DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI A.
Pengantar: Urgensi Penguatan Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
4
B.
Kerangka Hukum Terkait Pelaku yang Bekerjasama
9
C.
Siapa yang dapat Dianggap sebagai Pelaku yang Bekerjasama
11
Bentuk-Bentuk Perlindungan bagi Pelaku Yang Bekerjasama
12
1.
Perlindungan Fisik, Psikis dan Hukum a. Perluasan Pihak yang Berhak Mendapatkan Perlindungan b. Kerahasiaan Identitas dan Pemisahan Tempat Penahanan/Penghukuman c. Memastikan Perlindungan Hukum yang Efektif
12
Prosedur Penanganan secara Khusus a. Penundaan Penuntutan dan Pemberkasan Secara Terpisah b. Penundaan Proses Hukum yang Timbul Karena Informasi, Laporan dan/atau Kesaksian yang Diberikannya
15
Penghargaan a. Immunitas atau Penghapusan Penuntutan b. Peringanan Tuntutan dan Hukuman
17 18 19
D.
2.
3.
12 14 14
15
15
Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
1
E.
Persyaratan Mendapatkan Perlindungan
23
1. Besar Kecilnya Peranan Pelaku yang Bekerjasama dalam Mengungkap Tindak pidana Tersebut
23
2. Jenis Tindak pidana yang Akan Diungkap
23
3. Besar
Kecilnya Keterlibatan Bekerjasama dalam Tindak Diungkapnya
Pelaku pidana
yang yang
24 24
4. Rasa Keadilan Masyarakat 5. Keselamatan Jiwa Pelaku dan/atau Keluarganya
yang
Bekerjasama
6. Tindak Pidana Lain yang Dilakukan oleh Pelaku yang Bekerjasama a. Batasan Tindak Pidana b. Pengakuan Atas Tindak Pidana yang telah dilakukan dan Pengembalian/ Kompensasi Kerugian F.
G.
25
25 25
25
Mekanisme Pemberian Perlindungan serta Pembatalannya
27
1. Mekanisme Pemberian Perlindungan Fisik dan Psikis
27
2. Mekanisme Penanganan secara Khusus
27
3. Mekanisme Pemberian Penghargaan
28
4. Pembatalan Penghargaan
92
Penutup
30
2 Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
LAMPIRAN 1 Ringkasan Usulan Pengaturan Perlindungan Terhadap Pelaku Yang Bekerjasama.
37
LAMPIRAN 2 Draft I. Pengaturan Perlindungan Terhadap Pelaku Yang Bekerjasama.
41
LAMPIRAN 3 Sekilas Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH)
52
Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
3
A. Pengantar : Urgensi Penguatan Perlindungan
Undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU No. 13/2006) lahir atas pemahaman pentingnya peran saksi dan pelapor untuk membantu mengungkap tindak pidana. Sesuai dengan namanya serta tujuan diundangkannya UU tersebut, UU No. 13/2006 telah cukup banyak mengatur jaminan dan perlindungan, khususnya bagi seorang saksi -yakni orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan pengungkap tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. Berbagai peraturan perundang-undangan lain, baik di tingkat Undang-undang, Peraturan Pemerintah hingga Peraturan Kapolri, yang telah mengatur dan mengelaborasi lebih jauh perlindungan bagi saksi dan pelapor (serta korban).1 Namun disayangkan belum ada perangkat hukum yang secara memadai mengatur mengenai perlindungan (termasuk di dalamnya insentif) bagi saksi (atau pelapor) yang juga pelaku tindak pidana yang mau bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk mengungkap tindak pidana dimana ia terlibat di dalamnya, apakah untuk mengungkap modus tindak pidana tersebut, pihak-pihak yang terlibat di dalamnya -terutama pelaku utama dan aktor intelektual di belakangnya-, kemana keuntungan dari tindak pidana tersebut mengalir dan sebagainya. Dalam beberapa literatur, seorang pelaku tindak pidana yang memberikan bantuan kepada penegak hukum untuk mengungkap tindak pidana dimana ia terlibat di dalamnya, dikenal dengan berbagai istilah: Justice
4 Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
Collaborator, Cooperative Whistleblowers, Participant Whistleblower atau istilah lain.2 Dalam konteks Indonesia, kami mengistilahkannya sebagai “Pelaku yang Bekerjasama”. Prinsipnya, Pelaku yang Bekerjasama adalah orang (baik dalam status saksi, pelapor, atau informan) yang memberikan bantuan kepada penegak hukum dalam bentuk, misalnya pemberian informasi penting, bukti-bukti yang kuat, atau keterangan/kesaksian di bawah sumpah, yang dapat mengungkap suatu tindak pidana dimana orang tersebut terlibat di dalam tindak pidana yang dilaporkannya tersebut (atau bahkan suatu tindak pidana lainnya). Dalam pengungkapan kasus tindak pidana berat/serius, termasuk korupsi atau mafia hukum, keberadaan Pelaku yang Bekerjasama dianggap sangat penting karena sulit dan/atau besarnya sumberdaya yang harus dikeluarkan untuk mengungkap tindak pidana semacam itu tanpa adanya informasi dari “orang dalam”. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain: (1) tindak pidana semacam ini kerap dilakukan secara terorganisir; (2) para pelaku sama-sama diuntungkan dengan adanya tindak pidana sehingga sulit mengharapkan adanya laporan dari pihak yang dirugikan; (3) pelaku tindak pidana tidak jarang melibatkan pihak yang memiliki kekuatan (kekuasaan/jabatan, finansial, dsb) sehingga orang yang mengetahui tindak pidana tersebut takut untuk melaporkan ke aparat penegak hukum; (4) pelaku mengetahui cara dan semakin canggih dalam menyembunyikan tindak pidana (transaksi dilakukan tunai, melakukan money laundring, melalui perantara, menghindari percakapan agar tidak terekam, dan sebagainya) sehingga tidak mudah untuk menemukan buktibukti tindak pidana tersebut. Pertanyaannya, apa keuntungan atau insentif bagi ‘orang dalam’ –yang juga pelaku tindak pidana- untuk membantu aparat penegak hukum mengungkap tindak pidana dimana ia sendiri terlibat dan terancam pidana pula?
Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
5
Dalam prakteknya di Indonesia kadang aparat penegak hukum “memaksa” pelaku tindak pidana untuk mengungkap tindak pidana dimana orang lain dan ia sendiri terlibat di dalamnya dengan menjadikan pelaku tersebut sebagai “saksi mahkota”. Konsep ini mendapatkan kritik dari berbagai kalangan karena dianggap melanggar prinsip non-self incrimination –hak untuk tidak membuat pengakuan/kesaksian yang merugikan diri sendiri. Mahkamah Agung-pun dalam beberapa putusannya menolak keberadaan saksi mahkota ini.3 Pendekatan lain yang kadang ditempuh adalah “negosiasi” untuk peringanan hukuman, meski sifatnya kasuistis dan tanpa pedoman yang jelas. Di negara lain dan dalam beberapa konvensi internasional permasalah di atas dijawab dengan mengembangkan instrumen hukum yang lebih pasti dan luas untuk memberikan perlindungan bagi Pelaku yang Bekerjasama. Perlindungan tersebut dapat berupa perlindungan fisik/psikis sampai dengan pemberian penghargaan, misalnya keringanan hukuman atau leniency –jika yang bersangkutan akan diproses hukum atau bahkan jaminan bahwa tindak pidana yang dilakukannya tidak akan diproses secara hukum (immunity). Sebagaimana disinggung, peran Pelaku yang Bekerjasama ini masih belum mendapat tempat yang semestinya dalam peraturan perundang-undangan dan praktek penegakan hukum di Indonesia. Secara formal UU No. 13 tahun 2006 hanya mengenal konsep kemungkinan pemberian keringanan hukum –berdasarkan diskresi hakim- bagi Pelaku yang Bekerjasama. Hal inipun belum berjalan sebagaimana diharapkan. Sebagai contoh, Agus Condro, Pelaku yang Bekerjasama yang menjadi tokoh sentra untuk mengungkap skandal pemainan uang puluhan anggota DPR dalam proses pemilihan Gubernur Bank Indonesia, tetap mendapatkan hukuman yang sama dengan sebagian pelaku lainnya yang tidak memberikan kontribusi
6 Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
dalam pengungkapan kasus tersebut.4 Beberapa Undang-undang lain yang meratifikasi konvensi internasional yang memuat dorongan pemberian insentif bagi Pelaku yang Bekerjasama juga belum diterapkan. Selain itu ada perkembangan negatif lain belakangan ini dimana orangorang yang mencoba membantu mengungkap tindak pidana, apakah ia pelapor biasa atau Pelaku yang Bekerjasama, terkena “serangan balik” dari yang tindak pidananya diungkap. “Serangan balik” tersebut dapat berupa pelaporan balik si pelapor atas dasar pencemaran nama baik atau laporan palsu. Alih-alih laporan dari pelapor awal diproses terlebih dahulu, laporan pencemaran nama baik terhadap pelapor awal ini kadang diproses lebih dahulu. Bentuk serangan balik lain adalah terlapor mencari-cari kesalahan/tindak pidana lain yang pernah dilakukan pelapor dan melaporkannya ke kepolisian untuk segera diproses. Menyadari hal di atas, sudah selaiknya keberpihakan hukum kepada Pelaku yang Bekerjasama perlu diperkuat, tidak sekedar hanya dianggap sebagai “alat bukti” dalam mengungkapkan suatu tindak pidana.5 Dalam rangka itu pula buku ini, yang merupakan hasil kajian Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH) disusun. Hasil kajian ini -yang telah didiskusikan dan mendapat input dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta beberapa narasumber- telah pula dituangkan dalam bentuk rumusan usulan pasal-pasal untuk diintegrasikan dalam revisi UU No. 13 tahun 2006 yang telah mendapatkan dukungan dari Presiden dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.6 Buku ini memuat beberapa aspek pokok terkait perlindungan bagi Pelaku yang Bekerjasama, yakni: kerangka hukum yang terkait dengan konsep
Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
7
Pelaku yang Bekerjasama, bentuk-bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada Pelaku yang Bekerjasama, persyaratan (kapan dan bagaimana) seseorang dapat dikategorikan sebagai Pelaku yang Bekerjasama, serta bagaimana prosedur pemberian perlindungan – termasuk pembatalan perlindungan bagi Pelaku yang Bekerjasama.
8 Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
Sebagaimana disinggung dalam bagian sebelumnya, sebenarnya telah ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mencoba memberikan perlindungan bagi Pelaku yang Bekerjasama. Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 tahun 2006 misalnya menyatakan: Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Namun demikian, perlindungan tersebut dirasa masih jauh dari memadai karena: pertama, bentuk dan sifat perlindungannya yang terbatas (hanya berupa pengurangan hukuman dan hanya berlaku bagi mereka yang memberikan kesaksian di persidangan); kedua, sifatnya fakultatif (bukan kewajiban) dan; ketiga, tidak ada jaminan atau tidak dapat diprediksi sejak awal apakah perlindungan tersebut dapat diperoleh (karena hanya dapat dilakukan oleh hakim yang memiliki kebebasan dalam memutus perkara, bukan pihak dimana Pelaku yang Bekerjasama dapat ‘bertransaksi’ sebelumnya –misal akan membantu memberikan informasi jika diberi keringanan). Sebenarnya dengan diratifikasikannya United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) dan United Nations Convention Againts Transnational Organized Crimes (UNTOC) berturut-turut melalui UU No. 7 tahun 2006 dan UU No. 5 Tahun 2009 Indonesia telah memasuki babak baru dalam perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama. Kedua dasar hukum tersebut menyatakan bahwa setiap negara anggota UNCAC dan UNTOC harus mempertimbangkan pengambilan tindakan atau upaya untuk mendorong insentif, termasuk dengan memberikan pengurangan hukuman hingga imunitas kepada pelaku yang mau bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam mengungkap korupsi atau tindak pidana yang terorganisir. Dalam bahasa UNCAC dikatakan: Article 37 (1)
Each State Party shall take appropriate measures to encourage personswho participate or who have participated in the commission Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
9
(2)
(3)
of an offence established in accordance with this Convention to supply information useful to competent authorities for investigative and evidentiary purposes and to provide factual, specific help to competent authorities that may contribute to depriving offenders of the proceeds of crime and to recovering such proceeds. Each State Party shall consider providing for the possibility, in appropriate cases, of mitigating punishment of an accused person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence established in accordance with this Convention. Each State Party shall consider providing for the possibility, in accordance with fundamental principles of its domestic law, of granting immunity from prosecution to a person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offenceestablished in accordance with this Convention
Selain itu, ayat (4) pasal tersebut menyebutkan pula kewajiban negara anggota UNCAC untuk mempertimbangkan pengambilan tindakan atau upaya untuk memberikan perlindungan fisik dan psikis bagi Pelaku yang Bekerjasama sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UNCAC. Pengaturan yang identik dapat dilihat dalam Pasal 26 UNTOC. Terlihat bahwa setidaknya kedua UU di atas tersebut telah mendorong adanya bentuk perlindungan lain, berupa keringanan hukuman atau imunitas bagi Pelaku yang Bekerjasama. Landasan hukum ini perlu ditindaklajuti dengan pengaturan yang tegas dan rinci siapa saja yang dapat memperoleh perlindungan tersebut, apa jenis-jenis perlindungan yang dapat diberikan, serta apa persyaratan dan mekanisme untuk mendapatkan perlindungan tersebut.
