Edisi April-Juni 2016
BRIEF
PAKET KEBIJAKAN EKONOMI DAN IKLIM INVESTASI DAERAH PAKET KEBIJAKAN UKM DAN PERAN PEMDA MENGEJAR KEMUDAHAN BERUSAHA
BRIEF 5
ARTIKEL PAKET KEBIJAKAN EKONOMI DAN IKLIM INVESTASI DAERAH
4 13
Sumber: http://kek.ekon.go.id/
20
OPINI
17
PAKET KEBIJAKAN UKM DAN PERAN PEMDA
23 31
Sumber dari internet
25
SEPUTAR OTONOMI MENGEJAR KEMUDAHAN BERUSAHA
D AFT AR IISI DAFTAR SI EDITORIAL MEREALISASIKAN PAKET KEBIJAKAN EKONOMI
REVIEW REGULASI INSENTIF PAJAK BAGI KEGIATAN USAHA: PERDA KOTA PONTIANAK NO.06 TH.2010
DARI DAERAH KEBIJAKAN DAERAH BERBUAH SIMALAKAMA
LAPORAN KEGIATAN PERATURAN DAERAH YANG MENGHAMBAT INVESTASI
AGENDA KPPOD LOKALATIH METODE REGULATORY IMPACT ASSESSMENT (RIA)
SOSIALISASI PERBAIKAN KEMUDAHAN BERUSAHA DI INDONESIA
DISKUSI MEDIA: REGULASI DAERAH
YANG MENGHAMBAT PENINGKATAN IKLIM INVESTASI
Susunan Redaksi | Penanggung Jawab: Robert Na Endi Jaweng | Pemimpin Redaksi: Herman Nurcahyadi Suparman | Staff Redaksi: Boedi Rheza, Tities Eka Agustine, M. Yudha Prawira, Nur Azizah Febryanti, Aisyah Nurrul Jannah | Distribusi: Maria Regina Retnobudiastuti, Eka Sukmana, Agus Salim | Desain/Layout: Winantyo Alamat Redaksi | Gedung Permata Kuningan Lt.10, Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C, Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan, 12980 | Telp. [021] 8378 0642/53 | Fax. [021] 8378 0643 | Email:
[email protected] | Website: www.kppod.org | Facebook: kppod Gambar sampul diperoleh dari internet: www.indonesia-tourism.com
3
EDITORIAL
MEREALISASIKAN PAKET KEBIJAKAN EKONOMI
S
ejak 9 September 2015 hingga 28 April 2016, Pemerintah telah mengeluarkan 12 paket kebijakan ekonomi. Rangkaian kebijakan ini mencakup antara lain deregulasi, kemudahan investasi, stabilisasi harga, hingga kawasan ekonomi khusus. Sekilas terkesan, selusin paket ini hanya merangkul dunia investasi. Namun, peningkatan investasi sesungguhnya akan mendorong lapangan kerja, lantas mengurangi penggangguran, meningkatkan pendapatan nasional dan pertumbuhan ekonomi. Tentu ini merupakan karpet merah bagi masyarakat untuk menikmati kesejahteraan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, butuh peran aktif semua stakeholders, terutama pemerintah daerah. Mengapa? Dalam konteks otonomi daerah, pemerintah daerah merupakan ujung tombak pembangunan Indonesia. Kita tahu, selaras semangat KPPOD, membangun Indonesia sesungguhnya berarti membangun daerah-daerah. Untuk itu, KPPODBrief kali ini ingin mengangkat tema seputar peran pemerintah daerah dalam merealisasikan paket kebijakan ekonomi. Pada “Rubrik Artikel” akan diulas peran yang bisa dimainkan Pemda dalam domain kewewenangannya. Pertama, mendorong sektor riil berupa penguatan dan perluasan bidang usaha serta kredit bagi Usaha Kecil dan Menengah (UMKM). Kedua, menghidupkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Langkah yang diambil antara lain melalui program deregulasi dengan cara melepaskan duplikasi dan redudansi atau “merevisi/mencabut” perda-perda yang menghambat investasi. Terkait regulasi bermasalah, “Rubrik dari Daerah” mengangkat contoh kasus di Kabupaten Karawang dimana Pemda berikhtiar melindungi tenaga kerja lokal melalui Perda yang justru kontraproduktif dengan proses penciptaan iklim investasi yang sehat. Sebaliknya, dalam “Rubrik Review Regulasi” dibedah Perda Kota Pontianak yang memberi sinyal positif bagi pengembangan dunia usaha di daerah. Regulasi ini memberi insentif bagi pelaku usaha yang menggunakan minimal 60% tenaga kerja lokal.
Herman N. Suparman Pemred KPPOD Brief/ Peneliti KPPOD
Merespons beragam persoalan tersebut, selama ini KPPOD aktif turun ke daerah dan melakukan advokasi baik melalui media maupun “roadshow” ke Kementerian/Lembaga terkait. Sejumlah advokasi tersebut dinarasikan dengan baik dalam “Rubrik Laporan Kegiatan dan Agenda KPPOD”. Semoga sejumlah isi rubrik diatas menjadi bahan deliberasi dan knowledge sharing yang mencerahkan bagi pembaca, terutama bagi para pengambil kebijakan publik di daerah. Selamat membaca.
4
ARTIKEL
PAKET KEBIJAKAN EKONOMI & IKLIM INVESTASI DAERAH
P
emerintah pusat sejak September 2015 terus menata fondasi perekonomian baik mikro maupun makro, meletakkan isu daya saing investasi menjadi topik utama. Rendahnya peringkat kemudahan berusaha Indonesia (109 dari 189 negara di seluruh dunia, EoDB 2016) yang tertinggal jauh dari peringkat negara tetangga yang merupakan pesaing utama dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) saat ini: Singapura (1), Malaysia (18), dan Thailand (26). indeks kemudahan berusaha tersebut mencerminkan kenyataan yang dihadapi para pelaku usaha dalam berurusan dengan regulasi dan birokrasi layanan usaha. Rendahnya peringkat kita mencerminkan bahwa selama ini regulasi dan birokrasi layanan perizinan tidak banyak mendukung perkembangan usaha dan daya saing investasi.
investasi rata-rata 14.280 Juta USD per tahun. Data realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) juga berada pada kondisi yang sama. Pulau Jawa masih memiliki magnet yang cukup kuat bagi para investor baik di dalam dan luar negeri. Rendahnya investasi di luar Pulau Jawa disebabkan, antara lain, kualitas dan ketersediaan infrastruktur. Berdasarkan studi Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) 2011, pelaku usaha menilai bahwa infrastruktur di daerah perlu ditingkatkan. Keterbatasan infrastruktur menyebabkan pelaku usaha di Jambi, Kalimantan Barat (Kalbar), Kalimantan Tengah (Kalteng), dan Papua harus menunggu 100 hari atau lebih untuk perbaikan jalan. Wilayah Maluku, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalbar dan Sulawesi Barat (Sulbar) mengalami pemadaman listrik dalam frekuensi 5-7 kali per minggu.
Jika menilik data Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) tentang Tities Eka Agustine Selain infrastruktur, kendala terkait realisasi investasi berdasarkan lokasi Peneliti KPPOD regulasi daerah juga mempengaruhi tampak bahwa sesungguhnya tak banyak persepsi pengusaha dalam berinvestasi daerah di Indonesia memberikan daya (TKED, 2011). Beberapa perda memiliki permasalahan tarik bagi investor. Data realisasi Penanaman Modal Asing (PMA), misalnya, menunjukan Pulau Jawa hingga dari aspek yuridis berupa tidak update nya peraturan daerah dengan peraturan nasional. Lebih lanjut, 2015 lalu masih berada di posisi teratas dengan nilai Grafik 1. Realisasi Investasi PMA dan PMDN Berdasarkan Lokasi 2015
Sumber: BKPM 2015
Sumber: BKPM 2015
5
substansi regulasi juga tidak memberikan kejelasan standar waktu, biaya dan juga prosedur sehingga beban transaksi biaya akan mengurangi daya kompetisi. Dukungan pemda berupa Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS) juga masih belum sepenuhnya dapat diakses oleh pengusaha. Berbagai tantangan dalam pengembangan iklim investasi daerah menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah untuk mulai mendorong [stimulus, insentif] pengembangan investasi di luar Pulau Jawa. Daerahdaerah lainnya juga memiliki banyak sumber daya alam dan tentunya memiliki potensi untuk dapat berperan kuat dalam perekonomian nasional. Selusin paket kebijakan ekonomi telah dirancang pemerintah yang harapannya menjadi sebuah pijakan untuk membantu pemerintah daerah dalam mempromosikan investasi. Kedua belas paket kebijakan yang telah dipublikasikan tersebut secara langsung menyasar pada perbaikan kebijakan dan layanan usaha di tingkat Provinsi, Kabupaten/ Kota [untuk memudahkan identifikasi substansi paket kebijakan yang ditujukan kepada perbaikan iklim investasi di daerah, silakan lihat Tabel 1 yang menunjukkan pemetaan paket kebijakan ekonomi yang harus direspon oleh daerah]. Selanjutnya, bahasan dalam artikel ini terbagi menjadi dua fokus yang menjadi ruang lingkup kewenangan Pemerintah Daerah. Pertama, mendorong sektor riil berupa penguatan dan perluasan bidang usaha serta kredit bagi Usaha Kecil dan Menengah (UMKM); Kedua, menghidupkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Untuk mencapai target dari masing-masing kebijakan, pemerintah membungkusnya melalui tiga instrumen, antara lain deregulasi yang mencakup rasionalisasi peraturan dengan cara menghilangkan duplikasi, redundansi atau regulasi-regulasi yang
6
Tabel 1. Pemetaan Paket Kebijakan Ekonomi
Paket Kebijakan Ekonomi I
Tujuan: Mendorong daya saing, mempercepat pelaksanaan proyek strategis nasional, meningkatkan investor di sektor properti, melindungi masyarakat berpendapatan rendah
Paket Kebijakan Ekonomi III Tujuan: Penurunan tarif listrik, harga BBM dan gas, perluasan penerima KUR dan penyederhanaan izin pertanahan untuk kegiatan penanaman modal
Peraturan Pemerintah No.142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri
Memperkuat Fungsi Ekonomi Koperasi: Penerbitan Permen Koperasi dan UKM yang merevisi Kepmen Koperasi dan UKM Nomor 145/ KEP/M/1998 tentang Petunjuk Penanaman Modal Penyertaan Pada Koperasi Percepatan Pencarian Dana Desa: Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri (Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, dan Menteri Keuangan) tentang penyederhanaan untuk penyusunan dokumen perencanaan desa (RPJMNDes, RKPDes dan APBDes), dokumen pengadaan barang dan jasa di desa dan pelaporan dana desa.
Permen Koordinator Bidang Perekonomian No. 13 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 8 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit usaha Rakyat.
Permen ATR/KBPN No.17 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Agraria, Tata Ruang dan Pertanahan dalam Kegiatan Penanaman Modal
Perluasan wirausahawan penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR) Penurunan tingkat bunga KUR dari sekitar 22% menjadi 12%
Penyederhanaan izin pertanahan dalam kegiatan penanaman modal Revisi Permen Nomor 2 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan dan pengaturan Agraria, Tata Ruang dan Pertanahan dalam Kegiatan Penanaman Modal
Kebijakan pengupahan yang adil Terbitnya PP Pengupahan akan diikuti dengan 7 (tujuh) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan
Kebijakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang lebih murah dan luas Perubahan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat antara lain mengatur perluasan KUR
Paket Kebijakan Ekonomi IV Tujuan: Negara hadir, memperkuat ekonomi rakyat
Pengembangan Kawasan Industri: Penerbitan Peraturan Pemerintah tentang Sarana Penunjang Pengembangan Industri (Kawasan Industri).
Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang pengupahan.
Permen: - Peraturan Menakertrans 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum
tidak relevan atau memberatkan pelaku usaha. A. Pengembangan Kawasan Industri dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa infrastruktur menjadi hambatan utama untuk mendorong investasi daerah. Upaya yang dapat dilakukan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur melalui pengembangan Kawasan Industri dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Kedua kawasan ini memiliki perbedaan, kawasan industri lebih kepada sebuah kompleks perindustrian. Sedangkan KEK merupakan kawasan yang memiliki kekhususan tertentu dan terbagi bedasarkan zoning yang telah diatur dalam Undang-Undang. Namun, kedua kawasan baik KEK maupun kawasan industri sama-sama memiliki tujuan untuk membentuk aglomerasi industri dan pusat perekonomian yang pada gilirannya mendorong konsentrasi beberapa faktor produksi yang dibutuhkan pada suatu lokasi; wilayah pusat pertumbuhan industri yang disesuaikan dengan tata ruang dan fungsi wilayah; adanya kesamaan kebutuhan sarana, prasarana, dan bidang pelayanan industri lainnya yang lengkap; dan akan mendorong kerja sama dan saling membutuhkan dalam menghasilkan suatu produk. Paket Kebijakan Ekonomi Pertama dan Keenam memuat beberapa poin yang berkaitan dengan pengembangan KEK dan Kawasan Industri, yang terdiri dari: Mendorong Tumbuhnya Kawasan Industri Terbitnya PP No. 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri yang Baru telah menambah fasilitas serta kemudahan-kemudahan dalam kawasan. Fasilitas dimaksud berupa pemberian insentif pajak, kemudahan pembangunan
Paket Kebijakan Ekonomi VI
Tujuan: Menggerakkan ekonomi di wilayah pinggiran, penyediaan air untuk rakyat, dan proses cepat impor bahan baku obat Paket Kebijakan Ekonomi X Tujuan: Melindungi pengusaha kecil, meberi kepastian batasan kepemilikan saham asing
Paket Kebijakan Ekonomi XI Tujuan: Meningkatkan daya saing nasional dalam pertarungan ekonomi global
Paket Kebijakan Ekonomi XII Tujuan: Untuk memberikan dampak yang lebih signifikan, perbaikan kemudahan berusaha bagi UKM yang selanjutnya akan diterapkan oleh seluruh Pemerintah Daerah di Indonesia
Upaya Menggerakkan Perekonomian Di Wilayah Pinggiran Melalui Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Peraturan pemerintah tentang pengembangan KEK.
