EKSISTENSI KITAB FIKIH DALAM PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN TAHUN 2010
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
ZAHROTUL KAMILAH NIM : 1111044100077
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M
EI$ISTENSI KITAB FIKIH DALAM PERTIMBANGAN PUTUSAN rl
HAKIM PERKARA CERAI TAI"AK DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN TAIIUN
2O1O
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.SV)
Oleh:
ZAHROTUL KAMILAH
NIM:
1111044100077
a
KONSENTRASI PERADILAN AGAM
a
,
PROGRAM STUDI IIUKUM KELUARGA FAKI'LTAS SYARIAII DAN IIUKUM UNWERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF IIIDAYATULLAH JAKARTA 1436 Ht2015
M
I
I
I
LEMBAR PER}TYATA.AI\T Dengan ini saya menyatakan bahwa:
l.
Skripsi ini merupakan karya asli saya yang di ajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memenuhi gelar Stata Satu (SD
Negeri
runD
di Universitas Islam
Syarif flidayatullah Jalorta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
di Universitas Islam Negeri ([mD
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika dikemudian hari terbukti
bt*u
karya ini bukan hasil karya asli saya atau
menrpakan hasil jiplakan dmi karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku
di Universitas Islarn Negeri (uhD Syarif Hidayatullatr
Jakarta.
rttt0ut00077
ABSTRAK Zahrotul Kamilah. 1111044100077. “Eksistensi Kitab Fikih dalam Pertimbangan Putusan Hakim Perkara Cerai Talak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2010.” Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2015, vii + 77 + 29. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui posisi kitab fikih dalam pertimbangan hukum pada putusan cerai talak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tahun 2010. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan yuridis sosiologis. Sumber penelitian terdiri dari data primer berupa salinan putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta selatan dan data sekunder berasal dari buku-buku. Subyek dalam penelitian ini adalah individu yaitu hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan berupa wawancara, dan observasi. Berdasarkan data yang telah penulis jelaskan maka dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan kitab fikih di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tahun 2010 dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara cerai talak sebanyak 6% sebagai landasan hukum. Hal ini sesuai dengan data perkara cerai talak pada tahun 2010. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan lebih banyak menggunakan KHI sebagai dasar pertimbangan putusan, diketahui bahwa sebanyak 100% KHI digunakan sebagai landasan hukum perkara cerai talak, PP No. 9 Tahun 1975 menempati 94% sebagai landasan hukum, UU No. 1 Tahun 1974 menempati 86% sebagai landasan hukum, UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan Perubahan ke-II dengan UU No. 50 Tahun 2009 menempati 80% sebagai landasan hukum dan Yurisprudensi menempati 3% sebagai landasan hukum. Dari hasil persentase tersebut menandakan bahwa hakim agama hanya merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sebagai rujukan atau sumber utama dalam memutus perkara. Tidak lagi melakukan ijtihad dengan mencari dasar dalam kitab fikih, dengan demikian bahwa hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara menganut teori hukum positivisme, dimana hakim dalam melakukan pertimbangan terfokus pada peraturan perundang-undangan. Kata Kunci
: Fikih, Cerai Talak, Pengadilan Agama, Teori Hukum Positivisme, Teori Hukum Progresif dan Teori Penegakan Hukum.
Pembimbing : Kamarusdiana, S.Ag., M.H. Daftar Pustaka : 1986 s.d 2013.
i
KATA PENGANTAR ﺑﺴﻢ ﷲ اﻟﺮ ﺣﻤﻦ اﻟﺮ ﺣﯿﻢ
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., yang senantiasa memberi rahmat, taufik, dan hidayah-Nya-lah penulis dapat menyelesaikan skripsi dalam rangka memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi dan Rasul Muhammad SAW., kepada segenap keluarganya, sahabatsahabatnya serta ummatnya sepanjang zaman. Selama proses dan perjalanan untuk menyelesaikan skripsi ini tidaklah mudah. Banyak hambatan dan rintangan yang penulis temui dan alami, berkat kesungguhan hati dan kerja keras serta doa, akhirnya penulis sampai pada titik akhir penulisan skripsi ini. Penulis juga tidak menutup mata akan peran berbagai pihak yang telah banyak
membantu
dalam
proses
penyelesaian
skripsi
ini.
Untuk
itu
perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada: 1.
Bapak Prof. Asep Saepudin Jahar, MA.,Ph.D., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M.H., dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ii
3.
Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M.H., selaku Dosen Pembimbing skripsi yang tak pernah lelah membimbing dan meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan saran-saran, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4.
Ibu Dr. Hj. Mesraini, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selama menjalani aktifitas di kampus yang selalu memberikan motivasi dan dukunga serta dorongan agar selalu bekerja dan berusaha maksimal demi menggapai mimpi.
5.
Seluruh Dosen, Staf dan Karyawan FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pemberitahuan, pemahaman dan pelayanan selama melaksanakan studi.
6.
Bapak Drs. Mustofa, SH., dan Bapak Saifuddin selaku Hakim, Bapak Pahrurrozi, SH., selaku panitera muda hukum dan seluruh Staf Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang telah membantu dan memberikan izin untuk melaksanakan observasi dan wawancara selama penulis mengadakan penelitian.
7.
Yang tercinta Ayahanda (H. Mukhtar Rosyidi, S.Ag), yang telah ikhlas memotivasi dengan moril maupun materil dan menjadi inspirasi penulis dalam penulisan skripsi ini. Demikian pula, yang tercinta Ibunda (Hj. Siti Hodijah), yang dengan ikhlas mencurahkan kasih sayang untuk penulis, yang tiada henti-hentinya mendoakan agar menjadi wanita yang tegar dalam menghadapi cobaan hidup dan menjadi kebanggaan Ayah dan Bunda. Amin.
8.
Untuk kakak dan adik-adikku yang tersayang: Arifudi, S.Pd.I., Nur’Aeni Murtafi’ah, S.H.I., Hasyim Asy’ari, S.Pd.I., Nur Wardatul Chilmi, S.Pd.,
iii
Muhammad Sahlan Arrosid dan Ahmad Izuddin Ihsan, yang dengan ikhlas mendoakan, memberikan semangat dan dukungan kepada penulis. 9.
Untuk sahabat-sahabatku: Diah Yuniardi, Nurfitria Harnia, Muzdalifah, S.Sy., Juniarti Harahap, Intan Pratiwi, Vemi Zauhara, Ai Siti Wasillah, Burhanatut Diana, Viviet Alfianita, Denise Nurhidyani, Am.Keb., Hatoli, S.Sy., Ana Matopani, S.H.I., dan Wawan Solihin, S.Sy., yang selalu sedia mendengarkan keluh kesah penulis selama penyususnan skripsi serta tiada hentinya memberikan semangat, motivasi dan dukungan kepada penulis dikala penulis sedang terpuruk dalam penyusunan skripsi.
10. Kawan-kawan
seperjuangan
Keluarga
Besar
Peradilan
Agama
dan
Administrasi Keperdataan Islam Angkatan 2011 yang telah memberikan warna serta pengalaman dalam menjalani perkuliahan selama ini. Serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuannya. Akhirnya tiada kata yang paling berharga kecuali ucapan Alhamdulillah atas Rahmat dan Karunia serta Ridha-Nya dan ucapan terima kasih penulis kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini. Besar harapan penulis bahwa penulisan ini dapat memberikan kontribusi yang positif untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan peradilan agama.
Jakarta, 1 April 2015
Penulis
iv
DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK ...................................................................................................................................... i KATA PENGANTAR................................................................................................................... ii DAFTAR ISI...................................................................................................................................v DAFTAR TABEL ....................................................................................................................... vii
BAB I
PENDAHULUAN......................................................................................................1 A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................................................7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..............................................................................8 D. Review Studi Terdahulu ........................................................................................8 E. Metode Penelitian ................................................................................................10 F. Sistematika Penulisan ..........................................................................................14
BAB II
TINJAUAN TEORI HUKUM DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA ..................................................................................................................................15 A. Teori Hukum Positivisme ....................................................................................15 B. Teori Hukum Progresif ........................................................................................18 1. Pengertian .......................................................................................................18 2. Hukum Sebagai Teks .....................................................................................18 3. Hukum Sebagai Perilaku ................................................................................21 C. Teori Penegakan Hukum......................................................................................23
v
BAB III
KAJIAN UMUM TENTANG FIKIH SEBAGAI SUMBER HUKUM PERKARA CERAI TALAK .................................................................................29 A. Pengertian dan Dasar Hukum Cerai Talak ..........................................................29 1. Pengertian Cerai Talak ....................................................................................29 2. Dasar Hukum Cerai ........................................................................................32 B. Konsep Fikih tentang Cerai Talak .......................................................................34 1. Macam-macam Perceraian .............................................................................34 2. Syarat-syarat Talak .........................................................................................38 3. Hukum Perceraian ..........................................................................................39 C. Cerai Talak di Pengadilan Agama .......................................................................40
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.....................................................45 A. Statistik Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.....................45 B. Posisi Kitab Fikih dalam Putusan Perkara Cerai Talak Tahun 2010 ...................50 C. Pendekatan Teori Hukum dalam Putusan Cerai Talak ........................................63 D. Analisis Penulis....................................................................................................68
BAB V
PENUTUP ...............................................................................................................73 A. Kesimpulan........................................................................................................73 B. Saran-saran ........................................................................................................73
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................75 LAMPIRAN
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Peradilan Agama adalah salah satu dari empat peradilan di lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia.1 Peradilan Agama bertugas dan berwenang untuk memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang beragama Islam, yaitu di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Berdasarkan ketentuan Undang-undang Peradilan Agama Pasal 49, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Intruksi Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, menjelaskan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang untuk memberikan pelayanan hukum dan keadilan dalam bidang hukum keluarga dan harta perkawinan bagi mereka yang mencari keadilan, yang beragama Islam, berdasarkan hukum Islam.2 Dalam catatan sejarah, sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, cerai talak tidak diatur dalam peraturan perundangundangan yang berlaku, penyelesaian cukup dilaksanakan di Kantor Urusan 1
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 15. 2
Kamarusdiana, Hukum Acara Peradilan Agama, (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah: Jakarta, 2013), h. 2.
1
2
Agama Kecamatan setempat. Cerai talak baru diatur secara rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam bagian-bagian sendiri dengan sebutan “cerai talak”, demikian juga Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama lebih mempertegas lagi mengenai keberadaan cerai talak.3 Mengenai perkara perceraian, dalam penjelasan Pasal 49 ayat (2) UUPA, dibedakan antara perceraian talak, dan gugatan perceraian. Dilihat dari pihak-pihak yang mengajukan, perceraian karena talak adalah permohonan cerai yang diajukan oleh suami, sedangkan gugatan perceraian adalah gugatan perceraian yang diajukan oleh pihak isteri. Menghindari perkara perceraian, suami dan isteri haruslah dapat membentuk keluarga yang sejahtera, dan bahagia, hal tersebut diperlukan norma agama dan tata aturan yang berlaku. Persoalan perkara cerai talak dalam pertimbangan hakim pada putusan cerai talak, dalam regulasi hukum di Indonesia selain mengacu pada: Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 juga diatur dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Melihat kepada ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 38, dijelaskan ada tiga sebab yang menjadi penyebab putusnya ikatan perkawinan antara seorang suami dengan seorang isteri yang menjadi pihak-pihak terikat dalam perkawinan yaitu karena
3
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Kencana: Jakarta, 2006), h. 18.
3
kematian, karena perceraian, dan atas keputusan pengadilan. 4 Selanjutnya ketentuan pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 66 ayat (1) menjelaskan, bahwa seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak.5 Berkaca pada kehidupan rumah tangga saat ini, seringkali antara suami isteri terjadi silang pendapat, percekcokan, dan pertengkaran terus menerus hingga berujung pada perceraian, hal ini sesuai dengan Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f ) KHI. Dimana alasan tersebut dijadikan oleh suami sebagai jalan terakhir untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan cara perceraian. Maka, penggunaan hak talak oleh suami hanya diperkenankan apabila mempunyai alasan tersebut.6 Hukum Islam menetapkan hak talak bagi suami dan suamilah yang memegang kendali talak, karena suami dipandang telah mampu memelihara kelangsungan hidup bersama. Suami diberi beban membayar mahar dan memikul nafkah isteri dan anak-anaknya. Demikian pula suami diwajibkan menjamin nafkah isteri selama ia menjalankan masa iddahnya. Hal-hal tersebut menjadi pengikat bagi suami untuk tidak menjatuhkan talak dengan 4
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), h.
117. 5
Abdul Manan dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, cet. V, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 28. 6
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), h. 120.
4
sesuka hati.7 Meskipun suami memiliki hak untuk menjatuhkan talak, namun dalam pelaksanaannya hak itu harus dibatasi. Qur’an memberikan prosedur perceraian yang baik yaitu apabila dikhawatirkan percekcokan antara suami isteri akan menyebabkan putusnya ikatan perkawinan, maka tunjuklah dua juru damai dari masing-masing pihak. Hal pertama kali yang dilakukan juru pendamai ialah harus mengusahakan kerukunan kembali antara keduanya, dan jika itu gagal, barulah ditempuh perceraian.8 Oleh karena itu, Islam hanya mengijinkan perceraian karena tidak ada jalan lain untuk keluar dari lingkaran ketegangan yang terus menerus dalam rumah tangga.9 Dapat diambil kesimpulan bahwa, cerai talak jika dilihat dari segi pihak-pihak yang mengajukannya dibedakan menjadi dua yaitu cerai gugat dan cerai talak. Perceraian yang diajukan oleh suami yaitu cerai talak dalam perkembangannya tidak hanya diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1975 tetapi juga diatur pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Pada sejumlah Peraturan Perundangundangan tersebut jelas mengatur aturan cerai talak. Dimana Peraturan Perundang-undangan tersebut dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara cerai talak. Sejumlah putusan cerai talak pada tahun 2010 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, mencatat pada dasar pertimbangan hukumnya, hakim menggunakan sumber pada; Undang-undang 7
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 205.
8
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, h. 30-31.
9
Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, cet. II, h, (Jakarta: RMBooks, 2012), 173.
5
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksana Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam hukum Islam ada beberapa syarat bagi seseorang yang menalak, di antaranya: (1) Baligh, (2) Berakal Sehat, (3) Atas Kehendak sendiri, (4) Betul-betul bermaksud menjatuhkan talak. Talak seseorang yang sedang marah dianggap sah manakala terbukti bahwa dia memang mempunyai maksud menjatuhkan talak. Sementara, Imamiyah menukil hadits dari Ahlilbait yang mengatakan bahwa tidak dianggap jatuh suatu talak kecuali bagi orang yang memang bermaksud menjatuhkan talak dan tidak ada talak kecuali disertai niat. Adapun pengarang kitab Al-Jawahir mengatakan bahwa kalau seseorang telah menjatuhkan talak dan sesudah mengucapkan talaknya itu dia mengatakan “saya tidak bermaksud menjatuhkan talak”, maka pernytaannya ini diterima sepanjang si istri masih dalam masa ‘iddah. Sebab, yang demikian itu merupakan informasi tentang niatnya yang tidak bisa diketahui siapa pun kecuali melalui pemberitahuannya sendiri.10 Persoalan cerai talak dapat dipahami mengingat banyaknya perkara yang masuk di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dan minimnya ketersediaan waktu pada persidangan membuat para hakim kurang efesien dalam memutuskan perkara cerai talak, dan lebih mengacu pada peraturan perudang-undangan saja. Sehingga, membuat keberadaan kitab fiqih menjadi semakin terbelakang. Peradilan menurut istilah ahli fiqih, adalah (1) lembaga hukum, dimana seseorang yang beragama Islam dapat mengajukan permohonan keadilan (2) perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya. Dari pengertian tersebut membawa kesimpulan bahwa 10
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, cet. XXVI, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 441-442.
