penting yang harus diperhatikan dalam budidaya tanaman cabai. Pada identifikasi hama cabai, yang masih biasa dilakukan adalah masih secara manual dengan membawa hama serangga ke laboratorium dan diidentifikasi dengan merujuknya pada buku identifikasi baik berupa kunci identifikasi maupun gambar acuan atau membandingkan dengan spesimen pembanding di laboratorium. Untuk mempermudah proses identifikasi, dikembangkan suatu sistem berbasis citra yang dapat mengidentifikasi hama secara otomatis. Pada penelitian Ashar (2009) sistem pakar diagnosa hama dapat digunakan sebagai alat bantu identifikasi sementara di lapang, namunmasih perlu pengembangan. Salah satu pengembangan dalam identifikasi hama dapat dilakukan dengan cara pengolahan citra digital. Penelitian yang terkait hal ini di antaranya PCA berbasis klasifikasi postur manusia (Tahir et al. 2007). Hasil yang diperoleh adalah Principal Component Analysis (PCA) mampu menghasilkan akurasi yang tinggi sebesar 98%. Kemudian penelitian Hartadi (2011) mendeteksi potensi kanker payudara pada mammogram dengan menggunakan metode Gray Level Co-occurrence Matrix (GLCM). GLCM mampu mendapatkan akurasi sebesar 86%. Selanjutnya identifikasi tumbuhan obat menggunakan fitur citra morfologi, tekstur, dan bentuk dengan klasifikasi Probabilistic Neural Network (Nurfadhilah 2011). Hasil yang diperoleh PNN mampu mendapatkan akurasi sebesar 74.67%. Berdasarkan latar belakang tersebut, pada penelitian ini dilakukan identifikasi hama tanaman cabai berbasis citra dengan membandingkan ekstraksi ciri PCA dan GLCM menggunakan klasifikasi PNN.
METODE Metode yang digunakan terdiri atas tahap pengumpulan data citra, praproses, data dibagi menjadi data uji dan data latih menggunakan k-fold cross validation, ekstraksi ciri citra, model klasifikasi, dan evaluasi. Pada tahap pengumpulan data citra, Data citra yang digunakan dari tujuh jenis hama. Data diambil menggunakan kamera digital dan tools dino capture. Ukuran citra dari kamera digital 3872x2592 pixel, sedangkan ukuran citra dari dino capture adalah 1280x1024 pixel. Jenis hama yang digunakan pada penelitian ini ialah Kutu daun persik (Myzus persicae Sulz.), Trips (Trips parvispinus Karny), Lalat buah (Bactrocera dorsalisHendel), Ulat grayak (Spodoptera litura Fabricus), Ulat buah (Helicoverpa armigera Hubner), Wereng kapas (Empoascasp.). Selanjutnya dilakukan praproses, Tahapan praproses citra yang dilakukan ialah data di-resize menjadi 60x60 pixel , Selanjutnya mengubah citra RGB menjadi grayscale kemudian hasil citra grayscale dilakukan proses pemfilteran. Pemfilteran digunakan untuk pemulusan citra agar citra menjadi tampak lebih baik untuk analisis. Penghalusan citra pada penelitian inimenggunakan operator Sobel karena operator ini mampu untuk mengurangi noise. Operator Sobel adalah magnitude dari gradient yang dihitung dengan : M = √𝑆 2𝑥 + 𝑆 2𝑦 Turunan parsial dihitung dengan rumus : sx = (a2 + ca3 + a4 )- (a0 + ca7 + a6 ) sy = (a0 + ca1 + a2 )- (a6 + ca5 + a4 ) Persamaan gradient pada operator Sobel dapat dilihat di bawah ini. −1 0 1 1 2 1 𝑠𝑋 = [−2 0 2] 𝑠𝑦 = [ 0 0 0] −1 0 1 −1 −2 −1
PROSIDING SEMINAR ILMIAH ILMU KOMPUTER 2014 Peran Teknologi Informasi dalam Pengarusutamaan Pertanian
105
