EFEKTIFITAS REHABILITASI MANGROVE DI PULAU PRAMUKA, KEPULUAN SERIBU
AGUS HARYANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektifitas Rehabilitasi Mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2013 Agus Haryanto NIM C252100144
iv
RINGKASAN AGUS HARYANTO. Efektifitas Rehabilitasi Mangrove Di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan YONVITNER. Kerusakan ekosistem mangrove umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia, walaupun tak bisa dipungkiri alam juga memiliki peran yang cukup besar dalam hal ini. Kerusakan tersebut akan menyebabkan berkurangnya atau bahkan menghilangnya fungsi sistem dan manfaat mangrove bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Untuk mengembalikan kondisi mangrove yang rusak, maka diperlukan upaya pengelolaan melalui rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mengkaji faktor yang menentukan keberhasilan rehabilitasi ekosistem mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu; (2) mengkaji efektifitas rehabilitasi ekosistem mangrove dan faktor-faktor penunjang keberhasilan dan kegagalannya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu; dan (3) Menyusun rekomendasi untuk meningkatkan efektifitas rehabilitasi ekositem mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Penilaian tingkat keberhasilan rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka dilakukan dengan menganalisis beberapa indikator menggunakan indeks efektifitas dengan mempertimbangkan juga parameter lingkungan dari kualitas air seperti suhu, kecepatan arus, salinitas, pH, DO, TSS, Nitrat, kalium, BOD5. Indikatorindikator efektifitas rehabilitasi mencakup indikator ekobiologi mangrove yang meliputi sintasan, pertumbuhan dan tutupan relatif; dan indikator sosial yang meliputi partisipasi masyarakat dan persepsi masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mangrove di Pulau Pramuka mayoritas adalah anakan, sedangkan untuk pohon dan semai hanya sebagian kecil saja. Semua mangrove yang ada merupakan hasil rehabilitasi dengan tahun tanam yang berbeda, hanya dua pohon saja yang dianggap sebagai mangrove alami yang sudah ada sejak dahulu. Berdasarkan hasil pengukuran, mangrove rehabilitasi di Pulau Pramuka memiliki tutupan relatif antara 0,03-2,82%; pertumbuhan 13,3332,50 cm/th; dan sintasan 3,02-67,36%. Kondisi lingkungan perairan di kawasan rehabilitasi mangrove merupakan perairan dangkal dengan rataan terumbu membentang di sekeliling pulau sampai dengan jarak sekitar 500 m dari garis pantai dan memiliki kualitas perairan yang masih sesuai untuk mangrove. Nilai-nilai pengukuran kualitas air meliputi suhu 31,7-35 oC; kecepatan arus 0,1-0,3 m/s; TSS 4-16 mg/l; pH 7,54-8,20; salinitas 2528 psu; DO 7,6-9,4 mg/l; nitrat 0,039-0,156 mg/l; ortofosfat 0,002-0,283 mg/l; kalium 0,272-0,698; dan BOD5 2,00-4,60 mg/l. Berdasarkan kondisi sosial, semua masyarakat (100%) mengetahui tentang mangrove, baik fungsi dan keberadaannya. 60% masyarakat juga mengetahui bahwa mangrove di Pulau Pramuka selama ini dikelola oleh TNKpS. Selain itu, masyarakat juga mengambil peran dan berpartisipasi didalam pengelolaan mangrove. Sekitar 80% responden menyebutkan pernah terlibat dalam upaya pengelolaan, diantaranya dengan ikut menjaga, tidak merusak keberadaan mangrove dan sesekali membersihkan mangrove dari sampah. Keterlibatan masyarakat tersebut sejalan dengan manfaat yang dirasakan. 80% responden
v
menyebutkan bahwa adanya mangrove dianggap dapat mengurangi hantaman gelombang, abrasi dan menambah kesejukan di pantai. Keterlibatan masyarakat dalam upaya pengelolaan dapat lebih ditingkatkan jika masyarakat mengetahui dan bisa memanfaatkan langsung mangrove seperti pemanfaatan buah untuk manisan, pemanfaatan kayu, dll. Selama ini tidak ada pemanfaatan langsung terhadap mangrove oleh masyarakat, 100% responden menyebutkan tidak ada pemanfaatan langsung. Terkait dengan rehabilitasi mangrove, 100% responden mengetahui tentang arti rehabilitasi dan adanya program rehabilitasi yang dilakukan di Pulau Pramuka. Tetapi hanya 80% responden yang menyebutkan pernah terlibat dalam kegiatan rehabilitasi, dan dari keterlibatan tersebut hanya 20% responden yang melakukannya dengan sukarela, 80% lainnya ikut terlibat karena kegiatan tersebut dianggap hanya sebagai proyek dan hanya untuk mendapatkan uang baik dari bibit yang mereka tanam dan tenaga yang mereka keluarkan untuk proses penanaman di pantai. Hal ini juga diperkuat dengan hanya 60% responden yang melakukan swadaya dalam setiap kegiatan rehabilitasi padahal rehabilitasi rutin dilakukan. Metode dan teknik penanaman oleh 80% responden dianggap sudah dilakukan sudah benar, yaitu rumpun berjarak (bergerombol). Metode tersebut dianggap benar karena mangrove mayoritas dapat tumbuh, tidak seperti metode dan teknik sebelumnya. Sehingga 80% responden menganggap rehabilitasi sudah efektif dan 100% menganggap sudah berhasil. Masyarakat berharap kegiatan rehabilitasi tersebut ada tindak lanjut, tidak hanya saat program saja. 80% responden menyebutkan tidak ada tindak lanjut yang dilakukan setelah kegiatan rehabilitasi dilakukan. Kegiatan tindak lanjut ini bisa dilakukan seperti perawatan, penjarangan, penataan, dll, sehingga mangrove dapat lebih banyak hidup dan tumbuh lebih optimal. Hasil analisis PCA didapatkan bahwa variabel lingkungan yang mempengaruhi sintasan mangrove adalah nitrat yaitu 99,25%, kecepatan arus yaitu 88,85%, dan kalium yaitu 63,26%. Variabel-variabel tersebut cukup mewakili efektifitas rehabilitasi dimana faktor oseanografi fisika diwakili oleh kecepatan arus dan kimia diwakili oleh nitrat dan kalium. Setelah dilakukan penilaian efektifitas rahabilitasi, menunjukkan bahwa pada stasiun 1, 2 dan 3 rehabilitasi tergolong efektif dengan nilai 57,58%; 66,77%; dan 66,67%, sedangkan pada stasiun 4 tergolong tidak efektif dengan nilai 48,48%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka secara umum efektif. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa pada parameter pertumbuhan dan sintasan, hanya ada satu lokasi yang mencapai nilai optimal, diantaranya di lokasi stasiun 2 untuk pertumbuhan dan di stasiun 3 untuk sintasan. Optimalnya pertumbuhan dan sintasan dilokasi tersebut banyak dipengaruhi oleh parameter oseanografi dan sudah terbentuknya kondisi ekosistem mangrove yang mendukung terutama untuk bahan organik yang dibutuhkan mangrove yang berasal dari serasah mangrove tersebut. Kata kunci: ekosistem mangrove, TNKpS, rehabilitasi, efektifitas
vi
SUMMARY AGUS HARYANTO. Effectiveness of Mangrove Rehabilitation On Pramuka Island, Seribu Archipelago. Supervised by FREDINAN YULIANDA and YONVITNER. Mangrove ecosystem damage is generally caused by human activities, although it is undeniable, nature also has a considerable role. The damage will cause a reduction or even disappearance of system functions and benefits of mangrove for the community and the surrounding environment. To restore the damaged mangrove, it is necessary to attempt rehabilitation through mangrove management on Pramuka Island, Seribu Archipelago. The purpose of this study was (1) to examine the factors that determine the success of the rehabilitation of mangrove ecosystems on Pramuka Island, Seribu Archipelago, (2) to assess the effectiveness of the rehabilitation of mangrove ecosystems and the factors supporting the success and failure on Pamuka Island, Seribu Archipelago, and (3) to arrange the recommendations to improve the effectiveness of the rehabilitation of mangrove ecosystems on Pramuka Island, Seribu Archipelago. Assessment of mangrove rehabilitation success rate on Pramuka Island was done by analyzing several indicators of using an effectiveness index with taking into account also the environmental parameters of water quality such as temperature, flow velocity, salinity, pH, DO, TSS, nitrate, potassium, BOD5. Indicators of effectiveness of mangrove include eco-biologi indicators of mangrove rehabilitation that includes survival, growth and percent cover; and social indicators that include public participation and public perception. Results of this study showed that the majority of mangroves on Pramuka Island are the saplings, while for trees and seedlings only a small fraction. All existing mangrove rehabilitation was the result of the different planting years, only two trees ware considered a pre-existing natural mangrove long ago. Based on the measurement results, mangrove rehabilitation on Pramuka Island had a relative cover between 0.03 to 2.82%; growth of 13.33 to 32.50 cm/yr; and survival rate of 3.02 to 67.36%. Environmental conditions in the area of rehabilitation of mangrove waters are shallow water reef around the island stretches to a distance of about 500 m from the shoreline and the water quality is suitable for mangroves. Values of water quality measurements include temperature from 31.7 to 35 °C; flow velocity 0.1-0.3 m/s; TSS 4-16 mg/l; pH 7.54 to 8.20; salinity 25-28 psu; DO from 7.6 to 9.4 mg/l; nitrate from 0.039 to 0.156 mg/l; orthophosphate 0.002 to 0.283 mg/l; potassium 0.272 to 0.698; and BOD5 from 2.00 to 4.60 mg/l. Based on social conditions, all the people (100%) know about mangroves, both the function and existence. 60% of people also know that the mangrove on Pramuka Island is managed by TNKpS. In addition, people also take a role and participate in the management of the mangrove. Approximately 80% of respondents said had been involved in management efforts, including by contributing to maintain, not destroy the existence of mangroves and mangrove occasional cleaning of garbage. Community involvement is in line with the perceived benefits. 80% of
vii
respondents said that the mangroves are considered to lessen the blow of the waves, erosion and add coolness on the beach. Community involvement in management efforts can be improved if people know and can take advantage of direct utilization of mangrove like to candied fruit, wood utilization, etc.. So far there is no direct use of the mangrove by the community, 100% of respondents said there was no direct use. Associated with mangrove rehabilitation, 100% of respondents knew about the meaning of rehabilitation and the rehabilitation program conducted on Pramuka Island. But only 80% of respondents who mentioned have been involved in the rehabilitation, and from that involvement was only 20% of respondents who do so voluntarily, the other 80% are involved because these activities are considered only as a project and just to earn money both from the seeds that they planted and energy that they spend on the process of planting on the beach. It is also reinforced with only 60% of respondents who self in any rehabilitation while rehabilitation routine. Methods and techniques of cultivation by 80% of respondents considered already done it right, is the clump (clustered). The method is considered true because the majority of the mangroves can grow, unlike previous methods and techniques. So that 80% of respondents consider rehabilitation was effective and 100% was considered successful. Society hopes that rehabilitation, there is followup, not just when the program alone. 80% of respondents said there was no followup was performed after the rehabilitation was done. Follow-up activities can be done as treatment, thinning, arrangement, etc., so that mangroves can grow more and more optimal life. The results of PCA analysis showed that the environment variables that affect mangrove survival rate was nitrate (99.25%), flow velocity (88.85%), and potassium 63.26% ie. These variables adequately represent the effectiveness of rehabilitation in which the factor is represented by the physical oceanography and chemical flow velocity was represented by nitrate and potassium. Whereas the results of index of rehabilitation effectivity showed that rehabilitation at the stations 1, 2 and 3 is effective with a value of 57.58%, 66.77% and 66.67%, and at station 4 is not effective by the value of 48.48%. From these results, it can be concluded that the rehabilitation of mangroves on Pramuka Island generally effective. The study also concluded that the parameters of growth and survival, there is only one location that achieve optimal value, including on-site station 2 for growth and at station 3 for survival. Optimal growth and survival at the that location are heavily influenced by oceanographic parameters and the established conditions of mangrove ecosystem that supports especially for organic materials needed mangrove derived from the mangrove litter. Keywords: mangrove ecosystem, TNKpS, rehabilitation, effectiveness
viii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ix
EFEKTIFITAS REHABILITASI MANGROVE DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU
AGUS HARYANTO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
x
Penguji pada Ujian Tesis: Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc
xi
Judul Tesis : Efektifitas Rehabilitasi Mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu Nama : Agus Haryanto NIM : C252100144
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc Ketua
Dr Yonvitner, SPi, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 30 Agustus 2013
Tanggal Lulus:
Judul Tesis : Efuktifitas Rehabilitasi Mangrove di Pulau. Pramuka, Kepufauan Senbu : Agus Haryanto Nama : C252100144NIM
Disetujui Dleh KomisiPembimbing
DrIr Fl"edinan Yulianda. MSc
Ketua
Diketahui oleh
Ketua Program &tndi P.engel61aan :Sumbe.rdaya Pesisirdan Lautan
ProfDr 'Ir Mennofatria Boer, DBA
TanggalLulus~
18 0CT 2013
xii
xiii
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini. Penelitian ini yang mengambil judul Efektifitas Rehabilitasi Mangrove di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu dilakasanakan pada bulan Meret sampai Agustus 2013. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof Dr Ir Mennofatia Boer, DEA sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Bapak Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc dan Dr Yonvitner, SPi, MSi sebagai Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah mencurahkan perhatiannya dalam penelitian dan penyelesaian Tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Biro Perencanaan Kementerian Kelautan dan Perikanan beserta jajarannya yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan studi Magister Sains di IPB. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Istri tercinta dan Anakku tersayang atas pengertian dan doanya, Almh. Ibu dan Alm. Bapak kandung dan mertua, serta saudara-saudara yang lain atas dukungan dan doanya. Tak lupa juga kepada rekan-rekan SPL IPB atas dorongan semangatnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2013 Agus Haryanto
xiv
xv
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xvii DATAR GAMBAR xviii DAFTAR LAMPIRAN
xix
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian Kerangka Alur Pikir Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA Definisi Mangrove Jenis-jenis Mangrove Fungsi Mangrove Permasalahan Terkait Ekosistem Mangrove Pengelolaan Mangrove Efektifitas Pengelolaan (Rehabilitasi) Mangrove Indikator Efektifitas Pengelolaan (Rehabilitasi) Mangrove Kerusakan Mangrove yang Mengarah pada Perubahan Luasan dan Kerapatan Mangrove
5 5 5 7 8 8 9 10
3
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Jenis dan Metode Pengumpulan Data Analisis Data Struktur komunitas Mangrove Analisis Lingkungan Ekosistem Rehabilitasi Mangrove Analisis Efektifitas Rehabilitasi
15 15 16 16 18 18 18 19
4
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penilitian Keadaan Umum Loksi Penelitian Rehabilitasi Mangrove di Pulau Pramuka Kondisi Lingkungan Perairan di Lokasi Penanaman Mangrove Kondisi Mangrove di Pulau Pramuka Tutupan Relatif Mangrove di Pulau Pramuka Pertumbuhan Mangrove di Pulau Pramuka Sintasan Mangrove di Pulau Pramuka Faktor-faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Efektifitas Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis / PCA) Analisis Kelompok (Cluster Analysis / (CA)
21 21 21 21 25 32 33 35 36
1 1 2 3 3 3
14
38 38 42
xvi
5
Kondisi Sosial Masyarakat Dalam Rehabilitasi Mangrove Efektifitas Rehabilitasi Mangrove Rekomendasi
43 46 48
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran
51 51 51
DAFTAR PUSTAKA
52
LAMPIRAN
58
xvii
DAFTAR TABEL
1 Jenis-jenis vegetasi hutan mangrove penting
6
2 Hubungan faktor salinitas dengan kesesuaian jenis tanaman mangrove
13
3 Letak stasiun pengamatan mangrove
16
4 Parameter fisika dan kimia perairan
17
5 Matriks tingkat efektifitas rehabilitasi mangrove Pulau Pramuka
20
6 Sejarah rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka
23
7 Beberapa permasalah dan tindak lanjut yang dilakukan
25
8 Nilai parameter fisika-kimia di perairan Pulau Pramuka
26
9 Tingkat kesuburan perairan nilai pH
28
10 Tingkat kesuburan perairan nitrat
30
11 Data penanaman mangrove di Pulau Pramuka
35
12 Korelasi antara variabel-variabel pertama dan faktor-faktor utama
39
13 Koordinat pengamatan pada axis utama
40
14 Nilai indeks untuk pertimbangan pembagian kelompok berdasarkan kondisi lingkungan
42
15 Nilai indeks untuk pertimbangan pembagian kelompok berdasarkan kondisi mangrove
43
16 Tingkat efektifitas rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka
46
17 Kegiatan pemantauan dan perawatan yang dapat dilakukan pasca penanaman mangrove
50
18 Data parameter fisika, kimia, biologi, sosial ekonomi, budaya dan kelembagaan
59
19 Matriks korelasi antar variabel
65
xviii
DATAR GAMBAR
1 Kerangka pendekatan alur penelitian
4
2 Hubungan asosiasi komponen biotik dan abiotik pada mangrove
5
3 Lokasi stasiun pengambilan data di sekitar perairan Pulau Pramuka kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu
15
4 Metode penanaman mangrove dengan metode ajir yang dilakukan pada tahun 2003-2004 (Sumber: TNKpS 2009)
24
5 Penanaman mangrove pada bulan September 2005 yang dilakukan dengan menancapkan propagul bakau pada lubang tanam di lokasi penanaan dengan sistem rumpun berjarak (Sumber: TNKpS 2009) 24 6 Hasil penanaman program GERHAN tahun 2005/2006 (Sumber: TNKpS 2009) 24 7 Hasil penanaman mangrove tahun 2007 (Sumber: TNKpS 2009)
25
8 Nilai tutupan mangrove di Pulau Pramuka
33
9 Tutupan mangrove di seluruh stasiun pengamatan di Pulau Pramuka
34
10 Nilai sintasan mangrove di Pulau Pramuka
37
11 Biplot korelasi variabel-variabel lingkungan dan lokasi penanaman mangrove
40
12 Dendogram pengelompokan karakteristik lokasi penelitian berdasarkan kondisi lingkungan
42
13 Dendogram pengelompokan karakteristik lokasi penelitian berdasarkan kondisi mangrove
43
14 Tingkat persepsi masyarakat terhadap mangrove dan pengelolaan mangrove
44
15 Tingkat persepsi masyarakat terhadap rehabilitasi mangrove
45
16 Skoring parameter efektifitas rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka
48
17 Lingkaran korelasi dari variabel lingkungan
65
18 Observasi terhadap axis 1 dan 2 dari lokasi dan lingkungan mangrove
66
xix
DAFTAR LAMPIRAN
1 Jenis dan metode pengambilan data
59
2 Pembibitan dan ukuran tanam semai mangrove
61
3 Pengukuran stasiun pengamatan (plot) dengan metode transek kuadrat
62
4 Pengukuran kualitas perairan lingkungan
63
5 Diskusi dan wawancara
64
6 Hasil analisis PCA
65
7 Peta kondisi keberadaan mangrove dan potensi di Pulau Pramuka
67
8 Peta site plan penanaman mangrove, lamun dan terumbu karang mangrove di Pulau Pramuka
68
9 Kuesioner sosial ekonomi masyarakat di Pulau Pramuka
69
10 Tahapan-tahapan rehabilitasi mangrove
73
11 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 (Lampiran 3: Baku mutu air laut untuk biota laut)
75
12 Hasil pengukuran kualitas air di Laboratorium Proling IPB
77
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove mempunyai fungsi yang sangat kompleks baik secara ekologi maupun sosial ekonomi, dalam memainkan peranannya sebagai penyangga antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi dengan ekosistem pesisir lainnya, seperti estuaria, tambak, padang lamun dan terumbu karang (Quoc et al. 2012). Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang mempunyai peran sangat penting dalam mendukung produktivitas perikanan, sebagai nursery ground (tempat pembesaran) dan spawning ground (tempat pemijahan) bagi beragam jenis biota air. Selain itu ekosistem mangrove berperan sebagai pensuplai bahan makanan (food supply) bagi berbagai jenis biota air di wilayah pesisir dan dapat menyediakan berbagai jenis produk dan jasa lingkungan untuk kesejahteraan hidup masyarakat dan kualitas lingkungan pantai dimana mangrove tersebut tumbuh (Kusmana 2007). Beberapa diantaranya meliputi fungsi sebagai penahan erosi pantai, pencegah intrusi air laut ke daratan, pengendali banjir, merupakan perlindungan pantai secara alami mengurangi resiko dari bahaya tsunami dan juga merupakan habitat dari beberapa jenis satwa liar (burung, mamalia, reptilia dan amphibia) (Othman 1994). Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Dari 15,9 juta ha mangrove dunia, sekitar 4,25 juta ha (27%) berada di Indonesia (FAO 1982). Tetapi selama beberapa dekade, ekosistem mangrove telah mengalami kerusakan yang serius dan pada kondisi yang membahayakan, serta peranannya banyak diabaikan dengan banyaknya konversi ekosistem mangrove menjadi peruntukan lain seperti pemukiman, infrastruktur transportasi, budidaya pertanian dan perikanan (khususnya pengembangan tambak udang), dan untuk pemanfaatan arang dan konstruksi (Komiyama et al. 1996; Kairo et al. 2001; Alonzo-Perez et al. 2003; Thampanya et al. 2006; Walton et al. 2007; Bashan et al. 2013). Di Indonesia, luas ekosistem mangrove setiap tahun terus mengalami penurunan. Luas ekosistem mangrove tahun 1982 adalah 5.209.543 ha, tahun 1987 seluas 3.235.700 ha, tahun 1993 seluas 2.496.185 ha, dan tahun 1999 seluas 2.346.414 ha. Berdasarkan data tersebut dapat dijelaskan bahwa selama 17 tahun (1982-1999) luas ekosistem mangrove di Indonesia mengalami penurunan sekitar 54% atau 3,2% pertahun (Sofyan 2001). Berkurangnya kawasan mangrove tersebut akan menyebabkan peningkatan tekanan terhadap keamanan manusia dan pembangunan kawasan pesisir dari bahaya bencana pesisir seperti erosi, banjir, gelombang badai dan tinggi (Gilman et al. 2008), sehingga dianggap perlu untuk melakukan rehabilitasi. Field (1998) menyatakan terdapat tiga alasan untuk melakukan rehabilitasi mangrove, yaitu (1) konservasi dan landscaping; (2) sistem-sistem multi pemanfaatan untuk produksi yang berkelanjutan; dan (3) perlindungan area-area pesisir. Alasan yang ketiga tersebut merupakan salah satu alasan rehabilitasi yang dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Eksistensi ekosistem mangrove di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu sudah semakin kecil, dari sekitar 78 pulau yang dikelola TNKpS hanya sebagian
2
kecil pulau-pulau yang mempunyai tegakan mangrove dan dikhususkan untuk rehabilitasi mangrove terutama pulau-pulau pemukiman yang relatif sudah tidak ditumbuhi oleh mangrove (Pulau Pramuka, Pulau Kelapa dan Pulau Harapan). Upaya rehabilitasi ekosistem dan proses pemulihannya sangat sulit dilakukan dikarenakan media tumbuhnya sangat miskin hara dan gelombang laut di musim barat atau timur seringkali menghanyutkan tanaman yang sudah mulai tumbuh namun sistem perakaran kurang kompak. Upaya rehabilitasi dilakukan dengan membuat persemaian mangrove semi alami, penanaman mangrove (bakau) dan kegiatan GNRHL Mangrove pada tahun 2005/2006 dan Tahun 2007 ini sampai dengan saat ini. Perbedaan kondisi habitat, sifat dan tipe substrat/sedimen serta bentuk pantai yang khas dan sangat berbeda dengan di daratan menuntut suatu metode tersendiri dalam rehabilitasi ekosistem mangrove di TNKpS. Metode rumpun berjarak yang dikembangkan oleh BTNKpS merupakan metode yang dinilai paling cocok untuk kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove di TNKpS. Upaya rehabilitasi ekosistem mangrove yang pernah dilakukan di Pulau Pramuka, TNKpS yaitu: 1) mengalami kegagalan/kurang efektif pada tahun 2003 dan 2004 dengan menggunakan metode ajir; 2) memiliki persentase tumbuh bagus pada tahun 2002 dan 2004 dengan menggunakan metode tanam rapat dan metode penanaman bibit bakau dengan polybag dan 3) mengalami keberhasilan/persentase tumbuh tinggi pada tahun 2005, 2006 dan 2007. Menyadari akan pentingnya ekosistem mangrove bagi kehidupan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung maka diperlukan suatu pengelolaan ekosistem yang ditekankan pada aspek ekologi dan sosial ekonomi masyarakat setempat. Pengembangan pengelolaan dan rehabilitasi juga sangat penting dilakukan agar dapat menciptakan suatu kondisi yang dapat mendukung terjadinya proses regenerasi secara alami. Untuk itu diperlukan kajian terkait efektifitas rehabilitasi agar dapat menciptakan suatu kondisi yang dapat mendukung terjadinya proses regenerasi secara alami. Disamping itu, strategi pelibatan masyarakat lokal dipandang lebih efektif dibandingkan dengan pelestarian satu arah yang hanya dilakukan oleh pemerintah. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya fungsi pelestarian dalam suatu kawasan, maka akan dapat memelihara fungsi keseimbangan ekosistem dan fungsi ekonomi kawasan tersebut bagi masyarakat setempat.
