DINAMIKA INDUSTRI PENGOLAHAN PADI DI KABUPATEN BANYUWANGI: SEBUAH KAJIAN KUALITATIF Djoko Setijono Peneliti Independen
[email protected]
ABSTRAK : Berdasarkan penelitian dengan menggunakan teknik wawancara ahli (expert interview) dan studi lapangan (field study), penulis makalah ini menyarankan pembagian periode waktu (periodifikasi) perkembangan industri pengolahan padi di kabupaten Banyuwangi ke dalam tiga periode (yaitu: periode industri konvensional, masa transisi, dan periode industri modern) serta menjabarkan karakteristik industri di tiap periode. Dinamika industri ini dipengaruhi oleh faktorfaktor berikut: diskontinuitas suplai bahan baku akibat konversi lahan padi ke komoditas holtikultura, eksodus tenaga kerja, inovasi model bisnis, dan kebijakan pemerintah dibidang pangan (dalam hal ini impor beras). Berdasarkan karakteristik industri ditiap periode perkembangan, penulis kemudian mengekstraksi faktor-faktor penentu daya saing (diantaranya kontinuitas suplai bahan baku, efisiensi/produktivitas, kualitas, serta pengemasan dan merek) serta proyeksi perkembangan industri dimasa depan, yang mana faktor konsumen dan pasar akan mempunyai pengaruh yang makin kuat. Sehingga segmentasi pasar akan semakin kompleks dan diversifikasi produk akan berperan penting dalam menentukan daya saing dan pertumbuhan perusahaan. Dari sisi teknologi, perkembangan industri pengolahan padi akan mengarah kepada level otomatisasi yang lebih tinggi serta teknologi yang mampu menunjang diversifikasi produk dan menciptakan nilai tambah. Oleh karena itu, petani dan pemerintah kabupaten Banyuwangi (dalam hal ini dinas dan instansi terkait) perlu mengambil langkah dan kebijakan strategis dalam penentuan sentra produksi dan pemilihan varietas-varietas padi yang akan mengoptimalkan nilai ekonomis. Kata kunci: dinamika industri, pengolahan padi, Banyuwangi
DYNAMICS OF RICE PROCESSING INDUSTRI IN BANYUWANGI: A QUALITATIVE STUDY
ABSTRACT: Based on research using expert interview and field study techniques, the author suggests a periodification of the development of rice processing industry in Banyuwangi (i.e. a period of conventional industry, transition period, and modernindustry period) as well as describes the characteristics of the industry in each period. The dynamics of this industry had been influenced by the following factors: raw material discontinuity (as the consequence of conversion from planting rice into horticulture), migration of workforces, business-model innovation, and governmental policy (concerning rice import). Based on industrial 1
characteristics in each developmental stage, the author extracts factors influencing competitiveness of firms in this industry (including the continuity of raw material supply, efficiency/productivity, quality, packaging and brand) and forecasts how the industry will develop in the future (where customers and market will have greater influence). Therefore, market segmentation will be getting complex and product diversification will be increasingly important for competitiveness and growth. In terms of technology, the development of industry will be moving towards supporting product diversification and adding value. This means, farmers and local authorities of Banyuwangi need to take strategic policy and action, in terms of setting up prioritised rice production areas and the selection of rice varieties to be produced in order to optimalise economic value. Keywords: industrial dynamics, rice processing, Banyuwangi