10 Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
C. Siapa yang Dianggap sebagai Pelaku yang Bekerjasama Pelaku yang Bekerjasama dapat didefinisikan sebagai: “Orang yang juga pelaku tindak pidana yang membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dan/atau pengembalian aset-aset/hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan kesaksian, laporan atau informasi lain” Bentuk informasi, laporan atau kesaksian yang dapat diberikan oleh Pelaku yang Bekerjasama dapat terkait dengan pelaku tindak pidana–khususnya pelaku utama dan aktor intelektual, struktur organisasi pelaksana dan jaringan tingkat pidana, modus tindak pidana, aliran dana hasil tindak pidana, dan sebagainya.7 Ada 2 (dua) aspek penting dalam definisi di atas. Pertama, status Pelaku yang Bekerjasama dapat berupa saksi, pelapor, atau ’hanya’ informan. Yang lebih menjadi penekanan, sebagaimana akan didiskusikan lebih jauh pada bagian selanjutnya, adalah nilai dari informasi yang diberikannya untuk mengungkap tindak pidana yang lebih besar atau mengembalikan aset hasil tindak pidana dalam jumlah besar. Kedua, orang tersebut adalah pelaku tindak pidana. Tindak pidana yang dimaksud di sini adalah tindak pidana yang ia laporkan (pula) atau tindak pidana lain. Karenanya bisa jadi seorang pejabat kepegawaian di suatu kementerian yang tengah diproses karena menerima suap dalam kasus penerimaan pegawai dijadikan Pelaku yang Bekerjasama karena ia bersedia mengungkapkan praktek korupsi sistemik dalam proses pengadaan barang di kementerian tempat ia bekerja. Tentunya tidak setiap pelaku tindak pidana yang membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana dapat memperoleh perlindungan layaknya Pelaku yang Bekerjasama. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan beberapa aspek dan persyaratan untuk dapat memperoleh perlindungan sebagai Pelaku yang Bekerjasama.
Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
11
D. Bentuk-Bentuk Perlindungan bagi Pelaku Yang Bekerjasama Tidak mudah untuk mendorong pelaku suatu tindak pidana untuk mau bekerjasama untuk mengungkap tindak pidana yang dilakukannya bersama-sama pihak lain, khususnya pelaku utama tindak pidana tersebut. Karena itu perlu adanya insentif yang menarik pula untuk mengajak mereka mau bekerjasama. Secara umum ada tiga bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada Pelaku yang Bekerjasama: (1) perlindungan fisik, psikis atau hukum; (2) penerapan prosedur penanganan perkara secara khusus; dan (3) penghargaan. Berikut ini elaborasi masing-masing. 1.
Perlindungan Fisik, Psikis dan Hukum8
a. Perluasan Pihak yang Berhak Mendapatkan Perlindungan Sesuai dengan nature-nya, maka Pelaku yang Bekerjasama seharusnya mendapatkan perlindungan selayaknya saksi atau pelapor lain, dalam hal ada kondisi-kondisi yang menbutuhkannya. Secara umum UU No. 13/2006 telah mengatur perlindungan, baik fisik maupun psikis, bagi saksi secara elaboratif. Pasal 5 ayat (1) UU menyatakan: (1)
Seorang Saksi dan Korban berhak: a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. ikut serta dalam proses memilih menentukan bentuk perlindungan dukungan keamanan;
dan dan
c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah;
12 Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapatkan informasi perkembangan kasus;
mengenai
g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; i. mendapat identitas baru; j. mendapatkan tempat kediaman baru; k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. mendapat nasihat hukum; m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir; n. mendapatkan pendampingan dalam penyidikan sampai dengan pemeriksaan di pengadilan; o. mendapatkan tempat kediaman sementara; dan/atau p. tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana, administrasi maupun perdata atas kesaksian, informasi lain yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Sayangnya perlindungan sebagaimana dijelaskan di atas hanya berlaku bagi saksi, yakni “orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri” (Pasal 1 angka 1 UU No. 13/2006). Tidak termasuk di dalamnya pelapor atau Pelaku yang Bekerjasama yang hanya melaporkan atau memberikan informasi mengenai tindak pidana. Hal ini tentunya perlu diubah dalam revisi UU No. 13/2006.
Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
13
b. Kerahasiaan Identitas dan Pemisahan Tempat Penahanan/Penghukuman Hal lain terkait perlindungan yang “terlewat“ dalam Pasal 5 UU No. 13/2006 adalah perlindungan atas kerahasiaan identitas bagi saksi (termasuk pelapor dan Pelaku yang Bekerjasama), yang dalam kondisi-kondisi tertentu perlu dirahasiakan. Hal ini perlu diakomodir dalam revisi UU tersebut. Khusus untuk Pelaku yang Bekerjasama perlu pula dijamin adanya tempat penahanan dan penghukuman yang berbeda atau terpisah dari tahanan atau narapidana lain yang tindak pidananya diungkap oleh Pelaku yang Bekerjasama. Hal ini penting untuk menjamin keamanan dan keselamatan Pelaku yang Bekerjasama9 serta menghindari adanya kemungkinan upaya dari pihak yang akan diungkap tindak pidananya untuk mempengaruhi dukungan pengungkapan tindak pidana yang akan dilakukan oleh Pelaku yang Bekerjasama. c. Memastikan Perlindungan Hukum yang Efektif Selain perlindungan fisik dan psikis, Pasal 10 ayat (1) UU No. 13/2006 mengatur pula bentuk perlindungan hukum bagi saksi dan pelapor, yakni bahwa mereka“tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.” Pengecualian dari jaminan hukum tersebut adalah jika jika mereka “memberikan keterangan tidak dengan itikad baik”, misalnya memberikan keterangan palsu, sumpah palsu, dan permufakatan jahat (Pasal 10 ayat [3] dan penjelasannya). Masalahnya, dapat terjadi konflik jika seseorang (Pelapor) melaporkan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain (Terlapor) ke kepolisian dan si Terlapor melaporkan balik si Pelapor ke kepolisian atas dasar, misal, “keterangan atau sumpah palsu“. Dalam konflik semacam ini UU “diam” tentang prosedur yang seharusnya ditempuh untuk menjamin perlindungan hukum bagi pelapor di satu sisi dan hak terlapor di sisi lain. Karena itu perlu diatur suatu prosedur khusus dalam menangani hal semacam itu, yang akan didiskusikan di bagian selanjutnya.
14 Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
2. Prosedur Penanganan secara Khusus Sebagaimana disinggung, selama ini masih ada kekhawatiran bahkan ketakutan bagi pelapor pada umumnya dan pelaku yang bekerjasama pada khususnya akan adanya“serangan balik“ dan ancaman dari terlapor. Karena itu perlu diatur adanya prosedur penanganan secara khusus bagi Pelaku yang Bekerjasama dalam kondisi-kondisi tertentu, antara lain penundaan proses penuntutan dan pemberkasan secara terpisah serta penundaan proses hukum yang timbul karena laporan/kesaksiannya. a.