Memperlonggar Investasi Sekaligus Meningkatkan Perlindungan Bagi Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi Revisi Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal atau yang lebih dikenal sebagai Daftar Negatif Investasi (DNI).
Peraturan pemerintah No. 96 tahun 2015 Tentang Fasilitas dan kemudahan di kawasan ekonomi khusus
Peraturan Presiden (Perpres) No. 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal
Kredit Usaha Rakyat Berorientasi Ekspor (KURBE) KURBE menyediakan fasilitas pembiayaan ekspor yang lengkap dan terpadu untuk modal kerja (Kredit Modal Kerja Ekspor/ KMKE) dan investasi (Kredit Investasi Ekspor/KIE) bagi UMKM. Fasilitas Pajak Penghasilan dan Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Dana Investasi Real Estat (DIRE) - Penurunan tarif PPH & BPHTB - Penerbitan Peraturan Pemerintah mengenai Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Real Estat Dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu - Penerbitan Peraturan Pemerintah mengenai Insentif dan Kemudahan Investasi di Daerah, - Penerbitan Peraturan Daerah (Perda) bagi daerah yang berminat untuk mendukung pelaksanaan DIRE di daerahnya. Deregulasi kemudahan berusaha bagi UKM Deregulasi ini meliputi kebijakan perbaikan indikator kemudahan berusaha. Indikator ini terbagi dalam 10 indikator Kemudahan Berusaha World Bank Group. Indikator tersebut terdiri dari: - Starting a business - Dealing with construction permit - Registering property - Paying taxes - Getting credit - Enforcing contracts - Getting electricity - Trading across borders - Resolving insolvency - Protecting minority investors
Regulasi berkaitan 16 dangan kemudahan berusaha diterapkan.
7
dan pengelolaan tenaga listrik untuk kebutuhan sendiri dan industri, serta Perusahaan Kawasan Industri dan Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri dapat diberikan insentif daerah. Terkait perizinan dalam kawasan industri terdapat perubahan, dimana pemohon Izin Usaha Kawasan Industri (IUKI) wajib melampirkan dokumen yang terdiri dari: (1) fotokopi akta pendirian perusahaan dan/ atau perubahannya yang telah disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Hukum atau oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Koperasi bagi pemohon yang berstatus Koperasi; (2) Izin prinsip; (3) Fotokopi Izin lokasi; (4) Fotokopi izin lingkungan; (5) Laporan data Kawasan Industri mengenai kemajuan pembangunan Kawasan Industri triwulan terakhir; (6) Tata tertib Kawasan Industri; (7) Susunan pengurus/ pengelola Kawasan Industri. Berdasarkan penelusuran dokumen, pemerintah terutama Kementerian Perindustrian masih belum mengumumkan rencana pelaksanaan dari dari PP No. 142 Tahun 2015. Hingga hari ini, pengelolaan kawasan [khususnya perizinan] masih menggunakan Permenperin No. 5 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha Kawasan Industri dn Izin Perluasan Kawasan Industri. Hal ini tentunya akan menghambat proses reformasi pada tingkat daerah, sementara di sisi lain sejumlah target dari kemudahan berusaha di daerah harus segera direalisasikan. Lokasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sejauh ini, terdapat 9 (Sembilan) KEK yang sudah ditetapkan melalui PP. KEK yang ditetapkan terdiri dari:
Tanjung Kelayang (Bangka Belitung); Tanjung Lesung (Banten), Sei Mangkei (Sumatera Utara), Palu (Sulawesi Tengah), Bitung (Sulawesi Utara), Mandalika (NTB), Morotai (Maluku Utara), Tanjung Api-Api (Sumatera Selatan) dan Maloi Batuta Trans Kalimantan/MBTK (Kalimantan Timur). Masing-masing KEK memiliki pilihan zonasinya. Berdasarkan regulasi yang ada, pembagian zona pada masing-masing daerah KEK dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah. Dengan adanya spesifikasi serta daftar KEK yang diperlihatkan dalam Tabel 2, diharapkan akan memudahkan para investor untuk dapat bergabung dan menjalankan bisnisnya di Indonesia. Selain kawasan KEK, sebagai stimulus kegiatan ekonomi dalam KEK, pemerintah juga memberikan beberapa fasilitas dan kemudahan. Fasilitas dan Kemudahan dalam KEK Untuk mempermudah aktivitas dalam KEK, sesuai PP No.96 Tahun 2015 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus, pemerintah hendak mendekatkan beberapa layanan perpajakan, kepabeanan dan cukai, lalu lintas barang, ketenagakerjaan, keimigrasian, pertanahan, serta perizinan dan nonperizinan. Bentuk fasilitas pelayanan pajak dapat berupa Kegiatan Utama (Tax Holiday) dan Kegiatan di luar Kegiatan Utama (Tax Allowance). Selain itu beberapa kemudahan pelayanan (debirokratisasi) juga difasilitasi oleh administrator KEK berupa proses dan penyelesaian perizinan dan non perizinan keimigrasian, ketenagakerjaan, dan pertanahan. Keberadaan regulasi tentang KEK dan berbagai kemudahan serta fasilitas yang ada dapat menjadi
Gambar 1. Pembagian Daerah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Sumber: Dewan Nasional KEK, http://kek.ekon.go.id/
8
Tabel 2. Daftar Lokasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) 1. Sei Mangkei (PP No.29/2012) - Industri Pengolahan Kelapa Sawit - Industri Pengolahan Karet - Pupuk dan Aneka Industri - Logistik - Pariwisata 3. Tanjung Kelayang (PP No.6/2016) - Pariwisata 5. Mandalika (PP No.52/2014) - Pariwisata 7. Palu (PP No.31/2014) - Industri Manufaktur - Industri Agro Berbasis Kakao, Karet, Rumput Laut, Rotan - Industri Pengolahan Nikel, Biji Besi, Emas - Logistik 9. Morotai (PP No.50/2014) - Pariwisata - Industri Pengolahan Perikanan - Bisnis dan Logistik
pemantik bagi pemerintah daerah untuk mulai menggali potensi daerahnya untuk dapat didaftarkan sebagai KEK. Selain itu, keberadaan kawasan industri dan KEK menuntut Pemda untuk menyiapkan perencanaan yang detail terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) agar memiliki kepastian lokasi berusaha. B. Pengembangan Usaha Kecil dan Mikro Selain KEK, paket kebijakan ekonomi juga merespon tantangan pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN, khususnya terkait pengembangan usaha kecil dan menengah. MEA yang ini sudah berjalan merupakan kesempatan bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) untuk turut mengambil peran di pasar ASEAN. Pemerintah memilih UMKM sebagai salah satu sokoguru perekonomian guna meningkatkan daya saing daerah mengingat, eksistensi UMKM terbukti mampu bertahan dan menjadi roda penggerak ekonomi, terutama pasca krisis ekonomi. Selain itu, UMKM merupakan sektor ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia (Sudaryanto,2011). Dalam Paket kebijakan ekonomi terdapat beberapa poin yang disasar oleh kebijakan pengembangan UMKM yang terdiri dari perluasan kegiatan UMKM, kredit usaha,
2. Tanjung Api-Api (PP No.51/2014)
- Industri Pengolahan Karet - Industri Pengolahan Sawit - Industri Petrokimia 4. Tanjung Lesung (PP No.26/2012) - Pariwisata 6. Maloi Batuta Trans Kalimantan/MBTK (PP No.85/2014) - Industri Kelapa Sawit - Logistik 8. Bitung (PP No.32/2014) - Industri Pengolahan Perikanan - Industri Berbasis Kelapa dan Tanaman Obat - Aneka Industri - Logistik
dan beberapa kebijakan deregulasi yang mendorong kemudahan berusaha untuk UMKM. Sasaran dari paket kebijakan ekonomi tersebut adalah perluasan investasi melalui penerbitan Daftar Negatif Investasi (DNI), memperluas Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan juga deregulasi kemudahan berusaha untuk UMKM. Perluasan Investasi UMKM Perpres No. 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal menjadi landasan baru bagi perluasan investasi UMKM. DNI memberikan kepastian bidang usaha yang memang terbuka dan tertutup memberi kepastian lebih kepada pengusaha untuk berinvestasi serta memberi keyakinan bagi para penanam modal. Dalam regulasi baru ini terdapat tiga bidang yang diatur: (1) Bidang usaha yang tertutup; (2) Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan, bidang usaha yang dicadangkan atau kemitraan dengan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah serta Koperasi; dan (3) Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan tertentu. Menyitir isi Siaran Pers Paket Kebijakan Ekonomi X, terdapat 39 bidang usaha yang dicadangkan untuk
9
UMKMK diperluas nilai pekerjaanya dari semula sampai dengan Rp 1 miliar menjadi sampai dengan Rp 50 miliar. Kegiatan itu mencakup jenis usaha jasa konstruksi, seperti pekerjaan konstruksi untuk bangunan komersial, bangunan sarana kesehatan, dan lain-lain. Selanjutnya untuk kemitraan yang ditujukan agar PMDN dan (PMA bekerja sama dengan Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK) yang semula 48 bidang usaha, regulasi DNI mengatur penambahan 62 bidang usaha sehingga menjadi 110 bidang usaha. Bidang usaha itu antara lain: usaha perbenihan perkebunan dengan luas 25 Ha atau lebih, perdagangan eceran melalui pemesanan pos dan internet, dan sebagainya. UMKMK juga tetap dapat menanam modal, baik di bidang usaha yang tidak diatur dalam DNI maupun bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan lainnya. Mempermudah dan Memperluas Kredit Usaha Rakyat (KUR) Perluasan investasi akan berjalan lamban ketika sulitnya mendapatkan dukungan terkait finansial dan tingkat suku bunga yang rendah. Untuk melengkapi dan memperkuat keberadaan UMKM, pemerintah juga melapisi kebijakan ekonomi dengan membuat kebijakan untuk mempermudah dan memperluas KUR. Kredit usaha yang dimaksudkan juga termasuk Kredit Usaha Rakyat Berorientasi Ekspor (KURBE). Sasaran program KUR yang direncanakan oleh Pemerintah dilakukan dengan cara menurunkan tingkat bunga KUR dari sekitar 22% menjadi 12% persen. Pada paket kebijakan juga tertulis bahwa keluarga yang memiliki penghasilan tetap dapat menerima KUR untuk sektor usaha produktif. Dengan kebijakan ini, bankbank yang menyalurkan KUR didorong melakukan upaya pro-aktif menawarkan kepada yang bersangkutan, sehingga akan meningkatkan peserta KUR sekaligus mendorong tumbuhnya wirausahawan baru. Landasan regulasi terkait dengan KUR ditinjau melalui Permen Koordinator Bidang Perekonomian No.13 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No.08 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat. KURBE sendiri menyasar kepada supplier/plasma yang menjadi penunjang industri dan industri/usaha yang melibatkan banyak tenaga kerja sesuai skala usahanya.
Melalui fasilitas kredit ini diharapkan kualitas dan nilai tambah produk ekspor UMKM lebih meningkat. KURBE menyediakan fasilitas pembiayaan ekspor yang lengkap dan terpadu untuk modal kerja (Kredit Modal Kerja Ekspor/KMKE) dan investasi (Kredit Investasi Ekspor/ KIE) bagi UMKM. Dengan tingkat suku bunga 9% tanpa subsidi, penyaluran kredit ini bakal ditangani Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia/LPEI (Indonesia Exim Bank)1). Namun, sayangnya regulasi yang mengatur KURBE masih belum dapat ditemukan, sehingga masih dalam bentuk wishlist di paket kebijakan ekonomi. Tahapan dari program KUR selanjutnya adalah perluasan cakupan penerima KUR. Perluasan KUR dilakukan dengan mengubah Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat. Penerima KUR adalah individu/perseorangan atau badan hukum yang meliputi (usaha mikro, kecil, dan menengah yang produktif; calon Tenaga Kerja Indonesia yang akan bekerja di luar negeri; anggota keluarga dari karyawan/karyawati/Tenaga Kerja Indonesia yang berpenghasilan tetap; dan tenaga Kerja Indonesia yang purna dari bekerja di luar negeri). Selain itu meliputi usaha produktif dari sektor pertanian, perikanan, industri pengolahan, perdagangan dan jasa2). Deregulasi Kemudahan Berusaha untuk UMKM Hasil refleksi dari laporan studi EoDB 2016 yang juga merupakan bagian dalam mendorong UMKM adalah dengan melakukan deregulasi kemudahan berusaha. Paket Kebijakan Ekonomi XII kali ini seluruhnya membahas tentang tahapan berusaha sesuai dengan indikator EoDB. Terdapat 10 indikator (Starting a business; Dealing with construction permit; Registering property; Paying taxes; Getting credit; Enforcing contracts; Getting electricity; Trading across borders; Resolving insolvency; and Protecting minority investors) yang masing-masing memiliki daftar prosedur, waktu dan biaya. Merespon hal tersebut pemerintah telah menerbitkan 16 regulasi yang berkaitan dengan kesepuluh indikator yang ada. Regulasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Dengan keberadaan paket reformasi regulasi dalam kebijakan 12, harapannya pemerintah daerah dan aktor-aktor yang terkait dengan pelayanan kemudahan berusaha dapat memberikan reformasi pelayanan untuk
1) “Siaran Pers Paket Kebijakan Ekonomi XI” oleh Kementerian Koodinator Bidang Perekonomian RI 2) “Siaran Pers Paket Kebijakan Ekonomi IV” oleh Kementerian Koodinator Bidang Perekonomian RI
10
Tabel 3. Daftar 16 Regulasi yang berkaitan dengan 10 Indikator EoDB 1. PP No.07 Tahun 2016 tentang Perubahan Modal Minimum bagi Pendirian PT 2. Permenkumham No. 11/2016 tentang Pedoman Imbalan Jasa Bagi Kurator dan Pengurus 3. Permen PUPR No 5/2016 tentang Izin Mendirikan Bangunan 4. Permen ATR/BPN No. 8/2016 tentang Peralihan HGB Tertentu di Wilayah Tertentu 5. Permendag No. 14/M-Dag/Per/3/2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 77/M-Dag/Per/12/2013 6. Permen ESDM No.08 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri ESDM No. 33/2014 tentang Tingkat Mutu Pelayanan dan Biaya yang Terkait dengan Penyaluran Tenaga Listrik oleh PT PLN 7. Permendag No. 16/M-Dag/Per/3/2016 tentang Perubahan atas Permendag No. 90 Tahun 2014 tentang Penataan dan Pembinaan Gudang 8. Permendagri No 22/2016 tentang Pencabutan Izin Gangguan 9. Peraturan Dirjen Pajak No. PER-03/PJ/2015 tentang Penyampaian Surat Pemberitahuan Elektronik secara Online
memudahkan pendirian usaha baru sesuai dengan 10 indikator kemudahan berusaha. Lebih jauh lagi, pelaku usaha di daerah tidak lagi disulitkan karena beberapa reformasi regulasi ini juga diimplementasikan ke daerah. C. Tantangan Kedepan: Implementasi Paket Kebijakan Ekonomi Dalam isi paket-paket kebijakan di atas, secara terperinci terdapat 14 peraturan teknis berasal dari Paket Kebijakan Ekonomi I, 1 peraturan teknis dari Paket Kebijakan Ekonomi III, 8 peraturan teknis dari Paket Kebijakan Ekonomi VI, 1 peraturan teknis dari Paket Kebijakan Ekonomi VIII, dan 2 peraturan teknis dari Paket Kebijakan Ekonomi IX, 16 peraturan teknis dari Paket Ekonomi XII. Selain itu masih ada 5 Rancangan PP (RPP) dan 1 Rancangan Instruksi Presiden (Inpres) yang sudah dikirim kepada Mensesneg/Setkab untuk mendapat pengesahan dari Presiden3). Rincian peraturan teknis yang diterbitkan merupakan tahapan pertama dari proses Paket Kebijakan Ekonomi.