Rumusan Masalah Kerusakan ekosistem mangrove umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia, walaupun tak bisa dipungkiri alam juga memiliki peran yang cukup besar dalam hal ini. Kerusakan tersebut akan menyebabkan berkurangnya atau bahkan menghilangnya fungsi sistem dan manfaat mangrove bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Untuk mengembalikan kondisi mangrove yang rusak, maka diperlukan upaya pengelolaan melalui rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Keberhasilan upaya rehabilitasi ekosistem mangrove yang efektif sangat ditentukan oleh banyak faktor baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif lebih banyak menitikberatkan pada kesesuaian spesies, waktu, spasial, maupun metode yang digunakan pada saat penanaman mangrove, sedangkan secara
3
kuantitatif ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat dan jumlah penduduk. Partisipasi dan peran aktif masyarakat setempat menjadi salah satu faktor utamanya. Pengelolaan yang melibatkan masyarakat diharapkan akan lebih efektif karena masyarakat lokal lebih dapat diberdayakan dan merasa terlibat, sehingga pada saatnya nanti akan tumbuh rasa tanggung jawab untuk mengelola lingkungan mereka sendiri. Berdasarkan uraian di atas, maka efektifitas program rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu mencakup: 1. Tingkat keberhasilan rehabilitasi ekosistem mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu; 2. Meramalkan faktor yang mempengaruhi keberhasilan/kegagalan rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah: 1. Mengkaji faktor yang menentukan keberhasilan rehabilitasi ekosistem mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu; 2. Mengkaji efektifitas rehabilitasi ekosistem mangrove dan faktor-faktor penunjang keberhasilan dan kegagalannya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu; 3. Menyusun rekomendasi untuk meningkatkan efektifitas rehabilitasi ekosistem mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah sebagai dasar untuk menetapkan rencana rehabilitasi yang tepat dan terukur sehingga bisa dijadikan sebagai dasar pengelolaan.
Kerangka Alur Pikir Penelitian Untuk mengetahui tingkat keberhasilan usaha rehabilitasi mangrove pada setiap satuan lahan pengamatan, maka perlu dikumpulkan data lahan (jenis subsrat dan kandungan hara), bibit (jenis, ukuran dan kualitas), teknologi yang digunakan, sumberdaya manusia yang ada, data sosial hukum serta kelembagaan. Kajian keberhasilan usaha rehabilitasi mangrove dalam penelitian ini akan ditinjau dari aspek: 1. Tingkat hidup dari mangrove rehabilitasi. 2. Peningkatan pertumbuhan/laju tumbuh dan persen tutupan mangrove. 3. Tingkat kepedulian masyarakat terhadap rehabilitasi mangrove. Tingkat hidup, pertumbuhan dan persentase mangrove sangat ditentukan oleh kandungan hara dan bibit (jenis, ukuran dan kualitas) dan metode yang digunakan. Teknologi meliputi cara yang digunakan dalam menentukan jarak
4
tanam antar mangrove, aturan dalam menentukan jumlah dan besaran lubang yang digunakan serta seberapa besar efektifitas teknologi yang digunakan dalam rangka fungsi mangrove sebagai pelindung dari ombak, arus, dan pasang surut. Sedangkan tingkat keberhasilan untuk sosial dilihat dari prosentase masyarakat sekitar yang peduli, melakukan swadaya dan menerapkan teknologi yang ada. Adapun kerangka alur penelitian ini adalah sebagai berikut: Ekosistem dan SDA Kondisi Lingkungan
Sintasan Mangrove
Metode Rehabilitasi
Bibit Mangrove
Sosial Masyarakat
Teknik Penanaman
Tingkat Pertumbuhan
Tingkat Kepedulian
Persen Tutupan
Efektifitas Rehabilitasi
Tidak
Rehabilitasi Gagal
Ya Rehabilitasi Berhasil
Gambar 1 Kerangka pendekatan alur penelitian
5
2 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Mangrove Mangrove merupakan perpaduan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove (Macnae 1968). Kata mangrove dalam bahasa Portugis digunakan untuk menyatakan individu jenis tumbuhan, sedangkan mangal digunakan untuk menyatakan komunitas tumbuhan. Sedangkan dalam bahasa Inggris mangrove digunakan untuk menyatakan suatu komunitas pepohonan, rumput dan semak belukar yang tumbuh di daerah pesisir maupun individu jenis tumbuhan lainnya yang berasosiasi satu sama lain.
Mangrove
Mangal
Asosiasi mangrove
Eko-sistem Mikrohabitat mangrove
Mikrohabitat biologi
Faktor abiotik
Gambar 2 Hubungan asosiasi komponen biotik dan abiotik pada mangrove Hutan Mangrove merupakan suatu komunitas vegetasi pantai hutan tropis yang didominasi oleh beberapa pohon yang khas dan semak belukar yang memiliki kemampuan untuk tumbuh di lingkungan laut (Nybakken 1988). Mangrove selalu berada pada lingkungan perairan dangkal dan terlindung seperti: laguna, estuaria dan teluk yang menjadi habitat penting bagi ikan dan biota lainnya (Nagelkerken dan Faunce 2008) seperti: kepiting (Simith dan Diele 2008), serta serangga (semut) yang memberikan pengaruh yang positif terhadap penampilan mangrove (Cannici et al. 2008) dan gastropoda (Fratini et al. 2004).
Jenis-jenis Mangrove Wilayah mangrove dicirikan oleh tumbuhan yang khas dari jenis-jenis Rhizopora, Bruguera, Ceriops, Avicenia, Xylocarpus dan Acrostichum (Soerianegara 1987). Bengen (2000a) menambahkan mangrove meliputi pohonpohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas genus: Avicennia, Sonneratia, Rhizopora, Bruguirea, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus. Mangrove terdiri dari berbagai famili tumbuhan yang beradaptasi pada lingkungan tertentu. Tomlinson (1986) membagi spesies mangrove kedalam 3 komponen: 1. Komponen utama (major component): tumbuhan yang membentuk spesialisasi morfologis seperti akar udara dan mekanisme fisiologi khusus lainnya untuk
6
mengeluarkan garam agar dapat beradaptasi terhadap lingkungan mangrove. Secara taksonomi tumbuhan ini berbeda dengan tumbuhan darat. 2. Komponen tambahan/tumbuhan pantai (minor componenet): kelompok ini bukan merupakan bagian yang penting dari mangrove, biasanya terdapat pada daerah tepi dan jarang sekali membentuk tegakan murni. 3. Asosiasi mangrove (mangrove associates): kelompok ini tidak pernah tumbuh di dalam komunitas mangrove sejati dan biasanya tumbuh bersama tumbuhan darat. Menurut Tomlinson (1986), komponen utama terdiri dari 34 jenis dalam 9 genera dan 5 famili. Komponen tambahan terdiri dari 20 jenis dalam 11 genera dan 11 famili, sehingga totalnya ada 54 jenis mangrove dalam 20 genera dan 16 famili serta 60 jenis asosiasi mangrove dalam 46 genera. Sedangkan menurut Duke (1992) ada 69 jenis mangrove dalam 26 genera dan 20 famili ditambah 7 jenis hibrid. Berdasarkan hal tersebut, Kathiresan dan Bingham (2001) sepakat menggabungkannya menjadi 65 jenis mangrove dalam 22 genera dan 16 famili. Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang termasuk tertinggi di dunia, tercatat 89 jenis yang terdiri dari 35 jenis berupa pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit, dan 2 jenis (Nontji 1987). Beberapa jenis pohon mangrove yang dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah Bakau (Rhizophora spp.), Api-api (Avicennia spp.), Pedada (Sonneratia spp.), Tancang (Bruguiera spp.), Tengar (Ceriops spp.), Nyirih (Xylocarpus spp.) dan Buta-buta (Excoecaria spp.). Tabel 1 Jenis-jenis vegetasi hutan mangrove penting No. Famili A. Komponen Utama 1. Avicenniaceae 2. Combretaceae 3. 4.
Palmae Rhizophoraceae
5. Sonneratiaceae B. Komponen Tambahan 6. Bombacaceae 7. Euphorbiaceae 8. Lythraceae 9. Meliaceae 10. Myrsinaceae 11. Myrtaceae 12. Pellicieraceae 13. Plumbaginaceae 14. Pteridaceae 15. Rubiaceae 16. Sterculiaceae Sumber: Tomlinson (1986)
Genus
Jumlah Spesies
Bentuk Tumbuhan
Avicennia Laguncularia Lumnitzera Nypa Rhizophora Bruguiera Ceriops Kandelia Sonneratia
8 1 2 1 8 6 2 1 5
Pohon/semak Pohon/semak Pohon/semak Palem Pohon Pohon Pohon/semak Pohon/semak Pohon/semak
Camptostemon Excoecaria Pemphis Xylocarpus Aegiceras Osbornia Pelliciera Aegialitis Acrostichum Scyphiphora Heritiera
2 2 1 2 2 1 1 2 3 1 3
Pohon Pohon/semak Semak/pohon Pohon Semak/Pohon Pohon/semak Pohon Semak Herba Pohon/semak Pohon
7
Fungsi Mangrove Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang unik dengan berbagai macam fungsi, yaitu fungsi fisik, fungsi biologi dan fungsi ekonomi (Sneadaker 1984). Musibah gempa dan ombak besar tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias akhir tahun 2004 yang lalu telah mengingatkan kembali betapa pentingnya mangrove dan hutan pantai bagi perlindungan pantai (Anwar 2006). Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekositem wilayah pesisir yang mempunyai manfaat ganda meliputi: ekologi, sosial ekonomi, dan jasa lingkungan (Sobari et al. 2006; Stone et al. 2008). Secara fisik, hutan mangrove berfungsi menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai, mencegah intrusi air laut ke daratan, sebgai perangkap zat-zat pencemar dan limbah serta kawasan penahan air (Ecoton 1998). Bengen (2002) menambahkan hutan mangrove berfungsi sebagai peredam gelombang dan angin, pelindung abrasi, penahan lumpur, perangkap sedimen, intrusi air laut dan penyaring logam berat. Hutan mangrove yang banyak tumbuh di estuari juga dapat berfungsi untuk mengurangi banjir. Mangrove banyak memberikan fungsi ekologi sehingga dijadikan salah satu produsen utama perikanan laut. Kunci utama yang menggerakkan fungsi ekosistem mangrove tersebut adalah komponen vegetasi mangrove sebagai produsen yang menghasilkan bahan organik sebagai sumber makanan konsumen primer, sekunder dan top konsumen dalam jaring-jaring pangan (food web) di ekosistem mangrove yang bersangkutan. Vegetasi mangrove juga dapat berperan dalam amaliorasi iklim mikro dan perbaikan kualitas lingkungan (tanah, air, udara) di ekosistem mangrove 3 tersebut (Kusmana 2007). Hutan mangrove dari segi biologi sebagai penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan ranting mangrove. Daun mangrove yang gugur melalui proses penguraian oleh mikroorganisme diuraikan menjadi partikel serasah yang selanjutnya diolah menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan detritus seperti cacing. Bengen (2002) dan MacDanald et al. (2009) menambahkan mangrove berfungsi sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makanan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) berbagai jenis ikan, udang dan biota lainnya. Macnae (1974) in Aksornkoae (1993) mengatakan kepiting bakau Penaeus indicus, P.merguinensis dan P.monodon memanfaatkan hutan mangrove untuk berlindung selama masa juvenile. Ikan laut seperti bandeng (Channos channos) memanfaatkan hutan mangrove sebagai tempat untuk mencari makanan. Hutan mangrove juga merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, reptil dan mamalia sehingga hutan mangrove menyediakan keanekaragaman hayati dan plasma nutfah yang tinggi sebagai sistem penunjang kehidupan. Fungsi mangrove dari segi ekonomi mampu memberikan banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat, hal ini dapat dilihat dari segi pemanfaatanya oleh masyarakat. Tercatat sekitar 67 produk yang dapat dimanfaatkan dari hutan mangrove seperti kayu bakar, bahan bangunan, penghasil tanin untuk penyamakan kulit, bahan tekstil, makanan, minuman dan obat-obatan (Aksornkoae 1993). Saat ini ekosistem mangrove juga dikembangkan sebagai wahana untuk sarana rekreasi dan pariwisata. Summich (1992) mengatakan pemanfaatan hutan mangrove mampu meningkatkan pendapatan negara antara lain melalui perdagangan, industri pariwisata, pertanian, produksi hutan, pemukiman industri dan fasilitas perkapalan.
8
Permasalahan Terkait Ekosistem Mangrove Penyebab kerusakan ekosistem mangrove dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis gangguan (Kusmana dan Onrizal 1998): 1. Gangguan fisik-mekanis Abrasi pantai atau pinggir sungai Sedimentasi dengan laju yang tidak terkendali Banjir yang menyebabkan melimpah air tawar Gempa bumi (tsunami) 2. Gangguan kimia Pencemaran air, tanah dan udara Hujan asam 3. Gangguan Biologi Konversi mangrove untuk pemukiman, industri, pertambakan, pertanian, pertambangan, sarana angkutan dan penggunaan lahan non kehutanan. Penebangan pohon yang tidak memperhatikan asas kelestarian hutan. Invasi Acrostichum aureum (piay) dan jenis semak belukar lainnya. Menurut Annisa (2004), terdapat beberapa aktivitas yang menyebabkan kerusakan dan tekanan pada mangrove: Tersedianya kandungan unsur hara dan mineral Tersedianya air tawar Eksploitasi hutan mangrove secara liar Perubahan fungsi menjadi lahan pertanian dan budidaya perikanan Limbah minyak dan bahan-bahan kimia lainnya yang berbahaya Pembuangan limbah keluarga
Pengelolaan Mangrove Hutchings dan Saenger (1987) menyatakan bahwa pengelolaan hutan mangrove harus berdasarkan pada filosofi konservasi, dalam hal ini pengelolaan hutan mangrove harus mencakup rencana pengelolaan yang mengoptimumkan konservasi sumberdaya mangrove untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan tetap mempertahankan cadangan yang cukup untuk melindungi keanekaragaman flora dan fauna yang hidup di dalamnya. Alikodra et al. (1993) mengemukakan strategi pengelolaan hutan mangrove pada skala nasional dapat digunakan sebagai arahan dan landasan kebijakan untuk melindungi potensi sumberdaya hutan mangrove, meliputi: 1. Save it, yaitu mengamankan ekosistem hutan mangrove dengan melindungi genetika, spesies dan ekosistemnya, 2. Study it, yaitu mempelajari ekosistem hutan mangrove yang meliputi biologi, komposisi, struktur, fungsi ekologis, distribusi dan kegunaannya; dan 3. Use it, yaitu memanfaatkan ekosistem hutan mangrove secara lestari dan seimbang secara adil untuk kesejahteraan masyarakat. Bengen (2000c) menyebutkan bahwa masalah pengelolaan hutan mangrove secara lestari adalah menggabungkan antara kepentingan ekologis (konservasi hutan mangrove) dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan mangrove. Dengan demikian, strategi yang ditetapkan harus mampu mengatasi
9
masalah ekonomi masyarakat selain tujuan konservasi hutan mangrove tercapai. Aksornkoae (1989) menyatakan bahwa aspek sosiologi dan ekonomi diwujudkan dalam bentuk pengelolaan yang bersifat multiguna. Menurut Dahuri et al. (1996) pengelolaan multiguna mengharuskan sumberdaya dimanfaatkan untuk kepentingan banyak pihak secara seimbang sehingga terhindar dari orientasi tunggal yang sempit dan berjangka pendek. Melalui pengelolaan multiguna, jangkauan kegiatan lebih beragam sehingga pilihan yang lebih luas bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam pengelolaan hutan mangrove. Selanjutnya disebutkan terdapat dua strategi pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam, termasuk ekosistem hutan mangrove, yaitu pengelolaan berbasiskan masyarakat dan pengelolaan berdasarkan sistem intensif. Rahardjo (1985) mengemukakan pengelolaan berbasis masyarakat mengandung arti keterlibatan masyarakat secara langsung dalam mengelola hutan mangrove di suatu kawasan. Mengelola berarti masyarakat ikut memikirkan, memformulasikan, merencanakan, mengimplementasikan, mengevaluasi maupun memonitor sesuatu yang menjadi kebutuhannya. Sedangkan pengelolaan dengan menerapkan sistem insentif diharapkan dapat merangsang dan memacu usaha masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan mangrove. Sistem insentif dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan peran serta masyarakat. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari (Bengen 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan adalah dengan menunjuk suatu kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Dalam konteks tersebut, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna Hutan Kesepakatan (Santoso 2000) terdiri atas: 1. Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, cagar biosfer). 2. Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain). Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi: komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan,mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso 2000).
Efektifitas Pengelolaan (Rehabilitasi) Mangrove Pengelolaan adalah sebuah proses yang berkelanjutan, iteraktif, adaptif dan partisipatif yang terdiri dari sebuah tugas yang saling terkait satu sama lain dan harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Pomeroy dan RiveraGuieb 2006 in Adrianto 2007). Dalam konteks ini, proses perencanaan harus dimonitor agar sistem yang sudah direncanakan dapat berjalan sesuai dengan
10
rencana, dan harus dievaluasi dalam konteks bahwa perlu proses pembelajaran dari kesuksesan maupun kegagalan dari sistem yang sudah berjalan. Untuk itu, proses monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan ini perlu dilakukan. Seperti yang dijelaskan oleh Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006), rencana monitoring dilakukan untuk menjamin bahwa program yang dijalankan sesuai dengan rencana. Ada dua alasan mengapa perlu rencana monitoring yaitu pertama, untuk meyakinkan kepada stakeholders bahwa apa yang direncanakan memang diimplementasikan dan diukur secara sistematik. Kedua, untuk mempelajari apakah aksi yang telah diambil sesuai dengan tujuan dilakukan oleh aksi tersebut. Dengan demikian, tindakan korektif dapat diambil apabila aksi yang telah ditetapkan tidak sesuai dengan rencana.
Indikator Efektifitas Pengelolaan (Rehabilitasi) Mangrove Sebagai langkah awal mencegah semakin rusaknya mangrove yang ada, salah satu cara untuk pengelolaan ekosistem mangrove adalah berdasarkan filosofi konservasi. Menurut Dahuri et al. (2004) bahwa ekosistem mangrove sangat sensitif terhadap faktor-faktor seperti sirkulasi air, salinitas, dan aspek fisika-kimia dan subsrat hidupnya. Konservasi ekosistem dan sumberdaya di dalamnya dapat dicapai dengan mencegah terjadinya perubahan-perubahan nyata dari faktor-faktor tersebut di atas. Namun yang lebih penting adalah pengelolaan yang mengoptimumkan konservasi sumberdaya mangrove untuk memenuhi kebutuhan manusia baik tradisional dan masa kini dengan tetap mempertahankan cadangan yang cukup untuk melindungi keanekaragaman flora dan fauna yang hidup. a. Indikator Ekosistem Untuk melihat dampak kegiatan rehabilitasi terhadap kualitas mangrove, maka informasi yang perlu dilakukan analisis mengenai kualitas mangrove. Informasi lainnya yang perlu dianalisis adalah kecenderungan tekanan terhadap ekosistem mangrove. Apakah pola-pola pemanfaatan sumberdaya mangrove selama ini khususnya yang merusak mangrove masih berlangsung atau sudah tidak ada. Demikian juga faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi seperti pencemaran, sedimentasi dan sebagainya dari daratan apakah masih ada atau sudah dikelola dengan baik. b. Indikator Habitat Ekosistem mangrove bersifat dinamis, setiap tempat memiliki komposisi spesies tersendiri. Ekosistem ini memiliki kemampuan tinggi untuk kembali terbentuk setelah terjadi kerusakan hebat selama pola hidrologi kembali stabil dan tersedia sumber propagul (Manssrisuksi et al. 2001). Perubahan fisik seperti pengeringan, pembangunan kanal, dan pemakaian pupuk dapat mempengaruhi habitat mangrove, sehingga struktur dan komposisinya dapat berubah-ubah (Tanaka 1992). c. Indikator Lingkungan Adapun faktor lingkungan yang berpengaruh bagi pertumbuhan mangrove dipengaruhi oleh fisiologi pantai, iklim, pasang surut, gelombang dan arus, salinitas, oksigen terlarut, dan tanah (Kusmana et al. 2005). Fisiografi Pantai Topografi pantai merupakan faktor penting yang mempengaruhi
11
karakteristik struktur mangrove, khususnya komposisi jenis, distribusi jenis dan ukuran serta luas ekosistem mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang surut, maka semakin lebar ekosistem mangrove yang akan tumbuh. Iklim Faktor iklim yang berpengaruh bagi pertumbuhan mangrove meliputi cahaya matahari, curah hujan, suhu udara, dan angin, adalah sebagai berikut: a. Cahaya matahari Intensitas cahaya merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan suhu yang pada akhirnya berdampak kepada meningkatnya kebutuhan air. Untuk itu perlu adanya adaptasi untuk menjaga keseimbangan fotosintesis dan kebutuhan air akibat adanya faktor cahaya. Ada beberapa pola tanaman mangrove dalam mensiasati kebutuhan cahaya yaitu: (1) tanaman yang toleran terhadap naungan (shade tolerance) seperti Aegiceras, Ceriops, Bruguiera, Osbronia, Xylocarpus Excoecaria, (2) species yang tidak toleran terhadap naungan (shade intolerance) yaitu: Acrosticum, Achantus, Aegialitis, Rhizopora, Lumnitzera, Scyphiphora dan Sonneratia, (3) semi intoleran, yaitu pada saat anakan tidak toleran terhadap naungan tetapi pada saat toleran, yaitu: Avicennia (Hilmi 2009). b. Curah Hujan Kondisi curah hujan dapat memberikan pengaruh bagi lingkungan pertumbuhan mangrove. Hal ini terutama disebabkan oleh suhu air dan udara serta salinitas air permukaan tanah yang berpengaruh pada daya tahan jenis mangrove. Mangrove akan tumbuh dengan subur pada daerah dengan kisaran curah hujan rata-rata 1500-3000 mm/tahun c. Suhu Udara Suhu mempengaruhi proses fisiologis mangrove seperti fotosintesis dan respirasi. Hutcing dan Saenger (1987) mengatakan kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan beberapa jenis mangrove, yaitu: Avicennia marina tumbuh baik pada suhu 18-20 ºC, Rhizopora stylosa, Ceriops spp, Exoecaria agallocha dan Lumnitzera racemosa pertumbuhan daun segar tertinggi dicapai pada suhu 26-28 ºC, suhu optimum Bruguiera spp 27 ºC, Xylocarpus spp berkisar antara 21-26 ºC dan Xylocarpus granatum 28ºC. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal 20 ºC. d. Angin Angin juga berpengaruh terhadap gelombang dan arus pantai yang dapat menyebabkan abrasi dan mengubah struktur mangrove, meningkatkan evatransportasi dan angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan serta menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal. Pasang Surut Mangrove diklasifikasikan menjadi 5 kelas penggenangan. Dasar pembagian ini adalah frekuensi penggenangan di suatu tempat per bulan. Adapun pengklasifikasian hutan mangrove adalah sebagai berikut: Kelas I, digenangi oleh sumua pasang tinggi dengan frekuensi 56-67 per bulan. Tidak ada jenis yang hidup selain Rhizopora mucronata
12
yang dapat hidup. Ini pun terbatas pada tepi-tepi sungai, di atas tanah tenggelam dengan arus yang selalu ada. Tajuknya di atas air. Di daerah pantai terbuka kelas penggenangan ini tidak dijumpai oleh vegetasi mangrove (steril). Kelas 2, digenangi oleh pasang setengah tinggi dengan frekuensi 45-59 per bulan. Di daerah ini tumbuh Avicennia spp dan Sonneratia spp (umumnya Avicennia alba dan Avicennia grifitii). Di ujung tepi sungai umumnya didominasi oleh Rhizopora mucronata. Kelas 3, digenangi pasang normal dengan frekuensi 20-45 per bulan. Sebagian besar jenis mangrove dapat hidup di kelas penggenangan ini, tetapi Rhizopora spp predominan dan umumya dijumpai dekat daerah berarus. Di tanah yang teguh seringkali berasosiasi dengan Ceriops candolleaans. Rhizopora conyugata mencapai pertumbuhan optimalnya dan akan membentuk tegakan murni. Bruguiera parviflora tumbuh baik dan sering bercampur dengan Rhizopora spp. Kelas 4, digenangi pasang lewat dengan frekuensi 2-20 per bulan. Di kelas penggenangan ini Rhizopora spp mulai terdesak oleh Bruguiera gymnorrhiza karena tanahnya mulai sedikit kering. Di substrat yang keras akan dijumpai Bruguiera parviflora namun kadang dijumpai dengan Bruguiera evioptala tetapi umumnya tumbuh tidak merata. Kelas 5, zonasi yang digenangi oleh pasang dengan frekuensi 0-2 per bulan. Bruguiera gymnorrhizadapat dijumpai di zona ini. Selain itu, nipah tumbuh dengan baik di kelas penggenangan pada substrat yang keras. Gelombang dan Arus Terjadinya gelombang dan arus dipengaruhi oleh gerakan angin. Pada pantai berpasir dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap kemudian terakumulasi membentuk pantai pasir. Umumnya mangrove akan tumbuh pada lokasi yang arusnya tenang. Salinitas Salinitas dan kadar garam air merupakan faktor yang penting bagi pertumbuhan, laju daya tahan hidup, dan zonasi dari jenis-jenis mangrove. Mangrove dapat hidup dan tumbuh subur di pesisir dengan kadar salinitas antara 10-30 ppt, namun ada jenis mangrove yang dapat tumbuh pada kondisi garam yang lebih tinggi, misalnya Avicennia marina dan Excoecaria agallocha dapat tumbuh pada kondisi salinitas tinggi yaitu sekitar 85 ppt. Avicennia officinales pada salinitas tertinggi sekitar 63 ppt. Batas maksimum kadar garam untuk Ceriops spp sekitar 72 ppt, Sonneratia spp. 44 ppt, Rhizopora apiculata 65 ppt, Rhyzopora stylosa 74 ppt, Xylocarpus granatum pada kadar garam 34 ppt, Bruguiera spp pada garam 37 ppt. Berdasarkan penelitian Macnae (1968) Avicennia marina dan Lumnitzera racemosa dapat hidup pada salinitas sampai 900/00, Rhizopora dapat hidup dengan salinitas lebih dari 650/00, Avicennia germinans dapat tumbuh pada salinitas 60-800/00. Untuk melihat pola dan kemampuan adaptasi mangrove terhadap salinitas dapat dilihat pada Tabel 2.
