Basah Jurnal Akuakultur, Volume 1. Nomor 1. 2017
EFEK PERBEDAAN SUHU INKUBASI TERHADAP PENETASAN TELUR DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA IKAN KELABAU THE EFFECT OF DIFFERENT INCUBATORY TEMPERATURE TO THE EGG HATCHING AND SURVIVAL OF KELABAU LARVAE 1)
Rusila, 2)Muhammad, dan3)Noor Arida Fauzana
1)
Fakultas Perikanan dan Kelautan Program Studi Budidaya Perairan Universitas Lambung Mangkurat Jalan A. Yani Km 36,5 Simp 4, Banjarbaru, Indonesia email :
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek perbedaan suhu inkubasi terhadap penetasan telur dan kelangsungan hidup larva ikan kelabau (Osteochilus melanopleurus). Penetasan telur dan pemeliharaan larva dilakukan di akuarium ukuran 60x30x40 cm pada suhu 280C (Perlakuan A), 300C (Perlakuan B) dan 320C (Perlakuan C) dengan padat tebar telur ±640 telur/akuarium. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan terbaik diameter telur yaitu pada suhu inkubasi 32oC (2,114 mm) dan waktu penetasan ikan kelabau tercepat pada suhu inkubasi 32oC (11 jam 56 menit). Perlakuan terbaik terhadap kelangsungan hidup larva ikan kelabau pada suhu28oC yaitu 78,05%, diikuti suhu 30oC (66.19%), dan 32oC (45.37%). Kata kunci :Kelabau, suhu inkubasi, penetasan telur dan kelangsungan hidup
ABSTRACT This research aimed to find out the effect of different incubatory temperature to the egg hatching and survival of kelabau larvae (osteochilus melanopleurus). The egg hatching and larval rearing were conducted in aquarium with size 60x30x40 cm at the temperature 280C (treatment A), 300C (treatment B) and 320C (treatment C) with dense stocking egg ±640 egg/aquarium. The research results showed the best treatment diameter of eggs was when the incubatory temperature on 320C (2,114 mm) and the fastest time hatching of kelabau was when the incubatory temperature on 320C (11 hours 56 minutes). The best treatment against the survival of kelabau larvae was at 280C which was 78,05%, followed 300C (66.19%) , and 320C (45.37%). Keywords : Kelabau , incubatory temperature, hatching and survival rate
27
Basah Jurnal Akuakultur, Volume 1. Nomor 1. 2017 menjadi pemicu untuk ikan melakukan
PENDAHULUAN
pemijahan, terutama pada ikan di wilyah Provinsi
Kalimantan
Selatan
tropis (Zairin, Furuka & Aida, 2001).
memiliki sungai-sungai dan perairan rawa
Suhu air rendah akan mengakibatkan
yang luas sehingga terdapat beraneka
proses penetasan pada telur ikan menjadi
ragam spesies ikan lokal yang hidup dan
lambat karena lapisan kulit luar akan
berkembang biak di wilayah ini. Ikan
mengerut yang pada akhirnya menghambat
kelabau
proses kembang biak telur. Suhu penetasan
(Osteochilus
melanopleurus)
merupakan salah satu jenis ikan lokal
yang
benilai ekonomis, hidup di perairan umum
inkubasi telur akan semakin lama, sehingga
yang terdapat di daerah Kalimantan dan
embrio yang telah berkembang sempurna
Sumatera. Sampai sekarang ikan kelabau
berada
masih belum dibudidayakan, produksinya
mempengaruhi daya tetas telur (Yustina
masih terbatas tergantung pada musim-
Arnentis & Darmawanti, 2003).
musim penangkapan (Mardani, 2014). berkurang
di
dalam
&
waktu
telur
Sidi
dan
(2011)
melaporkan bahwa keberhasilan pemijahan
punah
yang
ikan kelabau terjadi pada kisaran suhu 26º-
penangkapan
yang
28ºC dengan waktu ovulasi 13 jam dari
dilakukkan secara terus-menerus yang tidak
penyuntikan kedua. Jumlah fekunditas rata-
memperhatikan
konservasi,
rata antara 39.862 butir per kg induk,
sehingga ikan kelabau perlu dibudidayakan.
tingkat penetasan antara dengan diameter
Budidaya ikan kelabau memiliki
saat ovulasi 1,4-1,5 mm dan berkembang
diakibatkan
bahkan
lama
mengakibatkan
Setijaningsih
Populasi ikan kelabau dikhawatirkan terus
rendah
oleh
norma
beberapa permasalahan diantaranya adalah
sampai 2,7–3,3 mm setelah dibuahi.