Tahap berikutnya adalah proses ekstraksi ciri, penelitian ini dilakukan perbandingan antara dua ekstraksi ciri yaitu PCA dan GLCM. Pada tahap ekstraksi ciri dengan menggunakan metode PCA, data yang dimasukkan pada ekstraksi ciri PCA harus dalam bentuk vektor. Data citra yang dihasilkan pada tahap praproses berukuran 60x60 pixel akan ditransformasikan menjadi vektor yang berukuran 1x3600. Setelah itu pada proses PCA dilakukan perhitungan nilai rata-rata seluruh citra. Perhitungan rata-rata nol (zero mean) dari suatu data citra dengan mengurangkan nilai masing-masing data citra dengan rata-rata seluruh data citra. Kemudian dilakukan penggandaan rata-rata seluruh data citra sebanyak data citra. Hasil perhitungan zero mean digunakan untuk mendapatkan nilai matriks kovarian dengan mengalikan transposzero mean, untuk mendapatkan ciri dari suatu data yang direpresentasikan dalam bentuk matriks, maka dihitung vektor eigen dan nilai eigen dari matriks kovarian. Nilai eigen yang dihasilkan berupa vektor kemudian diurutkan secara menurun dari nilai paling besar menuju nilai yang paling kecil. Vektor eigen yang bersesuaian dengan nilai terbesar dari nilai eigen mempunyai ciri yang paling dominan. Pada penelitian ini dilakukan 3 kali percobaan dengan proporsi yang berbeda yaitu 80%, 90%, dan 95% untuk direduksi dimensinya. Adapun pada tahap ekstraksi ciri dengan menggunakan metode GLCM, data citra yang dimasukkan pada GLCM ialah data citra hasil tahap praproses. Ekstraksi ciri GLCM yang dilakukan pertama kali ialah menormalisasikan jumlah elemennya sama dengan 1. Setiap elemen (i,j) dalam GLCM yang sudah dinormalisasi menunjukkan terjadinya peluang gabungan pasangan pixel dengan hubungan spasial yang didefinisikan memiliki tingkat keabuan i dan j pada citra. Teknik GLCM mencakup perhitungan entropi, kontras, energi, homogenitas, dan korelasi. Entropi berfungsi untuk mengukur keteracakan dari distribusi perbedaan lokal dalam citra (Gadkari 2004). Persamaan entropi dapat dilihat di bawah ini : entropi = - ∑ p(i,j)log p(i,j) i,j
Kontras menyatakan sebaran terang (lightness) dan gelap (darkness) di dalam sebuah gambar, befungsi untuk mengukur perbedaan lokal dalam citra (Gadkari 2004). Persamaan kontras dapat dilihat di bawah ini : kontras = ∑|i-j|2 p(i,j)2 i,j
Energi digunakan untuk mengukur konsentrasi pasangan graylevel. Nilai ini didapat dengan meningkatkan setiap elemen dalam GLCM, kemudian dijumlahkan (Gadkari 2004). Persamaan energi dapat dilihat di bawah ini : energi = ∑ p(i,j)2 i,j
Homogenitas berfungsi untuk mengukur kehomogenan variasi graylevel local dalam citra (Gadkari 2004) dan korelasi mengukur seberapa berkorelasi pixel dengan tetangganya. Persamaan homogenitas dan korelasi dapat dilihat di bawah ini : p(i,j) homogenitas = ∑ 1+ |i-j| i,j
(i-μi)(j-μj)p(i,j) σi σj dengan µ i adalah nilai rata-rata baris ke-i , µ j adalah nilai rata-rata kolom ke-j pada matriks p. σi adalah standar deviasi baris ke-i dan σj adalah standar deviasi kolom ke-j pada matriks p. korelasi =
106