13
Tabel 2 Hubungan faktor salinitas dengan kesesuaian jenis tanaman mangrove Tingkat salinitas (ppt) 10-30
10-30 10-30 10-30
Kelas penggenangan tergenang 1-2 kali per hari, sekurang-kurangnya 20 hari per bulan tergenang 10-19 kali per bulan tergenang sekali setiap 9 hari atau 4 kali sebulan tergenang hanya beberapa hari per tahun
0
tanah sedikit sekali terpengaruh pasang surut
0
tanah dipengaruhi oleh air tawar (air tanah) di musin hujan
Jenis Mangrove Avicennia spp. Sonneratia spp. Rhizopora spp. Bruguiera gymnorrhiza Xylocarpus spp. Heritera spp. Bruguiera spp. Seyphiphora spp. Lumnitzera spp. Jenis-jenis marginal pada lingkungan mangrove seperti Xylocarpus moluccensis, Instsia bijuga, Nypa fruticans, Ficus retusa, Glochidion Littorale Oncosperma spp. Carbera spp.
Oksigen Terlarut Keadaan oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi serta percepatan dekomposisi serasah sehingga konsentrasi oksigen terlarut berperan mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Tanah Substrat ekosistem mangrove di Indonesia umumnya terdiri atas substrat yang bertekstur halus, mempunyai tingkat kematangan yang rendah, memiliki kadar garam dan alkalinitas tinggi dan sering mengandung lapisan sulfat masam atau bahan sulfidik (cat clay). Kandungan liat dan debu umumnya tinggi, kecuali substrat mangrove di pulau karang yang banyak mengandung pasir atau pecahan batu karang. Semakin jauh dari pantai kadar garam dan alkilinitas tanah menurun dan susunan kation berubah dari Na>Mg>Ca menjadi Mg>Ca>Na dan Ca>Mg>Na. Tingginya kadar Na di daerah mangrove tidak diikuti kenaikan pH yang sebanding akibat banyaknya sumber keasaman substrat di daerah tersebut. Karena tingginya kadar garam dan dalam beberapa hal adanya lapisan cat clay di permukaan, maka substrat mangrove umumnya tidak cocok untuk pertanian atau harkat pertaniannya sangat rendah. d. Indikator Masyarakat Indikator karakteristik sosial dan ekonomi masyarakat yang perlu dievaluasi pada pengelolaan kawasan konservasi laut seperti: pendidikan, pendapatan, persepsi atau pemahaman untuk ikut berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan. Pengelolaan ekosistem hutan mangrove dengan perlibatan masyarakat merupakan suatu proses yang dinamis dan berkelanjutan yang menyatukan berbagai kepentingan (pemerintah dan masyarakat), ilmu pengetahuan dan pengelolaan, dan kepentingan sektoral dan masyarakat umum. Pengelolaan berbasis masyarakat disini adalah bahwa penggunaan dari sumberdaya yang
14
utama yaitu masyarakat dan harus menjadi aktor pengelola sumberdaya tersebut. Pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove pada dasarnya adalah upaya melibatkan masyarakat agar secara sadar dan aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan pengelolaan mangrove. Keterlibatan dapat terwujud apabila seseorang merasa bahwa keikutsertanya dapat memberikan manfaat bagi dirinya, dimana manfaat tersebut tidak hanya dalam bentuk fungsi hutan mangrove yang sifatnya dirasakan dalam jangka pendek.
Kerusakan Mangrove yang Mengarah pada Perubahan Luasan dan Kerapatan Mangrove Setiap tipe mangrove yang terbentuk berkaitan erat dengan faktor-faktor tanah, genangan pasang, salinitas, erosi, pertambahan lahan pesisir, fisiografis, kondisi sungai, dan aktivitas. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi luasan dan kerapatan areal mangrove antara lain (Annisa 2004): 1. Pengikisan air laut (abrasi), yang berkaitan dengan fungsi mangrove sebagai penahan ombak 2. Tanah timbul (sedimentasi), diartikan sebagai akumulasi tanah dan pelebaran pantai yang mempengaruhi ekosistem mangrove. Hal ini terjadi karena proses pengendapan lumpur yang terus-menerus secara hidrologi yang terbawa oleh air ke daerah hulu sungai. 3. Pasang surut, mempengaruhi penyebaran dan perkembangan mangrove di suatu daerah. Pasang surut dan kisaran vertikalnya dapat membedakan kumpulan mangrove yang dapat tumbuh pada suatu daerah dan berpengaruh dalam perbedaan tipe-tipe zonasi. Fenomena pasang surut penting pada lamanya hari ketika suatu daerah mangrove tidak tergenangi pasang surut, atau dengan kata lain dalam keadaan tanah terbuka. Tanaman dewasa dapat mentolerir tergantung pada musim, dimana air meresap melalui akar-akar tanaman. Keterbukaan yang lama dapat membentuk lapisan tanah bagian atas yang mempunyai konsentrasi garam yang tinggi dan mengakibatkan kematian mangrove dan mangrove tergeser oleh tumbuhan semak Halophyta. Proses berkurangnya lahan mangrove di beberapa propinsi bisa disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini (Kusmana 1998): 1. Konversi ekosistem mangrove menjadi bentuk lahan penggunaan lain seperti pemukiman, pertanian, industri, pertambangan dan lain-lain. 2. Kegiatan eksploitasi hutan yang tidak terkendali oleh perusahaan-perusahaan HPH serta penebangan liar dan bentuk perambahan hutan lainnya. 3. Polusi di perairan estuari, pantai, dan lokasi-lokasi perairan lainnya dimana tumbuhnya mangrove. 4. Terjadinya pembelokan aliran sungai maupun proses sedimentasi dan abrasi yang tidak terkendali.
15
3 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama bulan Maret-April 2013. Lokasi penelitian berada di ekosistem mangrove Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta (Gambar 3). Penentuan lokasi dari setiap stasiun penelitian ditentukan dengan melakukan survei awal berupa pengamatan kondisi mangrove, sumber dan buangan pencemar dan posisi geografis dari Pulau Pramuka serta pengaruh musim timur dan musim barat.
Gambar 3 Lokasi stasiun pengambilan data di sekitar perairan Pulau Pramuka kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu
16
Tabel 3 Letak stasiun pengamatan mangrove No. 1. 2. 3. 4.
Lokasi Pengamatan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
Koordinat Lintang -5,74901 -5,74553 -5,74365 -5,74239
Bujur 106,61141 106,61554 106,61609 106,61606
Secara geografis Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu terletak di Teluk Jakarta pada posisi geografis 5°24'- 5°45'LS dan 106°25'-106° 40' BT, terbentang seluas 107.489 ha (Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 6310/KptsII/2002). Terdapat 4 (empat) ekosistem utama pembentuk sistem ekologis kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, yaitu hutan pantai, padang lamun, hutan mangrove dan terumbu karang. Secara ekologis keempat ekosistem utama tersebut merupakan penyangga alami bagi daratan pulau yang memberikan sumbangan manfaat bagi manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Lokasi penelitian dilakukan pada keterwakilan tempat penanaman Mangrove di Pulau Pramuka, dimana lokasi tersebut dibagi menjadi 4 stasiun pengamatan. Stasiun pengamatan didasarkan pada tinggi, umur penanaman, ukurunan tanaman, karakteristik substrat, dan kondisi fisika perairan. Berikut adalah letak stasiun pengamatan mangrove yang diambil di Pulau Pramuka (Tabel 3).
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam pengumpulan data primer pada penelitin ini antara lain: GPS (Geographic Position System), kertas waterproof, rollmeter, transek kuadrat berskala 1 x 1 m dan 5 x 5 m, dan kamera digital. Selanjutnya alat yang digunakan untuk menghitung parameter fisika dan kimia perairan antara lain: termometer, refraktometer, pH stick, stopwatch, papan berskala, alat pengukur DO dan botol sampel (Tabel 4). Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta lokasi kawasan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu serta buku identifikasi jenis mangrove.
Jenis dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai institusi terkait dan penelusuran berbagai pustaka yang ada. Data primer dikumpulkan dari kegiatan observasi, wawancara, diskusi, dan pengukuran di lapang. Kedua jenis data ini meliputi data biofisik dan data sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Data biofisik meliputi kondisi mangrove (sintasan, perumbuhan dan tutupan relatif) dan kualitas lingkungan. Pengambilan data mangrove menggunakan transek plot 1 x 1 m dan 5 x 5 m, serta didukung dengan analisis GIS. Sedangkan untuk data kualitas lingkungan diambil secara insitu dan exsitu (analisis laboratorium) yang meliputi kondisi suhu, salinitas, kecepatan arus, pH, TSS, Nitrat, fosfat, kalium, BOD dan lain-lain (Lampiran 1).
17
Tabel 4 Parameter fisika dan kimia perairan No. 1.
Parameter Posisi stasiun
Alat
2.
Kertas waterproof, rollmeter, transek kuadrat berskala 1x1 m, mangrove boot
3.
Kerapatan dan penutupan mangrove Kedalaman
4.
Suhu
Termometer
5.
Salinitas
Refraktometer
6.
pH
pHmeter
7.
DO meter
8.
Dissolved oxygen (DO) TSS
9.
Kecepatan arus
Botol sampel, kertas saring, labu erlenmeyer, gelas ukur, pinset, oven, desikator, timbangan digital, vacuum pump, akuades Current meter
10.
Substrat
Plastik, sekop
GPS
Tongkat berskala
Metode Pengamatan langsung Pengamatan langsung Pengamatan langsung Pengamatan langsung Pengamatan langsung Pengamatan langsung Pengamatan langsung Pengamatan di laboratorium
Pengamatan langsung Pengamatan di laboratorium
Data sosial ekonomi meliputi jumlah penduduk, mata pencaharian, pendidikan, persepsi, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove, kecenderungan masyarakat memanfaatkan ekosistem mangrove dan sebagainya, serta keinginan masyarakat dalam menindaklanjuti kegiatan rehabilitasi mangrove. Data kelembagaan meliputi lembaga-lembaga yang ada di tingkat desa (formal dan non formal), kapasitas lembaga (dilihat dari kemampuan menjabarkan program), program yang dibuat oleh lembaga yang ada dan sebagainya. Peraturan dan perundangan meliputi seluruh peraturan dan perundangan baik pada level desa, kecamatan, kabupaten maupun provinsi, baik secara langsung maupun tidak langsung mendukung kegiatan rehabilitasi mengrove (Lampiran 1). Pengumpulan data primer sosial ekonomi budaya dilakukan melalui wawancara mendalam dan kuesioner. Masyarakat yang menjadi responden adalah mereka yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan mangrove dengan metode pengambilan contoh accidental sampling dan snowball sampling. Responden tersebut berasal dari kelompok nelayan, kelompok non nelayan, anggota lembaga swadaya masyarakat, pegawai pemerintah, dan pagawai TNKpS. Jumlah responden kuesioner yang didapatkan dalam penelitian sebanyak 15 orang yang mewakili masing-masing kategori di atas.
18
Analisis Data Struktur komunitas Mangrove Struktur komunitas mangrove yang dihitung untuk mengetahui kondisi mangrove rehabilitasi meliputi variabel penutupan mangrove, pertumbuhan mangrove dan sintasan mangrove. Analisis variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut: a. Penutupan (Ci) mangrove adalah luas penutupan jenis i dalam suatu unit area. Penutupan dihitung menggunakan persaman berikut (Bengen 2000c): 𝑎𝑖 𝐶𝑖 = 𝐴 Keterangan: Ci = Luas area yang tertutupi spesies ke-i ai = Luas total penutupan spesies ke-i A = Luas total pengambilan contoh b. Pertumbuhan tinggi mangrove (X) bertujuan untuk menghitung penambahan tinggi mangrove dalam jangka waktu tertentu. Pertumbuhan mangrove dihitung menggunakan persamaan berikut (modifikasi dari Zhu et al. 2002): 𝑇𝑎 − 𝑇𝑏 𝑋= 𝑡 Keterangan: X = laju pertumbuhan (cm/th) Ta = Tinggi awal mangrove ketika awal penanaman Tb = Tinggi mangrove pada waktu ke-t (waktu pengamatan/penelitian) t = Lama masa penanaman (selang waktu ke-t dengan waktu penanaman) c. Sintasan (S) bertujuan untuk mengetahui berapa persen jumlah mangrove yang tumbuh dibandingkan dengan jumlah mangrove ketika ditanam. Sintasan dihitung menggunakan persamaan berikut (Effendi 1978): 𝑁𝑡 𝑆= × 100% 𝑁𝑜 Keterangan: S = Tingkat sintasan (%) Nt = Jumlah mangrove pada waktu ke-t (waktu pengamatan/penelitian) No = Jumlah mangrove ketika awal penanaman
Analisis Lingkungan Ekosistem Rehabilitasi Mangrove Analisis lingkungan ekosistem rehabilitasi mangrove digambarkan menggunakan analisis secara statistik. Alat uji yang digunakan adalah principal component analysis (PCA) atau analisis komponen utama yang bertujuan untuk mengetahui efektifitas faktor lingkungan terhadap ekosistem mangrove dan variabel-variabel apa saja yang diduga menentukan efektifitas rehabilitasi ekosistem mangrove. PCA merupakan metode statistik deskriptif yang bertujuan untuk menampilkan data dalam bentuk grafik dan informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data yang dimaksud terdiri dari variable sebagai
19
kolom dan observasi/responden sebagai baris. Analisis ini juga digunakan mereduksi gugus variable yang berukuran besar dan saling berkorelasi (Bengen 2000c). Pada prinsipnya PCA menggunakan jarak Euclidean (jumlah kuadrat perbedaan antara individu/baris dan variable/kolom yang berkoresponden) pada data. Dimana semakin kecil jarak Euclidean antara variable, maka semakin mirip karakteristiknya. Demikian pula sebaliknya semakin besar jarak Euclidean antara variabel, maka semakin berbeda karakteristiknya/keterdekatannya. Tujuan analisis ini adalah: 1. Untuk mengekstraksi informasi apa yang terdapat dalam matriks data yang berukuran besar. 2. Untuk menghasilkan suatu representasi grafik yang memudahkan interpretasi. 3. Mempelajari suatu matriks data dari sudut pandang kemiripan hubungan antar variabel. Selain itu, untuk mendukung pembuktian hasil dari PCA dilakukan juga cluster analysis (CA) atau analisis kelompok untuk mengetahui lokasi mana saja yang relatif sama dan lebih efektif dalam upaya rehabilitasi ekosistem mangrove. Pengolahan data PCA dan CA menggunakan program Microsoft Office Exel.
Analisis Efektifitas Rehabilitasi Pengelolaan (rehabilitasi) adalah sebuah proses yang berlanjut, interaktif, adaptif dan partisipatif yang terdiri dari sebuah set tugas yang saling terkait satu sama lain dan harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Adrianto 2007). Dalam konteks ini, proses perencanaan harus dimonitor agar sistem yang sudah direncanakan dapat berjalan sesuai dengan rencana, dan harus dievaluasi dalam konteks bahwa perlu proses pembelajaran dari kesuksesan maupun kegagalan dari sistem yang sudah ditetapkan. Untuk itu, evaluasi dalam pengelolaan rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka perlu dilakukan untuk mengetahui apakah pengelolaan tersebut dapat memberikan hasil positif atau tidak. Tingkat keberhasilan pengelolaan rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka didapatkan dengan menganalisis beberapa indikator dengan menggunakan indeks efektifitas dan teknik perbandingan antar parameter efektifitas berdasarkan nilai skoring. Indikator-indikator yang dianalisis didasarkan pada beberapa indikator biologi yang meliputi sintasan, pertumbuhan dan tutupan relatif, dan indikator sosial partisipasi masyarakat dan persepsi masyarakat. Indikator-indikator ini dipilih berdasarkan tujuan rehabilitasi yang dilakukan. Dapat tumbuh dan berkembangnya mangrove merupakan tujuan utama dari rehabilitasi dan tujuan ikutannya adalah meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap mangrove dan meningkatnya tingkat partisipasi masyarakat terhadap rehabilitasi. Tingkatan tersebut disusun dari 1 hingga 3 dan ditetapkan tingkat efektifitasnya menggunakan kelas persentase 0-100% yang menunjukkan tingkatan tidak efektif (TE), efektif (E) dan sangat efektif (SE). Pembobotan masing-masing indikator ditetapkan berdasarkan tingkat kepentingan dan keterkaitan dengan tujuan dari rehabilitasi mangrove yang dilakukan (Tabel 5).
20
Tabel 5 Matriks tingkat efektifitas rehabilitasi mangrove Pulau Pramuka No.
Parameter
Bobot
1
Skor 2
1. Sintasan (%) 3 ≤ 33,33 > 33,33 - < 66,67 1 2. Pertumbuhan (cm/th) 3 ≤ 14,17 > 14,17 - < 28,33 3. Tutupan Relatif (%)2 2 ≤ 50 > 50 - < 70 4. Partisipasi Masyarakat (%) 2 ≤ 33,33 > 33,33 - < 66,67 5 Persepsi Masyarakat (%) 1 ≤ 33,33 > 33,33 - < 66,67 Keterangan: 1 = berdasarkan kondisi pertumbuhan mangrove di Pulau Pramuka 2 = mengacu pada Kepmen LH No. 201 Th. 2004 tentang Kriteria Baku dan Penentuan Kerusakan Mangrove (Lampiran 11) Nilai maksimal indeks = 33 Tingkat Efektifitas Rehabilitasi: <50 = Tidak Efektif (TE) 50-75 = Efektif (E) > 75 = Sangat Efektif (SE)
3 ≥ 66,67 ≥ 42,50 ≥ 70 ≥ 66,67 ≥ 66,67
Pedoman
Tingkat efektifitas rehabilitasi mangrove pada penelitian ini dianalisis menggunakan rumus berikut (Carter et al. 2011): 𝑛
𝑁𝑖 𝑇𝐸𝑅 = ∑ ( ) × 100% 𝑁𝑚𝑎𝑘𝑠 𝑖=1
Keterangan: TER = Tingkat Efektifitas Rehabilitasi Ni = Nilai indeks Nmaks = Nilai maksimal
21
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penilitian Keadaan Umum Loksi Penelitian Secara administratif Pulau Pramuka merupakan salah satu pulau yang berada di Kepulauan Seribu dan termasuk ke dalam Wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Pulau Pramuka merupakan Pusat Pemerintahan dari Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, selain itu Pulau Pramuka termasuk kedalam Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS). Secara geografis Pulau Pramuka berada pada posisi 05o44’19’’LS - 05o45’05’’ dan 106o36’35” BT106o37’07” BT. Batas-batas wilayah Pulau Pramuka adalah: - Sebelah utara : Wilayah Perairan Kelurahan Pulau Kelapa. - Sebelah selatan : Wilayah Perairan Kelurahan Pulau Untung Jawa. - Sebelah barat : Pulau Panggang. - Sebelah timur : Wilayah Perairan Propinsi Jawa Barat. Pulau Pramuka tergolong pulau dataran rendah dengan ketinggian 1-2 m dpl. Pulau dengan luas sekitar 30,08 ha memiliki kepadatan penduduk mencapai 80 orang/ha yang terdiri dari 1.625 jiwa dengan 457 KK. Sekitar 85% penduduk Pulau Pramuka berprofesi sebagai nelayan, selebihnya sebagai PNS. Penduduk Pulau Pramuka merupakan pendatang dari Jawa Barat, Jakarta, Sumatera dan Makasar, sehingga penduduk di Pulau Pramuka bersifat multikultural. Akhir-akhir ini, Pulau Pramuka ramai dikunjungi wisatawan yang tertarik pada keindahan ekosistem laut yang ada di kawasan Pulau Pramuka, dimana Pulau Pramuka memiliki ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang yang dapat dinikmati melalui kegiatan tracking, snorkeling dan diving. Selain itu, terdapat juga tempat penangkaran penyu sisik sebagai objek wisata yang dapat dikunjungi.