pada siklus reproduksinya membutuhkan
Kegiatan pembenihan ikan lokal
habitat pemijahan yang terkontrol artinya
seperti ikan kelabau menjadi penting
lingkungan tempat pemijahan ikan harus
dilakukan melalui pendekatan manipulasi
sesuai dengan habitat aslinya. Menurut
lingkungan. Perubahan suhu memberikan
Andriyanto, Slamet & Ariawan (2013)
pengaruh yang sangat kuat terhadap proses
salah satu faktor lingkungan yang dapat
fisiologis dan biologis. Faktor kualitas air
menentukan keberhasilan pemijahan adalah
terutama suhu air dapat menimbulkan
suhu pada saat inkubasi telur, Suhu dapat
pengaruh yang besar terhadap daya tetas
mempengaruhi pertumbuhan rata-rata dan
dan kelangsungan hidup telur karena
menentukan
waktu
serta
lapisan kulit luar telur akan mengerut
berpengaruh
langsung
pada
proses
karena suhu air rendah yang pada akhirnya
dan
larva.
akan menghambat proses kembang biak
perkembangan Perubahan
penetasan
embrio
temperatur
perairan
dan
amplitude ketinggian permukaan air yang disebabkan 28
pergantian
musim
dapat
telur
yang
erat
hubungannya
transfuse oksigen ke dalam telur.
dengan
Basah Jurnal Akuakultur, Volume 1. Nomor 1. 2017 Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui efek perbedaan suhu inkubasi terhadap hidup
penetasan ikan
dan
kelangsungan
kelabau
(Osteochilus
Akuarium berukuran 60x30x40 cm yang digunakan untuk penetasan telur dan pemeliharaan larva dibersihkan dan diisi air dengan volume 72 liter dan ketinggian air
melanopleurus).
35 cm, selanjutnya dipasang perangkat aerator dan heater. Air yang digunakan
METODE PENELITIAN
sebagai media hidup ikan adalah air sumur. Induk
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Balai Perairan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Karang
Mandiangin Intan
Kecamatan
Kabupaten
keseluruhan masa persiapan hingga penyusunan laporan memerlukan waktu
digunakan
merupakan koleksi BPBAT Mandiangin Kabupaten Banjar yang berasal dari sungai Kapuas. Induk betina
yang digunakan
mempunyai berat 0,5 kg sedangkan berat induk jantan yaitu 0,7 kg.
2. PemjahandanPembuahanIkan Kelabau Induk betina disuntik 2 kali dengan dosis penyuntikan hormon ovaprim 0,5
selama 3 bulan.
mL/kg
Alat dan Bahan
penelitian
bakstyrofoam,
dengan
interval
penyuntikan
pertama dan kedua 6 jam. Penyuntikan
Alat dan bahan yang digunakan
mesinpompa
yang
Banjar
Provinsi Kalimantan Selatan. Secara
dalam
kelabau
adalah
akuarium,
aerator,
heater,
air,
serok,
hormon
ovaprim
untuk
induk
jantan
dosisnya 0,3 mL/kg bersamaan dengan penyuntikan ke 2 induk betina. Pengambilan
sperma
dilakukan
sendok,
dengan
cara
thermometer, mangkuk, cawan petri,
Sperma
kemudian
selang, penggaris, DO meter dan pH
larutan Natrium Chlorida (NaCL). Setelah
meter,
pengambilan
buluayam,
spuit,
mikroskopmerkdino lite premier. Bahan digunakan
adalah
indukikankelabau, ovaprim, aquabidest, natriumklorida, artemia, garamdan air.
Manajemen Penelitian 1. PersiapanAlatdanBahan 29
induk
jantan.
diencerkan
dengan
sperma,
induk
betina
distripping untuk mengeluarkan telurnya
corongkacapiramida,
yang
mengurut
dan ditampung di baskom. Telur yang sudah ditampung dicampur dengan sperma dan diaduk dengan bulu ayam, kemudian air bersih dimasukkan sedikit demi sedikit sebanyak 5 kali sampai telur bersih dan mengembang,
lalu
dipindahkan
ke
akuarium yang berukuran 60x30x40 cm
Basah Jurnal Akuakultur, Volume 1. Nomor 1. 2017 yang telah dipersiapkan.Telur ditetaskan
siang dan sore yaitu pukul 07.00, 12.00,
dalam
17.00 Wita
akuarium
dengan
butir/akuarium. menggunakan
padat
Telur gelas
±640 diambil
ukur
Perlakuan
dengan
perhitungan volumetrik, satu gelas ukur dengan kapasitas 5 mL berisi ±640 telur ikan kelabau.
