Diskusi Kamisan Filsafat UI 7 Mei 2015
Filsafat &
Sastra
PENGANTAR Diskusi Kamisan Filsafat (DKF) diadakan setiap dua minggu oleh Departemen Filsafat, FIB, UI. Diskusi bertujuan untuk membahas persoalan-persoalan kontemporer yang berhubungan dengan filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Diskusi ini terbatas untuk kalangan pengajar, mahasiswa. alumni serta pengamat yang berminat dalam isu-isu filsafat. DKF membebaskan pembicara mengeksplorasi tema yang dibicarakan dan peserta aktif berpartisipasi. Setiap hasil DKF dapat diunggah di:
www.filsafatuniversitasindonesia.com
“STRONG MINDS DISCUSS IDEAS, AVERAGE MINDS DISCUSS EVENTS, WEAK MINDS DISCUSS PEOPLE” - SOCRATES
PRESENTASI
Gadis Arivia (Moderator): Selamat sore teman-teman semua, senang bisa berkumpul bersama untuk berdiskusi. Sebenarnya diskusi kamisan Filsafat diperuntukkan bagi siapa saja yang berminat pada filsafat. Intinya diskusi ini adalah untuk melakukan semacam dialog filsafat dengan ilmu-ilmu lain. Kali ini kita mengundang Okky Madasari, pegiat sastra yang telah banyak menulis novel dan salah satu novelnya, Maryam, meraih Khatulistiwa Literary Award, 2012. Pembicara kita lainnya, Tommy F. Awuy, pengajar di Departemen Filsafat juga sangat dikenal jadi tidak perlu lagi saya mengenalkannya. mulai berdiskusi!
Untuk menghemat waktu mari kita
SECTION 1
Tommy Awuy
Tommy aktif sebagai dosen Filsafat di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Atmajaya. Ia telah menulis berbagai buku tentang filsafat dan seni antara lain Problem Filsafat Modern dan Dekontruksi (1993), Wacana Tragedi dan Dekontruksi Kebudayaan (1995), Teater Indonesia, Konsep Sejarah, dan Problem (editor 2000), Kumpulan Cerpen Logika Falus
(2001). Ia sangat berminat pada seni dan memiliki galeri seni di Kemang, Jakarta Selatan, yang sangat diminati. Tommy mengajar berbagai mata kuliah filsafat di Departemen Filsafat, FIB, UI antara lain mata kuliah Filsafat dan Sastra.
Syahdan, alkisah, once upon a time....apa belum cukup sastrawi pembukaannya? Tersebutlah dewa Yunani Kuno, bernama Merkurius, yang pada suatu hari jalan tergopoh-gopoh mengangkat sebuah kotak menuju ke sebuah rumah. Di dalam rumah itu sudah menunggu seorang perempuan bernama Pandora. Merkurius masuk, meminta kepada Pandora, yang bersuamikan Epimeteus, untuk menyimpan kotak itu dan jangan dibuka. ! Setelah mendapatkan jawaban definitif dari Pandora bahwa dia tidak akan membuka kotak itu maka pergilah Merkurius dengan hati lega dan lapang. Namun ternyata, Pandora seorang yang memiliki rasa penasaran yang 4
tinggi, rasa ingin tahu yang tinggi, apakah yang tersimpan di dalam kotak itu?. Gejolak batinnya, dengan janjinya tidak akan membuka kotak itu, ternyata tidak bisa tertahan karena keingintahuannya yang sangat tinggi itu. Pada akhirnya, dia membuka kotak itu yang dibungkus dan diikat oleh tali berupa selendang yang kuat, tapi ternyata bisa dibuka oleh Pandora. ! Ketika terbuka kotak itu, dari dalamnya, keluarlah mahlukmahluk kecil yang bersayap, yang bertaring, yang berwajah buruk, berwarna hitam, spontan menyerbu ke Pandora dan Epimetus. Serta merta kulit pandora langsung membengkak melebam dan pecahpecah. Mahluk itu kemudian melesat keluar mencari sasaran, setiap
orang yang mereka temui, digigit. Dari sanalah manusia pertama kali mengetahui bahwa itu adalah penyakit atau bakteri yang disebabkan oleh mahluk-mahluk hitam kecil jelek itu. Saya tidak tahu kalau sekarang analoginya mahluk-mahluk siapa itu. Dan pada saat itulah, manusia pertama kali merasa sakit dan kematian.
Keterbukaan dan rasa ingin tahu. The truth, konsep ini yang dikejar kemudian oleh para filsuf. Syahdan ketiga, muncullah di Yunani Kuno apa yang disebut dengan the three musketeers di dalam dunia filsafat yaitu, Sokrates, Plato dan Aristoteles. Ada semacam konstruksi yang perlu kita selidiki, bahwa, pertama saya fokuskan pada Plato, bagaimana Plato kita tahu di dalam akademi-nya itu, semboyannya meninggalkan mitos ke logos. Di dalam cerita tadi, Plato sepertinya mau menyembunyikan rasa ingin tahu dan Aletheia itu sebagai feminin, sebagai perempuan. Logos kemudian dikonstruksikan menjadi sebuah cerita dengan agen laki-laki, sehingga kemudian dia menciptakan semboyan atau mitos the philosopher king. Dari situlah kita lihat bagaiman awal pertama muncul persinggungan yang sangat mencolok sebenarnya antara sastra dan filsafat.
! Pandora dan Epimeteus pada saat itu mulai sekarat. Tetapi tibatiba dari dalam kotak itu ada yang memanggil namanya. Pandora! Tolong saya! Ternyata masih ada satu mahluk yang ada di dalam kotak itu, yang tak berdaya, terikat. Tolong saya! Pandora melihat dan dia melepas mahluk itu. Jenis mahluk itu sama, tetapi berwarna putih, tidak bertampang jelek seperti yang hitam-hitam itu. Kemudian dia menggigit Pandora dan Epimeteus. Serta-merta sakit mereka hilang dan sembuh total. Di dalam cerita ini, kita bisa melihat muncul awal sebuah dikotomik antara yang hitam dan yang putih. Mahluk yang memberikan penyakit dan yang menyembuhkan. Itu syahdan pertama. Syahdan kedua, tersebutlah dewi juga yang bernama Theia, yang kemudian seorang filsuf Jerman bernama Martin Heidegger menulis di dalam bukunya, khusus bukunya yang ditulis pada tahun 1941, berjudul The Event, itu menyambung buku dia Being and Time. Di sana, Heidegger membahas hubungan antara manusia dan ada. Hubungan manusia dan ada ditempatkan Heidegger di dalam kepenasarannya untuk mencari alur kehidupan. Bagaimana manusia dan ada itu menjadi sebuah cerita filosofis sastrawi yang menjadi dasar munculnya “western culture”, filsafat barat itu.
! Tentu saja kita tidak bisa mengabaikan peran Aristoteles di dalam bukunya Poetics. Di dalam buku Poetics itu, Aristoteles berbeda dengan Plato, dia justru menghidupkan mitologi itu lewat problem tragedi dan komedi di dalam Poetics itu. Dan kita lihat bahwa peran Pandora sebenarnya adalah gambaran sebuah kisah munculnya tragedi, di mana manusia mengenal konflik mendasar antara kehidupan dan kematian, rasa sakit, yang sebenarnya sudah diawali rasa sakit dan penderitaan itu oleh Prometeus. Kita tahu bahwa Promoteus adalah dewa yang menciptakan manusia dan adalah Pandora. Pertama diciptakan dalam cerita mitologi Yunani kuno itu adalah perempuan, bukan laki-laki, bukan Adam seperti cerita kitab suci agama monothesime.