Setelah dilakukan ekstraksi ciri seluruh data hasil ekstraksi ciri masing-masing dibagi menjadi data latih dan data uji. Pembagian data latih dan data uji dilakukan dengan menggunakan metode k-fold cross validation dengan menggunakan kombinasi k = 5. Data akan dibagi menjadi 5 subset (S1, S2, S3, S4 , S5) sehingga pembagian data latih dana data uji yang digunakan yaitu 24 citra data latih dan 6 citra data uji. Proses identifikasi akan dilakukan 5 kali iterasi. Iterasi pertama fold S2, S3. S4 dan S5 akan digunakan sebagai data latih sedangkan fold S1 akan digunakan sebagai data uji. Pada iterasi kedua foldS1, S3, S4 dan S5 akan digunakan sebagai data latih sedangkan foldS2 akan digunakan sebagai data uji, dan seterusnya. Fold yang digunakan untuk data latih dan data uji disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Data latih dan data uji
Fold ke1 2 3 4 5
Data latih S2, S3, S4, S5 S1, S3, S4, S5 S1, S2, S4, S5 S1, S2, S3, S5 S1, S2, S3, S4
Data uji S1 S2 S3 S4 S5
Klasifikasi dapat dilakukan setelah matriks terpisah komponennya menjadi data latih dan data uji. Setelah itu hasilnya dapat dilihat seberapa banyak data yang cocok dan yang tidak cocok dari pembagian data latih serta data uji. Banyaknya kelas target pada penelitian ini adalah tujuh sesuai dengan jenis hama yang diidentifikasi. Citra yang digunakan pada proses klasifikasi adalah citra hasil proses pendeteksian tepi. Input matriks yang akan masuk pada tahap pelatihan PNN merupakan hasil proyeksi vektor hasil ekstraksi terhadap citra latih. Input layer merupakan matriks berukuran 60x60 yang berasal dari citra hama cabai. Pada pattern layer dihitung jarak vektor data latih ke vektor data uji. Pada summation layer, setiap keluaran pattern layer akan dijumlahkan dengan keluaran dari pattern layer lainnya yang berada dalam satu kelas untuk menghasilkan probabilitas vektor output. Pada output layer, akan diambil nilai maksimum dari vektor output. Proses pelatihan digunakan data hasil dari kombinasi subset dari k-fold cross validation untuk masing-masing kelas. Proses pengujian dilakukan dengan menggunakan data berdasarkan k-fold cross validation untuk masing-masing kelas. Masing-masing data uji akan dijadikan input layer yang kemudian dihitung peluangnya terhadap masing-masing kelas yang ada pada sistem. Nilai peluang terbesar yang dihasilkan data uji merupakan kelas yang merepresentasikan data uji tersebut. Dari hasil masing-masing matriks yang diklasifikasikan dengan PNN akan ditentukan dan dibandingkan melalui besaran akurasi yang berhasil dicapai. Akurasi dapat dihitung dengan persamaan berikut : ∑ data uji benar klasifikasi ×100% Akurasi = ∑ jumlah data uji
Spesifikasi perangkat keras dan perangkat lunak Spesifikasi perangkat keras dan perangkat lunak yang digunakan dalam pengembangan penelitian ini adalah processor Intel(R) Pentium(R) CPU P6100 @2.00GHz,memori DDR3 4.00 GB,harddisk 320GB,sistem operasi Windows 8 Pro,MATLAB 7.7.0 (R2008b).
HASIL DAN PEMBAHASAN Data citra hama Penelitian ini menggunakan 7 jenis hama dengan masing-masing jenis memiliki 30 citra hama sehingga total citra hama sebanyak 210 citra dengan format JPEG. Data diambil menggunakan kamera digital dan tools dino capture. Ukuran citra dari kamera digital 2488×2120 pixel, sedangkan ukuran citra dari dino capture adalah 1280×1024 pixel. Kelas PROSIDING SEMINAR ILMIAH ILMU KOMPUTER 2014 Peran Teknologi Informasi dalam Pengarusutamaan Pertanian
107
citra terdiri atas: . parvispinus, litura, dan larva H. armigera.
. persicae, Empoasca sp,
. dorsalis, H. armigera, S.
