Dr. Ir . Wicaksono Sarosa Profesional Perencanaan Kota
Ir. Wicaksono Sarosa, lebih senang dipanggil Wicak saja, adalah sosok seorang profesional perencanaan kota, yang bersahaja dalam kesehariannya. Lahir di Bandung, Indonesia, 11 Oktober 1959. Mendapatkan gelar S1 Arsitektur pada tahun1984, dari ITB, Bandung. Gelar masternya/S2 didapatkan dari university of California at Berkeley (1993), dan S3 nya juga dari universitas yang sama diselesaikan pada tahun 2001 dengan disertasi berjudul: “Infrastructurebased Community Development: Theories and Practices of Sustainable Development at the Local Level with a Participant-Observation of Three Pilot-Projects in Rural Villages of Java, Indonesia”. Selama 5 tahun (2002-2007) Wicak menjabat sebagai Direktur Eksekutif URDI (the Urban and Regional Development Institute), sebuah organisasi nirlaba berbasis di Jakarta yang memiliki tujuan untuk memperkenalkan/mempromosikan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Kegiatan utama URDI meliputi 3 bidang yaitu: (i) penelitian, (ii) training dan (iii) komunikasi. Setelah lima tahun pengabdiannya di URDI, sejak Januari 2007 Wicak banyak bekerja sebagai konsultan/peneliti/training fasilitator dan penulis dengan perhatian utama pada bidang pembangunan perkotaan, lingkungan hidup serta isu-isu governance. Dia juga pendiri dari PT. Rona Kota Selaras (didirikan 1997), sebuah konsultan perencanaan di Jakarta. Disamping kegiatankegiatan tersebut, saat ini Wicak juga menjadi dosen program S2 di Universitas Trisakti untuk mata kuliah urban ecology, urban management and planning methods/processes. Saat ini Wicak tinggal di Jakarta dengan istri dan dua orang anaknya yang sudah remaja. Pada waktu senggang, Wicak melakukan hobinya dalam membuat sketsa atau lukisan, photography, membaca, mendengarkan musik, atau traveling dengan keluarga. Dia juga menyukai jalan-jalan di lingkungan sekitar rumahnya. Kegemarannya yang lain adalah berbicara dengan masyarakat yang ditemuinya di jalanan di Jakarta. Wicaksono Sarosa melihat dirinya sendiri sebagai seorang pekerja profesional yang committed untuk memfasilitasi proses-proses alih pengetahuan dalam bidang perencanaan dan manajemen untuk pembangunan masyarakat perkotaan berkelanjutan, termasuk yang berhubungan dengan critical issues tentang ekonomi informal, penguatan modal sosial serta pengelolaan keberlanjutan lingkungan. Perjalanan panjang dalam karirnya serta komitmen Wicak yang serius pada pembangunan berkelanjutan yang diwujudkannya dalam tindakan praktis serta publikasi dalam artikel, hal-hal inilah yang menjadi latarbelakang, mengapa redaksi Butaru menilai Wicak adalah sosok yang layak untuk ditulis sebagai Profi l Tokoh dalam edisi Butaru kali ini. Pembaca, silahkan menikmati bincang-bincang kami dengan Wicak pada suatu pagi pada hari Jumat yang teduh.
Butaru
: apa sebenarnya pengertian yang pas dari terminologi pembangunan berkelanjutan?