6
tugas peradilan berarti menampakkan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan menetapkan sesuatu hukum. karena hukum itu sebenarnya telah ada dalam hal yang dihadapi hakim, dimana hukum Islam itu (syariat) telah ada sebelum manusia ada. Sedang hukum umum baru ada setelah manusia ada. Sedangkan hakim dalam hal ini hanya menerapkan hukum yang sudah ada dalam kehidupan, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada.11 Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu lembaga peradilan,
mempunyai
wewenang
untuk
menerima,
mengadili
dan
menyelesaikan perkara perdata tertentu tingkat pertama bagi masyarakat Jakarta Selatan yang beragama Islam, diantaranya perkara permohonan cerai talak. Berdasarkan penelitian awal yang penyusun lakukan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, diketahui bahwa umumnya dari putusan cerai talak tahun 2010 dalam pertimbangan hukum yang dilakukan oleh hakim mengacu pada: Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun `1975 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Namun, penulis belum melihat eksistensi kitab-kitab fikih dalam putusan cerai talak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Sehingga penulis tertarik pada tema “EKSISTENSI KITAB FIKIH DALAM PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN TAHUN 2010”.
11
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 3.
7
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan masalah Sejumlah Peraturan Perundang-undangan tentang perkawinan dijadikan rujukan oleh hakim dalam pertimbangan hukum pada perkara cerai talak. Agar permasalahan dalam penelitian skripsi ini tidak meluas, maka dalam penelitian ini, penulis memfokuskan dan membatasi pada salinan putusan cerai talak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tahun 2010 dengan jumlah putusan sebanyak 549 perkara cerai talak. Pengambilan sampel 10% dari jumlah salinan putusan dan dilakukan secara acak, sehingga jumlah putusan yang diteliti sejumlah 50 putusan. Adapun yang dimaksud dengan kitab fikih klasik adalah kitab asli hasil ijtihad para ulama yang salah satu pembahasannya tentang masalahmasalah perkawinan, seperti: kitab Al-Mahalli dengan karangan Imam Jalaluddin al Mahalli, kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh karangan Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, kitab Fiqh as-Sunnah karangan as-Sayyid Sabiq, kitab Bidayatul Mujtahid
karangan Ibnu Rusyd, kitab Fathul Baari
karangan Ibnu Hajar Al-Asqalani dan kitab Kifayatul Akhyar karangan AlImam Taqiyuddin Abu Bakar AlHusaini. 2. Perumusan masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana posisi kitab fikih dalam pertimbangan hukum pada putusan cerai talak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tahun 2010?
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui posisi kitab fikih dalam pertimbangan hukum pada putusan cerai talak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tahun 2010. Sementara manfaat penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan hukum keluarga dalam masalah perceraian pada masyarakat luas. 2. Secara praktisi, (a) diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi mahasiswa UIN syarif Hidayatullah Jakarta dan khusunya bagi mahasiswa Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah sserta masyarakat luas lainnya. (b) penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para praktisi hukum terutama di lingkungan Pengadilan Agama dan juga pihakpihak yang berminat terhadap masalah-masalah perceraian. D. Review Studi Terdahulu Berdasarkan telaah yang dilakukan terhadap beberapa sumber kepustakaan, penulis perlu melengkapi ataupun menyempurnakan penelitian ini karena dengan melakukan review studi terdahulu dapat menghindarkan penulis dari tuduhan duplikasi dan penjiplakan. Adapun review studi yang mirip dengan fokus penelitian adalah: No. 1.
Penulis dan Judul
Isi
Perbedaan
Moch. Fahmi Firmansyah, Skripsi ini membahas bahwa Skripsi Eksistensi
Peradilan sistem
penyelenggaraan mengangkat
ini
9
Agama
Pasca
Putusan kekuasaan
kehakiman
di permasalahan
Mahkamah Konstitusi No. Indonesia saat ini tidak lagi tentang 93/PUU-X/2012,
SAS, dilaksanakan oleh Mahkamah eksistensi kitab fikih
2013.
Agung
dan
peradilan
badan-badan dalam pertimbangan yang
berada hukum perkara cerai
dibawahnya. 2.
bagaimana
Miftahul
talak.
Arwani, Skripsi ini membahas tentang Skripsi
Pertimbangan
Hakim hakim dalam pemerikasaan membahas
dalam
memutuskan suatu
Perceraian
juga pertimbangan
Pengadilan tahun
dimana
dasar yang hakim
hasil dalam pertimbangan
di dari pembuktian itu akan hukum pada perkara
Agama digunakan
SAS, 2008.
adanya digunakan
(Studi pembuktian,
putusan
Ponorogo
perkara
Karena memerlukan
Perselingkuhan terhadap
ini
sebagai
2007), pertimbangan memutus
talak
dalam mengacu
perkara
pembuktian
bahan cerai
yang pada
karena peraturan
merupakan perundang-undangan
tahapan yang penting dalam yang berlaku. pemeriksaan di Persidangan. 3.
Asmiroh, Pasal
Pelaksanaan Skripsi 41C
Hakim
mengenai Dalam pertimbangan
Undang- ketidakkonsistenan hakim di hukum pada perkara
undang No. 1 Tahun 1974 Pengadilan Oleh
ini
Agama
Bantul cerai
talak
Terhadap dalam melaksanakan Pasal 41 dilakukan
Perkara Cerai Talak di c Undang-undang Nomor 1 hakim
yang oleh juga
10
Pengadilan Agama Bantul Tahun 1974
menggunakan
Tahun 2010, SAS, 2002.
keadilan.
E. Metode Penelitian Metode
penelitian
adalah
suatu
usaha
untuk
menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran atau menguji pengetahuan penulis dalam melakukan pendalaman secara kritis dan bijaksana. Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.12 Dalam pengumpulan bahan atau data penyusunan skripsi ini agar menemukan suatu kebenaran yang objektif, penulis menggunakan metode penelitian ilmiah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan dengan memakai pendekatan yuridis sosiologis. Penelitian yuridis sosiologis adalah suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena atau kejadian yang terjadi di lapangan.13 Sehingga dapat menggambarkan secara mendalam terhadap masalah yang diteliti14 dengan melakukan metode kualitatif, seperti observasi dimana peneliti mengumpulkan data dengan
12
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, cet. XV, (Bandung: CV Alfabeta, 2012), h. 2. 13
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo, 2001), h. 26. 14
Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (t.t.,: t.p., t.th), h. 27.
asas
11
cara bertatap muka langsung dan berinteraksi dengan data-data di tempat penelitian.15 Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif kualitatif, yakni bertujuan untuk mengetahui apa yang terjadi dilingkungan yang akan diteliti,16 hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat memaparkan hasil-hasil penelitian yang bersumber dari dokumen tertulis berupa putusan serta hasil wawancara. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sikap, dan persepsi Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam mengambil rujukan pada putusan cerai talak. 2. Sumber Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan data yang berhubungan dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Sumber data yang penulis gunakan terbagi dalam tiga bagian yaitu: a. Data primer Data primer ini berupa salinan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam perkara cerai talak tahun 2010. b. Data sekunder Data ini didapat dari hasil penelitian lapangan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang tidak hanya mengadakan penelitian langsung melalui wawancara dengan salah satu Hakim yang bertugas di 15
Syamsudin dan Vismala S. Damaianti, Metode Penelitian Pendidikan Bahas, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 73. 16
Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan: Kuantitatif dan Kualitatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 174.
12
Pengadilan Agama Jakarta Selatan tetapi juga dengan menggunakan beberapa literatur seperti buku-buku dan jurnal. c. Data tersier Data ini diperoleh dengan cara mengumpulkan dan menelaah beberapa literatur buku-buku ilmiah, kamus, ensiklopedia ataupun internet. 3. Teknik Pengumpulan Data Sebagai
tindak
lanjut
dalam
rangka
memperoleh
data
sebagaimana di harapkan, maka penulis melakukan pengumpulan dengan dua teknik penelitian yaitu: a. Penelitian kepustakaan (library research), dalam hal ini penulis mengadakan penelitian terhadap beberapa literatur yang ada kaitannya dengan penulisan skripsi ini, yang berupa putusan cerai talak 2010 Pengadilan Agama Jakarta Selatan, buku, artikel, jurnal, skripsi, surat kabar dan lain sebagainya. Hal yang dilakukan dalam melaksanakan penelitian kepustakaan ini adalah dengan cara membaca, mengutip, menganalisa dan merumuskan hal-hal yang dianggap perlu dalam memenuhi data dalam penelitian ini. b. Penelitian lapangan (Field research), dalam hal ini untuk mendapatkan data-data dan informasi tentang eksistensi kitab dalam putusan hakim perkara cerai talak tahun 2010, penulis langsung turun kelapangan pada obyek penelitian yaitu Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dengan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
13
1) Wawancara Wawancara dapat diartikan sebagai tukar-menukar pandangan antara dua orang atau lebih17. Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data yaitu dengan cara tanya jawab secara langsung menggunakan instrument pengumpulan data. Wawancara ini dimaksudkan untuk memperoleh data atau informasi dari pihak terkait yaitu Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 2) Observasi Observasi adalah teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan langsung pada salinan putusan perkara cerai talak tahun 2010, yang kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan penulisan skripsi ini. 4. Analisis data Data yang diperoleh yaitu data primer dan data sekunder, diolah kemudian dianalisis secara kualitatif dan selanjutnya disajikan secara deskriptif. 5. Lokasi penelitian Lokasi penelitian pada skripsi ini adalah Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Lokasi dipilih karena Pengadilan Agama yang berada di Jakarta Selatan merupaka kota yang komplek dan masyarakatnya metropolis.
17
Arief Subyantoro dan Fx. Suwarto, Metode dan Teknik Penelitian Sosial, (Yogyakarta: C.V ANDI Offset, 2007), h. 97.
14
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan terdiri dari 5 (lima) bab yang terdiri dari subsub yang dirinci sebagai berikut: Bab Pertama, merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab Kedua, membahas tentang teori positivisme, teori hukum progresif, dan teori penegakan hukum. Bab Ketiga, membahas tentang pengertian dan dasar hukum cerai talak, konsep fikih tentang cerai talak, dan cerai talak di Pengadilan Agama. Bab Keempat, berisi data statistik perkara cerai talak, posisi kitab fikih terhadap dalam putusan perkara cerai talak tahun 2010, pendekatan teori hukum dalam putusan cerai talak dan analisis penulis. Bab Kelima, adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
BAB II TINJAUAN TEORI HUKUM DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
A. Teori Hukum Positivisme Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan positivisme sebagai aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti.1 Positivisme adalah sebuah posisi filosofis yang menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah yang berasal dari observasi terhadap data dari pengalaman dan bukan dari spekulasi yang berusaha untuk “melihat ke balik” fakta-fakta yang diobservasi untuk mengetahui sebab utama, makna ataupun esensi.2 Hukum tidak bisa dilepaskan dari sejarah manusia, maka sudah sangat jelas bahwa perkembangan dan perubahan hukum tidak lepas daari dinamika sosial dengan segala kepentingan yang sesungguhnya berada dibelakang hukum. Hukum
itu
sendiri
tidak
bisa
dielakkan
selalu
berkembang,
namun
perkembangannya tidak bisa dipastikan berkembang kearah-arah tertentu. Masyarakat berubah, hukum juga harus berubah. Jika masyarakat Indonesia
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III, edisi III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 890. 2
Roger Cotterrell, Sosiologi Hukum, (Bandung: Nusa Media, 2012), h. 12.
15
16
sudah merdeka dari bangsa jajahan, maka hukumnya juga harus bersejalan dengan perubahan itu.3 H.L.A. Hart mengemukakan ciri-ciri positivisme, sebagai berikut: 1. Hukum hanyalah perintah penguasa, 2. Tidak ada hubungan mutlak antara hukum, moral dan etika,’ 3. Analisa tentang konsepsi-konsepsi hukum dibedakan dari penyelidikan sejarah dan sosiologi, 4. Sistem hukum haruslah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup yang diperoleh atas dasar logika, tanpa mempertimbangkan aspek sosial, politik, moral, maupun etika.4 Positivisme hukum dalam perkembangannya terbagi menjadi 2 (dua) aliran, yaitu: aliran Hukum Positif Analitis (Analitical Jurisprudence) dengan tokohnya John Austin, dan aliran Hukum Murni (Reine Rechts Lehre) dari Hans Kelsen. Austin mengemukakan tiga hal pokok positivisme hukum, yaitu: 1. Satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi pada suatu negara. Dengan demikian, hukum adalah perintah dari kekuatan politik di suatu negara yang memegang kekuasaan tertinggi (kedaulatan) di suatu negara,
3
Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum; Makna Dialog antara Hukum & Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 219-220. 4
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, cet. II, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2007), h. 162.
17
2. Hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup (Closed Logical system). Oleh karena itu, sebagai objek kajian, maka hukum harus dilepas dari unsur nilai, 3. Hukum haruslah memenuhi unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Tidak terpenuhinya keempat unsur tersebut, berarti hal tersebut bukanlah hukum, akan tetapi berupa moral positif.5 Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik pengertian bahwa, apabila disarikan maka bagi penganut mazhab positivisme hukum, dari segi bentuk maka “hukum dilihat sebagai undang-undang”, dari segi isi sebagai “perintah penguasa”, dan dari segi persyaratan terdiri dari “sanksi, perintah, kewajiban dan kedaulatan”, dengan demikian, otoritas yang membentuk hukum adalah penguasa yang berdaulat, yang bentuknya diidentikkan dengan undang-undang dan diberlakukan terhadap pihak yang dikuasi.6 Dengan demikian, hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat, hukum haruslah berfungsi sebagai sarana penggerak, hukum sebagai penegak keadilan. Untuk itu hukum harus diterima sebagai salah satu bagian sistem nilai kemasyarakatan yang bermanfaat bagi masyarakat sehingga keberlakuan hukum berguna bagi masyarakat.
5
Ibid., h. 163.
6
Ibid., h. 164.
18
B. Teori Hukum Progresif 1. Pengertian Progresif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kearah kemajuan, berhalu kearah perbaikan keadaan sekarang, bertingkat tingkat naik.7 Adapun pengertian hukum progresif, adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan. Terobosan tersebut di dasarkan pada prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia. 2. Hukum Sebagai Teks Manusia tidak memulai kehidupan bersamanya dengan membuat sistem hukum, melainkan membangun suatu masyarakat. Baru dari kehidupan bersama yang bernama masyarakat itu dilahirkan hukum. Modal pertama untuk membangun suatu kehidupan bersama adalah adanya saling percaya antara para anggotanya, tanpa modal tersebut yang ada hanyalah kumpulan dari sejumlah manusia yang tinggal pada suatu wilayah geografi tertentu yang
7
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III, edisi III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 897.
