perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
EFEKTIVITAS PENERAPAN PENDIDIKAN MORAL DALAM MEMBENTUK TANGGUNG JAWAB MORAL PADA EKS WANITA -1
SKRIPSI
Oleh : INDRIYANI CAHYA NINGRUM K6407008
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
commit to user i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
EFEKTIVITAS PENERAPAN PENDIDIKAN MORAL DALAM MEMBENTUK TANGGUNG JAWAB MORAL PADA EKS WANITA -1
Oleh INDRIYANI CAHYA NINGRUM K6407008
Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Indriyani Cahya Ningrum. EFEKTIVITAS PENERAPAN PENDIDIKAN MORAL DALAM MEMBENTUK TANGGUNG JAWAB MORAL PADA SURAKARTA-1. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret. Juni. 2011. Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui model-model pendidikan moral yang diberikan pi -1 dalam membentuk tanggung jawab moral pada eks WTS. (2) Mengetahui efektivitas penerapan pendidikan moral dalam membentuk tanggung jawab moral pada eks -1 . (3) Mengetahui faktor yang mempengaruhi sulitnya penerapan pendidikan moral dalam membentuk tanggung jawab moral pada eks WTS di BAREH -1. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan strategi penelitian tunggal terpancang. Sumber data yang digunakan adalah informan, peristiwa dan dokumen. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Validitas data yang diperoleh dengan teknik trianggulasi data dan trianggulasi metode. Analisis data menggunakan analisis interaktif yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan. Prosedur penelitian menggunakan langkah-langkah yaitu tahap pra lapangan, tahap pelaksanaan lapangan, tahap analisis data, dan tahap penyusunan laporan penelitian. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: (1) Modelmodel pendidikan moral yang diberikan dengan model keteladanan, penguatan positif dan negatif, bimbingan perseorangan maupun kelompok, diskusi terarah, dan model praktik dalam kehidupan bermasyarakat. (2) Sesuai dengan indikator dari efektivitas penerapan pendidikan moral dalam membentuk tanggung jawab -1 dapat dikatakan belum efektif hal tersebut dapat dilihat dari indikator input, process, output dan outcome yang belum sesuai dengan yang diharapkan. (3) Faktor yang mempengaruhi sulitnya penerapan pendidikan moral dalam membentuk tanggung jawab moral pada eks WTS dari faktor latar belakang pendidikan eks WTS yang rendah, instruktur yang kurang berkompeten, dan kurangnya sarana prasarana pendukung penerapan pendidikan moral.
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTARCT
Indriyani Cahya Ningrum. EFFECTIVITY OF MORAL EDUCATION IN FORMING MORAL RESPONSIBILITY OF EX PROSTITUTES AT BAREHSOS -1. Thesis. Surakarta: Faculty Of Teacher Training and Education. Sebelas Maret University. June. 2011. The aims of this research are (1) To find moral education models used by -1 in forming moral responsibility of ex prostitutes. (2) To find the effectivity of moral education in forming moral -1. (3) To find the factor which blocks the implementation of moral education in forming 1. This research employs qualitative descriptive methodology which applies embedded research strategy. The sources of data of this research are informants happenings and document. Purposive sampling is applied to take a sample in this research. Technique of collecting data used in this research are interview, observation and document analysis. The validity of data is analyzed by data triangulation and method triangulation technique. Interactive analysis such as data reducting and conclusion presenting are applied as the data analysis. This research was conducted in some steps: pre research prosess,on research process, data analysis and arranging reports. The result of this research are: (1) moral education models applied at the place of research with example model, strengthening positive and negative, personal and group guidance, focus discussion, and social life. (2) based on the indicator and effectivity of moral education implementation to build moral akarta-1 is not effective. This can be seen from input, process, output and outcome indicators which are inappropriate. (3) factors which block the implementation of moral education in building moral responsibility of ex prostitutes are the less of education background of those ex prostitutes, less competent instructors, and the lack of supporting equipments to implement moral education.
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
egara, manakala wanitanya baik akhlaknya, maka baik pulalah negaranya. Tetapi manakala wanitanya rusak, negarapun rusaklah (Al Hadist Rasullullah)
yang keras, apabila kita bersungguh-sungguh dan berusaha keras maka hasil yang
(Penulis)
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan kepada: Bapak
dan
Ibu
tercinta
yang
telah
memberikan doa dan motivasi Kakak dan adik-adikku tersayang, Mas Adi, Rama, dan Wawan Dedy
Fera
Suprabowo
yang
selalu
mendukungku Tisanda Kostser Teman-teman PKn angkatan 2007 dan khususnya sahabat-sahabatku kiki, rosi dan april Almamater
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul
Efektivitas Penerapan Pendidikan Moral Dalam
Membentuk Tanggung Jawab Moral Pada Eks Wanita Tuna Susila di Surakarta- . Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari prasyarat guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada program Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bentuk bantuannya, disampaikan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin penelitian guna menyusun skripsi ini. 2. Drs. Saiful Bachri, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP UNS Surakarta, yang telah menyetujui penyusunan skripsi ini. 3. Dr. Sri Haryati, M.Pd., Ketua Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan FKIP UNS Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi. 4. Prof. Dr. Sri Jutmini, M.Pd selaku Pembimbing I yang dengan sabar telah memberikan pengarahan, bimbingan dan motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 5. Winarno, S.Pd, M.Si selaku Pembimbing II yang dengan sabar telah memberikan
bimbingan,
pengarahan
dan
dorongan
selama
penulis
menyelesaikan skripsi ini. 6. Drs. E. Sunar Ardinarto, M.Pd selaku pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan serta pengarahan.
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7. Bapak/Ibu dosen Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. 8. Rekan-rekan Pkn 07 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang membantu dan memberikan keceriaan selama menjadi mahasiswa dan dalam menyelesaikan skripsi ini. 9.
Surakarta-1 yang dengan senang hati membantu penulis dalam pengumpulan data yang penulis perlukan dalam penyusunan skripsi ini.
10. Semua pihak yang membantu penulis demi lancarnya penulisan skripsi ini. Penulis berharap, semoga Allah SWT selalu memberikan barokah dan anugerah yang terbaik atas jasa yang mereka berikan. Dalam penyusunan skripsi ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin, namun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih ada kekurangan karena
keterbatasan
penulis.
Dengan
segala
kerendahan
hati
penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Surakarta,
Juni 2011
Penulis
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................
i
HALAMAN PENGAJUAN .............................................................................
ii
HALAMAN
iii
HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................
iv
HALAMAN ABSTRAK ..................................................................................
v
ABSTRACT .......................................................................................................
vi
MOTTO ...........................................................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................
viii
KATA PENGANTAR .....................................................................................
ix
DAFTAR ISI ....................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xvi
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...........................................................
1
B. Perumusan Masalah .................................................................
8
C. Tujuan Penelitian .....................................................................
8
D. Manfaat Penelitian ...................................................................
9
LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ......................................................................
10
1. Tinjauan tentang Moral ......................................................
10
2. Tinjauan tentang Pendidikan Moral ...................................
30
3. Tinjauan tentang Tanggung Jawab Moral ..........................
46
4. Tinjauan tentang Wanita Tuna Susila ................................
52
B. Kerangka Berpikir ....................................................................
58
METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................
61
B. Bentuk dan Strategi Penelitian .................................................
61
C. Sumber Data .............................................................................
63
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV
digilib.uns.ac.id
D. Teknik Sampling ......................................................................
66
E. Teknik Pengumpulan Data .......................................................
67
F. Validitas Data ...........................................................................
69
G. Analisis Data ............................................................................
71
H. Prosedur Penelitian...................................................................
72
LAPORAN HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian .....................................................
74
1. Letak Geografis BAREHSOS Surakarta-1.........................................................................
74
2. Sejarah Singkat Berdirinya BAREHSOS -1 .............................................
75
Surakarta-1 .......................
78
3. Visi, Misi dan Moto BAREHSOS
4. Dasar dan Tujuan Berdirinya BAREHSOS -1 ............................................
79
Surakarta-1 .........................................................................
80
5.
6. Keadaan Pembimbing, Instruktur, Penerima Manfaat (Eks
Surakarta-1 .........................................................................
83
7. Jadual Kegiatan Bimbingan Fisik, Mental, dan Sosial Penerima Manfaat (Eks WTS) Dalam Asrama BAREHSOS -1...............................................
86
8. Program Pelayanan Kegiatan di BAREHSOS Surakarta-1.............................................. B. Deskripsi Permasalahan Penelitian
88 93
1. Model-Model Pendidikan Moral yang Digunakan -1 ....................... 2. Efektivitas Penerapan Pendidikan Moral Dalam Membentuk Tanggung Jawab Moral Pada Eks Wanita
commit to user xii
93
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Surakarta-1 .........................................................................
102
3. Faktor yang Mempengaruhi Sulitnya Penerapan Pendidikan Moral Dalam Membentuk Tanggung Jawab Moral Pada Eks Wanita Tuna Susila di BAREHSOS
BAB V
-1 ............................................
128
C. Temuan Studi ...........................................................................
132
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan ...............................................................................
140
B. Implikasi ...................................................................................
142
C. Saran .........................................................................................
143
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
145
LAMPIRAN .....................................................................................................
148
commit to user xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel
1. Jadual Kegiatan Penelitian
.....
Tabel
2. Informan yang Bolak-Balik Masuk BAREHSOS -1...........................................................
Tabel
61
65
3. Daftar Nama Kepala Surakarta-1 yang Pernah Menjabat......................................
78
Tabel
4. Daftar Pembimbing Penerima Manfaat (Eks WTS)............
83
Tabel
5. Daftar Surakarta-1
Tabel
......................................................................
6. Daftar Penerima Manfaat (Eks WTS) Berdasarkan Daerah Asal.......................................................................................
Tabel
85
7. Daftar Penerima Manfaat (Eks WTS) Berdasarkan Latar Belakang Pendidikannya......................................................
Tabel
84
8. Jadual Kegiatan Bimbingan di BAREHSOS
86
Wanita
-1 .............................................................
86
Tabel
9. Rencana dan Hasil dari Indikator Input...............................
112
Tabel
10. Rencana dan Hasil dari Indikator Proses............................
116
Tabel
11. Daftar Eks WTS Berdasarkan Jumlah Banyaknya yang BolakSurakarta-1 .........................................................................
Tabel
120
12. Daftar Eks WTS yang Bolak-Balik Masuk BAREHSOS -1 dari Tahun ke Tahun ..............................................................................................
122
Tabel
13. Rencana dan Hasil dari Indikator Output............................
122
Tabel
14. Rencana dan Hasil dari Indkator Outcome.........................
125
commit to user xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar
1. Skema Kerangka Pemikiran
Gambar
2. Analisis Data Model Interaktif .......................................
Gambar
3. Struktur Organisasi BAREHSOS Surakarta-1.....................................................................
commit to user xv
..
60 72
80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran
1. Daftar Informan ............................................................... 148
Lampiran
2. Pedoman Wawancara ......................................................
150
Lampiran
3. Pedoman Observasi..........................................................
154
Lampiran
4. Catatan Lapangan Wawancara dengan Koordinator Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial...................................
Lampiran
155
5. Catatan Lapangan Wawancara dengan Instruktur dan Pembimbing Pendidikan Moral ......................................
158
Lampiran
6. Catatan Lapangan Wawancara dengan Eks WTS...........
174
Lampiran
7. Trianggulasi Data.............................................................
251
Lampiran
8. Trianggulasi Metode........................................................
255
Lampiran
9. Gambar Kegiatan Penelitian............................................
258
Lampiran
10. Surat Keterangan Diterapkannya Pendidikan Moral di -1.....................
Lampiran
262
11. Surat Keputusan Kepala BAREHSOS Surakarta-1 Tentang Pengangkatan tenaga Instruktur..... 263
Lampiran
12. Lembar Penilaian Bulanan Penerima Manfaat (Eks WTS)...............................................................................
Lampiran
13. Daftar Hadir Penerima Manfaat (EKS WTS) Dalam Kegiatan Bimbingan........................................................
Lampiran
275
17. Surat Permohonan Ijin Research Kepada Kepala Wanit
Lampiran
274
16. Surat Permohonan Ijin Research/ Penelitian Kepada Rektor UNS ....................................................................
Lampiran
273
15. Surat Keputusan Dekan FKIP UNS Tentang Ijin Penyusunan Skripsi.........................................................
Lampiran
271
14. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi Kepada Dekan FKIP UNS...........................................................
Lampiran
265
-1....................
18. Surat Permohonan Surat Pengantar Ijin Survey Kepada
commit to user xvi
276
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kepala Kesbangpol dan Linmas Provinsi Jawa Tengah Semarang........................................................................ Lampiran
19. Surat Rekomendasi Survey/Riset dari Kesbangpol dan Linmas Provinsi Jawa Tengah Semarang......................
Lampiran
277
278
20. Surat Ijin dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah Untuk
Melaksanakan
Penelitian
di
BAREHSOS
Surakarta-1........................................... 280 Lampiran
21. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian dari Surakarta-1.....................
commit to user xvii
281
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya semua manusia menginginkan kehidupan yang lebih baik, yaitu kehidupan yang dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan jasmani, kebutuhan rohani, maupun kebutuhan sosial. Manusia berusaha untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya demi mempertahankan hidupnya sendiri, maupun keluarganya. Berbagai upaya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya manusia bekerja agar memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Kenyataannya, dalam usaha mendapatkan pemenuhan hidupnya sering kali menghadapi kesulitan-kesulitan, terutama yang dialami kaum wanita di Indonesia. Sering kebutuhan keluarganya menuntut wanita harus bekerja di luar rumah untuk mencari kegiatan yang dapat menambah penghasilan keluarganya, apalagi hal tersebut tidaklah mudah karena lapangan kerja yang sangat terbatas, di samping itu juga karena tingkat pendidikan yang rendah. Dengan tingkat pendidikan yang rendah dan tidak adanya keterampilan yang mereka miliki menyebabkan mereka mencari pekerjaan lain yang instan yang dapat menghasilkan uang. Akhirnya banyak wanita yang dengan terpaksa terjun ke dalam bisnis pelacuran. Pelacuran merupakan salah satu fenomena sosial dalam masyarakat yang sangat kompleks, baik dari segi sebab-sebabnya, prosesnya maupun implikasi sosial yang ditimbulkannya. Pelacuran dengan berbagai versinya merupakan bisnis yang abadi sepanjang zaman. Pelacuran pada hakekatnya tetap dicari oleh anggota masyarakat yang tidak terpenuhi kebutuhan seksualnya. Pelacuran atau prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit disebut sebagai Wanita Tuna Susila. Tuna Susila atau tidak susila diartikan sebagai kurang beradab dikarenakan keroyalan relasi seksualnya dalam bentuk penyerahan diri pada banyak laki-laki untuk pemuasan seksual dan mendapatkan imbalan jasa atau uang bagi pelayanannya. Tuna Susila juga bisa diartikan sebagai salah tingkah,
commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2 tidak susila atau gagal menyesuaikan diri terhadap norma-norma susila, maka pelacur itu adalah wanita yang tidak pantas kelakuannya dan bisa mendatangkan mala/celaka dan penyakit, baik kepada orang lain yang bergaul dengan dirinya, maupun pada diri sendiri. (Kartini Kartono, 2005: 207). Prostitusi atau pelacuran sebagai salah satu penyakit masyarakat yang mempunyai sejarah panjang (sejak adanya kehidupan manusia yang telah diatur oleh norma-norma perkawinan sudah ada pelacuran sebagai salah satu penyimpangan dari pada norma-norma perkawinan tersebut) dan tidak ada putus-putusnya yang terdapat disemua negara di dunia. Norma-norma sosial jelas mengharamkan prostitusi, dunia kelamin yang mengerikan akibat adanya pelacuran ditengah masyarakat, namun masyarakat dari abad ke abad tidak berhasil melenyapkan gejala (prostitusi) tersebut. Berbagai cara penanggulangan mulai dari hukuman yang kejam terhadap pelacur, sampai kepada lokalisasi untuk rehabilitasi belum dapat menunjukan hasil yang nyata dan kegiatan prostitusi masih saja berlangsung terus menerus hingga detik ini. (Soedjono D, 1981: 9-10). Prostitusi juga terjadi di Kota Surakarta, prostitusi ini dilakukan perempuan dewasa yang menjajakan dirinya yang tidak dalam pengertian dieksploitasi dan laki-laki yang melakukan perbuatan asusila dengan perempuan tersebut. Prostitusi telah menjadi fenomena sosial yang menjadi faktor pendukung maraknya hiburan dan kesenangan yang ditawarkan di Kota Surakarta. Bahkan secara implisit oleh para pemburu kesenangan telah dijadikan sebagai salah satu seks tourisme di Jawa Tengah, mengingat prostitusi yang kian waktu tidak pernah terlihat surut. Selain dilakukan oleh perempuan dewasa pelacuran juga dilakukan oleh banyak anak perempuan (ABG) yang melacur dengan alasan ekonomi. Petugas Trantib beberapa kali melakukan razia terhadap pelacur jalanan yang mangkal di jalan-jalan protokol ibu kota seperti di Kelurahan Kestalan yang tepatnya di wilayah sekitar RRI, Kelurahan Setabelan yaitu disekitar Monumen Perjuangan 45, Kelurahan Manahan di sekitar Stadion Manahan dan Kelurahan Gilingan yang berada di sekitar Terminal Tirtonadi, tetapi hal ini tidak membuat jera para pelacur, bahkan jumlahnya semakin meningkat. Selain itu ada juga yang terjebak germo sehingga karena takut dengan anggapan masyarakat maka sekalian saja mereka
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3 menjadi pelacur. Pelacur ini sebenarnya terpaksa melakukan pekerjaan tersebut sebagai mata pencaharian mereka karena keadaan dan situasi ekonomi yang berat memaksa mereka dan memang tidak ada pilihan lain. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Legiyem pada hari Jumat tanggal 8
(CL. 7). Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan Dwi
dijual sama teman saya, tetapi lama kelamaan saya jadi ketagihan karena ekonomi dan
(CL. 8). Hal ini juga
dikuatkan berdasarkan hasil wawancara dengan Sri Suwarni pada hari Senin
akhirnya saya kerja seperti ini untuk me
(CL. 9).
Merebaknya prostitusi di Kota Surakarta terlihat dengan terjaringnya Wanita Tuna Susila sebanyak dua puluh enam yang terjaring dalam operasi Penyakit Masyarakat (Pekat), tampaknya Wanita Tuna Susila ini tidak dapat bebas begitu saja. Enam belas di antara mereka terpaksa harus menjalani kurungan lima hari. Adapun dari 26 WTS yang ditangkap, 16 di antaranya menjalani hukuman penjara lima hari setelah ada putusan hakim. Sementara itu, 10 WTS lainnya dibina di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Jongke, Laweyan. Berkali-kali dirazia tampaknya tidak membuat jera bagi para WTS itu. Terbukti, 26 WTS yang terkena razia, empat di antaranya sudah tidak asing lagi bagi aparat yang rutin merazia mereka. Apapun bentuk pembinaan tampaknya juga tidak dapat mengubah pekerjaaan para WTS. Meski di antara mereka dibina dan didik berbagai keterampilan di PSKW, setelah keluar dari tempat pembinaan, mereka tidak bisa meninggalkan pekerjaannya sebagai pramunikmat para lelaki hidung belang. (Suara Merdeka, 28 Mei 2004 ). Ini menandakan bahwa masih ada eks WTS yang setelah mendapat pembinaan kembali lagi bekerja sebagai pelacur. Seperti prostitusi di Kota Surakarta yang hingga sampai saat ini belum dapat teratasi. Hal ini dikarenakan Adanya kompleks silir sendiri di Kota Surakarta yang digunakan sebagai pasar tresno yang dibangun oleh Dinas Sosial Kotamadya Surakarta, sekitar tahun 60-an ketika banyak sekali pelacur berseliweran memenuhi Kota Solo (Kartini, Kartono, 2005: 253). Walaupun kompleks silir sudah dihapus pada tahun 1998 namun tidak menutup adanya permasalahan sosial yang lebih besar,
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4 para pekerja seks komersial yang tadinya beroperasi di daerah resosialisasi, kini mulai beroperasi dan menjaring langganan di jalanan dan hal ini yang menyebabkan maraknya kembali pelacuran jalanan di Kota Surakarta. Pelacuran merupakan tindakan yang bertentangan dengan Pancasila, khususnya sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Dalam kaitannya dengan sila pertama, seluruh agama dan aliran kepercayaan yang ada di Indonesia menyatakan bahwa pelacur merupakan perbuatan asusila, bahkan dosa. Menurut agama Islam, yang diyakini oleh lebih dari 85 % penduduk Indonesia, melacur adalah haram hukumnya (QS: 17,32). Sedangkan norma agama pada umumnya juga melarang pelacuran yakni dalam Surat Aljanganlah kamu sekali-kali melakukan perzinahan, sesungguhnya perzinahan itu merupakan suatu perbuatan yang keji, tidak sopan, dan jal Oleh karena itu, Islam tidak akan menerima dan tidak akan melegitimasi pelacuran sebagai lahan pekerjaan. Namun, jika pelacuran tetap saja diakui sebagai upaya mencari penghidupan, pemerintah seharusnya menyantuni mereka sesuai dengan UUD 1945 pasal 27 ayat 2, yang menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas penghidupan yang layak. Dari pandangan sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, pelacuran juga dapat disejajarkan dengan perbudakan wanita. Kata budak dalam pengertian ini berarti orang yang dapat dibeli dan dijadikan budak, dijadikan orang bayaran. Sehingga pelacuran cenderung merendahkan derajat dan martabat individu, khususnya wanita. Pandangan ini mirip pula dengan Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 23/HUK/96 bahwa segala bentuk pelacuran itu bertentangan dengan nilai sosial, agama, dan moral Republik Indonesia. Pelacuran cenderung merendahkan derajat dan martabat wanita. Ini artinya bahwa para perempuan Wanita Tuna Susila itu adalah orang yang tidak bermoral karena melakukan tindakan tidak bermoral. Dikatakan tindakan tidak bermoral karena tindakan ini adalah tindakan yang tidak menjunjung tinggi nilai pribadi manusia, harkat dan martabat manusia. Sedangkan
commit to user 511
Syarat untuk menjadi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5 manusia yang bermoral, adalah memenuhi salah satu ketentuan kodrat yaitu adanya kehendak yang baik. Dimana kehendak yang baik ini mensyaratkan adanya tingkah laku dan tujuan yang baik pula . (Bambang Daroeso, 1988 : 23). Untuk menjadi warga negara yang bermoral harus mempunyai watak atau karakter kewarganegaraan yang meliputi karakter privat dan karakter publik. Jika dikaitkan dengan watak karakter kewarganegaraan (civic disposition) tindakan Wanita Tuna Susila yang tidak bermoral itu harus diubah menjadi tindakan yang bermoral. Tindakan bermoral tersebut termasuk dalam bagian karakter privat yakni karakter terhadap tanggung jawab moral dan harkat martabat manusia. Sebagaimana pekerjaan yang dilakukan Wanita Tuna Susila ini merupakan pekerjaan yang menjual harkat dan martabatnya sebagai manusia (menjual harga diri) untuk mendapatkan sejumlah uang. Karena pekerjaan semacam ini, para pekerja seks (Wanita Tuna Susila) mendapatkan cap buruk (stigma) sebagai orang yang kotor, hina, dan tidak bermartabat. Pandangan bahwa prostitusi merupakan perilaku kotor dan tidak bermoral serta salah satu penyakit sosial adalah fakta yang tidak dapat terbantahkan. Namun tidak mungkin untuk menghapus prostitusi adalah fakta yang tidak terbantahkan. Karena itu, penanganan prostitusi tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan tidak hanya melihat berdasarkan aspek moral saja. Prostitusi adalah persoalan yang rumit dan terkait dengan aspek sosial, budaya, ekonomi, politik, moral dan agama. Sehingga upaya untuk menanggulangi prostitusi dilakukan dengan pendekatan moral dan agama yang termasuk dalam pendidikan moral. Pelaksanaan pendidikan moral sangat penting, karena hampir seluruh masyarakat di dunia, khususnya di Indonesia, kini sedang mengalami patologi sosial yang amat kronis. Bahkan sebagian besar pelajar dan masyarakat kita sudah jauh dari peradaban yang santun dan beragama. Menyadari kondisi permasalahan tersebut maka upaya yang dilakukan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah dalam menanggapi persoalan tersebut adalah dengan menerbitkan kebijakan pemerintah daerah. Kebijakan tersebut adalah dengan diterbitkannya Perda No 3 tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6 Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006, tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial menegaskan bahwa: Pelacuran adalah termasuk ajakan membujuk, memikat orang lain dengan perkataan, isyarat, tanda-tanda atau perbuatan lainnya yang maksudnya mengajak untuk melakukan kegiatan seksual anak dan atau orang dewasa, baik dengan pasangan sejenis atau lawan jenis, dengan pembayaran atau imbalan maupun dalam bentuk lain. Adapun yang dimaksud dengan tempat-tempat untuk melakuan pelacuran adalah hotel, losmen, salon, tempat-tempat hiburan, rumah kost, tempat penginapan yang lain dan rumah penduduk termasuk tempattempat penampungan pekerja yang ditujukan untuk kegiatan eksploitasi seksual. Upaya lain yang dilakukan Pemerintah Surakarta yakni bekerjasama dengan Dinas Kesejahteraan Sosial melalui Panti Karya Wanita (PKW) Wanita Utama Surakarta yang sekarang namanya diubah menjadi Balai Rehabilitasi -1 dengan landasan profesi pekerja sosial melaksanakan rehabilitasi sosial bagi Wanita Tuna Susila, agar mereka dapat menjalankan fungsi sosialnya secara wajar dan menjadi anggota masyarakat secara normatif. Balai Rehabilitasi Sosial
-1 yang berlokasi
di jalan Dr. Radjiman no. 624 Jongke Laweyan Surakarta mempunyai tujuan untuk memberikan pelayanan dengan berbagai fasilitas yang ada kepada para eks Wanita Tuna Susila yaitu sebagai usaha membantu mengembalikan kepribadian mereka agar sesuai dengan norma atau nilai-nilai yang terdapat dalam pergaulan sosial di masyarakat. Selain itu balai ini merupakan balai yang memberikan pendidikan moral pada eks Wanita Tuna Susila sebagai warga binaannya. Pendidikan moral yang diberikan ini menyangkut pembinaan sikap dan tingkah laku moral yang baik atau budi pekerti yang baik serta diharapkan dapat membentuk watak, karakter kewarganegaraan yang baik, yang memiliki tanggung jawab moral. Watak yang dimaksud disini merupakan kualitas individu dalam mengaktualisasikan potensinya berupa sikap dan perilaku sesuai tuntutan hidup atas dasar nilai, norma, dan moral yang menjadi komitmenya. Sehingga Wanita Tuna Susila yang dibina/didik di balai ini diharapkan akan menjadi pribadi yang terdidik secara moral.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7 Memberikan pembinaan kepada para WTS, memang menjadi fungsi pelayanan panti yang sekarang di bawah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah tersebut. Tepatnya sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesejahteraan Sosial. "Tujuannya memberikan pembinaan terhadap tata kehidupan dan penghidupan para Tuna Susila dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat secara normatif . Sekaligus mengembangkan pemulihan kembali harga diri, kepercayaan, tanggung jawab sosial, kemauan dan kemampuan para Tuna Susila agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. (Suara Merdeka, 11 September 2004). Pembinaan yang diberikan PSKW yang sekarang berganti nama menjadi BAREHSOS meliputi pembinaan moral yang terdiri dari kegiatan bimbingan pendidikan moral. Kegiatan bimbingan pendidikan moral ini diterapkan dalam kegiatan pembinaan agama dan budi pekerti. Beragam pembinaan telah diberikan, justru yang diharapkan ketika mereka mengikuti terapi mental di balai rehabilitasi. Mereka bisa merenungi hidupnya lalu sadar bahwa apa yang mereka lakukan sebelumnya adalah salah, ujar Deni Riyadi selaku kepala balai. Tidak hanya dengan terapi mental saja program pelayanan rehabilitasi untuk para penerima manfaat di balai rehabilitasi. Di luar masih banyak lagi program pelayanan dan bimbingan yang lain. (Suara Merdeka, 17 April 2011). Dengan
berbagai
macam
pembinaan
khususnya
pembinaan
pendidikan moral yang diterapkan dalam balai diharapkan dapat merubah kehidupan Wanita Tuna Susila dari asusila menjadi manusia susila kembali dan diarahkan agar dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma hidup masyarakat dan mampu mengembangkan kemampuannya sehingga mereka dapat mencari nafkah dengan cara-cara yang halal dan layak (wajar) sehingga setelah keluar dari balai mereka menjadi manusia yang bermoral, sebagaimana tugas dari balai berusaha untuk menyadarkan mereka untuk dapat kembali hidup normal. Namun kenyatannya masih banyak eks WTS keluaran dari balai bekerja sebagai pelacur lagi.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8 Bertitik tolak dari uraian di atas maka penulis mengambil judul skripsi Penerapan Pendidikan Moral Dalam Membentuk Tanggung Jawab Moral Pada Eks Wanita Tuna Susila Di Balai Rehabilitasi Sosial -1
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut ini: 1. Bagaimana
model-model
pendidikan
BAREHSOS
moral
yang
diberikan
pihak
Surakarta-1 dalam membentuk tanggung
jawab moral pada eks Wanita Tuna Susila ? 2. Bagaimana efektivitas penerapan pendidikan moral dalam membentuk tanggung jawab moral pada eks Wanita Tuna Susila di BAREHSOS -1 ? 3. Faktor apa yang mempengaruhi sulitnya penerapan pendidikan moral dalam membentuk tanggung jawab moral pada eks Wanita Tuna Susila di BAREHSOS
-1 ?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai, antara lain: 1. Untuk mengetahui model-model pendidikan moral yang diberikan pihak BAREHSOS
Surakarta-1 dalam membentuk tanggung
jawab moral pada eks Wanita Tuna Susila. 2. Untuk
mengetahui
efektivitas
penerapan
pendidikan
moral
dalam
membentuk tanggung jawab moral pada eks Wanita Tuna Susila di BAREHSOS
-1.
3. Untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi sulitnya penerapan pendidikan moral dalam membentuk tanggung jawab moral pada eks Wanita Tuna Susila di BAREHSOS
-1.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9 D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya baik secara teoritis maupun secara praktis, antara lain: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini memberikan sumbangan bagi bidang studi PPKn dalam
mengimplementasikan
mata
kuliah
yang
berhubungan
dengan
pendidikan moral seperti mata kuliah Dasar dan Konsep Pendidikan Moral (DKPM). Sehingga dapat membentuk kaum akademis yang memiliki perasaan sosial untuk turut serta dalam membantu eks WTS menumbuhkan nilai-nilai moral. 2. Manfaat Praktis a. Sebagai masukan yang bermanfaat bagi pihak BAREHSOS Surakarta-1 dalam meningkatkan pendidikan moral khususnya dalam membentuk tanggung jawab moral pada eks Wanita Tuna Susila. b. Diharapkan dapat memberikan masukan bagi instruktur pendidikan moral dalam meningkatkan penerapan pendidikan moral supaya menjadi lebih efektif. c. Memberikan motivasi bagi eks Wanita Tuna Susila agar mempunyai tanggung jawab moral terhadap pribadinya sendiri dan memberikan pengetahuan kepada mereka tentang bagaimana perbuatan yang baik dan buruk yang harus diketahui untuk dapat diterapkan dalam hidup bermasyarakat.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10 BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan tentang Moral a. Pengertian Moral Moral dari segi etimologis berasal dari bahasa Mos
Mores
Mores berarti adat istiadat, kelakuan, tabiat,
watak, akhlak, yang kemudian artinya berkembang menjadi sebagai kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik, susila. Moralita berarti mengenai kesusilaan (kesopanan, sopan-santun), dapat diartikan bahwa orang yang susila adalah orang yang baik budi bahasanya. Dalam yang dikutip oleh Cheppy HC (1995
Moral adalah
sesuatu yang berkaitan, atau ada hubungannya, dengan kemampuan menentukan benaristilah moral pada hakikatnya menunjuk kepada ukuran-ukuran yang telah diterima oleh sesuatu komunitas. W.J.S
Poerwardarminta
dalam
Hamid
Darmadi
(2009:
50)
erupakan ajaran tentang baik buruknya perbuatan dan kelakuan, sedangkan etika merupakan ilmu pengetahuan mengenai asas-
Sedangkan N. Driyarkara S.J dalam bukunya Percikan Filsafat, yang dikutip Bambang Daroeso (1988
Dengan kata lain moral atau kesusilaan adalah kesempurnaan sebagai manusia atau kesusilaan adalah tuntutan kodrat manusia. Dalam jurnal ilmu pendidikan oleh Masganti Sit (2010: 3) dinyatakan bahwa: Kata moral selalu dipandang memiliki makna yang tumpang tindih dengan kata akhlak, etika, budi pekerti, dan nilai. Namun pada hakekatnya ada beberapa perbedaan diantara kelima istilah ini. Akhlak
commit to user 10 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11 menekankan perbuatan baik yang dilakukan dalam berhubungan dengan Allah, manusia, dan alam untuk mencari Keridhaan Allah. Etika adalah bagian dari filsafat yang membicarakan perbuatan baik dan buruk. Budi Pekerti dipandang adalah kumpulan tata krama yang dipandang baik dalam budaya tertentu. Nilai merupakan rujukan dalam menentukan keputusan dalam melakukan suatu perbuatan. Sedangkan moral adalah perbuatan baik yang mensejahterakan kehidupan manusia. Persamaan kelima istilah ini terletak pada inti pembicaraannya tentang perbuatan terpuji yang seharusnya dilakukan manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Pendapat
lain
dikemukakan
oleh Branson,
Budiningsih (2008
dkk
dalam
Asri
-hal yang
berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau
D. A. Wila Huky B. A dalam Bambang Daroeso (1988: 22) mengatakan bahwa kita dapat memahami moral dengan tiga cara yaitu: 1) Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya. 2) Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu. 3) Moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu. Dalam jurnal ilmu pendidikan oleh Halim yang mengutip para pakar ilmu-ilmu sosial dalam Sabar Budi Raharjo (2010: 233) dinyatakan bahwa akhlak atau moral mempunyai empat makna yaitu: 1) Moral adalah sekumpulan kaidah perilaku yang diterima dalam satu zaman atau sekelompok orang. 2) Moral adalah sekumpulan kaidah perilaku yang dianggap baik berdasarkan kelayakan bukan berdasarkan syarat. 3) Moral adalah teori akal tentang kebaikan dan keburukan, menurut filsafat. 4) Tujuan-tujuan kehidupan yang mempunyai warna humanisme yang kental yang tercipta dengan adanya hubungan-hubungan sosial.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12 Dalam masyarakat Indonesia Moral yang dimaksud ialah Moral Pancasila, termasuk didalamnya nilai-nilai UUD 1945. Perkembangan Moral manusia secara individu melalui beberapa tahap seperti: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Orientasi penghukuman dan kepatuhan. Orientasi nisbi instrumental. Orientasi kesejajaran interpersonal. Orientasi pemeliharaan otoritas dan tata kemasyarakatan. Orientasi persetujuan masyarakat secara legal. Orientasi asas-asas etika universal. (Hamid Darmadi, 2009: 50)
Pengertian moral dalam pendidikan moral disini hampir sama dengan rasional, dimana penalaran moral disiapkan sebagai prinsip berfikir kritis untuk sampai pada pilihan dan penilaian moral yang dianggap sebagai pikiran dan sikap terbaiknya (Dewey dalam Nurul Zuriah, 2007: 22). Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk. Ronald Durka dalam Hamid Darmadi (2009: 30-31) menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang matang secara moral (Morally Nature Person) yakni: 1) Who holds correct moral position and acts in accord with such position. 2) 3) The character or will to act in accord wit sub 2 4) Know best what would or should 5) Mature moral reason Kesimpulan dari kutipan di atas bahwa seseorang yang matang secara moral adalah orang yang bertindak sesuai dengan aturan yang ada. Dalam hal ini berarti orang tersebut sudah menjadi pribadi yang terdidik secara moral. Pendapat lain dikemukakan oleh Asri Budiningsih (2008: 26) yang menyatakan bahwa: Kematangan moral menuntut adanya penalaran-penalaran yang matang pula dalam arti moral, dan jika kematangan moral itu merupakan sesuatu yang harus dikembangkan, maka guru dan pendidik moral harus mengetahui proses perkembangan dan cara-cara membantu perkembangan moral tersebut.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13 Menurut Cheppy HC (1988: 110-111) pribadi yang terdidik secara sekolah atau dimanapun juga) untuk hidup dalam satu cara yang merefleksikan kesan dan praktik kewajiban untuk mengembangkan norma-norma dan citaKemampuan dasar yang harus dimiliki oleh pribadi yang terdidik secara moral menurut Cheppy HC (1995: 359) terdiri dari tiga kemampuan, Disiplin atau kewajiban, mengajar, dan otonomi
Higgins
dan
Gilingan
dalam
Hamid
Darmadi
(2009:
31)
mengemukakan ciri orang bermoral ialah selalu merasakan adanya moral bases and (tuntutan dan keharusan moral) untuk selalu bertanggung jawab terhadap atau akan adanya: 1) Needs and welfare of the individual and others, 2) The Involpment and implication of the self and consequences of outher, 3) Intrinsik Value of sosial relationships Jadi inti dari kutipan di atas bahwa ciri orang yang bermoral adalah orang yang selalu bertanggung jawab terhadap kebutuhan dan kesejahteraan individu dan masyarakat, bertanggung jawab terhadap perkembangan dan implikasi diri dan konsekuensi dari masyarakat serta bertanggung jawab terhadap nilai intrinsik dari hubungan sosial. Nilai intrinsik yang dimaksud disini adalah nilai dari suatu nilai moral dan norma dan kehidupan secara umum. Orang dikatakan bermoral apabila orang tersebut tidak melanggar nilainilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Hamid Darmadi (2009: 30) berpendapat bahwa menjadi ketetapan perbuatan (Prescripbed Action, maka akan menjadi Duty and Obligation (tugas dan kewajiban) atau kewajiban/tanggung jawab moral (Moral Obligation/Responsibility Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa moral memegang peranan penting dalam kehidupan manusia yang berhubungan dengan baik buruknya tingkah laku manusia. Sehingga orang dikatakan memiliki moral apabila orang tersebut dapat menentukan obyek moral dan
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14 telah memiliki kematangan moral yang terbentuk melalui perkembangan moral. b. Obyek Moral Sebelum melakukan perbuatan, manusia menentukan sendiri apa yang akan dikerjakan. Ia telah menentukan sikap, mana yang harus dilaksanakan, mana yang tidak boleh dilaksanakan. Bambang Daroeso (1988: 25) mengatakan dalam diri manusia ada dua suara, yaitu: Suara hati yang mengarah ke kebaikan, dan suara was-was yang mengajak ke keburukan . Dalam melakukan perbuatannya manusia didorong oleh tiga unsur, antar lain: 1) Kehendak yaitu pendorong pada jiwa manusia yang memberi alasan pada manusia untuk melakukan perbuatan. 2) Perwujudan dari kehendak yang berbentuk cara melakukan perbuatan dalam segala situasi dan kondisi. 3) Perbuatan tersebut dilakukan dengan sadar dan kesadaran inilah yang memberikan corak dan warna perbuatan tersebut. (Bambang Daroeso, 1988: 26). Kesimpulannya bahwa obyek moral adalah tingkah laku manusia, perbuatan manusia, baik secara individual maupun secara kelompok. Dimana perbuatan yang akan dilakukan merupakan obyek yang ada dalam suara hati manusia. Setelah mengetahui apa yang dimaksud dengan moral dan obyek moral, maka perlu diketahui juga mengenai teori etika, sebab etika ini digunakan untuk menyelidiki tingkah laku moral manusia. c. Teori Etika Etika menurut K. Bertens (1997 tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berka Ada beberapa cara untuk mempelajari moralitas atau berbagai pendekatan ilmiah tentang tingkah laku moral. Pendekatan tersebut menurut K. Bertens (1997: 15) ada tiga, yaitu
commit to user 511
etika normatif, dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15 Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1) Etika Deskriptif Etika deskriptif ini melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya, adat istiadat, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari moralitas pada individu-individu, kebudayaan, dan subkultur tertentu, karena etika deskriptif ini hanya melukiskan tidak memberi penilaian. 2) Etika Normatif Etika normatif merupakan bagian terpenting dari etika dan bidang pada saat berlangsungnya diskusi-diskusi yang paling menarik tentang masalahmasalah moral. Etika normatif meninggalkan sikap netral dengan mendasarkan pendiriannya atas norma. Etika normatif tidak deskriptif melainkan preskriptif, tidak melukiskan melainkan menentukan benar tidaknya tingkah laku atau anggapan moral. Jadi etika normatif bertujuan merumuskan prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan dengan rasional dan dapat digunakan dalam praktik. Etika normatif dibagi menjadi 2 yaitu: a) Etika umum Etika umum membahas mengenai tema-tema umum seperti norma etis, norma moral, nilai, nilai moral, tanggung jawab, kebebasan, serta hak dan kewajiban. b) Etika khusus Etika khusus berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas wilayah perilaku manusia yang khusus, dengan menggunakan suatu istilah yang lazim dalam konteks logika. (K. Bertens, 1997: 15-19). 3) Metaetika Metaetika ini adalah cara untuk mempraktikkan etika sebagai ilmu. Istilah ini diciptakan untuk menunjukkan bahwa yang dibahas disini bukanlah moralitas secara langsung, melainkan seolah-olah bergerak pada taraf lebih tinggi dari pada perilaku etis.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16 Menurut K. Bertens (1997: 235) Teori-teori etika dibedakan menjadi empat macam, antara lain:
Hedonisme, eudemonisme, utilitarisme, dan
deontologi Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut: a) Hedonisme Pandangan ini muncul pada awal sejarah filsafat. Dalam hedonisme terkandung kebenaran yang mendalam, manusia mencari kesenangan dan berupaya menghindari ketidaksenangan. Namun, jika dipikirkan secara konsekuen,
hedonisme mengandung
suatu
egoisme, karena hanya
memperhatikan kepentingan dirinya saja. Yang dimaksud egoisme disini adalah egoisme etis atau egoisme yang mengatakan bahwa saya tidak mempunyai kewajiban moral membuat sesuatu yang lain dari pada yang terbaik bagi dirinya sendiri. b) Eudemonisme Pandangan ini berasal dari filsuf Yunani besar, Aristoteles (384-322 S.M). dalam bukunya, Ethika Nikomakheia, ia mulai dengan mengejar suatu tujuan atau dengan kata lain setiap perbuatan kita ingin mencapai sesuatu yang baik bagi kita. Menurut Aristoteles semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi dalam terminologi modern mengatakan bahwa tujuan terakhir hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia). c) Utilitarisme Utilitarisme dibagi menjadi dua yaitu: (1) Utilitarisme Klasik Aliran ini berasal dari tradisi pemikiran moral di united kingdom dan dikemudian hari berpengaruh ke seluruh kawasan yang berbahasa Inggris. Utilitarisme menurut bentuk lebih matang berasal dari filsuf Inggris Jeremy Bentham (1748-1832), dengan bukunya Introduction to the Principles of morals and Legislation (1789). Utilitarisme dimaksudnya sebagai dasar etis untuk membaharui hukum Inggris, khususnya hukum pidana. Jadi ia tidak mau menciptakan suatu teori moral abstrak, tetapi mempunyai maksud sangat konkret. Dalam teori
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17 ini utilitarisme menekankan bahwa tujuan perbuatan-perbuatan moral adalah memaksimalkan kegunaan atau kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang, atau dapat dikatakan kebahagiaan terbesar untuk jumlah orang terbesar. (2) Utilitarisme Aturan Dalam teori ini prinsip kegunaan tidak harus diterapkan atas salah satu perbuatan
(sebagaimana
dipikirkan
dalam
utilitarisme
klasik),
melainkan atas aturan-aturan moral yang mengatur perbuatan-perbuatan kita. Utilitarisme aturan ini merupakan sebuah varian yang menarik dari utilitarisme. Dengan demikian kita bisa lolos dari banyak kesulitan yang melekat pada utilitarisme perbuatan. Namun, utilitarisme aturan sendiri tidak tanpa kesulitan juga. Kesulitan utama timbul jika terjadi konflik antara dua aturan moral. d) Deontologi Dalam teori ini yang diperhatikan hasil perbuatannya, baik tidaknya perbuatan dianggap tergantung pada konsekuensinya. Sehingga disebut sebagai konsekuensialistis atau dapat dikatakan bahwa teori ini tidak mengukur baik tidaknya suatu perbuatan berdasarkan hasilnya, melainkan semata-mata berdasarkan maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut. Kata deon dalam deontologi dalam bahasa Yunani berarti apa yang harus dilakukan, kewajiban. Beberapa pandangan mengenai teori deontologi menurut Imanuel Kant dan W.D. Ross, adapun penjelasan dari pandangan kedua tokoh tersebut adalah sebagai berikut: (1) Deontologi menurut Imanuel Kant Imanuel Kant merupakan salah seorang pemikir terbesar di bidang filsafat. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Menurut Kant kehendak menjadi baik, jika bertindak karena kewajiban. Perbuatan adalah baik jika hanya dilakukan karena wajib dilakukan. Jadi belum cukup jika suatu
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18 perbuatan sesuai dengan kewajiban, seharusnya perbuatan dilakukan berdasarkan kewajiban. Bertindak sesuai dengan kewajiban menurut Kant disebut legalitas. Menurut Kant, suatu perbuatan bersifat moral, jika dilakukan semataTerkenal juga pembedaan yang diajukan Kant antara imperatif kategoris dan imperatif hipotesis. Kewajiban moral mengandung suatu imperatif kategoris, artinya imperatif (perintah) yang mewajibkan begitu saja, tanpa syarat. Sebaliknya, imperatif hipotesis selalu diikutsertakan sebua mencapai suatu tujuan, maka engkau harus menghendaki juga sarana-
semua peraturan etis. Sehingga tidak dapat disangkal bahwa kewajiban merupakan aspek penting dalam hidup moral kita. (2) Deontologi menurut W.D. Ross Ross menerima teori deontologi, tetapi ia menambah sebuah nuansa yang penting. Kewajiban itu selalu merupakan kewajiban prima facie (pandangan pertama), artinya suatu kewajiban untuk sementara, dan hanya berlaku sampai timbul kewajiban lebih penting lagi yang mengalahkan kewajiban pertama tadi. Ross mengatakan kewajiban untuk mengatakan kebenaran merupakan kewajiban prima facie yang berlaku sampai ada kewajiban yang lebih penting. Ross menyusun sebuah daftar kewajiban yang semuanya merupakan kewajiban prima facie, antara lain: (a) Kewajiban kesetiaan (menepati janji yang diadakan dengan bebas). (b) Kewajiban ganti rugi (melunasi utang moril dan materiil) (c) Kewajiban terima kasih (berterima kasih kepada orang yang berbuat baik terhadap kita). (d) Kewajiban keadilan (membagikan hal-hal yang menyenangkan sesuai dengan jasa orang-orang bersangkutan). (e) Kewajiban berbuat baik (membantu orang lain yang membutuhkan bantuan kita).
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19 (f) Kewajiban
mengembangkan
dirinya
(mengembangkan
dan
meningkatkan bakat dibidang keutamaan, intelegensi, dsb). (g) Kewajiban untuk tidak merugikan (tidak boleh melakukan sesuatu yang merugikan orang lain). (K. Bettens, 1997: 235-260). Kesimpulannya bahwa tidak ada satu sistem yang memuaskan, disamping ada kelebihan pasti ada kelemahan. Hal ini berlaku juga pada teori utilitarisme dan deontologi, sehingga dalam filsafat moral tidak ada lagi utilitarisme dan deontologi murni. Berdasarkan masalah yang peneliti teliti mengenai tanggung jawab moral eks Wanita Tuna Susila ini termasuk dalam teori deontologi imperatif kategoris mengenai kewajiban moral, seseorang yang memiliki kewajiban pasti bertanggung jawab dalam melaksankan kewajibannya tersebut. d. Tahap Perkembangan Moral Menurut L. Kohlberg dalam K. Bertens (2007: 80-84) mengemukakan ada tiga tingkat perkembangan moral, yakni Tingkat prakonvensional, tingkat konvensional, dan tingkat Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1) Tingkat Pra-Konvensional Pada tingkat ini anak mengakui adanya aturan-aturan dan baik buruknya mulai mempunyai arti baginya, tetapi hal itu semata-mata dihubungkan dengan reaksi orang lain. Penilaian tentang baik buruknya perbuatan hanya ditentukan oleh faktor-faktor dari luar. Motivasi untuk penilaian moral terhadap perbuatan hanya didasarkan atas akibat atau konsekuensi yang dibawakan oleh perilaku si anak: hukuman atau ganjaran, hal yang pahit atau menyenangkan. Pada tingkat ini terdiri dari dua tahapan yaitu: a) punishment and obedience orientation (Orientasi hukuman dan kepatuhan). Pada tahap ini perbuatan anak didasarkan pada otoritas orang tua, guru dan atas hukuman yang akan menyusul apabila ia tidak patuh.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20 b) Instrument-relativist orientation (Orientasi relativis instrumental). Pada tahap ini perbuatan dianggap baik jika ibarat instrumen (alat) dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Dalam tahap ini anak mulai menyadari adanya kepentingan orang lain, tetapi hubungan antara manusia dianggap seperti hubungan orang dipasar (hubungan timbal balik). 2) Tingkat Konvensional Pada tingkat ini perbuatan-perbuatan mulai dinilai atas dasar norma-norma umum dan kewajiban serta otoritas dijunjung tinggi. Disini anak mulai menyesuaikan penilaian dan perilakunya dengan harapan orang lain atau kode yang berlaku dalam kelompok sosialnya. Anak tidak hanya menyesuaikan diri tetapi juga setia kepadanya, berusaha mewujudkan secara aktif, menunjukkan ketertiban dan berusaha mewujudkan secara aktif, menunjang ketertiban dan berusaha mengidentifikasi diri mereka yang mengusahakan ketertiban sosial. Dua tahap dalam tingkatan ini adalah: a) Tahap interpersonal corcodance (Penyesuaian
dengan
kelompok
good boy-nice girl orientation dan
orientasi
menjadi
anak
manis). Tingkah laku yang baik adalah tingkah laku yang membuat senang orang lain atau menolong orang lain dan yang mendapat persetujuan mereka. Supaya diterima dan disetujui orang lain seseorang (good boy-nice girl), artinya ia adalah sebagaimana diharapkan oleh orang tua, guru dan sebagainya. Ia ingin -norma yang berlaku. Jika ia menyimpang dari norma-norma kelompoknya ia merasa malu dan bersalah, sehingga anak mengetahui betapa pentingnya maksud dari suatu perbuatan itu. b) Tahap law and order, orientation (orientasi hukum dan ketertiban).
diperluas: dari kelompok akrab (artinya, orang-orang yang dikenal oleh anak secara pribadi) ke kelompok yang lebih abstrak, seperti suku
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21 bangsa, negara, agama. Tekanan diberikan pada aturan-aturan tetap, otoritas dan pertahanan ketertiban sosial. Pada tahap ini perilaku yang baik adalah melakukan kewajibannya, menghormati otoritas dan mempertahankan ketertiban sosial yang berlaku demi ketertiban itu sendiri. Orang yang melanggar ketertiban sosial jelas bersalah. 3) Tingkat sesudah konvensional Tingkat ini disebut juga sebagai tingkat otonom. Pada tingkat ketiga ini hidup bermoral dipandang sebagai penerimaan tanggung jawab pribadi atas dasar prinsip-prinsip yang dianut dalam batin. Norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tidak dengan sendirinya berlaku, tetapi harus dinilai atas dasar prinsip-prinsip yang mekar dari kebebasan pribadi. Tingkat ketiga ini mempunyai dua tahap antara lain: a) Social contract orientation (orientasi kontrak sosial legalistis). Dalam tahap ini disadari bahwa relativisme nilai-nilai dan pendapat-pendapat pribadi dan kebutuhan akan usaha-usaha untuk mencapai konsensus. Disamping ada yang disetujui dengan cara yang demokratis, baik buruknya tergantung pada nilai-nilai dan pendapat-pendapat pribadi. Segi hukum ditekankan, tapi diperhatikan secara khusus kemungkinan untuk mengubah hukum, asal hal itu terjadi demi kegunaan sosial (berbeda dengan pandangan kaku tentang law and order dalam tahap 4). Selain bidang hukum, persetujuan bebas dan perjanjian adalah unsur pengikat bagi kewajiban. b) The universal ethical principle orientation (orientasi prinsip etika yang universal). Dalam tahap ini orang mengatur tingkah laku dan penilaian moralnya berdasarkan hati nurani pribadi. Yang mencolok adalah bahwa prinsip-prinsip etis dan hati nurani berlaku secara universal. Pada dasarnya prinsip-prinsip ini menyangkut keadilan, kesediaan membantu satu sama lain, persamaan hak manusia dan hormat untuk martabat manusia sebagai pribadi. Orang yang melanggar prinsipprinsip ini akan mengalami penyesalan yang mendalam. Dalam proses
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22 perkembangan moral reasoning dengan enam tahapannya dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Perkembangan moral terjadi secara berurutan dari satu tahap ke tahap berikutnya. (2) Dalam perkembangan moral orang tidak memahami cara berfikir dari tahap yang lebih dari dua tahap diatasnya. (3) Dalam perkembangan moral, seseorang secara kognitif tertarik pada cara berfikir dari satu tahap di atas tahapnya sendiri. Anak dari tahap 2 merasa tertarik kepada tahap 3. Berdasarkan inilah kohlberg percaya bahwa moral reasoning dapat dan mungkin dikembangkan. (4) Dalam perkembangan moral, perkembangan hanya akan terjadi apabila diciptakan suatu diequilibrium kognitif pada diri si anak didik. Seseorang yang sudah mapan dalam satu tahap tertentu harus diusik secara kognitif sehingga ia terangsang untuk memikirkan kembali prinsip yang sudah dipegangnya. Kalau ia tetap tenteram dan tetap dalam tahapannya sendiri, maka tidak mungkin ada perkembangan. Perkembangan moral akan dipengaruhi oleh sejumlah variabel anteseden yaitu, lingkungan sosial, perkembangan kognitif kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain (empati) dan konflik kognitif. Oleh sebab itu tugas pendidikan moral ialah menciptakan stimulasi kognitif dan mengembangkan empati (Udin Saripuddin W.MA, 1989: 31). Udin Saripuddin W.MA (1989 perkembangan moral mempunyai implikasi pada pendidikan moral. Hal ini terutama tertuju pada masalah bagaimana proses pendidikan moral dapat
Kesimpulan
dari
teori
Kohlberg
ini
adalah
dengan
adanya
perkembangan moral, seseorang akan mengetahui dan memahami moral sehingga dalam perilakunya mereka selalu memperhatikan aturan-aturan yang ada. Namun apabila perkembangan moral seseorang tidak mencapai pada
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23 tingkat sesudah konvensional maka akan mengakibatkan seseorang menjadi salah bertindak khususnya dalam perilakunya. Pada tingkat ini seseorang berusaha mendapatkan perumusan mengenai nilai-nilai moral dan berusaha merumuskan prinsip-prinsip yang sah (valid) dan yang dapat diterapkan baik yang berasal dari individu atau kelompok. Dalam tingkat ini seseorang akan mengetahui benar salahnya tindakan yang ia lakukan. Karena hal tersebut ditentukan oleh keputusan suara hati nurani manusia sebagai individu. Pada intinya keputusan tersebut berkaitan dengan prinsip keadilan, kesamaan hak, hak asasi, hormat pada harkat (nilai) manusia sebagai pribadi. Berdasarkan permasalahan yang peneliti teliti yakni berkaitan dengan harkat dan martabat manusia sebagai pribadi yang bermoral. Jadi melihat perkembangan moral manusia di atas, maka tentu akan ada sebuah proses yang tidak lepas dari perkembangan moral itu sendiri. Proses yang dimaksud adalah yang disebut dengan pendidikan. Dalam hal ini pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan moral. Pendidikan moral sangat diperlukan bagi manusia, karena melalui pendidikan ini perkembangan moral diharapkan mampu berjalan dengan baik, serasi dan sesuai dengan norma demi harkat dan martabat manusia itu sendiri. Sehingga pendidikan moral sangat penting diberikan kepada warga binaan eks Wanita Tuna Susila agar mereka menghargai dirinya sendiri sebagai manusia yang bermoral. Dimana dengan adanya pendidikan moral yang efektif akan membawa perubahan sikap yang positif bagi peserta didiknya (warga binaan eks Wanita Tuna Susila), sebaliknya dengan pendidikan moral yang dinilai kurang efektif akan membawa perubahan yang negatif bagi peserta didik yang dapat melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap tingkah lakunya. e. Nilai Moral Nilai atau value (bahasa Inggris) atau valere (bahasa latin) berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, dan kuat. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai, dan dapat menjadi objek kepentingan.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24 Nilai dianggap sebagai keharusan suatu cita yang menjadi dasar bagi keputusan yang diambil oleh seseorang. Nilai-nilai itu merupakan bagian kenyataan yang tidak dapat dipisahkan atau diabaikan. Setiap orang bertingkah laku sesuai dengan seperangkat nilai, baik nilai yang sudah merupakan hasil pemikiran yang tertulis maupun belum. (Sjarkawi, 2006: 29). Menurut K. Bertens (2007: 139) nilai adalah Sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya sesuatu yang Pandangan lain dalam Dictionary of Sosiology and Related Sciences, yang dikutip oleh Hamid Darmadi (2009: 67) dikatakan kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan
Selanjutnya Bambang Daroeso (1988: 20) berpendapat bahwa: Nilai adalah suatu penghargaan atau kualitas terhadap sesuatu atau hal, yang dapat dijadikan dasar penentu tingkah laku seseorang, karena sesuatu hal itu menyenangkan (pleasant), memuaskan (satisfying), menarik (interest), berguna (useful), menguntungkan (profitable) atau merupakan suatu sistem keyakinan (belief). Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa nilai adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, yang menjadikan suatu objek itu berguna. K. Bertens (2007: 141) mengemukakan bahwa nilai mempunyai tiga ciri, antara lain: 1) Nilai berkaitan dengan subyek: kalau tidak ada subyek yang menilai, maka tidak ada nilai juga. 2) Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, dimana subyek ingin membuat sesuatu. 3) Nilai menyangkut sifatsifat-sifat yang dimilki oleh obyek. Nilai tidak dimilki oleh obyek pada dirinya. Pada dasarnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai seperti apa yang ada dan bagaimana hubungan nilai itu dengan manusia. Penggolongan nilai beraneka ragam tergantung pada sudut pandang penggolongan nilai tersebut.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25 Menurut Notonagoro dalam Sjarkawi (2006: 31) ada tiga macam nilai yang perlu diperhatikan dan menjadi pegangan hidu materiil, nilai vital, dan Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1) Nilai materiil: yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur kehidupan manusia. 2) Nilai vital: yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas. 3) Nilai kerohanian: yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian dibagi menjadi empat macam yaitu: a) Nilai kebenaran: nilai yang bersumber dari unsur akal manusia (rasio, budi, dan cipta atau kognitif, afektif, dan psikomotorik). b) Nilai kebaikan atau nilai moral: nilai yang bersumber pada unsur kehendak atau kemauan manusia (will, karsa, dan etik). c) Nilai religius: nilai yang bersumber dari keyakinan ketuhanan yang ada pada diri seseorang, dan nilai ini merupakan nilai yang tertinggi dan mutlak. d) Nilai keindahan: nilai yang bersumber pada unsur rasa manusia (gevoel, perasaan, aestetis). Jadi nilai dimaksudkan untuk dijadikan sebagai landasan, alasan atau motivasi dalam menetapkan perbuatan manusia. Setelah mengetahui pengertian nilai selanjutnya mengenai pengertian moral menurut Sjarkawi (2006: 28) dalam suatu masyarakat berkenaan dengan karakter atau kelakuan dan apa
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antara nilai dan moral saling berkaitan satu sama lain, nilai dan moral tidak dapat berdiri sendiri. Dalam konteks tertentu nilai dan moral sering digabungkan menjadi nilai moral. Nilai moral menurut Sjarkawi (2006
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26 Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai moral adalah suatu nilai yang menjadi pedoman masyarakat sebagai konsep mengenai baik buruknya perilaku manusia. Nilai moral tidak terpisahkan dari jenis nilai lainnya. Setiap nilai dapat dikatakan
tingkah
laku moral. Menurut K. Bertens (2007: 143-147) nilai moral mempunyai empat Berkaitan dengan tanggung jawab kita, berkaitan dengan hati nurani, mewajibkan, dan bersifat Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1) Berkaitan dengan Tanggung Jawab Kita Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab. Nilai-nilai moral mengakibatkan bahwa seseorang bersalah atau tidak bersalah, karena ia bertanggung jawab. Suatu nilai moral hanya bisa diwujudkan
dalam
perbuatan-perbuatan
yang
sepenuhnya
menjadi
tanggung jawab orang yang bersangkutan. 2) Berkaitan dengan Hati Nurani Mewujudkan nilai-
lah
satu ciri khas nilai moral adalah bahwa hanya nilai ini menimbulkan
nilai-nilai moral dan memuji kita bila mewujudkan nilai-nilai moral. 3) Mewajibkan Nilai moral mewajibkan kita secara absolut dan dengan tidak bisa ditawartawar. Nilai-nilai moral harus diakui dan direalisasikan, tidak bisa diterima bila seseorang acuh terhadap nilai ini. 4) Bersifat Formal Nilai moral bersifat formal ini diartikan bahwa kita merealisasikan nilainilai moral dengan mengikutsertakan nilai-nilai lain dalam suatu nilai-nilai lain dan tidak ada nilai moral yang murni terlepas dari nilai-nilai lain.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27 Melihat beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa nilai moral ini mengacu pada perilaku manusia yang diwujudkan dalam bentuk tindakan manusia baik disengaja maupun tidak, dimana tindakan tersebut berkaitan dengan manusia sebagai pribadi maupun manusia dalam masyarakat. Sehingga nilai moral ini perlu ditanamkan agar manusia menjadi pribadi yang bermoral. Maka dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan moral tidak sematamata untuk menyiapkan peserta didik dalam hal ini eks Wanita Tuna Susila untuk memahami konsep-konsep pendidikan moral secara mentah, tetapi yang lebih penting adalah terbentuknya karakter yang baik, yaitu pemahaman moral, perasaan moral dan tindakan moral. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Lickona dalam buku Educating for character dalam Paul Suparno, dkk yang dikutip oleh Asri Budiningsih (2008 unsur dalam menanamkan nilai moral, yaitu
Pengertian atau pemahaman
moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), tindakan moral (moral action Adapun penjelasan dari ke 3 unsur di atas adalah: 1) Pengertian atau pemahaman moral Pengertian atau pemahaman moral adalah kesadaran rasionalitas moral atau alasan mengapa seseorang harus melakukan hal itu, suatu pengambilan keputusan berdasarkan nilai-nilai moral. 2) Perasaan moral Perasaan moral adalah perasaan yang lebih pada kesadaran akan hal-hal yang baik dan tidak baik. Perasaan mencintai kebaikan dan sikap empati terhadap orang lain merupakan ekspresi dari perasaan moral. 3) Tindakan moral Tindakan moral adalah kemampuan untuk melakukan keputusan-keputusan moral ke dalam perilaku nyata. (Asri Budiningsih, 2008: 6-7). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seseorang akan mengetahui baik buruknya tindakan yang ia lakukan apabila ia sudah memiliki pengetahuan atau pemahaman tentang moral, dan seseorang akan mempunyai rasa cinta
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28 terhadap perbuatan yang baik ketika mereka memiliki perasaan moral, sehingga setelah seseorang memiliki pengetahuan dan perasaan moral maka ia akan mampu melakukan keputusan dan perasaan moralnya kedalam perilaku nyata yang berupa tindakan moral. Tindakan moral adalah tindakan manusia yang muncul melalui pertimbangan rasional yang mandiri, sehingga selalu dilakukan secara sadar, bebas, bukan paksaan, dan dengan demikian ia pasti bertanggung jawab atas apa yang telah ia pilih dan menetapkannya sebagai sesuatu yang pasti dilakukan dan menjadikannya sebagai bagian yang tidak dapat dilepaskan dari dirinya. Nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral mengandung integrasi dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh mobilitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma sebagai panutan sikap dan tingkah laku manusia. f. Norma Moral Sjarkawi (2006: 29) berpendapat bahwa Norma berarti ukuran, garis
Norma adalah tatanan aturan hukum (arti luas), jadi sesuatu yang sudah memiliki kekuatan normatif atau kekuatan lain (dianut dan diterima serta dilaksanakan masyarakat, kekuatan keilmuan sebagai teori atau dalil handal yang kebenaranya terbukti atau diterima, atau karena dikaitkan dengan hal yang metafisis atau ritual atau afektual) (Krischenbaum dalam Hamid Darmadi, 2009: 128). Pendapat lain mengenai norma diungkapkan oleh Winarno (2006: 6) agai perwujudan dari nilai, tentang bagaimana seyogyanya manusia berperilaku
Dengan demikian norma pada dasarnya memberikan batasan bagaimana seharusnya manusia berperilaku yang sesuai dengan norma. Norma bisa berbentuk tertulis maupun tidak tertulis, dalam bentuk tertulis norma dapat berupa aturan tata tertib, papan pengumuman, kode etik,
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29 sedangkan dalam bentuk lisan norma dapat berbentuk anjuran, larangan, pantangan yang diakui oleh banyak orang. Menurut Winarno (2006: 6) norma yang berlaku di masyarakat secara umum dapat digolongkan menjadi 4 macam, yaitu
Norma agama, norma
moral, norma kesopanan, dan norma Adapun penjelasannya sebagai berikut: 1) Norma agama adalah peraturan hidup manusia yang berisi perintah dan larangan yang berasal dari Tuhan. 2) Norma moral/kesusilaan adalah peraturan/kaidah hidup yang bersumber dari hati nurani dan merupakan nilai-nilai moral yang mengikat manusia. 3) Norma kesopanan adalah peraturan/kaidah yang bersumber dari pergaulan hidup antar manusia. 4) Norma hukum adalah peraturan/kaidah yang diciptakan oleh kekuasaan resmi atau negara yang sifatnya mengikat dan memaksa. (Winarno, 2006: 7). Jadi dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa norma merupakan kaidah/patokan yang digunakan manusia sebagai pedoman dalam bertingkah laku. Untuk mengetahui pengertian norma moral secara utuh berikut dipaparkan mengenai pengertian norma moral. Burhanuddin Salam (1997: 5-6) menyatakan bahwa: Norma moral adalah aturan mengenai sikap dan perilaku manusia sebagai manusia. Norma moral mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Norma moral menjadi tolok ukur yang dipakai oleh masyarakat untuk menentukan baik buruknya manusia sebagai manusia, dan bukan dalam kaitannya dengan tugas atau jabatan tertentu, bukan dalam kaitan dengan status sosial dan sebagainya. Asri Budiningsih (2008
Pandangan lain dikemukakan oleh Sjarkawi (2006: 34) menyatakan g bagaimana manusia harus hidup agar
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30 Sedangkan Bambang Daroeso (1988: 27) me moral merupakan landasan perbuatan manusia, yang sifatnya tergantung pada -ubah sesuai waktu, tempat dan keadaannya. Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa norma moral adalah kaidah/patokan yang dijadikan manusia sebagai tolok ukur untuk menentukan baik buruknya perilaku manusia dan untuk menjadikan seseorang menjadi bermoral maka diperlukan suatu pendidikan yang dapat memperbaiki moral tersebut.
