Draft Modul TEKNOLOGI INFORMASI DAN PEMILU
FORMAT RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN
Mingg u ke
Tujuan Pembelajaran
1
Memberikan pemahaman tentang pentingnya teknologi informasi dan komunikasi sebagai aset penting dalam pembangunan ekonomi dan sosial
Pokok bahasan
Media ajar
Pengantar: Ruang lingkup dan perkembanga n IT
Powerpoi nt Artikel Jurnal
Metode Pembelajaran Yang dilakuka Yang n dilakuka mahasis n dosen wa Mendeng Memberi arkan kuliah kuliah, berpartisi pasi dalam diskusi
Penilaian Metode Penilaia n
Kriteria Bobot Penilaia Penilaia n n
-
-
-
Pustaka
Manuel Castells-The Rise of the Network Society, With a New Preface_ Volume I_ The Information Age_ Economy, Society, and Culture (Information Age Series)-Wiley-Blackwell (2010) Bab 1 & 2 Manuel Castells. Information Technology, Globalization and Social Development Manuel Castells. UNRISD Discussion Paper No. 114, September 1999
2&3
Menjelaskan keberadaan IT dalam konteks sosio-kultural masyarakat Indonesia dan mengetahui masalahmasalah yang timbul
IT dan kondisi sosial-budaya masyarakat di Indonesia: Permasalahan Digital Divide dan Digital Citizenship
Powerpoi nt Artikel Jurnal
Presentasi ,berpartisi pasi dalam diskusi
Memberi kuliah, memandu diskusi
Penilaia n terhadap tugas dan presenta si
4
Menjelaskan bagaimana IT memiliki pengaruh pada
Implikasi perkembanga n teknologi pada
Powerpoi nt Artikel Jurnal
Presentasi ,berpartisi pasi dalam
Memberi kuliah, memandu diskusi
Penilaia n terhadap tugas
Relevan si paper dengan pokok bahasan. Kejelian dalam mengan gkat contoh kasus. Kemam puan menyam paikan ide melalui presenta si. Pengusa an terhadap materi Relevan si paper dengan pokok
20% tugas 10% presenta si 10% keaktifa n diskusi
Bridging the Digital Divide_ Technology, Community, and Public Policy-Lisa J. ServonWiley-Blackwell (2002) Pippa Norris-Digital Divide_ Civic Engagement, Information Poverty, and the Internet Worldwide-Cambridge University Press (2001) Sara Bentivegna Rethinking Politics in the World of ICTs European Journal of Communication 2006
20% tugas 10% presenta
Andrew Chadwick-Routledge Handbook of Internet PoliticsRoutledge (2008) Gunnar Liden & Anders Avdic
5
isu politik demokrasi
dinamika politik demokrasi
Menjelaskan pengaruh IT pada partai politik serta keuntungan maupun kerugian yang dihadapi partai politik dengan
IT dan partai politik
diskusi
Powerpoi nt Artikel Jurnal
Presentasi ,berpartisi pasi dalam diskusi
dan presenta si
Memberi kuliah, memandu diskusi
Penilaia n terhadap tugas dan presenta si
bahasan. Kejelian dalam mengan gkat contoh kasus. Kemam puan menyam paikan ide melalui presenta si. Pengusa an terhadap materi Relevan si paper dengan pokok bahasan. Kejelian dalam mengan gkat
si 10% keaktifa n diskusi
(2003) Democracy Functions of Information Technology
20% tugas 10% presenta si 10% keaktifa n diskusi
Andrew Chadwick-Routledge Handbook of Internet PoliticsRoutledge (2008) bab 3 & 6
adanya teknologi informasi.
6
Memahami peran IT pada kampanye politik dalam pembangunan politik dan demokrasi.
IT dan kampanye politik
Powerpoi nt Artikel Jurnal
Presentasi ,berpartisi pasi dalam diskusi
Memberi kuliah, memandu diskusi
Penilaia n terhadap tugas dan presenta si
contoh kasus. Kemam puan menyam paikan ide melalui presenta si. Pengusa an terhadap materi Relevan si paper dengan pokok bahasan. Kejelian dalam mengan gkat contoh kasus. Kemam puan menyam
20% tugas 10% presenta si 10% keaktifa n diskusi
Parties, election campaigning, and the internet: Toward a comparative institutional approach. Nick Anstead and Andrew Chadwick dalam Andrew Chadwick-Routledge Handbook of Internet PoliticsRoutledge (2008) Do Online Election Campaigns Win Votes? The 2007 Australian “YouTube” Election RACHEL K. GIBSON and IAN MCALLISTER. Political Communication, 28:227–244,
7
Menjelaskan regulasi tentang teknologi informasi dan aplikasinya.
IT dan regulasi terkait pemilu
Powerpoi nt Artikel Jurnal
Presentasi ,berpartisi pasi dalam diskusi
Memberi kuliah, memandu diskusi
Penilaia n terhadap tugas dan presenta si
paikan ide melalui presenta si. Pengusa an terhadap materi Relevan si paper dengan pokok bahasan. Kejelian dalam mengan gkat contoh kasus. Kemam puan menyam paikan ide melalui presenta si.
2011 Politicking Online_ The Transformation of Election Campaign Communications Costas Panagopoulos(2009)
20% tugas 10% presenta si 10% keaktifa n diskusi
Andrew Chadwick-Routledge Handbook of Internet PoliticsRoutledge (2008) Bab 13 Bridging the Digital Divide_ Technology, Community, and Public Policy-Lisa J. ServonWiley-Blackwell (2002) bab 4 Electoral Management Design: The International IDEA handbook. Institute for Democracy and Electoral Assistance
8
Memberikan penjelasan tentang aplikasi teknologi informasi dalam proses pengadaan pemilu elektronik.
Aplikasi Teknologi informasi dalam teknis pelaksanaan Pemilu Elektronik
Powerpoi nt Artikel Jurnal
9
Memberikan
IT, sensus dan Powerpoi
Presentasi ,berpartisi pasi dalam diskusi
Memberi kuliah, memandu diskusi
Penilaia n terhadap tugas dan presenta si
Presentasi Memberi
Penilaia
Pengusa an terhadap materi Relevan si paper dengan pokok bahasan. Kejelian dalam mengan gkat contoh kasus. Kemam puan menyam paikan ide melalui presenta si. Pengusa an terhadap materi Relevan
20% tugas 10% presenta si 10% keaktifa n diskusi
Pippa Norris. 2005. Will New Technology Boost Turnout? Evaluating Experiments in UK Local Elections. Dalam Norbert Kersting, Harald Baldersheim. 2005. Electronic Voting and Democracy A Comparative Analysis. Peter Wolf. 2010. Introducing Electronic Voting: Essential Considerations. Policy Paper. Stockholm: IDEA. Melanie Volkamer. 2009. ‘Evaluation of Electronic Voting Requirements and Evaluation Procedures to Support Responsible Election Authorities’. Heidelberg: Springer.
20%
Electronic
voting
systems:
10, 11 & 12
gambaran secara jelas tentang kegunaan informasi teknologi pada pendataan pemilu.
basis data pemilih
nt Artikel Jurnal
,berpartisi kuliah, pasi memandu dalam diskusi diskusi
n terhadap tugas dan presenta si
mengenalkan metode-metode teknis menggunakan IT pada penyelenggara
IT dan Teknis Penyelenggar aan Pemilu Elektronik: Pendataan Pemilih,
Powerpoi nt Artikel Jurnal
Presentasi ,berpartisi pasi dalam diskusi
Penilaia n terhadap tugas dan presenta
Memberi kuliah, memandu diskusi
si paper dengan pokok bahasan. Kejelian dalam mengan gkat contoh kasus. Kemam puan menyam paikan ide melalui presenta si. Pengusa an terhadap materi Relevan si paper dengan pokok bahasan. Kejelian
tugas 10% presenta si 10% keaktifa n diskusi
Requirements, design, and implementation Ghassan Z. Qadah & Rani Taha. Elsevier. 2007 Insuring the Integrity of the Electoral Process: Recommendations for Consistent and Complete Reporting of Election Data. Caltech/MIT Voting Technology Project October 2004
20% tugas 10% presenta si 10%
ELECTRONIC VOTING: CONSTITUTIONAL AND LEGAL REQUIREMENTS, AND THEIR TECHNICAL IMPLICATIONS Lilian Mitrou, Dimitris Gritzalis,
n e-voting, bagaimana cara kerja IT pada pendataan pemilih dan menggunakan IT pada perhitungan suara dan mengauditnya
Voting & Penghitungan Suara, dan Audit
si
dalam mengan gkat contoh kasus. Kemam puan menyam paikan ide melalui presenta si. Pengusa an terhadap materi
keaktifa n diskusi
Sokratis Katsikas, Gerald Quirchmayr. E-VOTE AND PKI'S: A NEED, A BLISS OR A CURSE? Danilo Bruschi, Giusi Poletti, Emilia R Dalam Douglas W. Jones (auth.), Dimitris A. Gritzalis (eds.)Secure Electronic VotingSpringer US (2003). Bab 4. Touching Big Brother: How Biometric Technology Will Fuse Flesh and Machine. nformation Technology & People, Vol. 7. 2006. Douglas W. Jones (auth.), Dimitris A. Gritzalis (eds.)Secure Electronic VotingSpringer US (2003). Bab 1 & 2. Machine-Assisted Election Auditing Joseph A. Calandrino [1], J. Alex Halderman [1], and Edward W. Felten [1,2] PUBLIC CONFIDENCE AND AUDITABILITY IN VOTING SYSTEMS Roy G. Saltman dalam Douglas
W. Jones (auth.), Dimitris A. Gritzalis (eds.)-Secure Electronic Voting-Springer US (2003). Bab 8
13
memberikan pemahaman dasar tentang keamanan IT dalam pemilu dan pentingnya hal tersebut dalam upaya melaksanakan proses pemilu yang lancar dan berintegritas
Problematika Keamanan IT
Powerpoi nt Artikel Jurnal
Presentasi ,berpartisi pasi dalam diskusi
Memberi kuliah, memandu diskusi
Penilaia n terhadap tugas dan presenta si
Relevan si paper dengan pokok bahasan. Kejelian dalam mengan gkat contoh kasus. Kemam puan menyam paikan ide melalui presenta si. Pengusa an terhadap
20% tugas 10% presenta si 10% keaktifa n diskusi
THE THEORY AND IMPLEMENT A TION OF AN ELECTRONIC VOTING SYSTEM Ivan Damgard, Jens Grothl, Gorm Salomonsen VERIFICATION FOR ELECTRONIC BALLOTING SYSTEMS Rebecca T. Mercuri, Peter G. Neumann dalam Douglas W. Jones (auth.), Dimitris A. Gritzalis (eds.)Secure Electronic Voting (2003) US, Springer Assessing Procedural Risks and Threats in e-Voting: Challenges and an Approach Komminist Weldemariam,
materi
14
membuat Preparing the konklusi dari nation for eseluruh topik voting dari mata kuliah ini dan memahami mata kuliah secara keseluruhan, serta memperhatikan aspek-aspek yang dibutuhkan untuk mengantisipasi potensi evoting pada suatu bangsa di masa depan
Powerpoi nt Artikel Jurnal
Presentasi ,berpartisi pasi dalam diskusi
Memberi kuliah, memandu diskusi
Penilaia n terhadap tugas dan presenta si
Relevan si paper dengan pokok bahasan. Kejelian dalam mengan gkat contoh kasus. Kemam puan menyam paikan ide melalui presenta si. Pengusa
Adolfo Villafiorita, and Andrea Mattioli. Dalam E-Voting and Identity: First International Conference, VOTE-ID 2007, Bochum, Germany, October 4-5, 2007, Revised Selected PapersSpringer (2007) 20% tugas 10% presenta si 10% keaktifa n diskusi
POINT, CLICK, AND VOTE: The Future of Internet Voting R. Michael Alvarez Thad E. Hall. 2004. BROOKINGS INSTITUTION PRESS Washington, D.C. bab 3, 4, 7
an terhadap materi
STRUKTUR BAB MATERI PERKULIAHAN TINJAUAN MATA KULIAH(berisi gambaran keseluruhan materi suatu matakuliah) Deskripsi singkat MK Mata kuliah ‘IT dan Pemilu’ adalah mata kuliah yang memberikan mahasiswa pemahaman tentang fungsi dan peran teknologi informasi dalam berbagaiaspek maupun keseluruhan proses pemilihan umum, dan pengaruhnya pada politik demokrasi dan pembangunan politik. Pada 7 pertemuan awal, mahasiswa akan diberikan basis konseptual dari materi mata kuliah ini, dan sisanya akan difokuskan pada basis analitikal dan praktis. Kuliah ini adalah kuliah elektif Kegunaan MK bagi mahasiswa Mata kuliah ini merupakan pengantar untuk memahami dinamika penerapan serta implikasi teknologi informasi dalam proses pemilihan umum. Pengetahuan yang didapat dari mata kuliah ini diharapkan dapat menjadi bekal pemikiran kritis maupun strategis, baik bagi policy maker, pelaku, maupun analis politik, khususnya pada sektor elektoral. Tujuan Pembelajaran / Tujuan MK 1. Mahasiswa dapat memahami kompleksitas dibalik keputusan penerapan teknologi informasi pada proses pemilu. 2. Mahasiswa diharapkan mampu menganalisis kompleksitas tersebut, serta memberikan tawaran solusi. 3. Mahasiswa mampu memahami proses serta merancang skenario penerapan teknologi komunikasi pada beberapa tahapan pemilu 4. Usai perkuliahan, mahasiswa diharapkan mampu memberikan rekomendasi strategis untuk kebijakan penerapan teknologi informasi dalam proses pemilu Susunan/urutan bahan ajar dari BAB I, BAB II, sampaiBAB terakhir (Sesuai Capaian Pembelajaran (Learning Outcome/LO) dan pokok bahasan dalam RKPM) Bab I hingga bab VII akan berfokus kepada LO 1 & 2 yang berbasis konseptual dan analitikal Bab VIII hingga bab XIV berfokus kepada pencapaian LO 3 & 4 yang berbasis praktis Petunjuk penggunaan Bahan Ajar Bahan ajar berisi ringkasan mengenai topik masing-masing pertemuan. Ringkasan tersebut dapat digunakan untuk memberikan gambaran awal mengenai topik bahasan, sehingga mahasiswa dapat mengembangkannya ke dalam topik presentasi, serta memilih kasus untuk dibahas. Masing-masing bab juga dilengkapi dengan referensi dasar yang dapat menjadi acuan mahasiswa, meski tidak menutup kemungkinan jika mahasiswa ingin memperkayanya dengan bahan lainnya.