Praproses Tahapan praproses pada citra yang dilakukan ialah dilakukan cropping secara manual kemudian mengubah citra asli menjadi 60×60 pixel. Setelah itu citra diubah dari citra RGB menjadi grayscale kemudian hasil citra grayscale dilakukan proses pemfilteran menggunakan operator Sobel. Hasil praproses ini di-input-kan pada proses ekstraksi ciri GLCM, sedangkan pada proses ekstraksi PCA data citra yang dihasilkan pada tahap praproses berukuran 60×60 pixel ditransformasikan menjadi vektor yang berukuran 1×3600 sehingga matriks citra latih yang di-input-kan pada proses ekstraksi ciri PCA berukuran 168×3600, dengan 168 merupakan banyak citra yang dilatih. Ekstraksi ciri dengan menggunakan PCA Pada proses PCA terbentuk matriks kovarian berukuran 3600×3600 dengan menghasilkan nilai eigen yang mewakili 3600 kolom. Penggunaan proporsi 80, 90, dan 95% dengan menggunakan data latih S2, S3, S4, dan S5 berdasarkan 5-fold cross validation pada percobaan pertama dengan menggunakan proporsi 80% menghasilkan komponen utama berdimensi 68, yang berarti data sebanyak 68 kolom mewakili sebesar 80% data citra. Komponen utama dari proporsi 80% berupa matriks berukuran 3600×68. Matriks PCA yang menjadi input pada PNN merupakan hasil proyeksi dari matriks citra latih hasil normalisasi dengan komponen utama. Dengan demikian, dimensi matriks input PNN pada percobaan pertama adalah 168×68. Komponen utama yang dihasilkan pada percobaan ke dua dengan menggunakan proporsi 90% yaitu menghasilkan komponen utama berupa matriks berukuran 3600×101. Dimensi matriks input PNN berdasarkan proporsi 90% adalah 168×101. Pada percobaan ke tiga dengan menggunakan proporsi 95% menghasilkan komponen utama berdimensi 125, yang berarti data sebanyak 125 kolom mewakili sebesar 95% citra. Komponen utama dari proporsi 95% berupa matriks berukuran 3600×125. Dengan demikian dimensi matriks input PNN pada percobaan ke tiga adalah 168×125. Kemudian masingmasing percobaan dilakukan pengujian dengan data uji berdasarkan 5-fold cross validation menggunakan klasifikasi PNN dengan proporsi 80, 90, dan 95% (Tabel 2).
Tabel 2 Hasil akurasi (%) PCA dengan menggunakan proporsi 80, 90 dan 95%
Proporsi (%)
Fold
Rata-rata
1
2
3
4
5
80
64
69
57
67
67
65
90
55
50
55
64
60
57
95
50 48 50 57 55
52
Tingkat akurasi yang paling tinggi yaitu sebesar 69% pada fold kedua dengan menggunakan proporsi 80% dan data uji S2. Hasil rata-rata akurasi pada ketiga proporsi ini menunjukkan akurasi optimum tercapai dengan menggunakan PCA proporsi 80%. Hal ini menunjukkan bahwa dengan semakin besarnya komponen utama yang digunakan tidak selalu memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap akurasi.
108
Ekstraksi ciri dengan menggunakan GLCM Data hasil tahap praproses diekstraksi ciri menggunakan GLCM, kemudian setiap citra dibuat matriks co-occurrence dengan sudut yang digunakan yaitu 0, 45, 90 dan 135º dengan jarak 1, 2, dan 3. Pertama dilakukan perhitungan nilai peluang antar nilai pixel yang berdekatan secara horizontal, diagonal, dan vertikal sesuai dengan sudut yang ditentukan dengan jarak. Kemudian hasil matriks peluang dinormalisasi yaitu nilai peluang pasangan pixel dibagi dengan jumlah semua peluang nilai pixel berdekatan sehingga hasil penjumlahan pixel dalam matriks sama dengan 1. Selanjutnya dari hasil tersebut dilakukan perhitungan entropi, energi, homogenitas, kontras, dan korelasi. Hasil perhitungan tersebut membentuk dimensi matriks input PNN yaitu 168×5. Hasil percobaan dilakukan menggunakan jarak 1, 2 dan 3dengan sudut 00, 450, 900, dan 1350 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil akurasi rata-rata dalam (%) lima fold GLCM menggunakan jarak 1,2 dan 3
Sudut (0)
jarak 1
2
3
0
63
66
64
45
66
66
72
90
66
70
68
135
64
68
71
Perbandingan hasil akurasi PCA dengan GLCM
Akurasi (%)
Perbandingan nilai akurasi rata-rata identifikasi hama tanaman cabai menggunakan PCA dengan proporsi 80% dan GLCM pada sudut 45 0 dengan jarak 3 dengan menggunakan 5-fold cross validation dapat dilihat pada Gambar 1 . Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa PCA memiliki akurasi yang lebih rendah dibandingkan dengan GLCM dengan akurasi rata-rata tertinggi pada PCA sebesar 65% dan GLCM 72%. Hal ini dapat disebabkan oleh data latih masing-masing dalam satu kelas memiliki variasi tinggi sehingga matriks penciri yang dihasilkan PCA dalam satu kelas berada pada ruang dimensi yang berbeda. Hal tersebut dapat meyulitkan dalam proses identifikasi. Adapun dengan menggunakan GLCM, GLCM mampu meminimalisir variasi data latih. Matriks penciri yang dihasilkan pada GLCM memperhitungkan keseluruhan pasangan dua pixel bersebelahan yang mencakup perhitungan kontras, korelasi, energi, homogenitas, dan entropi sehingga ciri ini yang mempengaruhi proses identifikasi.
