DRAF NASKAH AKADEMIK REVISI UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia
Departemen Dalam Negeri Jl. Medan Merdeka Utara No. 7 Jakarta, 10110 - Indonesia
ISBN 978-602-96001-0-0
DRAF NASKAH AKADEMIS REVISI UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
DESEMBER 2009
TIM PENULIS NASKAH AKADEMIK Ketua Tim: Anggota:
Dr. I Made Suwandi, MSoc. Sc. Prof. Dr. Agus Dwiyanto Prof. Dr. Benyamin Hoessein, S.H. Cecep Effendi, Ph.D Prof. Dr. E. Koswara Kertapradja Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag. Rer. Publ Dra. Erita Nurhalim, MA Prof. Mukhlis Hamdi, MPA, Ph.D Prof. Dr. Pratikno Dr. Roy Salomo, M.Scoc.Sc. Prof. Dr. Sadu Wasistiono, MS Siti Zuhro, Ph.D Prof. Dr. Sofian Effendi Dr. Ir. Son Diamar, MSc. Drs. Suhirman, S.H., M.T. Ir. Togap Sumangunsong, M.APP.Sc. Prof. Dr. Yeremias T. Keban, SU, MURP
Editor:
Prof. Dr. Agus Dwiyanto
DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
Kata Pengantar Menyadari akan berbagai kelemahan dan kekurangan yang ada pada UU No. 32 Tahun 2004, Departemen Dalam Negeri telah membentuk Tim Revisi UU No. 32 Tahun 2004 melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri N0.118.05-055 Tahun 2007. Dalam rangka memetakan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004, Tim Revisi telah melakukan serangkaian lokakarya dan kajian dengan melibatkan Tim Pakar, para praktisi, aktivis dan pemerhati pemerintahan daerah, serta pemangku kepentingan lainnya di berbagai daerah. Lokakarya tersebut dilakukan untuk mencari masukan dari berbagai pemangku kepentingan tentang masalah-masalah yang terjadi di daerah terkait dengan pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004. Hasil dari lokakarya telah digunakan untuk memetakan permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang muncul sebagai akibat dari pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004. Atas dasar pemetaan terhadap masalah tersebut, Tim Revisi berhasil mengidentifikasi masalah-masalah strategis yang jika tidak segera dicarikan solusinya akan dapat mengganggu efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan memperlambat tercapainya perbaikan kesejahteraan masyarakat di daerah. Untuk memperjelas masalah dalam pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 dan mencari solusi yang tepat terhadap berbagai masalah tersebut, masing-masing anggota Tim Revisi kemudian menulis draf naskah akademik sesuai dengan kompetensinya masing-masing. Melalui serangkaian diskusi internal di kalangan anggota Tim Revisi, unsur-unsur Departemen Dalam Negeri, dan konsultasi dengan berbagai pihak, maka draf Naskah Akademik dari revisi UU N0.32 Tahun 2004 akhirnya dapat diselesaikan. Mengingat pentingnya masyarakat luas memahami secara tepat dasar pemikiran revisi UU No. 32 Tahun 2004, permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan UU N0.32 Tahun 2004, dan tindakan yang seharusnya diambil untuk memperbaiki efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas dari penyelenggaraan pemerintahan daerah maka draf Naskah Akademik perlu disebarluaskan kepada masyarakat luas dan pemangku kepentingan untuk memperoleh masukan. Dengan publikasi draf Naskah Akademik ini maka diharapkan masyarakat dan pemangku kepentingan dapat menyimak dengan mudah berbagai aspek dari UU No. 32 Tahun 2004 yang perlu direvisi, menyampaikan pandangannya tentang berbagai permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004, dan memberi masukan dan komentar untuk perbaikan dari Naskah Akademik ini. Departemen Dalam Negeri berharap proses revisi UU No. 32 Tahun 2004 ini menjadi sebuah proses yang edukatif dan partisipatif dimana para pemangku kepentingan dapat memahami dengan mudah berbagai pemikiran yang mendasari revisi UU tersebut, mengetahui dengan tepat permasalahan yang selama ini muncul dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan menyampaikan gagasan dan pemikirannya untuk perbaikan UU No. 32 Tahun 2004. Melalui proses revisi yang partisipatif ini kami berharap UU Pemerintahan Daerah hasil revisi ini
.i.
benar-benar sesuai dengan harapan para pemangku kepentingan dan masyarakat luas sehingga mereka semua ikut merasa memiliki dan memberi dukungan terhadap pelaksanaan UU pemerintahan daerah yang baru nantinya. Dengan demikian, UU Pemerintahan Daerah itu nantinya dapat mendorong daerah untuk meningkatkan kinerjanya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kepada Tim Revisi dan Tim Pakar yang telah bekerja dengan keras mendokumentasikan permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 dan mengembangkan pemikiran untuk mencari solusi terhadap berbagai masalah tersebut dan menuangkannya dalam Naskah Akademik ini saya menyampaikan banyak terima kasih. Kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam serangkaian lokakarya, FGD, dan konsultasi yang dilakukan dalam rangka penulisan Naskah Akademik kami mengucapkan banyak terima kasih.
.ii.
Daftar Isi
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
i iii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Maksud dan Tujuan C. Metode D. Struktur Penulisan
1 1 3 4 5
BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL: KEBIJAKAN DESENTRALISASI DALAM NEGARA KESATUAN
7
BAB III
MATERI MUATAN DALAM UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH 1. Pembentukan dan Penataan Daerah 2. Pembagian Urusan Pemerintahan dan Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah 3. Penyelenggara Pemerintahan Daerah 4. Aparatur Daerah 5. Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah 6. Perencanaan Pembangunan Daerah 7. Keuangan Daerah 8. Kawasan Perkotaan 9. Kawasan Khusus 10. Pelayanan Publik 11. Partisipasi Masyarakat 12. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) 13. Inovasi Daerah
15
DASAR PEMIKIRAN, PERMASALAHAN, ANALISIS DAN USUL PENYEMPURNAAN IV.1. Pembentukan dan Penataan Daerah IV.2. Pembagian Urusan dan Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah IV.2.a. Pembagian Urusan Pemerintahan, Provinsi dan Kabupaten/Kota IV.2.b. Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah dan Sebagai Kepala Daerah IV.2.c. Pembinaan dan Pengawasan IV.3. Penyelenggara Pemerintahan Daerah IV.3.a. Hubungan Kepala Daerah dan DPRD
23
BAB IV
iii
15 15 16 17 17 17 18 18 18 19 19 19 20
23 27 28 32 37 40 40
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
IV.3.b. IV.3.c. IV.4. IV.5. IV.6. IV.7. IV.8. IV.9. IV.10. IV.11. IV.12. IV.13. IV.14. BAB V
Organisasi Perangkat Daerah Kecamatan Aparatur Daerah Peraturan Daerah Perencanaan Pembangunan Daerah Keuangan dan Aset Daerah Pelayanan Publik Partisipasi Masyarakat Kawasan Perkotaan Desentralisasi Fungsional (Kawasan Khusus) Kerjasama Antar Daerah Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) Inovasi Daerah
PENUTUP
43 47 50 54 58 61 64 67 71 74 77 80 83 87
Daftar Pustaka
89
iv
BAB I Pendahuluan
BAB I Pendahuluan A.
Latar Belakang
Untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat dan memperkuat integrasi nasional, para pendiri bangsa sejak awal mencita-citakan pembangunan Indonesia sebagai negara kesatuan yang desentralistis dan demokratis. Para pendiri bangsa menyadari bahwa variabilitas yang tinggi antar daerah dalam berbagai aspek tidak memungkinkan Indonesia menjadi negara yang sentralistis. Desentralisasi menjadi pilihan selain karena keinginan mewujudkan pemerintah yang responsif terhadap dinamika yang terjadi di daerah, juga karena pemerintahan yang desentralistis lebih kondusif bagi percepatan pengembangan demokrasi di Indonesia. Dengan melimpahkan sebagian urusan pemerintahan ke daerah, rakyat di daerah akan menjadi semakin mudah terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Rakyat pun akan lebih mudah mengawasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Tetapi, dalam perjalanan sejarah pemerintahan di Indonesia, pelaksanaan desentralisasi mengalami pasang surut sesuai dinamika politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi di masa itu. Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia mengalami perkembangan yang berarti sejak penerapan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang menganut otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab. Undang-undang ini membatasi urusan pemerintah dan provinsi, serta mengalihkan urusan sisanya kepada kabupaten/kota. Pembagian urusan ini mengikuti prinsip general competence, yang mana kabupaten/kota memiliki kewenangan luas yang mencakup semua urusan yang tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai urusan pemerintah dan provinsi. Undang-undang ini juga menjadikan DPRD sebagai lembaga parlemen daerah dengan kewenangan yang luas, termasuk melakukan pemilihan dan pemakzulan kepala daerah. Pelaksanaan desentralisasi yang dilakukan secara radikal dengan mengalihkan urusan yang seluas-luasnya ke daerah ternyata menimbulkan beberapa masalah, seperti ketidakjelasan pembagian urusan antar susunan pemerintahan, serta hubungan interelasi dan interdependensi antar daerah dan susunan pemerintah. Penempatan DPRD sebagai parlemen daerah dengan kewenangan untuk memilih dan memakzulkan kepala daerah menghasilkan destabilisasi pemerintahan daerah. Konflik yang terjadi antar kepala daerah dan DPRD cenderung meluas di banyak daerah dan mengganggu kelancaran jalannya pemerintahan daerah. Semua persoalan tersebut mendorong pemerintah untuk merevisi UU No. 22 Tahun 1999 supaya tertata kembali pelaksanaan desentralisasi sehingga percepatan pembangunan daerah dapat terwujud. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mencoba memperjelas pembagian urusan dengan mengatur urusan wajib dan urusan pilihan bagi provinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah berharap dengan memberi urusan pilihan kepada
1
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
daerah, mereka dapat mengembangkan kegiatan yang dapat menjadi keunggulan daerah berdasarkan struktur ekonomi dan sumberdaya yang tersedia di daerah. Ketiadaan daftar urusan wajib dan pilihan dalam UU No. 22 Tahun 1999 telah melahirkan kebingungan para aktor dan pemangku kepentingan, di pusat dan di daerah, mengenai pembagian urusan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Banyak urusan yang penting bagi upaya peningkatan kesejahteraan rakyat tidak ditangani dengan baik karena tidak diatur dengan jelas dalam undang-undang tersebut. UU No. 32 Tahun 2004 juga mengubah kedudukan DPRD dan pola hubungan antara DPRD dengan kepala daerah. Kepala daerah tidak lagi dipilih oleh DPRD, melainkan dipilih langsung oleh rakyat sebagaimana yang terjadi pada para anggota DPRD. Oleh karena itu, kepala daerah memiliki basis legitimasi yang kuat dan tidak lagi tergantung pada DPRD. Dalam undang-undang ini, kedudukan DPRD dikembalikan sebagai sebagai bagian dari unsur penyelenggara pemerintahan daerah. DPRD yang sebelumnya memiliki kewenangan untuk melakukan pemakzulan terhadap kepala daerah kini memiliki kedudukan yang setara dan menjadi mitra kepala daerah. Meskipun UU No. 32 Tahun 2004 berhasil menyelesaikan beberapa masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, ternyata dalam pelaksanaannya muncul beberapa masalah baru yang perlu memperoleh perhatian pemerintah dan semua pemangku kepentingan. Ketidakjelasan pengaturan dalam UU No. 32 Tahun 2004 sering menimbulkan intepretasi yang berbeda dari berbagai kelompok kepentingan dan menjadi salah satu sumber konflik antar susunan pemerintahan dan aparatnya. Misalnya, dalam pembagian urusan, ketidakjelasan pembagian urusan antar susunan pemerintahan masih merupakan masalah yang secara persisten dihadapi Indonesia dalam pelaksanaan desentralisasi. Konflik dan tumpang tindih antar susunan pemerintahan dan antar daerah tetap terjadi dan memerlukan pengaturan yang lebih jelas serta efektif. Pengaturan juga diperlukan agar daerah dapat memanfaatkan urusan pilihan untuk memajukan daerahnya dan meningkatkan kemakmuran warganya. Pengaturan baru perlu dibuat untuk mengendalikan pembentukan daerah otonom baru (DOB), yang selama ini cenderung masif dan terbukti kurang mampu memperbaiki kinerja, baik daerah baru maupun daerah induknya. Besarnya insentif bagi elit politik dan birokrasi serta para pemangku kepentingan telah memicu keinginan untuk membentuk daerah otonom baru. Akibatnya, biaya pemerintahan cenderung meningkat, sementara kinerja pembangunan daerah dan pelayanan publik tidak mengalami perbaikan yang berarti. Bahkan, pembentukan DOB cenderung menurunkan kinerja daerah, baik DOB itu sendiri maupun daerah induknya. Pembentukan DOB juga terbukti menciptakan konflik horizontal di daerah terkait karena terjadi perebutan penguasaan sumber daya alam dan lahan pascapembentukan DOB. Disamping itu, dinamika pelaksanaan desentralisasi selama dekade terakhir ini juga menunjukkan perlu adanya penambahan pengaturan baru tentang pelayanan publik, partisipasi warga, dsb. Pengaturan tentang pelayanan publik sangat penting dalam undangundang tentang pemerintahan daerah karena tanpa pengaturan ini, daerah sering kurang peduli dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Padahal, salah satu pertimbangan utama dari pelaksanaan desentralisasi adalah supaya daerah dapat menyelenggarakan pelayanan publik yang berkualitas, sesuai dengan kebutuhan warganya, dan mudah dijangkau oleh warga. Dengan demikian, pengaturan tentang pelayanan publik perlu dimasukkan ke dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah agar daerah memiliki pedoman dan standar yang jelas dalam menyelenggarakan pelayanan yang berkualitas.
2
BAB I Pendahuluan
Pengaturan yang sama juga dilakukan mengenai partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat menjadi salah satu kunci sukses dalam penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah. Salah satu tujuan dari desentralisasi adalah agar masyarakat dan pemangku kepentingan dapat lebih mudah berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan di daerah. Namun, karena partisipasi masyarakat tidak diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004, maka banyak daerah yang masih mengabaikan perlunya mendorong warga mereka untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan di daerah. Daerah jarang sekali mengakui bahwasannya partisipasi merupakan hak dari setiap warga yang harus dilindungi oleh negara. Penambahan pengaturan tentang partisipasi warga mencantumkan hak-hak warga untuk terlibat dalam proses kebijakan dan kewajiban daerah untuk memberi ruang kepada warga untuk terlibat dalam proses kebijakan. Pengaturan ini sangat penting karena dapat menjamin penyelenggaraan pemerintahan daerah yang benar-benar mengabdi kepada kepentingan warga. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan di atas, maka revisi UU No. 32 Tahun 2004 adalah kebutuhan. Tidak hanya untuk melakukan perubahan terhadap pengaturan yang ada, supaya lebih mampu menjawab berbagai masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, revisi ini juga berupaya untuk melengkapi berbagai kekurangan yang ada di UU No. 32 Tahun 2004. Dengan adanya revisi ini, diharapkan penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia benar-benar dapat mendorong kemajuan daerah dan meningkatkan kemakmuran bagi warga daerah. Dengan demikian, desentralisasi dapat menjadi perangkat kebijakan untuk memperkuat integrasi nasional dan memperkokoh keberadaan NKRI. B.
Maksud dan Tujuan
Revisi UU No. 32 Tahun 2004 bertujuan memperbaiki berbagai kelemahan dari undangundang ini terkait dengan konsep kebijakan desentralisasi dalam negara kesatuan, ketidakjelasan pengaturan dalam berbagai aspek penyelenggaraan pemerintah daerah, dan hubungan antara pemerintah dengan warga dan kelompok madani. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia belum sepenuhnya menjamin terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang desentralistis dan belum mampu menjamin adanya hubungan yang harmonis dan sinergis antar susunan pemerintahan. Dalam pembagian urusan misalnya, konsep negara kesatuan yang desentralistis belum sepenuhnya tergambar dalam pengaturan dan norma-norma yang ada, sehingga sering kali masih dijumpai ketidakharmonisan hubungan antar Kementrian dan Lembaga Non-Kementrian dengan daerah, antar provinsi dan kabupaten/kota, dan antar daerah. Ketidakjelasan pengaturan sering membuat kerjasama antara pemerintah, provinsi, dan daerah dan antar daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah belum dapat dilakukan secara optimal. Konsekuensinya, penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam konstruksi UU No. 32 Tahun 2004 belum mampu mempercepat perbaikan kesejahteraan rakyat di daerah. Disamping memperjelas konsep desentralisasi dalam kerangka NKRI, revisi juga dilakukan untuk memperjelas berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah yang selama ini belum diatur dengan jelas dalam UU No. 32 Tahun 2004. Misalnya, dalam pembentukan daerah otonom baru. Pengaturan yang ada selama ini dinilai belum jelas dan memadai sehingga pembentukan daerah otonom baru cenderung dilakukan secara masif dan lebih didorong oleh pertimbangan kepentingan elit dan sempit dari berbagai kelompok kepentingan yang ada di daerah. Berbagai pengaturan tentang kawasan perkotaan, kawasan khusus, daerah perbatasan, pengelolaan aset dan sumber daya di daerah selama
3
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
ini dinilai belum jelas sehingga cenderung tidak efektif dan tidak mampu menjawab dinamika daerah yang sangat cepat dan kompleks. Revisi juga dilakukan dengan menambahkan beberapa pengaturan baru yang selama ini belum tercakup dalam UU No. 32 Tahun 2004, tetapi sangat penting untuk mempercepat keberhasilan desentralisasi, mewujudkan pemerintahan daerah yang bersih, demokratis, dan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Beberapa pengaturan ini berkaitan dengan hubungan antara pemerintah daerah dan warganya, yaitu pengaturan tentang hak-hak warga untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan di daerah, kewajiban daerah untuk menjamin hak-hak warga berpartisipasi, dan hak-hak warga menyampaikan keluhan serta mekanisme penyelesaian sengketa antara warga, serta penyelenggaraan pelayanan publik. Hal-hal tersebut sangat strategis dalam menjamin perwujudan pemerintahan daerah yang bersih, responsif, dan akuntabel. Revisi UU No. 32 Tahun 2004 diharapkan dapat memberi kesempatan untuk membangun kerangka hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menyeluruh, visioner, dan efektif merespon berbagai masalah yang sekarang dan mungkin terjadi di masa mendatang di dalam penyelenggaraan pemerintah daerah di Indonesia. C.
Metode
Revisi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dirancang sedemikian rupa agar bersifat berbasis pada masalah (problem-based), partisipatif dan berbasis pada pemikiran yang secara akademik dan politik dapat diterima. Sifat revisi yang berbasis pada masalah dikarenakan inisiatif dan dasar untuk melakukan revisi adalah masalah yang dihadapi baik oleh pemerintah, daerah, para penyelenggara pemerintahan daerah, dan para pemangku kepentingan lainya dalam melakukan penyelenggarakan pemerintahan daerah. Setelah dikaji secara akademik, berbagai masalah yang dihadapi oleh penyelenggara pemerintahan daerah dan pemangku kepentingan ternyata bersumber dari ketidakjelasan pengaturan UU No. 32 Tahun 2004 dan ketidakharmonisan antara UU No. 32 Tahun 2004 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Berbagai masalah yang dihadapi oleh banyak pemangku kepentingan ini menjadi dasar dan mendorong upaya untuk merevisi UU No. 32 Tahun 2004. Dorongan untuk melakukan revisi juga muncul karena adanya masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang mekanisme pengelolaannya belum diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004. Misalnya, mengenai penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah daerah. Pelayanan publik adalah hal yang sangat strategis dan menjadi isu yang sangat penting karena terkait langsung dengan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, perlu revisi UU No. 32 Tahun 2004 untuk mengakomodasi kebutuhan akan pengaturan yang dapat menjawab tantangan yang dihadapi oleh pemerintahan daerah saat ini dan di masa mendatang. Harapannya, undang-undang yang dihasilkan nanti benar-benar mampu merespons masalah yang sekarang dan tantangan di masa depan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Metode partisipatoris digunakan selama proses revisi UU No. 32 Tahun 2004. Dalam pembuatan agenda revisi, yaitu menentukan isu-isu apa saja yang perlu direvisi, tim revisi melakukan serangkaian focused group discussion (FGD) dengan para pemangku kepentingan di beberapa daerah, di antaranya adalah Mataram, Nusa Tenggara Barat dan Semarang, Jawa Tengah. Dengan melibatkan para pemangku kepentingan di beberapa daerah, diharapkan agenda revisi dapat mencakup masalah dan kebutuhan yang dirasakan oleh banyak pihak yang mewakili kepentingan yang berbeda-beda.
4
BAB I Pendahuluan
Proses revisi juga dilakukan secara terbuka dan partisipatif, yang mana tim revisi yang terdiri dari pakar berbagai bidang keilmuan yang relevan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah bersama-sama dengan tim dari berbagai komponen di Departemen Dalam Negeri membahas berbagai masalah yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan merumuskan norma yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dalam membahas berbagai isu, perdebatan yang intensif dilakukan bukan hanya dengan tim pakar, pejabat dari berbagai unsur dari Departemen Dalam Negeri, tetapi juga berbagai pihak di luar tim, seperti: pakar dari universitas dan lembaga lainnya, unsur-unsur dari kementrian dan lembaga pemerintah lainnya, wakil dari Asosiasi, perwakilan dari berbagai LSM, dan pemangku kepentingan lainnya. Dengan melibatkan proses yang terbuka dan partisipatif, diharapkan pemikiran yang berkembang dalam revisi menggambarkan pemikiran yang terkini, relevan, dan efektif untuk menjawab masalah dan tantangan yang dihadapi dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Departemen Dalam Negeri bersama-sama dengan tim pakar nantinya akan melakukan konsultasi publik yang luas dengan para pemangku kepentingan di berbagai daerah di Indonesia. Konsultasi publik untuk membahas pokok pikiran yang ada dalam revisi UU No. 32 Tahun 2004 akan dilaksanakan di beberapa daerah. Dengan konsultasi publik yang luas dan berbagai pihak serta pemangku kepentingan yang terlibat, diharapkan dapat mendorong terjadi perdebatan terbuka mengenai berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan yang selama ini menjadi perhatian masyarakat luas. Departemen Dalam Negeri akan menjadikan masukan dan pemikiran yang berkembang dalam konsultasi publik ini menjadi informasi dan bahan yang penting, sehingga revisi undang-undang pemerintahan daerah benar-benar menjadi milik masyarakat dan semua pemangku kepentingan. Revisi juga dilakukan dengan mengkombinasikan pendekatan keilmuan dan politik. Pendekatan keilmuan dilakukan untuk mencari solusi yang tepat terhadap berbagai masalah yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan melibatkan para pakar dari berbagai universitas dan lembaga penelitian yang berbeda, revisi ini diharapkan dapat menghasilkan pengaturan baru yang kuat secara akademis dan fisibel secara politik. Pengaturan baru tentunya harus memiliki landasan konseptual yang kuat, didukung oleh hasil riset dan pengalaman internasional yang memadai. Untuk itu, para pakar diminta melakukan kajian tentang berbagai isu yang dianggap penting dan menuliskan hasilnya sehingga dapat menjadi bahan untuk pembuatan naskah akademik dan masukan yang penting dalam revisi UU No. 32 Tahun 2004. Tetapi, pengaturan yang baik secara akademis juga harus dapat diimplementasikan dengan mudah, sederhana, dan efektif. Karena itu, pemikiran dari para pakar dan anggota tim revisi dikonsultasikan dengan para pihak yang berkepentingan supaya pengaturan yang diusulkan bukan hanya tepat secara konseptual, tetapi juga fisibel secara politik, serta dapat diterima oleh berbagai pemangku kepentingan. D.
Struktur Penulisan
Naskah akademik ini terdiri dari lima bab. Bab I menjelaskan tentang pendahuluan yang mencakup latar belakang, tujuan dari revisi, metode, dan struktur penulisan. Bab II berisi tentang kerangka konseptual yang menjelaskan konsep desentralisasi dan konstruksi desentralisasi dalam negara kesatuan. Konsep yang jelas tentang desentralisasi dalam negara kesatuan diharapkan dapat membantu para pembuat undang-undang dan pemangku kepentingan dalam menentukan arah dari revisi UU No. 32 Tahun 2004. Bab III memuat materi dari revisi UU No. 32 Tahun 2004. Semua masalah strategis yang memerlukan perubahan pengaturan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah
5
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya dijelaskan dalam bab ini. Disamping memuat masalah yang menuntut perubahan, bab ini juga mengidentifikasi masalah yang memerlukan pengaturan baru dalam undang-undang hasil revisi, seperti partisipasi warga, pelayanan publik, dan inovasi daerah. Bab IV menjelaskan tentang Dasar Pemikiran dari setiap topik dan isu yang dibahas dalam revisi, permasalahan yang berkembang dalam topik tersebut, analisis tentang penyebab munculnya masalah, dan Usul Penyempurnaan. Bab ini diharapkan dapat membantu para pihak memahami nilai-nilai dan tujuan yang ingin diwujudkan dari setiap isu kebijakan yang muncul, permasalahan yang berkembang dalam setiap isu, analisis tentang penyebab munculnya masalah, dan Usul Penyempurnaan kebijakan untuk menjawab masalah yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Bab V Penutup
6
BAB II Kerangka Konseptual: Kebijakan Desentralisasi dalam Negara Kesatuan
BAB II Kerangka Konseptual: Kebijakan Desentralisasi dalam Negara Kesatuan Kebijakan pemerintah untuk melakukan desentralisasi pemerintahan di Indonesia telah lama dilakukan dan mengalami pasang-surut sejak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 ditetapkan oleh pemerintah. Para pendiri bangsa dari awal telah memutuskan perlunya desentralisasi demi mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sejak itu pula, pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan, antara lain dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, untuk mencari format kebijakan desentralisasi yang mampu mempercepat kemajuan daerah, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan sekaligus memperkuat integrasi nasional. Kendati berbagai upaya telah dilakukan untuk mengantisipasi dinamika politik, sosial, dan ekonomi yang berpengaruh terhadap sistem pemerintahan daerah, UU No. 32 Tahun 2004 sebagai payung kebijakan desentralisasi masih mengandung banyak kekurangan dan kelemahan, yang jika tidak segera diperbaiki dapat mengganggu keberhasilan desentralisasi itu sendiri. Dinamika pelaksanaan desentralisasi pemerintahan menimbulkan beberapa pertanyaan penting tentang bentuk desentralisasi yang seharusnya dikembangkan di Indonesia. Apakah desentralisasi di Indonesia sebaiknya terbatas pada desentralisasi wilayah, sebagaimana yang selama ini dilakukan, atau termasuk juga desentralisasi fungsional (Rondinelli, 2007)? Apakah desentralisasi terpisah dari dekonsentrasi dan tugas pembantuan, sebagaimana yang digunakan di Indonesia, atau mengikuti klasifikasi Cheema dan Rondinelli (1983) yang mengklasifikasi desentralisasi ke dalam berbagai cara, yaitu: dekonsentrasi, delegasi dan devolusi? Apakah desentralisasi yang dikembangkan di Indonesia tetap mengikuti praktik yang selama ini dilakukan di negara-negara kesatuan, yang melimpahkan kewenangannya sebagian besar pada kabupaten/kota? Ataukah, pelimpahan kewenangan kepada provinsi perlu diperbesar seperti yang terjadi pada negaranegara yang menganut sistem pemerintahan federal? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentu penting untuk menjadi bahan pemikiran bersama dalam mengembangkan kebijakan desentralisasi di Indonesia. Fakta bahwa desentralisasi di banyak negara belum mampu menghasilkan bukti yang solid dan kokoh untuk mendorong kemajuan daerah, partisipasi masyarakat, dan kesejahteraan warga menyadarkan banyak pihak tentang pentingnya model desentralisasi dan otonomi daerah disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya, politik, dan ekonomi masing-masing negara. Walaupun desentralisasi menjadi strategi pembangunan yang umum dilakukan di banyak negara maju dan berkembang pasca tahun 1980an, namun cerita keberhasilan desentralisasi sering bersifat unik dan kontekstual (Andrews & Vries, 2007). Keberhasilan
7
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
desentralisasi dalam memperbaiki kehidupan warganya tidak berlaku umum dan tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang taken for granted. Beberapa penelitian telah mengingatkan akan risiko penggunaan desentralisasi sebagai panacea dalam memecahkan masalah pembangunan dan pelayanan publik di negara sedang berkembang, yang cenderung menyederhanakan masalah (Andersson, dkk., 2004). Segelintir peneliti mulai mempertanyakan asumsi yang mengklaim bahwa desentralisasi dapat memperbaiki pemberian pelayanan di tingkat lokal (Agrawal & Gibson, 1999; Larson, 2002; Andersson, dkk., 2004; Deininger & Mpuga, 2005). Sementara peneliti yang lain seperti Andrews dan Vries (2007) membuktikan bahwa pengalaman Brazil, Rusia, Jepang, dan Swedia dalam melaksanakan desentralisasi ternyata menghasilkan pengalaman yang berbeda terkait dengan dampaknya terhadap partisipasi publik. Memang tidak semua negara mengalami kemajuan setelah melaksanakan desentralisasi. Di beberapa negara, desentralisasi justru telah membuka kesempatan untuk rent-seeking dan korupsi (Treisman, 2000; Oyono, 2004, Tambulasi & Kayuni, 2007). Keberhasilan desentralisasi memperbaiki kesejahteraan rakyat di daerah sangat tergantung pada kesesuaian bentuk, cakupan dan besaran kewenangan yang dialihkan ke daerah, cara pelaksanaan desentralisasi dengan kapasitas pemerintah daerah, dukungan kementrian dan lembaga sektoral, serta kekuatan masyarakat sipil di daerah. Namun demikian, dampak yang berbeda-beda yang dialami banyak negara lain dalam melaksanakan desentralisasi tidak perlu membuat Indonesia menjadi ragu-ragu dalam melaksanakan desentralisasi dan otonomi daerah. Desentralisasi sudah menjadi pilihan anak-anak bangsa, bukan hanya sekarang ini, tetapi bahkan sejak para pendiri bangsa di masa lalu.1 Kondisi demografis, sosial budaya, dan geografis yang memiliki variabilitas yang tinggi antar daerah, menjadikan desentralisasi sebagai keniscayaan. Pilihan para pendiri bangsa di masa lalu terhadap desentralisasi dan otonomi daerah menunjukan kearifan mereka terhadap tingginya kemajemukan bangsa. Indonesia yang memiliki wilayah yang sangat luas dan membentangi begitu banyak pulau yang terpisah satu dengan lainnya, dan dengan etnisitas, budaya, dan tingkat sosial ekonomi yang berbeda-beda membutuhkan pemerintah daerah yang otonom serta memiliki kapasitas untuk merespon dinamika lokal yang kompleks. Pemerintahan daerah yang seperti ini hanya dapat dikembangkan melalui desentralisasi. Keyakinan bahwa desentralisasi menjadi pilihan yang tepat dapat dijustifikasi dengan melihat pengalaman banyak negara lain yang berhasil menggunakan desentralisasi untuk mendorong pembangunan daerah, demokratisasi, dan kesejahteraan ekonomi (Boone, 2003; Kohl, 2003; Lam, 1996; Oates, 1972; Manin, Przeworski dan Stokes, 1999). Bahkan, dalam New Public Management (NPM), yang sekarang ini menjadi gerakan pembaharuan administrasi publik di negara maju dan berkembang, desentralisasi telah menjadi satu nilai penting dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang efisien, efektif, responsif, dan akuntabel (Osborne & Gaebler, 1993; Pollit, Birchall dan Putman, 1998). Bahwa sebagian negara lainnya gagal menjadikan desentralisasi sebagai strategi untuk membangun pemerintahan yang efisien dan efektif hanyalah menunjukan bahwa desentralisasi tidak bisa diperlakukan secara taken for granted, mengingat keberhasilannya bersifat kontekstual. Desentralisasi tidak terjadi dalam ruang yang vakum, tetapi ia berada dalam sebuah konteks historis, budaya, politik, dan kelembagaan tertentu. Sistem desentralisasi yang 1 Hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya UU No.1 Tahun 1945 tentang Otonomi Daerah. Fakta bahwa pemerintah yang baru saja menyatakan kemerdekaannya untuk kali pertama dalam pembentukan UU mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah menunjukan bahwa para pendiri bangsa melihat desentralisasi sebagai suatu nilai yang penting.