Theia adalah seorang dewi yang konon memiliki rumah dengan pintu dan jendela tidak berdaun, disebut Aletheia, terbuka (unconcealment) dari Theia ya dewi. Itulah the “esence of being” yang dia namakan the truth. Terbuka. Yang menarik sekali secara sastrawi dan filosofis kita lihat di sini bahwa, tesis saya, filsafat rasa keingintahuan itu muncul dari yang kita sebut dengan dewi, perempuan. Theia dan Pandora.
! Syahdan keempat, muncul cerita manusia bertemu dengan buah apel atau kuldi (saya menganggapnya durian), buah pengetahuan itu durian. Buah tragedi. Kalau apel dan kuldi tidak ada eksotis dan tragedinya. Kalau durian, melihat penampilannya saja, orang akan berkata, “hati-hati, nanti tertusuk.” Kalau menciumnya, orang langsung mau pingsan atau nyaman. Rasanya pun memabukkan. Benar5
benar representasi dari buah dosa sebenarnya. Konon, itu adalah ciptaan atau genesis yang agak mirip dengan cerita dari mitologi yunani kuno, yang dipercayai oleh agama-agama monotheis, Yahudi, Kristen dan Islam. Munculnya sebuah cerita atau kisah, yaitu pada penciptaan itu, yakni manusia mengenal buah epistemologi. Durian itu adalah buah yang dilarang (Kalau anda rajin naik commuterline, di situ jelas sekali buah yang paling dilarang adalah durian. Buah pengetahuan itu di mana-mana dilarang).
ada, asal muasal subjek, narasi, bahasa yang kita sebut sebagai sastra dan filsafat. Yang saya ilustrasikan tadi dengan syahdan, Pandora dan Theia adalah awal munculnya manusia dalam bersoal dengan ada dan kebenaran. Problemnya di situ. Essence of being is truth. ! Heidegger melihat asal muasal kebenaran atau ada itu sudah ada juga pada Aletheia, perempuan, keterbukaan. Tetapi keterbukaan di sini adalah sebuah kata yang menjadi kompleks dan dikotomik dan pro kontra. Kita mungkin getol sekaligus takut berbicara tentang keterbukaan, karena keterbukaan benar-benar memunculkan pro kontra, sebagaimana kotak pandora ketika dibuka, itu memunculkan penyakit dengan segala macam virus dan bakteri, tetapi juga ada di sana mahluk putih yang kemudian saling kontra. Ini kan problem keseharian atau berangkatnya filsafat atau teologi atau sastra, dari problem dikotomik baik dan buruk. Ini problem ontologi untuk mencari dasar awal dan akhir. Kita tahu bahwa event sebenarnya adalah ritus kehidupan. Ada problem ritus kelahiran dan sekaligus kematian di dalam kotak pandora itu. Di situlah awal sastra, awal filsafat itu muncul. Dari sejarah juga, awal narasi manusia mengenal waktu, being and time itu, pada mitos kotak pandora itu. Sejarah bisa bicara banyak bagaimana asal muasal munculnya waktu dan ada menjadi sebuah narasi-cerita yang spekulatif, maupun cerita-cerita tentang hal-hal yang konkrit, sehingga menjadi narasi teoritis sejarah.
Singkat kata, Ini adalah cerita filsafat dan sastra bertemu. Mitos-mitos kemudian dikenal sebagai sastra. Di sinilah sebenarnya standpoint kita, bagaimana persinggungan sastra dan filsafat. Dalam pengertian umum, sastra adalah kisah, ditambah kemudian fiksi. Sekalipun pengertian umum ini masih perlu dipersoalakan kembali, apakah masih relevan atau tidak persoalan cerita fiksi, yang selama ini dipercaya secara klasik seperti itu. Di dalam cerita sastra itu tiga hal yang bisa kita angkat sebagai limits of literature; subjek, narasi dan bahasa. Masingmasing berkaitan, berkelindan sampai muncul apa yang kita sebut dengan istilah sastra, berkisah. Bagaimana hubungan ketiganya ini? Bagaimana hubungan subjek, narasi dan bahasa ini? Tentu saja tidak bisa saya jelaskan pada waktu yang terbatas ini (saya mengulasnya dalam mata kuliah Filsafat Sastra). Tetapi ketiganya ini dalam singkat kata bisa kita temukan irisannya pada buku Heidegger, The Event. Dari buku ini bisa kita lihat penjelasan bagaimana persinggungan antara sastra dan filasafat.
! Persoalan awal di filsafat yaitu menyediakan konsep event ini, asal muasal terjadinya sesuatu, idea. Ritus kelahiran itu, saya kira, jika kita belajar dari kritik sastra psikoanalisa, justru bukan pada ketika bayi muncul dari rahim dan melewati vagina, tapi ritus itu justru pada saat bayi menangis. Ketegangan justru terjadi di situ. Saya sudah pernah mengalami itu. Banyak orang juga mengalami ketegangan yang kita namakan tramendum (kondisi yang menebarkan) itu, ketika kita berhadapan dengan bayi yang baru lahir. “Ini bayi mau menangis apa ti-
! Event menunjukkan bukan sekedar awal, namun the first beginning. Dalam bahasa Heidegger, bukan sekedar being, tapi beyng. Selama ini kita mungkin familiar pada Heidegger hanya dengan being, sebatas membaca buku utamanya, Being and Time itu. Sebenarnya ada yang lebih mendasar di situ, the first beginning itu. Asal mula yang pertama. Kalau mau ditekankan lagi, itulah asal muasal kehidupan, asal muasal 6
dak?” Menurut Freudian, justru dalam tangisan itu kita menemukan kehidupan sebagai eros dan tanatos. Eros, ketika kehidupan muncul dia menangis atau tanatos, mati. Itulah libido. Dahsyat sekali jika Freud kita tarik untuk membahas mengenai ontologi sekaligus epistemologi tadi itu.
gan kacamata Foucault. Bagaimana seorang subyek itu, dari subyek yang hetero sampai subyek yang menjadi seorang gay. Sebenarnya dua konsep ini juga heteroseksual, antara sastra dan filsafat. Sebuah frase. Filsafat sastra adalah frase. Frase itu dibangun antara dua pengertian yang berbeda menjadi satu. Sastra dan filsafat, dua genre yang berbeda digabung menjadi satu mejadi sebuah frase baru, filsafat sastra, tentang the first beginning
! Nah, dalam hal ini, setelah kita lihat adanya event, sebenarnya kita bisa tarik event sampai pada tahapan akhir (ending), tapi sekali lagi tidak ada waktu.
! Sekali lagi, tesis yang mendasar itu sebenarnya adalah pesinggungan awal atau the event itu. Sehingga, terakhir saya katakan, itu menjadi sebuah frase, di mana filsafat dan sastra bisa dipertemukan dengan kasus-kasus Plato dan Aristoteles. Kemudian, saya sudah singgung, Heidegger adalah filsuf yang membaca karya sastra sebagai filsafat dan membaca filsafat sebagai karya sastra. Tentu saja masih banyak filsuf yang memiliki perhatian mendalam pada persoalan yang kita bahas ini. Untuk sementara saya sudahi dulu. Terima kasih
! Pada Alain Badiou, filsuf yang sedang diperhatikan saat ini, ia juga berbicara mengenai event. Event itu pada awalnya adalah fidelity. Sekalipun fidelity di dalam rumusan atau konstruksi matematis dan ontologis, tetapi bagi saya, event Badiou tetap muncul di asal muasal pertama kehidupan, munculnya culture, munculnya filsafat, sastra dan segala masih dalam term pengaruh monotheistik, fidelity, khas filsafat Barat, juga keyakinan atau belief pada pragmatisme. Kita bisa masukkan semua semua konsep tentang asal-muasal itu ke dalam pemahaman filsafat dan sastra..
!
