DISTRIBUSI UKURAN PERKOTAAN DI INDONESIA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Oleh ANNISA FITRIA H14104115
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
ANNISA FITRIA. Distribusi Ukuran Perkotaan di Indonesia dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS).
Kawasan perkotaan di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Perkembangan ini antara lain dicerminkan oleh peningkatan pertumbuhan penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan serta besarnya kontribusi sektorsektor ekonomi yang digerakkan dari kawasan ini terhadap ekonomi nasional. Penduduk perkotaan yang digunakan untuk mengestimasi ukuran perkotaan suatu wilayah di Indonesia terlihat cenderung terkonsentrasi pada daerah tertentu. Hal tersebut mendorong dilakukannya penelitian mengenai distribusi ukuarn perkotaan di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji apakah rank-size rule berlaku di Indonesia. Ruang lingkup penelitian ini adalah kawasan perkotaan pada kota dan kabupaten di Indonesia yang dikelompokan ke dalam 25 provinsi. Pengelompokan dilakukan berdasarkan provinsi yang ada pada tahun awal penelitian dan Provinsi DKI Jakarta yang dimasukkan ke dalam Provinsi Jawa Barat. Provinsi yang baru lahir akibat proses pemekaran wilayah setelah tahun 2000 dimasukkan ke dalam provinsi sebelum pemekaran dilakukan. Identifikasi rank-size rule di Indonesia dilakukan dengan membandingkan ukuran perkotaan aktual dengan ukuran perkotaan menurut prediksi rank-size rule. Berdasarkan hasil identifikasi diketahui bahwa rank-size rule selalu memberikan prediksi ukuran perkotaan yang lebih besar atau lebih kecil dari ukuran perkotaan aktual. Rank-size rule dapat dengan tepat memprediksi ukuran perkotaan jika nilai eksponen pareto, yang menggambarkan distribusi ukuran perkotaan, sama dengan satu. Kemudian menjadi penting untuk mengidentifikasi dan menganalisis mengapa nilai pareto ini tidak sama dengan satu dan cenderung berbeda pada setiap wilayah, serta faktor apa yang mempengaruhinya?. Identifikasi distribusi ukuran perkotaan suatu wilayah dilakukan dengan mengestimasi nilai pareto eksponen yang diperoleh dari penerapan rank-size rule dengan menggunakan data penduduk perkotaan pada kota dan kabupaten di Indonesia tahun 1995, 2000 dan 2005. Berdasarkan hasil identifikasi nilai eksponen pareto yang diestimasi dengan regresi OLS dapat diketahui bahwa distribusi ukuran perkotaan di Indonesia semakin terpolarisasi. Hal ini ditunjukkan oleh nilai pareto yang terus menurun selama kurun waktu analisis. Secara umum, Pulau Jawa memiliki distribusi yang lebih merata dibandingkan pulau-pulau utama lainnya. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi ukuran perkotaan dengan menggunakan pendekatan efek tetap diperoleh hasil bahwa tingkat penghematan karena urbanisasi dan karena lokalisasi serta peningkatan rasio pengeluaran pemerintah untuk pembangunan terhadap penerimaan totalnya dan jumlah daerah administrasi yang cenderung meningkat mempengaruhi ukuran perkotaan tumbuh terkonsentrasi pada suatu daerah. Ukuran perkotaan di Indonesia cenderung lebih terdistribusi dengan merata pada wilayah yang
memiliki tingkat partisipasi angkatan kerja serta tingkat keterbukaan wilayah yang tinggi. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan keterkaitan aktivitas ekonomi antara satu daerah dengan daerah lain antara lain dengan mendorong terciptanya pemisahan sistem manajemen dan sistem produksi. Hal tersebut dapat terealisasi dengan adanya dukungan sistem transportasi yang saling terintegrasi antar daerah.
DISTRIBUSI UKURAN PERKOTAAN DI INDONESIA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Oleh ANNISA FITRIA H14104115
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Annisa Fitria
Nomor Registrasi Pokok
: H14104115
Program studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Distribusi Ukuran Perkotaan di Indonesia dan FaktorFaktor yang Mempengaruhinya
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Muhammad Firdaus, Ph.D NIP. 132 158 758
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 131 846 872 Tanggal kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2008
Annisa Fitria H14104115
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Annisa Fitria dilahirkan di Jakarta, 11 Juli 1986 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan H. Abdul Fatah dan Hj. Srihartati. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1998 di SD Negeri Guntur 01 Jakarta, kemudian pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 pada SMPN 57 Jakarta, dan pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2004 di SMUN 3 Jakarta. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi dengan harapan agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir. Institut Pertanian Bogor menjadi pilihan penulis dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif dalam beberapa organisasi seperti Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) pada kepengurusan tahun 2007.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur segalanya milik Allah SWT dan karena izin dari-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, dengan judul “Distribusi Ukuran
Perkotaan
di
Indonesia
dan
Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhinya”. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Muhammad Firdaus, Ph.D yang telah memberikan bimbingan baik secara teoritis maupun teknis serta menyisihkan waktu untuk penulis selama proses pengerjaan skripsi ini. Bapak D.S. Priyarsono, Ph.D sebagai dosen penguji dan Ibu Widyastutik, Ms.i sebagai perwakilan dari Komisi Pendidikan atas saran yang diberikan pada ujian sidang 9 Juli 2008. Penulis juga berterima kasih kepada Irma A. atas saran yang diberikan serta telah bersedia menjadi pembahas dalam Seminar Hasil Penelitian. Angga O. atas bantuan dalam pengolahan data. A. Niken M., Maharani T.S., Della P.R., Dila V., Septi A., Hana A., Henni S., Noorish H., Ebrinda D.G., Fanya T.K., Amalia D.S.L., Rizki S.F., Arif R., yang membantu penulis dalam bertukar pikiran. Teman-teman di Ilmu Ekonomi 41, teman-teman di Ginastri, temanteman satu bimbingan, teman-teman di HIPOTESA 2007 khususnya Discussion and Analysis (DnA) Division, HMI Komisariat FEM, SES-C, dan pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Akhirnya penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang selalu memberikan doa dan dukungan. Kakak-kakak penulis, Selvi A., Shandy Y.N., dan Fahrizal sebagai motivator dan teladan bagi penulis, serta keluarga besar. Segala kesalahan yang terjadi pada skripsi ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Saran serta kritik yang bertujuan untuk memperbaiki kekurangan yang ada sangat penulis harapkan. Akhirnya semoga skripsi ini bermanfaat serta menambah pengetahuan kita.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ v
I.
PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................ 1 Perumusan Masalah ................................................................................ 3 Tujuan ..................................................................................................... 5 Manfaat Penelitian ................................................................................. 6 Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................... 6
II.
TINJAUAN STUDI TERDAHULU Penelitian Mengenai Pertumbuhan Kota dan Primate City .................... 7 Penelitan Mengenai Distribusi Ukuran Perkotaan dengan Rank Size Rule ................................................................................ 9
III. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teori ....................................................................... 11 Definisi Wilayah ..................................................................................... 11 Definisi Kota dan Perkotaan .................................................................... 12 Central Place Theory ............................................................................... 13 Ukuran KotaDistribusi Ukuran Kota ....................................................... 18 Determinan Distribusi Ukuran Perkotaan ................................................ 19 Metode Panel Data ................................................................................... 24 3.2.Kerangka Pemikiran Operasional ................................................... 34
IV. METODE PENELITIAN 4.1.Jenis dan Sumber Data ................................................................... 37 4.2.Perumusan Model ........................................................................... 37 4.3.Metode Analisis Data ...................................................................... 39 4.4.Evaluasi Model................................................................................ 40 4.5.Definisi Operasional........................................................................ 44 V.
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Distribusi Ukuran Perkotaan di Indonesia............. 47 5.2. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Distribusi Ukuran Perkotaan ......................................................................................... 52 5.3. Implikasi Kebijakan ....................................................................... 66
VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan .............................................................................................. 70 Saran ........................................................................................................ 70
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 72 LAMPIRAN ................................................................................................. 74
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Penduduk Perkotaan di Indonesia Tahun 1980, 1990, 2000 dan 2005 ............................................................................................
1
2. Kerangka Identifikasi Autokorelasi ............................................
43
3. Distribusi Ukuran Perkotaan di Indonesia Tahun 1995, 2000 dan 2005 .....................................................................................
49
4. Distribusi Ukuran Perkotaan di Indonesia Menurut Prediksi Rank-Size Rule Tahun 1995, 2000 dan 2005 ..............................
50
5. Hasil Uji Hausman .....................................................................
60
6. Estimasi Pengaruh Karakteristik Wilayah Terhadap Distribusi Ukuran Perkotaan dengan Pendekatan Efek Tetap Pembobotan dan White Cross Section Covariance .........................................
61
7. Nilai Koefisian Intersep Pengaruh Karakteristik Wilayah terhadap Distribusi Ukuran Perkotaan ........................................
66
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Kontribusi Sektoral Terhadap PDB Indonesia.................................. 2.
Distribusi Penduduk Perkotaan pada 5 Pulau Utama di Indonesia Tahun 1995, 2000 dan 2005 ............................................................
2 5
3.
Perkembangan Pusat Pelayanan ..................................................
14
4.
Model Sistem K = 7 ....................................................................
15
5.
Distribusi Ukuran Kota dengan Model Central Place ................
16
6.
Grafik Estimasi dengan Pendekatan Pooled Least Square .........
27
7.
Grafik Estimasi dengan Pendekatan Within Group Estimator....
29
8.
Skema Kerangka Pemikiran dan Alur Penelitian ........................
36
9.
Nilai Eksponen Pareto Indonesia Tahun 1995, 2000 dan 2005 ..
51
10. Nilai Rata-rata Eksponen Pareto 5 Pulau Utama Tahun 1995, 2000 dan 2005 ............................................................................................
52
11.
Nilai Eksponen Pareto Menurut Provinsi Tahun 1995, 2000 dan 2005 ..................................................................................................
53
Tingkat Kepadatan Jalan Provinsi Tahun 1995, 2000 dan 2005 ............................................................................................
54
13.
Tingkat Penghematan Urbanisasi Tahun 1995, 2000 dan 2005 ..
55
14.
Tingkat Penghematan Lokalisasi Tahun 1995, 2000 dan 2005 ..
56
15.
Tingkat Penghematan Spesialisasi Tahun 1995, 2000 dan 2005
56
12.
16. 17. 18.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Perkotaan Tahun1995, 2000 dan 2005 ............................................................................................ Tingkat Pendapatan per Kapita Tahun 1995, 2000 dan 2005 .....
57 58
Persentase Pengeluaran Pembangunan terhadap Penerimaan Total Pemerintah Provinsi Tahun 1995, 2000 dan 2005 ............................ 58
19.
Jumlah Kota/Kabupaten Tahun 1995, 2000 dan 2005 ...............
59
20.
Tingkat Keterbukaan Wilayah Tahun 1995, 2000 dan 2005 .........
59
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Grafik Ukuran Perkotaan Aktual dan Ukuran Perkotaan Prediksi Rank-Size RuleTahun 1995, 2000 dan 2005 .................
75
2. Distribusi Ukuran Perkotaan Aktual Tahun 1995, 2000 dan 2005 ......................................................................................
77
3. Nilai Eksponen Pareto Provinsi Tahun 1995, 2000 dan 2005 ...
90
4. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Distribusi Ukuran Perkotaan dengan Pengujian Hausman ..........................
91
5. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Distribusi Ukuran Perkotaan dengan Pendekatan Fixed Effect, Pembobotan dan White Cross Section Covariance ..........................................
92
6. Uji Kenormalan ...........................................................................
93
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kawasan perkotaan terus mengalami perkembangan yang pesat dalam pertumbuhan populasi penduduknya. Secara kuantitatif, data menunjukkan bahwa jumlah penduduk perkotaan di Indonesia mengalami pertumbuhan dari sekitar 32.8 juta atau 22.3 persen total penduduk nasional pada tahun 1980, meningkat menjadi 55.4 juta atau 30.9 persen di tahun 1990, dan 86.6 juta atau 42 persen pada tahun 2000. Pada tahun 2025 diperkirakan 68.3 persen penduduk Indonesia akan mendiami kawasan perkotaan1. Tabel 1. Penduduk Perkotaan di Indonesia Tahun 1980, 1990, 2000 dan 2005 Pertumbuhan (dalam persen) Jumlah penduduk (dalam juta jiwa) 1980 1990 2000 2005 1980-1990 1990-2000 2000-2005 Total 147.0 179.2 206.2 219.2 2.2 1.5 0.6 Perkotaan 32.8 55.4 6.6 105.8 6.9 5.6 2.2 Sumber: Sensus Penduduk (SP) 1980, 1990, 2000 dan Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2005
Tabel 1 memperlihatkan selama kurun waktu sepuluh tahun (1980-1990), angka pertumbuhan penduduk perkotaan sebesar 6.9 persen per tahun. Itu berarti jauh lebih tinggi daripada angka pertumbuhan penduduk secara nasional, yaitu 2.2 persen per tahun. Demikian juga pada periode 1990-2000, angka pertumbuhan penduduk perkotaan mencapai 5.6 persen per tahun yang juga melebihi pertumbuhan penduduk nasional yang hanya sebesar 1.5 persen per tahun. Pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi tersebut disebabkan oleh tiga faktor yaitu pertambahan jumlah penduduk yang secara alami terjadi melalui proses kelahiran, migrasi penduduk dari pedesaan ke perkotaan dan adanya
1
BPS, BAPPENAS dan UNFPA dalam Proyeksi Penduduk Indonesia 2000-2025
perubahan status kawasan pedesaan menjadi perkotaan. Para ahli kependudukan memperkirakan bahwa pertumbuhan penduduk di kawasan perkotaan terutama akibat dari migrasi penduduk ke kawasan ini serta adanya perubahan status pedesaan menjadi perkotaan. Besarnya arus migrasi penduduk ke kawasan perkotaan dan perubahan kawasan pedesaan menjadi perkotaan, tidak terlepas dari bentuk pembangunan yang memperlihatkan besarnya peranan perkotaan dalam aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi yang digerakkan dari kawasan ini merupakan tulang punggung pembangunan Indonesia dan memberikan kontribusi yang besar dalam pertumbuhan ekonomi. Hal ini dicerminkan oleh besarnya kontribusi sektorsektor sekunder dan sektor tersier, terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). 100 Persentase
80 PRIMER
60
SEKUNDER 40
TERSIER
20 0
1970 1
1980 2
1990 3
2000 4
2005 5
Tahun
Gambar 1. Kontribusi Sektoral Terhadap PDB Indonesia2
Gambar 1 memperlihatkan kontribusi sektor-sektor ekonomi terhadap PDB. Jika pada tahun 1960, sektor sekunder hanya memberikan kontribusi sebesar 15.05 persen maka kemudian pada tahun 2000 kontribusi itu meningkat hingga hampir setengah dari komposisi PDB.
2
Tahun 1970-2000: www.publication.worldbank.org/wdi dan tahun 2005: BPS
Sektor sekunder dan tersier merupakan sektor yang memiliki pengaruh terbesar dalam perekonomian Indonesia. Naik atau turun produktivitas pada kedua sektor ini memberikan efek yang meluas bagi perekonomian. Seperti yang terjadi pada tahun 1997. Akibat guncangan yang terjadi pada ekonomi perkotaan berdampak besar bagi perekonomian Indonesia. Keberadaan berbagai kegiatan ekonomi baik sekunder maupun tersier serta fungsi-fungsi pelayanan yang lebih memadai menimbulkan daya tarik bagi penduduk untuk bermigrasi ke kawasan ini. Pada sisi lain, pengelompokan kegiatan, fasilitas dan penduduk serta berpusatnya berbagai keputusan yang menyangkut publik merupakan faktor yang menarik bagi kegiatan ekonomi (Prabatmodjo, 2000). Hal ini merupakan akibat dari pertimbangan para pelaku ekonomi, akan pentingnya kedekatan secara spasial untuk menghasilkan efisiensi yang mempengaruhi penentukan lokasi usaha maupun tempat tinggal. Perkotaan memiliki nilai strategis dalam perkembangan suatu negara. Perkotaan tidak hanya berperan sebagai pemusatan penduduk serta berbagai fungsi sosial, ekonomi, politik dan administrasi, tetapi juga potensial sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan pada tingkat nasional dan regional (Prabatmodjo, 2000). Oleh karena itu, perkembangan perkotaan perlu dicermati.
1.2.
Perumusan Masalah Dalam tinjauan teori ekonomi regional, besarnya kota-kota dapat
ditentukan dengan cara merangking pusat-pusat yang bersangkutan menurut jumlah penduduknya atau yang dikenal dengan rank-size rule. Rank size rule menggambarkan distribusi ukuran perkotaan pada suatu wilayah mengikuti pola
tertentu yang ditunjukkan oleh suatu nilai pareto (eksponen pareto). Penelitian yang pernah mengestimasi nilai pareto ini menunjukkan bahwa negara-negara di kawasan Amerika Utara dan Eropa memiliki nilai pareto yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara di kawasan lainnya, artinya negara-negara di Amerika Utara dan Eropa cenderung memiliki distribusi ukuran perkotaan yang lebih merata dibandingkan kawasan lainnya. Hal ini menimbulkan tanda tanya yaitu apakah distribusi ukuran perkotaan yang relatif lebih merata berkaitan dengan karakteristik yang dimiliki kedua kawasan tersebut, mengingat keduanya relatif memiliki karakteristik yang hampir sama?. Bagaimana dengan distribusi ukuran perkotaan di Indonesia? Pada kurun waktu 1995 hingga 2005 tidak mengherankan Pulau Jawa mendominasi populasi penduduk perkotaan dengan proporsi yang terus meningkat. Gambar 2 memperlihatkan sebanyak lebih dari setengah penduduk perkotaan di Indonesia berada di Pulau Jawa. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa penduduk perkotaan di Indonesia semakin terkonsentrasi pada pulau ini. Hasil SUPAS 1995 memberikan gambaran mengenai pertumbuhan penduduk perkotaan yang semakin terkonsentrasi tidak hanya terjadi antar pulau, tapi juga semakin terkonsentrasi pada daerah tertentu. Sebagian besar penduduk yang pindah selama lima tahun terakhir ke kota-kota besar berasal dari kawasan perkotaan, sedangkan sisanya berasal dari pedesaan3. Sebagai contoh, migran yang masuk ke DKI Jakarta selama periode 1990-1995, 61.7 persen berasal dari perkotaan. Pola yang sama juga terlihat di Kota Medan, Bandung, dan Surabaya,
3
S.G Made Mamas (2000): Proyeksi Penduduk Kota Kota di Indonesia Periode 1995 - 2005
dimana migran masuk yang berasal dari perkotaan masing-masing 70.9 persen, 62. 4 persen, dan 53.2 persen. 100 Persentase
80
68.168.568.7 Series1 1995
60
Series2 2000
40 17.216.916.1
20
5 4.6 4.9
5.2 4.8 4.9
4.6 5.3 5.5
Series3 2005
0 1 Jawa
2 Sumatera
3 Kalimantan
4 Sulawesi
5 Lainnya
Pulau Utama
Sumber: SP 2000 dan SUPAS 1995 dan 2005
Gambar 2. Distribusi Penduduk Perkotaan pada 5 Pulau Utama di Indonesia Tahun 1995, 2000 dan 2005 (dalam persentase) Perkembangan perkotaan yang seperti ini mengindikasi pertumbuhan yang tidak paralel, dimana kota-kota besar cenderung untuk tumbuh lebih cepat dari kota-kota di bawahnya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran munculnya eksternalitas negatif pada pertumbuhan perkotaan di Indonesia, yang pada awalnya diharapkan mampu mendorong efisiensi dalam perekonomian regional justru berjalan kearah yang sebaliknya. Pada tahap lanjut, dekonsentralisasi menjadi lebih efisien karena dua hal (Henderson, 2000). Pertama, perekonomian telah mampu memperluas jangkauan infrastruktur dan sumberdaya pengetahuan sampai ke daerah pinggiran. Kedua, daerah dengan konsentrasi diawal yang tinggi berubah menjadi biaya tinggi dan lokasi-lokasi yang dipenuhi dengan kemacetan sehingga menimbulkan disefisiensi bagi produsen dan konsumen.