PENDAHULUAN Kabupaten Banyuwangi telah sejak lama termasuk sebagai salah satu lumbung padi di Jawa Timur dan nasional. Melimpahnya produksi padi terutama di era orde baru hingga tahun 90-an membuat industri pengolahan padi tumbuh subur. Namun perubahan-perubahan yang terjadi, seperti pergantian komoditas favorit (andalan) petani dan persaingan bisnis, berpengaruh terhadap eksistensi para pemain dalam industri pengolahan padi. Pada tahun 2013, tercatat ada 1484 unit penggilingan padi di Banyuwangi, terdiri dari 433 unit penggilingan tipe menetap dan 1051 unit tipe keliling (Ulfa, 2014). Jumlah tersebut diperkirakan terus berkurang sebagai imbas persaingan yang semakin ketat dan dampak perlambatan ekonomi yang dimulai pertengahan atau akhir tahun 2012 hingga saat ini. Seorang pelaku usaha agribisnis di Banyuwangi (yang menjadi responden dalam penelitian ini) memperkirakan (hingga awal 2016) jumlah penggilingan padi menetap di Banyuwangi ada sekitar 250 unit. Pada dan sebelum tahun 90-an, usaha penggilingan padi bersifat menetap di suatu lokasi, dalam artian bahwa instalasi pengolahan terpasang pada tempat yang tetap. Walaupun perpindahan secara fisik (pembongkaran) memungkinkan, namun hal tersebut jarang terjadi kecuali jika ada sebab lain, misalnya perusahaan mengalami kebangkrutan dan terpaksa harus menjual aset-asetnya. Penggilingan padi keliling adalah suatu inovasi, fenomena baru yang terjadi sesudah tahun 2000. Dengan teknologi pengolahan yang relatif sama dengan penggilingan padi konvensional (menetap) namun unggul dalam hal mobilitas dan investasi awal yang kecil, kedua tipe penggilingan ini harus bersaing secara langsung dan ketat. Hal-hal tersebut diatas “memaksa” penggilingan padi konvensional untuk berbenah dan berubah, yang kemudian berkontribusi terhadap dinamika industri pengolahan padi di kabupaten Banyuwangi, seperti perkembangan proses produksi dan perubahan strategi bisnis perusahaan. Oleh karena itu, tujuan penelitian dalam makalah ini adalah: (1) mendeskripsikan dinamika (karakteristik dan perkembangan) industri pengolahan padi di kabupaten Banyuwangi, untuk kemudian dapat (2) mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap daya saing dan kelanjutan usaha, serta (3) implikasinya terhadap bidang pertanian dan kebijakan pertanian di kabupaten Banyuwangi. 2
DASAR TEORI Dinamika Industri (Industrial Dynamics) adalah suatu bidang yang topik utamanya adalah evolusi industri dengan fokus pada masuk, pertumbuhan, dan keluarnya perusahaan-perusahaan (Frenken, Cefis, dan Stam, 2015). Dinamika Industri (Kraft, 2002) menjabarkan dan menganalisa bagaimana suatu industri terorganisasi (tidak hanya pada saat sekarang tetapi juga pada masa-masa sebelumnya dan perbedaan-perbedaannya), kekuatan-kekuatan apa saja yang mempengaruhi pengaturan kembali suatu industri dan bagaimana kekuatankekuatan tersebut berubah dari waktu ke waktu. Dinamika industri dapat dijabarkan secara luas maupun sempit (Malerba, 2007). Dalam arti luas, dinamika industri berusaha menjawab pertanyaanpertanyaan yang berkaitan dengan proses transformasi industri termasuk pertumbuhan perusahaan, dinamika keluar dan masuknya pemain dalam suatu industri, evolusi secara bersama-sama (co-evolution) antara teknologi, struktur pasar dan institusi-institusi, serta pengaruh perubahan struktural terhadap pertumbuhan makroekonomi (Carlsson, 1989) serta analisis terhadap perubahan-perubahan pada permintaan, dasar pengetahuan (knowledge base) suatu industri, serta struktur dan dinamika jaringan-jaringan inovasi (Malerba, 2007). Dalam lingkup yang sempit, dinamika industri dapat mengacu pada demografi suatu industri dalam arti dinamika tentang masuk, pertumbuhan, dan keluarnya perusahaa-perusahaan yang mendasari pertumbuhan dan penurunan industri (Frenken, Cefis, dan