10. SE Menteri PUPR No.10/SE/M/2016 tentang Penerbitan IMB dan SLF untuk Bangunan Gedung UMKM Seluas 1300m2vdengan menggunakan desai prototipe 11. SE Direksi PT PLN No. 0001.E/Dir/2016 tentang Prosedur Percepatan Penyambungan Baru dan Perubahan Daya bagi Pelanggan Tegangan Rendah dengan Daya 100 s.d 200 KVA 12. Perka BPJS No.01/2016 untuk Pembayaran Online 13. Instruksi Gubernur DKI Jakarta No.42/2016 tentang Percepatan Pencapaian Kemudahan Berusaha 14. SE Mahkamah Agung No2/2016 tentang Peningkatan Efisiensi dan Transparansi Penanganan Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Utang di Pengadilan 15. Keputusan Direksi PDAM DKI Jakarta Tentang Proses Pelayanan Sambungan Air 16. Keputusan Direksi PDAM Kota Surabaya tentang Proses Pelayanan Sambungan Air
Sesudah paket kebijakan diluncurkan, tahapan selanjutnya adalah implementasi dan monitoring Penulis mencatat ada berbagai tantangan dalam fase implementasi ini, sebagaimana diurai secara singkat berikut ini: Sosialisasi Paket Kebijakan Ekonomi menjadi tonggak distribusi informasi agar tidak terjadi distorsi di daerah. Informasi tentang paket kebijakan ini harus bisa diperoleh secara masif dan merata [informasi asimetris] di seluruh wilayah Provinsi dan Kabupaten/ Kota di Indonesia. Selanjutnya pelaksanaan paket kebijakan yang juga melibatkan pemerintah daerah, maka sosialisasi paket kebijakan perlu yang utuh terkait substansi dan tujuan harus selesai pada tingkat operasional. Hal ini akan mengurangi distorsi dalam melaksanakan kebijakan dan pada gilirannya dampak dari reformasi kebijakan ini dapat dirasakan oleh masyarakat/pelaku usaha. Sejauh ini paket kebijakan yang dipublikasikan pemerintah belum memiliki target jangka pendek
3) (finance.detik, 2016 diunduh dari http://finance.detik.com/read/2016/05/31/193852/3222248/4/bagaimana-update-implementasi-paketekonomi-jokowi-jilid-i-xii)
11
dan jangka panjang dari setiap sasaran. Dalam paket kebijakan pemerintah belum merumuskan perencanaan beserta target jangka pendek maupun jangka panjang. Penetapan target dari sebuah kebijakan berfungsi sebagai salah satu cara untuk melihat capaian kebijakan. Dengan tidak adanya perencanaan yang berjenjang, maka paket kebijakan hanya bersifat one hit, mengingat masih banyak prioritas pembangunan yang harus dilaksanakan oleh Pemda. Untuk itu, perlu ada tahapan perencanaan yang bisa dibagi berdasarkan capaian yang bersifat quick wins, dan juga long term. Perencanaan yang bersifat quick wins akan membantu dari sisi regulasi ditataran teknis, tetapi perencanaan long term berkaitan dengan penciptaan lingkungan investasi yang kondusif dan berkelanjutan. Keberlanjutan dan dampak dari masing-masing kebijakan harus dikawal serta dimonitoring. Selain belum adanya perencanaan, pemerintah belum merumuskan terkait dengan monitoring dan evaluasi dari implementasi paket kebijakan, prioritas utama masih berkutat dengan produksi peraturan teknis. Menurut Marie Pangestu4) monitoring dan evaluasi harus dilakukan secara independen dan objektif. Selain itu laporan harus dilakukan secara berkala dan transparan. Dengan adanya pemantauan paket kebijakan maka harapannya dampak dari penerbitan kebijakan ekonomi akan semakin luas. Paket Kebijakan Ekonomi belum menyentuh permasalahan substansi dalam perizinan investasi. Pemerintah melalui Permendagri No. 22 Tahun 2016 tentang Pencabutan Izin Gangguan menyebutkan bahwa izin gangguan yang dicabut hanya khusus untuk UMKM. Padahal, menyitir hasil studi KPPOD (2015), keberadaan izin gangguan menjadi permasalahan yang cukup mendasar untuk semua skala usaha baik secara yuridis maupun dari sisi substansi yang cenderung membebani pelaku usaha. Selain tentang regulasi izin gangguan, Menteri Perdagangan juga menerbitkan regulasi tentang pelayanan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Melalui Permendag No. 14/M-Dag/Per/3/2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 77/M-Dag/Per/12/2013 tentang Penerbitan SIUP dan TDP secara simultan. Di
4) (KOMPAS cetak, Rabu, 4 Mei 2016)
12
sisi lain, hasil studi KPPOD (2015) juga menunjukkan bahwa kedua dokumen tersebut memiliki banyak kesamaan sehingga memungkinkan untuk dilebur fungsinya dan menghapuskan TDP. Dengan kondisi demikian maka tampak bahwa pemerintah tidak tegas dalam membuat sebuah kebijakan yang berdampak besar terhadap iklim investasi. Catatan Akhir Sebagai upaya penting dalam menggerakkan roda ekonomi nasional dan daerah, pemerintah pusat menerbitkan 12 paket kebijakan ekonomi. Sebagian besar output dari paket kebijakan ekonomi ini adalah produk kebijakan berupa Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Instruksi Presiden (Inpres), Peraturan Menteri (Permen), dan berbagai peraturan pelaksana lainnya. Penggelontoran berbagai regulasi teknis dari berbagai sisi ini harapannya dapat memberikan kepastian hukum kepada pelaku usaha. Namun, tantangan kedepan adalah berkaitan dengan sosialisasi kebijakan yang masif, implementasi regulasi serta monitoring capaian. Terkait implementasi, , pemerintah pusat sebaiknya memiliki perencanaan jangka pendek maupun jangka panjang, sehingga dapat juga dijabarkan mana saja kegiatan yang membutuhkan kontribusi dari pemerintah daerah. Hal ini akan memudahkan terjalinnya sinergi capaian pusat dan daerah. Selanjutnya, terkait evaluasi dampak, penting bagi pemerintah untuk menyusun desain dan indikator dari masing-masing produk kebijakan ukuran capaian sesuai dengan perencanaan yang ada. Dalam menghadapi tantangan tersebut, pemerintah dapat melakukan penyebaran informasi dan sosialiasi terkait detail reformasi regulasi yang dihasilkan oleh Paket Kebijakan Ekonomi. Informasi yang komprehensif dari pemerintah pusat tentunya mempermudah pemda dalam fase tindak lanjut guna mengimplementasikan esensi perubahan kebijakan tersebut. Lebih jauh lagi, perencanaan untuk keberlangsungan dan keberlanjutan iklim usaha yang kondusif di daerah penting untuk dirancang agar tidak terlepas dari kebijakan yang sudah ada sebelumnya.
REVIEW REGULASI
INSENTIF PAJAK BAGI KEGIATAN USAHA P E RD A KOTA PO N T I A N A K N O. 0 6 T H . 2 0 1 0
Sumber dari www.editor.id
S
ejauh ini, Pemerintah telah mengumumkan selusin paket kebijakan ekonomi. Ada pesan yang jelas dari paket pertama hingga keduabelas: Pemerintah ingin mendorong laju pertumbuhan ekonomi melalui jalan reformasi struktural berbasis institusi baru yang ditata ulang [deregulasidebirokratisasi]. Keinginan tersebut tentu bukan hanya menjadi tanggung jawab Pusat, namun diperlukan dukungan Pemda dan swasta sebagai ujung tombak pembangunan. Salah satunya yaitu melalui perbaikan iklim usaha di daerah.
masyarakat sehingga tercipta iklim usaha yang kondusif.
Ringkasan Isi Perda
Pajak daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan program Pemda. Perda ini mengartikan pajak daerah sebagai kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UU, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi kemakmuran rakyat. Kita tahu, dalam kerangka UU No.28 Tahun 2009 terdapat 10 jenis pajak yang dipungut Pemda, yaitu pajak hotel, restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan, parkir, sarang burung walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB) serta Bea Perolehan atas Nur Azizah Febryanti Peneliti KPPOD Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Dari sisi Pemda, banyak cara yang dapat dilakukan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif. Salah satu kebijakan yang sering digunakan sebagai competitive advantages adalah kebijakan tax incentives (insentif perpajakan). Pemerintah Kota Pontianak, sebagai fokus bahasan dalam rubrik ini, misalnya, melalui Perda No. 6 Tahun 2010 juncto Perda Nomor 8 Tahun 2015 memberikan insentif pajak bagi wajib pajak. Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi beban pungutan, meningkatkan minat usaha masyarakat, dan pengembangan usaha produktif
Secara yuridis, regulasi ini dibuat dengan mengacu pada beberapa peraturan perundangundangan seperti UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, UU No. 17 Tahun 2003 tentang
13
Keuangan Negara, UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, serta beberapa peraturan lainnya. UU No. 28 Tahun 2009 menjadi kompas utama dalam penyusunan Perda ini. Hal ini tercermin di konsiderans, bahwa Perda ini hadir untuk menyesuaikan perubahan di dalam sistem pemungutan, perluasan objek pajak daerah dan pengelolaan pemungutan sesuai dengan UU No.28 Tahun 2009. Sebagai alas legal pengelolaan pajak daerah, Perda ini mengalami dua kali perubahan. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan dinamika persoalan di Kota Pontianak dan kebermasalahan yang muncul selama penerapan Perda No. 6 Tahun 2010. Perubahan pertama adalah penyesuaian tarif PBB, perluasan objek pajak dan penambahan klausul mengenai kriteria wajib pajak yang mendapatkan insentif pajak. Dalam isi Perda sebelumnya tarif PBB tergolong mahal, dimana ditetapkan sebesar 0,3% tanpa mempertimbangkan nilai jual objek pajak yang dimiliki oleh masyarakat. Selain itu, dilakukan perluasan objek pajak hiburan menjadi substansi yang diubah di dalam Perda. Perluasan objek pajak dilakukan dengan menambahkan tempat olah raga dengan menyediakan fasilitas hiburan sebagai objek pajak baru. Tujuannya adalah untuk lebih mengefektifkan penerimaan pajak daerah Kota Pontianak. Perubahan kedua, Pemda menambahkan klausul mengenai mekanisme pelaporan data transaksi usaha bagi pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan secara online dalam rangka memperbaiki pelayanan kepada wajib pajak dengan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas.