19
biasa disebut dengan komunitas. Selanjutnya kehidupan bersama yang lebih luas disebut sebagai masyarakat.8 Untuk mengerti hukum dengan baik kita perlu mengawalinya dengan perbincangan mengenai masyarakat. Hukum bermula dari masyarakat dan sepanjang waktu akan terus seperti itu. Persoalan-persoalan timbul manakala hukum diabstrakkan, yaitu dengan mengabaikan konteks kemasyarakatannya. Masyarakat manusia itu adalah otentik, sedang hukum itu institut yang lebih artifisial. Sejak hukum itu berbasis masyarakat (manusia), maka dari dalam kehidupan bersama itulah bahan-bahan untuk membangun sistem hukum diambil. Hukum menjadi institut yang otentik, oleh karena ia berangkat dari realitas masyarakat dan manusia. Hukum yang baik adalah yang ditimba dari bahan kehidupan bersama itu sendiri.9 Hukum sebagai skema adalah hukum sebagaimana di jumpai dalam teks atau perundang-undangan atau hukum yang dirumuskan dengan sengaja secara rasional. Sifat penting dari hukum tertulis terletak dalam kekakuannya (Lex dura sed tamen scripta-hukum itu keras/kaku, tetapi begitulah sifat tertulis itu). Begitu hukum itu dituliskan atau menjadi dokumen tertulis, maka perhatian bergeser kepada pelik-pelik penggunaannya sebagai sebuah dokumen tertulis. Apabila semula berhukum itu berkaitan dengan masalah
8
9
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009), h. 5-6. Ibid., h. 9-10.
20
keadilan atau pencarian keadilan, maka hukum itu sendiri dihadapkan kepada teks, pembacaan teks dan permaknaan teks.10 Beberapa praktisi dan pemikir hukum, seperti hakim Agung Oliver Wendell Holmes, meyadari ketidakadilan yang akan muncul dari penerapan rumusan yang umum atau teks-teks itu secara begitu saja. Karena banyak hal yang tidak terwadahi dalam teks tertulis, seperti suasana dan kebutuhankebutuhan yang ada pada suatu saat, serta moral yang dipeluk masyarakat pada suatu kurun waktu tertentu, tidak mungkin tertulis dalam teks hukum tersebut. Menurut Holmes hukum itu juga merupakan endapan dari pengalaman sejarah suatu bangsa selama berabad-abad, sehingga hukum tidak boleh digarap menggunakan silogisme. “it cannot be dealt with as if it contained only the axioms and corollaries of a book of mathematics.” Puchta dan Von Savigny mengatakan bahwa, hukum itu tidak dibuat secara sengaja, tetapi muncul dari dalam masyarakat sendiri. Maka hukum itu akan selalu ada selama masyarakatnya juga masih ada. Hukum itu akan lenyap seiring dengan punahnya masyarakat. Aliran ini dikenal sebagai Aliran Sejarah (Historische school, Historical Jurisprudence). Eugen Ehrlich juga berpendapat sama dan mengatakan, bahwa hukum itu tidak muncul dalam
10
Ibid., h. 11-14.
21
teks, dalam pengadilan dan dalam ilmu hukum, melainkan dalam masyarakat.11 3. Hukum Sebagai Perilaku Pada awalnya, hukum disebut sebagai folkways (kebiasaan). Kebiasaan merupakan perilaku yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Perilaku tersebut menjadi pola perilaku yang kemudian disebut norma. Misalnya kebiasaan untuk tidak makan di depan pintu, atau kebiasaan untuk melempar daun sirih dalam suatu upacara perkawinan adat jawa.12 Mengetahui perilaku manusia jika dilihat sebagai hukum, maka diperlukan kesediaan untuk mengubah konsep kita mengenal hukum, yaitu tidak hanya sebagai peratuan (rule), tetapi juga perilaku (behavior). Selama kita bersikukuh, bahwa hukum itu adalah peraturan dan tidak ada yang lain, maka sulitlah untuk memahami, bahwa hukum itu juga muncul dalam bentuk perilaku. Pada waktu para mahasiswa turun ke jalan di tahun 1998 mendesak Presiden Soeharto turun, secara sosiologis dapat dibaca, para mahasiswa sedang menulis teks konstitusi untuk memberhentikan Pemerintahan Soeharto. Apa yang kemudian dilakukan oleh MPR yang membuat putusan menurunkan Presiden Soeharto, hanyalah menyalin teks yang sudah di tulis para mahasiswa melalui perilaku berdemonstrasinya itu.
11
12
Ibid., h. 15-17.
Rianto Adi, Sosiologi Hukum kajian Hukum secara Sosiologis, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), h. 9.
22
Hukum sebagai teks itu diam dan hanya melalui perantaraan manusialah ia menjadi “hidup”. Dalam kepustakaan sosiologi hukum perantaraan seperti itu disebut sebagai mobilisasi hukum. Perilaku atau tindakan manusia itu dapat menambah dan mengubah teks. Penegakan hukum (law enforcement) adalah konsep normatif, di mana orang hanya tinggal mengaplikasikan apa yang ada dalam perundang-undangan.13 Hukum merupakan suatu produk budaya apabila dilihat sebagai suatu norma sosial, hukum hadir dalam masyarakat dengan bentuk budaya apapun. Pada masyarakat primitif pun sudah dijumpai hukum. Malinowski menegaskan, bahwa pada suatu masyarakat primitf, hukum timbul dari kebutuhan masyarakat. Gagasan itu terungkap bahwa ketika masyarakat tertentu hidup bersama, masyarakat tersebut menghasilkan pola tingkah laku tertentu. Anggota-anggota masyarakat harus memenuhi kebutuhan fisik, biologis, dan sosial sehingga mereka harus berusaha untuk bekerja sama dengan sesamanya dalam suatu kehidupan bermasyarakat. 14 Hukum sebagai perilaku itu muncul secara merta-merta atau spontan lewat interaksi antara para anggota masyarakat sendiri. Di situ masyarakat sendirilah merupakan pabrik yang memproduksi hukum, yaitu melalui perilaku. Indonesia mempunyai pengalaman dengan fenomena “hukum di13
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), h. 15. 14
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (t,t.,: t,tp., t.th), h. 53.
23
luar-teks”, seperti diuraikan mengenai penurunan Presiden Soeharto oleh para mahasiswa di muka. Perilaku hukum yang tampak sebagai mematuhi hukum, tidak selalu bertolak dari kesadaran untuk patuh kepada hukum. Perilaku tersebut dapat berupa sebuah perilaku yang mandiri tanpa ada hubungannya dengan kepatuhan hukum. Dengan demikian, hukum bereksistensi sebagai hasil kerja sama suatu masyarakat. Oleh karena itu, hidup bermasyarakat merupakan modus survival bagi manusia, hukum merupakan suatu yang inheren dengan kehidupan masyarakat manusia. 15 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tiada hukum tanpa masyarakat. Karena hukum tercipta dan diciptakan oleh masyarakat untuk dijadikan pedoman bertingkah laku anggota masyarakat dalam hubungannya dengan sesamanya.16 Hukum merupakan kebiasaan dari perilaku yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Perilaku tersebut menjadi pola perilaku yang lahir karna kebutuhan masyarakat yang disebut dengan hukum kebiasaan. C. Teori Penegakan Hukum Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan penegakan sebagai proses, cara, perbuatan menegakkan.17 Penegakan hukum adalah proses
15
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, h. 16.
16
Rianto Adi, Sosiologi Hukum kajian Hukum secara Sosiologis, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), h. 9. 17
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III, edisi III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 1155.
24
dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubunganhubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jimly Asshiddiqie menyatakan: Penegakan hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya. Bahkan, dalam artian yang lebih luas lagi, kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala aktivitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaidah normaif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana semestinya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap segala pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perUndang-undangan, khususnya yang lebih sempit lagi, melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat, atau pengacara, dan badan-badan peradilan.18 Masa transisi lazimnya dikatakan masa peralihan dari masa lalu ke masa depan, masa yang penuh konflik-konflik sosial dan konflik norma-norma. Peranan hukum dalam masa transisi lazimnya hanya ditujukan untuk mengisi kekosongan hukum sebagai dampak pemberlakuan hukum baru dalam konteks hukum lama untuk memelihara kelangsungan kehidupan masyarakat.19
18
Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum; Makna Dialog antara Hukum & Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 243-244. 19
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2001), h. 16.
25
Pada negara-negara yang sedang dalam masa transisi menuju demokrasi dan menuju ke negara yang menganut prinsip “Rule of law” atau “Rechtstaat”, hukum yang berlaku belum sepenuhnya mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Karena hukum-hukum tersebut (kepastian dan keadilan hukum) beluma spiratif (belum sepenuhnya dapat menyuarakan dan mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.20 Era kabinet reformasi pembangunan yang dibentuk sejak pengangkatan Habibie sebagai Presiden R.I ketiga dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan R.I merupakan era transisi, baik dalam bidang politik, hukum, ekonomi dan sosial budaya. Hukum dan penegakan hukum dalam era reformasi ini tidak dapat dipisahkan dari perilaku politik elit penguasa. Keterkaitan hukum dan penegak hukum dalam perilaku politik tersebut hanya dapat terjadi dalam suatu negara yang tidak demokratis dimana transparansi, supremasi hukum, promosi dan perlindungan HAM dikesampingkan. Penegakan hukum dalam era transisi tidak boleh surut karena dalam dunia akademis, para juris selalu berkata “sekalipun langit akan runtuh hukum tetap harus ditegakkan”. Oleh karena itu, masa transisi bukanlah alasan untuk tidak menegakkan secara baik, benar dan bertanggung jawab.21
20
Sutan Remy Sjahdeini dan dkk. Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006), h. 120. 21
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, h. 54.
26
Proses penegakan hukum (law enforcement process) dan proses pembentukan hukum nasional (law making process) saling berkaitan satu sama lain karena proses penegakan hukum yang baik, benar, dan bertanggung jawab dapat dipengaruhi oleh proses pembentukan hukum yang aspiratif, proaktif dan kredibel pada masanya. Proses pembentukan hukum yang aspiratif, proaktif, dan kredibel hanya dapat berlangsung dengan baik jika dilaksanakan dengan memenuhi 3 (tiga) koridor utama yaitu koridor akademik (penyusunan naskah akademik), koridor administrative (koordinasi horizontal antar departemen terkait), dan koridor sosial politik (pembahasan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR), sehingga dalam proses pembentukan hukum perlu dimasukkan dan dipertimbangkan pula kendala-kendala dalam penegakan hukumnya. Proses pembentukan hukum itu sendiri, berawal dari partisipasi masyarakat luas yang perlu ditingkatkan sebagai bagian penting dalam upaya sosialisasi hukum secara merata (law illumination process). Faktor-faktor yang menghambat efektifitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap masyarakat atau mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, dan penasehat hukum) akan tetapi, juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan. Ketimpangan-ketimpangan dalam proses penegakan hukum di Indonesia pada khususnya, sesungguhnya dapat dikembalikan pada masalah kesenjangan antara proses pembentukan hukum (law making process/LPM),
27
proses sosialisasi hukum (law illumination process/LIP) dan proses penegakan hukum (law enforcement process/LEP).22 Penyiapan suatu perangkat hukum yang demokratis memerlukan beberapa syarat, yaitu: suatu masyarakat yang terbuka/transparan dan demokratis, suatu kelembagaan politik (partai-partai politik) yang terbuka dan demokratis, suatu kelembagaan perwakilan rakyat yang dihasilkan oleh suatu proses pemilu yang demokratis, dan sesuatu pemerintah (eksekutif) yang lahir dari proses pemilu yang demokratis.23 Penegakan hukum menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat itu sendiri, dan lembaga-lembaga peradilan yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan serta lembaga-lembaga advokasi yang ada. Terwujudnya penegakan hukum yang adil dan menjamin kepastian hukum merupakan harapan seluruh warga masyarakat yang memiliki rasa keadilan dan telah lama mengharapkan instansi/lembaga-lembaga tersebut berperan aktif dengan menjungjung tinggi rasa keadilan masyarakat.24 Sesungguhnya penegakan hukum itu berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian serta ketentraman di dalam masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, masyarakat bukan saja dapat memengaruhi tetapi sangat
22
Ibid., h. 55.
23
Sutan Remy Sjahdeini dan dkk. Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006), h. 120. 24
Ibid., h. 133.
28
menentukan penegakan supremasi hukum. Dengan demikian, tidaklah cocok kalau aparat pembuat dan penegak hukum hanya berkiblat kepada aliran legisme atau legal positivisme.25 Selain masyarakat bagian penting dalam pelaksanaan penegakan hukum lainnya adalah peranan dari para penegak hukum26 karena tujuan dari pada penegakan hukum bukan menimbulkan disintegrasi di antara lembaga penegakan hukum, tetapi bagaimana memaksimalkan penegakan hukum yang nondiskriminatif.27 Penegakan hukum dapat terwujud dimulai dari partisipasi masyarakat itu sendiri, kemudian dibantu oleh aparat penegak hukum dalam menerapkan keadilan. Keduanya merupakan satu kesatuan dalam membentuk keadilan. Masyarakat mengharapkan terciptanya rasa keadilan dan aparat menginginkan adanya kontribusi baik dari masyarakat dalam bekerja sama membangun kehidupan lebih baik lagi, kehidupan masyarakat lebih tertib lagi, dan terciptanya rasa keadilan. Kedua faktor tersebut berperan penting dalam penegakan hukum.
25
Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum; Makna Dialog antara Hukum & Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 239. 26
27
Sutan Remy Sjahdeini dan dkk. Penegakan Hukum di Indonesia, h. 136.
Indriyanto Seno Adji, Humanisme dan Pembaruan Penegakan Hukum, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009), h. 5.
BAB III KAJIAN UMUM TENTANG FIKIH SEBAGAI SUMBER HUKUM PERKARA CERAI TALAK
A. Pengertian dan Dasar Hukum Cerai Talak 1. Pengertian Cerai Talak Talak secara etimologi adalah اﳊﻞ وأﻻرﺳﺎلyang mempunyai arti “melepaskan atau meninggalkan”. 1 Wahbah Zuhaily dalam kitabnya “Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu” memberikan definisi talak sebagai berikut:
ﺣﻞ ﻗﻴﺪ اﻟﻨﻜﺎح او ﺣﻞ ﻋﻘﺪ اﻟﻨﻜﺎح ﺑﻠﻔﻆ اﻟﻄﻼق وﳓﻮﻩ Talak ialah “Melepaskan ikatan pernikahan atau melepaskan tali akad nikah dengan lafaz at-talak dan semisalnya.”2 Abdurrahman Al-Jaziry dalam kitabnya “Al-Fiqh Ala Mazahib Al Arba’ah mendefinisikan talak sebagai berikut:
اﻟﻄﻼق ازاﻟﺔ اﻟﻨﻜﺎح او ﻧﻘﺼﺎن ﺣﻠﻪ ﺑﻠﻔﻆ ﳐﺼﻮص Talak ialah “Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata tertentu.”3
1
Imam Al-Allamah ibn Manzur, Lisan al-Arab, (Kairo: Dar Al Hadis, 2003), h. 630.
2
Wahbah Zuhaily, Al-Fikh Al-Islamy Wa Adillatuhu, Juz IX (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2007), h.
3
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Mazahib Al Arba’ah, (Mesir: Dar Al Haisam, t.th), h.
6873
964.