8
BAB II Kerangka Konseptual: Kebijakan Desentralisasi dalam Negara Kesatuan
dikembangkan harus kontekstual dengan memperhatikan berbagai variabel dan kondisi. Dengan begitu, model desentralisasi yang dikembangkan di Indonesia benar-benar sesuai dengan sistem pemerintahan, politik, budaya, sejarah, dan cita-cita membangun negara bangsa. Bahwa pelaksanaan desentralisasi harus memperhatikan konteks masing-masing negara sudah lama diingatkan oleh para pemikir desentralisasi (Rondinelli, 1981; Cheema & Rondinelli, 1983). Ada banyak kondisi yang diperlukan agar desentralisasi dapat menghasilkan manfaat seperti yang diharapkan, yaitu seperti kapasitas lokal, komitmen politik dari pimpinan nasional, konsistensi kebijakan, tersedianya saluran bagi partisipasi politik masyarakat, kualitas kepemimpinan lokal, kesiapan aparatur pusat dan daerah untuk mengubah mindset, tersedianya lembaga lokal yang berjiwa demokratis, dan terbatasnya otoritas fiskal di daerah (Rondinelli, 1981, Dillinger, 1995; Seabright, 1996; Manor, 1999; Bardhan & Mookherjee, 2000). Sebagian dari variabel di atas dapat menjelaskan mengapa pengalaman banyak daerah di Indonesia melaksanakan desentralisasi juga berbeda-beda, di mana sebagian provinsi dan kabupaten/kota berhasil mempercepat pembangunan daerahnya, sementara sebagian lainnya gagal memanfaatkan otonomi untuk perbaikan kinerja (Dwiyanto, 2003a; Dwiyanto, 2003b). Walaupun secara umum desentralisasi dan otonomi daerah mampu mendorong munculnya berbagai inovasi, desentralisasi juga menimbulkan banyak masalah baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pelaksanaan desentralisasi yang tidak kontekstual, lantaran dilaksanakan untuk memenuhi tekanan eksternal lembaga donor yang seringkali mengaitkannya dengan program-program mereka, dapat menjawab pertanyaan yang dikemukakan oleh Turner dan Hulme (1997) yang risau tentang kegagalan desentralisasi memenuhi janjinya. Apa yang salah dengan desentralisasi: teori atau prakteknya? Atau, gugatan Jeffrey (2008) tentang koherensi dan stabilitas dari penyelenggaraan pemerintahan secara desentralistis, ketika tingkat pemerintahan yang berbeda dikuasai partai politik yang berbeda-beda. Pertanyaanpertanyaan ini mengingatkan kita semua untuk berani secara terbuka dan kritis melihat persoalan yang terjadi dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Berbagai keluhan tentang ketidakmampuan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia memenuhi harapan dari banyak pemangku kepentingan dapat muncul dari dua hal, yaitu ketidaktepatan model desentralisasi yang diterapkan dan kesalahan implementasinya, atau bahkan interaksi dari keduanya. Subtansi yang kabur dalam peraturan perundang-undangan bisa menjadi sumber masalah dalam pelaksanaan desentralisasi. Hal yang sama juga dapat mendorong terjadi penafsiran yang berbeda di kalangan pemangku kepentingan, sehingga pelaksanaan desentralisasi tidak sesuai dengan semangat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahkan, subtansi yang salah dalam pengaturan dapat memicu implementasi yang salah pula. Banyak penelitian membuktikan bahwa ketidakjelasan dalam pengaturan kebijakan desentralisasi menimbulkan masalah dalam implementasi (Dwiyanto, 2003a). Akibatnya, pelaksanaan desentralisasi tidak dapat memberi manfaat sebagaimana diharapkan oleh para pemangku kepentingan dan masyarakat luas. Apa yang terjadi selama ini menunjukan pentingnya membuat kebijakan desentralisasi yang jelas dan tepat karena kegagalan untuk membuat kebijakan yang tepat dan jelas dapat memicu bukan hanya kegagalan implementasi tetapi juga kegagalan untuk mencapai tujuan dari kebijakan desentralisasi itu sendiri. Untuk itu, dalam rangka memperbaiki pelaksanaan desentralisasi di Indonesia, upaya yang serius dan menyeluruh perlu dilakukan untuk meninjau kembali berbagai pengaturan yang ada dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang dinilai
9
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
menimbulkan kerancuan dalam memahami tujuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Dengan melakukan serangkaian koreksi terhadap persoalan baik yang bersifat sistemik atau pun yang kontekstual, maka diharapkan Indonesia dapat mewujudkan kebijakan desentralisasi yang mampu membawa kemajuan, kesejahteraan rakyat di daerah, dan memperkokoh keberadaan NKRI. Pengembangan desentralisasi di Indonesia perlu memperhatikan kondisi-kondisi yang diperlukan bagi keberhasilan desentralisasi itu sendiri dan berbagai konteks kekinian yang terjadi di Indonesia. Pertama, desentralisasi yang dikembangkan adalah desentralisasi dalam negara kesatuan. Pilihan negara kesatuan telah termuat jelas dalam konstitusi dan masih menjadi konsensus politik. Walaupun konsep negara kesatuan mengalami dinamika dan penyesuaian sesuai dengan tantangan yang dihadapi, desentralisasi dalam negara kesatuan memiliki ciri yang berbeda dengan desentralisasi dalam negara yang menganut sistem federal. Dalam negara kesatuan, desentralisasi, umumnya, hanya terjadi dalam kewenangan eksekutif, bukan dalam kewenangan legislatif dan yudisial. Pemerintahan daerah tidak memiliki kompetensi legislatif dan yudisial. Di dalam negara kesatuan tidak ada shared soverignity. Kedaulatan hanya ada di tangan negara, bukan ada di daerah. Implikasinya, di negara kesatuan hanya ada satu lembaga legislatif yang berkedudukan di pusat. Lembaga perwakilan rakyat di daerah (DPRD) hanya memiliki regulatory power untuk membuat peraturan daerah yang tidak bertentangan dengan produk lembaga legislatif (DPR) dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Penyelenggara negara dan atau Presiden sebagai kepala pemerintahan dapat melakukan tinjauan-ulang terhadap peraturan daerah dan membatalkannya jika bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan memilih menjadi negara kesatuan yang desentralistik, Indonesia memiliki konstruksi hubungan pusat dan daerah yang berbeda dengan konstruksi yang ada di dalam sistem federal. Dalam negara kesatuan, daerah (provinsi atau kabupaten/kota) umumnya dibentuk oleh negara (pusat) melalui peraturan perundang-undangan tertentu. Karena itu, daerah memperoleh kewenangan dari negara, bukan sebaliknya. Negara melalui undangundang dapat membentuk dan membubarkan daerah, melimpahkan atau menarik kembali kewenangan dan fungsi yang dilimpahkan ke daerah. Kewenangan yang diberikan kepada pemerintahan daerah adalah kewenangan eksekutif yang dimiliki oleh Presiden, bukan kewenangan penyelenggara negara lainnya. UUD 1945 memberi kekuasaan pemerintahan tertinggi pada presiden. Sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, Presiden harus mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pemerintahan nasional, termasuk yang dilakukan oleh pemerintahan daerah. Karena itu, Presiden memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota. Kedua, sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi (UUD 1945 pasal 18 dan 18A), Indonesia menganut sistem multi-tiers government (pemerintahan dengan susunan ganda). Pilihan untuk memiliki multi-tiers government dapat dijustifikasi melalui keuntungan komparatif (comparative advantages) dari keberadaan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, mengingat tidak semua urusan yang didesentralisasikan dapat dikelola secara efisien dan efektif oleh kabupaten/kota. Sebagian dari urusan yang didesentralisasikan dalam bidang pendidikan, kesehatan, pengelolaan lingkungan, kehutanan, sarana dan prasarana, dan pengembangan wilayah, akan lebih efisien dan efektif jika dikelola oleh pemerintah provinsi, meskipun desentralisasi pemerintahan di negara-negara kesatuan umumnya lebih banyak
10
BAB II Kerangka Konseptual: Kebijakan Desentralisasi dalam Negara Kesatuan
diserahkan kepada pemerintahan kabupaten/kota, terutama menyangkut penyelenggaraan pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar. Apabila desentralisasi pemerintahan di masa mendatang tetap diberikan kepada sebagian besar kepada kabupaten/kota, maka penerapan prinsip subsidiaritas harus menjadi pertimbangan utama dalam melakukan pembagian urusan pemerintahan. Ketika subsidiaritas berbenturan dengan kriteria lainnya, misalnya efisiensi, maka prinsip subsidiaritas menjadi superior. Pertimbangannya, yang paling dekat dengan warga adalah yang paling tahu tentang kebutuhan warganya, mudah dikontrol oleh warga, dan memudahkan warga untuk terlibat dalam penyelenggaraannya. Kriteria dan prinsip dalam pembagian urusan perlu dirumuskan dengan jelas dan dimasukan ke dalam konstitusi sehingga tidak mudah untuk dirubah demi kepentingan sempit dan jangka pendek. Cara ini diharapkan mampu mempercepat terwujudnya tata kepemerintahan yang demokratis di tingkat lokal. Di negara kesatuan yang memiliki multi-tiers government, walaupun tidak ada hubungan hirarkhis antara provinsi dengan kabupaten/kota, secara fungsional hubungan hirarkis antar keduanya sulit dihindari. Dalam manajemen pemerintahan sehari-hari, hubungan interdepedensi dan interelasi antar pemerintahan kabupaten/kota adalah keniscayaan. Dari sisi fungsional, keberadaan provinsi diperlukan untuk memfasilitasi manajemen pemerintahan antar kabupaten/kota agar terjadi koherensi, sinergi dan terintegrasi dengan baik. Apalagi ketika provinsi juga diperlakukan sebagai wilayah administratif, di mana kepala daerahnya diberi tugas sebagai wakil pusat di daerah, maka hubungan hirarkis fungsional antara provinsi dan kabupaten/kota menjadi tak terelakkan. Hubungan antar keduanya perlu ditata dengan baik sehingga keberadaan keduanya mampu menciptakan sinergi dan komplementaritas yang menguntungkan warganya. Sinergi dan komplementaritas antara pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota hanya dapat dilakukan kalau pembagian urusan antar keduanya jelas dan terumuskan dengan baik. Untuk itu, undang-undang tentang pemerintahan daerah perlu mengarahkan peran pemerintahan kabupaten/kota sebagai penyelenggara urusan pemenuhan kebutuhan dasar dengan memperhatikan keuntungan komparatifnya daripada dengan pemerintah provinsi. Sementara itu, provinsi sebagai daerah otonom diarahkan sebagai penyelenggara pelayanan yang memiliki eksternalitas lintas kabupaten/kota dan pembangunan wilayah. Pembagian urusan yang jelas, dalam negara kesatuan yang memiliki multi-tiers government, menjadi sangat penting perannya dalam membangun negara kesatuan yang solid dan kokoh. Penguatan peran provinsi perlu diimbangi juga dengan penguatan peran gubernur sebagai wakil pusat. Pengalaman sejarah pemerintahan Indonesia menunjukkan bahwa penguatan peran provinsi sebagai daerah otonom sering menimbulkan kekhawatiran tentang risiko munculnya gerakan separatisme. Pemberian peran tambahan kepada kepala daerah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat dapat mengurangi kekhawatiran terhadap munculnya ancaman separatisme. Penguatan peran gubernur sebagai wakil pusat di daerah juga memiliki rasionalitas lain. Untuk memperkuat NKRI, presiden membutuhkan instrumen yang dapat menjalankan peran sebagai intermediaries, enabling, dan synergizing institution untuk penguatan kapasitas dan optimalisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Penambahan peran gubernur sebagai wakil pusat dapat menjadi pilihan yang mudah, murah, dan efektif untuk membangun konsistensi dan sinergi penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah. Penerapan peran ganda Gubernur juga dinilai lebih sesuai dengan semangat desentralisasi daripada menjadikan Gubernur sepenuhnya sebagai wakil pusat di daerah. Pemikiran untuk
11
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
menjadikan Gubernur sepenuhnya sebagai wakil pusat dan menjadikan provinsi sebagai wilayah administratif dapat menjadikan NKRI semakin sentralistis dan mempersempit ruang untuk partisipasi publik yang menjadi salah satu nilai yang ingin diwujudkan oleh kebijakan desentralisasi. Ketiga, walaupun tidak diatur dalam konstitusi, realitas yang ada menunjukan bahwa Indonesia menganut desentralisasi teritorial dan fungsional. Selama ini desentralisasi teritorial sangat dominan sehingga cenderung memonopoli konsep desentralisasi di Indonesia. Pengembangan kawasan khusus dapat menjadi contoh terjadinya desentralisasi fungsional, di mana pemerintah membentuk lembaga khusus semi pemerintah di daerah untuk menjalankan fungsi pemerintah pusat tertentu. Keberadaan masalah-masalah strategis terkait dengan kawasan perbatasan, konservasi, dan unggulan ekonomi mendorong perlunya Indonesia mengembangkan konsep desentralisasi fungsional. Pengembangan kawasan perbatasan yang memiliki aspek geopolitik strategis seringkali tidak dapat dikelola sepenuhnya oleh satu daerah otonom, sehingga diperlukan satu institusi yang secara khusus dirancang untuk menjalankan fungsi pemerintah tertentu di kawasan perbatasan. Keempat, sebagai negara kesatuan, pemerintah membentuk sistem kepegawaian nasional yang mencakup pegawai nasional, pegawai daerah, dan pegawai profesional lainnya. Pegawai nasional menjadi perangkat pemerintah untuk pemberdayaan daerah, pemerataan kemajuan dan kesejahteraan daerah, serta memperkuat integrasi nasional (national-binding forces). Sistem kepegawaian nasional harus mencakup standar kompetensi, proses rekrutmen dan penempatan pegawai yang terbuka, kompetitif, dan menjamin adanya mobilitas pegawai antar daerah secara wajar. Sistem kepegawaian nasional harus dapat memberi ruang kepada daerah untuk mengembangkan kompetensi lokal yang diperlukan untuk mempercepat pembangunan daerah. Kelima, berbeda dengan yang terjadi di negara federal di mana daerah memiliki sumbersumber penerimaan sendiri yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tanganya, di negara kesatuan umumnya sumber penerimaan dikontrol oleh pusat dan didistribusikan kembali ke daerah untuk mengatasi kesenjangan fiskal antar daerah. Penggunaan hibah dan transfer dari pusat untuk pembiayaan pemerintahan daerah memiliki beberapa implikasi. Implikasi pertama, pemerintah perlu membuat kebijakan dan standar pelayanan sebagai acuan daerah dalam mengelola pelayanan publik. Kebijakan dan standar penting memastikan daerah sanggup menjamin semua warga, di mana pun mereka tinggal, dapat mengakses volume dan kualitas pelayanan yang sama. Implikasi lainnya, akuntabilitas dari penggunaan dana oleh daerah tidak hanya pada konstituen yang ada di daerah, tetapi juga pada konstituen di tingkat nasional. Karena sebagian dana yang digunakan untuk menjalankan pemerintah daerah bersumber dari pajak dan sumber-sumber lain di tingkat nasional, maka pemerintah daerah juga harus akuntabel pada pemangku kepentingan di nasional. Singkatnya, daerah memiliki akuntabilitas ganda, pada pemangku kepentingan di daerah maupun nasional. Keenam, keberhasilan desentralisasi membutuhkan adanya konsistensi dalam keseluruhan aspek kebijakan dan implementasinya. Dalam aras kebijakan, konsistensi diperlukan antara peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan-kegiatan kementrian dan lembaga. Undang-undang tentang pemerintahan daerah harus menjadi arah kebijakan yang menjiwai dan menjadi pedoman bagi pembentukan undang-undang sektoral. Ketidakharmonisan antara undang-undang tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah
12
BAB II Kerangka Konseptual: Kebijakan Desentralisasi dalam Negara Kesatuan
dengan undang-undang sektoral dapat menciptakan kebingungan pada aktor-aktor di pusat dan daerah. Seperti pengalaman di negara-negara lain, ketidakharmonisan undang-undang bukan hanya akan menimbulkan kekaburan terhadap substansi perundang-undangan, tetapi juga akan mempersulit pelaksanaan dari desentralisasi itu sendiri. Kekaburan dalam isi kebijakan akan mendorong munculnya misinterpretasi dan distorsi kebijakan yang tidak perlu dan dapat menjauhkan kebijakan desentralisasi dari nilai-nilai yang akan diwujudkannya. Dalam aras implementasi, perlu dikembangkan strategi yang menjamin pelaksanaan desentralisasi benar-benar sesuai dengan semangat yang dimiliki dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Pembentukan undang-undang tentang pemerintahan daerah harus diikuti dengan pembentukan peraturan pelaksanaan yang sesuai dengan semangat dengan pembentukan undang-undang itu sendiri. Konsistensi antara undangundang dengan peraturan pelaksanaannya harus dijaga supaya implementasi dari undangundang tersebut benar-benar sesuai dengan semangat dari pembentuk undang-undang. Dengan cara ini, maka distorsi implementasi dapat ditekan seminimal mungkin sehingga pelaksanaan desentralisasi dapat menciptakan hasil sebagaimana yang diharapkan. Ketujuh, pengembangan desentralisasi sebagaimana terjadi pada negara-negara lainnya membutuhkan ruang politik yang lebih luas bagi warga untuk terlibat dalam proses politik di aras lokal. Desentralisasi harus dilakukan secara bersama-sama dengan demokratisasi pada tingkat lokal, sehingga warga dapat terlibat dalam pengambilan keputusan dan ikut mengontrol jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Implikasinya, desentralisasi hanya akan berhasil kalau diikuti dengan pemberdayaan lembaga perwakilan rakyat di daerah dan penguatan kelompok masyarakat sipil di daerah. Dengan begitu, kontrol politik di daerah akan semakin efektif. Tanpa penguatan lembaga perwakilan rakyat dan masyarakat sipil di daerah, desentralisasi hanya akan melahirkan elite captures dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Ini tentunya merugikan kepentingan warga dan pemangku kepentingan yang luas.
13
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
14
BAB III Materi Muatan Undang-Undang Pemerintahan Daerah
BAB III Materi Muatan Undang-Undang Pemerintahan Daerah
Secara ringkas materi muatan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mencakup beberapa hal sebagai berikut: 1.
Pembentukan dan Penataan Daerah
Isu penataan daerah telah menjadi perhatian para pemangku kepentingan karena ekses negatif dari pemekaran daerah yang sangat masif selama lima tahun terakhir, terutama terkait dengan konflik sosial, penurunan kualitas pelayanan, dan fragmentasi spasial yang sangat tinggi dari pemerintahan daerah. Pembentukan daerah otonom baru (DOB) yang tidak terkendali dikhawatirkan akan membuat penyelenggaraan pemerintahan menjadi tidak efisien dan efektif. Upaya untuk mengendalikan pembentukan DOB telah dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007 yang mengatur tentang prosedur dan persyaratan pembentukan DOB dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 yang mengatur tentang evaluasi kinerja daerah otonom dan implikasinya terhadap penggabungan daerah. Tetapi Peraturan Pemerintah ini sering kurang efektif untuk mengendalikan pembentukan DOB karena perbedaan intepretasi tentang kewenangan pembentukan DOB yang muncul dari intepretasi terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pembentukan DOB melalui undang-undang dapat ditafsirkan bahwa DPR memiliki kewenangan untuk melakukan inisiatif dalam pembentukan DOB. Revisi UU No. 32 Tahun 2004 harus mengatur dengan jelas siapa yang sebenarnya memiliki kewenangan mengusulkan pembentukan daerah otonom, pemerintah semata atau bersama dengan DPR. 2.
Pembagian Urusan Pemerintahan dan Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah
Pembagian urusan pemerintahan menjadi isu yang strategis karena implikasi dari ketidakjelasan dalam pembagian urusan sangat luas, tidak hanya menyangkut hubungan antar susunan pemerintahan tetapi juga antara kementrian/lembaga dengan pemerintahan daerah. Ketidakjelasan pembagian urusan sering memicu konflik antar susunan pemerintahan karena menimbulkan perebutan kewenangan di antara mereka. Lebih dari itu, ketidakjelasan pembagian urusan juga mendorong terjadi tumpang tindih dan duplikasi urusan pemerintahan sehingga menimbulkan masalah efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan
15
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota berusaha merinci urusan desentralisasi ke dalam urusan pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota. Namun, peraturan pemerintah tersebut masih menyisakan persoalan sehubungan dengan ketidakjelasan konsep skala provinsi dan skala kabupaten/kota yang dipergunakan untuk mendefinisikan urusan provinsi dan kabupaten/ kota. Lebih jauh lagi, pelaksanaan pembagian urusan pemerintahan daerah juga sering berbenturan dengan undang-undang sektoral yang sering tidak harmonis dengan undang-undang pemerintahan daerah. Misalnya, dalam pengelolaan hutan, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 yang mengatur tentang Tata Hutan dan Pengelolaan Hutan tidak konsisten dengan PP No. 32 Tahun 2007 dan UU No. 32 Tahun 2004 yang telah mendesentralisasikan urusan kehutanan kepada daerah. Akibatnya, sering muncul konflik antara pemerintah (Departemen Kehutanan) dengan daerah dalam pengelolaan hutan. Hal yang sama terjadi dalam hubungan antara peraturan perundang-undangan sektoral lainnya dengan UU No. 32 Tahun 2004. Upaya untuk memperjelas pembagian urusan penting dilakukan agar desentralisasi pemerintahan benar-benar dapat berjalan seperti yang diatur dalam undang-undang pemerintahan daerah. Terkait dengan peran gubernur sebagai wakil pusat, undang-undang sektoral termasuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara tidak menyebutkan sama sekali peran gubernur sebagai wakil pusat. Kementrian negara memiliki kewenangan untuk melakukan sinkronisasi dan koordinasi dalam pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya tanpa melibatkan gubernur sebagai wakil pusat. Keinginan untuk memperkuat peran gubernur sebagai wakil pusat di daerah harus didukung oleh undangundang sektoral yang mengakui peran Gubernur sebagai wakil pusat di daerah. 3.
Penyelenggara Pemerintahan Daerah
Isu yang perlu diperjelas dalam bab penyelenggara daerah adalah kejelasan kedudukan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah dan hubungannya dengan kepala daerah (KDH), terkait dengan upaya pemberdayaan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan DPR, DPD, dan DPRD telah menegaskan kedudukan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan di daerah. Penegasan ini mengakhiri perdebatan yang selama ini terjadi tentang kedudukan DPRD. Namun, isu hubungan antar KDH dan DPRD terkait dengan penyusunan APBD, pemberdayaan sekretariat DPRD, dan pemberdayaan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah belum diatur dengan jelas. Pembaharuan pengaturan tentang perangkat dan aparatur daerah diperlukan untuk memperkuat profesionalisme dan kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Pembengkakan perangkat daerah telah menimbulkan beban yang sangat besar pada APBD. Sekitar 70—80% dana APBD tersedot untuk pembiayaan birokrasi dan aparatur daerah. Isu penting lainnya dalam perangkat daerah adalah kedudukan Kecamatan dan hubungannya dengan SKPD lainnya yang berbasis pada sektor. Sebagai SKPD yang berbasis kewilayahan, Kecamatan belum memiliki fungsi yang jelas. UU No. 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah belum mengatur fungsi pelayanan publik yang dapat dilimpahkan kepada Kecamatan.
16
BAB III Materi Muatan Undang-Undang Pemerintahan Daerah
4.
Aparatur Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah telah menimbulkan berbagai ekses negatif yang belum sepenuhnya dapat diselesaikan perangkat perundang-undangan yang ada. Fragmentasi spasial dalam kepegawaian yang semakin tinggi dan rigid, politisasi birokrasi, dan menguatnya unsur-unsur subyektivitas dalam manajemen kepegawaian berbasis pada etnis, agama, dan putra daerah telah menimbulkan gangguan pada pengembangan aparatur yang profesional. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan peraturan pemerintah yang ada belum mampu menjawab secara efektif berbagai masalah tersebut. Pengaturan yang jelas dan tegas diperlukan untuk mendorong daerah membentuk aparatur yang profesional. 5.
Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah
Banyaknya peraturan daerah dan rancangan Peraturan Daerah (Perda) yang bermasalah sering memicu reaksi publik yang luas. Ketidakpuasan warga dan pemangku kepentingan terhadap peraturan daerah sudah jamak terjadi sehingga memerlukan pengaturan yang jelas dan efektif. Dalam bidang keuangan daerah, tahun 2008 Departemen Keuangan membatalkan lebih dari 2000 perda dari sekitar 7200 Perda tentang pajak dan retribusi, sebab dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam bidang lainnya, muncul banyak Perda yang bias gender dan mengancam wawasan kebangsaan. Dalam konteks desentralisasi sekarang ini, polemik muncul tentang siapa yang memiliki kewenangan melakukan reviu terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah: apakah pemerintahan yang lebih tinggi (executive review) atau lembaga peradilan (judicial review)? UU No.10 Tahun 2004 telah mengatur dengan jelas proses pembentukan peraturan daerah, termasuk keharusan adanya partisipasi masyarakat dalam pembentukan Perda. Walaupun demikian, aturan ketentuan dalam UU No.10 Tahun 2004 belum secara efektif mampu menangkal munculnya Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan yang lebih tinggi. Terbukti masih banyak munculnya Perda yang bermasalah. Pembatalan Perda bermasalah melalui Peraturan Presiden juga dinilai tidak fisibel mengingat jumlah Perda yang harus ditinjau-ulang sangat banyak. Penguatan pengaturan tentang pembentukan peraturan daerah perlu dilakukan dalam revisi UU No. 32 Tahun 2004, namun hendaknya pengaturan baru tersebut tidak bertentangan dan mengulang hal yang sudah diatur dalam UU No.10 Tahun 2004. 6.
Perencanaan Pembangunan Daerah
Persoalan yang mendasar dalam perencanaan pembangunan daerah adalah inkonsistensi antara UU No. 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dalam mendefinisikan dokumen dan basis legalitas dari dokumen perencanaan daerah. Perbedaan tersebut sering menyulitkan daerah dalam menyelenggarakan kegiatan perencanaan daerah. Isu lainnya adalah tentang instrumen yang dapat digunakan untuk menjaga konsistensi antara perencanaan pembangunan daerah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang. Untuk mengatasi kesulitan ini, maka duplikasi dan inkonsistensi antara UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004 perlu dihilangkan. UU No. 25 Tahun 2004 perlu diarahkan untuk mengatur mengenai proses dan dokumen perencanaan daerah, sedangkan revisi UU No. 32 Tahun 2004 mengatur kelembagaan dan manajemen dari
17
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
perencanaan daerah. Terkait dengan manajemen perencanaan daerah, perlu adanya pengaturan kewajiban daerah untuk mengumpulkan, memperbaharui, dan mengelola data dan informasi yang diperlukan dalam perencanaan daerah. Tidak tersedianya data membuat kualitas perencanaan daerah cenderung buruk. 7.
Keuangan Daerah
Terbatasnya anggaran yang tersedia untuk pelayanan publik menjadi salah isu penting dan perlu memperoleh pengaturan yang jelas. Manfaat desentralisasi hanya dapat dirasakan oleh masyarakat ketika desentralisasi membuat daerah mampu mengalokasikan anggaran lebih banyak untuk pelayanan publik. Namun, data menunjukkan bahwa 70-80% anggaran daerah dihabiskan untuk belanja pegawai dan operasional birokrasi pemerintah. Besarnya pengeluaran untuk belanja pegawai yang menjadi salah satu variabel penting untuk menentukan alokasi dasar dari DAU menjadi salah satu faktor yang mendorong pembengkakan pegawai di daerah. Pengeluaran belanja pegawai yang sangat besar membuat masyarakat di daerah tidak dapat menikmati manfaat dari pelaksanaan otonomi daerah. Isu lainnya adalah perlunya penguatan peran Gubernur sebagai budget optimizer dalam alokasi DAK. Gubernur sebagai pemerintah dapat menjadi perantara pencapaian tujuan pemerintah dengan meningkatkan relevansi program-program pemerintah di daerah. Sayangnya, UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 17 Tahun 2003, dan UU No. 33 Tahun 2004 belum mengatur dengan jelas peran Gubernur sebagai budget optimizer. Revisi UU No. 32 Tahun 2004 perlu mengatur peran gubernur sebagai wakil pusat untuk menjadi budget optimizer dalam alokasi DAK. 8.
Kawasan Perkotaan
Belum adanya pengaturan yang memadai tentang kawasan perkotaan membuat pertumbuhan kawasan perkotaan yang sangat pesat kurang dapat dioptimalkan untuk kepentingan masyarakat luas dan pemerintah daerah. Munculnya kawasan perkotaan baru yang berdampingan dengan kawasan perdesaan, sebagai akibat dari maraknya industri perumahan, menimbulkan masalah sosial, ekonomi, dan pemerintahan yang perlu diselesaikan oleh pemerintah daerah. Tidak adanya undang-undang yang mengatur tentang perkotaan dan kelembagaan yang mengurus kawasan tersebut sering membuat pemerintah daerah gagal mengelola kawasan perkotaan untuk kepentingan publik. UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 26 Tahun 2007 belum mengatur tentang kelembagaan dan pengelolaan kawasan perkotaan. Kelembagaan dan pengelolaan kawasan perkotaan diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2009, tetapi peraturan pemerintah tersebut belum mengatur tipologi kota yang sangat bervariasi, terutama dilihat dari jumlah penduduknya, dan implikasinya terhadap bentuk kelembagaan pengelolaan kawasan perkotaan. Beberapa pengaturan yang relevan dalam PP No. 34 Tahun 2009 dan implikasinya terhadap kelembagaan pengelolaan kawasan perkotaan perlu dimasukan ke dalam revisi UU No. 32 Tahun 2004. 9.
Kawasan Khusus
Pengembangan kawasan khusus untuk mengelola fungsi-fungsi khusus tertentu dalam rangka kepentingan nasional strategis belum diatur secara memadai dalam UU No. 32 Tahun 2004. Kebutuhan pengaturan kawasan khusus sekarang ini sangat mendesak sehubungan dengan adanya kebutuhan akan kawasan ekonomi khusus, kawasan perbatasan, dan kawasan konservasi. Undang-undang sektoral dan peraturan pemerintah yang mengatur tentang hal ini seperti PP No. 68 Tahun 1998 dan PP No. 8 Tahun 1999
18
BAB III Materi Muatan Undang-Undang Pemerintahan Daerah
tentang konservasi hutan, UU No. 36 Tahun 2000 dan Peraturan Pengganti Undang-Undang No.1 tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas mengatur hubungan kelembagaan antara kawasan khusus dengan pemerintah daerah. Konflik yang sering terjadi terkait dengan pengelolaan kawasan khusus disebabkan oleh pengaturan yang kurang jelas tentang hubungan lembaga pengelola kawasan khusus dengan daerah. Revisi UU No. 32 Tahun 2004 perlu mengatur pengelolaan kawasan khusus dan hubungannya dengan pemerintahan daerah. 10.
Pelayanan Publik
Pelayanan publik menjadi isu penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sayangnya, UU No. 32 Tahun 2004 belum mengatur sama sekali tentang penyelengaraan pelayanan publik di daerah. Beberapa masalah dalam penyelenggaraan pelayanan publik, seperti tidak adanya standar pelayanan minimal untuk pelayanan dasar, standar penyelenggaraan pelayanan yang mengatur hak dan kewajiban pengguna dan penyelenggara, serta mekanisme penyampaian keluhan dan penyelesaian sengketa, penting untuk diatur dalam revisi UU No. 32 Tahun 2004. Dengan membuat pengaturan yang jelas tentang penyelenggaraan pelayanan publik di daerah diharapkan pelaksanaan desentralisasi dapat mempercepat tercapainya perbaikan kualitas pelayanan publik. Namun, pengaturan tentang penyelenggaraan pelayanan publik oleh daerah nantinya harus disinkronisasikan dengan undang-undang tentang pelayanan publik yang baru saja disahkan agar tidak terjadi tumpang tindih dan inkonsistensi dalam pengaturan pelayanan publik di daerah. 11.
Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat termasuk isu strategis karena partisipasi merupakan salah satu kondisi yang diperlukan supaya penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berhasil dengan baik. Keberhasilan desentralisasi menuntut adanya keterlibatan masyarakat di daerah dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, seperti dalam proses pembentukan peraturan daerah, penyusunan perencanaan daerah, perumusan APBD, dan penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan keterlibatan masyarakat yang semakin tinggi, maka berbagai kebijakan pembangunan daerah tersebut akan dapat merepresentasikan kepentingan masyarakat luas. Partisipasi masyarakat juga diperlukan agar mereka dapat ikut mengawasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan daerah. Namun, sayangnya UU No. 32 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik belum mengatur dengan jelas mekanisme, cara, dan hak-hak warga serta pemangku kepentingan dalam proses kebijakan di daerah. Oleh karena itu, revisi UU No. 32 Tahun 2004 perlu mengatur berbagai hal di atas dengan jelas. 12.
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD)
Keberadaan DPOD selama ini banyak dipersoalkan karena fungsinya yang tidak jelas. Sebagai salah satu lembaga yang bertugas memberikan rekomendasi kepada Presiden terkait dengan kebijakan otonomi daerah, DPOD dinilai kurang efektif dalam menjalankan perannya karena gagal mencegah munculnya kebijakan sektoral yang dinilai tidak konsisten dengan UU pemerintahan daerah. DPOD juga dinilai kurang mampu berperan dalam pengendalian pembentukan DOB. Ketidakoptimalan peran DPOD disebabkan oleh ketidakjelasan pemisahan peran DPOD sebagai advisory body dan clearing house untuk perumusan kebijakan otonomi daerah. Sebagai lembaga yang bertugas melakukan kajian
19
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
terhadap proposal pembentukan DOB dan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan otonomi daerah, DPOD tidak didukung oleh sebuah think tank (tim pengkaji) yang memadai. Alhasil, DPOD sering mengalami kesulitan untuk memberi rekomendasi yang jelas kepada Presiden ketika dihadapkan pada pilihan kebijakan yang kompleks dan dilematis. 13.
Inovasi Daerah
Tidak adanya pengaturan yang jelas tentang diskresi dan inovasi yang dilakukan oleh pejabat publik di daerah sering membuat mereka tidak berani melakukan tindakan yang inovatif, yang diperlukan untuk memenuhi kepentingan umum dan mempercepat pencapaian kesejahteraan rakyat. Untuk itu revisi UU No. 32 Tahun 2004 perlu menambahkan pengaturan tentang inovasi daerah yang dapat dilakukan oleh pejabat publik, sejauh tindakan mereka tidak menimbulkan kerugian negara, tidak mengandung konflik kepentingan, dan bertujuan untuk memenuhi kepentingan umum. Mengenai hal ini, pemerintah bersama DPR telah memasukan RUU Administrasi Pemerintahan ke dalam Prolegnas 2009-2010, yang mengatur salah satunya diskresi pejabat publik. Namun, draf RUU Administrasi Pemerintahan tersebut belum mengatur secara spesifik diskresi yang diambil pejabat pemerintahan dalam melakukan inovasi dalam pelayanan publik, terutama di daerah. Desentralisasi pemerintahan telah menuntut pejabat pemerintahan daerah melakukan inovasi. Oleh sebab itu, pengaturan tentang inovasi di daerah perlu dimasukkan ke dalam undang-undang pemerintahan daerah.
20
BAB III Materi Muatan Undang-Undang Pemerintahan Daerah
Secara ringkas materi revisi UU No. 32 Tahun 2004 dan peraturan perundang-undangan terkait dapat dirumuskan dalam matriks berikut ini: No. 1
Materi yang akan direvisi Pembentukan daerah otonom
Peraturan Perundang-undangan Terkait UU No. 32/2004, PP No. 78/2004, UU No. 10/2004, PP No. 6/2008
2
Pembagian Urusan dan Peran Gubernur sebagai wakil pemerintah
UU No. 32/2004, PP No. 38/2007, PP No. 41/2007, UU No. 39/2008
3
Penyelenggara Pemerintahan Daerah (KDH, DPRD, Perangkat Daerah)
UU No. 32/2004, UU No. 33/2004, UU No. 43/1999, PP No. 12/2002, UU No. 23/2003, UU No. 12/2008, PP No. 41/2007
4
Aparatur Daerah
UU No. 32/2004, UU No. 43/1999, PP No. 41/2007
5
Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah
UU No. 32/2004, UU No. 10/2004, UU No. 23/2003
6
Perencanaan Pembangunan Daerah
UU No. 32/2004, UU No. 25/2004, UU No. 17/ 2007, UU No. 26/2007
7
Keuangan Daerah
UU No. 32/2004, UU No. 33/2004, UU No. 17/2003
8
Pelayanan Publik
UU No. 32/2004, UU No. 14/2008, PP No. 38/2007, UU No. 25/2009
9
Partisipasi Masyarakat
UU No. 32/2004, UU No. 8/1985, UU No.14/2008, PP No. 38/2007
10
Kawasan Perkotaan
UU No. 26/ 2007, UU No. 32/2004, PP No. 34/2009, PP No. 41/2007
11
Kawasan Khusus
UU No. 43/2008, UU No. 32/2004, UU No. 36/2000, PP No. 68/1998, PP No. 8/1999
12
DPOD
UU No. 32/2004, UU No. 33/2004, Kepres No. 49/2000
13.
Inovasi Daerah
UU No. 32/2004, RUU Administrasi Pemerintahan
21
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
22
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan IV. 1. Pembentukan dan Penataan Daerah A.
Dasar Pemikiran
Pembentukan daerah otonom baru (DOB) memiliki justifikasi teoritik yang kuat untuk mendekatkan kekuasaan dengan warganya di daerah. Jarak yang sangat jauh antara kekuasaan dengan warga dapat menimbulkan kesan negatif tentang keberadaan pemerintah di mata warganya. Ketika jarak kekuasaan terlalu jauh, baik fisik maupun kejiwaan, maka keberadaan pemerintah menjadi kurang jelas dan hubungan antara pemerintah dengan warganya menjadi sangat jauh. Ketika hal itu terjadi, legitimasi pemerintah menjadi sering dipertanyakan. Jarak yang jauh membuat pelayanan pemerintah sulit dijangkau oleh warganya. Apalagi jika jarak fisik ini juga diikuti dengan jarak kejiwaan yang semakin jauh, ketika interaksi antara pemerintah dengan warganya menjadi sangat sulit dan manfaat tentang keberadaan pemerintah terhadap kehidupan warganya sangat rendah. Jauhnya jarak fisik dan kejiwaan kerap menjadi sumber dari melunturnya kepercayaan warga terhadap pemerintah. Pembentukan DOB dapat dilakukan apabila keberadaan DOB membuat jarak fisik dan kejiwaan antara negara dengan warganya menjadi lebih dekat. Dengan jarak yang lebih dekat, interaksi antara negara dan warganya menjadi lebih sederhana, mudah, dan murah. Alhasil, legitimasi negara di mata warganya menjadi semakin kuat. Interaksi yang lebih mudah akan membuat kualitas pelayanan menjadi semakin baik dan mudah diakses oleh warganya. Karena tujuan utama pembentukan DOB adalah mempermudah interaksi antara negara dengan warganya, maka kriteria utama untuk menilai perlu tidaknya pembentukan DOB mestinya adalah seberapa besar pembentukan DOB mampu memperbaiki interaksi antara pemerintah dan warganya, terutama dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan besaran manfaat dari pembentukan DOB dengan biaya dan kerugian yang nantinya harus dibayar oleh warganya. Apakah peningkatan kualitas pelayanan sebagai akibat dari pembentukan DOB melebihi biaya dan kerugian yang dibayar oleh warga. Besaran manfaat adanya DOB tentu amat ditentukan oleh besarnya populasi dari DOB. Semakin besar jumlah penduduknya, manfaat yang diterima oleh DOB cenderung menjadi semakin besar. Jadi, kriteria tentang jumlah penduduk penting menjadi perhatian dalam pembentukan DOB, disamping kelayakan ekonomi dan politik. Agar kriteria-kriteria tersebut dapat digunakan sebagai pegangan dalam menilai proposal pembentukan DOB, semua kriteria tersebut harus dirumuskan dengan jelas dan dimuat dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah. Kriteria yang jelas, obyektif dan
23
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
dimuat dalam undang-undang ini adalah penting supaya dapat menjadi pegangan semua kelompok kepentingan yang ingin mengusulkan pembentukan daerah otonom baru. Pengaturan yang jelas juga perlu agar pembentukan DOB benar-benar mampu memberikan manfaat yang lebih besar ketimbang kerugiannya. Lebih jauh lagi, pemerintah perlu membuat rancang desain reformasi teritorial untuk memberi arah terhadap pengembangan daerah otonom, baik pada tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota, dengan memperhatikan secara menyeluruh daya dukung sosial, politik, ekonomi dan aspek geostrategik lainnya yang penting dalam pengembangan daerah otonom dalam konteks NKRI. B.
Identifikasi Permasalahan
Pembentukan DOB melalui pemekaran menjadi wacana publik yang menarik dikarenakan meluasnya dampak negatif dari pemekaran baik terhadap daerah induk maupun DOB itu sendiri. Walaupun demikian, kegiatan pemekaran tampaknya akan terus berjalan, sebagaimana tampak dari masih banyaknya usulan pembentukan DOB yang sekarang ini masih dibicarakan di DPR. Pemerintah bersama DPR baru saja meloloskan 12 daerah otonom baru, meskipun dari ke 12 daerah otonom baru itu, hanya dua daerah yang dinyatakan memenuhi semua syarat untuk menjadi daerah otonom baru. Sisanya, kendati tidak memenuhi semua syarat, tetap disahkan menjadi DOB karena pertimbanganpertimbangan politik dan lainnya. Sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 1999, 189 daerah otonom baru telah terbentuk sampai saat ini. Banyaknya DOB dalam waktu singkat memiliki implikasi yang sangat luas bagi pemerintah pusat, daerah induk, dan DOB itu sendiri. Banyak kajian menunjukan bahwa sebagian besar pemekaran berakibat negatif bagi masyarakat yang tinggal di daerah induk dan di daerah baru. Bagi daerah induk, masyarakat seringkali harus membayar biaya pemerintahan yang lebih besar, sebab pengurangan penduduk dan wilayah dari daerah induk tidak selalu berarti pengurangan biaya pemerintahan. Biaya pegawai dan operasional dari pemerintah di daerah induk tidak berkurang walaupun jumlah wilayah dan pegawai yang mereka tanggung menjadi semakin kecil. Padahal, pengurangan jumlah penduduk dan wilayah, karena menjadi bagian dari daerah otonom baru, seharusnya diikuti dengan berkurangnya anggaran untuk birokrasi dan aparatur, serta bertambahnya biaya untuk kegiatan pembangunan dan pelayanan publik. Namun, sering kali hal ini tidak terjadi. Akibatnya, masyarakat harus membayar biaya pemerintahan per kapita yang lebih besar.2 Dalam bidang pelayanan publik, masyarakat di daerah otonom baru juga cenderung tidak puas dengan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintahan DOB. Mereka menilai kualitas pelayanan publik cenderung menurun, sedangkan motivasi mereka dengan memiliki daerah otonom sendiri umumnya adalah karena ingin memperoleh akses dan kualitas pelayanan yang lebih baik. Tentu ada banyak penjelasan mengapa pembentukan DOB sering tidak menghasilkan kualitas pelayanan dan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik. Salah satunya, karena pembentukan DOB lebih didorong oleh kepentingan elit birokrasi dan politik yang ingin memperbesar akses mereka terhadap sumber daya kekuasaan daripada keinginan untuk memperbaiki akses dan kualitas pelayanan. Kenyataan bahwa daerah induk sering kurang memberi dukungan kepada daerah baru sebagaimana disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan ikut berkontribusi terhadap kesulitan DOB untuk memenuhi kebutuhan pelayanan warganya. Apalagi ketika dalam 2 DSF, Cost and Benefits of New Region Creation in Indonesia, Policy Brief, November 2007.