1.3
Tujuan Penduduk perkotaan yang digunakan untuk mengestimasi ukuran
perkotaan suatu wilayah di Indonesia terlihat cenderung terkonsentrasi pada daerah tertentu. Berdasarkan permasalahan tersebut tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah: 1.
Mengkaji apakah rank-size rule berlaku di Indonesia.
2.
Mengidentifikasi distribusi ukuran perkotaan di Indonesia.
3.
Menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
distribusi
ukuran
perkotaan di Indonesia.
1.4
Manfaat Penelitian Dengan memahami distribusi ukuran perkotaan di Indonesia diharapkan
hasil dari penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan untuk mengatur dan mengelola tingkat pertumbuhan perkotaan dan distribusinya, sehingga dapat mengurangi dampak negatifnya terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menggunakan data 25 provinsi di Indonesia tahun 1995,
2000 dan 2005. Jumlah unit cross section yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti jumlah provinsi yang ada pada tahun awal penelitian (1995) dikurangi Timor-Timor serta Provinsi DKI Jakarta yang dimasukkan ke dalam Provinsi Jawa Barat. Provinsi yang baru lahir akibat proses pemekaran wilayah setelah tahun 2000 dimasukkan ke dalam provinsi sebelum pemekaran dilakukan.
II. TINJAUAN STUDI TERDAHULU
2.1 Penelitan Mengenai Pertumbuhan Kota dan Primate City Penelitian mengenai distribusi ukuran perkotaan tidak dapat terlepas dari penelitian mengenai pertumbuhan kota dan primate city. Junius (1999) dalam ”Primacy and Economic Development: Bell Shaped or Parallel Growth of Cities” mengidentifikasi
pola
pertumbuhan
kota,
apakah
membentuk
primasi
(terkonsentrasi) ataukah tumbuh secara paralel. Junius (1999) menggunakan data penduduk perkotaan pada 70 negara. Rasio primasi diestimasi dengan membagi populasi kota terbesar terhadap total populasi perkotaan. Berdasarkan hubungan antara tingkat primasi dan pembangunan ekonomi yang diperoleh dari kurva bell shaped, Junius (1999) menyimpulkan bahwa indeks primasi pada suatu negara berhubungan erat dengan faktor sejarah. Negara yang sudah lama merdeka cenderung memiliki konsentrasi perkotaan yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara yang baru merdeka. Kondisi sistem transportasi yang ada juga turut mempengaruhi konsentrasi perkotaan, sedangkan keterbukaan ekonomi dan kebebasan politik memberikan pengaruh yang kurang signifikan. Menggunakan metode GMM, Henderson (2000) dalam ”The Effect of Urban Concentration in Economic Growth” mengidentifikasi determinan dari konsentrasi perkotaan dengan menggunakan data 80 negara-negara di dunia tahun 1960 hingga 1995 (interval 5 tahun). Henderson (2000)
menjelaskan bahwa
konsentarasi perkotaan pada suatu wilayah meningkat seiring dengan kenaikan pendapatan. Ketika pendapatan meningkat, kemudian terjadi peningkatan
kepadatan
jalan
menyebabkan
berkurangnya
tingkat
primasi
secara
signifikan. Faktor perdagangan internasional dan tingkat desentralisasi politik menyebabkan berkurangnya konsentrasi penduduk perkotaan di wilayah tertentu. Prabatmodjo (2000) mengidentifikasi perkembangan urbanisasi di Indonesia dengan menggunakan data tahun 1971 dan 1980. Dalam tulisannya yang berjudul “Perkotaan Indonesia pada Abad ke-21: Menuju Urbanisasi Menyebar?” menyatakan secara umum kota-kota besar memiliki kontribusi tinggi dalam pertambahan penduduk perkotaan. Distribusi perkotaan di Indonesia relatif seimbang dengan tingkat primasi yang relatif rendah. Bentuk kepulauan, yang menghasilkan rintangan ruang yang signifikan, lebih memungkinkan berkembangnya kota-kota di luar Jawa serta menghindarkan tingkat primasi yang berlebihan. Meskipun demikian, Jawa memiliki lebih banyak kota dengan penduduk diatas sepuluh ribu jiwa dibandingkan dengan pulau lain. Indonesia secara umum telah masuk pada tahap advanced primate city yaitu kota-kota metropolitan sudah mulai jenuh karena keterbatasan ruang. Di lain pihak, kota-kota menegah mulai meningkat perannya sebagai konsentrasi penduduk. Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kota di Indonesia pernah dilakukan oleh Mulatip dan Brodjonegoro (2002), dengan menggunakan data tahun 1990 yang mencakup 56 kota. Penelitiannya yang berjudul “Determinan Pertumbuhan Kota”, pertumbuhan kota diestimasi dengan pertumbuhan jumlah angkatan kerja dan pertumbuhan jumlah penduduk. Dengan menggunkan analisi regresi, Mulatip dan Brodjonegoro (2002) menyimpulkan bahwa kepadatan penduduk, spesialisasi ekonomi mempengaruhi pertumbuhan
kota secara negatif. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kota secara positif ditunjukkan oleh tingkat penghematan karena urbanisasi, tingkat penghematan karena lokalisasi dan tingkat pendidikan penduduk.
2.2. Penelitan Mengenai Distribusi Ukuran Perkotaan dengan Rank Size Rule Duranton (2002) menyatakan dalam “City Size Distribution As a Consequence of Growth Process” bahwa ukuran distribusi penduduk di banyak negara mengikuti suatu pola yang umum. Beberapa teori mengenai distribusi ukuran kota
memungkinkan menghitung pola tersebut dengan menggunakan
mekanisme ekonomi seperti adanya penghematan karena agglomerasi dan biaya kepadatan. Duranton (2002) menyimpulkan bahwa inovasi merupakan mesin penggerak dibalik tumbuh atau tidaknya kota. Kota tumbuh atau tidak sejalan dengan berhasil atau gagalnya industri-industri yang ada di dalamnya dalam melakukan inovasi. Crampton (2005) menggunakan data 14 negara di Eropa mengestimasi tingkat primasi dan distribusi ukuran perkotaan dengan penerapan rank-size rule. Dalam penelitiannya yang berjudul ”The Rank Size Rule in Europe”, Crampton (2005) menyimpulkan bahwa negara yang memiliki pemerintahan relatif keras (strong) dan memiliki sejarah regional city-state memiliki pola distribusi ukuran perkotaan yang anti-primate. Penelitian mengenai rank-size rule masih sangat terbatas. Penelitian yang dilakukan Rossen dan Resnick (1980) yang berjudul “The Size Distribution of Cities: An Examination of Pareto Law and Primacy” merupakan penelitian yang cukup penting. Rossen dan Resnick (1980) mengidentifikasi distribusi ukuran
kota pada 44 negara di dunia dengan menggunakan data tahun 1970. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa nilai eksponen pareto berkisar antara 0.88 hingga 1.96. Hasil ini membuktikan bahwa secara empiris ukuran kota selalu lebih besar ataupun lebih kecil dari ukuran kota yang diprediksi rank-size rule. Soo (2002) memperbarui penelitian Rossen dan Resnick (1980) dengan menambah jumlah negara yang diteliti menjadi 73 negara (salah satunya Indonesia). Dalam penelitiannya yang berjudul ”Zipf’s Law for Cities: A Cross Country Investigation” menggunakan dua definisi kota yaitu menggunakan pendekatan kota menurut definisi administratif dan kota menurut konsep agglomerasi. Distribusi ukuran kota pada suatu negara dapat diestimasi dengan sebuah nilai eksponen pareto yang diperoleh dari rumusan rank-size rule. Nilai ini diestimasi dengan dua pendekatan yaitu regresi OLS dan Hill Estimator. Soo (2002) juga meneliti faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan dalam nilai pareto ini antar negara. Hasil estimasi nilai pareto terbesar dipegang oleh Kuwait yaitu sebesar 1.719. Nilai pareto ini berasosiasi dengan banyaknya kota-kota kecil dan tidak adanya kota primasi di Kuwait. Hasil investigasi terhadap 6 benua utama menghasilkan bahwa secara rata-rata, negara-negara di Kawasan Eropa, Amerika Utara dan Oceania memiliki nilai pareto diatas 1.2, sedangkan negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin memiliki rata-rata nilai pareto dibawah 1.1. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi ukuran kota yang dilakukan Soo (2002) menunjukkan bahwa faktor ekonomi politik seperti kebebasan sipil, pengeluaran pemerintah, keterlibatan pada perang dunia dan usia
negara tersebut merdeka, lebih baik dalam menjelaskan perbedaan dalam nilai pareto dibandingkan dengan faktor ekonomi geografi seperti derajat skala ekonomi, biaya transportasi, nilai tambah produk non pertanian dan perdagangan internasional.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Definisi Wilayah Teori
ekonomi
regional
memberikan
tekanan
akan
pentingnya
memasukkan dimensi lokasi dalam menganalisis masalah-masalah ekonomi. Dalam menerangkan unsur lokasi tersebut, teori ekonomi regional memakai konsep region (wilayah). Konsep wilayah mempunyai tiga macam pengertian, yaitu (Adisasmita, 2005): 1. Konsep Homogenitas Wilayah homogen diartikan sebagai suatu konsep yang menganggap bahwa wilayah-wilayah geografis dapat dikaitkan bersama-sama sehingga dapat dipandang sebagai sebuah wilayah tunggal. Ciri atau karakteristik tersebut dapat bersifat ekonomi, geografis, dan dapat bersifat sosial atau politis. Misalnya konsep homogenitas berdasarkan kesamaan pendapatan per kapita, kesamaan kepribadian masyarakat yang khas, kesamaan topografi wilayah, ataupun kesamaan sejarah, budaya dan sebagainya. 2.
Konsep Nodalitas Wilayah dibedakan atas perbedaan struktur tata ruang dimana terdapat hubungan saling ketergantungan yang bersifat fungsional. Keadaan ini dapat dibuktikan dengan mobilitas penduduk, arus produksi dan arus barang, pelayanan ataupun arus komunikasi dan transportasi. Hubungan saling keterkaitan ini terlihat pada hubungan antara pusat dengan wilayah belakangnya (inti dengan hinterland).
3. Konsep Administrasi atau Wilayah Program Pengelompokan yang dilakukan berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan, dimana batas-batas daerah ditentukan oleh struktur administrasi pemerintahan tertentu. Wilayah perencanaan merupakan suatu wilayah pengembangan, dimana program-program pembangunan dilaksanakan. Penelitian ini menggunakan definisi wilayah menurut konsep administrasi. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan data yang dikumpulkan berdasarkan wilayah administrasi.
3.1.2. Definisi Kota dan Perkotaan Pendefinisian tentang kota tidak selalu tepat dan tergantung pada pendekatannya. Pendekatan dari segi ekonomi melihat kota sebagai pusat pertemuan lalu lintas ekonomi, perdagangan, kegiatan industri serta tempat perputaran uang yang bergerak dengan cepat dan dalam volume yang banyak (Marbun, 1994). Dalam konteks administrasi pemerintahan di Indonesia, kota adalah pembagian wilayah administratif setelah provinsi. Selain kota, pembagian wilayah administratif setelah provinsi adalah kabupaten. Berbeda dengan definisi kota secara administratif, definisi perkotaan menurut BPS yaitu wilayah yang memiliki kepadatan penduduk mencapai 5 ribu jiwa atau lebih per kilometer persegi, jumlah rumah tangga dengan pola usaha pertanian maksimum 25 persen dan menunjukkan adanya delapan atau lebih jenis fasilitas perkotaan, seperti sekolah, pasar, rumah sakit, jalan aspal dan listrik. Baik kabupaten maupun kota (dalam pengertian administrasi) memiliki wilayah perkotaan. Adanya keunggulan komparatif, skala ekonomi dalam produksi dan
agglomerasi ekonomi pada suatu wilayah, membentuk suatu tekanan pasar sehingga terbentuk wilayah dengan ciri-ciri perkotaan (Sullivan, 2000). Dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa kawasan perkotaan dapat dibedakan atas empat hal, yaitu: (a)
Kawasan perkotaan yang berstatus administratif kota.
(b)
Kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari daerah kabupaten.
(c)
Kawasan perkotaan baru yang merupakan hasil pembangunan yang mengubah kawasan perdesaan menjadi kawasan perkotaan.
(d)
Kawasan perkotaan yang menjadi bagian dari 2 atau lebih daerah yang berbatasan sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi dan fisik perkotaan.
3.1.3. Central Place Theory Walter Christaller memperkenalkan sebuah teori yang dikenal sebagai Central Place Theory. Teori ini menjelaskan mengenai bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya dalam satu wilayah (Priyarsono, Sahara dan Firdaus, 2007). Teori central place memiliki tiga konsep fundamental yaitu konsep ambang batas (threshold), lingkup (range) dan hierarki (Richardson dalam Adisasmita, 2005). 1. Ambang Batas (Threshold) Suatu pusat memiliki ambang batas tertentu dalam memberikan pelayanan. Sebuah pusat yang kecil akan memberikan penawaran pelayanan yang lebih terbatas jika dibandingkan dengan pusat yang lebih besar. Tidak mudah untuk mengukur ambang batas. Untuk mengukur ambang batas digunakan jumlah orang yang membutuhkannya.
2.
Lingkup (range) Keberadaan ambang batas suatu pusat menimbulkan jangkauan pelayanan. Lingkup (range) digambarkan sebagai area (luas jangkauan area yang dilayani) dari kepusatan suatu pusat. Jangkauan ini dapat juga dianalogikan sebagai asal konsumen yang diukur dari jarak tempat tinggal pembeli menuju ke pusat pelayanan tempat konsumen membeli barangnya. Jangkauan pelayanan dipengaruhi oleh harga barang, biaya transportasi, tingkat kebutuhan terhadap barang yang akan dibeli, selera konsumen, dan kesempatan memilih.
3.
Hierarki Hasil penelitian Christaller menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan penduduk membentuk hierarki pelayanan, dengan sebuah pusat utama yang didukung oleh beberapa pusat pelayanan dengan skala yang lebih rendah. Hubungan antara ambang batas, lingkup dan hierarki dapat dijelaskan
dalam suatu sistem geometri dimana angka tiga yang diterapkan secara arbiter memiliki peran yang sangat berarti, sehingga disebut sistem k=3 dari Christaller (Priyarsono, et.al., 2007).
A
B
Sumber: Hoover dan Giarratani, 2002
Gambar 3. Perkembangan Pusat Pelayanan
C
Mula-mula terbetuk area perdagangan yang berbentuk lingkaran-lingkaran. Setiap lingkaran memiliki pusat dan menggambarkan ambang batas masingmasing dengan jangkauan yang tidak tumpang tindih serta terdapat area yang tidak terlayani (Bagian A Gambar 3). Kemudian muncul adanya kompetisi yang mengakibatkan perebutan jangkauan pelayanan. Hal tersebut mengakibatkan adanya penciutan jangkauan sebagaimana yang tercipta sebelumnya (Bagian B Gambar 3). Dengan tumpang tindihnya area perdagangan mengakibatkan jangkauan pelayanan yang semula berupa lingkaran mengalami penyesuaian sehingga berbentuk heksagonal (Bagian C Gambar 3).
Sumber: Priyarsono, et al., 2007
Gambar 4. Model Sistem K = 7 Christaller melihat sistem k=3 menjadi tidak realistik dan berinovasi menggunakan K=7, dimana pusat dari beberapa wilayah yang lebih rendah berada di dalam heksagonal dari pusat yang lebih tinggi (Gambar 4). Ia kemudian mengaitkan teorinya ini dengan susunan orde perkotaan. Kota yang dapat memberikan pelayanan yang besar dan beragam dinyatakan sebagai kota orde I, sedangkan makin rendah pelayanan yang tersedia maka orde kotanya juga semakin rendah (Priyarsono, et.al., 2007).
25000
Size
20000 15000 10000 5000 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Rank
Sumber: Sullivan (2000)
Gambar 5. Distribusi Ukuran Kota dengan Model Central Place Central Place Theory mengidentifikasi pengaruh kekuatan pasar terhadap terbantuknya hierarki sistem perkotaan. Hal ini menjelaskan mengapa ada kota yang lebih besar dari yang lain (Sullivan, 2000). Gambar 5, menunjukkan ukuran distribusi kota-kota dalam suatu wilayah. Garis tegak lurus menunjukkan populasi
kota (populasi) dan garis mendatar
menunjukkan peringkat (rank) kota. Kota terbesar (orde I) memiliki populasi 20.000 jiwa, kota orde II memiliki populasi 10.000 jiwa, kota orde III memiliki populasi 5000 jiwa. Secara total, wilayah ini terdapat 11 kota dengan rincian terdapat sebuah kota berpopulasi 20.000 jiwa, dua buah kota berpopulasi 10.000 jiwa dan 8 kota berpopulasi 5.000 jiwa. Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa distribusi ukuran kota dalam suatu wilayah menunjukkan semakin tinggi orde suatu kota maka jumlahnya akan semakin sedikit. Penelitian Chritaller diawali dengan menetapkan beberapa asumsi, yakni: 1.
Daerah yang akan menjadi wilayah penelitian merupakan wilayah yang homogen, datar, dan penduduk dapat mencapai semua arah tanpa hambatan.
2.
Pelanggan bertindak rasional serta memiliki daya beli yang sama dan tersebar secara merata pada seluruh daerah. Mereka hanya akan membeli barang dari pusat yang terdekat dari tempat tinggalnya (prinsip minimisasi biaya). Beberapa ahli telah menyampaikan kritik terhadap Teori Central Place ini,
antara lain penggunaan asumsi bahwa keadaan penduduk adalah homogen, termasuk tindakan yang mengabaikan kebutuhan individu. Walaupun terdapat kelemahan-kelemahan pada teori ini, namun teori Central Place tetap memberikan sumbangan yang berarti untuk memahami pola dan keteraturan keruangan serta hirarki pusat pelayanan.
3.1.4. Ukuran Kota Pada dunia nyata, model hierarki sistem perkotaan dalam teori central place dirumuskan dalam bentuk rank-size rule, dimana ukuran besarnya kota-kota dapat ditentukan dengan cara merangking pusat-pusat yang bersangkutan menurut jumlah penduduknya (Adisasmita, 2005). Rumusan ini pertama kali diperkenalkan oleh Auerbach pada tahun 1913 (Gabaix dan Ionnides, 2003). Rank-size rule menggambarkan hubungan antara ukuran populasi kota dan peringkatnya dengan bentuk yaitu: Rank x Size = Constant
(3.1.4.1)
atau Rank =
Constant Size
(3.1.4.2)
dimana rank adalah peringkat kota ke-n, size adalah ukuran kota ke-n dan constant adalah ukuran kota terbesar. Misalkan, populasi penduduk di kota terbesar adalah 16 juta maka rank-size rule menduga bahwa populasi penduduk di
kota terbesar kedua adalah setengah dari populasi penduduk di kota terbesar pertama, dan populasi penduduk di kota terbesar ke-n adalah seper-n kali dari populasi
penduduk
di
kota
besar
pertama.
Penelitian
secara
empiris
menyimpulkan bahwa ukuran kota-kota secara nyata selalu lebih besar ataupun lebih kecil dari prediksi rank-size rule.
3.1.5. Distribusi Ukuran Kota Rank-size rule dapat dengan tepat memprediksi ukuran kota-kota, jika pangkat dari size sama dengan 1. Pada perkembangan secara empiris, nilai ini bervariasi di setiap wilayah, sehingga rumus ini menjadi: Constant Size α
Rank =
(3.1.5.1)
dimana nilai α atau yang dikenal sebagai eksponen pareto, menunjukkan distribusi ukuran kota suatu wilayah. Persamaan tersebut dapat ditransformasi ke dalam bentuk persamaan log menjadi: log Rank = log Constant – α log Size
(3.1.5.2)
Jika nilai α semakin mendekati tak hingga, maka semua kota pada wilayah tersebut memiliki ukuran yang sama. Persamaan diatas lebih dikenal sebagai Zipf’s Law. Perkembangan penelitian mengenai distribusi ukuran kota dengan penerapan rank-size rule seringkali menggunakan populasi penduduk pada kawasan perkotaan, seperti pada Junius (1999), Duranton (2000), Crampton (2005). Dalam tinjauan ekonomi perkotaan, jumlah penduduk pada kawasan perkotaan menggambarkan ukuran perkotaan (Sullivan, 2000). Distribusi ukuran perkotaan menggambarkan bagaimana penduduk perkotaan tersebar pada suatu wilayah sehingga membentuk peringkat tertentu.