29
30
Secara mengemukakan
harfiyah arti
talak
talak
itu secara
berarti
lepas
terminologis
dan
bebas.
Dalam
kelihatannya
ulama
mengemukakan rumusan yang berbeda namun essensinya sama. Al-Mahalli dalam kitabnya “Syarh Minhaj al-Thalibin” merumuskan:
ﺣﻞ ﻋﻘﺪ اﻟﻨﻜﺎح ﺑﻠﻔﻆ اﻟﻄﻼق وﳓﻮﻩ “Melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafaz talak dan sejenisnya.”4 Talak dapat terjadi bila diantara suami dan isteri sudah tidak dapat mempertahankan mahligai rumah tangganya. Islam memang membolehkan talak tersebut dengan catatan bahwa dalam perkawinan tersebut sudah tidak ada manfaatnya, justru yang terlihat lebih banyak mudharatnya, barulah pintu perceraian dapat terbuka. Kata talak secara terminologi terdapat beberapa para ulama mendefiniskannya, sebagai berikut: a. Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali mendefinisikan talak sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung b. Mazhab Syafi’i mendefinisikan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan lafadz talak atau semakna dengan lafaz itu. c. Mazhab Maliki mendefinisikan talak sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami isteri.
4
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, cet. II, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 125-126.
31
d. Prof. Subekti, S.H. mengatakan bahwa perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.5 e. Sayyid Sabiq dalam kitabnya Al-Fiqhu Sunnah mendefinisikan:
ﺎء اﻟﻌﻼ ﻗﺔ اﻟﺰو ﺟﻴﻪ
ﺣﻞ ر
Talak adalah “Melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.” (fotenote) f. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 117, bahwa talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.6 g. Sahlani Hensyah mendefinisikan perceraian dalam hukum positif ialah suatu keadaan dimana antara seorang suami dan seorang isteri telah terjadi ketidakcocokan batin yang berakibat pada putusnya suatu perkawinan, melalui putusan pengadilan setelah tidak berhasil didamaikan. 7 Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa talak adalah sebuah lafaz yang di ucapkan seorang suami kepada isterinya untuk melepaskan ikatan perkawinan yang terjadi akibat ketidakcocokan diantara mereka.
5
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. XXXIII, (Jakarta: Intermasa, 2011), h. 42.
6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 227. 7
Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, cet. II, (Jakarta: RMBooks, 2012), h. 174.
32
2. Dasar Hukum Cerai Talak Dasar hukum yang digunakan bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist, penulis akan mencantumkan beberapa ayat Al-Qur’an serta hadist yang menjadi dasar hukum cerai talak, antara lain: a. Firman Allah SWT:
33
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah (2): 229-230).
Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya[146], apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah, (2): 232). b. Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Hakim, berbunyi:
اﺑﻐﺾ اﳊﻼل إﱃ اﷲ اﻟﻄﻼق: ﻋﻦ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل:ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎل ()رواﻩ اﺑﻮ داود واﺑﻦ ﻣﺎ ﺟﻪ وﺻﺤﺤﻪ اﳊﺎﻛﻢ ورﺟﺢ اﺑﻮ ﺣﺎﰎ ارﺳﺎ ﻟﻪ
34
Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a. berkata: dari Nabi SAW., bersabda: perbuatan halal yang dibenci Allah adalah talak.” (H.R. Abu Daud dan Hakim dan disahkan olehnya) B. Konsep Fikih tentang Cerai Talak 1. Macam-macam Perceraian Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk selamanya sampai matinya salah seorang suami isteri. Inilah yang dikehendaki agama Islam. Namun, dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putus perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik. 8 Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan suami isteri. Dilihat dari sisi pihak-pihak yang berakad, maka sebab putusnya ikatan perkawinan ada yang merupakan hak pada suami dan ada juga yang merupakan hak pada isterinya.9 Putusnya perkawinan atas kehendak dari suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu disebut dengan talak yang merupakan haknya. Sedangkan putusnya perkawinan atas kehendak isteri dan merupakan haknya disebut dengan
8
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, cet. II, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 124.
9
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), h. 117.
35
khulu’.10 Untuk lebih jelasnya perceraian dalam kitab fikih kifayatul akhyar dibagi menjadi dua macam, yaitu:11 a. Talak Talak menurut bahasa arab adalah melepaskan ikatan, yang dimaksud dalam penulisan adalah melepaskan ikatan perkawinan. Secara garis besar, dilihat dari boleh tidaknya dirujuk, talak terbagi dua yakni sebagai berikut: 1) Raj’i yakni talak satu dan talak dua. Talak ini suami masih mempunyai hak untuk merujuk isterinya setelah talak dijatuhkan. Merujuk lagi isterinya itu tidak memerlukan persetujuan isteri, sama seperti mentalak, suami tidak memerlukan persetujuan isteri. 2) Ba’in. talak ini terbagi menjadi dua bagian, yakni: 12 Pertama, bai’in sugra yaitu talak yang jatuh karena akumulasi talak raj’i sehingga menjadi talak tiga. Dalam talak ini suami tidak dapat menikah dengan mantan isterinya kecuali telah terselangi oleh laki-laki lain kemudian diceraikan dan nikah lagi dengannya. Atau talak yang diminta oleh isteri melalui prosedur khulu’. Dalam talak ini suami tidak boleh kembali
10
Amir Syarifuddin, Hukum Perikatan Islam di Indonesia: antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, t.th), h. 197. 11
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Terjemahan Kifayatul Akhyar jilid II, penerjemah Achmad Zaidun, dkk (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1997), h. 456-466. 12
Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, cet. II, (Jakarta: RMBooks, 2012), h. 185.
36
dengan isterinya, kecuali dengan akad baru. Kedua, ba’in kubra yaitu talak yang sama sekali tidak boleh dirujuk selamanya. Perceraian ini terjadi karena li’an.13 Dalam ajaran Islam, talak bagaikan pintu darurat yang merupakan jalan pintas untuk mengatasi kemelut rumah tangga, bila tidak ditemukan jalan lain untuk mengatasinya. Dengan demikian, ajaran Islam tidak menyukai terbukanya pintu darurat tersebut. Karena itu, Allah SWT., memandang talak yang terjadi antara suami-isteri sebagai perbuatan halal yang sangat dimurkai-Nya. Hadist Ibnu Umar menyatakan, Rasulullah SAW., bersabda: (أﺑﻐﺾ اﳊﻼل إﱃ اﷲ اﻟﻄﻼق )رواﻩ أﺑﻮ داود واﳊﺎﻛﻢ Artinya: “Talak merupakan perbuatan halal yang sangat dibenci Allah SWT.”14 (HR Abu Daud dan Hakim) b. Khulu’ Kata khulu’ berasal dari kata ﺧﻠﻊ ﳜﻠﻊyang berarti melepaskan atau meninggalkan.15 Khulu’ juga dapat berarti “fidaaun” atau tebusan. Karena dalam hal ini, isteri meminta cerai kepada suaminya dengan membayar 13
Ibid., h. 186.
14
Hasanuddin AF, Perkawinan dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Nusantara Damai Press, 2011), h. 57. 15
h. 361.
A. Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),
37
sejumlah uang tebusan atau imbalan.16 Pada dasarnya wewenang talak hanya berada pada tangan suami. Namun, dalam keadaan tertentu AlQur’an membolehkan adanya khulu’ dari pihak isteri. Dengan demikian, bagi pihak isteri pun tidak tertutup kemungkinan sama sekali untuk memiliki semacam wewenang dalam hal talak. Adapun asbabun nuzul dasar pembolehan khulu’ yaitu At Tirmidzi dan Al Hakim dan lainnya dari Aisyah berkata: Ada laki-laki mencerai isterinya semaunya, ia cerai isterinya dan ruju’ lagi di saat isteri dalam iddahnya, tak ada masalah baginya walaupun mencerainya hingga seratus kali. Malah ia berkata kepada isterinya: Demi Allah kau akan kucerai dan nanti akan kurujuk lagi, walaupun aku tidak menggauli kau. Isterinya bertanya: Mengapa begitu? Ya… aku cerai dan bila waktu iddah akan habis aku kawini lagi. Wanita itupun pergi menghadap Nabi dan melapor. Nabi SAW., diam dan turunlah ayat ini:17
Artinya: “Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang imbalan yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.”18 (Q.S. Al-Baqarah: 229).
16
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar AlHusaini, Kifayatul Akhyar jilid II, (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1997), h. 456. 17
Jalaluddin As Suyuthi, Terjemah Asbabun Nuzul, penerjemah Rohadi Abu Bakar, (Semarang: Wicaksana-Berkah Ilahi, 1986), h. 56. 18
Hasanuddin AF, Perkawinan dalam Perspektif Al-Qur’an, h. 75.
38
Ayat Inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwadh. Kulu' Yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut 'iwadh. Hadist dari Ibnu Abbas r.a.:
ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ ﺛﺎﺑﺖ ﺑﻦ ﻗﻴﺲ ﻣﺎ أﻋﺘﺐ:أن اﻣﺮأة ﺛﺎﺑﺖ ﺑﻦ ﻗﻴﺲ أﺗﺖ اﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻟﺖ أﺗﺮدﻳﻦ ﻋﻠﻴﻪ: ﻓﻘﺎل اﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ،ﻋﻠﻴﻪ ﰱ ﺧﻠﻖ وﻻ دﻳﻦ وﻟﻜﲎ أﻛﺮﻩ اﻟﻜﻔﺮ ﰱ اﻻﺳﻼم اﻗﺒﻞ اﳊﺪ ﻳﻘﺔ وﻃﻠﻘﻬﺎ ﺗﻄﻠﻴﻘﺔ )رواﻩ: ﻓﻘﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ،ﺣﺪﻳﻘﺘﻪ؟ ﻗﺎﻟﺖ ﻧﻌﻢ (اﻟﺒﺨﺎري Artinya: “Bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi SAW., lalu bekata: “saya tidak mencela akhlak dan agama Tsabit bin Qais, tetapi saya membenci kekufuran setelah berada dalam agama Islam.” Kemudian Nabi SAW., bertanya kepada perempuan itu: “Sanggupkah engkau mengembalikan kepada Qais kebunnya?” Perempuan itu menjawab: “ya.” Maka Rasulullah SAW., berkata kepada Tsabit bin Qais: “Terimalah kebun itu dan talak lah ia (isterimu) sekali talak. 19 2. Syarat-syarat Talak Menjatuhkan talak dianggap sah apabila suami memenuhi syaratsyarat talak,20 sebegai berikut: a. Baligh. Talak yang dijatuhkan anak kecil dinyatakan tidak sah, sekalipun dia telah pandai, b. Berakal sehat. Talak yang dijatuhkan oleh orang gila, baik penyakitnya itu akut maupun jadi-jadian (insidental), pada saat dia gila, tidak sah. Begitu 19
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Terjemahan Kifayatul Akhyar jilid II, penerjemah Achmad Zaidun, dkk (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1997), h. 456. 20
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, cet. IV, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 202
39
pula halnya dengan talak yang dijatuhkan oleh orang yang tidak sadar, dan orang yang hilang kesadarannya lantaran sakit panas yang amat tinggi sehingga ia meracau. c. Atas kehendak sendiri, talak yang dijatuhkan oleh orang yang dipaksa (menceraikan istrinya), menurut kesepakatan ulama mazhab, tidak dinyatakan sah. Hal ini berdasarkan hadis sebagai berikut:
رﻓﻊ ﻋﻦ أﻣﱵ اﳋﻄﺎء واﻟﻨﺴﻴﺎن وﻣﺎاﺳﺘﻜﺮﻫﻮا ﻋﻠﻴﻪ “Ketentuan hukum dicabut dari umatku yang melakukan perbuatannya karena keliru, lupa dan dipaksa.” d. Betul-betul bermaksud menjatuhkan talak. Menurut Imamiyah mengatakan bahwa seorang laki-laki mengucapkan talak karena lupa, keliru, atau mainmain maka talaknya dinyatakan tidak jatuh. Pernyataan Imamiyah tersebut menukil hadis dari Ahlilbait yang mengatakan:
ﻻﻃﻼق إﻻ ﳌﻦ أراد اﻟﻄﻼق ﻻ ﻃﻼق إﻻ ﺑﻨﻴﺔ “Tidak dianggap jatuh suatu talak kecuali bagi orang yang memang bermaksud menjatuhkan talak dan tidak ada talak kecuali disertai niat.”21 3. Hukum Perceraian Perceraian diambil dari kata “cerai” dan dalam kata bahasa Arab, cerai sering disebut “talak”. 22 Dilihat dari situasi, kondisi, kemaslahatan dan kemudharatan maka hukumnya dapat menjadi lima (5) macam:23
21
441-443.
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, cet. XXVI, (Jakarta: Lentera, 2010), h.
40
a. Wajib, apabila terjadi perselisihan antara suami isteri, sedangkan dua hakam yang mengurus perkara keduanya sudah memandang perlu bercerai. Bahkan memandang perceraian itulah satu-satunya jalan untuk pasangan suami isteri tersebut, kalau tidak terjadi perceraian, maka salah seorang atau keduanya akan masuk pada kondisi yang membahayakan. b. Sunah, apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajibannya (nafkah), atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya. Atau talak terhadap isteri yang menyia-nyiakan kewajibannya terhadap Allah. c. Mubah, yaitu suami boleh menceraikan isterinya karena isteri tidak dapat menjaga diri dikala tidak ada suami dirumahnya, isteri yang berbahaya terhadap suami atau yang tidak baik akhlaknya. d. Haram, yaitu seperti suami yang menceraikan isterinya tanpa sebab yang jelas. Kemudian juga menjatuhkan talak sewaktu isterinya dalam keadaan haid, kedua menjatuhkan talak sewaktu suci tetapi sudah dicampuri ketika waktu suci itu.
22
Ahmad Palahudin, “Cerai Talak Suami Murtad: Analisis Putusan Pengadilan Agama Tigaraksa No. 2431/Pdt.G/2011/PA.TGRS dan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No. 967/Pdt.G/2010/PA.JP),” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h. 15. 23
Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, cet. II, (Jakarta: RMBooks, 2012), h. 180.
41
e. Makruh, yaitu suami yang menceraikan isterinya, padahal isteri taat kepada suami, rajin beribadah dan shalihah.24 C. Cerai Talak di Pengadilan Agama Hukum acara yang digunakan mengenai tata cara pemeriksaan sengketa perkawinan dapat ditemukan dalam peraturan dan Perundang-undangan sebagai berikut: Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana yang diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan ke-II dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang aturan Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, Instruksi Presiden Nomor I Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam dan aturan lain berkenaan dengan sengketa perkawinan serta kitab fikih Islam sebagai sumber penemuan hukum.25 Perceraian tidak dapat dilakukan oleh suami atau isteri dengan semaunya, tetapi harus dilakukan dengan cara-cara yang telah diatur oleh Undang-undang dan Peraturan Pemerintah sebagaimana tersebut dalam Pasal 39 ayat (1) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 115 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 menjelaskan bahwa, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
24
25
Ibid., h. 181.
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 3.