24
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
proses pemekaran, muncul masalah antara daerah induk dengan daerah baru mengenai penguasaan aset, sumber daya alam, dan batas-batas daerah yang rawan terhadap konflik antara daerah induk dengan daerah baru, dukungan daerah induk terhadap DOB menjadi semakin tidak lancar. Bahkan, hubungan antara daerah induk dan DOB yang tidak harmonis sering menjadi sumber konflik antara penduduk di kedua daerah itu. Ketidakjelasan peta, misalnya, dapat menjadi sumber konflik antara penduduk kedua daerah yang kalau tidak dikelola dengan baik akan memicu konflik horizontal yang meluas,3 apalagi kalau daerah induk dan DOB memiliki ciri-ciri primordial yang berbeda. Konflik dapat meluas ke ranah yang lain dan semakin melebar hingga merugikan masyarakat luas. Ketidakjelasan peta daerah juga sering mendorong perebutan aset dan sumber daya alam antar masyarakat di daerah induk dan daerah baru. Konflik ini meluas karena pemekaran daerah pada tingkat provinsi dan kabupaten mendorong pemekaran pada tingkat yang lebih rendah, seperti pemekaran kecamatan dan kelurahan/desa.4 Persyaratan pembentukan DOB yang menentukan jumlah minimal kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan jumlah minimal kecamatan untuk pembentukan kabupaten/kota telah mendorong terjadi pemekaran pada satuan pemerintahan di tingkat bawah. Pemekaran pada tataran yang semakin rendah memiliki potensi konflik horizontal yang semakin tinggi terkait dengan semakin tidak tersedianya peta daerah yang jelas, yang membuat pembagian aset dan sumber daya alam menjadi semakin rumit. Konflik penguasaan aset dan sumber daya alam pada tingkat bawah cenderung menghasilkan konflik horizontal yang keras, karena perselisihan aset, tanah, dan sumber daya alam secara langsung berpengaruh bagi kehidupan mereka.5 C.
Analisis
Pembentukan DOB secara masif dalam waktu yang relatif singkat telah melahirkan problema baru dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Biaya pemerintahan yang semakin mahal, konflik sosial horizontal yang sering kali muncul sebagai ekses dari pembentukan DOB, dan proliferasi birokrasi secara spasial yang semakin tinggi mendorong berbagai pihak untuk secara kritis memikirkan kembali format pembentukan DOB. Berbagai pihak bahkan mendorong untuk melakukan moratorium pembentukan DOB, sambil memberi kesempatan kepada pemerintah Indonesia untuk menata ulang kebijakan pemekaran daerah agar kebijakan baru nantinya benar-benar dapat mendorong reformasi teritorial yang mampu memperkokoh kebijakan desentralisasi dan dapat mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat. Untuk dapat merumuskan kebijakan yang tepat dan mampu menjawab persoalan yang dihadapi pemerintah Indonesia dalam pembentukan DOB, beberapa penyebab dari meluasnya upaya pengembangan DOB perlu dianalisis. Pertama, ketidakjelasan kerangka kebijakan yang mengatur pembentukan daerah otonom baru. Dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004, pembentukan daerah otonom baru belum diatur secara jelas. Alas hukum yang digunakan untuk mengatur pembentukan daerah otonom baru selama ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah yang kemudian diperbaharui menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Walaupun PP No. 78 Tahun 2007 telah mengatur secara rinci prosedur, persyaratan, dan tata cara pembentukan daerah 3 Diskusi Tim Pakar bersama komponen Departemen Dalam Negeri, Desember 2008 di Hotel Millenium, Jakarta 4 ibid 5 Wawancara Tim Peneliti MAP UGM dengan beberapa pemangku kepentingan di Seram dan Ruteng.
25
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
otonom, kenyataaanya keberadaan peraturan pemerintah tersebut belum mampu mengendalikan proses pembentukan DOB secara wajar. Salah satunya karena ketidakkuatan PP ini ketika berbenturan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang memberi ruang terjadinya pembentukan DOB. Misalnya, ketika PP No. 78 Tahun 2007 berbenturan dengan UU No.10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah ini menjadi tidak banyak artinya. Kedua, besarnya insentif yang diterima oleh berbagai pemangku kepentingan sebagai akibat dari pembentukan DOB. Pembentukan DOB menciptakan begitu banyak insentif kepada multi-pihak. Elit politik di DPR diuntungkan oleh adanya pembentukan DOB melalui semakin banyaknya peluang bagi partai politik untuk memiliki representasi yang semakin besar di daerah dan keuntungan pribadi yang mungkin diperoleh melalui serangkaian aktivitas yang dilakukan dalam proses pembentukan DOB. Elit birokrasi dan politik di daerah juga diuntungkan dengan tersedianya jabatan politik dan birokrasi baru yang terbuka bagi mereka. Masyarakat dan sektor swasta diuntungkan dengan adanya pembangunan sarana dan prasarana untuk mendukung kegiatan pemerintahan di DOB. Daerah pun diuntungkan dengan adanya DAU yang diberikan kepada DOB. Selagi insentif seperti ini masih dapat dinikmati oleh para pihak di pusat dan daerah, maka pengembangan DOB akan terus terjadi dan amat sulit dikendalikan. Ketiga, selama ini tidak ada kajian untuk menilai pengaruh pembentukan DOB bagi daerahdaerah lainnya. Kajian yang ada selama ini cenderung hanya memusatkan perhatian terhadap implikasi pembentukan DOB bagi daerah induk dan DOB itu sendiri. Sementara itu, implikasi pembentukan DOB bagi daerah otonom lainnya cenderung diabaikan.6 Kajian perlu dilakukan untuk menilai seberapa besar proporsi anggaran untuk pelayanan publik di DOB dan daerah otonom lainnya menjadi semakin kecil sebagai akibat dari semakin banyaknya daerah otonom. Kajian ini penting untuk menilai apakah pembentukan satu DOB perlu memperoleh persetujuan dari daerah-daerah lainnya, di luar daerah induk karena dampak dari pembentukan DOB juga ditanggung oleh daerah-daerah lainnya. Keempat, evaluasi kinerja daerah otonom perlu dilakukan secara sungguh-sungguh untuk menjadi dasar bagi kebijakan reformasi teritorial. Evaluasi ini penting untuk menilai apakah satu daerah perlu dipertahankan status otonominya, difasilitasi untuk dimekarkan karena dinilai terlalu besar sehingga skala pemerintahannya menjadi tidak efektif, atau digabung dengan daerah lainnya karena tidak layak menjadi daerah otonom. Pemerintah telah membentuk Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaran Pemerintah dan mengatur tentang kemungkinan satu daerah otonom yang memiliki kinerja yang buruk selama tiga tahun berturut-turut untuk digabung dengan daerah lain, namun implementasi peraturan pemerintah tersebut sejauh ini belum jelas. D.
Usul Penyempurnaan
Perlu adanya pengaturan yang jelas mengenai proses, kriteria, dan pentahapan pembentukan daerah baru yang jelas dan ketat. Pengaturan yang ada dalam UU No. 32 Tahun 2004 dirasakan masih terlalu longgar sehingga pembentukan daerah otonom baru lebih banyak didorong oleh kepentingan sempit dari elit di daerah. Pengaturan baru harus menjamin bahwa pembentukan daerah otonom baru benar-benar dilakukan untuk kepentingan masyarakat luas di daerah dan manfaat keberadaannya dapat dirasakan oleh masyarakat luas.
6 Daerah otonom lainnya setidaknya akan mengalami kerugian karena proporsi DAU yang mereka terima akan menjadi semakin kecil. Hal ini terjadi karena alokasi DAU dari APBN akan dibagi kepada semakin banyak daerah otonom.
26
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
1. Perlu adanya pengaturan yang komprehensif mengenai penghapusan daerah kalau daerah tersebut memang tidak mampu melaksanakan otonominya untuk menciptakan kesejahteraan yang minimal. Daerah-daerah yang tidak mampu tersebut mungkin saja digabung dengan daerah-daerah lainnya atau di bawah pengelolaan Pemerintah Pusat. Untuk itu diperlukan pengaturan yang jelas dan instrumental bagi pemerintah untuk melikuidasi daerah otonom dan menjadikannya daerah administratif atau menggabungkan dua atau lebih daerah otonom menjadi menjadi satu daerah otonom baru. PP No. 6 Tahun 2008 telah mengatur tentang evaluasi kinerja daerah otonom dan kemungkinan adanya penggabungan antar daerah otonom. Beberapa aspek yang terkandung dalam peraturan pemerintah tersebut dapat dimasukan dalam revisi UU No. 32 Tahun 2004. 2. Perlu ada pengaturan yang jelas tentang persyaratan, kriteria, dan mekanisme pembentukan DOB dengan mengadopsi pengaturan yang ada di PP No. 78 Tahun 2007. Dengan memasukan pengaturan yang ada dalam PP 78/2007 ke dalam revisi UU No. 32 Tahun 2004, maka kedudukan pengaturan tersebut akan menjadi semakin kuat dan dapat menjadi pegangan bagi semua pemangku kepentingan dalam melakukan reformasi penataan daerah di Indonesia. Selain itu, perlu juga ada pengaturan tentang jumlah penduduk minimal dalam satu daerah otonom, mengingat beberapa DOB memiliki jumlah penduduk yang sangat kecil dan tidak memungkinkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang optimal. 3. Perlu adanya pengaturan mengenai daerah persiapan sebelum sebuah daerah menjadi daerah otonom penuh. Sebelum ditetapkan menjadi daerah otonom definitif, daerah bersangkutan harus ditetapkan terlebih dahulu menjadi calon daerah otonom dalam jangka waktu minimal 3 (tiga) tahun dan maksimum 5 (lima) tahun. Pembinaan, pengawasan dan pembiayaan daerah persiapan ini dilakukan oleh daerah induk. Bila dalam jangka waktu tersebut daerah persiapan dianggap tidak mampu, maka ia harus kembali pada daerah asal. 4. Perlu diatur dengan jelas mengenai siapa yang memiliki kewenangan untuk mengusulkan daerah otonom baru. Karena pemekaran dan penggabungan daerah adalah domain dari eksekutif, maka seharusnya inisiatif pembentukan daerah berasal dari pemerintah, baik pusat dan daerah. Pemerintah dan daerah dapat mengusulkan pembentukan daerah otonom baru atas pertimbangan strategis tertentu. Pengaturan tentang proses pengusulan daerah otonom oleh daerah dan pemerintah, masing-masing perlu diatur dengan jelas agar proses pembentukan daerah otonom baru dilakukan secara terbuka dan akuntabel. 5. Perlu juga dipersiapkan mekanisme insentif dan disinsentif bagi daerah untuk melakukan pemekaran atau penggabungan. Insentif perlu dibuat untuk mendorong daerah bergabung dengan daerah lainnya. Sebaliknya, disinsentif perlu diciptakan bagi daerah untuk melakukan pemekaran. Pemerintah perlu meninjau kembali formula pembagian DAU dengan menciptakan disinsentif bagi pembentukan DOB dan insentif bagi penggabungan satu daerah dengan daerah lainnya. IV.2.
Pembagian Urusan Pemerintahan dan Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah
Ada dua masalah penting yang perlu diatur lebih jelas dalam pembagian urusan. Masalah yang pertama menyangkut ketidakjelasan pembagian urusan pemerintahan antara provinsi dan kabupaten/kota, serta hubungan antara pemerintahan provinsi dengan pemerintahan kabupaten/kota. Kedua, ketidakjelasan peran dan sumber daya yang digunakan oleh
27
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Gubernur sebagai wakil pusat. Bagian ini akan membahas kedua masalah tersebut secara terpisah. IV.2.a. Pembagian Urusan Pemerintahan, Provinsi dan Kabupaten/Kota A.
Dasar Pemikiran
Pembagian urusan (functional assignment) dalam negara kesatuan memiliki karakteristik yang berbeda dengan di negara federal. Di negara kesatuan, pembagian urusan antar pemerintahan dilakukan oleh negara (pemerintah dan DPR) melalui undang-undang. Melalui undang-undang, negara membentuk daerah provinsi dan kabupaten/kota, lalu menyerahkan sebagian urusan pemerintah kepada daerah, bukan sebaliknya. Di negara federal, negara bagian (state) membentuk negara dan menyerahkan sebagian urusan pemerintahan kepada pemerintah federal dan mengaturnya dalam konstitusi. Kedudukan negara bagian sangat kuat, sebab mereka memiliki kompetensi bukan hanya dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, tetapi juga dalam bidang legislatif dan peradilan. Di negara kesatuan, urusan yang diserahkan kepada daerah adalah urusan pemerintahan semata, bukan urusan-urusan lainnya. Besarnya jumlah urusan yang akan diserahkan kepada daerah diserahkan sepenuhnya kepada negara. Negara melalui undang-undang dapat menambah dan mengurangi urusan yang diserahkan ini. Namun, karena pembentukan daerah dimaksudkan untuk mempermudah pelayanan terhadap kebutuhan warga dan memperluas arena demokrasi, pembagian urusan kepada daerah perlu mempertimbangkan berbagai kriteria seperti kompetensi daerah, efisiensi, skala ekonomi, eksternalitas, akuntabilitas, dan kriteria lainnya, yang memungkinkan pemerintah dan daerah dapat secara optimal dan sinergis mensejahterakan warganya. Dalam negara kesatuan, secara umum, ada dua cara untuk membagi urusan pusat dan urusan daerah. Pertama, negara menentukan secara spesifik urusan yang diserahkan kepada daerah dan pemerintah, serta menetapkannya dalam peraturan perundangundangan (ultravires). Kedua, negara menentukan urusan yang diatur pusat dan sisanya menjadi urusan daerah (general competency). Indonesia pernah menggunakan kedua cara tersebut. UU No. 32 Tahun 2004 mencoba mengkombinasikan kedua cara di atas dengan menentukan secara jelas urusan yang menjadi kewenangan pusat dan daerah, tetapi juga memungkinkan keduanya melaksanakan urusan tertentu berdasarkan atas kriteria tertentu seperti eksternalitas, efisiensi, dan akuntabilitas. Dalam pembagian urusan harus terdapat kejelasan pembagian wewenang mengatur dan mengurus di wilayah yurisdiksi: pusat, propinsi dan kabupaten/kota (Hoessein & Prasojo, 2007). Tidak boleh ada tumpang tindih antara satu yurisdiksi dengan yurisdiksi lainnya. Wewenang mengatur dan mengurus harus dibagi habis secara jelas antar tingkatan pemerintahan. Wewenang mengurus dan mengatur berdasarkan azas sentralisasi diletakkan di pemerintah pusat. Sedangkan wewenang mengatur dan mengurus berdasarkan azas desentralisasi dan tugas pembantuan titik beratnya diletakan pada yang paling dekat dengan masyarakat (prinsip subsidiaritas). Di negara kesatuan, tidak mungkin ada satu urusan yang hanya dilakukan secara desentralisasi tanpa sentralisasi. Artinya, negara dapat memberi wewenang kepada pemerintah mengatur urusan-urusan pemerintahan, sekalipun urusan tersebut diselenggarakan melalui azas desentralisasi atau tugas pembantuan. Dalam urusan yang diserahkan kepada daerah, pemerintah memiliki kewenangan untuk membuat norma,
28
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
standar, pedoman, dan kriteria (NSPK) yang harus dijadikan dasar oleh provinsi dan kabupaten/ kota untuk mengelola urusan yang menjadi kewenangannya. Pemerintah dapat mengatur dan mengurus urusan yang menurut kriteria tertentu sebaiknya dikelola secara inklusif oleh pemerintah. Hal ini berbeda dengan negara federal di mana baik pemerintah federal maupun pemerintah negara bagian masing-masing dapat secara inklusif memiliki wewenang mengatur dan mengurus untuk satu urusan pemerintahan tertentu. B.
Identifikasi Permasalahan
Pembagian urusan pemerintahan masih menjadi tarik menarik antara pemerintah, provinsi, dan kabupaten/ kota. Salah satu sumbernya adalah karena ketidakjelasan UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 38 Tahun 2007 dalam membagi urusan antar tingkat pemerintahan yang berbeda. Kendati UU No. 32 Tahun 2004 telah menentukan kriteria yang digunakan untuk membagi urusan, namun dalam praktiknya, penggunaan kriteria sangat sulit dilakukan. Kriteria efisiensi dalam penyelenggaraan urusan selalu mengarah pada skala ekonomi, sehingga urusan cenderung diserahkan kepada pemerintah yang lebih tinggi. Sementara itu, kriteria akuntabilitas cenderung menunjuk pada tingkat pemerintahan yang lebih dekat dengan masyarakat. Penerapan kriteria eksternalitas juga tidak sederhana karena pemerintah daerah sering kurang memperhatikan dampak dari kegiatannya terhadap pihak lain diluar yurisdiksinya. PP No. 38 Tahun 2007 telah mencoba mengatur urusan pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota untuk semua urusan konkuren. Peraturan pemerintah ini menjelaskan bahwa provinsi menyelenggarakan urusan skala provinsi, sedangkan kabupaten/kota menyelenggarakan urusan skala kabupaten/kota. Namun, mana urusan yang skala provinsi dan mana urusan skala kabupaten/kota untuk setiap sektor belum dapat dirumuskan dengan jelas. Akibatnya, banyak pelaku dan pemangku kepentingan yang kemudian memberi interpretasi yang berbeda-beda tentang mana urusan pemerintah, provinsi, dan kabupaten/ kota. Ketidakjelasan pembagian urusan antar susunan pemerintahan sering menjadi sumber konflik antara daerah dengan kementrian dan lembaga di pusat dan menimbulkan kekaburan dari konsep desentralisasi itu sendiri. Kementrian dan LPND sering mengembangkan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan semangat UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 38 Tahun 2007. Mereka enggan untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan yang dimilikinya dengan UU No. 32 Tahun 2004. Mereka memahami pembagian urusan berdasarkan atas apa yang sudah mereka lakukan secara rutin berdasarkan struktur kelembagaan yang ada, bukan atas pertimbangang konsepsional tentang pembagian peran antara pusat dan daerah dalam era desentralisasi. Akibatnya, disharmoni antara UU No. 32 Tahun 2004 dengan undang-undang sektoral tak terhindar lagi dan menciptakan arena konflik antara daerah dan Kementrian/LPND dalam pengelolaan urusan pemerintahan. Masalah lain yang muncul dari pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 adalah pembagian urusan menjadi urusan wajib dan urusan pilihan yang harus diselenggarakan daerah. Pengaturan urusan wajib dan pilihan secara simetris kepada daerah yang berbeda karakteristik dan lingkungannnya dinilai tidak cocok. Urusan wajib seharusnya dibatasi pada urusan pemenuhan kebutuhan dasar dan strategis yang umumnya dihadapi oleh daerah, sedangkan urusan pilihan sebaiknya diperluas agar dapat memberi ruang kepada daerah untuk mengembangkan pemerintahan sesuai dengan tantangan dan kebutuhan daerah.
29
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Dalam penyelenggaraan urusan wajib, terutama pemenuhan kebutuhan dasar warga, pemerintah perlu membuat Standar Pelayanan Minimal (SPM) atau standar lainnya untuk menjamin agar warga di mana pun mereka berada dapat mengakses pelayanan yang setara. Namun, sejauh ini SPM dan standar pelayanan untuk berbagai urusan belum dapat dirumuskan secara memadai sehingga ketimpangan pelayanan antar daerah tidak terelakkan. C.
Analisis
Walaupun UU No. 32 Tahun 2004 telah menentukan urusan pemerintahan yang secara esklusif menjadi kewenangan pusat dan urusan yang didesentralisasikan ke daerah, serta telah menentukan kriteria pembagian urusan pemerintahan seperti eksternalitas, efisiensi, dan akuntabilitas, tetapi pembagian urusan antara pusat dan daerah masih menjadi arena konflik kepentingan antara pusat dan daerah. Kesulitan melakukan pembagian urusan antar susunan pemerintahan sebagian disebabkan oleh banyaknya urusan pemerintahan yang didesentralisasikan ke daerah. Pelimpahan urusan ke daerah yang sangat masif dan serentak, yang belum pernah dilakukan oleh negara lainnya, membuat Indonesia mengalami kesulitan untuk belajar dari pengalaman negara lain dalam melakukan desentralisasi urusan. Kesulitan memperoleh lesson-learned (hasil pembelajaran) dari negara-negara lain membuat contoh-contoh tentang pembagian urusan antar susunan pemerintahan, yang bisa dijadikan pertimbangan untuk melakukan hal yang sama di Indonesia, relatif sangat terbatas. Di tingkat pusat, persoalan muncul karena UU No. 32 Tahun 2004 kurang sinkron dengan undang-undang sektoral. Kendati UU No. 32 Tahun 2004 telah memerintahkan pengalihan urusan wajib dan pilihan kepada daerah, dalam kenyataannya beberapa kementrian/LPND masih enggan melakukannya. Banyak undang-undang sektoral yang belum searah dengan semangat dari kebijakan desentralisasi. Keinginan untuk mempertahankan status-quo muncul karena kepentingan-kepentingan jangka pendek dari para pejabat di kementrian/LPND yang terkait dengan risiko perampingan organisasi dan berkurangnya akses terhadap anggaran ketika urusan didesentralisasikan ke daerah. Di sisi lain, kesulitan muncul akibat meluasnya miskonsepsi para pemangku kepentingan di daerah tentang desentralisasi dan hubungan antar susunan pemerintahan. Pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 telah membentuk persepsi para pemangku kepentingan di daerah bahwa semua urusan di luar urusan eksklusif adalah urusan daerah dan pemerintah tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengatur penyelenggaraan urusan di luar urusan yang eksklusif. Daerah seringkali menganggap setiap pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap urusan yang telah didesentralisasikan sebagai campur tangan pusat terhadap urusan daerah. Padahal dalam negara kesatuan, tidak ada urusan yang sepenuhnya menjadi urusan daerah. Pemerintah setidak-tidaknya memiliki kewenangan untuk merumuskan NSPK, yang seharusnya menjadi dasar bagi daerah dalam menyelenggarakan urusan yang telah didesentralisasikan. Miskonsepsi lainnya muncul terkait dengan hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota dalam urusan yang telah didesentralisasikan. Kabupaten/kota cenderung menganggap semua urusan yang didesentralisasikan tersebut menjadi urusannya dan mengabaikan interdepensi dan interelasi dalam penyelenggaraan urusan antar kabupaten/kota, di mana provinsi dapat mengambil peran untuk mengatur dan mengurus urusan yang, karena pertimbangan eksternalitas, efisiensi dan akuntabilitas, sebaiknya dilakukan pada tingkat provinsi. Belum adanya pengaturan yang jelas tentang pembagian urusan antara provinsi
30
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
dan kabupaten/kota dalam urusan wajib dan pilihan membuat duplikasi dan konflik dalam penyelenggaraan urusan antara provinsi dan kabupaten/kota kerap tidak bisa dihindari. Konflik kepentingan antar kementrian/LPND, provinsi, dan kabupaten/kota menjadi salah satu faktor yang mempersulit upaya untuk memperjelas pembagian urusan antar susunan pemerintahan. Pembagian urusan menjadi arena perebutan kewenangan, akses terhadap anggaran, dan sumber daya kekuasaan antar susunan pemerintahan. Upaya untuk memperjelas pembagian urusan antar susunan pemerintahan selalu memunculkan pro dan kontra antara para pemangku kepentingan yang berbeda-beda. Karena itu, pembagian urusan harus dilakukan secara tepat dengan menggunakan kriteria yang jelas, rasional, dan proporsional sesuai dengan kompetensi dan sumber daya yang tersedia pada masingmasing susunan pemerintahan. D.
Usul Penyempurnaan
1. Perlu restrukturisasi pengaturan mengenai pembagian urusan pemerintahan dalam penyempurnaan UU No. 32 Tahun 2004. Restrukturisasi dilakukan dengan menata kembali arsitektur pembagian urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan. Pertama, mengubah konsep yang digunakan untuk membagi urusan pemerintahan menjadi urusan eksklusif dan urusan konkuren (dapat didesentralisasikan). Urusan eksklusif adalah urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat, sedangkan urusan konkuren adalah urusan yang dapat diatur oleh pemerintah dan atau daerah, yang penentuannya dilakukan melalui kriteria tertentu. Kedua, memperjelas cara penyelengaraan urusan pusat dengan menentukan urusan yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah sendiri secara langsung, dengan menggunakan dekosentrasi, dan tugas pembantuan. Dekonsentrasi perlu dibatasi hanya pada urusan eksklusif dan urusan konkuren yang karena kriteria tertentu diambil kembali oleh pemerintah sebagai urusan pemerintah. Dengan memperjelas cara penyelenggaraan urusan pemerintahan, hubungan antar tingkat dan susunan pemerintahan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan akan dapat ditata lebih baik. 2. Perlu pengaturan yang jelas tentang urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib dibedakan menjadi dua kelompok urusan, urusan yang terkait dengan kebutuhan dasar warga yang minimal harus dipenuhi oleh daerah dan urusan wajib yang terkait dengan kebijakan nasional strategis, seperti Keluarga Berencana. Urusan wajib yang terkait dengan urusan dasar harus diselenggarakan oleh daerah berdasarkan SPM yang dibuat oleh pemerintah, sedangkan urusan wajib yang terkait dengan kepentingan strategis pemerintah diselenggarakan berdasarkan standar lainnya yang diatur dalam NSPK yang dibuat pemerintah. Karena penyelenggaraan urusan wajib ini sangat penting bagi kesejahteraan masyarakat, undang-undang juga perlu mengatur tentang sangsi bagi daerah yang gagal menyelenggarakan urusan wajib sesuai dengan SPM atau NSPK. 3. Perlu dibuat pengaturan yang lebih jelas tentang penyelenggaraan urusan pilihan. Daerah menyelenggarakan urusan pilihan untuk pengembangan keunggulan daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat. Pengambilan keputusan tentang urusan pilihan yang akan dikelola oleh daerah dapat didasarkan pada struktur PDRB, mata pencaharian penduduk, dan pemanfaatan sumber daya lokal yang tersedia di daerah. Penyelenggaraan urusan pilihan yang dibuat oleh daerah harus sinergis dan terintegrasi dengan kebijakan nasional untuk peningkatan daya saing bangsa. 4. Untuk menjalankan fungsi pemantauan (monitoring), supervisi, dan fasilitasi penyelenggaraan urusan, pemerintah menugaskan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap kabupaten/kota.
31
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Sedangkan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan oleh provinsi dilakukan oleh pemerintah pusat. Dalam menjalankan peran sebagai wakil pemerintah pusat, Gubernur dapat memanfaatkan perangkat daerah dengan pembiayaan dari APBN. 5. Mengingat variabilitas antar daerah dalam penyelenggarakan urusan dasar sangat tinggi, maka undang-undang perlu memberi ruang bagi daerah untuk membuat standar pelayanan daerah yang tidak melanggar SPM. Daerah provinsi dan kabupaten/kota yang memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari yang ditentukan dalam SPM dapat membuat standar pelayanan di atas standar yang diatur dalam SPM. Untuk memberdayakan daerah yang kurang mampu memenuhi standar pelayanan provinsi dan SPM, provinsi perlu diberi peran untuk melakukan ekualisasi di daerahnya. Dengan memberi peran ini kepada provinsi, maka diharapkan pemerataan akses pelayanan masyarakat di berbagai daerah dapat diperbaiki sehingga kesejahteraan sosial ekonomi yang merata dapat diwujudkan di daerah. IV.2.b.
Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah dan Sebagai Kepala Daerah
A.
Dasar Pemikiran
Dalam negara kesatuan, pemerintah pusat memiliki peran yang sangat kuat dalam menjaga kepentingan nasional. Pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk menjamin bahwa kebijakan-kebijakan nasionalnya dapat dilaksanakan secara efektif di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu, penyelenggaraan pemerintahan daerah harus mengikuti NSPK yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Penyerahan urusan pemerintahan yang sebagian besar diberikan kepada kabupaten/kota menuntut pemerintah untuk memastikan bahwa kabupaten/kota mengatur dan mengurus urusan tersebut sesuai dengan NSPK. Untuk menjamin kabupaten/kota mematuhi NSPK yang telah dibuat, maka pemerintah perlu melakukan pemantauan, evaluasi, pembinaan dan pengawasan. Pertanyaannya adalah, apakah ketika melakukan pemantauan, evaluasi, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah pusat harus melakukannya sendiri, mendelegasikanya pada kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, atau mendelegasikannya kepada pemerintahan daerah provinsi sebagai tugas pembantuan? Pertanyaan seperti ini penting mendapat perhatian mengingat pilihan institusi dan mekanisme yang akan digunakan akan memiliki implikasi yang sangat luas, baik secara politik, organisasional, dan legal. Dalam sejarah perkembangan pemerintahan daerah, Gubernur memiliki peran yang berubah-ubah. Dalam UU Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Gubernur memiliki peran sebagai kepala daerah dan sekaligus sebagai alat pusat. Sedangkan dalam Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah, Gubernur lebih banyak berperan menjadi alat pemerintah pusat. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, pelaksanaan otonomi dititikberatkan pada daerah tingkat II dan, bersamaan dengan itu, asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi. Dalam kenyataannya, pelaksanaan dekonsentrasi lebih menonjol daripada desentralisasi, peran kepala wilayah lebih menonjol daripada kepala daerah. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, Gubernur, Bupati, dan Walikota bertindak sebagai kepala daerah sekaligus sebagai kepala wilayah.
32
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
Dalam UU No. 22 Tahun 1999, pemerintah menerapkan split model dengan mendudukan kepala daerah semata-mata sebagai alat daerah dan tidak merangkap sebagai kepala wilayah. Bupati/Walikota adalah kepala daerah dan tidak merangkap sebagai kepala wilayah. Daerah provinsi dinyatakan sebagai daerah otonom yang memiliki otonomi terbatas. Disamping sebagai daerah otonom, provinsi juga sebagai wilayah administrasi dan Gubernur, selain sebagai kepala provinsi, berperan sebagai wakil pemerintah pusat. UU No. 32 Tahun 2004 juga menganut paradigma yang sama dengan dengan UU No. 22 Tahun 1999, namun lebih memperkuat peranan Gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah dengan rincian tugas, wewenang dan kewajiban yang bersifat ”attributed”, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 37 dan Pasal 38.7 Dalam perkembangannya, keberadaan pasal tersebut dirasakan belum mampu menempatkan Gubernur secara jelas, baik sebagai kepala provinsi maupun sebagai wakil pemerintah pusat. Tarik menarik peran gubernur sebagai kepala provinsi dan wakil pemerintah pusat selalu terjadi sesuai dengan dinamika penyelenggaraan pemerintahan daerah dan kepentingan pemerintah dalam menjamin kepentingan nasional dan kesatuan bangsa. Pengaturan mengenai peran gubernur baik sebagai kepala provinsi dan sebagai wakil pemerintah perlu dirancang untuk menjamin keutuhan wilayah Indonesia, kesatuan bangsa, dan mendorong dinamika penyelenggaraan pemerintahan daerah. Harus ada pembagian peran yang jelas dari Gubernur sebagai kepala provinsi dan wakil pemerintah pusat, instrumen kelembagaan dan sumber biaya yang akan digunakan oleh Gubernur dalam menjalankan masing-masing perannya, mekanisme yang akan digunakan untuk memainkan masing-masing peran itu dengan baik, dan implikasi dari pelaksanaan masing-masing peran tersebut. Pilihan untuk memanfaatkan kedudukan Gubernur sebagai wakil pusat dan instrumen kelembagaannya perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap kompleksitas struktur birokrasi di daerah, efisiensi, dan kejelasan hubungan antara susunan pemerintahan. B.
Identifikasi Permasalahan
Peran gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah selama ini masih sangat terbatas. UU No. 32 Tahun 2004 hanya mengatur peran gubernur dalam pasal 37 dan pasal 38, dengan menempatkan Gubernur sebagai aparat dekonsentrasi atau wakil pemerintah pusat di daerah. Dalam pasal 38 UU No. 32 Tahun 2004, Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat memiliki peran pembinaan dan pengawasan (Binwas) untuk penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota, koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di kabupaten/kota, dan koordinasi Binwas penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota. Dalam kenyataannya, peran gubernur sebagaimana disebutkan tadi kurang dapat dilaksanakan secara optimal karena berbagai sebab, seperti yang diuraikan berikut ini. Pertama, konflik kepentingan sering terjadi ketika Gubernur sebagai kepala daerah otonomi memiliki kepentingan yang berbeda dengan Menteri/Kepala LPND dalam berbagai aspek pengelolaan kegiatan pembangunan di daerahnya. Misalnya, dalam pengelolaan kegiatan 7 Dalam UU No. 32 Tahun 2004, pemerintah menggunakan “fused model” yang menempatkan gubernur disamping sebagai kepala daerah otonom, juga menjadi wakil pemerintah pusat, sedangkan untuk kabupaten dan kota diberlakukan ”split model”, yang artinya bupati/walikota hanya berkedudukan sebagai kepala daerah otonom. Bupati/walikota menurut UU No. 32 Tahun 2004 tidak merangkap sebagai wakil pemerintah pusat. Diskusi tentang hal ini dapat dibaca dalam makalah E. Koswara Kertapraja (2007) berjudul Pokok-Pokok Pikiran Tentang Permasalahan Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat.
33
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
pertambangan, kehutanan, dan kegiatan lainnya, seringkali posisi Gubernur sebagai kepala daerah otonom berbeda dengan posisi yang diambil oleh Departemen/LPND. Dalam UU No. 32 Tahun 2004, peran ganda gubernur sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah yang bertanggungjawab kepada Presiden belum diatur secara jelas, sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda-beda tentang kedudukan Gubernur, sebagai kepala daerah atau sebagai wakil pemerintah pusat. Peran ganda gubernur, sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah pusat, sering menimbulkan konflik peran ketika kepentingan provinsi berbeda dengan kepentingan pemerintah pusat. Sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, Gubernur kerap harus mengamankan kebijakan pemerintah pusat, yang kadangkala berbenturan dengan kepentingan daerahnya. Ketika kebijakan departemen/LPND berbeda dengan kepentingan daerah, Gubernur mengalami kesulitan untuk mengambil peran sebagai wakil pemerintah pusat. UU No. 32 Tahun 2004 belum mengatur situasi seperti ini, karena itu revisi undangundang ini perlu mengatur secara lebih jelas mengenai hal ini. Kedua, sebagai wakil pemerintah pusat, Gubernur melaksanakan tugas dekonsentrasi. Namun, peran gubernur dalam pelaksanaan tugas dekonsentrasi tidak diatur dengan jelas. Pasal 10 ayat 4 dan ayat 5 dalam UU No. 32 Tahun 2004 tidak mengatur dengan jelas mengenai tugas yang harus dilakukan Gubernur. Pasal tersebut hanya mengatakan bahwa pemerintah pusat dapat melimpahkan penyelenggaraan urusannya kepada Gubernur. Selebihnya, pelimpahan urusan pemerintah kepada gubernur tidak diatur dalam undangundang. Hal ini sering membuat kedudukan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah menjadi tidak jelas. Ketiga, dalam menjalankan tugas dekonsentrasi, Gubernur sebagai wakil pusat di daerah tidak mempunyai perangkat dekonsentrasi sendiri, hanya dibantu oleh perangkat daerah yang ditugaskan untuk melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi dengan sumber pembiayaan yang kurang jelas. Hal ini sering menimbulkan ketidakjelasan dalam pertanggungjawaban pengelolaan tugas dekonsentrasi. Disamping itu, tidak tersedianya sarana dan prasarana yang mendukung peran gubernur dalam menjalankan tugas-tugas dekonsentrasi menjadikan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah tidak efektif. Keempat, ketidakjelasan pengaturan tentang peran gubernur seringkali menimbulkan kerancuan peran dan tugas gubernur dalam melakukan pemantauan terhadap kabupaten/kota. Pelaksanaan tugas pemantauan terhadap kinerja kabupaten/kota sering dilakukan secara campur aduk dalam konteks dekonsentrasi sekaligus desentralisasi. Pasal 37 dan 38 dalam UU No. 32 Tahun 2004 secara jelas memberi tugas kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk melakukan Binwas terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Namun, pasal-pasal tersebut tidak mengatur dengan cukup jelas tentang apakah Binwas ini perlu juga dilakukan dalam pelaksanaan desentralisasi atau hanya terbatas pada pelaksanaan tugas dekonsentrasi. Kelima, hubungan koordinasi antara provinsi dan kabupaten/kota selama ini masih kurang berjalan secara efektif. Kewenangan dan kapasitas pemerintah provinsi untuk melaksanakan koordinasi dalam perencanaan program pembangunan dan pelayanan publik yang memiliki eksternalitas lintas kabupaten/kota kurang dapat dikelola secara efektif dan sinergis. Pemerintah provinsi tidak memiliki kewenangan yang jelas untuk dapat mengatur kegiatan pembangunan dan pelayanan publik, yang mencakup wilayah lebih dari satu kabupaten/kota agar dapat diselenggarakan secara sinergis. Pengaturan yang jelas tentang kewenangan provinsi dalam koordinasi perencanaan pembangunan daerah dan penyelenggaraan pelayanan publik perlu dilakukan dengan jelas.
34
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
Keenam, pelaksanaan tugas pembantuan oleh provinsi kepada kabupaten/kota dan desa belum memiliki pengaturan yang jelas. Akibatnya, pelaksanaan tugas pembantuan dari provinsi kepada kabupaten/kota belum dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Supaya pemerintah provinsi memiliki dasar yang kuat untuk melaksanakan tugas pembantuan kepada kabupaten/kota dan desa, pengaturan yang jelas diperlukan mengenai kriteria dan konsekuensi dari pelaksanaan tugas pembantuan. C.