2. Tinjauan tentang Pendidikan Moral a. Pengertian Pendidikan Menurut Parsono (1989: 1) secara hakiki pendidikan adalah Proses
pendidikan yang terprogram dan terkelola dengan baik dan intensif, titik optimum usaha pendidikan akan terwujud. Pendidikan dikatakan berhasil apabila mampu mengubah tingkah laku manusia ke arah yang positif. Ukuran tingkah laku moral yang dipandang sebagai tingkah laku baik tidaknya sama seperti yang dianut oleh semua umat manusia. Ukuran-ukuran ini berpengaruh oleh subjektif manusia sebagai individu oleh masyarakat atau suatu bangsa, kesewenang-wenangan, keserakahan, ketidakadilan, kekejaman, kesadisan yang terdapat dalam kehidupan, dari dulu hingga kini, merupakan masalah besar yang dihadapi manusia. Dalam jurnal ilmu pendidikan oleh Masganti Sit (2010: 2) dinyatakan bahwa Kajian filosofis tentang pendidikan juga telah memunculkan berbagai rumusan tujuan pendidikan yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan sarana menyempurnakan perkembangan potensi-potensi manusia termasuk perkembangan moral manusia . Brubacher dalam
yang dikutip
oleh Parsono (1989:
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31 balik dari tiap pribadi manusia dalam penyesuaian dirinya dengan alam,
pembentuk pribadi yang memiliki percaya diri, disiplin diri dan tanggung jawab, serta mampu mengungkapkan dirinya melalui media yang ada, mampu melakukan hubungan manusiawi dan menjadi warga negara yang baik . Proses pendidikan dapat dilakukan di sekolah ataupun di luar sekolah baik yang dilembagakan (pendidikan nonformal, seperti kursus, pelatihan, kelompok belajar, penitipan bayi, dan sebagainya), maupun yang tidak dilembagakan (pendidikan informal, seperti pendidikan dalam keluarga, pendidikan dalam perpustakaan, pendidikan dalam perusahaan, pendidikan dalam tempat peribadatan, dan sebagainya). (Redja Mudyahardjo, 2001: 56). Pendidikan yang digunakan dalam peneliti pada penelitian ini adalah pendidikan nonformal. Dikatakan pendidikan nonformal karena pendidikan ini diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Menurut Oong Komar (2006: 213) pendidikan nonformal adalah yang diselenggarakan di luar sekolah, baik dilembagakan maupun
Berdasarkan masalah yang peneliti teliti mengenai pendidikan moral pada lembaga pemerintah (Departemen Sosial) yang menyelenggarakan pendidikan nonformal yang menyangkut bimbingan masalah sosial (pembinaan rehabilitasi sosial) bagi eks Wanita Tuna Susila. Dalam jurnal ilmiah oleh Ade Kusmiadi (2006: 19) dinyatakan bahwa: Dalam menyelenggarakan pendidikan nonformal diperlukan tiga komponen yang menunjang dalam penyelenggaraannya, ketiga komponen yang dimaksud adalah wadah/lembaga, sumber daya manusia dan program/manajemen program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan adalah proses mengenai pemanusiaan manusia dalam hal
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32 mengubah perilaku manusia kearah yang lebih baik dimana kegiatan pendidikan merupakan usaha sadar tenaga kependidikan dari keluarga (misalnya: orang tua dan wali), masyarakat (misalnya: kiai, pendeta, pastur, instruktur, pembimbing, penulis buku pelajaran, wartawan dan politisi), dan pemerintah (guru, dosen, kepala sekolah, penilik, pengawas sekolah, teknisi pendidikan, peneliti, dan pengembang bidang pendidikan). Untuk mengetahui definisi tentang pendidikan moral secara utuh maka setelah dipaparkan tentang pengertian pendidikan dan moral seperti di atas selanjutnya akan diuraikan tentang pengertian pendidikan moral. b. Pengertian Pendidikan Moral Berdasarkan pengertian pendidikan dan moral yang telah dijelaskan di atas maka disini akan dibahas mengenai pendidikan moral. Bambang Daroeso (1988
-tiap negara
berbeda satu dengan lainnya. Dalam negara menjadikan agama sebagai hukum dasarnya maka pendidikan moral bersumberkan pada agama yang berlaku di negara Jadi dapat dikatakan bahwa pembentukan warga negara dan bangsa negara yang bersangkutan dilakukan menurut norma-norma agama melalui pendidikan agama, dimana agama merupakan sumber moral. Pendidikan moral erat kaitannya dengan agama, hal ini juga disetujui oleh beberapa ahli pendidikan dalam sebuah jurnal internasional yaitu: Moral education in the family and in the school is usually closely associated with religion. The same holds true about nations belonging to the Islamic cultural sphere where the doctrine of the Alquran permeates all facets of private and public life . (Klaus Luhmer, 1990: 172 -182). Arti kutipan jurnal internasional di atas yaitu: pendidikan moral dalam keluarga dan di sekolah biasanya erat dikaitkan dengan agama. Hal yang sama berlaku tentang bangsa dalam lingkup budaya Islam dimana doktrin AL- Quran menembus semua aspek kehidupan pribadi dan publik.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33 Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan moral ini dapat diberikan melalui pendidikan agama dan pendidikan agama ini menyangkut segala aspek kehidupan manusia. Hal ini juga diperkuat oleh Cheppy HC (1995: 399) yang menyatakan bahwa: Upaya pendidikan di Indonesia, meski itu di masa pra-kemerdekaan sekalipun, sebenarnya sudah mempedulikan pentingnya pendidikan moral. Kalaupun tidak diintegrasikan ke mata pelajaran yang lain, muatan materi pendidikan moral pasti masuk ke dalam mata pelajaran agama ataupun budi pekerti (akhlak).
suatu program pendidikan yang mengorganisasikan dan menyederhanakan sumber-sumber moral dan disajikan dengan memperhatikan pertimbangan
Sedangkan Hamid Darmadi (2007: 56-57) menjelaskan bahwa: Pendidikan moral dapat diartikan sebagai suatu konsep kebaikan (konsep yang bermoral) yang diberikan atau diajarkan kepada peserta didik (generasi muda dan masyarakat) untuk membentuk budi pekerti luhur, berakhlak mulia dan berperilaku terpuji seperti terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945. Dalam menyajikan pendidikan moral, guru diharapkan membantu peserta didik mengembangkan dirinya, baik secara keilmuan maupun secara mental spiritual keagamaan. Menurut Syarifudin (2009: 68) dikatakan bahwa: Pendidikan moral berusaha mengembangkan pola perilaku seseorang sesuai dengan kehendak masyarakatnya, pendidikan seperti ini berwujud moralitas atau kesusilaan yang berisi nilai-nilai dalam kehidupan nyata. Maka pendidikan moral lebih banyak membahas masalah dilematis yang berguna untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi diri dan masyarakatnya. Pendapat lain dalam jurnal ilmu pendidikan oleh Masganti Sit (2010:3) dinyatakan bahwa pembelajaran yang memasukkan nilai-nilai moral secara terencana ke dalam
Attention to studying moral education in recent decades has emphasised individualistic
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34 . Sesuai dengan jurnal Internasional di atas berarti bahwa perhatian untuk mempelajari pendidikan moral pada dekade akhir-akhir ini menitikberatkan pada kode dan konteks individual. Dalam hal ini pendidikan moral menjadi prioritas dalam setiap kehidupan manusia. Adanya panutan nilai, moral, dan norma dalam diri manusia dan kehidupannya akan sangat menentukan totalitas diri individu atau jati diri manusia, lingkungan sosial, dan kehidupan individu sendiri. Pendidikan moral sangat penting artinya dengan adanya pendidikan moral dapat memperbaiki moral Wanita Tuna Susila agar mereka mengetahui perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk, maka pembentukan karakter kewarganegaraan (civic disposition) yang memiliki tanggung jawab terhadap perilaku sangat diperlukan sebagai usaha untuk membina dan mengembangkan nilai yang dianggap baik sehingga akan membentuk karakter setiap individu agar menjadi warga yang baik. Bambang Daroeso (1988: 54) mengatakan bahwa pendidikan moral di Indonesia telah ada sejak berabad-abad diintegrasikan pada bentuk-bentuk pendidikan yang ada pada waktu itu. Pendidikan moral antara lain diintegrasikan pada: 1) Nyanyian-nyanyian daerah (di Jawa dinamakan tembang), melalui nyanyian daerah, pendidikan moral diberikan dari generasi ke generasi. Contohnya di Jawa: tembang Wulangreh (Paku Buwono IV), tembang Wedotomo, Tripomo (Mangkunegoro IV) dan sebagainya. 2) Cerita legenda, misalnya Legenda si Malin Kundang, Legenda Kota Banyuwangi, Legenda semacam itu berisikan pendidikan moral. 3) Cerita binatang, misalnya cerita kancil, cerita persahabatan antara angsa dan kura-kura dan sebagainya berisikan pendidikan moral. 4) Cerita wayang, epos Ramayana atau epos Mahabrata mengandung pendidikan moral dan pembentukan pribadi manusia yang bersusila. Sikap terhadap Tuhan Yang Maha Esa digambarkan dalam cerita Dewaruci, sikap cinta tanah air terdapat dalam cerita Kumbakarna Gugur, dan sebagainya.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35 5) Padepokan yang memberikan ulah kenuragan, ulah kejiwaan dan ulah keprajan. Pendidikan dalam padepokan itu terdapat semacam pesan, bahwa apa yang diperoleh dari padepokan itu hendaknya dipakai untuk kebaikan dan kebenaran. Berdasarkan pengertian pendidikan dan moral yang telah disampaikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan moral adalah suatu proses pembelajaran yang mengubah tingkah laku manusia ke arah yang lebih baik (positif). Jadi pendidikan moral ini menyangkut pembinaan sikap dan tingkah laku moral yang baik. Kemudian ditinjau dari sudut moral pancasila, maka moral pancasila, merupakan moral bersama. Sebagai moral bersama, dikatakan oleh Kirdi Djopoyudan dalam Bambang Daroeso (1988 unsur-unsur bersama berbag lain moral pancasila adalah moral Indonesia. Jadi dapat dikatakan bahwa pendidikan moral pancasila adalah salah satu pendidikan moral di Indonesia. Dengan pendidikan moral pancasila ini diharapkan warga negara mempunyai tingkah laku, keyakinan, motivasi, kehendak sesuai dan layak dengan sila-sila pancasila, serta bersikap hidup manusia pancasila. (Bambang Daroeso, 1988: 53). Sedangkan Endang Daroeni Asdi dan Sri Soeprapto Wirodiningrta dalam Bambang Daroes pancasila adalah suatu usaha untuk membimbing perkembangan kepribadiankepribadian masing-masing warga negara Indonesia menuju terbentuknya
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam jawabannya kepada Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tanggal 11 Februari 1982 dalam Bambang Daroeso (1988: 47) mengatakan bahwa: Pendidikan Moral Pancasila adalah salah satu bidang studi dalam sistem pendidikan Pancasila yang merupakan usaha sadar untuk membentuk kepribadian dan mengembangkan kemampuan warga negara Indonesia dengan cara mengalihkan pengetahuan/menanamkan
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
36 pemahaman tentang Pancasila, membentuk keterampilan/kemampuan untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila.
Moral Pancasila adalah manusia Indonesia Seutuhnya (anak didik/warga
Sedangkan Winarno (2006 pancasila berisi nilai-nilai moral yang bersifat dasar, yang meliputi nilai Ketuhanan, nilai Kemanusiaan, nilai Persatuan, nilai Kerakyatan dan nilai
Ki Hajar Dewantara dalam Nurul Zuriah (2007: 123) mengatakan bahwa: Pengajaran budi pekerti/moral tidak lain adalah mendukung perkembangan hidup anak-anak, lahir dan batin dari sifat kodratinya menuju ke arah peradaban dalam sifatnya yang umum. Sedangkan syarat pendidikan budi pekerti menurut Ki Hajar dewantara disebut dengan metode ngerti, ngrasa, nglakoni (menyadari, menginsafi, dan melakukan). Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan bahwa pendidikan berlangsung di dalam lembaga sekolah, keluarga dan masyarakat. Sistem yang disebut sebagai Tri Pusat Pendidikan ini dijadikan sebagai strategi dalam upaya pengembangan pendidikan yang didasarkan kebudayaan dan kebangsaan sebagai upaya penangkalan terhadap kebudayaan dari luar yang tidak mendidik sesuai dengan budaya timur. Sistem Tri Pusat Pendidikan membutuhkan realisasi diantaranya dengan membuat inspirasi dan membangun perasaan saling bekerja sama dan mengembangkan daya saing diantara siswanya. (Emma Handoko, 2010: 1). Adapun yang dimaksud Tri Pusat Pendidikan tersebut antara lain: 1)
Pendidikan keluarga
adalah bentuk masyarakat kecil yang terdiri dari beberapa individu yang terikat oleh suatu keturunan, yakni kesatuan antara ayah, ibu dan anak yang merupakan kesatuan kecil dari bentuk-bentuk kesatuan masyarakat. Pendidikan keluarga adalah pendidikan yang diberikan oleh orang tua
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37 kepada anak-anaknya sesuai dan dipersiapkan untuk kehidupan anak-anak itu di masyarakat kelak. Materi pendidikannya meliputi nilai agama, nilai dan norma dari sikap yang baik. Dalam hal ini orang tua harus memberikan pendidikan dengan cara memberi contoh yang baik dalam perkataan maupun perbuatan agar anak dapat menyerap apa yang dilihat dan didengar dari lingkungannya terutama lingkungan keluarga. 2)
Pendidikan sekolah Sekolah adalah lembaga dengan organisasi yang tersusun rapi dengan segala aktivitasnya direncanakan dengan sengaja yang disebut kurikulum. Pendidikan sekolah adalah semua bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib dan berencana di dalam kegiatan persekolahan. Di sekolah terdapat norma-norma/aturan yang harus diikuti oleh setiap peserta didiknya dan norma itu berpengaruh sekali dalam pembentukan kepribadiannya guna bekal kehidupan di masyarakat kelak.
3)
Pendidikan masyarakat Pendidikan masyarakat adalah bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib dan berencana di luar kegiatan persekolahan atau di lingkungan masyarakat sesuai dengan kebutuhan tertentu. Masyarakat sebagai lembaga pendidikan ketiga sesudah keluarga dan sekolah. Di masyarakat terdapat norma-norma sosial budaya yang harus diikuti oleh warganya dan norma-norma itu berpengaruh dalam pembentukan kepribadian. Norma-norma masyarakat yang berpengaruh tersebut merupakan aturan-aturan yang ditularkan dari generasi tua kepada generasi muda. (Emma Handoko, 2010: 1-8). Ki Hajar Dewantara dalam Nurul Zuriah (2007: 131) mengatakan Ing ngarso sung tulodho, ing madya
mangun karso, tutwuri handayani Yang berarti bahwa seorang guru harus menjadi teladan, kemudian ketika di tengah-tengah siswa harus membangun karsa (kehendak), dan dengan prinsip tutwuri handayani akan membiarkan anak kecil tumbuh sesuai dengan usia pertumbuhannya, namun tetap didampingi.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38 c. Tujuan Pendidikan Moral Tujuan pendidikan moral menurut Dreeben dalam Nurul Zuriah (2007: menjadi bermoral, yang penting adalah bagaimana agar seseorang dapat
Frankena dalam Sjarkawi (2006: 49) mengemukakan ada lima tujuan pendidikan moral antara lain: 1)
Mengusahakan suatu pem
cara-cara moral
dalam mempertimbangkan tindakan-tindakan dan penetapan keputusan apa yang seharusnya dilakukan, seperti membedakan hal estetika, legalitas atau pandangan tentang kebijaksanaan. 2)
Membantu mengembangkan kepercayaan atau pengadopsian satu atau beberapa prinsip umum yang fundamental, ide atau nilai sebagai suatu pijakan atau landasan untuk pertimbangan moral dalam menetapkan suatu keputusan.
3)
Membantu mengembangkan kepercayaan pada dan atau mengadopsi norma-norma konkret, nilai-nilai, kebaikan seperti pada pendidikan moral tradisional yang selama ini dipraktikkan.
4)
Mengembangkan suatu kecenderungan untuk melakukan sesuatu yang secara moral baik dan benar.
5)
Meningkatkan pencapaian refleksi otonom, pengendalian diri atau kebebasan mental spiritual, meskipun itu disadari dapat membuat seseorang menjadi pengkritik terhadap ide-ide dan prinsip-prinsip, dan aturan-aturan umum yang sedang berlaku. Sedangkan tujuan dari pendidikan moral menurut Hamid Darmadi
serta memperlakukan manusia sebagai manusia merupakan kewajiban
Jadi pada intinya tujuan dari pendidikan moral ialah untuk mengembangkan warga negara yang mampu bertanggung jawab secara moral
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39 dan sebagai upaya mentransmisikan nilai-nilai moral dan spiritual yang diperlukan peserta didik. d. Target/Substansi Pendidikan Moral Target/substansi dari pendidikan moral pada umumnya dapat diarahkan untuk: 1) Membina dan menanamkan nilai moral dan norma. 2) Meningkatkan dan memperluas tatanan nilai keyakinan seseorang atau kelompok. 3) Membina dan meningkatkan jati diri/kualitas diri manusia/masyarakat/bangsa. 4) Menangkal, memperkecil dan meniadakan hal/nilai moral naif/negatif. 5) Membina dan mengupayakan terlaksananya dunia yang diharapkan. 6) Mengklarifikasi dan mengoperasionalkan nilai moral dan norma dasar. 7) Mengklarifikasi dan atau mengkaji/menilai diri keberadaan nilai moral dan norma dalam diri manusia dan atau kehidupannya. (Hamid Darmadi, 2009: 130). e. Model-Model Pendidikan Moral Model pendidikan moral dimaksudkan sebagai pemikiran tentang proses perhatian, pertimbangan, dan tindakan dalam kawasan pendidikan. Model pendidikan ini mencakup teori, atau cara pandang tentang bagaimana seseorang berkembang secara moral dan serangkaian strategi, atau prinsip untuk membantu perkembangan moral seseorang. Macam-macam model pendidikan moral menurut Cheppy HC, (1988: 27-32) ada enam, antara lain: Model pengembangan rasional, 2) Model konsiderasi, 3) Model klarifikasi nilai, 4) Model analisis nilai, 5) Model perkembangan moral kognitif, 6) Model
Model-model tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1) Model pengembangan rasional Model ini dirancang oleh James Shaver. Model ini difokuskan terhadap pengambilan keputusan moral oleh pendidik dan membantu pendidik memahami nilai-nilai pada umumnya dan khususnya nilai moral yang mempengaruhi pada keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan kelas dan proses belajar mengajar.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40 2) Model konsiderasi Model ini dirancang oleh Peter Mc Phail. Model ini menekankan pada pentingnya aspek perhatian dan berkaitan dengan keputusan mengenai konflik-konflik moral dengan fokus utamanya terletak pada bagaimana memahami kebutuhan orang lain ketimbang upaya menyeimbangkan kebutuhan-kebutuhan tersebut manakala mereka berkonflik satu sama lain. Pendekatan konsiderasi ini menempatkan penekanan yang lebih besar terhadap bermain peranan, sosiodrama, dan tulisan-tulisan kreatif sebagai metode dalam meningkatkan kesiapan bagi hubungan antar pribadi. Dengan kata lain model ini menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognisi yang rasional. Pembelajaran moral peserta didik menurutnya adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain. 3) Model klarifikasi nilai Model ini dipelopori oleh Raths, Harmin, Simon, Howe dan Krischenbaum. Model ini melihat pendidikan moral sebagai upaya meningkatkan kesiapan dan perhatian diri dalam memecahkan masalah-masalah moral. Model pendekatan ini membantu peserta didik untuk menemukan diri mereka sendiri secara lebih berarti dan pasti. 4) Model analisis nilai Model ini dipelopori oleh Coombs, model ini membantu peserta didik mempelajari
proses
pembuatan
keputusan
dan
membantu
dalam
menghadapi masalah yang kompleks. 5) Model perkembangan moral kognitif Model pendekatan ini dikembangkan oleh Kohlberg, model ini membantu peserta didik berfikir melalui kontroversi moral dalam meningkatkan kemampuan individu dalam pertimbangan moral.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41 6) Model aksi sosial Model ini dirancang oleh Fred Newmann. Model ini mengedepankan tantangan pendidikan untuk tindakan moral. Tujuan tindakan sosial adalah meningkatkan efektivitas subjek didik dalam menemukan, meneliti dan memecahkan masalah-masalah sosial. Pendekatan dalam pendidikan moral berkaitan dengan bagaimana cara menyampaikan nilai-nilai moral itu kepada peserta didik. Winarno (2006: 17-19) mengatakan bahwa: Terdapat klasifikasi yang dipakai para ahli pendidikan moral tentang pendekatan ini antara lain pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach), pendekatan analisis nilai (values analysis approach), pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach), dan pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach). Pendekatan tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1) Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) Pendekatan ini adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri peserta didik. Tujuannya diterimanya nilai-nilai sosial, berubahnya nilai-nilai peserta didik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan. Metode yang digunakan keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan. 2) Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach) Pendekatan yang mendorong peserta didik untuk berfikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. tujuannya membantu peserta didik membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi dan mendorong peserta didik untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah sosial. Metode yang digunakan diskusi kelompok.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42 3) Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) pendekatan yang memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan peserta didik untuk berfikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Tujuannya untuk membantu peserta didik menggunakan kemampuan berfikir logis dan penemuan ilmiah dalam menganalisis masalah-masalah sosial dan membantu untuk menggunakan proses berfikir rasional dan analitik. Metode yang digunakan pembelajaran secara individual atau kelompok, penyelidikan kepustakaan, penyelidikan lapangan, diskusi kelas berdasarkan pemikiran rasional. 4) Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) Pendekatan ini memberi penekanan pada usaha membantu peserta didik dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Tujuannya membantu siswa menyadari dan mengidentifikasikan nilai-nilai mereka sendiri seta nilai-nilai orang lain, membantu untuk berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain dan membantu untuk menggunakan kemampuan berfikir rasionalnya untuk memahami pola tingkah lakunya. Metode yang digunakan dialog, menulis, diskusi. 5) Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) Pendekatan yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral baik perorangan maupun kelompok. Tujuannya memberi kesempatan peserta didik untuk melakukan perbuatan moral dan mendorong peserta didik untuk melihat mereka sebagai makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama sebagai warga dari suatu masyarakat yang harus mengambil bagian dalam proses demokrasi. Metode yang digunakan proyek tertentu dan praktik keterampilan dalam berorganisasi atau berhubungan antar sesama. f. Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Pendidikan Moral Menurut Cheppy HC (1995: 295) faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan pendidikan moral,
masalah proses
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
43 Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1) Masalah peranan guru Guru pendidikan moral harus mempunyai keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan yang dibutuhkan dalam tugas-tugas profesionalnya. 2) Masalah proses belajar-mengajar Dalam proses belajar mengajarnya, seorang guru harus dapat menyusun materi dan program yang dapat diterima dengan mudah oleh peserta didik dan mampu menarik minat peserta didik sehingga pendidikan moral yang diterapkan berhasil. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan pendidikan moral antara lain: 1) Peserta didik, yang sejatinya memiliki tingkat kesadaran dan perbedaan perkembangan kesadaran moral yang tidak merata maka perlu dilakukan identifikasi yang berujung pada sebuah pengertian mengenai kondisi perkembangan moral dari peserta didik itu sendiri. 2) Nilai-nilai
(moral)
Pancasila,
berdasarkan
tahapan
kesadaran
dan
perkembangan moral manusia maka perlu diketahui pula tingkat tahapan kemampuan peserta didik. Hal ini penting mengingat dengan tahapan dan tingkatan yang berbeda itu pula maka semua nilai-nilai moral yang terkandung dalam pendidikan moral tersebut memiliki batasan-batasan tertentu untuk dapat tertanam pada kesadaran moral peserta didik. 3) Guru
Sebagai
fasilitator, apabila
kita
kembali
mengingat
teori
perkembangan moral manusia dari Kohlberg dengan 4 dalilnya maka guru seyogyanya adalah fasilitator yang memberikan kemungkinan bagi siswa untuk memahami dan menghayati nilai-nilai pendidikan moral itu. 4) Prasarana, yaitu segala sesuatu penunjang kesuksesan peserta didik dalam proses pembelajaran seperti perpustakaan, buku pelajaran wajib maupun penunjang, ruang kelas yang nyaman, laboratorium dan sarana ibadah. (Sylvie, 2006: 1).
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
44 Dengan memperhatikan empat hal di atas maka proses perkembangan moral manusia yang berjalan dalam jalur pendidikan tentu akan berjalan sesuai dengan tahapan perkembangan moral pada tiap diri manusia. g. Efektivitas Pendidikan Moral Efektivitas adalah tercapainya apa yang telah direncanakan atau dapat diartikan sebagai pengukuran dalam arti pengukuran terhadap tercapainya sasaran/tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. effectiveness) adalah suatu besaran atau angka untuk menunjuk sampai seberapa jauh sasaran
Chester I Barnad dalam Suyadi Prawiro Sentono (1994: 14) men mengatakan bahwa kegiatan tersebut adalah efektif . Ia juga mengatakan
dicapai sesuai dengan yang direncana Sedangkan E. Mulyasa (2005: 82) menyatakan bahwa: Efektivitas adalah adanya kesesuaian antara orang yang melaksanakan tugas dengan sasaran yang dituju. Efektivitas adalah bagaimana suatu organisasi berhasil mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya dalam usaha mewujudkan tujuan operasional. Hasil yang semakin mendekati tujuan yang telah ditetapkan menunjukkan semakin tinggi tingkat efektivitasnya. Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu hal dapat dikatakan efektif apabila hal tersebut sesuai dengan yang dikehendaki. Artinya, pencapaian hal yang dimaksud merupakan pencapaian tujuan dilakukannya tindakan untuk mencapai suatu tujuan. Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau kegiatan dapat dikatakan efektif apabila usaha atau kegiatan tersebut telah mencapai tujuannya. Apabila tujuan yang dimaksud adalah tujuan suatu instansi maka proses pencapaian tujuan tersebut
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45 merupakan keberhasilan dalam melaksanakan program atau kegiatan menurut wewenang, tugas dan fungsi instansi tersebut (dalam hal ini tujuan pendidikan moral untuk membentuk tanggung jawab moral pada eks Wanita Tuna Susila). Jadi berdasarkan pengertian mengenai pendidikan moral dan efektivitas yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa efektivitas pendidikan moral adalah keefektifan pembinaan moral yang diberikan dimana pendidikan moral ini merupakan pembinaan yang membawa belajar peserta didik menjadi efektif yang di dalamnya terdapat pemanfaatan potensi yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Adapun tujuan tersebut yakni membentuk tanggung jawab moral pada Wanita Tuna Susila atau dapat diartikan juga sebagai suatu proses sampai sejauh mana pencapaian dari tujuan menanamkan nilai-nilai moral yang telah ditetapkan sebelumnya atau keberhasilan yang dicapai dari program penanaman konsep kebaikan untuk membentuk budi pekerti dan akhlak mulia pada diri individu sehingga memiliki tanggung jawab moral. h. Indikator Efektivitas Indikator efektivitas menurut E. Mulyasa (2005: 84-85) adalah input, indikator process, indikator output, dan indikator outcome Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1) Indikator input: indikator input ini meliputi karakteristik guru (dalam penelitian ini dikatakan sebagai pendidik di dalam balai), fasilitas, perlengkapan, dan materi pendidikan serta kapasitas manajemen. 2) Indikator process: indikator proses meliputi perilaku administratif, alokasi waktu guru (pendidik di dalam balai), dan alokasi waktu peserta didik (warga binaan eks Wanita Tuna Susila). 3) Indikator output: indikator dari output ini berupa hasil-hasil dalam bentuk perolehan pendidikan peserta didik (warga binaan eks Wanita Tuna Susila) dan dinamikanya sistem balai, hasil-hasil yang berhubungan dengan pembinaan moral, dan hasil-hasil yang berhubungan dengan perubahan sikap, serta hasil-hasil yang berhubungan dengan keadilan, dan kesamaan.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
46 4) Indikator outcome: indikator ini meliputi jumlah keluaran dari balai berikutnya, pekerjaan yang lebih baik dari pekerjaan eks Wanita Tuna Susila sebelumnya.