! Sebenarnya pertemuan antara narasi, subyek, dan bahasa, yang saya ingin tekankan tak lain adalah pada munculnya narasi. Saya tidak akan bicara tentang subjek dan bahasa secara detail. Singkat kata, kita tahu bahwa hal itu adalah cara khas bercerita sastrawi. Sebenarnya secara intrinsik, filsafat juga punya cerita, punya narasi, subyek, punya bahasa. Sekalipun dia dengan kata filsafat, narasi filosofis, subjek filosofis, yang juga mungkin berbeda dengan subjek sastra, tetapi tetap bersinggungan di dalam the event, tidak dapat dipisahkan. Kita membaca sastra sebagai filsafat. Kita membaca filsafat sebagai sastra. Itu lah sebenarnya tesis paling mendasar. ! Saya membaca karya Okky sebagai orang yang berlatarbelakang filsafat tentu saja dengan kaca mata filsafat. Pasung Jiwa saya baca den-
7
SECTION 2
Okky Madasari
Okky meraih Khatulistiwa Literary Award 2012 untuk novelnya Maryam (2012) yang bercerita tentang orang-orang yang terusir karena keyakinannya. Maryam telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul The Outcast. Novel pertama Okky, Entrok (2010), berkisah tentang dominasi militer dan ketidakadilan pada masa Orde Baru. Entrok telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul The Years of The Voiceless. Novel ketiganya, 86 (2011), bercerita tentang korupsi di Indo-
nesia pada masa sekarang ini akan segera terbit dalam bahasa Inggris. Dan novel terbarunya, Pasung Jiwa (2013), bercerita tentang perjuangan manusia mendapatkan kebebasan dalam periode sebelum dan sesudah reformasi. Edisi Inggrisnya baru terbit dengan judul Bound. Novel-novelnya selalu masuk dalam 5 besar KLA. Okky menyelesaikan pasca sarjana Sosiologi dari Universitas Indonesia tahun 2014 dengan tesis Genealogi Novel Indonesia: Kapitalisme, Islam, dan Sastra Perlawanan.
Perlu saya sampaikan bahwa saya bukan ahli teori, bukan ahli filsafat, saya hanya kebetulan menulis sastra. Karena saya tidak diberi panduan harus berbicara apa, maka saya memilih untuk lebih banyak bicara berdasarkan hasil penelitian/tesis saya di Sosiologi beberapa waktu lalu. ! Jika pak Tommy mengawali diskusi dengan sebuah cerita tentang awal mula yang paling awal, bagaimana awal mula terbentuknya narasi, maka saya akan mengajak bapak ibu yang ada di sini untuk melihat saja narasi yang sudah terbentuk di hadapan kita hari ini. ! Saya sangat percaya bahwa sastra sebagai sebuah narasi, sebuah diskursus, mengalami terus 8
pertentangan, mengalami pertarungan, mengalami kekalahan, lalu kemudian munculnya diskursus baru lalu dikalahkan lagi dan seterusmya. Dari awal mula narasi yang diceritakan pak Tommy tadi, kita bertemu pada narasi yang ada pada hari ini. Lebih spesifik lagi, saya akan sedikit memaparkan bagaimana narasi kesusastraan di Indonesia pada hari ini. ! Hari ini kita berada pada situasi di mana, kalau kita masuk ke toko buku misalnya, kita melihat secara umum apa yang menjadi wacana besar, wacana umum, wacana mainstream dalam dunia kesusastraan kita, dalam dunia bukubuku kita. Kita akan melihat bahwa karya sastra yang mendominasi saat ini adalah karya sastra, sebut
saja; karya sastra islami, karya sastra romance – chiclit, teenlit, metropop, dan sebagainya. Buku-buku semacam itu, karya sastra semacam itu yang memenuhui ruang-ruang toko buku kita. Dan itu yang menjadi narasi utama, buku-buku yang dibaca oleh generasi sekarang ini.
cinta. Tapi apa yang dilakukan Hamka saat itu hanya lah menyiasati, bahwa pada saat itu, novel-novel berideologi islami tidak akan bisa diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka. Jadi, Hamka terpaksa melakukan jalan itu karena jika tidak begitu, dia tidak bisa terbit.
! Kenyataan itu mengusik saya sebagai seorang penulis dan peneliti di sosiologi, ingin mencari tahu apa yang sebenarnya membentuk kondisi ini. Kenapa kemudian di tengah kondisi reformasi, di saat semua orang seharusnya bebas bersuara, bebas berekspresi, dan menulis yang kritis; justru kita terjebak pada situasi di mana, kenapa yang menjadi novel-novel best seller, semacam novel Ayat-Ayat Cinta, Emak Naik Haji, dan sebagainya. Dan itu terjadi juga di bioskop. Film-film yang bertema islam, tidak peduli apa isinya, pasti yang mengantri sekian banyak orang. Sementara film-film dan karya sastra yang mencoba memberikan wacara berbeda hanya menjadi karya pinggiran yang harus bertarung setengah mati untuk merebut posisi agar bisa menjadi arus utama dalam wacana kesusastraan kita. Untuk mencari tahu kenapa itu terbentuk, saya mencoba menelusuri tiga akar munculnya tiga genre dalam kesuasatraan kita, yaitu islami (agama), romance, dan karya sastra perlawanan.
! Tapi situasi yang berbeda terjadi sekarang ini, ketika kemudian Hamka tersingkir. Waktu itu pernah ada yang ingin memunculkan wacana yang berbeda, yaitu novel atheis, ingin memberikan wacana kritis terhadap agama dan sebagainya. Mempertanyakan nilai-nilai agama. Tapi kemudian novel-novel seperti itu pun tersungkir, kalah dalam wacana diskursus sastra kita. Wacana tentang novel-novel islam yang bertahan sekarang ini, hanya menempatkan islam sebagai label saja, hanya sebagai hiasan, tapi yang dikupas di dalamnya adalah benar-benar murni kisah cinta. Kisah dengan gemerlap metropolitan. Kisah dengan gemerlap kota-kota besar di dunia, seperti dalam Ayat-Ayat Cinta. ! Bahkan kalau saya menyebut nama Helvy Tiana Rosa, seorang penulis islam kontemporer yang sangat populer, bisa dikatakan karyanya pun kalah dalam pertarungan diskursus ini, sebab karya Helvy tidak memadukan antara kisah cinta dengan kegemerlapan kapitalisme dan sebagainya. Karya Helvy murni mengajak orang untuk beribadah. Orang-orang tentu tidak tertarik. Yang ada sekarang ini adalah novelnovel yang memang ingin menjual nilai islam, membuat orang merasa bahwa ketika dia sudah membaca novel itu, dia sudah melakukan ibadah, dan kemudian dipadukan dengan kenikmatan hidup. Itu formula yang ada sekarang ini. Nah, yang menjadi captive market dari novelnovel seperti ini jelas sudah ada, orang-orang yang memang sudah dibangun dalam basis-basis masa pengajian, orang-orang yang merasa bahwa mereka harus membeli novel-novel seperti itu. Mereka membutakan diri bahwa sebenarnya itu tidak seislami yang ditawarkan. Itu yang terjadi dalam novel islam sekarang ini.