Stam, 2015). Kraft (2002) membagi penelitian Dinamika Industri ke dalam tiga kategori atau pendekatan: fakta-fakta rapi yang bertentangan, siklus hidup industri, dan evolusi industri. Yang dimaksud dengan fakta-fakta rapi yang saling bertentangan adalah bahwa penelitian dalam kategori ini menyajikan dua sisi yang betentangan, dalam artian bahwa (secara mikroekonomi), dinamika industri di berbagai sektor industri sangatlah beragam dan penuh turbulensi, tetapi (secara agregat), industrial dinamik dianalisa melalui beberapa fitur seperti ketidaksimetrisan kinerja perusahaan-perusahaan, turbulensi dan demografi industri, distribusi pertumbuhan dan ukuran perusahaan-perusahaan. Dengan kata lain, ada pertentangan antara temuan empiris (pada level mikro) dan karakteristik utama model Organisasi Industri (misalnya: saat masuk (entry) berkorelasi positif dengan profit diatas normal, laju masuk (entry rate) dapat dijelaskan oleh indikator-indikator khusus seperti profit atau hambatan masuk, rata-rata margin perusahaan terkait dengan saat masuk pada level industri) sehingga teori konvensional Organisasi Industri tidak menyediakan kerangka kerja yang dapat diandalkan untuk memahami Dinamika Industri. Pendekatan siklus hidup industri dapat berupa studi siklus hidup dari alur historis perusahaan-perusahaan menuju suatu perkembangan teknologi (evolusi) atau pembuktian adanya struktur industri (khususnya interaksi antara pemainpemain yang sudah ada dan para pemula) pada siklus hidup tertentu. Pendekatan ini menjelaskan bagaimana suatu industri berubah (seperti suatu organisme yang mengalami perubahan karakteristik selama siklus hidupnya) dan berperan dalam perubahan ekonomi dimana inovasi (baik produk maupun proses) merupakan bagian yang tak terpisahkan. Sehingga, urutan kejadian 3
masuk (entry), inovasi, pembelajaran, dan pertumbuhan menentukan dinamika industri sepanjang siklus hidup. Kategori evolusi industri dapat dijelaskan melalui tiga macam penelitian, yaitu: penentuan pola-pola evolusi yang tidak sepenuhnya sesuai dengan model siklus hidup (misalnya relasi vertikal antara pemasok dan konsumen, pengembangan kerjasama horisontal, dan keragaman permintaan), penjabaran secara detail data historis terhadap industri dengan menggunakan database yang besar pada level mikro dan meliputi periode waktu yang lama (longitudinal), penyelidikan terhadap hubungan antara evolusi industri dan system dari inovasi.
METODE PENELITIAN Penelitian dalam makalah ini menggunakan metode kualitatif, yaitu wawancara ahli (expert interview) (Bogner, Littig, dan Menz, 2009). Teknik ini dipilih berdasarkan pertimbangan untuk mencapai titik temu (trade-off) antara tingkat kerumitan (complexity) tema penelitian dan efisiensi sumberdaya (waktu, tenaga, dan biaya) untuk memperoleh data, informasi, atau penjelasan yang diharapkan. Kerumitan yang dimaksud berkaitan tidak hanya dengan hal-hal yang bersifat teknis, tetapi juga berkaitan dengan strategi dan interaksi pemainpemain industri serta pengaruh faktor-faktor lainnya dalam rentang waktu yang relatif lama (serta membutuhkan kilas balik yang cukup panjang ke belakang). Sangat mungkin bahwa informasi yang berkaitan dengan hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya tidak terdokumentasi secara agregat dan lengkap, namun masih tersimpan dalam bentuk “pengetahuan” dari satu atau sekelompok orang yang termasuk dalam kategori “ahli”. Responden yang diwawancarai adalah seorang wirausahawan yang pernah menggeluti usaha penggilingan padi di era 70-an hingga 90-an yang merupakan perusahaan keluarga. Meskipun sudah tidak lagi terjun secara langsung dibidang penggilingan