BAB I Pengantar: Ruang lingkup dan perkembangan IT PENDAHULUAN Deskripsi singkat: bahasan mata kuliah ini akan membahas tentang Ruang lingkup dan perkembangan IT dari masa ke masa hingga masa kini, peran teknologi, perubahan serta pengaruhnya pada masyarakat Manfaat: memberikan pemahaman tentang pentingnya teknologi informasi dan komunikasi pada pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat. Relevansi: Bahasan mengenai ruang lingkup teknologi informasi serta perkembangannya akan dapat membantu mahasiswa untuk mendapatkan basis pemahaman konseptual yang sangat diperlukan dalam mempelajari serta menganalisis permasalahan teknologi informasi dalam pemilu. Learning Outcomes : 1. mahasiswa dapat memahami ruang lingkup dan perkembangan IT dari masa ke masa. 2. Mahasiswa memiliki dasar teori tentang teknologi informasi dan komunikasi 3. mahasiswa dapat mengidentifikasi teknologi informasi dan komunikasi
Perkembangan teknologi merupakan sebuah proses yang terakselerasi dengan cepat. Daniel Bell mendefinisikan teknologi sebagai "the use of scientific knowledge to specify ways of doing things in a reproducible manner."1 Di era persaingan dan kompleksitas dalam skala global, kebutuhan akan efektivitas dan kemampuan multi-tasking yang tinggi menyebabkan sumber daya manusia tidak lagi bisa menjadi satu-satunya sumber intelektualitas. Akibatnya, teknologi menjadi sebuah kebutuhan yang tidak terelakkan.Intensitas pemakaian teknologi di segala aspek dan lini kehidupan umat manusia menjadi semakin tinggi disetiap harinya. Salah satu sektor yang menjadi klien terbesar dari teknologi adalah sektor informasi.Bisa dikatakan, sektor inilah yang memiliki tingkat kebutuhan tertinggi terhadap informasi.Hal ini dikarenakan informasi itu sendiri adalah sebuah komoditi abstrak yang tidak pernah berhenti diproduksi.Selama ribuan tahun sejarah umat manusia, terdapat sejumlah besar fakta mengenai sejarah serta artefak berkembangnya kebudayaan dan peradaban.Aktivitas penyimpanan informasi itu sendiri telah dimulai semenjak manusia mengenal tulisan di zaman Mesopotamia. Sayangnya, rentannya proses rekam jejak informasi masa awal sejarah umat manusia berakibat pada hilangnya sebagian besar fakta mengenai awal peradaban umat manusia. Kehadiran teknologi informasi menjadi titik balik yang amat penting dalam sejarah. Perkembangan teknologi yang amat pesat selama satu abad terakhir membawa perubahan dalam proses rekam jejak peradaban manusia. Dalam waktu yang teramat singkat, media 1
Bells, (1976: 76), dalam Castells (2010: 29)
elektronik dan institusi media menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan seharihari.Komputer menjadi benda wajib yang mengawal hampir seluruh aktivitas pada setiap rumah tangga, baik rumah tangga organisasi maupun personal. Teknologi menjadi ujung tombak dalam proses knowledge transfer, dan memfasilitasi proses pembelajaran umat manusia. Melalui teknologi, manusia berhasil menciptakan sebuah metode untuk menyimpan informasi secara permanen dan mudah, untuk digunakan atau dibagikan kembali di masa mendatang.Saat ini, informasi tidak hanya bisa disimpan, tetapi juga digunakan kembali, dan disebarluaskan baik secara privat maupun masif, dalam skala besar maupun kecil. Tidak hanya itu, teknologi juga memungkinkan informasi untuk dapat disusun, dikategorisasi, diseleksi, dan dimanipulasi sesuai dengan kebutuhan. Teknologi yang secara spesifik dikembangkan untuk pengelolaan informasi ini disebut dengan Information Technology atau IT.Sering kali, konsep IT dikaitkan dengan aktivitas komunikasi yang pada akhirnya melahirkan sebuah istilah baru yaitu Information and Communication Technology (ICT). Definisi dari ICT menurut Kundhisora adalah: ‘ICTs is a generic term referring to technologies that are used for collecting, storing, editing and passing on (communicating) information in various forms.’2 ICT memiliki karakter yang sangat fleksibel sehingga dapat diterapkan di berbagai ranah dan skala aktivitas.Pada skala yang paling makro yaitu Negara, Kundhisora lebih lanjut menekankan peran ICT dalam peningkatan GDP dan pewujudan good governance. Teknologi informasi dan perubahan dalam masyarakat Saat ini, informasi merupakan aset yang sangat penting, dan memegang kunci dalam berbagai aspek kehidupan.Kemampuan mengolah informasi menggunakan teknologi berpengaruh langsung kepada cara pandang dan metode kerja.Secara otomatis, kehadiran teknologi informasi di tengah masyarakat secara fundamental telah merubah konstelasi masyarakat itu sendiri.Secara umum, transformsi yang terjadi akibat kemunculan teknologi informasi terasa di seluruh aspek kehidupan. Dalam upaya pemahaman, keduanya menjadi aspek yang integral dan memberikan konteks satu-sama lain. Kehadiran teknologi telah memfasilitasi kemunculan struktur sosial baru yang termanifestasikan dalam banyak ragam, relatif dengan konteks kultural dan institusional.Castell (2010) menyatakan, salah satu struktur baru dan paling signifikan yang muncul akibat kemunculan teknologi informasi adalah sistem ekonomi baru. Sistem ekonomi ini, oleh Castel, dijelaskan memiliki tiga karakter: “It is informational because the productivity and competitiveness of units or agents in this economy (be it firms, regions, or nations) fundamentally depend upon their capacity to generate, process, and apply efficiently knowledge-based information. It is global because the core activities of production, consumption, and circulation, as well as their components (capital, labor, raw materials, management, information, technology, markets) are organized on a global scale, either directly or through a 2
Kundishora, S.M. Tanpa Tahun. The Role of Information and CommunicationTechnology (ICT) in Enhancing Local Economic Development and Poverty Reduction. Harare: Zimbabwe Academic and Research Network
network of linkages between economic agents. It is networked because, under the new historical conditions, productivity is generated through and competition is played out in a global network of interaction between business networks.”3 Tiga kata kunci yang ditekankan oleh Castell mengenai sistem ekonomi baru yang dilahirkan pasca revolusi teknologi informasi adalah informational, global, dan networked. Ketiga karakter tersebut menggambarkan sebuah sistem baru dimana pengetahuan dan informasi menjadi basis produktivitas dan kemampuan berkompetisi dalam skala global, oleh institusi yang berbasis kepada jejaring. Transformasi metode pengolahan informasi yang disebabkan oleh kelahiran teknologi pada akhirnya merambah kepada seluruh domain aktivitas masyarakat, dan memungkinkan terciptanya jejaring yang tidak terbatas antara satu domain dengan domain yang lain. Salah satu kontribusi dari teknologi informasi adalah peningkatan produktivitas. Aplikasi sebuah teknologi informasi yang diikuti dengan penyesuaian organisasional dan institusional akan dapat melahirkan sebuah sistem yang efektif dan produktif. Perlu ditekankan bahwa istilah efisiensi dan produktivitas tidak hanya terbatas pada institusi berbasis profit saja, akan tetapi merujuk kepada pemahaman yang lebih luas dan umum, pada seluruh sektor mulai dari skala mikro hingga makro. Teknologi Informasi sebagai perangkat strategis Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan mengenai kontribusi teknologi informasi pada efisiensi dan peningkatan produktivitas. Penguasaan atas teknologi sendiri tidak secara langsung berarti sebuah problem solving, tetapi ketersediaan informasi yang dapat diakses secara lebih cepat dan akurat melalui teknologilah yang memungkinkan proses problem solving yang lebih cepat dan tepat guna. Secara singkat, teknologi informasi dan komunikasi merupakan aset penting dalam pembangunan ekonomi dan sosial di masa ini.Kepemilikan terhadap informasi menjadi basis dari kekuasaan, pengetahuan dan kreativitas. Optimalisasi penggunaan teknologi informasi sebagai aset strategis, oleh Castell disyaratkan sebagai berikut: “...for the full realization of its developmental value, an inter-related system of flexible organizations and information-oriented institutions. In a nutshell, cultural and educational development conditions technological development, which conditions economic development, which conditions social development, and this stimulates cultural and educational development once more. This can be a virtuous circle of development or a downward spiral of underdevelopment. And the direction of the process will not be decided by technology but by society, through its conflictive dynamics.”4 Pemikiran Castells diatas memberikan gambaran mengenai kompleksitas sistem yang harus dibangun dan disempurnakan, sebelum teknologi informasi dapat memberikan efek yang optimal. Di pertemuan selanjutnya akan dibahas, bagaimana ketidaksempurnaan sistem 3 4
Castell (2010: 77) Castells, 1999
akan menimbulkan situasi kurang ideal, yang dapat dipahami sebagai dampak negatif teknologi informasi pada masyarakat, dalam konteks ini masyarakat Indonesia.
BAB II IT dan kondisi sosial-budaya masyarakat di Indonesia Deskripsi Singkat : bahasan mata kuliah ini adalah tentang IT dan bagaimana adaptasinya dengan kondisi sosial-budaya masyarakat di Indonesia. Dalam mata kuliah ini juga dibahas tentang dampak-dampak apa saja yang terjadi apabila tidak terdapat adaptasi yang baik antara IT dan kondisi sosial-budaya pada suatu masyarakat. Manfaat : Memberikan pemahaman tentang dampak negatif maupun positif pada IT dan adaptasi nya dengan kondisi sosial-kultural masyarakat dalam pembangunan politik. Relevansi: Rakyat merupakan subjek kebijakan dan sekaligus pemegang kedaulatan tertinggi di Indonesia. Pemahaman mengenai situasi sosial-budaya masyarakat Indonesia, dalam konteks ini dalam kaitannya dengan teknologi informasi akan memberikan gambaran mengenai tantangan terhadap aplikasi teknologi informasi dalam pemilu, yang akan dibahas selanjutnya. Learning Outcomes: 1. Mahasiswa memiliki dasar teori yang cukup tentang IT dan pengaruh adaptasinya dengan kondisi masyarakat. 2. Mahasiswa dapat mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan di masa depan dari perkembangan IT pada suatu masyarakat dengan melihat kondisi sosial-kulturalnya. Sebelum memulai diskusi mengenai keberadaan IT dalam konteks sosio-kultural masyarakat Indonesia, ada baiknya kita mengingat kembali sebuah pernyataan dari Manuel Castells pada akhir bab sebelumnya. Dalam artikel bertajuk Information Technology, Globalization and Social Development, Castells menjelaskan bahwa teknologi informasi hanya dapat menjalankan fungsinya dengan sempurna jika diimbangi dengan pertumbuhan aspek-aspek lainnya. Antara lain, Castells menyebut faktor budaya dan pendidikan yang menjadi basis pengembangan IT sendiri, kemudian pertumbuhan sosial sebagai sebuah aspek yang terkondisikan oleh IT, yang pada akhirnya akan berimplikasi kepada pertumbuhan budaya dan pendidikan kembali.5 Lebih lanjut, Castells6 menjelaskan mengenai resiko yang potensial muncul jika salahsatu dari faktor diatas tidak dapat mengimbangi pertumbuhan teknologi. Oleh Castells, IT diumpamakan sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi, IT memungkinkan negara dan masyarakat untuk dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi melalui modernisasi sistem dan peningkatan kemampuan kompetitif. Disaat yang bersamaan, ketika negara dan masyarakat gagal melakukan adaptasi, teknologi informasi akan semakin memperparah kondisi ketertinggalan. Skenario ini muncul karena kemampuan sebuah negara atau masyarakat untuk dapat bertransisi ke dalam era informasi sangat tergantung kepada kapasitas keseluruhan negara atau masyarakat tersebut. 5 6
Castells 1999 ibid
Digital divide Penetrasi teknologi informasi yang sedemikian cepat terjadi dengan premis bahwa teknologi tersebut diharapkan membawa dampak positif pada negara dan masyarakat.Pada kenyatannya, situasi tersebut menimbulkan kekhawatiran mengenai implikasi negatif yang ditimbulkannya.Telah ditekankan di bagian sebelumnya, bahwa untuk optimalisasi teknologi informasi diperlukan akselerasi pertumbuhan aspek-aspek lainnya, yaitu budaya, pendidikan dan sosial.Intinya, pada saat teknologi masuk ke dalam sebuah masyarakat, maka masyarakat tersebut perlu ikut berubah.Kegagalan sebuah negara dalam memelakukan penyesuaian, yang pada akhirnya berujung pada ketimpangan sistem dalam menanggapi kemajuan teknologi informasi adalah Digital Divide. Istilah digital divide menurut Servon pada dasarnya merujuk kepada kondisi ketidakmerataan akses terhadap teknologi informasi7. Isu ini merupakan masalah global yang dihadapi hampir semua bangsa, akan tetapi dampaknya lebih terasa di negara berkembang atau negara dunia ketiga, salah satunya adalah Indonesia. Lebih lanjut, Servon menunjukkan adanya pola yang menggambarkan kelompok yang mendominasi pemakaian teknologi informasi: High income OECD countries account for over three-fourths of the world’s Internet users. In virtually all countries, Internet users tend to be young, urban, male, and relatively well educated and wealthy. In short, the diffusion of technology both within and between countries has been extremely uneven. Dengan memakai pola yang dinyatakan Servon tersebut, terlihat bahwa pemakaian teknologi informasi hanya dinikmati oleh sebagian dari masyarakat.Status sosio-ekonomi, lokasi geografis, dan tingkat pendidikan menjadi faktor determinan akses terhadap teknologi informasi. Digital divide tidak secara eksklusif merujuk kepada teknologi informasi dalam arti perangkat keras saja, akan tetapi juga mencakup internet sebagai sebuah institusi yang ‘hidup’ berkat perkembangan teknologi informasi. Dalam bahasan mengenai digital divide, perlu dipahami bahwa akses terhadap teknologi sendiri hanya merupakan salah-satu tahap dari efek yang ditimbulkan oleh situasi ini. Di aspek teknologi, ketidakmerataan akses terhadap teknologi disebut sebagai technology divide, yang merupakan awalan dari reaksi berantai digital divide: “the technology gap is only one link in a causal chain that has bound certain groups repeatedly to disadvantage. The digital divide is, therefore, a symptom of a much larger and more complex problem – the problem of persistent poverty and inequality8
7 8
Servon, 2002: 1 Servon, 2002: 2
Oleh Pippa Norris, digital divide dimengerti sebagai sebuah konsep multidimensi yang mencakup tiga aspek9: 1. Global Divide Konsep global divide merujuk kepada perbedaan akses terhadap teknologi informasi dan internet antara negara industri dan negara berkembang. Telah dibahas sebelumnya bahwa kehadiran teknologi informasi memciptakan sebuah akselerasi dalam proses industri dan perekonomian. Infrastruktur dan sistem teknologi informasi membutuhkan investasi yang besar dalam pembangunannya. Pada saat negara maju telah berhasil menuai keuntungan dari investasi pada teknologi informasi, negara berkembang dan tertinggal terkadang baru menginisiasi proses mereka. Hal ini akan mengakibatkan kesenjangan akselerasi pertumbuhan ekonomi di kedua negara, seperti yang dinyatakan dalam UN Development Report: The network society is creating a parallel communication system: one for those with income, education and literally connections, giving plentiful information at low cost and high speed; the other for those without connections, blocked by barriers of time, cost and uncertainty and dependent upon outdated information10 Masalah utama yang dimunculkan dalam bahasan mengenai global divide tidak berhenti pada kesenjangan akses terhadap teknologi informas oleh negara maju dan negara dunia ketiga. Tekanan lebih diberikan kepada efek yang timbul akibat kesenjangan tersebut. Situasi ini tidak akan mudah diselesaikan karena kompleksitasnya. Aspek finansial, meskipun penting, tetapi bukan yang utama. Masih ada beberapa faktor determinan lain seperti iklim politik, situasi keamanan, dan juga kondisi sosio-kultural masyarakat negara tersebut. 2. Social Divide Tidak kalah penting dari bahasan mengenai kesenjangan antar negara adalah kesenjangan yang terjadi antar anggota dalam sebuah masyarakat.Internet dan teknologi informasi yang pada dasarnya penting bagi akselerasi pembangunan menjadi sebuah permasalahan tersendiri ketika sebagian dari masyarakat tidak mampu mengaksesnya. Situasi ini terjadi ketika stratifikasi sosial yang selama ini ada dalam masyarakat berpengaruh terhadap aksesibilitas internet dan teknologi informasi. Social divide merupakan konsep yang merujuk kepada kesenjangan akses terhadap informasi antar kelas-kelas sosial dalam sebuah masyarakat. Seperti yang telah dinyatakan diatas, bebeapa penanda kelas sosial yang menjadi determinan dalam menentukan akses informasi antara lain adalah status sosio-ekonomi, lokasi geografis, dan tingkat pendidikan. Penyelesaian masalah ini pun lebih kompleks dari sekedar menyediakan akses informasi kepada masyarakat.Tingkat pendidikan yang rendah menjadi penghalang sebagain anggota masyarakat untuk dapat memanfaatkan teknologi. Fasilitasi akses teknologi informasi belum tentu akan dapat menyelesaikan masalah ini, melainkan malah dapat menciptakan kompleksitas baru. 3. Democratic Divide 9
Pippa Norris, 2001 ___ dalam Norris, 2001: 5
10
Tantangan terakhir pada digital divide terkait dengan potensi teknologi informasi dalam distribusi kekuasaan dan kemampuannya mempengaruhi politik. Berangkat dari asumsi bahwa internet dan teknologi informasi memiliki kekuatan dalam politik dan kekuasaan, maka kesenjangan akses teknologi informasi bisa dipahami sebagai kesenjangan akses terhadap politik. Situasi ini disebut dengan democratic divide,merujuk kepada kondisi dimana terdapat perbedaan perilaku kelompok masyarakat yang memiliki akses ke teknologi informasi dan menggunakannya untuk, membangun animo, memobilisasi, dan berpartisipasi dalam kehidupan publik. Kehadiran teknologi digital menjanjikan sebuah peluang baru untuk memfasilitasi keterlibatan masyarakat dalam isu-isu publik.Cyber activism merupakan salah-satu contohnya. Ketika internet dijadikan standar untuk keterwakilan pendapat publik, maka terdapat sejumlah besar ‘suara’ yang hilang, dari kelompok yang tidak memiliki akses terhadap teknologi informasi. Di saat yang bersamaan, muncul pula ancaman baru seperti internet bigotry dan terorisme cyber yang dapat merusak stabilitas negara dan masyarakat. Digital Citizenship Setelah bahasan umum mengenai Digital Divide, bagian ini akan membahas spesifik mengenai bagaimana perbedaan akses terhadap teknologi akan berpengaruh kepada dinamika partisipasi publik di dalam demokrasi digital. Dengan kata lain, bagian ini akan membahas mengenai perilaku publik sebagai digital citizen. Mossberger dan kawan-kawan menuliskan definisi digital citizen sebagai: Those who use the internet every day, because frequent use requires some regular means of access (usually at home), some technical skill, and the educational competencies to perform tasks such as finding and using information on the web, and communicating with others on the internet11 Istilah populer yang sering digunakan untuk menyebut digital citizenship adalah netizen, atau internet citizen. Istilah ini merujuk kepada sekumpulan orang yang secara aktif beropini dan melakukan aktivitas dalam ranah dunia maya, Akan tetapi, spesifik pada bahasan ini, digital citizenship merujuk kepada akses terhadap informasi dan forum komunikasi seputar politik dan demokrasi di dunia maya. Saat ini, pergerakan politik serta suara rakyat di dunia maya belum bisa merepresentasikan realitas politik sesungguhnya.Jumlahnya pun masih tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan partisipasi politik di dunia nyata. Bahasan mengenai digital divide diatas telah menjelaskan alasan terciptanya situasi ini. Akan tetapi, bukan berarti bahwa politik online tidak memiliki kekuatan sama sekali. Internet telah berjasa mengedukasi publik untuk lebih terliterasi dalam hal politik.Ragam informasi dan variasi sudut pandang dalam melihat kedalam satu kasus melatih publik untuk menjadi lebih kritis. Interaktivitas dari internet dan media baru memancing keinginan publik untuk berpartisipasi dan pada akhirnya melahirkan mobilisasi jenis baru. Lantas, siapakah digital citizen?