Perlakuan yang digunakan dalam penelititanEfekPerbedaanSuhuInkubasit erhadapPenetasanTelurdanKelangsunga nHidup
3. PenetasanTelur
Larva
IkanKelabau
(Osteochilusmelanopleurus) adalah : 1.
Perlakuan A (Suhu inkubasi 28°C).
diatur
2.
Perlakuan B (Suhu inkubasi30°C).
suhunya menggunakan heater sesuai
3.
Perlakuan C (Suhu inkubasi32°C).
Wadah penetasan telur berupa akuarium,
setiap
akuarium
perlakuan. Telur diambil menggunakan gelas
ukur
dengan
volumetrik. Hasil
perhitungan
perhitungan satu
gelas ukur dengan kapasitas 5 mL berisi ±640
telur
ikan
kelabau
dan
dimasukkan ke dalam akuarium.
Penelitian
ini
menggunakanRancanganAcakLengkap (RAL)
dengan 3perlakuan
dan
3
(A,B,C)
ulangan
(1,2,3),
sehinggamenghasilkan
9
unit
diamati
pada
percobaan.
4. MasaPemeliharaan Larva Tahap melakukan
selanjutnya proses
setelah
Parameter Pengamatan Parameter
pemijahan yaitu
yang
pemeliharaan larva, masa pemeliharaan
penelitian ini adalah perkembangan telur,
larva dimulai setelah telur menetas
diameter telur, waktu penetasan telur, daya
menjadi larva hingga proses pendederan dengan kurun waktu 7 hari. Telur yang baru menetas menjadi larva akan mendapatkan asupan makanan dari kuning telur yang dibawanya hingga
tetas telur, kelangsungan hidup dan kualitas air. Perkembangan telur dan diameter telur di amati menggunakan Mikroskop yang
telah
komputer.Daya
diinstal tetas
pada diamati
perangkat dengan
umur 3 - 4 hari. Sebelum cadangan
menghitung jumlah telur yang berhasil
kuning telur (yolk) tersebut habis, maka
menetas dengan rumus Kestemont (1988):
larva akan diberikan pakan alami
Daya tetas (%)=Jumlah telur yang menetasx 100 Jumlah telur yang diinkubasi
berupa (±10.950
artemia ekor)
sebanyak dengan
60
mL
pemberian
naupli artemia 3 kali sehari pada pagi,
Tingkat kelangsungan hidup ikan dihitung menurut Effendi (2000), sebagai berikut : Nt
30
Basah Jurnal Akuakultur, Volume 1. Nomor 1. 2017 SR = ------- x 100
No = Jumlah larva ikan kelabau pada saat
No
panen (ekor)
Keterangan :
Data penunjang yang diukur dalam
SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)
penelitian ini adalah DO dan pH. Parameter
Nt = Jumlah larva ikan kelabau pada saat
tersebut
tebar (ekor)
diukur
masing-masing
menggunakan DO meter dan pH meter.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perkembangan Telur Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu yang diperlukan untuk perkembangan telur ikan kelabau setelah dibuahi hingga menetas adalah 11 jam 56 menit . Waktu perkembangan telur ikan kelabau disajikan pada Tabel 1 dan gambar perkembangannya pada Gambar 1. Tabel 1. Fase Perkembangan Telur Ikan Kelabau Perkembangan Telur
Jam 00 00 00 00 00 03 06 09 11
Pembelahan zygot (2 sel) Pembelahan zygot (4 sel) Pembelahan zygot (8 sel) Pembelahan zygot (16 sel) Stadia morula (32 sel) Stadia brastula Stadia grastula Stadia organogenesis Menetas
Waktu Perubahan Fase Menit 11 15 19 25 31 05 05 00 56
2 Sel (11 menit)
4 Sel (15 menit)
8 Sel (19 menit)
16 Sel (25 menit)
Gastrula (6 jam 5 menit)
Organogenesis (9 jam)
Menetas (11 jam 56 menit)
Larva Umur 1 Hari
Gambar
1.
Perkembangan
Telur
Ikan
32 Sel/Morula (31 menit)
Kelabau
Blastula (3 jam 5 menit)
Larva Umur 7 Hari
hingga
Menetas
Proses embriogenesis dimulai dari
telur ikan kelabau terjadi selama 31 menit
pembelahan
morula,
setelah telur dibuahi, kemudian 11 jam 56
blastula, gastrula, dan organogenesis yang
menit setelah pembuahan telur ikan kelabau
selanjutnya
menetas. Waktu yang diperlukan telur dari
stadia
merupakan
sel
menetas.
