AttanwirJurnalKajianKeislamandanPendidikan Volume 01, Nomor 01, April 2012 Hlm. 56–65
EKONOMI ISLAM ANTARA SEBUAH DOKTRIN DAN REALITAS Makhful Dosen STAI Attanwir Bojonegoro
Abstrak :The development of Islamic economy in Indonesia conceptually and theoretically (the implementation of Islamic economy in various forms, particularly in bank and non-bank finance institution) in several last years has rapidly increased. In its implementation, however, it still faces many obstacles and challenges that must be immediately solved. In response those problems, this paper aims to explain how to overcome the problems mentioned above by conducting integrative study toward Islamic economy and by researching as well as by developing appropriate curriculum of Islamic economy in Institute of Islamic Studies. The paper is expected to contribute a valuable idea toward the development of Islamic economy comprehensively for the recent time as well as the future. Kata Kunci:
A. Pendahuluan Sejak masa kenabian, pendidikan di bidang ekonomi merupakan kebutuhan yang utama. Perhatikan bagaimana Nabi Muhammad ketika muda mendapat didikan oleh pamannya, Abu Thalib, sehingga memiliki kecerdasan dan keterampilan profesional dalam urusan ini. Tak heran jika tahapan kesuksesan beliau begitu menjulang. Berdasarkan ekonografi Rasulullah SAW, pada umur 12 tahun beliau sudah mulai aktif sebagai eksportir ke Syam. Di usia 17-19 tahun beliau sudah menjadi pengusaha yang mandiri. Beranjak ke usia 22 tahun, beliau telah sangat terkenal di Jazirah Arab sebagai seorang profesional. Kemudian di usianya yang ke-25 tahun, beliau menikahi Siti Khadijah dengan mahar 20 ekor unta. Mahar tersebut menunjukkan kemapanan beliau sebagai eksekutif muda yang sukses dalam perjalanan bisnisnya memimpin kafilah dagang ke Mancanegara. Menjelang usia kenabian, beliau mendapat gelar Pengusaha Terpercaya (“Al Amin”), Tokoh Arbirtrer & Konsultan Dagang Internasional. Suatu “sertifikasi” paling prestisius di masanya. Bahkan beliau telah berbisnis hingga ke 17 Negara. Motivasi yang sedemikian tentu bukan lantaran pengejaran status dan keuntungan semata. Dalam sejarah para Nabi, Utusan-utusan Allah SWT senantiasa melakukan
Ekonomi Islam Antara Sebuah Doktrin dan Realitas
57
dakwah ekonomi mengiringi dakwah ketauhidannya. Hal ini karena Islam adalah agama yang syaamil mutakammil1, ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan. Permasalahan aqidah tidak hanya urusan ibadah ritual, melainkan sebaliknya setiap aktivitas manusia masuk dalam kategori bentuk ibadahnya kepada Allah. Simak saja kisah mengenai kaum Nabi Syu’aib dalam Al-Qur’an, Surah Hud ayat 84 dan 85.