PCA GLCM Fold
Gambar 1. Grafik perbandingan akurasi rata-rata PCA dengan GLCM
Analisis pengaruh data citra hama hasil ekstraksi ciri PCA terhadap identifikasi Tabel 4 merupakan confusion matrix perbandingan setiap kelas, terlihat penyebaran masing-masing hama setiap kelas dan hama yang masuk ke kelas yang tidak sesuai yang PROSIDING SEMINAR ILMIAH ILMU KOMPUTER 2014 Peran Teknologi Informasi dalam Pengarusutamaan Pertanian
109
menyebabkan akurasi rata-rata paling rendah. Pada kelas 2 ( . persicae), dari 6 data hama uji hanya 1 yang teridentifikasi benar. Hal ini dapat disebabkan oleh data latih yang digunakan pada kelas 2 ( . persicae) memiliki variasi bentuk pola pelatihan cukup tinggi yang dapat dilihat pada Gambar 2. Tabel 4 Hasil confusion matrix PCA dengan data uji S3
Kelas hama 1 2 3 4 5 6 7
1 5 1 2
2 1
3 1 4 4
4
5
6
7
6 1 1
3 2 2 Rata-rata
2 1
2 4
Keterangan: 1 = hrips parvispinus 2 = yzus persicae 3 = Empoasca sp. 4 = Helicoverpa armigera
Akurasi (%) 83 17 67 100 33 33 67 57
5 = actrocera dorsalis 6 = Spodoptera litura 7 = larva Helicoverpa armigera
Gambar 2 Data latih M. persicae
Analisis pengaruh data citra hama hasil ekstraksi ciri GLCM terhadap identifikasi Tabel 5 merupakan confusion matrix penyebaran masing-masing hama setiap kelas dan hama yang masuk ke kelas yang tidak sesuai sehingga memiliki akurasi rata-rata paling rendah. Pada kelas 1 ( . parvispinus), dari 6 data hama yang diuji teridentifikasi benar ada 2. Hal ini dapat disebabkan kelas ini memiliki kemiripan nilai-nilai ciri yang tinggi dengan beberapa kelas lain dan dapat disebabkan beragamnya variasi pola pelatihan yang digunakan. Hal lain dapat disebabkan oleh beragamnya nilai kontras. Pengaruh nilai kontras pada hasil pengujian dapat dilihat pada selisih dari nilai rata-rata ciri GLCM pada data latih dan data uji kelas 1 ( . parvispinus). Tabel 5 Hasil confusion matrix GLCM menggunakan data uji S2, sudut 450 dan jarak 3
Kelas hama 1 2 3 4 5 6 7
1
2
2
4
5
6
2
1
1
4 1
2 4
7
6 6 1 1 3 Rata-rata
Keterangan: 1 = hrips parvispinus 2 = yzus persicae 3 = Empoasca sp. 4 = Helicoverpa armigera
110
3
4 2
1 1
Akurasi (%) 33 100 100 67 67 67 17 64
5 = actrocera dorsalis 6 = Spodoptera litura 7 = larva Helicoverpa armigera
Hasil selisih dari nilai rata-rata ciri GLCM pada data latih dan data uji kelas 1 ( . parvispinus) dapat dilihat pada Tabel 6. Dari nilai rata-rata 5 ciri terlihat bahwa nilai kontras pada kelas ini memiliki selisih tertinggi dibandingkan dengan ke empat ciri lainnya. Tabel 6 Selisih dari nilai rata-rata ciri GLCM kelas 1 (T. parvispinus)
Data Data Latih Data Uji Selisih
Entropi
Kontras 8.363522 8.835385 0.471863
0 0 0
Homogen 0.590530 0.550718 0.039812
Energi 0.116208 0.078399 0.037809
Korelasi 0.280557 0.297466 0.016909
Dengan selisih kontras tersebut, diduga menjadi penyebab akurasi yang rendah ketika melakukan klasifikasi. Visualiasi hasil pengujian kelas 1 (T. parvispinus) dapat dilihat pada Gambar 3.