3.1.6. Determinan Distribusi Ukuran Perkotaan Pada awalnya semua wilayah memiliki tingkat pembangunan yang sama, namun masing-masing berbeda dalam karakteristik dasarnya. Tiap-tiap wilayah memiliki kekuatan yang berbeda dalam mendukung tiap bagian dalam wilayahnya, menyebabkan terbentuklah suatu sistem kota kewilayahan (regional system of cities) (Sulivan, 2000). Kota yang satu dikatakan lebih besar dari yang lain yaitu apabila ia dapat menyediakan lebih banyak barang dan jasa yang tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan internal tapi juga dapat melayani wilayah di sekitarnya. Perkembangan kota merupakan bagian integral dari perkembangan suatu wilayah ekonomi yang lebih besar (Sullivan, 2000), maka distribusi ukuran perkotaan merupakan akibat dari suatu proses pertumbuhan (Duranton, 2002). Berdasarkan hal tersebut maka distribusi ukuran perkotaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Congestion Effect Analisis pengaruh kepadatan terhadap distribusi ukuran perkotaan sangat terkait dengan sistem transportasi yang ada (Soo, 2002). Untuk mencapai suatu lokasi tertentu, seorang agen ekonomi harus mengeluarkan biaya perjalanan yang bukan hanya biaya dalam satuan moneter tapi juga biaya akibat lamanya perjalanan. Jika diasumsikan biaya per satuan jarak adalah sama, maka perbedaan biaya transportasi antara wilayah satu dengan yang lain dipengaruhi oleh biaya akibat lamanya perjalanan. Untuk mengestimasi pengaruh kondisi trasportasi terhadap distribusi ukuran perkotaan yaitu dengan menggunakan tingkat kepadatan jalan.
Kepadatan Jalan =
Panjang Jalan Luas Wilayah
(3.1.6.1)
Ketika tersedia sistem transportasi yang memadai, maka biaya perjalanan dapat lebih rendah, hal tersebut menyebabkan penduduk akan lebih tersebar. Peningkatan kepadatan jalan berpengaruh positif terhadap distribusi ukuran perkotaan.
2. Efek Penghematan Agglomerasi Penghematan agglomerasi merupakan eksternalitas secara geografi dalam aktivitas perekonomian. Semakin besar aktivitas perekonomian di suatu lokasi tertentu akan membuat industri atau tenaga kerja akan berpindah ke lokasi tersebut.
Agglomerasi
menyebabkan
pertumbuhan
pada
suatu
wilayah
terkonsentrasi pada suatu daerah. Agglomerasi secara umum dikelompokkan menjadi dua, yaitu penghematan karena lokalisasi dan urbanisasi (Sullivan, 2000). Bradley dan Gans (1998) menambah jenis agglomerasi dengan penghematan karena spesialisasi. 2.1. Penghematan Urbanisasi Agglomerasi ini ditandai dengan pengelompokkan berbagai macam industri pada lokasi yang sama. Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya pemusatan tenaga kerja yang mempunyai keahlian beragam dan dengan demikian akan mudah terjadinya pelimpahan pengetahuan. Selain itu, industri juga dapat memanfaatkan skala ekonomi dalam pengadaan barang dan jasa yang digunakan sebagai input antara. Efek urbanisasi ekonomi terhadap distribusi ukuran perkotaan diestimasi dengan indeks primasi, yaitu kekuatan daya tarik kota terbesar pada suatu wilayah terhadap daerah-daerah di sekitarnya. Semakin tinggi nilai indeks primasi maka
wilayah tersebut memiliki persebaran penduduk yang cenderung berkumpul pada suatu daerah tertentu, sehingga peningkatan tingkat primasi pada suatu wilayah berpengaruh negatif terhadap distribusi ukuran perkotaan.
2.2 Penghematan Lokalisasi Penghematan lokalisasi merupakan penghematan yang muncul akibat pengelompokan berbagai perusahaan dalam industri yang sama di satu lokasi. Dengan berada di satu lokasi maka produktivitas dapat meningkat melalui tersedianya input antara sehingga terjadi skala ekonomi dalam produksi (scale economies in production), kesesuaian pasar tenaga kerja (labor market pooling) dan terjadinya aliran pengetahuan antar perusahaan yang akhirnya dapat mendorong terjadinya pengembangan inovasi (knowledge spillovers). Semakin tinggi tingkat lokalisasi pada suatu wilayah maka wilayah tersebut akan cenderung tumbuh dengan konsentrasi pada daerah tertentu, sehingga tingkat lokalisasi yang tinggi akan berpengaruh negatif terhadap distribusi ukuran perkotaan. 2.3. Penghematan Spesialisasi Spesialisasi
ini
berhubungan
dengan
komposisi
sektoral
dalam
perekonomian. Spesialisasi berhubungan dengan suatu tingkat dimana suatu wilayah terkonsentrasi pada sektor produksi tertentu. Adanya spesialisasi kegiatan produksi meningkatkan produktivitas input tenaga kerja. Hal ini dipengaruhi oleh peningkatan keterampilan tenaga kerja sebagai akibat dari pekerjaan dilakukan secara berulang.
Spesialisasi ini juga menyebabkan tenaga kerja membutuhkan waktu yang relatif lebih singkat untuk berpindah dari satu tugas ke tugas lainnya (Sullivan, 2000). Semakin tinggi tingkat spesialisasi maka wilayah tersebut akan cenderung untuk tumbuh terkonsentrasi pada daerah tertentu, dan sebaliknya sehingga peningkatan tingkat spesialisasi pada suatu wilayah berpengaruh negatif terhadap distribusi ukuran perkotaan.
3. Kondisi Sumber Daya Manusia Kondisi para agen
ekonomi (SDM) pada suatu wilayah turut
mempengaruhi distribusi ukuran perkotaan, karena mereka adalah pembuat keputusan lokasi aktivitasnya dilakukan. Dalam menentukan lokasi tempat tinggalnya, sebuah rumah tangga menghadapi dua kondisi yaitu memilih sesuai selera dengan terkendala biaya. Bagi perusahaan, dalam menentukan lokasi usahanya memiliki pertimbangan tertentu dengan tujuan memaksimalkan keuntungan dengan sumber daya yang tersedia. Untuk mengestimasi pengaruh kondisi SDM pada suatu wilayah terhadap distribusi ukuran perkotaan menggunakan pendekatan pendapatan per kapita (Soo, 2002) dan tingkat partisipasi angkatan kerja yang memungkinkan adanya inisiatifinisiatif usaha baru (Duranton, 2002). Tingkat pendapatan per kapita dihitung dengan rasio PDRB total terhadap jumlah penduduk. Sedangkan tingkat partisipasi angkatan kerja dihitung dengan persentase angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja. Dengan pendapatan yang tinggi, rumah tangga dapat menentukan lokasi tempat tinggal menurut selera. Hal ini menyebabkan pendapatan berpengaruh positif terhadap distribusi ukuran perkotaan. Dengan jumlah sumber daya manusia yang melimpah, perusahaan dapat melakukan
ekspansi usaha ke setiap daerah, sehingga dengan tingkat partisipasi angkatan kerja yang besar akan berpengaruh positif terhadap distribusi ukuran perkotaan. 4. Peran Pemerintah Peran pemerintah terhadap pertumbuhan berhubungan dengan efisiensi pemerintah dalam menyediakan fasilitas publik. Untuk dapat menyediakan barang publik, pemerintah memerlukan biaya yang diperoleh dari pendapatan. Semakin besar pendapatan yang diperoleh pemerintah berkorelasi dengan semakin besarnya kemampuan pemerintah dalam menyediakan fasilitas publik. Hal ini berdampak positif terhadap distribusi ukuran perkotaan. Di Indonesia, sejak masa desentralisasi telah melahirkan daerah administrasi baru melalui prosedur pemekaran wilayah. Untuk mengestimasi situasi ini yaitu dengan menggunakan jumlah pembagian daerah administrasi kota/kabupaten dalam suatu provinsi. Semakin banyak pembagian daerah administrasi diharapkan dapat mendorong wilayah untuk tumbuh secara lebih merata. Hal ini mungkin terjadi karena penambahan daerah administrasi juga menghasilkan pusat pelayanan baru. Munculnya daerah administrasi yang baru menyebabkan cakupan pengawasan pemerintahan kota/kabupaten menjadi lebih sempit, sehingga pembangunan dapat lebih terarah. Peningkatan jumlah daerah administrasi kota/kabupaten berpengaruh positif terhadap distribusi ukuran perkotaan.
5. Keterbukaan Wilayah Dalam konsep regional menurut kesatuan ekonomi secara nasional mudah mengasumsikan suatu perekonomian tertutup, namun menjadi hampir mustahil menerapkan konsep region menurut provinsi jika mengasumsikan adanya
peekonomian tertutup. Implikasinya yaitu analisa ekonomi regional harus mengantisipasi keluar masuknya barang/jasa antar wilayah. Untuk mengestimasi tingkat keterbukaan wilayah yaitu dengan menjumlahkan nilai ekspor dan impor dan membaginya dengan PDRB Ekspor + Impor (3.1.5.1) PDRB Total Efek keterbukaan wilayah terhadap distribusi ukuran perkotaan adalah
Keterbukaan Wilayah =
positif (Soo, 2002). Hal ini mungkin terjadi jika dengan wilayah yang relatif terbuka dalam aktivitas ekonominya akan memacu masing-masing daerah untuk tumbuh.
3.1.7. Metode Panel Data Kelemahan penggunaan pendekatan cross section yaitu membutuhkan penyokong dari pendekatan time series. Sebagai contoh, analisis mengenai pertumbuhan ekonomi suatu wilayah yang ditinjau melalui pertumbuhan PDRB, tingkat investasi dan tingkat konsumsi. Jika hanya menggunakan data cross section, yang diamati hanya pada suatu saat, maka tingkat pertumbuhan wilayahwilayah tersebut antar waktu tidak dapat dilihat. Di lain sisi, penggunaan time series juga menimbulkan persoalan tersendiri melalui peubah-peubah yang diobservasi secara serentak (aggregat) dari satu unit individu dapat memberikan hasil estimasi yang bias. Berdasarkan latar belakang tersebut, dewasa ini muncul perhatian dalam penggunaan pendekatan panel data, yaitu menggunakan informasi dari kedua pendekatan tersebut (cross section dan time series). Terdapat dua keuntungan penggunaan model panel data dibandingkan data time series dan cross section saja (Verbeek, 2004). Pertama, dengan mengkombinasikan data time series dan cross section dalam panel data membuat
jumlah observasi menjadi lebih besar, dan dapat melihat perubahan peubah penjelas sepanjang dua dimensi (individu dan waktu), pendugaan yang berdasarkan panel data seringkali lebih akurat dibandingkan sumber data lain. Menurut Hsiao (2004), data panel dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar peubah, meningkatkan derajat kebebasan yang artinya meningkatkan efisiensi. Kedua, keuntungan dari penggunaan panel data adalah mengurangi masalah identifikasi. Panel data lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja. Panel data mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan metode ini estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu. Panel data juga lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Hal ini berkaitan dengan observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis. Terdapat dua pendekatan dalam metode panel data, yaitu Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Keduanya dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas. Misalkan: yit = αi + Xit β + εit
(3.1.7.1)
dan one way komponen error dispesifikasikan dalam bentuk: εit = λi + uit
(3.1.7.2)
sedangkan untuk two way, komponen error dispesifikasi dalam bentuk:
ε it = λi + µt + uit
(3.1.7.3)
dimana uit diasumsikan tidak berkorelasi dangan Xit. One way komponen error hanya memasukkan komponen error yang merupakan efek dari individu (λi), sedangakan pada two way telah memasukkan efek dari waktu (µi) ke dalam komponen error. Jadi dengan tidak adanya korelasi antara uit dan Xit , maka perbadaan antara FEM dan REM terletak pada ada atau tidaknya korelasi antara λi dan µi dengan Xit.
1. Fixed Effect Model (FEM) FEM muncul ketika antara efek individu dan periode memiliki korelasi dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam konstanta intersep, yaitu: untuk one way error component: yit = αi + λi + Xit β + uit
(3.1.7.4)
dan untuk two way error component: yit = αi + λi + µi + Xit β + uit
(3.1.7.5)
Untuk menggambarkan FEM dapat menggunakan empat pendekatan sebagai berikut: 1.1.
Pooled Least Square (PLS) Pada prinsipnya, pendekatan ini adalah menggunakan gabungan dari
seluruh data (pooled), sehingga terdapat NxT observasi, dimana N menunjukkan jumlah unit cross section yang digunakan dan T menunjukkan jumlah titik waktu yang digunakan, yang diregresikan dengan model: yit = αi + Xit β + uit
(3.1.7.6)
dimana αi bersifat konstan untuk semua observasi, atau αi = α, dan dirumuskan:
(3.1.7.7 (3.1.7.7)
(3.1.7.8)
dimana
dan Dengan mengkombinasikan atau mengumpulkan semua data cross section
dan data time series, dapat meningkatkan derajat kebebasan sehingga dapat memberikan hasil estimasi yang lebih efisien, sehingga: (3.1.7.9)
Pendekatan ini memiliki kelemahan yaitu dugaan parameter β akan bias. Hal ini ditunjukkan dari arah kemiringan (gradien) PLS yang tidak sejajar dengan garis regresi dari masing-masing masing individu.
Slop yang bias ketika fixed effect diabaikan
Gambar 6. Grafikk Estimasi dengan Pendekatan Pooled Least Square
Parameter yang bias ini disebabkan karena PLS tidak dapat membedakan observasi yang berbeda pada periode yang sama, atau tidak dapat membedakan observasi yang sama pada periode yang berbeda. 1.2. Pendekatan Within Group (WG) Estimator Pendekatan ini mengasumsikan bahwa intersep akan berbeda untuk masing-masing masing group yang berbeda, misalkan misalk diberikan:
(3.1.7.10) (3.1.7.11) dimana
dan
kurangi dengan pers (3.1.7.1), maka diperoleh:
atau (3.1.7.12) sehingga, (3.1.7.13)
Berdasarkan persamaan (3.1.7.12) terlihat bahwa FEM dengan pendekatan WG tidak memiliki konstanta intersep. Untuk mengilustrasikan bagaimana pendekatan WG bekerja dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Grafik Estimasi dengan Pendekatan Within Group Estimator Kelebihan dari WG ini adalahh dapat menghasilkan parameter β yang tidak bias, tetapi kelemahannya adalah nilai var (β ( WG) cenderung lebih besar dari var (βPLS) sehingga dugaan WG menjadi relatif lebih tidak efisien. Untuk melihat hal ini dapat dibuktikan dengan pertama, didefinisikan:
dapat dilihat bahwa:
diketahui bahwa:
sehingga, variance dari penduga β dengan pendekatan WG adalah:
=
=
Dari persamaan (3.1.7.14) dapat dilihat bahwa var(β) var( ) pada WG(3.1.7.14) lebih besar dari var(β) pada PLS pada persamaan (3.1.7.9). Kelemahan lain dari WG adalah tidak dapat mengakomodir karakteristik time-invariant pada FEM, FEM seperti terlihat dari tidak dimasukkannya konstanta intersep ke dalam model.
1.3. Least Square Dummy Variable (LSDV) Metode ini
berusaha merepresentasikan perbedaan intersep dengan
menambah dummy variable. variable. Untuk mengilustrasikan pendekatan ini misalkan diketahui persamaan awal seperti pada persamaan (3.1.7.1) dan diketahui kelompok dummy variable dgit = 1 (g = i).
dengan memasukkan sejumlah dgit = 1 (g = i), persamaan (3.1.7.1) .1.7.1) menjadi: uit
yit
(3.1.7.15)
persamaan (3.1.7.15) dapat diestimasi dengan pendekatan OLS sehingga diperoleh parameter βLSDV. Kelebihan pendekatan ini (LSDV) ( ) adalah dapat menghasilkan dugaan parameter β yang tidak bias dan efisien. Tetapi kelemahannya jika jumlah jumla unit observasinya besar maka akan sulit menduga persamaan regresinya karena penggunaan peubah dummy yang terlalu banyak. Untuk menguji apakah intersep konstan atau tidak dapat menggunkan ftest dengan hipotesis sebagai berikut: H0 : α1 = α2 = α3 = ..... .... = αN
H1 : minimal ada sepasang yang tidak sama ( ai = aj ; untuk i = j). Hipotesis is ini dapat secara langsung digunakan untuk menguji apakah lebih baik menggunakan PLS ataukah LSDV. Dasar penolakan terhadap H0 adalah dengan menggunakan F-statistik statistik
(3.1.7.16) dimana: = koefisien determinasi LSDV = koefisien determinasi Pooled Least Square k
= banyaknya peubah
Jika nilai F-Stat hasil pengujian lebih besar dari F-tabel,, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga hipotesi bahwa α adalah konstan dapat ditolak. 1.4. Two Way Fixed Effect Model Model ini disusun berdasarkan fakta bahwa terkadang fixed effect tidak hanya berasal dari observasi individu tetapi juga berasal dari time-effect, time sehingga model dasar yang digunakan adalah: (3.1.7.17) dimana
merepresentasikan time effect. Jika masing-masing masing pengaruh
individu
(αi) dan
time-effect
(γt)
diasumsikan berbeda, sehingga dengan menambahkan sejumlah zsit = 1 (s = t) peubah dummy yang merepresentasikan efek waktu diperoleh persamaan: (3.1.7.18)
Penambahan sejumlah dummy variable ke dalam persamaan menyebabkan masalah pada penggunaan two way fixed effect yaitu berkurangnya derajat kebebasan, yang pada akhirnya akan semakin mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi.
2. Random Effect Model (REM) REM muncul ketika antara efek individu dan periode tidak berkorelasi dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya acak. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam error, dimana: untuk one way error component: yit = αi + Xit β + uit+ λi
(3.1.7.19)
dan untuk two way error component: yit = αi + Xit β + uit+ λi + µi Beberapa asumsi yang biasa digunakan dalam REM, yaitu:
untuk semua i,t
untuk semua i,t, dan j
untuk i = j dan t = s
untuk i = j
dimana: untuk one way error component τi = λi
(3.1.7.20)
dan untuk two way error component τi = λi + µi Dari semua asumsi, asumsi yang paling penting berhubungan dengan REM adalah nilai harapan dari xit untuk setiap τi adalah 0, atau E(τi xit) = 0. untuk menguji asumsi ini yaitu dengan menggunakan Haussman Test. Karena berkaitan dengan ditolak atau diterimanya asumsi ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan
peubah bebas, maka Haussman test dapat secara
langsung digunakan untuk memilih antara FEM atau REM dengan hipotesis sebagai berikut: H0: E(τi xit) = 0 Tidak ada korelasi antara komponen error dengan peubah bebas (REM). H1: E(τi xit) = 0 Komponen error memiliki korelasi dengan peubah bebas (FEM). Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik hausman dan membandingkannya dengan Chi square. Statistik Hausman dirumuskan dengan: H = (βREM – βFEM ) (MFEM –MREM)-1 (βREM – βFEM ) ~ χ2 (k)
(3.1.7.21)
dimana: M adalah matrik kovarians untuk parameter β k adalah degrees of freedom Jika nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ2 – tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, begitu juga sebaliknya. Terdapat dua jenis pendekatan dalam REM, yaitu:
2.1. Pendekatan Between Estimator Pendekatan ini berkaitan dengan dimensi antar data (differences between individual), yang ditentukan sebagaimana OLS estimator pada sebuah regresi dari rata-rata individu y dalam nilai x secara individu. Between estimator konsisten untuk N tak hingga, dengan asumsi bahwa peubah bebas dengan error tidak saling berkorelasi atau E (xit, εi = 0) begitu juga dengan nilai rata-rata error E (xit, εi = 0). 2.2. Generalized Least Square (GLS) Pendekatan GLS mengkombinasikan informasi dari dimensi antar dan dalam (between dan within) data secara efisien. GLS dapat dipandang sebagai rata-rata yang dibobotkan dari estimasi between dan within dalam sebuah regresi. 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Kawasan perkotaan di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Perkembangan ini antara lain dicerminkan oleh peningkatan pertumbuhan penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan serta meningkatnya kontribusi sektor-sektor ekonomi yang digerakkan wilayah ini terhadap ekonomi nasional. Secara teoritis, peningkatan wilayah perkotaan dapat menciptakan kemudahan-kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses sarana dan prasarana modern serta peningkatan efisiensi ekonomi melalui tercipta eksternalitas dari lahirnya agglomerasi-agglomerasi ekonomi di perkotaan. Peningkatan ini juga menimbulkan permasalahan-permasalahan perkotaan yang semakin kompleks. Kompleksitas permasalahan perkotaan pada dasarnya dapat diatasi melalui perencanaan perkotaan yang terpadu melalui terciptanya sistem perkotaan.