Rehabilitasi Mangrove di Pulau Pramuka 1
Sejarah Rehabilitasi Mangrove di Pulau Pramuka Rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka dilakukan berdasarkan permasalahan lingkungan, khususnya adalah abrasi pantai. Hal ini menjadi perhatian penting mengingat Pulau Pramuka masuk dalam kategori pulau sangat kecil. Melihat permasalahan tersebut, muncullah upaya rehabilitasi mangrove di Kepulauan Seribu. Pantai Pulau Pramuka pada dasarnya bukan merupakan ekosistem mangrove. Hanya terdapat dua pohon mangrove yang sejak lama ada dengan ukuran yang dianggap tetap dan selama ini dijadikan navigasi untuk masyarakat sekitar pulau. Di Kepulauan Seribu, yang memang menjadi habitat mangrove adalah Pulau Penjaliran Barat, Penjaliran Timur dan Puteri Barat. Berdasarkan catatan pihak TNKpS, kegiatan penanaman mangrove di beberapa pulau di Kepulauan Seribu khususnya Pulau Pramuka telah dilakukan
22
sejak tahun 1973. Sejak penanaman mangrove dimulai di Kepulauan Seribu dapat dikatakan bahwa hasil dari kegiatan tersebut gagal. Hal ini dikarenakan pola penanaman mangrove di pulau-pulau kecil mengikuti metode penanaman yang dilakukan seperti di pulau-pulau besar. Sebagaimana diketahui bahwa pulau-pulau kecil memiliki karakteristik yang berbeda dengan pulau-pulau besar. Kondisi pulau-pulau kecil yang memiliki substrat pasir, tidak berlumpur, miskin nutrien dan adanya pengaruh arus laut yang kuat menyebabkan penanaman mangrove di pulau-pulau kecil gagal. Berbeda dengan pulau besar, dimana substratnya berlumpur, kaya nutrien dan tidak ada pengaruh arus laut yang besar menyebabkan mangrove dapat tumbuh baik. Berdasarkan fakta tersebut maka pihak Taman Nasional Kepulauan Seribu pada tahun 2002 mulai mencoba untuk mencari metode penanaman mangrove yang sesuai di Kawasan Kepulauan Seribu (Tabel 6). Pada tahun 2002-2004, rehabilitasi masih dianggap tidak efektif, bahkan bisa dikatakan gagal. Di tahun 2004, secara tidak sengaja mangrove dicoba ditanam bersamaan polybag yang digunakan, dan hasilnya mangrove dapat tumbuh baik. Bahkan berdasarkan informasi yang ada, cadangan bibit yang menumpuk dipantai sebagai bibit sulam dapat tumbuh tumbuh dengan baik melebihi yang mangrove yang sengaja ditanam. Kejadian ini yang menginspirasi metode dan teknik penanaman mangrove menggantikan metode yang sebelumnya gagal. Begitu juga dengan jenis mangrove yang digunakan. Jenis mangrove yang mampu bertahan hidup adalah jenis Rhizophora stylosa, sedangkan jenis yang lain seperti Rhizophora mucronata, Bruguiera sp. dan lain-lain pertumbuhannya tidak optimal dan banyak yang mati. Sehingga sampai saat ini, upaya rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka menggunakan bibit dari jenis R. stylosa. Adapun metode tanam yang pernah dicoba adalah menggunakan bambu dan ajir dengan jarak tanam 1 x 1 m, tetapi semuanya gagal. Kegagalan umumnya karena hilang dihempas gelombang dan diseret arus. Hingga akhirnya, penanaman mangrove dilakukan dengan metode penanaman mangrove rumpun berjarak, yang dianggap membuat mangrove lebih kokoh dan dapat mentrap sedimen dan hara. Jarak antar rumpun dalam metode rumpun berjarak yang digunakan adalah 1 m per rumpun. Satu rumpun berisi 600 batang dengan panjang 5 m dan lebar 3 m. Ada beberapa tahapan dalam proses penanaman. Pertama, memilih persemaian mangrove, mencari bibit yang sehat berdaun dua sampai enam. Kedua, tahap pra kondisi, yaitu dengan menyiram bibit mangrove dengan kadar garam antara 30 dan 35 ppm (atau air laut setempat) selama 7-10 hari, karena selama masa persemaian mangrove disiram dengan air tawar. Tahap ketiga adalah penanaman, dimana mangrove ditanam dengan metode rumpun berjarak dengan kedalaman galian antara 20-25 cm. Tahap yang terakhir adalah kegiatan pengawasan yang dilakukan secara intensif selama 3-6 bulan. Pengawasan difokuskan pada pagar pengaman bibit dan bibit mangrove yang ditanam sampai akarnya mencengkram atau dianggap sudah kuat. Jika mangrove tercabut maka akan ditanami lagi. Selain itu kegiatan pengawasan juga dilakukan dengan memberi tanda agar nelayan tidak menebar jaring di sekitar mangrove. Pemagaran dibuat di luar lokasi penanaman mangrove dengan besi behel berjarak 4 m, dan setiap meternya disisipkan bambu rangkap lalu diberi jejaring. Jaring berfungsi untuk menahan sampah agar tidak masuk ke lokasi penanaman Mangrove. Setelah empat tahun, tinggi mangrove dapat mencapai ratarata 3 m dengan tinggi maksimal 4-5 m.
23
Tabel 6 Sejarah rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka 2002
Jumlah Bibit -
Luas Area (Ha equivalence*) -
2003
-
2003
Tahun
Pelaksana
Metode dan Teknik Penanaman
Asumsi Keberhasilan
Swadaya Masyarakat
Jarak tanam 10 x 10 cm
Gagal
-
BTNKpS
Kurang efektif/gagal
-
-
2004
-
-
2004
-
-
2005
310.200
94,0
BTNKpS dan Dinas/Pemda BTNKpS dan Dinas/Pemda BTNKpS dan Dinas/Pemda BTNKpS (Gerhan)
Metode bambu, bibit ditanam bambu ukuran 10 cm sebagai ajir atau pelindung; jarak tanam 2 x 1 m Metode ajir, yang diikat agar tidak rusak atau hilang terbawa arus dan gelombang laut; jarak tanam 1 x 1 m Metode ajir, yang diikat agar tidak rusak atau hilang terbawa arus dan gelombang laut; jarak tanam 1 x 1 m Penanaman beserta polybag
Efektif
2007
455.000
91,0
BTNKpS (Gerhan)
2008
50.000
10,0
PKSPL IPB
2008
12.000
2,4
KLH
2010
1.000
0,2
Toyota Sort Club
Rumpun Berjarak 2 x 1 m dengan jarak antar rumpun 1 m; jarak tanam 10 x 10 cm Rumpun Berjarak 2 x 1 m dengan jarak antar rumpun 1 m; jarak tanam 10 x 10 cm Rumpun Berjarak 2 x 1 m dengan jarak antar rumpun 1 m; jarak tanam 10 x 10 cm Rumpun Berjarak 2 x 1 m dengan jarak antar rumpun 1 m; jarak tanam 10 x 10 cm Rumpun Berjarak 2 x 1 m dengan jarak antar rumpun 1 m; jarak tanam 10 x 10 cm
Kurang efektif/gagal Kurang efektif/gagal Persentase tumbuh bagus
Efektif Efektif Efektif Efektif
Sumber: Laporan TNKpS (2009) dan wawancara (2013) Keterangan: * = equivalence adalah luas yang didasarkan pada jumlah pohon ideal untuk luasan tanam per hektar, artinya luasan per hektar dihitung berdasarkan jumlah pohon yang ditanam
23
24
Gambar 4 Metode penanaman mangrove dengan metode ajir yang dilakukan pada tahun 2003-2004 (Sumber: TNKpS 2009)
Gambar 5 Penanaman mangrove pada bulan September 2005 yang dilakukan dengan menancapkan propagul bakau pada lubang tanam di lokasi penanaman dengan sistem rumpun berjarak (Sumber: TNKpS 2009)
Gambar 6
Hasil penanaman program GERHAN tahun 2005/2006 (Sumber: TNKpS 2009)
25
Gambar 7 Hasil penanaman mangrove tahun 2007 (Sumber: TNKpS 2009) 2
Permasalahan Rehabilitasi Mangrove di Pulau Pramuka Rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka dianggap gagal karena masalah lingkungan dan gangguan eksternal, seperti substrat yang berpasir, ombak besar, sampah, alga dan lain-lain utamanya sampah kayu besar. Sampah kayu besar yang datang nyaris membuat mangrove menjadi patah dan tercabut dari substrat. Tabel 7 Beberapa permasalah dan tindak lanjut yang dilakukan No. 1.
Permasalahan Lokasi Penanaman bersubstrat pasir dan batu karang
Tindak Lanjut Membentuk ekosistem mangrove yang ideal dan rehabilitasi dilakukan menggunakan sistem rumpun berjarak agar membentuk ikatan yang kuat terhadap substrat dari hempasan ombak dan gelombang serta meningkatkan trap nutrient dan sedimen baik dari darat dan laut 2. Waktu penanaman (musim) yang Waktu yang cukup baik musim pancaroba kurang tepat terjadi antara bulan April-Mei 3. Kapasitas suplai bibit yang Mendatangkan dari daratan utama seperti kurang Subang, Indramayu dan lain-lain yang sudah direhabilitasi di Pulau Pramuka 4. Adanya ombak yang besar Pembuatan dan pemeliharaan pemecah gelombang di depan area penanaman mangrove 5. Gangguan sampah dan alga yang Membuat jaring sampah dan melakukan menutupi tanaman mangrove perawatan dengan pembersihan secara langsung 6. Adanya batang kayu Membuat jaring dan melakukan pengawasan gelondongan yang dibawa dengan membentuk tim pemeliharaan ombak yang merusak tanaman mangrove Sumber: TNKpS (2009) dan wawancara (2013)
Kondisi Lingkungan Perairan di Lokasi Penanaman Mangrove Perairan di Kawasan Pulau Pramuka merupakan perairan dangkal dengan kedalaman pada kawasan rataan terumbu bervariasi antara 1-5 m, sedangkan
26
kedalaman di luar rataan terumbu bervariasi antara 20-40 m. Rataan terumbu membentang di sekeliling pulau sampai dengan jarak 500 m dari garis pantai. Kondisi perairan di Pulau Pramuka dipengaruhi oleh 3 musim yaitu musim barat, musim timur dan musim peralihan. Musim barat berlangsung dari bulan Desember hingga Maret dimana angin berhembus dari barat ke timur. Musim timur berlangsung selama bulan Juni hingga September dimana angin berhembus dari timur ke barat. Musim peralihan berlangsung antara bulan Maret sampai Mei dan antara bulan September sampai Desember. Berdasarkan hasil pengukuran kualitas perairan, kondisi perairan di Pulau Pramuka relatif baik. Ini ditunjukkan dengan nilai rata dari parameter yang diukur masih di bawah baku mutu air laut untuk biota laut, diantaranya suhu, kecepatan arus, padatan tersuspensi, pH, salinitas, oksigen terlarut dan BOD, sedangkan untuk fosfat dan nitrat secara nilai rata-rata sudah melebihi baku mutu (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa perairan di Pulau Pramuka subur. Kesuburan perairan ini diperkirakan karena banyaknya limbah penduduk yang masuk ke perairan, dimana semakin meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan yang datang ke Pulau Pramuka. Tabel 8 Nilai parameter fisika-kimia di perairan Pulau Pramuka No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Parameter Parameter Fisika Suhu Kecepatan Arus Padatan Tersuspensi (TSS) Parameter Kimia Derajat Keasaman (pH) Salinitas Oksigen Terlarut (DO) Nitrat (NO3-N) OrtoFosfat (PO4-P) Kalium (K) BOD5
Satuan
St.3
St.4
Ratarata
St.1
St.2
o C m/s mg/l
32,8 0,25 10
31,7 0,15 16
35 0,1 4
34 0,3 10
33,375 0,2 10
psu mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
8,2 25 7,6 0,089 0,004 0,698 3,50
7,7 26 9,4 0,101 0,283 0,365 4,60
7,54 27 7,8 0,156 0,012 0,557 2,10
7,61 28 8,7 0,039 <0,002 0,272 2,00
7,7625 26,5 8,375 0,09625 0,07525 0,473 3,05
Baku Mutu* alami 80 7-8,5 s/d 34‰ >5 0,008 0,015 20
Sumber: Hasil analisis (2013) Keterangan: * = berdasarkan Kepmen LH No. 51 Th. 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut (Lampiran 10)
1 Suhu Suhu merupakan faktor yang penting bagi aktivitas metabolisme dan proses fisiologi pada tumbuhan seperti fotosintesis dan respirasi. Suhu dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan air laut, waktu penyinaran, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran dalam suatu perairan (Effendi 2003). Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Perubahan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti oksigen, karbon dioksida, nitrogen dan metana (Haslam 1995). Mangrove dapat tumbuh subur dan cocok bagi produksi daun pada kondisi daerah tropis dengan suhu diatas 20 °C (Kennnis 1990 in Kusmana 1997; Aksornkoae 1993). Hutching dan Seanger (1987) mengatakan Avicenia marina di Australia memproduksi daun yang baru pada suhu 18-20 °C. Untuk jenis lain seperti Rhizophora stylosa, Ceriops spp., Exocoecaria agallocha dan Lumnitzera spp laju
27
produksi daun tertinggi pada suhu 26-28 °C. Suhu optimum Brugiera spp. sebesar 27 °C sedangkan Xylocarpus spp. pada suhu 21-26 °C, kecuali untuk Xylocarpus granatum sebesar 28 °C. Kenaikan suhu dapat meningkatkan laju metabolisme pada organisme (Affandi dan Tang 2002). Berdasarkan hasil pengukuran, nilai suhu di perairan Pulau Pramuka di sekitar area mangrove berkisar antara 31,7-35 °C dengan nilai rata-rata 33,75 °C (Tabel 8). Nilai suhu tersebut untuk air laut masih terbilang dalam kondisi yang alami, sehingga masih baik untuk kehidupan biota laut dalam hal ini mangrove, sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi suhu di perairan Pulau Pramuka sesuai untuk mangrove, meskipun tidak pada kondisi yang optimum terutama untuk pembentukan daun karena suhunya terlalu panas. Saenger (2002) menambahkan bahwa laju respirasi dan fotosintesis memiliki dampak yang sangat signifikan dengan laju terendah pada suhu 17 °C dan tertingggi pada suhu 25 °C. Suhu tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 35 °C sedangkan suhu terendah pada stasiun 2 sebesar 31,7 °C. Suhu pada stasiun 2 lebih rendah dibandingkan ke tiga stasiun lainya karena pada satsiun 2 penutupan mangrove lebih lebat dibandingkan ke tiga stasiun lainnya sehingga cahaya matahari terhalang oleh kanopi mangrove. Selain faktor keberadaan kanopi, tingginya suhu di Pulau Pramuka dipengaruhi oleh letak geografis, karakteristik ukuran pulau dan aliran air laut. 2
Kecepatan Arus Arus merupakan gerakan masa air laut dari suatu tempat ketempat lain secara horizontal maupun vertikal menuju kesetimbangan (Pickard dan Pond 1983). Faktor yang mempengaruhi arus antara lain adalah gravitasi, angin, perbedaan tekanan udara, bentuk topografi dan pulau-pulau yang ada di sekitarnya (Gross 1990). Kecepatan arus mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup mangrove yang ditanam. Berdasarkan hasil pengukuran, kecepatan arus di perairan Pulau Pramuka berkisar antara 0,1-0,3 m/s dengan nilai rata-rata 0,2 m/s (Tabel 8). Untuk proses sedimentasi dan pengendapan nutrien, nilai kecepatan arus tersebut kurang baik, karena masih tergolong cukup kuat sehingga mampu mengangkut partikel-partikel tersuspensi. Selain itu, kecepatan arus tersebut juga mampu membongkar mangrove yang ditanam dari sedimen sehingga mangrove menjadi hanyut dan mati. Nilai kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun 4 sebesar 0,3 m/s, sedangkan kecepatan arus terendah pada stasiun 3 sebesar 0,1 m/s. Nilai kecepatan arus pada stasiun 4 lebih tinggi dibandingkan ketiga stasiun lainnya karena pada stasiun 4 lokasi mangrove berhadapan langsung dengan laut tanpa ada pulau yang menghalangi sehingga kecepatan arus lebih tinggi dibandingkan ketiga stasiun lainnya. 3
Total Suspended Solid (TSS) Total suspended solid (TSS) merupakan bahan tersuspensi dan tidak larut dalam air yang tertahan pada saringan milipore 0,45 µm (Effendi 2003). Umumnya partikel TSS di laut adalah dari proses pelapukan batuan yang ditranspor melaui sungai dan udara dan yang berasal dari dalam laut itu sendiri (Sanusi 2006). Sebagian besar TSS di laut yang bersumber dari laut merupakan produsen primer seperti fitoplankton, mikroalga dan bakteri chemoautotrophic dengan
28
produsen primer utama adalah kelompok nanoplankton (diameter 2-20 µm) dan picoplanton 0,2-2 µm). Dalam kolom air, TSS memiliki sifat adsorpsi pada lapisan permukaan melalui interaksi dengan gugus fungsional anorganik. Proses adsorpsi tersebut akan mengurangi kadar senyawa kimia terlarut dalam kolom air dan meningkatkan kadarnya dalam sedimen, semakin halus ukuran TSS semakin lama partikel tersebut dalam kolom air (Sanusi 2006). Nilai TSS yang didapat pada penelitian ini berkisar antara 4-16 mg/l dengan nilai rata-rata 10 mg/l (Tabel 8). Nilai TSS tersebut masih berada di bawah baku mutu air laut. Untuk nilai TSS tertinggi terdapat pada stasiun 2, sedangkan nilai TSS terendah terdapat pada stasiun 3. Kondisi ini diperkirakan karena pada stasiun 2 bahan organik yang menjadi sumber nilai TSS lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Sumber bahan organik berasal mangrove yang lebat dan sudah mencapai ukuran pohon pada stasiun 2. Nilai TSS pada stasiun 1, stasiun 3 dan stasiun 4 lebih rendah karena pada ketiga stasiun ini ukuran mangrove baru mencapai tahap semai dan anakan sehingga bahan organik yang diproduksi dari ketiga stasiun ini lebih sedikit dibandingkan stasiun 2. Hal ini mengakibatkan nilai TSS pada katiga stasiun ini lebih rendah dibandingkan stasiun 2. 4 Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) adalah jumlah ion hidrogen dalam air dengan suasana molar (Sanusi 2006). pH merupakan faktor yang berperan penting sebagai penentu dalam pertumbuhan dan perkembangan mangrove. Kondisi pH juga mempengaruhi komposisi mangrove. Salah satu faktor yang mempengaruhi nilai pH adalah ion karbonat (Effendi 2003). Nilai pH suatu perairan mencerminkan keseimbangan antara asam dan basa dalam air. Macjereth et al. (1989) mengatakan bahwa nilai pH berkaitan dengan karbondioksida dan alkalinitas. Semakin tinggi nilai pH maka semkain tinggi nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbon dioksida bebas. Nilai pH suatu perairan dipengaruhi oleh aktifitas fotosintesis, suhu, kandungan oksigen dan adanya kation serta anion dalam perairan (Aksornkoae 1993). Nilai kisaran pH air laut antara 6,0-8,5. Menurut Banarjea (1971) in Widianingsih (1991), nilai pH dapat mengindikasikan tingkat kesuburan perairan (Tabel 9). Berdasarkan hasil pengukuran, pH perairan di area mangrove Pulau Pramuka berkisar antara 7,54-8,20 dengan nilai rata-rata 7,76 (Tabel 8). Jika dibandingkan dengan baku mutu air laut maka nilai pH tersebut masih berada pada kisaran nilai baku mutu, yaitu antara 7-8,5. Artinya masih sesuai untuk kehidupan biota laut (Tabel 8) dan tergolong sangat produktif (Tabel 9). Tabel 9 Tingkat kesuburan perairan nilai pH No. Nilai pH Tingkat Kesuburan 1. 5,5-6,5 Tidak Produktif 2. 6,5-7,5 Produktif 3. 7,5-8,5 Sangat Produktif Sumber: Banarjea (1971) in Widianingsih (1991)
29
Nilai pH tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 8,2 sedangkan terendah pada stasiun 3 sebesar 7,54. Nilai pH pada stasiun 1 lebih tinggi dibandingakan ketiga stasiun lainnya karena pada stasiun 1 memiliki substrat berupa pecahan karang sehingga mampu menyumbangkan ion karbonat lebih banyak dibandingkan ketiga stasiun lainnya. Jika melihat pada Tabel 9, meskipun nilai pH untuk semua stasiun pengamatan di perairan Pulau Pramuka berada pada kisaran sangat produktif, tetapi hal ini sangat berbeda untuk ekosistem mangrove yang hidupnya tumbuh pada substrat. Aksornkoae (1993) mengatakan bahwa komunitas Rhizophora sp. dan Avicenia sp. dapat tumbuh optimal pada nilai pH antara 6,2-6,2 ketika dalam kondisi air pasang tetapi pada kondisi aerobic dan kering pada kisaran nilai pH 4,65,7. 5
Salinitas Salinitas didefinisikan sebagai jumlah garam yang terlarut dalam satu kilogram air laut dimana semua karbonat diubah menjadi oksida, bromida dan iodide diganti menjadi klorida dan bahan organik yang telah dioksidasi sempurna. Salinitas merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat menentukan perkembangan, pertumbuhan dan komposisi mangrove. Nilai salinitas normal untuk daerah pantai sekitar 28-32 psu (Praseno dan Kastoro 1980), sedangkan untuk kehidupan mangrove salinitas berkisar antara 25-32 psu (Tupan 2000) dan hidup pada kondisi optimum di estuari dengan kisaran salinitas 10-30 ppt (De Haan 1931 in Aksornkoae 1993). Sifat vegetasi mangrove yang saling berbeda disebabkan oleh adanya toleransi dari tiap jenis spesies mangrove. Umumnya mangrove Avicenia sp. merupakan jenis yang memiliki kemampuan toleransi terhadap kisaran salinitas yang tinggi dibandingkan yang lainnya. Avicenia marina mampu tumbuh dengan baik mulai dari salinitas yang mendekati tawar sampai salinitas 40 ppt (Macnae 1968). Untuk Aegiceras corniculatum mampu hidup pada kisaran salinitas 20-40 ppt, Rhizophora mucronata dan R. stylosa mampu hidup hingga salinitas 55 ppt, Ceriops tagal mampu hidup pada toleransi salinitas 60 ppt dan Lumnitzera racemosa mampu hidup hingga salinitas 60 ppt. Nilai salinitas pada perairan mangrove dapat berubah setiap saat. Nilai salinitas lebih tinggi pada siang hari dibandingkan pagi dan malam hari. Saat musim kemarau salinitas lebih tinggi dibandingkan musim penghujan, hal ini disebabkan banyaknya curah hujan yang mampu mengurangi nilai salinitas pada ekosistem mangrove. Fluktuasi nilai salinitas juga dipengaruhi oleh pasut. Pada waktu air pasang nilai salinitas cenderung naik karena masukan air laut akan lebih banyak dibandingkan pada air surut. Berdasarkan hasil pengukuran, salinitas perairan di area mangrove Pulau Pramuka berkisar antara 25-28 psu dengan nilai rata-rata 26,5 (Tabel 8). Nilai salinitas tersebut masih dibawah baku mutu air laut atau masih berada dibawah ratarata ekosistem pantai dan berada pada kondisi yang optimum, sehingga nilai kisaran salinitas dari keempat stasiun masih memungkinkan untuk mangrove hidup dan berkembang dengan baik. Untuk salinitas tertinggi terdapat pada stasiun 4 sebesar 28 psu, sedangkan salinitas terendah pada stasiun 1 sebesar 25 psu.