11
Mossberger, et. Al. (2007) dalam Mossberger (2008)
Internet telah menjadi ranah publik baru. Akan tetapi, tidak semua kalangan memiliki akses yang sama. Mereka diidentifikasi sebagai kaum muda dan berpendidikan.Dan meskipun laki-laki terlihat menunjukkan kecenderungan partisipasi yang lebih besar, pada akhirnya status sosio-ekonomi lebih berpengaruh dibanding dengan gender. Hal yang menarik disini adalah bahwa ketika di dunia nyata terlihat sebuah tren bahwa kaum muda dinilai kurang berminat kepada politik, kecenderungan tersebut tidak berlaku di ranah digital. Campbell et. All. (1960) juga Wolfinger dan Rosenstone (1980) melihat bahwa keinginan untuk terlibat dalam politik muncul seiring dengan bertambahnya usia, dengan usia 45 tahun sebagai ambang batasnya. Akan tetapi, partisipan dan aktivis dunia maya terdiri dari kaum muda dengan usia rata-rata jauh dibawah ambang batas tersebut. Kecenderungan ini memperlihatkan sebuah tren politik baru, seperti dinyatakan oleh Mossberger: The greater presence of young people in internet politics increases political participation among the young, and if these trends are sustained, they may result in greater overall levels of political interest and activity in the future.12 Oleh Krueger13 dijelaskan bahwa internet mampu untuk memancing keingintahuan partisipasi bagi sekelompok orang yang di kesehariannya tidak menunjukkan minat samasekali, dan kecenderungan yang terjadi adalah kelompok orang tersebut merupakan kaum muda. Portal media interaktif, sosial media dan jejaring menjadi media penetrasi dan pembelajaran internet yang menarik bagi kelompok ini. Familiaritas terhadap media-media berbasis teknologi informasi telah membantu asimilasi pengetahuan serta memancing partisipasi mereka tanpa disadari. Internet dan Kesenjangan politik Terlepas dari fenomena yang terjadi pada kaum muda, pada dasarnya internet hanya menjadi pengulangan untuk apa yang terjadi di dunia nyata. Publik yang terlibat secara aktif dalam diskusi politik di dunia maya terbukti berasal dari kelompok yang sama dengan mereka yang menunjukkan keaktifan di dunia nyata. Permasalahan ini kembali kepada isu digital divide. Di dunia nyata, politik sudah diketahui menjadi ‘permainan’ sekelompok orang dengan akses terhadap informasi serta latar belakang sosio-ekonomi yang memadahi.Berarti, politik bukanlah konsumsi untuk seluruh anggota masyarakat. Sisi gelap dari keberadaan internet, disamping memberikan beberapa keuntungan, adalah potensi untuk memperparah keadaan tersebut. Hal ini didukung oleh Alvarez dan Nagler: Research that demonstrates heightened political interest and activity based on internet use would also suggest an intensification of existing disparities rooted in education (and income) if those who are mobilized are predominantly more advantaged citizens.14
12
dalam Chadwick (2008)
13 14
Alvarez dan Nagler(2002) dalam Mossberger (2008)
Inti dari pemikiran Alvarez dan Nagler diatas adalah sebuah kondisi dimana internet masih merupakan hak istimewa untuk mereka yang memiliki status sosial tertentu. Latar belakang ras dan kultur, meski bukan merupakan determinan, juga bisa mempengaruhi dinamika ini. Sebagai tambahan, halangan bahasa juga menjadi faktor penentu. Sebagian besar informasi yang beredar di internet, serta bahasa universal yang digunaan di dunia maya adalah Bahasa Inggris. Ketidak mampuan berbahasa inggris akan menciptakan limitasi yang signifikan bagi seorang individu dalam mengakses serta berpartisipasi di dunia maya dalam kapasitasnya sebagai digital citizen. Adapun beberapa parameter yang dapat digunakan untuk melihat peta keaktifan seorang individu sebagai digital citizen, ditegaskan oleh Mossberger, adalah sebagai berikut: 1. Frekuensi akses serta aktivitas penggunaan teknologi informasi Studi yang dilakukan oleh Jung15 mengatakan bahwa semakin tinggi akumulasi waktu mengakses internet, maka orang tersebut akan lebih mudah menemukan informasi-informasi yang dibutuhkannya. Lebih lanjut, terdapat pula studi yang membuktikan bahwa semakin lama seseorang aktif di dunia maya, semakin besar pula kemungkinan orang tersebut berpartisipasi dalam politik di dunia digital16. 2. Kemampuan teknis dan literasi informasi Literasi informasi adalah “the ability to search for, locate, evaluate, and use information online.”17 Istilah tersebut terkait dengan beragamnya sumber dan jenis informasi di internet, yang dapat menimbulkan ekuivokalitas. Oleh karena itu, kemampuan untuk menemukan, memilih, dan menggunakan informasi yang ditemukan online sangatlah penting. 3. Kemampuan ‘membaca’ (reading comprehension) Internet merupakan media yang sarat dengan teks.Ketidakmampuan atau keengganan untuk menyelesaikan sebuah teks dan hanya mengutip satu bagian tertentu dapat menimbulkan salah tafsir informasi.
15
dalam Mossberger (2008) Howard (2001) serta DiMaggio dan Celeste (2004), dalam Mossberger (2008) 17 Mossberger (2008) 16
BAB III Teknologi Informasi dalam Dinamika Politik dan Demokrasi Deskripsi singkat : bahasan pada mata kuliah ini adalah peran teknologi informasi dalam mengatasi isu-isu dalam politik dan demokrasi suatu negara. Teknologi informasi diperlukan sebagai media penyalur hak-hak demokrasi seseorang dalam suatu negara, namun terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan agar sistem media teknologi informasi ini benarbenar mampu membantu mengatasi dinamika politik dan demokrasi. Manfaat : memberikan pemahaman tentang peran teknologi informasi sebagai salah satu jawaban dari masalah politik demokrasi. Relevansi : Pemahaman mengenai implikasi teknologi informasi dalam konstelasi politik dan demokrasi akan menjadi basis kontekstual dalam mempelajari aplikasi teknologi informasi pada proses pemilu, yang merupakan perwujudan demokrasi. Learning Outcomes : 1. mahasiswa memiliki basis kontekstual tentang aplikasi teknologi informasi pada proses pemilu 2. mahasiswa memiliki pengetahuan yang cukup tentang teknologi informasi dan perannya dalam mengatasi isu politik
Prinsip demokrasi yang dianut sebuah negara menyaratkan adanya hak yang setara untuk seluruh warga negara, melalui badan representatif. Keputusan yang diambil oleh badan representatif pada teorinya akan mewakili suara rakyat. Akan tetapi, pada prakteknya teori tersebut memiliki banyak kendala.Ketiadaan media penyalur aspirasi dimana rakyat dapat menyuarakan hak-nya menjadi penghalang yang besar. Media massa konvensional memiliki halangan berupa umpan balik tidak langsung, yang akan memperlambat jalannya proses demokrasi. Kondisi ini akan semakin parah jika media massa dominan memiliki keberpihakan kepada pemilik modal atau kekuasan tertentu, dan negara sebagai pengawas dan pembuat regulasi tidak melakukan pengaturan yang ketat. Kehadiran teknologi informasi memberikan alternatif solusi untuk permasalahan diatas. Teknologi informasi dan internet menjadi primadona dalam riset ilmu sosial terkait dengan politik dan demokrasi. Kajian mengenai politik dan internet telah menjadi salah satu topik utama dalam riset-riset multidisipliner dalam ranah ilmu sosial. Mulai dari debat mengenai implikasi internet pada kampanye sosial, isu keamanan nasional, citizen journalism sebagai wujud partisipasi publik, hingga bahasan mengenai regulasi dan intervensi negara dalam ranah dunia maya. Bahasan mengenai bagaimana internet mewarnai isu politik dan demokrasi dapat dikategorikan ke dalam empat aspek utama yaitu institusi, perilaku, identitas, dan regulasi. Sebelum membahas masing-masing aspek diatas secara lebih dalam, ada baiknya kita menilik sebuah pendekatan kepada relasi internet dan politik yang berfokus kepada teknologi oleh
O’Reilly: the seven principles are: the internet as a platform for political discourse; the collective intelligence emergent from political web use; the importance of data over particular software and hardware applications; perpetual experimentalism in the public domain; the creation of small-scale forms of political engagement through consumerism; the propagation of political content over multiple applications; and rich user experiences on political websites.18 Chadwick19 mencoba menjelaskan mengenai bagaimana ketujuh prinsip tersebut berkontribusi dalam pemahaman politik internet: 1. The internet as a platform for political discourse. Inti dari tema ini adalah pemikiran bahwa web telah bergeser dari kondisi statis, menjadi sebuah alat/modal untuk mengerjakan berbagai hal.Kondisi ini dimungkinkan dengan adanya layanan perangkat lunak berbasis jaringan. Sifat dinamis ini pada akhirnya akan dapat memfasilitasi partisipasi politik di segala level, mulai dari kampanye, pembentukan dan media ekspresi opini publik, pengawasan, hingga pada proses pemilu. 2. Collective intelligence. Pemikiran ini berbasis pada pemikiran bahwa internet memungkinkan semua orang yang memiliki kapasitas untuk berkontribusi menciptakan produk informasi. Sehingga, produksi informasi tidak hanya didominasi oleh otoritas atau pemilik modal. 3. The importance of data. Pemikiran ini menyatakan bahwa Web era 2.0 dicirikan dengan adanya informasi agregat yang amat besar. Basis data tersebut dapat diakses secara terbuka, dan mereka yang memiliki kejelian untuk mencari, mengolah dan melindungi data akan menjadi pihak yang dominan. 4. Perpetual experimentalism in the public domain. Web 2.0 lahir sebagai hasil dari eksperimen berkelanjutan yang dilakukan terhadap sistem dan pemakainya. Selain menggambarkan proses pengembangan Web, eksperimentalisasi tersebut juga mengindikasikan adanya perubahan cara pandang dan cara kerja menjadi lebih cair dan kolaboratif. 5. The creation of small-scale forms of political engagement through consumerism dan the propagation of political content across multiple applications Kedua ide diatas saling terkait dalam menggambarkan beberapa aspek penting dalam sistem politik baru. Web 2.0 mensyaratkan adanya keterbukaan dalam akses data. Melalui berbagai platform dan aplikasi, Web 2.0 sendiri secara langsung memfasilitasi diseminasi informasi.Tema ini menyatakan bahwa penguasaan dan pelarangan akses terhadap informasi dalam ranah Web menjadi sesuatu yang tidak dibenarkan, karena informasi tersebut merupakan agregat data yang juga beraal dari publik. 18 19
O’Reilly (2005) dalam Chadwick (2008: 21) 2008
6. Rich user experiences on political websites. Pemikiran ini menekankan keterlibatan user dalam politik, yang difasilitasi oleh aplikasi yang mengatur interaktivitas user dan sistem dalam proses pengambilan, perubahan dan penyimpanan data. Salah satu contoh yang paling menonjol adalah bagaimana Youtube menjadi fasilitator ekspresi publik dalam memberikan dukungan atau kritik dalam proses demokrasi. Dalam artikel yang berjudul Democracy Functions of Information Technology, Liden dan Avdic20 mendefinisikan demokrasi sempurna sebagai “a political government based on Citizen control, State governed by Law and Ability to Carry out Political Decisions. Dalam definisi tersebut, terdapat beberapa elemen yang harus dipenuhi dalam mewujudkan demokrasi seutuhnya: “Citizen control is basically connected to the opinion that all citizens have equal rights regarding their importance, their participation in the creation of public opinion and the decision making process, their resources in aspects of economics, organisation, knowledge, competence, self-confidence and their contacts with influential people. It means that equal citizens participate in a dialog and make decisions on topics they have brought to the agenda themselves.21 State governed by law means that the citizens have fundamental constitutional rights. The public government satisfies the demand of law and order and the power of the public government is organized according to the principal of “sharing the power”, which means that some public organisations have the mission to control and value other public organisations. Ability to carry out political decisions is essential in order to distribute to the citizens the benefits they are entitled to.” Dalam konteks diatas, perlu digaris bawahi bahwa teknologi informasi merupakan sebuah institusi yang bebas nilai.Dalam arti, teknologi informasi itu sendiri bekerja dengan basis kebutuhan dan keperluan dari pihak yang menggunakannya.Dengan demikian, teknologi itu sendiri pada dasarnya tidak dapat menjadi sebuah jaminan terlaksananya demokrasi.Melainkan, harus ada sistem yang mengatur supaya teknologi informasi itu sendiri dapat bekerja untuk kepentingan negara dan seluruh rakyat.