Analisis Isi Kebijakan Perda Telah Menggunakan Acuan Yuridis yang Relevan sebagai Konsiderans Perda Kota Pontianak No.06 Tahun 2010 ini sudah memasukkan konsiderans sesuai dengan UU No. 28 Tahun 2009. Dari sisi muatan perda, perda ini sudah memiliki kelengkapan muatan yang diwajibkan dalam pasal 95 UU No. 28 Tahun 2009, di mana setiap perda pungutan harus memuat, (a) nama, objek, dan subjek pajak, (b) dasar pengenaan, tarif, dan cara perhitungan pajak, (c) wilayah pungutan, (d) masa pajak, (e) penetapan, (f) tata cara pembayaran dan penagihan (g) kadaluwarsa, (h) sanksi administratif, serta (i) tanggal mulai berlakunya. Sehingga dapat dikatakan perda
14
ini sudah memiliki kesesuaian, kemutakhiran, dan kelengkapan yuridis yang harus dimiliki oleh Perda. Tidak Semua Jenis Pajak Daerah Ditetapkan sebagai Pajak Kota Pontianak Ruang lingkup yang menjadi kewenangan perpajakan di daerah, menurut pasal 2 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009, mencakup : “Jenis pajak yang kabupaten/kota terdiri atas pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, serta Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).” Lebih lanjut, pasal 2 ayat (4) menjelaskan bahwa: “Jenis pajak sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (2) dapat tidak dipungut apabila potensinya kurang memadai dan/atau disesuaikan dengan kebijakan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. Atas dasar ketentuan tersebut, Pemerintah Kota Pontianak hanya memungut pajak yang mempunyai potensi tinggi di daerahnya yaitu pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak parkir, pajak sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Sedangkan pajak lainnya yaitu pajak air tanah dan pajak mineral bukan logam dan batuan tidak dipungut oleh Pemda. Kebijakan penetapan jenis pajak yang dipungut menurut potensi daerah sangat penting dilakukan. Mengingat jika Pemda tetap memungut objek pajak yang memiliki potensi kecil, maka akan semakin mematikan potensi usaha dari objek pajak tersebut. Pemerintah harusnya meningkatkan potensi objek pajak dengan memberikan insentif berupa program-program untuk meningkatkan potensi bukan malah memungut pajak yang justru semakin mematikan potensi yang ada. Aplikasi berbasis elektronik berupa Online System untuk Pelaporan Data Transaksi Usaha Pemerintah Kota Pontianak melalui Dispenda telah melakukan penerapan sistem online untuk pelaporan data transaksi usaha bagi wajib pajak hotel, restoran dan hiburan. Setiap transaksi yang dilakukan terhadap jenis-jenis pajak tersebut terhubung secara real time pada sistem di Dispenda. Kebijakan ini diatur di dalam Pasal 103 huruf a ayat (1) pada perda perubahan kedua,
yang menjelaskan bahwa: “Dalam rangka pelaporan data transaksi usaha wajib pajak, Walikota menunjuk Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Pontianak berwenang menghubungkan sistem informasi data transaksi usaha yang dimiliki oleh wajib pajak dengan sistem informasi yang dimiliki Dinas Pendapatan Daerah Kota Pontianak secara online system”. Selanjutnya dijelaskan pada ayat (2) bahwa: “Online system pelaporan data transaksi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi data transaksi usaha yang menjadi dasar pengenaan pajak pada Pajak Hotel dan Pajak Restoran.” Dengan adanya sistem ini, setiap akhir bulan Dispenda dapat mengetahui berapa jumlah transaksi dan pajak yang harus disetorkan oleh wajib pajak. Sampai dengan akhir tahun 2014, telah dilakukan pemasangan alat pada 168 Wajib Pajak dengan 338 taping box dan 35 cash register untuk menunjang prosedur tersebut. Selain menerapkan sistem pelaporan data transaksi usaha secara online, Pemerintah Kota Pontianak juga membuat aplikasi e-SPTPD. Piranti e-SPTPD adalah suatu aplikasi yang dibangun berbasis web yang diperuntukkan bagi para wajib pajak mulai dari pendaftaran hingga pelaporan kewajiban pajak secara online yang terkoneksi secara real time dengan Sistem Informasi Pajak Daerah (SIMPAD) yang telah berjalan di Dispenda. Sistem e-SPTPD diarahkan pada pajak yang bersifat self assessment, dan untuk sementara sistem ini sudah bisa digunakan untuk pelaporan pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan dan pajak parkir. Upaya Pemerintah Kota Pontianak patut diapresiasi dengan penerapan sistem online ini, mengingat sistem pelaporan online dapat memudahkan wajib pajak untuk melaporkan data transaksi keuangan dan Pemda dimudahkan untuk menghitung jumlah penerimaan pajak. sistem online juga dapat meningkatkan akuntabilitas publik bagi Pemda Pontianak. Dengan sistem online, tarif pajak yang dipungut sesuai pelaporan dari wajib pajak sehingga meminimalisir korupsi birokrasi. Insentif Pajak untuk Pengembangan Iklim Usaha Banyak cara yang dapat dilakukan Pemda untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif. Salah satu kebijakan yang sering digunakan sebagai instrumen kompetitif adalah kebijakan tax incentives (insentif perpajakan). Insentif perpajakan merupakan suatu pemberian fasilitas perpajakan yang diberikan kepada wajib pajak untuk aktifitas tertentu atau untuk suatu wilayah tertentu. Di dalam perda ini, klausul terkait
insentif pajak diatur dalam pasal 94 ayat (1) , yang menyebutkan bahwa: “Walikota dapat memberikan insentif kepada wajib pajak”. Insentif yang dimaksud di dalam perda ini adalah berupa pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak. Perda ini juga secara jelas membahas mengenai kriteria wajib pajak yang dapat memperoleh insentif. Ketentuan ini sangat penting mengingat jika tidak ditentukan kriteria wajib pajak penerima insentif, maka insentif tersebut berpotensi membuka celah korupsi. Pemberian insentif pajak merupakan suatu kebijakan yang tidak berlaku untuk semua wajib pajak. Pada tataran implementasinya, pemilihan wajib pajak yang diberikan insentif sangat tergantung kepada keputusan pejabat yang berkuasa. Pengalaman kebijakan insentif di Indonesia pada tahun 1996 membuktikan bahwa insentif pajak diberikan tidak transparan dan hanya kepada wajib pajak yang mempunyai lobby kuat kepada penguasa. Kriteria wajib pajak yang dapat diberikan insentif pajak sekurang-kurangnya adalah sebagai berikut pasal 94 ayat (3): a. Investasi baru yang berjalan kurang dari 3 tahun sejak waktu pendirian. b. Investasi yang sudah lama berjalan sebelum peraturan ini dibuat dan terkena dampak krisis perekonomian yang berdampak sistemik terhadap perekonomian di Kota Pontianak. c. Investasi yang menyerap tenaga kerja lokal minimal 60% (enam puluh persen). d. Untuk Pertimbangan sosial, pendidikan dan keagamaan. e. Melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi.
Kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Kota Pontianak ini patut digunakan sebagai pedoman daerah lain dalam membuat kebijakan, mengingat pemberian insentif pajak merupakan suatu pilihan formulasi kebijakan pemerintah yang bukan merupakan kewajiban Pemda. Insentif pajak dapat digunakan sebagai instrumen peningkatan iklim investasi di Kota Pontianak. Dengan adanya klausul mengenai kriteria bagi investasi yang menyerap tenaga kerja minimal 60% dapat meningkatkan motivasi pelaku usaha untuk semakin banyak menyerap tenaga kerja lokal, sehingga dapat mengurangi angka pengangguran di Kota Pontianak. Misalnya, baru-baru ini Walikota Pontianak berkomitmen untuk memberikan keringanan
15
barupa insentif kepada investor dan dunia usaha. Salah satu contohnya adalah dengan memberikan potongan terhadap retribusi IMB antara 25-75% untuk pembangunan hotel yang bisa menyerap tenaga kerja lokal dan pengurangan retribusi IMB hingga 0% untuk bagi pembangunan sekolah dan rumah sakit. Selain itu, Pemda juga memberikan dispensasi pembayaran PBB dan menghapuskan denda pajak. Bentuk pemberian keringanan pajak di Kota Pontianak ditetapkan dengan surat Keputusan Walikota dan dengan mempertimbangkan kriteria sesuai ketetapan Perda. Kebijakan ini sangat baik, mengingat selama ini masih banyak Pemda dalam menyelesaikan permasalahan di daerahnya lebih mengedepankan punishment daripada reward, seperti misalnya seperti kewajiban untuk menggunakan tenaga kerja lokal bagi perusahaan yang berdiri di wilayah daerah tersebut dan jika tidak melaksanakan kebijakan tersebut maka akan ada punishment (sanksi). Sebaliknya, Pemda Pontianak menonjolkan sisi reward berupa insentif pajak bagi pelaku usaha yang menggunakan 60% tenaga kerja lokal. Kebijakan ini menjadi angin segar bagi pelaku usaha untuk semakin meningkatkan investasi di Kota Pontianak.
Catatan Akhir Iklim usaha yang kondusif dalam perekonomian merupakan harapan bagi masyarakat, investor/pelaku usaha dan juga pemda sendiri. Penciptaan iklim usaha yang kondusif tidak hanya berdasarkan aspek fiskal saja, namun faktor-faktor lain juga tentu sangat berpengaruh,
seperti masalah perizinan usaha dan sistem birokrasi. Di sini jelas dibutuhkan dukungan Pemda untuk penciptaan iklim usaha yang lebih baik lagi. Mengingat di era otonomi daerah saat ini, Pemda diberikan kewenangan yang besar dalam pengelolaan faktor-faktor tersebut dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi. Perda Kota Pontianak No. 6 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah ini perlu di apresiasi. Pertama, Perda mengatur mengenai insentif pajak yang diberikan kepada wajib pajak dengan kriteria tertentu. Kriteria yang ditetapkan oleh Pemda memihak pada pelaku usaha terutama bagi pelaku usaha baru dan pelaku usaha yang menggunakan tenaga kerja lokal minimal 60%. Kebijakan ini hadir sebagai bagian untuk mewujudkan iklim usaha yang baik sekaligus menjadi solusi bagi permasalahan penggangguran di Kota Pontianak. Pemda menggunakan instrumen pajak sebagai peranti untuk menyelesaikan persoalan ketenagakerjaan daripada memberikan sanksi kepada pelaku usaha yang tidak memprioritaskan tenaga kerja lokal. Perda Kota Pontianak No. 6 Tahun 2010 ini perlu di apresiasi. Harapannya, administrasi perpajakan bisa didesain secara efektif dan terlaksana dengan baik. Hasil dan dampaknya bagi peningkatan pendapatan Pemda dan terutama penciptaan daya saing daerah dalam bentuk iklim usaha yang kondusif menjadi tolok ukur keluaran. Di sini tantangan yang harus dipastikan bisa dicapai Pemda Kota Pontianak. Dengan capaian demikian, praktik baik ini bisa menjadi contoh untuk diadopsi dan direplikasi di daerah-daerah lain.
VISI & MISI KPPOD VISI KPPOD ikut mewujudkan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat dengan mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif di seluruh Indonesia.
MISI KPPOD menganalisa, menilai dan memberikan masukan bagi kebijakan dan praktik Pemerintah Pusat dan Daerah dalam melaksanakan otonomi daerah bagi pembangunan ekonomi nasional.
16
DARI DAERAH
KEBIJAKAN DAERAH BERBUAH SIMALAKAMA
B
Peta zona kawasan industri sudah dirancang, berbagai erusaha di Kabupaten Karawang sudah tidak aturan dan kebijakan digulirkan, kualitas infrastruktur senyaman dulu lagi. Frasa ini tergambar jelas jalan dan kemudahan akses transportasi terus lewat aksi sidak rutin Wakil Bupati Karawang ke perusahaan-perusahaan setempat. Aksi ini dilakukan ditingkatkan untuk menopang proses industrialisasi yang semakin menjamur. dengan menekan perusahaan untuk melaksanakan ketentuan Perda No.1 Setidaknya saat ini terdapat 6 (enam) Tahun 2011 perihal penyerapan tenaga kawasan industri yang beroperasi di luasan kerja lokal sebesar 60% serta perlunya lahan 2.459 Ha. Adapun 6 (enam) kawasan alokasi dana Tanggung Jawab Sosial tersebut yakni, Kawasan Industri Indotasei, dan Lingkungan (TJSL) dengan besaran Kawasan Industri KIIC, Kawasan Industri tertentu. Wakil Bupati pun mengancam Mitra Karawang, Kawasan Industri PT. tidak memperpanjang izin tenaga kerja Timor Putra Nasional, Kawasan Industri asing bagi perusahaan yang tidak taat Pupuk Kujang, serta Kawasan Industri aturan. Sidak rutin dan eksistensi Perda Surya Cipta. Hadirnya kawasan industri No.1 Tahun 2011 membuat daerah secara masif tentu menjadi salah satu Kab. Karawang menjadi tidak ramah M. Yudha Prawira instrumen strategis untuk menyelesaikan investasi. Perilaku Pemerintah Daerah ini permasalahan kota yang semakin kontradiktif dengan keinginan pemerintah Peneliti KPPOD menumpuk, seperti terbukanya “kran” pusat yang berusaha keras menggenjot lapangan kerja, tumbuhnya berbagai peluang industri iklim usaha yang kondusif. baru, meningkatnya pertumbuhan ekonomi, dan tentu saja mendorong kesejahteraan masyarakat Sekilas Kondisi Kab. Karawang Karawang. Peran Kab. Karawang dalam membangun Namun mimpi tentang kesejahteraan perekonomian nasional memang memiliki masih jauh panggang dari api. Kehadiran signifikansi penting di tingkat nasional. kawasan industri secara masif ternyata Daerah dengan sebutan lumbung padi tidak membuat warga Kab. Karawang nasional ini memiliki keunggulan penting lebih mudah mendapatkan pekerjaan. di sektor pertanian. Hampir setengah dari Berita diberbagai media melansir luas daerah ini merupakan wilayah sektor jumlah pengangguran mencapai 114 pertanian dengan produksi padi yang ribu pada tahun 2015. Tingginya laju terus meningkat dari 74,6 Ton/Ha (2013) pertumbuhan penduduk dan rendahnya menjadi 76,2 Ton/Ha (2014). tingkat pendidikan yang berimplikasi Aisyah Nurrul Jannah Peneliti KPPOD pada kemampuan sumber daya manusia Sejalan dengan potensi pertanian, dianggap menjadi biang keladi dari proses industrialisasi saat ini juga persoalan ini. Seperti halnya analogi ayam mati di terus berlangsung di Kab. Karawang. Dengan lokasi lumbung padi, tingginya pengangguran di kawasan strategis dan dekatnya dengan Ibukota Jakarta, tentu industri ini menjadi tamparan keras bagi Pemkab. Kab. Karawang menjadi target investasi yang amat Karawang selaku pemeran utama dalam mewujudkan menggiurkan. Arah kebijakan daerah pun mulai kesejahteraan masyarakat. bergerak dari sektor pertanian menuju sektor industri.