Berdasarkan publikasi BPS, penduduk perkotaan, sebagai alat untuk mengestimasi ukuran perkotaan, cenderung terkonsentrasi pada daerah tertentu. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi ukuran perkotaan di Indonesia apakah mengikuti rank-size rule atau tidak serta mengidentifikasi pola distribusi ukuran perkotaan dengan mengestimasi dengan nilai pareto eksponen (α) antar provinsi melalui penerapkan formula rank-size rule. Penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan agar pertumbuhan perkotaan pada setiap daerah di Indonesia tumbuh secara paralel. Untuk tujuan melihat perkembangan distribusi ukuran perkotaan serta perubahan-perubahan karakteristik ekonomi wilayah dilakukan dengan metode analisis deskriptif kualitatif. Untuk merumuskan karakteristik-karakeristik ekonomi yang signifikan mempengaruhi distribusi ukuran perkotaan yaitu dengan menggunakan metode panel data. Diduga faktor yang dapat mempengaruhi distribusi ukuran perkotaan menjadi lebih merata adalah pengaruh dari tingkat kepadatan jalan, tingkat partisipasi angkatan kerja, tingkat pendapatan per kapita, pengeluaran pemerintah untuk pembangunan, jumlah daerah administrasi dan tingkat keterbukaan wilayah. Distribusi ukuran perkotaan diduga dipengaruhi secara negatif oleh tingkat penghematan agglomerasi yaitu peningkatan pada penghematan karena urbanisasi, penghematan karena lokalisasi dan penghematan karena spesialisasi. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi suatu rekomendasi kebijakan agar terwujud keseimbangan ukuran perkotaan di masa yang akan datang sehingga pembangunan antar daerah terjadi secara hirarkis dalam suatu sistem
pembangunan
perkotaan
nasional.
Secara
skematis
operasional dan alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.
kerangka
pemikiran
Perkembangan wilayah perkotaan Indonesia menunjukkan peningkatan yang pesat. - Laju pertumbuhan penduduk perkotaan jauh lebih tinggi dari laju pertumbuhan penduduk total - Sektor ekonomi yang digerakkan perkotaan semakin mendominasi komposisi perekonomian
Konsentrasi pertumbuhan penduduk perkotaan pada wilayah tertentu
Dominasi perkembangan pada wilayah tertentu
Implikasi teoritis dari peningkatan kawasan perkotaan adalah semakin meluasnya wilayah yang terbangun (urbanized area) Karakteristik: - Kapadatan - Agglomerasi - SDM - Pemerintah - Keterbukaan
Distribusi Ukuran Perkotaan
Rank Size Rule
log Rank = Constant – α log Size
Nilai α
Metode Analisis Deskriptif Kualitatif
Model Panel Data
Fixed Effect
Perkembangan distribusi ukuran perkotaan dan perubahan karakteristik wilayah
Random Effect
Parameter yang signifikan mempengaruhi distribusi ukuran perkotaan
Faktor yang harus diperhatikan agar daerah-daerah di Indonesia tumbuh secara paralel dalam suatu sistem pembangunan perkotaan nasional Gambar 8. Skema Kerangka Pemikiran dan Alur Penelitian
VI. METODE PENELITIAN
4.1.
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari publikasi
BPS berupa data lima tahunan (1995, 2000, dan 2005) yang mencakup 25 provinsi.
Data
yang
digunakan
terdiri
dari
data penduduk
perkotaan
kabupaten/kota, data penduduk total provinsi, luas wilayah provinsi, panjang jalan, PDRB menurut lapangan usaha, angkatan kerja perkotaan, penduduk perkotaan usia 15-64 tahun,
penerimaan total pemerintah, pengeluaran
pemerintah untuk pembangunan dan atau belanja pelayanan publik, data pembagian daerah administrasi menurut kabupaten/kota serta nilai ekspor dan impor provinsi.
4.2.
Perumusan Model Identifikasi apakah rank-size rule berlaku pada distribusi ukuran perkotaan
di Indonesia yaitu dengan membandingkan antara ukuran perkotaan aktual dengan ukuran perkotaan menurut prediksi rank-size rule. Ukuran perkotaan menurut prediksi rank-size rule dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan: RSR
Sizej,t =
Constant Rankj,t
(4.2.1)
dimana ukuran perkotaan suatu daerah j pada tahun t menurut prediksi rank-size RSR
rule (Sizej,t) adalah ukuran perkotaan terbesar (Constant) dibagi dengan peringkat daerah j pada tahun t (Rankj,t). Identifikasi distribusi ukuran perkotaan dengan penerapan rank-size rule pada penelitian ini menggunakan rumus Zipf’s Law, yaitu: log Rankj,t = log Constant – α log Sizej,t
(4.2.2)
Eksponen pareto (α) menunjukkan distribusi ukuran perkotaan. Dimana nilainya berkisar antara 0 hingga tak hingga. Jika nilai pareto adalah 0 maka pada wilayah tersebut hanya terdapat satu kawasan perkotaan, sedangkan jika nilai pareto menunjukkan nilai yang tak hingga maka semua kawasan perkotaan pada wilayah tersebut memiliki ukuran yang sama. Nilai α diestimasi dengan pendekatan analisis regresi Ordinary Least Square (OLS). Eksponen pareto kemudian menjadi peubah terikat untuk mengestimasi pengaruh karakteristik wilayah terhadap distribusi ukuran perkotaannya. Untuk mengestimasi hubungan antara distribusi ukuran perkotaan dengan karakteristik dasar wilayah dilakukan dengan model panel data. Bentuk model yang digunakan yaitu: logαit = β 0 + β1 ROADENSi,t + β2 log URBANi,t + β3 LOCi,t+ β4 log SPECi,t (4.2.3) + β5 TPAKi,t + β6 GDRPCAPi,t + β7 PUBLICi,t + β8 ADMi,t + β9 log OPENREGi,t + εi,t dimana:
αit ROADENSi,t URBANit LOCit SPECit TPAKi,t GDRPCAPit PUBLICit ADMit OPENREGit
= nilai eksponen pareto provinsi i tahun t = tingkat kepadatan jalan provinsi i tahun t (kendaraan/km) = tingkat penghematan urbanisasi provinsi i tahun t = tingkat penghematan lokalisasi provinsi i tahun t = derajat penghematan spesialisasi provinsi i tahun t = tingkat partisipasi angkatan kerja perkotaan provinsi i tahun t = tingkat pendapatan perkapita masyarakat provinsi i tahun t = persentase pengeluaran pembangunan terhadap penerimaan total provinsi i tahun t = jumlah daerah administrasi kota/kabupaten provinsi i tahun t = tingkat keterbukaan wilayah provinsi i tahun t
Nilai dugaan yang diharapkan β1, β2, β3, β4 < 0 dan β5, β6, β7, β8, β9 > 0. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan Microsoft Excel 2003 dan Eviews 5.1. Penggunaan tingkat kepadatan jalan, tingkat penghematan agglomerasi, tingkat pendapatan perkapita, pengeluaran pemerintah dan tingkat keterbukaan wilayah sebagai faktor yang mempengaruhi distribusi ukuran perkotaan
didasarkan pada penelitian Soo (2002). Penggunaan faktor tingkat partisipasi angkatan kerja didasarkan pada penelitian Duranton (2002), sedangkan jumlah daerah administrasi diproxikan untuk mengestimasi pengaruh dari desentralisasi yang terjadi selama kurun waktu penelitian.
4.3.
Metode Analisis Data
4.3.1.
Metode Kuadrat Terkecil Prinsip dasar metode OLS yaitu meminimumkan jumlah kuadrat
simpangan antara data aktual dengan data dugaan. Yi = α + β Xi + ui
; i=1,2,...,n
(4.3.1.1)
akan menghasilkan parameter α dan β yang linear tidak bias, dan memiliki varians yang minimum jika asumsi-asumsi di bawah ini terpenuhi: 1.
Parameter β bersifat linear terhadap peubah terikat.
2.
Parameter β bersifat tidak bias, artinya nilai rata-rata atau nilai β yang diharapkan sama dengan β sesungguhnya.
3.
Parameter β memiliki varians yang minimum.
4.3.2. Metode Panel Data Teknik estimasi dalam penelitian ini menggunakan model panel data. Panel data menggunakan kombinasi data runut waktu (time series) dan kerat lintang (cross section). Pemilihan model ini berdasarkan alasan bahwa panel data dapat menyediakan informasi yang cukup kaya untuk perkembangan teknik estimasi dan hasil teoretikal. Dalam bentuk praktis, dengan menggunakan panel data, peneliti dapat menggunakan data time series dan cross section untuk menganalisis masalah yang tidak dapat diatasi jika hanya menggunakan salah
satunya saja. Penelitian ini hanya mempertimbangkan penggunaan model Fixed Effect dan Random Effect dengan one way component error, yaitu dengan hanya memasukkan efek individual. Untuk memutuskan apakah akan menggunkan efek tetap atau efek acak menggunakan uji Haussman.
4.4. Evaluasi Model Ada beberapa kriteria untuk menyatakan bahwa model regresi yang dihasilkan adalah baik, yaitu: 4.4.1. Kriteria ekonomi Untuk melihat kesesuaian hasil regresi dengan kriteria ekonomi dilakukan dengan melihat kecocokan tanda dan nilai koefisien penduga dengan teori ekonomi atau nalar. 4.4.2. Kriteria statistik 1. Uji-F Uji-F digunakan untuk melakukan uji hipotesis koefisien (slope) regresi secara bersamaan. Secara umum hipotesisnya dituliskan sebagai berikut : H0 : β1 = β2 = ... = βi = 0 H1 : minimal terdapat βi ≠ 0 ; untuk : i : 1, 2, 3, ..., k Statistik uji yang dilakukan dalam uji-F : F-hitung =
KTR KTG
(1.1)
KTR
=
JKR k −1
(1.2)
KTG
=
JKG n−k
(1.3)
dengan derajat bebas = k-1 (n-k)
dimana : KTR
: Kuadrat Tengah Regresi
KTG : Kuadrat Tengah Galat JKR
: Jumlah Kuadrat Regresi
JKG
: Jumlah Kuadrat Galat
k
: Jumlah Parameter
n
: Jumlah Pengamatan Jika F-hitung > F-tabel, maka tolak Ho berarti minimal ada satu peubah
bebas yang berpengaruh nyata terhadap peubah terikat, dan berlaku sebaliknya. Selain itu, dapat juga dibandingkan antara nilai probabilitas F-statistic terhadap taraf nyata yang telah ditetapkan dalam penelitian. Jika nilai probabilitas Fstatistic < taraf nyata, maka tolak Ho dan itu artinya minimal ada satu peubah bebas yang berpengaruh nyata terhadap peubah terikat, dan berlaku sebaliknya.
2. Uji-t Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah selanjutnya adalah menghitung koefisien regresi secara individu dengan menggunakan uji-t. Hipotesis pada uji-t adalah : H0 : βi = 0 H1 : βi ≠ 0 Rumus uji-t adalah : t-hitung =
βi Sβ i
dimana :
βi
: Parameter dugaan peubah ke-i
S βi
: Standar error dari parameter dugaan βi
(2.1)
Jika t-hitung > t-tabel maka H0 ditolak yang berarti peubah bebas secara statistik nyata pada taraf nyata yang telah ditetapkan dalam penelitian, dan berlaku hal yang sebaliknya. Jika nilai probabilitas t-statistic < taraf nyata, maka tolak H0 dan berarti bahwa peubah bebas nyata secara statistik, dan sebaliknya.
3. Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi (Goodness of Fit) merupakan suatu ukuran yang penting dalam regresi, karena dapat menginformasikan baik atau tidaknya model regresi yang terestimasi.
Nilai R2 mencerminkan seberapa besar variasi dari
peubah terikat Y dapat diterangkan oleh peubah bebas X. Jika R2 = 0, maka variasi dari Y tidak dapat diterangkan oleh X sama sekali; jika R2 = 1, artinya bahwa variasi dari Y secara keseluruhan dapat diterangkan oleh X. Adapun rumus untuk Koefisien Determinasi adalah : R2 =
SSR SST
(3.1)
dimana : SST : variasi dari data SSR : variasi dari garis regresi yang dibuat
4.4.3. Uji Asumsi 1. Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu peubah atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa sekarang. Uji autokorelasi yang dilakukan tergantung pada jenis data dan sifat model yang digunakan. Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson (DW). Untuk mengetahui ada/tidaknya autokorelasi, maka dilakukan dengan membandingkan DW-statistiknya dengan DW-tabel. Adapun
kerangka identifikasi autokorelasi terangkum dalam Tabel 2. Korelasi serial ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan melihat pola random error dari hasil regresi.
Tabel 2. Kerangka Identifikasi Autokorelasi Nilai DW 4 - dl < DW < 4 4 - du < DW < 4- dl 2 < DW < 4 - du du < DW < 2 dl < DW < du 0 < DW < dl
Hasil Terdapat korelasi serial negatif Hasil tidak dapat ditentukan Tidak ada korelasi serial Tidak ada korelasi serial Hasil tidak dapat ditentukan Terdapat korelasi serial positif
Pada analisis seperti yang dilakukan dalam model, jika ditemukan korelasi serial, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Treatment untuk pelanggaran ini adalah dengan menambahkan AR (1) atau AR (2) dan seterusnya, tergantung dari banyaknya autokorelasi pada model regresi yang digunakan.
2. Uji Heteroskedastisitas Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate) maka var (ui) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua residual atau error mempunyai varian yang sama. Kondisi itu disebut dengan homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dalam pengolahan data panel dengan Eviews 5.1 yaitu dengan menggunakan metode General Least Square (Cross-section Weights) adalah dengan membandingkan Sum Square Resid pada Weighted Statistics dengan Sum Square Resid Unweighted Statistics. Jika Sum Square Resid pada Weighted Statistics lebih kecil dari Sum Square Resid
unweighted Statistics, maka terjadi heteroskedastisitas. Treatment pelanggaran ini, bisa dengan mengestimasi GLS dengan white-heteroscedasticity.
4.4.4. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk memeriksa apakah error term mendekati distribusi normal atau tidak. Jika asumsi tidak terpenuhi maka prosedur pengujian menggunakan statistik t menjadi tidak sah. Uji normalitas error term dilakukan dengan menggunakan uji Jarque Bera (JB). Uji ini didasarkan pada error penduga least square. Prosedur pengujian : 1.
H0 : error term terdistribusi normal H1 : error term tidak terdistribusi normal
2.
Statistik JB dihitung melalui tahapan berikut : a. Kecondongan (α3) dan ketinggian (α4) distribusi error term b. Hitung statistik uji JB dengan rumus berikut
α 2 (α − 3) 2 JB = n 3 + 4 24 24
(4.4.4.1)
Daerah kritis penolakan H0 adalah nilai JB > χ2 atau probabilitas lebih kecil daripada taraf nyata. Jika H0 ditolak maka error term tidak terdistribusi normal.
4.5.
Definisi Operasional Penelitian ini menggunakan istilah wilayah, daerah dan kawasan. Istilah
wilayah mengacu pada pengertian ruang menurut satuan administrasi provinsi. Istilah daerah mengacu pada pengertian ruang yang terkait batas administrasi kota/kabupaten. Istilah kawasan digunakan untuk perkotaan/perdesaan.
Kategori kota yang digunakan berdasarkan jumlah penduduk pada daerah perkotaan yang lebih dari 20.000 jiwa, sehingga pada penelitian ini menggunakan distribusi ukuran perkotaan sebagai berikut: 1. Ukuran perkotaan lebih dari 5.120.000 jiwa. 2. Ukuran perkotaan antara 2.560.000 - 5.120.000 jiwa. 3. Ukuran perkotaan antara 1.280.000 - 2.560.000 jiwa. 4. Ukuran perkotaan antara 640.000 - 1.280.000 jiwa. 5. Ukuran perkotaan antara 320.000 - 640.000 jiwa. 6. Ukuran perkotaan antara 160.000 - 320.000 jiwa. 7. Ukuran perkotaan antara 80.000 - 160.000 jiwa. 8. Ukuran perkotaan antara 40.000 - 80.000 jiwa. 9. Ukuran perkotaan antara 20.000 - 40.000 jiwa. Tingkat kepadatan jalan diestimasi dengan rasio antara panjang jalan aspal provinsi, baik dalam wewenang kota/kabupaten, provinsi, maupun pemerintah pusat, terhadap luas wilayah provinsi, atau dirumuskan: Panjang Jalan Aspal Luas Wilayah
ROADENS =
(4.2.4)
Tingkat penghematan karena urbanisasi diestimasi dengan indeks primasi, yaitu menunjukkan daya tarik kota terbesar terhadap daerah-daerah disekitarnya, atau dirumuskan: SIZEjmax,t URBANi,t = SIZEi,t
(4.2.5)
dimana SIZEjmax,t adalah ukuran perkotaan pada kota/kabupaten dengan ukuran perkotaan terbesar dan SIZEi,t adalah ukuran perkotaan provinsi i pada tahun t. Tingkat penghematan karena lokalisasi diestimasi dengan rasio PDRB non pertanian terhadap PDRB total, penggunaan PDRB berdasarkan lapangan usaha menurut harga berlaku, dan dirumuskan: LOC =
PDRB Non Pertanian PDRB Total
(4.2.6)
Pengukuran tingkat spesialisasi ekonomi suatu wilayah diperoleh dengan menggunakan indeks Herfindhal yang didasarkan pada proporsi output industri tertentu terhadap output total sebagaimana yang digunakan oleh Kuncoro (2002), k
sektor k ∑ [PDRB PDRB Total ] k =1
SPEC = yaitu:
2
(4.2.7) dimana penggunaan PDRB berdasarkan lapangan usaha menurut harga berlaku. Tingkat partisipasi angakatan kerja perkotaan diestimasi dengan persentase jumlah angkatan kerja perkotaan terhadap jumlah penduduk usia kerja, yaitu penduduk yang berusia 15 hingga 64 tahun, atau dirumuskan: TPAK =
Angkatan Kerja Perkotaan x 100 Penduduk Usia Kerja Perkotaan
(4.2.8)
Tingkat pendapatan per kapita diestimasi dengan PDRB total terhadap jumlah penduduk total, atau dirumuskan: GDRPCAP =
PDRB Total Penduduk Total
(4.2.9)
dimana penggunaan PDRB berdasakan harga berlaku. Kemampuan pemerintah dalam membiayai pembangunan diestimasi dengan dengan menggunakan rasio antara pengeluaran pemerintah untuk pembangunan terhadap penerimaan total pemerintah provinsi, atau dirumuskan: Pengeluaran Pemerintah Provinsi untuk Pembangnan Penerimaan Total Pemerintah Provinsi Tingkat keterbukaan wilayah diestimasi dengan PDRB
PUBLIC =
(4.2.10) menurut
pengeluaran atas dasar harga berlaku yang dirumuskan: OPENREG= PDRB Ekspor + PDRB Impor PDRB Total
(4.2.11)
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil estimasi dan pembahasan akan dijabarkan dalam tiga bagian. Bagian pertama diawali dengan pembahasan prediksi ukuran perkotaan menurut rank-size rule dan membandingkannya dengan ukuran perkotaan Indonesia yang sebenarnya. Kemudian dilanjutkan dengan identifikasi nilai pareto yang menggambarkan distribusi ukuran perkotaan di Indonesia. Bagian kedua akan membahas faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan distribusi ukuran perkotaan antar wilayah (provinsi). Bagian ini diawali dengan analisis deskriptif perkembangan distribusi ukuran perkotaan serta karakteristik-karakteristik wilayah yang mencakup tingkat kepadatan jalan, tingkat penghematan agglomerasi, kondisi sumber daya manusia, peranan pemerintah dan tingkat keterbukaan wilayah. Selanjutnya dijabarkan hasil estimasi yang dilakukan dengan metode panel data mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pola distribusi ukuran perkotaan
secara signifikan.