padi, responden tetap terhubung dengan bidang pengolahan padi karena saat musim panen padi, responden bertindak sebagai pengepul (supplier) komoditas padi untuk di jual kembali kepada pabrikan besar atau menjual sendiri dalam bentuk beras dengan meng-outsource-kan proses penggilingan padi tersebut. Selain itu, responden juga membeli beras dari pabrikan untuk dijual kembali secara retail. Selain padi dan beras, responden juga merupakan agen resmi pupuk (subsidi dan non-subsidi) dan reseller obatobatan pertanian. Hal-hal tersebut diatas menjadi dasar pertimbangan bahwa responden layak untuk disebut sebagai “ahli”. Temuan dan hasil yang didapat dari wawancara dikombinasikan dengan pengamatan langsung di lapangan (field study) terhadap industri pengolahan padi dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Periodifikasi perkembangan industri pengolahan padi di Banyuwangi Periode industri konvensional (pre advanced-technology adoption). Periode ini merupakan masa kejayaan industri pengolahan padi di kabupaten Banyuwangi (sekitar masa rezim orde baru sampai dengan akhir tahun 90-an) karena melimpahnya produksi padi dan tercapainya swasembada pangan, khususnya beras, sehingga kebutuhan beras dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri dan tidak perlu diimpor. Pada masa ini, pabrik-pabrik pengolahan padi 4
menggunakan instalasi mesin yang “standar” (sederhana), yang biasanya terdiri dari mesin pecah kulit dan mesin poles, karena ketiadaan beras impor (yang notabene lebih unggul dari segi kualitas) sebagai produk pembanding (benchmark) sehingga masyarakat mengenal beras yang kurang lebih seragam. Hampir tidak ada yang signifikan dari segi inovasi produk. Tingkat rendemen (berat setelah penyusutan akibat konversi dari padi ke beras) berkisar antara 6070% tergantung kualitas padi dan skala operasional (68-70% pada skala operasional besar, sedangkan tingkat rendemen skala operasional kecil sedikit lebih rendah). Hal lain yang turut andil mempengaruhi penggunaan teknologi proses yang pendek dan sederhana adalah kebijakan pengaturan patokan harga beras, sehingga pabrik-pabrik pengolahan padi harus menekan ongkos produksi mereka serendah mungkin. Suplai bahan baku (padi) yang berasal dari sekitar pabrik atau dari desa-desa yang berdekatan turut berperan dalam menekan ongkos produksi. Periode peralihan (transition period). Masa ini (antara 2000−2010) ditandai oleh berkembangnya komoditas holtikultura di kabupaten Banyuwangi, khususnya jeruk siam di wilayah Banyuwangi selatan. Data Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan kabupaten Banyuwangi menunjukkan bahwa produksi jeruk tahun 2011 meningkat sekitar 130% dibandingkan tahun 2010, yaitu dari 78.854 ton (tahun 2010) menjadi 184.574 (tahun 2011). Seiring meningkatnya jumlah petani yang beralih dari padi ke jeruk, kuantitas produksi padi menjadi tergerus. Banyak pabrik pengolahan padi yang mulai terganggu bisnisnya karena bahan baku (padi) dari suplai lokal (dari daerah sekitar) semakin sulit diperoleh. Karena penjemuran dan penggilingan padi masih manual, industri ini sangat mengandalkan tenaga manusia. Ironisnya, pada masa ini tenaga kerja semakin susah diperoleh karena penduduk usia produktif lebih memilih untuk mengadu nasib ke luar daerah atau luar negeri. Kesulitan industri pengolahan padi pada masa ini diperparah oleh hadirnya inovasi berupa penggilingan padi berjalan/keliling (mobile processing) sekitar tahun 2003−2004. Dari segi teknologi proses, tidak ada perbedaan menyolok antara pabrik konvensional dengan penggilingan padi berjalan ini, walaupun secara kualitas output masih dibawah beras yang dihasilkan oleh