Pembelahan zigot
dibuahi hingga menetas pada penelitian ini
menjadi unit-unit sel kecil. Pembelahan sel
lebih cepat dibanding penelitian yang
31
proses
telur,
pembelahan
Basah Jurnal Akuakultur, Volume 1. Nomor 1. 2017 dilaporkan Muttaqien (2016)
yaitu 18
pembelahan zigot karena chorion yang
jam.Effendi (2002) mengemukakan bahwa
lemah,pada
faktor luar yang utama mempengaruhi
menjadi semakin keras dan warna telur
pengeraman
berubah menjadi putih susu. Hal ini
ialah
suhu
perairan,
tahap
menunjukan
dapat menyebabkan kematian embrio.
perlindungan untuk menjaga gangguan dari
masa
mempunyai
tahap
luar selama proses perkembangan telur
perkembangan embrio berlangsung secara
sampai telur menetas. Waktu penetasan
normal, pembentukan semua organ tubuh
telur, embrio sering merubah posisinya
hampir
akan
dalam cangkang, pergerakan-pergerakan
menetas. Waktu yang diperlukan untuk
tersebut untuk memecah cangkang dan
pembelahan zygot lebih cepat dibanding
terjadi penetasan.
sempurna
inkubasi
telur
chorion
pencahayaan, gas (zat asam arang) yang
Selama
bahwa
selanjutnya
ketika
telur
pada stadia morulla hingga organogenesis
B. Diameter Telur
dan kemudian menetas. Telur ikan kelabau
Rata-rata diameter telur ikan kelabau
membelah secara meroblastis yaitu hanya
berkisar mulai 1,783 sampai 2,114 mm.
bagian bagian sitoplasma yang membelah
Diameter telur ikan pada masing - masing
sedangkan kuning telurnya tidak ikut
perlakuan disajikan pada Tabel 2 dan rerata
membelah.Telur mudah pecah pada masa
diameter telur ikan kelabau pada Gambar 2
Tabel 2. Rerata Diameter Telur Ikan Kelabau Perlakuan
Ulangan (mm) 2 1,762 1,884 2,120
1 1,838 1,874 2,104
A B C
Rerata (mm)
3 1,750 1,949 2,120
1,783 ± 0,05c 1,902 ± 0,04b 2,114 ± 0,009a
Keterangan : A = Suhu inkubasi 28°C; B = Suhu inkubasi 30°C; C = Suhu inkubasi 32°C. Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 2. Rerata Diameter Telur Ikan Kelabau Hasil analisis keragaman (Anova) berpengaruh nyata terhadap diameter telur Fhitung
>
perlakuan diameter
Ftabel
berpengaruh telur
artinyaperbedaan
32
menunjukkan nyata ikan suhu
bahwa
ikan kelabau.
terhadap
Hasil uji BNJ menyatakan bahwa
kelabau,
perlakuan C (32oC) berbeda sangat nyata
inkubasi
dengan perlakuan A (28oC), perlakuan C
Basah Jurnal Akuakultur, Volume 1. Nomor 1. 2017 (32oC)
berbeda
sangat
nyata
dengan
yang dipijahkan (fekunditas), maka ukuran
perlakuan B (30oC), perlakuan B (30oC)
diameter telurnya makin kecil, demikian
berbeda sangat nyata dengan perlakuan A
pula sebaliknya (Tang & Affandi, 2001). Effendie
(28oC). Perlakuan C dengan suhu inkubasi 32ºC ternyata mempunyai diameter telur yang lebih besar dibandingkan perlakuan A (28 ºC ) dan perlakuan B (30 ºC). Hal ini di karenakan
suhu
berpengaruh
terhadap
lapisan kulit luar telur, selaras dengan pernyataan
Yustina,
Arnentis
&
Darmawanti (2003) bahwa suhu air rendah akan mengakibatkan proses penetasan pada telur ikan akan menjadi lambat karena lapisan kulit luar akan mengerut yang pada akhirnya menghambat proses kembang biak telur, dan waktu inkubasi telur akan semakin lama, sehingga embrio yang telah berkembang sempurna berada lama di
(2002),
menyatakan
bahwa semakin berkembang gonad, maka ukuran diameter telur yang ada didalamnya semakin besar sebagai hasil pengendapan kuning telur, hidrasi, dan pembentukan butir-butir
minyak.
mengemukakan
bahwa
Unus
(2009),
semakin
besar
ukuran diameter telur akan semakin baik, karena
dalam
telur
tersebut
tersedia
makanan cadangan sehingga larva ikan akan bertahan lama. Larva yang berasal dari telur yang besar memiliki keuntungan karena memiliki cadangan kuning telur yang lebih banyak sebagai sumber energi sebelum memperoleh makanan dari luar. C. Waktu Penetasan Telur
dalam telur.