! Karya sastra islami di Indonesia itu dimulai dengan munculnya Hamka sebenarnya pada tahun 1929. Sebelum Hamka tidak ada yang namanya genre sastra islami di Indonesia. Hamka seorang ulama besar. Orang yang memang benar-benar memiliki tujuan untuk syiar islam pada waktu itu menerbitkan novel Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Nah, kalau kita membaca karyakarya itu, ternyata seorang Hamka pun, dalam menulis karya sastra, sebuah kisah cinta, di mana ternyata Islam itu hanya menjadi tempelan saja. Misalnya, hanya sekedar karena tokohnya mengerjakan ibadah Islam, hanya karena tokohnya naik haji, hanya karena tokohnya beragama Islam, seperti itu. Tapi yang diceritakan hanya murni kisah 9
! Lalu, dalam novel romance, dimulai dari Azab Sengsara, lalu mengalami pertarungan diskursus. Ada yang ingin mencoba menghadirkan sesuatu yang berbeda, seperti novel Belenggu, lalu kemudian karyakarya N.H Dini yang ingin menghadirkan bagaimana perempuan memiliki citra imaji yang berbeda, tapi semuanya juga kalah dalam pertarungan diskursus wacana kesusastraan dalam novel romance di indonesia. Sehingga, yang mendapatkan tempat itu hanya cikal bakal munculnya novel-novel generasi Mira W, Marga T, Larus, dan itu menjadi cikal bakal novel romance yang tetap beratahan hingga saat ini. Novel metropop seperti being single and happy yang terisnspirasi dari Barat, lalu yang terbaru adalah novel-novel yang mengadopsi gaya-gaya Korea. Itu lah novel-novel yang sekarang sedang merajai industri buku kita. Mereka mengemas kisah cinta lagi-lagi dengan gemerlap kapitalisme, dengan gemerlap kota-kota besar dunia, dengan mengadopsi apa yang dipopulerkan dalam being single and happy, tapi sebenarnya hanya ingin memfigurkan perempuan untuk memberi mimpi mereka untuk mendapatkan suami kaya raya, misalnya seperti itu. Itulah formula yang ada dalam novel kisah cinta yang ada di Indonesia sekarang ini.
! Saya mencoba melihat itu semua, akhirnya menarik sebuah benang dan menjahitkannya, bahwa novel islam, novel romance, dan bahkan kalau disebut sastra perlawanan pun, yang dominan dalam sejarah kesusastraan Indonesia hari ini adalah yang bisa menceburkan diri ke dalam aspek-aspek kapitalisme, membuka, mengkawinkan diri kepada kapitalisme itu sendiri. Itu saja yang bisa menjadi pengantar dari saya.
! Nah, sementara dalam sastra yang disebut dengan sastra perlawanan pun, pertarungan diskursus itu terus terjadi. Dalam sejarah kesusatraan mainstream, pasti kita tidak pernah mendengar nama mas Marco Kartodikromo. Itu orang yang sengaja disingkirkan dalam sejarah sastra Indonesia. Tapi dia, ketika kita melihat dari yang melawan arus, sebenarnya sejarah sastra Indonesia dimulai dari mas Marko, bukan dimulai dari Balai Pustaka. Dari mas Marko, kemudian pujangga baru, Chairil Anwar, angkatan ‘45, Idrus dan lain-lain; lalu kemudian Lekra, generasi tahun 80-an, seperti Umar Kayam, Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri, itu semua ada pertarungan di situ. Bagaimana mereka mengalahkan satu sama lain. Dirkusus membentuk narasi baru hingga saat ini.
10
PEMBAHASAN Gadis Arivia (Moderator): Tommy Awuy, berbicara mengenai persinggungan antara filsafat dan sastra yang dia bongkar dari mitos, yang dia jelaskan tentang Pandora. Menarik sekali ketika dia mengatakan bahwa pengetahuan itu datang dari perempuan, ini sebuah pengakuan sejarah
yang
belakangan
terjadi.
Tommy
memaparkan
pembongkaran mengenai mitos dimulai dari pertanyaan tentang alam, yang diceritakan melalui The Three Musketeers; Sokrates, Plato,
dan
Aristoteles.
Kemudian
dia
masuk
kepada
pembongkaran being, tentang Heidegger dan sebagainya. Dan sebetulnya apa yang diceritakan oleh Tommy juga menyambung kepada
Okky,
yang
membongkar
persoalan
dominasi
diskursus ,tentang bagaimana dominasi diskursus islam, juga romance dan sastra perlawanan yang sesungguhnya semuanya ada dalam dominasi kapitalisme juga. Saya buka floor untuk mereka yang ingin bertanya.
SECTION 3
Tanya, Jawab&Diskusi Tony Rudiansyah Pertanyaan saya kepada Okky. Okky tadi berbicara mengenai sastra. Yang saya tangkap sastra modern, atau katakanlah sastra Indonesia. Yang ingin saya tanyakan, di nusantara ini pernah ada jaman sastra itu mengarah ke tasawuf. Kalau dulu ada kajian saya, anjongan indah manusa, menjadi manusia yang insan kamil, makhluk yang sempurna. Menurut saya, tradisi itu sebetulnya banyak di Indonesia, Melayu, Buton, dll. Jadi tradisi sastra yang tadi kamu bilang islamnya tidak ada, tapi menurut saya itu islami sebetulnya. Pertanyaan saya, event apa, menyambung dari Tommy, yang menyebadkan itu kandas dan hilang? Jadi tidak menjadi suatu kebenaran, tidak men12
jadi truth. Itu kenapa sebabnya? Tentu saya tidak mau jawabannya hanya karena kolonialisme, kapitalisme, globalisme; terlalu generic menurut saya. Saya mau yang lebih detail, kira-kira pernah memikirkannya? Karena tadinya itu cukup subur, kenapa tiba-tiba hilang? Kenapa kalah?
Turita Indah Setyani Saya menyambung dari mas Tony tadi. Karena yang saya dengar bahwa sebelum tahun 1920 tidak ada sastra islami, mungkin mengambilnya khusus sastra Indonesia atau sastra Melayu yang jauh dari naskah-naskahnya beliau yang terbit di mana-mana, di daerah Sumatera, Lampung, bahkan Sulaw-
esi, sampai ke Papua pun ada naskah-naskah islami ketika islam masuk, termasuk Jawa, karena saya prodi Jawa. Jawa itu banyak sekali naskah-naskah sufisme yang mengungkap islam sampai ke dalam, artinya bukan hanya sekedar tempelan. Memberikan suatu ajaran bagaimana manusia lahir sampai ke kematiannya. Ketika mau mati pun sudah siap seseorang ini. Jadi ajarannya itu lengkap dalam sufisme itu. Karya Rangga Warsita yang sudah dituliskan dalam disertasi oleh Simuh, itu sangat islam dan sufisme sifatnya dan ajarannya begitu dalam. Dan itu tahunnya jelas sebelum 1920. Ini hanya sekedar informasi saja. Karena mungkin tadi yang disampaikan adalah khusus sastra melayu dan Indonesia saja. Okky Madasari Bisa saya jawab sedikit. Saya menggunakan Foucault dalam mengerjakan penelitian ini. Foucault menggunakan konsep diskursus dominan. Tentu saja apa yang saya kemukakan di sini adalah karya-karya yang menjadi diskursus dalam kesusatraan Indonesia. Kenapa karya-karya sastra dalam bahasa melayu, tasawuf dan karya sastra dalam bahasa Indonesia itu tidak begitu terkemuka, karena memang itu tidak menjadi diskursus dominan dalam wacana kesusastraan Indonesia. Dan kemudian itu justru menjadi tantangan dan pertanyaan besar, kenapa yang menjadi diskursus yang dominan adalah itu? Dimulai sejak Hamka, kenapa yang sebelumnya itu tidak mengemuka sebagai diskursus yang dominan itu? Ya tentu saja, walaupun ditolak, Balai Pustaka tetap berpengaruh besar. Karya-karya sebelum Balai Pustaka tidak terdokumentasi dan terdistribusi dengan baik. Artinya, tidak ada sistem penerbitan.