pabrik konvensional. Hal yang menjadi sesuatu yang baru untuk pasar (new to the market) dari inovasi ini adalah fleksibilitasnya (kemampuan untuk berpindah tempat) sehingga konsumen mampu menghemat biaya dan tenaga untuk keperluan logistik. Selain itu, penggilingan padi tipe ini tidak memerlukan tenaga kerja dalam jumlah banyak ataupun investasi awal yang besar. Karena titik berat inovasi ini ada pada cara baru melakukan sesuatu dan bukan pada teknologi atau produk maka inovasi semacam ini disebut juga sebagai inovasi bisnis model (business-model innovation, Baden-Fuller and Mangematin, 2013; Markides, 2006; Zott, Amit dan Massa, 2011). Umumnya, inovasi semacam ini membawa dampak yang fatal atau bersifat “merusak” bagi (disruptive) pesaingnya. Kombinasi ketiga faktor diatas mengakibatkan banyak pabrik yang kesulitan untuk meneruskan usahanya dan lebih memilih untuk menutup usaha (exit). Pada masa ini, mulai ada kebijakan kelonggaran impor beras dan permintaan akan beras premium sehingga para pengusaha pengolahan padi 5
mendapatkan produk pembanding sekaligus menangkap peluang untuk mendapatkan keuntungan lebih dengan meningkatkan kualitas beras yang dihasilkan. Beberapa pabrikan mulai membenahi operasional mereka dengan mengadopsi teknologi pengolahan padi yang lebih rumit, misalnya memasang mesin pengering gabah dan mesin untuk meningkatkan kejernihan/kecerahan beras. Pemasangan mesin pengering merupakan langkah strategis karena pabrik mampu menyerap padi yang berlimpah selama musim panen (yang umumnya mempunyai kadar air cukup tinggi) tanpa khawatir akan perubahan cuaca yang tidak menguntungkan bila proses pengeringan dilakukan secara manual. Dengan demikian suplai dan stok bahan baku terjaga dengan baik. Periode industri modern (advanced-technology adoption). Masa ini (2011−sekarang) ditandai oleh segmentasi dan struktur yang jelas diantara pemain-pemain dalam industri pengolahan padi, yang dapat dikelompokkan kedalam tiga kategori: pabrikan besar, menengah, dan kecil (dengan komposisi 20%, 40%, 40% berdasarkan penuturan responden yang diwawancarai). Pabrikan besar adalah mereka yang telah mengadopsi teknologi pengolahan yang canggih (misalnya pemasangan mesin pengering, mesin separator untuk memisahkan antara beras dan gabah yang lolos dan tidak terproses, serta alat sensor untuk memisahkan biji beras yang baik (jernih, cerah) dan biji beras yang tidak baik (kuning atau gelap) dan benda-benda asing. Tingkat rendemen berkisar antara 65-68% untuk pabrikan besar dan 62-64% untuk pabrikan kecil, tergantung kualitas padi atau gabah (didefinisikan sebagai prosentase padi dengan bulir penuh). Kualitas gabah inilah yang kemudian menjadi catatan penulis manakala penulis membandingkan tingkat rendemen dari referensi lain, dimana salah satu pemilik pabrikan besar di Banyuwangi yang diwawancarai suatu media online menyebutkan tingkat rendemen sekitar 55%. Dengan demikian, kecanggihan teknologi berpengaruh dalam menaikkan produktivitas (dalam arti rendemen) sebesar 3-5%. Pemain-pemain dalam kelompok ini telah menerapkan otomatisasi pada level yang relatif tinggi selama proses produksi (pengolahan). Kecanggihan mesin yang dipasang memungkinkan terjadinya pengulangan proses dalam satu mesin untuk mencapai standar kualitas yang diharapkan. Hal ini memungkinkan pabrikan besar untuk membeli (dengan kontrol kualitas yang ketat) bahan setengah jadi (berupa beras) dari pabrikan yang lebih kecil untuk diproses lebih lanjut. Adopsi teknologi canggih membawa konsekuensi positif bagi pabrikan besar dalam arti pabrikan besar mampu memperluas pangsa pasar untuk produk mereka dan memperluas jangkauan daya