3. Tinjauan tentang Tanggung Jawab Moral a. Pengertian Tanggung Jawab Moral Sama seperti dalam bahasa Barat, dalam bahasa Indonesia kata yang
jawab berarti dapat menjawab bila ditanya mengenai perbuatan yang dilakukan. Orang yang bertanggung jawab dapat diminta penjelasan. Tanggung jawab adalah ciri manusia beradab. Pengertian tanggung jawab menurut Ensiklopedi umum Tanggung jawab dalam pengertian kamus diterjemahkan dengan kata : having the character of a free moral agent; capable of
Definisi ini memberikan pengertian yang dititikberatkan pada:
Harus ada kesanggupan untuk menetapkan sikap terhadap sesuatu
perbuatan, 2) Harus ada kesanggupan untuk memikul resiko dari sesuatu perbuatan . (Burhanuddin Salam, 1997: 28- 29). Burhanuddin Salam (1997: 28-29) menyatakan bahwa: Bila pengertian ini dianalisis lebih luas maka kata diartikan sebagai suatu keharusan akan adanya pertanggungan moral/karakter. Dimana dalam filsafat hidup nilai tanggung jawab dijadikan sebagai salah satu kriteria kepribadian seseorang. Tanggung jawab menurut KUBI adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab menurut KUBI adalah berkewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala sesuatunya atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung jawab juga dapat diartikan sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
47 Seseorang mau bertanggung jawab karena ada kesadaran atau keinsafan atau pengertian atas segala perbuatan dan akibatnya dan atas kepentingan pihak lain. Timbulnya tanggung jawab karena manusia itu hidup bermasyarakat dan hidup dalam lingkungan alam. Manusia tidak boleh berbuat semaunya terhadap manusia lain dan terhadap alam lingkungannya. Manusia menciptakan keseimbangan, keserasian, keselarasan antara sesama manusia dan antara manusia dengan lingkungan. Tanggung jawab itu bersifat kodrati, artinya sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia, bahwa setiap manusia pasti dibebani dengan tanggung jawab. Apabila ia tidak mau bertanggung jawab, maka ada pihak lain yang memaksakan tanggung jawab itu. Dengan demikian tanggung jawab itu dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi pihak yang berbuat dan dari sisi kepentingan pihak lain. Dari sisi si pembuat ia harus menyadari akibat perbuatannya itu, dengan demikian ia sendiri pula yang harus memulihkan ke dalam keadaan baik. Dari sisi pihak lain apabila si pembuat tidak mau bertanggung jawab, pihak lain yang akan memulihkan baik dengan cara individual maupun dengan cara kemasyarakatan. Hal senada juga dikemukakan oleh K. Bertens (2007: 126-127) bahwa Tanggung jawab bisa langsung atau tidak langsung. Tanggung jawab bersifat langsung, bila si pelaku sendiri bertanggung jawab atas perbuatannya. Tetapi kadang-kadang orang bertanggung jawab Manusia merasa memiliki tanggung jawab karena ia menyadari akibat baik maupun buruknya perbuatan yang dilakukannya serta menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengabdian atau pengorbanannya. Dengan demikian untuk meningkatkan kesadaran bertanggung jawab perlu ditempuh usaha melalui pendidikan, penyuluhan, keteladanan, dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tanggung jawab moral merupakan bagian nilai penting dalam etika. Dengan kata lain, bobot etis tindakan seseorang tidak cukup diukur dari pilihan berdasarkan kemauan sendiri, tetapi juga sejauh mana tanggung jawab moral diberi perhatian didalamnya. Bahkan kualitas etis seseorang perlu diukur dari tingkat realisasi tanggung jawab itu sendiri. Ini berarti, orang yang mampu
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
48 memperlihatkan tanggung jawab moral dalam tindakannya adalah orang yang berbobot secara etis. Sebaliknya, orang yang mengelak dari rasa tanggung jawab adalah orang yang buruk secara etis. (Christian, 2004: 1). Berdasarkan pengertian tanggung jawab yang telah dijelaskan di atas maka dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab adalah keadaan dimana manusia dengan kesadarannya berani menanggung segala resiko atas perbuatan atau tingkah lakunya baik yang disengaja maupun tidak disengaja yang tidak sesuai dengan aturan. Jadi berdasarkan pengertian tanggung jawab dan moral yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab moral adalah kesediaan untuk mengemukakan fakta atau kejadian yang sebenarnya, dan berkaitan dengan resiko dan akibat-akibat dari tindakan atau kebijakan yang dilakukan. Artinya, perwujudan tanggung jawab berkaitan dengan keberanian untuk menanggung resiko tindakan. Itu berarti orang yang menjadi penyebab sesuatu adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam tindakan, bukan orang yang secara tidak langsung terkait dengan tindakan itu. Adapun definisi tanggung jawab moral dari penelitian ini untuk mengetahui tanggung jawab moral dari Wanita Tuna Susila terhadap perilakunya di BAREHSOS -1. b. Macam-Macam Tanggung Jawab Tanggung jawab dapat dibedakan menurut keadaan manusia atau hubungan yang dibuatnya. Tanggung jawab menurut Djoko Widagdho (2001: 146-148) dibagi menjadi lima, antara lain: sendiri, 2) Tanggung Jawab terhadap keluarga, 3) Tanggung Jawab terhadap masyarakat, 4) Tanggung Jawab terhadap bangsa/negara, 5) Tanggung Jawab
Macam-macam tanggung jawab tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1)
Tanggung jawab terhadap Diri Sendiri Tanggung jawab terhadap diri sendiri merupakan kesadaran yang menuntut
setiap
orang
memenuhi
kewajibannya
sendiri
dalam
mengembangkan kepribadiannya sebagai manusia pribadi. Sehingga dapat
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
49 memecahkan masalah-masalah kemanusiaan mengenai dirinya sendiri. Menurut sifatnya manusia adalah makhluk bermoral, tetapi manusia juga merupakan seorang pribadi. Karena merupakan seorang pribadi maka manusia mempunyai pendapat sendiri, perasaan sendiri, angan-angan sendiri yang diwujudkan manusia dengan berbuat dan bertindak. Sehingga dalam hal ini manusia tidak terlepas dari kesalahan, kekeliruan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. 2)
Tanggung Jawab terhadap Keluarga Tanggung jawab terhadap keluarga ialah tanggung jawab dimana tiap anggota keluarga wajib bertanggung jawab kepada keluarganya. Tanggung jawab ini meliputi tanggung jawab menjaga nama baik keluarga.
3)
Tanggung Jawab terhadap Masyarakat Manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan dari manusia lain sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk sosial. Sehingga manusia perlu hidup bermasyarakat dan secara langsung menjadi anggota dari masyarakat tersebut. Sebagai anggota dari masyarakat tersebut manusia mempunyai tanggung jawab seperti anggota masyarakat yang lain agar dapat melangsungkan hidupnya di dalam masyarakat tersebut. Dengan demikian segala tingkah laku dan perbuatannya harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
4)
Tanggung Jawab terhadap Bangsa/Negara Manusia merupakan warga suatu negara, sehingga dalam berfikir, berbuat, bertingkah laku terikat oleh norma-norma atau aturan-aturan yang dibuat oleh negara. Manusia tidak dapat berbuat semaunya sendiri. Apabila perbuatan manusia salah, maka ia harus bertanggung jawab kepada bangsa/negara.
5)
Tanggung Jawab terhadap Tuhan Tuhan menciptakan manusia bukanlah tanpa tanggung jawab, melainkan untuk mengisi kehidupan manusia agar memiliki tanggung jawab secara langsung kepada Tuhan sebagai penciptanya. Dengan demikian segala tindakan manusia tidak bisa lepas dari hukuman-hukuman Tuhan yang
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
50 dituangkan dalam berbagai kitab suci melalui berbagai macam agama. Sehingga sebagai hamba Tuhan, manusia harus bertanggung jawab atas segala perbuatan yang salah dengan istilah agama atas segala dosanya. c. Unsur-unsur Tanggung Jawab Unsur tanggung jawab dari segi filsafat menurut Burhanuddin Salam, (1997: 33-34) ada 3, yaitu:
Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1) Kesadaran Sadar berarti tahu, kenal, mengerti dan dapat memperhitungkan yang dapat digunakan sampai pada soal akibat dari sesuatu perbuatan yang dihadapi. Seseorang baru dapat dimintai tanggung jawab bila ia sadar tentang apa yang dilakukannya. 2) Kecintaan/kesukaan Kecintaan berarti cinta, suka, menimbulkan rasa kepatuhan, kerelaan dan kesediaan berkorban. 3) Keberanian Keberanian diartikan sebagai berani berbuat, berani bertanggung jawab. Berani disini didorong oleh rasa keikhlasan, tidak bersikap ragu-ragu dan takut terhadap segala macam rintangan yang timbul sebagai konsekuensi dari tindakan perbuatan. Karena ada tanggung jawab itu maka seseorang berani bertanggung jawab. Jadi untuk menjadi warga negara yang baik harus memiliki rasa tanggung jawab moral dimana tanggung jawab moral ini merupakan bagian dari civic disposition khususnya bagian karakter privat. d. Civic disposition Civic disposition merupakan salah satu komponen yang ada di dalam pendidikan kewarganegaraan yang diartikan sebagai watak, sikap atau karakter kewarganegaraan . (Winarno dan Wijianto, 2010: 56). Watak, sikap atau karakter dan kebiasaan warganegara (civic disposition) merupakan bagian dari civic education yang mengarah pada
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
51 karakter privat & publik. Dimana karakter privat ini meliputi tanggung jawab moral, disiplin diri dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu, sedangkan karakter publiknya meliputi kepedulian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law), berfikir kritis, dan kemauan untuk mendengar, bernegoisasi dan berkompromi. Menurut Budimansyah dalam Winarno dan Wijianto (2010: 56) karakter
kewarganegaraan
privat
dan
publik
secara
singkat
dapat
dideskripsikan, sebagai berikut: 1) Menjadi anggota masyarakat. 2) Memenuhi tanggung jawab personal kewarganegaraan di bidang ekonomi dan politik. 3) Menghormati harkat dan martabat kemanusiaan tiap individu. 4) Berpartisipasi dalam urusan-urusan kewarganegaraan secara efektif dan bijaksana. 5) Mengembangkan berfungsinya demokrasi konstitusional secara sehat. Sehingga dapat dilihat, bahwa dalam kaitannya dengan judul skripsi di atas yang hendak peneliti teliti yaitu bagian dari ranah karakter privat yang berupa tanggung jawab moral pada eks Wanita Tuna Susila. Dimana dengan dimilikinya tanggung jawab moral pada setiap pribadi eks wanita tuna susila diharapkan eks Wanita Tuna Susila ini memiliki rasa tanggung jawab terhadap dirinya sendiri terutama dalam segala perilakunya. e. Teori Tanggung Jawab Moral Sosial (Teori Kategorikal Imperatif) Kant terkenal dengan teori kategorikal imperatifnya yang menyentuh tentang tanggung jawab moral sosial. Teori kategorikal imperatif menyatakan bahwa suatu tindakan dianggap bermoral jika peraturan yang membenarkan tindakan itu dapat diadaptasikan secara umum sebagai satu peraturan yang bersifat universal kepada semua manusia untuk mematuhinya. Menurut Kant, apa yang penting dalam kehidupan dan menjadikan kehidupan begitu berharga bukanlah kegembiraan atau kesenangan semata-mata tetapi tindakan yang lahir dari pada good will atau tekad yang baik. Tekad yang baik disini bersifat mutlak dan tidak hanya baik dari segi hasil saja tetapi juga mencakup proses
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
52 atau tindakan serta rasa tanggung jawab moral yang tertanam dalam hati nurani setiap individu. (Anonim, 2011: 1). Pendapat Kant tentang tindakan yang dibuat atas rasa tanggung jawab difahami seperti memperlakukan sesuatu benda dengan betul hanya karena benda itu betul. Namun, tidak semua tindakan yang datang dari rasa tanggung jawab semata-mata merupakan tindakan yang bermoral karena proses sesuatu tindakan itu perlu disertakan dengan motif atau niat yang bermoral. Imanuel Kant dalam K. Bertens (2007: 145) menyatakan bahwa: Dalam nilai moral terkandung suatu imperatife (perintah) kategoris, sedangkan nilai-nilai lain hanya berkaitan dengan imperatife hipotesis. Artinya jika ingin merealisasikan nilai-nilai lain kita harus menempuh jalan tertentu. Sebaliknya, nilai moral mengandung suatu imperatife kategoris. Artinya nilai moral mewajibkan kita begitu saja tanpa syarat dan bersifat mutlak. Yang dimaksud dalam nilai moral mewajibkan kita begitu saja tanpa syarat dan bersifat mutlak, diartikan juga dengan tanggung jawab.
4. Tinjauan tentang Wanita Tuna Susila a. Pengertian Wanita Tuna Susila Pelacuran berasal dari bahasa Latin pro-stituere atau pro-stauree, yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan, dan perngendakan. Sedangkan prostitute adalah pelacur atau sundal. Dikenal pula dengan istilah WTS atau Wanita Tuna Susila. Istilah pelacur berasal dari dasar kata lacur, artinya adalah malang, celaka, gagal, sial, atau kata lacur berarti pula buruk laku. Bentukan kata dari kata lacur adalah melacur yaitu berbuat lacur atau menjual diri sebagai pelacur. Orang yang berbuat lacur atau menjual diri itu disebut pelacur. Pelacur, sekali lagi, adalah orang yang melacur, orang yang melacurkan diri atau menjual diri. Wanita Tuna Susila adalah salah satu bentuk perilaku yang menyimpang di masyarakat yaitu perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak
masyarakat
atau
kelompok
commit to user 511
tertentu
dalam
masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
53 Penyimpangan adalah perbuatan yang mengabaikan norma, dan penyimpangan ini terjadi jika seseorang tidak mematuhi patokan baku dalam masyarakat. W.A. Bonger dalam tulisannya Maatschappelijke Oorzaken der Prostitutie dalam Kartini Kartono (2005: 213-214) menyatakan bahwa masyarakatan dimana wanita menjual diri melakukan perbuatanmereka adalah perempuan, mereka melakukan itu karena selama ini anggapan masyarakat terutama laki-laki menempatkan perempuan hanya sebagai pemuas atau pelayan seks saja, sehingga praktik pelacuran ini menjadi tumbuh subur. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa terkendali dengan banyak orang, disertai eksploitasi dan komersialisasi seks yang impersonal tanpa afeksi sifatnya (Kartini Kartono, 2005: 207). Departemen Sosial Republik Indonesia (2004: 7) menyatakan bahwa melakukan hubungan memperoleh imbala
seksual
dengan
lawan
jenisnya
untuk
Sedangkan menurut Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial menegaskan bahwa Prostitusi adalah penggunaan orang dalam kegiatan seksual dengan pembayaran
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa Wanita Tuna Susila adalah seseorang yang mempunyai kebiasaan melakukan hubungan kelamin dengan seseorang pria di luar perkawinan, baik untuk mendapatkan upah sebagai balas jasa ataupun tidak. b. Jenis Prostitusi Kartini Kartono, (2005: 251) menyatakan jenis prostitusi dapat dibagi Terdaftar dan terorganisasi, dan yang tidak
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
54 Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1) Prostitusi yang terdaftar Prostitusi yang pelakunya diawasi oleh bagian Vice Control dari kepolisian, yang dibantu dan bekerja sama dengan Jawatan Sosial dan Jawatan Kesehatan. Pada umumnya mereka dilokalisasi dalam satu daerah tertentu. 2) Prostitusi yang tidak terdaftar Prostitusi secara gelap-gelapan dan liar, baik secara perorangan maupun dalam kelompok. Perbuatannya tidak terorganisasi, tempatnya pun tidak tertentu. Dahulu di Kota Surakarta pada tahun 60-an terdapat komplek pelacuran yang terdaftar dan teratur dengan rapi yang bernama Silir, yang terletak di pinggiran Kota Solo sebelah Timur. Bagi pengunjung disediakan karcis masuk, dan semua kendaraan harus diparkir di sebelah timur. Komplek Silir ini merupakan pasar tersno yang dibangun oleh Dinas Sosial Kotamadya Surakarta. Namun sekarang komplek Silir ini sudah ditutup karena mengganggu warga. c. Ciri dan Fungsi Pelacur Ciri-ciri dari pelacur menurut Kartini Kartono (2005: 239-240) antara lain: 1) Bila wanita disebut pelacur, dan bila pria disebut gigolo. 2) Cantik (ganteng), rupawan, manis, atraktif menarik wajah dan tubuhnya, dapat merangsang selera seks lawan jenisnya. 3) Masih muda dibawah 30 tahun. 4) Pakaian sangat menyolok, seksi, eksentrik untuk menarik perhatian lawan jenisnya. 5) Mereka memperlihatkan penampilan lahiriah seperti: wajah, rambut, pakaian, alat kosmetik, parfum yang merangsang. 6) Menggunakan teknis seksual yang mekanistis, cepat, tanpa emosi dan afeksi, tidak pernah mencapai organsme, sangat provokatif, dilakukan secara kasar. 7) Bersifat mobil sering berpindah-pindah dari kota satu ke kota lainnya.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
55 8) Biasanya berasal dari strata ekonomi dan sosial rendah, tidak mempunyai keterampilan khusus, berpendidikan rendah. Sedangkan pelacur kelas tinggi biasanya berpendidikan tinggi, beroperasi secara amateur atau professional. Fungsi pelacur yaitu menjadi sumber eksploitasi bagi kelompokkelompok tertentu, khususnya bagi mereka yang memberikan partisipasi. Pada umumnya masyarakat menolak adanya pelacuran, tetapi dalam kenyataannya mereka tidak bisa mengelak dan harus menerimanya. Kedudukan sosial pelacur sangat rendah, tugasnya memberikan pelayanan seks kepada kaum pria. Menurut Kartini Kartono, (2005: 241-242) ada beberapa fungsi pelacur yang tergolong positif sifatnya bagi masyarakat. Fungsi yang dimaksud sebagai berikut: 1) Sumber pelancar dalam dunia bisnis. 2) Sumber kesenangan dari kaum yang harus berpisah dari istrinya 3) Sumber hiburan individu atau kelompok. 4) Sumber pelayanan dan hiburan bagi orang cacat (misalnya pria yang wajahnya buruk, pincang, abnormal seksualnya dan para penjahat). d. Penyebab Timbulnya Pelacuran Beberapa peristiwa sosial penyebab timbulnya pelacuran antara lain: 1) Tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran. 2) Adanya keinginan dan dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks. 3) Komersialisasi seks. 4) Dekadensi moral, merosotnya norma-norma susila dan keagamaan. 5) Semakin besarnya penghinaan orang terhadap martabat kaum wanita dan harkat manusia. 6) Kebudayaan eksploitasi pada zaman modern. 7) Ekonomi laissez- faire. 8) Peperangan dan masa-masa kacau. 9) Adanya proyek pembangunan dan pembukaan daerah pertambangan dengan konsentrasi kaum pria. 10) Perkembangan kota-kota, daerah-daerah pelabuhan dan industri yang sangat cepat dan menyerap banyak tenaga buruh dan pegawai pria. 11) Bertemunya kebudayaan asing dan kebudayaan setempat. (Kartini Kartono, 2005: 242-244).
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
56 e. Motif yang Melatarbelakangi Pelacuran Motif yang melatarbelakangi tumbuhnya pelacuran pada wanita itu beraneka ragam. Dibawah ini disebutkan beberapa motif tersebut, antara lain sebagai berikut: 1) Adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk mengatasi masalah hidup. 2) Adanya nafsu seks yang abnormal. 3) Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan. 4) Aspirasi materiil yang tinggi pada diri wanita. 5) Kompensasi terhadap perasaan inferior. 6) Rasa melit dan ingin tahu gadis cilik dan anak-anak puber pada masalah seks. (Kartini Kartono, 2005: 245). f. Akibat -Akibat Pelacuran Praktik-praktik pelacuran biasanya ditolak oleh masyarakat dengan cara mengutuk keras, serta memberikan hukuman yang berat bagi pelakunya. Namun demikian ada anggota masyarakat yang bersifat netral dengan sikap acuh dan masa bodoh. Disamping itu ada juga yang menerima dengan baik. Sikap menolak diungkapkan dengan rasa benci, jijik, ngeri, takut dll. Perasaan tersebut timbul karena prostitusi dapat mengakibatkan sebagai berikut: 1) Menimbulkan dan menyebarkan penyakit kelamin dan penyakit kulit. Penyakit kelamin tersebut adalah sipilis dan gonorgoe. Keduanya dapat mengakibatkan penderitanya menjadi epilepsi, kelumpuhan, idiot psikotik yang berjangkit dalam diri pelakunya dan juga kepada keturunan. 2) Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga, sehingga keluarga menjadi berantakan. 3) Memberi pengaruh demoralisasi kepada lingkungan, khususnya remaja dan anak-anak yang menginjak masa puber. 4) Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan minuman keras dan obat terlarang (narkoba). 5) Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama. 6) Terjadinya eksploitasi manusia oleh manusia lain yang dilakukan oleh germo, pemeras dan centeng kepada pelacur.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
57 7) Menyebabkan terjadi disfungsi seksual antara lain: impotensi, anorgasme. (Kartini Kartono, 2005: 249-250). g. Penanggulangan Prostitusi Prostitusi merupakan masalah dan patologi sosial sejak sejarah kehidupan manusia sampai sekarang. Usaha penanggulangannya sangat sulit sebab harus melalui proses dan waktu yang panjang serta biaya yang besar. Usaha mengatasi Wanita Tuna Susila pada umumnya dilakukan secara preventif dan represif kuratif. Usaha yang bersifat preventif diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan untuk mencegah terjadinya pelacuran. Adapun kegiatan yang dimaksud menurut Kartini Kartono (2005: 266-267) berupa: 1) Penyempurnaan
undang-undang
tentang
larangan
atau
pengaturan
penyelenggaraan pelacuran. 2) Intensifikasi pendidikan keagamaan dan kerohanian, untuk menginsyafkan kembali WTS dan memperkuat iman terhadap nilai religius serta norma kesusilaan. 3) Bagi anak puber dan remaja ditingkatkan kegiatan seperti olahraga dan rekreasi, agar mendapatkan kesibukan, sehingga mereka dapat menyalurkan kelebihan energi tersebut. 4) Memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita disesuaikan dengan kodrat dan bakatnya, serta memberikan gaji yang memadahi dan yang dapat membiayai kebutuhan hidup. 5) Diadakan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan keluarga. 6) Pembentukan team koordinasi yang terdiri dari beberapa instansi dan mengikutsertakan
masyarakat
lokal
dalam
rangka
penanggulangan
prostitusi. 7) Penyitaan, buku, majalah, film, dan gambar porno sarana lain yang merangsang nafsu seks. 8) Meningkatkan kesejahteraan rakyat.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
58 Sedangkan usaha-usaha yang bersifat represif kuratif dengan tujuan untuk menekan, menghapus dan menindas, serta usaha penyembuhan para Wanita Tuna Susila, untuk kemudian dibawa kejalan yang benar. Usaha tersebut menurut Kartini Kartono (2005: 267-268) antara lain sebagai berikut: 1) Melakukan kontrol yang ketat terhadap kesehatan dan keamanan para pelacur dilokalisasi. 2) Mengadakan rehabilitasi dan resosialisasi, agar mereka dapat dikembalikan sebagai anggota masyarakat yang susila. Rehabilitasi dan resosialisasi dilakukan melalui pendidikan moral dan agama, latihan kerja, pendidikan keterampilan dengan tujuan agar mereka menjadi kreatif dan produktif. 3) Pembinaan kepada para WTS sesuai dengan bakat minat masing-masing. 4) Pemberian pengobatan (suntikan) pada interval waktu yang tetap untuk menjamin kesehatan dan mencegah penularan penyakit. 5) Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan profesi pelacur, dan yang mau memulai hidup susila. 6) Mengadakan pendekatan kepada pihak keluarga dan masyarakat asal pelacur agar mereka mau menerima kembali mantan Wanita Tuna Susila untuk mengawali hidup barunya. 7) Mencarikan pasangan hidup yang permanen (suami) bagi para Wanita Tuna Susila untuk membawa mereka ke jalan yang benar. 8) Mengikutsertakan para eks WTS untuk berpartisipasi dalam rangka pemerataan penduduk di tanah air dan perluasan kesempatan bagi kaum wanita.
B. Kerangka Berfikir Pendidikan
moral
sangat
penting
bagi
pembentukan
dan
perkembangan kepribadian seseorang. Pendidikan moral perlu diarahkan menuju upaya-upaya terencana untuk menjamin moral setiap manusia yang diharapkan menjadi warga negara yang cinta akan bangsa dan tanah airnya, serta dapat menciptakan dan memelihara ketenteraman dan kerukunan masyarakat dan bangsa di kemudian hari.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
59 Balai Rehabilitasi Sosial
-1 merupakan
salah satu balai yang menerapkan dan memberikan pendidikan moral pada setiap Wanita Tuna Susila yang menjadi warga binaan balai. Kegiatan pendidikan moral yang ada di balai ini diberikan dengan model-model pendidikan moral yang merupakan strategi dalam menyampaikan nilai-nilai moral kepada eks WTS. Penerapan pendidikan moral ini bertujuan untuk mengurangi perilaku Wanita Tuna Susila yang tidak sesuai dengan moral yang ada dalam masyarakat serta dapat membentuk watak atau karakter Wanita Tuna Susila agar memiliki watak sebagai manusia yang mempunyai tanggung jawab moral. Untuk dapat mengetahui efektivitas penerapan pendidikan moral, dapat dilihat dari bagaimana pendidikan itu berhasil membentuk watak tanggung jawab moral pada diri eks Wanita Tuna Susila dan dapat diketahui dengan menggunakan indikator dari efektivitas itu sendiri. Penerapan pendidikan moral yang efektif akan mengakibatkan perubahan-perubahan yang terjadi setelah eks Wanita Tuna Susila mempelajarinya. Penerapan pendidikan moral ini harus mencapai tujuan yang semaksimal mungkin yaitu dapat membentuk warga binaannya eks Wanita Tuna Susila menjadi manusia yang bermoral dan berakhlak mulia. Namun dalam pelaksanannya mengalami beberapa hambatan terutama hambatan dari faktor internal dan eksternal. Pendidik di balai dalam memberikan pendidikan moral juga harus membangkitkan dan memotivasi eks Wanita Tuna Susila agar lebih memahami pendidikan moral, agar perilaku mereka sesuai dengan norma-norma yang ada, sehingga dari proses pendidikan moral dengan metode yang digunakan oleh pendidik di balai khususnya instruktur pendidikan moral akan mempengaruhi pemahaman eks Wanita Tuna Susila ini mengenai nilai dan norma-norma moral yang ada di masyarakat yang pada akhirnya juga mempengaruhi keberhasilan dalam membentuk pribadi eks Wanita Tuna Susila yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri terutama dalam hal perilakunya kearah yang lebih baik lagi. Oleh karena itu penerapan pendidikan moral yang diberikan balai sangat berpengaruh terhadap keberhasilan tujuan dari pembinaan moral eks Wanita Tuna Susila yaitu membentuk warga binaannya
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
60 eks Wanita Tuna Susila menjadi manusia yang bermoral sehingga tidak ada perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang ada di masyarakat (melakukan pekerjaan yang menyimpang lagi). Secara sistematis hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Pendidikan Moral pada eks WTS di Surakarta-1 Efektivitas Penerapan Pend. Moral Tujuan membentuk Manusia yang Bermoral
Indikator efektivitas Faktor penghambat
Gambar 1: Skema Kerangka Pemikiran
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
61 BAB III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Tempat penelitian merupakan sumber diperolehnya data yang digunakan dalam penelitian. Dalam penelitian ini penulis memilih lokasi penelitian di BAREHSOS
Surakarta-1. Hal ini diambil
dengan pertimbangan: a. Ada masalah yang menarik untuk diteliti. b. Tersedianya data yang menunjang penelitian. c. Adanya keterbukaan dari pihak balai sehingga memudahkan di dalam melaksanakan penelitian yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi. 2. Waktu Penelitian Waktu penelitian direncanakan enam (6) bulan yang dimulai pada bulan Januari 2011 sampai dengan bulan Juni 2011. Kegiatan tersebut dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 1. Jadual Kegiatan Penelitian Tahun 2011-2011 No
Kegiatan Jan
1.
Pengajuan Judul
2.
Penyusunan Proposal
3.
Ijin Penelitian
4.
Pengumpulan Data
5.
Analisis Data
6.
Penyusunan Laporan
Feb
Mar
Apr Mei
Juni
B. Bentuk dan Strategi Penelitian 1. Bentuk Penelitian Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Lexy J. Moleong
commit to user 61 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
62 (1995: 3) mengenai kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati . Mengenai penelitian kualitatif Kirk dan Miller dalam Lexy J. Moleong (1995: 3) berpendapat bahwa Penelitian kualitatif sebagai tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya . 2. Strategi Penelitian Pada setiap penelitian diperlukan sebuah strategi agar tujuan yang telah direncanakan dapat tercapai. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah model tunggal terpancang. H.B. Sutopo (2002: 42) menjelaskan bahwa
Bentuk penelitian
terpancang (embedded research) adalah penelitian kualitatif yang menentukan fokus penelitian berupa variabel utamanya yang akan dikaji berdasarkan pada tujuan dan minat penelitinya sebelum peneliti ke lapangan studinya . Dalam proposal, peneliti sudah menentukan fokus pada variabel tertentu. Tetapi dalam hal ini peneliti tetap tidak melepaskan variabel fokusnya (pilihannya) dari sifatnya yang holistik sehingga bagian-bagian yang diteliti tetap diusahakan pada posisi saling berkaitan dengan bagian-bagian konteks keseluruhannya guna menemukan makna yang lengkap. Sehingga dalam penelitian ini menggunakan strategi tunggal terpancang sebab objek penelitianya adalah tunggal yaitu hanya pada BAREHSOS Wanita Utama Surakarta-1 serta pembahasan masalah hanya terpancang pada perumusan masalah yang telah diuraikan di depan pada bab pendahuluan yaitu tentang efektivitas penerapan pendidikan moral dalam membentuk tanggung jawab moral pada eks Wanita Tuna Susila di Surakarta-1.
commit to user 511
Wanita Utama
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
63 C. Sumber Data Sumber data merupakan bagian yang sangat penting bagi peneliti karena ketepatan memilih dan menentukan jenis sumber data dapat menentukan informasi yang akan diperoleh. Data atau informasi yang paling penting untuk dikumpulkan dan dikaji dalam penelitian ini sebagian besar berupa data kualitatif. Menurut H.B. Sutopo (2002: 50) kualitatif dapat berupa manusia, peristiwa atau aktifitas, tempat atau lokasi, benda, beragam gambar dan rekaman, Pendapat lain tentang sumber data dalam penelitian kualitatif menurut Lofland dan Lofland dalam Lexy J. Moleong (1995: 112)
Sumber data utama
dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya data tambahan seperti dokumen dan lainini jenis datanya dibagi ke dalam kata-kata dan tindakan, sumber data tertulis, foto dan statistik. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data yang berupa informan, peristiwa atau aktivitas, serta dokumen dan arsip, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut: 1. Informan Menurut H.B. Sutopo (2002: 50) informan berupa manusia di dalam penelitian kualitatif lebih tepat disebut sebagai man diharapkan dapat memberikan informasi mengenai sesuatu yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Informan adalah orang yang dianggap mengetahui permasalahan yang akan dikaji serta mengetahui secara mendalam tentang data-data yang diperlukan sehingga akan diperoleh informasi tentang permasalahan yang akan dikaji. Adapun informan yang diperlukan antara lain: a. Koordinator bagian pelayanan dan rehabilitasi sosial yaitu: 1) Ir. Purwadi MM dengan menanyakan pada informan tentang bagaimana model-model
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
64 Surakarta-1 dalam membentuk tanggung jawab moral pada eks Wanita Tuna Susila, kemudian menanyakan tentang efektivitas dari penerapan pendidikan moral, dan faktor apa saja yang mempengaruhi dalam penerapan pendidikan moral tersebut. b. Koordinator bagian Pekerja Sosial (selaku pembimbing sekaligus instruktur pendidikan moral) yaitu: 1) Ninik Pahlawanti, S.Pd dengan menanyakan pada informan tentang bagaimana model-model pendidikan moral yang diberikan pihak BAREHSOS
Wanita Utama
Surakarta-1 dalam membentuk tanggung jawab moral pada eks Wanita Tuna Susila, kemudian menanyakan tentang efektivitas dari penerapan pendidikan moral, dan faktor apa saja yang mempengaruhi dalam penerapan pendidikan moral tersebut. c. Instruktur Pendidikan Moral, yaitu: 1) Sulistyo, S.ST 2) Dra. Sugiyanti 3) Nanang Kasim S 4) Wiyono Pada informan ini peneliti mananyakan juga mengenai model-model pendidikan moral yang diberikan pihak BAREHSOS
Wanita Utama
Surakarta-1 dalam membentuk tanggung jawab moral pada eks Wanita Tuna Susila, kemudian menanyakan juga mengenai efektivitas dari penerapan pendidikan moral tersebut serta faktor yang mempengaruhi dalam penerapan pendidikan moral tersebut. d. Eks WTS yang berada di BAREHSOS (yang keluar masuk balai), pada eks WTS
ini
peneliti
menanyakan
mengenai
pendidikan yang diberikan pihak BAREHSOS
bagaimana
model-model
Wanita Utama
membentuk tanggung jawab moral mereka, kemudian efektif atau tidak pendidikan moral yang diberikan balai terhadap mereka. Adapun daftar nama informan eks WTS tersebut sebagai berikut:
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
65 Tabel 2. Informan yang bolak balik masuk BAREHSOS No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Nama Legiyem Dwi Astuti Sri Suwarni Heti yusekh Saras Kristin Lina yutvalentina Haryanti Zubaedah Suparti Dalinem Ika Diana Wiwin Tumiyati Sukini Wiwik Siti khodijah Sitin prihatin Tari Sri wahyuni Nita prihatin Nur khasanah Windarsih 2. Peristiwa atau Aktivitas Menurut H.B Sutopo (2002: 51),
atau aktivitas, peneliti bisa mengetahui bagaimana sesuatu terjadi secara lebih pasti karena menyaksikan sendiri secara langsung . Aktivitas yang peneliti amati adalah kegiatan atau aktivitas dari kegiatan bimbingan untuk penerapan pendidikan moral di
Surakarta-1. 3. Dokumen dan Arsip
Menurut H.B Sutopo (2002: 54), Dokumen dan arsip merupakan bahan tertulis yang berhubungan dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu . Dalam mengkaji dokumen tidak hanya mencatat apa yang tertulis, tetapi juga berusaha menggali dan menangkap makna yang tersirat dari dokumen tersebut.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
66 Adapun dokumen dan arsip yang digunakan peneliti sebagai sumber data adalah: a. Data jumlah eks WTS dan yang keluar masuk balai b. Skala Penilaian Sikap bulanan eks WTS c. Absensi kegiatan bimbingan d. Jurnal kegiatan bimbingan e. Pembagian tugas pegawai BAREHSOS
D. Teknik Sampling Teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel. Sampel dalam suatu penelitian merupakan hal yang penting dalam memperoleh data dan bahan pengolahan data. Dalam penelitian kualitatif cenderung menggunakan teknik cuplikan yang bersifat selektif dengan menggunakan pertimbangan berdasarkan konsep teoritis yang digunakan, keingintahuan pribadi peneliti, karakteristik empirisnya, dan lain-lainnya. Oleh karena itu teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini lebih bersifat Purposive Sampling (Goetz dan Le Compte dalam H.B Sutopo, 2002: 185). Mengenai purposive sampling Patton dalam H.B. Sutopo (2002: 185) berpendapat bahwa
Purposive sampling merupakan teknik mendapatkan
sampel dengan memilih informan yang dipandang paling tahu, sehingga kemungkinan pilihan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam memperoleh data . Sugiyono (2010:
Dalam penelitian
kualitatif, teknik sampling yang sering digunakan adalah purposive sampling dan
. Snowball sampling adalah teknik pengambilan
sampel sumber data, yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar. Hal ini dilakukan karena dari jumlah sumber data yang sedikit tersebut belum mampu memberikan data yang lengkap, sehingga mencari orang lain lagi yang dapat digunakan sebagai sumber data. Jadi teknik sampling yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah purposive sampling dan snowball sampling.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
67 Dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu sampel diambil dengan memilih peserta didik (eks WTS) yang bolak balik masuk balai sebanyak 23 peserta didik, koordinator bagian pelayanan dan rehabilitasi sosial, 4 instruktur pendidikan moral serta koordinator bidang pekerja sosial yang dianggap mengetahui informasi dan masalah yang berkaitan dengan penelitian, dengan populasinya adalah seluruh anggota Surakarta-1. Teknik ini digunakan karena dianggap mampu menangkap kedalaman data yang akan digali dari informan kunci.