֠ ִ ֠!"#$ % &'( ) + ( - ( ./ 0 123 45% 0 6 7#8⌧:';< '($=>/ ? @ A 2☺ 0 ( C( D82☺ 0 ( E FG ./ H I 07#8 &JKE FG ) ֠ #./ L MN4(⌧ O"#$ &+= 2 PQRT Artinya: “Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka, Syu'aib. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, Sesungguhnya Aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan Sesungguhnya Aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat). "Dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.” Pada ayat tersebut terlihat bahwa ajakan Nabi Syu’aib kepada kaumnya untuk menyembah Allah hanya dalam satu kalimat. Sedangkan kalimat selanjutnya hingga akhir adalah permasalahan ekonomi.Hal ini menunjukkan betapa besar perhatian Islam terhadap urusan muamalah maaliyah umatnya. Demikian pula dalam konteks kekinian, krisis global yang baru terjadi merupakan pertanda lemahnya perekonomian umat sehingga perlu penataan sebagaimana mestinya. Kerapuhan sistem kapitalis, telah berkali-kali menunjukkan kenyataan yang pahit. Bahwa sistem bunga yang selama ini dianut, tidak memberikan apa-apa kecuali lingkaran krisis yang tak berujung. Bagaimana tidak, dalam konsepnya jika perekonomian membaik maka bunga akan turun, dampaknya tabungan dan mata uang lokal juga akan menurun. Namun di sisi lain investasi akan meningkat, seiring dengan itu, permintaan dan konsumsi juga naik sehingga menaikkan laba perusahaan dan indeks di bursa. Pada konteks makro, hal tersebut menurunkan tingkat pengangguran sehingga daya beli pun meningkat. Namun lagi-lagi terjadi dilema, karena hal ini akan mendorong kenaikan harga dan inflasi serta menyebabkan kontraksi. 1Syaamil
mutakammil menjelaskan bahwa Syariah bukan hanya bersifat menyeluruh atau komprehensif, tetapi juga universal. Komprehensif sendiri berarti syariah Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual (ibadah) maupunsosial (muamalah).(lihat: Syafi’i Antonio, Bank Syariah : Dari Teori ke Praktik (Gema Insani Press, 2001), hlm.4) Attanwir, Vol. 1, No. 1,April 2012 ISSN: 2252-5238
58
Makhful
Jika terjadi kontraksi, bunga akan naik, kemudian tabungan dan rupiah akan naik mengikuti. Sebaliknya dari kasus ekspansi yang disebutkan di awal, di sini investasi, permintaan dan konsumsi akan turun dan seterusnya hingga menurunkan daya beli dan tingkat harga. Hal ini akan memacu penurunan inflasi. Inflasi turun, bunga pun diturunkan dan seterusnya siklus ini akan terus berulang tanpa ada satu kondisi di mana terjadi keseimbangan perekonomian2. Hal inilah yang menjadi perhatian utama ekonomi Syariah. Yakni untuk membangun keseimbangan antara sektor riil dan moneternya. Inti kajiannya bukan sekedar pengharaman bunga atau riba, tetapi meliputi segenap sistem secara keseluruhan, baik itu fiskal, keuangan, dan lain-lain. Bagaimanapun, ekonomi Islam merupakan ekonomi yang dinamis dan berkembang. Saat ini estafeta konsep, teori, dan aplikasinya masih dalam proses dan belum baku. Oleh karena itu, pendidikan ekonomi Islam harus memiliki metode khusus, dalam rangka mencapai tujuan pendidikan itu sendiri. B. Definisi Pendidikan Secara teori, pendidikan berbeda dengan pengajaran yang dalam bahasa arab disebut ta’lim, sementara pendidikan disebut tarbiyah3. Pengajaran meliputi proses belajar mengajar atau proses menuntut ilmu yang melibatkan pengajar, murid, sarana dan metode pembelajarannya sehingga peserta didik menjadi ‘alim – berilmu pengetahuan. Pendidikan sendiri merupakan proses mendidik yang melibatkan penerapan