30
6 Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut / Disolve Oxigen (DO) merupakan jumlah oksigen yang terlarut dalam air. Nilai oksigen terlarut pada perairan laut dalam keadaan normal 4,5-9 mg/l (Effendi 2003; Sanusi 2006). Kadar oksigen yang terlarut di perairan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, turbulensi, dan tekanan atmosfer. Semakin tinggi suhu dan ketinggian semakin rendah kadar oksigen terlarut dalam suatu perairan (Jeffries dan Mills 1996; Effendi 2003). Kadar DO berfluktuasi secara harian, musiman, pencampuran, pergerakan masa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah yang masuk ke perairan. Pada siang hari, ketika matahari bersinar terang proses fotosintesis organisme autotrof berlangsung intensif lebih besar dibandingkan oksigen yang dikonsumsi untuk respirasi sehingga kadar oksigen tinggi, sedangkan pada malam hari fotosintesis terhenti namun proses respirasi terus berlangsung sehingga kadar oksigen sangat rendah (Jeffries dan Mills 1996). Menurut Aksornkoae (1978) in Kusmana et al. (2005), mendapatkan konsentrasi oksigen terlarut di ekosistem mangrove 1,7-3,4 mg/l, lebih rendah dibanding di luar ekosistem mangrove sebesar 4,4 mg/l. Berdasarkan hasil pengukuran, nilai DO di perairan area mangrove Pulau Pramuka berkisar antara 7,6-9,4 mg/l dengan nilai rata-rata 8,37. Nilai DO tersebut menunjukkan kondisi perairan yang baik karena lebih tinggi dari nilai baku mutu, yaitu lebih besar dari 5. DO tertinggi pada stasiun 2 sebesar 9,4 mg/l sedangkan terendah pada stasiun 1 sebesar 7,6 mg/l. Nilai DO pada stasiun 2 lebih tinggi dibandingkan ketiga stasiun lainnya karena suhu pada stasiun 2 lebih rendah sehingga kelarutan oksigen lebih tinggi dibandingkan ke tiga stasiun lainnya. Suwondo et al. (2006) menambahkan bahwa organisme di pantai dapat hidup minimal dengan kondisi DO 4 ppm, tergantung dari ketahanan organisme, keaktifan, kehadiran bahan pencemar, dan suhu air. 7 Nitrat Nitrat merupakan bentuk nitrogen dan merupakan nutrien utama bagi organisme autotroph (Effendi 2003). Umumnya sumber nitrogen di laut berasal dari difusi atmosfer melalui permukaan air, fiksasi, degradasi bahan organik (Sanusi 2006). Nitrat bersifat mudah larut dan stabil dalam air. Senyawa ini dihasilkan dari proses nitrifikasi senyawa nitrit dan ammonia. Nitrat digunakan oleh tumbuhan sebagai sumber nitrogen untuk membentuk protein dan klorofil. Menurut Vollenwider (1969) in Gunawati (1984), nitrat dapat mengindikasikan tingkat kesuburan perairan (Tabel 10). Tabel 10 Tingkat kesuburan perairan nitrat No. Nilai Kandungan Nitrat (mg/l) Tingkat Kesuburan 1. <0,226 Kurang Subur 2. 0,227-1,129 Sedang 3. 1,133-11,250 Tinggi Sumber: Vollenwinder (1986) in Gunawati (1984)
Nilai konsentrasi nitrat di perairan Pulau Pramuka berkisar antara 0,0390,156 mg/l dengan nilai rata-rata 0,09 mg/l (Tabel 8). Nilai nitrat tersebut dapat dikatakan sudah mengalami kesuburan (Tabel 10), hal ini juga karena nilai
31
konsentrasi nitrat dari keempat stasiun sudah di atas baku mutu yaitu diatas 0,008 mg/l (Kepmen LH No. 51 Th. 2004). Nilai konsentrasi nitrat tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,156 mg/l, sedangkan nilai konsentrasi nitrat terendah pada stasiun 4 sebesar 0,039 mg/l. Sumber nitrat ini berasal dari bahan organik dalam bentuk serasah yang telah didegradasi oleh mikroba. Gross (1979) mengatakan salah satu faktor yang mempengaruhi kadar nitrat dalam air laut adalah masuknya limbah sungai yang membawa bahan organik dan hara dari daratan. Pada ekosistem mangrove nitrat selain dihilangkan melalui proses denitrifikasi, juga dimanfaatkan langsung oleh tumbuhan mangrove itu sendiri (Wu et al. 2008). Fosfat Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh organisme autotrof (Dugan 1972). Fosfat merupakan unsur esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi sehingga menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan mempengaruhi produktivitas suatu perairan. Fosfat berperan dalam transfer energi dalam sel tumbuhan. Fosfat dalam tumbuhan terdapat dalam bentuk ATP (Adenosine Triphosphate) dan ADP (Adenosine Diphosphate). Nilai konsentrasi fosfat di perairan Pulau Pramuka berkisar antara kurang dari 0,002-0,283 mg/l dengan nilai rata-rata 0,075 mg/l (Tabel 8). Nilai konsentrasi fosfat tertinggi pada stasiun 2 sebesar 0,283 mg/l sedangkan nilai konsentrasi fosfat terendah pada stasiun 4 sebesar kurang dari 0,002. Berdasarkan baku mutu kulitas air laut, nilai fosfat pada stasiun 1, 3 dan 4 masih dibawah baku mutu (sebesar 0,015 mg/l), sedangkan pada stasiun 2 sudah melebihi baku mutu (Kepmen LH No. 51 Th. 2004). Hal ini disenyalir karena banyaknya lokasi pembuangan limbah rumah tangga pada stasiun 2. Sumber utama fosfat di laut berasal dari pelapukan batuan, buangan limbah pemukiman dan limbah pertanian (Sanusi 2006). Selain itu, sumber bahan organik juga dapat berasal dari mangrove yang lebat dan sudah mencapai ukuran pohon pada stasiun 2. Effendi (2003) menjelaskan bahwa perairan yang memiliki kandungan fosfat melebihi 0,1 merupakan perairan eutrofik yang berpotensi terjadi blooming.
8
9 Kalium Kalium merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan. Kalium masuk ke dalam unsur utama (major element). Ion utama merupakan unsur yang harus dipenuhi dalam metabolisme tubuh dan jika tidak dipenuhi maka proses metabolisme tubuh organisme autotrof tidak akan berjalan. Kalium berfungsi menjaga tekanan osmotic dalam cairan intraseluler jaringan tumbuhan. Selain itu, kalium juga berfungsi menjaga kesimbangan asam dan basa serta mengaktivasi rekasi enzim dalam jaringan tumbuhan. Kalium di perairan terdapat dalam bentuk ion atau berikatan dengan ion lainnya membentuk garam yang mudah larut dan sedikit sekali mengendap (Effendi 2003). Nilai konsentrasi kalium yang didapat dari penelitian keempat stasiun berkisar antara kurang dari 0,272-0,698 mg/l dengan nilai rata-rata 0,47 mg/l. Nilai konsentrasi kalium tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 0,698 mg/l, sedangkan nilai konsentrasi kalium terendah pada stasiun 4 sebesar 0,272 mg/l. Umumnya kadar kalium di laut berkisar 380-25.000 mg/l (Mc Neely et al. 1979). Brown
32
(1987) menambahkan umumnya kadar kalium di laut sebesar 380 mg/l. Sumber kalium berasal dari batuan seperti feldspar, leucite dan micas. 10 Biological Oxygen Demand (BOD5) BOD5 (Biological Oxygen Demand) merupakan jumlah oksigen yang digunakan oleh organisme mikroba untuk menguraikan bahan organik menjadi karbondioksida dan air (Davis dan Conwell 1991). Bahan organik yang diuraikan berupa protein, kanji, glukosa, aldehid dan ester. Proses inkubasi dilakukan pada kondisi optimal pada suhu sekitar 20 °C selama 5 hari dalam keadaan tanpa cahaya dan udara (Boyd 1988). Hal ini karena pada hari ke 5 sekitar 75% bahan organik telah terurai. Selain, itu untuk menghindari proses nitrifikasi oleh organisme autotrof yang terjadi pada hari ke 6 sampai ke 10 pada proses inkubasi yang mampu menambah kadar oksigen sehingga mampu mengakibatkan pengukuran nilai BOD menjadi tidak akurat. Pada proses penguraian bahan organik terjadi melalui dua tahap. Pada tahap pertama bahan organik diuraikan menjadi bahan anorganik sedangkan pada tahap kedua bahan organik tidak stabil mengalami oksidasi bahan organik lebih stabil. Umumnya perairan laut memiliki nilai BOD berkisar antara 0,5-7 mg/l (Jeffries dan Mills 1996). Nilai konsentrasi BOD di perairan Pulau Pramuka berkisar antara 2-4,6 mg/l dengan nilai rata-rata 3,05 mg/l (Tabel 8). Nilai BOD tersebut dapat dikatakan belum tercemar, hal ini karena nilai BOD dari keempat stasiun masih dibawah baku mutu sebesar 20 mg/l (Kepmen LH No. 51 Th. 2004). Nilai konsentrasi BOD tertinggi pada stasiun 2 sebesar 4,6 mg/l, sedangkan nilai konsentrasi BOD terendah pada stasiun 4 sebesar kurang dari 2 mg/l. Nilai BOD pada stasiun 2 lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainya karena stasiun 2 nilai DO lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya sehingga jumlah sisa oksigen dari proses dekomposisi lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Selain itu, sumber bahan organik berasal dari mangrove yang lebat dan sudah mencapai ukuran pohon pada stasiun 2 lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya, sehingga proses dekomposisi juga lebih besar dibandingkan ketiga stasiun lainnya.
Kondisi Mangrove di Pulau Pramuka Mangrove di Pulau Pramuka saat ini mayoritas adalah berupa anakan, sedangkan untuk pohon dan semai hanya sebagian kecil. Semua mangrove yang ada merupakan hasil rehabilitasi, hanya beberapa saja yang dianggap sebagai mangrove alami yang sudah ada sejak dahulu. Rehabilitasi mangrove dilakukan secara resmi sejak tahun 2000-an, tetapi yang dianggap berhasil dimulai sejak tahun 2005. Kegagalan rehabilitasi tersebut disenyalir karena metode tanam yang kurang tepat untuk kondisi lingkungan yang ada di Pulau Pramuka yang bersubstrat pasir. Metode yang dianggap sesuai untuk rehabilitasi di Pulau Pramuka adalah metode rumpun berjarak dengan jenis mangrove Rhizopora stylosa, sehingga sampai saat ini mangrove di Pulau Pramuka hanya didominansi oleh satu jenis tersebut.
33
Tutupan Relatif Mangrove di Pulau Pramuka Tutupan relatif menggambarkan kepadatan mangrove yang ada di suatu ekosistem. Kepadatan ini sering dianggap sebagai indikator kesuburan mangrove dan keberhasilan proses regenerasi alami di suatu area. Tutupan relatif mangrove di Pulau Pramuka didominasi oleh mangrove dengan kategori anakan dimana mencapai 3,02%, kemudian diikuti oleh mangrove pohon (0,32%) dan semai (0,28%) (Gambar 8). Tutupan relatif mangrove di setiap lokasi cukup bervariatif. Di stasiun 1 memiliki tegakan mangrove berupa semai dengan nilai tutupan sebesar 0,28% dari total luas plot yang diamati sebesar 25 m2. Berdasarkan data dari pihak Taman Nasional Kepulauan Seribu mangrove pada stasiun 1 baru ditanam pada akhir tahun 2010. Beberapa faktor yang menyebabkan tutupan relatif Mangrove di Stasiun 1 rendah yaitu dikarenakan stasiun1 memiliki arus yang cukup tinggi dibandingkan stasiun lainnya sebesar 0,3 m/s, dikarenakan pada stasiun 1 langsung terhubung dengan laut terbuka. Bagian luar atau bagian depan mangrove yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat, tidak seperti bagian dalamnya yang lebih tenang. Selain parameter fisika berupa arus, kandungan nutrien seperti nitrat dan fospat yang berfungsi untuk mendukung pertumbuhan mangrove di stasiun 1 memiliki nilai yang kecil jika dibandingkan dengan 3 stasiun lainnya, yaitu nitrat 0,089 mg/l dan konsentrasi fospat sebesar 0,004 mg/l. dari konsentrasi tersebut dapat dikatakan bahwa nitrat dan fospat mempengaruhi tutupan mangrove di stasiun 1. 3 2.52 Tutupan Mangrove (%)
2.5 2
1.5
Semai Anakan
1
Pohon
0.52 0.5
0.3
0.28
0.02 0 St 1
St 2
St 3
St 4
Stasiun
Gambar 8 Nilai tutupan mangrove di Pulau Pramuka Penutupan mangrove tertinggi di Pulau Pramuka terdapat pada stasiun 2 yaitu sebesar 2,52% untuk jenis tegakan anakan. Selain ditemukan jenis tegakan anakan di stasiun 2 merupakan satu-satunya stasiun yang ditemukan jenis tegakan pohon dengan nilai tutupan sebesar 0,30%. Hal mendasar yang menyebabkan stasiun 2 memiliki nilai penutupan mangrove paling besar pada jenis anakan dan ditemukanya jenis tegakan pohon dikarenakan mangrove di stasiun 2 telah ditanam
34
sejak tahun 2005, sehingga dalam waktu kurang lebih 8 tahun terdapat beberapa tegakan yang masuk ke dalam kategori pohon. Diameter batang suatu vegetasi memiliki pengaruh terhadap besarnya tutupan suatu vegetasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi besar kecilnya diameter batang adalah jenis dan umur pohon, selain itu faktor alam dan ketersediaan nutrien di ekosistem mangrove mempengaruhi besarnya tutupan mangrove. Ketersediaan nutrien di stasiun 2 seperti nitrat dan fospat memiliki konsentrasi yang cukup tinggi dibandingkan dengan ketiga stasiun lainnya, konsentrasi nitrat di stasiun 2 sebesar 0,101 mg/l. Nilai tersebut di atas baku mutu untuk nitrat yaitu sebesar 0,008 mg/l sedangkan konsentrasi fospat sebesar 0,283 mg/l. Nilai tersebut di atas baku mutu untuk fospat sebesar 0,015 mg/l. Ketersediaan nutrien tersebut secara tidak langsung berdampak kepada tutupan relatif mangrove di stasiun 2. Nutrien pada stasiun 2 tinggi dikarenakan pada stasiun 2 dekat dengan pemukiman masyarakat, sumber nutrien berasal dari limbah domestik dari pemukiman masyarakat.
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3 Stasiun 4 Gambar 9 Tutupan mangrove di seluruh stasiun pengamatan di Pulau Pramuka Tutupan mangrove pada stasiun 3 memiliki nilai sebesar 0,52% untuk anakan Rhizophora sp. Tutupan mangrove pada stasiun 3 merupakan tutupan mangrove terbaik kedua setelah tutupan relatif mangrove pada stasiun 2. Kondisi stasiun yang agak tertutup memungkinkan mangrove tidak berinteraksi secara langsung dari pengaruh arus, sehingga tutupan relatif mangrove lebih baik dibandingkan stasiun 1 dan stasiun 4. Mangrove di stasiun 3 mulai ditanam pada tahun 2008. Selain
35
lokasi stasiun yang cenderung tertutup, kandungan nutrien pada stasiun 3 secara tidak langsung mempengaruhi tutupan relatif mangrove. Kandungan nitrat di stasiun 3 sebesar 0,156 mg/l dan kandungan fospat berada dibawah baku mutu sebesar 0,012 mg/l. Adanya tembok penahan antara daratan dengan ekosistem mangrove menyebabkan limbah domestik tidak dapat langsung masuk ke perairan sehingga memiliki kandungan nutrien yang relatif kecil. Stasiun 4 memiliki nilai tutupan mangrove sebesar 0,02% untuk tegakan semai Rhizophora sp. Usia semai pada stasiun 1 dan 4 boleh dikatakan relatif muda dikarenakan penanamanya baru dilakukan pada tahun 2010, kondisi stasiun 4 yang langsung berhadapan dengan laut terbuka menyebabkan stasiun 4 memiliki arus yang cukup tinggi sehingga berdampak kepada penutupan mangrove yang rendah di stasiun tersebut. Selain itu kondisi nutrien seperti fospat dan nitrat yang sangat kecil menyebabkan mangrove tidak dapat tumbuh dengan baik di stasiun 4, sehingga tutupan mangrove di stasiun ini sangat kecil sekali. Kandungan nitrat di stasiun 4 sebesar 0,039 mg/l dan kandungan fospat <0,002 mg/l jauh dibawah baku mutu. Secara keseluruhan pada 4 stasiun dapat diketahui bahwa nilai tutupan mangrove berada di bawah 20%. Jika nilai tutupan mangrove pada suatu wilayah <20% termasuk kedalam kategori yang sangat jarang.
Pertumbuhan Mangrove di Pulau Pramuka Pertumbuhan mangrove yang diamati dalam penelitian ini yaitu pertumbuhan tinggi mangrove. Pengamatan pertumbuhan tinggi mangrove sangat mudah dilakukan, karena seluruh mangrove yang ditanam di Pulau Pramuka memiliki tinggi yang relatif sama. Mangrove yang ditanam di Pulau Pramuka berasal dari bibit mangrove yang telah mencapai tinggi 60 cm. Di beberapa lokasi, mangrove di Pulau Pramuka cukup unik, karena dengan tinggi yang sudah mencapai sekitar 400 cm tetapi masih memiliki lingkar batang yang kurang dari 10 cm (belum masuk kategori pohon), tetapi sudah mulai berbuah. Diperkirakan karena jarak antar pohon yang terlalu rapat, sehingga mangrove lebih cenderung tumbuh tetapi kurang berkembang. Tabel 11 Data penanaman mangrove di Pulau Pramuka
1.
St. 1
2010
3
Rataan Tinggi pada Tahun 2013 (cm) 110
2.
St. 2
2005
8
400
42,50 ± 48,81
3,54
3.
St. 3
2008
5
180
24,00 ± 4,00
2,00
4.
St. 4
2010
3
100
13,33 ± 3,33
1,11
No.
Stasiun
Tahun Tanam
Umur (th)
Pertumbuhan tinggi (cm/th)
Pertumbuhan tinggi (cm/bln)
16,67 ± 0,67
1,38
Sumber: Hasil pengamatan (2013) Keterangan: tinggi awal tanam (bibit) 60 cm
Berdasarkan pada Tabel 11 dapat diketahui pada stasiun 1 rata-rata tinggi mangrove sebesar 110 cm, mayoritas tinggi mangrove pada stasiun 1 cenderung seragam dikarenakan pada stasiun 1 mangrove masih berupa semai. Stasiun 2
36
memiliki rata-rata tinggi mangrove terbesar yaitu sebesar 400 cm, tingginya nilai rata-rata tinggi mangrove di stasiun 2 ini dikarenakan beberapa tegakan yang ditemukan telah memasuki kategori pohon yang telah tinggi dan sisanya masuk ke dalam kategori anakan. Stasiun 3 memiliki tegakan berupa anakan dengan rata-rata tinggi sebesar 180 cm dan stasiun 4 memiliki tegakan berupa semai dengan ratarata tinggi sebesar 100 cm. Pada Tabel 11 juga menunjukkan rata-rata pertumbuhan tinggi semai mangrove pada stasiun 1 sebesar 16,67 cm per tahun. Stasiun 2 memiliki rata-rata pertumbuhan tinggi pertumbuhan tinggi sebesar 42,50 cm per tahun. Stasiun 3 memiliki rata-rata pertumbuhan tinggi anakan sebesar 24,00 cm per tahun. Stasiun 4 memiliki rata-rata pertumbuhan tinggi sebesar 13,33 cm per tahun. Stasiun 2 memiliki rata-rata pertumbuhan tinggi mangrove tertinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Pertumbuhan tinggi mangrove memiliki hubungan yang erat dengan kandungan nutrien perairan, kandungan nutrien yang berperan dalam pertumbuhan tinggi mangrove diantaranya unsur N, P dan K. Unsur N memiliki peran dalam pertumbuhan vegetatif mangrove dan unsur K berperan dalam pertumbuhan tinggi mangrove dan berperan penting terlibat dalam mekanisme pengaturan osmosis dalam sel dan berpengaruh langsung terhadap tingkat semipermeabilitas membran dan fosforilasi di dalam kloroplas. Jika dilihat dari kondisi kualitas lingkungan (Tabel 9), maka dapat dilihat bahwa ketersedian nutrien di stasiun 2 dan 3 secara umum memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan dengan stasiun lainnya, sehingga hal tersebut berdampak terhadap pertumbuhan tinggi rata-rata mangrove, pada stasiun 2 dan stasiun 3. Pertumbuhan tinggi mangrove tersebut dipengaruhi jenis substrat dan ketebalan lumpur. Bashan et al. (2013) menyebutkan mangrove akan tumbuh dengan baik dan muncul vegetasi baru dalam area yang besar setelah berumur 8 tahun.
Sintasan Mangrove di Pulau Pramuka Berdasarkan kegiatan wawancara yang dilakukan terhadap pihak Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) sebagai pihak yang selama ini bertanggung jawab terhadap aktivitas rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka, mayoritas mangrove di Pulau Pramuka ditanam dengan membentuk plot ukuran 3 x 5 m dengan jumlah bibit mangrove yang ditanam sebanyak 600 bibit. Selanjutnya berdasarkan keterangan tersebut dapat diketahui besarnya sintasan mangrove pada setiap jenis tegakan di setiap stasiun pengamatan. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat sintasan mangrove hasil penanaman di Pulau Pramuka adalah faktor alam seperti arus, pasang surut dan adanya predator. Sintasan mangrove di stasiun 1 pada semai sebesar 36,11%. Mangrove pada stasiun 1 ditanam pada tahun 2010. Berbagai kondisi fisika kimia perairan diduga mempengaruhi sintasan mangrove di stasiun 1, seperti arus dan nutrien yang sangat berpengaruh bagi pertumbuhan mangrove, karena secara langsung pertumbuhan mangrove di suatu stasiun akan mempengaruhi tingkat sintasan mangrove. Berdasarkan data pada Tabel 9, faktor fisika kimia perairan di stasiun 1 secara umum kurang mendukung bagi pertumbuhan mangrove sehingga sintasan mangrove pada stasiun 1 cukup rendah dalam kurun waktu 3 tahun. Diduga nilai
37
sintasan mangrove tersebut akan terus berkurang, dikarenakan mangrove masih berada dalam fase semai. Nilai sintasan tegakan mangrove yang paling besar berada pada stasiun 2 dengan nilai sintasan sebesar sebesar 35,27% dalam waktu hampir 8 tahun setelah penanaman. Hanya terdapat 1 plot mangrove yang mencapai fase pohon, sedangkan sebagian besar plot mangrove pada stasiun 2 berada dalam fase anakan. 80
67.36
Sintasan Mangrove (%)
70
60 50 40
36.11
35.27
30 20
10
3.02
0 1
2
3
4
Stasiun
Gambar 10 Nilai sintasan mangrove di Pulau Pramuka Stasiun 3 dengan jenis tegakan berupa anakan Rhizophora sp. sebesar 67,36%. Nilai sintasan mangrove pada stasiun 3 merupakan nilai sintasan terbesar dibandingkan dengan stasiun lainnya. Tingginya tingkat sintasan mangrove pada stasiun 3 dibandingkan dengan stasiun lainnya tidak lepas dipengaruhi oleh faktor fisika kimia perairan pada stasiun 3 yang mendukung pertumbuhan mangrove. Salah satu faktor yang mempengaruhi diantaranya arus. Arus pada stasiun 3 memiliki nilai yang sangat rendah dibandingkan dengan 3 stasiun lainnya yaitu sebesar 0,1 cm/s. Nilai sintasan untuk jenis tegakan berupa semai relatif lebih kecil nilainya jika dibandingkan dengan sintasan pada tegakan anakan. Nilai sintasan pada semai untuk stasiun 4 sebesar 3,02%. Hal ini dapat dilihat pada stasiun 4 dengan jumlah tegakan semai yang ada jauh lebih sedikit dibandingkan dengan stasiun lain sehingga sangat memungkinkan memiliki tingkat sintasan yang lebih sedikit. Nilai sintasan mangrove pada stasiun 4 merupakan nilai sintasan terkecil dibandingkan dengan stasiun lainnya. Kondisi stasiun 4 yang berhubungan langsung dengan laut terbuka memungkinkan mangrove pada stasiun 4 memiliki tingkat sintasan yang paling rendah. Sama halnya dengan stasiun 1, mangrove pada stasiun 4 memiliki waktu tanam yang sama dengan stasiun 1 yaitu pada tahun 2010.