Rata-rata waktu penetasan telur
Diameter telur setiap spesies ikan
ikan kelabau berkisar mulai 716 menit (11
berbeda antar individu, karena diameter
jam 56 menit) sampai 740 menit (12 jam 20
telur dipengaruhi oleh lingkungan dan
menit). Waktu penetasan telur ikan pada
ketersediaan nutrisi (Basri, 2002). Selain itu juga diameter telur ada hubungannya dengan fekunditas, makin banyak telur
masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 3 dan Rerata waktu penetasan telur ikan
kelabau
pada
Gambar
3.
Tabel 3. Rerata Waktu Penetasan Telur Ikan Kelabau Ulangan (Menit)
Perlakuan 1 740 735 720
A B C
2 739 731 713
Rerata (Menit) 3 742 735 716
740 ± 1,57a 734 ± 2,30b 716 ± 3,51c
Keterangan : A = Suhu inkubasi 28°C; B = Suhu inkubasi 30°C; C = Suhu inkubasi 32°C. Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) 760 b 740±1,52a
Waktu Penetasan (Menit)
734±2,30
740
716±3,51c
720
A = Suhu Inkubasi 280C…
700 680 A
B
C
Gambar 3. Rerata Waktu Penetasan Telur Ikan Kelabau 33
Basah Jurnal Akuakultur, Volume 1. Nomor 1. 2017 Hasil uji BNJ memperlihatkan
mempengaruhi pertumbuhan rata-rata dan
bahwa perlakuan C (32oC) berbeda sangat
menentukan
waktu
(28oC),
berpengaruh
langsung
nyata
dengan
perlakuan
A
penetasan pada
serta proses
perlakuan C (32oC) berbeda sangat nyata
perkembangan embrio dan larva.Perubahan
dengan perlakuan B (30oC), perlakuan B
temperatur
(30oC) berbeda nyata dengan perlakuan A
ketinggian permukaan air yang disebabkan
(28oC).
pergantian musim dapat menjadi pemicu Penelitian ini menunjukkan bahwa
ada
pengaruh
dan
amplitude
untuk ikan melakukan pemijahan terutama
terhadap
waktu
pada ikan wilayah tropis (Zairin, Furuka
kecenderungan
bahwa
& Aida, 2001). Yustina, Arnentis &
semakin tinggi suhu semakin cepat pula
Darmawanti (2003) menambahkan bahwa
penetasan telur ikan kelabau, hal tersebut
suhu air rendah akan mengakibatkan proses
sesuai dengan
penetasan menjadi lambat, suhu penetasan
penetasan,
suhu
perairan
ada
yang dijelaskan Sukendi
(2003) dalam Putri, Muslim dan Fitrani
yang
(2013) bahwa penetasan telur akan lebih
inkubasi telur akan semakin lama, sehingga
cepat pada suhu tinggi, karena pada suhu
embrio yang telah berkembang sempurna
tinggi proses metabolisme akan terjadi
berada
lebih cepat sehingga perkembangan embrio
mempengaruhi daya tetas telur.
juga akan lebih cepat dan pergerakan
B.
embrio dalam cangkang akan lebih intensif
rendah
lama
mengakibatkan
didalam
telur
waktu
dan
Daya Tetas Telur Rata-rata daya tetas telur ikan
maka terjadi penetasan lebih cepat.
kelabau berkisar antara 20,99-26,35%.
Andriyanto, Slamet & Ariawan
Daya tetas telur ikan pada masing-masing
(2013) menyatakan bahwa salah satu faktor
perlakuan disajikan pada Tabel 4 dan rerata
lingkungan
waktu penetasan telur ikan kelabau pada
yang
dapat
menentukan
keberhasilan pemijahan adalah suhu pada saat
inkubasi
telur,
suhu
Gambar 4.