Analisis
Provinsi dan kabupaten/kota merupakan daerah otonom. Namun, kendati keduanya adalah daerah otonom, provinsi memiliki peran ekualisasi, fasilitasi dan pemberdayaan terhadap kabupaten/kota terkait dengan kebijakan yang menggambarkan kekhasan provinsi. Dalam UU No. 32 Tahun 2004, peran tersebut belum diatur dengan jelas. Karena itu, pelaksanaan berbagai peran tersebut belum dapat dilakukan secara optimal. Rendahnya optimalisasi dari pelaksanaan peran tersebut membuat penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota kurang dapat dikoordinasikan secara efektif dan sinergis untuk mencapai tujuan pembangunan provinsi. Disamping hubungan antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, masalah lain yang perlu dicarikan solusinya adalah peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Kedudukan gubernur sebagai kepala daerah dan sebagai wakil pemerintah pusat kurang dipisahkan dengan tegas dalam beberapa hal. Pertama, kapan Gubernur harus bertindak sebagai wakil pemerintah pusat dan kapan Gubernur harus bertindak sebagai kepala daerah. Hal ini perlu diatur dengan jelas karena memiliki implikasi kelembagaan dan anggaran yang berbeda. Ketidakjelasan pengaturan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan kepala daerah membuat fungsi ganda gubernur belum dapat berjalan dengan baik karena struktur kelembagaan dan anggaran belum dapat memberi dukungan yang kuat terhadap pelaksanaan fungsi ganda gubernur. Kedua, akibat dari tidak berjalannya secara optimal fungsi ganda itu maka pelaksanaan Binwas dari gubernur belum dapat berjalan dengan baik. Ini membuat penyelenggaraan pemerintahan di daerah selama ini kurang terkoordinasi dengan baik dan sinergis sehingga pembangunan daerah tidak dapat diwujudkan secara optimal. Apabila tidak dilakukan pengaturan yang jelas tentang fungsi ganda gubernur dalam revisi UU No. 32 Tahun 2004, upaya untuk mendorong adanya pembangunan daerah yang sinergis dan berkelanjutan dalam wilayah provinsi akan mengalami banyak hambatan. Pengaturan lebih jelas dan memperkuat peran gubernur dalam melakukan Binwas, koordinasi, dan penyelarasan kegiatan pembangunan di daerah akan dapat mengurangi ketegangan yang selama ini sering terjadi pada hubungan antara Bupati/Walikota dan Gubernur di daerah. Miskonsepsi dalam memahami pola hubungan tersebut cenderung mempersulit koordinasi dan sinergi dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di tingkat kabupaten/kota. Lebih dari itu, pengaturan juga diperlukan agar Gubernur dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah dan mengendalikan konflik yang terjadi di antara kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Penguatan fungsi ganda gubernur juga dapat memperkuat hubungan antar tingkatan pemerintahan. Dalam pelaksanaan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, maka hubungan antara Gubernur dengan Bupati/Walikota bersifat bertingkat, di mana Gubernur dapat melakukan peran Binwas terhadap kinerja Bupati/Walikota dalam penyelenggaraan urusan pemerintah di daerah. Sebaliknya Bupati/Walikota dapat melapor dan mengadu
35
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
kepada Gubernur apabila terjadi masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, termasuk dalam hubungan antar kabupaten/ kota. Penguatan peran Gubernur sebagai kepala daerah akan dapat memperkuat orientasi pengembangan wilayah dan memperkecil dampak kebijakan desentralisasi terhadap fragmentasi spasial, sosial, dan ekonomi di daerah. D.
Usul Penyempurnaan
1. Mengingat besarnya permasalahan yang muncul akibat dari ketidakjelasan peran kepala daerah provinsi dan gubernur, maka penyempurnaan UU No. 32 Tahun 2004 perlu mengatur lebih jelas tentang peran gubernur, baik sebagai kepala daerah maupun wakil pemerintah pusat. Pengaturan yang lebih jelas tentang kedudukan gubernur yang memiliki “dual function” juga sangat diperlukan untuk mengurangi konflik dan kesulitan membangun sinergi dalam pembangunan daerah. Sebagai wakil pusat, Gubernur dapat menggunakan perangkat daerah dengan biaya dari APBN. 2. Sebagai daerah otonom, provinsi dapat membuat kebijakan kekhasan provinsi yang mencirikan provinsi dan membedakannya dengan provinsi lainnya. Provinsi juga memiliki peran dalam pengembangan ekonomi wilayah dan kerjasama antar daerah dalam pengembangan kawasan. Provinsi karenanya dapat membuat peraturan daerah yang terkait dengan kekhasannya yang mengikat kabupaten/kota yang berada dalam wilayahnya. Disamping itu, provinsi memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan desentralisasi yang menjadi urusannya, lintas kabupaten/kota, dan atau urusan yang eksternalitasnya melewati batas-batas kabupaten/kota. Dalam konteks ini, Gubernur sebagai kepala provinsi memiliki kewenangan mengambil kebijakan yang mengikat kabupaten/ kota yang ada di wilayahnya. Untuk itu, pengaturan tentang peran gubernur sebagai kepala provinsi perlu dibuat agar dapat menjadi instrumen bagi gubernur dalam melakukan koordinasi, fasilitasi, dan pemberdayaan kabupaten/kota agar mereka dapat bersinergi demi mencapai tujuan pembangunan di provinsinya. 3. Provinsi dapat melakukan peran ekualisasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memberdayakan kabupaten/kota yang tidak mampu memenuhi standar pelayanan yang diterapkan di provinsinya. Provinsi dapat memberi bantuan teknis dan subsidi kepada kabupaten/kota yang tidak mampu memenuhi standar pelayanan yang berlaku di provinsinya. Dengan memainkan peran ekualisasi, manfaat keberadaan provinsi juga akan dapat dirasakan oleh kabupaten/kota yang ada di wilayahnya. 4. Pengaturan yang lebih jelas juga diperlukan terhadap kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Sebagai wakil pemerintah pusat, Gubernur memiliki peran menjalankan urusan pemerintahan umum, seperti melakukan resolusi konflik yang terjadi di wilayahnya, menjaga keamanan dan ketertiban, melakukan pemantauan dan evaluasi, pembinaan dan pengawasan, dan koordinasi kegiatan penyelenggaraan pemerintah yang ada di wilayahnya. Hubungan antara Gubernur sebagai wakil pusat dengan kementrian/LPND dalam penyelenggaraan urusan pemerintah di daerah perlu diatur dengan jelas. Untuk itu, Gubernur perlu memiliki anggaran yang bersumber dari APBN dan dapat digunakan untuk menjalankan berbagai peran tersebut. 5. Pengaturan yang jelas tentang peran gubernur sebagai kepala provinsi dan wakil pemerintah pusat diperlukan untuk menghindari kerancuan yang selama ini terjadi dalam pelaksanaan peran ganda Gubernur. Pelaksanaan kedua peran itu membutuhkan institusi, personalia, anggaran, dan kewenangan yang jelas dan memadai. Dengan alasan inilah, pengaturan yang jelas tentang hal tersebut sangat diperlukan.
36
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
IV. 2.c.
Pembinaan dan Pengawasan
A.
Dasar Pemikiran
Dalam suatu negara kesatuan, pemerintah memiliki peran yang sangat strategis melalui pembentukan standar, norma, pedoman, dan kriteria (NSPK) dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. NSPK dibuat agar penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan arah kebijakan yang telah ditentukan oleh pemerintah. Untuk menjaga agar daerah melaksanakan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah berdasar NSPK, maka pemerintah perlu melakukan pembinaan dan pengawasan (Binwas). Tujuan dari Binwas adalah untuk menjamin agar daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan pemerintah. Binwas juga dilakukan untuk melindungi kepentingan rakyat supaya rakyat memperoleh pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditentukan oleh pemerintah. Dalam melakukan pembinaan, pemerintah dapat melakukan berbagai kegiatan yang meliputi: a) koordinasi antar susunan pemerintahan, b) pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan, c) pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan, d) pendidikan dan pelatihan, dan e) perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan (Hamdi, 2007). Sedangkan dalam melakukan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintah dapat melakukan kegiatan, diantaranya: a) pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah, dan b) pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Pengawasan yang dilakukan dapat bersifat preventif dan pengawasan represif. Dengan melakukan kegiatan Binwas ini, maka pemerintah dapat mendorong terwujudnya percepatan perbaikan kesejahteraan masyarakat di daerah. Untuk melakukan Binwas, pemerintah memiliki instrumen yang dapat digunakan untuk menghukum dan memberi penghargaan kepada daerah sesuai dengan kemampuannya dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah berdasar NSPK. Disamping itu, pemerintah juga dapat menggunakan tugas pembantuan sebagai instrumen Binwas. Mengingat besarnya cakupan wilayah Indonesia, Binwas dapat dilakukan secara berjenjang, di mana pemerintah yang lebih tinggi menjalankan Binwas terhadap pemerintah di bawahnya. Pemerintah berkewajiban melakukan Binwas terhadap provinsi dan pemerintah provinsi melakukan Binwas terhadap pemerintah kabupaten/kota. Gubernur, sebagai kepala daerah maupun wakil pemerintah pusat, dapat melakukan Binwas terhadap kabupaten/ kota. B.
Identifikasi Permasalahan
UU No. 32 Tahun 2004 sebenarnya telah mengisyaratkan mengenai perlunya Binwas dilakukan oleh pemerintah, sebagaimana disebutkan dalam pasal 217, namun pengaturan tentang hal tersebut belum jelas dan rinci. Akibatnya, pelaksanaan urusan pemerintahan di banyak daerah cenderung berbeda-beda sesuai dengan intepretasi dan semangat yang dimiliki oleh masing-masing pimpinan daerah. Juga, sinkronisasi dan integrasi kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah sulit dilakukan. Tidak adanya NSPK sering membuat pemerintah mengalami kesulitan dalam melakukan pemantauan dalam rangka pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah. PP No. 38 Tahun 2007 mengamanatkan departemen, kementrian negara dan LPND untuk merumuskan NSPK bagi masing-masing urusan yang secara teknis menjadi tanggung
37
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
jawabnya selambat-lambatnya dua tahun sejak peraturan pemerintah tersebut diberlakukan. Mengantisipasi pemberlakuan NSPK tersebut, pemerintah perlu mengatur secara jelas kewenangan, mekanisme, dan prosedur melakukan pembinaan dan pengawasan bidang pemerintahan umum dan teknis. Dalam hal kewenangan dan tanggung jawab pembinaan dan pengawasan pelaksanaan urusan pemerintahan, perlu diperjelas mengenai bidang pengawasan mana yang seharusnya menjadi tanggung jawab Departemen Dalam Negeri dan bidang pengawasan teknis mana yang seharusnya menjadi tanggung jawab instansi sektoral. Dalam pelaksanaan pembinaan dan pengawasan untuk pelaksanaan urusan pemerintahan di kabupaten/kota, perlu ada kejelasan mengenai peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk melakukan pembinaaan dan pengawasan kinerja kabupaten/kota. Tidak adanya pengaturan yang jelas sering membuat Gubernur kurang dapat menjalankan perannya untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan. Disamping itu, pemberdayaan gubernur baik sebagai wakil pemerintah pusat maupun sebagai kepala daerah memerlukan sumber daya aparatur yang profesional dan menguasai kemampuan teknis yang diperlukan dalam penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan, serta pendanaan yang memadai. Sayangnya, sejauh ini, Gubernur belum memiliki aparat sendiri yang dapat ditugaskan untuk menjalankan fungsi Binwas terhadap kabupaten/kota. Karenanya, pelaksanaan Binwas cenderung kurang efektif. C.
Analisis
Binwas perlu dilakukan dengan cermat dan efektif, sebagai upaya untuk menjamin terlaksananya pembangunan daerah yang terintegrasi, merata, dan sinergis dalam bingkai negara kesatuan. Kendati Binwas terdiri dari dua kegiatan yang berbeda, pembinaan dan pengawasan, namun keduanya saling melengkapi dan memperkuat upaya untuk mendorong agar daerah mampu menyelenggarakan urusan pemerintahan sesuai dengan NSPK yang dibuat oleh pemerintah. Pembinaan yang dilakukan oleh Pusat terhadap Daerah dapat mencakup aspek-aspek politik, administratif, fiskal, ekonomi, dan sosial budaya. Pada aspek politik, pembinaan dapat difokuskan pada penguatan lembaga perwakilan rakyat daerah bersamaan dengan lembaga pemberdayaan masyarakat. Pada aspek administratif, pembinaan dapat difokuskan pada penegasan pembagian urusan pemerintahan, serta kewenangan pengelolaannya, terutama berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran. Pada aspek fiskal, pembinaan dapat berfokus pada peningkatan pendapatan asli daerah seiring dengan pelaksanaan kebijakan transfer dan pinjaman yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Pada aspek ekonomi, pembinaan dapat berfokus pada pembangunan ekonomi daerah, yang dapat menjamin kemungkinan berlangsungnya privatisasi dalam pelaksanaan urusan pemerintahan daerah. Termasuk dalam kegiatan ini adalah pembinaan dunia usaha dan koperasi. Sedangkan pada aspek sosial budaya, pembinaan dimaksudkan untuk mendorong kemampuan pemerintahan daerah dalam membangun kehidupan masyarakat dengan kesadaran berkewarganegaraan yang tinggi. Pengawasan bertujuan untuk menjamin agar kegiatan pelaksanaan rencana sesuai dengan spefisikasi yang telah ditentukan, baik yang bersifat substansial maupun nilai-nilai yang bersifat prosedural. Dengan pengawasan diharapkan tujuan yang tercapai benar-benar dapat membangun kondisi yang diinginkan secara efisien dan efektif. Dalam konteks keberadaan daerah otonom, pengawasan berperan sebagai penjamin terbangunnya daerah yang maju, terciptanya keadilan regional, terwujudnya masyarakat yang sejahtera dalam bingkai sistem dan kepentingan nasional.
38
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
Dari uraian tersebut menjadi jelas bahwa pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Terkait dengan bidang-bidang pembinaan sebagaimana tersebut di atas maka tentunya harus ada kejelasan institusi mana yang akan melakukan pembinaan. Untuk itulah perlu dirumuskan mengenai pembinaan yang bersifat umum, seperti aspek manajerial pemerintahan dan administrasi, dilaksanakan oleh Departemen Dalam Negeri. Adapun pembinaan yang bersifat teknis dilakukan oleh Departemen atau Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Proses pembinaan dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Sama halnya dengan pembinaan, pengawasan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat juga harus secara tegas diatur institusi mana yang melaksanakannya. Pengawasan yang bersifat umum dilaksanakan oleh Departemen Dalam Negeri, sedangkan pengawasan yang bersifat khusus dilakukan oleh Departemen/LPND dengan tetap melaksanakan koordinasi dengan Menteri Dalam Negeri. Pengawasan juga harus secara jelas mengatur aspek yang diawasi, yaitu penyelenggaraan urusan pemerintahan dan khususnya terhadap peraturan daerah serta peraturan kepala daerah. Departemen/LPND terkait melakukan pengawasan teknis terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi bidang tugasnya dan Departemen Dalam Negeri melakukan pengawasan terhadap pengaturan yang dihasilkan. D.
Usul Penyempurnaan
Berdasarkan hasil Analisis dan pengamatan terhadap masalah, usulan aspek pembinaan dan pengawasan dalam penyempurnaan UU No. 32 Tahun 2004 dilaksanakan dengan pangaturan sebagai berikut : 1. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri dan menteri/pimpinan LPND terkait. Menteri Dalam negeri melaksanakan pembinaan bidang pemerintahan umum, sedangkan Menteri/Kepala LPND melaksakan pembinaan teknis urusan pemerintahan terkait dengan bidang tugasnya masing-masing. Dalam melakukan pembinaan teknis kepada daerah provinsi, Menteri/Kepala LPND berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri. 2. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Angaran yang digunakan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kabupaten/kota yang ada di wilayahnya dibiayai oleh APBN. Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan dapat dilakukan oleh aparatur daerah provinsi dan juga aparatur pusat yang ada di daerah. Dalam hal pembinaan yang dilakukan oleh aparatur daerah provinsi, maka pemerintah melakukan tugas pembantuan kepada pemerintah provinsi untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan kepada kabupaten/kota.
39
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
IV.3.
Penyelenggara Pemerintahan Daerah
IV.3.a. Hubungan Kepala Daerah dan DPRD A.
Dasar Pemikiran
Dalam sistem politik yang demokratis, ketegangan hubungan antara kepala daerah (KDH) dengan DPRD menjadi isu politik yang sering dijumpai di daerah. Berlakunya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung untuk Gubernur/Bupati/Walikota dan anggota DPRD membuat masing-masing pihak sama-sama memiliki legitimasi politik yang sangat kuat. Sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah, keduanya memiliki kedudukan yang setara, di mana masing-masing tidak dapat menjatuhkan yang lainnya. Karena hubungan keduanya tidak diatur dengan jelas, maka ketegangan dan konflik sering terjadi antara KDH dan DPRD. Dalam banyak hal konflik diantara mereka sering mengganggu efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hubungan antara KDH dengan DPRD harus dikembangkan sebagai upaya penegakan prinsip-prinsip checks and balances. Sebagai institusi yang berfungsi mengawasi KDH dan perangkatnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, DPRD harus memiliki kapasitas yang memadai untuk menjalankan fungsi tersebut. Juga dalam menjalankan fungsi regulatif, bersama dengan KDH, para anggota DPRD harus memiliki dukungan sumberdaya yang memadai agar mereka dapat menjadi mitra yang setara dan sejajar kapasitasnya dengan KDH. Kegagalan dalam membangun kapasitas DPRD dapat membuat fungsi DPRD dalam melakukan check and balance menjadi tidak efektif. Untuk membuat hubungan antara KDH dan DPRD menjadi dinamis, maka pengaturan tentang hubungan antara KDH dan DPRD harus didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut: a. Prinsip check and balance. DPRD adalah unsur penyelenggara pemerintahan dan sekaligus lembaga perwakilan rakyat di daerah yang memiliki fungsi melakukan pengawasan terhadap KDH. b. Prinsip negara hukum. Kedudukan, hak, dan kewajiban dari KDH dan DPRD harus secara jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan dan masing-masing pihak harus bertindak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. c. Prinsip Kesetaraan. Keduanya memiliki kedudukan yang setara, dimana KDH dan DPRD tidak dapat saling menjatuhkan satu sama lainnya. d. Kemitraan Sebagai sesama unsur penyelenggara pemerintahan daerah keduanya harus dapat bekerjasama dan bermitra dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerahnya.
B.
Identifikasi Permasalahan
Masalah yang muncul dalam hubungan antara KDH dan DPRD sering terjadi karena operasionalisasi dari prinsip-prinsip di atas dalam peraturan perundang-undangan belum diwujudkan. Konsekuensinya, masing-masing pihak sering mengembangkan interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan sesuai dengan kepentingannya sendiri, sehingga ketegangan dan konflik antara KDH dan DPRD kerap terjadi di banyak daerah. Arena yang sering menjadi sumber konflik antar keduanya adalah pembentukan peraturan daerah,
40
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
pembuatan APBD, pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan pengangkatan sekretaris daerah. Dalam pembentukan peraturan daerah dan penyusunan APBD, masalah muncul ketika salah satu pihak tidak bersedia membahas usulan pihak lainnya. Banyak kasus menunjukan bahwa DPRD tidak mau membahas usulan Perda dan rancangan APBD yang disampaikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota. Anggota DPRD sering menjadikan APBD sebagai arena untuk memperjuangkan kepentingan pengusaha kliennya untuk memperoleh kontrak proyek dari pemerintah daerahnya.8 Akibatnya, banyak daerah yang mengalami keterlambatan dalam pengesahan APBD sehingga mengganggu kelancaran penyelenggaraan pemerintahan daerah. Beberapa daerah bahkan gagal mengesahkan APBD-nya sehingga terpaksa menggunakan APBD tahun sebelumnya. Dalam pengelolaan sekretariat DPRD, ketegangan antara KDH dan DPRD muncul terutama terkait dengan pengangkatan sekretaris dewan. Sekretaris dewan sering mengalami role conflict (konflik peran) dan mengalami posisi dilematis ketika hubungan antara KDH dengan DPRD kurang harmonis. Sebagai pejabat karir, nasib sekretaris dewan sering dipengaruhi oleh penilaian dari sekretaris provinsi/kabupaten/ kota yang tentunya juga amat dipengaruhi oleh kepentingan KDH. Sementara sebagai sekretaris dewan, ia harus memfasilitasi DPRD yang sering memiliki kepentingan dan sikap yang berbeda dengan yang dimiliki oleh KDH ketika dihadapkan pada isu yang sama. Karena perbedaan kepentingan politis antara KDH dan DPRD, pengangkatan sekretaris dewan sering menjadi sumber ketegangan antara KDH dan DPRD. Dalam bidang pengawasan, ketegangan dan konflik antara KDH dan DPRD sering terjadi karena perbedaan pemahaman antara anggota DPRD dengan pengelola SKPD dalam mencermati indikator kinerja keberhasilan dari program dan proyek pembangunan di daerah. Rendahnya kualitas perencanaan program dan proyek membuat proses pengawasan program dan proyek menjadi semakin sulit, sebab indikator kinerja dan pencapaian kemajuan program dan proyek tidak didefinisikan dengan jelas. Sebagai akibat, sering terjadi perbedaan pendapat dan penilaian antara KDH dan DPRD dalam menilai kinerja program dan proyek yang ada di daerah. C.
Analisis
Dalam sejarah pemerintahan daerah, hubungan KDH dan DPRD dapat dikatakan belum pernah mencapai titik yang ideal, terutama dilihat kacamata negara demokratis yang menganut adanya pemisahan dan penyebaran kekuasaan. Pelimpahan kekuasaan pemerintahan daerah kepada KDH dan DPRD sebenarnya dilakukan dalam rangka pembagian kekuasaan antara kedua unsur penyelenggara pemerintahan daerah sehingga terjadi mekanisme check and balance dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Efektifitas mekanisme check and balance penting diperkuat supaya tidak terjadi
8 Fenomena DPRD Kota Surabaya dapat dijadikan misal. Beberapa pimpinan fraksi besar menitipkan proyek yang besarnya berkisar dari 50- 220 proyek. Persoalannya, dari total 786 proyek yang dititipkan anggota dewan ini sebagian besar nilainya dibawah Rp. 50 juta. Itu artinya, mekanisme pelaksanaannya melalui penunjukan langsung, bukan lelang terbuka. Salah satu anggota dewan menjelaskan bahwa itu semua hasil Jaringasmara/ Penjaringan Aspirasi Masyarakat. Namun, data Tempo menyebutkan ada sebagian proyek yang diusulkan para anggota dewan berasal dari luar daerah pemilihan mereka. Sumber:. Anggota DPRD Ramai-ramai Garap Proyek. 27 Maret 2006. Diperoleh dari: http://www.tempointeractive.com/hg/nusa/jawamadura/2006/03/27/brk,20060327-75586,id.html.
.
41
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu dari keduanya, dan KDH dan DPRD dapat bekerjasama dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah. Untuk dapat mewujudkan adanya check and balance, kapasitas DPRD harus ditingkatkan karena berbagai temuan menunjukan bahwa kemampuan DPRD dalam menjalankan fungsinya sangat rendah.9 Kapasitas DPRD jauh lebih rendah dibandingkan dengan KDH dan perangkatnya. Akibatnya, peran DPRD untuk merepresentasikan kepentingan warganya dalam proses pembuatan peraturan daerah dan proses penyusunan APBD sering tidak dilakukan secara efektif. Kedua kegiatan tersebut sering menjadi arena dominasi kepentingan elit politik dan birokrasi (elite captures). Hal ini mengikis kepercayaan warga terhadap DPRD dan kepuasan mereka terhadap kinerja DPRD pun semakin rendah. Ada beberapa penjelasan mengenai mengapa DPRD belum mampu merepresentasikan kepentingan warganya. Pertama, kapasitas kelembagaan DPRD yang masih terbatas dalam memberi dukungan kepada para anggotanya. Sebagai sebuah institusi, sekretariat DPRD mestinya dapat memberi dukungan kepada para anggota DPRD dalam menjalankan kewajiban sebagai wakil rakyat di daerah, terutama dalam pembentukan peraturan daerah, penyusunan APBD, dan dalam melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan daerah. Karena itu sekretariat daerah harus dilengkapi dengan tenaga profesional yang memiliki kemampuan teknis untuk mendukung kegiatan dari para anggota DPRD. Kedua, DPRD pada umumnya belum memiliki sekretaris DPRD yang profesional dan mampu membangun kapasitas organisasi untuk memberi dukungan kepada anggota DPRD. Posisi sekretaris DPRD masih dianggap sebagai posisi buangan dan marjinal, bukan sebagai posisi strategis dalam konteks pengembangan karir di birokrasi daerah. Persepsi yang seperti ini membuat daerah sering tidak menempatkan calon yang terbaik untuk posisi sekretaris dewan. Kenyataan bahwa sekretaris dewan sering mengalami posisi yang sulit ketika terjadi konflik antara KDH dengan DPRD, menjadikan mereka yang memiliki kemampuan yang baik tidak tertarik menjadi sekretaris DPRD. Hal-hal itu membuat sekretaris dewan pada umumnya belum mampu memberi dukungan yang optimal kepada DPRD. Ketiga, kemampuan individual anggota DPRD, umumnya, masih rendah sehingga tidak dapat secara optimal menjalankan peran mereka sebagai wakil rakyat. Pendidikan dan pengalaman mereka dalam kegiatan pemerintahan yang terbatas sering membuat kemampuan mereka untuk menjalankan peran sebagai anggota DPRD tidak optimal. Keterbatasan kemampuan mereka menjankan peran sebagai anggota DPRD ikut mendorong munculnya ketidakpuasan masyarakat terhadap anggota DPRD dan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat. Keempat, ketidakjelasan kedudukan anggota DPRD sebagai wakil rakyat. Proses rekrutmen anggota DPRD yang sekarang terjadi lebih menempatkan mereka sebagai wakil partai politik daripada sebagai wakil rakyat. Intervensi partai politik terhadap para anggota DPRDnya yang sangat kuat membuat para anggota DPRD tidak dapat memperjuangkan kepentingan rakyat yang diwakilinya, manakala kepentingan rakyat yang diwakili berbeda dengan kepentingan politik partainya. Kelima, keterbatasan anggaran yang tersedia bagi anggota DPRD untuk menyerap, menggali, dan memperjuangkan kepentingan warga dan konstituen. DPRD juga memiliki keterbasan anggaran dan sumber daya yang tidak memungkinkan mereka menjalan fungsi
9 Lihat temuan GDS 2002 dan GAS 2006 dalam Dwiyanto, Agus, dkk., 2003; Dwiyanto, Agus, dkk., 2007.
42
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
check and balance. Akibatnya, kemampuan DPRD untuk dapat menjalankan fungsi pengawasan terhadap kinerja KDH masih sangat terbatas. Dengan memahami berbagai faktor ini, maka pemberdayaan DPRD hanya akan efektif kalau dapat menyelesaikan berbagai masalah di atas. Pemberdayaan DPRD setidaknya harus mampu meningkatkan antara lain: kapasitas sekretariat DPRD dan pejabatnya, kemampuan anggota DPRD dalam menjalankan perannya sebagai wakil rakyat, ketersediaan sumber daya untuk memberi dukungan kepada DPRD dalam menjalankan seluruh fungsinya, dan kualitas hubungan antara anggota DPRD dengan konstituennya. D.
Usul Penyempurnaan
Perlu ada pengaturan yang jelas tentang kedudukan dan hubungan antara DPRD dan KDH sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pengaturan tersebut harus mampu menjamin check and balance dalam hubungan kerja keduanya demi mewujudkan kesejahteraan rakyat di daerah. 1.
2.
3.
4.
Perlu ada pengaturan yang dapat memperkuat posisi sekretaris DPRD sebagai seorang manajer yang profesional dan independen dari sekretariat daerah. Sebagai pimpinan organisasi pendukung kegiatan DPRD maka sekretaris DPRD harus dapat bertindak secara profesional dan independen dari tekanan pihak KDH. Untuk itu perlu ada pengaturan yang jelas tentang kedudukan sekretaris DPRD, hubungannya dengan Sekda, KDH, dan DPRD. Pengaturan harus memungkinkan sekretaris DPRD untuk mengoptimalkan dukungannya kepada DPRD agar dapat menjalankan tugasnya sebagai lembaga perwakilan rakyat. Perlu ada pengaturan yang memungkinkan sekretariat DPRD memfasilitasi DPRD dan para anggotanya untuk menjalankan perannya sebagai wakil rakyat di daerah. Sekretariat DPRD harus memiliki sumber daya yang memadai untuk merekrut tenaga ahli yang dapat memberi dukungan kepada DPRD dan para anggotanya dalam menjalankan semua fungsi yang melekat pada anggota DPRD. Supaya dapat menjalankan fungsi representasi, anggota DPRD perlu memiliki anggaran yang memadai untuk menjalin hubungan yang erat dengan warga yang diwakilinya. Kegiatan anggota DPRD dalam menjalankan fungsi representasi harus memperoleh anggaran yang wajar dan memadai. Pengaturan perlu dibuat agar anggaran yang disediakan benar-benar dipergunakan untuk menjalankan fungsi representasi dan tidak dipergunakan untuk tujuan lain yang tidak terkait dengan pelaksanaan fungsi representasi. Apabila terjadi konflik antar KDH dan DPRD, maka Presiden sebagai kepala pemerintahan dapat menjadi institusi yang bisa menjadi wasit yang baik dalam penyelesaian konflik antara KDH dan DPRD. Dalam pelaksanaannya, Presiden dapat menunjuk Menteri Dalam Negeri untuk mewakili Presiden mengambil tindakan yang diperlukan dalam penyelesaian konflik yang terjadi antara DPRD dan KDH.
IV.3.b.Organisasi Perangkat Daerah A.
Dasar Pemikiran
Organisasi perangkat daerah memiliki posisi yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Desain, struktur, mekanisme kerja, dan kualitas aparatur sangat menentukan kinerja daerah. Seberapa tepat daerah merancang desain, struktur, dan proses kerja sehingga mampu menjalankan fungsi secara
43
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
efisien, efektif, dan sinergis menjadi kunci keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam merancang desain dan struktur birokrasi, daerah tentunya harus mendasarkan pada urusan wajib dan urusan lainnya yang dapat menjadi unggulan daerah. Pengembangan birokrasi di daerah harus juga mempertimbangkan prinsip-prinsip efisiensi, efektivitas, dan kemudahan interaksi. Struktur perangkat daerah harus efisien. Prinsip efisiensi ini mengajarkan bahwa struktur harus sederhana dan ramping, tetapi mampu mengemban banyak fungsi. Dengan struktur yang seperti ini, maka daerah akan dapat menyelenggarakan urusan yang menjadi kewenangannya dengan pengorbanan sumber daya yang kecil. Berazaskan pada prinsip efektivitas, daerah harus mengembangkan struktur organisasi yang mampu mewujudkan outputs dan outcomes sesuai harapan dari penyelenggaraan setiap urusan pemerintahan daerah. Efektivitas mengukur kemampuan struktur organisasi untuk merealisasikan progam-program yang dikembangkan oleh daerah, sedangkan prinsip kemudahan interaksi menjamin adanya kemudahan interaksi antar organisasi di daerah dan antar organisasi dengan warganya. Dengan mengembangkan struktur organisasi atau perangkat daerah yang memenuhi ketiga prinsip di atas, maka daerah akan dapat mengembangkan organisasi yang ramping sekaligus melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan efektif. Organisasi daerah juga mampu berinteraksi secara wajar dan saling melengkapi, serta mendukung kegiatan-kegiatan dari organisasi daerah lainnya sehingga sinergi antar organisasi di daerah dapat terwujud. Kemudahan interaksi antara organisasi daerah dengan warganya juga sangat penting diwujudkan, sebab kemudahan interaksi akan sangat membantu warga untuk mengakses pelayanan publik di daerahnya. Kemudahan interaksi dapat menghemat energi pemerintahan daerah dan warganya dalam mengakses pelayanan publik dan kegiatan pemerintahan lainnya. B.
Identifikasi Permasalahan
Pengalaman melaksanakan otonomi daerah menunjukan kecenderungan daerah untuk membentuk onganisasi perangkat daerah yang banyak jumlahnya dan kurang didasari oleh kebutuhan nyata daerah yang bersangkutan (Salomo, 2007b). Besarnya organisasi perangkat daerah yang dimaksud dapat dilihat dari banyaknya jumlah Dinas Daerah, jumlah Badan dan jumlah Kantor. Banyak daerah kabupaten/ kota yang mempunyai jumlah dinas di sekitar angka 20. Berbagai studi menunjukan bahwa para pemangku kepentingan di daerah menilai struktur birokrasi di daerah cenderung gemuk dan menyerap anggaran yang besar. Akibatnya, banyak anggaran pemerintah yang terserap untuk belanja pegawai dan memenuhi kebutuhan birokrasi dibandingkan yang digunakan untuk membiayai pelayanan masyarakat. Disamping struktur birokrasi yang besar dan kompleks, masalah lainnya adalah adanya orientasi pegawai daerah untuk menduduki jabatan struktural sangat tinggi dan berlebihan. Ini disebabkan karena jabatan struktural dalam birokrasi publik memiliki fungsi yang multidimensional. Jabatan struktural bukan hanya memberikan mereka kekuasaan, penghormatan, tetapi juga tambahan penghasilan yang berarti. Semakin tinggi jabatan strukturalnya, semakin besar nilai yang diperoleh oleh pejabatnya. Hal seperti ini mendorong birokrasi dan para pejabatnya untuk memperbesar struktur birokrasi di daerah sehingga menyediakan banyak tempat bagi para pejabat birokrasi di daerah. Karenanya tidak mengherankan kalau banyak daerah yang mengembangkan struktur birokrasi yang besar dan kompleks.
44
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
Orientasi yang berlebih pada jabatan struktural, membuat pengembangan jabatan fungsional kurang berkembang di dalam birokrasi di daerah. Banyak daerah yang belum mengembangkan jabatan fungsional. Padahal jabatan fungsional tidak menuntut organisasi yang besar, bahkan dapat memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah daerah melalui peningkatan kapasitas aparatur birokrasi. Penciptaan jabatan fungsional dalam birokrasi pemerintah di daerah penting didorong agar daerah dapat mempercepat pengembangan kapasitas aparaturnya dengan baik dan cepat. Belum adanya analisis jabatan dan analisis beban kerja membuat daerah tidak pernah tahu secara pasti berapa besar organisasi yang dibutuhkan dan berapa banyak jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan. Akibatnya, pengembangan struktur birokrasi di daerah seringkali lebih banyak didasarkan atas pertimbangan subyektif, jangka pendek, dan pemahaman yang kurang tepat terhadap kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh Daerah. C.
Analisis
Ada beberapa penyebab mengapa daerah cenderung mengembangkan struktur organisasi yang besar dan kompleks.10 Pertama, kecenderungan semakin kuatnya politisasi birokrasi di daerah. Pilkada langsung yang membutuhkan sumber daya yang besar memberi peluang kepada aparat birokrasi untuk terlibat dalam pemenangan calon kepala daerah. Banyak aparat birokrasi yang terlibat menjadi tim sukses dari calon kepala daerah dengan harapan jika calonnya terpilih akan memperoleh kedudukan yang lebih baik dalam birokrasi di daerah. Disamping itu, kepala daerah terpilih sering berusaha memasukan pendukungnya dalam jabatan birokrasi sehingga diharapkan dapat memberi dukungan terhadap keberhasilan program-program yang dijanjikannya dalam pilkada. Untuk dapat menampung para pendukungnya, kepala daerah kerap mengembangkan struktur birokrasi di daerah. Kedua, jumlah pegawai negeri yang besar di daerah mendorong mereka mengembangkan struktur organisasi yang besar agar dapat ditampung dalam jabatan-jabatan struktural yang ada. Dilihat dari kepentingan birokrasi, pengembangan struktur yang besar tentu menguntungkan. Namun, dilihat dari kepentingan publik, ini sangat merugikan karena banyak anggaran yang kemudian terserap untuk pembiayaan birokrasi daripada untuk kepentingan publik. Selain memerlukan pembiayaan yang tinggi, struktur yang besar dan kompleks juga cenderung mempersulit interaksi antara pemerintah dengan warganya. Pelayanan publik menjadi semakin rumit dan panjang. Ketiga, belum ada tradisi untuk melakukan evaluasi kinerja (performance review) yang secara periodik menilai ketepatan antara struktur birokrasi dengan visi dan misi daerah. Konsekuensinya, banyak daerah tidak memiliki visi dan misi yang jelas sehingga mereka mengembangkan struktur birokrasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan daerah dan mengembangkan struktur hanya berdasar pada kepentingan sempit dan jangka pendek. Analisis jabatan juga sangat jarang dilakukan. Jadi tidak mengherankan kalau daerah cenderung memiliki struktur yang besar dan kompleks. Pelaksanaan otonomi yang diharapkan dapat dijadikan sebagai peluang bagi daerah untuk merestrukturisasi birokrasi agar lebih efisien ternyata tidak menjadi kenyataan. Sejauh ini, data Departemen Keuangan menunjukkan bahwa rata-rata Provinsi, Kabupaten dan Kota di Indonesia mengalokasikan dana sekitar 77,45%, pada tahun 2004, dan 76,43%, pada 10 Disamping berbagai hal diatas Salomo juga menjelaskan faktor-faktor lainnya seperti orientasi pada jabatan struktural yang sangat besar dan dampak dari pembubaran instansi vertikal di daerah yang sering memaksa daerah membuat struktur yang gemuk.
45
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
tahun 2005, dari anggarannya untuk Belanja Aparatur. Sedangkan dari besaran anggaran untuk belanja publik masih terdapat komponen biaya overhead. Akibatnya, biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjadi semakin kecil. Ini menjelaskan mengapa desentralisasi di Indonesia belum banyak memperbaiki kesejahteraan rakyat di daerah. Pembengkakan organisasi juga berdampak pada melebarnya rentang kendali (span of control) dan menimbulkan masalah "inkoherensi institusional" karena fungsi yang seharusnya ditangani dalam satu kesatuan unit harus diderivasi ke beberapa unit organisasi sehingga pada akhirnya mengarah pada proliferasi birokrasi. Kondisi tersebut lebih jauh berpotensi menimbulkan disharmoni atau bahkan friksi antar unit organisasi sebagai akibat tarik menarik kewenangan. Oleh karena itu, pengaturan bagi perangkat daerah yang efektif harus menjadi perhatian penting dalam penyempurnaan UU No. 32 Tahun 2004. D.