38
Faktor-faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Efektifitas Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis / PCA) PCA dalam penelitian ini untuk melihat variabel-variabel utama yang mempengaruhi efektifitas rehabilitasi ekosistem mangrove di Pulau Pramuka. Efektifitas rehabilitasi diwakili oleh sintasan mangrove, hal ini karena tujuan utama dalam upaya rehabilitasi adalah jumlah bibit mangrove yang hidup dalam kurun waktu tertentu, dalam hal ini sudah berumur lebih dari 6 bulan. Sedangkan untuk variabel lingkungan, variabel-variabel yang dianalisis meliputi suhu, salinitas, pH, DO, kecepatan arus, TSS, nitrat, ortofosfat, kalium dan BOD5. 1) Hubungan Antar Variabel Hubungan antar variabel dianalisis menggunakan matriks korelasi. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dua peubah yang ada dengan indeks sintetik. Variabel lingkungan yang mempengaruhi sintasan mangrove di Pulau Pramuka adalah nitrat yaitu 99,25%, kecepatan arus yaitu 88,85%, dan kalium yaitu 63,26% (Lampiran 5). Variabel-variabel tersebut cukup mewakili efektifitas rehabilitasi dimana faktor oseanografi fisika diwakili oleh kecepatan arus dan kimia diwakili oleh nitrat dan kalium. Arus mempengaruhi daya tahan organisme melalui transportasi nutrien (Hutcing dan Saenger 1987). Bengen (2001) mengatakan bahwa mangrove adalah organisme yang memiliki akar yang unik untuk dapat hidup bertahan hidup terhadap arus, gelombang dan pasang surut. Kecepatan arus secara langsung sangat mempengaruhi bibit mangrove dengan energi yang dimiliki sehingga mangrove dapat terlepas dari substrat. Arus yang kuat dapat menghantam bibit mangrove yang masih belum memiliki perakaran yang kuat, sehingga bibit menjadi rentan terlepas dari media tanam, terbawa arus dan mati. Selain itu, kecepatan arus dapat mempengaruhi proses sedimentasi dan penimbunan bahan organik. Umumnya area yang memiliki arus yang lemah biasanya memiliki substrat yang berlumpur dan bahan organik yang tinggi, karena proses pembersihan perairan tidak banyak terjadi. Jadi semakin tinggi kecepatan arus maka semakin besar nutrien yang terperangkap berasal dari run off daratan dan dekomposisi serasah di ekosistem mangrove terbawa menuju laut lepas, sehingga ekosistem mangrove menjadi miskin akan nutrien, padahal nutrien merupakan faktor yang penting untuk pertumbuhan organisme autotrof (Effendi 2003). Substrat tempat tumbuh mangrove terbentuk dari akumulasi sedimen yang berasal dari sungai, pantai atau erosi tanah yang terbawa dari dataran tinggi. Sebagian substrat berasal dari akumulasi dan sedimentasi bahan koloid dan partikel (Aksornkoae 1993). Sebagian besar jenis mangrove tumbuh dengan baik pada endapan lumpur yang terakumulasi. Steenis (1985) in Aksornkoae (1993) menambahkan Rhizophora mucronata dapat tumbuh dengan baik pada substrat yang relatif dalam dan berlumpur. Gledhill (1963) in Kusmana (1998) mengatakan Avicenia marina dan Bruguera spp. dapat tumbuh dengan baik pada substrat lumput berpasir. Setyawan (2010) mencatat bahwa substrat sangat mempengaruhi keberhasilan penanaman mangrove di Pesisir Utara Pulau Jawa bagian barat (Serang, Indramayu, Cirebon dan Tegal). Dimana hasilnya menunjukkan bahwa
39
mangrove yang ditanam di pantai yang berpasir, terjal dan bermorfologi rendah tidak dapat hidup (mati) atau hidup pada kondisi yang buruk. Komiyama et al. (1996) menambahkan bahwa distribusi mangrove dan kematian mangrove rehabilitasi berhubungan dengan elevasi lahan (terkait dengan penggenangan lahan), dalam hal ini juga mempengaruhi distribusi ukuran partikel sedimen. Selain faktor fisik, faktor kimia (nutrien) seperti nitrat dan kalium sangat dipertimbangkan karena digunakan untuk proses pertumbuhan mangrove. Nitrat berfungsi untuk membentuk protein untuk pertumbuhan dan krolofil untuk proses fotosintesis dalam menghasilkan makanan untu kelangsungan hidupnya, sedangkan kalium berfungsi untuk mengaktivasi reaksi enzim piruvat kinase yang berfungsi menghasilkan asam piruvat untuk proses metabolisme karbohidrat dalam jaringan mangrove. Jika melihat antar variabel lingkungan, maka variabel lingkungan yang memiliki berhubungan yang paling saling mempengaruhi adalah variabel antara suhu dengan BOD5 yaitu 94,80% dan antara suhu dengan TSS yaitu 93,96%, dan antara kecepatan arus dengan nitrat yaitu 93,50%. Hal ini cukup untuk menjawab hipotesis faktor-faktor yang mempengaruhi sintasan mangrove, yaitu kecepatan arus dan nitrat yang secara tidak langsung juga mempengaruhi variabel lingkungan lainnya. 2) Konstribusi antar variabel Berdasarkan hasil analisis PCA didapatkan bahwa parameter lingkungan yang memberikan pengaruh kuat terhadap sintasan mangrove adalah TSS, salinitas dan suhu (Tabel 12). Parameter yang paling kuat memberikan pengaruh adalah variabel TSS. TSS terkait erat dengan fungsi mangrove dimana mangrove mempunyai kapasitas yang secara efisien dapat memerangkap suspensi dari kolom air (Kristensen 2009). Dari hasil analisis, selain dapat dilihat dari nilai tabel, konstribusi ini dapat dilihat dengan gambar lingkaran korelasi, dimana semakin mendekati lingkaran maka semakin besar konstribusi yang diberikan (Lampiran 6). Pada variabel lokasi dapat dilihat bahwa terdapat nilai yang hampir sama antara lokasi di stasiun 2 dan 3, serta 1 dan 4 (Tabel 13). Titik berlawanan menunjukan hubungan yang kuat dari variabel-variabel lingkungan yang dimiliki antar lokasi tersebut (Gambar 11). Tabel 12 Korelasi antara variabel-variabel pertama dan faktor-faktor utama No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Variabel S Suhu Sal pH DO KA TSS N OrtoF K BOD5
Faktor 1 -0,5994 -0,8831 -0,1861 0,1378 0,8303 0,3017 0,9896 -0,5606 0,7828 -0,5311 0,7339
Faktor 2 -0,6608 0,4556 0,9143 -0,5630 0,2636 0,5283 -0,1439 -0,6126 -0,2894 -0,7478 -0,6756
40
Tabel 13 Koordinat pengamatan pada axis utama No. 1. 2. 3. 4.
Stasiun Pengamatan Mangrove MSt. 1 MSt. 2 MSt. 3 MSt. 4
Faktor 1 -0,2945 2,9187 -3,1495 0,5252
Faktor 2 -1,7560 -1,1037 -0,3272 3,1869
Pada sumbu F 1, nilai stasiun 1 dan 4 menunjukkan kemiripan yang ditunjukkan dengan nilai yang mendekati nilai 0 yaitu -0,2945 dan 0,5252, sedangkan stasiun 2 dan 3 kemiripan ditunjukkan dengan nilai yang mendekati nilai 3 yaitu 2,9187 dan -3,1495. Bisa dikatakan bahwa karakteristik lingkungan setiap stasiun tersebut diatas yang dimiliki cenderung sama atau sesuai untuk mangrove dari jenis yang sama dan metode penanaman yang sama. Jika menghubungkan korelasi antara variabel lingkungan dan mangrove di tiap lokasi dengan menggunakan biplot terhadap F 1 dan 2 (Gambar 11) dapat disimpulkan bahwa pola ordinasi yang diperoleh dari PCA antara lokasi dengan katakteristik lingkungan menunjukkan tingginya varibilitas intra- dan intervariabel. Disini dapat dilihat kontribusi sumbu 1 dan 2 cukup besar yaitu 76% (sumbu 1 yaitu 43% dan sumbu 2 yaitu 33%), sehingga kontribusi diluar sumbu utama sangat kecil. Biplot on F 1 and 2 (76% )
4 MSt.4
3
-- F 2 (33% ) -->
2 Sal
1
KA
Suhu 0 MSt.3
pH
SN K
-1
DO TSS OrtoF BOD5 MSt.2
MSt.1
-2 -3 -4
-2
0
2
4
-- F 1 (43% ) -->
Gambar 11 Biplot korelasi variabel-variabel lingkungan dan lokasi penanaman mangrove Bedasarkan hasil biplot, pada stasiun 1 faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan Rhizopora stylosa adalah kalium dan derajat keasaman (pH). Hal ini disebabkan subtrat pada stasiun 1 didominasi oleh ruble
41
(pecahan batuan karang), dimana pecahan karang tersebut sumber dari unsur mayor (mayor element) seperti kalium dan karbonat. Kalium yang terdapat pada ruble pecahan batuan karang teroksidasi membentuk ion ke permukaan air sehingga membuat kadarnya lebih tinggi dibandingkan ketiga stasiun lainnya dan efektif mempengaruhi pertumbuhan R. stylosa. Selain itu, kandungan dominasi subtrat ruble (batuan pecahan karang) juga mempengaruhi nilai pH. Salah satu faktor yang mempengaruhi nilai pH adalah ion karbonat (Effendi 2003). Substrat berupa pecahan karang yang menyumbangkan ion karbonat lebih banyak sehingga pH pada stasiun 1 lebih tinggi dibandingkan ketiga stasiun lainnya yang akhirnya efektif mempengaruhi dan mendominasi faktor pertumbuhan R. stylosa. Pada stasiun 2, hasil biplot menggambarkan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan R. stylosa adalah TSS (Total Suspended Solid), ortofosfat, BOD5 dan oksigen terlarut (DO). Hal ini disebabkan pada lokasi stasiun 2 berhadapan langsung dengan pemukiman setiap saat menyumbangkan limbah organik dari kegiatan antopogenik masyarakat dan pelapukan batuan dari darat secara alami sehingga mengakibatkan nilai konsentrasi TSS lebih tinggi dibandingkan ketiga stasiun lainya. Selain TSS, akibat lokasi stasiun yang dekat dengan pemukiman nilai fosfat dalam bentuk ortofosfat juga tinggi. Hal ini juga didukung nilai konsentrasi DO dan BOD5 yang tinggi pada stasiun 2. Kondisi suhu yang rendah pada stasiun 2 mengakibatkan kelarutan oksigen pada stasiun 2 lebih tinggi dibandingkan ketiga stasiun lainnya. Tingginya limbah organik kegiatan manusia (antropogenik), limbah domestik dan detergen sehingga mengakibatkan nilai konsentrasi fosfat pada stasiun 2 lebih tinggi dibandingkan ke tiga stasiun lainnya dan efektif mempengaruhi pertumbuhan R. stylosa. Pada stasiun 3, hasil biplot menggambarkan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan R. stylosa adalah suhu dan nitrat. Secara teknis, hal ini disebabkan pengambilan data pada stasiun 3 pada siang hari sedangkan pengambilan data pada stasiun 1 dan 2 pada pagi hari di hari yang sama. Pengambilan data suhu pada siang hari mengakibatkan nilai suhu pada stasiun 3 lebih tinggi dibandingkan ke tiga stasiun lainnya dan efektif mempengaruhi pertumbuhan R. stylosa. Tetapi, diperkirakan juga tingginya suhu di stasiun 3 karena lokasinya lebih banyak terpapar matahari, dimana posisi stasiun 3 berada disisi sebelah timur pulau. Selain itu juga, di stasiun 3 tidak adanya vegetasi besar dan pemukiman penduduk serta substat yang dominan pasir. Sanusi (2006) menambahkan faktor yang mempengaruhi nitrogen di laut adalah fotosintesis, gerakan masa air dan gerakan gravitasi residu dalam organisme air. Selain menghasilkan oksigen, kondisi aktifitas fotosintesis oleh organisme autotrof yang optimal juga mampu mengoksidasi senyawa ammonia dan nitrit menjadi nitrat sehingga kadar nitrat pada stasiun 3 lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya dan efektif mempengaruhi pertumbuhan R. stylosa. Pada stasiun 4, hasil biplot menggambarkan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan R. stylosa adalah salinitas dan kecepatan arus. Hal ini disebabkan pada lokasi stasiun 4 berhadapan langsung dengan laut tanpa adanya pulau penghalang. Lokasi stasiun 4 yang berhadapan langsung dengan laut mengakibatkan nilai salinitas dan arus lebih tinggi dibandingkan ketiga stasiun lainnya dan efektif mempengaruhi pertumbuhan R. stylosa.
42
Analisis Kelompok (Cluster Analysis / (CA) Analisis kelompok (CA) dilakukan untuk mendukung pembuktian hasil dari analisis komponen utama. Hasil CA menunjukkan bahwa dari 4 lokasi penanaman mangrove berdasarkan kondisi lingkungan dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok 1 yang digambarkan pada stasiun 1 dan 4 dengan nilai indeks 1,8034, kelompok 2 yang digambarkan dengan stasiun 3 dengan nilai indeks 6,5889, dan kelompok 3 yang digambarkan dengan stasiun 4 dengan nilai indeks 14,1892 (Tabel 14 dan Gambar 12). Jika dibandingkan dangan hasil PCA, maka hasilnya sesuai (terbukti). Dengan pertimbangan kelompok nilai, maka stasiun 2 dan 3 bisa dikelompokkan menjadi satu kelompok berdasarkan karakteristik lingkungan yang serupa karena sama-sama memiliki nilai yang tinggi, sehingga karakteristik dari lokasi penelitian dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok stasiun 1 dan 4 dan kelompok stasiun 2 dan 3. Tabel 14 Nilai indeks untuk pertimbangan pembagian kelompok berdasarkan kondisi lingkungan No. 1. 2. 3.
Kelompok 1 2 3
Anggota Kelompok MSt.1 ~ MSt.4 MSt.1 ~ MSt.4 ~ MSt.3 MSt.1 ~ MSt.4 ~ MSt.3 ~ MSt.2
Bobot 2 3 4
Indeks 1,8034 6,5889 14,1892
MSt.2
MSt.3
MSt.4
MSt.1
0
5
10
15
Indeks
Gambar 12 Dendogram pengelompokan karakteristik lokasi penelitian berdasarkan kondisi lingkungan Pengelompokan berdasarkan kondisi lingkungan kemudian dibandingkan dengan pengelompokan berdasarkan kondisi mangrove. Hasilnya menunjukkan adanya perbedaan pengelompokan (Tabel 15 dan Gambar 13). Hasil pengelompokkan berdasarkan kondisi mangrove menunjukkan bahwa mangrove di
43
stasiun 1 dan 2 kondisinya relatif sama dan dianggap masuk dalam satu kelompok, sedangkan mangrove di stasiun 3 dan 4 berdiri sendiri (tidak mengelompok). Berdasarkan hasil tersebut diperkirakan bahwa tidak adanya hubungan yang erat antara faktor lingkungan terhadap efektifitas rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka. Hal ini terkait dengan karakterisitk Pulau Pramuka yang terbentuk dari karang laut dan bukan merupakan ekosistem mangrove alami. Dimana kondisi awal sebelum adanya rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka memang bukan area ekosistem mangrove. Selain itu, perlu dilakukan pembuktian lebih lanjut yang lebih detail. Pembuktian lebih lanjut tersebut dikarenakan alasan adanya perbedaan umur mangrove atau tahun penanaman. Tabel 15 Nilai indeks untuk pertimbangan pembagian kelompok berdasarkan kondisi mangrove No. 1. 2. 3.
Kelompok 1 2 3
Anggota Kelompok MSt.1 ~ MSt.2 MSt.1 ~ MSt.2 ~ MSt.3 MSt.1 ~ MSt.2 ~ MSt.3 ~ MSt.4
Bobot 2 3 4
Indeks 84,2933 172,5403 389,4580
MSt.4
MSt.3
MSt.2
MSt.1
0
100
200
300
400
500
Indeks
Gambar 13 Dendogram pengelompokan karakteristik lokasi penelitian berdasarkan kondisi mangrove Kondisi Sosial Masyarakat Dalam Rehabilitasi Mangrove Persepsi atau pemahaman seseorang merupakan proses dalam memahami sesuatu dan atau menafsirkan suatu objek dari suatu rangsangan dalam suatu dana atau menafsirkan suatu objek dari suatu rangsangan dalam suatu pengalaman psikologis. Persepsi atau pemahaman bereran dalam memperoleh pengetahuan
44
khusus tentang objek atau suatu kejadian, karena persepsi melibatkan kognisi (pengetahuan) termasuk interpretasi objek. Berkes (2004) mengatakan bahwa usaha konservasi membutuhkan banyak nuansa pemahaman alam dari banyak orang, masyarakat, kelembagaan, dan interaksi antar semuanya pada berbagai level. Persepsi berhubungan dengan kecerdasan emosial yaitu bagaimana individu menggunakan emosinya atas dasar pilihan informasi yang bersedia untuk mendapatkan pemahaman yang utuh terhadap suatu objek. Dengan demikian persepsi individu merupakan dasar bagaimana individu tersebut bersikap dan berperilaku, sehingga untuk memahami sikap dan perilaku terhadap lingkungannya sangat perlu untuk mengetahui persepsi individu terhadap lingkungannya.
Gambar 14 Tingkat persepsi masyarakat terhadap mangrove dan pengelolaan mangrove Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 14 menunjukkan bahwa semua masyarakat (100%) mengetahui tentang mangrove, baik fungsi dan keberadaannya. Masyarakat sebagian besar (60%) juga mengetahui bahwa mangrove di Pulau Pramuka terdapat upaya pengelolaan yang selama ini banyak dilakukan oleh TNKpS. Selain itu, masyarakat juga mengambil peran dan berpartisipasi didalam pengelolaan mangrove. Sekitar 80% responden menyebutkan pernah terlibat dalam upaya pengelolaan, diantaranya dengan ikut menjaga, tidak merusak keberadaan mangrove dan sesekali membersihkan mangrove dari sampah yang mengganggu. Ini adalah bentuk kerjasama yang baik antara pihak pengelola dalam hal ini pemerintah dan masyarakat. Suksesnya kerjasama antara masyarakat lokal dan pemerintah bergantung pada kepercayaan antara keduanya (Mshale 2008; Rechlin dan Taylor 2008). Oleh karena itu, pemerintah dan pemangku kepentingan lain dibutuhkan untuk merealisasikan potensi dan meningkatkan sikap positif dan praktis diantara masyarakat lokal (Mshale 2008), walaupun pengetahuan masyarakat belum kuat terkait bagaimana melakukannya, tetapi hal ini penting
45
dalam membangun kerjasama dengan orang-orang yang bekerja didalamnya (Rechlin dan Taylor 2008). Keterlibatan masyarakat tersebut sejalan dengan manfaat yang dirasakan. Biasanya apabila dapat memberikan keuntungan atau manfaat ekonomi maka manfaat sosial juga akan mengikutinya (Alder et al. 2002), didasarkan pada pemahaman “tidak langsung” dan “langsung” dari hubungan konservasi dan penghidupan yang kompleks (Brown 2002; Damian 2005; Berkes 2006). 80% responden menyebutkan bahwa adanya mangrove dianggap dapat mengurangi hantaman gelombang, abrasi dan menambah kesejukan di pantai. Sebenarnya keterlibatan masyarakat dalam upaya pengelolaan dapat ditingkatkan jika masyarakat mengetahui dan bisa memanfaatkan langsung mangrove seperti pemanfaatan buah untuk manisan, pemanfaatan kayu dan lain-lain. Selama ini tidak ada pemanfaatan langsung terhadap mangrove oleh masyarakat, 100% responden menyebutkan tidak ada pemanfaatan langsung. Manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat lokal dapat membangun partisipasi masyarakat dalam pengelolaan (Haryani 2010).
Gambar 15 Tingkat persepsi masyarakat terhadap rehabilitasi mangrove Ekosistem mangrove menyediakan berbagai barang dan jasa jasa lingkungan (Gilbert dan Janssen 1998). Penelitian Walton et al. (2007) di Pulau Panay, Filipina Tengah menunjukkan bahwa adanya rehabilitasi mangrove Rhizophora spp. dan Sonneratia spp. meningkatkan hasil tangkapan nelayan, terutama untuk kepiting. Penelitian tersebut dilakukan dengan menghitung kelimpahan menggunakan Catch Per Unit effort (CPUE). Ellison (2008) menambahkan bahwa ekosistem mangrove dikatakan lestari, jika fungsi ekologi dan ekonomi dapat berjalan bersinergi antara keduanya, sehingga berkelanjutan dan akan mempengaruhi kondisi sosial masyarakat setempat. Terkait dengan rehabilitasi mangrove, Gambar 15 menunjukkan bahwa 100% responden mengetahui tentang arti rehabilitasi dan adanya program rehabilitasi yang dilakukan di Pulau Pramuka. Tetapi hanya 80% responden yang menyebutkan pernah terlibat dalam kegiatan rehabilitasi, dan dari terkait keterlibatan tersebut hanya 20% responden yang melakukannya dengan sukarela, 80% lainnya ikut
46
terlibat karena kegiatan tersebut dianggap hanya sebagai proyek dan hanya untuk mendapatkan uang baik dari bibit yang mereka tanam dan tenaga yang mereka keluarkan untuk proses penanaman di pantai. Hal ini juga diperkuat dengan hanya 60% responden yang melakukan swadaya dalam setiap kegiatan rehabilitasi padahal rehabilitasi rutin dilakukan. Terkait dengan metode dan teknik penanaman, 80% responden menganggap yang sudah dilakukan sudah benar, yaitu rumpun berjarak (bergerombol). Metode tersebut dianggap benar karena mangrove mayoritas dapat tumbuh, tidak seperti metode dan teknik sebelumnya yang bahkan dianggap hanya menghabiskan uang dengan sia-sia, karena pagi ditanam sore sudah hilang. Sehingga 80% responden menganggap rehabilitasi sudah efektif dan 100% menganggap sudah berhasil. Tetapi masyarakat berharap kegiatan rehabilitasi tersebut ada tindak lanjut, tidak hanya saat program saja. 80% responden menyebutkan tidak ada tindak lanjut yang dilakukan setelah kegiatan rehabilitasi dilakukan. Kegiatan tindak lanjut ini bisa dilakukan seperti perawatan, penjarangan, penataan dan lain-lain, sehingga mangrove dapat lebih banyak hidup dan tumbuh lebih optimal (Field 1998).
Efektifitas Rehabilitasi Mangrove Mengukur efektifitas sulit, diperlukan pendekatan yang bisa mewakili dari kondisi sumberdaya dan sosial-ekonomi sebagai manfaat adanya pengelolaan (Rechlin dan Taylor 2008). Berdasarkan hasil penilaian tingkat efektifitas rehabilitasi didapatkan bahwa pada stasiun 1 rehabilitasi tergolong efektif dengan nilai 57,58%, stasiun 2 tergolong efektif dengan nilai 66,77%, stasiun 3 tergolong efektif dengan nilai 66,67%, dan pada stasiun 4 tergolong tidak efektif dengan nilai 48,48% (Tabel 16). Berdasarkan hasil perhitungan indeks pada Tabel 16 tersebut dapat disimpulkan bahwa rehabilitasi mangrove di Pulau Seribu secara umum efektif yang diwakili oleh 3 lokasi rehabilitasi. Meskipun untuk 1 lokasi rehabilitasi ada yang tergolong tidak efektif, tetapi nilai indeksnya hampir mendekati kelas efektif. Sehingga bisa disimpulkan secara umum rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka terbilang efektif. Tabel 16 Tingkat efektifitas rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka No.
Parameter
1. Sintasan 2. Pertumbuhan 3. Tutupan Relatif 4. Partisipasi Masyarakat 5. Persepsi Masyarakat Jumlah Bobot x Skor TER (%)
Keterangan: B = bobot S = skor BS = bobot x skor
B 3 3 2 2 1
St.1 BS 6 6 2 2 3 19 E 57,58 S 2 2 1 1 3
St.2 BS 6 9 2 2 3 22 E 66,67 S 2 3 1 1 3
St.3 BS 9 6 2 2 3 22 E 66,67 S 3 2 1 1 3
St.4 BS 3 6 2 2 3 16 TE 48,48 S 1 2 1 1 3
47
Jika dilakukan analisis perbandingan antar nilai parameter (Gambar 16), maka dapat dilihat bahwa parameter tutupan relative, partisipasi masyarakat dan persepsi masyarakat belum mencapai nilai optimal atau belum efektif, ditambah lagi sintasan pada stasiun 3. Parameter-parameter yang belum efektif tersebut dapat ditingkatkan nilainya menjadi efektif dengan beberapa upaya. Untuk tutupan relatif dan sintasan, dapat dilakukan upaya peningkatan dengan melakukan penyulaman untuk mangrove-mangrove yang mati dan meningkatkan kegiatan perawatan, sedangkan untuk partisipasi masyarakat dapat ditingkatkan dengan meningkatkan nilai manfaat mangrove di masyarakat dan lingkungan yang bisa dirasakan oleh masyarakat serta membuat kelembagaan terkait pengelolaan mangrove yang juga melibatkan masyarakat didalamnya. Rehabilitasi sebagai salah satu pendekatan konservasi dikatakan efektif, ketika mampu mendasari masyarakat dan meningkatkan perhatian untuk berpartisipasi, harus menciptakan pemahaman proses yang lebih luas dan terstruktur, dan khususnya bagaimana status dan struktur pasar mulai “melekat” dalam kelembagaan dan pola budaya dari masyarakat lokal dalam kebiasaan baru (Hoom 2008). Partisipasi masyarakat penting guna mendukung kesuksesan rehabilitasi karena berdasarkan permasalahan yang ada, faktor sosial sangat menjadi masalah dalam tingginya sintasan, seperti sampah dan aktivitas perlintasan kapal masyarakat. Dengan adanya dukungan dari masyarakat diharapkan kesadaran dan fungsi pengawasan dapat berjalan dengan baik agar mangrove rehabilitasi dapat terawat dengan baik. Peningkatan partisipasi masyarakat untuk kedepannya akan sangat mudah jika melihat persepsi masyarakat terhadap mangrove. Persepsi masyarakat sudah mencapai nilai optimal, ini juga dapat dibuktikan dengan 100% responden yang ditemui mengetahui dan paham tentang mangrove dan manfaatnya. Pada parameter pertumbuhan dan sintasan, hanya ada satu lokasi yang mencapai nilai optimal, diantaranya di lokasi stasiun 2 untuk pertumbuhan dan di stasiun 3 untuk sintasan. Optimalnya pertumbuhan dan sintasan di lokasi tersebut banyak dipengaruhi oleh parameter oseanografi dan sudah terbentuknya kondisi ekosistem mangrove yang mendukung terutama untuk bahan organik yang dibutuhkan mangrove. Setyawan (2002) mencatat bahwa kegagalan penanaman mangrove dapat disebabkan oleh kesalahan pemahaman pola hidrologi, perubahan arus laut, tipe tanah, pemilihan spesies, penggembalaan hewan ternah, sampah, kelemahan manajemen, dan ketiadaan partisipasi masyarakat. Sebenarnya mangrove memiliki kemampuan memperbaiki habitatnya sendiri dengan mengembangkan strategi establisment, pertumbuhan dan perkembangan, serta regenerasi. Namun, pada kondisi tertentu regenerasi alami pada mangrove akan terhambat terutama bila terjadi perubahan kondisi fisik habitat kearah tidak normal seperti perubahan pada sistem hidrologi. Bila kondisi ini yang terbentuk maka tindakan perbaikan habitat secara konvensional (penanaman) sering tidak berhasil meskipun dilakukan secara berulang-ulang (Djamaludddin 2004).