17
Aksi Koboi Atasi Pengangguran Ditemui di ruangannya, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kab. Karawang, tampak tergesagesa menyambut dan menjabat tangan rekan peneliti KPPOD. Rupanya ia baru saja selesai melakukan sidak ke berbagai perusahaan yang dianggapnya menyalahi aturan dan kebijakan Pemda. Kegiatan sidak ini pun yang melatarbelakangi tim peneliti KPPOD untuk melakukan studi lapangan. Dengan raut wajah lelah, Kadisnakertrans Kab. Karawang menjelaskan sidak tersebut bertujuan untuk memastikan Perda No.1 Tahun 2011 tentang Ketenagakerjaan dapat dipatuhi dengan baik oleh semua pelaku usaha. Pemkab. Karawang memang sedang berbenah diri dan menimbang pelbagai alternatif kebijakan untuk dipilih sebagai jawaban atas semua persoalan. Bupati Kab. Karawang telah memutuskan untuk memberlakukan kembali Perda Ketenagakerjaan yang sebelumnya sempat vakum pada proses implementasi. Keputusan ini diambil salah satunya dalam rangka memenuhi janji politik Bupati itu sendiri saat berkampanye pada Pilkada 2015. Dalam perda itu, memuat ketentuan bahwa setiap perusahaan di Karawang diharuskan menyerap tenaga kerja lokal sebesar 60%. Tidak hanya itu, Bupati yang baru dilantik pada Februari lalu, juga memperkuat tahapan implementasi dengan menandatangani Peraturan Bupati sebagai aturan turunan pelaksanaannya. Dengan disahkannya Perbup tersebut, amanat yuridis yang mengatur tentang proporsi tenaga kerja lokal di perusahaan wajib untuk dilaksanakan. Pemda berkeyakinan bahwa pengaturan terhadap porsi tenaga kerja lokal dapat mengendalikan tingginya angka pengangguran. Premis yang diyakini adalah membuka seluas-luasnya lapangan pekerjaan berarti memberikan lebih banyak kesempatan kepada pribumi Karawang untuk memperoleh pekerjaan. Tetapi celakanya, kebijakan tersebut justru dianggap sebagai penghambat iklim investasi bagi pelaku usaha. Apalagi ditindaklanjuti dengan sidak rutin yang kerap menimbulkan keresahan dan gesekan di lapangan. Dalam diskusi bersama rekan APINDO, Perda ini memang sempat berhenti ditahap implementasi di tahun 2011 dengan dalih regulasi ini melanggar prinsip free internal trade. Tetapi setelah 60 hari pasca pelantikan bupati baru, Perda ini dimunculkan kembali dan dijadikan alat bagi Pemkab. Karawang untuk melakukan sidak. Akhirnya isu ini pun memanas lagi dengan
18
membawa agenda rekrutmen 60% tenaga kerja lokal.
Menghitung Manfaat Perda Secara kasat mata, pemberlakuan kembali Perda ini justru menimbulkan permasalahan baru di Kab. Karawang. Penekanan angka 60% seakan-akan menjadi kebijakan yang dipaksakan untuk perusahaan agar mampu menerima tenaga kerja lokal apapun kondisi dan kualifikasinya. Apalagi mengingat terdapat dua jenis perusahaan yang hampir dikatakan tidak mungkin dalam waktu dekat mampu memenuhi porsi 60% tenaga kerja lokal di perusahaannya, yakni perusahaan yang lahir sebelum Perda No.1 Tahun 2011 dan perusahaan yang berpindah dari daerah ke Kab. Karawang. Kedua jenis perusahaan ini jelas memiliki tenaga kerja tetap yang sama sekali tidak memperhatikan asal kedaerahnya sehingga porsi tenaga kerja lokalnya jauh dari angka 60%. Selain itu, terlihat adanya gap skill yang dimiliki tenaga kerja Karawang dalam memenuhi kualifikasi yang sesuai dengan permintaan dunia industri. Peralihan dari masyarakat agraris menuju industri juga menyumbang terjadinya culture lag dari masyarakat setempat. Seolah tidak siap dengan perubahan lingkungan baru dan membutuhkan proses panjang untuk menyesuaikan diri. Laju urbanisasi yang semakin tinggi juga menyumbang persoalan baru yang kian pelik. Alih-alih ingin menekan jumlah pengangguran dan proteksi tenaga kerja di kota sendiri, yang terjadi justru sebaliknya. Mekanisme penentuan tenaga kerja 60:40 berbanding lurus dengan permintaan “pindah KTP” di instansi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Kepala Disnakertrans juga menanggapi, ada sebanyak 3000 pemohon --tenaga kerja non lokal-- yang mengurus perpindahan domisili setiap bulannya. Artinya, penciptaan kondisi ekonomi melalui instrumen Perda ini tidak mengurungkan niat calon tenaga kerja nonlokal untuk tetap melamar ke berbagai perusahaan di Kab. Karawang. Dalam proses implementasi pun masih ditemukan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab seperti pejabat desa, LSM, dan komunitas tertentu. Mereka memberikan tekanan kepada perusahaan untuk menerima tenaga kerja dari golongan mereka. Ketika sudah berhasil diterima di perusahaan, oknum tersebut malah menggerogoti gaji pekerja dengan dalih ongkos balas budi. Praktik ini tentu sangat merugikan
masyarakat yang harus menyisihkan uang tabungannya untuk membayar biaya-biaya tersebut. Jika melihat kondisi tersebut tentu menjadi suatu pertanyaan kemudian apakah kebijakan yang ditetapkan oleh Bupati tersebut tepat? Kondisi tenaga kerja lokal Kab. Karawang justru saat ini lebih membutuhkan pelatihan kerja secara professional serta penghapusan oknum-oknum tertentu yang merusak motivasi dan daya kerja tenaga kerja lokal. Masalah inilah yang justru lebih penting dibandingkan dengan mengalihkan kewajiban Pemda kepada perusahaan-perusahaan setempat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.
Catatan akhir Dari berbagai persoalan yang dikemukakan di atas, nyatanya implementasi Perda No.1 Tahun 2011 masih belum berjalan secara optimal. Masih banyak tantangan dan hambatan yang dijumpai dalam proses implementasinya. Ketidaksiapan masyarakat dalam
masa transisi, laju urbanisasi menjadi membludak, serta oknum berseliweran mengumpulkan pundi-pundi rupiah menjadi efek domino dari kebijakan tersebut. Prioritas mempekerjakan tenaga kerja lokal dengan perbandingan 60:40 ini, memang bak buah simalakama. Di satu sisi, Pemda ingin masyarakat bekerja mandiri dan tidak sekadar menjadi penonton di daerahnya sendiri. Sebaliknya, jika monitoring ini terus dipaksakan dalam tahapan implementasinya dan minim pada proses evaluasi perbaikan, dikhawatirkan akan mengganggu ketidakpastian dalam berusaha di daerah. Hubungan industrial dapat terjalin dengan baik ketika seluruh pemangku kepentingan mampu memaksimalkan fungsi dan perannya masing-masing. Kebermanfaatan kebijakan publik hanya dapat dirasakan ketika seluruh pemangku kepentingan dilibatkan secara aktif dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, output kebijakan yang dicita-citakan dalam rangka mensejahterakan masyarakat akan mudah untuk diwujudkan.
19
OPINI
PAKET KEBIJAKAN UKM & PERAN PEMDA
S
epanjang dekade 2006-2016, perekonomian Indonesia tumbuh pada kisaran 5-6 persen. Pertumbuhan tersebut tentu disumbang berbagai faktor, termasuk dukungan dari hasil kinerja pengembangan kawasan khusus yang memungkinkan munculnya sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru. Pemerintah pusat telah berupaya membuat paket kebijakan ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di kawasan baru agar distribusi kekayaan tidak hanya menyebar di pulau Jawa. Program Nawa Cita dari pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla diharapkan mampu membangun kawasan ekonomi baru di daerah 3 T (Terdalam, Terluar dan Terpencil). Pembangunan kawasan tersebut bertujuan mengurangi ketimpangan pendapatan antara masyarakat berpenghasilan tinggi dan pendapatan rendah.
jalan angkutan darat, pemerintah juga membangun jalur kereta api Trans Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Papua. Sedangkan untuk kawasan pulau jawa, pemerintah tengah memulai pembangunan jalur kereta api cepat Bandung–Jakarta. Sementara untuk meningkatkan produktivitas pertanian, pemerintah juga berupaya membangun waduk-waduk baru agar mampu mengairi sawahsawah petani dengan skala yang lebih luas. Hal tersebut menunjukkan bahwa presiden Jokowi dianggap telah serius mewujudkan program Nawa Cita dengan berbagai paket kebijakan ekonomi tersebut. Infrastruktur tersebut dibangun dengan biaya sebesar 290 trilliun dan merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah Indonesia3).
Namun demikian, muncul pertanyaan: apakah pembangunan infrastruktur Upaya pemerintah pusat dalam tersebut sejalan dengan peningkatan taraf menyelesaikan berbagai persoalan hidup masyarakat di daerah? Pertanyaan ekonomi masyarakat perlu diapresiasi. tersebut merupakan hal mendasar Nur Choirul Afif Apresiasi ini diberikan dalam bentuk yang harus dijawab oleh pemangku Staff Pengajar pada FEB Unidukungan dari segala lapisan masyarakat, kepentingan, mengingat tujuan dari versitas Jenderal Soedirman, baik itu pengusaha maupun pemerintah pembangunan adalah meningkatkan Purwokerto daerah. kesejahteraan rakyat. Program tersebut dianggap sia-sia jika pelaku usaha nasional Pemerintah pusat telah berupaya membangun tidak dapat menikmati adanya infrastruktur tersebut. infrastruktur jalan raya di seluruh pelosok tanah air. Program tersebut tidak akan dinikmati oleh masyarakat Di Sumatera misalnya, pemerintah pusat menargetkan jika jumlah pelaku usaha tidak tumbuh secara signifikan membangun jalan tol 829 Km per tahun sehingga pada dan pelaku usaha tidak memiliki keunggulan bersaing 1) tahun 2019 kota Banda Aceh hingga Lampung sudah dibandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN. Pemberlakuan MEA pada akhir tahun 2015 menandai terhubung. Sedangkan di Pulau Jawa, pemerintah berkurangnya proteksi pemerintah terhadap pengusaha pusat berkomitmen menjadikan Merak hingga Indonesia. Surabaya terhubung hingga tahun 20182). Disamping
1) Lihat: http://finance.detik.com/read/2016/03/01/074325/3154350/4/pemerintah-jokowi-mau-bangun-tol-sumatera-825-km-hingga-2019butuh-rp-60-t 2) Lihat: http://properti.kompas.com/read/2016/03/19/162132321/Jokowi.Merak-Surabaya.Nyambung.Tahun.2018 3) Lihat: http://m.galamedianews.com/advertorial/75566/anggaran-infrastruktur-2015-rp-290-t-lebih-tertinggi-sepanjang-sejarah.html
20
Pemerintah pusat juga tidak lagi memiliki kemampuan untuk memproteksi pengusaha nasional dari masuknya produk-produk import terutama dari negara-negara di kawasan ASEAN sejak diberlakukan MEA pada awal tahun 2016. Pembangunan infrastruktur tersebut harus mampu menopang dan meningkatkan keunggulan bersaing Usaha Kecil, Mikro dan Menengah (UMKM) di Indonesia. Jika UMKM tidak memiliki keunggulan bersaing, infrastruktur tersebut justru dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional asing masuk dan mengambil pangsa pasar dalam negeri. Oleh karena itu, diperlukan peran dari pemda untuk menjadikan pelaku UMKM memiliki keunggulan bersaing agar produknya unggul di luar negeri. Pada Paket Kebijakan Ekonomi jilid 11, pemerintah membuat kebijakan yang berkenaan dengan KUR (Kredit Usaha Rakyat), bantuan UMKM yang berorientasi ekspor, perubahan prosedur sandar dan inap (dwelling time) kapal di pelabuhan dan pengembangan industri farmasi. Dari empat poin tersebut, dua diantaranya berkenaan dengan UMKM4). Selama ini pemerintah memberikan bantuan kepada pelaku UMKM dalam bentuk keringanan bunga kredit, pengurangan PPh dan PPN. Namun pemerintah tidak membantu dalam hal peningkatan kapasitas UMKM dari sisi manajemen organisasi/kelembagaan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengupayakan agar UMKM di Indonesia perlu mendapatkan perhatian agar aktivitas bisnis yang dilakukan tidak terkesan berjalan di tempat. Peran Pemda dalam Pengembangan UMKM Pemerintah pusat berperan membangun infrastruktur makro berupa jalan darat dan kereta api guna menjangkau berbagai daerah di Indonesia. Namun demikian, akses terhadap infrastruktur di daerah perlu dipersiapkan agar infrastruktur tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal. Jalan, rel kereta api dan jembatan yang dibangun tersebut diharapkan dapat mempermudah para pelaku usaha menjangkau dari bahan baku ke pasar. Infrastruktur tersebut harus dimanfaatkan oleh pengusaha di kawasan tersebut agar mendapatkan kemudahan memasarkan produknya ke luar daerah, bahkan luar negeri. Dengan demikian, pemda berperan mengkomunikasikan kepada pelaku UMKM agar mereka memanfaatkan infrastruktur tersebut. Disamping itu, pemda juga bisa berperan
Sumber dari internet
dalam meningkatkan daya saing UMKM di daerahnya melalui pemberlakuan berbagai kemudahan regulasi agar iklim usaha di daerah tersebut membaik sehingga memiliki dampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat di daerah tersebut. Peranan pemda dalam membantu program pemerintah pusat sangat diperlukan, mengingat pemerintah pusat memiliki fokus lain, yaitu membangun infrastruktur secara makro di seluruh Indonesia. Sehingga pemanfaatan secara optimal di daerah tersebut perlu didukung oleh yang dianggap lebih memahami peta UMKM di daerahnya, sehingga pemda dapat membuat prioritas mengenai produk unggulannya agar dapat dipasarkan ke pasar luar negeri. Perubahan Paradigma UMKM: dari Non Organisasional ke Organisasional Sebagaimana diketahui bahwa tujuan dari paket kebijakan ekonomi adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, yaitu melalui pembangunan infrastruktur untuk menurunkan biaya logistik. Dengan penurunan biaya logistik tersebut harga berbagai komoditas sebagai bahan baku industri dapat diturunkan, penurunan bahan baku tersebut diharapkan dapat meningkatkan keunggulan bersaing dari perusahaan nasional. Namun jika skala produksi dari perusahaan UMKM masih relatif kecil, maka pembangunan berbagai infrastruktur penunjang tersebut dianggap kurang memiliki dampak yang lebih luas. Artinya jika orientasi dari pengusaha lokal atau daerah belum berorientasi pada pasar nasional atau bahkan ekspor, maka tujuan pembangunan infrastruktur tersebut belum tercapai. Kapasitas produksi dari produk barang dan jasa di daerah harus dapat ditingkatkan agar ekspansi produk ke daerah atau negara lain masuk skala ekonomi.