Penundaan Penuntutan dan Pemberkasan Secara Terpisah
Pada prinsipnya, proses hukum terhadap Pelaku yang Bekerjasama tidak boleh dilakukan bersamaan dengan pelaku lain yang diungkap tindak pidananya. Hal ini dapat dilakukan dengan penundaan penuntutan terhadap Pelaku yang Bekerjasama, termasuk (otomatis) pemberkasan secara terpisah dari berkas pelaku lain yang diungkapkan tindak pidananya. Penundaan penuntutan (dan pemberkasan terpisah) ini penting karena dua hal. Pertama, mempermudah Penuntut Umum dan Hakim untuk mengajukan dan memberikan tuntutan dan hukuman yang tepat bagi Pelaku yang Bekerjasama dibandingkan dengan pelaku lain yang diungkap tindak pidananya (karena berarti saat dilakukan penuntutan terhadapnya sudah diketahui hukuman yang dijatuhkan bagi pelaku yang diungkap tindak pidananya). Kedua, penundaan tersebut penting pula untuk menilai sejauh mana kebenaran informasi yang diberikan oleh Pelaku yang Bekerjasama serta signifikansi peran yang bersangkutan dalam tindak pidana yang dilaporkannya. b. Penundaan Proses Hukum yang Timbul Karena Informasi, Laporan dan/atau Kesaksian yang Diberikannya Sebagaimana disinggung, perlindungan hukum bagi saksi dan pelapor dari tuntutan pidana dan perdata atas laporan/kesaksian yang dibuatnya, yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan (3), dalam praktek masih menimbulkan masalah. Hal ini disebabkan karena dibukanya kemungkinan penghapusan jaminan tersebut dalam hal keterangan yang diberikan saksi/pelapor (dan
Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
15
nantinya termasuk Pelaku yang Bekerjasama) diberikan tidak dengan itikad baik -misalnya memberikan keterangan palsu, sumpah palsu, dan permufakatan jahat (Pasal 10 ayat [3] UU No. 13/2006 dan penjelasannya). Meski tujuan pasal tersebut dapat dimengerti, dalam praktek ditemui banyak kasus dimana pelapor dilaporkan kembali oleh terlapor –dengan alasan memberikan keterangan/sumpah palsu- yang diduga kuat sebenarnya dimaksudkan untuk membalas laporan pelapor atau strategi mengancam agar yang bersangkutan mencabut laporan/keterangannya.10 Bahkan terjadi kasus dimana laporan dari terlapor diproses lebih dahulu atau lebih cepat dibanding dengan laporan pelapor. Modus lain yang terjadi adalah terhadap saksi/pelapor atau Pelaku yang Bekerjasama diperiksa oleh aparat penegak hukum karena dugaan tindak pidana lain yang diduga dilakukannya (jadi bukan karena laporannya). Dalam beberapa kasus, praktek semacam ini umumnya dilakukan atas tujuan yang sama namun dengan metode yang lebih ‘cantik’. Terlapor, baik secara sendiri atau mungkin dengan bantuan oknum aparat penegak hukum, sengaja mencari kesalahan hukum yang pernah dilakukan pelapor dan kemudian mempermasalahkannya sebagai sarana balas dendam atau ancaman agar pelapor mencabut laporannya. Satgas PMH menerima setidaknya dua laporan dengan dugaan modus di atas.11
16 Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
Masalah-masalah di atas dapat terjadi karena ketiadaan mekanisme hukum yang jelas untuk memproses laporan balik semacam itu. Karena itu perlu diatur bahwa laporan balik dari terlapor atau proses hukum lain bagi pelapor hanya dapat diproses setelah tindak pidana yang dilaporkan saksi/pelapor diproses lebih dahulu dan mendapat kepastian hukum. Hal ini juga lebih efisien karena indikasi kebenaran laporan saksi/pelapor atau Pelaku yang Bekerjasama dapat diketahui dalam proses hukum atas tindak pidana yang dilaporkannya tersebut. Sebenarnya, pengaturan senafas telah tertuang dalam Surat Edaran Bareskrim Mabes Polri No. B/345/III/2005 tentang Permohonan Perlindungan Saksi/Pelapor yang ditujukan kepada Kapolda se-Indonesia. Surat edaran tersebut pada intinya menghimbau aparat kepolisian untuk mendahulukan penanganan laporan kasus korupsi dan menunda laporan pencemaran nama baik dari terlapor. Sayangnya sifat surat edaran tersebut hanya berupa himbauan dan dalam beberapa kasus tidak dijalankan oleh aparat kepolisian sendiri. Karena itu diperlukan dasar hukum yang lebih tegas mengenai hal ini. 3. Penghargaan Strategi yang banyak diterapkan di negara lain –dan dianjurkan oleh beberapa konvensi internasional seperti UNCAC dan UNTOC- untuk memberi insentif bagi pelaku tindak pidana agar mau menjadi Pelaku yang Bekerjasama (membantu aparat penegak hukum mengungkap tindak pidana serius) adalah dengan memberikan penghargaan atas kerjasama yang mereka diberikan.12 Bentuk penghargaan yang umum diberikan dapat dibagi menjadi dua kategori: penghargaan berupa penghapusan penuntutan terhadap yang bersangkutan dan yang tidak berupa
Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
17
penghapusan penuntutan -seperti berupa peringanan tuntutan/hukuman, pemberian pidana percobaan/sanksi alternatif, pemberian remisi atau grasi. Penghargaan ini dapat diberikan baik terhadap tindak pidana yang dilakukannya Pelaku yang Bekerjasama yang tengah diproses maupun tindak pidana pada masa lalu yang belum diproses. Berikut elaborasi dari usulan jenis-jenis penghargaan yang dapat diberikan kepada Pelaku yang Bekerjasama. a. Immunitas atau Penghapusan Penuntutan Salah satu bentuk penghargaan yang paling besar yang dapat diberikan kepada Pelaku yang Bekerjasama adalah pemberian imunitas hukum atau penghapusan penuntutan atas tindak pidana yang dilakukan Pelaku yang Bekerjasama. Bentuk penghargaan ini dikenal di beberapa negara dan konvensi internasional.13 Penghargaan dalam bentuk imunitas atau penghapusan penuntutan tidak hanya diberikan kepada Pelaku yang Bekerjasama terhadap tindak pidana yang tengah diproses namun juga tindak pidana lain yang dilakukannya pada masa lalu. Umumnya tujuan pemberian penghargaan berupa imunitas atau penghapusan penuntutan adalah untuk menyakinkan Pelaku yang Bekerjasama bahwa yang bersangkutan tidak merasa dijebak oleh aparat penegak hukum atau dibalas oleh orang yang dilaporkannya, misalnya dihapuskan penuntutannya dalam kasus yang tengah berjalan namun dicari-cari tindak pidana pada masa lalunya untuk kemudian diproses. Namun demikian, pemberian imunitas semacam ini harus diberikan secara sangat selektif dan dengan persyaratan-persyaratan tertentu yang akan dibahas kemudian. Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini belum secara langsung memungkinkan hal ini. Mengacu pada Pasal 10 ayat (2) UU 13/2006 seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama (Pelaku yang Bekerjasama) tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana, meski
18 Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
dimungkinkan untuk mendapatkan keringanan hukuman. Namun demikian, bukan berarti tidak ada celah hukum yang dapat digunakan. Mengacu pada UU Kejaksaan RI sebenarnya secara filosofis penghapusan penuntutan masih dapat dilakukan, yaitu dengan menggunakan kewenangan Pengesampingan Perkara atau yang lebih dikenal dengan Deponeering.14 Akan tetapi penggunaan kewenangan ini dalam konteks Pelaku yang Bekerjasama tidak semudah yang dibayangkan, mengingat dalam UU Kejaksaan penggunaan kewenangan ini harus memperhatikan saran dan pertimbangan apa saja badan-badan terkait. Terlebih tidak jarang dalam kasus semacam ini kerahasiaan identitas sang Pelaku yang Bekerjasama perlu dijaga. b.