Wicaksono :
pembangunan yang berkelanjutan intinya supaya manusia bisa tinggal secara terus-menerus di bumi ini. Sering orang salah menginterpretasikan bahwa pembangunan berkelanjutan itu apabila ekonominya tumbuh terus, belum tentu demikian dan nggak harus begitu. Bahkan ada seorang ekonom, Herman Daly1 menyebutkan ada steady state economy (SEE)2 (ekonomi yang steady),
tergantung kebutuhan manusianya, kalau kita nggak butuh iya tidak perlu tumbuh tapi kalau kita masih butuh ya bisa di tumbuhkan, ini yang penting sebenarnya. Untuk itu, agar manusia dapat hidup berkelanjutan di bumi ini perlu keseimbangan bertindak dalam bermacam-macam hal. Seringkali manusia itu mementingkan hanya pada pertumbuhan ekonomi saja, nah itu nggak akan seimbang, nggak akan sustainable. Karena pertama manusia itu by nature memang “rakus”, nggak ada ujungnya kalau soal ekonomi. Sudah super kaya masih ingin kaya lagi dan itu nggak akan nada ujungnya. Nah… jadi harus ada keseimbangan. Kalo disini disebutkan sosial, ekonomi dan lingkungan dan pada umumnya begitu, tapi sebetulnya lebih dari itu. Ada tujuan-tujuan lingkungan, bagian-bagian dari lingkungan yang harus dipelihara baik untuk generasi yang akan datang maupun untuk keseimbangan diri kita sendiri juga. Ekologi kalau kita lihat, itu selalu menjaga keseimbangannya. Nah … manusia juga begitu. Dalam membangun harus berusaha menjaga keseimbangan. Butaru :
Anda sebagai akademisi dan praktisi dalam bidang urban and regional planning, tentu sangat mengenal tentang adanya 3 pilar dalam pembangunan berkelanjutan yaitu: pilar ekonomi; pilar sosial dan pilar lingkungan, bahkan untuk Indonesia mungkin diperlukan adanya 1 pilar lagi yakni Government. Berdasarkan penelitian atau pengamatan anda hingga saat ini, bagaimana implementasi ke empat pilar tersebut di Indonesia ?
Wicaksono : yang masih agak ketinggalan dari kita ini, kalau ekonomi…., kita perhatiannya besar sekali. Tapi yang masih ketinggalan di kita ini, upaya mempreservasi lingkungan dan yang lebih ketinggalan lagi adalah upaya untuk mempertahankan modal sosial. Kalau kita gagal mempertahankan modal sosial ini akibatnya juga akan berdampak pada ekonomi dan lingkungan. Ekonomi juga akan ada persoalan. Butaru :
apa sebenarnya yang dimaksud modal sosial …pak?
Wicaksono : Modal sosial adalah nilai-nilai yang dimiliki dari interaksi manusia dengan manusia yang lain, sehingga misalnya kalau ada keakraban, nilai saling gotong royong, mau saling membantu dan sebagainya, itu merupakan bagian dari modal social. Nah..ini yang harus didorong terus supaya ada keseimbangan antara tujuan-tujuan ekonomi, tujuan-tujuan lingkungan maupun tujuan sosial dan budaya juga termasuk di dalamnya. 1 pilar lagi bukan goverment tapi governance, atau tata kelola. Tata kelola itu menyangkut bukan hanya pemerintah saja tetapi bagaimana pemerintah berinteraksi dengan pihak-pihak non pemerintah yang makin lama makin besar kiprahnya, yaitu masyarakat maupun swasta. Jadi governance itu adalah interaksi berbagai pihak yang makin lama makin besar perannya.
Butaru :
dari ke 4 pilar tersebut menurut Anda, pilar apa yang harus menjadi “lead” atau paling penting agar pembangunan berkelanjutan dapat tercapai?