Terakhir pada bagian ketiga dijabarkan implikasi kebijakan dari hasil estimasi pada bagian-bagian sebelumnya.
5.1. Perkembangan Distribusi Ukuran Perkotaan di Indonesia Hasil identifikasi ukuran perkotaan aktual di Indonesia yang dibandingkan dengan ukuran perkotaan prediksi rank-size rule menunjukkan bahwa rank-size rule memberikan hasil prediksi yang selalu lebih kecil dan lebih besar dari ukuran perkotaan sebenarnya. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Rossen dan Resnick (1980) yang melakukan studi penerapan ranksize rule pada 44 negara.
Ukuran perkotaan aktual yang lebih kecil dari prediksi rank-size rule pada periode 1995 hingga 2005 selalu ditunjukkan oleh daerah dengan ukuran perkotaan terbesar kedua dan ketiga. Ukuran perkotaan aktual yang lebih besar ukuran perkotaan prediksi rank-size rule ditunjukkan oleh daerah dengan ukuran perkotaan keempat dan seterusnya hingga pada daerah dengan ukuran perkotaan dengan peringkat bawah menjadi kembali lebih kecil dari prediksi rank-size rule. Identifikasi ukuran perkotaan aktual di Indonesia juga memperlihatkan bahwa terjadi pembentukkan primary city. Kondisi tersebut ditunjukkan oleh rasio antara daerah dengan ukuran perkotaan terbesar pertama dengan ukuran perkotaan terbesar kedua yang mendekati 1 berbanding 3. Persebaran
kota/kabupaten
berdasarkan
ukuran
perkotaan
aktual
memperlihatkan tidak terjadi peningkatan jumlah pada daerah dengan ukuran perkotaan lebih dari 5.120.000 jiwa, hanya saja pada kota itu sendiri yaitu DKI Jakarta terjadi pertumbuhan populasi penduduk perkotaan yang negatif dalam kurun waktu 1995 ke tahun 2000.
Pada kategori lain terjadi penurunan
kabupaten/kota dengan ukuran perkotaan antara 2.560.000 - 5.120.000 jiwa. Jika pada tahun 1995 dan 2000 jumlahnya 2, maka di tahun 2005 berkurang menjadi hanya 1. Pada kategori daerah berukuran perkotaan antara 1.280.000 - 2.560.000 jiwa jumlahnya meningkat dari 4 menjadi 9 kemudian meningkat lagi menjadi 11 di tahun 2005. Daerah dengan ukuran perkotaan antara 640.000 - 1.280.000 juga mengalami peningkatan, dari 10 menjadi 15 kemudian menjadi 18 di tahun 2005. Pada kategori ukuran perkotaan antara 320.000 - 640.000 juga mengalami pertumbuhan dari 32 menjadi 39 kemudian menurun menjadi 38. Perkembangan
persebaran kota/kabuapten di Indonesia berdasarkan ukuran perkotaan seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Distribusi Ukuran Perkotaan di Indonesia Tahun 1995, 2000 dan 2005 Ukuran Perkotaan 1995 2000 2005 1 Lebih dari 5.120.000 1 1 2 2.560.000 - 5.120.000 2 1 1.280.000 - 2.560.000 4 9 11 10 640.000 - 1.280.000 15 18 32 320.000 - 640.000 39 38 46 60 60 160.000 - 320.000 80.000 - 160.000 69 65 66 56 54 73 40.000 - 80.000 40 20.000 40.000 56 68 Perkembangan jumlah daerah yang memiliki populasi penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan peningkatan. Bila pada tahun 1995, jumlah daerah yang berpenduduk diatas 20.000 jiwa berjumlah 259, maka kemudian meningkat 16 persen pada tahun 2000 menjadi 301, yang kemudian meningkat lagi 11 persen menjadi sebanyak 336. Peningkatan jumlah daerah yang memiliki ukuran perkotaan lebih dari 20.000 jiwa ini secara garis besar dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu pertama perkembangan yang terjadi pada kota/kabupaten itu sendiri dalam pertambahan penduduk netto secara alami melalui proses kelahiran dan kematian, maupun dalam mengembangkan aktivitas ekonomi perkotaan di wilayahnya sehingga mempengaruhi perkembangan ukuran perkotaannya. Faktor kedua yaitu adanya pemekaran wilayah mengakibatkan suatu kawasan perkotaan terbagi menjadi beberapa daerah administrasi. Setidaknya ada dua pengaruh pemekaran wilayah terhadap distibusi ukuran perkotaan di Indonesia. Pengaruh yang pertama adalah menyebabkan peningkatan aktivitas ekonomi pada kota/kabupaten yang baru dimekarkan
sehingga meningkatkan jumlah penduduk perkotaannya. Dampak ke dua yaitu bagi daerah asal yang sebelumnya memiliki akumulasi penduduk perkotaan yang cukup tinggi menjadi terbagi akibat pemekaran ini. Seperti halnya yang terjadi pada Kota Depok yang sebelumnya adalah bagian dari Kabupaten Bogor. Adanya pemekaran wilayah menyebabkan Kota Depok muncul sebagai salah satu kota dalam kategori metropolitan. Di sisi lain walaupun Kabupaten Bogor masih dalam kategori ini namun ukurannya menjadi mengecil dengan pemisahan wilayah Depok menjadi daerah administrasi sendiri. Hal yang sama terjadi pada Kota Dumai yang sebelumnya di tahun 1995 merupakan bagian dari Kabupaten Bengkalis. Pada perhitungan ukuran perkotaan tahun 2000, Kota Bengkalis menjadi salah satu kota yang masuk kategori kota menengah, sehingga secara akumulasi jumlah kota/kabupaten dalam ketegori kota menengah meningkat.
Tabel 4. Distribusi Ukuran Perkotaan di Indonesia Menurut Prediksi Rank-Size Rule Tahun 1995, 2000 dan 2005 Ukuran Perkotaan 1995 2000 2005 lebih dari 5.120.000 1 1 1 2.560.000 - 5.120.000 2 2 2 1.280.000 - 2.560.000 4 3 3 640.000 - 1.280.000 7 7 7 320.000 - 640.000 14 13 14 160.000 - 320.000 28 26 28 80.000 - 160.000 56 52 55 40.000 - 80.000 113 105 110 20.000 - 40.000 225 209 221 Distribusi ukuran perkotaan menurut prediksi rank-size rule ditunjukkan pada Tabel 4. Secara umum terlihat bahwa prediksi rank size rule untuk distribusi ukuran perkotaan di Indonesia menunjukkan bahwa daerah dengan ukuran perkotaan yang lebih besar memiliki jumlah yang lebih sedikit dibandingkan
dengan daerah dengan ukuran perkotaan yang lebih kecil. Hal tersebut tidak terlihat pada distribusi ukuran perkotaan aktual pada Tabel 3. Permasalahannya sekarang adalah apakah persebaran populasi penduduk perkotaan yang terjadi semakin merata dapat dijawab dengan nilai pareto eksponen yang diperoleh dari pengembangan persamaan rank-size rule. Nilai pareto eksponen Indonesia cenderung menunjukkan nilai yang menurun artinya
Pareto Eksponen
distribusi ukuran perkotaan semakin tidak merata.
1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
0.846287
1995 1
0.801916
2000 2
0.789059
2005 3
Tahun Gambar 9. Nilai Eksponen Pareto Indonesia Tahun 1995, 2000 dan 2005 Pulau Jawa dan Papua menunjukkan rata-rata nilai pareto yang terus menurun. Sedangkan pada Pulau Sulawesi dan Kalimantan mengalami nilai yang berfluktuasi, meningkat pada peride 1995 ke 2000 kemudian pada periode 2000 ke 2005 mengalami penurunan. Distribusi ukuran perkotaan yang semakin merata ditunjukkan oleh Pulau Sumatera. Perkembangan nilai pareto yang terlihat pada Gambar 10 menunjukkan Pulau Jawa memiliki distribusi ukuran perkotaan yang relatif lebih merata dibandingkan dengan pulau utama lainnya.
1.4 Pareto Eksponen
1.2 Series1 Sumatera
1
Series2 Jawa
0.8
Series3 Kalimantan
0.6
Series4 Sulawesi
0.4
Series5 Lainnya
0.2 0 1 1995
20002
2005
3
Tahun
Gambar 10. Nilai Rata-Rata Eksponen Pareto pada 5 Pulau Utama Tahun 1995, 2000 dan 2005 5.2. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Distribusi Ukuran Perkotaan Nilai eksponen pareto pada tingkat provinsi di Indonesia yang diestimasi dengan metode OLS berkisar antara 0.551 dan 1.331. Provinsi dengan nilai ratarata pareto terbesar yaitu Provinsi Jawa Tengah (1.331), sedangkan nilai rata-rata terendah yaitu Provinsi Bengkulu (0.551). Kondisi disribusi ukuran perkotaan yang semakin merata sepanjang waktu analisis dengan nilai pareto yang terus meningkata dalah Provinsi N.A.D, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara dan Maluku. Provinsi yang mengalami peningkatan nilai pareto pada periode 1995 ke tahun 2000 kemudian pada periode 2000 ke tahun 2005 mengalami penurunan yaitu Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Pada keadaan sebaliknya, provinsi yang menunjukkan kondisi penurunan nilai pareto pada periode 1995 ke 2000 dan peningkatan pada periode 2000 ke 2005 yaitu Provinsi Riau. Kondisi disribusi ukuran perkotaan yang semakin tidak merata sepanjang waktu analisis
ditunjukkan oleh Provinsi Jambi, Lampung, Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah dan Papua. 1.4 Pareto Eksponen
1.2 1 Series1 1995
0.8
Series2 2000
0.6
Series3 2005
0.4 0.2 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Provinsi
*) Keterangan: 1 N.A.D 2 Sumatera Utara 3 Sumatera Barat 4 Riau 5 Jambi
6 7 8 9 10
Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Jawa Barat Jawa Tengah
11 12 13 14 15
Yogyakarta Jawa Timur Bali NTB NTT
16 17 18 19 20
Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara
21 22 23 24 25
Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Papua
Gambar 11. Nilai Eksponen Pareto Menurut Provinsi Tahun 1995, 2000 dan 2005 Dalam mengestimasi nilai pareto telah dilakukan pengujian secara ekonometrika. Terdapat dua provinsi yang estimasi pareto eksponen tidak dapat digunakan menjadi peubah terikat pada model selanjutnya, yaitu Provinsi D.I Yogyakarta dan Sulawesi Tenggara. Hal ini berkaitan dengan jumlah daerah kota/kabupaten pada dua provinsi ini yang sedikit, sehingga menghasilkan estimasi nilai pareto yang tidak memenuhi kriteria ekonometrika dan statistika. Pertanyaan selanjutnya yang perlu dijawab adalah faktor apa saja yang mempengaruhi distribusi ukuran perkotaan ini akan dijawab dengan analisis kuantitatif dengan panel data. Sebelumnya akan dilakukan analisis deskriptif kualitatif terhadap karakteristik wilayah yang menjadi sampel penelitian. Tingkat kepadatan jalan secara rata-rata menunjukkan nilai yang terus meningkat. Jika pada tahun 1995 rata-rata rasio panjang jalan terhadap luas wilayah adalah 0.22 per km, maka kemudian di tahun 2005 jumlah tersebut
meningkat menjadi 0.25 per km. Pulau Jawa dan Bali memiliki kepadatan jalan yang lebih tinggi dibandingkan pulau-pulau lainnya. Kepadatan jalan terendah dipegang oleh Provinsi Papua, sedangkan jalan terpadat dipegang oleh Provinsi Yogyakarta.
1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6
Series1 1995 Series2 2000 2005 Series3
0.4 0.2 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Keterangan: lihat *)
Gambar 12. Tingkat Kepadatan Jalan Provinsi Tahun 1995, 2000 dan 2005 Dari sisi agglomerasi menunjukkan penghematan urbanisasi yang diestimasi dengan indeks primasi secara rata-rata terus menurun dari sebesar 0.41 ditahun 1995, menjadi 0.38 di tahun 2000, kemudian menurun lagi pada tahun 2005 menjadi 0.37. Dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya, Pulau Jawa memiliki rata-rata tingkat primasi yang rendah, sedangkan Pulau Sumatera secara rata-rata memiliki tingkat primasi yang paling tinggi dibandingkan dengan pulaupulau lainnya. Perbandingan antar provinsi menunjukkan indeks primasi terbesar dipegang oleh Provinsi Bengkulu (1995), sedangkan indeks primasi terendah yaitu Provinsi Jawa Tengah (2005). Gambar 13 menunjukkan terdapat perubahan tingkat penghematan urbanisasi yang cukup signifikan pada beberapa provinsi. Perubahan tersebut antara lain disebabkan oleh pemekaran wilayah sehingga terbentuknya provinsi baru. Hal ini terjadi pada Provinsi Riau, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Sulawesi
Utara dan Maluku dengan terbentuknya provinsi baru yaitu masing-masing Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Banten, Gorontalo, Maluku Utara dan Irian Jaya Barat.
Pembentukkan provinsi baru menyebabkan arah pergerakan
penduduk terbagi. Kota/kabupaten dengan ukuran perkotaan terbesar, yang biasanya adalah ibu kota provinsi, menjadi menurun daya tarik sebagai tujuan arah mobilitas penduduk.
Tingka Urbanisasi Ekonomi
1 0.8 0.6
Series1
0.4
Series2 2000
1995
Series3 2005
0.2 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Provinsi
Keterangan: lihat *)
Gambar 13. Tingkat Penghematan Urbanisasi Tahun 1995, 2000 dan 2005 Provinsi N.A.D, Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Tengah terjadi perubahan disebabkan karena kota terbesarnya bukanlah ibukota provinsi, sehingga ibukota provinsi masing-masing menjadi pembanding dalam konsentrasi penduduk perkotaan yang terjadi pada wilayahnya. Selain dari kedua hal tersebut, perubahan indeks primasi pada provinsi lainnya disebabkan oleh ada beberapa provinsi yang memiliki kota/kabupaten lain selain ibukota provinsinya sebagai pusat pertumbuhan sehingga menyebabkan distribusi kembar (binary distribution) pada arah pergerakan penduduk. Rasio PDRB non pertanian terhadap PDRB total yang merupakan pendekatan untuk mengukur penghematan lokalisasi di suatu wilayah mengalami nilai rata-rata yang berfluktuasi sepanjang waktu analisis. Dibandingkan pulau-
pulau lainnya Pulau Jawa memiliki rata-rata rasio PDRB non pertanian terhadap PDRB total terbesar. Penghematan lokalisasi terbesar dipegang oleh Provinsi Jawa Barat, sedangkan lokalisasi terendah yaitu Provinsi Papua.
Tingkat Lokalisasi Ekonomi
1 0.8
1995 Series1 Series2 2000 Series3 2005
0.6 0.4 0.2 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Provinsi
Keterangan: lihat *)
Gambar 14. Tingkat Penghematan Lokalisasi Tahun 1995, 2000 dan 2005 Secara rata rata, tingkat penghematan spesialisasi yang diukur dengan indeks Herfindhal tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pada tahun 2000 mengalami sedikit peningkatan sebesar 0.221 dari 0.220 di tahun 1995, kemudian menurun di tahun 2005 menjadi 0.210. Tingkat penghematan spesialisasi tertinggi di tunjukkan oleh Provinsi Papua, sedangkan tingkat penghematan spesialisasi terendah yaitu Provinsi Sulawesi Utara. Provinsi yang mengalami perubahan yang cukup besar pada tingkat spesialisasi ini ditunjukkan oleh Provinsi N.A.D dan Riau.
Tingkat Spesialisasi Ekonomi
1 0.8 Series1 1995 Series2 2000 Series3
0.6 0.4
2005
0.2 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Provinsi
Keterangan: lihat *)
Gambar 15. Tingkat Penghematan Spesialisasi Tahun 1995, 2000 dan 2005
Kondisi sumber daya manusia perkotaan diestimasi dengan dua pendekatan yaitu kualitas dan kuantitas. Secara kuantitas diestimasi dengan tingkat partisipasi angkatan kerja yang ditunjukkan oleh Gambar 16. Pulau Jawa memiliki tingkat partisipasi angkatan kerja yang relatif tinggi dibandingkan pulau besar lainnya. Provinsi Bali memiliki TPAK yang paling tinggi. Faktor perkembangan pendidikan dan perkembangan peranan wanita di luar rumah tangga memberikan pengaruh penting terhadap perubahan tingkat partisipasi angkatan kerja. 100
TPAK
80 Series1 1995
60
Series2 2000
40
Series3 2005
20 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Provinsi
Keterangan: lihat *)
Gambar 16. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Perkotaan Tahun 1995, 2000 dan 2005 Secara rata-rata PDRB per kapita yang dihitung dengan jumlah PDRB atas harga berlaku dibagi dengan jumlah penduduk cenderung mengalami peningkatan, namun jika dihitung dengan menggunakan PDRB atas harga konstan relatif tidak mengalami perubahan. PDRB per kapita tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Timur dan terendah yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tingginya tingkat pendapatan per kapita di Kalimantan Timur dipengaruhi oleh hasil minyak dan gas yang tinggi di provinsi ini.
