AKHLAK DALAM PERSPEKTIF IBNU MASKAWAIH (Umar Faruq*) A. Pendahuluan Telah diketahui bersama bahwa hakikat pembangunan negara kita adalah membangun manusia-manusia Indonesia seutuhnya yang sehat jasmani dan rahani, sehat lahir dan batin, maka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya ini hanya dapat dicapai melalui mental dan akhlak yang baik dengan kata lain bahwa pembangunan dapat dicapai dengan melalui pembangunan mental manusia dan akhlak manusia itu sendiri. Sudah menjadi keinginan dan dambaan setiap manusia untuk mewujudkan mental dan akhlak yang baik di lingkungan masyarakat. Islam sendiri telah menekankan pada seluruh manusia supaya meneladani akhlak Nabi Muhammad saw yang membawa rahmat untuk seluruh alam semesta. Akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata akhlak walaupun diambil dari Bahasa Arab yang biasa di artikan tabiat, perangai, kebiasaan, bahkan agama1, namun yang sedemikian itu tidak ditemukan dalam al-Qur’an, yang tertera dan didapatkan dalam Al-Qur'an hanyalah bentuk tunggal kata tersebut yaitu Khuluq yang tercantum dalam Al-Qur'an surat alQolam ayat 4. Ayat tersebut dinilai sebagai konsiderans pengangkatan Nabi Muhammad Saw sebagai Rosul. Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung (QS al-Qolam (68):4)2 Untuk membentuk suatu budi pekerti yang baik, tingkah laku yang baik lahir dan batin, manusia memerlukan hubungan dengan pencipta alam semesta, sehingga terjadi interaksi dan ikatan kebaikan yang menetap. Maka akhlak juga dikatakan sebagai kebiasaan kehendak-kehendak untuk melakukan sesuatu, kebiasaan inilah disebut akhlak. Dan apabila kehendak itu membiasakan memberi, kebiasaan kehendak ini disebut akhlak dermawan.3 B. Pokok-pokok Akhlak Pokok-pokok atau dasar-dasar akhlak adalah empat : 1. Khikmah Yang dimaksud dengan hikmah adalah keadaan jiwa manusia yang dengannya ia dapat membedakan antara yang benar dan salah dalam setiap perbuatan. Jika sifat hikmah digunakan secara berlebihan dalam tujuantujuan yang buruk, hal itu disebut perbuatan dosa dan kejahatan. Sedangkan jika digunakan secara berkekurangan maka hal itu disebut kedunguan. *Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya 1
DR. M. Quraisy Shihab MA, Wawasan Al-Qur'an Tafsir Maudhu, Atas Pelbagai Persoalan Umat hal. 252, Penerbit Mizan Bandung th. 1998 2 Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak) Bulan Bintang. Jakarta. 1975 hal. 62 3 Al-Ghazali, mengobati penyakit hati membentuk akhlak mulia, Karisma Bandung, 1996. hal. 35
2. Keberanian Sedangkan yang dimaksud dengan keberanian, adalah dipatuhinya akal oleh kekuatan emosi (amarah, ghadab) baik dalam tindakan maupun keengganananya untuk bertindak. Dan manakala kekuatan emosional menyimpang dari sifat mederatnya dan lebih cenderung ke arah yang ekstrem atau berkelebihan, hal itu disebut ”nekat”. Sebaliknya jika itu cenderung ke arah kekurangan hal itu disebut pengecut. 3. Iffah (penyegahan emosional) Adapun yang dimaksud Iffah atau penyegahan emosional adalah terdidiknya kekuatan ambisi dan hasrat oleh didikan akal dan syariat. Dan jika kekuatan ambisi dan hasrat atau keinginan lebih cenderung ke arah yang lebih menonjol, dengan kata lain sangat berlebihan maka hal itu disebut kekuatan. 