Wicaksono : nggak ada yang paling penting, semua harus seimbang, balance. Banyak yang salah mengerti tentang persoalan ini, baik kepentingan ekonomi nanti saya kasih contoh kasus di Tarakan, kadang-kadang harus dikalahkan dengan kepentingan lingkungan, kepentingan lingkungan harus dikalahkan dengan kepentingan sosial. Approach dalam pembangunan ekonomi dibuat sedemikian rupa sehingga lingkungan tetap terpelihara dan modal sosial terjaga atau bahkan diperkuat. Nggak ada yang menjadi lead. Sebenarnya harus seimbang antara 4 pilar, atau 5 pilar ditambah dengan pilar budaya. Jadi sosial, ekonomi, lingkungan, budaya dan governance. Governance itu kalau anda baca di buku saya yang diterbitkan oleh URDI disitu termasuk politik juga. Politik disini juga dapat merusak yang lain-lain kalau tidak dijalankan dengan benar. Politik disini bukan berarti selalu partai politik tapi terkait dengan partisipasi dan sebagainya. Ini yang saya bilang pilarnya sudah bergeser. Jadi kalau dulu pembangunan itu kan … hanya ekonomi saja, kemudian ada pertimbangan antara ekonomi dan lingkungan, mulai ada yang namanya eco development. Kemudian ada pertimbangan sosial, social justice, jadi ada ekonomi, lingkungan dan social. Perkembangan berikutnya ekonomi lingkungan, sosial, political participation, governance termasuk disini, dan cultural diversity. Butaru
:
Anda pernah menulis desertasi tentang teori dan praktek pembangunan berkelanjutan pada skala lokal dengan pilot project 3 desa di Jawa, desa mana saja ini pak?
Wicaksono : tiga desa ini bukan sepenuhnya ide saya. Sebenarnya ini bervariasi, bukan sepenuhnya desa. Kalau yang di Trenggalek itu desa sekali, istilahnya remote, Gunung Kidul itu desa dan Indramayu yang sebenarnya agak dekat sekali dengan suasana kota. Butaru
: mengapa pemilihan desanya demikian pak?
Wicaksono : Karena penelitian ini difasilitasi oleh Departemen Pekerjaan Umum, jadi memang arahnya harus terkait dengan irigasi dan pengairan. Lokasi desanya nggak masalah karena yang penting adalah approach-nya. Approach yang saya pakai disana apa yang disebut infrastructure based community development atau pembangunan masyarakat berbasis infrastruktur. Ini berbeda dengan yang kalau di IUIDP dulu disebut community based infrastructure development atau pembangunan infrastruktur yang berbasis masyarakat. Nah …. kalau dalam pembangunan infrastruktur yang berbasis masyarakat, utamanya adalah infrastrukturnya. Infrastrukturnya itu dibangun melalui proses-proses partisipasi, tapi kalau yang waktu itu saya uji cobakan sekitar 10-12 tahun yang lalu adalah partisipasi masyarakat didalam pembangunan infastruktur itu ditujukan untuk penguatan modal sosial masyarakat atau community development-nya. Dari sana memang ternyata dapat dibuktikan sebagaimana diceritakan dalam desertasi ini, bahwa proses-proses partisipasi bias diarahkan untuk membangun modal sosial. Dan dengan membangun modal sosial itu, lingkungan maupun ekonomi dapat menjadi lebih baik, sehingga ada keseimbangan antara tujuan-tujuan sosial, pembangunan ekonomi, kesejahteraan dan sebagainya serta preservasi lingkungan. Butaru
: mengapa dalam desertasi tersebut pilot project yang diambil justru wilayah perdesaan, bukankah masalah pembangunan berkelanjutan lebih banyak terkait dengan isu-isu pembangunan di perkotaan?
Wicaksono :
Butaru
:
apa kendala-kendala yang dihadapi pada saat uji coba di Prumpung ini?