Pendapatan per Kapita
70 60 50 40 30 20 10 0
Series1 1995 Series2 2000 Series3
2005
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Provinsi
Keterangan: lihat *)
Gambar 17. Tingkat Pendapatan per Kapita Tahun 1995, 2000 dan 2005 Dari sisi peran pemerintah, kemampuan fiskal membiayai pembangunan menunjukkan kondisi yang bervariasi, hal ini dilatar belakangi oleh perbedaan kemampuan pemerintah provinsi masing-masing dalam penerimaannya. Selain itu proporsi pengeluaran pembangunan juga berkaitan dengan
prioritas
pembangunan pemerintah provinsi masing-masing setiap tahunnya. Terdapat perbedaan dalam format keuangan pemerintah provinsi. Jika pada tahun 1995 dan 2000 pengeluaran pemerintah dibedakan menjadi pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, pada 2005 menjadi belanja aparatur daerah dan
Persentase Pengeluaran Pembangunan Terhadap Penerimaan Total
belanja pelayanan publik. 100 80 60
Series1 1995
40
Series2 2000 Series3
2005
20 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Provinsi
Keterangan: lihat *)
Gambar 16. Persentase Pengeluaran Pembangunan terhadap Penerimaan Total Pemerintah Provinsi Tahun 1995, 2000 dan 2005 Jumlah kota/kabupaten di Indonesia terus meningkat, hal ini merupakan dampak dari desentralisasi yang terjadi sejak akhir 1999. Otonomi yang berlaku membuat kebebasan yang melahirkan insiatif pendirian kota/kabupaten baru
bahkan provinsi baru. Secara umum pembagian daerah administrasi yang banyak adalah pada Pulau Jawa. Hal ini pula yang melatar belakangi banyaknya kota/kabupaten yang masuk dalam kategori ukuran kota lebih dari 20.000 jiwa di Jawa, selain dari tingkat pertumbuhan ukuran perkotaan pada masing-masing
Jumlah Kota/Kabupaten
daerah itu sendiri. 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Series1 1995 Series2 2000 Series3 2005
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Provinsi
Keterangan: lihat *)
Gambar 17. Jumlah Kota/Kabupaten Tahun 1995, 2000 dan 2005 Keterbukaan wilayah di Indonesia yang diestimasi dengan nilai ekspor dan impor barang/jasa yang diperjual belikan terhadap PDRB total juga menunjukkan hal yang berfluktuasi. Rasio yang cenderung rendah ditunjukkan oleh Provinsi Sumatera Barat. Rasio yang semakin tinggi ditunjukkan oleh Provinsi Kalimantan Timur, sedangkan rasio yang semakin rendah ditunjukkan oleh Provinsi Maluku. Hal tersebut terutama disebabkan oleh tinggi/rendahnya nilai ekspor masing-
Tingkat Keterbukaan Wilayah
masing provinsi. 2 1.5 Series1
1995 2000 Series3 2005
1
Series2
0.5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Provinsi
Keterangan: lihat *)
Gambar 18. Tingkat Keterbukaan Wilayah Tahun 1995, 2000 dan 2005
Selanjutkan akan diuji secara statistik bagaimana pengaruh karakteristik karakteristik tersebut terhadap distibusi ukuran perkotaan. Estimasi pengaruh karakteristik wilayah terhadap distribusi ukuran perkotaan dalam penelitian ini menggunakan metode panel data. Pemilihan model yang digunakan yaitu berdasarkan keunggulannya dalam memberikan keleluasaan bagi peneliti untuk melihat heterogenitas tiap unit crossection dari contoh penelitian. Heterogenitas unit cross section, yang merupakan perbedaan antar provinsi, dapat diperoleh dengan pendekatan efek tetap ataupun pendekatan efek acak. Dasar statistika pemilihan model efek tetap ataukah efek acak untuk digunakan dalam penelitian berdasarkan uji Hausman (Hausman test). Nilai statistik Hausman test menunjukkan
angka sebesar
19.978 dengan nilai
probabilitas sebesar 0.018 lebih kecil dari nilai Chi-Square yang berarti hipotesis untuk menggunakan efek acak ditolak. Berdasarkan hasil pengujian ini maka digunakan model efek tetap untuk mengestimasi pengaruh karakteristik wilayah terhadap distribusi ukuran perkotaan. Uji Chow dan uji LM tidak dilakukan dalam penelitian ini karena jika menggunakan pooled least squre, heterogenitas unit cross section (provinsi) tidak dapat diestimasi.
Tabel 5. Hasil Uji Hausman Chi-Sq. Statistic 19.978
Chi-Sq. d.f. 9
Prob. 0.018
Hasil estimasi dengan menggunakan model efek tetap dapat dilihat dalam Tabel 6. Berdasarkan tabel tersebut maka dapat dilakukan uji asumsi penting ekonometrika
yang
terdiri
dari
uji
multikolinearitas,
autokorelasi
dan
heteroskedastisitas. Selain itu terlihat juga kemampuan model yang digunakan dalam menjelaskan keragaman yang terjadi.
Indikasi adanya multikolinearitas tercermin dengan melihat bahwa tstatistik dan f-statistik hasil regresi. Pada tingkat kepercayaan 95 persen (taraf nyata 5 persen), nilai probabilitas f-statistik yaitu 0.000. Uji signifikansi individu (uji t) menggunakan t-statistik dengan taraf nyata 5 persen dan membandingkan dengan nilai mutlak t-statistik dari hasil estimasi, maka terdapat tiga peubah yang bersifat tidak signifikan dari sembilan peubah penjelas yang digunakan, sehingga asumsi adanya multikolinearitas dapat diabaikan.
Tabel 6.
Estimasi Pengaruh Karakteristik Wilayah Terhadap Distribusi Ukuran Perkotaan dengan Pendekatan Efek Tetap Pembobotan dan White Cross Section Covariance Variable Coefficient Prob. C -1.281 0.000 ROADENS -0.121 0.196 LOG(URBAN) -0.729 0.000 LOC -0.191 0.023 LOG(SPEC) -0.219 0.146 RPAK 0.006 0.001 GDRPCAP 0.007 0.085 PUBLIC -0.140 0.000 ADM -0.012 0.004 LOG(OPENREG) 0.041 0.000 Kriteria statistik R-squared Adjusted R-squared F-statistic Prob(F-statistic) Durbin-Watson stat
Nilai 0.951 0.910 23.234 0.000 2.401
Signifikan pada taraf nyata 5%
Uji asumsi ekonometrika penting lainnya yaitu uji autokorelasi. Berdasarkan Tabel 6, hasil estimasi pengaruh karakteristik wilayah terhadap distribusi ukuran perkotaan dalam penelitian ini tidak dapat menentukan ada tidaknya autokorelasi karena pada penggunaan 69 Observasi dan 9 konstanta, dw
berada diantara 4-du dan 4-dl, hal ini bisa terjadi karena jumlah titik waktu yang digunakan hanya 3. Selain itu, model fixed effect tidak mensyaratkan persamaan terbebas dari masalah autokorelasi, sehingga asumsi adanya autokorelasi dapat diabaikan. Uji penting lainnya yaitu mendeteksi adanya heteroskedastisitas. Estimasi model dalam penelitian ini diberikan perlakuan cross section weigths dan white heteroscedasticity consistent standard error and covariant, sehingga asumsi adanya heteroskedastisitas dapat diabaikan. Nilai
R-square
atau
koefisien
determinasi
sebesar
0.951
yang
menunjukkan bahwa 95.1 persen keragaman distribusi ukuran perkotaan pada unit cross section (provinsi) contoh dapat dijelaskan oleh model tersebut, sedangkan sisanya dijelaskan oleh peubah lain diluar model. Hasil tersebut diperkuat dengan probabilitas f-statistik yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen. Berdasarkan estimasi dan evaluasi terhadap keragaman pada distribusi ukuran perkotaan maka model ini adalah model terbaik untuk digunakan dalam penelitian ini. Selanjutnya akan dianalisis pola hubungan masing-masing karakteristik terhadap distribusi ukuran perkotaan. Kepadatan jalan memiliki hubungan yang negatif yang tidak signifikan. Hubungan negatif ini tidak sesuai dengan hipotesis awal dimana peningkatan kepadatan jalan membuat mobilitas penduduk lebih efisien sehingga membuat distribusi ukuran perkotaan menjadi lebih tidak merata. Hal ini dapat disebabkan pembangunan jalan selama ini cenderung pada penyediaan jalan dalam kota, terutama di kota-kota besar. Nilainya yang tidak signifikan dapat dipengaruhi oleh sistem transportasi di Indonesia yang bervariasi
sesuai dengan kondisi geografis pada setiap pulau. Misalnya di Pulau Jawa dan Sumatera memiliki alat transportasi alternatif berupa sistem kereta api. Kenyataan tersebut membuat kepadatan jalan tidak berpengaruh nyata terhadap distribusi ukuran perkotaan di Indonesia. Penghematan urbanisasi dan lokalisasi memiliki pengaruh yang negative dan sigmnifikan, atau dengan kata lain wilayah yang memiliki dominasi aktivitas ekonomi yang tinggi pada kota/kabupaten dengan populasi penduduk perkotaan terbesar dan tingginya tingkat penghematan karena lokalisasi cenderung memiliki distribusi ukuran perkotaan yang tidak merata. Hal ini sesuai dengan hipotesis bahwa peningkatan agglomerasi ekonomi menyebabkan distribusi penduduk pada wilayah tersebut terkonsentrasi pada satu daerah. Nilai koefisien sebesar -0.729 dapat disimpulkan bahwa setiap kenaikan 1 persen pada tingkat penghematan urbanisasi akan menurunkan nilai pareto sebesar 0.729 persen. Sedangkan koefisien sebesar -0.191 dapat didefinisikan bahwa setiap kenaikan pada tingkat pehematan karena lokalisasi akan membuat eksponen pareto menurun sebesar 0.191. Pengaruh negatif yang tidak signifikan pada tingkat penghematan karena spesialisasi menunjukkan telah terciptanya perubahan pada spesialisasi sektoral menjadi
spesialisasi
fungsional
melalui
mekanisme
pemisahan
fasilitas
manajemen dan fasilitas produksi yang dibagi antara kota besar dan kota yang lebih kecil. Persentase angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja perkotaan memiliki pengaruh positif yang signifikan, berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa wilayah yang memiliki tingkat partisipasi angkatan kerja yang tinggi
memiliki distribusi ukuran perkotaan yang relatif terdistribusi secara lebih merata. Nilai koefisien sebesar 0.006 menunjukkan peningkatan proporsi angkatan kerja terhadap penduduk perkotaan usia kerja meningkatkan nilai eksponen pareto sebesar 0.006 persen. Hal ini dimungkinkan terjadi karena peningkatan angkatan kerja memunculkan inisiatif-inisiatif usaha baru di kota/kabupaten yang lebih kecil dan memungkinkan perusahaan untuk melakukan ekspansi usaha dengan membuka cabang-cabang baru di kota-kota lain. Pendapatan per kapita memiliki hubungan yang positif yang tidak signifikan sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan pendapatan per kapita belum dapat membuat distribusi ukuran perkotaan cenderung terdistribusi secara lebih merata. Hal ini dapat dijelaskan karena dengan pendapatan yang meningkat tidak selalu memilih bertempat tinggal pada daerah yang tidak terlalu padat. Hal ini terlihat pada adanya perumahan-perumahan mewah di Indonesia yang berlokasi di pusat kota. Proporsi pengeluaran pemerintah terhadap penerimaan totalnya memiliki hubungan yang negatif signifikan yang menunjukkan semakin besar proporsi pengeluaran terhadap penerimaan total secara nyata menyebabkan
distribusi
ukuran perkotaan semakin tidak merata. Nilai yang negatif ini dapat disebabkan oleh kenyataan bahwa pembangunan fasilitas publik yang dilakukan pemerintah selama ini belum dapat mendorong terbentuknya pusat pelayanan baru sehingga tetap mendorong mobilitas penduduk perkotaan ke kota-kota yang relatif besar. Pembagian wilayah administrasi memiliki hubungan yang negatif signifikan. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal bahwa munculnya kota/kabupaten baru dapat membuat distribusi ukuran perkotaan menjadi lebih
merata. Hubungan negatif signifikan ini dapat dipengaruhi oleh kenyataan bahwa pemekaran wilayah tidak membuat pemerintahan berjalan lebih efisien. Kondisi ini juga dapat disebabkan oleh karena penambahan jumlah kota/kabupaten justru membuat keterkaitan aktivitas ekonomi antar daerah perkotaan tidak berjalan, sehingga perekonomian menjadi cenderung terpusat. Faktor penyebab lainnya adalah proses pemekaran yang terjadi pada sebuah daerah administrasi dengan menghasilkan sebuah daerah administrasi baru, sehingga menyebabkan perkotaan masing-masing yang semakin kecil. Nilai koefisien sebesar -0.012 menunjukkan setiap penambahan pada jumlah kota/kabupaten akan menyebabkan nilai pareto menurun 0.012 persen. Keterbukaan wilayah memiliki hubungan yang positif. Nilai koefisien sebesar 0.041 menunjukkan setiap peningkatan nilai ekspor dan impor terhadap PDRB membuat nilai pareto meningkat 0.041 persen. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa wilayah yang relatif terbuka yang ditandai dengan peningkatan proporsi jumlah ekspor dan impor terhadap PDRB total cenderung memiliki distribusi ukuran perkotaan yang relatif merata. Hal tersebut dapat dikaitkan oleh proses produksi yang menghasilkan barang ekspor dan menghasilkan barang impor telah dilakukan pada daerah dengan ukuran perkotaan yang lebih kecil, sehingga mendorong mobilitas penduduk ke daerah-daerah tersebut. Distribusi ukuran perkotaan yang kelihatan terbentuk saat ini merupakan pola yang memusat dan tidak tercipta hierarki pusat-pusat pelayanan. Kondisi terpusatnya aktivitas ekonomi pada pusat pertumbuhan mengakibatkan besarnya orientasi pergerakan penduduk menuju kota/kabupaten yang ukuran perkotaannya
relatif besar. Maka tidak mengherankan berdasarkan hasil estimasi model tampak bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi distribusi ukuran perkotaan yaitu tingkat peghematan urbanisasi.
Tabel 7. Nilai Koefisian Intersep Pengaruh Karakteristik Wilayah Terhadap Distribusi Ukuran Perkotaan CROSSID Effect CROSSID Effect NAD Nusa Tenggara Barat -0.303 -0.226 Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur 0.009 0.267 Sumatera Barat Kalimantan Barat 0.326 -0.075 Riau Kalimantan Tengah -0.319 -0.017 Jambi Kalimantan Selatan 0.193 0.104 Sumatera Selatan Kalimantan Timur 0.313 -0.649 Bengkulu Sulawesi Utara -0.056 -0.048 Lampung Sulawesi Tengah -0.002 0.114 Jawa Barat Sulawesi Selatan 0.109 0.378 Jawa Tengah Maluku 0.149 -0.211 Jawa Timur Papua 0.118 -0.353 Bali 0.181
Model panel data dengan pendekatan efek tetap dapat mengakomodasi perbedaan konstanta intersep. Konstanta intersep dalam suatu hasil regresi menggambarkan komponen peubah terikat yang tidak dapat diterangkan oleh masing-masing peubah bebas yang digunakan dalam regresi tersebut. Berdasarkan Tabel 7, masing-masing provinsi memiliki nilai konstanta intersep yang berbeda. Nilai tersebut menunjukkan jika karakteristik wilayah yang digunakan dalam model tidak berpengaruh nyata, maka eksponen pareto tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Timur dan terendah adalah Sulawesi Selatan.
5.3. Implikasi Kebijakan Kenyataan bahwa meningkatnya penduduk perkotaan berkaitan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi telah mendorong pemerintah untuk secepat mungkin meningkatkan proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan. Proses
peningkatan penduduk perkotaan ini perlu diarahkan agar tidak terkonsentrasi secara berlebihan. Hal ini terkait dengan konsentrasi yang berlebihan dapat menimbulkan berbagai permasalahan pada daerah tujuan maupun bagi daerah asal. Identifikasi distribusi ukuran perkotaan menunjukkan bahwa daerah dengan ukuran perkotaan terbesar tetap didominasi oleh kota/kabupaten yang berstatus ibukota provinsi. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan yang difokuskan untuk membangun sarana dan prasarana pada pusat pertumbuhan, yang justru menyebabkan semakin besarnya dominasi pusat-pusat pertumbuhan dalam hierarki aktivitas ekonomi. Harapan pusat-pusat pertumbuhan tersebut sebagai pemicu pembangunan kota/kabupaten lainnya menjadi tidak terwujud. Dengan keterbatasan anggaran, pemerintah harus membuat prioritas pembangunan. Pembangunan jalan harus diprioritaskan pada pembangunan jalan antar kota untuk memastikan kelancaran mobilitas orang dan barang, yang tentunya
ditujukan
untuk
meminimisasi
biaya
transportasi
antar
kota.
Pengembangan transportasi ditujukan terutama untuk penyediaan akses antar kota/kabupaten dalam rangka menumbuhkan pusat-pusat palayanan baru. Hal tersebut seperti yang terjadi pada Pulau Jawa. Kota/kabupaten yang berada berbatasan dengan kota besar seperti DKI Jakarta, Kota Surabaya, Kota Semarang dan Kota Bandung mengalami pertumbuhan yang pesat. Hal ini tidak lain karena adanya akses transportasi yang relatif memadai pada pulau ini. Mengingat
mahalnya
harga lahan
pada kota besar,
pemerintah
kota/kabupaten yang berbatasan dengan kota besar tersebut berinisiatif untuk menyediakan perumahan pada lokasinya untuk menarik penduduk di kota-kota
besar. Kemudian muncul masalah transportasi seperti kemacetan lalu lintas akibat peningkatan jumlah komuter karena tingginya daya tarik kota besar sebagai penyedia lapangan kerja dan kebutuhan lain yang lebih lengkap. Untuk mengatasi masalah transportasi komuter ini pemerintah melakukan pengembangan transportasi dengan karakteristik bebas hambatan, cepat, serta daya angkut besar. Walaupun demikian, aktivitas ekonomi seperti lapangan kerja tetap terkonsentrasi pada kota besar yang menyebabkan perkembangan perekonomian secara regional tetap tidak banyak berubah. Ukuran perkotaan suatu daerah dapat diperbesar ketika kawasan yang sebelumnya tergolong pedesaan menjadi perkotaan, namun bukan berarti menomor duakan pembangunan pedesaan, karena pembangunan perkotaan sangat terkait dengan pedesaaan. Perbesaran ukuran perkotaan dapat terjadi tanpa mengorbankan pembangunan pedesaan itu sendiri diantaranya melalui penyediaan berbagai fasilitas perkotaan seperti rumah sakit, pasar, sekolah dan lain lain. Penggunaan teknologi pertanian yang lebih modern juga penting dilakukan, sehingga rumah tangga yang tergolong bermata pencarian sebagai petani berkurang namun produktivitas pertanian tetap tinggi. Berdasarkan perubahan dari sentralisasi ke desentralisasi, otonomi daerah diberikan kepada provinsi dan kabupaten/kota. Otonomi daerah ini lebih condong diberikan kepada kabupaten/kota, karena jarak antara pemerintah daerah kabupaten/kota kepada masyarakat relatif lebih dekat dari pada langsung ke tingkat provinsi. Selain itu, kota/kabupaten dinilai lebih mengetahui karakteristik daerah, sehingga diharapkan lebih mampu mencari strategi pembangunan terbaik.
Hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota hanya sebatas koordinasi, kerjasama dan kemitraan. Pemberlakuan undang-undang otonomi daerah jangan sampai menjadi hambatan keterkaitan aktivitas ekonomi antar kota/kabupaten. Kebijaksanaan pengembangan perkotaan di Indonesia dewasa ini dilandasi pada pengaturan mengenai sistem kota-kota yang terpadu. Dengan semakin terpadunya sistemsistem perkotaan yang ada, diharapkan akan terbentuk suatu hierarki perkotaan; kota besar, menengah, dan kecil tumbuh secara paralel, dimana setiap kota memiliki peran dalam aktivitas ekonomi regional sesuai hierarkinya masingmasing.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Ukuran perkotaan di Indonesia secara umum tidak mengikuti ukuran perkotaan menurut rank-size rule. Identifikasi ukuran perkotaan di Indonesia menunjukkan bahwa terdapat primary city di Indonesia yang ditandai dengan rasio antara ukuran perkotaan terbesar pertama dengan ukuran perkotaan terbesar kedua yang lebih dari 1 berbanding 3. 2. Distribusi ukuran perkotaan di Indonesia pada kurun waktu 1995 hingga 2005 semakin tidak merata. Secara umum Pulau Jawa memiliki distribusi ukuran perkotaan yang lebih merata dibandingkan dengan pulau besar lainnya. 3. Kondisi distribusi ukuran perkotaan yang semakin tidak merata di Indonesia
disebabkan oleh tingkat penghematan urbanisasi, tingkat
penghematan karena lokalisasi, tingkat kemampuan pemerintah dalam membiayai pembangunan dan jumlah daerah administrasi yang cenderung meningkat. Faktor lain yang mempengaruhi distribusi ukuran perkotaan di Indonesia adalah tingkat partisipasi angkatan kerja maupun dalam tingkat keterbukaan
wilayah.
Peningkatan
pada
kedua
faktor
tersebut
menyebabkan distribusi ukuran perkotaan menjadi lebih merata.
6.2. Saran 1.
Pemisahan konsentrasi aktivitas, baik aktivitas produksi dengan aktivitas manajemen, maupun kawasan pemukiman terhadap lokasi bisnis, perlu
dilakukan agar agglomerasi ekonomi tidak terkonsentrasi pada daerah tertentu. Hal ini dapat terealisasi dengan adanya dukungan sistem transportasi yang saling terintegrasi antar daerah, sehingga dapat meminimisasi biaya perjalanan. 2.