42
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Kewenangan pengadilan dalam melaksanakan proses perceraian dapat dilihat dari agama yang dianut oleh suami isteri. Jika perkawinan mereka dilakukan menurut agama Islam, maka yang berwenang memeriksa dan mengadili adalah Pengadilan Agama. Bagi suami isteri yang melaksanakan pernikahan menurut agama selain Islam dan perkawinannya dicatat di Kantor Catatan Sipil, maka yang berwenang adalah Pengadilan Negeri. Perceraian di lingkungan Peradilan Agama sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 pada Bab IV Bagian kedua paragrap 2 dan 3 bahwa perceraian itu ada dua bentuk: pertama, cerai talak adalah pemecahan perkawinan atau perceraian yang datang dari pihak suami, kedua, cerai gugat adalah pemecahan perkawinan atau perceraian yang diajukan oleh isteri.26 Kedua bentuk tersebut hasil akhirnya memang sama-sama perceraian, akan tetapi prosedurnya menurut perundang-undangan adalah berbeda. Perundang-undangan
memberikan
pembedaan
terhadap
perkara
perceraian, yaitu cerai talak dan cerai gugat. Hal ini disebabkan karena karakteristik perundang-undangan menghendaki demikian, sehingga proses atas kehendak suami berbeda dengan proses atas kehendak isteri. Yang dimaksud
26
Djaman Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Dina Utama, 1993), h. 139.
43
dengan cerai talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.27 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 66 ayat (1) menjelaskan bahwa, pengertian cerai talak yaitu “Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak”. Dengan demikian, apabila suami hendak mengucapkan ikar talak, ia tidak mengajukan gugatan cerai melainkan mengajukan permohonan izin untuk mengucapkan ikrar talak.28 Sedangkan cerai gugat yaitu perceraian suami isteri yang inisiatif perceraiannya itu berasal dari isteri.29 Dalam UU No. 7 Tahun 1989 Pasal 73 ayat (1), menjelaskan bahwa “Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat”. Pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 132 ayat (1) menerangkan bahwa “Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya, pada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya
27
Undang-undang Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusindo Mandiri, 2003), h. 46.
28
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 41. 29
A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN JKT, 2006), h. 65.
44
mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.”30 Berdasarkan uraian diatas, bahwasannya suami untuk menyatakan talak kepada isteri harus dilaksankan dihadapan sidang Pengadilan Agama, jika dilaksanakan diluar sidang maka perceraian cerai talak dianggap tidak sah, masih berstatus suami isteri. Bagi suami isteri yang beragama Islam dalam melaksanakan proses perceraian untuk memeriksa dan mengadili menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Sedangkan unt[uk suami isteri yang melakukan perkawinan berdasarkan selain agama Islam dan perkawinannya dicatat di Kantor Catatan Sipil maka yang berwenang adalah Pengadilan Negeri. Cerai talak dan cerai gugat apabila dilihat dari segi perbedaanya maka diketahui bahwa cerai talak adalah permohonan cerai yang diajukan oleh suami, suami sebagai Permohon dan Isteri sebagai Termohon. Sedangkan cerai gugat adalah gugatan yang inisiatifnya berasal dari isteri, isteri sebagai Penggugat dan suami sebagai Tergugat.
30
Undang-undang Kompilasi Hukum Islam, h. 50.
45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Statistik Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan maka perkara perceraian yang diterima oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam kurun waktu lima tahun yaitu dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 sebanyak 14.916 perkara yang diterima dan yang diputus sebanyak 12.512 perkara. Tabel 4.1 Perkara Perceraian Yang Diterima dan Diputus Pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2010-2014 Tahun
Diterima
Diputus
2010
2511
2170
2011
2799
2366
2012
2936
2508
2013
3092
2573
2014
3578
2895
Sumber data: Statistik Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Data statistik perkara perceraian di atas adalah perkara cerai talak dan cerai gugat. Adapun rincian perkara cerai talak selama kurun waktu lima tahun yaitu dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 terlihat dalam tabel data statistik dibawah ini:
45
46
Tabel 4.2 Perkara Cerai Talak Yang Diterima dan Diputus Tahun 2010-2014 Tahun
Diterima
Diputus
2010
778
666
2011
848
713
2012
858
684
2013
948
737
2014
965
800
Sumber data: Statistik Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Data di atas merupakan data statistik perkara cerai talak yang diterima dan diputus di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014. Adapun rincian perkara pertahunnya adalah sebagai berikut: 1. Perkara cerai talak yang masuk pada tahun 2010 adalah sebanyak 778 perkara atau 17.6% dan yang dapat diselesaikan sebanyak 666 perkara atau 18.5%. 2. Perkara cerai talak yang masuk pada tahun 2011 adalah sebanyak 848 perkara atau 19.2% dan yang dapat diselesaikan sebanyak 713 perkara atau 19.8%. 3. Perkara cerai talak yang masuk pada tahun 2012 adalah sebanyak 858 perkara atau 19.5% dan yang dapat diselesaikan sebanyak 684 perkara atau 19%. 4. Perkara cerai talak yang masuk pada tahun 2013 adalah sebanyak 948 perkara atau 21.5% dan yang dapat diselesaikan sebanyak 737 perkara atau 20.4%.
47
5. Perkara cerai talak yang masuk pada tahun 2014 adalah sebanyak 965 perkara atau 22% dan yang dapat diselesaikan sebanyak 800 perkara atau 22.2%. Data statistik perkara cerai talak dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember pada tahun 2010 terlihat dalam tabel data statistik dibawah ini: Tabel 4.3 Perkara Cerai Talak Yang Diterima Bulan Januari-Desember Tahun 2010 Bulan
Diterima
Diputus
Januari
77
60
Februari
72
57
Maret
71
51
April
69
50
Mei
80
69
Juni
66
58
Juli
62
83
Agustus
53
66
September
45
31
Oktober
63
48
November
61
47
Desember
59
46
Sumber data: Statistik Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Berdasarkan
data-data
statistik
perceraian
di
atas,
diketahui
perbandingan jumlah perkara perceraian yang diterima maupun yang diputus dalam kurun waktu lima tahun dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014
48
sebanyak 14.916 perkara yang diterima dan sebanyak 12.512 perkara yang diputus. Jumlah perkara cerai talak dari tahun 2010 berkisar antara 600 sampai dengan 900 perkara yang diterima maupun yang diputus, artinya intensitas perkara yang terjadi dari tahun 2010 sampai dengan 2014 mengalami peningkatan disetiap tahunnya, peningakatan tersebut tidak jauh berbeda. Dengan demikian, dalam kurun waktu lima tahun jumlah perkara cerai talak dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 mengalami peningkatan yang tidak jauh beda. Selanjutnya, data statistik dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember tahun 2010 menunjukkan perkara cerai talak yang diterima mengalami penurunan. Perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan khususnya cerai talak, pada umumnya disebabkan oleh faktor: a. Tidak ada keharmonisan Dari wawancara dengan hakim1 diketahui informasi bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya perceraian adalah tidak ada keharmonisan, hal tersebut menjadi faktor yang paling dominan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, jika keharmonisan sudah tidak ada lagi maka mudah sekali percekcokan terjadi diantara mereka. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yaitu antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
1
Wawancara Pribadi dengan Saifuddin. Jakarta, 26 Maret 2015.
49
b. Ekonomi Ekonomi menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya perselisihan dan pertengkaran anatar suami isteri. Ketika kebutuhan keuangan dalam rumah tangga tidak terpenuhi, sering kali memicu amarah diantar keduanya, isteri yang tidak sabar dengan penghasilan suami karena tidak merasa cukup akhirnya terjadi perselisihan.2 c. Tidak ada tanggung jawab Tidak ada tanggung jawab pada cerai talak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan maksudanya adalah si isteri sudah tidak lagi bertanggung jawab sebagai ibu rumah tangga, sudah tidak memenuhi kewajibankewajiban sebagai isteri kepada suami. Hal ini bertentangan dengan Pasal 83 Kompilasi Hukum Islam bahwa kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.3 Apabila isteri sudah tidak taat dan patuh kepada suami maka alasan tersebut dapat dijadikan alasan bagi suami untuk mengajukan permohonan perceraian ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan. d. Gangguan pihak ketiga Gangguan pihak ketiga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya perselisihan dan pertengkaran antara suami isteri. Perceraian karena pihak ketiga ini dikarenakan isteri memiliki laki-laki idaman lain dan sering meninggalkan rumah dengan hadirnya orang ketiga tersebut. 2
Wawancara Pribadi dengan Mustofa. Jakarta, 26 Maret 2015.
3
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, cet. IV, (Jakarta; Kencana, 2010), h. 164.
50
Dibawah ini data statistik faktor penyebab perceraian tahun 2010 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Tabel 4.4 Faktor Cerai Talak (2010) Sebab cerai talak
Jumlah
Prosentase
Tidak ada keharmonisaى
721
33.2%
Ekonomi
594
27.3%
Tidak ada tanggung jawab
517
23.8%
Gangguan pihak ketiga
338
15.5%
Sumber data: Statistik Pengadilan Agama Jakarta Selatan
B. Posisi Kitab Fikih dalam Putusan Perkara Cerai Talak Tahun 2010 Sebagaimana telah disinggung pada bab sebelumnya pengertian cerai talak diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 66 ayat (1) menjelaskan bahwa, pengertian cerai talak yaitu “Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan
kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang
guna penyaksian ikrar talak”.4 Hal ini sesuai dengan pendapat Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengenai pengertian cerai talak adalah cerai yang inisiatifnya datang dari suami dengan posisi suami sebagai Pemohon dan posisi isteri sebagai Termohon yang diajukan ke Pengadilan Agama.5 Pendapat lain juga diungkapkan oleh Hakim bahwa cerai talak adalah salah satu cara untuk
4
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 41. 5
Wawancara Pribadi dengan Mustofa. Jakarta, 26 Maret 2015.
51
memutuskan perkawinan yang diajukan oleh pihak suami di hadapan sidang Pengadilan.6 Berdasarkan hasil wawancara tersebut cerai talak adalah permohonan cerai yang diajukan oleh suami dengan suami sebagai Permohon dan Isteri sebagai Termohon yang pernyataan talak suami kepada isteri harus dilakukan dihadapan sidang Pengadilan Agama. Hukum acara yang digunakan mengenai tata cara pemeriksaan sengketa perkawinan dapat ditemukan dalam peraturan dan perundangundangan sebagai berikut: Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana yang diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan ke-II dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Aturan Pelaksanaan Undangundang Perkawinan, Instruksi Presiden Nomor I Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam dan aturan lain berkenaan dengan sengketa perkawinan serta kitab fikih Islam sebagai sumber penemuan hukum.7 Serupa seperti yang dikatakan oleh hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memutus suatu perkara merujuk dasar hukum pada AlQur’an, Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Yurisprudensi, dan boleh juga pendapat hakim itu sendiri8, kemudian yang
6
Wawancara Pribadi dengan Saifuddin. Jakarta, 26 Maret 2015.
7
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 3. 8
Wawancara Pribadi dengan Saifuddin. Jakarta, 26 Maret 2015.
52
paling pokok adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,9 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Undangundang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Maka berdasarkan hasil wawancara sumber hukum yang digunakan hakim di Pengadilan Agama dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara menggunakan peraturan perUndang-undangan yang berlaku di Indonesia. Salinan putusan cerai talak tahun 2010 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan merujuk pada peraturan Perundang-undangan yang telah dijelaskan di atas, adapun analisa yang penulis lakukan pada salinan putusan cerai talak tahun 2010 telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dibawah ini data statistik dasar pertimbangan hakim perkara cerai talak yang penulis ambil secara acak pada tahun 2010 sebanyak 50 putusan terlihat dalam tabel data statistik dibawah ini: Tabel 4.5 Data Eksistensi Fikih dalam Putusan Cerai Talak No. No. Perkara Dasar Pertimbangan 1. 0010/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) dan (2). 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. KHI Pasal 116 huruf (f). 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 82 ayat (1) dan (4) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Pasal 76 ayat 9
Wawancara Pribadi dengan Mustofa. Jakarta, 26 Maret 2015.
53
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
(1). 0011/Pdt.G/2010/PA.JS 1. KHI Pasal 116 huruf (f) dan Pasal 143. 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 82 ayat (1) dan (4) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 4. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1. 0011/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39. 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. KHI Pasal 116 huruf (f). 0034/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 dan 39 ayat (1). 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. KHI Pasal 116 huruf (f). 0042/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 dan 39. 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. KHI Pasal 116 huruf (f) dan Pasal 3. 0055/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 2. KHI Pasal 116 huruf (f). 0067/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 2. KHI Pasal 116 huruf (f). 3. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1. 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1) sebagaimana telah diubah dengan Undangundang No. 3 Tahun 2006. 0074/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 2. KHI Pasal 116 huruf (f). 3. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1) sebagaimana telah diubah dengan Undangundang No. 3 Tahun 2006. 0093/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 dan 39 ayat (1). 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. KHI Pasal 116 huruf (f). 0109/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1. 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. KHI Pasal 116 huruf (f).
54
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
0111/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (b). 2. KHI Pasal 116 huruf (b) dan Pasal 3. 3. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 dan Pasal 76 ayat (1) dan (2). 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1) dan Pasal 90 ayat (1) huruf (a) dan (d) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 0122/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 82 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. KHI Pasal 116 huruf (f), Pasal 149 dan Pasal 153 huruf (b) 0140/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 dan Pasal 39. 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. KHI Pasal 116 huruf (f). 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1) dan Pasal 90 ayat (1) huruf (a) dan (d) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 0144/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 2. KHI Pasal 116 huruf (f) dan Pasal 7 ayat (1). 3. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89. 0157/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 2. KHI Pasal 116 huruf (f) dan Pasal 7 ayat (1). 3. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89. 4. Undang-undang No. 1 Tahun 1975 Pasal 1. 0180/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1, 2 dan Pasal 39. 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 65 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 4. KHI Pasal 116 huruf (f), Pasal 105, Pasal 149 dan Pasal 152. 0182/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 dan Pasal 39 ayat (2). 2. KHI Pasal 3 dan Pasal 116 huruf (f).
55
18.
0192/Pdt.G/2010/PA.JS
19.
0210/Pdt.G/2010/PA.JS
20.
0211/Pdt.G/2010/PA.JS
21.
0226/Pdt.G/2010/PA.JS
22.
0221/Pdt.G/2010/PA.JS
23.
0868/Pdt.G/2010/PA.JS
3. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 3. 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (b). 3. KHI Pasal 116 huruf (b). 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39. 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (b). 3. KHI Pasal 116 huruf (b). 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39. 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (b). 3. KHI Pasal 116 huruf (b). 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39. 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (b). 3. KHI Pasal 116 huruf (b). 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1) dan Pasal 90 ayat (1) huruf (a) dan (d) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (2). 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f) dan Pasal 22 ayat (1). 3. KHI Pasal 116 huruf (f) dan Pasal 134. 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39. 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. KHI Pasal 116 huruf (f) 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1)
56
24.
0243/Pdt.G/2010/PA.JS
25.
0260/Pdt.G/2010/PA.JS
26.
0329/Pdt.G/2010/PA.JS
27.
0348/Pdt.G/2010/PA.JS
28.
0359/Pdt.G/2010/PA.JS
29.
0366/Pdt.G/2010/PA.JS
30.