dorong ekonomi dalam artian mereka mampu menyerap hasil produksi padi tidak hanya terbatas di wilayah sekitar mereka saja tetapi juga di propinsi lain. Walaupun di sisi lain hal tersebut pasti akan mempengaruhi biaya produksi. Pabrikan besar umumnya mampu melakukan diversifikasi produk dengan memisahkan beras kualitas super (yang mengisi segmen premium dari pasar) dan beras dengan kualitas dibawahnya. Selisih harga jual antara beras super dengan kualitas dibawahnya berkisar 10-20%. Diversifikasi produk tidak hanya berdasarkan grade beras yang dihasilkan, tetapi juga dari segi pengemasan (packaging), sehingga pabrikan besar sadar betul akan pentingnya merek 6
(brand) dan citra (image) produk terhadap kelangsungan bisnis mereka. Pengemasan, merek dan citra produk mampu mendongkrak harga jual hingga 58% lebih tinggi. Pabrikan menengah umumnya sudah mengadopsi teknologi dan otomatisasi pada level diatas standar, walaupun tidak secanggih atau selengkap pabrikan besar. Pabrikan kecil umumnya menerapkan strategi repeated processing yaitu mengulang suatu proses hingga beberapa kali dengan memasang beberapa mesin secara seri. Pabrikan menegah dan kecil umumnya telah mempunyai merek sendiri walaupun relatif mudah untuk ditiru dan kurang memperhatikan aspek pengemasan. Berdasarkan uraian diatas, perkembangan industri pengolahan padi di kabupaten Banyuwangi hingga awal milenium baru (satu dekade pertama milenium baru) merujuk pada perkembangan dan adopsi teknologi tinggi serta terbentuknya suatu struktur yang lebih jelas dalam industri ini. Hal ini mengindikasikan bahwa model (pendekatan) siklus hidup industri mampu secara dominan menjelaskan dinamika industri pengolahan padi di Banyuwangi. Setelah melewati dekade pertama millenium baru, pola dinamika industri ini menunjukkan pergerakan kearah evolusi industri dimana relasi (integrasi) vertikal dan horisontal jelas terlihat. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap daya saing Berdasarkan uraian diatas, terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap daya saing perusahaan dalam industri pengolahan padi, diantaranya: Kontinuitas suplai bahan baku (continuity of raw material supply). Faktor ini memegang peranan yang sangat penting karena lahan pertanian yang dialokasikan untuk menanam padi terus menyusut sehingga produksi padi cenderung menurun. Untuk menjaga suplai bahan baku (padi) terus terjaga, para pelaku industri (terutama pabrikan besar) membeli padi dari daerah lain bahkan mendatangkan dari luar pulau. Strategi lainnya adalah dengan memiliki areal penanaman padi sendiri (vertical integration) serta bekerja sama dan menjaga kemitraan dengan para pemasok (supplier relationship). Skala ekonomi (efficiency) dan produktivitas (productivity). Umumnya, pabrik-pabrik pengolah (terutama pabrikan besar) mempunya kapasitas terpasang yang besar untuk mencapai skala ekonomi (biaya per unit yang rendah), sehingga kontinuitas suplai bahan baku sangat krusial. Jika suplai padi dari sekitar pabrik tidak mencukupi dan memaksa pabrik untuk tidak beroperasi secara kontinyu, hal ini tentunya akan mempengaruhi perhitungan biaya dan harga jual. Di sisi yang lain, sepertinya sudah bukan rahasia lagi jika mayoritas pabrik pengolah padi (terutama pabrikan kecil) tertinggal dalam hal teknologi, sehingga tidak efisien dalam operasional serta menghasilkan output dengan kualitas yang kurang begitu memuaskan. Kualitas (quality). Pabrikan besar semakin menyadari pentingnya menjaga kualitas, baik bahan baku maupun barang jadi. Bahan baku padi dari supplier melewati kontrol kualitas yang sangat ketat. Berdasarkan uraian dari responden yang telah diwawancarai sebelumnya, jika pabrikan besar membeli 7