dominasi, ketika masa islam masuk, hampir semua karya sastra, baik melayu, atau katakanlah di nusantara ini, semua islami. Islaminya di situ adalah sufisme. Karena awal islam masuk ialah aliran sufisme. Itu dominasi juga. Sampai akhirnya wayang pun, digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk menyebarkan agama islam. Tony Rudiansyah Ini barangkali ya, di situ kita punya conceptual bias. Parameter kita barat. Channel of distribution-nya harus cetak, padahal Channel of distribution-nya bisa tsanawiyah, bisa wayang, bisa macam-macam. Kalau kemudian ukurannya cetak, kita keliru menanggapinya bahwa itu bukan dominan, tapi kalau Channel of distribution-nya tsanawiyah, wayang, cerita lisan, jangan-jangan itu dominan
Turita Indah Setyani
Gadis Arivia
Memang sebetulnya harus ada ahli yang khusus di situ. Ini mungkin terkait dengan bahasa, dengan aksara. Tapi kalau bicara mengenai
Mungkin tadi soal dominasi, tapi tadi ada pertanyaan lain soal truth, ya? Maksudnya truth dalam sastra. Saudara Tony bisa elaborasi? 13
Tony Rudiansyah Seolah-olah dengan cara pandang seperti itu dia tidak menjadi kebenaran dan tidak dianggap sebagai genre yang dominan, padahal barangkali ada, tapi kita menafikan saja dalam menanggapinya. Dia juga sebenaranya truth. Dalam event itu terinstansiasi menjadi truth. Jadi dalam cerita dia tadi itu, sebenarnya dia sudah terinstansiasi menjadi realitas, jadi kebenaran. Tommy Awuy Sebenarnya bisa panjang sampai ke Foucault, narasi geneologi dan arkeologi di situ. Butuh waktu yang panjang untuk membahasnya. Robertus Robet Tapi tidak bisa di-skip jika pembicaraannya begini. Dalam Foucault, tidak ada truth, yang ada hanyalah politics of truth. Jadi, event itu mesti dieskavasi pada level yang paling hancur-hancuran. Truth dalam Foucault kan politics of truth.
buku itu. Sejumlah alasan mengatakan, bahwa si penulis menulisnya pada saat Islam sedang kuat pengaruhnya di Turki. Dari cerita Nyai Darsimah, justru dia memperlihatkan ada sudut pandang ketakutan Barat terhadap munculnya Islam.
Tommy Awuy Formasi wacana
Nanti, saya mau memasukkan satu faktor lain lagi, dari yang diceritakan oleh Okky, soal novel Ayat-Ayat Cinta itu tadi. Di dalam AyatAyat Cinta, kita melihat ada satu subyek yang retak. Ini khas dalam politik Islam Indonesia sekarang. Di satu sisi menginginkan seseorang harus saleh, di saat yang sama juga struktur superego-nya digedor. “Kita harus menikmati kehidupan dong!” Seks yang berlebih-lebih, dengan istri boleh lebih dari pada satu, menikmati kapitalisme sepuaspuasnya. Jadi, Islam yang baik menurut versi novel itu adalah kamu saleh, sekaligus kamu enjoy dalam struktur penikmatan kapitalisme yang sekarang.
Robertus Robert Nah, formasi wacana itu ditentukan oleh power, dia bukan truth yang metafisik atau semacamnya. Misalnya saya mau memberikan problematika lagi. Misalnya begini, ada buku yang dieditori oleh Pram, judulnya Tempo Doeloe. Syahdan di buku itu, melanjutkan Tommy, ada satu cerpen yang ditulis oleh orang Belanda, yang berjudul Nyai Dasima. Dalam cerita Nyai Dasima, kita tahu bahwa Nyai ini pengganti bantal guling si kolonial Belanda ini. Tapi digambarkan, ada seorang haji yang cinta sama dia. Lalu dia disayang oleh suaminya yang Belanda. Lalu dia dibunuh. Yang bunuh adalah haji pribumi. Si penulis Nyai Dasima adalah orang Belanda. Nah, kenapa Pram menulis cerpen ini di dalam 14
Ada Islam yang berbeda-beda di sini. Saya kira di situ kelihatan bahwa, kita kembali pada Foucault, pada waktu Pram membahas novel Tempo Doeloe, Islam disajikan secara beda dengan Islam yang dipresentasikan sekarang oleh si penulis novel Ayat-Ayat Cinta itu. Begitu pun subyek perempuan di dalam Nyai Dasima juga berbeda dengan perempuan di sini. Memang kalau dalam soal ini kita tidak bisa lari. Namun, apa kemudian yang mempersatukan ini? Menurut saya, yang mempersatukan ini adalah politics of truth dalam suatu logos historis tertentu itu. Tipe-tipe politik seperti apa yang menghasilkan tipe-tipe subyektivitas yang bereda-beda. Akibatnya, sastra yang membaca situasi sekarang itu juga menghasilkan suatu pandangan serta narasi yang juga berbeda-beda mengenai subyek dan politik di belakangnya itu. Problem yang ingin saya ajukan adalah kapan sastra bisa kembali kepada bentuk genre yang paling awal; ketika Pandora kembali menjadi tokoh, ketika Aletheia menjadi motif dalam sastra. Bagaimana caranya itu?
Burung-Burung Rantau.
Rocky Gerung
Tommy Awuy
Dalam kasus Dasima tadi, jelas bahwa si Belanda ini dia mau attacking the dominant ideology. Tapi pada kasus ini, pada kasus Ayat-Ayat Cinta, justru dia mau riding the tidal wave of dominant ideology. Dua soal yang agak palsu itu. Ini komentar saja. Ini ada Ganang yang sedang menulis tentang Filsafat Sastra, namun dia lagi berpikir kuat.
Burung-Burung Rantau? Pokoknya dari Mangunwijaya-lah. Pertanyaan saya yaitu bisa tidak dilihat ada struktur wacana dominan yang tercipta, sehingga kita bicara masalah the truth dalam kasus islami dan nasionalisme?
Tommy Awuy
Kalau dikaitkan dengan persoalan agama, saya menemukan hal yang menarik, setidaknya, dalam dua dari tiga novel Mangunwijaya yang sedang saya teliti. Pada Ikan-Ikan Hiu Di Rumah, nilai yang dijadikan sebagai sebuah pedoman adalah nilai-nilai islami. Itu dikemukakan oleh salah seorang tokoh bernama Zainal Arifin ketika dia diminta untuk memberi semacam tanggapan terhadap kondisi Ternate ketika itu, yang dihadapkan kepada peperangan yang tidak ada ujungnya antara Ternate dan Tidore. Kenapa Islam yang dijadikan sebagai acuan nilai
Ganang Dwi Kartika
Tetapi sebenarnya, Ganang bisa mengajukan tesis yang berbeda, di luar islami, tetapi persoalan subyek nasionalisme. Tesis dia kan seperti itu. Membela kolonial atau memang melawan kolonial? Teto, namanya. Benar kan? Tokoh yang lebih menyukai bahwa, subyek kita ini adalah subyek yang dibangun oleh kolonial. Burung-Burung Manyar itu. Ganang Dwi Kartika 15
disitu? Itu tidak terlepas dari latar belakang Ternate dan Tidore itu sendiri, yang keduanya itu adalah negara Islam, Kesultanan mereka. Nilai yang lain saya tidak temukan, kecuali nilai-nilai yang dianggap suci di dalam suku Tobelo. Di dalam novel itu, dikisahkan tentang sebuah suku kecil, yang bernama Tobelo yang berada di dalam himpitan, setidaknya, dua kekuatan besar, yaitu Ternate dan Tidore. Dua gajah yang sedang berkelahi. Kemudian, suku Tobelo itu menjadi korban, pertamanya.
dominasi Ternate. Sampai akhirnya, Dowi Ngojo yang merupakan kampung bajak laut itu dihancurkan oleh tentara Ternate. Nah, yang mau saya katakan disini adalah bahwa pada novel pertama, lebih ke kekusukuan. Kemudian pada yang kedua, settingnya tentang Indonesia di masa perang kemerdekaan, kemudian orde lama, dan orde baru. Di sini saya melihat bahwa cara pandang Mangunwijaya sudah lebih luas. Yang pertama lebih kepada etnis, kemudian kepada bangsa, bangsa Indonesia. Kemudian, nilai yang diajukan sebagai acuan pun meluas; bukan hanya Islam, tetapi juga Hindu-Bagavadgita, kemudian Al Kitab, lalu Al-Quran.