nilainilai. Di dalamnya terdapat proses pemahaman, penghayatan, penjiwaan dan pengamalan. Sehingga hasil daripendidikan ini adalah menyangkut gaya hidup peserta didik (meliputi akhlak dan cara menyikapi keadaan). Namun kita tidak bisa mendidik tanpa memberi ilmu, dan begitu pula sebaliknya, kita tidak bisa memberi ilmu saja tanpa mendidik. Pengajaran tanpa pendidikan akan menghasilkan masyarakat yang cerdas tetapi rusak akhlaknya. Masyarakat yang maju di berbagai bidang tetapi tidak peduli terhadap sekitarnya. Sebaliknya mendidik saja tanpa memberi ilmu akan menghasilkan individu yang baik tetapi tidak berguna di tengah masyarakat. Sehingga dalam proses membangun dan membina, pengajaran dan pendidikan sama-sama penting. Demikian pula sinergi setiap elemen pendidikan dalam proses pencapaian tujuan pendidikan itu sendiri, dibutuhkan paduan pendekatan, metode dan teknik yang secara bersama-sama dijalankan dalam proses pendidkan tersebut. Konsep demikian menimbulkan apa yang disebut sebagai bubble economy.Perekonomian yang menggelembung seolah-olah memberikan gambaran pertumbuhan tingkat kesejahteraan tetapi justru kondisi ini sangat berbahaya karena peningkatan ukuran ekonomi tidak lahir dari transaksi riil barang dan jasa, melainkan hanya dari instrumen-instrumen efek dan penggelembungan utang. 3Dalam pembahasan tarbiyah sebagai suatu makna dari pendidikan, dapat mencakup pengertian umum dan secara khusus sesuai konteksnya.Namun, secara umum kalangan akademis telah bersepakat bahwa tarbiyah (pendidikan) pada dasarnya adalah sebuah ilmu yang membahas tentang tujuan pengembangan individu dengan metode dan media yang sesuai. (lihat: DR. Ali Abdul Halim Mahmud, PendidikanRuhani(GemaInsani Press, 2000), hlm 19-21) 2
Attanwir, Vol. 1, No. 1,April 2012 ISSN: 2252-5238
Ekonomi Islam Antara Sebuah Doktrin dan Realitas
59
Diagram 1. Proses Pencapaian Tujuan Pendidikan TujuanPendidikan
Dosen
Pendekatan
Mahasiswa
–
Metode
–
Teknik
Alat Bantu Pengajaran (alat Bantu pelajaran, media, alat peraga) Sumber : Drs. A. Samana, M.Pd., Sistem Pengajaran: Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI) dan Pertimbangan Metodologisnya, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hlm. 21. C. Tujuan Pendidikan Ekonomi Islam Dalam konteks ekonomi Islam kajiannya akan lebih spesifik. Bagaimana suatu pendidikan yang baik akan menghasilkan seorang Umar bin Abdul Azis yang cerdas mengatasi krisis seperti pendahulunya sang Khalifah Umar ibnu Khattab. Pendidikan dan pembelajaran yang Umar lakukan telah banyak dan sepatutnya menginspirasi metode pendidikan saat ini agar dapat melahirkan generasi-generasi yang serupa. Bahkan dalam suatu riwayat terkait tentang pentingnya pendidikan ekonomi Syariah menyebutkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab ra. berkeliling pasar, dan berkata :
ا
ا
Artinya: “Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang telah mengerti fiqh (muamalah) dalam agama Islam”.(H.R.Tarmizi) Penekanannya sangat jelas bahwa dalam mengembangkan harta, berinvestasi dan berbisnis, serta kegiatan ekonomi lainnya tidak boleh sekehendak hati, tetapi harus sesuai petunjuk agama (ad-din). Demikian arahan pendidikan ekonomi Islam adalah untuk mempelajari, mendalami dan mengeksplorasi serta mengembangkan kaidah-kaidah Islam dalam bermuamalah. Sehingga dapat menemukan pemecahan atas persoalan ekonomi yang terjadi di masyarakat, bukan sekadar menghidarkan diri dari hal-hal yang syariat larang.
