DERITA MARGUÉRITE Guy de Maupassant
2016
Derita Marguérite Diterjemahkan dari The Confession karangan Guy de Maupassant terbit tahun 1883 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: Januari 2016 Revisi terakhir: Februari 2016 Copyright © 2016 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
M
ARGUÉRITE DE
THÉRELLES tengah sekarat. Walau baru
berumur 56, dia terlihat sudah 75 tahun. Dia terengah-
engah, lebih pucat dari kertas, menggigil hebat, wajah sawan, mata cekung, seperti baru melihat sesuatu yang mengerikan. Saudari sulungnya, Suzanne, enam tahun lebih tua, berlutut tersedu-sedu di samping ranjang. Sebuah meja kecil ditarik ke dekat dipan wanita sekarat ini, berlapis serbet, dan menunjang dua lilin menyala. Sebentar lagi pendeta diharapkan memberi sakramen terakhir dan komuni, di akhir nanti. Apartemennya menyimpan nuansa seram, hawa perpisahan pasrah, yang menjadi ciri kamar manusia-manusia sekarat. Botolbotol obat berdiri di atas perabot, linen tergeletak di sudut-sudut, dipinggirkan dengan kaki atau sapu. Kursi-kursi yang berantakan nampak ketakutan, seperti habis lari, dalam segala pengertiannya. Maut, si dahsyat, ada di situ, tersembunyi, menanti. Kisah kedua kakak-beradik ini sangat mengharukan. Dikutip panjang-lebar, membuat banyak mata bercucuran. Suzanne, si sulung, pernah jatuh cinta berat pada seorang pemuda, yang juga jatuh cinta padanya. Mereka bertunangan, dan tinggal menunggu hari akad nikah yang telah ditetapkan, ketika tiba-tiba Henry de Lampierre meninggal. Keputusasaan sang gadis muda tak terperikan, dia bersumpah takkan pernah menikah. Dia penuhi janjinya. Dia kenakan pakaian berkabung janda, yang tak pernah dilepas. Lalu sang adik, adik kecil Marguérite, yang baru berumur 12 tahun, suatu pagi menghampiri dan melompat ke pangkuan 5
kakaknya, dan berkata: “Kakak Besar, aku tak ingin kau sengsara. Aku tak ingin kau menangis seumur hidup. Aku takkan pernah meninggalkanmu, takkan, takkan pernah! Aku—aku juga takkan menikah. Aku akan mendampingimu selalu, selalu, selalu!” Suzanne tersentuh oleh kesetiaan anak ini, menciumnya, tapi tidak percaya. Akan tetapi si kecil ikut memenuhi janjinya. Terlepas dari desakan orangtuanya, terlepas dari permohonan kakaknya, dia tak pernah menikah. Dia cantik, cantik sekali; dia tolak banyak pemuda yang mencintainya sungguh-sungguh; dan dia tak pernah meninggalkan kakaknya lagi. ***** Mereka hidup bersama sepanjang hayat, tanpa pernah terpisahkan sekalipun. Mereka saling menemani, rekat tersatukan. Tapi Marguérite kelihatan selalu sedih, tertekan, lebih murung daripada sang kakak, seakan-akan pengorbanan luhur itu mematahkan jiwanya. Dia menua lebih cepat, beruban sejak usia 30, dan sering menderita, seperti digerogoti suatu penyakit misterius. Sekarang dia mati lebih dulu. Sejak kemarin dia tak sanggup lagi bicara. Dia hanya berkata, di kala fajar memancarkan cahaya remang pertamanya: “Pergilah jemput Monsieur le Curé, waktunya sudah tiba.” Dan sejak saat itu dia terus berbaring tengadah, gemetar kejang, bibir tak karuan seolah kata-kata berat sedang menggunung 6
dari
hatinya
tanpa
mampu
keluar,
rautnya
meluapkan
kekhawatiran, tak enak dipandang. Kakaknya tercabik oleh kepiluan, menangis liar, kening bersandar pada tepi ranjang, dan terus-menerus mengulang: “Margot, Margot malang, adik kecilku!” Dia selalu memanggilnya “Adik Kecil”, sebagaimana si adik selalu memanggilnya “Kakak Besar”. Langkah-langkah kaki terdengar di tangga. Pintu terbuka. Muncul seorang bocah paduan suara, disusul pendeta tua berjubah. Begitu melihatnya, perempuan sekarat itu duduk tegak sambil gemetar, kemudian membuka bibir, mengucapkan dua tiga kata terbata-bata, dan mulai menggores seprai dengan kuku-kukunya seperti ingin membuat lubang. Abbas Simon mendekat, memegang tangannya, mencium alisnya, dan dengan suara lembut berucap: “Tuhan mengampunimu, anakku; beranikan dirimu, waktunya sedang tiba, bicaralah.” Lalu Marguérite menggigil dari kepala sampai kaki, menggoncangkan seluruh dipan dengan gerakan gugupnya, berkata terpatah-patah: “Duduklah, Kakak Besar...dengarkan aku.” Sang pendeta membungkuk ke arah Suzanne, yang masih berpegangan pada kaki ranjang. Dia mengangkatnya, menempatkannya di kursi lengan, dan menggenggam satu tangan masingmasing, melafalkan: “Tuhan, Tuhanku! Limpahi mereka kekuatan, tuangkan 7
rahmat-Mu atas mereka.” Marguérite
pun
mulai
bicara.