Pada dua novel yang berikutnya, Durga Umayi dan Burung-Burung Rantau, Mangunwijaya tidak semata-mata menjadikan nilai Islam, Alquran, misalnya. Di dalam novel itu disebutkan tiga kitab suci di bagian akhir, Al-quran, Al-kitab dan Bhagavatgita. Saya melihat dua novel yang terakhir ini dijadikan acuan nilai oleh Mangunwijaya. Tetapi, kalau kemudian saya diminta untuk melihat dari sisi kebangsaannya, saya melihat ada perkembangan pemikiran di dalam tiga novel karya Mangunwijaya itu.
Ini kemudian berulang kembali pada novel yang ketiga, yang memperlihatkan makin luas lagi cara pandang Mangunwijaya. Bukan lagi pada nasionalitas, bangsa dan negara Indonesia. Walaupun tokohnya, Iin Pertiwi dalam Durga Umayi itu, diceritakan sebagai seorang perempuan yang semula itu baik-baik saja, seorang yang lugu, katakanlah suci, tetapi karena faktor peperangan, dia kemudian diperkosa Nevis, kemudian dia menjadi bagian dari Lekra dan Gerwani, sampai akhirnya dia itu dicap oleh orde baru sebagai pengkianat bangsa yang harus hidup di luar negeri. Yang menarik menurut saya, Mangunwijaya tidak menjadikan tokoh ini, yang katakanlah semula putih kemudian hitam. Tapi di akhir ceritanya, ia memperlihatkan bahwa justru Iin Pertiwi lah dalam Durga Umayi itu, di satu pihak dia memerdekakan dirinya dari cap sebagai pengkianat bangsa, di lain pihak dia juga memerdekakan orang-orang kecil yang kampungnya itu digusur demi sebuah pembangunan megaproyek, yang sialnya justru ditandatangani oleh Iin sendiri. Karena Iin disini diceritakan, setelah tinggal di luar negeri, berlaku sebagai pebisnis kelas internasional yang memiliki perusahaan di apapun bidang pekerjaan.
Yang pertama itu, berbicara dalam batas-batas kesukuan. Jadi, walaupun Ternate dan Tidore menjadi dua kekuatan besar yang saling berperang dan menyita banyak halaman di dalam novel itu, tetapi Mangunwijaya memperlihatkan bahwa, baik Ternate ataupun Tidore, keduaduanya justru mengalami kehancuran. Yang bertahan dan melanjutkan eksistensi dari Ternate, Tidore, Halmahera, Bacan, dan Ilolo itu justru, kalau menurut pemahaman saya, bagian dari suku Tobelo, subuah desa Gampela, yang didirikan oleh Meuti Ramu dan Uma Dara. Berdirinya desa kecil ini disebabkan oleh desa sebelumnya, Dowi Ngojo sebagai desa bajak laut mengalami kehancuran. Mengalami kehancuran selain karena Ternate menuntut Dowi Ngojo untuk menyumbangkan 5 perahu perang, juga karena Dowi Ngojo ini, meskipun merupakan kampung kecil dan sebagai bagian dari Tobelo, tidak pernah mau mengakui
16
Tommy Awuy Saya kira puncak narasinya di situ ya, pembangunan. Ganang Dwi Kartika Ya. Satu lagi yang saya temukan dalam novel terakhir karya Mangunwijaya. Kalau yang kedua itu etnisitas, yang kedua nasionalitas, maka yang ketiga, tokoh Neti, tokoh yang mengemukakan gagasan yang sebenarnya sudah dituliskan oleh Mangunwijaya di luar novel yang ditulisnya itu, yaitu Pasca Nasionalitas. Jadi Mangunwijaya itu mengidam-idamkan, saat ini sudah tidak relevan lagi seseorang itu menyatakan dirinya, “saya orang Indonesia” yang hidup hanya untuk bangsa dan negara Indonesia. Dengan Pasca Nasionalitas, Mangunwijaya mengemukakan satu pesan, bahwa pengabdian kita semestinya melampaui batas-batas politis dan geografis itu. Tetapi kepada apa? yaitu kepada semesta. Jadi saya melihat bahwa adanya suatu perkembangan, yang menurut saya sangat mendasar. Acuan nilainya itu pun saya data dari 18 judul di dalam novel yang ketiga, ternyata kecenderungan Mangunwijaya lebih kepada alam pikiran Barat. Tetapi Barat dalam hal ini adalah Yunani. Itu dianggap sebagai acuan nilai. Mangunwijaya mengatakan sebagai palungan kebudayaan Barat Yunani, bukan sesudahnya. Dalam novel itu, Mangunwijaya juga berbicara tentang Filsafat India, yaitu Brahma dan beberapa lainnya. Tetapi, saya menangkap kesan berdasarkan data-data yang saja jumpai di dalam novel, Mangunwijaya cenderung negatif terhadap pemikiran India. Tetapi meskipun India buruk, Mangunwijaya mengatakan melalui tokoh Neti bahwa Indonesia masih lebih buruk dari pada India.
sejarah perdebatan sastra, mungkin bisa masuk di dalam debat kebudayaan. Wacana yang dimunculkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana yang pro barat sekali, kemudian dari Armin dan Sanisu Pane yang ketimuran, jelas sekali posisi Mangunwijaya dalam singgungannya dengan STA. Kita harus menjadi modern, makanya harus pro kolonial. Rocky Gerung Saya pikir begini. Saya komen sedikit, ya. Mangunwijaya itu murid ideologis dan intelektual dari Sutan Syahrir. Jadi satu waktu, Mangun menulis sendiri di dalam riset dari Lege. Jadi dia ada dalam lingkaran Sutan Syahrir yang isinya adalah percakapan semacam ini, bahkan lebih sedikit orangnya, pindah-pindah dari satu kota Jakarta – cirebon – Yogyakarta, kemudian balik lagi, dengan pembicaraan tentang satu tema yaitu, meloloskan Indonesia melalui humanisme dan sosialisme. Jadi demokrasi Mangun itu adalah humanisme dan sosialisme. Itu Sutan Syahrir.
Tommy Awuy Kembali lagi, tadi kenapa saya jadi menyentuh Burung-Burung Manyar, karena posisi si Teto itu. Dia lebih ke kolonial dari pada bumi putera ini. Dia kan anti itu. Dalam arti kalau kita mau tarik ke dalam 17
Latar antropologinya, suatu waktu Sutan Syahrir, mungkin naik helikopter atau pesawat kecil di kepulauan Indonesia Timur sana. Dari atas sana, dia melihat dan berkomentar. Intuisi ngeyel-nya itu kira-kira seperti ini, “kalau gue lihat struktur komunitas dari atas. Ini kampung, itu kampung dan kampung. Tidak ada insfrastruktur yang menghubungkan pikiran disitu.” Dia bilang bahwa Indonesia ini memang tidak siap merdeka. Karena isinya komunal-komunal. Ini bukan bangsa, tetapi kumpulan komunitas yang fanatik dan segala macam. Itulah yang menjadi dasar dia membuat analisis.
orang pribumi pada moderniatas kolonial. Itu basic-nya. Pribumi ini baca sastra, tapi sastra yang seperti ini. Sehingga, tidak ada sastra yang di luar itu. Saya tidak tahu apakah perdebatannya di sini. Kalau baca kolom dan kritik sastra, karena tidak ada pertimbangan seperti, “kenapa kita menjadikan sastra yang betul-betul layak dalam edukasi di sekolah dasar, SMP dan segala macamnya?” Kita tidak pernah bicara itu. Yang dapat untung kan penerbit. Dalam sekolah-sekolah kita isinya buku teks, buku pelajaran, sehingga standar itu tidak pernah ada. Ketika kita ingin kritik sastra, mau kritik apa? Dominannya dimana? Ini kan baru sebagian dari pasar, audience, pembaca sastra yang tertutup oleh Gramedia ini. Yang bisa diwajibkan untuk membaca karya sastra tertentu. Saya tidak tahu apakah ini menjadi bahan perdebatan atau bagaimana, karena sama sekali tidak diperhatikan.