4) Lihat: https://m.tempo.co/read/news/2016/03/29/090757838/ini-empat-utama-isi-paket-kebijakan-ekonomi-ke-11
21
Perusahaan UMKM di tingkat lokal tidak akan dapat bersaing menghadapi perusahaan skala menengah dan besar. Perusahaan berskala besar memiliki dukungan SDM yang lebih unggul, teknologi dan terspesialisasi dan infrastuktur perusahaan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan UMKM. Dalam situasi semacam ini, UMKM tidak akan mampu bersaing dengan perusahaan berskala besar dari dalam maupun luar negeri. Apalagi UMKM saat ini dihadapkan pada persoalan mendasar, yaitu mayoritas atau sebanyak 63.55 persen UMKM masih belum berbadan hukum5). Kondisi tersebut membuat UMKM tidak memiliki keunggulan bersaing untuk menghadapi perusahaan berskala besar. Keunggulan bersaing suatu organisasi bisnis ditentukan oleh sejauhmana kemampuannya dalam mengelola rantai nilainya. Semakin tinggi kemampuannya dalam mengelola rantai nilai, semakin tinggi keunggulan bersaing suatu perusahaan. Sedangkan untuk membangun manajemen rantai nilai organisasi secara terintegrasi diperlukan berbagai sumber daya, baik bahan baku, teknologi maupun human capital. Petter Drucker menyatakan bahwa “Management is getting things through other people” (manajemen merupakan suatu cara untuk mendapatkan sesuatu melalui orang lain)6). Oleh karena itu, pada prinsipnya implementasi ilmu manajemen hanya dapat dilakukan oleh organisasi dan tidak dapat diterapkan tanpa wadah organisasi. Jika mayoritas pelaku UMKM masih belum menerapkan prinsip-prinsip organisasi, yaitu memiliki visi, misi dan tujuan, hubungan impersonal lebih dominan dibandingkan dengan hubungan personal, hubungan formal lebih dominan dibandingkan hubungan non formal, right man in the right place dan bersifat relatif permanen atau jangka panjang. Oleh karena itu, peningkatan keunggulan bersaing UMKM dilakukan dengan mengkonversi dari non organisasional ke organisasional [lihat Gambar 1].
Non Organizational Pattern
Organizational Pattern
Gambar 1. Perubahan Pola Pengelolaan UMKM di Daerah
Pemda hendaknya memberikan edukasi bersama dengan perguruan tinggi terhadap pelaku UMKM agar mereka mampu berubah dari pengelolaan yang non organisasional ke arah organisasional. Diharapkan dengan merubah pola pengelolaan ke arah organisasional daya saing UMKM akan meningkat karena ilmu manajemen organisasi bisnis dapat diterapkan. Pelatihan yang dilakukan oleh pemda tidak hanya pada bagaimana penciptaan produk, akan tetapi memberikan pemahaman kepada mereka bagaimana mengelola bisnis secara organisasional. Pemerintah juga memfasilitasi UMKM memiliki Badan Hukum agar berkontribusi terhadap penerimaan pajak. Selama ini kita justru membanggakan bahwa perekonomian kita didominasi oleh sektor informal. Hal tersebut kemudian menjadi justifikasi pemda untuk melakukan pembiaran terhadap pelaku UMKM yang terkesan “liar”. Mengingat pelaku UMKM yang tidak dikelola secara organisasional tidak memiliki “daya ungkit” dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemda dapat membuat BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) atau Badan Hukum lainnya (misalnya Koperasi) untuk membangun rantai nilai (value chain) terintegrasi agar pelaku UMKM mampu menciptakan produk unggulan. Dengan Badan Hukum tersebut diciptakan Divisi Ekspor untuk memasarkan produkproduk pelaku UMKM ke luar negeri.
Catatan Akhir Pembangunan infrastruktur merupakan hal yang sangat fundamental dalam meningkatkan daya saing bangsa Indonesia. Akan tetapi jika pelaku usaha nasional tidak memiliki keunggulan bersaing, infrastruktur tersebut justru dinikmati oleh asing yang memiliki minat untuk berinvestasi di Indonesia. Pemerintah Pusat dan Daerah hendaknya memetakan pelaku UMKM dan memfasilitasi UMKM dari sisi kelembagaan agar tercipta rantai nilai (value chain) terintegrasi pada industri UMKM tersebut. Selain itu, pemerintah harus mulai selektif dalam memberikan bantuan terhadap UMKM. Bantuan tersebut mesti mengarah pada perubahan paradigma pengelolaan UMKM yang tidak atau belum organisasional ke arah pengelolaan UMKM yang organisasional.
5) Lihat: http://www.bi.go.id/id/publikasi/kajian-ekonomi-regional 6) Lihat: Pengantar Manajemen, Ernie Tisnawati Sule dan Kurniawan Saefullah
22
LAPORAN KEGIATAN
PERATURAN DAERAH YANG MENGHAMBAT INVESTASI
J
arum jam menunjukkan pkl. 09.30 WIB. Ruang meeting Apindo Training Center (ATC) mulai dipadati wartawan dari sejumlah media massa nasional. Hadir awak media Bisnis Indonesia, Jakarta Post, Kompas, Koran Sindo, Harian/Mingguan Kontan dan lainnya. Di sisi ruang lain, para peneliti KPPOD bersiap-siap di depan laptop dan catatan masingmasing. Tampak pula, Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng dan Ketua Badan Pengurus KPPOD Agung Pambudhi. Ya, hari ini, Selasa, 3 Mei 2016, KPPOD menyelenggarakan diskusi media membahas perda-perda yang menghambat iklim investasi.
digunakan sebagai instrumen untuk meningkatkan PAD. Praktik ini membuka ruang bagi lahirnya regulasiregulasi daerah yang membebani para pelaku usaha sehingga menghambat pertumbuhan investasi di daerah. Fokus kajian KPPOD, terang Yudha, adalah sejumlah perda yang muncul pascapenetapan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Saat ini, KPPOD baru mengkaji 507 perda dari 5.560 perda yang muncul antara tahun 2010 dan 2015. Dari lima ratusan perda ini, terdapat 233 perda bermasalah sehingga direkomendasikan untuk direvisi atau dicabut.
Para wartawan tampak antusias ketika Peneliti KPPOD Boedi Rheza menyampaikan salam pembuka dan menjelaskan tema diskusi. Para awak media ini memang tidak asing dengan kegiatan diskusi media KPPOD. Karena, sebagai lembaga riset dan advokasi, KPPOD selalu memposisikan media massa sebagai salah satu mitra kerja utama dalam advokasi kebijakan, terutama yang berbasis dan terkait hasil penelitian.
Yudha menjelaskan, temuan kebermasalahan perda yang cukup tinggi ada pada kriteria standar waktu dan struktur tarif. Dari 124 perda pajak, terdapat 44 perda yang memiliki masalah demikian. Perda retribusi juga memiliki kecenderungan yang sama. Dari 290 perda retribusi, ada 196 perda yang bermasalah pada kejelasan standar waktu, biaya, dan prosedur. Selain itu, KPPOD menemukan perda yang melanggar ketentuan objek Herman N. Suparman pajak, yaitu Perda Kota Surabaya tentang Peneliti KPPOD Pajak Hotel. Perda ini menambahkan satu Atensi besar tersebut juga tak lepas dari objek pajak dari yang ditentukan pasal 33 semangat Pemerintah Pusat yang sudah, ayat (3) UU 28/2009, yaitu, rumah kost yang memiliki sedang dan terus menggalakkan program deregulasi. kamar lebih dari 10 jumlah kamar dengan harga paling Perintah Presiden Jokowi untuk menghapus 3000 sedikit 750.000 rupiah. perda bermasalah, misalnya, sudah menjadi konsumsi publik. Tampaknya, publik penasaran dengan tipologi kebermasalahan dari perda investasi tersebut. Di tengah Menariknya, kata Yudha, ada perda yang secara euforia ini, KPPOD mempublikasikan hasil kajiannya tekstual tidak bermasalah, tetapi di lapangan ternyata tentang perda bermasalahan. bermasalah ketika menelisik implementasinya. KPPOD, misalnya, menemukan kasus ini pada Perda Kota Cilegon No.13 Tahun 2013 tentang Pajak Penerangan Tipologi Kebermasalahan Perda Jalan (PPJ). Temuan lapangan KPPOD menunjukkan Kebermasalahan perda tentu lahir dari konteks tertentu. para wajib pajak tidak menikmati fasilitas penerangan Mohammad Yudha Prawira, yang mewakili para peneliti jalan. Tak hanya sekadar soal manfaat, wajib pajak PPJ juga mengkritisi ketentuan tarif 2,5% PPJ untuk tenaga KPPOD dalam presentasi hasil studi mengatakan, di listrik yang dihasilkan sendiri. Ketentuan ini memang era otonomi ini Pajak dan Retribusi Daerah sering
23
sesuai dengan UU No.28 Tahun 2009, namun justru memberatkan para pelaku usaha. Tipologi kebermasalahan lain muncul di Karawang. Kabupaten yang bertetangga dengan Kabupaten Bekasi ini memproteksi secara berlebihan tenaga kerja lokal melalui Perda No.01 tahun 2011, dan serentak pada sama melakukan diskriminasi terhadap warga Indonesia dari daerah-daerah lain untuk menikmati hak dasar bergerak ke mana pun--termasuk mencari sumber penghidupan dan mendapatkan pekerjaan-- dalam tiap jengkal tanah Republik sebagai satu kesatuan wilayah ekonomi nasional (NKRI). Perda ini menetapkan kuota 60% tenaga kerja lokal bagi setiap perusahaan. Selain berpotensi menghambat investasi, ketentuan ini bertentangan dengan prinsip free internal trade. Sebab perda ini menghambat pergerakan tenaga kerja ke seluruh daerah di Indonesia yang merupakan satu kesatuan ekonomi nasional. Selain Perda Ketenagakerjaan ini, papar Yudha, Pemda Karawang juga sedang menyiapkan sebuah regulasi tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) perusahaan atau lebih dikenal CSR. Dari pemberitaan media lokal dan kajian KPPOD sendiri, Pemda Karawang berupaya merealisasikan tarif TJSL sebesar 2,5% dari keuntungan perusahaan. KPPOD menilai, ketentuan ini bermasalah lantaran tak sesuai dengan regulasi nasional tentang TJSL, utamanya UU PT No. 40 Tahun 2007 dan juga PP No.47 Tahun 2012. Kedua regulasi ini hanya menyebut anggaran TJSL sesuai kepatutan dan kewajaran. Berbeda kasusnya dengan perusahaan BUMN yang ditentukan anggaran TJSL sebesar 4%. Dalam kasus Karawang, lanjut Yudha, penetapan kuota tenaga kerja dan persentase TSJL dilatari sikap politik kepala daerah yang berjanji akan memberikan perlindungan bagi tenaga kerja lokal.
24
Faktor Penyebab Beragam kebermasalahan perda ini disebabkan banyak faktor. Dari kajian KPPOD, tegas Yudha, regulasi nasional turut andil dalam kompleksitas persoalan perda. Regulasi nasional belum optimal, tumpang tindih, dan inkonsisten satu sama lain sehingga tidak memberikan kepastian hukum dan kerangka kebijakan yang jelas. Di level daerah, komitmen politik dan kesalahpahaman pemda memberi pengaruh yang signifikan pada kualitas Perda. Menyambung Yudha, Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng menyatakan, sering kali di daerah kemudian ditambah-tambahkan semisal perluasan objek pajak atau struktur tarif yang justru melanggar semangat yang ada dalam closed-list system dalam UU No. 28 Tahun 2009. Selain faktor politik, kualitas legislative assessment para perumus kebijakan dan legal drafting para tenaga perancang juga berpengaruh besar. Pada ujung proses, efektifitas monitoring, evaluasi hingga pengawasan dan pembatalan dari pemerintah pusat juga tak tegak secara maksimal. Monitoring dan Sanksi yang Tegas Untuk mengatasi kebermasalahan ini, ungkap Robert, selain penataan regulasi di tingkat pusat, monitoring dan sanksi dari pemerintah pusat mesti dijalankan dengan konsisten. Menurutnya, sebelum otonomi diterapkan di negeri ini, model pengawasan terdiri atas pengawasan preventif ketika masih rancangan, dan pengawasan kuratif ketika sudah menjadi perda. Kemudian, era otonomi hanya menggunakan satu
Bersambung ke Halaman 30
SEPUTAR OTONOMI
MENGEJAR KEMUDAHAN BERUSAHA
K
ondisi perekonomian global yang melambat dua tahun terakhir, berpengaruh kepada kondisi ekonomi Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya tingkat pertumbuhan Indonesia. Untuk menghadapinya, Indonesia masih perlu menarik investasi baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Salah satu strategi untuk menarik investasi tersebut adalah dengan terus mendorong reformasi struktural, termasuk penguatan institusi/kepemerintahan guna menjamin kemudahan berusaha di daerah. Strategi ini sudah seharusnya di awali dengan perbaikan pada bidang regulasi perizinan terkait investasi. Selain itu, pengelolaan anggaran daerah dengan mengutamakan peningkatan belanja modal juga selayaknya menjadi fokus Pemda jika ingin mempercepat pembangunan ekonomi.
Paket kebijakan ekonomi XII
sendiri yang mengumumkan garis besar reformasi dan target capaian perubahan di depan sejumlah redaktur ekonomi berbagai media cetak, elektronik dan online. Upaya yang dilakukan Pemerintah ini mencakup penyederhanaan prosedur, penurunan biaya, dan percepatan waktu penyelesaian atas beberapa aspek diantaranya memulai bisnis, izin mendirikan bangunan, pendaftaran properti, dan sebagainya. Beberapa hal yang termasuk ke dalam paket kebijakan ekonomi adalah sebagai berikut: 1. Perbaikan pada prosedur-prosedur memulai usaha Pada aspek prosedur memulai usaha, Pemerintah mengeluarkan kebijakankebijakan yang bertujuan untuk memudahkan pengusaha dalam memulai usaha di Indonesia. Memulai usaha dapat menjadi salah satu pendorong tumbuhnya usaha atau investasi. Perbaikan kemudahan dalam memulai usaha akan menumbuhkan usaha-usaha baru dan pada akhirnya mendorong terciptanya lapangan pekerjaan.