20 21
Liden dan Avdic (2003) Petersson (1990) dalam Liden dan Avdic (2003: 1)
BAB IV IT dan Partai Politik Deskripsi singkat :pada sesi mata kuliah ini akan membahas bagaimana teknologi informasi akan merubah perilaku partai politik dalam pemilu pasca eksistensi teknologi informasi. Lebih spesifik, bahasan akan berkisar kepada peran teknologi informasi dan komunikasi dalam menjembatani relasi dalam dan antar organisasi politik. Manfaat : memberikan pemahaman dan penjelasan bagaimana teknologi dapat mempengaruhi perilaku parpol dalam pemilu dan dampak-dampak yang harus dihadapi, serta isu apa saja yang ditimbulkan dari aplikasi teknologi informasi pada parpol. Relevansi : pemahaman ini diperlukan untuk membantu mahasiswa melihat peran IT pada partai politik dan mengaplikasikan dengan bijak untuk kepentingan politik sebagai jembatan relasi dalam dan antar organisasi politik. Learning Outcomes : 1. mahasiswa mendapatkan basis teori yang cukup tentang peran IT pada partai politik 2. mahasiswa dapat mengantisipasi penggunaan IT sebagai salah satu media politik 3.mahasiswa mampu menganalisis peran IT dalam pengelolaannya terhadap organisasi politik.
Dalam konteks relasi dalam organisasi politik, akan dibahas mengenai penggunaan teknologi informasi pada aktivitas penggalangan dukungan, serta bagaimana parpol memanfaatkan internet untuk keputusan strategis dalam upaya parpol untuk berbicara dengan publik yang lebih luas. Sementara untuk konteks relasi antar organisasi politik, akan dibahas mengenai pengaruh teknologi informasi dalam upaya mengadapi persaingan antar kandidat dalam satu periode pemilu, dan bagaimana teknologi informasi meningkatkan pluralisme dan mengubah parameter tradisional mengenai demokrasi. Perubahan dalam Organisiasi Politik pasca Teknologi Informasi Intensitas dan animo publik untuk berpartisipasi dalam politik mengalami pasang surut dengan konstan.Meski pada dasarnya aktivitas politik masih tetap ada, tapi wujudnya sudah mengalami perubahan yang drastis. Kehadiran internet ke dalam arena politik menambah kompleksitas situasi. Untuk lebih jelas memahami peran teknologi informasi dalam kompleksitas internal partai politik, Ward dan Gibson22 membaginya ke dalam tiga ranah besar: 1. Proses rekrutmen dan penggalangan dukungan Teknologi informasi dipandang sebagai satu solusi untuk metode rekrutment supporter partai politik, yang dapat menggalang keikutsertaan dari berbagai golongan 22
Dalam Chadwick (2008)
sosial.Dinamika dan ragam kanal yang disediakan dengan basis tokenologi informasi dapat menjangkai kalangan yang sebelumnya tidak teridentifikasi sebagai potensi pendukung. Singkatnya, teknologi informasi tidak hanya memudahkan keperluan administratif seperti menjaga relasi dengan pendukung, tetapi juga menyediakan kanal marketing baru bagi partai politik untuk menyentuh masyarakat global. 2. Meningkatkat partisipasi dan aktivisme pendukung partai politik Internet dan teknologi komunikasi membuka peluang bagi partisipan dan pendukung untuk mengekspresikan dukungan dan opini mereka.Media baru menyediakan berbagai fasilitas seperti sosial media, forum diskusi virtual, serta berbagai bentuk cyber activism yang dapat digunakan para partisipan untuk mengekspresikan dukungan mereka. Batasan jarak dan waktu yang ada pada media tradisional menjadi tidak relevan dengan adanya teknologi informasi.Partai politik dapat dengan cepat memperoleh umpan balik dan opini pendukung (maupun pendukung lawan) mengenai segala aktivitas dan kebijakan yang dikeluarkannya. Dengan demikian, disaat yang sama partai politik dapat melakukan data mining mengenai favorability-nya melalui teknoogi informasi. 3. Demokrasi Internet dan perubahan hirarki partai politik Pemakaian teknologi informasi secara langsung maupun tidak berpengaruh kepada hirarki di dalam partai politik.Pada hirarki vertikal, para pemimpin partai politik menjadi subjek evaluasi dari publiknya.Hal ini dikarenakan teknologi informasi membuka peluang untuk pengawasan yang lebih cepat dan langsung.Hal ini dapat meningkatkan akuntabilitas di mata publik. Selain implikasi pada aspek internal organisasi partai politik, teknologi komunikasi juga membawa perubahan pada konstelasi persaingan antar partai.Lansekap demokrasi ikut menjadi objek yang berubah dengan maraknya penggunaan teknologi informasi. Beberapa sudut pandang mengenai implikasi kehadiran teknologi informasi pada partai politik diidentifikasi oleh Ward dan Gibson menjadi:23 1. Direct democracy Kemunculan Internet memperlaju proses ‘kematian’ demokrasi representatif melalui deinstitusionalisasi. Di bagian sebelumnya telah dijelaskan bagaimana internet memangkas hirarki dalam organisasi, akibat peluang untuk mendapatkan masukan langsung dari rakyat. Posisi wakil rakyat semakin lama menjadi semakin tidak relevan ketika rakyat tidak lagi memerlukan wakil untuk menyuarakan pendapatnya.Jajaran eksekutif pemerintahan dapat dengan mudah mengetahui pendapat aktual dari rakyat melalui media sosial dan forum diskusi virtual, sehingga mediasi parlemen tidak lagi diperlukan.Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa kehadiran teknologi dapat menghapus posisi simbolik institusi parlemen. 23
Dalam Chadwick (2008)
2. Equalization Dalam menjelaskan ide mengenai ‘penyetaraan’ (equalization), Ward dan Gibson menulis: Notions of accelerated pluralism or equalization indicate that outsider, oppositional, or fringe organizations are likely to benefit disproportionately from the rise of new ICTs and potentially pose more of a challenge to the mainstream political establishment. Kutipan tersebut menjelaskan bahwa teknologi informasi telah melahirkan tantangan baru dalam konstelasi persaingan partai politik, yaitu dengan menghadirkan kontestasi kekuatan dari pihak eksternal, antara lain lawan politik, pengamat dan organisasi yang merupakan pressure group dari partai. Secara singkat, teknologi informasi merubah posisi kekuatan partai politik dengan memberikan cara pada para organisasi di luar partai politik tersebut untuk menyeimbangkan kekuatan. 3. Normalisasi Arus pemikiran terakhir mengenai implikasi teknologi informasi terhadap partai politik mengungkapkan skeptisme terkait dengan ada/tidaknya pengaruh yang ditimbulkan. Pendapat ini dikemukakan salah satunya oleh Resnick, yang dikutipmoleh Ward dan Gibson: Resnick (1998) argues that although it was originally a playground for the alternative and anarchic increasingly the internet has been normalized. In the political sphere, this means that the large traditional political forces will come to predominate as they do in other media. Argumen Resnick menjelaskan bahwa meski awalnya teknologi informasi dan internet sempat menimbulkan riak, seiring dengan waktu kehadirannya dapat diterima sebagai sesuatu yang normal. Proses normalisasi teknologi informasi ini dirorong oleh 4 hal:24 a. Komersialisasi dan dominasi internet oleh sektor bisnis, yang mengesampingkan politik di dalam dunia virtual. b. Fragmentasi; yaitu pandangan bahwa internet bukanlah media untuk menjangkau seluruh kalangan, melainkan pengkotak-kotakan publik menjadi kelompok yang lebih kecil dan tidak mudah dilacak keberadaannya. Terelebin untuk kelompok yang sedari awal tidak memiliki ketertarikan kepada politik. c. Kebutuhan akan keahlian baru; yaitu pandangan yang tidak menyetujui pendapat bahwa teknologi informasi menyediakan media yang low-cost. Pandangan ini berangkat dari fakta bahwa dalam pengelolaan teknologi informasi, diperlukan investasi yang besar, tidak hanya untuk infrastruktur maupun piranti, akan tetapi juga orang-orang yang berkompetensi untuk mengelolanya. d. Tidak terkontrol; Internet sebagai ranah publik membutuhkan satu set regulasi 24
Resnick (1998) dalam Ward & Gibson (2008)
yang belum tentu tersedia di semua negara. Kurangnya regulasi yang mengatur pemakaian internet dan teknologi komunikasi mengakibatkan ketidak-terdugaan yang terkadang tidak diinginkan. Adanya keberagaman pendapat dan arus pemikiran dalam menentukan signifikansi teknologi informasi pada dinamika partai politik menimbulkan sebuah kompleksitas.Apakah teknologi informasi dapat memberikan solusi pengelolaan partai politik yang lebih baik?Pertanyaan ini tidak dapat dijawab secara normatif.Situasi yang dihadapi masingmasing negara, dengan sistem politik dan karakter partai yang berbeda membutuhkan sudut pandang yang fleksibel, serta kerangka kerja yang relatif. Ward dan Gibson menjelaskan, setidaknya ada tiga syarat utama terkait dengan pemakaian teknologi informasi di organisasi politik: 1. Struktur peluang teknologi yang sistemik; terkait dengan parameter dimana teknologi dapat diterapkan dalam organisasi. Dua ranah besar determinan penerapan teknologi adalah pada lingkungan media—dalam arti iklim media konvensional serta infrastruktur teknologi informasi, dan politik—terkait dengan struktur organisasi serta konstelasi politik negara dimana partai tersebut berada. 2. Kapasitas organisasi; terkait dengan kemampuan organisasi itu sendiri dalam memanfaatkan teknologi komunikasi. Beberapa faktor deteminan adalah alokasi waktu dan kemampuan praktis. 3. Insentif organisasi; terkait dengan keuntungan yang dapat ditambang melalui penerapan teknologi informasi. Beberapa faktor determinan yang menentukannya adalah ideologi partai, target komunikasi partai, usia partai, serta status/posisi partai politik.
BAB V IT dan kampanye politik Deskripsi singkat : sesi ini membahas tentang peran Teknologi informasi dalam mempermudah aksi kampanye politik sebagai bagian dari demokrasi. Bahasan ini secara mendalam juga menjelaskan model-model teknologi informasi apa saja yang dapat diaplikasikan pada proses kampanye politik suatu komunitas maupun individu dan bagaimana hal tersebut memberikan pengaruh pada masyarakat. Manfaat : memberikan pemahaman tentang pengaruh teknologi informasi pada kampanye politik dan dampaknya pada masyarakat. Relevansi : pemahaman ini membantu mahasiswa dalam melihat peran IT pada kampanye politik dan membantu mahasiswa mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada penggunaan IT untuk kepentingan kampanye politik pada suatu negara. Learning Outcomes : 1. mahasiswa memiliki dasar teori tentang IT dan penggunanaannya pada kampanye politik 2. mahasiswa dapat memprediksi dan mengantisipasi dampak penggunaan It pada kampanye politik 3. mahasiswa dapat mengidentikasi metode-metode penggunaan IT pada kampanye politik 4. mamhasiswa memahami cara strategis yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat dalam pemggunakan IT untuk kampanye politik.