Kita bisa mengerti bahwa mengapa ada sinisme pada Mangunwijaya. Jadi konflik Mangunwijaya ada di dalam dilema itu. Dia berpikiran Barat, sekolah Barat, tapi dia tahu bahwa bangsa ini harus dididik. Jalan pikiran Mangun dalam novel itu, menurut saya, adalah rakyat ini diberdayakan melalui pendidikan. Tujuannya agar menjadi manusia internasional. Saya kira sinopsisnya, ketika kita membaca Mangun, pasti itu. Kenapa dia tidak bisa eksplisit, dia orang Jawa.
Okky Madasari Kalau tadi dikaitakan dengan Balai Pustaka dari awal itu, memang dari tadi sudah dikemukakan, bagaimana kekuasan membentuk buku mana yang bisa masuk ke dalam wacana dominan, mana yang masuk sekolah, mana yang bisa dibaca secara luas. Nah, dimulai dari Balai Pustaka, jelas tujuannya untuk menunjukkan bahwa yang baik adalah yang seperti apa yang ditanamkan itu, nilai-nilai modern yang dibawa oleh kolonial, bukan seperti Datuk Maringgih yang orang sudah tahu seperti apa.
Ganang Dwi Kartika Melalui pendidikan. Dan ada acuan nilai yang diajukan secara eksplisit oleh Mangunwijaya dalam novel ketiganya, bahwa tiga hal yang dapat dijadikan acuan, yaitu kebaikan, kebenaran dan keindahan. Rocky Gerung Iya. Itu ada dalam pemikiran Aufklarung. Andy Ardian
Nah, kemudian ketika masa Orde Baru muncul. Jelas sudah ada upaya untuk memasukkan itu tidak ada. Dapat kita lihat, buku buku yang masuk ke sekolah memang buku-buku yang sengaja dijauhkan dari kritik terhadap pemerintah. Makanya, disini kita bisa lihat. Carmila. Carmila itu saya ingat sekali itu ada di buku SD, SMP. Itu bahkan masuk ke dalam buku bahasa Indonesia. Karena itu memang sesuai dengan
Rocky sudah sempat menyinggung mengenai pendidikan. Tadi kan dibahas tentang pasar. Ini problem sastra dengan pasarnya. Yang saya belum lihat, dalam sistem pengajaran kita, sistem pendidikan sehari-hari dari tingkat SD sampai sekolah menengah. Karena dalam pembentukan Balai Pustaka, keinginan besarnya mengarahkan pikiran orang-
18
kepentingan pemerintah. Nah, pada masa Orde Lama, peran itu sudah menyusut, sebenarnya buku ajar dengan membentuk sejarah baru kesusasteraan Indonesia tanpa berpijak pada Balai Pustaka itu. Itu tidak selesai dan tidak sempat diajarkan. Sampai kemudian Indonesia sekarang ini, sesungguhnya kita belum ada upaya untuk itu sama sekali, untuk memilah mana yang harus menjadi bacaan wajib, mana yang tidak. Saya kira, apa yang ada dalam buku pelajaran sekarang ini masih warisan Orde Baru. Tommy Awuy Jangan lupakan Horison ya. Okky Madasari Horison pun dibuat kan sebenarnya untuk membantu Orde Baru. Tommy awuy Gadis Arivia
Sastra masuk sekolah disortir, penulisnya siapa, buku-bukuya sesuai dengan ideologi saat itu. Sekalipun sekarang, itu ada juga yang mau dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu.
Ini juga masalahnya adalah kegagalan Universitas untuk memproduksi wacana-wacana yang kritis, maka diambil alih oleh kelompokkelompok tertentu. Selama cara berpikir Universitas adalah cara berpikir PNS, sulit untuk bisa berpikir kritis, kreatif dan berimajinasi. Modal dasar sastra adalah imajinasi dan kebebasan berpikir.
Okky Madasari Saya tambahkan, kelompok itu adalah kelompok yang memperjuangkan kanonsiasi sastra. Itu juga, saya pikir, tidak lepas dari, maksudnya mereka punya kesadaran kalau itu terjadi, tentu mereka yang punya kekuatan untuk bisa memasukkan buku-bukunya seperti apa. Dia masih melakukan itu, agar kanonsiasi itu terjadi.
Mardety Apa yang disampaikan mbak Okky mengingatkan saya kepada Hamka. Hamka itu sebenarnya ingin memperkenalkan bagaimana adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Jadi nilai adat di Minangkabau itu dengan nilai agama ada yang kontroversi, tapi bisa menjadi pedoman hidup orang minang. Itu yang belum pernah diangkat, nilai adat mana yang kontroversi dengan agama, namun bisa dikompromikan, sehingga bisa menjadi pandangan orang Sumatera. Sekarang, kalau Islam karena sifatnya global, memang sulit berkembang, sedangkan
Tommy Awuy Dan mulai sekarang, sepertinya makin dekat kepada keberhasilan. Mereka yang menguasai Frankfurt Bookfair. Siapa yang jadi kurator utama di situ?
19
minang, terkurung dalam area yang tidak terbatas dan ditimpa oleh kemajuan kontemporer segala macam, memang kabur. Jadi untuk mengangkat posisi adat dan agama yang bisa dikompromikan tidak pernah ada lagi yang mau mengangkat. Robertus Robert Tapi Tommy belum menjawab satu, sejauh mana sastra adalah filsafat. Kalau filsafat adalah sastra jelas. Sejauh mana hubungan sastra dan filsafat? Tommy Awuy Tesisnya adalah the event. Kita cari saja event di situ. Cuma problemnya, asal muasal event itu menjadi the first beginning, bagi Heidegger jika kita terus, bahwa wacana-wacana yang muncul, yang seharusnya kita tetap pada hal-hal yang partikular, pada speech sehari-hari, wacana sehari-hari, pada speech itu, tapi kemudian dibungkus oleh langue dalam bahasa Saussure, atau logos, sehingga hal-hal ini dilupakan. Heidegger mengatakan, manusia lupa akan ada, lupa akan cerita-cerita Pandora, seperti tadi. Ditutupi oleh logos episteme si Plato. Dan itulah yang dilihat Foucault sebagai formasi wacana yang menjadi logosentrisme, atau bahasanya Derrida, falogosentrisme. Falogosentrisme itu dalam filsafat, secara sastrawi itu sudah muncul pada the three musketeers itu. Menampik cerita-cerita kotak Pandora adalah perempuan yang punya rasa ingin tahu yang tinggi, tetapi mereka wacanakan dari sisi lain, bahwa perempuan adalah bencana yang membuka wacana. Mereka haruslah ditutup, didiamkan, dibungkam. Keingintahuan perempuan harus dibungkam. Itu episteme awal falogosentrisme.
antara filsafat dan sastra yang menghasilkan event itu tidak pada Pandora, tidak pada Theia. Ada satu nama lagi, namanya Medusa. Medusa ini perempuan yang pintar dan seksi karena dia ngajar yoga. Suatu waktu dia membawa buku, membaca di pantai Athena, dia pakai bikini. Tiba-tiba dari gelombang laut itu datang seorang makhluk, namanya Poseidon . Diperkosalah si Medusa itu, bukunya jatuh, bukunya adalah Filsafat Berspektif Feminis. Oleh karena Medusa diperkosa, dia melapor ke Bareskrim Athena. Namanya Paris Athena, seorang perempuan. “Tidak mungkin Poseidon memperkosa, anda pasti menggoda dia itu.” Begitulah ceritanya. Dia tidak percaya, bahkan dia dikutuk oleh Paris Athena. Kutukannya betul-betul mengerikan, rambutnya berubah jadi ular. Matanya dikutuk supaya tidak lagi mengeluarkan keindahan, tetapi mengeluarkan api. Akibatnya semua pria jika dia tatap, berubah jadi arang dalam 2,3 detik. Lalu dia buat sayembara. Karena si Medusa
Rocky Gerung Ada dua perempuan tadi yang dibicarakan Tommy, satu adalah Pandora, satu adalah Theia. Saya kira, ini kalau versi saya, hubungan 20
ini menjadi monster Athena, maka dikeluarkanlah sayembara bahwa Medusa ini harus dibunuh. Separuh laki-laki Athena berupaya membunuh dia, tidak ada satupun yang berhasil, karena langsung mati.