Keseluruhan jumlah paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan Pemerintah Boedi Rheza telah mencapai seri ke-12. Deregulasi, Peneliti KPPOD debirokratisasi dan pemberian insentif Dampak dari adanya kemudahan ini merupakan tiga instrumen utama adalah pengusaha tidak perlu lagi berbelit mengurus pelaksanaan berbagai paket tersebut. Paket kebijakan izin-izin yang terkait dengan pendirian usaha. Beberapa tersebut bertujuan untuk mempercepat perbaikan hal yang masuk ke dalam perbaikan untuk memulai di beberapa sektor dan menarik investasi. Keluarnya usaha adalah kemudahan pengurusan pendirian paket tersebut memberikan kesempatan besar juga bagi usaha, pendaftaran ketenagakerjaan, dan pembuatan investor untuk berkembang maupun menanamkan SIUP/TDP yang dipaketkan. Sehingga keseluruhan modalnya. Hal ini dikarenakan, Paket kebijakan yang prosedur untuk mendirikan usaha hanya 7 prosedur diterbitkan mengandung proses deregulasi yang akan dengan waktu 10 hari. Deregulasi lain yang dilakukan memudahkan dan memberikan fasilitas bagi investor. adalah dengan menetapkan besaran modal minimum berdasarkan kesepakatan pendiri usaha, tidak lagi Paket kebijakan terakhir, yaitu paket kebijakan XII, berdasar pada jumlah minimum. Hal ini dapat dikeluarkan pada tanggal 28 April 2016 lalu. Paket mendorong penciptaan usaha, karena para pelaku ini lebih menyasar kepada upaya deregulasi bagi usaha, khususnya UMKM tidak lagi terbentur dengan kemudahan berusaha [ease of doing business] bagi kewajiban untuk modal minimum. UMKM. Menimbang pentingnya paket ini, presiden
25
Tabel 1. Perbaikan pada Prosedur-Prosedur Memulai Usaha SEBELUM PAKET KEBIJAKAN XII
SESUDAH PAKET KEBIJAKAN XII
Pembentukan PT dilakukan melalui 13 prosedur:
Pembentukan PT dilakukan melalui 7 prosedur:
1. Pesan nama perusahaan (4 hari kerja, Rp 200.000) 2. Pembayaran PNBP Pesan Nama (1 hari kerja, Rp 1 juta) 3. Pembuatan akte perseroan oleh Notaris (2 hari kerja, Rp 4-5 juta) 4. Pembayaran PNBP pendirian Perusahaan (1 hari kerja, Rp 1,6 juta) 5. Pengesahan Badan Hukum (1 hari kerja, Rp 0) 6. NPWP (1 hari kerja, Rp 0) 7. SIUP (15 hari kerja, Rp 0) 8. TDP (14 hari kerja, Rp 0) 9. Surat Keterangan Pengelola Gedung 10. Surat Keterangan Domisili Usaha (SKDU), (1 hari kerja, Rp 0) 11. Wajib Lapor Ketenagakerjaan (1 hari kerja, Rp 0) 12. BPJS Kesehatan (3 hari kerja, Rp 0) 13. BPJS Ketenagakerjaan (3 hari kerja, Rp 0)
1. Pengajuan nama perusahaan, pembayaran untuk pesan nama, penerbitan izin penggunaan nama perusahaan dilakukan dalam satu sistem pelayanan di www.ahu.go.id (2 hari kerja, Rp 200.000) 2. Memperoleh standar Akta Perusahaan dari Notaris (1 hari kerja, maksimal Rp 1 juta untuk PT) 3. Pengajuan Izin Pendirian Badan Hukum, Penerbitan Izin Pendirian Badan Hukum, Pembayaran PNBP, Pengesahan Badan Hukum (1 hari kerja, Rp 1 juta) 4. Pengajuan SIUP dan TDP serta serta BPJS Kesehatan secara online di PTSP (1 hari kerja, Rp 0) 5. Pendaftaran Perusahaan di Kemenakertrans/ Dinas tenaga kerja. (1 hari kerja, Rp 0) 6. Pengajuan daftar BPJS Ketenagakerjaan secara online di www.bpjsketenagakerjaan.go.id (2 hari kerja, Rp 0) 7. Mendapatkan Nomor NPWP dan VAT Collector Number NPPKP (Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak) secara online di https://ereg.pajak.go.id
2. Perbaikan pada prosedur-prosedur mendirikan bangunan Prosedur-prosedur konstruksi ditujukan untuk menjamin keamanan dari sebuah bangunan. Meskipun demikian, prosedur dalam mendirikan bangunan dianggap masih terlalu rumit dan berpotensi menjadi celah untuk korupsi. Seharusnya, prosedur-prosedur dalam mendirikan bangunan ditujukan untuk meningkatkan keamanan bagi pengguna bangunan. Perubahan terkait prosedur mendirikan bangunan di dalam Paket Kebijakan XII adalah menyederhanakan beberapa perizinan seperti izin lingkungan, pemberian KRK dan kemudian rekomendasi-rekomendasi terkait mendirikan bangunan juga dijadikan sebagai proses untuk mendapatkan IMB. Sehingga diharapkan nantinya, untuk mendirikan bangunan pelaku usaha atau masyarakat umum, hanya membutuhkan 14 prosedur dengan waktu 52 hari untuk mendapatkan 3 izin yaitu IMB, SLF dan Tanda Daftar Gudang (TDG). Demikian halnya dengan Pemerintah Daerah, mereka juga harus terus berbenah dalam menyambut paket kebijakan ekonomi XII yang bertujuan untuk meningkatkan kemudahan berusaha. Hal ini dikarenakan, deregulasi yang dilakukan pada paket XII juga menyasar pada pelayanan di daerah. Tidak hanya
26
berbenah untuk meningkatkan pelayanan, namun juga perlu menerbitkan perda-perda yang memiliki semangat kemudahan investasi. Selain menerbitkan perda-perda ramah investasi, dari sisi teknis Pemda juga perlu menyiapkan fasilitas dan aparatur yang kompeten untuk menyambut datangnya investasi ke daerah. Perencanaan-perencanaan investasi, seperti potensi yang ingin dikembangkan, peta jalan untuk berinvestasi bagi potensi daerah juga harus mulai dibuat. Sehingga investor memiliki pemahaman yang jelas atas peluangpeluang investasi di daerah. Upaya yang baik ini sudah seharusnya diikuti oleh pengawasan atau pemantauan pada tataran implementasinya baik di Pusat maupun Daerah. Problem komunikasi dan koordinasi antara pusat dan daerah sudah seharusnya tidak boleh menjadi hambatan yang signifikan jika Pemerintah ingin menarik investasi sebanyak-banyaknya. Untuk itu, diperlukan penguatan pada rantai koordinasi. Hal ini bisa dilakukan dengan mengoptimalkan peran propinsi yang sudah dikuatkan melalui terbitnya UU No.23 Tahun 2014. Bagi daerah, juga perlu menanggapi beberapa perubahan kebijakan tersebut dengan melakukan penerbitan peraturan daerah yang mendukung penyederhanaan perizinan ataupun penciptaan iklim investasi yang kondusif di daerah.
Tabel 2. Perbaikan pada Prosedur-Prosedur Mendirikan Bangunan SEBELUM PAKET KEBIJAKAN XII
SESUDAH PAKET KEBIJAKAN XII
Untuk Pendirian Bangunan diperlukan 17 Prosedur dan memakan waktu 210 hari: 1. Meminta dan memperoleh sertifikasi kepemilikan tanah sebelum mengajukan IMB (1 hari kerja, Rp 25,000) 2. Mengajukan Keterangan Rencana Kota (KRK) dan Rencana Tata Letak Bangunan (RTLB) (1 hari kerja, Rp 1,482,000) 3. Mendapatkan inspeksi dari Dinas Penataan Kota (1 hari kerja, Rp 0) 4. Memperoleh KRK dan RTLB dari Dinas Tata Kota (20 hari kerja, Rp 0) 5. Mengajukan dan memperoleh persiapan UKL/UPL (Agensi: konsultan luar) (30 hari kerja, Rp15,000,000) 6. Mengajukan dan memperoleh persetujuan UKL/UPL ke BPLHD (10 hari kerja, Rp 0) 7. Mengajukan dan memperoleh IMB ke BPTSP DKI Jakarta (42 hari kerja, Rp 68,281,500) 8. Inspeksi penyelesaian fondasi dari Dinas Tata Kota (1 hari kerja, Rp 0) 9. Inspeksi penyelesaian struktur bangunan Dinas Tata Kota (1 hari kerja, Rp 0) 10. Inspeksi penyelesaian atap Dinas Penataan Kota (1 hari kerja, RP 0) 11. Mengajukan laporan penyelesaian inspeksi ke Dinas Penataan Kota (1 hari kerja, Rp 0) 12. Inspeksi final dari Dinas Pemadam Kebakaran (1 hari kerja, Rp 0) 13. Menerima inspeksi final dari Dinas Tata Kota (1 hari kerja, Rp 0) 14. Memperoleh SLF dari Dinas Tata Kota di BPTSP (49 hari kerja, Rp 0) 15. Pendaftaran gudang pada Unit Pelayanan Pajak Daerah/UPPD) (11 hari kerja, Rp 0) 16. Memperoleh sambungan air bersih m(30 hari kerja, Rp 2,000,000) 17. Memperoleh Tanda Daftar Gudang (9 hari kerja, Rp 100,000)
Provinsi sebagai Simpul Koordinasi Pusat-Daerah Selain agenda ekonomi di atas, perkembangan lain yang patut dicatat dalam rentang tiga bulan terakhir ini terjadi pada agenda politik pemerintahan daerah. Pada saat pelantikan beberapa gubernur terpilih di Istana Negara, Presiden Jokowi menegaskan untuk para gubernur menjadi ujung tombak dan wakil pemerintah pusat ke daerah. Gubernur dan Propinsi juga harus dapat menjadi simpul koordinasi antara Pusat dan Daerah. Selain itu, program pembangunan di daerah baik propinsi maupun Kabupaten/Kota juga seharusnya selaras dan harmonis. Selanjutnya, dalam amanatnya pada perayaan
Dengan adanya deregulasi, maka jumlah prosedur mendirikan bangunan menjadi 14 prosedur dan memakan waktu 52 hari : 1. Permohonan Keterangan Rencana Kota (KRK), (1 hari, Rp 0) 2. Pemberian Keterangan Rencana Kota (KRK), Info syarat administrasi, desain prototipe (20 hari) 3. Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL) (1 hari, Rp 0) 4. Proses Permohonan IMB ( 1 hari, Rp 0) 5. Penilaian Permohonan IMB (1 hari, Rp 0) 6. Pembayaran Retribusi (1 hari, Rp 68,281,200 untuk luas gudang 1300m2) 7. Penerbitan IMB (1 hari) 8. Inspeksi pondasi dan struktur (1 hari, Rp 0) 9. Inspeksi Mekanik dan Elektrik dan Kebakaran (1 hari, Rp 0) 10. Inspeksi Akhir (1 hari, Rp 0) 11. Permohonan SLF, SLO, dan TDG (1 hari), Rp 0) 12. Penerbitan SLF, SLO, dan TDG secara bersamaan (1 hari), (SLF = Rp 0, SLO = Rp 15/VA, TDG = Rp 0) 13. Pendaftaran Pajak Bangunan (1 hari, Rp 0) 14. Mendapatkan sambungan air dan limbah (20 hari, Rp 2,000,0000)
hari otonomi daerah, Mendagri Tjahjo Kumolo menyampaikan bahwa upaya peningkatan kinerja daerah juga harus diikuti dengan terwujudnya sinergi penyelenggaraan pemerintahan secara nasional. Dalam hal ini, setiap kebijakan di tingkat nasional juga harus diikuti oleh kebijakan daerah yang disesuaikan dengan esensi kebutuhan dan permasalahan di daerah. Keselarasan program pembangunan ini mutlak diperlukan agar program pembangunan dari pusat sampai daerah dapat bersinergi. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan satu rantai koordinasi yang kuat antara Pusat-Propinsi-Kabupaten/Kota. Namun sayangnya, penyelenggaraan pemerintahan sampai saat ini menunjukkan masih adanya distorsi antara kebijakan
27
nasional dengan kebijakan daerah, serta belum efektifnya koordinasi antara pusat dan daerah. Sehingga seringkali prioritas nasional kemudian tidak berjalan di daerah. Untuk mengatasi ketidakefektifan koordinasi tersebut, diperlukan penguatan peran propinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Penguatan peran propinsi sendiri sudah terlihat sejak diterbitkannya UU No.23 Tahun 2014. Propinsi mulai diberikan beberapa kewenangan, termasuk di antaranya perizinan, pengawasan penerbitan perda dan juga keterlibatan dalam persiapan daerah pemekaran baru. Pemberian kewenangan ini kemudian juga harus dibarengi dengan penguatan kapasitas aparat maupun institusional di propinsi. Penguatan kapasitas ini diperlukan propinsi menjalankan dengan lebih efektif perihal tata kelola urusan desentralisasi dan peran korbinwas dalam kerangka asas dekonsentrasi kelak. Saat ini, beberapa urusan yang telah dialihkan dari Kabupaten/Kota kepada Propinsi menurut UU pada prakteknya seperti ‘menghilang’. Belum terlihat adanya kesiapan Pemprov dalam menerima pengalihan kewenangan dari Kabupaten/Kota, khususnya terkait perizinan di beberapa sektor seperti perikanan, kehutanan dan pertambangan. Selain itu, payung hukum pelaksanaan urusan tersebut, juga belum diterbitkan oleh propinsi. Hal ini berbahaya, karena dapat menyebabkan kekosongan hukum di daerah, yang berdampak pada munculnya praktek-praktek ilegal di luar aturan hukum. Beberapa contoh tersebut menunjukkan bahwa penguatan Propinsi menjadi satu hal yang mutlak agar Propinsi dapat menjadi satu mata simpul koordinasi antara Pusat dan daerah.