Peringanan Tuntutan dan Hukuman
Bentuk penghargaan lain bagi Pelaku yang Bekerjasama yang umum dikenal di negara lain dan konvensi internasional adalah peringanan tuntutan dan hukuman (mitigation punishment atau leniency).15 Dalam konteks hukum Indonesia, pemberian penghargaan berupa peringanan tuntutan dan hukuman dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: penuntutan dan penjatuhan hukuman percobaan, perubahan/pengalihan bentuk hukuman, pengurangan/peringanan tuntutan dan hukuman serta pemberian remisi dan grasi bagi Pelaku yang Bekerjasama yang telah dijatuhi hukuman penjara. (1) Tuntutan dan Penjatuhan Hukuman Percobaan Hukuman Percobaan sebagaimana diatur dalam Pasal 14a s/d 14f KUHP dapat dijadikan pilihan dalam memberikan penghargaan kepada para Pelaku yang Bekerjasama. Dengan tuntutan dan hukuman percobaan ini maka Pelaku yang Bekerjasama tidak perlu menjalani hukuman kecuali jika
Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
19
dalam masa percobaan yang ditetapkan hakim Pelaku yang Bekerjasama tersebut melakukan suatu tindak pidana. Pemberian hukuman percobaan ini dapat diberikan atas inisiatif/kebijakan hakim maupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam tuntutannya. Hambatan dalam pemberian penghargaan dalam bentuk penjatuhan hukuman percobaan ini adalah ketentuan hukuman percobaan dalam KUHP hanya dapat diterapkan untuk tindak pidana dimana hakim akan menjatuhkan hukuman paling tinggi 1 (satu) tahun (14a ayat 1 KUHP). Sementara itu dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini cukup banyak ketentuan pidana yang mengatur ancaman hukuman minimum di atas 1 (satu) tahun yang dapat dijatuhkan oleh hakim, seperti misalnya UU Korupsi, UU Pengadilan HAM, UU Terorisme, UU Narkotika, UU Kehutanan, dan hampir semua tindak pidana yang tergolong serius. Adanya ancaman minimum yang besarannya di atas 1 tahun penjara tersebut tentunya tidak memungkinkan penerapan pasal 14 KUHP. Untuk itu maka apabila pemberian hukuman percobaan ini ingin diterapkan sebagai bentuk penghargaan kepada Pelaku yang Bekerjasama maka diperlukan pengaturan khusus mengenai hal ini dalam revisi UU No. 13/2006. (2) Perubahan/Pengalihan Bentuk Hukuman Penghargaan dalam bentuk pengalihan jenis hukuman adalah pengalihan dari suatu bentuk hukuman ke bentuk hukuman lainnya yang lebih ringan. Misalnya perubahan dari bentuk hukuman penjara menjadi kurungan atau denda. Untuk beberapa jenis tindak pidana pengalihan bentuk hukuman ini dapat dilakukan, misalnya untuk Pelaku yang Bekerjasama yang terlibat dalam tindak pidana korupsi yang diatur dalam pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999. Dalam pasal tersebut ancaman hukuman bersifat kumulatif alternatif antara pidana penjara dan atau denda, dan hakim dapat menjatuhkan hukuman baik pidana dan denda sekaligus atau hanya salah satu diantaranya. Karenanya sebagai penghargaan dapat saja terdakwa/Pelaku yang Bekerjasama hanya dijatuhi hukuman denda.
20 Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
(3) Pengurangan Tuntutan dan Hukuman Penghargaan lain yang dapat diberikan pada Pelaku yang Bekerjasama adalah pengurangan hukuman yang akan dijatuhkan. Mengenai pengurangan hukuman ini telah disunggung dalam UU 13 Tahun 2006 khususnya dalam pasal 10 ayat 2 yang menyatakan bahwa kesaksian Pelaku yang Bekerjasama “dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”. Namun sebagaimana disinggung, pengaturan ini belum memadai karena sifatnya fakultatif dan tidak ada jaminan atau tidak dapat diprediksi apakah penghargaan ini dapat diperoleh Pelaku yang Bekerjasama (karena hanya dapat dilakukan oleh hakim yang memiliki kebebasan dalam memutus perkara, bukan pihak dimana Pelaku yang Bekerjasama dapat ‘bertransaksi’). Pada asasnya implementasi penghargaan kepada Pelaku yang Bekerjasama lebih merupakan politik hukum yang berada di tangan eksekutif, dan tidak mengikat sepenuhnya kepada yudikatif. Karenanya untuk ‘membunyikan’ adanya pengurangan hukuman bagi Pelaku yang Bekerjasama harus dimulai dari adanya pengajuan tuntutan yang lebih ringan oleh JPU terhadap Pelaku yang Bekerjasama. Meski tuntutan JPU tidak mengikat hakim, tentunya hakim akan memperhatikan tuntutan tersebut. Dan untuk ‘menghimbau’ agar hakim secara sungguh-sungguh memperhatikan peran Pelaku yang Bekerjasama dalam menjatuhkan hukuman, perlu ada penegasan kewajiban tersebut dalam revisi UU No. 13/2006. Baru-baru ini Mahkamah Agung telah menyatakan komitmen positifnya untuk memperjuangkan perlindungan bagi Pelaku yang Bekerjasama, yakni dengan rencananya untuk membuat Surat Edaran bagi para hakim untuk memperhatikan sungguh-sungguh peran Pelaku yang Bekerjasama dalam menjatuhkan hukuman yang adil.16 (4) Remisi dan dan Grasi Kekuasaan eksekutif lain yang dapat digunakan untuk memberi penghargaan kepada Pelaku yang Bekerjasama yang telah dijatuhi hukuman (narapidana) adalah lembaga remisi dan grasi. Pasal 3 Keputusan
Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
21
Presiden No. 174 tahun 1999 tentang Remisi memungkinkan pemberian remisi tambahan (selain remisi umum dan khusus) dalam hal narapidana, antara lain, berbuat jasa kepada negara dan melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan. Tindakan narapidana yang membantu mengungkap tindak pidana tentunya dapat masuk dalam maksud Pasal 3 di atas. Selain itu tentunya jika memenuhi persyaratan, Pelaku yang Bekerjasama berhak memperoleh hak-hak narapidana pada umumnya, seperti Pembebasan Bersyarat atau Asimilasi.17 Dalam konteks grasi, Pasal 4 ayat (2) UU No. 22 tahun 2002 tentang Grasi menyatakan bahwa grasi dapat diberikan oleh Presiden terhadap narapidana dalam bentuk peringanan atau perubahan jenis pidana pengurangan jumlah pidana atau penghapusan pelaksanaan pidana. Instrumen hukum ini tentunya dapat dijadikan salah satu bentuk lain penghargaan bagi Pelaku yang Bekerjasama yang dijatuhi hukuman di atas 2 (dua) tahun mengingat adanya batasan tersebut dalam UU. 18