Kata-kata
keluar
dari
tenggorokannya satu demi satu, serak, diselingi jeda tajam, seolah terlalu lemah. ***** “Ampun, ampun, Kakak Besar; oh, maafkan! Andai kau tahu betapa kukhawatirkan momen ini seumur hidupku...” Suzanne terbata di tengah tangisnya: “Maafkan apa, Adik Kecil? Kau sudah memberikan segalanya untukku, mengorbankan semuanya; kau malaikat...” Tapi Marguérite memotong: “Hush, hush! Biar aku bicara...jangan hentikan aku. Ini berat... biar kuceritakan semuanya...sampai akhir, tanpa surut. Dengarkan. Kau ingat...kau ingat...Henry...” Suzanne
gemetar
dan
menatap
adiknya.
Sang
adik
melanjutkan: “Kau harus dengar semuanya, supaya mengerti. Waktu itu aku berumur 12 tahun, baru 12 tahun; kau ingat betul, bukan? Dan aku manja, aku berbuat apapun sesukaku! Kau ingat, tentunya, bagaimana mereka memanjakanku? Dengarkan. Sejak pertama kali datang, dia sudah menyemir sepatu. Dia turun dari kudanya di tangga besar, dan dia minta maaf atas kostumnya, tapi dia membawa suatu kabar untuk papa. Kau ingat, bukan? Jangan bicara—dengar saja. Saat melihatnya aku terhanyut, aku merasa 8
dia sangat tampan; dan aku terus berdiri di sudut ruang tamu selama dia bicara. Anak kecil memang aneh...dan buruk. Oh ya...itu semua masuk ke dalam mimpiku. “Dia datang lagi...beberapa kali... Aku memandanginya dengan seluruh mataku, seluruh jiwaku... Aku dewasa di usiaku...dan jauh lebih mengerti daripada yang dibayangkan siapapun. Dia sering kembali...aku hanya memikirkannya. Aku berkata, pelan sekali: “‘Henry...Henry de Lampierre!’ “Lalu mereka bilang dia akan menikahimu. Rasanya perih; oh, Kakak Besar, perih...perih! Aku menangis selama tiga malam tanpa tidur. Dia kembali setiap hari, sore, setelah makan siang...kau ingat, bukan? Jangan bicara...dengar saja. Kau membuatkan kue kesukaannya...dengan tepung, mentega, dan susu. Oh, aku tahu betul caranya. Aku bisa membuatnya kalau diminta. Dia memakannya sesuap penuh, dan...dan kemudian dia minum segelas anggur, dan kemudian dia bilang, ‘Lezat sekali.’ Kau ingat bagaimana dia mengatakannya? “Aku cemburu, cemburu! Hari pernikahanmu mendekat. Tinggal dua pekan. Aku jadi gila. Aku bilang pada diriku sendiri: ‘Dia tak boleh menikahi Suzanne, tidak, takkan kubiarkan! Akulah yang akan dinikahinya setelah dewasa nanti. Takkan lagi kujumpai seseorang yang begitu kucintai.’ Tapi suatu malam, sepuluh hari sebelum akad nikah, kau berjalan-jalan dengannya di depan kastil dalam cahaya bulan...dan di sana...di bawah cemara...di bawah cemara besar...dia menciummu...mencium...merangkulmu...begitu lama. Kau ingat, bukan? Mungkin itu pertama kalinya...ya... Kau 9