Pembatalan Regulasi Bermasalah Pada kesempatan lain Presiden juga menyampaikan bahwa sampai saat ini terdapat sekitar 42 ribu peraturan yang yang tumpang tindih; 3000 diantaranya adalah Perda yang harus dibatalkan karena pelbagai sebab. Target pembatalan perda yang bermasalah tersebut adalah Juli 2017. Untuk merealisasikannya, diperlukan kerja keras Propinsi, Kabupaten dan Kota untuk menindaklanjuti pembatalan perda tersebut. Sejauh ini, terdapat 3380 Perda bermasalah yang sedang ditangani Kemendagri di tahun 2016 ini, Status dari perda-perda tersebut adalah 200 perda sudah dibatalkan, 1500 perda sedang dalam proses pembatalan dan 1680 perda menunggu proses pembatalan. Perda-perda yang bermasalah tersebut umumnya adalah perda-perda terkait pungutan (Pajak dan Retribusi), Perizinan, maupun perda-perda yang bersifat pengaturan. Sejauh ini, Kemendagri belum mengeluarkan informasi mendetail mengenai perdaperda apa saja yang sudah dibatalkan. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah juga meluncurkan sistem E-Perda. E-Perda bertujuan menjamin transparansi dalam hal database perda maupun dapat memfasilitasi aduan-aduan yang disampaikan oleh masyarakat terkait penerapan Perda. Adanya E-perda tentu perlu diapresiasi sebagai satu upaya dari Pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap penerbitan Perda. Inisiatif yang baik ini tentunya juga harus disosialisasikan kepada masyarakat umum agar masyarakat umum mengetahui adanya E-Perda ini dan kemudahan untuk mengaksesnya
Grafik 1. Rekapitulasi Proses Pembatalan Perda oleh Kemendagri
Sunber: Kemendagri
28
setidaknya untuk sub-sistem E-Konsultasi, sehingga publik dapat berpartisipasi lebih aktif lagi baik dalam pembuatan perda ataupun pengawasan perda.
E-Perda adalah satu sistem elektronik terkait database peraturan daerah. E-Perda sendiri terdiri dari tiga sub-sistem yaitu: 1. E-register yang berfungsi untuk registrasi perda, 2. E-Fasilitasi yang berfungsi untuk mengatasi masalah dan memberikan informasi dalam pembuatan perda 3. E-konsultasi bagi masyarakat atau siapapun yang ingin berkonsultasi ataupun memberikan masukan. Keuntungan E-Perda: 1. Menghemat anggaran pembuatan Perda dalam hal ini konsultasi sebesar 50-70% 2. Waktu juga lebih cepat 3. Penerbitan Perda lebih terkendali 4. Perda-perda bermasalah lebih dapat terpantau dan dapat diminimalisasi 5. Masyarakat dan dunia usaha dapat terlibat dan memberikan masukan.
Penggunaan E-Perda tentunya dapat membantu Kemendagri dalam mengawasi terbitnya perda-perda. Akan tetapi, sistem ini perlu didukung juga dengan ketersediaan infrastruktur dan Sumber Daya Manusia yang memadai untuk mengelola sistem ini. Selain itu, Kemendagri juga harus memastikan daerah-daerah mau mengunggah ranperda maupun perda ke dalam sistem E-Perda. Sehingga perlu juga ada komunikasi intensif dengan daerah sehingga daerah bahkan berinisiatif mengunggah ranperda atau perda ke dalam E-Perda. Melalui adanya E-Perda, Kemendagri juga dapat mensosialisasikan perda-perda yang telah dibatalkan ataupun yang sedang dalam proses pembatalan. Hal ini tentunya agar perda-perda tersebut dapat diketahui oleh publik dan tidak diterapkan oleh Pemda. Jika perda bermasalah sudah dibatalkan oleh Kemendagri, namun masih diterapkan di daerah, akan merugikan masyarakat terutama pelaku usaha, serta dapat menimbulkan ketidakpastian berusaha di daerah. Pemotongan Besaran DAK Pada bulan April 2016, Pemerintah melalui Menteri Keuangan mengeluarkan surat edaran tentang pemotongan Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik baik regular maupun IPD. Dasar dari pemotongan tersebut adalah berubahnya asumsi- asumsi makro dan target penerimaan Negara akibat dampak ekonomi global.
Pemotongan ini dapat dilakukan pada bidang/subbidang prioritas daerah masing-masing Kementerian dengan beberapa pertimbangan seperti kesiapan proses pengadaan barang dan jasa, kesiapan rencana kegiatan, kesesuaian kegiatan dengan prioritas nasional dan kemampuan bidang tersebut dalam penyerapan anggaran. DAK sendiri merupakan salah satu dana perimbangan yang bertujuan untuk mendukung pelaksanaan prioritas nasional di daerah. Jika pemotongan DAK tersebut terjadi maka dampak yang terlihat adalah tidak tercapainya beberapa target prioritas nasional. Selain itu, problem berikutnya akan dihadapi daerah yang akan menghadapi dampak berupa perubahan rencana yang telah ditetapkan. Hal ini dikarenakan besaran DAK masuk ke dalam perencanaan, terutama DAK fisik. Selain itu, proses pengadaan barang dan jasa melalui LPSE juga akan mengalami perubahan. Bahkan bisa jadi beberapa kegiatan yang sudah masuk ke dalam tahapan pengadaan akan ditiadakan. Dampak lainnya dari pengurangan DAK bagi daerah adalah tersendatnya pelayanan. Hal ini karena DAK di daerah terkait beberapa sektor prioritas seperti pendidikan dan kesehatan. Pengurangan DAK memang dapat menjadi salah satu solusi di masa ini. Akan tetapi, solusi ini lebih bersifat jangka pendek, tidak berkesinambungan. Untuk jangka panjang, ada baiknya diperlukan efisiensi dalam hal pegawai. Seperti yang umum diketahui, serapan anggaran saat ini lebih besar untuk belanja pegawai dibandingkan belanja modal. Efisiensi personil akan berdampak pada porsi anggaran lebih besar untuk belanja modal di daerah, sehingga mampu melaksanakan prioritas-prioritas yang telah direncanakan. Selain itu, efisiensi pegawai juga mampu meningkatkan kapasitas fiskal daerah sehingga tidak terlalu bergantung pada Dana Transfer dari Pemerintah Pusat. Revisi UU Pilkada Pada tanggal 2 Juni 2016, DPR mengesahkan revisi UU No.8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Pilkada). Setidaknya terdapat 21 klausul perubahan dalam revisi tersebut. Beberapa di antaranya adalah ketentuan mundur bagi calon dari DPR/DPRD dan PNS/TNI/Polri serta cuti bagi calon petahana Kepala Daerah. Penguatan wewenang Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam menerima, memeriksa dan memutus aduan keberatan dari paslon peserta Pilkada. Klausul mengenai harus mundur bagi anggota DPR/ DPRD ini mengundang polemik saat pembahasan.
29
Pada saat putusan di Rapat Paripurna pun, masih ada dua fraksi yang tidak setuju atas klausul ini. Keharusan mundur ini di dasari oleh Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015, yang menyebut anggota DPR, DPD, dan DPRD harus mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai pasangan calon. Seharusnya klausul ini dapat menjadi batasan agar anggota DPR/DPD/DPRD tidak menjadikan Pilkada sebagai ajang ‘coba-coba’ di dalam karier politiknya. Isu lainnya yang tidak kalah penting adalah verifikasi faktual yang dilakukan terhadap dukungan calon perorangan. Batas waktu untuk melakukan verifikasi faktual ini adalah tiga hari, dan yang melakukan verifikasi ini adalah KPUD. Satu hal yang perlu dicermati adalah kemampuan KPUD dalam melakukan verifikasi faktual tersebut. Salah satu contoh, calon perseorangan di DKI Jakarta membutuhkan dukungan sejumlah 7.5% dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT)
atau sekitar 532 ribu. Untuk memverifikasi jumlah dukungan sebesar itu sudah tentu dibutuhkan kemampuan yang sangat besar, baik dari jumlah personil maupun kapasitas. Selain itu, batas waktu tiga hari juga memerlukan satu mekanisme yang tepat dan efisien agar verifikasi faktual ini dapat diselesaikan. Ketentuan lain dalam revisi UU Pilkada ini adalah konsultasi KPUD dengan DPR dalam pembuatan peraturan KPU dan keputusannya yang bersifat mengikat. Ketentuan ini dapat memunculkan potensi intervensi dari DPR. Seperti yang kita ketahui bersama, anggota DPR berasal dari Partai Politik. Hal ini tentunya dapat mengganggu independensi dari KPUD sebagai pelaksana Pilkada. Apalagi keputusan yang dihasilkan dalam konsultasi tersebut mengikat.Tentunya hal ini akan berpotensi juga, adanya aturan main yang menguntungkan paslon yang berasal dari partai politik.
Sambungan dari Halaman 24 PERATURAN DAERAH... model, yaitu pengawasan kuratif. Semua perda lolos, tetapi ketika bermasalah baru dibatalkan. “Persoalan kemudian menjadi sangat bermasalah ketika pemerintah pusat tak melakukan pengawasan,”jelasnya. Maka, dengan berlakunya kembali dua model [preventif dan kurratif] saat ini diharapkan pengawasan berlapis atas Perda menjadi lebih ketat. Ketua KPPOD, Agung Pambudhi menyatakan, kebermasalahan perda ini memang muncul sejak otonomi bergulir, tetapi sekarang intensitas semakin besar. Agung melihat persoalan besar terutama pada janji politik kepala daerah yang justru menjauhkan warga di daerahnya sendiri dari potensi untuk mendapatkan kemakmuran. “Harus ditimbang dengan baik oleh pemda jangan sampai niat baik itu yang disampaikan justru melahirkan kebijakan yang menjauhkan daerah
30
dari tujuan otonomi itu sendiri, yakni kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat,” pungkasnya. Selepas pemaparan KPPOD, awak media diberi kesempatan untuk bertanya dan berdiskusi. Seorang wartawan, misalnya, menanyakan periode kajian perda KPPOD. Kajian perda sesungguhnya sudah menjadi pekerjaan rutin KPPOD sehingga diskusi media ini bukan titik final. Masih ada serangkaian review dan publikasi terkait berikutnya. Selain terus mengkaji, KPPOD akan terus menyampaikan hasil kajian semacam ini ke kementerian/lembaga terkait, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Koordinator Perekonomian, hingga Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk diperhatikan dan tentu ditindaklanjuti sebagai masukan kebijakan bagi perbaikan lebih lanjut di level nasional.
AGENDA KPPOD
KEGIATAN TERKINI KPPOD 1. Lokalatih Metode Regulatory Impact Assessment (RIA) KPPOD bekerjasama dengan FORD Foundation menyelenggarakan Lokalatih Metode Regulatory Impact Assessment (RIA) sebagai bentuk asistensi teknis bagi Pemerintah Daerah. Kegiatan ini dilaksanakan di Kabupaten Donggala, 28-31 Maret 2016 dan Kabupaten Ende, 5-8 April 2016. Lokalatih Metode RIA di kedua daerah tersebut mengangkat topik “Penguatan Kapasitas Legislasi”. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kapasitas legislasi Pemda, khususnya dalam pembuatan perda. Asistensi teknis ini juga merupakan kelanjutan program “Pengembangan Iklim Usaha bagi Peningkatan Rantai Nilai Produksi Kakao”. Harapannya, Pemda dapat mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dan mengevaluasi kebijakan terkait kakao yang ada saat ini.
Winantyo IT & Dokumentasi KPPOD
2. Sosialisasi Perbaikan Kemudahan Berusaha di Indonesia. Pemerintah terus melakukan perbaikan iklim usaha di Indonesia, salah satunya dengan melakukan sejumlah perubahan-perubahan dalam kebijakan dan regulasi. Untuk itu, KPPOD bersama ADB, BKPM, dan Kemenko Perekonomian bekerjasama untuk menyelenggarakan acara yang bertajuk Sosialisasi Perbaikan Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business) di Indonesia. Sosialisasi ini dilaksanakan di dua daerah tempat studi EoDB yaitu di Jakarta, bertempat di Crowne Plaza Hotel, 22 Maret 2016 dan di Surabaya, bertempat di Hotel Bumi Surabaya, 8 April 2016. Bersamaan dengan acara ini, Pemerintah meluncurkan situs “eodb.ekon.go.id” yang memuat informasi menyeluruh terkait kemudahan berusaha. Tampil sebagai pembicara dalam sosialisasi tersebut yaitu Mr. Steven Tabor selaku Country Director ADB, Bapak Azhar Lubis selaku Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal BKPM, dan Bapak Wahyu Utomo selaku Staff Ahli Bidang Pembangunan Daerah Kemenko Perekonomian RI. 3. Diskusi Media “Regulasi Daerah yang Menghambat Peningkatan Iklim Investasi” KPPOD mengadakan diskusi media bertajuk “Regulasi Daerah yang menghambat upaya peningkatan iklim usaha atau investasi di daerah” pada tanggal 3 Mei 2016 di Apindo Training Center, Jakarta. Hadir awak media Bisnis Indonesia, Jakarta Post, Kompas, Koran Sindo, Harian/Mingguan Kontan dan lainnya. Selain para peneliti KPPOD, turut hadir Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng dan Ketua Badan Pengurus KPPOD Agung Pambudhi. Tampil sebagai pembicara utama dalam diskusi ini adalah peneliti KPPOD, Mohammad Yudha Prawira. Dalam paparannya, Yudha menyampaikan hasil kajian KPPOD tentang perda tentang pajak, retribusi, dan perizinan yang masih berlaku di daerah. Kajian ini difokuskan pada regulasi yang terbit dari tahun 2010-2015. Selain itu, diskusi ini juga mengangkat permasalahan Perda Ketenagakerjaan dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSL) yang bermasalah di daerah.
31
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Regional Autonomy Watch Gd. Permata Kuningan Lt. 10, Jl. Kuningan Mulia Kav.9C, Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan, 12980 Telp.: [021] 8378 0642/53, Fax.: [021] 8378 0643, Website: www.kppod.org, Email:
[email protected], Facebook: kppod