E. Teknik Pengumpulan Data
merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama
pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Oleh karena itu perlu diperhatikan teknik pengumpulan data yang dipergunakan sebagai alat pengambil data. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang diperlukan antara lain: 1. Wawancara Menurut Esterberg dalam Sugiyono (2010: 317) wawancara adalah
Peneliti dalam
hal ini menggunakan
teknik wawancara mendalam
(in-depth
interviewing) secara terbuka. Wawancara dalam penelitian ini menggunakan cara antara lain: a. Menggunakan metode diskusi yaitu antara informan dengan peneliti. b. Peneliti memberikan pertanyaan kepada informan mengenai pokok permasalahan. c. Informan menjawab pertanyaan yang diberikan oleh peneliti d. Peneliti memberikan feedback atas jawaban dari informan mengenai permasalahan yang belum jelas.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
68 e. Informan kembali menjelaskan feedback dari peneliti. f. Sebelum mengakhiri wawancara, peneliti kembali menegaskan jawaban yang diberikan oleh informan serta peneliti menanyakan kembali jawaban yang peneliti belum pahami. g. Wawancara diakhiri setelah peneliti benar-benar mendapatkan data yang dianggap peneliti dapat mendukung penelitiannya. Adapun pedoman wawancara dengan informan di atas dapat dilihat pada lampiran no. 2. 2. Observasi Teknik observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi, dan benda, serta rekaman gambar. Observasi dapat dilakukan
Pelaksanaan teknik observasi terdiri dari tak berperan serta sama sekali dan observasi berperan, yang terdiri atas berperan pasif, berperan aktif, dan berperan penuh, dalam arti peneliti menjadi anggota kelompok yang sedang diamati (Spradley dalam H.B Sutopo 2002: 64). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan observasi berperan pasif terlibat langsung dalam kegiatan di BAREHSOS Wanita Utama Surakarta-1 dengan mencatat berbagai hal yang dianggap perlu untuk mendukung penelitian ini. Observasi yang dilakukan peneliti dengan cara mengamati kondisi dan perilaku pelaku dalam hal ini eks Wanita Tuna Susila yang di wawancara. 3. Analisis Dokumen Dokumen dan arsip merupakan sumber data yang memiliki posisi penting dalam penelitian peneliti bukan hanya sekedar mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen atau arsip tetapi juga tentang maknanya yang tersirat. Peneliti
melakukan
analisis
mengenai
efektivitas
penerapan
pendidikan moral melalui dokumen yang ada dan yang dianggap penting yang
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
69 mendukung hasil penelitian. Adapun dokumen yang digunakan antara lain data jumlah eks WTS dan yang keluar masuk balai, skala penilaian sikap bulanan eks WTS, absensi kegiatan bimbingan, jurnal kegiatan bimbingan dan pembagian tugas pegawai BAREHSOS.
F. Validitas Data
derajad ketepatan antara data yang terjadi pada obyek penelitian dengan daya
Validitas data adalah keabsahan data yang diperoleh di dalam penelitian atau suatu data yang diakui keabsahannya. Pengujian data dilakukan dengan triangulasi data untuk menjamin kemantapan dari data penelitian ini. Data yang telah dikumpulkan, diolah, diuji kesahihannya melalui teknik pemeriksaan tertentu. Dalam penelitian kualitatif terdapat beberapa cara yaitu, antara lain berupa teknik trianggulasi, review informan dan member cek. 1. Trianggulasi
cara yang paling umum digunakan bagi peningkatan validitas dalam
Menurut Patton dalam H.B. Sutopo (2002: 78-83) trianggulasi ada 4 (empat) macam
Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut: a. Trianggulasi data atau trianggulasi sumber, artinya data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber yang berbeda. b. Trianggulasi metode, jenis trianggulasi ini bisa dilakukan oleh seorang peneliti dengan mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik dan metode yang berbeda.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
70 c. Trianggulasi peneliti, yaitu hasil penelitian baik data atau simpulan mengenai bagian tertentu atau keseluruhannya bisa diuji validitasnya dari beberapa peneliti. d. Trianggulasi teori, trianggulasi ini dilakukan peneliti dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan trianggulasi data dan trianggulasi metode. Yang dimaksud dengan trianggulasi data disini diartikan bahwa peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data yang sama. Cara ini mengarahkan peneliti agar dalam melakukan pengumpulan data harus menggunakan beragam data yang tersedia, dalam arti data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber yang berbeda. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan cara mencari data dari informan. Sedangkan trianggulasi metode disini dilakukan peneliti dalam mengumpulkan data dengan metode yang berbeda-beda antara lain dilakukan dengan wawancara, pengamatan dan analisis dokumen yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Adapun trianggulasi data dapat dilihat pada pada lampiran no. 7, sedangkan hasil trianggulasi metode dapat dilihat pada lampiran no. 8. 2. Review Informan H.B Sutopo (2002:83) menyatakan bahwa: Cara ini merupakan usaha pengembangan validitas penelitian yang sering digunakan oleh penelitian kualitatif. Pada waktu peneliti sudah mendapatkan data yang cukup lengkap dan berusaha menyusun sajian datanya walaupun mungkin masih belum menyeluruh, maka unit-unit laporan yang disusunnya perlu dikomunikasikan dengan informan pokok (key informan). 3. Member cek Selain menggunakan trianggulasi dan review informan dianggap belum cukup untuk membuktikan bahwa data yang diperoleh dalam penelitian tersebut benar-benar valid. Untuk itu masih perlu menggunakan member cek sehingga laporan hasil penelitian diperiksa oleh kelompok atau peneliti lain
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
71 untuk mendapatkan pengertian yang tepat atau mencantumkan kekurangan untuk lebih dimantapkan.
G. Analisis Data Patton dalam Lexy J. Moleong (1995: 103) menyatakan bahwa mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar . Menurut H.B Sutopo (2002: 94), pokok yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan dengan
Sedangkan menurut Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman
bersamaan yaitu reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan atau
1. Reduksi Data
proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi data dari fieldnote
Sedangkan Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (1992: 16) an, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan2. Penyajian Data Menurut Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (1992: 17), sekumpulan informasi tersusun yang memberi
Sajian data merupakan suatu rakitan dari organisasi informasi, deskripsi dalam bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian data selain dalam bentuk narasi kalimat, juga dapat meliputi berbagai jenis matriks, gambar/skema, jaringan kerja kaitan kegiatan, dan juga tabel sebagai pendukung narasinya (H.B. Sutopo, 2002: 93).
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
72 3. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi Penarikan kesimpulan tidak akan terjadi sampai pada proses pengumpulan data berakhir, simpulan perlu
diverifikasi
agar
cukup
mantap
dan
benar-benar
bisa
dipertanggungjawabkan . Sedangkan Menurut Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman
dari satu kegiatan dari konfigurasi yang utuh... . Singkatnya, makna-makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (1992: 19) menyatakan
sebagai sesuatu yang jalin-menjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar untuk membangun wawasan
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan berikut ini: Pengumpulan Data Penyajian Data Reduksi Data Kesimpulan-kesimpulan: Penarikan/Verifikasi Gambar 2: Analisis Data Model Interaktif (Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 1992: 20)
H. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
73 1. Tahap Pra Lapangan Tahap ini dilakukan dengan melakukan kegiatan mulai dari penentuan lokasi penelitian, meninjau lokasi penelitian, membuat dan mengurus proposal serta mengurus perijinan guna melaksanakan penelitian di lapangan. 2. Tahap Pelaksanaan Lapangan Tahap ini dimulai dengan kegiatan mengumpulkan data di lokasi penelitian dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi. 3. Tahap Analisis Data Tahap ini dilakukan dengan menganalisis data, melakukan verifikasi dan pengayaan untuk selanjutnya merumuskan kesimpulan sebagai temuan penelitian. 4. Tahap Penyusunan Laporan Penelitian Melakukan tahap pengambilan kesimpulan dari permasalahan yang diteliti kemudian hasil dari penelitian ini nantinya akan ditulis laporan dalam bentuk laporan penelitian.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
74 BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian Deskripsi lokasi penelitian adalah tahapan dimana data yang diperoleh peneliti di lapangan yaitu di Surakarta-1 dikumpulkan, kemudian data tersebut diolah dan dianalisis sehingga dapat disajikan secara sistematis. Aspek-aspek yang diteliti dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Letak geografis Surakarta-1, 2. Sejarah singkat berdirinya Surakarta-1, 3. Visi, misi
-1, 4.
Dasar dan
-1, 5.
Struktur Organisasi BAREHSOS
-1, 6. Keadaan
pembimbing, instruktur, penerima manfaat (Eks WTS), dan karyawan di Surakarta-1, 7. Jadual kegiatan bimbingan fisik,
Utama Surakarta-1, 8. Program pelayanan kegiatan di BARE -1. Aspek-aspek tersebut akan dijabarkan sebagai berikut: 1. Letak Geografis BAREHSOS
Surakarta-1
PSKW wanita utama yang sekarang berganti nama menjadi Balai Rehabilitasi Sosial (BAREHSO
-1 berlokasi di
Kecamatan Laweyan tepatnya berada di wilayah Kelurahan Pajang, Kotamadya Surakarta. Secara geografis terletak dipinggir kota yang strategis dan mudah dijangkau oleh sarana transportasi. Tentu lokasi ini adalah lokasi yang padat penduduknya dengan fasilitas vital yang dibutuhkan dalam kehidupan seperti Surakarta-1 menempati areal seluas 3.599 m2. BAREHSOS ini terletak di Jl. Dr. Radjiman no. 624 Laweyan, Jongke Surakarta. 74
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
75 -1 berbatasan dengan: a. Sebelah Timur : Panti Sosial Bina Netra Bhakti Candra b. Sebelah Barat
: Puskesmas Laweyan
c. Sebelah Utara
: Perumahan Penduduk
d. Sebelah Selatan : Jl. Dr. Radjiman -1
merupakan
tempat
penampungan dan penyantunan bagi eks Wanita Tuna Susila (WTS) dengan tujuan untuk memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi Wanita Tuna Susila agar mereka dapat berkarya sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai wanita dan menjadi anggota masyarakat secara normatif serta agar mereka mampu dan mau meninggalkan pekerjaannya sebagai Wanita Tuna Susila, sehingga kedepannya mereka dapat diterima di masyarakat dan hidup sebagai manusia yang bermoral. 2. Sejarah Singkat Berdirinya BAREHSOS
Surakarta-1
Masalah kesejahteraan sosial pada umumnya adalah masalah yang menyangkut usaha penaggulangan prostitusi. Masalah prostitusi merupakan suatu hal atau perbuatan yang bertentangan dengan derajat dan nilai-nilai pribadi manusia sehingga dapat membahayakan bagi kesejahteraan perorangan, keluarga serta masyarakat. Oleh karena itu sebagai negara yang berfalsafah pancasila sudah seharusnya masalah prostitusi segera ditanggulangi bahkan diberantas sekalipun sehingga tidak ada lagi praktik prostitusi di bumi ini. Permasalahan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Wanita Tuna Susila setiap tahunnya cenderung meningkat hal ini disebabkan antara lain: a. Makin majunya teknologi informasi, maka hal-hal yang berbau pornografi semakin mudah diakses/diperoleh, sehingga pergaulan bebas semakin meningkat. b. Faktor ekonomi, pendidikan, lingkungan, pergaulan dan gaya hidup membuat banyak wanita muda terjerumus ke dalam kegiatan prostitusi. c. Semakin longgarnya norma hukum, agama, dan sosial juga makin berkurang. Menyadari kondisi permasalahan sebagaimana tersebut maka Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dalam hal ini Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah melalui
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
76 -1 dengan landasan profesi pekerjaan sosial melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi eks Wanita Tuna Susila. -1
sudah berdiri sejak zaman Pemerintahan Kerajaan Keraton Surakarta dengan
penampungan bagi orang-orang yang mengalami permasalahan kesejahteraan sosial seperti gelandangan, pengemis, orang lanjut usia, anak-anak nakal, termasuk pula didalamnya Wanita Tuna Susila (WTS). Sejak
tahun
1951,
penanganan
permasalahan
tersebut
di
atas
pengelolaannya dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Praja Surakarta, yang lokasinya terbagi menjadi tiga yaitu untuk menampung orang lanjut usia, cacat netra dan Wanita Tuna Susila. Untuk tempat penampungan dan pendidikan bagi
Wanita Tuna Susila tersebut ditampung dan diberi pendidikan mental, pendidikan sosial dan keterampilan untuk kemudian sebagai bekal agar dapat terlepas dari pekerjaan yang mereka lakukan sebelumnya serta agar kelak kemudian dapat diterima di masyarakat dan keluarga. Pada tahun 1963 keadaan keuangan negara mengalami kemerosotan yang serius sehingga biaya rehabilitasi tidak terjangkau lagi oleh pemerintah daerah, Kemudian pada tahun 1966 sampai tahun 1967 digunakan Departemen Pertahanan dan Keamanan untuk menampung tahanan politik wanita (Gerwani). Setelah itu pada tahun 1969 oleh Dinas Sosial diajukan kepada pemerintah pusat sebagai proyek rehabilitasi Wanita Tuna Susila kembali. Tanggal 11 September 1971, secara resmi Panti Pendidikan Wanita Tuna
langsung oleh Kanwil Depsos Provinsi Jawa Tengah, sekaligus dilengkapi dengan sarana dan prasarana serta pegawainya berdasarkan pada Surat Keputusan (SK)
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
77 Menteri Sosial RI No. 41/HUK/Kep/XI/79, dan pada tanggal 1 November 1979 namanya di Kemudian berdasarkan SK Menteri Sosial RI No. 22/HUK/95 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Panti maka pada tanggal 24 April 1995
Surakarta dengan status Panti tipe B. Berdasarkan
pelaksanaan
otonomi
daerah
dan
adanya likuidasi
Departemen Sosial RI, maka pada tanggal 5 Juli 2000 pengelolaan panti diserahkan kepada Pemerintahan
Provinsi Jawa Tengah
melalui
Dinas
Kesejahteraan Sosial dan berdasar Peraturan Daerah No. 11 Tahun 2002 namanya akarta dengan esselon IV/A. Kemudian berdasarkan Peraturan Gubernur No. 50 tahun 2008 tanggal 20 Juni 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis pada Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah, Panti
ubah
menjadi esselon III/A. Mengenai Pembakuan Singkatan/Akronim, Nomenklatur, Kop Naskah Dinas dan Stempel unit Pelaksana Teknis pada Dinas dan Badan Provinsi Jawa
Berdasarkan pada Peraturan Gubernur No. 111 Tahun 2010, tanggal 1 Nopember 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis pada Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah -1 dan sejak saat itu peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 50 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis pada Dinas Sosial Propinsi Jawa Tengah (Berita Daerah Propinsi Jawa Tengah Tahun 2008 Nomor 50) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku kembali. Sampai sekarang terhitung ada 10 kepala balai yang pernah menjabat. Adapun kepala Balai yang pernah menjabat adalah sebagai berikut:
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
78 Tabel 3. Daftar Nama Kepala
-1
yang Pernah Menjabat No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10
Nama Sri Rahayu Ishrahyati Warastuti, SH Drs. Ag. Sucipto Dra. Hafni Drs. Triyono Drs. Hardjono Drs.H. Wagiyanto, MM Drs. H. Istadi Sri Tanmiyati, S.PD Drs. Deni Riyadi, MM
Tahun Periode Jabatan 1971 - 1988 1988 - 1990 1990 - 1994 1994 - 1999 1999 - 2002 2002 - 2003 2003 - 2009 2009 - 2011 2011 (PLT kepala BAREHSOS) 2011 (yang menjabat sekarang)
3. Visi Misi, dan Moto BAREHSOS Wanita
Surakarta-1
a. Visi Untuk mencapai kesejahteraan sosial oleh dan untuk semua menuju keadilan sosial. b. Misi 1) Menumbuhkan, mengembangkan prakarsa dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan kesejahteraan sosial. 2) Meningkatkan kualitas, efektivitas dan profesionalitas pelayanan dan kemandirian sosial. 3) Mencegah, mengendalikan dan mengatasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). 4) Mengembangkan manajemen pelayanan sosial dengan memberikan perhatian kepada masyarakat yang kurang beruntung. 5) Mengembangkan, memperkuat sistem jaminan dan perlindungan sosial, ketahanan sosial meningkatkan harkat dan martabat, serta kualitas hidup manusia. c.
Moto 1) Bekerja Keras. 2) Berfikir Aktif. 3) Berperilaku Etis.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
79 4) Saling Menghargai. 5) Disiplin. 4. Dasar dan Tujuan Berdirinya BAREHSOS Wanita Utama Surakarta-1 Setiap bentuk organisasi resmi pasti mempunyai dasar atau landasan
Surakarta-1 adalah sebagai berikut : a. Landasan atau dasar hukum, yaitu: 1)
Landasan Idiil: Pancasila
2)
Landasan Struktural: UUD 1945
3)
Landasan Konstitusional: Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 6 Tahun 2008, tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah dan Provinsi Jawa Tengah dan Peraturan Gubernur Jawa Tengah No. 111 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis pada Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah.
4)
Landasan Operasional: Undang-Undang Kesejahteraan Sosial No. 11 Tahun 2009
5)
Landasan Teknis: Profesi Pekerjaan Sosial
b. Maksud dan tujuan berdirinya, antara lain: 1)
Pulihnya harga diri dan kepercayaan diri serta timbulnya kemandirian dan tanggung jawab terhadap masa depan diri dan keluarganya.
2)
Terbinanya tata kehidupan dan penghidupan penerima manfaat yang memungkinkan untuk melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar
3)
Memberikan pelayanan dengan berbagai fasilitas yang ada kepada Wanita Tuna Susila.
4)
Membantu mengembalikan kepribadian Wanita Tuna Susila sesuai dengan norma atau nilai yang obyektif.
5)
Merubah kehidupan Wanita Tuna Susila dari asusila menjadi susila kembali. Mereka diarahkan agar dapat menyesuaikan diri dengan normanorma hidup masyarakat dan mampu mengembangkan kemampuannya sehingga mereka dapat mencari nafkah dengan cara-cara yang halal.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
80 6)
Mengarahkan agar Wanita Tuna Susila tersebut dapat menjadi orang yang berguna dalam kehidupan masyarakat dengan cara wajar serta mampu berpartisipasi aktif dalam pembangunan. 5. Struktur Organisasi BAREHSOS
Surakarta-1
Sesuai dengan Peraturan yang telah ditetapkan Gubernur Jawa Tengah No. 111 Tahun 2010,
-1
sebagai Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis pada Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah mempunyai struktur organisasi sebagai berikut:
Sumber: Pergub Prov. Jateng No. 111 Th 2010, Tgl 1 Nopember 2010 Gambar 3:
-1
Keterangan: 1)
Kepala Balai: Drs. Deni Riyadi, MM (NIP. 19650505 199103 1 022) Secara garis besar bertugas: a) Membantu Kepala Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah. b) Melaksanakan sebagian teknis operasional dan kegiatan teknis penunjang dinas dibidang pelayanan sosial eks Wanita Tuna Susila. Tanggung Jawab Kepala Balai sebagai berikut: a) Keserasian program UPT dengan program dinas.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
81 b) Memberikan petunjuk atau arahan pada bawahan. c) Menjaga suasana balai agar stabil terjaga dan kondusif. 2)
Kepala Sub. Bag. Tata Usaha: Dra. Nani Rahmani (NIP. 19621112 198603 2 007) Secara garis besar bertugas: a) Membantu kepala balai melaksanakan penyiapan bahan program/rencana kerja. b) Melaksanakan
pengeolaan
administrasi
kepegawaian,
keuangan,
dokumentasi, perpustakaan, perlengkapan rumah tangga, surat menyurat serta pelaporan. Tanggung Jawab Kepala Sub. Bag. Tata Usaha: a) Tersusunnya program kerja dan rencana kegiatan anggaran dengan tepat. b) Terlaksananya administrasi kepegawaian, keuangan, rumah tangga dan administrasi umum dengan lancar dan benar. c) Penggunaan anggaran ketatausahaan dan sarana dan prasarana balai. d) Merawat dan memelihara aset-aset dinas yang ada di balai. 3)
Koordinator Pekerja sosial fungsional: Suwardoyo (NIP. 19600411 198203 1 005) Secara garis besar bertugas: a) Membantu kepala balai dalam usaha kegiatan pelayanan kesejahteraan sosial. b) Menyiapkan, melakukan dan menyelesaikan kegiatan pengembangan kesejahteraan sosial. Tanggung Jawab Pekerja Sosial Fungsional: a) Mengarahkan dan memotivasi penerima manfaat agar dapat menjalankan fungsi sosialnya secara wajar. b) Menumbuhkan dan meningkatkan rasa percaya diri penerima manfaat untuk hidup normatif. c) Memotivasi penerima manfaat untuk menghargai diri sendiri, keluarga dan masyarakat.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
82 4)
Kepala Sie. Penyantunan: Dra. Anik Tri Rochwati (NIP. 19640823 199102 2 002) Secara garis besar bertugas: a) Melaksanakan penyiapan bahan dan pelaksanaan kegiatan penyantunan. b) Melaksanakan pendekatan awal. c) Melaksanakan penerimaan. d) Melaksanakan kegiatan pengasramaan. e) Melaksanakan kegiatan permakanan. f) Melaksanakan perawatan kesehatan. Tanggung Jawab Kepala Sie. Penyantunan: a) Mendapatkan penerima manfaat yang sesuai sasaran garapan. b) Menentukan Penerima manfaat yang diterima sesuai kriteria. c) Terpenuhinya kebutuhan badan dan permakanan. d) Terpenuhinya kebutuhan gizi penerima manfaat sesuai standar gizi. e) Terjaga kesehatan penerima manfaat.
5)
Kepala Sie. Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial: Ir. Purwadi, MM Secara garis besar bertugas: a) Membantu kepala balai melaksanakan kegiatan pelayanan rehabilitasi dan penyaluran. b) Menyiapkan materi bahan mengajar. c) Mengkoordinasi dengan instansi lain. d) Melaksanakan kegiatan bimbingan. e) Melaksanakan kegiatan penyaluran. Tanggung Jawab Kepala Sie. Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial: a) Terencananya kegiatan bimbingan atau pengajaran. b) Tersusunnya materi pelajaran. c) Terlaksananya kegiatan bimbingan. d) Terjalinnya kerja sama lintas sektoral atau instansi. e) Melaksanakan MOU yang disepakati. f) Terlaksananya kegiatan bimbingan keterampilan sesuai bakat dan minat penerima manfaat.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
83 g) Kesiapan kemandirian penerima manfaat. h) Kesiapan penerima manfaat dan masyarakat untuk penyaluran. i) Penerima manfaat dapat diterima di masyarakat dan keluarga. j) Penerima manfaat dapat melaksanakan fungsi sosialnya. 6. Keadaan Pembimbing, Instruktur, Penerima Manfaat (Eks WTS), dan Surakarta-1
Karyawan di BAREHSOS a. Pembimbing
Pembimbing adalah petugas yang memiliki kemampuan memberikan arahan kepada penerima manfaat dalam mengikuti pelaksanaan kegiatan Bimbingan.
-1 terdiri dari 10 pembimbing yaitu: Tabel 4. Daftar Pembimbing Penerima Manfaat (Eks WTS) No.
Nama Pembimbing
1.
Suwardoyo
2.
Tatik Maryatun, S.Pd
3.
Pramono Setyoko, S.Pd
4.
Sri Endang M, AKS
5.
Ninik Pahlawanti, S.Pd
6.
Suprapti, AKS
7.
Wiwik Sundawanti, AKS
8.
Nanang Kasim S
9.
Darmaji, S.Pd
10.
Titik Kristyawati
-1 Tahun 2011 b. Instruktur Yang dimaksud dengan instruktur adalah petugas yang memberikan latihan dan bimbingan fisik, mental, sosial maupun ketrampilan kerja terutama yang berasal dari instansi pemerintah dan atau perusahaan. Adapun instruktur Balai rakarta-1 antara lain:
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
84 -1 No
Nama
Materi Bimbingan
1.
Supardi, S.AG
2.
Arif
3.
Wiyono
4.
Erlin
5.
7.
Nanang Kasim Sunardi Dra. Eny Dianawati, SE Maryanto
Pembinaan Agama Islam Pembinaan Agama Islam Pembinaan Agama Islam Pembinaan Agama Islam Pembinaan Agama Islam Pembinaan Agama Protestan Kamtibmas
8.
Sri Sediati, BSW
Menjahit
9.
Suprapti, AKS
10. 11.
Endang Setyaningsih Erlina
Bimbingan Sosial Masyarakat Rias Pengantin
12.
Sri wahyuningsih
Tata Boga
13.
Sarmiyati
Tata Boga
14.
Tim Peksos
Dinamika Kelompok
15.
Darmaji, S.Pd
Olahraga
16.
Suwardoyo
Kesenian
17.
Joko Sumarno
18.
Sri Rahayu
Peny. AIDS/Kes. Masyarakat SKJ
19.
Ninik Pahlwanti, S.Pd Endang Mulyaningsih Titik Kristyawati
6.
20. 21.
Instansi Kantor Depag Surakarta KUA kecamatan Laweyan Tokoh masyarakat (STAIN) Yayasan Bina Muslim
Polsek Kec. Laweyan
Kap. Salon
BAREHSOS
Hub. Antar Masyarakat UKS Ketrampilan Praktis
commit to user 511
BAREHSOS
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
85 22. 23.
Wiwik Sundawanti, AKS Sulistyo S,ST
Home Industri Budi Pekerti
BAREHSOS
Surakarta-1, No. 462.3/53 tentang Pengangkatan Tenaga Instruktur Bimbingan Fisik, Mental, Sosial dan Keterampilan Kerja bagi Penerima Manfaat. c. Penerima Manfaat (Eks WTS) Daftar Jumlah Penerima Manfaat angkatan XLI Tahun 2011 (triwulan 1, bulan Januari-Maret 2011) berjumlah 120 orang telah disalurkan secara roling sebanyak 40 orang, jadi kondisi jumlah penerima manfaat saat ini sebanyak 80 orang. Berikut daftar jumlah penerima manfaat berdasarkan daerah asalnya antara lain sebagai berikut: Tabel 6. Daftar Penerima Manfaat (Eks WTS) Berdasarkan Daerah Asal No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Asal Surakarta Salatiga Purbalingga Banjarnegara Banyumas Cilacap Semarang Sragen Karanganyar Brebes Lampung Kendal Tegal Wonosobo Banten Jepara Boyolali Purwokerto Klaten Jumlah Sumber: Laporan
Jumlah 8 1 4 3 1 1 23 9 4 3 3 2 4 1 1 1 6 1 4 80 Orang
Surakarta-1
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
86 Sedangkan berikut adalah data penerima manfaat berdasarkan latar belakang pendidikannya: Tabel 7. Daftar Penerima Manfaat (Eks WTS) Berdasarkan Latar Belakang Pendidikannya No.
Pendidikan
Jumlah
1.
Buta Huruf
21
2.
D.O SD
16
3.
SD
20
4.
D.O SMP
5
5.
SMP
9
6.
D.O SMA
-
7.
SMA
8
8.
SLB
1
Jumlah
80 Orang
Surakarta-1 d. Karyawan -1 mempunyai 44 karyawan yang terdiri dari 13 karyawan bagian Urusan Tata Usaha, 4 karyawan Bagian Penyantunan, 11 karyawan bagian pelayanan dan rehabilitasi sosial, 10 karyawan bagian pekerja sosial fungsional atau peksos, 5 karyawan sebagai karyawan harlep (harian lepas) atau honorer dan 1 karyawan penjaga malam. 7. Jadual Kegiatan Bimbingan Fisik, Mental, dan Sosial Penerima Manfaat (Eks WTS) Dalam BAREHSOS
Surakarta-1
Mengenai jadual kegiatan bimbingan dibuat untuk 3 bulan sekali. Adapun jadual kegiatan bimbingan sebagai berikut: Tabel 8. Jadual Kegiatan Bimbingan di BAREHSOS Surakarta-1:
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
87 No. 1 2 3 4 5 6 7
Jam 07.00-07.45 07.45-08.00 08.00-09.30 09.30-10.00 10.00-11.30 11.30-12.30 16.00-17.30
Senin Bimbingan pengasramaan Apel pagi Kamtibmas Istirahat Budi pekerti Istirahat/sholat berjamaah Pembinaan agama
Instruktur Penyantunan Pendamping Polsek laweyan
No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Jam 07.00-07.45 07.45-08.00 08.00-09.30 09.30-10.00 10.00-11.30 11.30-12.30 14.00-16.00 16.00-17.30
Selasa Bimbingan pengasramaan Apel pagi Dinamika kelompok Istirahat Tata laksana RT Istirahat/sholat jamaah Istirahat pembinaan agama
Instruktur Penyantunan Pendampingan Team peksos
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jam 07.00-07.45 07.45-08.00 08.00-09.30 09.30-10.00 10.00-11.30 11.30-12.30 12.30-14.00 14.00-16.00 16.00-17.30
Instruktur Penyantunan Pendamping Bpk. Darmaji S.Pd
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 No. 1 2 3 4 5 6
Jam 07.00-07.45 07.45-08.00 08.00-09.30 09.30-10.00 10.00-11.30 11.30-12.30 14.00-16.00 16.00-17.30 Jam 07.00-07.45 07.45-08.00 08.00-09.30 09.30-10.00 10.00-11.00 16.00-17.30
Rabu Bimbingan pengasramaan Apel pagi Olahraga Istirahat Kesenian Bimbingan rohani Kesenian Istirahat Bimbingan agama islam Bimbingan agama protestan Kamis Bimbingan pengasramaan Apel pagi Pengetahuan kesehatan Istirahat Pemeriksaan kesehatan Istirahat/sholat berjamaah Istirahat Pembinaan agama Jumat Bimbingan pengasramaan Apel pagi Olahraga/SKJ Istirahat Bimb. Sosial Masyarakat Pembinaan Agama
commit to user 511
Bpk. Sulistyo S.ST DEPAG Surakarta
Ibu Dra. Sugiyanti
KUA Laweyan
Bpk. Suwardoyo Terjadwal/mushola
STAIN Surakarta Ibu. Dra. Eny D. SE Instruktur Penyantunan Dinas Kesehatan Sie. Penyantunan
Bpk. Nanang Kasim Instruktur Penyantunan Ibu Sri Rahayu Ibu Dra. VMB Yuli YBM
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
88 No. Jam Sabtu Instruktur 1 07.00-07.45 Bimbingan pengasramaan Penyantunan 2 07.45-08.00 Apel 3 08.00-09.30 Home industri Ibu Titik K 4 09.30-10.00 Istirahat 5 10.00-11.30 Ketrampilan praktis UNS Surakarta Sumber: Jadual kegiatan Bimbingan Penerima manfaat (Eks WTS) BAREHSOS -1 8. Program Pelayanan Kegiatan di BAREHSOS Surakarta-1 a. Tahap Pendekatan Awal Tahapan ini merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan untuk mendapatkan dukungan dan bantuan dari instansi terkait seperti Dinas Sosial, Polres, Satpol PP, LSM, Organisasi Sosial dan tokoh masyarakat dalam rangka rekruitmen calon penerima manfaat. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain: 1). Orientasi dan Konsultasi Kegiatan penjajagan oleh pekerja sosial dan petugas dari seksi pelayanan dan rehabilitasi sosial untuk mendapatkan dukungan bantuan dari masyarakat dan instansi terkait serta menerima pengiriman/rujukan hasil penertiban/razia dari Satpol PP, Kepolisian, Dinas Sosial Kab/Kota di seluruh Provinsi Jawa Tengah. 2). Identifikasi Kegiatan menggali untuk memperoleh data yang lebih rinci tentang diri calon penerima manfaat. 3). Motivasi Kegiatan pengenalan program kepada calon penerima manfaat untuk menumbuhkan keinginan dan dorongan untuk mengikuti program
-1. 4). Seleksi Kegiatan untuk
menetapkan
calon penerima manfaat
mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial.
commit to user 511
yang akan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
89 b. Tahapan Penerimaan Kegiatan dalam rangka pelayanan sesuai dengan kebutuhan yang meliputi: 1). Registrasi Merupakan kegiatan mencatat data penerima manfaat dalam buku induk. 2). Assesment/Pengungkapan Masalah Kegiatan penelahan, pengungkapan permasalahan penerima manfaat serta menentukan langkah-langkah pelayanan yang dibutuhkan oleh penerima manfaat. 3). Penempatan dalam program Merupakan kegiatan menempatkan penerima manfaat dalam program pelayanan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan penerima manfaat. 4). Pengasramaan Penerima manfaat yang telah ditetapkan sebagai penerima pelayanan dan rehabilitasi sosial dibagi menjadi 4 asrama (kamar) yang setiap kamar didampingi 1 orang pembimbing asrama/kelompok. 5). Jumlah (kapasitas) penerima manfaat 80 orang (kapasitas balai) yang diampu oleh pejabat fungsional pekerja sosial (1 pekerja sosial mengampu 8-10 orang penerima manfaat) untuk memantau perkembangan fisik sosial, psikososial dan vokasional penerima manfaat). c. Tahap bimbingan Dalam tahap bimbingan ini dibagi menjadi 3 antara lain: 1). Bimbingan fisik/mental Merupakan kegiatan pemulihan kondisi fisik, kesehatan, mental psikologis serta meningkatkan semangat dan kemampuan penerima manfaat untuk dapat mengatasi masalahnya agar tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan sosial dan dapat menjalankan fungsi sosialnya secara wajar. Kegiatan yang termasuk dalam bimbingan fisik/mental diantaranya: kegiatan olahraga, budi pekerti dan keagamaan. 2). Bimbingan sosial (perorangan, kelompok dan bermasyarakat) Merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pekerja sosial untuk membantu penerima manfaat baik secara individual, kelompok maupun masyarakat
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
90 dalam
upaya meningkatkan kemampuan penerima manfaat dalam
memenuhi kebutuhan, menghadapi dan mengatasi masalah serta dalam menjalin
hubungan
dalam
lingkungan
masyarakat.