Usul Penyempurnaan
1. Perlu ada pengaturan tentang norma, kriteria, dan standar dalam pengembangan organisasi perangkat daerah. Pengaturan harus mendorong daerah untuk dapat membentuk organisasi perangkat yang sesuai dengan kewenangan yang dimiliki; karakteristik potensi dan kebutuhan daerah; kemampuan keuangan daerah; ketersediaan sumber daya aparatur; dan pengembangan pola kemitraan antar daerah serta dengan pihak ketiga. 2. Perlu juga disusun pengaturan yang mendorong daerah melakukan analisis jabatan dan menjadikannya sebagai dasar dalam mereformasi perangkat pemerintahannya. Analisis jabatan harus dapat memberi informasi kepada daerah tentang kebutuhan jabatan, klasifikasi jabatan, standar kompetensi jabatan, sistem renumerasi, dan sistem informasi kepegawaian. 3. Pengaturan organisasi perangkat daerah perlu memikirkan pengembangan jabatan fungsional secara signifikan. Jika daerah mampu untuk mengembangkan jabatan fungsional secara signifikan, maka daerah dapat mengurangi tekanan untuk membuat struktur gemuk demi menampung tenaga kerja yang jumlahnya cukup besar. Selain itu, pengembangan jabatan fungsional juga dapat membantu pengembangan profesionalisme pegawai daerah untuk meningkatkan kualitas pelayanan daerah. 4. Perlu juga disusun pengaturan tentang insentif berbasis kinerja sehingga orientasi pegawai daerah yang cenderung untuk menduduki jabatan struktural dapat berubah. Dengan mengembangkan ukuran kinerja yang jelas dan memberikan insentif berbasis kinerja, minat aparat daerah untuk menduduki jabatan struktural dapat ditingkatkan dan pengembangan profesionalisme aparat di daerah dapat dipercepat. 5. Perlu ada pengaturan yang membatasi besaran anggaran untuk belanja pegawai. Pengaturan tentang hal ini dapat dilakukan dengan menentukan besaran proporsi angaran belanja pegawai terhadap APBD. Besaran belanja pegawai yang sekarang ini berkisar 70 – 90% APBD sudah amat merugikan kepentingan publik di daerah. Anggaran untuk belanja pegawai setidak-tidaknya tidak boleh melebihi besaran anggaran yang disediakan untuk pelayanan publik. Pengaturan tentang masa transisi untuk mendorong daerah agar dapat memperkecil proporsi anggaran untuk belanja pegawai sangat diperlukan.
46
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
IV.3.c. Kecamatan A.
Dasar Pemikiran
Peran dan fungsi kecamatan mengalami pergeseran yang sangat berarti sesuai dengan konteks politik dan legal, sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan UU No. 32 Tahun 2004. Dalam UU No.5 Tahun 1974, kecamatan memiliki kedudukan yang sangat kuat karena kecamatan diakui sebagai wilayah administratif. Sebagai kepala wilayah, camat juga menjalankan tugas dekonsentrasi. Dengan kedudukan seperti itu, kecamatan memiliki peran yang strategis karena menjadi ujung tombak dari banyak kegiatan pemerintahan. Namun, dalam UU No. 22 Tahun 1999, peran kecamatan mengalami perubahan yang sangat mendasar. Kecamatan bukan lagi sebagai perangkat dekonsentrasi, melainkan berubah menjadi perangkat daerah. Camat sebagai perangkat daerah berperan membantu Bupati/Walikota menjalankan tugas desentralisasi, sementara tugas dekonsentrasi dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Camat tidak lagi memiliki kewenangan hirarkis terhadap Kepala Desa/Lurah karena desa diperlakukan sebagai daerah otonom. Dalam UU No. 32 Tahun 2004, kecamatan tetap diperlakukan sebagai perangkat daerah dan karenanya, keberadaan serta fungsinya sangat tergantung pada daerah, sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Sebagai perangkat daerah, kecamatan semestinya dapat difungsikan sebagai salah satu agen pelayanan atau menjadi intermediaries yang penting dalam hubungan antara warga dengan pemerintah kabupaten/kota. Di daerah tertentu yang memiliki lingkungan geografis yang luas dan akses yang sulit terhadap kabupaten/kota, kecamatan dapat menjadi salah satu agen pelayanan publik dan intermediaries dalam hubungan antara pemerintah dengan warganya. Sayangnya, keberadaan kecamatan selama ini belum memperoleh apresiasi yang wajar. Pemerintah kabupaten/kota pun belum memanfaatkan kecamatan untuk memfasilitasi pelayanan kepada warganya. Padahal, potensi yang tersedia di kecamatan sebetulnya dapat diberdayakan menjadi salah satu pilihan bagi kabupaten/kota untuk memperbaiki kinerja pelayanan dan pemerintahannya. Bupati/Walikota dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada camat dalam upayanya memberikan pelayanan kepada warganya. B.
Identifikasi Permasalahan
Salah satu masalah utama dalam pengembangan kecamatan adalah tidak jelasnya kedudukan camat. Kendati camat sudah tidak lagi sebagai kepala wilayah, namun seringkali masyarakat dan warganya masih menganggap dan mengharapkan camat untuk berperan sebagai kepala wilayah. Kini, kedudukan camat yang sebagai perangkat daerah memiliki kewenangan yang terbatas, yaitu kewenangan atributif untuk menjalankan fungsi pemerintahan umum. Belum banyak kabupaten/kota yang melimpahkan kewenangan pada kecamatan untuk menyelenggarakan pelayanan pemerintah yang berskala kecamatan. Padahal, potensi yang tersedia di kecamatan sering memadai untuk dijadikan sebagai salah satu agen pelayanan pemerintah. Sebagai akibat dari ketidakjelasan peran, kecamatan pada umumnya juga belum memiliki anggaran yang jelas. Di saat yang sama, ekspektasi masyarakat terhadap kecamatan untuk mengambil peran tertentu dalam pelayanan dan menjalankan fungsi pemerintahan umum sangat besar. Posisi seperti ini membuat camat berada pada situasi sulit untuk dapat
47
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
memainkan peran sesuai harapan masyarakat. Karena itu, status, fungsi, dan anggaran kecamatan perlu diperjelas supaya keberadaannya membawa manfaat bagi masyarakat di wilayahnya. C.
Analisis
Secara paradigmatik, kedudukan kecamatan mengalami perubahan besar sejak UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam UU No.5 Tahun 1974, kecamatan diperlakukan sebagai perangkat dekonsentrasi dan sekaligus sebagai kepala wilayah. Sedangkan dalam UU No. 32 Tahun 2004, kecamatan diperlakukan sebagai perangkat daerah. Perubahan kedudukan yang mendasar ini tentu memiliki pengaruh terhadap keberadaan kecamatan dan kontribusinya terhadap keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Sebagai perangkat daerah, peran camat menjadi sangat tergantung pada tindakan yang diambil oleh Bupati/Walikota, apakah mereka bersedia mendelegasikan sebagian perannya dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Beberapa daerah memberdayakan kecamatan dengan memberikan kewenangan delegatif kepada camat untuk menyelenggarakan pelayanan tertentu. Sebaliknya, banyak Bupati/Walikota yang tidak mau mendelegasikan kewenangannya kepada camat sehingga peran camat menjadi sangat terbatas. Untuk melihat kedudukan kecamatan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, maka posisi kecamatan dapat dilihat dari dua perspektif yang berbeda dalam mengelola kegiatan pemerintahan di daerah. Perspektif pertama menggunakan wawasan kewilayahan dalam melihat kedudukan dan peran Kecamatan. Dalam perspektif ini, kecamatan dapat menjadi SKPD yang digunakan oleh daerah sebagai penyelenggara kegiatan pelayanan tertentu yang berskala kecamatan, seperti pengelolaan kebersihan, penataan ruang, perizinan, administrasi kependudukan, pengelolaan kebersihan, prasarana umum, dan pelayanan lainnya sesuai dengan karakteristik kecamatan yang bersangkutan. Kecamatan diberi kewenangan delegatif untuk mendekatkan pelayanan pada masyarakat. Untuk itu perlu diatur mengenai kewenangan delegatif minimal yang harus dilimpahkan kepada camat dan kejelasan mengenai sumber pembiayaan, perangkat serta sarana dan prasarana yang diperlukan. Pelimpahan kewenangan Bupati/Walikota tersebut adalah untuk pelayanan publik yang berskala kecamatan dan sesuai dengan karakteristik kecamatan yang bersangkutan. Perspektif ini cocok untuk menjelaskan peran kecamatan, terutama untuk daerah yang memiliki wilayah geografis yang luas dan kendala transportasi bagi warganya untuk dapat mengakses pelayanan pada tingkat kabupaten/walikota. Pada perspektif kedua, yang mengutamakan pendekatan sektoral dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, peran kecamatan sangat terbatas. Ketika pelayanan publik dan kegiatan pemerintahan dikelola secara sektoral dan akses masyarakat luas untuk mengakses pelayanan pada tingkat kabupaten/kota sangat mudah, pengembangan struktur birokrasi berbasis sektoral menjadi pilihan yang cocok. Daerah dapat mengembangkan pelayanan di tingkat kabupaten/kota seperti pelayanan One-Stop Service (satu pintu) yang mengabaikan peran kecamatan. Warga dapat berinteraksi dengan pemerintahnya di tingkat kabupaten/kota dengan mudah dan murah. Yang menjadi masalah sekarang ini adalah ketika daerah mengembangkan struktur kelembagaan yang tidak jelas orientasinya, apakah berbasis sektoral, kewilayahan, atau kombinasi dari keduanya. Jika hal seperti ini terus berlanjut, daerah akan sulit mengembangkan pemerintahan yang efisien, efektif, responsif, dan interaktif. Konflik antara
48
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
kepentingan wilayah dan sektor akan selalu terjadi dan kebutuhan warga akan adanya pelayanan publik yang mudah diakses, efisien, dan efektif menjadi sulit untuk diwujudkan. Oleh karena ini, daerah perlu didorong untuk memiliki orientasi yang jelas dalam pengembangan perangkat daerah dan pendekatan yang digunakan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Untuk daerah yang cakupan wilayahnya sangat luas, akses terhadap pelayanan di ibukota kabupaten/kota tergolong sulit dan mahal, belum lagi kendala transportasi masih sangat berarti. Kondisi tersebut membuat penguatan kelembagaan kecamatan menjadi pusat pelayanan sangat diperlukan. Daerah perlu memberi kewenangan delegatif kepada kecamatan secara lebih jelas dan rinci. Tetapi, untuk daerah kota yang wilayah geografisnya relatif sempit dan memiliki akses terhadap pelayanan yang mudah dan murah, serta transportasi yang tidak sulit, keberadaan kecamatan menjadi tidak begitu penting. Daerah dapat mendorong penyelenggaraan pelayanan publik yang tersentralisasi di kota dengan menggunakan satu pintu, sehingga penyelenggaraan pelayanan publik menjadi murah, mudah, dan lebih akuntabel. D.
Usul Penyempurnaan
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disampaikan usul penyempurnaan pengaturan mengenai kecamatan sebagai berikut : 1. Tetap menjadikan kecamatan sebagai satuan kerja perangkat daerah, tidak dikembalikan lagi menjadi wilayah administrasi pemerintahan seperti pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974. Sebagai SKPD peran Kecamatan perlu ditempatkan pada kedudukan yang jelas, sesuai dengan kebutuhan daerah. Jika dari pertimbangan kewilayahan, aksesabilitas, dan transportasi keberadaan kecamatan sebagai pusat pelayanan amat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan publik tertentu, maka kecamatan perlu diberdayakan sebagai pusat pelayanan publik pada skala kecamatan. 2. Untuk daerah yang ingin menjadikan kecamatan sebagai pusat pelayanan publik maka Bupati/Walikota wajib melimpahan kewenangan delegatif tertentu kepada camat. Beberapa pelayanan, seperti pengelolaan kebersihan, pemeliharaan prasarana umum, perijinan dan pengelolaan tata ruang, dapat didelegasikan kepada kecamatan. Dalam hal ini, daerah harus memberikan perangkat kelembagaan, pembiayaan, dan personel yang memadai kepada kecamatan supaya mereka dapat menjalankan perannya secara optimal. 3. Untuk kawasan kota yang wilayah geografisnya relatif sempit, pelayanannya mudah diakses, dan sarana transportasi mudah diperoleh, daerah dapat mengembangkan pelayanan satu atap dan terpusat di kota. Dalam konteks ini, daerah tidak memerlukan perangkat kecamatan sebagai pusat pelayanan. Di kota, kecamatan yang kuat menjadi tidak relevan dan karena tugas utama camat adalah membantu Bupati/Walikota untuk melaksanakan fungsi pemerintahan umum. Pengaturan yang memberi kesempatan kepada daerah untuk mengembangkan struktur kelembagaan dan perangkat daerah yang berbeda sesuai dengan kondisi daerahnya perlu diatur dengan jelas dalam undang-undang pemerintahan daerah. 4. Pembentukan, penggabungan, dan pembubaran kecamatan perlu diatur dengan ukuran dan kriteria yang jelas agar tindakan yang diambil oleh daerah benar-benar bermanfaat bagi kepentingan warga di daerah. Khusus untuk penambahan kecamatan baru, yang cenderung marak di berbagai daerah, perlu dibuat pengaturan yang lebih ketat agar pembentukan kecamatan baru benar-benar dilakukan atas nama kepentingan masyarakat di daerah bukan hanya untuk kepentingan elit di daerah. Selain itu,
49
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
pembentukan kecamatan perlu melalui proses persiapan sesuai tahap dan parameter yang ditetapkan oleh pemerintah pusat sehingga daerah kabupaten/kota tidak dengan mudah membentuk kecamatan baru tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. IV.4.
Aparatur Daerah
A.
Dasar Pemikiran
Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah salah satu pilar utama NKRI. Sebagai salah satu pilar penyangga NKRI, keberadaan dan kualitas PNS menjadi salah satu aspek strategis dalam mempertahankan kelangsungan NKRI. Kebijakan untuk meningkatkan profesionalisme, wawasan nasional, dan kepedulian PNS terhadap masalah bangsa menjadi sangat stretegis dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan dapat mendorong dan memperkuat pencapaian tujuan tersebut. Tetapi, fakta menunjukkan bahwa harapan tersebut masih jauh dari yang diinginkan. Munculnya banyak miskonsepsi dalam memahami otonomi daerah telah membuat manajemen kepegawaian menjadi terkotakkotak pada wilayah yang sempit dan jauh dari keinginan membangun aparatur yang berwawasan nasional dan profesional. Untuk mempertahankan PNS sebagai pilar NKRI, pemerintah perlu mengembangkan manajemen kepegawaian yang bersifat nasional agar mobilitas pegawai antar daerah otonom berjalan dengan lancar. Mobilitas pegawai antar daerah otonom bukan hanya penting untuk membangun wawasan nasional tetapi juga untuk peningkatan kapasitas pegawai itu sendiri. Tour of duty and area karenanya harus menjadi bagian yang penting dalam perencanaan karir PNS dan pengembangan manajemen kepegawaian di daerah. Manajemen kepegawaian di daerah harus menjadi bagian yang terintegrasi dengan manajemen kepegawaian nasional. Lebih dari itu, reformasi kepegawaian harus terintegrasi dengan reformasi birokrasi di daerah. Karena itu pendekatan terpadu perlu dikembangkan agar keduanya dapat berjalan bersama dan sinergis. Peran PNS sebagai pilar dari NKRI hanya bisa diwujudkan apabila profesionalisme menjadi nilai penting dalam pengembangan kebijakan dan manajemen kepegawaian. Pemerintah harus dapat mengembangkan kebijakan dan manajemen kepegawaian yang mampu menjaga netralitas PNS terhadap partai politik dan kegiatan politik. Manajemen kepegawaian harus dapat meningkatkan kapasitas PNS untuk mengambil jarak yang sama terhadap semua kekuatan politik yang ada di daerah dan bertindak adil terhadap semua kelompok dan golongan yang ada di masyarakat. Manajemen kepegawaian harus dapat menjadikan PNS bertindak independen dari semua kegiatan politik dan melindungi mereka dari campur tangan kekuatan dan kekuasaan politik yang ada di daerah. Untuk dapat meningkatkan profesionalisme, rekrutmen PNS dan penempatan mereka dalam jabatan publik harus dilakukan berdasarkan prinsip meritokrasi dan berbasis kompetensi, terbuka, dan kompetitif. Untuk dapat mewujudkan prinsip-prinsip ini, pemerintah perlu mengembangkan ukuran dan standar kompetesi untuk jabatan publik. Pemerintah dapat memulainya dari jabatan publik yang dinilai strategis. Rekrutmen dan promosi jabatan publik secara terbuka dapat dilakukan dengan memberi peluang yang sama kepada semua pihak yang memenuhi persyaratan kompetensi untuk bersaing memperebutkan jabatan publik yang tersedia. Persaingan terbuka perlu didorong agar dapat menjadi insentif bagi PNS untuk meningkatkan kapasitas dirinya sesuai dengan aspirasi karir yang dimilikinya. Rekrutmen dan promosi harus berbasis pada jabatan. Analisis jabatan perlu dilakukan secara periodik untuk menentukan kebutuhan aparatur secara pas, baik jumlah maupun
50
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
klasifikasinya. Demi mempercepat pengembangan profesionalisme, sistem penggajian harus dikembangkan berdasarkan kinerja. Besaran gaji dan insentif yang diberikan harus sebanding dengan beban kerja, tanggung jawab, dan pencapaian kinerja. B.
Identifikasi Permasalahan
Rendahnya profesionalisme aparatur daerah menjadi persoalan utama dalam manajemen kepegawaian daerah. Tidak adanya standar kompetensi untuk jabatan struktural dan fungsional mempersulit penerapan prinsip meritokrasi dalam rekrutmen dan promosi pejabat publik di daerah. Kepala daerah memiliki ruang yang sangat besar untuk menempatkan pejabat publik sesuai dengan selera dan kepentingannya. Dalam suasana politisasi yang sangat kuat sekarang ini, akibat dari euforia Pilkada, ruang yang tersedia bagi kepala daerah sering dimanfaatkan untuk menempatkan pejabat daerah berdasarkan ukuranukuran subyektif seperti loyalitas, afiliasi politik, dan kemampuan membayar untuk menduduki jabatan tersebut.11 Fenomena seperti ini jelas mempersulit upaya pengembangan profesionalisme aparatur daerah. Pelaksanaan Pilkada membutuhkan sumber daya yang besar dan mobilisasi masa yang sangat banyak. Pilkada memberi peluang kepada para calon kepala daerah untuk menarik para pejabat karir dalam struktur pemerintah di daerah untuk terlibat terlalu jauh dalam kegiatan Pilkada. Pejabat karir ini bisa menjadi bagian dari tim sukses, pasangan calon kepala atau wakil kepala daerah, atau pendukung pencalonan mereka sebagai kepala daerah. Bagi para pejabat birokrasi, Pilkada menjadi peluang bagi mereka untuk membangun akses terhadap kekuasaan politik, yang harapannya kelak dapat mempercepat promosi mereka ke jabatan birokrasi yang lebih strategis. Banyak pejabat birokrasi yang kemudian secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses Pilkada dan menjadi bagian dari upaya pemenangan calon kepala daerah yang didukungnya. Fenomena yang lazim terjadi di daerah ini membuat politisasi birokrasi di daerah menjadi sangat intens dan mengganggu upaya untuk mewujudkan aparatur yang profesional, tidak berpihak pada kepentingan politik tertentu. Tanpa aparatur yang profesional, sulit membayangkan pelaksanaan otonomi daerah bisa mendorong kemajuan daerah. Masalah lain yang perlu diselesaikan dalam kepegawaian di daerah adalah rendahnya mobilitas aparat birokrasi di daerah. Setelah pelaksanaan otonomi daerah, mobilitas pegawai antar daerah menjadi sangat rendah. Rendahnya mobilitas ini dikhawatirkan membuat wawasan nasional dari para pejabat birokrasi daerah menjadi sangat kurang. Ini tentu sangat merugikan bila dilihat dari kepentingan untuk mempertahankan integrasi nasional dan juga dari pengembangan profesionalisme aparatur daerah. Profesionalisme birokrasi menuntut aparatur memiliki pengalaman penugasan yang berbeda dalam bidang dan di wilayah yang berbeda. Pengaturan perlu dilakukan untuk mendorong adanya mobilitas pegawai antar daerah. Rendahnya mobilitas pegawai antar daerah sering terkait dengan sistem rekrutmen yang tertutup dan berbau kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Rekrutmen yang tertutup membuat jabatan yang tersedia di satu daerah tidak dapat diakses oleh daerah lainnya. Kondisi seperti ini sering menutup kesempatan bagi PNS yang kompeten dan berpengalaman dari daerah lain untuk bisa bersaing secara wajar dalam menduduki jabatan tersebut. Meluasnya praktik KKN melalui rekrutmen dan promosi pejabat publik di daerah sering mendorong daerah menjadi semakin tertutup dalam melakukan rekrutmen dan promosi pejabat publik di daerah. 11 GDS, 2002 dan GAS 2006 yang diselenggarakan oleh PSKK UGM menunjukan adanya penguatan subyektifitas dalam rekrutmen dan promosi pejabat publik pasca pelaksanaan otonomi daerah.
51
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
C.
Analisis
Memiliki PNS yang netral, profesional, dan berdedikasi tinggi sebagai aparat negara dalam mengabdi pada masyarakat adalah harapan masyarakat luas, Tetapi, ini tampaknya masih sangat jauh untuk menjadi kenyataan (Zuhro, 2007). UU No. 32 Tahun 2004 belum memiliki pengaturan yang mampu mengarahkan pengembangan profesionalisme dari PNS di daerah. Masih banyak ruang yang tersedia bagi berbagai pihak untuk melakukan infiltrasi politik dalam kehidupan birokrasi pemerintahan di daerah. Dalam rekrutmen pejabat di daerah, Gubernur/Bupati/Walikota tak jarang menempatkan pejabat ke dalam jabatan publik tanpa ada dasar pertimbangan kompetensi dan profesionalisme, melainkan hanya menggunakan ukuran subyektif seperti afiliasi politik, kesamaan etnis, dan kekerabatan. Setelah pelaksanaan otonomi daerah, kecenderungan menguatnya pertimbangan subyektif dalam rekrutemen dan penempatan pejabat publik sangat terlihat. GDS 2002 dan GAS 2006 yang telah dilakukan di banyak kabupaten/kota dan provinsi membuktikan bahwa subyektivitas dalam penempatan para pejabat publik di daerah sudah sampai pada titik yang sangat merugikan pengembangan profesionalisme di dalam birokrasi pemerintah. Untuk itu, upaya pencegahan dan pencarian solusi terhadap masalah ini perlu segera dilakukan. Belum tersedianya peraturan yang mengatur hubungan antara pejabat politik (elected officials) dengan pejabat karir memang menjadi salah satu sebab dari menguatnya politisasi birokrasi di daerah. Euforia demokrasi telah mendorong para politisi baik yang ada di DPRD ataupun di eksekutif (Bupati/Walikota/Gubernur) untuk melakukan intervensi kehidupan birokrasi demi kepentingan politiknya. Dalam pilkada, banyak Bupati/Walikota yang menekan para pejabat karir seperti Sekda dan Kepala Dinas di bawahnya untuk melakukan berbagai tindakan politis yang seharusnya tidak dilakukan oleh mereka sebagai seorang birokrat profesional. Misalnya, dengan menjadikan mereka tim sukses dan menggunakan sumber daya daerah untuk mendukung pencalonan Bupati/Walikota. Di sisi lain, banyak pejabat karir yang melihat Pilkada sebagai peluang untuk melakukan manuver politik dengan mendukung kegiatan pencalonan Gubernur/Bupati/Walikota. Para pejabat birokrasi berharap dengan menjadi tim sukses mereka akan memiliki akses terhadap kekuasaan dan memperoleh jabatan yang strategis. Mereka berpikir bahwa akses terhadap kekuasaan dapat menjadi jalan tol bagi pengembangan karir mereka dalam birokrasi pemerintah di daerah. Bagi para pejabat birokrasi, jalur ini membangun akses terhadap kekuasaan menjadi lebih mudah dan cepat untuk mengembangkan karir daripada menunjukan kinerja dan profesionalismenya. Kecenderungan ini harus diakhiri. Hubungan antara pejabat karir dan politik di daerah harus diatur dengan jelas sehingga dinamika hubungan keduanya dapat mendorong peningkatan kinerja pemerintah daerah. Oleh sebab itu, perlu ada kerangka hukum yang mengatur agar hak-hak dan kewenangan politik dari Gubernur/Bupati/Walikota tidak digunakan untuk kepentingan politik partai. Hubungan antara pejabat politik dengan pejabat karir harus diatur dengan jelas dan pengaturan itu harus dapat merealisasikan aparatur daerah yang profesional. Dengan begitu, rekrutmen pejabat birokrasi di daerah harus mengikuti prinsip-prinsip meritokrasi, terbuka, dan konpetitif. D.
Usul Penyempurnaan
Penyempurnaan UU No. 32 Tahun 2004 seyogyanya diarahkan pada pengembangan sistem kepegawaian daerah yang menghargai profesionalisme dan menjauhkan birokrasi pemerintah dari intervensi politik yang berorientasi pada kepentingan politik sempit dari aktor-aktor politik daerah, seperti Gubernur/Bupati/Walikota dan para anggota DPRD.
52
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
Penyempurnaan juga dilakukan untuk mencegah para pejabat karir memanfaatkan peluang politik yang terbuka karena keberadaan pilkada dan lantas membangun akses terhadap kekuasaan. Kecenderungan para pejabat karir menjadi tim sukses Gubernur/Bupati/ Walikota dalam pilkada, secara terang-terangan maupun diam-diam, dan menggunakan sumber daya publik untuk memenangkan calon yang didukungnya harus dihindari. Untuk itu ada beberapa pengaturan yang perlu dibuat, yakni: 1. Membuat pengaturan yang jelas dan tegas tentang hubungan antara pejabat politik dan aparat birokrasi di daerah yang mampu menjamin terwujudnya aparatur daerah yang profesional. Penggunaan hak-hak politik yang dimiliki oleh Gubernur/Bupati/ Walikota tidak boleh dilalukan untuk kepentingan politik yang sempit, seperti kepentingan partai, kelompok, dan pribadi, melainkan harus dilakukan dalam rangka mewujudkan aparatur daerah yang profesional, peduli kepada kepentingan publik, dan berwawasan kebangsaan. 2. Mengembangkan konsep sistem pengembangan aparatur daerah yang terintegrasi secara nasional. Aparatur daerah adalah bagian yang tak terpisahkan dari aparatur negara. Jadi, perlu ada pengaturan yang memungkinkan pemerintah mengendalikan pengembangan dan distribusi aparatur daerah dengan klasifikasi dan jabatan tertentu. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat harus diberi kewenangan untuk merekrut, mengembangkan, dan mendistribusikan aparatur daerah dengan klasifikasi dan jabatan tertentu di wilayahnya. Menteri Dalam Negeri atas nama pemerintah dapat merekrut dan mendistribusikan aparatur daerah dengan klasifikasi dan jabatan tertentu secara lintas provinsi. 3. Perlu ada pengaturan tentang klasifikasi jabatan strategis, baik struktural, fungsional, dan profesional, yang dinilai strategis dan dapat dimobilisasi untuk kebutuhan daerah dan nasional. Menteri Dalam Negeri dan Gubernur atas nama pemerintah dapat mendistribusikan aparatur daerah yang memiliki jabatan strategis di dalam wilayah yang menjadi kewenangannya. Gubernur dapat memindahkan aparatur yang menduduki jabatan struktural strategis, seperti kepala SKPD, ke kabupaten/kota yang ada di wilayahnya untuk pengembangan kapasitas aparatur dan daerah. Hal yang sama dapat juga dilakukan untuk jabatan fungsional dan profesional strategis tertentu, seperti dokter spesialis, akuntan, perencana, dan ahli TIK. 4. Mendorong daerah untuk melakukan pengukuran kompetensi jabatan birokrasi pemerintah, terutama untuk jabatan yang strategis. Ukuran kompetensi yang diperlukan untuk menduduki jabatan strategis tertentu harus didefinisikan dengan jelas. Definisi ukuran kompetensi penting dalam perencanaan dan pengembangan karir pejabat birokrasi pemerintah. Ukuran ini dapat mendorong para pegawai mengembangkan kompetensinya sesuai dengan aspirasi karir masing-masing. 5. Mendorong daerah untuk mengembangkan sistem rekrutmen dan promosi yang terbuka, kompetitif, berbasis pada kompetensi dan posisi. Adanya sistem rekrutmen dan promosi yang terbuka akan mendorong para pejabat birokrasi memiliki akses yang sama terhadap peluang karir yang tersedia. Mereka yang berada di satu kabupaten/ kota dapat mengetahui dan memiliki akses terhadap lowongan yang ada di daerah lainnya. Keterbukaan juga dapat menjamin rekrutmen dan promosi menjadi lebih fair dan jujur. Sedangkan sistem rekrutmen yang kompetitif diharapkan dapat mendorong terjadinya kompetisi yang sehat dan wajar dalam promosi jabatan birokrasi pemerintah. Kompetisi yang sehat akan mendorong mereka melakukan investasi untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan aspirasi karir masing-masing. Sistem yang berbasis kompetensi kalau dilakukan dengan konsisten dapat menjadi landasan bagi daerah dalam membangun aparatur yang profesional. 6. Mendorong daerah mengembangkan Komisi Kepegawaian Daerah yang bertugas membantu daerah dalam mengembangkan manajemen kepegawaian yang mampu
53
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
mendorong adanya profesionalisme, terbuka, kompetitif, dan apolitis. Komisi kepegawaian juga bisa membantu daerah dalam mengembangkan sistem insentif berbasis kinerja. Komisi ini terdiri dari unsur yang mewakili pemerintah daerah, dunia usaha, akademisi, dan pemuka masyarakat di daerah. IV.5.
Peraturan Daerah
A.
Dasar Pemikiran
Setiap daerah otonom memiliki kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Kewenangan ini memberikan hak kepada daerah untuk membuat produk hukum, yaitu peraturan daerah, dalam rangka menyelenggarakan otonomi yang dimilikinya. Daerah membentuk peraturan daerah untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah. Namun demikian, peraturan daerah sebagai bagian dari sistem peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi (lex superiori derogat legi inferiori). Bahkan, peraturan daerah seharusnya dibuat untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Terkait dengan muatan peraturan daerah, Pasal 12 UU No. 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa muatan dari peraturan daerah adalah (Arizona, 2007): a] penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan; b] menampung kondisi khusus daerah; serta c] penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian ketaatan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menjadi prasyarat yang utama dalam penyusunan Peraturan Daerah. Pemerintah memiliki kewenangan untuk menjaga konsistensi dan koherensi antara peraturan daerah dengan peraturan yang lebih tinggi melalui fungsi pembinaan dan pengawasan (Binwas). Agar peraturan daerah yang dibuat oleh daerah mencerminkan aspirasi dan kebutuhan daerah maka daerah harus melibatkan para pemangku kepentingan yang ada di daerahnya dalam membuat peraturan daerah. Representasi berbagai kelompok kepentingan dalam proses pembuatan peraturan daerah penting untuk dijaga agar peraturan daerah sungguhsungguh menggambarkan kebutuhan daerah dan mampu mendorong pembangunan daerah sebagaimana diharapkan oleh warganya. Untuk itu, konsultasi publik dalam pembuatan peraturan daerah wajib dilakukan. B.
Identifikasi Permasalahan
Dalam negara kesatuan, produk hukum yang dihasilkan oleh daerah dibuat untuk melaksanakan berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan karenanya, tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi. Tetapi, pada kenyataannya, selama pelaksanaan otonomi daerah banyak sekali peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan umum. Banyak peraturan daerah yang kemudian terpaksa dibatalkan oleh pemerintah, karena dinilai menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi daerah. Lebih dari itu,
54
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
banyak kelompok dalam masyarakat yang mengeluh dan merasa dirugikan oleh munculnya berbagai peraturan daerah yang dinilai tidak berwawasan kebangsaan.12 Berbagai masalah lain terjadi karena pembentukan peraturan daerah sering tidak melibatkan pemangku kepentingan. GAS 2006 menunjukkan proses pembuatan peraturan daerah cenderung sangat elitis dan, akibatnya, peraturan daerah sering kurang mampu menjawab berbagai persoalan dan kebutuhan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan peraturan daerah kerap dijadikan sebagai formalitas belaka dan tidak substantif.13 Berbagai kelompok kepentingan sering mengeluh karena banyak masukan dan pemikiran yang disampaikan dalam public hearing (proses dengar publik) di DPRD tidak diakomodasi tanpa alasan yang jelas. Akibatnya, ketika peraturan daerah tersebut ditetapkan, banyak protes dan resistensi muncul dari berbagai kelompok masyarakat. Masalah lain adalah kecenderungan peraturan daerah dibuat untuk mencapai tujuan yang sempit dan jangka pendek. Banyak Perda terkait dengan pajak dan retribusi yang dibuat oleh daerah cenderung memperburuk iklim investasi karena tidak ramah terhadap investasi dan menciptakan ekonomi biaya tinggi. Dalam menyikapi Perda seperti ini UU No. 32 Tahun 2004 sebenarnya telah memiliki pengaturan tentang kewenangan pemerintah untuk membatalkan Perda yang dinilai bertentangan dengan kepentingan umum dan bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi. Tetapi mekanismenya terlalu rumit sebab pembatalan Perda harus dengan Peraturan Presiden dan dibatasi waktu 60 (enam puluh) hari. C.
Analisis
Banyak studi menunjukan bahwa keterbatasan dalam memahami kedudukan produk hukum daerah dalam konteks peraturan perundang-undangan, orientasi pada kepentingan yang sempit dan berjangka pendek, dan kegagalan memahami kepentingan umum sering membuat produk hukum daerah, seperti peraturan daerah, gagal memenuhi azas pembentukan peraturan daerah. Konflik antar susunan pemerintahan sering terjadi karena peraturan daerah dan peraturan kepala daerah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Bahkan, tidak jarang kasus pertentangan antar produk hukum daerah dengan produk hukum yang lebih tinggi ini menyeret pejabat daerah ke pengadilan. Kontroversi juga banyak terjadi di daerah sebagai akibat dari ketidakpuasan pemangku kepentingan di daerah terhadap peraturan daerah. Demonstrasi dan protes dari berbagai kelompok kepentingan di daerah yang menuntut pencabutan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah sering terjadi di banyak daerah. Untuk mengatasi persoalan yang muncul mengenai peraturan daerah yang dinilai merugikan kepentingan umum atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, ada dua pilihan yang tersedia, yaitu executive review atau judicial review. Argumentasi dari pilihan pertama adalah, bahwa dalam negara kesatuan, daerah 12 Salah satu contohnya adalah Perda Syariat. Di Desa Garuntungan, Kecamatan Kindang, Bulukumba, wanita kristen yang akan menghadiri acara resmi yang diadakan puskesmas setempat disodorkan jilbab, meskipun masyarakat tahu bahwa wanita tersebut beragama kristen. Padahal, pasal 13 Perda tersebut menyebutkan bahwa Perda hanya berlaku bagi masyarakat Islam. Bahkan, di ayat 2 menegaskan bahwa masyarakat yang bukan Islam pakaiannya disesuaikan dengan agamanya masing-masing. Sumber: Depancasilaisasi Lewat Perda SI. Diperoleh dari: http://www.wahidinstitute.org/indonesia/images/stories/SUPLEMENGATRA/gatraedisi-vii.pdf 13 Menyangkut Perda Syariat, Denny Indrayana menemukan fakta bahwa dalam pembuatannya terjadi manipulasi dengan mendatangkan orang untuk membawa aspirasi yang kemudian diklaim sebagai aspirasi masyarakat. Sumber: Denny Indrayana. Ada Unsur Melecehkan Al Quran dan Hadist. Diperoleh dari: http://www.wahidinstitute.org/indonesia/images/stories/SUPLEMENGATRA/gatraedisi-vii.pdf
55
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
memperoleh kewenangan sebagai akibat dari pelimpahan kewenangan yang diberikan oleh presiden sebagai kepala pemerintahan. Karena itu pemerintah berhak menilai apakah daerah telah menggunakan kewenangan yang diberikannya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang. Sedangkan argumentasi dari pilihan kedua adalah, bahwa peraturan daerah merupakan produk hukum yang dikeluarkan oleh lembaga legislatif daerah14 dan karenanya tidak dapat dibatalkan dengan mudah oleh pemerintah. Walaupun daerah menerima pelimpahan kewenangan dari pemerintah mereka dapat juga melakukan judicial review jika keberatan terhadap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah yang membatalkan peraturan daerah yang dibentuknya. Perdebatan tentang bentuk pengawasan terhadap Perda tentu menambah kerumitan dari masalah yang dihadapi sekarang ini dalam pembentukan peraturan daerah. Pengalaman selama ini yang menerapkan executive review, pemerintah masih kesulitan mengendalikan pembentukan peraturan yang dinilai merugikan kepentingan umum. Salah satunya karena pencabutan peraturan daerah menurut UU No. 10 Tahun 2004 dilakukan dengan peraturan presiden. Persoalan menjadi semakin rumit dan kompleks karena jumlah peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan kepentingan umum tiap tahunnya dapat berjumlah ribuan. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2008, Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan Daerah telah mengevaluasi lebih dari 7200 peraturan dan rencana peraturan daerah dan merekomendasi 2000 perda tentang pajak dan retribusi untuk dicabut karena merugikan kepentingan umum atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.15 Departemen Dalam Negeri, dari tahun 1999–Maret 2006 telah membatalkan 506 peraturan daerah dan menilai 393 peraturan daerah lainnya sebagai layak dibatalkan16. Melihat banyaknya kasus penerbitan peraturan daerah yang dinilai melanggar kepentingan umum maka pengaturan pencabutan peraturan daerah yang bermasalah perlu dibuat lebih sederhana, efisien, dan tanpa mengurangi hak-hak daerah untuk membuat produk hukum yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Untuk mencegah agar Perda dan Peraturan KDH tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, perlu dilakukan pemberdayaan pemerintahan daerah melalui peningkatan kapasitas pembentukan peraturan daerah. Peningkatan kapasitas teknis pemerintahan daerah meliputi pemahaman materi kewenangan yang dimilikinya (rationae materie), wilayah wewenangnya (rationae locus), tenggang waktu kewenangannya (rationae temporis), dan prosedur pembentukannya. Sebagaimana ditemukan dalam berbagai penelitian, KDH dan anggota DPRD yang berwenang secara bersama-sama membentuk peraturan daerah sering tidak memahami berbagai masalah teknis dalam pembentukan peraturan daerah dan peraturan KDH. Sehingga, penguatan kapasitas teknis dapat menjadi salah satu cara untuk mengurangi kesalahan dalam pembentukan peraturan daerah dan peraturan KDH.