Teknologi informasi khususnya internet yang berkembang dengan sangat pesat telah merubah lansekap kampanye politik. Meski dampak teknologi informasi sendiri bukanlah sebuah determinan, yang fenomenanya dapat digeneralisasikan secara global. Indonesia sendiri telah merasakannya pada proses kampanye pemilihan Presiden tahun 2014 kemarin. Upaya komunikasi yang dilakukan oleh partai politik, serta partisipasi dan animo publik sangat terasa di ranah sosial media serta jejaring sosial. Aman ketika kita berasumsi bahwa kepopuleran Joko Widodo di mata publik amat terpengaruh dengan fakta dana opini yang tersirkulasi di internet. Perbedaan besar pengaruh teknologi informasi dalam proses kampanye politik pada dasarnya menjelaskan bahwa teknologi politik itu sendiri bukanlah alasan utama berubahnya pola dan proses kampanye politik. Seperti yang dinyatakan oleh Anstead dan Chadwick25, teknologi dapat merubah sebuah institusi, tetapi institusi tersebutlah yang akan memediasi wujud perubahan yang terjadi. Lebih lanjut, klaim terhadap efek dari kampanye melalui media baru terhadap kemenangan kandidat/partai politik itu sendiri belum memiliki bukti yang signifikan, seperti dinyatakan oleh Gibson dan McAllister: While there is little dispute about the Internet’s importance in the modern campaigner’s tool box, systematic empirical investigation of these claims has been 25
2008
quite limited.26
Teknologi informasi semakin sering dilibatkan dalam proses kampanye politik melalui berbagai cara. Kampanye politik sedikit banyak mengandalkan teknologi informasi untuk menyebarluaskan informasi, menarget, dan memobilisasi dukungan. Perencanaan strategi kampanye mulai mengandalkan database management dan aplikasi berbasis internet untuk kebutuhan identifikasi, monitoring dan berkomunikasi dengan pemilih. Teknologi juga digunakan pada tataran teknis rekrutmen dan manajemen staf dan sukarelawan, melacak pengeluaran dan pemasukan, serta pemberitahuan kepada publik mengenai regulasi dan kebijakan. Analis dan pemerhati juga mengandalkan internet untuk mendapatkan data favorabilitas kandidat. Salah satu faktor yang menjadikan teknologi informasi sebagai pilihan utama adalah reliabilitas dalam pengukuran.Segala aktivitas yang dilakukan di sosial media terekam dalam arsip—sering disebut sebagai jejak digital (digital footprint).Jejak tersebutlah yang memungkinkan para ahli komunikasi untuk menarget audiens/user media baru, dengan memperhatikan relevansi dari minat dan aktivitasnya. Beberapa aktivitas penggunaan teknologi informasi terkait dengan kampanye politik yang paling lazim dilakukan adalah:27 Penggalangan Dana: Aktivitas penggalangan dana mungkin terdengar baru di Indonesia. Hanya di pemilihan presiden tahun 2014 kemarin-lah untuk pertama kali pendukung Presiden Joko Widodo melakukan penggalangan dana sukarela. Akan tetapi, praktek ini lazim dilakukan di luar negeri. Jika sebelumnya kandidat mengandalkan dana pribadi ataupun donatur dari pihakpihak yang memiliki kekuatan finansial yang besar, maka hal tersebut berubah semenjak adanya internet. Penggalangan dana dilakukan melalui web, dan dijadikan simbol dukungan dan kredibilitas, akibat kepercayaan publik yang diberikan kepada kandidat tersebut. Internet memungkinkan cara-cara baru yang lebih melibatkan pendukung dan publik.Kanal-kanal video, pesan personal, dan berbagai outlet media lainnya menjadi jembatan antara kandidat dan publik, dan disaat yang bersamaan membangun perasaan familiar antara keduanya.Familiaritas inilah yang menyentuh benak publik, yang mungkin tidak terlalu berminat terhadap politik, tetapi melihat kandidat sebagai sosok ‘human’. . Viral Video Teknologi video digital dapat menjadi salah satu ujung tombak kampanye politik. Video yang beredar secara viral di internet dapat menjadi penentu hidup mati karir politik seorang kandidat. Dengan memanfaatkan video yang imajinatif dan edgy, kandidat bisa meraih sukses dengan pemilih yang teridentifikasi sebagai digital enthusiast.Video viral
26 27
2011
juga merupakan media yang cocok bagi simpatisan untuk dapat mengungkapkan dukungan mereka. Salah satu keuntungan video viral adalah aksesibilitas yang tinggi. Cukup dengan menggunakan ponsel yang memiliki koneksi internet, semua orang dapat menciptakan sebuah konten dari manapun dan kapanpun. Keuntungan lain adalah bahwa video viral sangat traceable, sehingga pihak partai dan kandidat dapat memperkirakan dukungan/tantangan dari penghitungan view/streaming count sebuah video, atau seberapa banyak video tersebut dibagikan. Meski demikian, video viral juga bukannya bebas resiko. Internet sampai sekarang masih menjadi ranah dimana pesan beredar dengan tidak terkontrol, sehingga potensi video viral dapat berubah menjadi potensi yang digunakan untuk black campaign. Tetapi, setidaknya internet mengeliminasi halangan finansial dan menyediakan equal opportunity bagi seluruh pihak yang terlibat di dalam kampanye, baik prtai, kandidat, maupun simpatisan, untuk dapat melakukan hal yang sama. Blogs, Citizen Journalism, dan Sumber Berita Online Blogger merupakan orang-orang yang memiliki power pada audiense-nya.Seorang blogger dapat membentuk dan merubah opini sekelompok orang untuk mengikuti pemikiran mereka. Meskipun jumlah audiensmsing-masing blogger bisa jadi tidak terlalu besar, jika partai atau kandidat mampu menarik simpati para blogger, hasilnya akan sangat kontributif terhadap hasil kampanye. Hal ini terlihat pada kampanye presiden Indonesia tahun 2014.Banyak blogger ternama di Indonesia secara terbuka menyatakan dukungan mereka kepada CapRes Joko Widodo, dan secara aktif mengomunikasikan dukungan tersebut melalui berbagai cara. Jika melihat tren yang terjadi, pengaruh blog dan bloggers akan terus bertambah besar. Partai politik dan kandidat di Indonesia belum cukup memperhitungkan entitas ini dengan strategis.Analis juga belum terlalu memperhitungkan implikasi dukungan para blogger terhadap pembentukan opini publik mengenai kandidat di Indonesia.Padahal, potensi yang dapat diberikannya amatlah besar. Pertama, para blogger bekerja dengan basis sukarela.Mereka memiliki kode etik untuk menyatakan jika konten blog mereka adalah opini mereka sendiri, hasil dari sumber lain, atau merupakan konten bersponsor.Hal ini menjadikan blogger sebagai sumber yang memiliki integritas.Kedua, blogger memiliki kreativitas yang terkadang tidak terpikirkan oleh pelaku kampanye.Ketiga, blogger memiliki kekuatan dalam menciptakan opini publik di kalangan tertentu, yang tersegmentasi dan dengan mudah diidentifikasi. Para blogger yang merupakan citizen journalist juga merupakan sumber informasi alternatif bagi masyarakat yang merasa bahwa media terlalu berpihak ke salah-satu kandidat.Dalam blog tersedia forum diskusi dimana para pengunjung dapat berdebat dan mencapai persetujuan untuk sebuah opini.Hal ini memancing feedback dan partisipasi dari masyarakat luas. Di saat yang sama, blogger dan citizen journalist menjadi ‘mata’ publik, melakukan pengawasan terhadap media, dan pelaksanaan kampanye politik itu sendiri. Jejaring sosial
Para ilmuwan sosial telah lama mengakui kekuatan jejaring sosial dalam mempengaruhi perilaku politik28.Beberapa tahun terakhir ini, kemajuan teknologi telah menjadikan media dan jejaring sosial sebagai ajang diskusi, pertukaran ide, dan bahkan media untuk menggerakkan publik dalam sebuah kampanye sosial. Jumlah pemakai media sosial hanya akan terus bertambah di setiap tahunnya, dan jumlah tersebut merepresentasikan angka nyata yang harus diraih oleh kandidat politik. Kandidat juga dapat memanfaatkan jejaring dan media sosia untuk berkomunikasi kepada publik.Media dan jejaring sosial dapat menjadi satu alat untuk mendekatkan diri kandidat, menciptakan familiaritas, dan pada akhirnya memupuk simpati publik untuk memberikan dukungan.Keuntungan media sosial adalah keterukurannya. Twitter dan Facebook, setidaknya, memiliki alat penghitung untuk jumlah interaksi dari sebuah konten yang tercipta di dalamnya. Keterukuran ini tidak akan pernah bisa ditandingi oleh media tradisional manapun, yang mana menjadikan media dan jejaring sosial sebuah aset penting dalam kampanye politik. Dari deskripsi masing-masing deskripsi diatas diatas, dapat disimpulkan bahwa teknologi informasi sangat potensial untuk dijadikan alat strategis bagi kampanye politik. Keterukuran, umpan balik langsung, dan opini yang jelas akan dapat menyumbang ke basis data kampanye, serta memberikan gambaran mengenai peta keberpihakan publik pada masing-masing kandidat. Selain itu, teknologi informasi dapat digunakan sebagai cara untuk melakukan data mining, karena internet menyediakan informasi yang tak terbatas. Rekam jejak yang ada di internet pun akan dengan mudah mematahkan serangan kepada kandidat, dan menjadikan iklim kampanye menjadi lebih kondusif.
28
(Huckfeldt and Sprague 1995)
BAB VI Teknologi Informasi, Kebijakan, dan regulasi pemilu Deskripsi singkat : bahasan ini tentang mengenai regulasi dan kebijakan menyangkut teknologi informasi, baik pada teknologi informasi itu sendiri maupun kepada pengguna teknologi informasi, yaitu tentang perilaku pemakaiannya. Selain itu, sesi ini juga membahas dampak-dampak dari aplikasi regulasi itu sendiri. Manfaat : memberikan gambaran tentang pentingnya kebijakan dan regulasi dari pemerintah terkait penggunaan teknologi informasi sehingga teknologi informasi dapat dirasakan manfaatnya bagi pembangunan. Relevansi : pemahaman tentang teknologi informasi, kebijakan dan regulasi pemilu ini diperlukan agar mahasiswa mengerti regulasi yang diperlukan dalam penggunaan teknologi informasi pada pemilu dan mengantisipasi dampak yang terjadi dari regulasi yang diberlakukan. Learning Outcomes : 1. mahasiswa memiliki pemahaman tentang pentingnya regulasi IT dan kebijakan pada pemilu 2. mahasiswa dapat mengantisipasi dampak yang terjadi dari sebuah regulasi penggunaan IT terkait pemilu 3. mahasiswa dapat mengindetifikasi regulasi IT apa saja yang diperlukan dalam membantu pembangunan politik melalui pemilu. Topik regulasi pemilu elektronik pada dasarnya akan mencakup dua ranah besar, yaitu regulasi mengenai teknologi informasi—sebagai prasarana dan sekaligus sarana pemilu elektronik, regulasi mengenai perilaku pemakaian teknologi informasi, serta regulasi yang dibutuhkan untuk mengatur proses pemilu elektronik itu sendiri. Untuk melaksanakan demokrasi digital, khususnya pemilu elektronik, ketiga set peraturan tersebut wajib ada sebagai penyeimbang antara proses dan infrastruktur. Regulasi mengenai Teknologi Informasi Ranah regulasi teknologi informasi sebagai sarana dan prasarana pemilu sangat terkait dengan bahasan sebelumnya, yaitu kondisi sosio-kultural masyarakat. Melalui bahasan sebelumnya, telah diketahui bahwa kegagapan adaptasi terhadap teknologi informasi berimplikasi kepada situasi digital divide. Cukup mustahil membayangkan pelaksanaan pemilu elektronik di suatu negara yang sebagian besar rakyatnya bahkan tidak memiliki literasi internet. Situasi digital divide memerlukan regulasi sebagai salah satu fungsi kontrol, serta jembatan yang mengatasi kondisi tidak menguntungkan tersebut. Sayangnya, saat ini sebagian besar peraturan terkait teknologi informasi di dunia masih gagal menjalankan fungsi tersebut.Pasalnya, sebagian besar regulasi dibuat dengan mengasumsikan bahwa subjek merupakan kelompok yang sudah memiliki akses kepada teknologi informasi. Regulasi yang
ada hanyalah sebatas mengatur perilaku para pengakses internet saja. Sementara, tidak ada satupun regulasi yang menjadikan kelompok yang belum memiliki internet sebagai subjek, yang intinya mengusahakan supaya anggota kelompok ini dapat secara perlahan bermigrasi ke dalam kelompok yang melek teknologi informasi. Yang menjadi masalah yang lebih mendasar dari sekedar ketiadaan satu set regulasi atau kebijakan saja. Melainkan, regulasi dan kebijakan ini dibuat dengan beban yang amat berat, yaitu menciptakan sebuah mindset serta perilaku baru di dalam masyarakat.Di Indonesia, terlebih lagi, sebuah negara dimana digital divide masih berada pada tahapan paling fundamental, yaitu perbedaan akses terhadap teknologi informasi dalam pengertiannya sebagai objek. Ketika sebagian kecil dari masyarakat sudah menggunakan telepon genggam dengan kecepatan koneksi 4G/LTE, ada bagian yang lebih besar dari masyarakat yang sama, yang bahkan tidak memiliki telepon genggam, atau hanya memiliki telepon genggam tanpa akses internet. Pertanyaanya, kebijakan macam apakah yang dibutuhkan untuk mengatasi kondisi ini? Mossberger mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan membuat sebuah daftar mengenai apa saja yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk dapat mengatasi kondisi digital divide:29 1. Pembuatan jaringan broadband yang mencakup seluruh teritori negara Di Indonesia, internet masih diposisikan sebagai barang kebutuhan tersier. Seperti halnya informasi/media massa, keberadaannya dalam sebuah rumah tangga belum merupakan sebuah keharusan. Membayar biaya berlangganan internet, untuk sebagian masyarakat, masih merupakan beban. Terlebih lagi ketika mereka harus terlebih dahulu membeli piranti teknologi (komputer/laptop, telepon genggam atau tablet) untuk dapat mengakses internet. Dengan adanya teknologi broadband yang merambah ke seluruh wilayah, atau setidaknya area berpopulasi tinggi, dengan pengelolaan berbasis negara, biaya untuk akses internet dapat ditekan. Infrastruktur ini dapat menekan kekuatan sektor privat yang selama ini masih menjadi pemain utama dan penentu biaya akses internet. Jaringan broadband yang mencakup wilayah yang luas akan juga memancing munculnya industri piranti teknologi informasi, yang nantinya dapat dipasarkan secara murah dengan prinsip economy of scale, karena adanya janji peningkatan jumlah pemakai internet yang lebih signifikan 2. Proses edukasi yang berkelanjutan Setelah permasalahan infrastruktur dapat diselesaikan, tugas selanjutnya adalah mengedukasi masyarakat mengenai pemakaian internet secara tepat guna. Saat ini, kalangan pengakses internet pun belum tentu memiliki tingkat literasi yang cukup untuk bisa memanfaatkan internet dengan baik. Terlebih lagi kelompok yang harus memulainya dari nol. Perlu ditekankan bahwa kedua bentuk kebijakan tersebut bukanlah solusi ajaib untuk menyelesaikan permasalahan digital divide. Akan tetapi, meskipun prosesnya akan memakan waktu lama, serta membutuhkan investasi sumber daya yang cukup besar, langkah ini 29
Mossberger (2008) dalam Chadwick (2008)
diperlukan jika negara ingin menciptakan situasi digital literacy yang pada akhirny akan membentuk sebuah digital citizenship yang aktif dan representatif. Regulasi mengenai Perilaku Pemakaian Teknologi Informasi Bahasan mengenai sejauh apa pemerintah dapat mengatur perilaku warga negara di internet selalu menjadi permasalahan yang konstan dibahas. Tidak mudah menetapkan jurisdiksi negara di dunia maya. Pasalnya, berbeda dengan negara di dunia nyata yang memiliki batasan teritorial, internet adalah wilayah semua bangsa. Oleh karena itu, sejauh ini, hukum yang berlaku dikenakan tidak kepada aktivitas itu sendiri, tetapi pada infrastruktur, serta hasil dari aktivitas. Sebagai contoh, pemerintah Indonesia tidak dapat mencegah warga dari mengakses situs porno, tetapi dapat menekan penyedia jasa internet di Indonesia untuk memblok situs-situs tersebut. Di Amerika, perilaku mengunduh tidak dapat dicegah, tetapi jika seorang warga diketahui memiliki konten bajakan, dia dapat dikenakan pelanggaran hak cipta. Selain permasalahan mengenai jurisdiksi, problematika lain mengenai regulasi internet adalah sejauh apa perilaku tersebut harus diatur. Terdapat dua pemikiran mengenai permasalahan ini. Pertama, pemikiran yang memandang internet sebagai ancaman. Pemikiran ini menganggap publik sebagai pihak yang wajib untuk dilindungi dari eksposur yang terjadi di internet. Konsekuensinya, pemikiran ini akan mencoba untuk membatasi sebanyak mungkin ruang gerak publik di dunia maya. Kedua, pemikiran yang memandang internet sebagai peluang maupun ruang legitimasi mutlak untuk personal. Pandangan ini berangkat dari fakta bahwa media baru (seperti jejaring sosial, media sosial, blog ataupun kanal streaming) merupakan ruang-ruang privat yang diciptakan oleh perseorangan, sehingga perseorangan tersebut tidak wajib untuk mengikuti peraturan apapun kecuali tata aturan yang diterapkan oleh penyedia layanan. Kedua pemikiran diatas sama-sama benar, akan tetapi di saat yang sama memiliki kekurangan masing-masing. Kontrol yang terlalu ketat kepada internet akan menafikkan fungsi internet sebagai media informasi yang aksesibel dan ramah kepada publik. Sementara, ketiadaan kontrol akan berakibat kepada chaos, karena internet juga berpotensi memunculkan tindak kejahatan. Idealnya, diperlukan keseimbangan antara kedua elemen tersebut agar tercipta sebuah tata aturan yang melindungi publik, dan disaat yang sama tidak membatasi ruang gerak dan produktivitas pemakaian teknologi informasi. Regulasi mengenai Pemilu Elektronik Ketika sebuah negara mulai berpikir untuk melaksanakan pemilu secara elektronik, maka hal yang harus dipikirkan pertama kali adalah regulasi dan kebijakan, sebelum pengadaan infrastrukturnya. Hal ini berbeda dengan proses penetapan regulasi dan kebijakan mengenai digital divide, dimana kebijakan terkait infrastruktur mendapatkan penekanan utama dibandingkan dengan regulasi yang mengatur pemakaian infrasruktur tersebut. Pada regulasi mengenai teknologi informasi, piranti memegang peranan penting, karena keaktifan di dunia maya merupakan sebuah skill yang dipelajari saat seseorang melakukannya. Oleh karena itu, sebelum membicarakan mengenai tata aturan pemakaian internet, haruslah dipastikan bahwa akses internet itu sendiri bukan merupakan sebuah masalah.