dapat
Tabel 4. Rerata Daya Tetas Telur Ikan Kelabau Perlakuan A B C
1 39.53 19.37 15.31
Ulangan (%) 2 20.00 26.71 25.62
3 19.53 30.93 22.03
Rerata (%) 26.35 ± 11,41a 25.67 ± 5,85a 20.99 ± 5,23a
Keterangan : A = Suhu inkubasi 28°C; B = Suhu inkubasi 30°C; C = Suhu inkubasi 32°C. Huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)
Gambar 4. Rerata Daya Tetas Telur Ikan Kelabau 34
Basah Jurnal Akuakultur, Volume 1. Nomor 1. 2017 Hasil
penelitian
menunjukkan
yang telah dilaporkan Muttaqien (2016)
bahwa daya tetas telur ikan kelabau tidak
pada kisaran suhu 27,2-280C diperoleh
berpengaruh nyata antara perlakuan, hal ini
rerata daya tetas telur ikan kelabau 14,04-
mengindikasikan bahwa perlakuan yang
38,29%.
diterapkan masih dalam kisaran yang
Rendahnya tingkat penetasan pada
sesuai. Menurut Sutisna &Sutarmanto
penelitian ini diduga berkaitan
(1995) bahwa penetasan terjadi dengan cara
kualitas telur. Waktu pemijahan ikan
penghancuran chorion oleh enzim yang
kelabau saat penelitian dilakukkan sudah
dilakukan oleh kelenjar ektoderm dan oleh
melewati musim pemijahan yaitu pada
gerakan-gerakan embrio akibat peningkatan
musim kemarau (bulan Mei), sementara di
suhu, intensistas cahaya dan pengurangan
alam ikan kelabau memijah pada saat awal
oksigen terlarut, Tang & Affandi (2001)
musim penghujan (September - Maret).
menambahkan bahwa, pada suhu yang
C. Kelangsungan Hidup Larva
terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menghambat
proses
penetasan
dengan
Rata-rata Kelangsungan hiduplarva
telur,
ikan kelabau berkisar antara 45,37-78,05%.
bahkan suhu yang terlalu ekstrim dapat
Kelangsungan hidup
menyebabkan
dan
masing-masing perlakuan disajikan pada
kegagalan penetasan. Meskipun demikian
Tabel 5 dan rerata kelangsungan hidup
nilai tersebut masih sangat rendah, begitu
larva ikan kelabau pada Gambar 5.
kematian
embrio
larva ikan pada
pula jika dibandingkan dengan penelitian Tabel 5. Rerata Kelangsungan Hidup Larva Ikan Kelabau Perlakuan
1 71.14 63.70 53.06
A B C
Ulangan (% 2 74.21 63.15 25.60
3 88.80 71.71 57.44
Rerata (%) 78.05 ± 9,43a 66.19 ± 4,48ab 45.37 ± 17,25b
Keterangan : A = Suhu inkubasi 28°C; B = Suhu inkubasi 30°C; C = Suhu inkubasi 32°C. Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 5. Rerata Kelangsungan Hidup Larva Ikan Kelabau Hasil uji Normalitas Liliefors dan Fhitung > Ftabel menunjukkan
bahwa
Homogenitas Ragam Barlett menunjukkan
perlakuan berpengaruh nyata terhadap daya
bahwa
tetas telur ikan kelabau, artinya perbedaan
data
menyebar
normal
dan
homogen. Hasil analisis keragaman Anova 35
Basah Jurnal Akuakultur, Volume 1. Nomor 1. 2017 suhu inkubasi berpengaruh nyata terhadap
sebesar
21,83%.
Hasil
penelitian
ini
kelangsungan hidup larva ikan kelabau.
menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu
Hasil uji Duncan menyatakan bahwa
media pemeliharaan larva semakin rendah
perlakuan C tidak berbeda nyata dengan
tingkat kelangsungan hidup larva ikan
perlakuan B, perlakuan C berbeda nyata
kelabau.
dengan perlakuan A, perlakuan B tidak berbeda nyata dengan perlakuan A .
larva
ikan
Effendi
(2004),
kelangsungan hidup ikan adalah persentase
Suhu air yang berbeda pada media pemeliharaan
Menurut
Kelabau
ikan yang hidup dari seluruh ikan yang dipelihara
setelah
melewati
masa
menyebabkan tingkat kelangsungan hidup
pemeliharaan. Daya kelangsungan hidup
yang
ikan
berbeda.