22 Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
E. Persyaratan Mendapatkan Perlindungan
Ada kesalahpahaman di sebagia pihak, termasuk pelaku tindak pidana yang berniat mengungkap suatu tindak pidana yang diketahuinya, bahwa perlindungan bagi Pelaku yang Bekerjasama dapat diberikan dengan mudah. Seakan dengan memberikan informasi untuk mengungkap tindak pidana, segala kesalahan yang dilakukannya pada masa lalu bisa dihapuskan begitu saja. Tidak seluruh saksi, pelapor atau informan yang juga pelaku tindak pidana berhak mendapatkan perlindungan. Ada beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan untuk menentukan siapa yang dapat dikategorikan sebagai Pelaku yang Bekerjasama sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini. 1. Besar Kecilnya Peranan Pelaku yang Bekerjasama dalam Mengungkap Tindak pidana Tersebut Faktor utama yang harus diperhatikan dalam pemberian status Pelaku yang Bekerjasama adalah seberapa penting informasi, bukti maupun kesaksian yang akan diberikan oleh si Pelaku yang Bekerjasama tersebut dalam mengungkap suatu tindak pidana atau pengembalian aset tindak pidana.19 Salah satu ukurannya adalah bahwa tanpa informasi, bukti maupun kesaksian Pelaku yang Bekerjasama tersebut maka suatu tindak pidana tidak dapat/sangat sulit terungkap atau terbukti di pengadilan (karena tidak ada/sulit untuk mendapatkan bukti dari sumber lain).20 Persyaratan ini sangat penting diperhatikan agar metode mendapatkan bukti/informasi dari Pelaku yang Bekerjasama ini dijadikan metode terakhir jika tidak ada alternatif lain yang efisien yang dapat ditempuh untuk mengungkap tindak pidana yang tengah diproses tersebut. 2. Jenis Tindak pidana yang Akan Diungkap Insentif bagi Pelaku yang Bekerjasama perlu dibatasi hanya dapat diberikan jika yang bersangkutan dapat memberikan informasi, keterangan atau bukti atas terjadinya tindak pidana atau tindak pidana skala besar, yakni
Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
23
tindak pidana terorganisir dan/atau tindak pidana berat (serious crimes). Beberapa jenis tindak pidana yang dapat masuk kategori tersebut, antara lain: tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika, keamanan negara, perbankan, pasar modal, perdagangan orang, pencucian uang, perpajakan, kehutanan atau tindak pidana HAM berat. 3. Besar Kecilnya Keterlibatan Pelaku yang Bekerjasama dalam Tindak pidana yang Diungkapnya Pemberian penghargaan, khususnya dalam bentuk penghapusan penuntutan, perlu memperhatikan faktor seberapa besar peran sang Pelaku yang Bekerjasama itu sendiri dalam tindak pidana yang dilaporkannya.21 Pelaku yang Bekerjasama yang dilindungi tentunya bukanlah pelaku utama atau otak dari tindak pidana yang dilaporkannya. 4. Rasa Keadilan Masyarakat Faktor yang tak kalah pentingnya dalam menentukan apakah seorang Pelaku yang Bekerjasama layak untuk mendapatkan penghargaan adalah rasa keadilan masyarakat. Yaitu seberapa besar penghargaan yang diberikan akan berdampak pada masyarakat. Seberapa besar dukungan atau penolakan masyarakat yang akan timbul apabila seorang Pelaku yang Bekerjasama akan diberikan penghargaan tertentu, khususnya dalam perkara dimana informasi mengenai Pelaku yang Bekerjasama ini telah diketahui oleh masyarakat.
24 Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
5. Keselamatan Jiwa Pelaku yang Bekerjasama dan/atau Keluarganya Dalam penentuan akan diberikan atau tidaknya perlindungan fisik/psikis terhadap Pelaku yang Bekerjasama tentunya harus diperhitungkan keseriusan ancaman yang ada sebagaimana selama ini telah dilakukan. 6. Tindak Pidana Lain yang Dilakukan oleh Pelaku yang Bekerjasama Sebagaimana dijelaskan, demi pengungkapan suatu tindak pidana yang lebih besar, penghargaan berupa penghapusan penuntutan dapat pula diberikan kepada Pelaku yang Bekerjasama atas tindak pidana lainnya yang pernah dilakukannya pada masa lalu. Namun tentunya harus dilakukan dengan syarat-syarat yang ketat. Syarat-syarat tersebut antara lain: a. Batasan Tindak Pidana Perlu ada batasan jenis tindak pidana lain seperti apa yang dapat diberikan penghapusan penuntutan. Beberapa parameter yang dapat dielaborasi lebih lanjut, antara lain: x Bukan tindak pidana terhadap nyawa atau perkosaan; x Bukan tindak pidana dimana terdapat tuntutan masyarakat agar pelaku diadili; x Pihak ketiga yang menjadi menjadi korban tindak pidananya harus dikonsultasikan terlebih dahulu. b. Pengakuan Atas Tindak Pidana yang telah dilakukan dan Pengembalian/ Kompensasi Kerugian Untuk dapat penghargaan berupa penghapusan penuntutan atas tindak pidana lainnya yang pernah dilakukan oleh Pelaku yang Bekerjasama, maka yang bersangkutan harus memberikan pengakuan secara lengkap atas segala tindak pidana yang pernah dilakukannya.22 Pengakuan tersebut perlu pula disertai dengan pengembalian hasil tindak pidana dalam hal tindak pidana yang dilakukan terkait dengan tindak pidana terhadap harta
Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
25
atau korupsi. Pengakuan tersebut penting sebagai bagian dari bargain agar penghapusan penuntutan dapat dilakukan secara efektif. Tanpa pengakuan tersebut maka penghapusan penuntutan secara administratif akan sulit dilakukan.