Tommy Awuy Bakteri-bakteri itu sebenarnya sengaja dimasukkan Zeus kesana dengan pertimbangan, bahwa disitulah manusia akan sadar akan batasannya, situasi kelahiran, kematian, despair, kesengsaraan dan seterusnya, istilah-istilah Kierkegaard kemudian, sebenarnya dari sana. Untuk menunjukkan “eh, kamu manusia.”
Lalu diundanglah seorang panglima kopasus pada waktu itu, namanya Perseus, panglima perang. Perseus ini disewa untuk membunuh Medusa, tapi Perseus ini gagal terus. Si Perseus ini jago pedang. Lalu dicari lah akal. Dia intip kamar tidurnya Medusa itu. Dia melihat bahwa Medusa itu tidak bisa tidur karena matanya itu panas terus. Jadi mesti dicopot matanya, ditaruh di kulkas supaya dingin, baru dia tidur. Nah, pada saat dia copot matanya, Perseus memenggal kepalanya. Jadi coba bayangkan, seorang jagoan harus menggunakan cara yang licik. Dalam cerita itu, dari genangan darah Medusa itu, tiba-tiba muncul asap kecil, makhluk kecil, berbentuk kuda bersayap, kita tahu namanya Pegasus. Pegasus adalah Dewi Sastra. Jadi itu event-nya.
Asal muasal tragedi, event-nya itu di sana. Kotak pandora itu. Kalau yang tadi saya bilang dari segi agama monotheis, ya Hawa sebenarnya epistemolog pertama. Fristian Hadinata Saya sedang studi tentang Ricard Rorty. Rorty mempertanyakan, mana yang lebih efektif untuk mencegah orang membunuh, apakah dengan membaca argumen Kant ataukah membaca novel Dostoyevsky? Dia kemudian bercerita mengenai situasi tentang NAZI. Kenapa orang lari ke Italia itu dibantu, sedangkan lari ke Denmark tidak dibantu? Apakah yang satu lebih punya argumen rasional dibandingkan dengan yang lainnya? Tentu tidak. Tapi yang disampaikan adalah bahwa sastra punya peran terhadap ilmu sosial. Artinya, orang tidak lagi tertarik dengan argumen filsafat yang mengatakan bahwa, membunuh itu salah karena ini dan ini. Tapi justru dengan mendeskripsikan penderitaan orang itu menjadi lebih efektif dalam mencegah. Jadi, saya kira ini hubungannya filsafat dengan sastra. Orang suka bilang bahwa sastra itu perintah kebohongan, tapi untuk kebenaran. Gampangnya begitu. Jadi fiksi itu bohong sebetulnya.
Nah, si Pandora, dia adalah epistemolog dari sastra, karena Pandora membuka kotak itu bukan seperti tukang buka dengan martil, melainkan dengan kuriositas. Kotak itu dibuka secara epistemik, sehingga kita tahu bahwa perempuan bukanlah sumber dari segala bencana. Memang kenapa? Hidup ini memang penuh dengan kejahatan, jadi kenapa ditutup-tutupi. Kotak itu dibuka karena suatu sore, dia kesal kenapa si Zeus/ Merkurius mengatakan kotak itu tidak boleh dibuka. Jelas bahwa Pandora adalah epistemolog dan feminis pertama yang menganggap, jangan kontrol saya dengan kotak itu! Apa isi kotak itu? Isi kotak itu bisa Perda Misoginis, larangan menulis sastra yang memamerkan tubuh. Kotak itu bisa dipegang oleh Kemendikbud, kotak itu ada di mana-mana. Pandora mesti diperbanyak, Medusa harus diperbanyak. Supaya Aletheia itu harus kita rayakan sebagai event.
Rocky Gerung Bukan fiksi yang bohong. Tapi semua kebohongan supaya dipercaya harus dijadikan fiksi.
21
Fristian Hadinata Saya kira memang begitu, adanya kepentingan. Rorty mengatakan bahwa filsafat yang jenis itu, jenis yang tadi pak Tommy katakan dengan logos, ternyata ada yang lebih penting sekarang dalam konteks kontemporer, yaitu justru filsafat tentang retorika, metafor, paradoks. Justru ambiguitas itu yang lebih ditawarkan sekarang. Tommy Awuy Terakhir dari saya, untuk masuk kepada kesadaran kita terhadap sastra, terhadap cerita-cerita yang kelihatan paradoks itu. Heidegger mengatakan bahwa di dalam speech keseharian, sebenarnya kita menyadari adanya paradoks itu. Tetapi, paradoks tidak perlu dijelaskan seperti paralinguist menjelaskan itu. Paradoks itu untuk dihayati, karena lebenswelt di situ. Dihayati, kita bicarakan, kita percakapkan, tanpa harus mencari penyelesaian. Disana kita berhadapan dengan metode verstehen, memahami orang dan tidak usah lagi memecahkan paradoks, tetapi dihayati. Karena, toh linguistik akan tebatas pada metodenya sendiri. Misalnya kata paradoks, saya alami sendiri. Pada saat tertentu, sedang bersetubuh, istri saya mengingatkan saya, “jangan keluar di dalam, ya!” Secara linguistik itu sulit untuk dipecahkan, keluar di dalam. Itu adalah speech kita, dan saya tidak perlu mikir-mikir. Saya sudah langsung tahu makna dari kalimat itu. Spontan. Itu yang kehilangan di dalam kehidupan lebenswelt kita, ketika semuanya ingin kita pecahkan dengan logosentrisme, dengan logic dan linguitik itu.
Okky Madasari Saya pikir tadi sudah disampaikan dengan bagus sekali bahwa yang ditawarkan sastra itu kan kisah. Saya pikir yang ditawarkan filsafat itu pada prinsipnya, pada mulanya juga sebuah kisah. Yang ditawarkan agama pun kisah. Jadi itulah yang membuat kita bertemu hari ini. Itulah kaitan antara sastra dan filsafat. Semuanya berkisah. Gadis Arivia Terima kasih banyak kepada Tommy dan Okky. Menarik sekali diskusi kita kali ini. Saya teringat pada Arundhati Roy yang menulis novel berjudul The God of Small Things yang mengatakan bahwa language is the skin of our thought. Sehingga menurut dia, tantangan sastra sekarang adalah the challenge of justice. Jadi, saya kira saya tutup dengan pemikiran itu.
Heidegger adalah seorang filsuf yang menyuburkan filsafat bahasa lewat speech. Dan itulah yang juga berkembang sampai pada Foucault, Derrida dan lain-lain. Bahasa tetap penting, dalam tataran speech, kalau bahasanya Saussure itu parole.
22
Terima Kasih Kepada Kontributor Diskusi: Abby Gina, Allan Akbar, Andi Achdian, Fristian Hadinata, Ganang Dwi Kartika, Herdito Sandi P, Herminie Soemitro, Mardety, Norman Joshua, Nugroho P, Okky Madasari, Puri Kurniasih, Robertus Robert, Rocky Gerung, Sheyla, Timo Kaartinen, Tommy F Awuy, Tony Rudyansjah, Turita Indah Setyani. Transkriptor: Nurulfatmi Armzy Organizer/Moderator: Gadis Arivia 23