Rata-rata
tingkat
sangat
bergantung
kepada
daya
kelangsungan hidup larva ikan kelabau
adaptasi ikan terhadap makanan yang baik,
berkisaran
78,05%.
keadaan fisik ikan yang cukup kuat,
Persentase kelangsungan hidup tertinggi
kualitas makanan yang diberikan cukup
adalah
baik,
antara
perlakuan
45,37
A,
-
yakni
78,05%,
dan
kualitas
air
yang
cukup
kemudian disusul oleh perlakuan B, yakni
mendukung pertumbuhan. Hal lain yang
sebesar 66,19%, yang terendah perlakuan
diduga
C, yakni 45,37%. Nilai kisaran rata-rata
ketidakmampuan larva beradaptasi dengan
persentase kelangsungan hidup ini cukup
baik pada suhu air yang berfluktuasi. Air
baik
dengan suhu yang berfluktuasi dapat
apabila
dibandingkan
dengan
menyebabkan
kematian
penelitian yang dilakukan oleh Akbar
mengakibatkan
(2015) mengenai kelangsungan hidup larva
mengakibatkan
ikan
hasil
Morioka et al. (2008), menambahkan
kelangsungan hidupnya <34,13%. Namun,
bahwa kematian larva dapat disebabkan
apabila dibandingkan dengan penelitian
oleh kanibalisme larva dengan padat tebar
yang dilakukan oleh Muttaqien (2016)
yang tinggi, ukuran larva yang bervariasi,
maka hasilnya tidak jauh berbeda.
kemampuan
kelabau,
yang
mana
ikan
adalah
kematian
berlindung,
stress
dan
bagi
ikan.
dan
kondisi
Hasil penelitian Muttaqien (2016),
pencahayaan. Kondisi lingkungan yang
rata-rata tingkat kelangsungan hidup larva
tidak menunjang (diluar kisaran normal)
kelabau berkisar antara 21,83% - 79,73%.
seperti terlalu tinggi suhu, adanya cahaya
Persentase kelangsungan hidup tertinggi
langsung dan lainnya dapat mengakibatkan
adalah perlakuan C (ketinggian air 35
kematian terutama pada masa transisi atau
cm/akuarium) yakni 79,73%, kemudian
kritis.
perlakuan
F. Kualitas Air
B
(ketinggian
air
25
cm/akuarium) yakni sebesar 65,10% dan yang
A
penelitian diketahui bahwa pH awal 8,18
(ketinggian air 15 cm/akuarium) yakni
dan pH akhir 8,12 dan oksigem terlarut
36
terendah
pada
perlakuan
Hasil pengukuran kualitas air pada
Basah Jurnal Akuakultur, Volume 1. Nomor 1. 2017 (DO) awal dan akhir masing-masing 5,7 dan 5,1 mg/L Hasil
pengukuran
rerata
konsentrasi pH pada masa pemeliharaan berkisar antara 8,12 – 8,18 dan dapat dikatakan bersifat basa. Menurut Cholik (1986) pH yang cocok untuk semua jenis ikan berkisar antara 6,7-8,6. Menurut Effendie (2003) kadar DO 1,0 – 5,0 mg/l ikan dapat bertahan hidup
tetapi
pertumbuhan
terganggu,
sedangkan kadar DO > 5,0 mg/l kadar DO yang
disukai
oleh
semua
organisme
perairan.Oksigen terlarut untuk penetasan telur menurut (Wijayanti et al., 2011) telur ikan nilem dapat berkembang dan menetas dengan baik pada media dengan kandungan oksigen terlarut sebesar 4,0-4,2 ppm hingga 6,0-7,7 ppm. Kandungan oksigen terlarut (DO) selama penelitian masih berada dalam kisaran yang cukup baik.
KESIMPULAN Perlakuan
terbaik
terhadap
inkubasi telur ikan kelabau pada suhu 32oC dengan diameter telur 2,114 mm dan waktu penetasan 11 jam 56 menit. Perlakuan
terbaik
terhadap
kelangsungan hidup larva ikan kelabau pada suhu 28oC (78,05%), diikuti suhu 30 oC (66.19%), dan 32 oC (45.37 %).
DAFTAR PUSTAKA Akbar, Muhammad. 2015. Pengaruh Padat Penebaran yang Berbeda Terhadap Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Kelabau (Osteochilus 37
melanopleurus)yang Dipelihara dalam Akuarium. Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Universitas Lambung Mangkurat, Fakultas Perikanan dan Kelautan. Banjarbaru. Ali, Muhammad dan R.S Junianto, 2014. Pengaruh Lanjut Suhu pada Penetasan Telur terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Baung (Hemibagrus nemurus). Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014. Palembang. Andriyanto, W., B. Slamet dan I. M. D. J. Ariawan. 2013. Perkembangan Embrio dan Rasio Penetasan Telur Ikan Kerapu Raja Sunu (Plectropomalaevis) pada Suhu Media Berbeda. Jurnal Ilmu dan Tekonologi Kelautan Tropis. 5 (1) : 192-207. Basri, 2002. Penambahan Vitamin E Pada Pakan Buatan Induk Dalam Usaha Peningkatan Kecepatan Kematangan Gonad, Fekunditas, Kondisi Telur, Fertilitas dan Daya Tetas Telur Ikan Gurami (Ospheronemus gourami Lacepede). Fisheries Journal garing. I (11) : 56-82. Cholik, F., dan A. Rahmat, 1986. Manjemen kualitas Air Pada Kolam Budidaya Ikan. Direktorat Jenderal Perikanan Research Centre. Jakarta. 51 halaman. Effendi, I. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta. Effendi, M. I.,2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163 halaman. Effendie, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan LingkunganPerairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Hanafiah, K. A. 1993. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Palembang. 238 halaman. Kestemont, P. 1988. Effect of Hormonal Treatment on Induced Ovulation inGudgeon Gabio gabio L. Aquaculture, 63 : 373 - 385.