26 Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
F. Mekanisme Pemberian Perlindungan serta Pembatalannya Proses pemberian perlindungan bagi Pelaku yang Bekerjasama perlu diatur sedemikian rupa untuk meminimalisir potensi penyalahgunaan serta memastikan adanya koordinasi yang efektif antar instansi yang harus terlibat (dan dilibatkan) dalam proses pemberian perlindungan. Perlu pula diatur mekanisme untuk membatalkan perlindungan dalam kondisi-kodisi tertentu. Berikut ini adalah usulan mekanisme pemberian dan pembatalan perlindungan. 1. Mekanisme Pemberian Perlindungan Fisik dan Psikis Dalam konteks perlindungan fisik dan psikis secara umum, sebagaimana selama ini telah dilakukan, prosesnya difasilitasi oleh LPSK. Inisiatif permohonan perlindungan dapat berasal dari Pelaku yang Bekerjasama atau instansi penegak hukum lain, tentunya dengan persetujuan Pelaku yang Bekerjasama. LPSK kemudian akan melakukan proses pemeriksaan apakah calon memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Apabila LPSK menganggap syarat-syarat terpenuhi, LPSK wajib, baik sendiri atau dengan dukungan pihak lain, memberikan perlindungan fisik dan psikis bagi Pelaku yang Bekerjasama. Khusus untuk perlindungan bagi Pelaku yang Bekerjasama dalam bentuk penempatan dapat sel atau kamar tahanan/penjara khusus –tidak bersamaan dengan pelaku lain yang tindak pidananya diungkap- maka LPSK perlu berkoordinasi dengan pihak yang melakukan institusi yang melakukan penahanan dan/atau Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 2. Mekanisme Penanganan secara Khusus Sebagaimana dijelaskan, ada dua macam perlindungan dalam bentuk penanganan secara khusus: penundaan penuntutan dan pemberkasan secara terpisah serta penundaan proses hukum yang timbul karena informasi, laporan dan/atau kesaksian yang diberikannya. Mengenai penundaan proses hukum yang timbul karena informasi, laporan dan/atau kesaksian yang diberikannya, tidak perlu diatur mekanisme khusus untuk mendapatkannya karena cukup dengan mengatur dalam UU adanya
Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
27
kewajiban bagi aparat penegak hukum untuk melakukan hal tersebut. Khusus untuk mendapatkan prosedur penundaan penuntutan dan pemberkasan secara terpisah, aparat penegak hukum dan Pelaku yang Bekerjasama dapat secara mandiri mendiskusikannya, 3. Mekanisme Pemberian Penghargaan Prosedur permohonan dan pemberian penghargaan setidaknya terdiri dari tiga tahap: (1) permohonan mendapatkan perlindungan; (2) proses penilaian dan penentuan kelayakan pemberian penghargaan; (3) proses pemberian penghargaan –dalam hal dianggap memenuhi persyaratan. Permohonan untuk mendapatkan penghargaan dapat diajukan oleh Pelaku yang Bekerjasama sendiri maupun aparat penegak hukum yang menangani kasus tersebut. Permohonan tersebut dapat diajukan langsung ke pejabat tertinggi dibidang penuntutan, baik Jaksa Agung atau Ketua Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dalam hal terkait kasus korupsi, maupun melalui LPSK. Dalam hal permohonan diajukan melalui LPSK, fungsi LPSK terbatas pada pemberian rekomendasi kepada Jaksa Agung atau Ketua KPK untuk kemudian dinilai dan diputus oleh Jaksa Agung atau Ketua KPK. Prosedur di atas dilandasi pada pemahaman bahwa syarat-syarat penentuan pemberian penghargaan berbeda dengan syarat pemberikan perlindungan fisik/psikis. Dalam konteks pemberian perlindungan fisik/psikis, persyaratan utama yang perlu diperhatikan adalah ada tidaknya ancaman/ganguan serius yang dialami pemohon. Wajar jika LPSK dapat langsung memutuskan karena sejak awal LPSK di-design untuk melakukan fungsi tersebut. Sedang untuk pemberian insentif berupa penghargaan, syarat utama yang harus diperhatikan adalah seberapa berharga informasi yang dimiliki Pelaku yang Bekerjasama untuk membantu mengungkap tindak pidana besar dimana ia mengetahuinya. Hal ini membutuhkan keahlian/penilaian hukum yang secara formal melekat pada fungsi seorang jaksa penuntut umum. Mereka pulalah yang memiliki kepentingan untuk mendapatkan informasi dari sang Pelaku yang Bekerjasama. Karenanya beralasan jika penentuan akhir ada pada pimpinan Kejaksaan Agung dan KPK.
28 Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
Khusus untuk pemberian penghargaan kepada Pelaku yang Bekerjasama berupa remisi dan grasi, mengingat kewenangan pemberian remisi dan grasi ada pada Kementerian Hukum dan HAM dan Presiden, maka peran Jaksa Agung atau Ketua KPK hanyalah memberikan pertimbangan kepada Menteri Hukum dan HAM serta Presiden. 4. Pembatalan Penghargaan Sesuai dengan tujuannya, perlindungan bagi Pelaku yang Bekerjasama diberikan karena pentingnya keberadaan informasi yang diketahuinya untuk mengungkap tindak pidana yang lebih besar atau pengembalian aset. Tujuan tersebut hilang jika ternyata informasi yang diberikan oleh Pelaku yang Bekerjasama dibuat secara palsu/bohong. Dalam hal terjadi hal yang demikian, maka perlu diatur bahwa perlindungan tersebut harus dibatalkan. Selain itu perlu pula dilakukukan proses hukum lanjutan untuk “mengembalikan kepada keadaan semula“ maupun menghukum tindakan kebohongan/pemberian keterangan palsu tersebut. Karena itu, segera setelah diketahui bahwa informasi yang diberikan Pelaku yang Bekerjasama adalah palsu maka hal tersebut dijadikan bukti untuk memproses secara hukum tindak pidana yang telah dilakukannya, yakni dalam hal bentuk penghargaan yang diterimanya adalah penghapusan penuntutan. Jika bentuk penghargaan yang diberikan adalah pengurangan/peringanan tuntutan atau hukuman, maka JPU perlu mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung berdasarkan novum yang ada. Selain itu, pemberian keterangan , laporan atau kesaksian palsu yang dilakukan Pelaku yang Bekerjasama harus diproses sesuai dengan ketentuan pidana yang ada. Perlu dicatat bahwa tidak terbuktinya tindak pidana yang dilaporkan dan atau dibantu oleh Pelaku yang Bekerjasama tidak sama dengan pemberian informasi/keterangan palsu. Dalam hal informasi yang diberikan Pelaku yang Bekerjasama diyakini benar namun tidak dapat secara maksimal dipergunakan untuk membuktikan tindak pidana yang dilaporkan/dibantunya, maka hal tersebut tidak dapat membatalkan penghargaan yang diberikan kepadanya. Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
29
G. Penutup
Jaminan dan perlindungan bagi Pelaku yang Bekerjasama merupakan salah satu instrumen penting untuk mengungkap tindak pidana, khususnya tindak pidana serius, mengembalikan aset negara serta mengefisienkan proses penegakan hukum. Karena itu sudah semestinya penguatan perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama menjadi salah satu agenda penting dalam proses legislasi nasional, yakni dengan melakukan revisi terhadap UU No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Perlindungan bagi Pelaku yang Bekerjasama hanya akan efektif dan tepat sasaran (tidak mudah disalahgunakan) jika ada pengaturan yang komprehensif dan didukung oleh komitmen aparat penegak hukum. Setidaknya, sebagai langkah, revisi UU No. 13/2006 harus memastikan diintegrasikannya konsep-konsep kunci mengenai perlindungan bagi Pelaku yang Bekerjasama.