Attanwir, Vol. 1, No. 1,April 2012 ISSN: 2252-5238
60
Makhful
Maka, jika dalam metode pengajaran secara luas, outputnya adalah seorang ’alim (dibaca: berilmu), maka pada kasus pendidikan ekonomi Islam, tujuannya adalah melahirkan ekonom-ekonom mujtahid. Disebut ekonom, sebab ia mendalami dan mengembangkan ilmu ekonomi baik secara tekstual maupun kontekstual. Dinamakan mujtahid, karena ia turut mengeksplorasi khazanah ilmu syariah seperti ushul fiqh, tarikh tasyri’, fiqh muamalah, dan lain-lain, dalam mendukung perekonomian yang searah dengan maqasid syariahnya. Nampaknya hal tersebut mungkin sulit pencapaiannya saat ini, tetapi dengan metode pendidikan yang komprehensif dan terintegrasi, ke depan pendidikan bervisi sedemikian dengan izin Allah SWT bukanlah impian. Upaya tersebut diantaranya dengan mewujudkan pendidikan ekonomi syariah yang mulai dirintis sejak tingkat dasar hingga menengah. Bahkan di awal Januari 2009 juga telah mulai diangkat inisiasi pemberian pelajaran ekonomi Islam di seluruh madrasah di Indonesia. Pembelajaranushul fiqh misalnya, atau fiqh muamalah, memerlukan waktu dan pengetahuan dasar lainnya yang cukup untuk dapat memahami dan mengeksplorasinya. Sehingga metodenya pun membutuhkan model yang khusus untuk menjaga kualitas mutu pendidikan. Diagram 2. Peran Pendidik dan Peserta Didik dalam Setiap Tahapan Tingkatan Pendidikan Peran Pendidik
Peran Peserta Didik
Sumber : Drs. A. Samana, M.Pd., Sistem Pengajaran: Prosedur Pengembangan Sistem SD dan Pertimbangan SMP Metodologisnya, SMU Yogyakarta: Kanisius, PT Instruksional (PPSI) 1992, hlm. 20.
D. Inspirasi Metode Pembelajaran Aktif Ketika membicarakan model pendidikan yang sesuai untuk ekonomi Islam, seringkali sebagian kita beranggapan bahwa pengajarannya akan terbatasi pada kajian fiqih muamalah. Padahal sesungguhnya kajian kesyariahan bukanlah batasan, melainkan arahan menuju pasar yang adil dan kehidupan yang seimbang. Sebagaimana definisi bahasanya, bahwa syariah merupakan jalan menuju sumber mata air. Sehingga pada praktik pengajarannya juga sangat dinamis, dalam hal ini struktur pembelajaran aktif (active learning) dapat pula menjadi inspirasi bagi pendidikan ekonomi Islam.
Attanwir, Vol. 1, No. 1,April 2012 ISSN: 2252-5238
Ekonomi Islam Antara Sebuah Doktrin dan Realitas
61
Perhatikan, misalnya konsep urf dalam metodologi ushul fiqh4. Keberadaan konsep ini sebagai dalil, memperlihatkan kedinamisan dan problem-solving oriented yang menjadi ciri pendidikan ekonomi Islam. Bagaimana dengan urf, diperbolehkan misalnya muzara’ah, mudharabah, dan adanya penggunaan uang di berbagai negara yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhannya. Seperti halnya pembolehan penggunaan dinar dan dirham yang sebenarnya berasal dari Romawi dan Persia. Hal ini menunjukkan bahwa dalam mempelajari Syariah, seorang Muslim harus juga memahami kontekstual dari tujuan Syariah itu sendiri. Karena Syariah bukanlah sekadar suatu kaidah yang tidak bisa diperluas sesuai dengan kebutuhan dan maslahahnya. Melainkan suatu metodologi pemecahan masalah5 yang dalam implementasinya dapat berkembang sesuai dengan kondisi zaman. Kecuali terkait masalah ibadah. Patut kita contoh keteladanan Umar bin Khattab misalnya dalam melakukan reformasi moneter di zamannya6. Beliau tidak semata berpaku pada apa yang telah dilakukan Rasulullah SAW dalam menjalankan perekonomian, tetapi juga secara kebutuhan melakukan pengembangan. Bahkan Umar sempat mengusulkan penciptaan mata uang dari kulit onta, di samping pengharaman memperdagangkan uang dan penimbunan. Sebab, beliau sangat mengerti bahaya kenaikan harga dan turunnya daya beli (inflasi). Dengan demikian, pendidikan ekonomi Islam haruslah berlandaskan secara kuat pada Al-Qur’an dan Hadits, serta dalil-dalil syar’i lainnya. Namun juga diiringi dengan kajian kontekstual yang berorientasi pada pemecahan masalah kekinian. Sehingga tujuan Islam sebagai rahmatan lil ’alamin dan tujuan penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi dapat tercapai. Akan tetapi, kajian kontekstual ini sepatutnya mendorong kita untuk terus berinisiatif, kreatif dan solutif melihat kondisi masyarakat dengan terus menggali khazanah keilmuan Islam. Bukan malah terjerumus meninggalkannya dan mengikuti logika semata. Batasan-batasan Syariah harus tetap dipegang. Sebab tidak boleh berijtihad tanpa ilmu, tanpa ada dalil qath’i yang mendasari. Penggabungan metode tekstual dan kontekstual ini adalah untuk menghindari kejumudan pemikiran, untuk terus mengembangkan ekonomi Islam yang masih senantiasa berproses. Padahal 4Ushul fiqh merupakan metode pengambilan (istinbath) hukum yang berasal dari AlQur’an dan Hadis, serta metode ijtihad lainnya. Urf sebagai salah satu metodenya berlandaskan pada kebiasaan baik yang telah terjadi di masyarakat. Pengambilan urf sebagai dalil memberikan suatu keabsahan diterimanya adat atau kebiasaan (baik) tersebut dalam Syariah. 5Lihat Ziauddin Sardar, Kembali ke Masa Depan (Serambi, 2005), hlm. 98-117). Salah satu paparan beliau, adalah penekanan bahwa syariah bukanlah teologi, melainkan perpaduan antara hukum, etika dan metodologi. Menurut beliau, kita dapat menarik pelajaran dari cara para imam madzhab menerapkan ketiganya dalam situasi tertentu pada masa mereka. Tetapi tidak ada cara yang lebih baik bagi kita selain mencari jawaban terhadap persoalan kita sendiri. Karena setiap zaman memiliki persoalan baru yang unik dan tak dapat dijawab (dengan hanya) bentuk-bentuk pemecahan tradisional. Bukan berarti syariah perlu “dimodernkan”, melainkan harus dipahami berdasarkan terminologinya sendiri. 6Reformasi Moneter yang dilakukan Umar bin Al-Khatab lebih lanjut dapat meninjau DR. Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khatab,(Khalifa, 2006), hlm. 325-340.
Attanwir, Vol. 1, No. 1,April 2012 ISSN: 2252-5238
62
Makhful
kebutuhan terhadapnya terus meningkat. Sedangkan kejumudan merupakan kemunduran yang besar.7 Di tanah air, ada beberapa lembaga pendidikan telah fokus menjadi Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) seperti STEI SEBI, STEI Tazkia dan STIS Yogyakarta dan juga STIS Surabaya Wonocolo. Demikian pula beberapa universitas besar yang menawarkan konsentrasi ekonomi syariah, Magister atau Pasca sarjana bahkan hingga program Doktoral seperti Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, Trisakti, IPB, UIN Jakarta, UIKA Bogor termasuk IAIN Sunan Ampel (Supel) Surabaya dan sebagainya. Belum lagi potensi peningkatan jumlah sumber daya manusia untuk pengembangan ekonomi Islam yang akan semakin bertambah. Dengan semakin banyaknya sumber daya manusia yang terdidik dengan ekonomi Islam, disertai metode pengajaran yang mengarahkan para peserta didik kepada pemenuhan kebutuhan bagi pengembangan ekonomi Indonesia melalui ekonomi Syariah, diharapkan kondisi perekonomian Indonesia semakin membaik. E. Urgensi Kajian Konstektual Ekonomi Islam Bagi Masa Depan Indonesia Langkah mendasar dalam meningkatkan perekonomian Indonesia adalah dengan membenahi pendidikan generasi bangsa. Krisis dan kerapuhan sistem ekonomi yang kita hadapi saat ini sedikit banyak merupakan pengaruh dari sistem pengajaran ilmu ekonomi yang keliru yang berasal dari warisan barat berideologi kapitalisme yang memiliki cacat bawaan (epistemological rupture) sehingga tidak dapat menjadi landasan dalam membangun ilmu sosial yang kokoh . Pengaruh Eropa terhadap ekonomi Indonesia sangatlah besar sejak sebelum kemerdekaan Negara ini terbentuk. Termasuk pada filosofi kebolehan pengenaan bunga yang mereka bedakan menjadi interest dan usury8. Menurut mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan (riba).Hal ini dibawa oleh kolonial belanda ke Indonesia yang menjajah selama 350 tahun dan sistem riba itulah yang diterapkan di bumi Indonesia sampai sekarang. Akibatnya banyak rakyat Indonesia yang memiliki paradigma pemikiran seperti orang-orang Eropa (Belanda) yang membolehkan bunga bank karena kurangnya pemahaman tentang ilmu moneter.