4. Keseimbangan Keseimbangan adalah keadaan jiwa seseorang yang mampu membatasi gerak kedua kekuatan : emosi dan ambisi serta mengendalikannya dalam keaktifan dan ketidak aktifan, supaya sejalan dengan nilai-nilai hikmah. Jika sifat keseimbangan telah hilang maka tak ada lagi ujung yang berlebihan atau yang berkekurangan. Yang ada hanyalah sifat yang sama sekali berlawanan dengannya, yaitu kezaliman. Dari sifat moderat dan keseimbangan tersebut timbul semua unsur akhlak yang baik. C. Biografi Singkat Ibnu Maskawaih Ibnu Maskawaih temasuk tokoh pendidikan yang dilahirkan di kota Rey pada tahun 330 H.4 Sedangkan nama yang lebih mashur Miskawaih adalah Ibnu Miskawaih. Nama tersebut diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi (Persia) kemudian masuk Islam. Ia hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengasuh Bani Bawaih, yang beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan Parsi. Bani Buwaih yang mulai berpengaruh sejak Khalifah Al-Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad Bin Buwaih sebagai perdana menteri (Amir al-Umara’) dengan gelar Mu’izz al-Daulah. Pada tahun 945 M. Ayahnya bernama Abu Syuja’ Buwaih ia sebagai pemimpin suku yang amat gemar berperang. Pengikutnya berasal daerah pegunungan Dailan di Persia. Pendidikan formal Ibnu Maskawaih dimulai dari zaman Abbasiyah. Ia belajar di sekolah dasar, belajar membaca dan menulis, mempelajari ilmu AlQur'an, dasar-dasar bahasa Arab, nahwu, ilmu Arudh. Setelah ilmu dasar baru ia mempelajari ilmu fiqih, hadits, sejarah, khususnya sejarah Arab Persi dan India, matematika, dan ilmu praktis seperti musik, bermain catur dan ilmu kemiliteran. Untuk pendidikan lanjutan Ibnu Maskawaih memperolehnya secara autodidak atau membaca sendiri. Terutama di saat ia memperoleh kepercayaan
4
Ahmad Daudy. Kuliah Filsafat Islam. Bulan Bintang. Jakarta : 1986. hal. 56
menguasai perpustakaan Ibnu Al-Amud, Menteri Rukh al-Daulah. Ia juga akhirnya memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawan ”Ahud al-Daulah”.5 Kecerdikan yang diperolehnya merupakan hasil perjuangannya di dalam menuntut ilmu. Ia mempelajari sejarah, terutama Tarikh Al-Thobari kepada Abu Bakar Ibnu Kamil al-Qodhi (350 H/960). Ibnu Maskawaih mengkaji al-kimia bersama Abu Al-Thayib al-Razi seorang ahli kimia. Ia menjadi mashur karena pembahasannya tentang filsafat akhlak. Kalau kita perhatikan perjalanan pendidikan Ibnu Maskawaih tampak selalu berhasil dengan saat baik tentunya merupakan suatu yang sangat spektakuler dan sulit ditemukan tandingannya di masa Abbasiyah yakni karena semangat dan percaya diri. Dia banyak membaca buku sendiri, dan banyak berguru pada guru-guru yang terkenal. Adapun sederetan karya Ibnu Maskawaih kebanyakan psikologi dan sejarah maqulat fi an-Nafsi wal aqli. Sejarah dan naskah yang lain seperti Tajrin al-Umam (sejarah tentang banjir besar yang menurunkan peristiwaperistiwa sejarah sejak setelah air bah nabi Nuh hingga masa 369 yang ditulis pada tahun 369 H / 979 M. Risal fi Al-Isdzazat awal Islam fi Jauhar Al-Nafs, Ajribah wa As’ilah fin-Nafs wal Aqli, al-Jawab fi Al-Masail ast-Tsalast. Risalah al-Jawad fi Sual Ali bin Muhammad abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat Al-’aqu.6 D. Akhlak dalam perspektif Ibnu Maskawaih Manusia terdiri dari struktur jiwa dan tubuh.Tubuh mempunyai esensi dan substansi yang berbeda. Jiwa merupakan gabungan substansi yang sadar terhadap esensi jiwa dan tugasnya. Jiwa menerima sesuatu yang kongkrit atau yang abstrak secara sempurna. Karena itu pengetahuan manusia selalu bertambah setiap jiwa menerima pengetahuan yang baru, sedangkan pengetahuan yang lama tidak hilang.7 Jida tidak bisa berubah-ubah, jiwa mengetahui segala sesuatu dengan derajat yang sama tidak mengalami pengurangan atau penyusutan. Jiwa menanggapi ilmu pengetahuan yang datang dari sumber indera. jiwa mempunyai daya tersendiri untuk membenarkan atau menyalahkan apa yang telah diambil oleh alat indera. Seperti mata terhadap obyek yang jauh, kelihatan olehnya yang besar itu kecil seperti kalau mata melihat kapal yang jauh di tengah samudera tampak kapal tersebut seakan-akan sebuah sabut kelapa yang sedang turun naik dipermukaan air samudera. Maka jiwa menanggapi bahwa penglihatan mata itu dusta sebab menurut jiwa kapal itu besar. Demikian juga lidah orang yang sedang sakit merasa gula itu pahit,