Bimbingan ini
memberikan arahan, bimbingan dan kegiatan yang dapat menciptakan serta mengembangkan kerukunan, kebersamaan, rasa kesetiakawanan baik dalam lingkungan asrama, keluarga maupun lingkungan masyarakat. 3). Bimbingan keterampilan Bimbingan yang mengarahkan agar penerima manfaat dapat mengetahui, mendalami dan menguasai suatu bidang keterampilan tertentu sehingga penerima manfaat mampu bekerja untuk memperoleh penghasilan yang layak. Bimbingan keterampilan ini diberikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan penerima manfaat. Adapun keterampilan yang diberikan antara lain: a) Keterampilan pokok: Tata busana/menjahit, Tata rias salon, Tata boga b) Keterampilan penunjang: membuat telur asin, susu sari kedelai, membuata jamu, membuat amplop, anyaman bambu, membatik, bordir dan sebagainya. d. Tahap Resosialisasi Tahap mempersiapkan penerima manfaat agar dapat berintegrasi penuh ke dalam kehidupan masyarakat secara normatif, serta mempersiapkan masyarakat khususnya lingkungan asal daerah penerima manfaat/lingkungan masyarakat di lokasi kerja agar mereka dapat menerima, memperlakukan serta membantu untuk berintegrasi dalam kehidupan masyarakat, yang meliputi: 1). Bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat Kegiatan yang diarahkan kepada kelompok masyarakat yang akan menerima kembali penerima manfaat yang telah selesai mengikuti
mau membantunya kembali ke masyarakat.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
91 2). Bimbingan sosial dan hidup bermasyarakat Merupakan kegiatan bimbingan yang ditujukan agar penerima manfaat dapat mengetahui, memahami, menghayati dan melaksanakan normanorma yang ada di masyarakat. 3). Bimbingan bantuan/stimulan Merupakan kegiatan memberikan bantuan stimulasi berupa perabotan atau modal kerja bagi penerima manfaat sehingga mereka dapat bekerja sesuai keterampilan yang di miliki. 4). Bimbingan usaha kerja produktif Merupakan kegiatan bimbingan yang memberikan pengetahuan tentang kewirausahaan,
kelompok
usaha,
manajemen
pengelolahan
usaha,
pemasaran maupun magang di perusahaan sesuai dengan keterampilan yang dimiliki sehingga mereka mampu menjalankan usaha/kerja produktif. e. Tahap Penyaluran Kegiatan mengembalikan/penyaluran penerima manfaat yang telah selesai mengikuti pembinaan di BA
-1 kepada
keluarganya, dinikahkan, bekerja di lembaga ekonomi/perusahaan, dan berwirausaha/mandiri serta menerima bantuan paket usaha. f. Tahap Bimbingan Lanjut Kegiatan yang diarahkan agar eks penerima manfaat (Eks WTS) maupun masyarakat di lingkungan penerima manfaat dapat lebih memantapkan dan mengembangkan usahanya, yang meliputi: 1). Bimbingan peningkatan kehidupan bermasyarakat Bimbingan yang diberikan kepada eks penerima manfaat agar mereka lebih mantap dalam tata kehidupan di masyarakat. 2). Bimbingan pengembangan usaha Bimbingan yang memberikan bantuan kepada eks penerima manfaat dalam bentuk peralatan atau paket modal seperti peralatan menjahit, peralatan salon dan peralatan tata boga maupun peningkatan keterampilan sehingga usahanya dapat lebih berkembang.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
92 3). Bimbingan pemantapan usaha Bimbingan
kegiatan
belajar
agar
eks
penerima
manfaat
dapat
mengembangkan jenis usahanya maupun jumlah penghasilannya. Adapun bentuk kegiatannya berupa Kelompok Usaha Bersama (KUB) dan Usaha Ekonomi Produktif (UEP). g.
-1 dalam memberikan bimbingan fisik, mental, sosial dan keterampilan dengan melaksanakan penjajagan dan menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, guna kelancaran kegiatan pelayanan dan rehabilitasi sosial di dalam BAREHSOS. Kerjasama atau mitra kerja tersebut antara lain: 1)
Polres Kota Surakarta.
2)
Kementrian Agama Kota Surakarta.
3)
SATPOL PP Kab/Kota Se Provinsi JATENG.
4)
Dinas Kesehatan Kota Surakarta.
5)
Puskesmas Laweyan.
6)
Puskesmas Manahan.
7)
KUA Kota Surakarta.
8)
Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial Kota Surakarta.
9)
BLK Kota Surakarta.
10) Yayasan Bhakti Muslimah. 11) Yayasan Al Firdaus. 12) Yayasan KAKAK. 13) UNS
dan
P3M
UNS
(memberikan
penyuluhan kesehatan
dan
memberikan keterampilan praktis membuat gelang dan kalung) 14) UMS. 15) STAIN Surakarta. 16) KPAD (Komisi Pemberantasan Aids Daerah). 17) USB. 18) Lembaga-lembaga ekonomi Surakarta seperti: PT. Batik Kerten Mulya, PT. Batik Catur Asri, Salon Nisa, Salon Eva, Salon Yessi, Catering Imanuel, PT. Swatama (Rotan).
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
93 B. Deskripsi Permasalahan Penelitian 1. Model-Model Pendidikan Moral yang Digunakan BAREHSOS Surakarta-1
Surakarta-1 diaplikasikan dalam kegiatan bimbingan budi pekerti dan bimbingan pembinaan agama yang termasuk dalam kegiatan bimbingan mental. Penerapan bimbingan mental ini dimaksudkan sebagai dasar untuk memperbaiki perilaku dan sikap dari pada eks Wanita Tuna Susila yang selama ini jauh dari sikap hidup normatif di masyarakat. Pendidikan moral pada hakekatnya memiliki strategi, metode dan model pendidikan moral yang secara umum dapat dilihat pada kajian teori. Salah satu unsur penting dan
memegang peranan dalam
pendidikan moral
adalah
penggunaan model pendidikan moral yang tepat dan bervariasi, sehingga mampu meningkatkan kematangan moral peserta didik. Model pendidikan moral dimaksudkan sebagai pemikiran tentang bagaimana cara menyampaikan nilai-nilai moral kepada peserta didik. Suatu model pendidikan moral ini mencakup teori atau cara pandang tentang bagaimana seseorang berkembang secara moral dan serangkaian strategi atau prinsip untuk membantu perkembangan moral serta dapat membantu dalam melaksanakan pendidikan moral. Adapun model-model pendidikan moral yang digunakan pihak -1 adalah sebagai berikut: a. Model Keteladanan dan Penguatan Positif dan Negatif Model Pendidikan moral yang digunakan instruktur dalam memberikan
materi
pendidikan
moral
dengan
menggunakan
model
keteladanan dan penguatan positif dan negatif. Hal ini berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Ir. Purwadi, MM pada hari Rabu tanggal 13 April 201 dalam memberikan materi pendidikan moral dengan keteladanan, penguatan .
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
94 Hal ini juga dikuatkan berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Ninik Pahlawanti S.Pd pada hari Rabu tanggal 6 April 2011 yang mengatakan bahwa: Model pendidikan moral yang digunakan dengan keteladanan melalui bimbingan perseorangan maupun kelompok dan penguatan positif dan negatif yang dilakukan dengan evaluasi terapi keterampilan, sikap dan perilaku. Untuk mengetahui sikap dan perilaku eks WTS bisa dilihat dari absensi dalam kegiatan bimbingan. (CL. 2). Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sulistyo, S.ST pada hari Selasa tangga
Model yang
digunakan dalam mengajar pendidikan moral dengan model keteladanan. Dengan menceritakan kisah Nabi, dari situ dapat diambil kebaikan-kebaikan sifat Nabi yang bisa diambil sebagai contoh maupun teladan dalam berperilaku . (CL. 3). Begitu juga hasil wawancara dengan Ibu Dra. Sugiyanti pada hari
menurut hasil wawancara dengan Bapak Nanang Kasim S pada hari Senin t
berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Wiyono pada hari Rabu tanggal ang digunakan dalam . Model keteladanan yang diberikan instruktur dalam mengajarkan pendidikan moral dengan cara memberikan contoh keteladanan kepada eks WTS, agar sikap dan perilaku dari instruktur ini dapat menjadi panutan eks WTS. Hal ini seperti yang peneliti lihat pada saat di lapangan, bahwa instruktur selalu menjaga perilaku dan tutur katanya. Model ini menuntut peran instruktur sebagai model yang baik yang dapat ditiru oleh eks WTS, dan juga eks WTS harus mampu mengambil keteladanan dari para instruktur. Perilaku yang dapat dijadikan model atau teladan oleh eks WTS dari seorang instruktur antara lain
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
95 misalnya dalam menyelesaikan masalah secara adil, menghargai pendapat eks WTS, mengkritik orang lain secara santun, mau mendengarkan pendapat, ide, dan saran-saran dari orang lain. Harapannya sikap dan perilaku dari eks WTS dapat berubah dengan adanya keteladanan dari instruktur. Jadi sebagai seorang instruktur harus menjaga tutur katanya, berhati-hati dalam bertindak dan berperilaku, supaya tidak tertanamkan nilai-nilai negatif dalam diri eks WTS. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa guru dituntut menjadi figur yang Ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tutwuri handayani. Yang berarti bahwa sebagai sikap pimpinan (guru) harus mampu memberi teladan, memberi contoh, menjadi motivator, dalam penanaman moral kepada peserta didiknya. Model ini juga bisa diberikan oleh pembimbing dari masingmasing eks WTS melalui bimbingan perseorangan (individu) yang diberikan dengan cara face to face. Disini eks WTS sebagai peserta didik bisa menceritakan semua masalah yang sedang mereka alami kepada pembimbing mereka masing-masing, dan tugas dari seorang pembimbing memberikan arahan dan nasehat serta berusaha memberikan solusi terbaik kepada eks WTS atas masalah yang sedang mereka alami. Dalam arti pembimbing memberikan contoh yang baik bagaimana eks WTS harus bertindak (keteladanan) dan harus bertanggung jawab dengan tindakan yang sudah mereka ambil. Pembimbing disini bisa diartikan sebagai wali kelas mereka. Sedangkan model penguatan positif dan negatif ini bertujuan menanamkan rasa tanggung jawab pada diri eks WTS untuk melaksanakan segala tanggung jawabnya sebagai peserta didik dalam mengikuti semua kegiatan bimbingan yang ada di balai. Model penguatan positif dan negatif dapat dilihat dari daftar absensi eks WTS dalam mengikuti kegiatan bimbingan di balai, dari absensi ini dapat diketahui eks WTS mana yang hadir terus saat bimbingan dan mana yang tidak. Biasanya dalam kegiatan bimbingan instruktur selalu mengabsen eks WTS satu persatu, seperti yang peneliti lihat pada hari Rabu tanggal 6 April 2011. Model keteladanan dan model penguatan positif dan negatif ini termasuk dalam model penanaman nilai. Menurut Winarno (2006: 17),
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
96
penanaman
nilai-
Model ini
mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan:
mengenal
pilihan,
menilai
pilihan,
menentukan
pendirian,
menerapkan nilai sesuai dengan keyakinan diri atau dapat diartikan juga sebagai model yang memberikan penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri peserta didik. Tujuannya agar nilai sosial diterima peserta didik, berubahnya nilai-nilai peserta didik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan. Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa dengan penguatan positif dan negatif yang dapat dilihat melalui absensi dalam setiap kegiatan bimbingan dapat diketahui apakah tanggung jawab dari setiap eks WTS sebagai peserta didik ini sudah terbentuk atau belum. Dalam arti jika sudah terbentuk berarti nilai-nilai peserta didik yang tidak sesuai dengan nilainilai sosial di masyarakat telah berubah menjadi nilai yang dapat diterima di dalam masyarakat. Selain itu diberikan pula dengan metode keteladanan. b. Model bimbingan perseorangan maupun kelompok Berdasarkan hasil pengamatan peneliti selama di balai juga digunakan model bimbingan perseorangan maupun kelompok. Model ini termasuk dalam model konsiderasi. Menurut Cheppy HC (1988: 29), ini menekankan pada pentingnya aspek perhatian dan berkaitan dengan keputusan mengenai konflikutamanya terletak pada bagaimana memahami kebutuhan orang lain dari pada upaya menyeimbangkan kebutuhan-kebutuhan tersebut ketika berkonflik -1 para pembimbing berusaha memberikan solusi yang terbaik dalam membantu memecahkan masalah yang dihadapi oleh eks WTS, baik yang bersifat pribadi ataupun masalah yang bersifat umum/kelompok. Metode yang digunakan pembimbing untuk membantu memecahkan masalah yang bersifat pribadi berbeda dengan cara memecahkan masalah yang bersifat umum/kelompok.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
97 Cara tersebut dilakukan melalui bimbingan perseorangan maupun bimbingan kelompok. Seperti yang peneliti lihat pada saat di lapangan Pembimbing berusaha membantu eks WTS ketika mereka mengalami masalah, salah satunya
yaitu
eks
WTS
yang
bernama
Kristin,
dia
menceritakan
permasalahannya mengenai calon suaminya kepada pembimbingnya yaitu ibu Wiwik Sundawanti, AKS pada hari Kamis tanggal 14 April 2011. Disini ibu Wiwik Sundawanti, AKS berusaha membantu Kristin dengan memberikan solusi yang terbaik untuk masalah yang Kristin hadapi. Hal ini berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Ir. Purwadi, MM pada
yang
digunakan
Instruktur
perseorangan
dengan
konseling
melalui
bimbingan
. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Ninik
Pahlawanti S.Pd pada hari Rabu tanggal 6 April 2011 mengatakan bahwa Model yang digunakan melalui bimbingan perseorangan atau kelompok dengan cara konseling . (CL. 2). Hal ini juga dikuatkan berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sulistyo, S.ST pada hari Selasa tanggal 5 April 2011 mengatakan bahwa Model yang digunakan dalam mengajar pendidikan moral dengan bimbingan perseorangan maupun kelompok
.
Kemudian menurut hasil wawancara dengan Ibu Dra. Sugiyanti pada hari Selas yang digunakan dengan bimbingan konseling (perseorangan) berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Nanang Kasim S pada hari Senin odel pendidikan moral yang digunakan dengan bimbingan perseorangan maupun kelompok (CL. 5). Begitu pula berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Wiyono
digunakan dalam mengajar pendidikan moral bisa dilakukan dengan bimbingan perseorangan
.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
98 c. Model Diskusi Terarah Model Pendidikan moral yang digunakan instruktur pendidikan moral dalam memberikan materi pendidikan moral menggunakan model diskusi terarah. Hal ini berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Ir. Purwadi, MM pada hari Rabu tanggal 13 April 2011 mengatakan bahwa
. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Ninik Pahlawanti S.Pd pada hari Rabu tangga
Model yang
digunakan dengan diskusi terarah agar eks WTS mampu menggunakan kemampuan berfikirnya secara logis . (CL. 2). Hal ini juga dikuatkan berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sulistyo, S.ST pada hari Selasa tanggal 5 April 2011 mengatakan bahwa: Model yang digunakan dalam mengajar pendidikan moral yang saya gunakan dengan diskusi terarah, yang bertujuan untuk mengarahkan perilaku eks WTS kearah yang lebih baik. (CL. 3). Kemudian menurut hasil wawancara dengan Ibu Dra. Sugiyanti pada hari Selasa 12 April 2011 mengatakan ba
wawancara dengan Bapak Nanang Kasim S pada hari Senin tanggal 25 April
digunakan dengan disk wawancara dengan Bapak Wiyono pada hari Rabu tanggal 20 April 2011 juga
. Model
diskusi
terarah
yang
digunakan
instruktur
dalam
memberikan materi pendidikan moral melalui diskusi dengan eks WTS misalnya mendiskusikan masalah norma-norma yang berlaku bagi diri eks WTS sendiri baik selama di asrama maupun kelak ketika mereka hidup di masyarakat, seperti yang peneliti lihat di lapangan pada hari Senin tanggal 11 April 2011 di ruang aula kegiatan bimbingan. Model ini termasuk dalam
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
99 model analisis nilai. Menurut Cheppy HC (1988: 30), Model ini membantu peserta didik mempelajari proses pembuatan keputusan dan membantu dalam Dengan kata lain model ini membantu peserta didik untuk berfikir logis. d. Model praktik dalam kehidupan bermasyarakat (tindakan moral) Model Pendidikan moral yang digunakan instruktur dalam memberikan materi pendidikan moral menggunakan model praktik dalam hidup bermasyarakat (tindakan moral). Model ini digunakan instruktur pendidikan moral dengan memberikan kesempatan bagi eks WTS untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan yang ada di balai. Adapun kegiatan yang dilakukan dalam model ini adalah dengan diberikannya lomba-lomba, salah satunya lomba keluwesan dengan berdandan dan berjalan seperti layaknya seorang ibu kartini dalam rangka memperingati hari kartini. Seperti yang peneliti lihat di lapangan pada hari Selasa tanggal 19 April 2011, dalam lomba ini peneliti juga membantu panitia lomba untuk membagikan nomor undian kepada eks WTS yang mengikuti lomba. Dalam perlombaan ini eks WTS sangat antusias mengikutinya. Selain lomba dalam memperingati hari kartini juga diadakan kegiatan dalam rangka memperingati hari besar islam seperti Maulid Nabi, dalam kegiatan ini diadakan lomba membaca Al-Quran dan sholat yang diikuti oleh eks WTS. Adapun tujuan dari kegiatan-kegiatan tersebut adalah agar eks WTS memiliki kepercayaan diri bahwa mereka mempunyai kemampuan dan potensi dalam dirinya sehingga mereka dapat mengembangkan kemampuan dan potensi yang dimilikinya tersebut. Dengan demikian akan membuat mereka merasa berharga di dalam keluarga dan masyarakat. Kegiatan sholat tidak hanya dilaksanakan pada saat lomba saja, tetapi kegiatan sholat ini rutin dilaksanakan dengan berjamaah di Mushola -1. Hal ini diketahui berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Ir. Purwadi, MM pada hari Rabu tanggal 13 April 2011 mengatakan bahwa
dalam kegiatan lomba-lomba mengaji maupun lomba-
commit to user 511
. (CL. 1).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
100 Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Ninik Pahlawanti S.Pd Model pendidikan moral yang digunakan dengan mengikutsertakan eks WTS dalam kegiatan lomba misalnya lomba dalam rangka hari
.
Kemudian hal ini juga dikuatkan berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sulistyo, S.ST pada hari Selasa tanggal 5 April 2011
mengikutsertakan eks WTS dalam kegiatan lomba-
.
Sedangkan menurut hasil wawancara dengan Ibu Dra. Sugiyanti pada hari
moral yang digunakan dengan mengikutsertakan eks WTS dalam lomba keluwesan dalam berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Nanang Kasim S pada hari Senin
mengajar pendidikan moral dengan mengikutsertakan eks WTS dalam
ini juga dibenarkan berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Wiyono pada hari Rabu tanggal 20 April 2011 digunakan dengan mengikutsertakan eks . Model praktik dalam kehidupan bermasyarakat (tindakan moral) termasuk dalam model aksi sosial. Menurut Cheppy HC (1988: 31-32), ini bertujuan untuk mengedepankan tantangan pendidikan untuk tindakan
. Selain itu, model ini dimaksudkan untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial serta mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk yang senantiasa berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat. Model ini juga bertujuan untuk meningkatkan efektivitas subjek didik dalam menemukan, meneliti dan memecahkan masalah-masalah sosial. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model-model pendidikan moral yang digunakan instruktur pendidikan moral di BAREHSOS
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
101 -1 dalam memberikan pendidikan moral tidak semua model pendidikan moral digunakan. Sebagian model yang digunakan dengan keteladanan, penguatan positif dan negatif, diskusi, bimbingan perseorangan dan penerapan langsung (pembelajaran berbuat). Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan jika dilakukan kegiatan diskusi pun tidak berjalan efektif, eks WTS sebagai peserta didik sebagian besar hanya pasif dan diam. Cheppy HC (1988 : 28) menyatakan bahwa: Model-model pendidikan moral tersebut sengaja dipilih bukan saja cukup dianggap , akan tetapi sekaligus juga saling pendekatan yang secara menyeluruh mampu memperjelas proses perhatian, pertimbangan dan tindakan, maka sebagai satu kesatuan keenam model pendidikan moral agaknya mampu menutupi kekurangan tersebut. Kenyataan yang ada di lapangan model pendidikan moral yang digunakan instruktur di BAREHSOS tidak semuanya digunakan padahal jika model-model tersebut digunakan akan membantu dalam penerapan pendidikan moral kepada eks WTS. Karena semua model pendidikan moral tersebut saling menunjang dan menutupi kelemahan model lainnya. Kemudian berdasarkan apa yang peneliti lihat selama di lapangan, -1 juga menggunakan pembinaan dengan wawasan pendidikan moral pancasila. Menurut Bambang Daroeso Dengan adanya pendidikan moral pancasila ini diharapkan warga negara mempunyai tingkah laku, keyakinan, motivasi, kehendak sesuai dan layak dengan sila-sila pancasila, serta bersikap hidup manusia pancasila. Model ini dapat dilihat dari kegiatan piket rutin eks WTS selama di asrama. Kegiatan piket tersebut seperti piket dapur dan halaman asrama. Dari kegiatan piket ini dapat memupuk kerjasama antara eks WTS yang satu dan yang lainnya sehingga akan tercipta kehidupan yang rukun. Kemudian dengan adanya kegiatan pembinaan agama dan kegiatan sholat berjamaah setiap hari seperti yang peneliti lihat pada hari Rabu tanggal 6 April 2011 di masjid Kaherunisa ini dapat mengembangkan sikap saling hormat-menghormati antar
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
102 pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga selalu terbina kerukunan hidup di antara semua umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 2. Efektivitas Penerapan Pendidikan Moral Dalam Membentuk Tanggung Jawab Moral Pada Eks Wanita Tuna Susila di Surakarta-1
BAREHSOS
Efektivitas tidaknya suatu hal dapat dilihat dari berhasil tidaknya program yang telah dijalankan dari apa yang telah direncanakan sebelumnya. E. Mulyasa (2005: 82
berkaitan dengan
terlaksananya semua tugas pokok, tercapainya tujuan, ketepatan waktu, dan adanya partisipasi aktif dari anggota Untuk mengukur efektivitas dapat menggunakan indikator efektivitas. Adapun indikator efektivitas menurut E. Mulyasa (2005: 84-85) a input, indikator process, indikator output, dan indikator outcome Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut: a. Indikator input: indikator input ini meliputi karakteristik guru, fasilitas, perlengkapan, dan materi pendidikan serta kapasitas manajemen. b. Indikator process: indikator proses meliputi perilaku administratif, alokasi waktu guru, dan alokasi waktu peserta didik. c. Indikator output: indikator dari output ini berupa hasil-hasil dalam bentuk perolehan peserta didik dan dinamikanya sistem sekolah, hasil-hasil yang berhubungan dengan prestasi belajar, dan hasil-hasil yang berhubungan dengan perubahan sikap, serta hasil-hasil yang berhubungan dengan keadilan, dan kesamaan. d. Indikator outcome: indikator ini meliputi jumlah lulusan ke tingkat pendidikan berikutnya, prestasi belajar di sekolah yang lebih tinggi dan pekerjaan, serta pendapatan. Pembahasan mengenai Efektivitas Penerapan Pendidikan Moral dalam Membentuk Tanggung Jawab Moral pada Eks Wanita Tuna Susila di -1 akan dikaji sebagai berikut.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
103 Berdasarkan hasil wawancara dengan Instruktur Pendidikan moral khususnya yang mengajar budi pekerti pada hari Selasa tanggal 5 April 2011 dengan Bapak Sulistyo, S.ST Surakarta-1 menerapkan pendidikan moral sudah sejak lama, sejak berdirinya -1, hal tersebut dilakukan untuk membina
Jadi
dalam
hal
ini
-1
menerapkan pendidikan moral sesuai dengan tujuan dari -1 sendiri yaitu untuk memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi Wanita Tuna Susila agar dapat berkarya sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai wanita dan hidup di masyarakat secara normatif sebagai manusia yang bermoral. Sehingga pendidikan moral dapat dikatakan efektif -1 ini sudah tidak melakukan pekerjaan asusila kembali. Untuk mengetahui efektivitas penerapan pendidikan moral dapat diukur dengan menggunakan indikator efektivitas, jadi efektif atau tidaknya pendidikan moral dapat dilihat dari tercapai tidaknya indikator efektivitas tersebut. Adapun indikator efektivitas penerapan pendidikan moral antara lain: a. Indikator Input Indikator input ini mencakup: 1) Karakteristik Guru Pendidikan Moral -1 Guru disebut sebagai instruktur. Instruktur mempunyai peran yang sangat penting dalam memberikan pendidikan dan bimbingan bagi eks WTS, dalam hal ini instruktur harus bisa memberikan motivasi kepada eks WTS agar terjadi proses interaksi belajar yang kondusif. Instruktur harus siap menjadi mediator dalam segala situasi proses belajar mengajar, sehingga instruktur akan menjadi tokoh atau teladan yang akan dilihat dan ditiru tingkah lakunya oleh peserta didiknya dalam hal ini eks WTS. Tidak hanya itu saja melainkan juga harus menjadi motivator dalam menanamkan nilai-nilai
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
104 moral. Surakarta-1 diberikan melalui kegiatan bimbingan budi pekerti dan bimbingan pembinaan agama yang termasuk dalam kegiatan bimbingan mental. Sebagai instruktur dalam memberikan pendidikan moral tidak berdasarkan pada silabus. Hal ini berdasarkan pada kenyataan di lapangan yang peneliti lihat instruktur tidak membuatnya. Hal ini dikarenakan -1 merupakan pendidikan nonformal jadi tidak seperti halnya sekolah formal yang menggunakan silabus dalam mengajar. Tetapi untuk jurnal kegiatan, setiap instruktur yang selesai mengajar mengisi jurnal kegiatan tersebut sebagai bentuk tanggung jawab dari instruktur dalam memberikan bimbingan kepada eks WTS. Berdasarkan dari data yang didapat peneliti di lapangan, instruktur pendidikan moral di
-1 kurang
antusias dalam memberikan materi pada eks WTS khususnya dalam memberikan materi pendidikan moral. Hal tersebut dapat dilihat dari instruktur bimbingan budi pekerti di Surakarta-1 yang tidak mengisi materi pendidikan budi pekerti (moral) sehingga pada jam pelajaran tersebut kosong dan tidak ada jam lain atau hari lain untuk menggantikan kegiatan bimbingan tersebut, apalagi untuk materi budi pekerti ini waktunya hanya 1 minggu sekali. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Ir. Purwadi, MM pada hari Rabu tanggal 13 April 2011 mengatakan
hasil wawancara dengan Ibu Ninik Pahlawanti S.Pd pada hari Rabu tanggal
digantikan dengan jam pelajaran lain kadang juga kosong
Hal ini
juga dikuatkan berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sulistyo, S.ST
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
105 tidak mengisi materi budi pekerti karena ada tugas kantor, tidak ada jam
Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Dra. Sugiyanti pada
saya tidak mengajar kadang digantikan dengan jam pelajaran lain kadang ara dengan Bapak Nanang Kasim S pada hari Senin tanggal 25 April 2011 juga
hasil wawancara dengan bapak Wiyono pada hari Rabu tanggal 20 April
Ini berarti bahwa instruktur kurang antusias terhadap perubahan perilaku eks WTS dan kurangnya waktu untuk bimbingan budi pekerti, sehingga membuat tidak efektifnya penerapan pendidikan moral. 2) Fasilitas Fasilitas yang diberikan Surakarta-1 menurut instruktur dan peserta didik (eks WTS) dapat dikatakan baik, hal tersebut dapat dilihat dari fasilitas kelas yang digunakan untuk bimbingan kegiatan pendidikan moral yaitu berupa meja, papan tulis, spidol, kapur tulis masih layak untuk digunakan. Namun pada kenyataan di lapangan berdasarkan dari apa yang peneliti lihat masih ada sebagian kursi yang tidak layak pakai tetapi masih saja dipaksakan untuk dipakai. Jadi peneliti menyimpulkan bahwa mengenai fasilitasnya masih kurang. 3) Perlengkapan Perlengkapan dalam kegiatan bimbingan pendidikan moral dapat dikatakan kurang, karena tidak memiliki LCD pribadi milik kantor. Untuk acara-acara tertentu masih meminjam LCD. Misalnya seperti yang peneliti ketahui pada saat acara renungan malam pada hari Selasa tanggal 26 April 2011 untuk LCD masih meminjam. Padahal dengan adanya LCD dapat
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
106 membantu
dalam
penerapan
pendidikan
moral
misalnya
dengan
diputarkannya film-film motivasi dan mendidik yang dapat menumbuhkan semangat eks WTS untuk merubah sikapnya menjadi lebih baik. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Ir. Purwadi, MM
Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Ninik Pahlawanti S.Pd pada hari Rabu tanggal 6 April 2011 mengatakan bahwa . (CL. 2). Hal ini juga dikuatkan berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sulistyo, S.ST
menerapk
. (CL. 3).
Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Dra. Sugiyanti pada
tidak adanya alat peraga penunjang penerapan pendidikan m Dan berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Nanang Kasim S pada hari
juga dibenarkan berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Wiyono pada
mempengaruhi penerapan pendidikan moral karena tidak adanya alat
4) Materi Pembelajaran Peran instruktur sebagai pengajar harus bisa menjadi fasilitator bagi peserta didiknya dalam menerima materi yang disampaikan, akan tetapi bukan hanya sekedar pengajar tetapi juga sebagai pendidik. Sebagai instruktur hendaknya tetap mengkaitkan materi-materi pembelajaran pendidikan moral dengan kondisi lingkungan yang ada, agar eks WTS dapat menerapkan hasil belajarnya tersebut ke dalam lingkungannya tidak hanya pandai teori saja.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
107 Penerapan materi pendidikan moral dikembangkan tidak mengacu pada materi pokok yang ada dalam silabus. Surakarta-1 instruktur pendidikan moral dalam memberikan materi tidak menggunakan materi yang sesuai dengan silabus, instruktur memberikan materi sesuai dengan apa yang ingin disampaikan oleh instruktur. Sebab disini setiap instruktur tidak membuat silabus tidak seperti pendidikan formal. Sehingga tidak ada yang menjadi acuan. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara dengan Bapak Ir. Purwadi, MM selaku Kepala Seksi Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial pada hari Senin tanggal 25 April
Surakarta-1 tidak membuat karena BAREHSOS ini bukan seperti
(CL. 1). Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Ninik Pahlawanti S.Pd
. (CL. 2). Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sulistyo, S.ST pada hari Selasa, tanggal 5 April 2011 mengatakan ba
. (CL. 3).
Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Dra. Sugiyanti pada
wawancara dengan Bapak Nanang Kasim S pada hari Senin tanggal 25
hal ini dibenarkan juga berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Wiyono Saya tidak (CL. 6). Jadi dapat disimpulkan bahwa mengenai materi pembelajaran belum efektif, sebab belum disusun secara terprogram. Padahal sebagai sub sistem pendidikan nasional seharusnya BAREHSOS Surakarta-1
yang
menyelenggarakan
pendidikan
nonformal
dalam
memberikan materi pendidikan moral harusnya diprogram secara teratur,
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
108 agar jelas materi apa saja yang akan diberikan kepada peserta didik (eks WTS) dan disesuaikan dengan kemampuan peserta didik. Kemudian berdasarkan pa Surakarta-1 tentang pengangkatan tenaga instruktur bimbingan fisik, mental, sosial dan keterampilan kerja bagi penerima manfaat (peserta didik/eks -1 memutuskan bahwa tugas dari seorang instruktur membuat garis besar materi atau silabus program bimbingan pelayanan dan keterampilan tetapi pada kenyataannya instruktur tidak membuatnya. Kemudian mengenai sumber buku yang digunakan oleh instruktur pendidikan moral di BAREHS
-1 ada yang
menggunakan lebih dari 1 sumber dan ada juga yang tidak memakai buku pedoman (acuan) atau buku paket. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara dengan Bapak Ir. Purwadi, MM selaku Kepala Seksi Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial pada hari Senin tanggal 25 April 2011 mengatakan bahwa Untuk sumber buku yang digunakan tidak hanya 1 buku tergantung dari instru Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Ninik Pahlawanti S.Pd
. (CL. 2). Namun berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sulistyo, S.ST
. (CL. 3). Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Dra. Sugiyanti pada hari Selasa tanggal 12 April 2011 juga m
wawancara dengan Bapak Nanang Kasim S pada hari Senin tanggal 25
menggunakan buku-buku seperti buku tuntunan sholat, tauhid, fiqih dan
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
109
. Jadi dapat disimpulkan bahwa mengenai materi pembelajaran kurang efektif dilihat dari sumber buku yang digunakan masih ada beberapa instruktur yang tidak menggunakan buku pedoman dalam mengajar. Kemudian seperti yang peneliti lihat di lapangan sumber buku tersebut hanya menjadi pegangan instruktur saja, eks WTS tidak diberi kopiannya, sehingga akan sulit bagi eks WTS untuk dapat memahami apa yang diajarkan oleh instruktur. 5) Metode Pembelajaran Metode
dapat
diartikan
sebagai
model
atau
pendekatan
pembelajaran yang tepat untuk memperlancar kegiatan pembelajaran. Untuk menyampaikan materi pembelajaran kepada peserta didik diperlukan suatu metode pembelajaran yang tepat. Metode pembelajaran yang digunakan hendaknya disesuaikan dengan tujuan dan materi pelajaran yang akan dikuasai oleh peserta didik. Pemilihan metode mengajar yang akan digunakan harus dapat membantu kelancaran dan keefektifan kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar atau kegiatan bimbingan di rakarta-1 dibedakan menjadi dua yaitu kegiatan bimbingan belajar mengajar di dalam kelas dan di luar kelas. Kegiatan bimbingan di dalam BAREHSOS yang dilakukan di dalam kelas lebih banyak menggunakan metode ceramah, diskusi dan tanya jawab. Untuk kegiatan bimbingan pendidikan moral sendiri biasanya dilakukan di dalam kelas. Sedangkan kegiatan bimbingan di luar kelas biasanya dilakukan dengan permainan dinamika kelompok yang dibimbing oleh tim pekerja sosial selaku pembimbing dari eks WTS. Kegiatan di luar kelas ini bertujuan untuk mengembangkan rasa kepedulian, kekompakan (kerjasama) dan tanggung jawab terhadap kelompoknya. Kegiatan bimbingan di luar kelas juga digunakan untuk menghilangkan rasa jenuh karena sebagian besar kegiatan bimbingan untuk eks WTS dilaksanakan di dalam kelas. Pembelajaran
di
kelas
ataupun
di
commit to user 511
luar
kelas
harus
mampu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
110 menumbuhkembangkan berbagai kemampuan eks WTS. Hal inilah yang akan mendukung terciptanya keterampilan intelekual, sosial, dan personal yang didasarkan pada logika, inspirasi, kreativitas, moral dan budi pekerti secara komprehensif antara guru dalam hal ini instruktur dan peserta didik (Eks WTS). Menanamkan nilai-nilai pendidikan moral pada eks WTS tidaklah mudah, apalagi sasarannya pada eks WTS yang awalnya melakukan pekerjaan yang melanggar moral, sehingga dibutuhkan seorang instruktur yang berkompetensi untuk dapat memilih model pembelajaran dan metode yang cocok agar eks WTS tertarik dan mudah memahami materi yang diberikan serta agar tidak membosankan. Pengetahuan dan pemahaman eks WTS mengenai materi yang diberikan dalam pendidikan moral dapat dikatakan kurang. Hal ini dikarenakan pendidikan dari eks WTS sendiri sebagai peserta didik yang rendah bahkan ada yang buta huruf tidak bisa membaca dan bahkan tidak bisa menulis. Sehingga materi yang disampaikan instruktur sendiri dirasa percuma karena eks WTS sendiri tidak paham dengan apa yang disampaikan instruktur. Keberhasilan
untuk
menanamkan
nilai-nilai
moral
melalui
pendidikan moral dipengaruhi juga dari cara penyampaian seorang instruktur sendiri. Sebagai seorang pendidik, instruktur diharapkan tidak hanya mampu mengembangkan ilmu pengetahuan tetapi harus dapat melaksanakan pembelajaran yang menarik dan bermakna bagi peserta didiknya. Seperti hasil wawancara dengan Bapak Ir. Purwadi, MM selaku Kepala Seksi Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial pada hari Senin tanggal 25
bagaimana instruktur menyampaikannya agar eks WTS dapat memahami apa yang diajarka Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Ninik Pahlawanti S.Pd
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
111 menyampaikan materi juga mempengaruhi pemahaman eks WTS terhadap . (CL. 2). Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sulistyo, S.ST pada hari Selasa tanggal 5 April 2011
. (CL. 3). Hal ini juga dikuatkan berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Dra. Sugiyanti pada hari Selasa tanggal 12 April 2011 yang mengatakan bahwa: Dalam memberikan materi juga tergantung dari bagaimana cara instruktur menyampaikan materi tersebut. Saya memberikan materi kepada eks WTS tidak hanya menggunakan metode ceramah dan tanya jawab saja tetapi dengan membuka materi sebelum mengajar dengan menyanyi dan memberikan kata kunci dari materi yang saya terangkan. Hal ini agar eks WTS tidak merasa bosan. (CL. 4). Memberikan kata kunci pada saat menerangkan materi seperti yang dilakukan oleh Ibu Dra. Sugiyanti diharapkan dapat membantu eks WTS agar mereka mengerti dan paham maksud dari materi yang diberikan instruktur. Namun kenyataan di lapangan yang peneliti lihat tidak semua instruktur dalam mengajar memberikan kata kunci dari materi yang mereka berikan kepada eks WTS. Beguti pula berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Nanang Kasim S pada hari Senin tanggal 25 April 2011 juga mengatakan bahwa
cara ini juga dibenarkan berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Wiyono
penyampaian materi oleh instruktur sangat mempengaruhi pemahaman eks . Adapun tabel rencana dan hasil dari indikator input di atas adalah sebagai berikut:
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
112 Tabel 9: Rencana dan Hasil dari Indikator Input No 1
Indikator Input Karakteristik guru (instruktur) pendidikan moral
2
Fasilitas
3
Perlengkapan
4
Materi Pembelajaran
5
Metode Pembelajaran
Rencana Instruktur pendidikan moral diwajibkan mengisi materi bimbingan kepada eks WTS (peserta didik)
Hasil Instruktur tidak mengisi materi dalam kegiatan bimbingan budi pekerti (pendidikan moral), dengan kata lain sering kosong. Meja, kursi, papan tulis, Sebagian kursi tidak spidol, kapur tulis layak untuk digunakan, menggunakan LCD Tidak adanya LCD dan kurangnya sarana prasarana penunjang pendidikan moral seperti alat peraga Menggunakan sumber Buku hanya sebagai buku pegangan instruktur, eks WTS (peserta didik) hanya dijelaskan materinya saja tanpa diberikan fotokopian materi yang diajarkan dan ada instruktur yang tidak menggunakan buku pedoman atau buku paket dalam memberikan materi Bervariasi
Ceramah, tanya jawab, diskusi kelompok, dan dinamika kelompok
b. Indikator Proses Indikator proses ini mencakup: 1) Perilaku Administratif Guru Perilaku adalah sikap dan tindakan nyata yang ada pada diri manusia yang merupakan tanggapan atas perilaku yang telah dilakukan manusia tersebut. Perilaku administratif guru merupakan suatu tindakan atau suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh guru untuk membantu, melayani, mengarahkan, ataupun mengatur semua kegiatan yang ada untuk
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
113 mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Guru -1 disebut sebagai instruktur, sedangkan eks WTS sebagai peserta
didiknya.
Instruktur
harus
mempunyai
kemampuan
untuk
memberikan motivasi kepada eks WTS untuk belajar giat dan menanamkan kepercayaan kepada eks WTS untuk mempelajari sesuatu sesuai dengan minat dan kemampuannya bahwa mereka memiliki kemampuan dan potensi yang besar yang harus dikembangkan. Sehingga instruktur hendaknya menjadi contoh dan motivator dalam penanaman nilai-nilai moral dan menjadi suri tauladan dalam aplikasi pendidikan moral. Jika seorang instruktur hanya bisa ceramah dan omong kosong saja kemungkinan besar eks WTS akan kehilangan teladan dari instruktur sendiri. Jadi berhasil tidaknya suatu proses pendidikan juga dipengaruhi oleh instruktur yang ada. Instruktur pendidikan moral harus memberikan contoh atau teladan yang baik kepada semua eks WTS dan harus pandai memilih metode dalam memberikan materi khususnya materi pendidikan moral agar menarik dan mudah dipahami eks WTS. 2) Alokasi Waktu Guru Alokasi waktu yang digunakan untuk pendidikan moral 1½ jam. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Ir. Purwadi, MM pada hari Rabu tanggal 13 April 2011 mengatakan bahwa
wawancara dengan Ibu Ninik Pahlawanti S.Pd pada hari Rabu tanggal 6
khususnya budi pekerti 1½ jam
. Kemudian berdasarkan hasil
wawancara dengan Bapak Sulistyo, S.ST pada hari Selasa tanggal 5 April
berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Dra. Sugiyanti pada hari Selasa
1½ jam tetapi untuk budi pekerti 1½ jam kurang karena 1 minggunya hanya 1 kali pertemuan lebih sedikit
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
114 (CL. 4).
Hal ini juga dibenarkan berdasarkan hasil wawancara dengan
Bapak Nanang Kasim S pada hari Senin tanggal 25 April 2011 yang
. Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Wiyono pada hari Rabu tanggal 20 April 2011 juga berpendapat demikian bahwa Waktu untuk pembinaan agama 1½ jam untuk 1 kali pertemuan, menurut saya waktu tersebut kurang karena banyaknya jumlah eks WTS sehingga membutuhkan waktu yang banyak agar eks WTS paham dan mengerti materi yang saya ajarkan . (CL. 6). Jadi dapat disimpulkan bahwa waktu yang diberikan kepada instruktur pendidikan moral (khususnya budi pekerti) dirasa masih kurang, apalagi berdasarkan kenyataan yang peneliti lihat di lapangan instruktur kadang tidak mengisi pada saat jam bimbingan karena ada halangan tugas kantor. Sedangkan waktu untuk pembinaan agama untuk 1 instruktur kurang karena jumlah eks WTS yang banyak membutuhkan waktu yang banyak pula agar eks WTS paham dan mengerti materi yang diajarkan. Jadual untuk -1, 1 minggunya 5 kali pertemuan itupun setiap harinya instrukturnya berbedabeda dan memberikan materi yang berbeda-beda pula. Hal ini membuat instruktur mengalami kesulitan dalam mengajar eks WTS agar mereka dapat memahami materi yang diberikan setiap instruktur. Memberikan materi pendidikan moral tidak hanya memberikan materi saja tetapi sebagai seorang instruktur harus memberikan pemahaman kepada eks WTS agar mudah dimengerti dan dipahami sehingga diharapkan perilaku eks WTS dapat berubah. Selain materi yang diberikan oleh instruktur kepada eks WTS Surakarta-1, instruktur juga harus memberikan contoh kasus-kasus yang ada di lingkungan sekitar. Kemudian untuk mendukung keberhasilan penerapan pendidikan moral juga diperlukan kerjasama dari seluruh instruktur, pembimbing,
-1, orang
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
115 tua dan saudara dari eks WTS yang sering menjenguk eks WTS selama di -1 untuk sama-sama membenahi perilaku eks WTS, memberikan motivasi untuk mau merubah perilakunya kearah yang lebih baik agar dapat diterima kembali di keluarga dan masyarakat serta untuk menjadikan mereka sebagai manusia yang bermoral. 3) Alokasi Waktu Peserta Didik Alokasi waktu peserta didik dalam pembelajaran pendidikan moral di BAREHSOS dirasakan sudah cukup bagi eks WTS hanya saja waktu tersebut tidak efektif bagi mereka karena eks WTS sendiri yang membuat waktu tersebut tidak efektif, hal tersebut dapat dilihat dari hasil wawancara dengan (Eks WTS) Ibu Legiyem pada hari Jumat tanggal 8 April 2011, yang
Hal ini juga dikuatkan berdasarkan hasil wawancara dengan Dwi Astuti pada hari Jumat tanggal 8 April 2011 yang mengatakan bahwa . Begitu juga dengan Sri Suwarni berdasarkan hasil wawancara pada
tidak ikut bimbingan karena malas
.
Hal serupa juga dikatakan oleh Heti Yusekh pada hari Selasa
. Seperti halnya dengan Saras berdasarkan hasil wawancara pada hari Selasa
kegiatan bimbingan, karena saya capek dan saya tidak mengerti apa yang
6. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu alasan eks WTS malas mengikuti bimbingan karena mereka tidak mengerti materi apa yang diberikan instruktur, hal ini disebabkan karena rendahnya pendidikan dari eks WTS itu sendiri yang tidak bisa membaca, buta huruf yang
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
116 disebabkan karena tidak sekolah. Hal ini juga berdasarkan pengecekan peneliti kepada pembimbing dan instruktur yang dapat dilihat pada lampiran no. 5. Adapun tabel rencana dan hasil dari indikator proses di atas adalah sebagai berikut: Tabel 10: Rencana dan Hasil dari Indikator Proses No 1
Indikator Proses Perilaku administratif
Rencana Memberikan metode pembelajaran yang bervariasi
2
Alokasi Waktu Guru
Direncanakan 1½ jam
3 Alokasi Waktu Peserta Didik
Direncanakan 1½ jam
commit to user 511
Hasil Metode yang digunakan instruktur bervariasi, tetapi mengenai model kurang bervariasi Untuk pendidikan moral (khususnya budi pekerti) dirasa kurang karena 1 minggunya hanya 1 kali pertemuan dan itu pun kadang instruktur tidak mengisi karena ada tugas kantor dan tidak diganti pada waktu atau hari yang lain. Sedangkan untuk pendidikan moral (khususnya pembinaan agama) sudah cukup namun ada beberapa instruktur yang merasa waktu tersebut kurang
Sudah cukup karena 1½ jam itu untuk bimbingan selama 1 minggu, hanya saja untuk bimbingan budi pekerti hanya 1½ jam untuk 1 kali pertemuan tiap 1 minggunya. Namun eks WTS sendiri yang membuat waktu tersebut tidak cukup (belum maksimal) karena eks WTS sendiri yang tidak mengikuti kegiatan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
117 bimbingan karena malas.
tersebut
c. Indikator Output Indikator output ini mencakup: 1) Hasil-Hasil yang Berhubungan dengan Prestasi Belajar Prestasi belajar adalah hasil yang tampak dari kegiatan menggali ilmu dan keterampilan. Prestasi belajar bisa dinilai dari tiga aspek yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Selain itu perkembangan mental dan sikap dari eks WTS juga harus menjadi perhatian pembimbing dan instruktur. Oleh karena itu penilaian pada ranah afektif perlu dilakukan secara serius. Sehingga prestasi belajar yang diperoleh dapat benar-benar menunjukkan perubahan ke arah positif pada semua aspek. Baik itu perubahan pengetahuan, sikap maupun skill. Penerapan pendidikan moral tidak hanya melihat pada aspek kecerdasan kognitif saja melainkan juga perlu memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik. Sebab penerapan pendidikan moral sendiri bertujuan untuk mengembangkan watak maupun karakter dari eks WTS kearah yang lebih baik agar menjadi manusia yang bermoral dan hidup normatif di dalam masyarakat. Dalam penilaian mengenai prestasi belajar khususnya dalam hal penilaian sikap dan perilaku peserta didik dalam hal ini adalah eks WTS dilakukan oleh pembimbing dari masing-masing eks WTS dengan memperhatikan beberapa kriteria yang pada hasil akhirnya penilaian tersebutlah yang menentukan apakah eks WTS sudah dirasa cukup untuk
Surakarta-1 yang dilihat dari berbagai aspek kegiatan bimbingan, salah satunya pendidikan moral. Penilaian tersebut juga dilakukan oleh instruktur melalui absensi eks WTS dalam mengikuti kegiatan bimbingan selama di -1. Kemudian untuk melihat prestasi belajar eks WTS dari segi keterampilan dapat dilihat dari hasil karya eks WTS sendiri selama mereka mengikuti kegiatan bimbingan keterampilan. Bimbingan keterampilan tersebut antara lain menjahit,
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
118 memasak dan salon. Adapun hasil prestasi belajar dari eks WTS ini misalnya hasil keterampilan memasak bakwan, tahu goreng, nasi bungkus yang hasilnya eks WTS jual pada pegawai-1. Kemudian untuk hasil belajar menjahit eks WTS biasanya mendapat order dari pegawai BAREHSOS untuk membuat seprei ataupun, dan dari hasil belajar salon melalui praktik belajar kerja mereka praktikkan pada eks WTS lain sebagai pelanggannya, seperti potong rambut, keramas, creambath dan lain sebagainya. Hasil dari salon tersebut uangnya mereka kumpulkan dan diberikan kepada instruktur untuk membeli peralatan salon yang habis. Namun berdasarkan apa yang peneliti lihat di lapangan dalam melaksanakan kegiatan keterampilan kerja masih ada eks WTS yang tidak bisa memasak hanya melihat eks WTS lainnya dan untuk kegiatan menjahit juga ada yang masih belum bisa, begitu juga untuk kegiatan keterampilan salon masih ada yang belum bisa mempraktikkannya sehingga diperlukan praktik belajar kerja lanjutan, agar hasilnya dapat eks WTS gunakan sebagai bekal kelak setelah mereka keluar dari balai. Seperti yang peneliti lihat di lapangan bahwa instruktur dalam mengajar tidak memperhatikan kemampuan eks WTS sebagai peserta didiknya, padahal sebagian eks WTS ada yang buta huruf dan tidak bisa menulis, semua dianggap sama bisa mengikuti apa yang diajarkan instruktur. Jadi dapat disimpulkan bahwa hal ini sangat dipengaruhi oleh bagaimana cara instruktur memberikan materi kepada eks WTS. Dengan harapkan agar mereka mudah memahami apa yang diajarkan instruktur. 2) Hasil-Hasil yang Berhubungan dengan Perubahan Sikap Indikator output yang lain mencakup perubahan perilaku atau sikap dari eks WTS setelah mereka menerima pelajaran dari instruktur. Belajar sendiri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting dalam membentuk pribadi dan perilaku individu. Sebab belajar merupakan proses kegiatan untuk mengubah tingkah laku peserta didik. Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata, tetapi termasuk memperoleh perubahan dalam sikap
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
119 atau perilakunya. Sehingga dalam hal ini peran pendidikan moral baik dalam sekolah formal maupun nonformal sangat penting dalam membentuk kepribadian peserta didik yang memiliki moral, berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia, sebab peserta didik yang memiliki kecerdasan intelektual setinggi apapun tidak akan bermanfaat secara positif bila tidak memiliki kecerdasan afektif secara emosional, sosial, maupun spiritual. Pendidikan moral yang diberikan kepada peserta didik dalam hal ini eks WTS bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan karakter atau watak dari peserta didik yang berkaitan dengan hati nurani sebagai bentuk kesadaran diri untuk bertindak. Mewujudkan moral yang baik pada diri eks WTS tidaklah mudah karena menyangkut kebiasaan hidup mereka yang biasanya hidup bebas tanpa aturan. Sehingga disini dibutuhkan keahlian dari seorang instruktur untuk memilih metode yang tepat agar apa yang diajarkan dapat diterima oleh eks WTS. Dengan demikian keberhasilan pendidikan moral dapat tercapai apabila ada dukungan dan usaha keras serta penuh kesabaran dari instruktur, pembimbing selain itu juga harus didukung dengan peran serta dari orang tua eks WTS dan masyarakat. Untuk mengetahui apakah eks WTS telah bermoral dan memiliki tanggung jawab moral atau belum dapat dinilai dari sikap atau perilaku yang ditunjukannya dalam kehidupan sehari-harinya selama mereka di bina di asrama. Hal ini dapat dilihat dari keikutsertaannya dalam semua kegiatan bimbingan di BA
-1. Misalnya saja
dalam kegiatan sholat dan bimbingan yang lainnya masih saja ada yang tidak ikut, padahal tidak sedang berhalangan tetapi karena malas. Hal ini sesuai dengan teori etika deontologi imperatife kategoris berdasarkan pendapat Imanuel Kant dalam Ini menandakan bahwa perilaku dari eks WTS sendiri belum menunjukkan terbentuknya tanggung jawab moral karena eks WTS sendiri bertindak tidak karena kewajiban. Selain itu juga dapat dilihat dari lembar penilaian bulanan yang dipegang oleh masing-masing pembimbing dan daftar absensi yang dipegang oleh
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
120 instruktur. Untuk memberikan penilaian tersebut pembimbing juga mengeceknya dengan menanyakan pada instruktur mengenai sikap dan perilaku eks WTS sendiri dalam mengikuti kegiatan bimbingan. Adapun aspek yang menjadi kriteria penilaian pembimbing mengenai apakah tanggung jawab moral dari eks WTS sudah terbentuk atau belum dilihat dari penilaian tentang disiplin diri, disiplin waktu, disiplin kerja, tanggung jawab dirinya sendiri, tanggung jawab kerja, kepatuhan terhadap ketentuan selama di asrama, pelaksanaan ibadah, pelaksanaan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-hari selama di asrama, kehadiran dalam semua -1 yang sudah menerapkan pendidikan moral sejak lama, diharapkan dapat mencapai hasil yang maksimal yaitu dengan tidak adanya peserta didik
untuk mendapatkan binaan karena tertangkap melakukan pekerjaan asusila lagi, apalagi sampai ada yang bolak-balik ke BAREHSOS sampai berulang kali. Meskipun di
-1 sudah
menerapkan pendidikan moral tetapi sikap dan perilaku eks WTS belum mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Hal ini juga dapat dilihat dari 1 masih ada yang bolak-balik masuk BAREHSOS. Adapun eks WTS yang bolak-balik masuk ke BAREHSOS berjumlah 23 orang, mereka antara lain dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 11: Daftar Eks WTS Berdasarkan Jumlah Banyaknya yang BolakBalik Masuk BAREHSOS No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Nama Saraswati Dalinem Sri Suwarni Suparti Sukini Wiwik R Tumiyati Siti Khodijah Haryanti
-1 Bolak balik masuk balai 4 kali 6 kali 2 kali 9 kali 2 kali 4 kali 3 kali 3 kali 2 kali
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
121 10 11. 12. 14. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Legiyem Sitin Prihatin Nita Prihatin Nur Khasanah Kristin Lina yutvalentina Dwi Astuti Tari Zubaedah Heti Yusek Ika Diana Wiwin Windarsih Sri Wahyuni
4 kali 3 kali 2 kali 2 kali 3 kali 3 kali 6 kali 2 kali 3 kali 2 kali 2 kali 2 kali 6 kali 3 kali
Hal ini membuktikan bahwa tanggung jawab eks Wanita Tuna Susila dengan adanya pendidikan moral belum terbentuk. Dan juga berdasarkan hasil wawancara dengan 23 eks WTS yang bolak-balik masuk BAREHSOS. Kemudian dari 23 eks WTS tersebut ada yang malas dalam mengikuti kegiatan bimbingan, kemudian belum jeranya eks WTS untuk kembali melakukan pekerjaan sebagai pelacur lagi dan belum ada perubahan sikap dari eks WTS sendiri. Faktor yang lain karena eks WTS tersebut banyak yang buta huruf. Sedangkan untuk sholat saja yang merupakan tanggung jawab dan kewajiban yang harus mereka laksanakan kadang masih harus diingatkan oleh pembimbing dan instruktur, apalagi ada yang tidak sholat, ketika ditanya alasan mereka bermacam-macam. Memang sholat itu merupakan urusan setiap individu dengan ALLAH SWT dan juga merupakan sesuatu yang tidak bisa dipaksakan karena menyangkut kepercayaan setiap orang masing-masing. Tidak hanya itu saja perilaku eks WTS yang mencoba melarikan diri dengan memukul tembok menggunakan linggis juga merupakan bukti bahwa perilaku mereka belum berubah. Kemudian berdasarkan dari daftar data eks WTS purna bina yang mengikuti pelayanan di BAREHSOS dari tahun 2008-2010 dan berdasarkan hasil wawancara dengan eks WTS serta kroscek dengan pembimbing,
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
122 jumlah eks wts yang bolak balik masuk BAREHSOS semakin meningkat dari tahun ke tahun. Adapun daftar eks WTS yang bolak balik masuk BAREHSOS dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 12: Daftar Eks WTS yang Bolak-Balik Masuk BAREHSOS Wanita -1 dari Tahun ke Tahun No.
Tahun 2008
Tahun 2009
Tahun 2010
Tahun 2011
1.