Ukuran perkotaan suatu daerah dapat diperbesar ketika kawasan yang sebelumnya tergolong pedesaan berubah menjadi perkotaan. Perbesaran ukuran perkotaan dapat dilakukan sejalan dengan pembangunan pedesaan diantaranya melalui penyediaan berbagai fasilitas perkotaan di pedesaan seperti pengadaan pasar, sekolah, rumah sakit, serta akses terhadap perbankan.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, R. 2005. Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah. Graha Ilmu, Yogyakarta. Badan Pusat Statistik. 2005 dan 2000. Statistik Perhubungan 2000 dan 2005. BPS, Jakarta. ---------. 2005, 2001, dan 1998. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi 1995/1996–1998/1999, 1999/2000-2002, 2003-2006. BPS, Jakarta. ---------. 2005, 2000 dan1995. Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha 1995, 2000, 2005. BPS, Jakarta. ---------. 2005, 2000 dan 1995. Produk Domestik Regional Bruto Menurut Komponen Penggunaan 1995, 2000, 2005. BPS, Jakarta. ---------. 2005 dan 1995. Survei Penduduk Antar Sensus 1995 dan 2005. BPS, Jakarta. ---------. 2000. Sensus Penduduk 2000. BPS, Jakarta. ---------. 1996. Statistik Kendaraan Bermotor dan Panjang Jalan 1995-1996. BPS, Jakarta. BPS, BAPPENAS dan UNFPA. 2005. Proyeksi Penduduk Indonesia 2000-2025. BPS, Jakarta. Bradley, R. dan J.S. Gans. 1998. Growth in Australian City. The Economics Record 74 (226), 266-277. Crampton, G. 2005. The Rank Size Rule in Europe: Testing Zip’s Law Using European Data. ERSA2005, Paper 185, Theme K, Amsterdam. Duranton, G. 2002. City Size Distribution As a Consequence of Growth Process. Centre for economic performance. London School of Economics and Political Science. London. Gabaix, X dan Y.M. Iolinides. 2003. The Evolution of City Size Distribution. Working Paper. Departement of Economics Tufts University. Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Zain dan sumarno [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Henderson, V. 2000. The Effects of Urban Concentration in Economic Growth. Working Papers. National Bureau of Economic Research. http://www.nber.org/papers/w7503.
Hoover
dan Giarratani. 2002. Introduction to http://www.rri.wvm.edu/webbook/giarratani
Regional
Economics.
Hsiao, C. 2004. Analysis of Panel Data. Cambridge University, UK. Junius, K. 1999. Primacy and Economic Development: Bell Shaped or Parallel Growth of Cities. Journal of economics Development. Vol.24 no.1. Kuncoro, M. 2002. Analisis Spasial dan Regional. AMP YKPN, Yogyakarta. Landiyanto, E.A. 2005. Spesialisasi dan Konsentrasi Spasial pada Sektor Industri Manufaktur di Jawa Timur. Disampaikan pada paralel session VIB: Industry and Trade. 17 November 2005. Jakarta. Marbun, B.N. 1994. Kota Indonesia Masa Depan: Masalah dan Prospek. Erlangga, Jakarta. Mulatip, I dan B.P.S. Brodjonegoro. 2004. Determinan Pertumbuhan Kota di Indonesia. Jurnal Pembangunan dan Ekonomi Indonesia. FEUI: Depok. Prabatmodjo, H. 2000. Perkotaan Indonesia pada Abad ke-21: Menuju Urbanisasi Menyebar?. Jurnal Perencanaan Wilayah Kota Vol.11. No.1/Maret 2000. Priyarsono, D.S., Sahara dan M. Firdaus. 2007. Ekonomi Regional. Universitas Terbuka, Jakarta. Roosen, K. T. dan M. Resnick, 1980. The Size Distribution of Cities: An Examination of Pareto Law and Primacy, Journal of Urban Economics 8: 165-186. Soo, K.T. 2002. Zipf’s Law for Cities: A Cross Country Investigation. Processed, London School of Economics. Sullivan, A.O. 2000. Urban Economics, 4th edition. Irwin Mc Graw Hill, Singapore. Verbeek, M. 2004. Modern Econometrics. John Wiley and Sons Inc., USA.
Lampiran 1. Grafik Ukuran Perkotaan Aktual Dibandingkan dengan Ukuran Perkotaan Menurut Rank-SizeRule 1. Tahun 1995 1.0E+07 5.0E+06 3.0E+06 2.0E+06 1.0E+06 5.0E+05 3.0E+05 2.0E+05
S SRSR
1.0E+05 5.0E+04 3.0E+04 2.0E+04 1.0E+04 0
40
80
120 160 200 240 280 R
2. Tahun 2000 1.0E+07 5.0E+06 3.0E+06 2.0E+06 1.0E+06 5.0E+05 3.0E+05 2.0E+05
S SRSR
1.0E+05 5.0E+04 3.0E+04 2.0E+04 1.0E+04 0
40
80 120 160 200 240 280 320 R
3. Tahun 2005
1.0E+07 5.0E+06 3.0E+06 2.0E+06 1.0E+06 5.0E+05 3.0E+05 2.0E+05
S SRSR
1.0E+05 5.0E+04 3.0E+04 2.0E+04 1.0E+04 0
50
100 150 200 250 300 350 R
Keterangan: S = Ukuran perkotaan aktual SRSR = Ukuran perkotaan prediksi ran-size rule
Lampiran 2. Distribusi Ukuran Perkotaan Aktual Tahun 1995, 2000 dan 2005 Tahun 1995 Rank Size Kota/Kabupaten Ukuran Perkotaan lebih dari 5.120.000 1 9023458 D K I Jakarta Ukuran Perkotaan antara 2.560.000 - 5.120.000 jiwa 2 2888879 Kab. Bogor 3 2663820 Kota Surabaya Ukuran Perkotaan antara 1.280.000 - 2.560.000 jiwa 4 2356120 Kota Bandung 5 2137200 Kab. Bekasi 6 1843919 Kota Medan 7 1669381 Kab. Bandung
Ukuran Perkotaan antara 640.000 - 1.280.000 jiwa 8 1258360 Kab. Tangerang 9 1222764 Kota Palembang 10 1104405 Kota Semarang 11 1060257 Kota Ujung Pandang 12 1046204 Kab. Deli Serdang 13 974952 Kota Tangerang 14 906642 Kab. Sidoarjo 15 887757 Kab. Cirebon
Tahun 2000 Rank Size
Kota/Kabupaten
Tahun 2005 Rank Size
Kota/Kabupaten
1
8361079
D K I Jakarta
1
8839247
D K I Jakarta
2 3
2656636 2599796
Kab. Bandung Kota Surabaya
2
2611506
Kota Surabaya
4 5 6 7 8 9 10 11 12
2136260 2013987 1940810 1910683 1622170 1437515 1345232 1339311 1325854
Kota Bandung Kab. Bogor Kab. Tangerang Kota Medan Kota Bekasi Kota Palembang Kota Semarang Kab. Sidoarjo Kota Tangerang
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
2419666 2292672 2288570 2180910 2029797 1940308 1453608 1451595 1352869 1339263 1323169
Kab. Bandung Kab. Tangerang Kota Bandung Kab. Bogor Kota Medan Kota Bekasi Kab. Sidoarjo Kota Tangerang Kota Semarang Kota Depok Kota Palembang
13 14 15 16 17 18 19 20
1120892 1082736 1077225 1044894 967740 951446 784681 766617
Kota Depok Kab. Cirebon Kota Ujung Pandang Kab. Deli Serdang Kab. Bekasi Kab. Malang Kab. Jember Kab. Tegal
14 15 16 17 18 19 20 21
1272550 1168258 1135530 1065933 891467 886394 816283 808112
Kab. Bekasi Kota Makassar Kab. Cirebon Kab. Deli Serdang Kota Bogor Kab. Malang Kab. Sleman Kab. Jember
16 17
716862 680332
Kota Malang Kota Bandar Lampung
Ukuran Perkotaan antara 320.000 - 640.000 jiwa 18 616502 Kab. Tegal 19 578097 Kab. Malang 20 534474 Kota Padang 21 516594 Kota Surakarta 22 516410 Kab. Banyumas 23 482931 Kota Banjarmasin 24 474251 Kab. Jember 25 457815 Kab. Kudus 26 448477 Kab. Sleman 27 445626 Kab. Klaten 28 444482 Kab. Karawang 29 444207 Kab. Tasikmalaya 30 443744 Kab. Sukoharjo 31 438638 Kota Pekan Baru 32 438228 Kab. Bantul 33 418944 Kota Yogyakarta 34 418320 Kab. Brebes 35 409632 Kota Pontianak
21 22 23 24 25 26
746921 742826 742263 738786 735916 662211
Kota Bogor Kab. Klaten Kota Malang Kab. Sleman Kota Bandar Lampung Kab. Banyumas
22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
790057 773174 761167 750929 726644 703956 688021 686908 674937 665026
Kota Bandar Lampung Kota Malang Kab. Tegal Kab. Karawang Kab. Klaten Kota Pekan Baru Kab. Jombang Kota Padang Kab. Pemalang Kab. Banyumas
27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
660806 626583 614799 602152 601341 579773 576612 562051 551786 551572 546436 532944 521999 517315 514894 508259 500960 493727
Kab. Karawang Kab. Pemalang Kab. Jombang Kab. Tasikmalaya Kota Padang Kab. Garut Kota Pekan Baru Kab. Bantul Kab. Brebes Kab. Banyuwangi Kab. Sukoharjo Kota Denpasar Kota Banjarmasin Kab. Kediri Kab. Pasuruan Kab. Sukabumi Kab. Gresik Kab. Jepara
32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
621794 618122 587227 583253 576413 574610 573848 571157 546879 542927 535264 528295 520699 519930 513338 511568 506397 505664
Kab. Garut Kab. Bantul Kota Batam Kab. Sukoharjo Kota Banjarmasin Kota Denpasar Kab. Gresik Kab. Brebes Kota Cimahi Kab. Sukabumi Kab. Jepara Kab. Banyuwangi Kab. Pasuruan Kab. Kediri Kab. Kudus Kab. Cianjur Kota Surakarta Kota Samarinda
36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
407660 399175 395100 385201 365070 363474 362746 362283 347616 344955 338752 332948 332288 328716
Kab. Sukabumi Kota Samarinda Kab. Pemalang Kota Jambi Kab. Banyuwangi Kota Denpasar Kab. Jombang Kab. Indramayu Kab. Serang Kab. Cilacap Kota Balikpapan Kab. Kediri Kota Manado Kab. Jepara
Ukuran Perkotaan antara 160.000 - 320.000 jiwa 50 316758 Kab. Gresik 51 312000 Kab. Pasuruan 52 308321 Kab. Garut 53 306440 Kab. Mojokerto 54 306336 Kota Mataram 55 305490 Kab. Bengkalis
45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66
490853 482603 478865 466350 465674 458587 454843 426496 414882 411057 400351 396744 386362 382453 379984 369737 357292 357216 356560 352995 351140 341552
Kota Surakarta Kab. Cianjur Kab. Kudus Kota Samarinda Kota Pontianak Kab. Serang Kab. Cilacap Kab. Lombok Timur Kota Batam Kab. Indramayu Kota Jambi Kota Yogyakarta Kab. Tulungagung Kota Balikpapan Kab. Mojokerto Kab. Majalengka Kab. Kendal Kab. Pekalongan Kab. Ciamis Kota Manado Kab. Pati Kab. Karanganyar
50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69
501843 464418 456278 455244 440552 433539 431741 409202 406520 402026 396412 385269 370139 369591 354124 354002 350054 345014 342896 324116
Kota Pontianak Kab. Serang Kota Tasikmalaya Kab. Cilacap Kota Balikpapan Kota Yogyakarta Kab. Indramayu Kota Jambi Kab. Tulungagung Kab. Mojokerto Kab. Lombok Timur Kab. Majalengka Kota Manado Kab. Pekalongan Kab. Karanganyar Kab. Pati Kab. Kendal Kab. Bengkalis Kota Mataram Kab. Nganjuk
67 68 69 70 71 72
317941 317288 295953 291439 287430 282714
Kab. Nganjuk Kota Mataram Kab. Sumedang Kab. Kebumen Kab. Subang Kab. Magelang
70 71 72 73 74 75
308771 305713 305256 294879 293047 292382
Kota Cirebon Kab. Subang Kab. Sumedang Kab. Purwakarta Kab. Semarang Kab. Lombok Barat
56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84
301504 289744 285114 277920 273780 263998 257895 256371 254406 253760 249312 248018 244006 242653 238080 236250 234324 225784 224640 222183 218160 216864 209500 208200 205318 203360 203056 201762 201279
Kota Pekalongan Kota Tegal Kota Bogor Kab. Labuhan Batu Kab. Cianjur Kab. Tulungagung Kab. Kepulauan Riau Kab. Gunung Kidul Kota Cirebon Kota Kediri Kota Ambon Kab. Majalengka Kab. Kuningan Kab. Kutai Kab. Asahan Kab. Lumajang Kota Bengkulu Kab. Aceh Utara Kab. Situbondo Kab. Nganjuk Kab. Pati Kab. Pekalongan Kota Palu Kab. Subang Kab. Magelang Kab. Batang Kota Pematang Siantar Kota Banda Aceh Kab. Blitar
73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101
277286 276595 275476 272696 272263 271884 270948 259870 256824 250790 248170 247154 245887 244519 243746 242712 239102 236988 235548 232171 229968 229730 229245 225275 218386 216368 216331 215711 215085
Kab. Kuningan Kab. Purwakarta Kab. Probolinggo Kab. Demak Kota Cirebon Kab. Semarang Kota Bengkulu Kab. Blitar Kota Pekalongan Kab. Asahan Kab. Lombok Barat Kota Cilegon Kab. Aceh Utara Kota Kediri Kota Sukabumi Kota Pematang Siantar Kab. Sragen Kota Tegal Kab. Boyolali Kota Palu Kab. Situbondo Kab. Gianyar Kab. Bengkalis Kab. Kepulauan Riau Kab. Batang Kab. Buleleng Kota Kupang Kab. Lumajang Kota Banda Aceh
76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104
282776 282304 280373 276820 274858 270357 270346 264731 264368 264142 263921 259227 252768 251844 248640 246974 243443 239833 238676 236315 232801 231921 230784 229525 223923 222299 217298 211510 207305
Kab. Kuningan Kab. Magelang Kota Sukabumi Kota Cilegon Kab. Ciamis Kab. Asahan Kab. Probolinggo Kab. Kebumen Kab. Blitar Kab. Demak Kota Pekalongan Kab. Sragen Kota Bengkulu Kota Palu Kota Kediri Kab. Gianyar Kab. Langkat Kab. Boyolali Kota Tegal Kab. Buleleng Kab. Situbondo Kab. Badung Kota Kupang Kota Pematang Siantar Kab. Batang Kota Binjai Kab. Lumajang Kab. Ponorogo Kab. Bojonegoro
85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95
201216 199644 191391 191168 186150 183612 182470 173472 172187 171532 165244
Kab. Kendal Kab. Semarang Kab. Boyolali Kab. Karanganyar Kab. Grobogan Kab. Lampung Tengah Kab. Badung Kab. Kupang Kab. Ciamis Kota Madiun Kab. Wonogiri
Ukuran Perkotaan antara 80.000 - 160.000 jiwa 96 158800 Kab. Ponorogo 97 157042 Kab. Aceh Timur 98 155600 Kab. Kebumen
102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126
210222 209444 206460 202254 198377 197056 195319 195122 194787 192863 191730 190909 190829 185833 181940 174946 173566 172973 171209 167898 166268 164426 163956 162521 162272
Kota Binjai Kab. Muara Enim Kab. Ponorogo Kab. Karimun Kab. Tuban Kab. Badung Kab. Bojonegoro Kab. Lamongan Kab. Simalungun Kab. Purbalingga Kab. Magetan Kab. Minahasa Kab. Langkat Kab. Purworejo Kab. Grobogan Kab. Ogan Komering Ulu Kab. Bangkalan Kab. Musi Banyu Asin Kab. Blora Kab. Temanggung Kab. Labuhan Batu Kab. Wonogiri Kota Madiun Kota Pasuruan Kota Kendari
105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129
204218 203610 203185 199973 195006 194938 194349 194077 193777 189044 185117 182541 182275 179845 177881 171390 169327 168734 167958 166519 165628 164220 163085 162900 161704
Kota Ambon Kab. Tuban Kab. Magetan Kab. Purworejo Kota Kendari Kab. Grobogan Kab. Bangkalan Kab. Tasikmalaya Kab. Purbalingga Kab. Labuhan Batu Kab. Blora Kab. Lampung Selatan Kab. Lamongan Kab. Simalungun Kota Banda Aceh Kota Madiun Kab. Gowa Kota Probolinggo Kota Tanjung Pinang Kota Pasuruan Kab. Temanggung Kota Jayapura Kab. Wonogiri Kab. Serdang Bedagai Kab. Pandeglang
127 128 129
158608 156657 156042
Kab. Pandeglang Kota Probolinggo Kota Ambon
130 131 132
158467 156012 154047
Kab. Pontianak Kab. Banjarnegara Kab. Bondowoso
99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127
155290 155050 153549 151515 148423 148010 143276 142990 142655 142610 140007 137855 137100 136544 135324 134384 133988 133485 132864 132319 131264 129240 128384 127629 125766 124605 124196 123800 120770
Kab. Purwakarta Kab. Pontianak Kab. Banjar Kab. Demak Kab. Kendari Kab. Probolinggo Kab. Blora Kab. Tuban Kab. Bangkalan Kota Binjai Kota Batam Kab. Sumedang Kota Pasuruan Kab. Muara Enim Kab. Buton Kab. Bulongan Kab. Buleleng Kota Palangka Raya Kab. Bojonegoro Kab. Sambas Kab. Kulon Progo Kota Tebing Tinggi Kab. Lahat Kab. Lombok Timur Kota Sukabumi Kab. Sumenep Kab. Bangka Kota Magelang Kota Probolinggo
130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158
154528 154355 153365 152219 151177 150874 147846 145832 144380 142005 141782 141215 137676 136925 134882 133565 131411 129144 128331 128117 126965 125184 124736 124188 121997 121784 121382 120543 119942
Kota Jayapura Kab. Lampung Selatan Kab. Bangka Kab. Bondowoso Kab. Banjarnegara Kab. Madiun Kab. Tanggamus Kab. Rembang Kab. Aceh Timur Kota Salatiga Kab. Trenggalek Kota Palangka Raya Kab. Lahat Kab. Gowa Kab. Kotawaringin Timur Kab. Sumenep Kota Ternate Kab. Sumbawa Kab. Kutai Kab. Pontianak Kab. Pamekasan Kota Tebing Tinggi Kab. Musi Rawas Kab. Lombok Tengah Kota Pangkal Pinang Kab. Wonosobo Kab. Kota Baru Kab. Bengkayang Kab. Tabanan
133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161
152913 148355 148139 147322 147030 145929 144383 143430 143390 143228 143141 140037 139969 139385 137461 136662 136346 134550 134548 133897 133078 132462 131999 131638 131345 129489 126776 126491 126365
Kota Salatiga Kab. Banyuasin Kota Palangka Raya Kab. Madiun Kota Tarakan Kota Banjar Baru Kota Lhokseumawe Kota Sorong Kab. Rembang Kab. Trenggalek Kab. Tanggamus Kota Dumai Kab. Sumenep Kota Pangkal Pinang Kota Gorontalo Kab. Muara Enim Kab. Pamekasan Kab. Kutai Kota Tebing Tinggi Kota Tanjung Balai Kota Ternate Kab. Tabanan Kota Bitung Kab. Lombok Tengah Kab. Karimun Kota Padang Sidempuan Kota Blitar Kota Langsa Kota Lubuk Linggau