5
Ahmad Azhar Basyir. Miskawaih Riwayat Hidup Dan Pemikiran Filsafatnya. Nur Cahaya. Yogyakarta : 1983. hal 94 6 M. Syarib, para filosof muslim, Mizan. Bandung : 1985. hal 85 7 Yunasril. Ali perkembangan pemikiran falsafi dalam islam. Bumi Aksara. Jakarta : 1991. hal 56
padahal menurut jiwa berdasarkan pengamatan dan eksperimen bahwa gula itu manis. Wujud semacam itu menandakan bahwa jiwa berbeda dari pada tubuh. Maskawaih tidak membedakan antara jiwa dengan akal. Keberadaan jiwa dan akal itu satu. Akal hanyalah merupakan daya dari daya-daya jiwa dan merupakan manisfestasi dari adanya jiwa.8 Jiwa mengetahui sesuatu dari esensi dan substansinya sendiri yaitu akal. Sehingga bisa dikatakan bahwa akal yang berfikir serta obyek yang dipikirkan itu setali tiga uang, dan tidak ada sesuatu yang lain di dalamnya. 9 Jiwa mempunyai tiga kekuatan dalam diri manusia yaitu kekuatan berfikir, kekuatan marah, dan kekuatan yang menimbulkan syahwat. Jiwa memiliki kecenderungan pada sesuatu yang bukan jasad. substansi jiwa ini lebih tinggi dan lebih mulia dibanding dengan substansi benda-benda jasad. Akhlak merupakan sikap mental yang mendorong untuk berbuat tanpa pikir dan pertimbangan, ia terdiri dari baik dan buruk. Kebaikan ada dalam obyek, namun kebaikan yang dalam obyek dapat dipandang oleh manusia dengan kaca mata yang berbeda-beda, karena berlainan alat dan cara memandang kebaikan tersebut. Kebaikan terbagi menjadi tiga macam, mulia, terpuji, dan bermanfaat. Makna kebaikan merupakan titik tengah karena letaknya di antara dua kehinaan dan pada posisi yang paling jauh dari dua kehinaan itu. Maka jika kebaikan itu bergeser sedikit saja dari posisinya ke posisi yang lebih rendah, maka kebaikan itu mendekati salah satu kehinaan, dan berkurang nilainya sebab dekatnya ia dari kehinaan.10Adapun jiwa itu sendiri mempunyai tiga kekuatan, kekuatan berfikir, kekuatan marah dan kekuatan syahwat. Akhlak buruk masih ada hubungannya dengan daya dan kekuatan jiwa, arif, sederhana, berani dan adil dengan lawannya, bodoh, rakus, pengecut dan dhalim. Kearifan merupakan titik tengah antara bodoh dan dungu, sifat bodoh timbul karena penggunaan daya berfikir pada sesuatu yang tidak baik. Sedangkan dungu adalah sengaja menyingkirkan dan mengabaikan daya berfikir. Pandai titik tengah antara jelek mental dan kebodohan, ini timbul karena kondisi mental yang berlebihan, sedang satunya bersifat kekurangan. Kondisi mental yang demikian akan muncul ketidak jujuran. Kesederhanaan bertitik tengah pada keinginan hawa nafsu dan mengabaikan hawa nafsu. Keinginan hawa nafsu menenggelamkan diri dalam kenikmatan tubuh sedangkan mengabaikan hawa nafsu tidak mencari kenikmatan absah yang memang dibutuhkan oleh tuhuh agar tubuh berfungsi normal dan dibolehkan dan syariat dan akal. Salah satu sifat keutamaan sederhana adalah rendah hati di mana titik tengah antara dan kehinaan yaitu tak tahu malu dan terlalu malu. Berani merupakan titik tengah antara dua kehinaan, pengecut dan sembrono. Pengecut takut terhadap apa yang semestinya tidak ditakuti. Sedang semberono berani dalam hal yang tidak semestinya dia berani. Dermawan titik 8
Ibid. hal. 57 Ibnu Maskawaih. Menuju kesempurnaan akhlak. Mizan. Bandung : 1997. hal : 39 10 Ibid. 58 9