Basah Jurnal Akuakultur, Volume 1. Nomor 1. 2017 Kristanto, A. H., S. Asih, M. F. Sukadi & Yosmaniar. 2008. Prospek ikan kelabau (Osteochilus melanopleura Blkr), tengalan (Puntius bulu) dan Tengadak (Puntius sp) Sebagai Ikan Budidaya Baru. Prosiding Seminar Nasional Perikanan 2008. Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. Hal 133-135. Mardani. 2014. Pengaruh Sumber Makanan yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Ikan Kelabau Padi (Osteochilus melanopleurus) yang Dipelihara Dalam Hapa di kolam. Jurnal Ilmu Hewani Tropika Vol 3. No. 1. Juni 2014. Universitas Kristen Palangkaraya. Melianawati, R., P.T.Imanto dan M. Suastika, 2010. Perencanaan Waktu Tetas Telur Ikan Kerapu dengan Penggunaan Suhu Inkubasi yang Berbeda. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis 2 (2): 83-91. Morioka, S., Ito, S., Kitamura, S., Vongvichith, B. 2008. Growth and Morphological Development of Laboratory-Reared Larval and Juvenile Climbing PerchAnabas testudineus. Ichthyol Res. The Ichthyological Society of Japan. Japan. Muttaqien, Gusti Adly Adrian. 2016. Variasi Ketinggian Air Untuk Daya Tetas Telur dan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Kelabau (Osteochilus melanopleura BLKR). Penelitian Skripsi. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan ULM Banjarbaru. Nugraha, D.N., M.N. Supardjo dan Subiyanto, 2012. Pengaruh Perbedaan Suhu terhadap Perkembangan Embrio, Daya Tetas Telur dan Kecepatan Penyerapan Kuning Telur Ikan Black Ghost (Apteronotus albifrons) pada Skala
38
Laboratorium. Journal of Management of Aquatic Resources 1 (1): 1-6. Putri, D.A, Muslim dan M.Fitrani, 2013. Persentase Penetasan Telur Ikan Betok (Anabas testudineus) dengan Suhu Inkubasi yang Berbeda. Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia 1 (2): 184-191. Setijaningsih, L., S. Asih. 2011. Keberhasilan Pembenihan Ikan Kelabau (Osteochilus Melanopleura Blkr) sebagai Upaya Konservasi Ikan Lokal Melalui Manipulasi Lingkungan dan Hormon. Balai Penelitian Budidaya Air Tawar. Prosiding Forum Nasional Pemacuan Sumber Daya Ikan III. Sutisna, Dedy Heryadi dan Ratno Sutarmanto. 1995. Pembenihan Ikan Air Tawar. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Tang, U.M. dan Affandi, R. 2001. Biologi Reproduksi Ikan. Pusat Penelitian Kawasan Pantai dan Perairan Iniversitas Riau, Pekanbaru. 153 hal. Unus, F. 2009. Kajian Biologi Reproduksi Ikan Malalugis Biru (Decagteruslmacarellus cuutier) di Perairan Kabupaten Banggai Kepulauan. Disertasi. Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin. Makasar. 105 Halaman. Yustina, Arnentis dan Darmawanti. 2003. Daya Tetas dan Laju Pertumbuhan Larva Ikan Hias Betta splendens di Habitat Buatan. Laboratorium Biologi. PMIPA,FKIP. Universitas Riau. Jurnal Natur Indonesia. Zairin M Jr, Furukawa K, Aida K. 2001. Induction of Spawning in the Tropical Walking Catfish, Clarias batrachus by temperature. Biotropia 16:18-27.
Basah Jurnal Akuakultur, Volume 1. Nomor 1. 2017
39