Terkait dengan regulasi pemilu elektronik, relatif terhadap situasi di negara tertentu juga akan memerlukan adanya perubahan terhadap beberapa regulasi yang telah ada, baik terkait dengan pemilu maupun area lain di luar pemilu. Hal ini dinyatakan oleh Sean Dunne: Depending on the circumstances in the particular country, electronic voting can require corresponding amendments in a number of areas...including electoral law; the laws governing the rules of evidence (how evidence may e presented before a judicial body); investigative capacities; regulation and procedures for dispute resolution; the structure, staffing, and core competences of the electoral authorities; the voters registration process; the candidate/party registration process; the training of electoral officials; the regulations for electoral observers; and the tabulation and announcement of results.30 Regulasi mengenai pemilu elektronik dibuat untuk mengatur kelancaran pelaksanaan pemilu di seluruh tahapan, mulai dari pendaftaran pemilih, kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara, dan pengesahan hasil pemilu.Selain itu, regulasi juga harus dapat mengantisipasi adanya situasi tidak terduga, seperti perselisihan terkait dengan hasil pemilu. Selain itu, regulasi serta kebijakan mengenai persiapan pemilu, baik dari faktor infrastruktur dan personel yang terlibat di dalamnya juga harus diatur dengan ketat, untuk menjamin terlaksananya pemilu yang berintegritas dan dapat dipertanggung jawabkan secara demokratis.
30
Dunne. 2006. Dalam Electoral Management Design: The International IDEA handbook. Institute for Democracy and Electoral Assistance.
BAB VII Aplikasi Teknologi informasi dalam proses Pemilu Elektronik Deskripsi singkat :sesi ini membahas gagasan mengenai aplikasi teknologi informasi ke dalam proses pemilu elektronik dimana teknologi informasi pemilu eletronik ini dapat memberikan keakuratan data dan efesiensi yang baik pada proses ini. Namun dalam bahasan ini juga dijelaskan tentang keuntungan dan kerugian yang terjadi pada aplikasi teknologi informasi dalame-voting. Manfaat :memberikan pemahaman lebih dalam tentang kegunaan teknologi informasi dalam e-voting dan menguraikan dampak-dampak apa saja yang terjadi pada proses e-voting dengan teknologi informasi ini. Relevansi :pemahaman tentang aplikasi teknologi informasi dalam proses e-voting diperlukan mahasiswa dalam membantu mengaplikasikan IT pada e-voting dan mengukur kemungkinan yang ada pada proses ini. Learning Outcomes : 1. mahasiswa memahami peran IT pada e-voting 2. mahasiswa mampu mengkategorikan jenis-jenis e-voting dan potensi penggunaan IT pada prosesnya. 3. mahasiswa mengerti fungsi-fungsi e-voting dan teknis dasar aplikasi IT pada e-voting Di bab sebelumnya telah dibahas mengenai implikasi penetrasi teknologi informasi kedalam proses demokratis sebuah bangsa. Selanjutnya, sesi ini akan membahas gagasan mengenai aplikasi teknologi informasi ke dalam proses pemilu. Gagasan ini menjadi topik yang menarik karena efisiensi, kecepatan dan akurasi yang dijanjikan oleh teknologi informasi untuk proses pemilu. Terlebih lagi pada pemilu jarak-jauh, dimana teknologi informasi akan menambah kenyamanan serta sisi praktis dari proses pemungutan suara, sekaligus meningkatkan keterlibatan publik dalam proses demokrasi. Banyak spekulasi yang bermunculan seputar topik mengenai pemilu elektronik, dan disaat yang sama, bukti sistemik yang berasal dari pelaksanaan pemilu elektronik secara aktual masih sangatlah kurang. Sementara pemilu elektronik merupakan sebuah langkah perubahan demokrasi yang sangat masif, yang membutuhkan banyak pertimbangan dan persiapan untuk menghindari hilangnya legitimasi dan keadilan dalam proses pemilu. Berikut adalah bahasan mengenai bukti dan konsep yang telah ditemukan sejauh ini. Pro dan Kontra Pemilu Elektronik Modernisasi proses administratif pemilu sering dipandang sebagai ekstensi dari pemanfaatan teknologi komunikasi dalam proses pemerintahan. Salah satu aplikasi yang paling lazim diterapkan adalah pemungutan suara elektronik, yang dapat dikategorikan menjadi: •
Remote electronic voting, atau transmisi suara resmi yang diberikan pada saat pemilu kepada pengelola kampanye melalui berbagai kaidah elektronik dan teknologi
•
informasi, dari lokasi pemungutan suara yang berbeda. Secara umum, remote electronic voting sering digunakan untuk menyebut pemungutan suara melalui internet saja, akan tetapi pada kajian ini, istilah tersebut akan digunakan untuk menyebut segala sesuatu teknologi yang dapat digunakan untuk pemungutan suara jarak jauh. Kontras dengan remote electronic voting, on-site electronic voting merujuk kepada teknologi yang digunakan dalam pemungutan suara pada sebuah TPU. Istilah ini lebih merujuk kepada pemanfaatan teknologi sebagai pengganti kertas suara manual.
Advokasi atas penerapan pemilu elektronik memaparkan beberapa keuntungan dari penggunaan teknologi dalam proses pemungutan suara. Keuntungan pertama adalah kenyamanan bagi para pemilih.Dengan menggunakan teknologi digital, pemilih tidak lagi harus berada pada lokasi tertentu untuk menggunakan hak mereka. Hal ini tentu saja akan meningkatkan efisiensi, serta menekan kemungkinan hilangnya suara dari sebagian besar masyarakat yang tidak dapat mendatangi tempat pemungutan suara seperti kaum difabel, pasien rumah sakit, serta warga negara yang sedang dalam perjalanan. Keuntungan kedua adalah potensi untuk meningkatkan pengetahuan akan kandidat kepada para pemberi suara, sehingga suara yang diberikan lebih didasarkan kepada keputusan rasional. Penggunaan teknologi informasi akan memungkinkan pihak penyelenggara kampanye untuk memberikan informasi yang relevan mengenai kandidat yang dipilih dalam pemilu, yang dapat digunakan sebagai basis pertimbangan pemberian suara. Bagi pihak penyelenggara pemilu, penerapan teknologi yang tepat guna, baik remote maupun on-site dapat menjamin kualitas proses administrasi, dengan meningkatkan efisiensi, kecepatan serta akurasi perekaman dan penghitungan suara.31 Logistik dan Infrastruktur Logistik dan infrastruktur untuk pelaksanaan pemilu elektronik merupakan sebuah bahasan yang kompleks dan multi aspek. Perbedaan sistem penyelenggaraan pemilu elektronik pada dasarnya akan berakibat kepada kebutuhan logistik dan infrastruktur yang berbeda pula. Akan tetapi, semuanya mengarah kepada terlaksananya sebuah pemilu elektronik yang representatif, berintegritas, serta demokratis. Terkait dengan infrastruktur, pada dasarnya sebuah sistem pemungutan suara elektronik memiliki beberapa fungsi, yaitu enkripsi, randomisasi, komunikasi dan keamanan. Permasalahan yang muncul adalah menentukan sistem dan teknologi yang akan diterapkan di dalam pemilu. Investasi yang diperlukan untuk piranti keras, sosialisasi, maupun proses administratif tidaklah sedikit, dan membutuhkan waktu yang panjang dalam persiapannya. Sistem pengelolaan pemilu, serta analisis biaya-manfaat lengkap sebagai bagian studi kelayakan yang luas harus dilaksanakan. Pertimbangan pertama dari pengadaan infrastruktur adalah situasi dimana Piranti teknologi informasi hanya memiliki siklus hidup beberapa tahun saja, akibat pesatnya perkembangan teknologi, dan kebutuhan untuk beradaptasi dengan sistem yang 31
Arterton 1987; Budge 1996; Rash 1997; Rheingold 1993; Barber 1998, dalam Norris (2005)
mengutamakan keterbaruan.Tentu saja hal ini memiliki implikasi terhadap total cost of ownership dari teknologi tersebut, termasuk biaya penyimpanan, pemeliharaan, pembaharuan, dan pengoperasian sistem selama beberapa siklus pemilu. Jika siklus pemilu panjang dan mesin pemungutan suara mungkin hanya digunakan sekali setiap beberapa tahun, menyewa akan lebih bijak secara finansial dibandingkan membeli sistem e-voting. Proses pengadaan akan menjadi permasalahan sendiri. Banyak vendor yang menawarkan teknologi e-voting yang mutakhir, tetapi terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan yang teridentifikasi. Keputusan pembelian tidak hanya memiliki konsekuensi kepada pengadaan tetapi juga proses pemeliharaan dan pengoperasian selama siklus pemakaian, karena sering kali sebuah teknologi hanya dapat dipahami dengan baik oleh perusahaan yang memproduksinya. Biaya persiapan untuk pemilu elektronik cenderung membengkak di awal, akibat proses pengadaan. Tahapan ini juga rentan terhadap persepsi buruk mengenai korupsi, sehingga transparansi haruslah dipastikan. Proses pengadaan juga wajib dilakukan jauh sebelum pelaksanaan pemilu, karena pihak penyelenggara, serta pemakai (personel teknis maupun pemberi suara) membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan teknologi yang diimplementasikan. Penetapan alur waktu menjadi signifikan, dan kegagalan mengikutinya dapat beresiku besar pada penjaminan mutu pemilu. Adapun mengenai aspek teknis terkait dengan keperluan pemilu, Melanie Volkamer menjelaskannya dengan lebih seksama di dalam bukunya, ‘Evaluation of Electronic Voting Requirements and Evaluation Procedures to Support Responsible Election Authorities’.
BAB VIII IT dan Basis Data Pemilu Deskripsi singkat : sesi ini membahas tentang informasi teknologi yang menjadi basis pendataan pada proses pemilu, dan teknologi pendukung apa saja yang diperlukan dalam proses pendataan tersebut. Manfaat :memberikan penjelasan bagaimana teknologi informasi dapat dipakai untuk mempermudah pendataan pemilu pada suatu negara dengan memperhatikan aspek-aspek yang mendukung. Relevansi : pemahaman tentang IT dan basis data pemilu diperlukan untuk mengetahui secara teknis tentang basis data dan sistem manajemennya pada pemilu, serta aplikasi teknologi informasi pada prosesnya. Learning Outcomes : 1. mahasiswa mampu menjelaskan pentingnya IT pada basis data pemilu 2. mahasiswa dapat mengantiisipasi dan memperhatikan aspek-aspek yang mendukung dan diperlukan untuk menghasilkan data pemilu yang akurat melalui teknologi informasi 3. mahasiswa memiliki dasar pengetahuan tentang basis data dan sistem manajemennya. Teknologi memiliki fleksibilitas untuk dapat diterapkan di seluruh proses pemilu, mulai dari sistem pengambilan suara, identifikasi pemilih, aktivitas pengambilan suara, penghitungan suara, hingga ke komputasi hasil. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada satupun negara yang telah mencapai level modernisasi yang ideal, hingga dapat mengaplikasikan teknologi ke seluruh proses tersebut. Meski demikian, bukan berarti bahwa teknologi tidak memiliki peran dalam proses pemilu. Kombinasi antara metode manual serta didukung oleh aplikasi teknologi menghasilkan sebuah sistem yang stabil dan telah digunakan di banyak negara. Salah satu aplikasi teknologi yang paling signifikan adalah pada tahapan penyusunan basis data (database), dan sistem informasi geografis yang berkaitan dengan pengaturan wilayah pengambilan suara, serta pengaturan logistik. Data terkait pemilu tidak hanya berguna untuk persiapan sebelum pengambilan suara saja, akan tetapi juga dapat berfungsi sebagai basis analisis pasca pemilu, terkait dengan integritas, keabsahan dan validitas dari hasil pemilu tersebut. Terkait dengan masalah integritas hasil pemilu, akurasi data menjadi faktor yang sangat signifikan.Oleh karena itu pendataan secara manual sering dihindari, akibat rentannya metode tersebut terhadap kesalahan yang terlihat sepele namun berdampak besar. Teknologi informasi memungkinkan proses pembangunan basis data yang cepat, mudah, dan akurat. Karakter jejaring dari teknologi informasi sendiri memungkinkan verifikasi data untuk dilakukan oleh dua atau lebih personil.Selain itu, distribusi data ke seluruh pihak yang membutuhkan dapat dilakukan dengan lebih cepat, karena aksesibilitasnya yang tinggi.
Data yang solid dan lengkap, serta dapat diakses publik, akan memfasilitasi tumbuhnya kepercayaan serta transparansi dalam proses pemilu. Hal ini akan menjamin tercapainya pemilu yang berintegritas. Basis data pemilu dan sistem manajemen basis data Basis data pemilu menyimpan elemen informasi terkait dengan pemilu, kandidat, pemilih, sekaligus skema penjelasan masing-masing data serta data lain yang terkait dengan data-data tersebut. Jika digambarkan dalam sebuah diagram alur relasi antar sistem, maka basis data pemilu dapat dipahami sebagai berikut:
Adapun anatomi dari teknologi pendukung basis data pemilu dijelaskan oleh Qadah dan Taha (2007) sebagai berikut: Server Server merupakan pusat operasi dari sistem pengelolaan basis data (Database Management System). Didalamnya terdapat sejumlah perangkat lunak, dimana fungsi dari perangkat lunak tersebut antara lain: 1. Basis data pemilu Disain dan implementasi basis data pemilu dimulai dari analisis proses pemilu beserta kebutuhan datanya. Hasil dari proses tersebut adalah Extended Entity-relationship Diagram (EERD). Fungsi dari EERD adalah klasifikasi data berdasarkan entitas pemilih, pemilu, kandidat dan pemenang, serta relasi antar entitas tersebut. Relasi yang terjadi antar entitas tersebut dapat menunjukkan pola atau kecenderungan tertentu yang terjadi dalam sebuah proses pemilu 2. Sistem administrasi basis data pemilu Merupakan sistem yang dibangun untuk memfasilitasi proses administrasi data. Beberapa komponen yang terdapat di dalamnya adalah:
• •
•
The database creator: merupakan fungsi pembangun dalam sistem basis data pemilu. The database loader: merupakan sistem yang menjalankan fungsi akses informasi yang tersimpan dalam basis data. Terdapat fasilitas pencarian tingkat lanjut yang dapat menyeleksi informasi yang relevan dengan kebutuhan, dengan menggunakan parameter tertentu. Fungsi ini pada dasarnya merupakan search engine dalam basis data. The campaign configurator: berfungsi untuk membuat konfigurasi profil kampanye pemilu dalam basis data, baik menciptakan, menghapus, atau memodifikai kampanye. Onjek utama yang diatur oleh fungsi ini adalah kandidat yang bermain di dalam sebuah proses pemilu.
Terkait dengan data yang dikelola dalam sebuah proses pemilu, sensitivitas penggunaan data tersebut menimbulkan kompleksitas data yang diperlukan. Pada dasarnya, tidak ada batas mengenai sebanyak apa data yang diperlukan. Untuk lebih memahami mengenai jenis data yang diperlukan, Caltech/MIT Voting Technology Project (2007) telah menyediakan sebuah guideline untuk mengidentifikasi kebutuhan data terkait dengan pemilu. Perlu ditekankan bahwa pemakaian teknologi informasi dalam pemilu sangat relatif terhadap banyak aspek.Pada negara-negara yang memiliki karakter yang berbeda, maka teknologi informasi dapat digunakan dengan cara yang berbeda pula.Fleksibilitas teknologi informasi itu sendiri menjadikan aplikasinya unik kepada masing-masing sistem.Oleh karena itu, pola diatas tidak bisa dijadikan sebuah generalisasi, melainkan kerangka pemahaman mengenai prinsip operasional dan pemanfaatan basis data dalam pemilu.