bahan setengah jadi maka barang di sampling dengan cara ditanak untuk mengetahui secara langsung kualitas bahan sebelum pengambilan keputusan apakah pengiriman akan diterima atau ditolak. Penggunaan teknologi pemrosesan yang canggih akan menghasilkan beras kualitas premium (jernih/cerah, utuh, dan tidak tercampur benda-benda asing). Pengemasan (packaging) dan merek (brand). Pengemasan dan merek memegang peranan yang semakin penting terutama untuk segmen premium. Segmen retail dan luar pulau jawa cenderung mengapresiasi pengemasan yang baik dan menarik. Pengemasan yang menarik serta merek yang kuat memungkinkan pabrikan besar untuk memperoleh margin keuntungan yang sedikit lebih tinggi. Sepertinya telah tampak jelas bahwa tiga faktor pertama diatas sangat dipengaruhi oleh tingkat adopsi teknologi. Karena itu, teknologi memegang peranan yang sangat penting terhadap daya saing dan kelanjutan usaha di sektor industri ini. Faktor keempat mengindikasikan bahwa para pemain dalam industri ini juga harus berorientasi pada pasar yang mereka layani. Proyeksi perkembangan industri dimasa depan Responden yang diwawancarai meyakini bahwa pabrikan besar akan berusaha meningkatkan level otomatisasi pada proses pengolahan (untuk mengarah pada full automatisation) dan penggunaan energi listrik. Berdasarkan penelusuran di media-media online, terdapat beberapa peluang bagi pelaku industri untuk berinovasi yang kemungkinan besar akan menjadi trend atau bahkan permintaan pasar di masa mendatang. Peluang untuk melakukan diversifikasi produk semakin terbuka, dalam artian pabrikan memilah, memproduksi dan mengemas beras khas, berdasarkan: • • • •
Daerah asal penanaman (contoh: padi Garut) Spesies atau varietas (contoh: IR, Ciherang, beras aromatik) Cara penanaman (terutama padi/beras organik) Memenuhi kriteria kesehatan tertentu (misalnya kadar gluten rendah)
Teknologi pengolahan modern untuk menghasilkan beras berpenampilan cerah yang disukai konsumen cenderung menghilangkan kandungan gizi pada beras. Oleh karena itu, inovasi produk dengan cara fortifikasi (penambahan vitamin dan mineral) serta pemanfaatan beras broken dan menir bisa menjadi pilihan untuk meningkatkan nilai tambah (added value). Oleh karena itu, petani Banyuwangi (bersama instansi dan dinas terkait) dapat mengambil langkah-langkah strategis, seperti: • •
Pemetaan dan penetapan daerah prioritas produksi padi. (Bersama dengan para pelaku industri) mengidentifikasi segmen-segmen pasar dan mengkaji varietas-varietas apa saja yang diminati oleh tiap segmen pasar.
8
•
Membuat daftar prioritas segmen mana saja yang strategis dan potensial untuk di kuasai oleh petani Banyuwangi (spesialisasi) dan mampu menghasilkan nilai ekonomis yang tinggi. Rizki (2016) mencontohkan beberapa varietas padi lokal Banyuwangi (yang pada masa lalu banyak ditanam di daerah Kemiren, Glagah namun kini sudah ditinggalkan) yaitu genjah arum, untup ruyung, hoing cantel, dan pelang. Genjah arum misalnya, mempunyai keunggulan dalam hal kepunelan, mampu dikembangkan secara organik, mampu memutus siklus hama, dan nilai jual gabah yang lebih tinggi. Namun, kendala varietas lokal ini ada pada pengolahan, dalam artian bahwa mesin penggiling padi pada umumnya belum mampu mengolah secara optimal, bahkan akan rusak jika dipaksakan (bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekerasan/ketebalan kulit gabah). Sehingga, perlu ada pengembangan teknologi kearah ini. Insentif dan intervensi (dalam bentuk kebijakan) pemerintah kabupaten memegang peranan penting untuk kembali membangkitkan minat petani menanam varietas lokal.