128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156
117978 117972 116494 115804 114912 114224 113895 113876 112896 112413 111111 110770 108696 105792 103974 101892 101796 101250 99912 97614 97428 95653 93130 92225 90402 89920 89100 88363 87143
Kab. Polewali Mamasa Kab. Ogan Komering Ulu Kab. Rembang Kab. Purworejo Kab. Belitung Kab. Lampung Selatan Kota Pangkal Pinang Kota Blitar Kab. Tapanuli Selatan Kab. Maluku Utara Kab. Lamongan Kota Gorontalo Kota Jayapura Kab. Simalungun Kota Mojokerto Kota Salatiga Kota Tanjung Balai Kab. Gowa Kab. Sorong Kab. Wajo Kab. Luwu Kota Pare-Pare Kab. Musi Banyu Asin Kab. Tabanan Kab. Madiun Kab. Bondowoso Kab. Bone Kab. Langkat Kab. Kota Baru
159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187
119621 119372 119092 118532 118237 117553 116723 115714 113302 112851 112773 112366 111883 111716 108938 108493 105860 105618 105115 102291 98910 98591 97791 93422 91991 89885 89071 88367 88032
Kota Gorontalo Kota Blitar Kab. Rejang Lebong Kota Banjar Baru Kota Tanjung Balai Kota Magelang Kab. Lampung Utara Kota Dumai Kab. Bima Kab. Ogan Komering Ilir Kota Tarakan Kab. Sidenreng Rappang Kab. Belitung Kota Bitung Kota Mojokerto Kab. Tapanuli Selatan Kab. Jembrana Kota Sorong Kab. Buton Kab. Luwu Kab. Lampung Tengah Kota Pare-Pare Kota Bontang Kab. Lebak Kota Bukittinggi Kab. Bone Kota Metro Kab. Polewali Mamasa Kab. Kotawaringin Barat
162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190
124374 123762 121813 120142 118405 113656 113052 111860 109787 109033 104824 101453 100588 100512 99686 98928 98451 97290 97198 96105 95904 95894 95872 94756 94027 92764 92620 90489 89054
Kota Magelang Kab. Sumbawa Kab. Wonosobo Kab. Siak Kota Bontang Kota Singkawang Kota Batu Kota Mojokerto Kab. Jembrana Kab. Lampung Utara Kab. Lebak Kota Pare-Pare Kab. Banjar Kota Bukittinggi Kab. Bone Kab. Lampung Tengah Kab. Kotawaringin Timur Kota Palopo Kab. Kotawaringin Barat Kab. Rokan Hilir Kab. Merauke Kota Metro Kab. Bangka Kota Prabumulih Kota Bima Kab. Polewali Mandar Kab. Rejang Lebong Kota Sibolga Kab. Lahat
157 85484 Kab. Rejang Lebong 158 85304 Kab. Kotawaringin Timur 159 84972 Kab. Lebak 160 82350 Kab. Purbalingga 161 81928 Kota Bukittinggi 162 81540 Kota Bitung 163 80784 Kab. Agam 164 80666 Kab. Bima Ukuran Perkotaan antara 40.000 - 80.000 jiwa 165 79872 Kab. Banjarnegara 166 79632 Kab. Temanggung 167 79442 Kab. Ogan Komering Ilir 168 79170 Kab. Kampar 169 77749 Kab. Wonosobo 170 76934 Kota Sibolga 171 74712 Kab. Sampang 172 74351 Kab. Maluku Tengah 173 73953 Kab. Poso 174 73746 Kab. Sragen 175 73556 Kab. Padang Pariaman 176 73440 Kab. Pamekasan 177 73132 Kab. Banggai 178 72496 Kab. Minahasa 179 71586 Kab. Klungkung 180 70027 Kab. Tapanuli Utara 181 68930 Kab. Bungo Tebo 182 67950 Kab. Gianyar 183 66300 Kab. Sawahlunto/Sijunjung 184 65709 Kab. Indragiri Hulu
188 189 190 191
87081 84604 82107 81333
Kab. Siak Kab. Gorontalo Kota Sibolga Kab. Banjar
191 192 193 194 195
89040 85403 83694 83108 80266
Kota Banjar Kab. Minahasa Kota Baubau Kab. Tanah Bumbu Kab. Ketapang
192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211
79620 78866 78705 76700 74566 73685 73543 72624 71257 70528 70366 68345 66556 66374 66129 65997 65737 65674 62071 60119
Kab. Agam Kab. Aceh Barat Kab. Rokan Hilir Kab. Sampang Kab. Padang Pariaman Kab. Wajo Kab. Kapuas Kab. Ngawi Kab. Pasir Kab. Klungkung Kab. Ketapang Kab. Sanggau Kab. Tanjung Jabung Barat Kab. Kulon Progo Kab. Karo Kab. Sambas Kota Payakumbuh Kab. Maluku Tengah Kab. Indragiri Hilir Kab. Ende
196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215
79603 78860 78545 78356 77647 77412 76815 76274 75011 74459 72261 71390 71058 70563 68173 67100 66873 66063 65598 65346
Kab. Agam Kab. Sampang Kab. Gorontalo Kab. Tanjung Jabung Barat Kab. Wajo Kab. Ngawi Kab. Ogan Komering Ulu Kab. Indragiri Hilir Kab. Klungkung Kab. Sambas Kab. Aceh Timur Kab. Kepulauan Riau Kab. Kulon Progo Kab. Belitung Kota Payakumbuh Kab. Belu Kab. Karo Kab. Berau Kab. Banggai Kab. Kota Baru
185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213
64640 63558 61642 61370 61336 61335 61020 59170 58374 57368 56028 53868 53856 53592 53445 53244 52375 52116 51480 51456 51128 50358 48503 48250 47414 46624 46516 46190 45436
Kab. Lampung Utara Kab. Sumbawa Kota Payakumbuh Kab. Maluku Tenggara Kab. Kotawaringin Barat Kab. Magetan Kab. Pandeglang Kab. Ende Kab. Batang Hari Kab. Kerinci Kab. Merauke Kab. Manokwari Kab. Karo Kab. Musi Rawas Kab. Lombok Barat Kab. Indragiri Hilir Kab. Tapanuli Tengah Kab. Ngawi Kab. Aceh Barat Kab. Hulu Sungai Utara Kab. Sikka Kab. Bulukumba Kab. Sumba Timur Kab. Maros Kab. Pinrang Kab. Trenggalek Kab. Bolaang Mengondow Kab. Jayapura Kab. Tanjung Jabung
212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240
58420 57614 57112 56383 55112 54635 51438 51141 51012 50514 49863 49298 49108 49018 48985 48341 47799 47338 46323 46035 45894 45863 44845 44527 44155 43167 42775 41922 41669
Kab. Banggai Kab. Pacitan Kab. Pasaman Kab. Kolaka Kab. Manggarai Kab. Pinrang Kab. Maros Kab. Bolaang Mengondow Kab. Berau Kab. Karang Asem Kab. Tana Toraja Kab. Maluku Utara Kab. Aceh Tengah Kab. Bulukumba Kab. Tanjung Jabung Timur Kab. Aceh Selatan Kab. Maluku Tenggara Kota Solok Kab. Hulu Sungai Selatan Kab. Mandailing Natal Kab. Majene Kab. Merauke Kab. Hulu Sungai Utara Kab. Belu Kab. Bangli Kab. Biak Numfor Kab. Sintang Kab. Sikka Kab. Tapanuli Utara
216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244
64910 64129 63969 63243 60888 60602 60212 59412 59215 58755 58709 58688 58591 57920 56293 54668 54049 51717 51431 50651 50455 49718 48535 48211 47793 47691 47324 47267 47026
Kab. Sidenreng Rappang Kab. Kolaka Kab. Pinrang Kab. Ende Kab. Maluku Tengah Kab. Tana Toraja Kab. Aceh Besar Kab. Aceh Selatan Kab. Bulukumba Kab. Bolaang Mengondow Kab. Kapuas Kab. Pacitan Kab. Ogan Komering Ilir Kab. Karang Asem Kab. Maros Kota Pagar Alam Kota Solok Kab. Manggarai Kab. Kerinci Kab. Ogan Ilir Kab. Aceh Barat Kab. Hulu Sungai Utara Kab. Belitung Timur Kab. Mandailing Natal Kab. Bangli Kab. Tanjung Jabung Timur Kab. Majene Kab. Sanggau Kota Tomohon
214 215 216 217 218 219 220
45136 43316 42828 41008 40766 40260 40194
Kab. Takalar Kab. Biak Numfor Kab. Nias Kab. Gorontalo Kab. Manggarai Kab. Aceh Selatan Kab. Lombok Tengah
Ukuran Perkotaan antara 20.000 - 40.000 jiwa 221 39712 Kab. Pidie 222 39510 Kab. Sidenreng Rappang 223 37700 Kab. Muna 224 36252 Kab. Buol Toli-Toli
241 242 243 244 245
40993 40916 40818 40531 40200
Kab. Kerinci Kab. Toba Samosir Kab. Pesisir Selatan Kab. Aceh Besar Kab. Soppeng
245 246 247 248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267 268
46977 46968 46696 46274 45842 45662 45152 43753 43648 43584 43504 43189 42541 42491 42447 42422 42298 41999 41696 41617 41558 41068 40971 40732
Kab. Hulu Sungai Selatan Kab. Mimika Kab. Aceh Utara Kab. Nias Kab. Bungo Kab. Pelalawan Kab. Ogan Komering Ulu Timur Kab. Tabalong Kab. Pasir Kab. Soppeng Kab. Musi Banyu Asin Kab. Sinjai Kab. Pesisir Selatan Kab. Kampar Kab. Sikka Kota Pariaman Kab. Hulu Sungai Tengah Kab. Tanah Laut Kab. Minahasa Utara Kab. Bantaeng Kab. Tapanuli Tengah Kab. Indragiri Hulu Kab. Toli-Toli Kab. Sumba Timur
246 247 248 249
39740 39732 39472 39406
Kab. Lampung Timur Kab. Kutai Timur Kab. Donggala Kab. Bungo
269 270 271 272
39938 39694 39676 39537
Kab. Nunukan Kota Padang Panjang Kab. Barru Kab. Pangkajene Kepulauan
225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253
36025 34440 34221 33712 31680 31312 31080 30303 30051 29547 28710 28620 28324 27968 27918 27900 27406 27040 26910 26404 25840 25241 24832 24332 23868 23842 23490 22644 22386
Kab. Karang Asem Kota Padang Panjang Kab. Aceh Tengah Kab. Kolaka Kab. Majene Kab. Pesisir Selatan Kab. Donggala Kab. Kapuas Kab. Sanggau Kab. Tana Toraja Kab. Soppeng Kab. Berau Kab. Sarolangun Bangko Kab. Barru Kab. Fak-Fak Kab. Barito Utara Kab. Barito Selatan Kab. Timor Tengah Selatan Kab. Bengkulu Selatan Kab. Ketapang Kab. Sinjai Kota Solok Kab. Jembrana Kab. Paniai Kab. Pasaman Kab. Tanah Laut Kab. Sintang Kab. Jeneponto Kab. Tanah Datar
250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278
39111 38930 38225 38150 37737 37703 37451 37310 36803 36347 35385 34875 34758 34669 34657 34204 33566 33491 32929 32818 32261 32179 32023 31862 30986 30702 30254 30215 29738
Kab. Luwu Utara Kab. Sinjai Kab. Bantaeng Kab. Barito Selatan Kab. Kampar Kab. Bengkulu Selatan Kab. Barru Kab. Pangkajene Kepulauan Kab. Indragiri Hulu Kab. Toli-Toli Kab. Dairi Kab. Gunung Kidul Kab. Dompu Kota Padang Panjang Kab. Tabalong Kab. Barito Utara Kab. Tanah Datar Kab. Barito Kuala Kab. Muna Kab. Sumba Timur Kab. Batang Hari Kab. Takalar Kab. Bengkulu Utara Kab. Manokwari Kab. Halmahera Tengah Kab. Tanah Laut Kab. Hulu Sungai Tengah Kab. Solok Kab. Tapanuli Tengah
273 274 275 276 277 278 279 280 281 282 283 284 285 286 287 288 289 290 291 292 293 294 295 296 297 298 299 300 301
37957 37455 37382 36825 36770 36383 36317 35767 35617 35294 35194 35068 34629 33960 33350 33088 32863 31382 31028 30976 30681 30469 29876 29780 29230 29169 28498 28347 28254
Kab. Dairi Kab. Penajam Paser Utara Kab. Luwu Timur Kab. Dompu Kab. Bengkulu Selatan Kab. Sintang Kab. Lampung Timur Kab. Pasaman Kab. Pasaman Barat Kab. Takalar Kab. Tanah Datar Kab. Muna Kab. Gunung Kidul Kab. Padang Pariaman Kab. Bulongan Kab. Timor Tengah Selatan Kab. Aceh Tengah Kab. Nabire Kab. Flores Tim ur Kab. Kuantan Singingi Kab. Bangka Selatan Kab. Batang Hari Kab. Aceh Tamiang Kab. Alor Kota Sawah Lunto Kab. Minahasa Selatan Kab. Aceh Jaya Kab. Lingga Kab. Biak Numfor
254 255 256 257 258 259 260
22185 21424 21402 21340 21294 21060 20304
Kab. Flores Timur Kab. Sumba Barat Kab. Hulu Sungai Tengah Kab. Hulu Sungai Selatan Kab. Mamuju Kab. Bangli Kab. Jayawijaya
279 280 281 282 283 284 285 286 287 288 289 290 291 292 293 294 295 296 297 298 299 300 301
29627 29067 28689 28356 28349 28141 28048 27713 27003 26817 26319 26224 25570 25532 24624 23293 23028 22704 22043 21948 21186 21072 20968
Kab. Rokan Hulu Kab. Pidie Kab. Bulongan Kab. Kuantan Singingi Kota Sawah Lunto Kab. Nias Kab. Flores Timur Kab. Sawahlunto/Sijunjung Kab. Alor Kab. Nunukan Kab. Timor Tengah Selatan Kab. Sangihe Talaud Kab. Jayapura Kab. Landak Kab. Poso Kab. Fak-Fak Kab. Merangin Kab. Jeneponto Kab. Kendari Kab. Bireuen Kab. Mamuju Kab. Pelalawan Kab. Sumba Barat
302 303 304 305 306 307 308 309 310 311 312 313 314 315 316 317 318 319 320 321 322 323 324 325 326 327 328 329 330
28115 28044 27982 27939 27874 27741 27732 27716 27630 27411 27317 27257 26778 26297 26202 25959 25917 25755 25546 25534 25068 24320 24240 23778 23573 23333 22692 22654 22429
Kab. Aceh Barat Daya Kab. Rokan Hulu Kab. Kutai Timur Kab. Barito Utara Kab. Kepulauan Sangihe Kab. Nagan Raya Kab. Toba Samosir Kab. Barito Kuala Kab. Jayapura Kab. Bima Kab. Bangka Barat Kab. Pidie Kab. Barito Selatan Kab. Maluku Tenggara Kab. Kepulauan Sula Kab. Mamuju Kab. Sumbawa Barat Kab. Bireuen Kota Tidore Kepulauan Kab. Bener Meriah Kab. Bengkulu Utara Kab. Natuna Kab. Solok Kab. Sumba Barat Kab. Konawe Kab. Jeneponto Kab. Merangin Kab. Tapanuli Utara Kab. Nias Selatan
331 332 333 334 335 336
21836 21636 20628 20286 20114 20096
Kab. Yapen Waropen Kab. Tapin Kab. Donggala Kab. Kepulauan Aru Kab. Landak Kab. Fak-Fak
Lampiran 3. Nilai Eksponen Pareto Hasil Estimasi dengan OLS Provinsi 1995 Nangroe Aceh Darussalam 0.623 Sumatera Utara 0.654 Sumatera Barat 0.774 Riau 0.787 Jambi 0.696 Sumatera Selatan 0.765 Bengkulu 0.491 Lampung 0.597 Jawa Barat 0.686 Jawa Tengah 1.205 Yogyakarta 0.931 Jawa Timur 0.876 Bali 0.742 Nusa Tenggara Barat 0.700 Nusa Tenggara Timur 1.030 Kalimantan Barat 0.507 Kalimantan Tengah 0.960 Kalimantan Selatan 0.576 Kalimantan Timur 0.437 Sulawesi Utara 0.623 Sulawesi Tengah 0.819 Sulawesi Selatan 0.804 Sulawesi Tenggara 0.671 Maluku 0.572 Papua 1.145 Keterangan: Signifikan pada taraf nyata 5% Cetak tebal = tidak signifikan pada taraf nyata 5%
2000 0.735 0.688 0.885 0.682 0.693 0.854 0.584 0.564 0.840 1.395 0.405 1.017 0.855 0.731 0.971 0.640 0.992 0.776 0.722 0.764 0.665 0.900 0.757 0.686 0.886
2005 1.089 0.643 0.845 0.743 0.677 0.793 0.581 0.558 0.796 1.395 0.393 1.022 0.851 0.613 0.935 0.634 0.812 0.849 0.713 0.797 0.670 0.869 0.680 0.781 0.810
Lampiran 4. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Distribusi Ukuran Perkotaan dengan Pengujian Hausman Test Correlated Random Effects - Hausman Test Test cross-section random effects Test Summary
Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f.
Cross-section random
Prob.
19.978281
9
0.0180
Cross-section random effects test comparisons: Variable Fixed Random
Var(Diff.)
Prob.
0.038424 0.020665 0.063099 0.018945 0.000019 0.000004 0.005843 0.000024 0.002359
0.1470 0.3956 0.7306 0.5076 0.8582 0.0012 0.3058 0.0232 0.0451
ROADENS LOG(URBAN) LOC LOG(SPEC) RPAK GDRPCAP PUBLIC ADM LOG(OPENREG)
-0.112886 -0.497561 -0.324811 -0.309977 0.002112 0.007703 -0.191465 -0.007937 0.065420
0.171381 -0.375428 -0.238319 -0.218776 0.001338 0.000948 -0.113190 0.003106 -0.031911
Lampiran 5. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Distribusi Ukuran Perkotaan dengan Pendekatan Efek Tetap Pembobotan dan White Cross Section Covariance Dependent Variable: LOG(PE) Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Sample: 01 03 Cross-sections included: 23 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C ROADENS LOG(URBAN) LOC LOG(SPEC) RPAK GDRPCAP PUBLIC ADM LOG(OPENREG)
-1.280749 -0.121223 -0.729288 -0.190657 -0.218801 0.006364 0.007354 -0.140223 -0.012264 0.041432
0.296288 0.092088 0.074474 0.080041 0.147282 0.001671 0.004155 0.016260 0.004021 0.009520
-4.322644 -1.316385 -9.792545 -2.382011 -1.485593 3.808469 1.770133 -8.623642 -3.049931 4.352161
0.0001 0.1961 0.0000 0.0225 0.1459 0.0005 0.0849 0.0000 0.0042 0.0001
Kriteria Statistik Weighted Statistic Unweighted Statistic R-squared 0.951139 R-squared 0.927593 Adjusted R-squared 0.910201 Sum squared resid 0.510574 Mean dependent var -0.387300 Mean dependent var -0.269608 Durbin-Watson stat 2.401481 Durbin-Watson stat 2.437363 S.D. dependent var 0.394116 Sum squared resid 0.344541 S.E. of regression 0.096498 F-statistic 23.23381 Prob(F-statistic) 0.000000 Effect Specification CROSSID Effect CROSSID Effect NAD Nusa Tenggara Barat -0.303500 -0.225630 Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur 0.009088 0.266752 Sumatera Barat Kalimantan Barat 0.326346 -0.075140 Riau Kalimantan Tengah -0.319300 -0.017360 Jambi 0.192503 Kalimantan Selatan 0.104221 Sumatera Selatan 0.313251 Kalimantan Timur -0.648830 Bengkulu -0.056500 Sulawesi Utara -0.047650 Lampung -0.002400 Sulawesi Tengah 0.113739 Jawa Barat 0.109354 Sulawesi Selatan 0.377500 Jawa Tengah 0.148903 Maluku -0.211450
Jawa Timur Bali
0.118122 Papua 0.181170
-0.353210
Lampiran 6. Uji Kenormalan 7 Series: Standardized Residuals Sample 01 03 Observations 69
6 5 4 3 2 1 0 -0.10
-0.05
-0.00
0.05
0.10
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
3.76e-17 -0.006915 0.138827 -0.131912 0.071181 0.073560 2.067852
Jarque-Bera Probability
2.560314 0.277994