BAB IX IT dan Teknis Penyelenggaraan Pemilu Elektronik: Pendataan Pemilih, Voting & Penghitungan Suara, dan Audit Deskripsi Singkat :bahasan ini mencakup penggunaan teknologi informasi pada teknis penyelenggaran pemilu elektronik, mendata pemilih, dan menghitung suara juga mengauditnya dengan sistem IT. Selain itu juga dibahas jenis-jenis metode yang digunakan dan kerugian atau keuntungan dari kesemua metode tersebut. Manfaat: mengenalkan metode-metode teknis menggunakan IT pada penyelenggaran evoting, bagaimana cara kerja IT pada pendataan pemilih dan menggunakan IT pada perhitungan suara dan mengauditnya Relevansi: bahasan IT dan teknis penyelenggarann pemilu elektronik, pendataan pemilih, voting & perhitungan suara dan audit ini diperlukan untuk membantu mahasiswa mengerti secara teknis tentang proses penyelenggaran pemilu, pendataan, voting, audit dan bagaimana menggunakan IT pada proses tersebut. Learning outcomes: 1. mahasiswa memiliki pengetahuan teknis dasar aplikasi IT pada proses penyelengaraan pemilu elektronik, pendataan, voting sampai audit 2. mahasiswa mengenal metode-metode teknis penggunaan IT pada proses e-voting 3. mahasiswa mampu mengantispasi penggunaan metode pada IT untuk proses e-voting dilihat dari keuntungan dan kerugian aplikasinya. Pendataan Pemilih Pendataan pemilih merupakan proses yang rumit, terlebih lagi di negara dengan kepadatan penduduk tinggi seperti Indonesia. Proses pendataan pemilih memakan waktu yang lama serta sumber daya yang tidak sedikit. Meski demikian, proses ini menjadi wajib karena signifikansinya bagi keseluruhan proses pemilu. Hal ini dinyatakan oleh Mitrou, et.al: The voting right extends further to a right to exact composition of the electorate. In this sense, eligibility is an element of peoples' sovereignty. (Secure) Registration and authentication of voters are the means of ensuring that the principles of universal and equal suffrage, summarized as "one voter, one vote", are respected and that elections cannot be rigged. Voter registration systems and accurate voter registration lists are important for the integrity and the legitimacy of the election process. Any major compromise of the voter registration system could lead to election fraud.32 Registrasi dan pendataan pemilih yang akurat teramat penting, karena terkait dengan aspek demokrasi, yaitu keterwakilan dan penjaminan bahwa seluruh rakyat dapat menggunakan hak pilihnya, serta isu mengenai antisipasi kecurangan. Khusus untuk poin 32
Dalam Gritzalis (2003)
kedua, dalam pelaksanaan e-voting, hal ini perlu diberi penekanan. Kunci dari masa depan evoting adalah remote voting, dimana pemungutan suara dapat dilakukan tanpa pemilih harus mendatangi lokasi TPS. Lantas, jika tidak ada personel yang dapat memastikan identitas pemilih, bagaimanakah pemilu dapat dilindungi dari kecurangan? Satu Pemilih Satu Suara Prinsip persamaan hak dalam demokrasi berarti bahwa setiap warga negara memiliki nilai suara yang sama. Dalam pemilu, hal ini berarti bahwa idealnya, tidak ada satupun warga negara yang dapat memberikan suaranya lebih dari satu kali.Oleh karena itu, sistem pemungutan suara yang diaplikasikan dalam pemilu harus dapat menjamin terlaksananya prinsip "one voter, one vote ". Dengan kata lain, sistem harus dapat mencegah terjadinya duplikasi data pemilih dalam pemilu, yang memungkinkan pemilih tersebut dapat menggunakan hak pilihnya sebanyak lebih dari satu kali, baik oleh dirinya sendiri maupun pihak ketiga. Banyak piranti elektronik yang ditawarkan untuk proses autentikasi pemilih. Tetapi, seiring dengan kelebihan yang ditawarkan, muncul pula resiko yang menyertainya. Berikut adalah beberapa metode registrasi dan autentifikasi pemilih, beserta resikonya: 1. Public Key Infrastructue dan Personal Identification Number Metode registrasi PKI dan PIN pada dasarnya merupakan penerapan teknologi informasi dalam proses registrasi dan autentikasi pemilih, dengan cara memberikan kunci personal kepada tiap penduduk. Kunci tersebut dapat digunakan untuk mengakses data digital, termasuk salah satunya adalah akses kepada pemungutan suara. Problematika yang muncul dari metode ini, khususnya pada PKI adalah permasalahan keamanan. Dalam skala besar, seperti konteks pelaksanaan pemilu di Indonesia, proses enkripsi keamanan untuk PKI belum dapat dijamin. Hal ini ditambah dengan kurangnya familiaritas teknologi ini Jika dipaksakan, maka pelaksanaan registrasi dan autentikasi pemilih akan menjadi proses yang sangat tidak efisien 2. Biometrik Biometrik dijelaskan oleh Davies sebagai teknologi yang dikembangkan untuk mengenali aspek biologis khusus pada diri seseorang. Aspek biologis ini antara lain adalah pola sidik jari, retina, suara, bentuk dan ukuran tangan, fitur wajah, serta tanda tangan.33 Salah satu teknologi biometri yang paling populer digunakan adalah pemindai sidik jari.Teknologi ini populer karena kemudahan serta kepraktisannya.Mesin pemindai sidik jari relatif murah jika dibandingkan dengan teknologi biometri lainnya.
33
Davies (2006)
Pemungutan dan Penghitungan Suara Proses pemungutan suara menjadi satu tahapan yang paling kompleks dalam proses pemilu, sekaligus tahapan yang rentan terhadap gangguan dan sabotase. Dalam perjalanannya, proses pemungutan suara secara kontinu terus dievaluasi, untuk mendapatkan sebuah cara yang paling optimal. Sejauh ini, ada lima metode pemungutan suara yang paing banyak digunakan oleh berbagai negara di dunia. Masing-masing dari metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Adapun kelima metode tersebut adalah:34 1. Australian Paper Ballot Australian Paper Ballot merupakan penyempurnaan dari kertas suara tradisional.Metode pemungutan suara ini menggunakan secarik kertas yang diproduksi secara khusus dengan persiapan keamanan tertentu, dan memuat informasi berupa foto wajah para kandidat yang mengikuti pemilu. Kontrol terhadap kertas suara selama proses pemilu, baik logistik pengirimannya, pindah tangan kepada pemilih, hingga proses penghitungan, amatlah penting. Ketika diterapkan dalam konteks pemilu multi partai, metode ini menjadi lebih rentan, akibat banyaknya kepentingan yang harus diwakili dalam proses pemilihan umum. Kelemahan terbesar terletak pada proses penghitungan yang harus dilakukan secara manual, yang tidak hanya kurang efisien, juga rentan terhadap common error. 2. Lever Voting Machine Mesin tuas pemungutan suara diperkenalkan dengan dua tujuan utama: mesin melakukan proses pemungutan suara tanpa bias kepentingan manapun, sekaligus menghitung suara yang terkumpul sehingga hasil akan seketika itu juga didapat. Kekurangan dari metode ini adalah ketiadaan back-up data jika terjadi keadaan darurat, serta kompleksitas mesin itu sendiri yang membutuhkan sensitivitas teknis yang sangat tinggi. 3. Punched Card Voting Metode Votomatic pada dasarnya menganut sistem Australian Ballot, yang menggunakan mesin pelubang kertas sebagai penghitung suara, begitu suara diberikan. Jumlah lubang yang tertera pada lembar hitung masing-masing kandidat merepresentasikan jumlah suara yang didapatkannya. Permasalahan yang sering muncul adalah ketika mesin yang digunakan tidak dapat membuat lubang yang sempurna pada kertas, sehingga sering terjadi selisih penghitungan suara.Kesalahan sekecil apapun dapat merusak integritas pemungutan suara. Selain itu, masih ada permasalahan lain dalam teknis mesin pelubang kertas ini. 4. Optical Mark-Sense Voting Metode ini menggunakan sistem pemindai pada kertas Australian Ballot. Pemberi suara menandai kandidat pilihan dengan menggunakan pensil 2B yang nantinya akan dipindai pada komputer. Kesalahan pada metode ini rentan terjadi jika pemilih tidak menggunakan pensil yang sesuai dengan ketentuan, atau tidak menandai kertas suara dengan sempurna. 34
Jones (2003) dalam Gritzalis (2003)
5. Direct Record Electronic (DRE) Voting Mesin DRE digunakan pada proses pemungutan suara, dan memiliki kemampuan untuk langsung menghitung suara yang didapatkan. Pemilih menekan tombol yang mewakili masing-masing kandidat, dan suara yang diberikannya akan langsung terrekam dan terhitung. Kekurangan dari metode ini adalah kekakuan piranti lunak dalam menghadapi faktor human error, sehingga tidak jarang terjadi kesalahan akibat proses perekaman suara yang kurang sempurna. Merujuk kepada bahasan besar yaitu teknologi informasi, maka DRE menjadi satu metode yang paling relevan. Oleh karena itu, bahasan mengenai metode pemungutan suara akan berfokus kepada aplikasi DRE. Metode masih tergolong muda karena dikembangkan dengan basis teknologi, akan tetapi situasi tersebut juga berarti bahwa DRE merupakan metode yang paling tidak ‘gagap’ dengan perkembangan teknologi informasi. Prinsip jejaring dan keterhubungan dari teknologi informasi akan dengan mudah diterapkan pda DRE. Hasil hitungan suara yang didapatkan pada DRE di salah-satu tempat pemungutan suara dapat secara langsung dikumpulkan dan ditabulasi untuk memperoleh hasil perolehan suara dengan cepat. Keterhubungan DRE sendiri akan mengeliminasi kesulitan logistik pengiriman kertas suara pra pemilu, serta kemungkinan terjadinya kecurangan yang dilakukan pada kotak suara yang penuh dengan kertas suara. Aplikasi DRE juga akan dapat mengatasi masalah yang terjadi pada remote voting. Terkadang, jarak menjadi satu halangan yang sangat berarti dalam pemilu, terlebih pada negara seperti Indonesia.Ditambah lagi dengan sejumlah besar warga negara Indonesia di luar negeri. Kasus kurangnya kertas suara yang terjadi pada Pilpres tahun 2014 lalu akan dapat teratasi dengan DRE. Akan tetapi, DRE tidaklah bebas resiko.Metode ini masih tergolong baru, sehingga belum terlalu teruji pada banyak kasus. Selain itu, metode ini sangat tergantung kepada kesiapan sumber daya manusia yang akan mengoperasikan dan mengontrol kondisi piranti DRE. Pertanyaan Refleksi: Di era teknologi, pemanfaatan internet voting sudah sangat jamak dilakukan. Pertanyaan mendasar dari fenomena ini adalah, apakah internet voting layak diterapkan pada proses pemilu?
Audit dan Verifikasi Proses audit merupakan satu cara penjaminan mutu hasil kampanye. Audit dilakukan untuk memastikan bahwa pemilu telah dilaksanakan sesuai dengan regulasi dan hukum yang berlaku. Pelaksanaan audit dapat membantu mengidentifikasi jika terjadi kesalahan administratif maupun teknis, yang dapat berpengaruh terhadap hasil pemilu. Dengan memanfaatkan sejumlah kecil sampel yang memenuhi prinsip konfidensial dalam statistik, audit dilakukan untuk mengetahui angka minimum kecurangan, kesalahan sistemik, maupun human error yang dapat terjadi pada hasil pemilu. Hal ini dilakukan untuk menjamin tercapainya public confidence atas hasil pemilu.Public confidence sendiri, dijelaskan oleh Saltman sebagai: ...is the level of acceptance by the general public, taken as a whole, that the reported election results actually represent the collective choices of the voters. The level of public confidence includes the sum of all individual voter confidences, plus other factors such as assurance of computer program correctness, the announced result of an audit and reports of election difficulties and their causes.35 Paparan Saltman tersebut memberikan gambaran bahwa public confidence pada dasarnya adalah tingkat penerimaan publik terhadap hasil pemilu.Ketika public confidence tercapai, maka bisa dikatakan bahwa hasil pemilu dipercaya memiliki integritas secara demokratis, dan hasilnya dapat diterima. Dari paparan diatas, dapat disadari bahwa proses audit dan verifikasi hasil pemilu membutuhkan kecepatan dan akurasi. Ketika dua syarat ini tidak dapat dipenuhi oleh metode manual, maka satu-satunya cara adalah audit secara elektronik. Dalam bahasan ini, akan dijelaskan bagaimana teknologi informasi dapat diterapkan dalam proses audit, baik untuk pemilu manual maupun e-voting. Audit pada Pemilu Manual Prosedur pelaksanaan audit biasanya dilakukan dengan menghitung kembali kertas suara, yang dilakukan pada tiap TPS, kemudian dikumpulkan per wilayah. Akan tetapi, proses verifikasi semacam ini memakan banyak waktu, serta membutuhkan pekerja manual yang tidak sedikit, yang berakibat kepada membengkaknya pembiayaan pemilu. Hasil yang didapatkan juga relatif tertunda, sehingga pada waktu diumumkan, kemungkinan kandidat sudah dinyatakan menang atau kalah. Keputusan untuk mengumkan hasil audit kemudian menjadi problematik, karena akan mengurangi kepercayaan publik terhadap integritas pemilu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Calandrino, Halderman dan Felten memperkenalkan sebuah sistem audit dengan fasilitasi piranti elektronik36.Metode ini menawarkan pilihan untuk menghemat waktu, dengan menggunakan scanner untuk melakukan penghitungan kembali kertas suara.Syarat dari audit ini tentu saja pemilu harus menggunakan kertas suara khusus yang memiliki sistem indeks yang dapat dideteksi 35 36
Saltman dalam Gritzalis (2003) Calandrino, Halderman dan Felten. Tanpa tahun.
menggunakan pemindai elektronik. Dalam proses audit ini, para personel yang terlibat dalam pemilu tidak lagi harus menghitung kertas suara secara manual, melainkan hanya memasukkan kertas suara tersebut ke dalam pemindai. Hasil audit kemudian dicocokkan dengan hasil penghitungan suara yang didapat sebelumnya.Kesesuaian diantara keduanya berarti bahwa pemungutan suara telah berjalan dengan lancar, sementara jika terjadi perbedaan, maka pelaksana pemilu wajib melakukan investigasi untuk mengetahui penyebab perbedaan tersebut. Selain mengurangi alokasi waktu, metode ini dapat meminimalisir terjadinya human error dalam proses audit. Audit pada E-Voting Persepsi umum mengenai pemilu elektronik adalah penggunaannya lebih ramah pengguna, efektif secara finansial, dapat diandalkan, lebih akurat dan cepat dalam proses tabulasi, serta naiknya jumlah pemilih. Akan tetapi, sejauh ini kenyataan yang terjadi pada aplikasi e-voting adalah situasi dimana piranti teknologi tidak dapat memenuhi janji yang ditawarkan oleh vendor pada proses pengadaan. Masalah terdapat pada proses desain keamanan dan verifikasi suara. Lebih lanjut lagi, belum ada jaminan bahwa suara yang diberikan oleh pemilih tersimpan dan terhitung dengan benar. Di bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa masing-masing metode pemungutan suara, termasuk sistem yang terkomputerisasi seperti DRE dan Optical Scan memiliki beberapa kelemahan yang dapat mengancam integritas pemilu. Salah satu kesulitan dalam proses e-voting adalah ketiadaan bukti fisik dari pemilu. Terutama pada DRE, dimana pemungutan suara dilakukan sepenuhnya dengan komputasi.Kesalahan sistem maupun penguasaan terhadap teknologi dapat mengakibatkan suara yang diberikan oleh pemilih terekam dengan tidak benar. Tidak heran jika usulan yang diberikan oleh Calandrino, Halderman dan Felten dalam mengatasi kelemahan tersebut adalah memproduksi kertas verifikasi bagi pemilih, dan melakukan audit terhadap verifikasi tersebut. Permasalahan kembali muncul, karena dengan pengadaan ‘bukti’ verifikasi ini, berarti proses pemilu kembali membutuhkan tambahan infrastruktur.