7Meskipun
sangat kita sadari bahwa perguruan tinggi-perguruan tinggi yang telah menyelenggarakan program ekonomi Islam saat ini menemukan banyak kendala seperti belum adanya kurikulum, metode pembelajaran, dan bahan ajar yang terstandar. Namun, poin usulan yang disampaikan pada paper ini, adalah pendekatan dalam melakukan pengajarannya. Sehingga walaupun secara teknis kurikulumnya mungkin berbeda, tetapi pendekatan yang dilakukannya relatif sama. Yaitu pendekatan yang berbasis penelitian solutif aplikatif dengan menggunakan metode kontekstual tersebut. 8Sebagian ulama yang mendukung kebolehan interest karena dianggap tidak berlebihan, mendasari juga pendapatnya pada surat Ali Imran ayat 130 tentang pelarangan pengambilan riba yang berlipat ganda. Namun, dalam memahami ayat ini haruslah cermat termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat riba lainnya secara komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelarangan riba. Sehingga kita sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan. Attanwir, Vol. 1, No. 1,April 2012 ISSN: 2252-5238
Ekonomi Islam Antara Sebuah Doktrin dan Realitas
63
Sehingga wajar apabila keberadaan perbankan syariah di awalnya belum mendapat perhatian besar dari masyarakat. Sebab perubahan paradigma memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Oleh karena itu, metode pendidikan yang khusus dan sosialisasi yang gencar serta komprehensif harus terus menerus dilakukan. Bangsa Indonesia sudah waktunya memiliki konsep perekonomian yang sesuai dengan budaya masyarakatnya, yang memiliki sistem yang berkeadilan, mendorong sektor riil khususnya UMKM, dan menciptakan keseimbangan ril dan moneter. Indonesia dapat menggunakan beragam instrumen ekonomi Syariah untuk melakukan pengembangan perekonomian tanpa beban utang yang melilit. Mulai dari penggunaan perbankan berbasis bagi hasil untuk menggiatkan sektor riil, pemberdayaan zakat sebagai instrumen kebijakan fiskal, penerbitan sukuk sebagai sumber dana pembiayaan infrastruktur, dan sebagainya. Bahkan pemerintah juga dapat memanfaatkan voluntary sector untuk mengembangkan perekonomian. Sebut saja dengan pemberdayaan wakaf produktif. Gunawan (2007) menggambarkan jika asumsi jumlah penduduk Muslim kelas menengah diperkirakan sebesar 10 juta orang, dengan penghasilan antara Rp.1.000.000 sampai Rp.10.000.000 tiapbulan. Kemudiansetiap Muslim tersebut memberikan wakaf uang sebesar 1% dari penghasilannya tiap bulan (berkisar antara Rp.10.000 – Rp.100.000). Maka akumulasi dana wakaf uang per bulan akan bergerak antara 100 miliar hingga 1 triliun rupiah. Artinya, dalam setahun, ada potensi wakaf uang sebesar Rp.1,2triliun sampai dengan Rp.12 triliun yang dapat berfungsi sebagai potensi dana pengganti utang negara. Di mana dana tersebut dapat dipergunakan oleh Pemerintah untuk menggerakkan perekonomian. Bahkan dalam lingkup kedaerahan, pemberdayaan dana volunter seperti wakaf atau pun zakat misalnya, juga dapat diberdayakan untuk mengembangkan sebuah desa tertinggal. Sesungguhnya masih banyak lapisan alternative solusi ekonomi Islam yang belum tergali. Sehingga, dalam lingkup kebijakan pemerintah, dukungan terhadap pendidikan ekonomi syariah merupakan investasi berharga bagi pertumbuhan perekonomian Indonesai kedepan. Baik dalam bentuk penyelenggaraan pendidikan mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi hingga dukungan pengembangan kurikulum yang berbasis kontekstual dan kompetensi. Sebab dengan pendekatan demikian, ekonomi Syariah dapat berinovasi secara solutif sesuai dengan perkembangan permasalahan perekonomian. F. Penutup Demikian dapat kita simpulkan bahwa pendidikan ekonomi Islam harus mengarah pada tujuan pembentukan dan internalisasi nilai-nilai Islam pada ekonomi itu sendiri. Sebagaimana juga diungkapkan oleh Muhammad Baqir Ash Shadr bahwa yang kita maksud dengan ’ekonomi Islam’ adalah doktrin ekonomi yang ditinjau dari keutuhan kerangkanya serta keterkaitannya dengan keseimbangan intelektual di mana ia bergantung dan yang menjelaskan sudut pandang ekonomi dalam hubungannya dengan isu-isu yang terkait dengannya. Sehingga metode pengajaran untuk membentuk kualitas mutu pendidikan ekonomi Islam yang sesuai adalah dengan kurikulum berbasis kompetensi yang Attanwir, Vol. 1, No. 1,April 2012 ISSN: 2252-5238
64
Makhful
menggabungkan pendekatan tekstual dan kontekstual. Dengan metode ini, suatu institusi pendidikan berdedikasi pada penelitian dan pengabdian masyarakat berbasis problem solving. Metode semacam ini sebenarnya harus mendasari setiap pendidikan ekonomi baik syariah ataupun konvensional. Prof. Mubyarto (2003) bahkan menegaskan kembali urgensi hal ini, dengan memaparkan 4 kalimat awal pada bab III buku Alfred Marshall, Principles of Economics (1890) sebagai berikut: It is the business of economics as almost every other science to collect facts, to arrange and interprete them, and to draw inferences from them. Observation and discription are preparatory activities. But what we desire to reach thereby is a knowledge of the interdependence of economic phenomena …. Induction and deduction are both needed for scientific thought as the right and left foot are both needed for walking(Marshall 1890: 29). Meskipun pada implementasinya akan menemukan berbagai kendala, upaya untuk melakukan pendidikan ekonomi Islam secara kontekstual ini sangat penting bagi pengembangan dan perbaikan perekonomian Indonesia kedepan. Menuju Indonesia yang lebih baik dan sejahtera.
Attanwir, Vol. 1, No. 1,April 2012 ISSN: 2252-5238
Ekonomi Islam Antara Sebuah Doktrin dan Realitas
65
Daftar Pustaka Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad. Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Terjemahan H. Asmuni Solihan Zamakhsyari, Lc. 2006. Jakarta: Khalifa. Agustianto. Menyiapkan SDM Ekonomi Syariah Profesional melalui Perguruan Tinggi Ekonomi Islam. http://agustianto.niriah.com/2008/04/01/menyiapkan-sdmekonomi-syariah-profesional-melalui-perguruan-tinggi-ekonomi-islam/. 10Dessember 2010. Antonio, Muhammad Syafii. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press. Ash Shadr, Muhammad Baqir. 2008. Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtishaduna. Jakarta: Zahra. Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Terjemahan Tim IIIT Indonesia. 2002. Jakarta: The International Institute of Islamic Thought. Mahmud, Ali Abdul Halim. Pendidikan Ruhani. Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. 2000. Jakarta: Gema Insani Press. Mubyarto. 2002. Kekeliruan Pengajaran Ilmu Ekonomi di Indonesia. Jurnal Ekonomi Rakyat, Artikel – Th.I – No.2 – April 2002. http://www.ekonomirakyat.org/edisi_2/artikel_2.htm,diakses 10Desember 2010
Attanwir, Vol. 1, No. 1,April 2012 ISSN: 2252-5238