0378/Pdt.G/2010/PA.JS
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1. 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. KHI Pasal 116 huruf (f). 4. Qur’an Al-Ahzab: 49. 5. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 1. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 2. KHI Pasal 116 huruf (f). 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1. 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. KHI Pasal 116 huruf (f). 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 1. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 2. KHI Pasal 116 huruf (f). 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1. 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f) dan Pasal 31. 3. KHI Pasal 116 huruf (f) dan Pasal 143. 4. Qur’an Al- Baqarah: 241. 5. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 82. 6. Kaidah fiqhiyah: “menolak kerusakan itu didahulukan dari meraih kemaslahatan.” 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39. 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. KHI Pasal 116 huruf (f) dan Pasal 134. 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (1) dan (2). 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (b). 3. KHI Pasal 116 huruf (b). 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1) dan Pasal 90 ayat (1) huruf (a) dan (d) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun
57
31.
32.
33.
34.
35.
2006. 0398/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1. 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. KHI Pasal 116 huruf (f). 4. Kitab Ahkam Al-Qur’an juz II h. 405: “barang siapa yang dipanggil oleh hakim Islam didalam persidangan sedangkan orang tersebut tidak memenuhi panggilan itu maka dia termasuk orang dholim dan gugurlah haknya.” 5. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 0401/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39. 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. KHI Pasal 116 huruf (f). 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 0411/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (2). 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. KHI Pasal 116 huruf (f). 4. Qur’an Al- Baqarah: 227. 5. Undang-undang No. 7 Tahun 1975 Pasal 89 Ayat (1) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 6. Yurisprudensi MA RI Nomor: 1287 K/sip/1995 tanggal 27 April 1297 demikian pula dengan Yurisprudensi MA RI Nomor: 38/K.AG/1990 yang menyatakan “pecahnya perkawinan antara Pemohon/suami dengan isteri, hakim tidak perlu meneliti siapa yang bersalah, melainkan yang perlu diteliti apa perkawinannya dapat dirukunkan apa tidak”. 0423/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (2). 2. KHI Pasal 116 huruf (f) dan Pasal 149 huruf (a) dan (b). 3. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 0986/Pdt.G/2010/PA.JS 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (1) dan (2). 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (b).
58
36.
0994/Pdt.G/2010/PA.JS
37.
1007/Pdt.G/2010/PA.JS
38.
1022/Pdt.G/2010/PA.JS
39.
1037/Pdt.G/2010/PA.JS
3. KHI Pasal 116 huruf (b). 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1) dan Pasal 90 ayat (1) huruf (a) dan (d) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (1) dan (2). 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. KHI Pasal 116 huruf (f). 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 5. Yurisprudensi MA RI Nomor: 38 K/AG/1991 tanggal 22 Agustus 1991 “alasan bercerai tidak lagi mempersoalkan siapa yang salah, akan tetapi lebih menekankan pecahnya perkawinan itu sendiri.” 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (2). 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. KHI Pasal 116 huruf (f). 4. Qur’an Al- Baqarah: 227. 5. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 6. Yurisprudensi MA RI Nomor: 1287 K/sip/1995 tanggal 27 April 1297 demikian pula dengan Yurisprudensi MA RI Nomor: 38/K.AG/1990 yang menyatakan “pecahnya perkawinan antara Pemohon/suami dengan isteri, hakim tidak perlu meneliti siapa yang bersalah, melainkan yang perlu diteliti apa perkawinannya dapat dirukunkan apa tidak”. 1. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1. 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. KHI Pasal 116 huruf (f). 4. Kitab Ahkam Al-Qur’an juz II h. 405: “barang siapa yang dipanggil oleh hakim Islam didalam persidangan sedangkan orang tersebut tidak memenuhi panggilan itu maka dia termasuk orang dholim dan gugurlah haknya.” 5. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89
59
40.
1041/Pdt.G/2010/PA.JS
41.
1059/Pdt.G/2010/PA.JS
42.
1069/Pdt.G/2010/PA.JS
43.
1178/Pdt.G/2010/PA.JS
44.
1181/Pdt.G/2010/PA.JS
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 dan Pasal 39 ayat (2). 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. KHI Pasal 116 huruf (f), Pasal 105 huruf (a) dan Pasal 156 huruf (a). 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1. 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. KHI Pasal 116 huruf (f). 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 5. Kaidah fiqhiyah: “menolak kerusakan itu didahulukan dari meraih kemaslahatan.” 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (2). 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. KHI Pasal 116 huruf (f). 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 5. Qur’an Al-Baqarah: 227. 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (2). 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. KHI Pasal 116 huruf (f). 4. Qur’an Al- Baqarah: 227. 5. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1. Peraturan 2. Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (b). 3. KHI Pasal 116 huruf (b). 4. Kitab Ahkam Al-Qur’an juz II h. 405: “barang siapa yang dipanggil oleh hakim Islam didalam persidangan sedangkan orang tersebut tidak memenuhi panggilan itu maka dia termasuk orang dholim dan gugurlah haknya.” 5. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89
60
45.
1197/Pdt.G/2010/PA.JS
46.
0398/Pdt.G/2010/PA.JS
47.
1246/Pdt.G/2010/PA.JS
48.
/Pdt.G/2010/PA.JS
49.
2169/Pdt.G/2010/PA.JS
50.
2165/Pdt.G/2010/PA.JS
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006 yang dirubah lagi (perubahan kedua) dengan Undang-undang No. 50 Tahun 2009. 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 2. Kaidah fiqhiyah: “menolak kerusakan itu didahulukan dari meraih kemaslahatan.” Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (b). 3. KHI Pasal 116 huruf (b). 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (2). 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (b). 3. KHI Pasal 116 huruf (f). 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 5. Qur’an Al-Baqarah: 227. 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (b). 3. KHI Pasal 116 huruf (b). 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1) dan 90 ayat (1) huruf (a) dan (d) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (1) dan (2). 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (b). 3. KHI Pasal 116 huruf (b). 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 82 ayat (1) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. KHI Pasal 116 huruf (f). 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39. 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f). 3. KHI Pasal 116 huruf (f). 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 89 ayat (1) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006.
61
Sumber data: Statistik Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Berdasarkan data yang didapat bahwa dalam pertimbangan hukum perkara cerai talak pada tahun 2010 sebanyak 50 perkara sudah menjadikan KHI sebagai produk fikih Indonesia yang menjadi rujukan utama sebagai mana pendapat Mustofa: Sekarang isi kitab fikih yang terkait seperti cerai talak dan pernikahan sudah diterjemahkan atau sudah dialih bahasakan dalam sebuh Kompilasi Hukum Islam jadi, para hakim itu merujuk kesana yaitu fikih Indonesia. Sebetulnya isi dari pada Kompilasi Hukum Islam itu sebagai bentuk pengembangan dari fikih-fikih yang sudah ada selama ini dari berbagai mazhab, kemudian didiskusikan dan dimusyawarahkan oleh para ulama. Dari kitab-kitab fikih yang ada di dunia Islam itu diintisari kemudian dibuatlah dalam formulasi Kompilasi Hukum Islam. Bisa dikatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam itu fikihnya Indonesia, itu yang dijadikan rujukan oleh hakim. Jadi eksistensi kitab fikih dalam pertimbangan hakim pada putusan perkara cerai talak yaitu kitab fikih sekarang ini sudah diformulasikan kedalam bentuk Kompilasi Hukum Islam, jadi pada intinya tetap kitab-kitab fikih yang dipergunakan oleh Pengadilan. Kenapa diformulasikan dalam sebuah KHI karena berdasarkan penelitian selama ini putusan hakim Pengadilan Agama dalam memutus satu perkara yang sama pendapatnya tidak sama, karena tergantung kepada hakim itu menganut mazhab apa dan akan diputus sesuai dengan mazhabnya. Sekarang sudah ada Kompilasi maka putusan Pengadilan Agama akan seragam dalam menangani perkara yang sama. Kalau sebelum ada kompilasi itukan putusan berbeda-beda antara satu hakim dengan hakim yang lain itu tergantung hakim menganut mazhab apa. Tapi dengan adanya Kompilasi Hukum Islam ini putusan hakim sudah seragam.10 Kompilasi Hukum Islam yang merupakan fikihnya Indonesia pada semua perkara dijadikan rujukan oleh hakim dalam memutus perkara cerai talak karena kitab-kitab fikih melalui ulama bekerja sama dengan pemerintah terbentuklah Kompilasi Hukum Islam. Dengan diadakannya Kompilasi Hukum Islam oleh pemerintah diharapkan tidak ada lagi perbedaan dalam 10
Wawancara Pribad dengan Mustofa. Jakarta, 26 Maret 2015.
62
memutus perkara yang permasalahannya sama tetapi, menghasilkan hukum yang berbeda, dengan begitu putusan hakim akan seragam dan tercipta kepastian hukum di lingkungan Peradilan agama. Namun, dari beberapa perkara tersebut terdapat beberapa perkara yang mengambil sumber kaidah fiqhiyah dan kitab Ahkam Al-Qur’an juz II. h. 405, dengan nomor perkara: 1. 0359/Pdt.G/2010/PA.JS.,
menggunakan
kaidah
fiqhiyah:
“menolak
kerusakan itu didahulukan dari meraih kemaslahatan.” 2. 0398/Pdt.G/2010/PA.JS., menggunakan kitab Ahkam Al-Qur’an juz II. h. 405: “barang siapa yang dipanggil oleh hakim Islam didalam persidangan sedangkan orang tersebut tidak memenuhi panggilan itu maka dia termasuk orang dholim dan gugurlah haknya.” 3. 1037/Pdt.G/2010/PA.JS., menggunakan kitab Ahkam Al-Qur’an juz II. h. 405: “barang siapa yang dipanggil oleh hakim Islam didalam persidangan sedangkan orang tersebut tidak memenuhi panggilan itu maka dia termasuk orang dholim dan gugurlah haknya.” 4. 1059/Pdt.G/2010/PA.JS.,
menggunakan
kaidah
fiqhiyah:
“menolak
kerusakan itu didahulukan dari meraih kemaslahatan.” 5. 1181/Pdt.G/2010/PA.JS., menggunakan kitab Ahkam Al-Qur’an juz II. h. 405: “barang siapa yang dipanggil oleh hakim Islam didalam persidangan sedangkan orang tersebut tidak memenuhi panggilan itu maka dia termasuk orang dholim dan gugurlah haknya.”
63
6. 1197/Pdt.G/2010/PA.JS.,
menggunakan
kaidah
fiqhiyah:
“menolak
kerusakan itu didahulukan dari meraih kemaslahatan.” Berdasarkan uraian di atas, terbukti bahwa keberadaan kitab fikih yang dijadikan rujukan dalam menyusun KHI tidak lagi digunakan oleh hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara cerai talak tahun 2010. Hal ini terbukti dari 50 perkara yang dijadikan sumber data tidak ada satupun sumber rujukan asli dari kitab-kitab fikih karya para ulama klasik. Tentu saja hal ini menggambarkan bahwa hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan hanya merujuk kepada sumber perundang-undangan yang berlaku dan tidak mengkaji kembali kitab-kitab fikih yang pernah dipelajarinya, yang pada kenyataanya penguasaan dalam membaca kitab fikih bagi hakim merupakan syarat utama calon hakim bagi yang ingin menjadi hakim. Apabila kitab-kitab fikih sudah tidak lagi digunakan, maka syarat utama bagi calon hakim bukan lagi hakim diharuskan dapat membaca dan memahami isi kitab fikih melainkan memahami dari KHI dan peraturan perundang-undangan. C. Pendekatan Teori Hukum dalam Putusan Cerai Talak Disamping peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai cerai talak memiliki kelebihan dan kelemahan dikarenakan produk hukum yang dibuat oleh manusia tidak pernah lengkap atau sempurna, isi dari perundang-undangan
umumnya
mencerminkan
keadaan
pada
saat
pembuatannya, dan bentuk hukum yang tidak fleksibel. Hal tersebut merupakan implementasi bagi hakim yang menerapkan peraturan perundang-
64
undangan, disisi lain apabila penerapan tersebut tidak sesuai dengan fakta, keadaan bahkan tujuan hukum maka akan timbul ketidakadilan. Untuk memungkinkan tercapainya keadilan bagi seseorang yang mencari keadilan, hakim diharuskan melakukan penafsiran dan berijtihad. Terdapat berbagai metode yang digunakan hakim dalam berijtihad atau melakukan penafsiran salah satunya dengan pendekatan teori hukum, diantaranya: teori hukum positivisme, teori hukum progresif dan teori penegakan hukum. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan positivisme sebagai aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti.11 Menurut mazhab positivisme hukum berserat dengan masyarakat, masyarakat berubah, hukum juga harus berubah. Jika masyarakat Indonesia sudah merdeka dari bangsa jajahan, maka hukumnya juga harus sejalan dengan perubahan itu.12 Artinya, bentuk hukum itu tertulis yang diidentikkan dengan undang-undang dan otoritas yang membentuk hukum adalah penguasa yang berdaulat yang dibuat sesuai dengan keadaan yang sejalan dengan perkembangan pada masyarakat berdasarkan pengalaman yang diperoleh atas dasar logika dan ilmu yang pasti. Progresif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kearah kemajuan, berhalu kearah perbaikan keadaan sekarang, bertingkat
11
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III, edisi III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 890. 12
Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum; Makna Dialog antara Hukum & Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 219-220.
65
tingkat naik.13 Adapun pengertian hukum progresif, adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan. Terobosan tersebut di dasarkan pada prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia, dapat diartikan bahwa tiada hukum tanpa masyarakat. Karena hukum tercipta dan diciptakan oleh masyarakat untuk dijadikan pedoman bertingkah
laku
anggota
masyarakat
dalam
hubungannya
dengan
sesamanya,14 dengan demikian, hukum merupakan kebiasaan dari perilaku yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Perilaku tersebut menjadi pola perilaku yang lahir karena kebutuhan masyarakat yang disebut dengan hukum kebiasaan. Jimly Asshiddiqie menyatakan: Penegakan hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya. Bahkan, dalam artian yang lebih luas lagi, kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala aktivitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaidah normaif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana semestinya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu menyangkut kegiatan 13
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III, edisi III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 897. 14
Rianto Adi, Sosiologi Hukum kajian Hukum secara Sosiologis, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), h. 9.
66
penindakan terhadap segala pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perUndang-undangan, khususnya yang lebih sempit lagi, melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat, atau pengacara, dan badan-badan peradilan.15 Proses pembentukan hukum itu sendiri, berawal dari partisipasi masyarakat luas yang perlu ditingkatkan sebagai bagian penting dalam upaya sosialisasi hukum secara merata (law illumination process). Faktor-faktor yang menghambat efektifitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap masyarakat atau mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, dan penasehat hukum) akan tetapi, juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan.16 Dengan begitu, keadilan dapat ditegakkan apabila dari masyarakat ataupun dari aparatur penegakan hukum seperti hakim dapat bersikap bijak dalam menetukan hukaman kepada para pelaku atau para pencari keadilan. Dari ketiga teori tersebut: teori hukum positivisme, teori hukum progresif dan teori penegakan hukum dengan melakukan pendekatan teori hukum terhadap pertimbangan hakim pada perkara cerai talak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan maka tentu dalam rangka memeriksa, memutus dan mengadili perkara cerai talak mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, kecuali ada hal-hal lain yang memang menurut pertimbangan hakim itu terdapat Pasal perUndang-undangan yang kurang pas untuk diterapkan, tentunya hakim harus mencari jalan keluarnya agar tetap putusan
15
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, h. 54.
16
Ibid., h. 55.