5 orang
8 orang
9 orang
23 orang
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya pendidikan moral perubahan sikap dan perilaku eks WTS setelah keluar dari -1 belum sepenuhnya mencapai hasil yang maksimal. 3) Hasil-Hasil yang Berhubungan dengan Keadilan dan Kesamaan Seluruh
Surakarta-1
mendapat perlakuan yang sama tidak dibeda-bedakan, baik bagi mereka eks WTS lama maupun baru. Hanya saja pada eks WTS yang sudah berulang kali bolak-balik masuk BAREHSOS diberi perhatian yang khusus dari pembimbing dalam artian pembimbing lebih sering mengadakan konseling dan memberikan nasehat-nasehat kepada eks WTS, begitu juga dengan instruktur yang memberikan nasehat-nasehat kepada eks WTS. Kemudian bagi eks WTS yang melanggar tata tertib BAREHSOS akan diberikan sanksi atau hukuman yang sesuai dengan perbuatannya. Adapun tabel rencana dan hasil dari indikator output di atas adalah sebagai berikut: Tabel 13: Rencana dan Hasil dari Indikator Output No 1
Indikator output Rencana Hasil Hasil yang Mencapai aspek Kurang maksimal dalam berhubungan dengan kognitif, afektif, dan mencapai aspek kognitif, prestasi belajar psikomotorik afektif, dan psikomotorik dikarenakan faktor dari eks WTS (sebagai peserta didik) sendiri yang memiliki
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
123
2
Hasil yang Mencapai tujuan berhubungan dengan pembelajaran perubahan sikap pendidikan moral
3
Hasil yang berhubungan dengan keadilan dan kesamaan
pendidikan yang rendah, dan juga instruktur dalam memberikan materi tidak disesuaikan dengan kemampuan eks WTS, mereka menganggap kemampuan semua eks WTS itu sama, padahal kenyataannya ada yang buta huruf tidak bisa membaca, bahkan ada yang tidak bisa menulis. Kurang maksimal dalam mencapai tujuan pembelajaran pendidikan moral Eks WTS (peserta didik) yang melakukan pelanggaran selama di
Eks WTS (peserta didik) yang melanggar tata tertib akan diberikan sanksi atau hukuman yang sesuai -1 dengan perbuatannya diberikan sanksi dan hukuman sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya
d. Indikator Outcome Indikator outcome ini meliputi: 1) Jumlah Lulusan ke Tingkat Pendidikan Berikutnya Mengenai jumlah lulusan ke tingkat pendidikan berikutnya dalam -1 tidak dilihat dari lulus tidaknya eks WTS dalam mengikuti ujian di sekolah seperti halnya sekolah formal, melainkan dilihat dari sikap dan perilaku eks WTS selama mengikuti -1. Misalnya dalam mengikuti Praktik Belajar Kerja (PBK) seperti salon, tata boga (memasak) dan menjahit, apakah eks WTS sudah bisa menjalankan praktik belajar kerja tersebut dengan baik dan mandiri. Hasilnya bisa diketahui dari hasil pekerjaan mereka. Selain itu juga berdasarkan masa bimbingan selama 6 bulan, jika sudah 6 bulan eks WTS bisa keluar dari
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
124 balai tetapi tidak hanya dilihat dari masa bimbingan saja melainkan tidak sedikit yang keluar sebelum masa bimbingannya habis (6 bulan). Ini karena sikap dan perilaku eks WTS selama di asrama baik dan menunjukkan perubahan yang besar. Ada pula yang menunjukkan perilaku yang tidak baik misalnya saja mencoba melarikan diri dengan memukul tembok dapur dengan linggis seperti yang peneliti ketahui selama di lapangan. Mengenai jumlah keluaran eks WTS BAREHSOS -1 kurang maksimal dilihat dari 4 eks WTS yang peneliti ketahui saat mengikuti rapat pembahasan kasus pada hari Rabu tanggal 4 Mei 2011 yang diperpanjang masa rehabilitasinya, adapun eks WTS yang diperpanjang lagi masa rehabilitasnya, antara lain: Suparti, Rasmi, Triningsih, Wiwik. Padahal masa rehabilitasi mereka sudah habis, tetapi karena sikap dan perilakunya tidak ada perubahan sama sekali dan juga belum terbentuk tanggung jawabnya serta ada juga yang masih perlu praktik belajar kerja lanjutan karena dirasa belum mampu untuk mandiri, dalam hal ini mereka belum memiliki keterampilan kerja yang cukup untuk dapat bekerja setelah keluar dari BAREHSOS sebagai bekal untuk mencari pekerjaan lain agar tidak bekerja sebagai pelacur lagi. Dengan
demikian
pendidikan
moral
sangat
membantu
-1 dalam membentuk dan mengembangkan karakter, sikap dan perilaku eks WTS tidak hanya selama di asrama tetapi juga untuk kedepannya diharapkan juga demikian. 2) Pekerjaan Berikutnya Setelah Keluar dari BAREHSOS Wanita Utama Surakarta-1 Target
akhir
pendidikan
nonformal juga berbeda dengan
pendidikan formal (sekolah), dalam pendidikan nonformal target akhirnya adalah bagaimana peserta didik dapat menerapkan hasil pendidikannya dalam praktik kerja. Tidak seperti pendidikan formal (sekolah) yang target akhirnya pada jumlah lulusan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
125 Peserta didik (Eks WTS) dikatakan mandiri dan mempunyai tanggung jawab apabila mereka mempunyai tanggung jawab terhadap masa depan, terhadap diri dan keluarganya dan dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar di dalam masyarakat sesuai dengan tujuan dari -1, apabila dari jumlah eks WTS -1 sudah banyak yang meninggalkan pekerjaan mereka sebelumnya sebagai pelacur dengan mencari pekerjaan yang lebih baik, misal dengan pekerjaan membuka salon, warung makan bahkan usaha menjahit sesuai dengan keterampilan yang diberikan pada saat mereka di asrama. Tetapi pada kenyataannya masih ada yang kembali bekerja sebagai pelacur, hal ini terbukti dari 23 eks WTS yang bolak balik masuk balai karena melakukan pekerjaan sebagai pelacur lagi. Jadi dapat disimpulkan mengenai pekerjaan selanjutnya setelah eks WTS keluar dari balai belum maksimal. Adapun tabel rencana dan hasil dari indikator outcome di atas adalah sebagai berikut: Tabel 14: Rencana dan Hasil dari Indikator Outcome No 1
2
Indikator outcome
Rencana
Hasil
Jumlah lulusan ke Mencapai tingkat Tingkat lulusan kurang tingkat pendidikan pengeluaran maksimal maksimal, masih ada berikutnya yang diperpanjang masa bimbingannya karena sikap dan perilakunya belum berubah (masih melakukan kesalahan di asrama dengan mencoba melarikan diri) Hasil yang berupa Mengarahkan pada Kurang maksimal Pekerjaan Setelah pekerjaan yang lebih karena masih ada eks Keluar dari baik WTS yang bolak-balik Wanita masuk BAREHSOS -1 untuk diberi binaan lagi karena masih melakukan pekerjaan sebagai pelacur
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
126 Sesuai dengan indikator dari efektivitas penerapan pendidikan moral di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan pendidikan moral di BAREHSOS Surakarta-1 dikatakan belum efektif sehingga masih ada eks WTS yang belum terbentuk sebagai pribadi yang terdidik secara moral yang mempunyai tanggung jawab moral. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Cheppy HC (1988 : 110-111) mengatakan bahwa Pribadi yang terdidik secara moral adalah seseorang yang belajar (di sekolah atau dimanapun juga) untuk hidup dalam satu cara yang merefleksikan kesan dan praktik kewajiban untuk mengembangkan norma-norma dan cita-cita sosial Artinya bahwa pribadi yang terdidik secara moral adalah seorang yang telah belajar untuk bertindak sesuai dengan aturan-aturan yang ada dan menjadi sadar dan bahagia dengan tindakan-tindakan dan nilai-nilainya. Tetapi kenyataannya masih ada eks WTS yang belum terbentuk tanggung jawab moralnya yang merupakan kewajiban dari eks WTS sendiri untuk bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang selama ini mereka jalani dan ini berarti bahwa mereka tidak mempunyai tanggung jawab pula terhadap dirinya sendiri dan orang-orang disekitarnya. Ini dapat dilihat dengan adanya eks WTS yang setelah keluar dari balai masih melakukan pekerjaan yang melanggar norma dengan menjadi pelacur lagi. Ini menandakan bahwa mereka belum mempunyai kesadaran dan rasa kepatuhan terhadap norma-norma yang ada. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Burhanuddin Salam (1997: 33-34) bahwa -unsur terbentuknya tanggung jawab ada 3 antara lain,
Kesadaran,
kecintaan, dan Menurut E. Mulyasa (2005: 82) yang berpendapat
Efektivitas
bisa dilihat dengan perbandingan tingkat pencapaian dengan tujuan yang telah disusun sebelumnya
Ini dapat dilihat di
Surakarta-1 sendiri dari segi indikator input, process, output dan outcome belum sesuai dengan yang diharapkan. Mengenai penerapan kegiatan bimbingan pendidikan moralnya tidak seperti halnya pendidikan formal pada umumnya (sekolah), sebab BAREHSOS sendiri merupakan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan pendidikan nonformal bagi eks WTS. Sehingga terdapat
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
127 perbedaan dengan pendidikan formal pada umumnya dalam kegiatan belajar mengajarnya. Adapun perbedaannya yaitu dalam pendidikan nonformal umumnya tidak dibagi atas jenjang, kemudian mengenai waktu penyampaian di program lebih pendek, usia siswa atau peserta didik tidak perlu sama, para peserta didik umumnya berorientasi studi jangka pendek, praktis agar dapat segera menerapkan hasil pendidikannya dalam praktik kerja, dan dalam memberi materi pembelajaran pada umumnya lebih banyak bersifat praktis dan khusus, serta kurang mementingkan ijazah bagi para lulusan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa efektivitas penerapan pendidikan moral dapat juga dilihat dari aspek pengetahuan, sikap dan perilaku eks WTS setelah mendapat pendidikan moral di BAREHSOS. Adapun mengenai pengetahuan eks WTS mengenai pendidikan moral sendiri belum efektif, hal ini dikarenakan latar belakang pendidikan eks WTS yang rendah, sehingga materi apa saja yag diberikan instruktur kadang mereka tidak mengerti. Kemudian mengenai sikap dan perilakunya juga belum efektif dalam arti sikap dan perilaku eks WTS belum mengalami perubahan, hal ini dapat dilihat dari absensi kegiatan bimbingan kadang ada yang tidak ikut bimbingan dengan alasan malas, kemudian ada yang berusaha kabur serta terbukti dengan masih adanya eks WTS yang bolak balik masuk balai karena melakukan pekerjaan asusila lagi. Tidak efektifnya penerapan pendidikan moral di BAREHSOS juga diperkuat berdasarkan dari hasil wawancara dengan instruktur pendidikan moral dan eks WTS yaitu: a. Mengenai model-model pendidikan moral yang digunakan BAREHSOS -1 dalam memberikan materi pendidikan moral belum digunakan semua, hal ini seperti apa yang peneliti lihat di lapangan. Keenam model pendidikan moral itu tidak ada satupun yang mampu memperjelas proses perhatian, pertimbangan dan tindakan. Keenam model tersebut pada dasarnya saling menunjang dan mampu menutupi kekurangan dari model lainnya . Sehingga jika keenam model tersebut digunakan dapat memiliki kemampuan kolektif yang dapat memberikan landasan bagi suatu program pendidikan
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
128 moral yang komprehensif dan perlu ditingkatkan lagi dalam penerapan pendidikan moral khususnya mengenai wawasan pendidikan moral pancasila. b. Menurut instruktur pendidikan moral bahwa waktu yang digunakan untuk memberikan materi pendidikan moral khususnya budi pekerti ini kurang, dikarenakan 1 minggunya hanya 1 kali pertemuan, apalagi kadang tidak diisi dikarenakan instruktur ada halangan tugas kantor. Dan untuk pembinaan agama juga kurang karena jumlah eks WTS yang banyak diperlukan waktu yang banyak pula untuk mengajarkan pembinaan agama agar eks WTS mengerti dan paham terhadap materi yang diberikan instruktur. Selain itu mengenai sumber buku masih ada instruktur yang tidak menggunakan. Kemudian mengenai alat peraga penunjang penerapan pendidikan moral juga tidak ada. Serta terdapat beberapa faktor-faktor yang menghambat sulitnya penerapan pendidikan moral. 3. Faktor yang Mempengaruhi Sulitnya Penerapan Pendidikan Moral Dalam Membentuk Tanggung Jawab Moral Pada Eks Wanita Tuna Susila di BAREHSOS
Surakarta-1
Pelaksanaan pendidikan moral terdapat beberapa kendala, antara lain: a. Peserta didik, yang mempunyai latar belakang pendidikan rendah. Faktor dari peserta didik (Eks WTS) sangat berpengaruh besar terhadap keberhasilan penerapan pendidikan moral, hal ini seperti yang disampaikan oleh Bapak Ir. Purwadi, MM berdasarkan hasil wawancara pada
(CL. 1). Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Ninik Pahlawanti
yang mempengaruhi penerapan pendidikan moral dari pendidikan dari eks ra dengan Bapak Sulistyo S.ST pada hari Selasa tanggal 5 April 2011 juga mengatakan demikian
Ibu Dra. Sugiyanti sebagai instruktur pendidikan moral berdasarkan hasil
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
129 wawancara pada hari Selasa tanggal 12 April 2011 yang mengatakan bahwa
rdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Nanang Kasim S pada hari Senin tanggal 25 April 2011
juga dikuatkan berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Wiyono pada hari
Hal ini juga dapat dilihat dari jumlah eks WTS sebagai peserta didik sendiri yang latar belakang pendidikannya Buta Huruf berjumlah 21 orang dari 80 jumlah eks WTS. Belum lagi yang D.O SD berjumlah 16 orang. Sehingga hal ini sangat menghambat penerapan pendidikan moral dalam BAREHSOS sendiri. Tidak hanya dikarenakan latar belakang pendidikan eks WTS tetapi juga dipengaruhi oleh pribadinya sendiri walaupun sudah diberi pendidikan moral ketika dibina di BAREHSOS tetapi setelah keluar dari BAREHSOS masih saja melakukan pekerjaan menyimpang tersebut. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan wanita bekerja sebagai Faktor ekonomi: kemiskinan, ingin hidup mewah, (2) Faktor sosiologi seperti: urbanisasi, keadilan sosial, (3) Faktor psykhologis seperti: rasa balas dendam, malas
Seperti hasil wawancara peneliti dengan eks WTS selama peneliti di lapangan, memang faktor ekonomi dan faktor psykhologis merupakan salah satu alasan kuat eks WTS melakukan pekerjaan sebagai pelacur. Selain itu juga faktor dari orang tua maupun keluarga dari eks WTS yang kurang peduli terhadap anggota keluargannya sendiri. Menurut hasil wawancara dengan eks WTS orang tua pun tidak mengerti kalau anaknya bekerja sebagai pelacur. Ini disebabkan juga karena kurangnya pendidikan dari orang tua sendiri dan kurangnya perhatian dari keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
130 hari dan untuk membiayai anaknya sekolah saja susah akhirnya mereka terpaksa melakukan pekerjaan tersebut karena tidak ada pilihan lain, karena sebagian dari mereka tidak berpendidikan tinggi (tidak sekolah) dan tidak mempunyai keahlian apa-apa, serta karena mereka ditinggal pergi begitu saja oleh suami mereka (pisah ranjang) tanpa ada kejelasan dari status pernikahan mereka dan tanpa ada nafkah dari suami. b. Guru, sebagai fasilitator yang membantu eks WTS dalam memahami dan menghayati nilai-nilai moral kurang berkompeten. Hal ini berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Ir. Purwadi,
mempengaruhi penerapan pendidikan mo (CL. 1). Dan berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Ninik Pahlawati S.Pd
instruktur menyampaikan materi kepada eks WTS mempengaruhi pemahaman (CL. 2). Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sulistyo
penyampaian materi oleh instruktur yang mempengaruhi tingkat pemahaman
Hal ini juga dibenarkan oleh Ibu Dra. Sugiyanti berdasarkan hasil wawancara pada hari Selasa tanggal 12 April 2011, mengatakan bahwa
dilihat dari bagaimana cara instruktur menyampaikan materi kepada eks WT (CL. 4). Sedangkan menurut hasil wawancara dengan Bapak Nanang Kasim S pada hari Senin tanggal 25 April 2011 juga mengatakan bahwa
Begitu juga berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Wiyono
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
131 penyampaian materi oleh instruktur sangat mempengaruhi pemahaman eks
Jadi intinya bahwa sebagai seorang pendidik tidak dilihat dari bagaimana kemampuannya mengembangkan ilmu pengetahuan saja tetapi dilihat dari bagaimana pendidik menyampaikan materi dan melaksanakan pembelajaran yang menarik dan bermakna bagi peserta didiknya. c. Sarana prasarana, yaitu segala sesuatu penunjang kesuksesan dalam penerapan -1, seperti perpustakaan, buku pelajaran wajib maupun penunjang, ruang kelas yang nyaman, dan sarana ibadah. Mengenai sarana prasarana penunjang penerapan pendidikan moral -1 dikatakan kurang, hal ini seperti hasil wawancara dengan Bapak Ir. Purwadi, MM pada hari Senin
(CL. 1). Sedangkan menurut Ibu Ninik Pahlawati S.Pd berdasarkan hasil wawancara pada Rabu tanggal 6 April 2011 juga mengatakan bahwa
Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sulistyo, S.ST
pada
hari Selasa
tanggal
5
April
2011
mengatakan
bahwa
-bukunya seperti majalah, buku aids dan buku-
. Hal ini juga dikuatkan
berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Dra. Sugiyanti pada hari Selasa tanggal 12 April 2011 ini tidak aktif, buku-bukunya sebagian besar diperoleh dari sumbangan, bukubuku diperpustakaan ini hanya majalah dan buku tentang AIDS, dan buku tuntunan shola Sedangkan menurut hasil wawancara dengan Bapak Nanang Kasim S pada hari Senin tanggal 25 April 2011 . Dan hal ini juga dibenarkan berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Wiyono pada hari Rabu tanggal 20
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
132
Jadi kesimpulannya bahwa faktor yang menghambat penerapan pendidikan moral dalam membentuk tanggung jawab moral pada eks WTS di -1 antara lain faktor dari eks WTS sendiri yang sebagian besar latar belakang pendidikannya rendah, selain itu faktor dari instruktur yang kurang berkompeten dalam menyampaikan materi pendidikan moral serta kurangnya sarana prasarana penunjang. Menurut eks WTS sebagai peserta didik mengenai materi yang diberikan kadang mereka tidak paham, ini dikarenakan sebagian dari mereka ada yang buta huruf, tidak bisa membaca dan menulis, sehingga materi apa saja yang diberikan instruktur tidak efektif.
C. Temuan Studi Berdasarkan data penelitian yang dipaparkan di atas, peneliti menemukan beberapa temuan studi yaitu: 1. Model Pendidikan Moral yang Digunakan BAREHSOS Surakarta-1 Mo Surakarta-1 antara lain: a.
Model Keteladanan dan Penguatan Positif dan Negatif Model Pendidikan moral yang digunakan instruktur dalam memberikan
materi pendidikan
moral dengan menggunakan
model
keteladanan dan penguatan positif dan negatif. Model keteladanan dan model penguatan positif dan negatif ini termasuk dalam model penanaman nilai. Menurut Winarno (2006 : 17), memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri peserta Pendekatan penanaman nilai adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri peserta didik. Model penanaman nilai mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
133 diambilnya melalui tahapan: mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, menerapkan nilai sesuai dengan keyakinan diri. Tujuannya agar nilai sosial diterima peserta didik dan berubahnya nilai-nilai peserta didik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan. b.
Model bimbingan perseorangan maupun kelompok Berdasarkan hasil pengamatan peneliti selama di balai dan kroscek dengan instruktur pendidikan moral, dalam pemberian keteladanan yang dilakukan pembimbing maupun instruktur melalui bimbingan perseorangan dan kelompok. Bimbingan perseorangan maupun kelompok ini termasuk dalam model konsiderasi. Menurut Cheppy HC (1988: 29), konsiderasi adalah model yang menekankan pada pentingnya aspek perhatian dan berkaitan dengan keputusan mengenai konflikbahwa model ini fokus utamanya terletak pada bagaimana memahami kebutuhan orang lain dari pada upaya mengimbangkan kebutuhan-kebutuhan
Surakarta-1 para pembimbing berusaha memberikan solusi yang terbaik dalam membantu memecahkan masalah yang dihadapi eks WTS, baik yang bersifat pribadi ataupun masalah yang bersifat umum/kelompok. c.
Model Diskusi Terarah Model Pendidikan moral yang digunakan instruktur pendidikan moral dalam memberikan materi pendidikan moral menggunakan model diskusi terarah. Model ini termasuk dalam model analisis nilai. Model analisis nilai menurut Cheppy HC (1988: 30)
Model yang membantu
peserta didik mempelajari proses pembuatan keputusan dan membantu dalam Model ini juga bertujuan membantu peserta didik untuk berfikir logis. d.
Model praktik dalam kehidupan bermasyarakat (tindakan moral) Model Pendidikan moral yang digunakan instruktur pendidikan moral dalam memberikan materi pendidikan moral menggunakan model praktik dalam hidup bermasyarakat (tindakan moral). Model ini digunakan
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
134 instruktur pendidikan moral dengan memberikan kesempatan bagi eks WTS untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan yang ada di balai. Model praktik dalam kehidupan bermasyarakat (tindakan moral) termasuk dalam model aksi sosial. Menurut Cheppy HC (1988: 31-32), Model aksi sosial ini mengedepankan tantangan pendidikan untuk tindakan Tujuan tindakan sosial (tindakan moral) adalah meningkatkan efektifitas subjek didik dalam menemukan, meneliti, dan memecahkan masalah-masalah sosial. Pendekatan ini lebih menaruh perhatian terhadap perkembangan penalaran moral subjek didik dengan kata lain model ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial serta mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk yang senantiasa berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat. e.
Model pembinaan wawasan pendidikan moral pancasila Model ini dapat dilihat dari kegiatan piket rutin eks WTS selama di asrama. Kegiatan piket tersebut seperti piket dapur dan halaman asrama. Dari kegiatan piket ini dapat memupuk kerjasama antara eks WTS yang satu dan yang lainnya sehingga akan tercipta kehidupan yang rukun. Kemudian dengan adanya kegiatan pembinaan agama dan kegiatan sholat berjamaah dapat mengembangkan sikap saling hormat-menghormati antar pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga selalu terbina kerukunan hidup di antara semua umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 2. Efektivitas Penerapan Pendidikan Moral Dalam Membentuk Tanggung Jawab Moral Pada Eks WTS di BAREHSOS Surakarta-1 Efektivitas
penerapan
pendidikan
moral
dapat
diukur
dengan
menggunakan indikator dari efektivitas. Adapun indikator efektivitas penerapan pendidikan moral antara lain: a. Indikator Input Indikator Input ini mencakup:
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
135 1) Karakteristik Guru Pendidikan Moral Berdasarkan dari data yang didapat peneliti di lapangan, guru Pendidikan moral di
Surakarta-1 kurang
antusias dalam memberikan pendidikan moral pada peserta didiknya, hal ini dapat dilihat dari kehadiran instruktur dalam memberikan materi bimbingan pada eks WTS, meskipun tidak mengisi materi karena tugas kantor seharusnya diganti pada hari atau pada jam lain. Tetapi pada kenyataannya tidak diganti. Hal ini membuktikan bahwa penerapan pendidikan moral belum maksimal. 2) Fasilitas Fasilitas kelas yang digunakan untuk pembelajaran pendidikan moral yaitu berupa meja, papan tulis, spidol masih layak namun untuk kursi masih kurang karena masih ada sebagian kursi yang tidak layak digunakan masih tetap digunakan. 3) Perlengkapan Perlengkapan di
Surakarta-1
dikatakan masih kurang yaitu kurangnya LCD yang dapat membantu eks WTS dalam memahami materi yang diajarkan, misalnya dengan adanya LCD dapat diputarkan film-film motivasi yang dapat meningkatkan perhatian eks wts terhadap materi yang diajarkan, apalagi dengan faktor usia dari eks WTS sendiri bermacam-macam, ada yang muda dan ada yang tua. Ini yang membuat instruktur harus pandai dalam menentukan metode pembelajaran yang tepat. Kemudian kurangnya alat peraga yang menunjang dalam penerapan pendidikan moral. 4) Materi Pembelajaran Materi yang diberikan oleh instruktur tidak didasarkan pada silabus, padahal walaupun pendidikan yang diberikan di BAREHSOS merupakan pendidikan nonformal harusnya didasarkan pada silabus juga agar materi disusun secara terprogram. Hal ini seperti apa yang dikatakan Oong Komar (2006: 198) mengatakan bahwa sub sistem pendidikan .
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
136 Kemudian mengenai materi pembelajaran khususnya bimbingan budi pekerti tidak mempunyai sumber buku acuan, hanya berupa cerita keteladanan Nabi, dan ada juga instruktur pembinaan agama yang tidak memakai buku acuan dalam memberikan materi. Sehingga hal ini menjadi salah satu kendala bagi eks WTS untuk memahami dan mengerti makna dari sikap dan perilaku yang baik. Tidak hanya praktik melainkan mereka juga perlu memiliki pengetahuan teori dari materi tersebut. 5) Metode Pembelajaran Metode yang digunakan guru pendidikan moral bervariasi yaitu metode ceramah, tanya jawab, dan diskusi. Namun yang sering digunakan dengan ceramah. b. Indikator Proses 1) Perilaku Administratif Guru Metode yang digunakan instruktur bervariasi hanya saja dalam menerangkan
materi
instruktur
tidak
memperhatikan
kemampuan
pemahaman eks WTS sebagai peserta didiknya, yang sebagian ada yang tidak bisa menulis, buta huruf dan tidak bisa membaca, semua dianggap mempunyai
kemampuan
berfikir
yang sama,
sehingga
penerapan
pendidikan moral dalam membentuk tanggung jawab moral belum efektif. 2) Alokasi Waktu Guru Alokasi waktu untuk bimbingan budi pekerti sangat kurang yaitu hanya 1½ jam setiap minggunya, itu pun hanya 1 kali pertemuan. Sedangkan untuk pembinaan agama juga kurang karena untuk pembinaan agama sendiri 1 minggunya 5 kali pertemuan tetapi dengan instruktur yang berbeda-beda dan dengan materi yang berbeda pula dalam mengajar. Sehingga instruktur kadang merasa kesulitan untuk mengajar pendidikan moral kepada eks WTS karena jumlahnya yang banyak dan memerlukan waktu yang banyak pula agar eks WTS dapat memahami materi yang diajarkan.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
137 3) Alokasi Waktu Peserta Didik Alokasi waktu peserta didik dalam pembelajaran pendidikan moral di
-1 dirasa masih kurang. Karena
faktor dari peserta didik sendiri, seperti malas dan ketika ada bimbingan tidak ikut dengan alasan sedang piket. c. Indikator Output 1) Hasil-Hasil yang Berhubungan dengan Prestasi Belajar Kurang maksimal dalam mencapai aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. 2) Hasil-Hasil yang Berhubungan dengan Perubahan Sikap Indikator output salah satunya mencakup perubahan perilaku atau sikap sebagai hasil dari proses belajar dalam hal ini pembelajaran pendidikan moral, yang pada kenyataannya belum mencapai tujuan yang maksimal, hal ini terbukti dari banyaknya eks WTS yang bolak balik masuk -1 yang jumlahnya dari tahun ke tahun semakin meningkat dan ada eks WTS yang mencoba melarikan diri dengan cara memukul tembok serta belum terbentuknya tanggung jawab dari peserta didik dalam mengikuti kegiatan bimbingan dan dalam menjalankan sholat yang merupakan tanggung jawab pribadi seseorang dengan ALLAH SWT ada yang tidak ikut dengan alasan malas. Ini menandakan bahwa perilaku eks WTS belum mengalami perubahan karena setiap perilakunya tidak dilakukan berdasarkan kewajiban. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Imanuel Kant dalam K. Bertens (1997: 235) mengenai teori etika deontologi imperatif kategoris
3) Hasil-Hasil yang Berhubungan dengan Keadilan dan Kesamaan Eks WTS yang melakukan penyimpangan perilaku berusaha kabur dengan memukul tembok dan yang bolak-balik masuk BAREHSOS diberi peringatan dan sanksi dari pihak BAREHSOS.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
138 c. Indikator Outcome 1) Jumlah Lulusan ke Tingkat Pendidikan Berikutnya
Surakarta-1 kurang maksimal dilihat dari 4 eks WTS yang peneiliti ketahui saat mengikuti rapat pembahasan kasus pada hari Rabu tanggal 4 Mei 2011, adapun eks WTS yang diperpanjang lagi masa rehabilitasnya, antara lain: Suparti, Rasmi, Triningsih, Wiwik padahal masa rehabilitasi mereka sudah habis, tetapi karena sikap dan perilakunya tidak ada perubahan sama sekali dan juga belum terbentuk tanggung jawabnya serta ada juga yang masih perlu praktik belajar kerja lanjutan karena dirasa belum mampu untuk mandiri, dalam hal ini mereka belum memiliki keterampilan kerja yang cukup untuk dapat bekerja setelah keluar dari BAREHSOS sebagai bekal untuk mencari pekerjaan lain agar tidak bekerja sebagai pelacur lagi. 2) Pekerjaan Berikutnya Setelah Keluar dari BAREHSOS Wanita Utama Surakarta-1 Adanya pendidikan moral belum mampu mengubah sikap dan perilaku eks WTS, dilihat dari 23 eks WTS yang setelah keluar dari BAREHSOS masih saja bekerja sebagai pelacur lagi. Padahal selama di BAREHSOS mereka juga dibekali keterampilan seperti menjahit, mamasak (tata boga) dan salon yang diharapkan dengan diberikannya keterampilan ini mereka dapat lepas dari pekerjaan mereka sebelumnya sebagai pelacur. 3. Faktor yang Mempengaruhi Sulitnya Penerapan Pendidikan Moral Dalam Membentuk Tanggung Jawab Moral Pada eks Wanita Tuna Susila di BAREHSOS
Surakarta-1
Pelaksanaan pendidikan moral terdapat beberapa kendala, antara lain dari peserta didik sendiri (Eks WTS) yang sangat berpengaruh besar terhadap keberhasilan penerapan pendidikan moral, yang sebagian dari eks WTS ada yang buta huruf, tidak bisa membaca dan menulis. Hal inilah yang membuat instruktur kesulitan dalam menerapkan pendidikan moral. Karena tingkat pendidikan dari eks WTS yang rendah. Kemudian dari segi instruktur sendiri sebagai fasilitator, kurang berkompeten. Sarana prasarana juga menjadi faktor sulitnya
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
139 -1, padahal sarana prasarana sendiri sebagai penunjang kesuksesan proses pembelajaran pendidikan moral kepada eks WTS. Adapun sarana prasarana yang
Surakarta-1 sendiri sudah lama tidak difungsikan.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
140 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan data yang telah dikumpulkan peneliti di lapangan dan analisis yang telah dilakukan oleh peneliti maka dapat ditarik kesimpulan untuk menjawab perumusan masalah yang ada. Adapun kesimpulan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Model-model pendidikan moral yang dite -1 antara lain: a. Model keteladanan dan penguatan positif dan negatif. b. Model bimbingan perseorangan maupun kelompok. c. Model diskusi terarah. d. Model praktik dalam kehidupan bermasyarakat. e. Model pembinaan dengan wawasan pendidikan moral pancasila 2. Efektivitas penerapan pendidikan moral dalam membentuk tanggung jawab -1 belum efektif, hal ini dapat dilihat dari: a. Indikator Input meliputi: 1) Karakteristik Guru Pendidikan Moral Karakteristik guru pendidikan moral yang kurang antusias dalam memberikan pendidikan moral pada peserta didiknya. 2) Fasilitas Fasilitas kelas yang digunakan untuk pembelajaran pendidikan moral untuk kursi masih kurang karena masih ada sebagian kursi yang tidak layak digunakan masih tetap digunakan. 3) Perlengkapan Perlengkapan di
Surakarta-1 dikatakan
masih kurang yaitu kurangnya LCD yang dapat membantu eks WTS dalam memahami materi yang diajarkan, misalnya dengan adanya 140 to user commit 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
141 LCD dapat diputarkan film-film motivasi yang dapat memberikan semangat eks WTS untuk mengubah perilakunya menjadi baik. 4) Materi Pembelajaran Materi yang diberikan oleh instruktur tidak didasarkan pada silabus, kemudian mengenai materi pembelajaran khususnya bimbingan budi pekerti tidak mempunyai sumber buku acuan, hanya berupa cerita keteladanan Nabi, dan ada juga instruktur pembinaan agama yang tidak memakai buku acuan dalam memberikan materi. 5) Metode Pembelajaran Metode yang digunakan guru pendidikan moral kebanyakan hanya dengan ceramah. b. Indikator proses berupa alokasi waktu yang digunakan untuk pendidikan moral. Waktu yang diberikan untuk budi pekerti hanya 1½ jam sedangkan untuk pembinaan agama ada beberapa instruktur yang merasa kurang untuk 1½ jam karena waktu 1½
jam dalam 1 minggunya dengan
instruktur dan materi yang berbeda. Sehingga instruktur merasa kesulitan memberikan materi kepada eks WTS agar eks WTS mengerti dan memahami materi yang diberikan instruktur. c. Indikator output dan outcome berupa hasil yang berhubungan dengan perubahan sikap dan pekerjaan setelah keluar dari BAREHSOS. Adapun salah satu tujuan dari penerapan pendidikan moral adalah agar eks WTS dapat merubah perilakunya menjadi baik dan tidak melakukan pekerjaan asusila lagi. Tetapi dalam kenyataannya masih ada eks WTS yang tidak mengikuti kegiatan bimbingan dengan alasan malas, kemudian ada yang mencoba melarikan diri hal ini menandakan bahwa tanggung jawab dari eks WTS belum terbentuk serta masih ada eks WTS keluaran dari BAREHSOS yang melakukan pekerjaan asusila lagi sebanyak 23 eks WTS. Jadi dalam hal ini, tujuan dari penerapan pendidikan moral belum mencapai hasil yang maksimal, karena hasil yang berhubungan dengan perubahan sikap dan pekerjaan yang lebih baik belum tercapai secara maksimal.
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
142 3. Faktor yang menjadi penghambat sulitnya penerapan pendidikan moral di -1 antara lain: a. Latar belakang pendidikan eks WTS yang rendah. b. Instruktur yang kurang berkompeten. c. Sarana prasarana yang kurang mendukung.
B. Implikasi Berdasarkan kesimpulan atas jawaban yang telah dirumuskan di atas yang berkaitan dengan efektivitas penerapan pendidikan moral dalam membentuk tanggung jawab moral, dapat menimbulkan implikasi sebagai berikut: 1. Setelah mengetahui model-model pendidikan moral yang digunakan dalam menunjang penerapan pendidikan moral, seharusnya instruktur dalam mengajarkan pendidikan moral kepada eks WTS menggunakan semua model pendidikan moral yang ada, agar proses penerapan pendidikan moral dapat tercapai dengan maksimal. Sehingga terbentuk tanggung jawab moral pada eks WTS. Selain itu juga diperlukan dukungan dan kerjasama dari orang tua (keluarga), pembimbing, instruktur dan eks WTS serta masyarakat agar proses penanaman nilai-nilai moral melalui pendidikan moral dapat berjalan dengan efektif. 2. Penerapan pendidikan moral dalam membentuk tanggung jawab moral di BAREHSOS
Surakarta-1 dapat dikatakan belum sepenuhnya
efektif. Dengan mengetahui hal tersebut maka instruktur pendidikan moral di BAREHSOS
Surakarta-1 berusaha memberikan materi yang
sesuai dengan kemampuan peserta didiknya, agar apa yang telah diajarkan dapat diterima dan diamalkan oleh eks WTS dan dapat tercapai tujuan penerapan pendidikan moral secara maksimal. 3. Setelah mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sulitnya penerapan pendidikan moral dalam membentuk tanggung jawab moral pada eks WTS untuk tidak kembali lagi menjalankan pekerjaannya sebagai pelacur, maka
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
143 dengan demikian instruktur pendidikan moral berusaha mengatasi faktorfaktor yang ada.
C. Saran Berdasarkan kesimpulan dan implikasi dari penelitian ini, maka peneliti dapat mengemukakan saran-saran sebagai berikut: 1. Bagi orang tua dan keluarga eks WTS agar memberikan perhatian kepada eks WTS sehingga mereka merasa diperhatikan dan mempunyai keluarga. 2. Bagi BAREHSOS W
-1:
a. Dalam menggunakan model pendidikan moral seharusnya digunakan semua agar dapat menunjang dan menutupi model lainnya sehingga dapat membantu dalam membentuk kematangan moral peserta didik. b. Dalam memberikan pendidikan moral seharusnya seimbang antar kegiatan bimbingan budi pekerti dengan kegiatan pembinaan agama. c. Perlu adanya penambahan waktu/jam kegiatan bimbingan pendidikan moral. d. Perlu adanya penambahan pendampingan agar semua eks WTS sebagai peserta didik lebih terurus dan merasa diperhatikan serta diarahkan agar eks WTS dapat cepat menguasai materi yang diberikan. e. Menambah tenaga pendidik khusus untuk membimbing peserta didik yang buta huruf, tidak bisa menulis dan membaca. Sebaiknya pendidik khusus tersebut tidak hanya terpaku pada program untuk beberapa bulan saja tetapi alangkah baiknya jika tetap untuk seterusnya. f. Dibuatkan silabus lagi seperti pada modul kegiatan bimbingan yang dibuat oleh direktorat rehabilitasi tuna sosial. Sehingga dalam pemberian materi pembelajaran didasarkan pada silabus tersebut. 3. Bagi Instruktur Pendidikan moral: a. Instruktur pada dasarnya sudah baik dalam menyampaikan materi namun alangkah lebih baiknya lagi dalam cara penyampaiannya disesuaikan dengan audien yang sedang dihadapi, yaitu dengan menggunakan tata
commit to user 511
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
144 bahasa yang mudah dipahamai oleh eks WTS sehingga eks WTS dapat menyerap materi yang disampaikan instruktur. b. Untuk instruktur pendamping harus lebih memfungsikan diri sebagai pendamping tidak hanya mengawasi saja tetapi benar-benar memeriksa dan mengarahkan eks WTS yang mengalami kesulitan dalam belajarnya. c. Supaya
menggunakan
wawasan
pendidikan
moral
pancasila dan
pendidikan moral Ki Hajar Dewantara dalam setiap memberikan pengajaran pendidikan moral serta dengan menggunakan pendidikan moral yang diintegrasikan dalam nyanyian atau tembang Jawa seperti tembang Wulangreh
(Paku
Buwono
IV),
tembang
Wedotomo,
Tripomo
(Mangkunegoro IV), cerita legenda, cerita wayang dan sebagainya. 4. Bagi eks WTS sebagai peserta didik hendaknya meninggalkan pekerjaan mereka sebelumnya sebagai pekerja seks komersial dengan mencari pekerjaan yang tidak melanggar norma, serta lebih giat lagi dalam mengikuti semua -1 khususnya untuk kegiatan pendidikan moral. 5. Bagi masyarakat hendaknya memberikan kesempatan kepada eks WTS yang telah kembali ke dalam masyarakat dengan melibatkan mereka dalam kegiatan kemasyarakatan
dan
menerima
keberadaan
mereka
kembali
dengan
membuang asumsi negatif yang ada tentang eks WTS agar mereka dapat menjalankan fungsi sosialnya sebagai anggota masyarakat. 6. Bagi Prodi PPKn, hendaknya hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumbangan dalam mata kuliah bidang studi PPKn yang berhubungan dengan pendidikan moral. Agar dapat membentuk mahasiswa-mahasiswi yang mempunyai perasaan sosial dan rasa tanggung jawab khususnya dalam menghadapi masalah pelacuran tidak hanya menjadi tanggung jawab dari pemerintah saja. 7. Bagi pemerintah seharusnya memberikan lapangan pekerjaan bagi eks WTS agar bekal keterampilan yang eks WTS peroleh selama mereka di bina di -1 dapat bermanfaat dan dapat mengurangi jumlah prostitusi di Surakarta.
commit to user 511