Wicaksono :
Butaru
kalau ditanya mengapa sample studinya di desa, ya… memang kebetulan waktu itu test case nya di desa tapi kemudian setelah lulus, saya uji cobakan di Jakarta, diperbaikan kampung tapi bukan Kampung Improvement Project (KIP). Pemerintah DKI Jakarta pada waktu itu ingin mencari pola-pola pendekatan yang agak lain dari KIP. Lalu dicoba selama 2 tahun di Prumpung Jakarta Timur. Walaupun waktu itu menurut saya di sana lebih sulit, nggak semudah waktu di desa tapi we learn a lot. Dalam segmen-segmen kecil berhasil tapi kemudian gagalnya waktu ada banjir besar tahun 2002 yang menghapuskan semua yang sudah dilakukan. Di sana mudah terlihat bahwa penguatan modal sosial dapat dibangun melalui proses kerjasama warga. Di Prumpung itu, lantai dua rumahnya hampir ketemu, loronglorongnya terlalu gelap dan akhirnya kami bersepakat bersama-sama dengan warga untuk dimundurkan, dipotong lantai atasnya. Disinilah paling susah orang mengorbankan kepentingan pribadi untuk kepentingan bersama, jadi key nya modal sosial itu ada disitu. Jadi disana dibuat semacam clustercluster perbaikan kampung dimana di dalam cluster itu mereka berusaha untuk mencari solusinya sendiri bersama-sama di dalamnya, sekaligus proses membangun modal sosialnya. Tidak sepenuhnya berhasil seperti di desa tetapi we learn a lot, kita belajar banyak dari situ. Bahwa sebenarnya pendekatan itu bisa dijalankan kalau kita sungguh-sungguh menjalankannya.
ya…kendalanya kalau di perkampungan kota itu penduduknya sangat mobile sekali dan banyak juga mereka itu sebenarnya punya rumah di Tasikmalaya. Resources nya disimpan di sana. : Hal-hal apa saja yang dapat anda simpulkan dari permasalahan tersebut diatas?
Wicaksono : yang dapat disimpulkan adalah: pertama keseimbangan social, ekonomi dan lingkungan memang harus diupayakan untuk sustainability, kedua modal sosial itu bisa dibangun melalui proses-proses partisipasi tetapi harus disiapkan dari awal. Proses-proses partisipasi sendiri tidak selalu otomatis menghasilkan modal sosial. Kalau tidak disiapkan sejak awal bisa-bisa tidak akan terwujud penguatan modal sosial ini. Butaru
: apakah yang dimaksud infrastruktur diatas tadi tidak selalu fi sik?
Wicaksono : pada waktu itu yang dipakai infrastruktur fi sik. Sebenarnya yang penting approach nya. Ini bisa dipakai untuk fi sikal maupun non fi sikal infrastruktur. Yang penting intinya adalah proses bekerja sama anggota masyarakat untuk tujuan tertentu yang kadang-kadang memerlukan pengorbanan kepentingan pribadi. Butaru
: Apa keterkaitan antara wilayah perdesaan dan perkotaan sehubungan dengan pembangunan berkelanjutan?
Wicaksono : pembangunan kota yang baik tidak pernah lepas dari pembangunan pedesaan. Dengan kondisi demografi dan pembagian geografis seperti sekarang, persoalan pembangunan perkotaan kita tidak akan pernah tuntas kalau desanya masih tertinggal, orang akan pindah terus ke kota. Jadi balance development bukan hanya balance dari sisi sektoral tapi juga harus balance pada sisi spasial. Itu tidak berarti di desa harus dibangun seperti di kota, tetapi yang harus dilakukan adalah ada persyaratan minimum dari kebutuhan manusia yang terpenuhi juga di desa. Makanya SPM itu penting sekali, karena itu SPM ini harus di promosikan. Jadi paling tidak orang di desa harus dapat air bersih, sanitasinya sehat…ya pokoknya
standar minimum disamakan dengan kota, setelah itu kota bisa mempunyai yang lebihnya. Butaru
: untuk mendorong terlaksananya pembangunan berkelanjutan di Indonesia, apakah anda setuju dengan pengenaan insentif dan disinsentif dari Pemerintah kepada Pemerintah daerah?