Data Latih
Data Uji
Gambar 3 Contoh citra hama data latih dan data uji pada kelas 1 (T. parvispinus)
Ekstraksi Ciri Menggunakan GLCM Tanpa Resize Proses ekstraksi ciri GLCM tanpa resize dilakukan pada 3 percobaan dengan menggunakan jarak 1, 2 dan 3 berdasarkan 5-fold cross validation. Perbandingan Hasil akurasi berbabagai jarak 1 dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Hasil akurasi rata-rata dalam (%)GLCM tanpa resize dengan jarak 1,2 dan 3
Sudut (o) 0 45 90 135
1 85 73 80 76
Jarak 2 85 70 74 66
3 79 68 70 65
Data citra hasil tahap praproses dengan resize dan tanpa resize pada ekstraksi ciri GLCM dapat mempengaruhi hasil akurasi pada proses identifikasi. Hal ini dapat disebabkan dengan melakukan resize, dapat menghilangkan tekstur citra yang sebenarnya dan menurunkan kualitas citra. Hal lain dapat disebabkan oleh pada kelas 6 dan kelas 7 memiliki tekstur dan bentuk tubuh yang memanjang dengan ukuran citra 1500 x 500, kemudian dilakukan resize ukuran citra menjadi 60 x 60 sehingga menghasilkan citra yang memampat. Hal tersebut dapat menyebabkan kesalahan proses identifikasi.
PROSIDING SEMINAR ILMIAH ILMU KOMPUTER 2014 Peran Teknologi Informasi dalam Pengarusutamaan Pertanian
111
SIMPULAN Program dapat mengklasifikasikan citra hama tanaman cabai ke dalam kelas tertentu dengan tingkat pengenalan masukan yang berbeda untuk setiap fold. Hasil percobaan dengan proporsi 80, 90, dan 95% ekstraksi ciri PCA pada penelitian ini menunjukkan bahwa semakin besarnya komponen utama yang digunakan tidak selalu memberikan pengaruh lebih baik terhadap akurasi. Analisis tekstur dengan menggunakan metode GLCM dapat digunakan sebagai metode untuk analisis citra hama tanaman cabai. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat pengenalan citra hama tanaman cabai ialah pemilihan data latih, teknik pengambilan citra dan pemilihan parameter ekstraksi ciri. Secara keseluruhan proses pengenalan hama tanaman cabai dengan menggunakan GLCM memberikan hasil akurasi rata-rata yang lebih baik dibandingkan PCA. Hasil akurasi tertinggi pada GLCM yaitu sebesar 72% dengan menggunakan jarak 3 dan sudut 45o. Hasil akurasi tertinggi pada PCA yaitu sebesar 65% dengan menggunakan proporsi 80%.
DAFTAR PUSTAKA Ashar BL. 2009. Sistem Pakar Diagnosa Hama Dan Penyakit Tanaman Cabai Besar Merah (Capsicum Annum L.) [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. [Deptan] Departemen Pertanian. 2012. Survei Sosial Ekonomi Nasional [internet]. [diunduh 2012 Okt 11]. Tersedia pada: http://www.deptan.go.id/Indikator/tabe-15b-konsumsirata.pdf. Gadkari D. 2004. Image Quality Analysis Using GLCM [Tesis]. Orlando (US): University of Central Florida. Hartadi R. 2011. Deteksi Potensi Kanker Payudara Pada Mammogram Menggunakan Metode Gray Level Co-Occurrence Matrices [Skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Nurfadhilah E. 2011. Identifikasi Tumbuhan Obat Menggunakan Fitur Citra Morfologi, Tekstur Dan Bentuk Dengan Klasifikasi Probabilistic Neural Network[skripsi].Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Suryaningsih E, Hadisoeganda AWW. 2007. Pengendalian Hama Dan Penyakit Penting Cabai Dengan Pestisida Biorasional. J Hort. 17(3): 261-269. Tahir NMD, Hussain A, Samad SA, Husain H. 2007. PCA-Based Human Posture Classification. J Teknologi. 46 (D): 35-44.
112