tengah antara boros dan royal atau kikir. Boros memberikan apa yang tidak boleh diberikan kepada orang yang tidak berhak menerimanya sedangkan kikir tidak memberikan apa yang seharusnya diberikan pada orang berhak menerimanya. Adil titik tengah antara berbuat dholim dan didholimi. Orang berbuat dhalim bila dia peroleh banyak dari sumber dan cara yang salah. Orang didhalimi kalau dia tuntut dan memberikan respon pada orang yang salah dengan cara yang salah. PEMBENTUKAN AKHLAK MULIA Akhlak dapat selalu berubah-rubah dan bertingkat-tingkat dari yang terendah hingga yang tertinggi seperti : tingkat yang paling rendah (nafsu kebinatangan). Yang buruk, tingkat tengah-tengah nafsu binatang buas tingkat sedang, dan tingkat yang tertinggi (nafsu yang cerdas). Dengan tiga tingkatan manusia berdasarkan faktor pembawaan dan tiga kekuatan jiwa manusia yang bertingkat-tingkat, maka kemungkinan manusia mengalami perubahan-perubahan khuluq, maka dengan trem inilah diperlukan adanya aturan syariat, nasehat, dan berbagai macam pendidikan. Juga dengan itu semua dimungkinkan manusia dengan akalnya dapat memilih dan membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dari faktor pembawaan, manusia berada dalam tiga tingkatan yaitu : manusia yang baik menurut tabiatnya, mereka ini tidak akan berubah menjadi manusia jahat. Manusia yang jahat menurut tabiatnya, mereka ini tidak akan menjadi baik karena memang pembawaannya sudah jahat. Manusia yang tidak termasuk golongan pertama dan yang kedua golongan ini dapat menjadi baik dan menjadi jahat karena faktor pendidikan yang diterimanya dan faktor lingkungan. Sedangkan untuk membentuk akhlak mulia dilakukan dengan setapak demi setapak dengan cara alami mengikuti : proses alami disesuaikan dengan kekuatan semenjak lahir, kemudian memperbaharuinya. KEBAHAGIAAN Kebahagiaan berbeda dengan kebaikan. Kebaikan menjadi tujuan semua orang, kebaikan umum bagi seluruh manusia dalam kedudukan sebagai manusia. Kebahagiaan merupakan kebaikan seseorang tidak bersifat umum, tetapi relatif tergantung pada individu seseorang yang berusaha memperolehnya. Orang yang berakal tidak akan bergerak tanpa tujuan baik tujuan dalam dimensi pendek maupun tujuan dalam dimensi panjang, baik tujuan yang merupakan sarana memperoleh tujuan yang lebih besar ataupun tujuan pada dirinya, baik bersifat jamaniyah maupun rohaniyah dan seterusnya. Tujuan yang bebas dari ikatan kondisional merupakan tujuan tertinggi yang menjadi tujuan manusia semua, yang disebut kebaikan mutlak. Kebaikan mutlak itu jika dapat dimiliki orang akan sampai pada kebahagiaan tertinggi karena kebaikan mutlak merupakan tujuan terakhir manusia yang mampu berfikir sehat. Kebahagiaan tertinggi tidak lain adalah kebijaksanaan yang menghimpun bebagai aspek. Aspek teoritits yang bersumber pada kontinyuitas pikir akan hak-
hak wujud, dan aspek praktis yang berupa keutamaan jiwa yang mampu melahirkan perbuatan yang baik. Orang yang mencapai kebahagiaan tertinggi jiwanya akan tenang mereka selalu berdampingan dengan malaikat. Dalam usaha untuk mencapai kebahagiaan, manusia selalu memerlukan pedoman syari’at yang memberikan petunjuk jalan mencapai kebijaksanaan guna mengatur dirinya sampai akhir hayatnya. Untuk itu manusia memerlukan agama, sebab agama merupakan ketetapan ilahi yang ditujukan untuk menuntun umat manusia secara sadar untuk memperoleh kebahagiaan hakiki. Kebahagiaan dibagi menjadi lima :11 1. kebahagiaan yang terdapat pada kondisi sehat badan dan kelembutan inderawi : yaitu jika pendengaran, penglihatan, penciuman, perasaan dan peradaban baik. 2. kebahagiaan yang terdapat pada pemilihan keberuntungan, sahabat dan yang sejenis dengan itu hingga orang dapat membelanjakan hartanya dimanapun bila mau dan dengan harta itu pula ia dapat melakukan kebaikan-kebaikan. Dengan harta itu pula ia dapat melakukan kegiatan yang menambah keilmuannya, serta ia memperoleh pujian sanjungan. 3. kebahagiaan karena memiliki nama baik dan termashur dikalangan orangorang yang memiliki keutamaan dan karena begitu dia dipuji dan disanjung oleh mereka dan karena sikapnya yang snantiasa berbuat kebajikan. 