Wicaksono : Saya kira insentif ini hanya salah satu cara saja untuk kita sama-sama bisa melaksanakan pembangunan berkelanjutan, karena yang harus menerapkan ini bukan hanya Pemerintah Daerah saja tapi Pemerintah Pusat harus ikut juga. Jadi selama ini upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Indonesia adalah upaya bersama Pusat maupun Daerah. Insentif dan disinsentif dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah itu salah satu cara saja, yang lain itu adalah seperti membangun kesadaran, terus kesadaran saja tidak cukup, harus ditambah membangun pengetahuan, terus kesadaran dan pengetahuan saja tidak cukup, karena harus ada kemauan untuk bertindak (willingness to act). Nah ini juga yang harus dibangun. Karena kalau insentif dan disinsentif saja, itu hanya akan membuat orang melihatnya ke insentifnya saja. Jadi harus more than just insentif dan disinsentif, harus ada kesadaran, pengetahuan dan kemauan. Makanya program Pemerintah sekarang itu harus banyak menyentuh soal pembangunan kesadaran dan pengetahuan. Ayo kita sama-sama bertindak untuk tujuan sesuatu, tapi kadang itu juga tergantung contohnya. Sebentar, tadi ada sedikit yang kurang, insentif dan disinsentif, itu semua bukan hanya Pemerintah Pusat ke Daerah saja tapi juga ke masyarakat dan juga ke pelaku usaha karena semakin hari yg menentukan pembangunan itu semakin banyak yang dari non government sectors, masyarakat berperan, swasta makin berperan. Sekarang kota baru pun dibangun oleh swasta, pengolahan air limbahpun dibangun oleh swasta. Nah, insentif dan disinsentif bisa diterapkan buat mereka juga. Butaru
: Upaya-upaya apa yang sebaiknya dilakukan oleh Pemerintah maupun Pemerintah Daerah dalam rangka pelibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan di Kabupaten maupun Kota tempat mereka tinggal?
Wicaksono : Pelibatan masyarakat itu intinya sebenarnya, jangan hanya melibatkan, tapi juga pelibatannya itu harus sekaligus membangun kebersamaan dan berbagi ownership, berbagi kepemilikan. Kalau sekedar dilibat-libatkan, cuma ikut-ikutan datang, ikut rapat musrenbang itu very limited. Kalau ditingkat-tingkatan partisipasi itu dari sekedar sosialisasi, diberitahu/informing; kemudian konsultasi, ditanya-
tanya; kemudian partnership/kemitraan kemudian yang terakhir adalah keswadayaan. Disini justru masyarakat yang lebih punya peran, masyarakat yang lead, mungkin kita nggak perlu sampai ke sana. Tapi sampai ke partnership saja itu sudah bagus. Jadi more than just consulting, more than just informing. Tingkat yang paling rendah informing. Kita memberitahu/sosialisasi, begini…, begini… ke masyarakat. Tingkatan kedua konsultatif, ditanya maunya apa. Tingkatan ketiga kemitraan, ayo kita melakukan sesuatu bareng-bareng. Pemerintah Solo berhasil mengajak warganya untuk bersama-sama mengatasi persoalan kotanya. Yang dimaksud partnership/kemitraan disini adalah sejak awal penyusunan segala macam itu dilakukan bersama-sama. Jadi nggak ada yang dirahasiakan, sejak awal sampai monitoring benarbenar dilakukan bersama-sama. Dan yang lebih penting adalah proses pengambilan keputusannya. Kalau saya diajak untuk rembug ambil keputusan, saya jadi merasa ikut memiliki keputusan itu. Butaru
: Kota atau kabupaten mana di Indonesia ini, yang menurut anda paling mendekati konsep ideal sebuah pembangunan berkelanjutan?