30 Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
Daftar Pustaka Peraturan Perundang-undangan 1. Deklarasi PBB mengenai Prinsip-Prinsip Dasar bagi Korban Tindak pidana dan Pennyalahgunaan Kekuasaan, Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse Power, Adopted by General Assembly Resolution 40/34 of 29 November 1985 2. Konvensi PBB Tahun 1988 (the United Nations Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs, and Psychotropic Subtances of 1988) 3. Konvensi PBB Tahun 2000 tentang Pemberantasan Tindak pidana Terorganisir Lintas Negara (the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime). 4. Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 5. Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, 6. Undang – Undang Nomor 5 tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 22 No. 2002 tentang Grasi. 7. Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, 8. Undang-Undang No 27 tahun 2008 tentang Ombusdman 9. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang No.25 Tahun 2003; 10. Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme Tahun 1999); 11. Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi); 12. Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undangundang No. 20 Tahun 2001; 13. Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
31
14. Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-undang. 15. Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 16. Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 17. Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 18. Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 19. Peraturan Pemerintah 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang. 20. Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 21. Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan 22. Peraturan Pemerintah Nomor 09 Tahun 2008 Tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, 23. Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. 24. Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam perkara Tindak Pidana Terorisme 25. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Tatacara Perlindungan terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme, 26. Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
32 Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
27. Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga 28. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. 29. Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2003 Tentang Perlindungan Khusus Pelapor dan Saksi, 30. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/ atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang 31. Putusan Mahkamah Agung No. 1174 K/Pid/1994 atau Putusan MA No. 1529/K/Pid/1994 sebagaimana dikutip dalam Zulfan, “Kedudukan Saksi Mahkota dalam Sistem Pembuktian Hukum Pidana” (Tesis Magister Hukum Universitas Sumatera Utara, 2005). 32. Peraturan Kapolri Nopol 3 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tatacara Pemeriksaan Saksi dan atau Korban Tindak Pidana. 33. Peraturan Kapolri Nopol 5 Tahun 2005 Tentang Teknis Pelaksanaan Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Keluarganya dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme
Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
33
Buku, Makalah, Media Massa dan Sumber Elektronik 1. Council of Europe, “The Protection of Witnesses and Collaborators of Justice - Recommendation Rec (2005) 9 adopted by the Committee of Ministers of the Council of Europe on 20 April 2005 and Explanatory Memorandum (2005). 2. Fausto Zuccarelli, “Handling and Protecting Witnesses and Collaborators of Justice: The European Experience (2009) 3. Final Report and Proceeding of the Final Regional Seminar „Criminal Law Reform to combat and prevent trafficking in human being in south-eastern Eropa“, Dures, Albania, 2003 4. International Cooperation UNODC – Collaborators of Justice, Criminal justice assessment toolkit, 2006 5. Italy – National Anti Mafia Beureu, UNDP-POGAR Regional Workshop on “Witness and Whistleblower Protection”, 2007. 6. Keputusan Menteri Kehakiman No. M.01.PK.04-10 tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, 7. Kompas, “MA Akan Terbitkan Surat Edaran Soal Whistleblower” (8 Juli 2011). 8. Kompas, “Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Kunjungi Agus Condro” (7 Juli 2011) atau Kompas, “Vonis terhadap Agus Condro Dikecam (17 Juni 2011). 9. Kompas, “Susno: Penyidik Polri Abaikan Surat Edaran Kapolri” Kompas.com, 24 Maret 2010. 10. M. Syaiful Ari, “Potret Umum Kondisi Saksi dan Korban di Daerah: Belajar dari Pengalaman Pelaporan Kasus Dugaan Korupsi di Jawa Timur” dalam Buletin Kesaksian [LPSK, edisi I Maret-April 2009]); 11. OSCE, “Witness Protection and Support in BiH Domestic War Crimes Trials: Obstacles and recommendations a year after adoption of the National Strategy for War Crimes Processing“, 2010. 12. Paolo Buccirossi & Giancarlo Spagnoloy, Counterproductive Leniency Program Against Corruption, LEAR - Laboratory of Economics, Antitrust and Regulation 2000 13. Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat, ELSAM 2010 14. Pikiran Rakyat, “Kadisdik Balik Laporkan LSM KMR”, http://www.pikiran-rakyat.com;
34 Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
15. Study Cooperation Protection Victims-Witness, OAS General Secretariat, Department of Legal Cooperation of the Secretariat for Legal Affairs, 2009 16. Supriyadi Widodoeddyono, Wahyu Wagiman dan Zainal Abidin, “Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat“ ( ELSAM, 2010). 17. The Jakarta Post, “President backs move to give whistle-blowers incentives” (8 Juli 2011). Dalam pertemuan antara Satgas PMH and LPSK dengan Menteri Hukum dan HAM ditargetkan revisi UU No. 13/2006 dapat masuk dalam Program Legislasi Nasional tahun 2012. 18. The Parliament of Victoria, Wistleblowers Protection Act 2001, 19. United Nations Office on Drugs and Crime, Good Practices for the Protection of Witnesses In Criminal Proceedings Involving Organized Crime (UNODC, 2008). 20. United Nations Office on Drugs and Crime, Good Practices for the Protection of Witnesses In Criminal Proceedings Involving Organized Crime (UNODC, 2008). 21. United Nations Office on Drugs and Crime, Good Practices for the Protection of Witnesses In Criminal Proceedings Involving Organized Crime (UNODC, 2008). 22. United Nations Office on Drugs and Crime, Good Practices for the Protection of Witnesses In Criminal Proceedings Involving Organized Crime (UNODC, 2008). 23. United Nations Office on Drugs and Crime, Good Practicesfor the Protection of Witnesses In Criminal Proceedings Involving Organized Crime (UNODC, 2008). 24. United Nations Office on Drugs and Crime, Good Practices for the Protection of Witnesses In Criminal Proceedings Involving Organized Crime (UNODC, 2008), hal. 19 dan Felföldi Enikö, “The Rising Importance on the Protection of Witnesses in the European Union” dalam International Review of Penal Law (Vol. 77, 2006), hal. 318. 25. United Nations Office on Drugs and Crime, Good Practices for the Protection of Witnesses In Criminal Proceedings Involving Organized Crime (UNODC, 2008). 26. UU Albania dalam http://www.unhcr.org/refworld/pdfid/4c20dd572. pdf. Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
35
27. Whitness Protection Analysis, The Commonwealth Massachusetts Witness Protection Program, 2007
36 Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama
This page was created using Nitro PDF SDK trial software. To purchase, go to http://www.nitropdf.com/
of