4. sukses dalam segala hal, itu bisa terjadi sekiranya dia mampu merealisasikan apa yang dicita-citakan dengan sempurna. 5. hanya bisa diperoleh kalau ia menjadi orang yang cermat pendapatnya, benar pola berfikirnya lurus keyakinanya, baik keyakinan dalam agama maupun keyakinan di luar agama, tidak pernah salah dan terjebak kekeliruan, dan mampu memberikan petunjuk yang tepat. Adapun kebahagiaan yang merupakan bagian dari kebaikan ia dapat dirasakan oleh dua unsur yang ada pada diri manusia jasad dan roh. Kebahagiaan yang dirasakan oleh tubuh manusia bersifat material, sedangkan kebahagiaan yang dirasakan oleh roh bersifat spiritual. Kebahagiaan yang bersifat meterial selalu diimbangi oleh kepayahan dan kepedihan, tetapi kebahagiaan spiritual lebih sempurna dan lebih kekal ni’matnya ia dapat dicapai bila kebahagiaan material dapat dilepaskan secara berangusr. Bila kebahagiaan material telah dilepaskan dapatlah orang meningkat naik menuju kesempurnaan sejati. Kalau bila berfikir pada Negeri ini, Indonesia, maka akan lebih jelas bahwa pembangunan nasional yang sedang dan akan terus dilaksanakan oleh bangsa Indonesia bukan masalah-masalah fisik semata yang hanya memerlukan pendekatan-pendekatan rasional. Dengan demikian, maka jawaban terhadap persoalan yang mungkin timbul sebagai ekses negatif dari keberhasilan pembangunan, di samping memerlukan penanganan berdasarkan norma logika, juga memerlukan pula pencermatan serta penanganan secara arif melalui pendekatan-pendekatan berdasarkan norma etika dan moral yang menjadi landasannya.
11
Ibid,. hal 138
Jika telusuri sebab-sebab dekadensi moral di sebagian uamt yang ditandai oleh berbagai perilaku yang kurang mengindahkan nilai-nilai moral keagamaan, dapat diketahui bahwa semua itu sebagai akibat dari kekeringan batin, kekeringan spiritual, kekeringan moral dan kekeringan mental. Bertolak dari pandangan di atas hendaknya kita membangun kualitas mental, moral dan spiritual umat melalui pendekatan idiologi dan agama secara terpadu. Dapat pula dikatakan bahwa timbulnya dekadensi moral diakibatkan kurang adanya landasan agama terutama pendidikan akhlak yang kuat pada diri masyarakat, sehingga manusia dibawa oleh pengaruh-pengaruh negatif dari kemajuan jaman.
KESIMPULAN Sebagai seorang filosof dan tokoh pendidikan yang mempunyai konsep dan teori-teori tentang akhlak moral. Ibnu maskawaih melihat bahwa akhlak merupakan suatu sikap mental yang mendorong untuk berbuat tanpa fikir dan pertimbangan. Eksistensi dan sikap ini terbagi dua : yang berasal dari watak kebiasaan atau latihan. Akhlak terpuji timbul dari adanya kesepadanan dan keseimbangan keempat keutamaan jiwa. Dan ia menganalisa aktifitas jiwa. Kebahagiaan tertinggi adalah kebijaksanaan dalam mencapai kebahagiaan manusia harus memenuhi persyaratan : kesehatan, kekayaan, kemasyhuran dan kehormatan, kebersihan dan pemikiran yang baik.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an Al-Karim Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak). Bulan Bintang. Jakarta. 1975 Basyir, Ahmad Azhar. Miskawaih Riwayat Hidup Dan Pemikiran Filsafatnya. Nur Cahaya. Yogyakarta : 1983. Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Bulan Bintang. Jakarta : 1986 Al-Ghazali, Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia, Karisma Bandung, 1996. Maskawaih, Ibnu, Menuju Kesempurnaan Akhlak. Mizan, Bandung 1979 Shihab, M. Quraisy, Wawasan Al-Qur'an Tafsir Maudhu, Atas Pelbagai Persoalan Umat hal. 252, Penerbit Mizan Bandung th. 1998 M. Syarif, Para Filosof Muslim, Mizan. Bandung : 1985 Ali, Yunasril. Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam. Bumi Aksara. Jakarta : 1991