PENUTUP Dinamika industri pengolahan padi di kabupaten Banyuwangi dipengaruhi oleh beberapa faktor utama yaitu: diskontinuitas suplai bahan baku akibat konversi lahan padi ke komoditas holtikultura, eksodus tenaga kerja, inovasi model bisnis, dan kebijakan pemerintah dibidang pangan (dalam hal ini impor beras). Hingga satu dekade pertama millennium baru, model siklus hidup industri mampu secara dominan menjelaskan dinamika industri pengolahan padi di kabupaten Banyuwangi. Perkembangan selanjutnya ke depan (khususnya bagi pabrikan besar) mengindikasikan bahwa dinamika industri ini mengarah kepada model evolusi industri (yang dijelaskan terutama oleh inovasi produk dan relasi vertikal dan horisontal diantara para pemain dalam industri ini). Identifikasi faktorfaktor penentu daya saing industri menunjukkan bahwa teknologi dan orientasi pasar memegang peranan yang sangat penting. Dimasa depan, segmentasi pasar beras akan semakin kompleks sehingga memerlukan diversifikasi dan inovasi produk dari para pelaku industri. Dari sisi hulu, petani serta dinas dan instansi terkait pemerintah kabupaten Banyuwangi perlu mengambil langkah dan kebijakan strategis terkait sentra produksi dan pemilihan varietas padi.
DAFTAR PUSTAKA Baden-Fuller, C., Mangematin, V. 2013. Business models: A challenging agenda. Strategic Organization 11(4): 418-427. Bogner, A., Littig, B., Menz, W. 2009. Interviewing experts. Palgrave Macmillan. Carlsson, B. 1989. Industrial Dynamics: Technological, Organisational, and Structural Changes in Industries and Firms. Kluwer, Boston, MA. Frenken, K., Cefis, E., dan Stam, E. 2015. Industrial dynamics and clusters: a survey. Regional Studies 49(1): 10-27. Kraft, J. 2002. In Lazonick, W (Ed). IEBM Handbook of Economics. Thompson Learning, 187-194. 9
Markides, C., 2006. Disruptive innovation: in need of better theory. Journal of Product Innovation Management 23(1): 19-25. Malerba, F. 2007. Innovation and the dynamics and evolution of industries: progress and challenges. International Journal of Industrial Organisation 25: 675-699. Ulfa, R. 2014. Rendemen giling dan mutu beras pada beberapa unit penggilingan padi kecil keliling di kabupaten Banyuwangi. Tesis. Program Pasca Sarjana (Master) Institut Pertanian Bogor. Zott, C., Amit, R., Massa, L. 2011. The business model: recent developments and future research. Journal of Management 37(4): 1019-1042. Media cetak Rizki, F. 2016. Keunggulan padi varietas lokal genjah arum di desa Kemiren – terasa punel, bisa memutus siklus hama. Jawa Pos Radar Banyuwangi, Edisi Sabtu 2 April, halaman 29 & 39. Internet Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banyuwangi. Data dinamis bidang pertanian pangan. http://distanhutbun.banyuwangikab.go.id/page/view/data-dinamisbidang-pertanian-tanaman-pangan. Diakses tanggal 18 Maret 2016. Kristanti, A., Dukarno, P.D. 2014. Menyortir profit di pabrik beras premium. http://peluangusaha.kontan.co.id/news/menyortir-profit-di-pabrik-beraspremium. Diakses tanggal 18 Maret 2016. Kabar
Bisnis. 2015. Mayoritas penggilingan padi tidak efisien. http://kabarbisnis.com/read/2856565/mayoritas-penggilingan-padi-tidakefisien. Diakses tanggal 18 Maret 2016.
Setiawan, B. 2015. Menggagas beras khas, membuka peluang dengan segmentasi pasar perberasan. http://sapamedia.co.id/sites/article/23/menggagas-beras-khasmembuka-peluang-dengan-segmentasi-pasar-perberasan.html. Diakses tanggal 18 Maret 2016. Sasongko, A. 2010. Melawan gizi buruk dengan fortifikasi beras. http://gayahidup.republika.co.id/berita/gaya-hidup/infosehat/10/12/03/150405-melawan-gizi-buruk-dengan-fortifikasi-beras. Diakses tanggal 28 Maret 2016.
10