48
Gambar 16 Skoring parameter efektifitas rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka Rekomendasi Berdasarkan kondisi, potensi dan permasalahan yang ada, maka dapat disusun rekomendasi yang bisa dipertimbangkan untuk dilaksanakan di Pulau Seribu sebagai upaya meningkatkan efektifitas rehabilitasi mangrove. Rekomendasirekomendasi yang telah disusun adalah sebagai berikut: 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lokasi yang efektif untuk dilakukan rehabilitasi adalah di stasiun 1, 2 dan 3, dengan nilai tertinggi pada stasiun 2 dan 3 yang juga berkelompok berdasarkan hasil CA. Selain itu, di stasiun 2 dan 3 mangrove sudah terbentuk ekosistem yang baik dan ada yang sudah terkategorikan sebagai pohon dan memiliki buah. Dengan pertimbangan tersebut maka sebaiknya rehabilitasi mangrove dilakukan di sekitaran stasiun 2 dan 3 sampai benar pada kondisi optimum, dan terus bergeser ke sisi kanan dan kirinya (secara bertahap/merambat). Pertimbangan ini diambil untuk meningkat jaminan keberhasilan rehabilitasi dan mengurangi perlakuan fisik seperti pembuatan pemecah gelombang karena mangrove yang sudah ada dianggap cukup untuk melindungi dari hantaman gelombang dan menjadi suplai nutrien bagi mangrove yang lain dari serasah yang dihasilkan yang mengandung berbagai unsur hara yang diperlukan seperti N, P, K dan sebagainya (Baliao dan Tookwinas 2002; Brian et al. 2004). Sehingga kegagalan pada stasiun 4 dan kondisi mangrove yang buruk pada stasiun 1 dapat dihindari. Hal yang tidak kalah penting adalah bahwa pada stasiun 1, 2 dan 3 merupakan lokasi yang dekat dengan kantor taman nasional dan pemukiman padat penduduk, sehingga fungsi pengawasan sacara tidak langsung dapat berjalan dan sumber nutrien
49
2.
3.
4.
5.
6.
untuk mangrove di pulau kecil yang sebagian besar berasal dari limbah rumah tangga dapat terpenuhi. Sebagai pulau kecil, Pulau Pramuka sangat terpapar dengan gelombang, untuk itu perlu dibuat perlindungan terhadap mangrove dengan membangun pemecah gelombang setidaknya sampai mangrove sudah tumbuh dengan baik dan dianggap kuat menahan gelombang. Hashim et al. (2010) menyebutkan bahwa penanaman mangrove di pantai mangrove yang tererosi dapat dilakukan dengan mengkombinasikan dengan pembangunan pemecah gelombang (breakwater) dan mangrove ditanam di bagian yang terlindungi oleh pemecah gelombang tersebut. Pemecah gelombang diharapkan juga meningkatkan sedimentasi di area penanaman mangrove sebagai pemenuhan kebutuan substrat dan nutrien. Belum optimalnya tingkat kepedulian masyarakat terhadap rehabilitasi mangrove karena belum terasanya manfaat langsung di masyarakat, maka perlu dilakukan kajian penilaian yang mempertimbangkan manfaat langsung dari adanya ekosistem mangrove, seperti disektor perikanan dan pangan. Walton et al. (2007) menyebutkan bahwa penting untuk mempertimbangkan hasil tangkapan ikan sebagai indikator keberhasilan rehabilitasi mangrove. Sebagai contoh, penurunan populasi kepiting lumpur berhubungan dengan degradasi mangrove terutama dari efektifitas pengelolaan habitat dan rehabilitasi dalam konservasi di Pulau Panay, Filipina Tengah. Indikator fungsi ekologi habitat mangrove tersebut yaitu kepiting lumpur Scylla olivacea, sebagai predator bentik tertinggi dan jenis komersial, dan menggunakan Baptozius vinosus dan Thalamita crenata. Selain itu, Bashan et al. (2013) menyarankan agar rehabilitasi juga bisa menggunakan spesies yang komersial seperti dari Rhizophora atau Bruguiera. Selama ini belum dilakukan pemantauan mangrove secara baik, sehingga mangrove rehabilitasi cenderung tidak terawat dan belum mencapai fase regenerasi alami. Pemantauan tumbuhan mangrove yang telah ditanam perlu dilakukan untuk menjamin keberhasilan program rehabilitasi. Kegiatankegiatan upaya pemantauan dapat mengacu pada Field (1998) (Tabel 17). Kualitas air dapat dipertimbangkan sebagai parameter pengujian efektifitas rehabilitasi mangrove. Hal ini karena adanya hubungan yang erat antara kualitas air dan keberhasilan rehabilitasi mangrove yang dicirikan oleh parameter nitrat, kecepatan arus dan kalium. Dimana parameter-paramater tersebut secara fisik (kecepatan arus) dapat merusak dan menghanyutkan bibit mangrove yang ditanam dan secara kimia (nitrat dan kalium) merupakan nutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan akar dan batang mangrove. Selain itu, melihat fungsi mangrove sebagai penyerap bahan organik, direkomendasikan juga agar mangrove ditanam di sekitar area pemukiman, dimana sebagai salah satu pensuplai bahan organik terutama untuk nitrat. Penanaman mangrove diluar program resmi dari balai TNKpS cenderung tidak terencana (kegiatan Corporate Social Responsibility/CSR dan wisata). Umumnya, penanaman dilakukan pada posisi yang dianggap terjangkau dan secara simbolik dapat terekspos. Untuk itu, sebaiknya penanaman tetap terkoordinir oleh pihak pengelola dan sesuai site plan yang sudah dibuat (Lampiran 8). Hal ini penting karena site plan yang sudah dibuat didasarkan pada kesesuaian lahan untuk mangrove dan aktivitas masyarakat di Pulau
50
Pramuka, sehingga rehabilitasi dapat efektif dan tidak mengganggu aktivitas masyarakat seperti pelayaran, penangkapan dan lain-lain. Tabel 17 No. 1.
2.
3.
Kegiatan pemantauan dan perawatan yang dapat dilakukan pasca penanaman mangrove
Aktifitas Mengambil gambar foto secara regular di lokasi rehabilitasi Memantau spesies mangrove yang dikembangkan Memantau pertumbuhan sebagai fungsi waktu
4.
Memantau karakteristikkarakteristik pertumbuhan
5.
Mencatat tingkat kegagalan persemaian Mencatat dampak hama dan penyakit
6.
7. 8.
9.
10.
11. 12.
13.
Mencatat tingkat akumulasi sampah Mencatat dampak grazing, pemotongan, fish ponds dan penangkapan ikan Mengatur kerapatan persemaian dan anakan pada tingkat optimum Memperkirakan biaya proyek rehabilitasi Memantau dampak penebangan mangrove Mengkaji karakteristik ekosistem mangrove yang direhabilitasi
Mengukur keberhasilan proyek rehabilitasi pada kriteria asli yang dibangun Sumber: Field (1998)
Keterangan Cara yang efektif mendapatkan sebuah gambaran kondisi Mengecek kebenaran asal usul propagul dan biji
Mengukur secara umum: kerapatan persemaian dan pohon (jumlah pohon per ha), diameter batang (DBH) (cm), tinggi (m) dan volume (m3 per ha). Pertambahan tahunan dari parameterparameter tersebut harus ditekuni Determinasi dapat termasuk: struktur batang, produksi tangkai pohon, fenologi, pembuahan dan resistensi terhadap hama dan penyakit Menyediakan penjelasan ilmiah untuk ketidak suksesan Mencatat hama dan penyakit alami dan mengambil langkah untuk membasmi masalah yang ada Mencatat sumber sampah dan mengambil langkah untuk meminimalisasi masalah Mencatat sumber tekanan eksternal dan mengambil langkah untuk meminimalisasi masalah, seperti: memagari; pelaksaan hukum Tingkat penjarangan, penanaman atau regenerasi alami sebaiknya dicatat dengan detail. Pertumbuhan sebaiknya dicatat Memperkirakan biaya mencakup semua aspekaspek kegiatan termasuk pembelian lahan dan hal-hal biaya-biaya yang legal Ini sebaiknya menjadi bagian catatan jangka panjang sebuah proyek rehabilitasi Ini melibatkan pengukuran secara detail mengenai fauna, flora dan lingkungan fisik dari ekosistem mangrove baru dan membandingkannya dengan ekosistem mangrove disekitarnya yang serupa dan tidak terganggu Ini jarang dilakukan tetapi sebuah keluaran penting
51
5 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa: 1. Rehabilitasi ekosistem mangrove di Pulau Pramuka dapat disimpulkan efektif, hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya jumlah mangrove yang hidup dan tumbuh berkembang dari hasil rehabilitasi yang dilakukan. Penunjang keberhasilan rehabilitasi tersebut adalah penerapan metode dan teknik penanaman yang sesuai dengan karakteristik lingkungan pulau yang ada, yaitu metode rumpun berjarak dan teknik tanam menggunakan polybag dan pemilihan jenis mangrove yang sesuai yaitu jenis Rhyzophora stylosa dengan ukuran rata-rata 50-60 cm yang berumur 5-7 bulan. 2. Berdasarkan parameter lingkungan, faktor-faktor utama yang menunjang efektifitas rehabilitasi mangrove adalah nitrat, kecepatan arus dan kalium. Faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi secara fisik yaitu lepasnya mangrove dari media tanam dan organik yaitu untuk kebutuhan nutrien pertumbuhan akar dan batang. Sedangkan untuk kegagalan banyak diakibatkan oleh pengaruh eksternal yaitu sampah-sampah besar seperti bongkahan kayu yang merusak bibit dan faktor oseanografi seperti kecepatan arus. 3. Mayoritas masyarakat mendukung adanya rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka, ini ditunjukkan dengan keterlibatan masyarakat secara langsung dalam proses penanaman dan perawatan mangrove pasca penanaman dengan ikut menjaga keberadaannya dan meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan manfaat mangrove. Selain itu, telah muncul kegiatankegiatan swadaya masyarakat terkait dengan kegiatan rehabilitasi mangrove seperti adanya aktivitas pembibitan mangrove yang umumnya ditujukan untuk kegiatan wisata dan CSR di Pulau Pramuka. 4. Rehabilitasi mangrove perlu didukung dengan kegiatan pasca rehabilitasi yang lebih intensif dengan melakukan kegiatan perawatan dan penjarangan secara berkala dalam periode tertentu untuk mendukung optimalisasi pertumbuhan mangrove dan proses regenerasi secara alami sehingga sistem ekologi mangrove dapat cepat terbentuk secara alami.
Saran 1. Perlu adanya penelitian lanjutan yang mengukur laju pertumbuhan mangrove antar waktu secara berkala di setiap fase pertumbuhannya sebelum dan sesudah rehabilitasi (Bashan et al. 2013) untuk mengetahui optimalisasi model rehabilitasi terkait dengan metode, teknik dan lokasi penanaman. 2. Upaya pengelolaan mangrove harus diperkuat dengan payung hukum dan kelembagaan yang baik. Sehingga kegiatan pemantauan dan penerapan sanksi bagi perusak dapat dilakukan.
52
DAFTAR PUSTAKA Adrianto L. 2007. Pengantar Kepada Co-Management Perikanan. Bogor: Pusat Kajian Sumberaya Pesisir dan Lautan-Institur Pertanian Bogor. Affandi R dan Tang UM. 2002. Fisiologi Hewan Air. Riau: UNRI Press. Aksornkoae S. 1989. Management and conservation of mangrove resources for coastal development in the Southest Asia Nations in coastal area management in Southest Asia: policies, management strategies and case studies. Chua TE, Patty D, editor. ASEAN-USCRM Project. Aksornkoae S. 1993. Ecology and Management of Mangrove. Bangkok (Thailand): The IUCN Wetlands Programme. Alder J, Zeller D, Pitcher T, Sumaila R. 2002. A method for evaluating marine protected area management. Coastal Management 30: 121-131. Alikodra HS, Mackbon HE, Ridha DM, Sumardjani L, Prasetyo H, Meity S, Zaini M, Murni HNC, Mulia F, Wiroatmodjo P, Soemodihardjo S, Soedharma D, Thohari M, Bandiyono S. 1993. Usulan strategi nasional pengelolaan hutan mangrove Indonesia. Kerjasama kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (KMNHL). Jakarta: Departemen Kehutanan (DEPHUT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Departemen Dalam Negeri (DEPDAGRI) dan Yayasan Mangrove Indonesia (YMI). Alonzo-Perez F, Ruiz-Luna A, Turner J, Berlanga-Robles CA, Mitchelson-Jacob G. 2003. Land cover changes and impact of shrimp aquaculture on the landscape in the Ceuta coastal lagoon system, Sinaloa, Mexico. Ocean and Coastal Management 46: 583-600. Annisa. 2004. Identfikasi Kerusakan Mangrove dengan Citra Satelit Landsat-ETM dan Sistem Informasi Geografis di Pesisir Selatan Propinsi Gorontalo [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Anwar C, Gunawan H. 2006. Peranan Ekologis dan Sosial Ekonomis Hutan Mangrove dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir [Makalah]. Disampaikan pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006. Baliao D, Tookwinas S. 2002. Manajemen Budidaya Udang yang Baik dan Ramah Lingkungan di Daerah Mangrove. Soutth cast Asian Fisheries Development Centre. Bashan Y, Moreno M, Salazar BG, Alvarez L. 2013. Restoration and recovery of hurricane-damaged mangroves using the knickpoint retreat effect and tides as dredging tools. Jenvman. 116: 196-203. Bengen DG. 2000a. Sinopsis Ekosistem Sumberdaya Pesisir. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor. Bengen DG. 2000b. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisa Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan LautanInstitut Pertanian Bogor. Bengen DG. 2000c. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor. Bengen DG 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut
53
Pertanian Bogor. Bengen DG. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Bogor: Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor. Berkes F. 2004. Rethinking community-based conservation. Conservation Biology 18 (3): 621-630. Berkes F. 2006. The Problematique of Community-Based Conservation in a MultiLevel World. Canada: University of Manitoba. Natural Resources Institute. Winipeg, Manitba R3T 2N2. Boyd CE. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Pounds. Alabama (US): Auburn University Agricultural Experiment Station. Ed ke-4. Brian E, Diane S, Carles. 2004. The relative importance of nutrient enrichment and herbivory on macroalgal communites near. Journal of experimental Marine and Biology 298: 275-301. Brown AL. 1987. Freshwater Ecology. London: Heinemann Educational Books. Brown K. 2002. Innovations for Conservation and Development. Journal Geography 168 (1): 6-17. Cannicci S, Burrows D, Fratini S, Smith TJ, Offenberg J, Dahdouh G. 2008. Faunal impact on vegetation structure and ecosystem function in mangrove forests: A review. Aquatic Botany 89: 186-200. Carter E, Soemodinoto A, White A. 2011. Panduan untuk Meningkatkan Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut di Indonesia. Bali: Program Kelautan The Nature Conservancy Indonesia. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Damian F (2005). “More eyes watching…” Lessons from the community-based management of a giant fish, Arapaima gigas, in Central Guyana. A Thesis Submitted to the Faculty of Graduate Studies, Natural Resources Institute Clayton H. Riddell Faculty of Environment, Earth and Resources, University of Manitoba, Winnipeg, MB, Canada, R3T, 2(2): 1-169. Davis ML, Cornwell DA. 1991. Introduction to Enviromental Engineering. New York (US): Mc Graw Hill, Inc. Ed ke-2. Djamaluddin R. 2004. The Dynamic of Mangrove Forests in Relation to Die-Back and Human Use in Bunaken National Park, North Sulawesi, Indonesia [Thesis]. Queensland (Australia): Department of Botany/Natural and Rural System management-University of Queensland. Dugan PR. 1972. Biochmemical Ecology of Water Pollution. New York (US): Plenum Press. Duke NC. 1992. Mangrove Floristics and Biogeography. Tropical Mangrove Ecosystems (Volume 41): 63-100. Ecoton. 1998. Panduan Pengenalan Ekosistem Mangrove Pantai Timur Surabaya. Surabaya: Ecoton. Effendi MI. 1978. Biologi Perikanan. Bagian I. Study Natural History. Bogor: Fakultas Perikanan-Institut Pertanian Bogor. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta: Kanisius. Ellison AM. 2008. Managing Mangroves with Benthic biodiversity in mind moving
54
beyond. Journal of sea research 59: 2-15. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1982. Management and Utilization of Mangroves in Asia and The Pacific. Rome (Italia): FAO Environment Paper 3. Field C. 1998. Rehabilitation of mangrove ecosystems: an overview. Marine Pollution Bulletin 37: 383-392. Fratini S, Vigiani V, Vannini M, Cannicci S. 2004. Terebralia palustris (Gastropoda: Potamididae) in a Kenyan mangal: size structure, distribution and impact on the consumption of leaf litter. Marine Biology 144: 1173-1182. Gilber AJ, Janssen R. 1998. Use of environmental functions to communicate the values of a mangrove ecosystem under different management regimes. Ecological Economics 25: 323-346. Gilman EL, Ellison J, Duke NC, Field C. 2008. Threats to mangrove from climate change and adaptation options. Aquatic Botany, doi: 10. 1016/ j.aquabot. Gross P. 1979. Oceanography A View of The Earth. London (Inggris): PrenticeHall. International Inc. Gross MG. 1990. Oceanography. New York: Maxmillan Publishing Company. Ed ke-5. Gunawati I. 1984. Pengaruh Pembusukan Kelampis Air (Monods pigra) Terhadap Kuantitas dan Kualitas Planton. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Haryani EBS. 2010. Pemodelan Hybrid Bioekonomi untuk Mengembangkan Kawasan Konservasi Laut Di Pulau-pulau Kecil. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana-Institut Pertanian Bogor. Hashim R, Kamali B, Tamin NM, Zakaria R. 2010. An integrated approach to coastal rehabilitation: mangrove restoration in Sungai Haji Dorani, Malaysia. Estuarine, Coastal and Self Science 86: 118-124. Haslam SM. 1995. River Pollution and Ecological Perpective. Chichester (UK): John Wiley and Sons. Hilmi E. 2009. Laporan Kemajuan III Pelaksanaan Program Pemulihan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan di Kepulauan Seribu [Makalah]. Disampaikan pada Workshop Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan di Kepulauan Seribu dalam. Bogor: Pusat Kajian Sumberaya Pesisir dan LautanInstitut Pertanian Bogor. Hoom P. 2008. Community-Based Resource Management Approaches in Southern Africa: The Botswana Experience. Summary of Scientific Evidence Relating to Community-based Conservation. [Future Generations Graduate School of Applied Community Change and Conservation]. Editor: Boyer-Rechlin B, Berk P, Hickson T. The Gordon and Betty Moore Foundation. Hutching B, Saenger P. 1987. Ecology of Mangrove. St. Lucia, London, New York: University of Quensland Press. Jeffries M, Mills D. 1996. Freshwater Ecology, Principle and Aplications. Chichester (UK): John Wiley and Sons. Kairo JG, Dahdouh-Guebas F, Bosire J, Koedam N. 2001. Restoration and management of mangrove systems — a lesson for and from the East African region. South African Journal of Botany 67: 383-389. Kathiresan K, Bingham BL. 2001. Biology of mangroves ecosystems. Advances in Marine Biology 40: 81-251. [Kepmen LH] Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004.
55
2004. Tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove. Jakarta. [Kepmen LH] Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004. 2004. Tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Pedoman Penentuan Kondisi Ekosistem Pulau-Pulau Kecil. Jakarta: Direktorat Pendayagunaan PulauPulau Kecil. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Laporan Akhir Identifikasi Kerusakan dan Perencanaan Rehabilitasi Pantura Jawa Tengah. Jakarta: Direktorat Pesisir dan Laut. Koentjaraningrat. 1997. Metode-Metode Penelitian Masyarakat: Metode Wawancara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Komiyama A, Santiean T, Higo M, Patanaponpaiboon P, Kongsangchai J, Ogino K. 1996. Microtopography, soil hardness and survival of mangrove (Rhizophora apiculata BL.) seedlings planted in an abandoned tin-mining area. Forest Ecology and Management 81: 243-248. Kristensen E, Bouillon S, Dittmar T, Marchand C. 2008. Organic carbon dynamics in mangrove ecosystems: A review. Aquatic Botany 89: 201-219. Kusmana C, Onrizal. 1998. Evaluasi Kerusakan Kawasan Mangrove dan Arahan Teknik Rehabilitasinya Di Pulau Jawa [Makalah]. Lokakarya Jaringan Kerja Pelestarian Mangrove, Pemalang, Jawa Tengah. 12-13 Agustus 1998. Kusmana C. 1998. Pedoman Pembuatan Persemaian Jenis-Jenis Pohon Mangrove. Bogor: Fakultas Kehutanan-Institut Pertanian Bogor. Kusmana C, Wilarso I, Hilwan P, Pamoengkas C, Wibowo T, Tiryana A, Triswanto, Yunasfi, Hamzah. 2005. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Bogor: Fakultas Kehutanan-Institut Pertanian Bogor. Kusmana C. 2007. Konsep Pengelolaan Mangrove yang Rasional [Makalah]. Disampaikan pada Kegiatan Sosialisasi Bimbingan Teknis dan Pemantauan Pelaksanaan Rehabilitasi Mangrove. MacDonald JA, Shahrestani S, Weis JS. 2009. Behavior and space utilization of two common fishes within Caribbean mangroves: implications for the protective function of mangrove habitats. Estuarine Coastal and Shelf Science 84: 195-201. Macjereth FJH, Heron J, Talling JF. 1989. Water Analysis. Cumbria (UK): Freshwater Biological Association. Macnae W. 1968. A General account of fauna of the mangrove swamps of Inhaca Islands, Mocambique. Journal Ecology 50: 93-128. Manassrisuksi K, Weir M, Hussin YA. 2001. Assesment of mangrove rehabilitation programme using remote sensing and GIS: a case study of Amphur Khlung, Chantaburi Province, Easthern Thailand. 22nd Asian Conference on Remote Sensing, Singapore 5-9 November 2001. Mc Neely RN, Nelmanis VP, Dwyer L. 1979. Water Quality Source Book, A Guide to Wter Quality Parameter. Ottawa (Canada): Inland Waters Directorate Water Quality Barnch. Mshale B. 2008. Has community based conservation failed in Tanzania? Lessons from local people’s attitudes and practices towards conservation in Morogoro District. Tropical Resources 27: 72-78. Nagelkerken I, Faunce CH. 2008. What makes mangroves attractive to fish? Use of
56
artificial units to test the influence of water depth, cross-shelf location, and presence of root structure. Estuarine Coastal and Shelf Science 79: 559-565. Nontji A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan. Nybakken JW. 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Othman MA. 1994. Value of mangroves in coastal protection. Hydrobiologia 285: 277-282. Pickard GL, Pond S. 1983. Introductory Dynamical Oceanography. Second Edition. New York (US): Pergamon Press. Praseno DP, Kastoro W.1980. Evaluasi Hasil Pemonitoran Teluk Jakarta 19751979. Jakarta: LON-LIPI. Quoc TV, Kuenzer C, Quang MV, Moder E, Oppelt N. 2012. Review of valuation methods of mangrove ecosystem services. Ecological Indicators 23: 411-465. Rahardjo MD. 1985. Esei-esei Ekonomi Politik. Jakarta: LP3ES. Rechlin B, Taylor D. 2008. Community-based Conservation: is it More Effective, Efficient, and Sustainable? Summary of Scientific Evidence Relating to Community-based Conservation. [Future Generations Graduate School of Applied Community Change and Conservation]. Editor: Boyer-Rechlin B, Berk P, Hickson T. The Gordon and Betty Moore Foundation. Saenger P. 2002. Mangrove ecology, silviculture and conservation. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Santoso N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove [Makalah]. Disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta. Sanusi HS. 2006. Kimia Laut: Proses Fisika Kimia dan Interaksinya dengan Lingkungan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Setyawan AD. 2002. Ekosistem mangrove sebagai kawasan peralihan ekosistem perairan tawar dan perairan laut. Enviro. 2(1): 25-40. Setyawan WB. 2010. Pengamatan terhadap mangrove yang ditanam di pesisir utara, Pulau Jawa bagian barat. Ilmu Kelautan 15(2): 91-102. Simith DJB, Diele K. 2008. Metamorphosis of mangrove crab megalopae, Ucides cordatus (Ocypodidae): Effects of interspecific versus intraspecific settlement cues. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 362: 101-107. Snedaker SC. 1984. Mangrove: their value and prepetuation nature and resources. 14: 6-13. Sobari MP, Adrianto L, Azis N. 2006. Bulletin Penelitian Perikanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian 6(3): 1-18. Soerianegara. 1987. Masalah Penentuan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Jakarta. Summich JL. 1992. An Introduction to The Biology of Marine Life. New York (US): Wm.C. Brown Publisher. Ed ke-5. Suwondo E, Febrita, F Sumanti. 2006. Struktur komunitas gastropoda pada hutan mangrove di Pulau Sipora kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat. J.Biogen. 2(1): 25-29. Tanaka S. 1992. Bali Environment the Sustainable Mangrove Forest. Jakarta: Development of Sustainable Mangrove Management Project.