67
hakim tersebut adil terhadap para pencari keadilan dengan melakukan penafsiran hukum17 dengan menggunakan salah satu dari ketiga teori tersebut atau dengan menggabungkan antara undang-undang yang berlaku dengan ketiga teori tersebut. Contoh ketika suami isteri sudah tidak ada lagi kecocokan dan ingin memutuskan hubungan perkawinan dengan jalan cerai, dalam proses perceraian tersebut memperselisihkan harta bersamanya ketika didapat selama perkawinan dengan singkat cerita bahwa diketahui: perempuan kewajibannya di dapur dan suami kewajibannya bekerja ketika hal ini berjalan normal berarti Kompilasi menentukan bahwa penghasilan menjadi 50:50. Jika hakim memutus berdasarkan KHI bahwa suami dan isteri mendapatkan bagiannya 50:50 ini menjadi putusan yang tidak adil bagi isteri. Hakim tidak memutus seperti itu, maka hakim tersebut sudah keluar dari Kompilasi. Ketika keluar dari Kompilasi barulah kita kaitkan dengan pendapat ulama, kitab-kitab fikih, bisa juga hakim berpendapat sendiri. Artinya, kadang hakim menggunakan KHI, kadang menggunakan kitab-kitab fikih, kadang hakim menggunakan analog,
kadang
menggunakan
yurisprudensi
dan
terkadang
hakim
menggabungkan semuanya.18 Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwasannya perundang-undagan memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri ketika dihadapkan dengan suatu masalah. Suatu masalah apabila dirasa adil dengan menggunakan perundang-undangan yang berlaku maka
17
Wawancara Pribadi dengan Mustofa. Jakarta, 26 Maret 2015.
18
Wawancara Pribadi dengan Saifuddin. Jakarta, 26 Maret 2015.
68
bisa dikatakan bahwa undang-undang tersebut sudah efektif. Tetapi apabila undang-undang dihadapkan dengan suatu masalah yang apabila tetap menggunakan undang-undang tersebut tidak terciptanya rasa adil, maka hakim diharuskan menggunakan penafsirannya dalam memutus perkara. D. Analisis Penulis Berdasarkan pada pembahasan sebelumnya bahwa perkara cerai talak pada tahun 2010 yang diputus sebanyak 666 perkara dengan rincian: bulan Januari sebanyak 60 perkara, Februari 57 perkara, Maret 51 perkara, April 50 perkara, Mei 69 Perkara, Juni 58 Perkara, Juli 83 Perkara, Agustus 66 Perkara, September 31 perkara, Oktober 48 perkara, November 47 perkara dan Desember 46 perkara. Dari jumlah perkara tersebut penulis mengambil sample sebanyak 10% dari jumlah yang ada. Maka dapat diketahui dasar pertimbangan hakim yang digunakan pada perkara cerai talak tahun 2010 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah sesuai menggunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Peradilan Agama diantaranya: Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana yang diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan ke-II dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Aturan Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, Instruksi Presiden Nomor I Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, Yurisprudensi. Dalam hal ini hakim telah tepat menerapkan hukum acara mengenai tata cara pemeriksaan dan penyelesaian sengketa cerai talak.
69
Penjelasan di atas dapat diketahui bahwa peraturan perundangundangan yang digunakan hakim sebagai dasar pertimbangan hukum pada perkara cerai talak 2010, sebagai berikut: KHI digunakan sebanyak 50 atau 100% pada perkara cerai talak, PP No. 9 Tahun 1975 digunakan sebanyak 47 atau 94 % pada perkara cerai talak, UU No. 1 Tahun 1974 digunakan sebanyak 43 atau 86% pada perkara cerai talak, UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan ke-II dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 digunakan sebanyak 40 atau 80% pada perkara cerai talak, kitab Ahkam Al-Qur’an juz II atau kaidah fiqhiyah digunakan sebanyak 3 atau 6% pada perkara cerai talak, dan Yurisprudensi digunakan sebanyak 3 atau 6% pada perkara cerai talak. Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara cerai talak tahun 2010 menganut teori hukum positivisme telihat pada semua dasar pertimbangan hukum menggunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yang pada dasarnya teori hukum positivisme adalah hukum positif di Indonesia yang tertulis yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan itu pasti karena hukum merupakan perintah dari penguasa, bersifat tetap dan sistem hukum haruslah sistem yang bersifat logis. Dari sisi sumber hukum yang digunakan dalam memutus perkara hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan hanya menggunakan rujukan Undang-undang atau hukum yang berlaku di Indonesia. Jadi teori positivisme adalah hukum yang diputus berdasarkan aturan yang berlaku dengan istilah hakim menjadi corong
70
undang-undang tidak lagi berijtihad. Hanya sedikit hakim agama yang menganut teori hukum progresif yaitu hakim menggunakan pemikiran hukum atau ijtihad dalam pertimbangannya, hakim tidak hanya menggunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku tetapi juga menggunakan dalildalil diluar perundang-undangan, karena teori hukum progresif ini diartikan sebagai
kearah
kemajuan
yang
melakukan
terobosan
pembebasan.
Pembebasan tersebut didasarkan pada prinsip bahwa hukum itu untuk manusia bukan sebaliknya, hukum ada karena kebutuhan manusia. Hakim bisa dengan bebas berijtihad menggunakan pemikirannya atau tafsirannya dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang disesuaikan dengan kebutuhan saat itu, dengan demikian teori progresif ini merupakan terobosan hukum yang menegaskan bahwa hukum itu tidak dibuat secara sengaja, tetapi ada dari manusia itu sendiri dengan mengutamakan asas keadilan. Namun dari sini, penulis menganalisa bahwa sesungguhnya syarat lulus menjadi hakim yaitu dapat membaca kitab kuning, tidak terlalu relevan bahkan tidak digunakan kembali oleh hakim ketika mereka membuat pertimbangan hukum. Namun demikian, penulis menilai hakim di Pengadilan Agama tetap menggunakan asas teori keadilan dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Keadilan ini merupakan sebuah harapan dari para pencari keadilan yang mempercayakan kepada hakim untuk memutus perkara dengan seadil-adilnya tidak peduli pertimbangan hakim tersebut bersumber dari perundang-undangan yang berlaku atau sebuah ijtihad hakim itu sendiri. Karena hukum mempunyai fungsi untuk memberikan keadilan atau
71
perlindungan terhadap kepentingan manusia. Hal ini terlihat pada kepala putusan yang menyatakan “Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.” Oleh karena itu, hukum harus dilaksanakan agar kepentingan manusia tersebut dapat terlindungi. Dalam pelaksanannya, hukum terkadang berlangsung secara normal dan damai, akan tetapi terkadang juga terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum dalam prakteknya. Dalam hal ini, hukum yang dilanggar harus ditegakkan dalam penegakan hukum karena penegakan hukum ini menyangkut kegiatan penindakan terhadap segala pelanggaran atau penyimpangan terhadap perundang-undangan melalui proses peradilan. Ada tiga unsur yang harus diperhatikan dalam menegakkan hukum yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi masalah atau sengketa karena hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan, dengan adanya kepastian hukum maka masyarakat akan merasa lebih aman dan sejahtera. Dari pelaksanaan atau penegakan hukum masyarakat mengharapkan manfaat karena dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil. Lain halnya dengan hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup seluruh perkara yang timbul dalam masyarakat, sehingga menyulitkan aparat penegak hukum dalam hal ini adalah hakim dalam menyelesaikan suatu perkara. Adakalanya hakim dihadapkan dengan suatu masalah yang belum ada hukum atau peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan masalah yang bersangkutan. Dengan menggunakan metode penafsiran hakim atau ijtihad
72
para ulama dalam kitab fikih klasik hakim diharapkan dapat menyelesaikan masalah dengan cara menganalogikannya. Segenap pertimbangan putusan hakim diatas hanya menggunakan konsep perundang-undangan tidak lagi kitab fikih digunakan sebagai sumber rujukan pada putusan cerai talak. Hal ini sangat disayangkan mengingat syarat menjadi seorang hakim adalah dapat membaca kitab kuning artinya seorang hakim dituntut untuk bisa memahami isi dari kitab-kitab fikih klasik hasil para ijtihad ulama agar hakim di Pengadilan Agama dapat berijtihad berdasarkan kitab fikih dalam membuat pertimbangan putusan dan lebih menggali lagi dari hukum yang telah ada, tidak dengan semata-mata hanya merujuk kepada perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saja, dengan tidak diterapkannya kembali kitab fikih dalam pertimbangan putusan maka hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tidak lagi membuat pertimbangan selain dari peraturan perundang-undangan atau ijtihad baru dan hakim hanya lebih menerapkan aturan dari yang telah ada.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan data yang telah penulis jelaskan maka dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan kitab fikih di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tahun 2010 dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara cerai talak sebanyak 6% sebagai landasan hukum. Hal ini sesuai dengan data perkara cerai talak pada tahun 2010. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan lebih banyak menggunakan KHI sebagai dasar pertimbangan putusan, diketahui bahwa sebanyak 100% KHI digunakan sebagai landasan hukum perkara cerai talak, PP No. 9 Tahun 1975 menempati 94% sebagai landasan hukum, UU No. 1 Tahun 1974 menempati 86% sebagai landasan hukum, UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan Perubahan ke-II dengan UU No. 50 Tahun 2009 menempati 80% sebagai landasan hukum dan Yurisprudensi menempati 3% sebagai landasan hukum. Dari hasil persentase tersebut menandakan bahwa hakim agama hanya merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sebagai rujukan atau sumber utama dalam memutus perkara. Tidak lagi melakukan ijtihad dengan mencari dasar dalam kitab fikih, dengan demikian bahwa hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara menganut teori hukum positivisme, dimana hakim
73
74
dalam melakukan pertimbangan terfokus pada peraturan perundangundangan. B. Saran-saran Dari kesimpulan yang telah dipaparkan maka diajukan beberapa saran yang perlu disampaikan sebagai berikut: 1. Kepada para hakim di Pengadilan Agama hendaknya selalu menerapkan kitab fikih sebagai sumber landasan hukum dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara, dengan diterapkannya kitab fikih eksistensi kitab fikih akan selalu terjaga. diharapkan semua putusan hakim di Indonesia menggunakan kitab fikih sebagai sumber landasan hukum ijtihad hakim. 2. Kepada para akademisi hukum, diharuskan mempelajari dan memahami secara mendalam segala pembahasan yang ada di kitab fikih agar menjadikan kitab fikih sebagai landasan hukum disamping peraturan perundang-undangan. Hal demikian sangat membantu para mahasiswa yang akan terjun di dunia hukum dan peradilan. 3. Bagi peneliti selanjutnya, agar lebih jauh lagi meneliti tentang efektifitas KHI sebagai landasan hukum yang digunakan oleh hakim.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anulkarim. Adi, Rianto. Sosiologi Hukum kajian Hukum secara Sosiologis. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012. Adji, Indriyanto Seno. Humanisme dan Pembaruan Penegakan Hukum. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009. Atmasasmita, Romli. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum. Bandung: Mandar Maju, 2001. AF, Hasanuddin. Perkawinan dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Nusantara Damai Press, 2011. Al-Allamah ibn Manzur, Imam. Lisan al-Arab. Kairo: Dar Al Hadis, 2003. Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fiqh Ala Mazahib Al Arba’ah. Mesir: Dar Al Haisam, t.th. Arto, A. Mukti. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. As Suyuthi, Jalaluddin. Terjemah Asbabun Nuzul, penerjemah Rohadi Abu Bakar. Semarang: Wicaksana-Berkah Ilahi, 1986. Bintania, Aris. Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012. Cotterrell, Roger. Sosiologi Hukum. Bandung: Nusa Media, 2012. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. III, edisi III, Jakarta: Balai Pustaka, 2005. Emzir. Metodologi Penelitian Pendidikan: Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008. Ghozali, Abdul Rahman. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana, 2010.Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Perilaku. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009.
75
76
Kamarusdiana, Hukum Acara Peradilan Agama. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah: Jakarta, 2013. Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007. Kuzari, Achmad. Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995. Mahmud Marzuki, Peter. Pengantar Ilmu Hukum. t,t.,: t,tp., t.th. Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Kencana: Jakarta, 2006. Manan, Abdul. dan M. Fauzan. Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, Cet. V. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002. Munawwir, A. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997. Mugniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab, Cet. XXVI. Jakarta: Lentera, 2010. Nur, Djaman. Fiqih Munakahat. Semarang: Dina Utama, 1993. Rahardjo, Satjipto. Membedah Hukum Progresif, cet. II. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2007. ----------. Hukum dan Perilaku. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009. ----------. Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010. Remy Sjahdeini, Sutan dan dkk. Penegakan Hukum di Indonesia. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006. Soekanto, Soerjono. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: RajaGrafindo, 2001. Sopyan, Yayan. Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, Cet. II. Jakarta: RMBooks, 2012. ----------. Pengantar Metode Penelitian. t.t.,: t.p., t.th.
77
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2011. Subyantoro, Arief dan Fx. Suwarto. Metode dan Teknik Penelitian Sosial. Yogyakarta: C.V ANDI Offset, 2007. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Cet. XV. Bandung: CV Alfabeta, 2012. Syamsudin dan Vismala S. Damaianti. Metode Penelitian Pendidikan Bahas. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006. Sutarmadi, A. dan Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga. Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN JKT, 2006. Syarifuddin, Amir. Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana, 2005. ----------. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2007. ----------. Hukum Perikatan Islam di Indonesia: antara Fiqh Munakahat dan Undangundang Perkawinan. Jakarta: Prenada Media, t.th. Taqiyuddin Abu Bakar AlHusaini, Al-Imam. Terjemahan Kifayatul Akhyar jilid II. penerjemah Achmad Zaidun, dkk Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1997. Utsman, Sabian. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum; Makna Dialog antara Hukum & Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Zuhaily, Wahbah. Al-Fikh Al-Islamy Wa Adillatuhu, Juz IX. Damaskus: Dar Al-Fikr, 2007. Zuhriah, Erfaniah. Peradilan Agama Di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut. Malang: UIN-Malang Press, 2008.
TRANSKIP WAWANCARA
Narasumber
: Saifuddin
Jabatan
: Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Hari/Tanggal : Kamis, 26 Maret 2015 Waktu
: Pukul 15.45 – 16.05 WIB
1. Menurut Bapak apa yang dimaksud dengan cerai talak dan cerai gugat? Jawaban: Cerai talak itu salah satu cara untuk memutuskan perkawinan yang diajukan oleh pihak suami. Sedangkan cerai gugat itu adalah diajukan oleh isteri. Itu perbedaannya dari segi yang mengajukan
2. Apa faktor penyebab terjadi cerai talak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan? Jawaban: Banyak, hampir semua alasan perceraian itu kena, yang paling dominan adalah terdapat dalam Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, yaitu perselisihan terus menerus. Alasan ini yang paling banyak dari sekian banyak orang yang mengajukan perceraian.