14 Kontroversi tentang kedudukan DPRD sebagai lembaga legislatif daerah atau sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah dapat dibaca dalam bab tentang DPRD. 15 Data yang diperoleh dari Departemen Keuangan, sampai Desember 2006 terdapat 9.617 Perda yang terkait dengan perizinan, pajak dan retribusi di daerah. Dari sejumlah itu Departemen Keuangan sudah merekomendasikan kepada Departemen Dalam Negeri untuk membatalkan 895 Perda yang terkait dengan pajak dan retribusi. Dari jumlah ini sampai akhir tahun 2007 sejumlah 761 perda telah dibatalkan 16 Sumber. Depdagri Batalkan 506 Perda. Diperoleh dari: http://www.depdagri.go.id/konten.php?nama=Berita&op=search&query=pembatalan%20perda
56
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
Dalam menyelesaikan persoalan mengenai banyaknya peraturan daerah yang bermasalah, pemerintah dapat menggunakan asas preventif dan asas represif. Peraturan daerah yang terkait dengan kepentingan umum dan dampak dari kesalahan dalam Perda langsung dirasakan oleh masyarakat dengan kurasakan yang sulit dipulihkan, misalnya peraturan daerah tentang pajak dan retribusi, tata ruang, dan APBD, maka asas preventif dapat diberlakukan. Sementara untuk peraturan daerah lainnya, asas represif lebih cocok diterapkan karena lebih efisien, mudah, dan akuntabel. Mengingat banyaknya kasus Perda bermasalah yang tidak mungkin diselesaikan dengan peraturan presiden, maka undangundang pemerintah daerah dapat membuat pengaturan yang lebih sederhana dengan melimpahkan kewenangan presiden dalam pengendalian peraturan daerah kepada Menteri Dalam Negeri untuk peraturan daerah provinsi dan kepada Gubernur untuk peraturan daerah kabupaten/kota. D.
Usul Penyempurnaan
1. Perlu ditegaskan secara jelas bahwa fungsi Perda sebagai produk hukum daerah adalah penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dibentuk untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang telah dilimpahkan ke daerah. Sebagai pihak yang melimpahkan kewenangan kepada daerah pemerintah tentu dapat membatalkan peraturan daerah yang dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum (executive review). Pengaturan yang lebih jelas tentang mekanisme dan prosedur pembatalan Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan perlu dibuat sederhana, terbuka, menggunakan kriteria yang jelas, dan memperhatikan kedudukan dan susunan pemerintahan yang ada. 2. Pengaturan mengenai penggunaaan asas preventif dan asas represif dalam pembatalan peraturan daerah dan produk hukum daerah lainnya perlu dibuat dengan jelas. Pertimbangan untuk menggunakan asas represif atau preventif tergantung pada dampak dari kerugian yang ditanggung oleh masyarakat dan risiko pemulihan dari dampak negatif dari penerbitan peraturan daerah yang bermasalah. Asas preventif sebaiknya hanya dilakukan pada peraturan daerah dalam bidang tertentu, seperti perda tentang pajak dan retribusi daerah, APBD, dan tata ruang. Selebihnya seharusnya menggunakan asas represif. 3. Perlu ada pengaturan yang lebih jelas mengenai hak-hak warga untuk terlibat dalam proses pembuatan peraturan daerah. KDH dan DPRD dalam membentuk peraturan daerah perlu melibatkan pemangku.kepentingan yang terkait. Hak-hak warga dan pemangku kepentingan dalam proses pembentukan Perda harus dijamin sehingga materi Perda benar-benar merefleksikan kepentingan umum. Pemerintahan daerah wajib membuat program peraturan daerah (Proturda) dan mensosialisasikan kepada warga di daerahnya sehingga mereka mengetahui dengan jelas mengenai peraturan daerah yang akan dibentuk di daerahnya.
57
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
IV. 6. Perencanaan Pembangunan Daerah A.
Dasar Pemikiran
Di Indonesia, ada dua jenis perencanaan yang dibuat oleh pemerintah, perencanaan pembangunan nasional dan perencanaan tata ruang. Kedua jenis perencanaan ini memiliki keterkaitan yang erat satu sama lain tetapi juga memiliki perbedaan yang tegas. Perencanaan yang pertama diatur dalam dalam UU No. 25 Tahun 2004, yang mengatur tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Undang-undang ini mengatur perencanaan jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan, serta harmonisasi dan sinkronisasi antar jenjang waktu perencanaan tersebut. Selain itu, ia juga mengatur harmonisasi antara perencanaan oleh pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sehingga membentuk suatu sistem perencanaan pembangunan nasional yang harmonis. Perencanaan pembangunan kemudian diterjemahkan dalam kebijakan penganggaran, sebagai instrumen investasi pemerintah. Jenis perencanaan yang kedua adalah perencanaan tata ruang (spatial planning), yang diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam undang-undang ini, penataan ruang diselenggarakan oleh Negara melalui berbagai jenjang pemerintahan, tetapi tetap melibatkan peran masyarakat dalam pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasannya. Prinsip yang dikedepankan dalam UU No. 26 Tahun 2007 adalah harmonisasi dalam pemanfaatan ruang, sehingga lebih mengesampingkan kebebasan daerah untuk mengeksploitasi ruang untuk kepentingannya semata. Ini disebabkan oleh karakteristik ruang yang bersifat kontinum dan tidak dibatasi oleh wilayah administratif. Dalam rangka menjamin adanya harmonisasi, pemerintah menggunakan berbagai instrumen pengendalian, yaitu: insentif, disinsentif, sanksi administratif, sangsi perdata, dan pidana. Pengendalian dalam perencanaan tata ruang relatif lebih ketat karena ruang adalah sumber daya yang akan menjadi obyek pemanfaatan untuk mencapai tujuan pembangunan. Konteks yang perlu dicatat sebagai masukan ke dalam revisi UU No. 32 Tahun 2004 adalah bahwa segala ketentuan yang akan memuat mengenai perencanaan hendaknya mengacu dan tidak bertentangan dengan UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 26 Tahun 2007. Keduanya adalah undang-undang yang lebih khusus mengatur perencanaan. Pengaturan tentang perencanaan daerah dalam revisi UU No. 32 Tahun 2004 perlu dijaga konsistensinya dengan kedua undang-undang perencanaan di atas dan bahkan, diharapkan dapat memberi dukungan terhadap implementasi kedua undang-undang itu. B.
Identifikasi Permasalahan
Walaupun UU No. 32 Tahun 2004 telah cukup rinci mengatur perencanaan pembangunan, tetapi dalam pelaksanaannya masih ada beberapa hal yang perlu disempurnakan. Pertama, keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan pembangunan daerah dengan pembangunan nasional dan antara perencanaan kabupaten/kota dengan perencanaan provinsi masih perlu ditingkatkan. Selama ini banyak daerah yang perencanaan pembangunan daerahnya belum mengacu kepada rencana pembangunan provinsi dan nasional. Dalam perencanaan tata ruang, masih banyak daerah yang belum menggunakan rencana tata ruang yang lebih tinggi sebagai dasar dalam mengembangkan kegiatan pembangunan daerahnya. Akibatnya, konsistensi dan sinergi dalam pembangunan daerah belum dapat secara optimal diwujudkan.
58
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
Kedua, kebijakan pembangunan daerah sebagaimana dinyatakan dalam RPJMD dan RKPD sering belum dikaitkan dengan rencana tata ruang daerah. Pengintegrasian antara dokumen RPJMD dan RKPD dengan dokumen tata ruang belum dapat dilakukan dengan optimal. Kegiatan pembangunan yang memiliki dimensi ruang belum dapat ditempatkan dalam lokasi yang telah ditentukan dalam rencana tata ruang. Kemampuan untuk mengisi rencana tata ruang dengan kegiatan pembangunan yang sesuai masih sangat rendah. Akibatnya, banyak kegiatan pembangunan daerah yang kurang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah dibuat dan ini menimbulkan berbagai masalah lingkungan yang merugikan kepentingan masyarakat. Ketiga, dokumen rencana pembangunan daerah sering belum secara jelas memuat secara rinci hasil pembangunan yang diharapkan (outcomes), keluaran yang dihasilkan (outputs), dan masukan (inputs). Akibatnya keterkaitan antara inputs, outputs dan outcomes yang diharapkan belum dapat diamati dengan mudah oleh para pelaksana dan pemangku kepentingan. Bahkan, dalam mendefinisikan inputs untuk kegiatan pembangunan, daerah sering belum menyertakan inputs di luar pendanaan, seperti aset dan peraturan perundangundangan yang spesifik dibuat untuk mendukung kegiatan pembangunan. Belum dimasukannya aset seperti barang milik daerah, tanah, sumber daya alam yang pengelolaannya dikuasakan pada daerah sebagai masukan yang penting dalam pembangunan daerah membuat kegiatan pembangunan daerah cenderung menguntungkan para pengusaha besar di daerah. Banyak kasus menunjukan terjadinya penguasaan aset daerah yang digunakan dalam pembangunan daerah yang manfaatnya kurang dapat dirasakan oleh masyarakat luas. Karena itu definisi tentang masukan untuk kegiatan pembangunan seharusnya mencakup tidak hanya pendanaan tetapi juga aset dan sumber daya lainnya yang dikuasai oleh daerah. Keempat, banyak dokumen rencana pembangunan daerah yang belum dibuat berdasarkan data yang akurat dan reliabel. Para perencana pembangunan daerah sering mengalami kendala untuk membuat rencana pembangunan daerah yang berbasis pada informasi yang akurat dan reliabel karena keterbatasan data yang dimilikinya. Tidak tersedianya data yang lengkap dan dikumpulkan secara berkala membuat para perencana mengalami kesulitan dalam membuat rencana pembangunan yang mampu menjawab secara tepat masalah yang berkembang di daerah. Kelima, kebingungan mengenai sumber legitimasi dari RPJMD sering terjadi di daerah. UU No. 32 Tahun 2004 menentukan bahwa RPJMD harus disahkan melalui peraturan daerah, sementara UU No. 25 Tahun 2004 mengatakan bahwa RPJMD cukup disahkan melalui peraturan kepala daerah. Lalu, ada pula perbedaan konsep RKPD di dalam kedua undangundang tersebut, di mana UU No. 25 Tahun 2004 mendefinisikan RKPD sebagai rencana kerja pembangunan daerah sementara UU No. 32 Tahun 2004 mendefinisikan RKPD sebagai rencana kerja pemerintah daerah. C.
Analisis
Kesulitan pemerintah dalam menjaga konsistensi perencanaan pembangunan daerah dengan nasional dan antar daerah telah lama dirasakan oleh banyak pihak (Keban, 2007). UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 25 Tahun 2004 telah mengatur perlunya daerah membuat RPJP, RJPM, RKPD, dan Renja SKPD, tetapi keduanya memiliki pengaturan yang berbeda terkait dengan basis legalitas dari dokumen perencanaan dan definisi dari konsep yang dipergunakan. Perbedaan tersebut sering membuat kebingungan aparat di daerah.
59
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Revisi UU No. 32 Tahun 2004 diharapkan dapat memberi solusi terhadap perbedaaan tersebut, sehingga daerah dapat memiliki dasar hukum yang jelas dalam menyiapkan dokumen perencanaan. Tidak adanya pengaturan yang jelas tentang keterkaitan antara rencana pembangunan dengan rencana tata ruang juga sering menjadi sumber dari keengganan daerah untuk mengisi rencana tata ruang daerah. Akibatnya, kegiatan pembangunan daerah dengan rencana tata ruang yang ada sering tidak sinkron dan menghasilkan masalah baru yang merugikan kepentingan publik di daerah. Adanya pengaturan yang mengamanatkan daerah untuk mengisi perencanaan tata ruang dengan kegiatan pembangunan sosial ekonomi yang relevan dapat mendorong daerah untuk tunduk pada dokumen tata ruang yang dimilikinya. Pengaturan ini diharapkan juga dapat mendorong terintegrasinya pembangunan daerah, bukan hanya dengan rencana tata ruang tetapi juga dengan rencana pembangunan nasional. Terbatasnya informasi dan data yang valid dan terbarukan menjadi salah satu penyebab dari rendahnya kualitas perencanaan pembangunan daerah. Tidak tersedianya data yang mengukur hasil pembangunan yang diharapkan (outcomes), keluaran, dan masukan sering membuat para pelaksana dan pemangku kepentingan mengalami kesulitan memahami rasionalitas dari kegiatan pembangunan daerah. Hal ini juga memberi peluang kepada para perencana dan pelaku pembangunan untuk melakukan praktik KKN dengan menitipkan proyek-proyek pembangunan yang relevansinya dengan prioritas pembangunan daerah amat rendah. Untuk mengurangi praktik KKN dalam perencanaan, perlu pengaturan yang mengharuskan dokumen rencana pembangunan daerah memuat ketiga komponen tersebut. Pemuatan data tersebut akan dapat membuat para pemangku kepentingan memahami rasionalitas kegiatan pembangunan daerah. Disamping itu, pengaturan perlu dibuat untuk memastikan bahwa daerah memperhitungkan masukan di luar pendanaan dalam kegiatan pembangunan daerah. Selama ini banyak daerah yang mengabaikan pentingnya inventarisasi dan penilaian aset dalam merencanakan kegiatan pembangunan daerah. Aset daerah atau aset negara yang dikuasakan pengelolaannya kepada daerah kurang diperhitungkan dalam pembangunan daerah. Aset tersebut sering dianggap sebagai given dan, karenanya, penilaian yang wajar dari aset tersebut dan kontribusinya terhadap pembangunan daerah belum dihargai secara wajar. Dengan demikian, banyak pemanfaatan aset daerah berupa tanah, sumber daya alam, dan barang daerah yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak swasta yang manfaatnya bagi kepentingan publik belum dapat dirasakan secara meluas. Untuk mendorong daerah melakukan berbagai perubahan dan perbaikan sebagamana tersebut di atas, maka daerah harus didorong untuk melakukan dokumentasi data yang penting bagi kegiatan perencanaan pembangunan. Data tentang indikator pencapaian hasil pembangunan, keluaran, masukan, baik pendanaan maupun di luar pendanaan seperti barang daerah, sumber daya alam, dan aset-aset lainnya yang pengelolaannya dikuasakan pada daerah sangat penting didokumentasikan dengan baik. Data-data tersebut perlu dikumpulkan secara berkala dan bersifat terbuka bagi pemangku kepentingan. Adanya data dasar yang lengkap, relevan, dan terbarukan secara berkala, maka kualitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan akan menjadi semakin baik.
60
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
D.
Usul Penyempurnaan
Perlu ada pengaturan yang mendorong daerah untuk menjamin keterkaitan, keserasian, dan sinergi kegiatan pembangunan antar daerah dan antara kegiatan pembangunan daerah dengan tujuan pembangunan nasional. 1. Perlu ada pengaturan yang mengharuskan daerah untuk mendefinisikan hasil pembangunan yang diharapkan, keluaran, dan masukan dalam dokumen RPJM dan RENJA SKPD. Indikator hasil pembangunan yang diharapkan, keluaran, dan masukan harus dirumuskan dengan jelas dan menjadi dasar dalam pengembangan sistem informasi daerah. 2. Perlu ada pengaturan yang mendorong daerah melakukan inventarisasi dan penilaian aset daerah atau aset yang dikuasakan kepada daerah dan memperhitungkannya secara wajar dalam kegiatan perencanaan pembangunan daerah. 3. Perlu pengaturan tentang keharusan daerah untuk mengumpulkan secara berkala data tentang indikator hasil pembangunan yang diharapkan, keluaran, dan masukan dari semua kegiatan pembangunan daerah dan mengintegrasikannya dengan sistem informasi nasional. 4. Perlu ada sinkronisasi dan harmonisasi ketentuan tentang perencanaan pembangunan daerah antara undang-undang pemerintahan daerah dengan undang-undang perencanaan pembangunan nasional. Kejelasan tentang basis legal dari dokumen perencanaan yang selama ini menjadi sumber kebingungan daerah dalam menetapkan RPJMD perlu segera diakhiri. IV.7.
Keuangan dan Aset Daerah
A.
Dasar Pemikiran
Penerimaan daerah yang terbatas semestinya digunakan secara efisien dan efektif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Setiap rupiah yang dikeluarkan oleh pemerintah hendaknya memiliki pengaruh terhadap membaiknya kesejahteraan masyarakat. Pemerintah yang diberi amanat untuk menjalankan fungsi dan tugasnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat seharusnya menempatkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat sebagai kriteria utama dalam mengalokasikan anggaran pemerintah. Pemerintah dibentuk untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, keberadaan pemerintah harus dapat memberi nilai tambah bagi masyarakat, terutama dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Tentu tidak elok kalau keberadaan pemerintah justru menyita lebih banyak sumber daya daripada yang digunakannya untuk melayani masyarakatnya.17 Biaya pemerintahan seharusnya lebih kecil daripada biaya untuk melayani warganya. Anggaran yang dihabiskan untuk membiayai kegiatan pemerintah harus lebih kecil daripada anggaran yang digunakan untuk melayani warganya. Apa yang terjadi sekarang ini di mana belanja pegawai jauh melebihi belanja untuk pelayanan publik mesti harus dikoreksi sehingga pada saatnya nanti belanja untuk pelayanan publik menjadi jauh lebih besar daripada belanja pegawai. Dengan cara ini, fungsi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya akan dapat terwujud.
17 Sebagai contoh, Kabupaten Bantul pada tahun 2006 mendapatkan pemasukan dari retribusi masyarakat miskin yang sakit sebesar Rp.15.682.736.550. tapi, anggaran untuk masyarakat miskin hanya 0,92% dari total anggaran belanja daerah. Sumber: Sinar Harapan. Ayo, Pantau Anggaran Daerah!, tanggal 21 Mei 2008.
61
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Aset pemerintah harus digunakan sebesar-besarnya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selama ini pemahaman pejabat pemerintah tentang aset yang tersedia di daerah cenderung terbatas, sebagai barang milik pemerintah. Padahal, yang dimaksud aset sebenarnya jauh lebih luas, termasuk tanah, sumber daya alam, dan aset non-tangible lainnya. Karena terbatasnya pemahaman para pengambil kebijakan tentang aset menyebabkan pemanfaatan aset di daerah sering kurang optimal dilihat dari kepentingan masyarakat. Banyak aset negara di daerah yang digunakan oleh pihak lain, terutama sektor dunia usaha, hingga manfaatnya lebih banyak dinikmati oleh pelaku usaha daripada masyarakat luas di daerah. Untuk itu, penyebarluasan konsep aset yang luas perlu dilakukan di kalangan para penyelenggara pemerintahan daerah. Pengaturan tentang penggunaan aset untuk kepentingan ekonomi dan lainnya perlu dilakukan. Pengaturan tentang pemberdayaan aset mesti harus menempatkan kepentingan masyarakat sebagai pertimbangan utama. Penyelenggara pemerintahan daerah harus dapat memanfaatkan aset-aset negara di daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. B.
Identifikasi Permasalahan
Permasalahan paling besar dalam keuangan daerah adalah adanya misalokasi anggaran yang tidak sesuai dengan prioritas daerah. Hal ini dapat kita lihat dari tingginya belanja pegawai dan operasional pemerintah (berkisar 70%-90%). Kecenderungan ini menunjukan bahwa selama ini pemerintahan daerah masih lebih banyak mengurus dirinya sendiri daripada mengurus kebutuhan warganya. Akibatnya, muncul ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah daerahnya. Proses penganggaran yang relatif tertutup mendorong terjadinya elite captures dalam penganggaran, di mana sebagian besar anggaran lebih banyak dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan elit birokrasi dan politik (Dwiyanto, dkk., 2007). Akses warga dan pemangku kepentingan di daerah yang rendah terhadap proses penganggaran membuat elit birokrasi dan politik sering mampu menempatkan kepentingannya di atas kepentingan warganya. Disparitas anggaran untuk kebutuhan birokrasi dan DPRD dan anggaran untuk pelayanan publik adalah salah satu bukti dari terjadinya elite captures dalam proses penganggaran. Masalah lain dalam bidang keuangan daerah adalah rendahnya kapasitas daerah dalam membelanjakan dananya untuk pembangunan daerah. Kecenderungan daerah untuk menginvestasikan uangnya di SBI dan deposito menunjukan ketidakmampuannya untuk memanfaatkan revenues yang dimilikinya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya.18 Juga kecenderungan daerah untuk mengalokasikan anggaran yang dimilikinya untuk kegiatan-kegiatan yang bukan menjadi prioritas yang penting menjadi bukti bahwa kapasitas daerah untuk mengelola dana yang dimilikinya untuk pembangunan daerah masih perlu didorong dan ditingkatkan. Dalam pemanfaatan aset negara di daerah, masih sering terjadi aset-aset negara di daerah dimanfaatkan oleh pelaku ekonomi yang hasilnya kurang memberi sumbangan terhadap perbaikan kesejahteraan masyarakat di daerah. Hutan, sumber daya alam, dan lahan yang dimanfaatkan oleh para pelaku usaha justru sering menghasilkan kerugian bagi masyarakat luas. Kerusakan lingkungan dan ketidakseimbangan ekosistem sebagai akibat dari 18 Daerah cenderung menyimpan dana tersebut pada Bank simpanan daerah dan telah mencapai angka 3,1% dari PDB Bulan November 2006. Sumber: Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah; Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007.
62
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
pengelolaan aset yang kurang bertanggungjawab menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat generasi sekarang dan mendatang. 19 Banyak aset lahan yang dikuasai oleh pelaku usaha yang diubah menjadi kawasan pemukiman yang memiliki nilai tambah yang berlipat ganda, yang keuntungannya hanya dinikmati oleh para pelaku usaha. C.
Analisis
Tidak adanya pagu yang jelas tentang berapa banyak anggaran dapat dialokasikan untuk biaya belanja pegawai dan operasional birokrasi pemerintah membuat daerah menghabiskan sebagian besar anggarannya untuk membiaya dirinya sendiri, bukan untuk melayani warganya. Banyak daerah yang menghabiskan sekitar 90% dana APBDnya untuk belanja pegawai dan kegiatan operasional satuan birokrasinya. Ini terjadi karena tidak ada insentif yang efektif bagi daerah untuk merampingkan satuan organisasinya. Tidak adanya pagu anggaran untuk belanja pegawai dan biaya operasional pemerintah dan insentif untuk merampingkan birokrasinya memberi ruang yang besar bagi daerah untuk mengembangkan birokrasinya. Kecenderungan daerah untuk mengembangkan struktur birokrasi yang gemuk juga menjadi salah satu penyebab dari besaran jumlah anggaran yang digunakan untuk membiayai birokrasi. Mengurangi jumlah biaya belanja pegawai hanya dapat dilakukan dengan mendorong daerah untuk merampingkan struktur birokrasinya. Adanya pagu anggaran untuk belanja birokrasi dan pegawai akan dapat mendorong daerah melakukan rasionalisasi dan rightsizing. Namun, rasionalisasi dan rightsizing memiliki implikasi sosial dan politik yang cukup besar yang mesti diperhitungkan. Keresahan dan protes dari kalangan aparat di daerah tentu sangat besar dan dapat menimbulkan risiko politik bagi pemerintah. Pembatasan pagu anggaran untuk belanja pegawai harus dilakukan dengan hati-hati dan dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan daerah. Mendorong daerah lebih peduli kepada kepentingan publik juga dapat dilakuan dengan membuat proses penganggaran menjadi lebih terbuka, transparan, dan partisipatif. Kecenderungan yang umum terjadi di daerah, di mana praktik penganggaran sangat tertutup dan elitis, harus segera dihentikan. Salah satu caranya adalah dengan mendorong partisipasi pemangku kepentingan dan masyarakat luas untuk terlibat dalam proses penganggaran. Proses penganggaran yang cenderung ekslusif harus dirubah menjadi inklusif, partisipatif, dan terbuka sehingga para pemangku kepentingan dapat mengetahui berapa banyak pagu anggaran yang ada dan untuk apa saja anggaran tersebut dialokasikan dan berapa besarannya. Cara seperti ini dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
19 Penambangan liar di Provinsi Bangka Belitung dapat dijadikan misal. Pemerintah setempat tidak mampu mengendalikan penambangan liar yang dilakukan masyarakat. Berdasarkan data dari Bapedalda Provinsi bangka Belitung, luas daerah yang rusak berbentuk kawah dengan lebar 2-50 Hektar dan kedalaman sampai dengan 9 meter adalah 400.000 hektar. Butuh dana triliunan untuk mereklamasinya. Ironisnya lagi, hasil penambangan cenderung diselundupkan ke luar negeri melalui kerjasama gelap dengan aparat keamanan laut dan birokrasi-peradilan. Sumber: Timah Bangka: Antara Dendam Sejarah dan Perjuangan Mendapatkan Akses. Diperoleh dari: http://merito.wordpress.com/2007/10/05/timah-bangka-antara-dendam-sejarah-dan-perjuanganmendapatkan-akses/; Erman, 2008. Politik Penguasaan Sumber Daya Timah di Bangka Belitung. Diperoleh dari: http://www.jatam.org/content/view/317/21/
63
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Penggunaaan aset daerah saat ini cenderung kurang menguntungkan masyarakat dan sering menjadi arena KKN hingga pemerintah perlu membuat pengaturan yang lebih jelas. Tidak adanya pengaturan yang melindungi kepentigan warga dalam penggunaan aset daerah sering membuat pemanfaatan aset daerah lebih menguntungkan pelaku usaha dan kurang dapat dirasakan manfaatnya oleh warga dan pemerintah daerah. Penguatan terhadap pengaturan aset daerah dalam revisi UU No. 32 Tahun 2004 diperlukan supaya bisa menjadi pegangan yang efektif bagi daerah dalam mendayagunakan aset daerah secara lebih produktif dan bermanfaat bagi kepentingan warga di daerah. D.
Usul Penyempurnaan
1. Perlu adanya pengaturan yang memberi insentif kepada daerah untuk memperkecil proporsi anggaran belanja aparatur terhadap anggaran daerah secara keseluruhan. Selama ini belanja untuk aparatur (gaji pegawai dan biaya operasional birokrasi pemerintah) sangat besar sehingga anggaran yang tersedia untuk kegiatan pembangunan relatif sangat kecil. Untuk mengatasi kondisi seperti ini maka pengaturan yang mendorong daerah memperkecil belanja aparatur perlu diatur. Dengan demikian, besaran proporsi untuk kegiatan pembangunan dan pelayanan publik dapat ditingkatkan. 2. Perlu ada pengaturan yang mengharuskan daerah melakukan penganggaran secara terbuka, partisipatif, dan akuntabel. Undang-undang perlu mengharuskan daerah melakukan konsultasi publik yang luas dalam membuat anggaran. Dokumen anggaran yang rinci harus dapat diakes oleh warga yang membutuhkannya. 3. Perlu ada pengaturan yang memberi insentif kepada daerah agar merampingkan birokrasinya dan mengurangi belanja aparaturnya. Pemerintah telah membuat PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Laksana Daerah yang mengatur besaran struktur birokrasi yang ada di daerah. Namun, pengaturan itu belum mampu memberi insentif yang efektif bagi daerah untuk merampingkan struktur birokrasinya. 4. Perlu ada pengaturan yang jelas tentang pemberdayaan aset daerah agar penggunaannya dapat dilakukan secara akuntabel, produktif, dan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat luas. Konsep aset perlu diperluas meliputi hutan dan sumber daya alam. Daerah perlu diberi kewenangan mengelola aset secara akuntabel, produktif, dan bermanfaat bagi kepentingan publik. IV.8.
Pelayanan Publik
A.
Dasar Pemikiran
Terwujudnya pelayanan publik yang berkualitas (prima) menjadi salah satu ciri tata pemerintahan yang baik (good governance). Kinerja pelayanan publik sangat besar pengaruhnya terhadap kualitas kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, membangun sistem manajemen pelayanan publik yang handal adalah keniscayaan bagi daerah jika mereka ingin meningkatkan kesejahteraan warganya. Tidak mengherankan kalau perbaikan kualitas pelayanan publik menjadi salah satu alasan mengapa pemerintah mendesentralisasikan kewenangan penyelenggaraan pelayanan publik kepada daerah. Dengan menyerahkan kewenangan penyelenggaraan pelayanan kepada daerah, pemerintah berharap pelayanan publik akan menjadi lebih responsif terhadap dinamika masyarakat di daerahnya. Ketika manajemen pelayanan diserahkan ke daerah, kesempatan warga untuk ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan seharusnya menjadi semakin terbuka. Warga harus dapat dengan lebih mudah mengawasi jalannya penyelenggaraan pelayanan. Mereka harus dapat menyampaikan aspirasinya (voice)
64
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
kepada rezim pelayanan. Mekanisme penyampaian keluhan harus dikembangkan di setiap satuan birokrasi pelayanan dan birokrasi wajib menindaklanjuti keluhan yang disampaikan warga penggunanya. Untuk mengawasi praktik penyelenggaraan pelayanan di daerah, Gubernur membentuk komisi pelayanan publik di wilayahnya. Mengingat terbatasnya sumber daya yang tersedia bagi daerah untuk penyelenggaraan pelayanan publik, daerah perlu didorong untuk mengutamakan pelayanan dasar. Untuk itu, perlu ada definisi yang jelas tentang pelayanan dasar. Supaya pemerataan akses terhadap pelayanan dasar dapat dijaga, maka perlu ada pengaturan tentang standar pelayanan minimum (SPM) untuk pelayanan yang termasuk dalam kategori pelayanan dasar. Penetapan SPM tidak berarti membatasi ruang bagi daerah untuk menyelenggarakan pelayanan sesuai dengan aspirasi dan kapasitas daerah. Daerah yang memiliki kapasitas lebih dapat menyelenggarakan pelayanan di atas standar pelayanan minimum. B.
Identifikasi Permasalahan
Penyelenggaraan pelayanan publik di daerah menunjukan kinerja yang bervariasi (Salomo, 2007a). Beberapa daerah berhasil mengembangkan inovasi dalam manajemen pelayanan publik dengan mengembangkan berbagai teladan (best practices). Misalnya, beberapa kabupaten/kota berhasil mengembangkan manajemen pelayanan yang partisipatif dengan mengadopsi kontrak pelayanan seperti yang dilakukan di kota Yogyakarta dan Blitar. Sementara kabupaten Jembrana berhasil memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan secara gratis dan beberapa kabupaten seperti Sragen, Sidoarjo, dan banyak kabupaten/kota lainnya berhasil mengembangkan pelayanan satu pintu (One Stop Service). Tetapi, di saat yang sama, tidak sedikit kabupaten/kota yang gagal mewujudkan kinerja pelayanan yang lebih baik. Otonomi daerah ternyata memiliki dampak yang berbeda dalam praktik penyelenggaraan pelayanan di daerah. Salah satu masalah yang penting dalam penyelenggaraan pelayanan adalah semakin menguatnya unsur-unsur subyektivitas dalam penyelenggaraan pelayanan. Hal ini ditandai dengan semakin maraknya diskriminasi dalam pelayanan berbasis pada unsur-unsur subyektivitas seperti pertemanan, etnis, afiliasi politik, kesamaan profesi (sesama PNS), dan agama (Dwiyanto, dkk., 2003; Dwiyanto, 2007). Disamping diskriminasi pelayanan publik, masalah lain dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah rendahnya aksesibilitas pelayanan, yang ditandai dengan masih besarnya angka pengguna biro jasa (intermediaries) dalam penyelenggaraan pelayanan. Besarnya angka pengguna biro jasa dalam mengakses pelayanan publik sangat bervariasi, berkisar antara 50-80%, tergantung pada jenis pelayanan.20 Besarnya angka pengguna jasa ini menunjukan ketidaksanggupan warga untuk berhubungan langsung dengan penyelenggara pelayanan. Hal ini menjelaskan salah satunya besarnya opportunity cost yang dihadapi oleh masyarakat dalam mengakses pelayanan publik. Kecenderungan prosedur pelayanan hanya mengatur kewajiban dan mengabaikan hak-hak pengguna pelayanan publik menjadi salah satu sebab mengapa penyelenggaraan pelayanan publik sering menjadi sumber ketidakpuasan warga terhadap pemerintah. Penyelenggara pelayanan cenderung menempatkan dirinya sebagai penguasa, yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada pengguna dan dapat berbuat seenaknya
20 Survei kepuasan warga pengguna terhadap pelayanan perizinan di Kota Yogyakarta pada tahun 2005 yang dilakukan oleh PSKK UGM menunjukan bahwa angka pengguna yang menggunakan perantara atau calo pelayanan dalam pengurusan izin sangat besar dan bervariasi antar jenis perizinan.
65
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
dalam mengelola pelayanan publik. Akibatnya, penyelenggaraan pelayanan publik sering menjadi arena konflik antara pemerintah dengan warganya. C.
Analisis
Ada beberapa penyebab mengapa kinerja pelayanan publik di daerah pada umumnya masih jauh dari harapan. Pertama, penyelenggaraan pelayanan selama ini cenderung dianggap sebagai domain rezim pelayanan. Jenis pelayanan, kualitas, dan cara pelayanan sepenuhnya ditentukan oleh rezim pelayanan. Warga tidak memiliki kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang berbagai hal yang menyangkut pelayanan yang dibutuhkan. Akibatnya, pelayanan yang diberikan oleh daerah sering tidak sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan warga. Kedua, prosedur pelayanan cenderung hanya mengatur kewajiban dari warga pengguna, tetapi hak-haknya tidak pernah diatur dan dilindungi. Prosedur juga sering gagal mengatur kewajiban dari penyelenggaraan pelayanan. Akibatnya, rezim pelayanan dapat memperlakukan warga pengguna seenaknya. Tidak adanya pengaturan tentang hak-hak warga membuat proses pelayanan publik menjadi penuh dengan ketidakpastian. Ketiga, proses pelayanan seringkali dikaitkan dengan struktur hirarki birokrasi di daerah. Panjangnya jenjang hirarki birokrasi dengan sendirinya membuat proses pelayanan publik menjadi panjang dan menghabiskan banyak energi dari warga dan penyelenggara pelayanan. Apalagi ketika prosedur pelayanan dibuat dengan semangat untuk mencegah terjadinya moral hazards, proses pelayanan publik menjadi sangat kompleks dan sulit diikuti secara wajar oleh warga pengguna. Akibatnya, banyak warga cenderung menggunakan biro jasa atau perantara. Besarnya angka pengguna biro jasa menunjukan bahwa masyarakat tidak lagi sanggup mengakses pelayanan secara wajar. Keempat, birokrasi pelayanan belum mampu mengembangkan budaya dan etika pelayanan yang menghargai posisi pengguna sebagai warga negara yang berdaulat. Birokrasi pelayanan masih menempatkan warga sebagai obyek pelayanan yang dapat diperlakukan seenaknya sesuai dengan kemauannya. Kepuasan warga belum menjadi kriteria utama bagi birokrasi pelayanan untuk menilai kinerjanya. Akibatnya, akuntabilitas birokrasi belum dilihat dari kepuasaan warga terhadap pelayanannya melainkan dari kepatuhan birokrasi terhadap peraturan dan prosedur pelayanan. D.
Usul Penyempurnaan
1. Perlu pengaturan yang jelas tentang konsep pelayanan dasar yang wajib disediakan oleh pemerintah. Selama ini pelayanan dasar belum didefinisikan dengan jelas dalam perundang-undangan yang ada. Tidak adanya definisi yang jelas tentang pelayanan dasar yang wajib disediakan oleh pemerintah dapat memiliki risiko tidak terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Apa saja yang termasuk dalam pelayanan dasar harus didefinisikan dengan jelas, sehingga perhatian daerah terhadap penyelenggaraan pelayanan dasar dapat diamati oleh warga dan pemangku kepentingannya dengan mudah. 2. Perlu ditegaskan dalam revisi UU No. 32 Tahun 2004 mengenai kewajiban daerah untuk menyelenggarakan pelayanan dasar sesuai dengan standar pelayanan minimum (SPM) dan atau standar lainnya yang dibuat oleh pemerintah. Daerah dapat menyelenggarakan pelayanan dasar di atas standar nasional, sesuai dengan kemampuan dan aspirasi masyarakatnya.
66
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
3. Dalam penyelenggaraan pelayanan dasar, daerah harus mengembangkan sistem pelayanan yang berkeadilan, efisien, responsif, akuntabel, dan partisipatif. Daerah harus dapat menyelenggarakan pelayanan yang mudah diakses oleh semua warganya terlepas dari ciri-ciri subyektifnya, mampu menjawab kebutuhan warga, dan yang diselenggarakan secara partisipatif dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. 4. Dalam mewujudkan sistem pelayanan publik sebagaimana tersebut di atas, daerah harus mengembangkan manajemen pelayanan publik yang memungkinkan terjadi perbaikan secara berkelanjutan. Karena itu, manajemen pelayanan publik harus menjamin adanya hak warga untuk menyampaikan aspirasi, keluhan, dan usulan perbaikan (voices) dan menjadikan hal itu sebagai bagian yang penting untuk perbaikan kinerja dan akuntabilitas publik. 5. Untuk mendorong adanya perbaikan manajemen pelayanan yang berkelanjutan, daerah perlu didorong untuk secara periodik melaksanakan evaluasi kinerja pelayanan publik dengan melakukan, antara lain, pengembangan indeks kepuasan warga pengguna. 6. Daerah perlu membentuk lembaga Ombudsman atau komisi pelayanan yang melibatkan sekelompok profesional yang independen sebagai lembaga mediasi penyelesaian masalah dan konflik yang terjadi antara warga pengguna dengan manajemen pelayanan publik. 7. Daerah perlu mendorong birokrasi pelayanannya untuk mengembangan maklumat atau kontrak pelayanan yang mengatur secara proporsional dan seimbang hak dan kewajiban dari penyelenggara dan pengguna pelayanan. Maklumat atau kontrak pelayanan dapat menjadi alat yang mudah dan sederhana bagi warga mengawasi praktik penyelenggaraan pelayanan. Bagi penyelenggara, keberadaan maklumat pelayanan penting karena dapat menjadi pedoman bagi mereka untuk mewujudkan pelayanan sesuai yang dijanjikannya. IV.9.
Partisipasi Masyarakat
A.
Dasar Pemikiran
Kebijakan desentralisasi pemerintahan hanya akan berhasil meningkatkan kesejahteraan warganya jika diikuti dengan pemberdayaan masyarakat, sehingga mereka bisa berperan serta dan sekaligus mengawasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Otonomi daerah yang melimpahkan kewenangan pada elit politik dan birokrasi di daerah harus diikuti dengan otonomi pada tingkat warga untuk dapat mengontrol perilaku elit politik dan birokrasi dalam menggunakan kekuasaannya. Ruang bagi warga untuk dapat berpartisipasi dalam pemerintah harus dibuka seluas-luasnya. Hanya dengan cara seperti ini, desentralisasi pemerintahan dapat memperbaiki kesejahteraan masyarakat di daerah. Partisipasi masyarakat memiliki fungsi penting, diantaranya adalah sebagai sarana bagi warga untuk mengekspresikan kebutuhan dan kepentingannya. Dengan begitu, proses kebijakan daerah menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan warga. Lebih jauh lagi, partisipasi penting untuk menjamin warga memiliki ownership dalam proses kebijakan dan karenanya, dapat menciptakan kepedulian dan dukungan warga untuk keberhasilan pembangunan di daerahnya. Partisipasi juga dapat digunakan melalui pendidikan dan pembelajaran bagi warga terhadap masalah dan kebijakan publik. Partisipasi karenanya dapat membentuk sense of citizenship yang sangat penting bagi pengembangan demokrasi dan pembangunan bangsa.