57
Thampanya U, Vermaat JE, Sinsakul S, Panapitukul N. 2006. Coastal erosion and mangrove progradation of southern Thailand. Estuarine, Coastal and Shelf Science 66: 75-85. [TNKpS] Taman Nasional Kepulauan Seribu. 2009. Hutan Mangrove Di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (Kondisi dan Pengelolaannya). Jakarta: TNKpS. Tomlinson PB. 1986. The Botany of Mangrove. Cambridge: Cambridge Tropical Series, Cambridge University Press. Tupan CI. 2000. Kondisi, Potensi dan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove di Teluk Pelita Jaya, Maluku [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Walton ME, Vay LL, Lebata JH, Binas J, Primavera JH. 2007. Assessment of the effectiveness of mangrove rehabilitation using exploited and non-exploited indicator species. Biocon. 138: 180-188. Whittaker RJ. 1998. Island Biogeography: Ecology, Evolution and Conservation. Oxford (US): Oxford University Press. Widianingsih. 1991. Hubungan antara Sifat Fisik dan Kimia Oseanografi terhadap Keberadaan Zooplanton di Perairan Muara Baru, Teluk Jakarta. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Wu Y, Chung A, Tam NFY, Pi N, Wong MH. 2008. Constructed mangrove wetland as secondary treatment system for municipal wastewater. J.Ecoleng. 34: 137146. Zhu W, Mai K, Wu G. 2002. Thiamin requirement of juvenile abalone, Haliotis discus hannai Ino. Aquaculture 207:331–343
58
LAMPIRAN
59
Lampiran 1 Jenis dan metode pengambilan data Tabel 18 Data parameter fisika, kimia, biologi, sosial ekonomi, budaya dan kelembagaan No. Parameter A. Parameter Fisika 1. Suhu 2. Salinitas 3. Kecepatan arus 4. DO 5. Kedalaman 6. Subsrat B. Parameter Kimia 1. pH 2. TSS
3. 4. 5. 6.
Nitrat Fosfat Kalium BOD
Satuan o
Jenis data
Alat
C /oo m/detik ppm m mg/l
Primer/Sekunder Primer/sekunder Primer/Sekunder Primer/sekunder Primer Primer/Sekunder
Termometer Salinometer Current meter DO meter Tongkat berskala Plastik, sekop
mg/l mg/l
Primer/sekunder Primer
mg/l mg/l mg/l mg/l
Primer Primer Primer Primer
pH meter Botol sampel, kertas saring, labu erlenmeyer, gelas ukur, pinset, oven, desikator, timbangan digital, vacuum pump, akuades Analisis kolom Analisis kolom Analisis kolom Botol gelap, botol terang
o
C. Parameter Biologi (Ekosistem Mangrove) 1. Luas lahan mangrove 2. Kerapatan dan penutupan º/o/ha mangrove
Sekunder Primer
3. Jenis mangrove Primer/Sekunder 4. Frekuensi Jenis mangrove Primer/Sekunder 5. Kesesuaian Lahan Primer/Sekunder (Kandungan hara dan jenis subsrat) 6. Jenis, Ukuran, Bibit Primer/Sekunder 7. Jarak, Aturan lubang (teknik m Primer/Sekunder rehabilitasi) 8. Pelindung (Teknik Primer/Sekunder rehabilitasi) D. Parameter Sosial, Ekonomi, Hukum dan Kelembagaan 1. Kelembagaan (LSM Primer/Sekunder pemerhati lingkungan/pemerintah daerah) - lembaga-lembaga yang ada di tingkat desa (formal dan non formal) - kapasitas lembaga (dilihat dari kemampuan menjabarkan program) - program yang dibuat oleh lembaga yang ada
Analisis GIS Kertas waterproof, roll meter, transek kuadrat berskala 1 x 1 m dan 5 x 5 m, mangrove boot Transek plot Transek plot Transek plot
Transek plot Roll meter Transek plot
Studi pustaka, observasi, kuesioner, dan wawancara mendalam
60
Lampiran 1 Data parameter fisika, kimia, biologi, sosial ekonomi, budaya dan kelembagaan (lanjutan) No. Parameter 2. Peraturan dan perundangan - peraturan dan perundangan baik pada level desa, kecamatan, kabupaten maupun provinsi yang mendukung kegiatan rehabilitasi mangrove 3. Partisipasi masyarakat terhadap ekosistem mangrove
Satuan -
Jenis data Primer/Sekunder
Alat Studi pustaka
-
Primer/Sekunder
4. Tindak lanjut kegiatan rehabilitasi mangrove
-
Primer/Sekunder
5. Keadaan sosial-ekonomi budaya masyarakat - jumlah penduduk, - mata pencaharian, - pendidikan, - persepsi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kegiatan rehabilitasi mangrove, - kecenderungan masyarakat memanfaatkan ekosistem mangrove - keinginan masyarakat dalam menindaklanjuti kegiatan rehabilitasi mangrove
-
Primer/Sekunder
Studi pustaka, observasi, kuesioner, dan wawancara mendalam Studi pustaka, observasi, kuesioner, dan wawancara mendalam Studi pustaka, observasi, kuesioner, dan wawancara mendalam
61
Lampiran 2 Pembibitan dan ukuran tanam semai mangrove
Umur semai mangrove (0-1 bulan)
Umur semai mangrove (5-7 bulan)
Ukuran semai mangrove siap tanam (5-7 Bulan)
62
Lampiran 3 Pengukuran stasiun pengamatan (plot) dengan metode transek kuadrat
Pengukuran lingkar batang mangrove
Transek pengukuran (plot) mangrove
63
Lampiran 4 Pengukuran kualitas perairan lingkungan
Pengambilan sampel air
Pengukuran insitu DO meter (kiri) dan pH meter (kanan)
Pengukuran salinitas perairan
64
Lampiran 5 Diskusi dan wawancara
Diskusi dengan staff Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS)
Diskusi dengan pemerhati lingkungan (Pak Salim) di Pulau Pramuka
Diskusi dengan masyarakat yang berada di sekitar lokasi penanaman mangrove
65
Lampiran 6 Hasil analisis PCA Tabel 19 Matriks korelasi antar variabel NO.
Variabel
S
1.
S
1
Suhu
2.
Suhu
0,2788
1
3.
Sal
-0,3301
0,6213
1
4.
pH
-0,0787
-0,4695
-0,8335
1
5.
DO
-0,4500
-0,5581
0,2631
-0,4341
1
6.
KA
-0,8885
-0,1146
0,1414
0,3909
0,0000
7.
TSS
-0,4987
-0,9396
-0,3162
0,2185
0,7831
0,2236
1
8.
N
0,9925
0,2784
-0,2553
-0,1865
-0,3533
-0,9350
-0,4674
1
9.
OrtoF
-0,0291
-0,7615
-0,2122
-0,1780
0,8442
-0,3540
0,8155
0,0454
1
10.
K
0,0837
0,6724 0,4241
-0,8337 0,4658
-0,4175
1
-0,1915
0,8233
0,5339 0,0417
-0,4187
BOD5
-0,7282 -0,7290
-0,2392
11.
0,6326 0,0384
0,8088
0,0874
-0,9480
Sal
pH
DO
KA
TSS
N
OrtoF
K
BOD5
1
1
Keterangan: S = sintasan; Sal = salinitas; KA = kecepatan arus; N = nitrat; OrtoF = ortofosfat; K = kalium Correlations circle on axes 1 and 2 (76% )
1,5
-- F 2 (33% ) -->
1
Sal
0,5
KA
Suhu
DO 0 TSS OrtoF -0,5
pH
SN K
BOD5
-1
-1,5 -1,5
-1
-0,5
0
0,5
1
1,5
-- F 1 (43% ) -->
Gambar 17 Lingkaran korelasi dari variabel lingkungan
66
Lampiran 6 Hasil analisis PCA (lanjutan) Observations on axes 1 and 2 (76% )
4 MSt.4
-- F 2 (33% ) -->
3 2 1 0 MSt.3 -1
MSt.2 MSt.1
-2 -3 -4
-2
0
2
4
-- F 1 (43% ) -->
Gambar 18 Observasi terhadap axis 1 dan 2 dari lokasi dan lingkungan mangrove
67
Lampiran 7 Peta kondisi keberadaan mangrove dan potensi di Pulau Pramuka
68
Lampiran 8 Peta site plan penanaman mangrove, lamun dan terumbu karang mangrove di Pulau Pramuka
69
Lampiran 9 Kuesioner sosial ekonomi masyarakat di Pulau Pramuka Nomor kuesioner: ……...
PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANAN BOGOR KUESIONER SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT Efektifitas Rehabilitasi Mangrove Di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu Oleh: Agus Haryanto
Tanggal
:
Enumerator
:
I. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Identitas Responden Nama : …………………………………………………………….. Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan Status Perkawinan : a. Sudah kawin b. Belum kawin Umur : …… tahun Pendidikan : a. SD b. SMP c. SMA d. PT Pekerjaan Utama : …………………………………………………………….. Pekerjaan Lainnya : …………………………………………………………….. Pendapatan : a. < Rp. 500.000,b. Rp. 500.000,- s/d Rp. 1.000.000,c. Rp. 1.000.000,- s/d Rp. 2.000.000,d. Rp. 2.000.000,- s/d Rp. 3.000.000,e.> Rp. 3.000.000,9. Alamat/Asal : ……………………………………………………………..
II. Persepsi tentang mangrove di Pulau Pramuka 1. Apakah bapak/ibu mengetahui tentang mangrove? a. Ya b. Tidak 2. Apakah bapak/ibu mengetahui fungsi mangrove? a. Ya b. Tidak jika Ya, sebutkan ………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. 3. Apakah bapak/ibu mengetahui tentang keberadaan mangrove di P. Pramuka? a. Ya b. Tidak 4. Menurut bapak/ibu, bagaimana kondisi kondisi mangrove di P. Pramuka?
70
Lampiran 9 Kuesioner sosial ekonomi masyarakat di Pulau Pramuka (lanjutan) a. Baik b. Buruk karena ………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. 5. Apakah mangrove di P. Pramuka terdapat upaya pengelolaan? a. Ya b. Tidak bentuk pengelolaannya berupa ……………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. siapa pengelolanya ……………………………………………………………. ………………………………………………………………………………….. ……………………………………………………………... (bisa lebih dari 1) 6. Jika pengelolanya bukan masyarakat, apakah masyarakat memiliki peran dan ikut berpartisipasi dalam pengelolaan mangrove di P. Pramuka? a. Ya b. Tidak berupa ………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. 7. Apakah terdapat aturan dalam pengelolan mangrove di P. Pramuka? a. Ya b. Tidak jika ya, sebutkan ………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………….. 8. Apakah bapak/ibu merasakan manfaat dari keberadaan mangrove? a. Ya b. Tidak diantaranya ……………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………….. 9. Apakah bapak/ibu memanfaatkan secara langsung mangrove di P. Pramuka? a. Ya b. Tidak jika Ya, bentuk pemanfaatannya berupa …………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. 10. Apakah terdapat aturan/kesepakatan didalam pemanfaatan mangrove di P. Pramuka? a. Ya b. Tidak jika Ya, sebutkan ……………………………………………………………… ………………………………………………………………………………….. 11. Apakah ada pemanfaat mangrove langsung selain penduduk P. Pramuka? a. Ya b. Tidak jika Ya, darima saja …………………………………………………………… ………………………………………………………………………………….. III. Rehabilitasi Mangrove 1. Apakah bapak/ibu mengetahui tentang rehabilitasi? a. Ya b. Tidak 2. Apakah terdapat program rehabilitasi mangrove di P. Pramuka? a. Ya b. Tidak jika Ya, kapan?............................................................................................... dan dimana? …………………………………………………………………....
71
Lampiran 9 Kuesioner sosial ekonomi masyarakat di Pulau Pramuka (lanjutan) 3. Jika jawaban no. 2 Ya, apakah bapak/ibu terlibat dalam program rehabilitasi mangrove di P. Pramuka? a. Ya b. Tidak jika Ya, kapan? ………………………………………………………………… dimana …………………………………………………………………………. 4. Apakah keterlibatan dalam program rehabilitasi tersebut sukarela dari masyarakat? a. Ya b. Tidak mengapa? ………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………….. 5. Selain program, apakah masyarakat secara swadaya juga melakukan rehabilitasi atau kegiatan-kegiatan pelestarian mangrove? a. Ya b. Tidak kapan? …………………………………………………………………………. dimana? .……………………………………………………………………….. 6. Apakah semua program rehabilitasi mangrove di P. Pramuka dilakukan secara rutin? a. Ya b. Tidak dengan jangka waktu …………………………………………………………... 7. Apakah metode dan teknik penanaman mengrove dalam program rehabilitasi di P. Pramuka sudah benar? a. Ya b. Tidak metode apa? ……………………………………………………………………. teknik apa? …………………………………………………………………….. 8. Apakah program rehabilitasi mangrove di P. Pramuka sudah efektif? a. Ya b. Tidak mengapa? ………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………...... 9. Apakah ada tindak lanjut setelah program rehabilitasi dilakukan? a. Ya b. Tidak berupa apa? …………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. 10. Apakah program rehabilitasi yang ada dianggap berhasil (mangrove dapat tumbuh dan berkembang)? a. Ya b. Tidak mengapa? ……………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………….. IV. Saran 1. Bagaimana seharusnya peran dan keterlibatan masyarakat terhadap pengelolaan mangrove di P. Pramuka? ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. 2. Bagaimana seharusnya peran dan keterlibatan masyarakat terhadap program rehabilitasi mangrove di P. Pramuka? …………………………………………………………………………………..
72
Lampiran 9 Kuesioner sosial ekonomi masyarakat di Pulau Pramuka (lanjutan) ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. 3. Bagaimana seharusnya peran pemerintah dan instansi terkait dalam pengelolaan mangrove di P. Pramuka? ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. 4. Bagaimana seharusnya peran pemerintah dan instansi terkait dalam rehabilitasi mangrove di P. Pramuka? ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. 5. Bagaimana seharusnya program-program rehabilitasi yang dianggap benar dan efektif untuk dilakukan di P. Pramuka? ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. Catatan: ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………
73
Lampiran 10 Tahapan-tahapan rehabilitasi mangrove
1.
2.
Tahapan-tahapan rehabilitasi mangrove (Hilmi 2009): Perencanaan Rehabilitasi Mangrove Perencanaan rehabilitasi meliputi kegiatan persiapan, inventarisasi dan identifikasi, rencana teknis, pengukuran lapangan dan pemetaan. 1) Persiapan Kegiatan persiapan meliputi penyusunan rencana kerja, penyediaan alat dan bahan (patok batas lokasi, bambu atau kay awet berukuran 1,75 m dan cat). 2) Inventarisasi dan Identifikasi Inventarisasi dan identifikasi dilakukan untuk mendapatkan (1) data fisik berupa tinggi air pasang, kestabilan tanah, salinitas, kondisi topografi, iklim, (2) data biologi dengan melihat penutupan vegetasi dan tanda-tanda permudaan alam, (3) data ekonomi. 3) Rancangan teknis Rancangan teknis meliputi (1) tata letak dan fasilitas pendukung berupa luas dan letak lokasi penanaman, pembagian petak tanaman, luas dan letak calon lokasi persemaian, luas dan letak calon lokasi basecamp, letak saluran air, (2) penetapan jenis tanaman yang ditentukan berdasarkan permudaan alam jenis mangrove di areal rehabilitasi, ketersediaan benih, kesesuaian lahan penanaman, pengukuran tinggi air pasang surut dan salinitas. Penyediaan Benih dan Pengunduhan Benih Benih diambil melalui kegiatan pengunduhan benih, kemudian dilakukan pengumpulan benih, penanganan benih, seleksi benih, penyimpanan dan pengangkutan benih. 1) Pengunduhan benih 2) Seleksi benih Seleksi benih dilakukan melalui kegiatan penyortiran benih untuk jenis Rhizopora spp. dan Bruguiera spp. Benih yang dipilih adalah benih yang tidak busuk, tidak dimakan serangga, benih yang propagulnya panjang dengan diameter yang lebih besar, benih sehat dengan corak hijau tua, benih tidak patah dan tidak terlalu bengkok. 3) Pengangkutan dan penyimpanan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (a) tetap membiarkan perikarp (struktur seperti tudung yang terletak di atas kotiledon tetap menutupi plumula) menutupi dan melindungi plumula yang merupakan tunas muda, selama pengangkutan dan penanganan,b) setelah pengumpulanbenih disimpan di bawah naungan dan daun nipah untuk mencegah hilangny air dari benih yang terlalu banyak terutama pada saat hari panas, c) mengikat benih dalam ikatan (50-100 benih perikat), (d) selama pengangkutan benih harus ditempatkan dalam posisi horizontal, diselimuti karung goni lembab atau daun-daun nipah dan dihindarkan dari sengatan matahari dengan waktu penyimpanan tidak lebih dari 10 hari. 4) Teknik Persemaian Mangrove a) Kebutuhan Bibit Jumlah bibit yang diperlukan tergantung dari jumlah areal yang akan ditanami dan jarak tanam yang direncanakan ditambah 20% untuk keperluan penyulaman.
74
Lampiran 10 Tahapan-tahapan rehabilitasi mangrove (lanjuta) b) Kebutuhan Benih c) Kebutuhan Bedeng Tabur Bedeng tabur biasanya dibuat dengan ukuran 5 x 5 m dengan jarak tanam benih tabor adalah 1 x 1 cm. d) Kebutuhan Bedeng Sapih Ukuran sedeng sapih sama dengan bedeng tabor, yaitu 5 x 1 m. Untuk menghitung bedeng sapih tergantung ukuran plastic, misalnya ukuran 10 x 15 m dengan garis tengah 6 cm. Maka dalam satu bedeng sapih 5 x 1 m dibutuhkan 1.389 kantong plastik, sehingga untuk menampung 2.000 bibit maka diperlukan bedeng sapih sebanyak 15 bedeng. e) Menghitung Luas Bedeng Luas bedeng baik bedeng tabor maupun bedeng sapih perlu dihitung, karena akan menentukan luas lahan secara keseluruhan, dengan rumus: Luas bedeng = (jumlah bedeng tabor + jumlah bedeng sapih) x 5 m2 f) Menghitung Jumlah Kantong Plastik Ukuran kantong plastik bermacam-macam misalnya 10 x 15 cm, 12 x 20 cm, 15 x 20 cm. g) Menghitung Jumlah Tenaga Kerja h) Kebutuhan Media Semai Komposisi media semai sangat bervariasi, tapi pada dasarnya harus memenuhi syarat diantaranya ringan, kompak, cukup nutrisi dan bebas hama dan penyakit. Komposisi media dapat berupa top soil, pasir dan kompos dengan perbandingan yang cukup bervariasi. Untuk media semai anakan mangrove dapat digunakan (1) tanah lumpur, (2) campuran tanah mineral, pasir, dan pupuk kandang (kompos) dengan perbandingan 1 dan 2 (tanah): 1 atau 2 (pasir): 1 (pupuk kandang atau kompos). i) Pemilihan Lokasi Persemaian Lokasi persemaian dipilih denga syarat sebagai berikut: tapak relative keras, dekat dengan pasanag surut air laut, akumulasi garam tidak terlalu tinggi, bebas dari ombak, angin kencang dan banjir, aksesibilitas bagus, dekat sumber tenaga kerja, dekat dengan sumber benih dan areal penanaman. j) Perkecambahan
75
Lampiran 11 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 (Lampiran 3: Baku mutu air laut untuk biota laut) No. Parameter Fisika 1. Kecerahana
2. 3. 4.
Kebauan Kekeruhana Padatan tersuspensi totalb
5. Sampah 6. Suhuc 7. Lapisan minyak5 Kimia 1. pHd 2. Salinitase
3. Oksigen terlarut (DO) 4. BOD5 5. Amonia total (NH3-N) 6. Fosfat (PO4-P) 7. Nitrat (NO3-N) 8. Sianida (CN-) 9. Sulfida (H2S) 10. PAH (Poliaromatik hidrokarbon) 11. Senyawa fenol total 12. PCB total (poliklor bifenil) 13. Surfaktan (deterjen) 14. Minyak & lemak 15. Pestisidaf 16. TBT (tributil tin)7 Logam terlarut 17. Raksa (Hg) 18. Kromium heksavalen (Cr(VI)) 19. Arsen 20. Kadmium (Cd) 21. Tembaga (Cu) 22. Timbal (Pb) 23. Seng (Zn) 24. Nikel (Ni) Biologi 1. Coliform (toltal)g 2. Patogen 3. Plankton Radio Nuklida 1. Komposisi yang tidak diketahui
Satuan m
NTU mg/l
C -
o
‰
Baku Mutu Coral: >5 Mangrove: Lamun: >3 Alami3 <5 Coral: 20 Mangrove: 80 Lamun: 20 Nihil1(4) alami Nihil1(5) 7-8,5(d) 3(e)
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l μg/l mg/l MBAS mg/l μg/l μg/l
Alami Coral: 33-34(e) Mangrove: s/d 34 (e) Lamun: 33-34(e) >5 20 0,3 0,015 0,008 0,5 0,01 0,003 0,002 0,01 1 1 0,01 0,01
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/ mg/l mg/l
0,001 0,005 0,012 0,001 0,008 0,008 0,05 0,05
MPN/100 ml Sel/100 ml Sel/100 ml
1000(g)
Bq/l
Nihil1 Tidak bloom6 4
76
Lampiran 11 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 (Lampiran 3: Baku mutu air laut untuk biota laut) (lanjutan) Catatan: 1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan). 2. Metode analisis mengacu pada metode analisis untuk air laut yang telah ada, baik internasional maupun nasional. 3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim). 4. Pengamatan oleh manusia (visual). 5. Pengamatan oleh manusia (visual). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer) dengan ketebalan 0,01mm. 6. Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat menyebabkan eutrofikasi. Pertumbuhan plankton yang berlebihan dipengaruhi oleh nutrien, cahaya, suhu, kecepatan arus, dan kestabilan plankton itu sendiri. 7. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal. a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2 oC dari suhu alami d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan dan Heptachlor g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman
Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM.
77
Lampiran 12 Hasil pengukuran kualitas air di Laboratorium Proling IPB
78
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cirebon, Kotamadya CirebonProvinsi Jawa Barat tanggal 14 Agustus 1976 dari Ayah almarhum H. Surip dan Ibu almarhumah Hj. Siti Maesaroh. Penulis merupakan anak ketujuh dari tujuh bersaudara. Pada tahun 1994 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Cirebon. Tahun 1999 penulis berhasil menyelesaikan program sarjana di Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang. Pada tahun 2005 penulis menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Biro Perencanaan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tahun 2011 penulis melanjutkan studi program Magister Sains di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.