3. Berapa lama perkara cerai talak baru bisa diselesaikan? Jawaban: Tidak ada, namanya pengadilan tidak bisa diprediksi waktu. Ada yang sekali sidang selesai, ada yang sekali sidang setelah 4 bulan, ada 2x sidang selesai,
ada 10x sidang baru selesai bahkan ada tahunan baru selesai jadi, tidak bisa diprediksi itu. Semua bentuk peradilan itu tidak bisa diprediksi. Satu prinsip bahwa hakim tidak boleh menunda sidang tanpa alasan dan alasan itu tidak boleh alasan hakim harus alasan oleh para pihak. Contoh sidang pertama keduanya hadir berarti hakim melakukan mediasi, berarti ditunda karena mediasi, setelah mediasi kita akan baca gugatan, setelah dibaca gugatan apakah Termohonnya siap dengan jawaban? “belum”, kalau belum ya berarti ditunda lagi. Jadi semua penundaan itu karena alasan para pihak. Tetapi kalau misalnya sidang pertama setelah pembacaan gugatan artinya setelah mediasi ya Termohon menyatakan “saya terima semua” berarti tidak perlu jawabankan, tidak perlu replik dan duplik nah menjadi pendekkan. Kemudian masuk pembuktian, setelah pembuktian barulah kesimpulan. Kesimpulan inipun 2 macam: ada orang yang menyampaikan hari itu lisan, ada yang meminta ditunda 2 minggu karena ingin menyampaikan secara tertulis, hal itukan waktu lagi jadi semua bentuk penundaan itu adalah atas permintaan para pihak. Waktunya tidak bisa diprediksi berapa lamanya.
4. Alasan-alasan apa saja yang dapat diterima oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan dari suami yang mengajukan cerai talak? Jawaban: Semua bisa, tapi yang dominan tetap perselisihan. Misalnya perselisihannya penyebabnya apa: isteri tidak taat, ada pria idaman lain, isteri dipenjara dan
lain sebagainya. Kalau dipenjara itu harus diatas 5 tahun alat buktinya hanya putusan pengadilan.
5. Apa dasar hukum bagi Hakim dalam memutuskan perkara cerai talak? Jawaban: Yang
pertama
itu
Al-Qur’an,
yang
kedua
Undang-undang,
Inpres,
yurisprudensi, boleh juga pendapat hakim itu sendiri. Semua Undang-undang, jadi prinsipnya adalah semua Undang-undang yang berkaitan dengan masalah yang hakim hadapi itulah yang dipakai. Contoh KDRT, ketika suami melakukan KDRT maka masuklah Undang-undang KDRT, jika hanya spesipik di cerai talak itu tidak bisa, cerai talak itukan hanya istilah, mereka itu cerai alasannya karena apa? alasannya karena isteri melakukan KDRT, berarti hakim melibatkan Undang-undang KDRT. Tetapi yang pokok adalah Undang-undang Perkawinan ini yang mutlak ya karena memang itu adalah hukum dasar, Undang-undang Peradilan Agama sendiri, kemudian Kompilasi Hukum Islam dan semua Undang-undang yang berkaitan dengan masalah yang menjadi alasan perceraian. Undang-undang anak bisa masuk, siapa yang memelihara anak, siapa yang mengasuh anak, itu kan termasuk disitu.
6. Apa yang menjadi syarat talak? Jawaban: Yang pasti mereka adalah suami istri buktinya buku nikah, itu persyaratan administrasi. Pendaftaran itu hanya menerima gugatan, permohonan talak dari
suami dan gugatan cerai dari isteri. Sementara yang namanya buku nikah, ktp dan lain sebagainya itu merupakan bukti ketika persidangan tapi ketika pertama sekali mengajukan adalah hanya gugatan atau permohonan Cuma kadangkadang orang kan buta hukum ya, mereka diarahkan langsung membawa buku nikah. Kenapa? Karena buku nikah termasuk kedalam permohonan nomornya, tanggalnya, hal itu kan dicantumkan dalam permohonan.
7. Perceraian terbagi dua macam: cerai talak dan cerai gugat. Perkara mana yang sering diputus oleh Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan? Jawaban Tetap yang dominan adalah cerai gugat yang diajukan oleh isteri.
8. Menurut Bapak apa yang dimaksud teori progresif, teori positivisme dan teori penegakan hukum? jelaskan! Ini tidak usah, kamu nanti hanya menganalisa, kamu analisa sendiri nanti, kamu pahami dulu apa teori-teori itu kemudian coba masukkan kedalam konsep atau tata cara hakim menerapkan hukum itu. Contoh, menurut hukum anak-anak yang dibawah umur diasuh oleh ibunya nah ada kasus-kasus tertentu anak yang diasuh oleh bapaknya, ini adalah tata cara hakim menarik pertimbangan hukum, bisa berguna teori-teori tersebut apabila kasusnya seperti itu.
9. Apakah hakim menggunakan kitab fikih dalam memutus perkara cerai talak? jelaskan! Dulu pada pengadilan yang lama itu orang menggunakan kitab fikih kemudian didalam kitab fikih itu muncul hukum yang berbeda. Ketika satu hakim menghadapi suatu masalah kemudian dia menerapkan kitab tertentu sementara hakim yang lain juga menghadapi masalah yang sama juga menggunakan kitab yang lain akibatnya adalah putusan menjadi berbeda, karena melihat kondisi seperti itu maka ulama bekerja sama dengan pemerintah (Menteri Agama), terbentuklah Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Munculnya Kompilasi itu dimasksudkan dan diharapkan agar tidak terjadi perbedaan lagi, sebab kalau terjadi perbedaan masyarakat yang bingung karena kitab yang diterapkan berbeda maka disusunlah Kompilasi. Apakah sekarang kembali lagi kesana, jika kembali lagi kesana akan terjadi seperti itu menghadapi kasus yang sama boleh jadi putusannya berbeda, hasilnya masyarakat menjadi bingung, kepastian hukum menjadi hilang. Tetapi dalam kenyataannya dalam praktek masih ada hakim yang menggunakan sepenggalsepenggal isi kitab, tetap hakim mengacu kepada Kompilasi. Dengan begitu hakim tetap mengkaitkan kitab-kitab fikih karena dimaksudkan agar kekhasan keIslamannya tidak hilang. Hanya saja di Kompilasi itu kadang hakim juga berbeda, contohya pembagian waris itu 2:1 laki-laki mendapatkan 2 dan perempuan mendapatkan 1 didalam praktek tidak semuanya sama, sama halnya di Kompilasi dikatakan bahwa harta bersama itu 50:50 nah ketika berbeda dengan Kompilasi maka rujukannya kembali ke kitab fikih, jadi ada hal kenapa
kembali kekitab fikih atau melenceng dari Kompilasi karena ada pertimbangan lain. Contoh lain ketika suami isteri, perempuan kewajibannya di dapur dan suami kewajibannya bekerja ketika hal ini berjalan normal berarti Kompilasi menentukan bahwa penghailan menjadi 50:50. Sekarang saya tambah, perempuanya kerja dirumah juga kerja di luar, sementar laki-lakinya kerja satu. Sekarang saya Tanya kamu adilkah kalau 50:50? “engga” nah, berarti anda sudah keluar dari Kompilasi. Ketika keluar dari Kompilasi ini sebetulnya boleh jadi kita kaitkan dengan pendapat ulama, kitab-kitab fikih, bisa jadi hakim berpendapat sendiri. Artinya, kadang hakim menggunakan KHI, kadang menggunakan kitab-kitab fikih, kadang hakim menggunakan analog, kadang menggunakan yurisprudensi dan terkadang hakim menggabungkan semuanya.
Jakarta, 31 Maret 2015 Narasumber
Saifuddin
TRANSKIP WAWANCARA
Narasumber
: Drs. Mustofa, SH
Jabatan
: Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Hari/Tanggal : Kamis, 26 Maret 2015 Waktu
: Pukul 15.15 – 15.40 WIB
1. Menurut Bapak apa yang dimaksud dengan cerai talak? Jawaban: Cerai talak adalah cerai yang inisiatifnya datang dari suami, posisi suami sebagai Pemohon dan posisi isteri sebagai Termohon. Jadi cerai talak itu permohonan cerai yang diajukan suami ke Pengadilan.
2. Apa faktor penyebab terjadi cerai talak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan? Jawaban: Sebetulnya banyak faktor ya, diantaranya bahwa si isteri sudah tidak bertanggung jawab lagi sebagai ibu rumah tangga sehingga isteri mempunyai pria idaman lain, ada juga isteri yang meninggalkan rumah, kemudian isteri tidak sabar dengan penghasilan suami karena tidak merasa cukup akhirnya terjadi perselisihan. Jadi bisa disimpulkan faktor penyebabnya yaitu karena ekonomi dan pria idaman lain.
3. Berapa lama perkara cerai talak baru bisa diselesaikan? Jawaban:
Itu relatif, tidak bisa dipastikan selesai 1 bulan, 2 bulan itu tergantung kepada para pihaknya. Misalkan kalau si isteri sudah dipanggil minimal 2x berturutturut tidak hadir tanpa alasan ketidakhadirannya itu kemudian permohonannya sudah diperiksa akhirnya 2x sidang sudah putus, tapi itu untuk sebatas memberikan izin belum sampai jatuh talak. Karena proses dari cerai talak itu pertama, adalah kalau dikabulkan memberi izin dulu kepada suami, jadi putusannya itu memberi izin kepada suami untuk menyatakan talak kepada isterinya dihadapan sidang Pengadilan Agama. Setelah itu nunggu dulu samapai putusan itu berkekuatan hukum tetap, kalau sudah berkekuatan tetap barulah dipanggil kembali untuk sidang ikrar. Jadi, selesainya perkara cerai talak itu relatif. Apabila si isterinya tidak pernah hadir sampai ikrar itu ya kurang lebih 2 bulan selesai kerana putusannya verstek maka diputusnya cepat. Tetapi kalau isterinya ngeyel dalam persidangan tidak mau pisah selesainya itu bisa berbulan-bulan, bisa 2 bulan, bisa 3 bulan. Tergantung kadang-kadang dalam proses pemeriksaan ada gugatan balik dari isteri jadi itu bisa lebih lama lagi putusnya.
4. Alasan-alasan apa saja yang dapat diterima oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan dari suami yang mengajukan cerai talak? Jawaban: Semua alasan bisa diterima kalau bisa dibuktikan. Alasan perceraian itu kan pada garis besarnya dalam pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam. Itu yang menjadi
alasan-alasan perceraian yang pada umumnya dipakai. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam itulah yang lebih dominan di Pengadilan Agama, bahwa penyebab perceraian karena adanya pertengkaran dan perselisihan terus menerus.
5. Apa dasar hukum bagi Hakim dalam memutuskan perkara cerai talak? Jawaban: Tentu dasarnya itu Undang-undang. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Undang-undang Nomor 9 Tahun 1975, dan Kompilasi Hukum Islam. Kalau sudah sesuai dengan Peraturan tersebut ya dikabulkan.
6. Apa yang menjadi syarat talak? Jawaban: Persyaratan talak itu apabila permohonan suami itukan beralasan, kemudian permohonan dikabulkan, kemudian suami diberi izin. Jadi persyaratan cerai talak itu ya harus terbukti dahulu alasan-alasannya.
7. Perceraian terbagi dua macam: cerai talak dan cerai gugat. Perkara mana yang sering diputus oleh Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan? Jawaban: Cerai ada dua macam: cerai talak dan cerai gugat. Cerai gugatkan inisiatif dari pihak isteri, dalam cerai gugat isteri sebagai Penggugat dan suami sebagai
Tergugat. Sedangkan dalam cerai talak suami sebagai Permohon dan isteri Sebagai Termohon. Jadi syarat jatuh cerai talak itu mentalak isteri harus dihadapan sidang ga bisa sembarangan di luar sidang sesuai dengan bunyi putusan Pengadilan yaitu memberi izin kepada suami untuk mentalak isteri dihadapan sidang. Tapi masih banyak masyarakat yang pemahamannya seperti itu, orientasinya ke fkih. Kalau fikihkan dulu, fikih konvensional istilahnya dimana suami bisa menjatuhkan talak kepada isteri tidak mesti dihadapan sidang. Kadang-kadang masih ada yang beranggapan seperti itu sehingga, masih banyak isteri yang membawa surat pernyataan talak suami ke pengadilan “pak saya sudah cerai, ini buktinya” maka, itu jatuhnya tidak dianggap cerai tetap masih suami isteri. Dilihat dari presentasinya lebih banyak cerai gugat, jadi isteri yang lebih banyak menggugat suami. Faktor-faktornya yaitu: isteri ditelantarkan, suami kawin lagi, suami main perempuan, suami ada yang dipenjara.
8. Menurut Bapak apa yang dimaksud teori progresif, teori positivisme dan teori penegakan hukum? jelaskan! Jawaban: Teori progresif sebetulnya itu di pendidikan hukum ya, jadi teori progresif itu sebetulnya bagaimana penegakan hukum itu yang mampu dirasa keadilan. Progresif itu adanya dipidana sebenarnya, selama ini penjatuhan hukumkan lebih dominan bagaimana hukum si pelaku kejahatan kedepannya nanti akan lebih dipertimbangkan dan orang yang teraniaya itu akan diperhatikan.
Teori Progresif itu adalah suatu teori bahwa hukum itu tertulis, yang disebut hukum itu ya yang tertulis.
9. Apakah dari ketiga teori hukum tersebut: teori progresif, teori positivisme dan penegakan hukum. mana yang lebih digunakan hakim dalam memutus perkara cerai talak? Jawaban: Kalau dikaitkan di Pengadilan Agama tentu dalam rangka menerima, memeriksa dan memutus mengacu kepada Peraturan yang berlaku, kecuali ada hal-hal lain yang memang menurut pertimbangan hakim itu Pasal ini kurang pas untuk diterapkan, tentu ada penafsiran hukum.
10. Apakah hakim menggunakan kitab fikih dalam memutus perkara cerai talak? jelaskan! Sekarang isi kitab fikih yang terkait seperti cerai talak dan pernikahan sudah diterjemahkan atau sudah dialih bahasakan dalam sebuh Kompilasi Hukum Islam jadi, para hakim itu merujuk kesana yaitu fikih Indonesia. Sebetulnya isi dari pada Kompilasi Hukum Islam itu sebagai bentuk pengembangan dari fikih-fikih yang sudah ada selama ini dari berbagai mazhab, kemudian didiskusikan dan dimusyawarahkan oleh para ulama. Dari kitab-kitab fikih yang ada di dunia Islam itu diintisari kemudian dibuatlah dalam formulasi Kompilasi Hukum Islam. Bisa dikatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam itu fikihnya Indonesia, itu yang dijadikan rujukan oleh hakim. Jadi eksistensi kitab
fikih dalam pertimbangan hakim pada putusan perkara cerai talak yaitu kitab fikih sekarang ini sudah diformulasikan kedalam bentuk Kompilasi Hukum Islam, jadi pada intinya tetap kitab-kitab fikih yang dipergunakan oleh Pengadilan. Kenapa diformulasikan dalam sebuah KHI karena berdasarkan penelitian selama ini putusan hakim Pengadilan Agama dalam memutus satu perkara yang sama pendapatnya engga sama, karena tergantung kepada hakim itu menganut mazhab apa dan akan diputus sesuai dengan mazhabnya. Sekarang sudah ada Kompilasi maka putusan Pengadilan Agama akan seragam dalam menangani perkara yang sama. Kalau sebelum ada kompilasi itukan putusan berbeda-beda antara satu hakim dengan hakim yang lain itu tergantung hakim menganut mazhab apa. Tapi dengan adanya Kompilasi Hukum Islam ini putusan hakim sudah seragam.
Jakarta, 31 Maret 2015 Narasumber
Drs. Mustofa, SH