67
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
B.
Identifikasi Permasalahan
Salah satu tujuan utama dari penyelenggaraan otonomi daerah adalah mendekatkan penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan warganya. Otonomi daerah diharapkan mampu mendorong adanya peningkatan keterlibatan masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah, termasuk dalam proses pembuatan peraturan daerah, perencanaan pembangunan daerah, dan pengawasan kegiatan pemerintahan di daerah. Namun, setelah pelaksanaan otonomi daerah tampak bahwa partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan pembangunan dan pemerintahan belum seperti yang diharapkan. Memang banyak studi menunjukan bahwa ada kecenderungan yang meluas mengenai kemunculan banyak forum komunikasi dan partisipasi masyarakat di berbagai kabupaten/kota di Indonesia. Tetapi, kemunculan ini belum mampu meningkatkan keterlibatan warga dalam proses kebijakan di daerah karena forum-forum itu kerap didominasi oleh elit, jadi dalam proses kebijakan kepentingan elit lebih banyak diperjuangkan daripada kepentingan warga. Alhasil, otonomi daerah lebih dinikmati oleh elit politik dan birokrasi di daerah dibandingkan warga pada umumnya. Salah satu kesulitan dalam mendorong partisipasi masyarakat adalah terbatasnya akses warga terhadap informasi. Terbatasnya akses warga ini membuat mereka mengalami kesulitan dalam mengambil peran yang optimal dalam proses kebijakan di daerah, meskipun kebijakan tersebut berpengaruh sangat besar terhadap kehidupan mereka. Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa keterbukaan pemerintah untuk membuka akses warga terhadap informasi masih sangat mendua, karena sangat dipengaruhi oleh ada-tidaknya konflik kepentingan. Pemerintah daerah dapat sangat terbuka kepada warganya dan mendorong warganya untuk berpartisipasi ketika pemerintah tidak memiliki kepentingan terhadap isu dan masalah yang dipersoalkan. Namun, ketika penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kepentingan dan kepentingannya dapat terganggu jika transparansi dilakukan, maka penyelenggara pemerintahan cenderung menjadi sangat tertutup dan mencegah keterlibatan masyarakat (Dwiyanto, 2003a). Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan, penyelenggara pemerintahan daerah perlu membuka akses publik seluas-luasnya terhadap informasi tentang berbagai kebijakan pemerintah, seperti dalam penyusunan Perda, APBD, dan prioritas pembangunan daerah. Keterbukaan informasi ini akan dapat mengurangi dominasi elit lokal dalam proses kebijakan di daerah. Selama ini proses kebijakan publik cenderung didominasi oleh elit lokal sebab mereka yang memiliki akses terhadap informasi dan kekuasaan. Masyarakat luas cenderung menempati posisi pinggiran, dan oleh karena itu, kepentingan mereka kurang terakomodasi dalam proses kebijakan di daerah. Peningkatan partisipasi masyarakat juga memerlukan pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Kepercayaan diri yang rendah terhadap kemampuannya untuk ikut mempengaruhi proses perubahan dan besarnya risiko yang harus dibayar dari keterlibatannya dalam proses kebijakan sering membuat minat masyarakat untuk terlibat dalam proses kebijakan di daerah masih amat rendah. Konsekuensinya, partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan di daerah sangatlah terbatas. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan di daerah, berbagai upaya untuk meningkatkan keyakinan mereka tentang manfaat partisipasi terhadap perbaikan kehidupannya dan memperkecil risiko ketika mereka terlibat dalam proses kebijakan perlu dilakukan.
68
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
C.
Analisis
Kebijakan desentralisasi menuntut adanya ruang partisipasi masyarakat yang semakin besar karena pelaksanaan desentralisasi hanya akan berhasil kalau diikuti dengan kemampuan warga di daerah untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pelimpahan urusan ke daerah harus diikuti dengan kemampuan masyarakat di daerah untuk mengawasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tanpa adanya penguatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dikhawatirkan kebijakan dan program pembangunan daerah menjadi semakin jauh dari aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Dari uraian di atas, ada 4 masalah penting dalam penguatan partisipasi masyarakat: dominasi elit politik dan birokrasi dalam proses kebijakan, akses informasi yang terbatas, sikap pemerintah yang mendua dalam menyikapi partisipasi masyarakat, dan kesadaran masyarakat yang rendah untuk berperan serta dalam proses kebijakan. Keempat masalah tersebut menunjukan bahwa penguatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah terkait dengan costs of and demand for participation. Kesadaran dan kesepahaman tentang manfaat partisipasi bagi mereka menunjukan bahwa demand for partipaticipation masih rendah. Tetapi, rendahnya kebutuhan mereka untuk berpartisipasi mungkin juga disebabkan oleh besarnya cost dan risiko yang harus dibayar untuk berpartisipasi. Akses warga terhadap informasi sangat terbatas, dominasi elit politik dan birokrasi dalam proses kebijakan, dan sikap pemerintah yang mendua terhadap partisipasi membuat cost dan risiko untuk berpartisipasi menjadi semakin besar. Dalam rangka mendorong partisipasi masyarakat, daerah berkewajiban untuk menghilangkan kendala (costs) dan menaikan kebutuhan (demand) masyarakat untuk terlibat dalam proses kebijakan di daerah. Warga harus mendapat jaminan akses terhadap informasi tentang berbagai hal terkait dengan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik, sebab informasi merupakan bahan baku utama bagi proses kebijakan publik. Selama ini akses terhadap informasi tentang kegiatan pemerintahan masih sangat terbatas. Lebih jauh lagi, berbagai prosedur dan ketentuan tentang proses kebijakan yang menghambat warga dan pemangku kepentingan untuk terlibat dalam proses kebijakan harus dihilangkan. Proses kebijakan di daerah harus didorong agar semakin terbuka, mudah diakses, dan dekat dengan masyarakat sehingga kendala untuk berpartisipasi menjadi semakin rendah. Untuk mendorong keinginan berpartisipasi dalam proses kebijakan di daerah, utilisasi informasi dan pengetahuan yang disumbangkan oleh masyarakat dalam proses kebijakan di daerah harus menjadi semakin besar. Salah satu faktor yang mendorong rendahnya kebutuhan untuk berpartisipasi adalah rendahnya keyakinan masyarakat bahwa informasi dan usulan yang mereka sampaikan akan dimanfaatkan dalam pengambilan keputusan. Dalam perencanaan pembangunan daerah, misalnya, banyak warga yang apatis dengan proses Musrenbang yang terjadi di lingkungannya. Warga tidak yakin apakah keputusan dalam Musrenbang akan diakomodasi dalam pengambilan keputusan tentang alokasi anggaran. Tidak adanya koneksi antara hasil Musrenbang dengan keputusan yang dibuat oleh panitia anggaran menjadikan warga enggan untuk terlibat dalam proses Musrenbang.21 Proses kebijakan yang tidak akomodatif terhadap aspirasi publik seperti ini menjadi salah 21 Banyak temuan menunjukan tidak adanya koneksi antara proses musrenbang yang dikelola oleh eksekutif dengan proses penganggaran yang dikelola oleh DPRD. Usulan dan keputusan masyarakat yang telah diperbincangkan di Musrenbag sering tidak lagi dibahas dalam rapat komisi anggaran. Tidak adanya kesinambungan antara proses birokrasi dan politik dalam proses penganggaran sering membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap institusi dan mekanisme perencanaan dari bawah.
69
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
satu faktor yang menjadi alasan mengapa partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan di daerah selama ini relatif rendah. D.
Usul Penyempurnaan
Untuk mendorong penyelenggaraan pemerintahan daerah yang partisipatif, pengaturan yang jelas tentang partisipasi masyarakat dalam peraturan perundang-undangan perlu dilakukan. Pengaturan tersebut setidak-tidaknya mencakup berbagai hal sebagai berikut: 1. Perlu adanya penegasan bahwa daerah wajib menjamin hak warga baik secara perseorangan ataupun berkelompok untuk terlibat dalam proses pengambilan kebijakan pemerintahan di daerah. 2. Perlu ada penegasan ruang untuk keterlibatan publik dalam pelaksanaan pemerintahan daerah terutama dalam hal penyusunan kebijakan, perencanaan pembangunan, proses pembahasan anggaran, proses pembahasan rancangan peraturan, dan penyediaan pelayanan publik daerah. Hak warga untuk terlibat dalam proses kebijakan tersebut adalah hak yang harus dilindungi oleh daerah dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses kebijakan di daerah. Karena itu daerah harus melakukan konsultasi seluasluasnya dengan warga dan para pemangku kepentingan sebelum menetapkan satu kebijakan. Pelanggaran terhadap hak warga ini dan kewajiban daerah melindungi hak warga untuk terlibat dalam proses kebijakan menjadi bagian yang penting dalam penilaian kinerja daerah. 3. Perlu ada pengaturan tentang hak-hak warga untuk memperoleh akses terhadap informasi dan data yang dibutuhkan dalam kebijakan. Akses terhadap informasi juga penting bagi warga agar dapat terlibat dalam pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kegagalan dalam menjamin akses warga terhadap informasi akan mempersulit keterlibatan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah. 4. Dalam penyelenggaraan pelayanan, hak warga terhadap informasi tentang biaya, waktu, dan cara pelayanan harus diatur dengan jelas. Daerah juga perlu memberi ruang bagi warga dan pemangku kepentingan untuk menyampaikan keluhan, kritik, dan saran dan menjadikannya sebagai bagian dari masukan untuk perbaikan manajemen pelayanan publik. Daerah perlu mendorong perangkat dan aparatnya untuk menyelenggarakan pelayanan publik yang partisipatif. 5. Perlu pengaturan tentang keterkaitan antara proses pengambilan keputusan yang partisipatif (misalnya, Musrenbang) dengan proses pengambilan keputusan yang teknokratis dan birokratis (alokasi anggaran). Penguatan keterkaitan antara hasil keputusan Musrenbang dengan proses alokasi anggaran sangat penting sebagai insentif bagi warga untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan di daerah. Sebaliknya, tidak adanya keterkaitan antara proses yang terjadi di Musrenbang dengan keputusan alokasi anggaran menjadi disinsentif bagi warga untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan publik.
70
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
IV.10. Kawasan Perkotaan A.
Dasar Pemikiran
UU No. 32 Tahun 2004 telah memiliki pengaturan mengenai kawasan perkotaan, tetapi ini belum memadai. Kemajuan kehidupan ekonomi dan modernitas telah mendorong semakin cepatnya pertumbuhan kawasan perkotaan, yang memiliki gaya hidup dan perilaku yang berbeda dengan gaya hidup di kawasan lainnya. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah membuat kehidupan kawasan perkotaan menjadi semakin kompleks dan membutuhkan pengaturan yang semakin dinamik dan terintegrasi dengan kawasan lainnya sehingga kemajuan kawasan perkotaan dapat mendorong perubahan sosial ekonomi pada kawasan lainnya. Tumbuh-suburnya kawasan perkotaan baru, terutama di daerah yang menjadi konsentrasi pemukiman baru telah menimbulkan berbagai fenomena baru yang menarik. Kawasan permukiman baru dibangun dengan ciri perkotaan yang modern dengan fasilitas kehidupan sosial dan ekonomi yang berbeda dengan kawasan induknya. Secara fisik, kawasan perkotaan baru tersebut memiliki ciri-ciri kota yang modern namun secara sosial sering terpisah dengan kawasan lainnya, yang masih mencirikan kawasan perdesaan. Dalam pengaturan administrasi pemerintahan, kawasan perkotaan tersebut sering masih menjadi satu dengan kawasan lainnya, yang mencirikan sistem administrasi pemerintahan yang tradisional. Akibatnya, sering muncul masalah yang sebenarnya dapat dihindari jika pengaturan mengenai kawasan perkotaan dapat dilakukan secara terintegrasi dengan kawasan lainnya. Pengaturan kawasan perkotaan perlu dibuat agar dapat mengakomodasi tantangan yang dihadapi dalam perkembangan yang sangat cepat, baik dari sisi teknologi, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Pengaturan yang dibuat tidak hanya mengakomodasi kebutuhan daerah dalam mengembangkan kawasan perkotaan, tetapi juga harus dapat melindungi kepentingan lainnya seperti kebutuhan konservasi lingkungan, kehidupan sosial yang sehat, dan terwujudnya tata pemerintahan yang baik. B.
Identifikasi Permasalahan
UU No. 32 Tahun 2004 telah mencantumkan pengaturan kawasan perkotaan tetapi belum cukup mengatur berbagai isu yang terkait dengan isu kawasan perkotaan. Berbagai aspek kelembagaan, pelayanan, dan pengaturan tentang pengembangan kawasan perkotaan belum banyak diatur dalam undang-undang yang ada (Diamar, 2007). Maka itu, muncul banyak masalah dalam pengelolaan kawasan perkotaan. Salah satu masalah yang sering dijumpai di banyak daerah adalah pelanggaran terhadap rencana tata ruang dalam rangka mengakomodasi munculnya kawasan perkotaan dan segala implikasinya. Rencana tata ruang yang ada di banyak daerah sering mengalami konversi karena tekanan kepentingan ekonomi. Tidak jarang perubahan rencana tata ruang memiliki dampak ekologis yang dapat merugikan kepentingan publik. Sayangnya, pengaturan mengenai hal ini dalam UU No. 32 Tahun 2004 belum dilakukan secara memadai. Untuk memberi landasan yang kuat kepada daerah dalam mengelola pertumbuhan kawasan perkotaan dan mengarahkannya untuk kesejahteraan masyarakat, pengaturan tentang pengelolaan kawasan perkotaan perlu diatur dalam undang-undang pemerintah daerah.
71
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Masalah lain adalah kurangnya integrasi perkembangan kawasan perkotaan dengan wilayah lainnya. Ada banyak daerah yang memiliki pertumbuhan kawasan perkotaan yang sangat pesat namun belum terintegrasi dengan baik secara kelembagaan, fisik, dan lingkungan dengan kawasan lainnya. Akibatnya, seringkali muncul ketimpangan dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi, sosial, dan kelembagaan antar kawasan dalam satu kabupaten/kota. Munculnya kawasan kota mandiri yang memiliki kehidupan kota yang sangat modern sementara pemerintah daerah yang membawahinya masih memiliki pola manajemen yang tradisional kerap menimbulkan masalah baru dalam pengelolaan kawasan perkotaan. Upaya pemerintah daerah untuk merespons kebutuhan kawasan kota mandiri perlu didukung dengan perangkat perundang-undangan yang memadai. Untuk dapat mengembangkan manajemen pengelolaan kawasan perkotaan yang modern, daerah perlu diberi peluang untuk memberdayakan lembaga dan aparaturnya supaya dapat mengelola kawasan perkotaan modern, seperti kota mandiri, dengan baik. Manajemen kota mandiri perlu diberi kewenangan-kewenangan untuk mengelola kawasan tersebut sebagaimana yang dimiliki oleh kota atau daerah induk. Hal seperti ini belum diatur dengan baik dalam UU No. 32 Tahun 2004. Pengaturan tentang pengelolaan kota perlu dibuat dalam undang undang pemerintah daerah. C.
Analisis
Pengaturan tentang pengelolaan kawasan perkotaan amat diperlukan mengingat perkembangan kawasan perkotaan di beberapa daerah di Indonesia dalam dekade terakhir ini sudah sangat pesat. Diperkirakan 10 tahun mendatang, 70 persen penduduk pulau Jawa tinggal di perkotaan. Dinamika kehidupan perkotaan yang sangat berbeda dengan kawasan lainnya menuntut adanya pengaturan yang berbeda dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya. Keberadaan kawasan perkotaan memberi peluang dan sekaligus tantangan yang perlu direspon dengan tepat oleh pemerintah. Kegagalan merespon dengan tepat perkembangan kawasan perkotaan dapat menimbulkan masalah perkotaan yang kompleks yang merugikan penghuni kawasan perkotaan dan sekitarnya. Tidak adanya pengaturan yang jelas tentang pengelolaan kawasan perkotaan membuat pemerintah cenderung mengelola kawasan perkotaan secara adhoc dan reaktif, sesuai dengan masalah yang berkembang di kawasan tersebut. Tindakan yang diambil cenderung sporadis dan reaktif, kurang visioner sehingga kebijakan yang komprehensif sangat sulit dikembangkan. Banyak masalah yang muncul terkait dengan perkembangan kawasan perkotaan tidak dapat diselesaikan dengan baik. Sebagai contoh, dalam bidang kelembagaan pengelolaan kawasan perkotaan. Sampai saat ini, UU No. 32 Tahun 2004 maupun peraturan perundang-undangan lainnya belum mengatur tentang kelembagaan pengelolaan kawasan perkotaan. Dinamika kehidupan perkotaan sering melampaui batasbatas wilayah administratif. Kehidupan perkotaan memiliki eksternalitas baik positif ataupun negatif melewati batas-batas administratif. Berbagai upaya sudah dilakukan di berbagai daerah untuk menyelenggarakan pengelolaan bersama berbagai masalah dan kebutuhan bersama antar kota dan antar kota dengan kabupaten sekitarnya. Namun, karena pengelolaan bersama tersebut tidak memiliki landasan perundang-undangan yang kokoh, maka seringkali penanganannya kurang optimal. Bentuk kelembagaan yang berkembang juga sangat bervariasi dengan tingkat efektivitas yang berbeda-beda tergantung dari kesungguhan dari masing-masing kepala daerah. Masalah lain yang perlu diatur adalah pengelolaan kawasan kota dalam satu kabupaten/ kota. Selama ini pengaturan kehidupan perkotaan di kabupaten/ kota dilakukan seperti
72
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
halnya kawasan perdesaan. Sedangkan, kota kecamatan atau kota kabupaten yang memiliki ciri-ciri demografis, sosiologis, dan ekonomis yang berbeda sering menuntut pengelolaan yang berbeda. Kehidupan perkotaan juga menciptakan kebutuhan dan dinamika kehidupan yang berbeda dengan kehidupan perdesaan. Kawasan perkotaan tentu membutuhkan manajemen yang berbeda dengan kawasan perdesaan. Sayangnya, dalam struktur kelembagaan yang ada, kabupaten/kota memiliki keterbatasan untuk dapat merespons dinamika kehidupan yang berbeda karena peluang untuk mengembang inovasi dalam pengelolaan kawasan perkotaan belum diatur dalam peraturan-perundang-undangan yang ada. Kota kecamatan yang membutuhkan pelayanan berbeda tidak dapat direspons oleh camat sebagai perangkat daerah karena keterbatasan wewenang dan sumber daya yang dimiliki oleh camat. Kewenangan dan sumber daya yang ada terkonsentrasi di birokrasi kabupaten. Sedangkan lembaga kecamatan sebenarnya dapat diberdayakan untuk dapat merespon dinamika dan kebutuhan pelayanan masyarakat di kota kecamatan. Hal yang sama juga terjadi dalam pengelolaan kawasan kota kabupaten. Jika dinamika seperti ini tidak diantisipasi dengan baik oleh pemerintah, maka masalah perkotaan di masa mendatang akan menjadi semakin kompleks dan sulit diselesaikan dengan baik. Munculnya banyak kota baru di dalam satu kabupaten, sebagai akibat dari dinamika ekonomi dan semakin maraknya industri real estate, telah menimbulkan masalah dan sekaligus peluang bagi perkembangan daerah. Berbagai masalah muncul karena besarnya perbedaan status sosial ekonomi dan gaya hidup penduduk kawasan kota baru dengan wilayah sekitarnya sering menimbulkan kecemburuan sosial. Pemerintah Kabupaten sering mengalami kesulitan untuk mengintegrasikan kedua kawasan tersebut. Tidak adanya pengaturan yang jelas tentang hak-hak masyarakat pemilik tanah yang digunakan untuk pengembangan kawasan baru tersebut juga sering membuat masyarakat yang tinggal di kawasan tergusur dan kehilangan sumber kehidupan yang selama ini tergantung pada lahan yang dimilikinya. Banyak dari mereka yang kemudian mengalami kesulitan ekonomi, sementara pengusaha pengembang kawasan tersebut memiliki keuntungan yang berlimpah. Masalah lain dalam pengembangan kota baru biasanya terkait dengan pelanggaran tata ruang. Banyak terjadi pengalihan peruntukan dari pertanian ke pemukiman atau dari jalur hijau dan konservasi lingkungan ke pemukiman yang seringkali menimbulkan banyak masalah bagi masyarakat luas. Pengembangan kota baru memerlukan pertimbangan yang menyeluruh sehingga keberadaannya sedapat mungkin memberi kemanfaatan yang besar bagi pemerintah dan masyarakat luas dengan risiko yang minimal. Pertimbangan ekonomi yang selama ini cenderung dominan dalam pengembangan kota baru mesti harus dilengkapi dengan pertimbangan sosial dan politik yang masak sehingga keberadaan kota baru dapat memberi manfaat yang luas dan berkelanjutan. D.
Usul Penyempurnaan
Pemerintah perlu mendefinisikan kawasan perkotaan secara jelas dan membuat pengaturan kelembagaan yang dapat digunakan untuk mengelola kawasan perkotaan secara optimal. Selama ini kawasan perkotaan cenderung hanya didefinisikan secara administratif, tetapi secara fungsional belum diatur dengan jelas. Pemahaman tentang kedua aspek dari kawasan perkotaan tersebut perlu dijadikan sebagai dasar dalam pengaturan kawasan perkotaan. Lebih dari itu, pengembangan kawasan perkotaan juga memerlukan pengaturan yang memadai tentang pengelolaan kelembagaan. Belum memadainya pengaturan tentang
73
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
berbagai aspek kelembagaan dalam pengelolaan kawasan perkotaan, membuat daerah belum mampu secara optimal mengelola kawasan perkotaan yang dimilikinya. 1. Perlu ada pengaturan tentang jenis kota dan segala aspek yang mengikutinya. Kompleksitas yang dihadapi oleh kawasan perkotaan cenderung berbeda antar jenis kota yang berbeda, karena itu perlu cara pengaturan yang berbeda untuk masingmasing jenis kota. Dalam peraturan perundang-undangan yang ada, pengaturan tentang jenis atau tipe kota dan berbagai aspek yang melekat pada jenis kota tersebut belum dirumuskan dengan jelas. Sedangkan pengaturan seperti itu penting agar dapat menjadi pedoman bagi daerah dalam mengembangkan kawasan perkotaan yang dimilikinya. 2. Harus ada kejelasan tentang batas-batas kewenangan pengelola kota mandiri dalam mengelola “kotanya” dengan kewenangan Pemda yang membawahi kawasan perkotaan tersebut. Pengelolaan kawasan kota mandiri perlu diatur secara berbeda karena masalah dan peluang yang dihadapinya berbeda dengan kawasan lainnya. Daerah dapat memberi kewenangan kepada pengelola kota untuk memfasilitas penyelenggaraan pelayanan kepada warganya sesuai dengan kebutuhan warga kota tersebut. Namun, keberadaan dan pengelolaan kawasan kota mandiri harus terintegrasi dengan kawasan lainnya sehingga keberadaan kota mandiri dapat mendorong perkembangan kawasan lainnya. 3. Perlu ada pengaturan terhadap peranan pihak swasta dalam membangun dan mengembangkan kawasan perkotaan termasuk penyiapan fasilitas sosial dan fasilitas umum dalam kawasan yang dikembangkannya. Keberadaan fasilitas sosial dan fasilitas umum untuk mendukung pengembangan kawasan perkotaan perlu diatur dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengembangan kawasan perkotaan. Perlu juga diatur tentang pengelolaan fasilitas sosial dan fasilitas umum oleh Pemda agar keberaadaannya dapat berlanjut dan dirasakan oleh masyarakat luas. IV.11. Desentralisasi Fungsional (Kawasan Khusus) A.
Dasar Pemikiran
Dalam pelaksanaan desentralisasi, dikenal dua macam desentralisasi, yaitu desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional (Rondenelli, 1980). Desentralisasi fungsional lazimnya dikenal dalam bentuk ”kawasan khusus atau distrik-distrik khusus”, atau sering disebut juga “special authorities”. Kawasan khusus dibentuk untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi khusus yang diperlukan dalam mencapai tujuan strategik nasional atau daerah. Misalnya, untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing bangsa, pemerintah dapat menetapkan satu kawasan menjadi kawasan, yang memiliki pengaturan yang khusus sehingga kawasan tersebut dapat bersaing dalam pasar internasional. Berbeda dengan desentralisasi teritorial yang bersifat umum, desentralisasi fungsional memerlukan pengaturan yang khusus berlaku pada satu kawasan tertentu yang ditetapkan sebagai kawasan khusus. Pengaturan khusus tersebut meliputi antara lain, urusan dan kewenangan yang diserahkan, struktur kelembagaan, personel, pembiayaan, dan wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan khusus. Pengembangan kawasan khusus sebagai pengejawantahan dari desentralisasi fungsional juga berbeda dengan organisasi parastatal, yang merupakan kepanjangan dari salah satu organ pemerintah pusat (atau BUMN). Organisasi parastatal menjalankan kegiatan operasional dari lembaga pemerintah pusat di
74
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
suatu daerah otonom, tetapi ia sendiri tidak bersifat otonom dan karenanya tidak memiliki lembaga perwakilan rakyat. Kawasan khusus dapat berbentuk kawasan yang meliputi kawasan Perbatasan Negara, Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Konservasi, dan Kawasan khusus lainnya, yaitu: kawasan lain yang dipandang perlu ditetapkan sebagai Kawasan Khusus. Pengaturan kawasan khusus secara rinci dilakukan dalam undang-undang sektoral sesuai dengan jenis kawasannya. Undang-undang pemerintahan daerah hanya mengatur hubungan antara pemerintah dengan daerah terkait dengan tata cara pembentukan dan pengelolaan kawasan khusus. B.
Identifikasi Permasalahan
Untuk mendorong percepatan pencapaian tujuan nasional strategik dalam berbagai bidang seperti ekonomi, lingkungan, dan pertahanan nasional, pemerintah dapat mengembangkan kawasan khusus. Namun, dalam praktiknya, pengembangan kawasan khusus seringkali menimbulkan berbagai konflik antara badan pengelola kawasan khusus dengan pemerintah daerah. Perbedaan cara pandang terhadap berbagai hal yang seringkali tumpang tindih dan tidak jelas dalam pengaturan membuat benturan dan konflik antar badan pengelola kawasan khusus dan pemerintah daerah tak terhindarkan. Tidak selalu sejalannya kepentingan strategik nasional dengan kepentingan daerah membuat pengelolaan kawasan khusus sering mengalami kendala ketika berhadapan dengan kepentingan-kepentingan jangka pendek dan mendesak dari pemerintah daerah. Pengalaman kegagalan pengembangan kawasan khusus Batam, yang kurang dirasakan manfaatnya secara nasional, mestinya harus dijadikan pembelajaran yang baik bagi pengembangan kawasan khusus lainnya di masa mendatang. Untuk itu diperlukan pengaturan dalam undang-undang tentang pemerintah daerah mengenai kewenangan yang perlu diberikan kepada pengelola kawasan khusus, hubungan antara kawasan khusus dengan pemerintah daerah, dan bagaimana koordinasi dan sinergi antara keduanya dapat dilakukan. Masalah lain adalah bahwa UU No. 32 Tahun 2004 hanya membatasi kawasan khusus dari perspektif industri dan perdagangan. Jenis kawasan khusus lainnya, misalnya pengelolaan kawasan perbatasan dan konservasi lingkungan yang sangat penting dilihat dari kepentingan nasional strategik belum diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004. Mengingat besarnya tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi, konservasi lingkungan, dan pengelolaan kawasan strategis seperti daerah perbatasan, pembentukan kawasan khusus di luar kawasan ekonomi khusus sangat penting dilakukan. Karena UU No. 32 Tahun 2004 belum mengatur secara rinci pengembangan kawasan khusus terutama di luar kawasan ekonomi khusus, maka pengaturan pengembangan kawasan khusus diperlukan. Pengaturan hendaknya mencakup jenis kawasan khusus, tata kelola kelembagaan, prosedur dan mekanisme pengembangan kawasan khusus. C.
Analisis
Dalam pengembangan kawasan khusus, tentu ada banyak aspek yang harus dipertimbangkan agar pengembangannya dapat bermanfaat bagi masyarakat di kawasan khusus ataupun secara nasional. Pertama, pengaturan kelembagaan dari kawasan khusus. Pengalaman dalam pengembangan kawasan ekonomi khusus Batam menunjukan adanya konflik yang bersumber dari ketidakjelasan hubungan kelembagaan antara pengelola kawasan khusus
75
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
(Badan Otorita) dengan pemerintah daerah (Diamar, 2007). Ketidakjelasan pengaturan sering membuat masing-masing cenderung mengembangkan kewenangannya, dengan menegasikan peran dari lembaga lainnya. Karena urusan khusus yang akan dikelola oleh lembaga pengelola kawasan khusus tersebut adalah urusan pemerintah maka pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur kelembagaan dari pengelolaan kawasan khusus. Namun, karena lembaga pengelola kawasan khusus nantinya akan berinteraksi dan bekerjasama sangat erat dengan daerah, maka daerah perlu dilibatkan dalam struktur kelembagaan pengusahaan kawasan khusus. Pengaturan tentang peran pemerintah dan daerah dalam pengembangan dan pengelolaan kawasan khusus perlu diatur dengan jelas dalam undang undang. Bahkan, keterlibatan unsur-unsur non-pemerintah dalam pengelolaan kawasan khusus perlu dijaga agar aspirasi dan kepentingan warga dan pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan khusus dapat diperhatikan. Kedua, penyebab lain dari konflik yang sering terjadi dalam pengelolaan kawasan khusus adalah ketidakjelasan pelimpahan wewenang yang diberikan kepada kawasan khusus. Tujuan pengembangan kawasan khusus adalah untuk mempercepat pencapaian tujuan nasional strategik tertentu. Oleh karena itu, pengelola kawasan khusus harus diberi wewenang untuk mengambil tindakan tertentu dalam rangka melaksanakan mandat yang diberikan kepada kawasan khusus. Apa kewenangan yang akan dilimpahkan kepada pengelola kawasan khusus harus dijelaskan dalam undang-undang agar semua pihak dapat memahami batas-batas kewenangan yang dilimpahkan oleh pemerintah kepada kawasan khusus dan bagaimana seharusnya kewenangan itu digunakan untuk mencapai tujuan dari pengembangan kawasan khusus itu? Pengaturan harus juga dilakukan untuk aspek kepegawaian, pembiayaan, dan prosedur pengembangan kawasan khusus. Dalam hal prosedur pengembangan kawasan khusus, perlu diingat bahwa pengembangan kawasan khusus dapat dilakukan atas insiatif dari daerah atau dari pemerintah. Pemangku kepentingan di daerah yang melihat potensi untuk pengembangan kawasan khusus tertentu dapat mengajukan usulan kepada pemerintah, melalui Departemen Dalam Negeri. Hal yang sama dapat dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah yang melihat pentingnya kawasan khusus tertentu dikembangkan untuk pencapaian tujuan nasional strategik dapat mengambil inisiatif untuk pengembangan kawasan khusus di daerah tertentu. Pengaturan tentang hal ini diperlukan dalam undang-undang. D.
Usul Penyempurnaan
1. Perlu pengaturan yang jelas mengenai pengalihan urusan pemerintah tertentu yang bersifat khusus kepada lembaga yang secara khusus dibentuk untuk mengelola urusan tersebut di daerah. Pengaturan tersebut mencakup antara lain: tujuan pengalihan kewenangan khusus, jenis kewenangan bersifat khusus yang akan dialihkan kepada lembaga yang dibentuk untuk mengelola urusan khusus itu, dan wilayah yang akan terkena pengaturan khsusus tersebut. Pengalihan urusan pemerintah yang bersifat khusus kepada lembaga yang secara khusus dibentuk untuk itu, antara lain dalam pengelolaan kawasan ekonomi khusus, kawasan perbatasan, kawasan konservasi, dan kawasan khsusus lainnya yang diperlukan dalam pencapaian tujuan nasioinal strategis. . 2. Perlu pengaturan tentang siapa yang berhak mengusulkan pembentukan kawasan khusus, mekanisme pengusulan, dan proses pengambilan keputusan tentang penetapan kawasan khusus. Perlu diatur dengan jelas bahwa untuk mencapai tujuan pembangunan
76
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
nasional dan daerah, pemerintah dan daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus tertentu. Agar pembentukan kawasan khusus dilakukan dengan pertimbangan yang jelas, mengacu pada kepentingan daerah dan nasional, maka mekanisme pengusulan penetapan dan pengambilan keputusan tentang kawasan khusus perlu diatur dengan jelas. 3. Perlu pengaturan hubungan antara lembaga pengelola kawasan khusus dengan pemerintahan daerah. Pengaturan harus menjamin terjadinya sinerji dan koordinasi fungsional antara pengelolaan kawasan kawasan khusus dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah 4. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada kawasan khusus tidak boleh tumpang tindih dengan urusan yang telah diserahkan kepada pemerintahan daerah. Urusan tersebut meliputi urusan yang tidak diserahkan kepada dan atau tidak dapat diselenggarankan sendiri oleh pemerintahan daerah atau urusan yang tidak dapat diselenggarakan melalui azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Agar penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dikelola oleh kawasan khusus tidak berbenturan dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah maka pengaturan tentang kewenangan kawasan khusus dan hubungannya dengan pemerintah daerah perlu dilakukan dengan jelas. IV.12. Kerjasama Antar Daerah A.
Dasar Pemikiran
Kerjasama antar daerah menjadi isu penting dalam pelaksanaan otonomi daerah karena pemenuhan kebutuhan masyarakat di daerah tidak semuanya dapat diselenggarakan secara efisien dan efektif dalam batas yurisdiksi wilayah administratif satu daerah semata. Otonomi daerah telah mendorong terjadinya fragmentasi spasial yang semakin tinggi dan membuat jarak yang semakin melebar antara batas wilayah administratif dengan batas wilayah fungsional. Secara fungsional, hubungan sosial dan ekonomi seringkali tumpang tindih dan melewati batas-batas wilayah administratif satu daerah otonom. Banyak kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik yang memiliki eksternalitas, seperti: pengelolaan daerah aliran sungai, pelayanan transportasi, pengelolaan sampah, penanggulangan bencana, dan penanganan berbagai masalah kesehatan, dan ini membutuhkan keterlibatan lebih dari satu daerah otonom untuk mengelolanya secara efisien dan efektif. Tetapi, pada kenyataannya, kerjasama antar daerah dalam penyelenggaraan pelayanan publik sangat sulit diwujudkan. Masing-masing daerah cenderung bekerja sendiri-sendiri sehingga membuat kegiatan pemerintahan dan pelayanan menjadi kurang efisien dan efektif. Bahkan, tidak jarang muncul ketegangan hubungan antar daerah dan penduduk antar daerah otonom ketika penyelenggaraan pelayanan yang memiliki eksternalitas tersebut dinilai tidak adil dan merugikan kepentingan sebagian dari pemangku kepentingan. Oleh karena itu, kerjasama antar daerah perlu diatur dengan jelas dalam undang-undang pemerintahan daerah. Mengingat isu dan obyek kerjasama berbeda sifat dan urgensinya maka kerjasama antar daerah dapat bersifat wajib dan sukarela. Apapun sifatnya, pengelolaan kerjasama antar daerah harus memperhatikan berbagai prinsip-prinsip antara lain: (1) berorientasi pada kepentingan umum, (2) bebas dari keinginan melakukan KKN, (3) saling menguntungkan dan memberdayakan para pihak yang terlibat, (4) berbasis pada sikap saling percaya, menghargai, dan saling membutuhkan, (5) bersifat inklusif dan partisipatif, dan (6) harus ada komitmen masing-masing pihak untuk memenuhi perjanjian yang telah disepakati (Keban,
77
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
2009). Sedangkan, bentuk kelembagaan kerjasama antar daerah dapat bersifat adhoc atau melembaga, tergantung pada kebutuhan dan kesepakatan para pihak (Pratikno, 2007). B.
Identifikasi Permasalahan
Upaya untuk melakukan kerjasama antar daerah sudah cukup diusahakan, walaupun umumnya berakhir dengan kegagalan. Kasus GERBANGKERTASUSILO yang mencoba mengintegrasikan pengembangan Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan dapat menjadi salah satu contoh dari kegagalan mewujudkan kerjasama antar daerah. Di Jawa Tengah, kasus kerjasama antara Kabupaten Semarang dengan Kota Semarang juga mengalami kegagalan walaupun mereka menyadari bahwa tanpa kerjasama mereka tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan pelayanan air bersih dan persampahan di Kota Semarang. Di wilayah Jakarta dan sekitarnya, sudah lama dirintis kerjasama antara DKI Jakarta dengan beberapa wilayah sekitarnya (Jawa Barat) melalui proyek BOTABEK, JABOTABEK, dan sekarang menjadi JABOTABEKJUR untuk mengatasi berbagai masalah dalam pengembangan wilayah Jakarta dan sekitarnya (Keban, 2009). Namun, berbagai upaya untuk membangun kerjasama antara DKI Jakarta dengan wilayah sekitarnya selalu mengalami kegagalan. Cerita kegagalan dalam upaya mendorong kerjasama juga terjadi dalam pengelolaan DAS Bengawan Solo. Pengelolaan DAS Bengawan Solo menjadi tidak efektif untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan di sepanjang DAS dan mengakibatkan banjir hebat di berbagai kabupaten dan kota yang dilalui oleh sungai tersebut. Kerjasama juga amat sulit diwujudkan dalam pengelolaan lahan gambut di Kalimantan yang selalu menghasilkan kebakaran yang meluas dan menyebarkan asap ke berbagai daerah sekitarnya. Di wilayah Sumatera, misalnya, upaya untuk mendorong kerjasama antar daerah dalam membangun jalur transportasi juga belum berhasil dilakukan dengan baik. Kasus kerjasama antar daerah yang mungkin dapat dinilai cukup berhasil adalah kerjasama KERTAMANTUL, yang melibatkan Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul dalam pengelolaan sampah. Ketiga daerah tersebut dapat mewujudkan kerjasama dalam pengelolaan sampah yang pembiayaannya ditanggung bersama dan dibagi sesuai dengan volume sampah yang dihasilkan oleh masing-masing daerah. Sekretariat bersama untuk mengelola kerjasama ketiga daerah dapat dilembagakan dan inisiatif kerjasama untuk bidang-bidang lainya mulai dikembangkan. Keberhasilan dalam pengelolaan sampah bersama menumbuhkan kepercayaan di antara ketiga daerah tersebut bahwa kerjasama antar daerah dapat memberi manfaat bersama dan membuat pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih efisien dan efektif. Dari berbagai kasus kerjasama antar daerah tersebut, tampak jelas bahwa walaupun kerjasama antar daerah selama ini banyak mengalami kegagalan namun kerjasama antar daerah bukan sesuatu yang mustahil karena ternyata jika dikelola dengan baik dan sungguh-sungguh kerjasama antar daerah dapat sangat bermanfaat bagi masyarakat di daerah. Keberhasilan KERTAMANTUL memberi inspirasi bagi daerah lainnya untuk dapat merintis kerjasama dengan daerah lainnya. Masalah publik sekarang dan di masa mendatang akan semakin kompleks dan tidak mungkin ditanggung oleh daerah secara sendiri-sendiri. Kegagalan membangun kerjasama antar daerah bukan hanya menghilangkan kesempatan warga di daerah untuk memperoleh pelayanan publik yang berkualitas dan lebih murah, tetapi juga membawa kepada mereka potensi konflik horizontal yang sangat besar dan sulit dikendalikan, jika hal itu terjadi.