BAB X Problematika Keamanan IT dalam Pemilu Deskripsi Singkat: bahasan ini menjelaskan tentang kemanan IT dalam pemilu dan masalahmasalahnya, tantangan apa saja yang harus dihadapi pada aplikasi keamanan IT pada pemilu, serta upaya dalam menentukan sebuah protokol keamanan yang dapat menjamin terlaksananya proses pemilu dengan lancar dan berintegritas Manfaat: memberikan pemahaman dasar tentang keamanan IT dalam pemilu dan pentingnya hal tersebut dalam upaya melaksanakan proses pemilu yang lancar dan berintegritas. Relevansi : pemahaman tentang problematika keamanan IT dalam pemilu diperlukan agar mahasiswa dapat mengantisipasi dampak penggunanaan kemanan IT dalam pemilu dan mencari solusi untuk menjawab tantangan dan problematikanya. Learning Outcomes: 1. mahasiswadapat menentukan sebuah protokol keamanan yang ideal dalam membantu terjaminnya pelaksanaan pemilu. 2. Mahasiswa dapat mengantisipasi tantangan dan kemungkinan negatif pada penggunaan IT dalam pemilu 3. Mahasiswa memiliki pengetahuan dasar tentang jenis-jenis keamanan IT yang dapat dipakai sebagai solusi dampak negatif penggunaan IT pada pemilu.
Sistem keamanan teknologi informasi dalam pemilu merupakan salah satu tantangan dalam dunia protokol kriptografi.Aplikasi teknologi dalam pemilu secara langsung berpengaruh kepada tingkat keamanan yang harus diterapkan. Selain protokol keamanan standar yang diterapkan pada pemilu manual, teknologi yang terlibat dalam proses pemilu membutuhkan protokol keamanan tambahan. Bagian ini akan membahas mengenai upaya menentukan sebuah protokol keamanan yang dapat menjamin terlaksananya proses pemilu dengan lancar dan berintegritas. Secara umum, tujuan dari skenario diterapkannya e-voting dalam proses pemilu, seperti dinyatakan oleh Damgard, Groth dan Salomonsen adalah: a) Privacy: Only the final result is made public, no additional information about votes will leak; b) Robustness: The result reflects all submitted and well-formed ballots correctly, even if some voters and/or possibly some of the entities running the election cheat; c) Universal verifiability: After the election, the result can be verified by anyone. Untuk menjamin kerahasiaan, soliditas dan verifiabilitas dari hasil pemilu, maka sistem enkripsi keamanan yang tepat harus diterapkan. Tantangan Keamanan
Aplikasi teknologi informasi dalam proses pemilihan umum pada dasarnya mengunggah pemilu ke dalam dunia online. Implikasi hal tersebut adalah pemilu menghadapi ancaman ekstra: selain ancaman keamanan berupa kemungkinan kecurangan dan manipulasi hasil pemilu yang terdapat di sistem pemilu manual, e-voting juga menjadikan pemilu rentan terhadap serangan di dunia maya. Hal ini dinyatakan oleh: A major concern is security: without proper protection and effective control procedures, malicious actors may instantiate a range of threat actions, with effects varying from a “denial of service” (e.g. stopping the election in a polling station by sabotaging some e-Voting machines) up to alteration of the results (e.g. by successfully changing votes in some key precincts).37 Mesin voting dapat di-hack, dan kebocoran kunci kriptografi keamanan akan berakibat kepada manipulasi pemungutan suara. Disaat yang sama, ketika pemilu bertahan dalam bentuk yang sepenuhnya manual, kelebihan yang dapat dikontribusikan oleh teknologi informasi tidak dapat dinikmati. Ancaman keamanan akan semakin besar jika e-voting dilaksanakan melalui internet. Kekhawatiran mengenai aspek keamanan dalam pemilu dapat dipahami melalui contoh implementasi.Pertama, kemungkinan bahwa komunikasi dan transmisi antar piranti dalam sistem teknologi pemilu dapat diserang, yang dapat menggagalkan sistem.Kedua, kemungkinan serangan atas data mengenai pemilih maupun hasil pemilu dengan tujuan merubah database maupun hasil pemilu. Ketiga, serangan yang diarahkan kepada pemilih melalui piranti yang digunakan dalam e-voting. Kekhawatiran terhadap piranti milik pemilih terakhir khususnya sangatlah rentan, karena sebagian besar masyarakat tidak memiliki kesiapan dalam mengantisipasi serangan ini.Beberapa kemungkinan serangan yang terjadi adalah modifikasi pada konektivitas antara piranti milik pemilih dengan server pemilu, sedemikian rupa sehingga suara yang terkirim dari piranti milik pemilih berbeda dengan suara yang masuk ke dalam server. Pihak penyerang berusaha untuk memanipulasi input dan output di kedua ujung koneksi, sehingga tidak ada satupun, baik pemilih maupun penyelenggara pemilu menyadari bahwa serangan telah terjadi. Perlu diingat bahwa untuk memenangkan pemilu, seorang kandidat tidak perlu menang dengan selisih banyak.Terutama jika konteks pemilu disini adalah pemilu legislatif yang diikuti oleh banyak partai dan kandidat, seperti di Indonesia. Yang diperlukan untuk menjamin kemenangan seorang kandidat adalah kontrol supaya suara terdistribusi secara ‘normal’, dengan sedikit kemenangan pada dirinya. Dengan logika hacking kepada piranti milik pemilih, maka hal ini tidak akan terlalu susah dilakukan. Protokol Keamanan e-voting Menanggapi tantangan terhadap pelaksanaan e-voting diatas, secara mendasar terdapat beberapa pilihan sistem keamanan yang bisa diusahakan untuk diimplementasikan pada proses pemilu, tidak hanya pada tahapan pemungutan suara, tetapi secara keseluruhan: 37
Weldemariam, Villafiorita, dan Andrea Mattioli (2007)
1. Kriptografi: Homomorphic encryption, digital signatures, blind signatures, Trusted Third Parties, digital certificates, dan sebagainya 2. Piranti lunak anti virus 3. Firewall; atau kode yang melindungi sistem terhadap serangan dari pihak eksternal 4. Teknologi biometrik
BAB XI Mempersiapkan sebuah bangsa untuk E-Voting
Deskripsi Singkat: bahasan pada sesei ini adalah sebagai penutup dari kesluruhan bahasan mata kuliah, sekaligus menyimpulkan topik yang telah dibahas sebelumnya. Beberapa aspek yang paling signifikan akan digaris bawahi dan diberi penekanan untuk persiapan pelaksanaan pemilu yang ideal. Manfaat: bahasan ini diperlukan untuk membuat konklusi dari seluruh topik dari mata kuliah ini dan memahami mata kuliah secara keseluruhan, serta memperhatikan aspek-aspek yang dibutuhkan untuk mengantisipasi potensi e-voting pada suatu bangsa di masa depan. Relevansi: topik ini penting bagi mahasiswa untuk mempersiapkan potensi e-voting di indonesia, dengan pengetahuan yang cukup dan mendasar, diharapkan dapat menjadi modal awal terbangunnya sistem e-voting dengan teknologi informasi di masa depan. Learning Outcomes: 1. mahasiswa mampu memahami bahasan mata kuliah secara keseluruhan 2. mahasiswa dapat mengantisipasi potensi e-voting di masa depan. Pemilu sebagai proses penyelenggaraan demokrasi tertinggi dalam pemerintahan haruslah dapat menjamin bahwa hak warga negara untuk menyalurkan aspirasi mereka telah terfasilitasi dengan baik. Sebagai sebuah proses maupun istitusi, pemilu dihadapkan dengan
satu set standar yang ketat, antara lain keamanan, keterlindungan data, kerahasiaan, reliabilitas, akurasi, efisiensi, integritas dan kesetaraan. Public confidence terhadap pemilu wajib dicapai, sebagai syarat agar keputusan pemilu dapat diterima dengan baik. Bagian ini pada dasarnya akan menjadi penutup, sekaligus menyimpulkan topik yang telah dibahas sebelumnya. Beberapa aspek yang paling signifikan akan digaris bawahi dan diberi penekanan untuk persiapan pelaksanaan pemilu yang ideal. Antisipasi dan penanggulangan digital divide Hal pertama, dan salah satu tugas terberat bagi negara adalah mengurangi tingkat digital divide, khususnya democratic divide di masyarakat. Sampai saat ini, penetrasi teknologi informasi di Indonesia masih terhalang oleh situasi digital divide yang teramat ekstrim, dimana hanya sebagian kecil masyarakat memiliki akses dan terliterasi dalam konteks teknologi informasi, sementara mayoritas bahkan belum memiliki akses terhadap informasi dalam bentuk konvensional. Pada konteks Indonesia, agak naif jika kita berpendapat bahwa masyarakat siap untuk pemilu yang sepenuhnya terelektronisasi.Dengan kesenjangan yang sedemikian besar, fokus usaha untuk meningkatkan literasi digital lebih perlu untuk diprioritaskan demi peningkatan kesejahteraan.Akan tetapi, peluang dilaksanakannya e-voting dalam pemilu bukannya tidak mungkin. Melalui proses sosialisasi yang intensif serta kebijakan yang mendukung upaya penanggulangan digital divide, peluang terlaksananya e-votingakan semakin besar. Tugas ini tidak harus menjadi beban negara sepenuhnya.Pelibatan masyarakat, opinion leader, serta NGO dapat menjadi langkah strategis dalam penanggulangan digital divide. Melalui kampanye sosial, aktivisme, serta gerakan dalam tataran akar rumput, penetrasi serta literasi teknologi informasi akan dapat dicapai. Bibit positif ini sudah mulai ditanam di berbagai komunitas di seluruh Indonesia.Tugas pemerintah adalah mengamplifikasi serta mendukung tumbuhnya gerakan ini ke dalah skala yang lebih besar, dengan dukungan infrastruktur yang lebih memadai. Selain mindset serta pengetahuan, perlu juga dipikirkan mengenai lokasi geografis, kemampuan akses (dalam hal ini oleh kaum difabel). Data yang didapatkan dari studi mengenai kondisi digital divide selanjutnya akan dapat digunakan sebagai basis pemikiran untuk tahapan selanjutnya. Sistem dan Regulasi Hal kedua yang perlu disiapkan oleh Negara, melalui penyelenggara pemilu adalah sistem yang sesuai dengan karakter sosio-kultural dan ekonomi masyarakatnya. Sistem yang didukung dengan regulasi akan menentukan arahan pemilu, serta memberikan kerangka kerja kepada seluruh pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pemilu. Dengan menggunakan analisis mengenai situasi literasi teknologi informasi, penyelenggara pemilu akan dapat menyusun sebuah pemilu yang menfasilitasi hak rakyat, sesuai dengan kemampuan dan aksesibilitas. Infrastruktur, Logistik dan Keamanan
Setelah sistem dan regulasi penyelenggara pemilu dapat mulai menyusun rencana strategis terkait dengan teknis pelaksanaan pemilu elektronik. Dengan mempertimbangkan situasi sosio-kultural-ekonomi masyarakat, serta mengacu pada regulasi dan sistem yang telah ditetapkan, pihak penyelenggara pemilu akan lebih mudah menentukan infrastruktur yang diperlukan untuk pemilu elektronik. Disamping infrastruktur, masalah keamanan juga menjadi satu aspek yang harus diperhatikan. Pilihan atas teknologi yang akan digunakan dalam pemilu menentukan protokol keamanan yang harus diterapkan dalam mengawal pelaksanaan proses pemilu.
PUSTAKA Alvarez, R Michael & Thad E. Hall. (2004). POINT, CLICK, AND VOTE: The Future of Internet Voting , Washington, D.C, BROOKINGS INSTITUTION PRESS Bentivegna, Sara (2006) Rethinking Politics in the World of ICTs, European Journal of Communication Caltech/MIT Voting Technology Project(2004) Insuring the Integrity of the Electoral Process: Recommendations for Consistent and Complete Reporting of Election Data. California Institute of Technology. Castells, Manuel. (1999) Information Technology, Globalization and Social Development Manuel Castells. UNRISD Discussion Paper No. 114, September Castells, Manuel (2010)The Rise of the Network Society; With a New Preface Volume I. The Information Age: Economy, Society, and Culture (InformationAge Series), Wiley-Blackwell Publishing. Chadwick, Andrew & Philip N. Howard, (2008) Routledge Handbook of Internet PoliticsRoutledge, New York, Taylor & Francis e-Library Chadwick, Andrew & Philip N. Howard, (2008) Routledge Handbook of Internet PoliticsRoutledge ;Parties, election campaigning, and the internet: Toward a comparative institutional approach by Nick Anstead and Andrew Chadwick, New York, Taylor & Francis e-Library Davies, Simon G, (2006), Touching Big Brother: How Biometric Technology Will Fuse Flesh and Machine.information Technology & People, Vol. 7.. Gibson, Rachel K & Ian McAllister (2011), Do Online Election Campaigns Win Votes? The 2007 Australian “YouTube” Election, Political Communication, Routledge, taylor& Francis Group Jones, Douglas W. (auth.) & Dimitris A. Gritzalis (eds.) (2003) Secure Electronic Voting: Machine-Assisted Election Auditing. Springer: US Kiayias, Aggelo & Helger Lipmaa (eds) (2007) E-Voting and Identity: First International Conference, VOTE-ID. Revised Selected Papers, Bochum:Springer. Liden, Gunnar & Anders Avdic (2003), Democracy Functions of Information Technology, in the 36th Hawaii International Conference on System Sciences.
Norris, Pippa, (2001) Digital Divide, Civic Engagement, Information Poverty, and the Internet, Worldwide-Cambridge University Press Norbert Kersting, Harald Baldersheim (2005)Electronic Voting and Democracy A Comparative Analysis. Hampshire: Palgrave McMillan Panagopoulos, Costa (2009) The Transformation of Election Campaign Communications, Politicking Online Qadah, Ghassan Z & Rani Taha (2007) Electronic voting systems: Requirements, design, and implementation. Elsevier Servon, Lisa. J, (2002) Bridging the Digital Divide Technology, Community, and Public Policy, Wiley-Blackwell Publishing. Volkamer, Melanie (2009) Evaluation of Electronic Voting Requirements and Evaluation Procedures to Support Responsible Election Authorities, Heidelberg: Springer. Wall, Alan (2006), Electoral Management Design, Stockholm, International IDEA Publishing. Wolf, Peter(2010). Introducing Electronic Voting: Essential Considerations. Policy Paper. Stockholm: IDEA.