pucat sekali saat kembali ke ruang tamu. “Aku lihat kalian berdua; aku ada di sana, di semak-belukar. Aku marah! Andai mampu, semestinya kubunuh kalian berdua! “Aku bilang pada diriku sendiri: ‘Dia tak boleh menikahi Suzanne, takkan pernah! Dia tak boleh menikahi siapapun. Aku pasti sengsara.’ Dan tiba-tiba aku mulai sangat membencinya. “Lalu, kau tahu apa yang kulakukan? Dengarkan. Aku lihat tukang kebun membuat bola-bola kecil untuk membunuh anjinganjing aneh. Dia menumbuk sebuah botol dengan batu lalu memasukkan bubuk kacanya ke dalam bakso kecil. “Aku ambil botol obat kecil kepunyaan mama; kupecahkan dengan palu, dan kusembunyikan kacanya di dalam saku. Bubuknya berkilauan... Keesokan hari, segera setelah kau membuat kuekue kecil...aku membelahnya dengan pisau dan kusisipkan kaca itu. Dia makan tiga kue. Aku juga, aku makan satu...kulempar enam lainnya ke kolam. Dua angsa mati tiga hari kemudian... Kau ingat? Oh, jangan bicara apa-apa...dengar saja, dengar. Aku, aku sendiri tidak mati...tapi aku selalu sakit. Dengar...dia mati—kau tahu itu...dengar...itu, itu belum seberapa. Baru sesudah itu, kemudian...selalu...yang terburuk...dengar. “Hidupku, seluruh hidupku...bagai siksaan! Aku bilang pada diriku sendiri: ‘Aku takkan tinggalkan kakak. Dan di saat kematianku, akan kuceritakan segalanya...’ Begitulah! Dan sejak saat itu, aku selalu membayangkan waktu di mana harus kuceritakan semuanya padamu. Sekarang sudah datang. Sungguh berat. Oh...Kakak Besar! 10
“Aku selalu berpikir, pagi dan sore, malam dan siang, ‘Suatu hari nanti harus kukatakan padanya...’ Aku menanti... Betapa menderita!... Terlaksana sudah. Jangan bicara. Sekarang aku takut...takut..., oh aku takut. Apa aku akan bertemu dengannya lagi, segera, setelah aku mati. Menemuinya lagi...bayangkan! Yang pertama! Sebelum kau! Aku tak berani. Aku harus...aku akan mati... Aku ingin kau memaafkanku. Aku butuh itu...aku tak bisa pergi menemuinya tanpa itu. Oh, bilang padanya supaya memaafkanku, Monsieur le Curé, bilang padanya... Aku mohon. Aku tak bisa mati tanpa itu...” ***** Dia membisu, dan tetap terengah, selalu menggores seprai dengan kuku-kuku yang layu. Suzanne memendam wajahnya di kedua telapak tangan, dan tak bergerak. Dia sedang memikirkan pria yang telah dicintainya begitu lama! Alangkah indah hidup yang mestinya mereka jalani bersama! Dia melihatnya sekali lagi di masa yang telah berlalu, di masa silam yang ditinggalkan untuk selamanya. Kekasih yang mati —betapa mereka dapat merobek hatimu! Oh, kecupan itu, kecupan satu-satunya! Dia telah sembunyikan itu dalam jiwanya. Dan selepas itu, tak ada, tak ada lagi yang diharapkan seluruh hidupnya! ***** 11
Tiba-tiba pendeta berdiri tegak, dan dengan suara kuat bergetar, dia memekik: “Mademoiselle Suzanne, adikmu sedang sekarat!” Suzanne pun membuka kedua tangannya, menampakkan wajah yang basah oleh air mata. Dirangkulnya sang adik, diciumnya sekuat tenaga, lalu dia berkata terbata: “Kumaafkan, kumaafkan, Adik Kecil.”
12