78
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
C.
Analisis
Ada dua permasalahan yang perlu diperjelas dalam hal kerjasama antar daerah, yaitu: mengapa amat sulit mendorong kerjasama antar daerah dan mengapa banyak dari upaya kerjasama antar daerah menemui kegagalan? Otonomi daerah yang mendorong terjadi fragmentasi spasial mestinya harus diimbangi dengan semangat kerjasama antar daerah yang lebih besar. Jika tidak, maka otonomi daerah dapat menciptakan ketegangan hubungan antar daerah dan melahirkan potensi konflik horizontal. Dalam desain otonomi daerah yang mengalihkan sebagian besar urusan pemerintahan kepada kabupaten/kota, potensi konflik antar daerah akan menjadi semakin besar. Ini terjadi karena pelaksanaan fungsi-fungsi pelayanan dan kegiatan sosial-ekonomi masyarakat di satu kabupaten/kota akan lebih sering berbenturan dengan batas-batas wilayah administratif dari daerah otonom lainnya. Menyadari hal ini, sebenarnya pemerintah telah mendorong kerjasama antar daerah melalui berbagai instrumen kebijakan. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Daerah telah berupaya mendorong terjadinya kerjasama antar daerah. Bahkan, pemerintah juga telah menerbitkan PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Antar Daerah guna memberi dukungan kepada daerah untuk bekerjasama dengan daerah lainya dalam menyelesaikan berbagai masalah publik yang memiliki eksternalitas yang melewati batas-batas administratif. Meskipun demikian, berbagai instrumen kebijakan ini tampaknya belum efektif untuk mendorong daerah bekerjasama, sebab kendala dan disinsentif untuk bekerjasama masih sangat besar. Salah satu penyebabnya adalah instrumen kebijakan yang ada belum mampu memberi insentif yang cukup efektif untuk mendorong daerah bekerjasama. Dalam kondisi di mana modal sosial dan trust yang ada dalam masyarakat cenderung mengecil (Dwiyanto, 2007), insentif untuk bekerjasama menjadi instrumen kebijakan yang penting. Kecenderungan daerah yang menjadi semakin narrow minded dan ketegangan hubungan antar daerah yang semakin tinggi membuat dorongan untuk bekerjasama menjadi semakin memudar. Peraturan perundang-undangan yang ada sejauh ini masih belum menjanjikan insentif yang memadai bagi daerah untuk bekerjasama. Padahal peluang untuk memanfaatkan instrumen kebijakan yang ada, misalnya melalui penggunaan DAK sangat terbuka. Untuk itu, diperlukan adanya pengaturan yang membolehkan penggunaan DAK untuk pembiayaan kerjasama antar daerah dan antar pemerintah dengan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan warga. Disamping memberikan insentif, instrumen kebijakan juga perlu memberikan disinsentif yang lebih besar bagi daerah yang gagal melakukan kerjasama dalam menyelesaikan masalah publik yang eksternalitasnya melewati batas-batas provinsi dan kabupaten/kota. Masalah publik yang strategis dan kegagalan menyelesaikannya memiliki implikasi yang besar bagi kehidupan warga di daerah, maka kerjasama menjadi sangat penting dan bersifat wajib. Di banyak negara lainnya, kolaborasi antar daerah dan antar susunan pemerintahan menjadi keniscayaan ketika masalah yang dihadapi bersifat strategis dan melibatkan kepentingan para pihak (Thomson & Perry, 2006). Di Indonesia, walaupun masalah yang dihadapi sangat strategis seperti dalam pengelolaan DAS Bengawan Solo dan penanganan banjir di Jakarta, kerjasama antar daerah dan antar pusat dengan daerah amat sulit diwujudkan. Dalam situasi seperti ini disinsentif diperlukan. Salah satu caranya adalah dengan membolehkan pemerintah mengambil alih penanganan masalah tersebut dengan membebankan pembiayaannya secara proporsional kepada APBD.
79
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Melalui instrument insentif dan disinsentif ini, pemerintah dapat mendorong terwujudnya kerjasama antar daerah dan bila mana perlu, antar pemerintah dengan daerah. Instrumen kebijakan ini hanya akan efektif kalau konsekwensi dari kegagalan melakukan kerjasama cukup signifikan bagi daerah dan warganya. Insentif dan disinsentif tersebut perlu diatur dalam undang-undang pemerintahan daerah. Tentu insentif dan disinsentif saja tidak cukup, mengingat trust yang ada antar daerah dan antar pusat dengan daerah cenderung menurun selama dasawarsa terakhir ini. Diperlukan upaya lain untuk mencairkan hubungan antar daerah dan tradisi untuk bekerjasama. Dalam konteks ini, fasilitasi terhadap asosiasi berbagai pemerintahan menjadi sangat penting peranannya. D.
Usul Penyempurnaan
Revisi UU No. 32 Tahun 2004 perlu memperkuat pengaturan tentang kerjasama antar daerah yang dapat bersifat wajib dan sukarela. Untuk kerjasama yang diperlukan dalam menyelesaikan persoalan lintas kabupaten/kota dan provinsi yang bersifat strategis dan kegagalan pengelolaannya memiliki dampak yang besar bagi warga di daerah, maka kerjasama tersebut bersifat wajib. 1. Ketika kerjasama bersifat wajib dan daerah dinilai gagal melakukan kerjasama untuk penyelesaian masalah pelayanan publik yang bersifat lintas kabupaten/kota atau lintas provinsi, maka pemerintah dapat mengambil alih penyelenggaraan pelayanan tersebut dan membebankan pembiayaannya pada APBD masing-masing daerah terkait secara proporsional. 2. Pemerintah perlu memfasilitasi berbagai bentuk lembaga kerjasama antara daerah untuk mendorong semangat kerjasama antar daerah. IV.13. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) A.
Dasar Pemikiran
Sebagai lembaga yang bertugas memberi pertimbangan kepada Presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) harus memiliki kapasitas yang memadai untuk merespons berbagai isu terkait dengan implementasi otonomi daerah. Dinamika politik, ekonomi, dan legal-administratif dari penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sangat kompleks sekarang ini sering memunculkan masalah-masalah baru yang perlu segera dicarikan solusinya oleh pemerintah. DPOD harus dapat mengantisipasi dan memberi rekomendasi kebijakan yang solid dan sound kepada Presiden terkait dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Untuk dapat memberi rekomendasi kebijakan yang solid dan sound kepada Presiden dalam merespon berbagai isu kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, DPOD harus didukung oleh tim kajian yang melibatkan pakar dari berbagai latar keilmuan yang relevan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Untuk itu fungsi advisory dan kajian yang selama ini melekat pada DPOD harus dipisahkan. DPOD sebagai advisory body secara kelembagaan dipisahkan dari fungsinya sebagai policy research and analysis institutions. DPOD sebagai advisory body (badan penasihat) hanya beranggotakan para Menteri dan pemangku kepentingan terkait yang bertugas memutuskan mengenai rekomendasi yang akan diberikan kepada presiden terkait dengan isu-isu strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
80
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
Untuk membantu DPOD dalam merumuskan rekomendasi kebijakan maka DPOD perlu didukung oleh tim kajian (think tank) yang kuat dengan melibatkan para pakar dari latar keilmuan yang relevan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tugas dari tim kajian adalah membuat positioning paper terhadap isu-isu strategis yang muncul dan menyediakan pilihan kebijakan dan segala konsekwensinya untuk menanggapi setiap isu strategis yang akan dibicarakan dalam rapat DPOD. Adanya positioning paper yang didukung oleh fakta empirik akan membuat para anggota DPOD dapat memberikan rekomendasi yang konklusif kepada Presiden. Untuk itu restrukturisasi DPOD perlu dilakukan. DPOD diarahkan sepenuhnya menjadi advisory body untuk Presiden dalam mengambil kebijakan terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Agar dapat menjalankan fungsinya, DPOD didukung oleh sebuah kelompok kerja yang terdiri dari kelompok pakar yang memiliki latar keilmuan yang relevan dengan masalah penyelenggaraan pemerintahan daerah dan memiliki integrasi yang kuat. Dengan demikian, rekomendasi kebijakan yang diberikan DPOD kepada Presiden benarbenar konklusif dan didukung oleh kajian yang solid dan memiliki dukungan empirik yang memadai. Lebih dari itu, DPOD harus dikelola oleh sekretariat yang kuat dan dipimpin oleh seorang profesional yang bekerja penuh waktu. B.
Identifikasi Permasalahan
Salah satu masalah penting dalam pemberdayaan DPOD adalah kapasitasnya dalam memberi rekomendasi terhadap Presiden untuk mengambil kebijakan yang tepat dalam merespons berbagai masalah penyelenggaraan pemerintahan daerah. Misalnya, dalam pemekaran daerah DPOD sering tidak dapat memberi rekomendasi yang konklusif dan mampu mengendalikan pemekaran daerah sehingga pemekaran daerah benar-benar membawa manfaat bagi kemajuan daerah induk dan daerah otonom baru. Banyaknya daerah otonom baru dan daerah induknya yang mengalami penurunan kinerja pascapemekaran menjadi indikasi bahwa kapasitas DPOD untuk benar-benar menjadi advisory body masih dipertanyakan. Banyaknya temuan yang menunjukan adanya penurunan kinerja daerah otonom baru dan daerah induk membuktikan bahwa rekomendasi yang dibuat oleh DPOD kurang valid dan tepat. Masalah lain yang dihadapi oleh DPOD adalah rendahnya kapasitas internal DPOD dalam mengelola kegiatan DPOD dan memberi dukungan kepada anggotanya sehingga mereka dapat bekerja secara efektif. Kesulitan DPOD untuk mengelola sumber daya yang ada sehingga mampu merumuskan agenda yang strategis yang perlu direspon oleh para anggota DPRD sering membuat rekomendasi kebijakan yang diberikan oleh DPOD menjadi kurang optimal dan efektif. Akibatnya, DPOD sering tidak mampu memberi rekomendasi kebijakan yang solid dan konklusif secara cepat untuk merespon masalah dan isu strategis di daerah seperti pemekaran, restrukturisasi kelembagaan daerah dan kepegawaian daerah, pemberdayaan kapasitas fiskal daerah, dan pembatalan peraturan daerah. Sedangkan masalah-masalah tersebut sangat strategis dan perlu segera ditanggapi oleh Presiden. Dinamika politik, sosial, dan ekonomi yang sangat tinggi di daerah sering membuat keterlambatan dalam merespon masalah kebijakan tertentu dapat menghasilkan situasi yang lebih buruk terjadi di daerah. Kesulitan DPOD untuk memberi dukungan yang optimal sebagian disebabkan oleh terbatasnya sumber daya yang tersedia di sekretariat DPOD. Terbatasnya sumber daya yang tersedia untuk DPOD, termasuk tenaga ahli untuk melakukan kajian terhadap isu dan masalah tertentu terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah membuat DPOD
81
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
menjadi kurang fungsional. Untuk dapat memberi rekomendasi yang solid dan sound maka DPOD harus memiliki informasi yang memadai yang dapat menjadi dasar merumuskan rekomendasi kepada Presiden. Ketidaksiapan informasi dan tidak adanya policy papers terkait dengan isu yang dibahas di rapat DPOD sering membuat DPOD kurang siap membahas isu dan masalah strategis yang berkembang di daerah. Restrukturisasi diperlukan untuk membuat DPOD dapat berperan sebagai advisory body yang kuat dan efektif. C.
Analisis
Kurangnya dukungan informasi yang diperlukan untuk memberi rekomendasi kebijakan sering membuat DPOD terkesan lamban dalam merespon dinamika yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kebijakan strategis yang perlu diambil oleh Presiden untuk merespons berbagai masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah seperti masalah pemekaran daerah, peningkatan kapasitas fiskal daerah, dana perimbangan daerah, dan restrukturisasi kelembagaan daerah tentu membutuhkan broadbased information dan data-data yang obyektif sebagai pendukungnya. DPOD sering mengalami kesulitan untuk memproduksi informasi dan fakta empirik yang dapat menjadi landasan yang kokoh dalam merekomendasi kebijakan kepada Presiden. Hal ini terjadi karena sebagai advisory body, DPOD tidak didukung oleh tim pengkaji atau kelompok kerja yang kuat dan mampu menghasilkan positioning paper terkait dengan isu-isu yang dibicarakan di DPOD. Kelompok kerja dan sekretariat DPOD yang ada sekarang ini bersifat adhoc dan umumnya dirangkap oleh pejabat struktural dari berbagai instansi yang terkait. Akibatnya dukungan sekretariat dan kelompok kerja terhadap DPOD sebagai advisory body relatif amat terbatas dan kurang optimal. Tidak tersedianya Tim Pakar, yang berlatar keilmuan berbeda namun relevan dengan masalah penyelenggaraan pemerintahan daerah, membuat DPOD mengalami kesulitan untuk memperoleh informasi yang sahih dan kuat untuk menjadi dasar dalam merumuskan rekomendasi kebijakan kepada Presiden. Tim pakar ini sesungguhnya dapat bekerja purna atau paruh waktu untuk membantu kelompok kerja yang ada dalam merumuskan positioning papers terkait dengan masalah dan isu kebijakan yang perlu direspon oleh DPOD. Keberadaan beberapa pakar pemerintahan daerah dalam keanggotaan DPOD tidak banyak membantu mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh DPOD dalam merumuskan rekomendasi kebijakan, karena kedudukan mereka sebagai anggota DPOD hanya terlibat dalam kegiatan DPOD ketika rapat DPOD diselenggarakan. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk melakukan kajian secara mendalam terhadap masalah yang akan dibicarakan dalam persidangan DPOD. Sebagai advisory body, DPOD memerlukan banyak kajian untuk merumuskan rekomendasi kebijakan kepada Presiden. Untuk itu, DPOD memerlukan dukungan sebuah tim pengkaji atau kelompok kerja yang secara khusus dirancang untuk mekakukan analisis dan merumuskan policy papers and briefs terkait dengan isu dan masalah strategis dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Adanya tim pengkaji kebijakan akan sangat membantu DPOD dalam menjalankan misinya sebagai advisory body. Untuk itu restrukturisasi kelembagaan DPOD diperlukan. DPOD sebagai advisory body perlu didukung oleh sekretariat yang memadai dan tim pengkaji kebijakan yang tangguh. Para pakar yang selama ini mewakili dunia akademik dalam DPOD sebaiknya difungsikan sebagai tim pengkaji yang dibentuk oleh DPOD. Komposisi keanggotaan DPOD perlu
82
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
diubah sehingga hanya terdiri dari para pengambil kebijakan yang terdiri dari Menteri terkait atau yang mewakilinya. Untuk mengembangkan tim pengkaji kebijakan yang tangguh DPOD perlu memperoleh sumber daya yang memadai agar dapat memberi dukungan yang memadai, sehingga analisis dan riset untuk merumuskan policy papers and briefs dapat dilakukan dengan baik. D.
Usul Penyempurnaan
Untuk memperkuat kapasitas DPOD dalam merekomendasi kebijakan kepada Presiden terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah, beberapa hal berikut perlu dilakukan: 1. Merumuskan kembali struktur kelembagaan dan keanggotaan DPOD. DPOD sebagai advisory body kepada Presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah hanya beranggotakan Menteri, pemangku kepentingan terkait, dan dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri. Para pakar yang selama ini menjadi anggota DPOD sebaiknya difungsikan sebagai pakar dalam tim pengkaji yang secara khusus dibentuk untuk merumuskan rekomendasi kebijakan terkait dengan isu-isu strategis dalam penyelenggaraan otonomi daerah. 2. Memperkuat dukungan teknis kepada DPOD. DPOD perlu diperkuat dengan lembaga pendukung yang kuat dan memiliki sumber daya yang memadai supaya bisa mengelola tim pengkaji kebijakan yang tangguh. Keberadaan tim ini sangat diperlukan karena dinamika penyelenggaraan pemerintahan daerah sangat tinggi dan isu dan masalah kebijakan berkembang dengan cepat dan memerlukan kebijakan yang tepat dan efektif. 3. Penguatan sekretariat DPOD. Pengaturan perlu dibuat untuk memungkinkan DPOD dapat bekerja secara efektif dan mampu secara optimal memberi rekomendasi kebijakan untuk merespon berbagai masalah kebijakan otonomi daerah. DPOD perlu didukung oleh sekretariat yang tidak bersifat adhoc, di mana pejabatnya merangkap jabatanjabatan lainnya di berbagai instansi terkait, tetapi oleh profesional yang bekerja purna waktu. IV.14.
Inovasi Daerah
A.
Dasar Pemikiran
Upaya untuk menjaga keseimbangan antara keinginan menciptakan kepastian hukum dengan pemberian kewenangan diskresi bagi para penyelenggara pemerintahan daerah perlu dilakukan. Maraknya berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang yang dilakukan para penyelenggara pemerintahan daerah mengharuskan pemerintah mereformasi peraturan perundang-undangan agar peluang penyalahgunaan kekuasaan dapat dikurangi. Namun, di sisi lain pemerintah perlu memberi ruang yang memadai bagi pejabat publik untuk mengambil diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dinamika sosial, politik, dan ekonomi di daerah yang sangat tinggi sering menuntut para pejabat publik mengambil diskresi dan menciptakan inovasi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dua kepentingan ini, mengurangi peluang untuk penyalahgunaan kekuasaan dan memberi ruang untuk mengambil diskresi, sering bersifat dilematis, tetapi pilihan harus diambil oleh pemerintah. Dalam menghadapi pilihan dilematis seperti ini, pemerintah harus dapat mengambil pilihan yang menjaga keseimbangan dari kedua kepentingan tersebut. Upaya untuk menegakan
83
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
kepastian hukum perlu dilakukan tetapi perlindungan terhadap inovasi yang dilakukan oleh pejabat publik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan warganya dan memenuhi kepentingan umum juga harus dilakukan. Jika hal ini tidak dilakukan maka para pejabat publik akan takut melakukan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keduanya, penegakan dan perlindungan hukum bagi pejabat publik dalam mengembangkan inovasi harus ditempatkan sebagai upaya penguatan kepastian hukum itu sendiri. B.
Identifikasi Permasalahan
Upaya pemerintah untuk meningkatkan efektivitas penegak hukum terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan oleh para penyelenggara pemerintahan daerah perlu memperoleh dukungan. Namun pelaksanan penegakan hukum harus dilakukan dengan cermat dan konsisten agar tidak menimbulkan ketidakpastian dikalangan para penyelenggara pemerintaan daerah. Untuk itu Menpan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 148/Menpan/5/2003 tentang Pedoman Umum Penanganan Pengaduan Masyarakat. Keputusan Menpan ini dikeluarkan sebagai acuan dalam rangka menangani kasus-kasus penyidikan yang dilakukan atas dasar pengaduan masyarakat yang sering kurang dapat dipertanggungjawabkan, serta terjadinya tumpang-tindih pemeriksaan dan penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan di daerah. Rendahnya kepastian dalam penegakan hukum sering membuat para penyelenggara pemerintahan di daerah mengalami keresahan dan ketakutan untuk mengambil inisiatif dan diskresi dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Banyak penyelenggara pemerintahan yang mengambil ”sikap pasif” dan kurang ”responsif” terhadap pemenuhan kepentingan publik yang berkaitan dengan jabatannya. Mereka sering menjadi takut dan ragu dalam mengambil diskresi. Kondisi seperti ini jika dibiarkan akan dapat menurunkan kreativitas, semangat innovasi, dan keberanian mengambil terobosan-terobosan demi kepentingan publik. 22 Rendahnya kreativitas dan inovasi yang dilakukan oleh daerah dapat diamati dengan sedikitnya teladan (best practices) yang berhasil dikembangkan oleh daerah. Dari lebih dari 490 provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, hanya sedikit dari mereka yang berhasil mengembangkan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.23 Lebih dari itu, banyak data menunjukan bahwa daya serap APBD cenderung rendah dan banyak dana daerah yang sebenarnya dapat digunakan untuk menggerakan sektor riil dan mempercepat pembangunan daerah sekarang ini cenderung ditempatkan di SBI. C.
Analisis
Persoalan dilematis yang dihadapi dalam perlindungan hukum terhadap inovasi yang dilakukan oleh aparatur daerah terjadi karena Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kewenangan pejabat publik mengambil diskresi. Ruang yang tersedia untuk mengambil diskresi bagi aparatur daerah belum diatur dengan jelas. Sementara itu, tuntutan dan tekanan untuk mengambil tindakan dalam menyelesaikan masalah publik di daerah menuntut aparatur daerah untuk segera bertindak
22Tidak jarang satu objek diperiksa berkali-kali oleh pengawas yang berasal dari instansi yang sama dan hasilnya berbeda-beda. Akibatnya, para pejabat merasa tertekan. Sumber: Pengawasan Menuju Clean Government. Diperoleh dari: http://swadaya.wordpress.com/2008/01/23/pengawasan-menuju-cleangovernment/ 23 Majalah Tempo, Desember/Januari 2009 menjelaskan 10 Bupati/Walikota yang dinilai berhasil memajukan daerah. Salah satu ukuran dari keberhasilannya adalah kemampuan mengembangkan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
84
BAB IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usul Penyempurnaan
agar masalah dapat diselesaikan dengan baik. Di luar itu, banyak peraturan perundangundangan yang sudah ketinggalan dan tidak sesuai lagi dengan masalah dan tantangan yang dihadapi oleh daerah, tetapi belum diperbaharui dan karenanya sering masih diberlakukan oleh aparat pengawasan dan penegak hukum. Kondisi seperti ini tentu membuat aparatur di daerah mengalami kesulitan untuk menanggapi dinamika politik dan ekonomi yang sangat tinggi sekarang ini. Mereka sering mengalami kegalauan ketika dihadapkan pada tekanan untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk merespon kebutuhan publik, walaupun di sisi lain mereka sadar bahwa perlindungan hukum bagi inovasi di Indonesia belum diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di negara-negara yang memiliki sistem administrasi publik yang maju, banyak peraturan perundang-undangan memberi ruang bagi aparatur negara termasuk yang di daerah untuk mengembangkan inovasi. Sunset rules, rule waive, dan reivention laboratory dibuat guna memberi ruang kepada aparatur pemerintah untuk mengambil diskresi dalam rangka melakukan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Seorang aparatur negara yang melakukan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik akan memperoleh perlindungan hukum tertentu, sejauh tindakannya dilakukan untuk memenuhi kepentingan publik, tidak didasarkan pada kepentingan sendiri, keluarga, dan kelompok, dan tidak menimbulkan kerugian negara. Penyebab lainnya adalah kurang berfungsinya Hukum Administrasi Negara. Pengembangan hukum acara pidana jauh lebih maju daripada hukum acara administrasi negara. Akibatnya, banyak kasus-kasus kesalahan administrasi dan prosedur yang kemudian diselesaikan dengan hukum acara pidana. Jika hal ini terus berlanjut, sangat sulit mengharapkan aparat daerah mengembangkan inovasi, yang amat diperlukan untuk daerah untuk mengatasi kekosongan peraturan dan kejadian-kejadian yang bersifat kontingensi. D.
Usul Penyempurnaan
1. Perlu ada pengaturan yang jelas tentang kesempatan, tata cara, dan pengelolaan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Aparatur daerah dapat melakukan inovasi sejauh tidak bertentangan ketentuan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pengalaman menunjukan teladan (best practices) tidak mudah direplikasi di daerah lainnya karena kesempatan melakukan inovasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan pemerintahan tidak tersedia. Pengaturan perlu dibuat untuk memberi ruang yang memadai kepada aparat daerah untuk mengembangkan inovasi tanpa harus dihadapkan kepada kekhawatiran untuk dihadapkan pada persoalan hukum sejauh inovasi dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tidak mengandung konflik kepentingan, dan tidak merugikan keuangan negara. 2. Untuk menciptakan kepastian hukum bagi aparatur dalam mengelola kegiatan pemerintahan, perlu ada aturan yang jelas mengenai proses penegakan hukum terhadap pimpinan dan aparatur daerah ketika melaksanakan kebijakan publik yang menjadi kewenangannya. Pengaturan tersebut harus dapat mendorong adanya pemerintahan yang bersih, tetapi juga tidak menghalangi aparatur untuk mengembangkan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. 3. Perlu ada pengaturan yang melindungi aparatur daerah yang mengambil kebijakan publik dari tindak pidana sepanjang tindakannya dilakukan untuk memenuhi kepentingan umum, tidak merugikan kepentingan negara, tidak untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, dan kelompok, dan bertentangan dengan hukum. Kegagalan dari
85
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
pelaksanaan kebijakan yang terjadi bukan karena pelanggaran pidana tidak dapat dikriminalkan. Pengaturan seperti ini penting untuk mencegah terjadinya kriminalisasi kegagalan kebijakan publik yang dapat menghalangi inovasi kebijakan dan pelayanan publik di daerah.
86
BAB V Penutup
BAB V Penutup Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia masih mengalami banyak hambatan dan kendala sehingga tujuan dari kebijakan tersebut belum dapat diwujudkan secara optimal. Hambatan dan kendala tersebut muncul sebagian karena pengaturan yang ada dalam UU No. 32 Tahun 2004 belum secara tepat mengantisipasi dinamika sosial, politik, dan ekonomi di daerah yang cenderung menjadi semakin tinggi. Akibatnya, banyak masalah yang muncul di daerah tidak dapat diselesaikan dengan pengaturan yang ada. Bahkan, dalam beberapa hal, pengaturan dalam UU No. 32 Tahun 2004 sudah tidak lagi cocok dan relevan untuk digunakan, karena situasi yang dihadapi oleh pemerintah baik pusat ataupun daerah sudah berbeda dengan yang dulu dijadikan sebagai dasar dalam pembentukan UU No. 32 Tahun 2004. Pengaturan tentang pemekaran daerah, kepegawaian, perencanaan, dan pembagian urusan perlu dirumuskan kembali karena dinamika yang terjadi di daerah tidak lagi dapat dikelola dengan menggunakan pengaturan yang ada. Kecenderungan pemekaran daerah yang sulit dikendalikan dalam beberapa tahun terakhir ini dan dampak negatif yang ditimbulkan terhadap daerah induk dan daerah otonom baru memerlukan pengaturan yang berbeda dan dapat menjamin bahwa pemekaran yang terjadi nantinya benar-benar bermanfaat bagi masyarakat luas, baik di daerah induk ataupun di daerah otonom baru. Hal yang sama juga terjadi dalam aspek-aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah lainnya seperti aspek kepegawaian. Pengaturan yang ada sekarang ternyata telah gagal mendorong adanya profesionalisme, mobilitas pegawai lintas daerah dan antar susunan pemerintahan, dan netralitas mereka terhadap kekuatan politik yang ada di daerah. Menghadapi situasi seperti ini maka perbaikan terhadap pengaturan dalam UU No. 32 Tahun 2004 perlu dilakukan. Lebih dari itu, kemunculan fenomena baru dalam masyarakat di daerah menuntut adanya norma baru. Fenomena ini belum diatur sama sekali dalam UU No. 32 Tahun 2004, seperti meluasnya kebutuhan partisipasi masyarakat dan kapasitas masyarakat untuk terlibat dalam proses kebijakan di daerah. Fenomena semacam ini perlu diatur dengan jelas sehingga kapasitas masyarakat yang meningkat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah dapat dimanfaatkan secara optimal. Hal serupa juga terjadi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yang juga belum diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004. Sedangkan pelayanan publik adalah hal yang sangat penting dan salah satu tujuan utama dari pelaksanaan desentralisasi. Karena itu, dalam revisi UU No. 32 Tahun 2004, pengaturan tentang pelayanan publik perlu ditambahkan. Dengan pertimbangan seperti tersebut di atas, perubahan UU No. 32 Tahun 2004 dirancang untuk memperbaiki pengaturan-pengaturan yang dinilai kurang mampu bekerja secara optimal dalam mencapai tujuan dari kebijakan desentralisasi dan sekaligus, menambah
87
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
pengaturan baru yang diperlukan untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan daerah benar-benar membawa manfaat bagi masyarakat di daerah. Tanpa adanya perbaikan terhadap UU No. 32 Tahun 2004, maka amat sulit mengharapkan penyelenggaraan pemerintahan daerah benar-benar mampu mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi warganya. Bahkan, tanpa perbaikan UU No. 32 Tahun 2004 dikhawatirkan penyelenggaraan pemerintahan daerah akan menjadi semakin buruk dan mengganggu kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, perubahan dan perbaikan UU No. 32 Tahun 2004 adalah satu keniscayaan. Dengan berbagai pertimbangan di atas, maka para pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan diharapkan dapat memahami dengan baik akan perlunya perbaikan terhadap UU No. 32 Tahun 2004, aspek apa saja yang perlu diperbaiki dan diperkuat, dan hal-hal baru yang memerlukan pengaturan lebih jelas dalam undang-undang yang baru. Dengan perbaikan ini, diharapkan berbagai masalah yang selama ini terjadi di daerah dapat dicarikan solusinya sehingga penyelenggaraan pemerintahan daerah bisa berjalan secara efisien, efektif, dan akuntabel. Dan pada gilirannya, perbaikan praktik penyelenggaraan pemerintahan diharapkan dapat mempercepat kemajuan daerah dan kesejahteraan warganya.
88
Dafter Pustaka
Daftar Pustaka Agrawal, Arun, dan Clark C. Gibson (1999). Enchantment and Disenchantment: The Role of Community in Natural Resource Conservation. World Development 27, No.4. Hal: 629-49. Andersson, K., C. Gibson, dan F. Lehoucq (2004). The Politics of Decentralizing Natural Resource Policy. PS: Political Science and Politics 37, No. 3. Hal: 421-26. Andrew, Christina W dan Michiel S. de Vries (2007). High Expectation, Varying Outcomes: Decentralization and Participation in Brazil, Japan, Russia and Sweden. Diperoleh dari http://ras.sagepub.com/cgi/content/abstract/73/3/424. -----, Anggota DPRD Ramai-ramai Garap Proyek. Tempo Interaktif, Senin, 27 Maret 2006. Diperoleh dari http://www.tempointeractive.com/hg/nusa/jawamadura/2006/03/27/brk, 20060327-75586,id.html. Arizona, Yance, 2007. “Disparitas Pengujian Peraturan Daerah: Suatu Tinjauan Normatif. Diperoleh dari: http://www.legalitas.org/database/artikel/lain/Disparitas Pengujian Perda.pdf -----, Ayo, Pantau Anggaran Daerah. Sinar Harapan, 21 Mei 2008. Bardhan, P. dan D. Mookherjee 2000). Capture and Governance at Local and National Levels. American Economic Review 90, No. 2 (2000). Hal: 135-39. Boone, Catherine (2003). Decentralization As Political Strategy in West Africa, Comparative Political Studies, Vol. 36, No. 4, 355-380. Diperoleh dari: http://cps.sagepub.com/cgi/content/abstract/36/4/355. Cheema, G.S., dan Rondinelli, D. (1983). Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries. Beverly Hills, CA: Sage Publishing. Deininger, Klaus, dan Paul Mpuga. Does Greater Accountability Improve the Quality of Public Service Delivery? Evidence from Uganda (2005). World Development 33, No.1.Hal: 171-191. -----. Depdagri Batalkan 506 Perda. Diperoleh dari: http://www.depdagri.go.id/konten.php?nama=Berita&op=search&query=pembatalan%20per da Diamar, Son (2007). Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus. Makalah tidak diterbitkan Dillinger, B (1995). Decentralization, Politics and Public Sector. In Decentralizing Infrastructure: Advantages and Limitations, disunting oleh A. Estache. Washington D.C.: World Bank Discussion Papers 290
89
Draf Naskah Akademik Revisi Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
DSF, Cost and Benefits of New Region Creation in Indonesia, Policy Brief, November 2007 Dwiyanto, Agus, dkk. (2003a). “Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah,” Yogyakarta: PSKK UGM Dwiyanto, Agus, dkk. (2003b). Teladan dan Pantangan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Yogyakarta: PSKK UGM Dwiyanto, Agus (2007). Apakah kepercayaan publik masih menjadi modal sosial kita? Analisis terhadap data Government Assessment Survey 2006, Makalah Seminar Bulanan PSKK UGM Dwiyanto, Agus, dkk. (2007). UGM.
“Kinerja Tata Pemerintahan Daerah,” Yogyakarta: PSKK
Erman, Erwiza (2008). Politik Penguasaan Sumber Daya Timah di Bangka Belitung. Diperoleh dari: http://www.jatam.org/content/view/317/21/ Hamdi, Muchlis (2007). Pembinaan dan Pengawasan Dalam Hubungan Pusat-Daerah, Makalah tidak diterbitkan. Hoessein, Benyamin dan Eko Prasojo (2007). Konsep Pembagian Kewenangan (Urusan) Antar Tingkat Pemerintahan, Makalah tidak diterbitkan. Indrayana, Denny. Ada Unsur Melecehkan Al Quran dan Hadist. Diperoleh dari http://www.wahidinstitute.org/indonesia/images/stories/SUPLEMENGATRA/gatraedisi-ii.pdf Keban, Jeremias T (2007). Perencanaan Pembangunan Daerah, Makalah tidak diterbitkan. Keban, Yeremias T. (2009). Kerjasama Antar Daerah, Makalah tidak dipublikasikan. Kertapraja, E. Koswara (2007). ”Pokok-Pokok Pikiran Tentang Permasalahan Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat”, Makalah tidak diterbitkan. Kohl, Benjamin (2003). Democratizing Decentralization in Bolivia: The Law of Popular Participation. Diperoleh dari http://jpe.sagepub.com/cgi/content/abstract/23/2/153 Lam, Jermain T.M. (1996). Decentralization in Public Administration: Hong Kong’s Experience. Diperoleh dari: http://ppa.sagepub.com/cgi/content/abstract/11/1/ Larson, Anne M. (2002). Natural Resources and Decentralization in Nicaragua: Are Local Governments up to the Job?, World Development 30, No. 1. Hal: 17-31. Manin, Bernard, Adam Przeworski, dan Susan Stokes (1999). ‘Elections and Representation’. In Democracy, Accountability, and Representation, disunting oleh Bernard Manin, Adam Przeworski and Susan Stokes. Cambridge: Cambridge University Press. Manor, James (1999). The Political Economy of Democratic Decentralization 145. Washington, D.C.: World Bank. Oates, W.E. (1972). Fiscal Federalism. New York: Harcourt Brace and Jovanovich.
90
Dafter Pustaka
Osborne, David dan Ted Gaebler (1993). Reinventing Government. How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. New York: Plume. Oyono, Phil Rene (2004). One Step Forward, Two Steps Back? Paradoxes of Natural Resources Managment Decentralization in Cameroon. Journal of Modern African Studies 42, No. 1. Hal: 91-111. Pollit, Ch., J. Birchall, dan K.Puttman (1998). Decentralizing Public Service Management. London: MacMillan Press, Ltd. Pratikno (2007). Masukan Untuk Revisi UU 32/2004 Terkait Dengan Kerjasama Antar Daerah. Makalah tidak diterbitkan. Rondinelli, D. A (2007). Governments Serving People: The changing Role of Public Administration in Democratic Governance. Dalam Public Administration and Democratic Governance: Governments Serving Citizens. New York: United Nations: Economic and Social Affairs. Rondinelli, D. (1981) Government Decentralization in Comparative Perspective: Theory and Practice in Developing Countries. International Review of Administrative Science. Vol. 47, No. 2, 133-145. Diperoleh dari http://ras.sagepub.com/cgi/content/abstract/73/3/424 Salomo, Roy V. (2007a). Pelayanan Publik Revisi UU 32/2004. Makalah tidak diterbitkan. Salomo, Roy V. (2007b). Pokok-Pokok Pemikiran Untuk Penyempurnaan UU N0.32/2004: Perangkat Daerah. Makalah tidak diterbitkan. Seabright, Paul (1996). Accountability and Decentralization in Government: An Incomplete Contracts Model. European Economic Review 40. Swamandiri. Media Berbagi Visi, Ide dan Gagasan. Pengawasan Menuju Clean Government. Diperoleh dari: http://swadaya.wordpress.com/2008/01/23/pengawasanmenuju-clean-government/ Tambulasi, Richard I.C. dan Happy M. Kayuni (2007). Decentralization Opening a New Window for Corruption. Journal of Asian and African Studies, Vol. 42, No. 2: 163-183. Thomson, A. and Perry, J. (2006). Collaboration processes: Inside the black box. Public Administration Review, 66(6): 20-32. -----. Timah Bangka: Antara Dendam Sejarah dan Perjuangan Mendapatkan Akses. Diperoleh dari: http://merito.wordpress.com/2007/10/05/timah-bangka-antara-dendamsejarah-dan-perjuangan-mendapatkan-akses/ Treisman, Daniel. (2000) The Causes of Corruption: A Cross-National Study. Journal of Public Economics 76, No. 3. Hal: 399-45. Turner, M. dan D. Hulme (1997). Governance, Administration and Development: Making the State Work. London: MacMillan Press LTD. Zuhro, Siti (2007). Kepegawaian, Makalah tidak diterbitkan.
91
Departemen Dalam Negeri Jl. Medan Merdeka Utara No. 7 Jakarta, 10110 - Indonesia
ISBN 978-602-96001-0-0
Draf Naskah Akademik - Revisi UU No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Departemen Dalam Negeri