Wicaksono : Pertanyaan sulit ini, karena masih banyak yang jauh ya. Tarakan contoh yang menarik, ada di daerah pusat kotanya yang dulunya terus berkembang dan hampir menggerogoti hutan mangrove yang ada, kemudian oleh Pemerintah Kota di stop, hutan bakaunya dipertahankan. Itu menunjukan upaya untuk mempertahankan kepentingan lingkungan dengan mengalahkan kepentingan ekonomi. Disini bukan kepentingan ekonomi kemudian menjadi underneed, tetapi ada keseimbangan antara kepentingan lingkungan dengan kepentingan ekonomi. Pemerintah Tarakan juga menekankan sekolah, kesehatan dan taman-taman bermain, itu menunjukkan perhatian pada modal sosial sehingga terlihat sekali upaya untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan. Tapi tetap semuanya rata-rata masih jauh dari apa yang kita harapkan. Karena seperti di Tarakan itu juga masih sangat didorong/ driven by Walikota waktu itu. Belum dari sisi governance. Jadi salah satunya tadi governance, belum institusional, dan belum masyarakat juga. Kalau sustainability, semua itu harus tercapai. Kalau untuk kabupaten saya senang dengan Kabupaten Batanghari yang di Jambi. Kalau di Solo itu yang menarik penanganan sektor informal, terus perkampungan sepanjang sungai, itu pendekatannya memang memanusiakan mereka. Mereka dilibatkan dalam proses-proses pengambilan keputusan. Jadi ya hasilnya bagus akhirnya. Butaru
: kalau contoh lain di luar negeri…?
Wicaksono : Iya… kalau di negara maju, kita bisa lihat di Eropa, Negara-negara Scandinavia, kalau kita kesana khan… hijau sekali. Memang masyarakatnya individualis tetapi ada aturan-aturan sosialnya . Di kota-kota pantai barat Amerika juga terjadi transformasi dalam 20 tahun terakhir ini. Dari yang tadinya kota yang sangat sprawling, masyarakat yang mengandalkan mobil. Sekarang sedikit-sedikit mulai ada perubahan. Perubahan yang paling menonjol, itu kota Vancouver, Canada, terus Portland dan Seattle, juga terjadi perubahan, dari kota yang dulunya sprawling melebar kemana-mana kemudian mulai ada konsentrasi-konsentrasi yang bisa dibuatkan kereta apinya dan lain sebagainya. Kalau di negara berkembang, Brasil, seringkali diambil sebagai contohnya. Di sana Curitiba dilihat dari sisi lingkungannya, Portoalete dilihat dari sisi sosial. Kalau di Asia ada Seoul. Kalau kita lihat di Kota Seoul masih bisa terlihat bukit-bukitnya yang masih hijau. Butaru
: kalau tadi adalah kota atau kabupaten yang terbaik, maka tentu ada yang terburuk, kota/kabupaten apa saja yang termasuk golongan ini dan upaya apa yang perlu segera di berikan ke daerah tersebut?
Wicaksono : Terburuk ya? Kan kemarin itu Adipura juga menyebutkan yang terburuk juga ya, mungkin Bogor termasuk salah satu kota terburuk juga ya. Bogor sampahnya berantakan. Bekasi juga nampaknya bisa dilihat dari pembangunan yang tidak menyambung dari satu kawasan ke kawasan lain. Butaru
:
kalau anda diberi kesempatan untuk memilih tempat tinggal yang sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan, dimana kira-kira anda akan bertempat tinggal?
Wicaksono : Di Indonesia atau dimana ini? Saya sebenarnya punya cita-cita satu. Saya punya satu apartemen aja. Tinggal di kotanya di apartemen aja. Kemudian punya rumah di desa, yang bisa bercocok tanam organik dengan ketenangan, jadi kalau lagi ingin tinggal di kota ya tinggal di kota. Sebenarnya saya gak masalah kok tinggal di apartemen, yang penting ada fasilitas interaksinya. Butaru
: Baik pak, dengan bincang-bincang ini mudah-mudahan para praktisi perencana kota, pemerintah sebagai penentu kebijakan dan masyarakat sebagai pengguna ruang kota dapat memilki pemahaman yang lebih baik dalam konteks pembangunan berkelanjutan.